Você está na página 1de 2

Ada Pro dan Kontra Tarif Cukai Rokok

Sabtu, 03/10/2015

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung rencana pemerintah menaikkan


target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 23,5 persen menjadi Rp 148,85 triliun
dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016. Kebijakan tersebut
diyakini YLKI bermanfaat untuk menambah kas negara sekaligus meningkatkan kesehatan
masyarakat.
Bahkan Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyarankan pemerintah untuk tidak ragu
menaikkan tarif cukai rokok hingga titik maksimum yaitu 57 persen dari harga rokok eceran
(ritel). Pasalnya hal tersebut telah dimandatkan dalam Undang-Undang tentang Cukai.
Kenaikan cukai rokok secara siknifikan akan bermanfaat dua hal, yakni meningkatkan
pendapatan pemerintah dari sektor cukai. Kedua, sebagai cara untuk pengendalian penggunaan
rokok oleh masyarakat, sehingga rokok tidak gampang diakses oleh masyarakat menengah
bawah, kata Tulus melalui keterangan resmi.
Harga rokok di Indonesia menurut Tulus merupakan yang termurah di dunia, sehingga tidak
heran jumlah perokok pemula di tanah air selalu tumbuh signifikan setiap tahun. Terkait
kekhawatiran para pengusaha rokok yang menyebut naiknya tarif cukai rokok hanya akan
menyemarakkan peredaran rokok ilegal, YLKI menilai hal tersebut sebagai persoalan yang
berbeda karena lebih menyentuh ranah hukum. Rokok ilegal jelas harus diberantas, karena
merugikan negara. Namun maraknya rokok ilegal bukan karena kenaikan cukai, tapi karena
pemerintah malas melakukan law enforcement, tegasnya.
Tidak hanya mendukung penaikan tarif cukai rokok, YLKI menurut Tulus telah menyurati
Kementerian Perdagangan agar menerbitkan aturan yang melarang penjualan rokok di toko ritel
modern seperti yang telah berlaku untuk minuman beralkohol. Rokok dan minuman keras
(miras) adalah sama dan sebangun, rokok dan miras sama-sama produk yang dikenai cukai.
Miras dilarang dijual di ritel modern, seharusnya rokok juga sama. Segera naikkan cukai rokok
demi kesehatan masyarakat, dan demi pendapatan negara, kata Tulus.
Sementara Ketua Umum Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) sektor rokok, tembakau
dan minuman, Bonhar Darma Putra, mengkritik YLKI yang bersikukuh meminta pemerintah
menaikkan tarif cukai rokok hingga 57 persen. Menurutnya, kenaikan cukai rokok tidak realistis
dan justru akan membebani pedagang kecil. "Usulan (kenaikan cukai rokok-red) itu ngaco dan
tidak realitis, atas kepentingan apa mereka bicara seperti itu. Sudah jelas kenaikan cukai
sekarang saja memukul industri dan juga memukul pekerja. Setiap kenaikan cukai sudah pasti
juga berdampak pada penjualan eceran," tegas Bonhar, Rabu (16/9/2015)
Ia mengingatkan bahwa di Indonesia, ada beragam kepentingan dalam industri rokok, termasuk
para penjual rokok eceran yang juga memberi kontribusi terhadap ekonomi. Bahkan, usulan agar
rokok dilarang dijual layaknya minuman keras dinilai Bonhar sangat tidak masuk akal.

Dia pun membandingkan rokok dengan minuman keras (miras) yang sifatnya sah namun
menurut agama hukumnya haram. Sementara rokok, kata dia, tidak ada satu pun lembaga yang
secara gamblang mengharamkannya. "Di Indonesia jangan bicara sepihak, lalu urusannya juga
mengurus soal cukai," tandas Bonhar.
Sementara itu, Ketua Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK), Zulvan Kurniawan
menilai, argumentasi agar cukai rokok dinaikkan memang hanya melihat satu sisi yakni dari
kepentingan kesehatan dengan dalih bahwa jika cukai tinggi harga rokok akan tidak terjangkau
dan bisa memberi dampak kesehatan. "Kalau mau ekstrim daripada cukai terus naik, sudah lah
rokok diilegalkan saja, sehingga asing tidak lagi mengganggu tembakau dalam negeri. Saya
heran kenapa tidak belajar dengan Filipina setelah ikut aksesi FCTC dengan cukai tinggi sekali,
perdagangan tembakau rokok langsung turun, sementara rokok ilegalnya kian marak," urai
Zulvan.
Menurutnya, usulan YLKI agar rokok diperlakukan seperti miras juga berlebihan. Dia menyebut
bahwa ada sebuah riset, saat ini, ketika bisnis koran sedang anjlok, justru penjualan rokok
menjadi salah satu penyelamat mereka bertahan di tengah krisis. "Ketika oplah terus turun,
jualan rokok menjadi penyelamat, jadi jangan asal ngomong, tolong dong lihat juga data angka
rokok ilegal," pungkasnya.

Você também pode gostar