Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Virus adenovirus dan influenza merupakan virus utama yang menyebabkan bronkiektasis
pada traktus respirasi bagian bawah. Infeksi bakterial virulen, terutama yang berpotensi
menyebabkan nekrosis seperti Staphylococcus aureus, Klebsiella, dan bakteri anaerob, tetap
dipertimbangkan menjadi penyebab bronkiektasis terutama ketika terapi antibiotik pneumonia
tidak diberikan atau tertunda pemberiannya. Bronkiektasis juga pernah dilaporkan pada pasien
dengan infeksi HIV, mungkin terkait adanya infeksi bakteri berulang. Tuberkulosis dapat
menyebabkan bronkiektasis dengan cara nekrotisasi jaringan parenkim pulmo dan traktus respirasi
dan secara
tidak langsung sebagai konsekuensi terhadap obstruksi traktus respirasi dari
bronkostenosis atau kompresi ekstriknsik oleh limfonodi. Mikrobakteria nontuberkulosis sering
ditemukan pada pemeriksaan kultur pasien bronkiektasis, menunjukkan adanya infeksi sekunder
atau kolonisasi organisme. Meskipun begitu, saat ini telah diakui bahwa organisme-organisme
tersebut, terutama kompleks Mycobacteria avium dapat berperan sebagai patogen primer yang
berasosiasi terhadap perkembangan dan/atau progresifitas bronkiektasis. Mikoplasmal dan infeksi
fungi nekrotisasi jarang menyebabkan bronkiektasis.
Kegagalan mekanisme pertahanan host sering terlibat dalam predisposisi infeksi rekuren.
Penyebab utama kegagalan pertahanan host adalah obstruksi endobronkial. Bakteri dan sekret
tidak dapat dibersihkan secara adekuat pada traktus yang mengalami obstruksi, akan memicu
infeksi kronis dan berulang. Perlahan menumbuhkan neoplasma endobronkial seperti tumor
karsinoid yang berhubungan dengan bronkiektasis. Aspirasi benda asing merupakan peyebab
penting lainnya yang menyebabkan obstruksi endobronkial, terutama pada anak-anak. Obstruksi
jalan napas dapat pula disebabkan oleh bronkostenosis, dari tumpukan sekret, atau kompresi
ekstrinsik pembesaran limfonodi. Kegagalan umum dari mekanisme pertahanan pulmoner terjadi
pada defisiensi imunoglobulin, terutama gangguan silier, atau fibrosis kistik. Infeksi dan
bronkiektasis yang terjadi umumnya lebih difus. Dengan panhypogammaglubulinemia, gangguan
immunoglobulin yang paling tepat menggambarkan adanya hubungan dengan infeksi berulang dan
bronkiektasis, pasien biasanya memiliki riwayat infeksi sinus maupun kulit. Defisiensi selektif dari
subklas IgG, terutama IgG2, juga pernah dilaporkan pada sejumlah kecil pasien dengan
bronkiektasis.
Gangguan primer disfungsi silier, diistilahkan dengan diskinesia silier primer, dilaporkan
pada 5 hingga 10% kasus bronkiektasis. Sejumlah defek yang meliputi kategori ini, termasuk
abnormalitas struktural dari tangan dynein, radial spokes dan mikrotubulus silia menjadi diskinesia,
koordinasi dan aksi propulsifnya menjadi berkurang, sehingga bersihan bakterialnya menjadi
terganggu. Efek klinis yang ditimbulkan termasuk infeksi berulang traktus respirasi atas dan
bawah, seperti sinusitis, otitis media, dan bronkiektasis. Karena motilitas normal sperma juga
tergantung pada fungsi silier, laki-laki umumnya infertil. Kira-kira setengah dari pasien dengan
diskinesia siliar primer jatuh pada konsisi subbagian sindrom kartagener, dimana terjadi situs
inversus yang menyertai bronkiektasis dan sinusitis.
Pada fibrosis kistik, tumpukan sekret pada bronki berhubungan dengan terganggunya
bersihan bakterial, menyebabkan kolonisasi dan infeksi berulang oleh bermacam organisme,
terutama strain mukod seperti P. Aeruginosa juga S. Aureus, H. Influenzae, Escherichia coli, dan
Burkholderia cepacia.
Penyebab noninfeksi
Beberapa kasus bronkiektasis terkait dengan paparan terhadap substasi toksik yang
mendorong respon inflamasi berat. Misalnya inhalasi dari gas toksis seperti amonia atau aspirasi
kandungan asam lambung, meskipun masalah selanjutnya sering diperberat dengan adanya
aspirasi bakteri. Respon imun pada traktus respirasi akan memicu inflamasi, perubahan destruksi ,
dan dilatasi bronkial. Mekanisme ini mendasari bronchiectasis with allergic bronchopulmonary
aspergillosis (ABPA), akibat respon imun terhadap organisme aspergilus yang telah berkoloni di
saluran napas. Bronkiektasis dengan ABPA sering melibatkan traktus respirasi proksimal dan
berhubungan dengan impkasi mukoid.
Bronkiektasis juga jarang terjadi pada kolitis ulseratif, arthtritis rheumatoid, dan sindrom
Sjogren, tapi masih tidak diketahui apakan respon imun memicu inflamasi traktus respirasi pada
pasien-pasien ini.
Pada defisiensi alpha-1-antitripsin, komplikasi umum respirasinya adalah
perkembangan dini emfisema panasinar, namun pasien tersebut juga mungkin mengalami
bronkiektasis. Pada yellow nail syndrome, akibat hipoplasia limfatik, triad limfedema, efusi pleura,
dan diskolorisasi kuning pada kuku disertai dengan bronkiektasis pada kurang leih 40% pasien.
Manifestasi klinis
Umumnya pasien menunjukkan batuk produktif yang persisten dan berulang. Hemoptisis
terjadi pada 50-70% kasus dan bisa berasal dari mukosa traktus yang mengalami inflamasi dan
rapuh. Lebih signifikan, perdarahan masif merupakan konsekuensi perdarahan dari arteri bronkial
yang mengalami hipertrofi. Ketika infeksi spesifik mengawali suatu bronkiektasis, pasien
menunjukkan gejala pneumonia berat diikuti dengan batuk kronis dan produksi sputum.
Sebaliknya, pasien tanpa awalnya yang demikian menunjukkan gejala yang tidak khas. Pada
beberapa kasus, pasien bisa menunjukkan asimptomatik atau batuk yang tidak produktif, sering
dikaitkan dengan bronkiektasis kering di lobus superior. Dispnea ataupun wheezing secara umum
menggambarkan adanya bronkiektasis yang luas atau penyakit dasar obstruksi kronis pada pulmo.
Dengan adanya eksaserbasi infeksi, jumlah sputum semakin meningkat menjadi semakin purulen
dan biasanya semakin rentan berdarah, dan pasien menjadi demam. Episode demikian terjadi
akibat eksaserbasi infeksi pada traktus respirasi, namun terkait dengan infiltrat parenkim
terkadang menunjukkan adanya pneumonia.
Pemeriksaan fisik
TREATMENT
Therapy has four major goals: (1) elimination of an identifiable underlying
problem; (2) improved clearance of tracheobronchial secretions;
(3) control of infection, particularly during acute exacerbations;
and (4) reversal of airflow obstruction. Appropriate treatment should
be instituted when a treatable cause is found, for example, treatment
of hypogammaglobulinemia with immunoglobulin replacement, tuberculosis
with antituberculous agents, and ABPA with glucocorticoids.
Secretions are typically copious and thickand contribute to the
symptoms. A variety of mechanical methods and devices accompanied
by appropriate positioning can facilitate drainage in patients with copious
secretions. Mucolytic agents to thin secretions and allow better
clearance are controversial. Aerosolized recombinant DNase, which
decreases viscosity of sputum by breaking down DNA released from
neutrophils, has been shown to improve pulmonary function in cystic
fibrosis, but similar benefits have not been found with bronchiectasis
due to other etiologies.
Antibiotics have an important role in management. For patients
with infrequent exacerbations characterized by an increase in quantity
and purulence of the sputum, antibiotics are commonly used only during
acute episodes. Although choice of an antibiotic may be guided
by Grams stain and culture of sputum, empiric coverage (e.g., with
ampicillin, amoxicillin, trimethoprim-sulfamethoxazole, or cefaclor) is
often given initially. When P. aeruginosa is present, oral therapy with
a quinolone or parenteral therapy with an aminoglycoside or thirdgeneration
cephalosporin may be appropriate. In patients with chronic
purulent sputum despite short courses of antibiotics, more prolonged
courses, e.g., with an oral antibiotic or inhaled aminoglycosides, or
intermittent but regular courses of single or rotating antibiotics have
been used.
Bronchodilators to improve obstruction and aid clearance of secretions
are particularly useful in patients with airway hyperreactivity and
reversible airflow obstruction. Although surgical therapy was common
in the past, more effective antibiotic and supportive therapy has largely
replaced surgery. However, when bronchiectasis is localized and the
morbidity is substantial despite adequate medical therapy, surgical resection
of the involved region of lung should be considered.
When massive hemoptysis, often originating from the hypertrophied
bronchial circulation, does not resolve with conservative therapy,
including rest and antibiotics, therapeutic options are either surgical
resection or bronchial arterial embolization (Chap. 30). Although
resection may be successful if disease is localized, embolization is
preferable with widespread disease. In patients with extensive disease,
chronic hypoxemia and cor pulmonale may indicate the need
for long-term supplemental oxygen. For selected patients who are disabled
despite maximal therapy, lung transplantation is a therapeutic
option.