Você está na página 1de 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat
memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan
pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan
pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang
universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup
dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan,
percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan
sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka
sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan
manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya.
Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita.
Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan
cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih,
bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau
membencinya.
Jika kenyataannya seperti itu, maka jelaslah bahwa sastra (cerpen) telah
berperan sebagai pemekat, sebagai karikatur dari kenyataan, dan sebagai
pengalaman kehidupan, seperti yang diungkapakan Saini K.M. (1989:49). Oleh
karena itu, jika cerpen dijadikan bahan ajar di kelas tentunya akan membuat
pembelajarannya lebih hidup dan menarik.
Tidak hanya itu, kiranya cerpen dengan segala permasalahannya yang
universal itu ternyata menarik juga untuk dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti
orang yang akan mengkajinya. Apalagi jika cerpen itu dikaitkan dengan kegiatan
pembelajaran di kelas. Seperti halnya kami mencoba mengkaji cerpen yang
dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Cerpen yang kami kaji itu
adalah sebuah cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.

Dipilihnya cerpen karya A.A. Navis tersebut bukan tanpa pertimbangan


atau alasan sebab cerpen ini memiliki keistimewaan (bagi kami) dibandingkan
dengan cerpen A.A.Navis yang lain atau cerpen yang ditulis pengarangpengarang yang lain. Keistimewaannya yaitu terletak pada teknik penceritaan
A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis
menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi
dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. Menurut hemat saya
hal seperti ini hanya ada dalam cerpen Langit Makin Mendung karya
Kipanjikusmin dan cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.
Akan tetapi, kedua cerpen ini tetap berbeda. Cerpennya Kipanjikusmin
muncul dengan membawa kehebohan yang luar biasa di kalangan umat Islam
sehingga harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan cerpennya A.A. Navis
muncul dengan membawa kejutan karena ceritanya menyindir pelaksanaan
kehidupan beragama secara luar biasa tajamnya. Di dalam cerpen Langit Makin
Mendung Tuhan dan malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali (meminjam
istilah Bahrum Rangkuti dalam Polemik H.B.Jassin, 1972:177). Sedangkan dalam
cerpen Robohnya Surau Kami tidak seperti itu. Itulah sebabnya cerpen A.A.
Navis tidak pernah berhadapan dengan hukum. Selain itu cerpen A.A.Navis ini
lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja keras sebab kerja keras
adalah bagian penting dari ibadah kita (Sapardi Djoko Damono dalam kata
pengantar Novel Kemarau karya A.A.Navis, 1992:vi).
Sementara itu, tujuan umum pengajaran sastra seperti yang tercantum
dalam kurikulum 1994 yaitu agar siswa mampu menikmati, memahami, dan
memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas
wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa. Lalu, di dalam rambu-rambunya pada butir 10 ditegaskan pula bahwa
pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk
mengapresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi nalaran, dan daya khayal,
serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan
demikian peran pelajaran sastra menjadi sangat penting.
Mengingat perannya yang sedemikian itu, maka terselenggaranya pembelajaran sastra yang menarik dan menyenangkan akan menjadi sebuah tuntutan

yang harus dipenuhi. Hal ini dimungkinkan karena pelajaran seperti ini akan
dapat mendidik siswa untuk dapat mengenal dan menghargai nilai-nilai yang
dijunjung oleh bangsanya, juga untuk dapat menghargai hidup, menikmati
pengalaman orang lain, serta dapat menemukan makna hidup dan kehidupan.
Bukankah karya sastra (cerpen) itu merupakan miniatur kehidupan manusia di
sekitar pembaca?.
Jadi, dengan mempelajari cerpen (sastra) berarti siswa diajak untuk
mempelajari manusia dan lingkungannya. Biasanya siswa akan sangat antusias
jika diajak untuk membicarakan atau mendiskusikannya juga akan mengeluarkan
segala pengalaman dan pengetahuannya.
Sayangnya, kendala pembelajaran itu sering terletak pada guru. Sebab,
masih saja guru yang terlalu mengandalkan LKS (Latihan Kerja Siswa), tidak
menyukai sastra, dan tidak bisa memilih bahan ajar yang tepat dan menarik untuk
seusia siswa yang dididiknya. Kenyataan inilah yang sering dianggap orang
sebagai kegagalan. Gagal karena siswa tidak memiliki daya apresiasi dan
kepekaan rasa serta tidak menyukai sastra.
Berangkat dari permasalahan yang sudah diuraikan di atas, saya mencoba
mengkaji keterkaitan cerpen dalam kegiatan pembelajaran dan berusaha
menemukan kemungkinan-kemungkinannya cerpen dijadikan bahan ajar di kelas.
Dengan harapan, hasil pengkajian ini dapat memberikan solusi dalam upaya
memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran apresiasi sastra (cerpen).

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan atas Unsur Intrinsik


Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan karya
sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan,
dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami itu
sebagai berikut:
1. Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan
gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang
mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti
ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya
terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi.
Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya
keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku
tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan
kepada Allah Subhanahu Wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain.
Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia
terkutuk. Umpan neraka. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin
Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku
bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari
tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku
puji-puji dia. Aku baca KitabNya. Alahamdulillah kataku bila aku menerima

karuniaNya. Astaghfirullah kataku bila aku terkejut. Masa Allah bila aku
kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia
terkutuk.
Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :
Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu
sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi
engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu
sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu
yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara
semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.
Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka
tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah
kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya
itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya
A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang.
2. Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan
sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluuh
cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh
pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi
yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok
persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita
pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian,
amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau
nasihat kepada pembacanya.
Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami
karya A.A. Navis adalah: Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh
terhadap apa yang kau miliki. Hal ini terdapat pada paragraf kelima halaman
delapan kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas

atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang


mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di
antaranya:
(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita
karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain.
Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 9.
Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua
menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau
imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama
aku berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada Tuhan .
dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita
pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah.
(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini
bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan
Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh
ketika dia disidang di akhirat sana:
Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak
teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan
tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orangorang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia
sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke Mekkah
dan bergelar Syekh pula ( Hlm. 12 13 ).
Tidak hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:
(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan
mencelakakan diri pemakainya.
3. Latar

Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk,


pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu
peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar
sosial.
Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah,
bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang
ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat
pasar, di surau, dan sebagainya :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri
jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan
sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang
yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti
akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya
mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (hlm. 1 )
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan
dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat
atau contoh yang lainnya seperti berikut :
Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, ..di Akhirat Tuhan Allah
memeriksa orang-orang yang sudah berpulang . (hlm. 10)
Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu,
misalnya:
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang
mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh

Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm.

Sedari mudaku aku di sini, bukan ?. (hlm.10)


Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat,
kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan
bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
4. Alur (plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwaperistiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian
tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur.
Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan
bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti
berikut.
Bagian Awal
Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas
dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan
informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi
cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek
yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang
diungkapkan pada data berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku . akan
Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah
ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai
garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah
yang dipungutnya sekali sejumat. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat

dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orangorang mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia
lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan
pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak
pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta
tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai
imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok,
kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan
terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).
Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu
bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan.
Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan
segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan
tinggallah surau itu tanpa penjaganya .
Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang
mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari
kian cepat berlangsungnya . (hlm.

Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai
bergerak dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan
menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa
terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan suatu
cerita.
Bagian Tengah
Meskipun

ketidakstabilan

dalam

cerita

memunculkan

suatu

pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan

itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang
muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya
menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang
tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:
Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak
dapat disangkal kebenarannya. (hlm .

Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang
berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu
dengan si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.
Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak
menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah
ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak
kelapa sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua
berserakan di sekitar kaki Kakek. (hlm.

Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik


Konplik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku
menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab
munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan pemilih pisau itu.
Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia
begitu geramnya bahkan mengancam.
Kurang ajar dia. Kakek menjawab.
Kenapa ?

Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok


tenggorokannya. (hlm. 9)
Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan
kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya
di hadapan tokoh aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.
Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk
menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang
diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa ringan.
Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya,
klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat
membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan
(surprise). Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orangorang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara
mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia
berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui
istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu
aku tanya dia. Ia sudah pergi, jawab istri Ajo Sidi.
Tidak ia tahu Kakek meninggal ?
Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek
tujuh lapis.
Dan sekarang, tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala
peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung
jawab, dan sekarang ke mana Dia ?
Kerja.
Kerja ? Tanyaku mengulang hampa

Ya. Dia pergi kerja. (hlm. 16-17).


Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan
pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang yang tidak bertanggung jawab?
Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh istrrinya untuk
membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di
mana salahnya?
Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini
dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur flash back (sorot balik).
Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya,
yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis. Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau
tua. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua. Orangorang memanggilnya kakek Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia
sudah meninggal. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah
dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya
(hlm.7-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku
berkata apa aku tak pergi menjenguk. Siapa yang meninggal? Tanyaku
kaget.
Kakek.
Kakek? (hlm.16).
Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan
perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokohtokohnya sebagai berikut.
a. Tokoh Aku
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa
mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok
lehernya dengan pisau. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang
yang ingin tahu perkara orang lain. Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya.
Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah

yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi:
Apa ceritanya, kek ?
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi
memuncak. Aku tanya lagi kakek : Bagaimana katanya, kek ?.(hlm.9).
Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara, kataku seraya ceepat-ceepat
meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke
rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
(hlm.16).
b. Ajo Sidi
Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat
menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut
sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku.
Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang
hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu
bualannya selalu mengena. Data untuk ini seperti berikut.
.Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia.
Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi
bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang
hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya.
Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelakupelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang
di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya.
(hlm.8-9)
.
Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta
kerja.
c. Si Kakek
Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si
pengarang tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan
gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu
mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.

Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita
Ajo Sidi. Padahal yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si
kakek hal itu seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal
dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi.
Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi
hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia segera
mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri
sendiri digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:
Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak,
punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku
sendiri(hlm.10).
d. Haji Saleh
Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek
atau menyindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh
penciptanya dan karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas
dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri
sendiri.
6. Titik Pengisahan
Yang dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang
dalam cerita tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam
cerita iu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
Di dalam cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan
dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung
pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar.(hlm.7).
Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira
menerimaku, karena aku suka memberinya uang.(hlm.8).

Akan tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku,
dan cerita ini diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan
dirinya sebagai tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita
akan tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin
menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan kata Aku.
Walaupun begitu kata Aku ini merupakan kata ganti orang pertama pasif.
Engkau ?
Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.

lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh tokoh dongengan Ajo
Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal
cerita.
5. Gaya
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut
sebagai cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau
sebagai cara pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya
merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan
kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan.
Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang
biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah
Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat,
Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa,
menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh,
dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Selain ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol
yang terdapat dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya
Surau Kami. Suaru di sini merupakan simbol kesucian, keyakinan. Jadi,
melalui simbol ini sebenarnya pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca

bahwa kesucian hati atau keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah
roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi
suci hatinya. Mereka sudah menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan
pangkat. Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap Tuhan dan
agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini tidak hanya tenggelam dalam KKN
dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta
dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan kelompoknya.
Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas
alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang,
yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya
menggunakan majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas alegori)
karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum
dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini
Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas
Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: Dan yang terutama ialah sifat
masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak
dijaga lagi (hlm.8). Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini.
Dengan demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau
menasehati sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan
ejekannya itu ternyata berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak
lama kemudian cerpen ini mendapat tempat di hati pembacanya dan masih
terus dibicarakan hingga kini.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Nvis ini memang sebuah sastra
(cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan
kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut.
1. Unsur-unsur Intrinsik
a. Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi
keluarganya.
b. Amanat
Amanat cerpen ini adalah :
1) jangan cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.
c. Latar

Latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar
sosial.
d. Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa
yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya
berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir
bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
e. Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek,
dan Haji Soleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan
mempercayai orang lain.
4) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
f. Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama
(akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu
pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji
Soleh di depan tokoh aku.
g. Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan
majas alegori, dan sinisme.
2. Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok
/layak jika dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa

yang digunakannya bisa dipahami oleh siswa SMU, konflik psikologis tokohtokohnya pun tidak terlalu sulit untuk dipelajari, selain itu konflik-konflik
psikologis yang dimunculkan, masih sesuai dengan perkembangan psikologis dan
pemikiran siswa SMU, dan latar budaya yang ditampilkannya pun masih tampak
umum sehinga siswa yang berlatar belakang budaya Islam, Kristen, Hindu, dan
Budha pun dapat menerimanya. Selain kriteria ini, guru pun harus membaca
terlebih dahulu sebelum pembelajaran dimulai begitu pula dengan siswanya.
Namun, jangan sekali-kali membaca ringkasan cerpen tersebut tanpa pernah
membaca cerita itu seluruhnya. Juga, guru harus kreatif ketika sedang
membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus mampu membangkitkan minat
dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis meyarankan sebagai berikut.
1. Saran untuk guru
- Guru yang sudah berani menetapkan cerpen sebagai bahan pembelajaran sastra
harus pula membacanya berkali-kali agar memahami isinya.
- Di dalam kegiatan pembelajaran, guru harus mampu membangkitkan minat dan
rasa ingin tahu siswa terhadap cerita tersebut kemudian mengarahkannya ke
dalam pengalaman siswa sehingga ketika siswa membahas cerita itu,
bahasannya benar-benar berdasarkan pengalaman siswa.
- Pemilihan bahan/materi pembelajaran sastra yang berbentuk cerpen sebaiknya
mengikuti kriteria yang ada, yaitu bagaimana bahasanya, bagaimana
kesesuaian psikologisnya, baik untuk tokoh cerita maupun pembacanya yang
duduk di tingkat SMU, dan bagaimana latar budaya yang dimunculkan dalam
cerita itu ? Tentu saja hal ini dilakukan guru sebelum pembelajaran dimulai.
2. Saran untuk siswa
- Sebaiknya siswa harus membaca cerpennya secara utuh berkali-kali agar
memahami isinya.
- Selain itu, baca pula buku-buku yang mengulas isi cerpen itu jika ada.
- Berdiskusilah dengan penuh minat dan perhatian agar manfaat sastra bisa
dirasakan
- Jika mungkin dan sempat, ikutilah setiap seminar atau diskusi sastra di manapun.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi.1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:


Rineka Cipta.
Badudu, J.S. 1979. Sari Kesusasteraan Indonesia Jilid 2. Bandung: Pustaka Prima.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.1994. Metode Penelitian Seni Budaya Jakarta: Dinas
Kebudayaan DKI Jakarta.
Esten, Mursal. 1984. Kesusastraan: Pengantar teori dan sejarah. Bandung: Angkasa.
Haryati, A. dan Winarto Adiwardoyo.1990. Latihan Apresiasi dan Sastra. Malang:
Yayasan A3 Malang.
Hoerip, Satyagraha.1984. Cerita Pendek Indonesia 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat, edisi ketiga. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Prima.
Lubis, Mochtar. 1980. Teknik Mengarang. Jakarta : Kurnia Esa.
Sayuti, Suminto A.2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media.
Sukada, Made.1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika
Analisis Struktur Fiksi. Bandung : Angkasa.
Suroto.1989. Teori dan Pembimbingan Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMU. Jakarta
: Erlangga.
Tarigan, Henri Guntur.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Você também pode gostar