Você está na página 1de 13

ANALISIS ESTETIKA TARI GANDRUNG BANYUWANGI

MAKALAH
guna memenuhi tugas mata kuliah Estetika yang diampu oleh
Dra. Sunarti Mustamar, M.Hum.

oleh:
Utami Retno Wulandari
NIM. 130110201056

JURUSAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS JEMBER
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Estetika merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang keindahan,
dimana keindahan yang dimaksud yakni keindahan yang tercipta dari panca indra.
Semua hal yang berhubungan tentang keindahan dapat dikatakan memiliki nilai
estetis, begitu juga sebaliknya. Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari
aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam
masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan.
Tari adalah gerak tubuh secara berirama yang dilakukan di tempat dan
waktu tertentu untuk keperluan pergaulan, mengungkapkan perasaan, maksud, dan
pikiran. Bunyi-bunyian yang disebut musik pengiring tari mengatur gerakan
penari dan memperkuat maksud yang ingin disampaikan. Gerakan tari berbeda
dari gerakan sehari-hari seperti berlari, berjalan, atau bersenam. Menurut jenisnya,
tari digolongkan menjadi tari rakyat, tari klasik, dan tari kreasi baru.
Kabupaten Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur,
Indonesia. Ibu kotanya adalah Banyuwangi. Kabupaten ini terletak di ujung paling
timur pulau Jawa, di kawasan Tapal Kuda, dan berbatasan dengan Kabupaten
Situbondo di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan serta Kabupaten
Jember dan Kabupaten Bondowoso di barat. Kabupaten Banyuwangi merupakan
kabupaten terluas di Jawa Timur sekaligus menjadi yang terluas di Pulau Jawa,
dengan luas wilayahnya yang mencapai 5.782,50 km2, atau lebih luas dari Pulau
Bali (5.636,66 km2). Di pesisir Kabupaten Banyuwangi, terdapat Pelabuhan
Ketapang, yang merupakan perhubungan utama antara pulau Jawa dengan pulau
Bali (Pelabuhan Gilimanuk).
Banyuwangi merupakan kota yang terkenal akan budaya dan wisata
alamnya. Tari Gandrung Banyuwangi adalah salah satu jenis tarian yang berasal
dari kota kaya akan budaya ini. Kata "Gandrung" diartikan sebagai terpesonanya
masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang
membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Tarian Gandrung Banyuwangi
dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen.
Sesuai dengan definisi estetika diatas, yang akan dibahas dalam makalah
ini yakni estetika dari Tari Gandrung Banyuwangi. Dimana, dalam makalah ini
mengkaji keindahan-keindahan yang terdapat dalam Tari Tradisional asal
Banyuwangi ini. Estetika yang dikaji mulai dari gerakan, atribut sampai simbolsimbol yang terdapat pada tari gandrung banyuwangi.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan penulis kaji dalam makalah ini yakni:
1) Apa definisi estetika?
2) Bagaimana estetika dari Tari Gandrung Banyuwangi?
1.3 Tujuan
Tujuan merupakan sesuatu hal yang ingin dicapai. Tujuan penulis dalam
penulisan makalah ini yakni:
1) Untuk mendeskripsikan definisi dari Estetika.
2) Untuk mendeskripsikan estetika yang terdapat dalam Tari Gandrung
Banyuwangi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Estetika
Menurut Ratna, (2007:2) estetika merupakan bagian dari filsafat
(keindahan), diturunkan dari pengertian presepsi indera (perception). Secara
etimologis (Shipley dalam Ratna, 2007:3) estetika berasal dari bahasa Yunani,
yaitu: aistheta, yang juga diturunkan dari aisthe (hal-hal yang dapat ditanggapi
dengan indra, tanggapan indra). Pada umumnya, aisthe dioposisikan dengan
noeta, dari akar noein, nous, yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan pikiran.
Dalam pengertian yang lebih luas berarti kepekaan untuk menanggapi suatu objek,
kemampuan pencerapan indra, sebagai sensitivitas. Dalam bahasa inggris menjadi
aesthetics atau esthetics (studi tentang keindahan). Orang yang sedang menikmati
keindahan disebut aesthete, sedangkan ahli keindahan disebut aesthetician. Dalam
bahasa Indonesia menjadi estetikus, estetis, dan estetika, yang masing-masing
berarti orang yang ahli dalam bidang keindahan, bersifat indah, dan ilmu atau
filsafat tentang keindahan, atau keindahan itu sendiri.
Menurut KBBI, estetika adalah cabang filsafat yang menelaah dan
membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya, dan
kepekaan terhadap seni dan keindahan. Sedangkan menurut Wikipedia, estetika
adalah salah satu cabang filsafat yang membahas keindahan. Estetika merupakan
ilmu membahas bagaimana keindahan bisa terbentuk, dan bagaimana supaya
dapat merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah
filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris yang kadang dianggap sebagai
penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat
dekat dengan filosofi seni.
Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam
membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan
turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan. Perkembangan lebih lanjut
menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia
berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh
pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan,
yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi
standar keindahan, dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi
standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk, namun jika
dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan. Keindahan
seharusnya sudah dinilai saat karya seni pertama kali dibuat, namun rumusan
keindahan pertama kali didokumentasi oleh filsuf Plato yang menentukan
keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles
menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan.

Sesuai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Estetika merupakan


sebuah ilmu yang mempelajari tentang keindahan, dimana keindahan yang
dimaksud yakni keindahan yang tercipta dari panca indra. Semua hal yang
berhubungan tentang keindahan dapat dikatakan memiliki nilai estetis, begitu juga
sebaliknya. Semua benda di bumi ini memiliki nilai estetika tersendiri-sendiri.
Estetika yang dimaksud disini adalah pencerminan dari benda itu sendiri yang
membuatnya tampak indah dan berbeda dari benda yang lain. Semua hal yang
indah, itulah estetika.
2.2 Estetika Tari Gandrung Banyuwangi
Gandrung Banyuwangi adalah salah satu jenis tarian yang berasal dari
Banyuwangi, Jawa Timur. Kata "Gandrung" diartikan sebagai terpesonanya
masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang
membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Tarian Gandrung Banyuwangi
dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen.
Kesenian ini masih satu genre dengan seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di
Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas dan
Joged Bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional
yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan).
Gandrung merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas
perpaduan budaya Jawa dan Bali. Tarian dilakukan dalam bentuk berpasangan
antara perempuan (penari gandrung) dan laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan
paju.
Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer
di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah
menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu
diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota
Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah
Banyuwangi. Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti
perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak
resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan,
pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga
menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).
Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan
tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaaan Blambangan) yang
tampak:
1. Bagian Tubuh, busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari
beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta
manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher
hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan
terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah

dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masingmasing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan
ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni
sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.
2. Bagian Kepala, kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang
disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi
ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena,
(putra Bima) yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta
menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau
ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah
terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an,ornamen ekor
Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang
sekarang ini. Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna
perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta
ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya.
Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi
kesan magis.
3. Bagian Bawah, penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak
bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta
menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuhtumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri
khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak
memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung
selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.
Berbicara masalah personil kesenian gandrung tidak bisa kita terlepas dari
personil musik pengiring. Karena hal ini sudah menjadi satu kesatuan dan
berbentuk dalam satu organisasi kesenian yang berhak pula mendapatkan Kartu
Induk Kesenian dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Personil
musik pengiring pada mulanya hanya terdiri dari sebuah rebab, kendang, gong,
kempul dan kluncing. Dalam perkembangan selanjutnya tidak banyak mengalami
perbedaan. Musik pengiring kesenian gandrung baik terdiri dari :
1. Biola
Dua buah biola dengan dua orang penggesek pada biola yang biasa kita
dapati pada musik orkes keroncong. Sudah tentu teknis penggesekan serta
penyajian lagu yang di bawakannya sesuai dengan tradisi daerahnya.
2. Gendang
Terdiri dari sebuah atau dua buah kendang dengan seorang pemukul
kendang. Peralatan kendang semacam peralatan pokok yang mampu menyatu
ritme serta tempo penampilanya di samping memberikan keharmonisan penari itu
sendiri dengan seorang pengendang.

3. Kenong
Dengan penabuh yang biasa disebut kethuk. Penampilan kethuk ini
menambah manisnya irama gending yang dibawakannya.
4. Kluncing
Seorang penabuh kluncing mempunyai peran rangkap. Di samping penabuh
peralatan, juga berfungsi sebagai pengundang atau pembimbing Gandrung dalam
penampilannya.
5. Gong dan Kempul
Seorang penabuh gong dan kempul sebagai pemanis suara indah pada akhir
suatu gending.
Kelima peralatan musik gandrung itu merupakan suatu kesatuan yang tak
dapat dipisahkan. Satu peralatan saja yang tidak ditemui dalam penyajiannya,
bukan lagi Gandrung namanya, ciri khas ketradisionalannya menjadi hilang.
Karena itu enam personil pemain musik tersebut merupakan satu kesatuan yang
utuh

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sesuai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Estetika merupakan
sebuah ilmu yang mempelajari tentang keindahan, dimana keindahan yang
dimaksud yakni keindahan yang tercipta dari panca indra. Semua hal yang
berhubungan tentang keindahan dapat dikatakan memiliki nilai estetis, begitu juga
sebaliknya. Semua benda di bumi ini memiliki nilai estetika tersendiri-sendiri.
Estetika yang dimaksud disini adalah pencerminan dari benda itu sendiri yang
membuatnya tampak indah dan erbeda dari benda yang lain. Semua hal yang
indah, itulah estetika.
Gandrung Banyuwangi adalah salah satu jenis tarian yang berasal dari
Banyuwangi, Jawa Timur. Kata "Gandrung" diartikan sebagai terpesonanya
masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang
membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Tarian Gandrung Banyuwangi
dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen. Tata
busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian
Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaaan Blambangan) yang tampak: 1) Bagian
Tubuh, busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna
hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat
dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak
dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilatilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian
lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang
dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni
sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu. 2) Bagian Kepala,
kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari
kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta
diberi ornamen tokoh Antasena, (putra Bima) yang berkepala manusia raksasa
namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Dan 3)
Bagian Bawah, penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak
bermacam-macam. Dibagian kaki, penari gandrung selalu memakai kaus kaki
putih dalam setiap pertunjukannya.

Daftar Pustaka
Wikipedia.
Gandrung
Banyuwangi.
09
https://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi

Juni

2016.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Wikipedia. Estetika. 09 Juni 2016. https://id.wikipedia.org/wiki/Estetika
KBBI. Estetika. 09 Juni 2016. http://kbbi.web.id/estetika

LAMPIRAN
Sejarah Gandrung
Kesenian gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabadnya
hutan Tirtagondo (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan
pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas prakarsa Mas Alit yang dilantik sebagai
bupati pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulupangpang Demikian antara lain yang
diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu.
Mengenai asalnya kesenian gandrung Joh Scholte dalam makalahnya
antara lain menulis sebagai berikut: Asalnya lelaki jejaka itu keliling ke desa-desa
bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang dan sebagai
penghargaan mereka diberi hadiah berupa beras yang mereka membawanya di
dalam sebuah kantong. (Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab Gandrung
Lelaki).
Apa yang ditulis oleh Joh Scholte tersebut, tak jauh berbeda dengan cerita
tutur yang disampaikan secara turun-temurun, bahwa gandrung semula dilakukan
oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan
beberapa rebana (terbang). Mereka setiap hari berkeliling mendatangi tempattempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Balambangan sebelah timur (dewasa ini
meliputi Kab. Banyuwangi) yang jumlahnya konon tinggal sekitar lima ribu jiwa,
akibat peperangan yaitu penyerbuan Kompeni yang dibantu oleh Mataram dan
Madura pada tahun 1767 untuk merebut Balambangan dari kekuasaan Mangwi,
hingga berakirnya perang Bayu yang sadis, keji dan brutal dimenangkan oleh
Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772. Konon jumlah rakyat yang tewas,
melarikan diri, tertawan, hilang tak tentu rimbanya atau di selong (di buang) oleh
Kompeni lebih dari enam puluh ribu jiwa. Sedang sisanya yang tinggal sekitar
lima ribu jiwa hidup telantar dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan
terpencar cerai-berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan banyak yang belindung
di hutan-hutan, terdiri dari para orang tua, para janda serta anak-anak yang tak lagi
punya orang tua.(telah yatim piyatu) dan selain itu ada juga yang melarikan diri
menyingkir ke negeri lain. Seperti ke Bali, Mataram, Madura dan lain sebagainya.
Setelah usai pertunjukan gandrung menerima semacam imbalan dari
penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi lainnya dan sebagainya. Dan
sebenarnya yang tampaknya sebagai imbalan tersebut, merupakan sumbangan
yang nantinya dibagi-bagikan kepada mereka yang keadaannya sangat
memprihatinkan dipengungsian dan sangat memerlukan bantuan, baik mereka
yang mengungsi di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup dihutanhutan dengan segala penderitaannya walau peperang telah usai.
Mengenai mereka yang bersikeras hidup di hutan dengan keadaannya yang
memprihatinkan tersebut, disinggung oleh C. Lekerkerker yang menulis beberapa
kejadian setelah Bayu dapat dihancurkan oleh gempuran Kompeni pada tanggal

11 Oktober 1772, antara lain sebagai berikut; Pada tanggal 7 Nopember 1772,
sebanyak 2505 orang lelaki dan perempuan telah menyerahkan diri ke Kompeni,
Van Wikkerman mengatakan bahwa Schophoff telah menyuruh menenggelamkan
tawanan laki-laki yang dituduh mengobarkan amuk dan yang telah memakan
dagingnya dari mayatnya Van Schaar. Juga dikatakan bahwa orang-orang Madura
telah merebut para wanita dan anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari
mereka yang berhasil melarikan diri kedalam hutan telah meninggal karena
kesengsaraan yang dialami mereka. Sehingga udara yang disebabkan mayat-mayat
yang membusuk sampai jarak yang jauh. Yang lainnya menetap dihutan-hutan
seperti; Pucang Kerep, Kali Agung, Petang dan sebagainya. Dan mereka bersikap
keras tetap tinggal dalam hutan dengan segala penderitaannya.
Berkat munculnya gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat perjuang dan
yang setiap saat acap kali mengadakan pagelaran dengan mendatangi tempattempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat yang hidup bercerai-berai di pedesaan, di
pedalaman dan bahkan sampai yang masih menetap di hutan-hutan dengan
keadaannya yang memprihatinkan, kemudian mereka mau kembali kekampung
halamannya semula untuk memulai membentuk kehidupan baru atau sebagaian
dari mereka ikut membabat hutan Tirta Arum yang kemudian tinggal di ibukota
yang baru di bangun atas prakarsa Mas Alit. Setelah selesai ibu kota yang baru
dibangun dikenal dengan nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama
hutan yang dibabad (Tirta-arum). Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa
tujuan kelahiran kesenian ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah
dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun kembali bumi
Belambangan sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan
Kompeni (yaitu yang dewasa ini meliputi Daerah Kabupaten Banyuwangi).
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung
Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun
1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang
cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga
kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti Kadhung
sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing (Bila kamu sembuh,
saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi
sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya
gandrung oleh wanita.
Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para
lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927),
instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang.
Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun, gandrung laki-laki ini lambat laun
lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam
melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun,

tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian
penari terakhirnya, yakni Marsan.
Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur
para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan
pembabatan hutan yang angker.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik
perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama
panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi
dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan
oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an
mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang
mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di
samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke20.
Foto-foto Tari Gandrung Banyuwangi

(Gambar atribut gandrung)

Pada tanggal 30 September 2015, Fakultas Ilmu Budaya Universitas


Jember mengadakan acara Pekan Chairil Anwar. Alhamdulillah, penulis
berkesempatan untuk menarikan tarian khas Banyuwangi ini pada acara Pekan
Chairil Anwar tersebut.

Você também pode gostar