Você está na página 1de 342

239

ELEKTROKARDIOGRAFI
Sunoto Pratanu, M. Yamin, Sjaharuddin Harun

PENDAHULUAN

dirangsang, sifat permeabel membran berubah sehingga

Sejak Einthoven pada tahun 1903 berhasil mencatat

ion Na* masuk ke dalam sel, yang menyebabkan potensial


membran berubah dari -90 mV menjadi +20 mV (potensial
diukur intraselular terhadap ekstraselular). Perubahan

potensial listrik yang terjadi pada waktu jantung

potensial membran karena stimulus

berkontraksi, pemeriksaan eleklrokardiogram @KG) menjadi


pemeriksaan diagnostik yang penting. Saat ini pemeriksaan
jantung tanpa pemeriksaan EKG dianggap kurang lengkap.

ini

disebut

depolarisasi. Setelah proses depolarisasi selesai, maka


potensial membran kembali mencapai keadaan semula,
yang disebut proses repolarisasi.

Beberapa kelainan jantung sering hanya diketahui


berdasarkan EKG saja. Tetapi sebaliknya juga. jangan
memberikan penilaian yang berlebihan pada hasil
pemeriksaan EKG dan mengabaikan anamnesis dan

PotensialAksi
Bila kita mengukur potensial listrik yang terjadi dalam sel
otot jantung dibandingkan dengan potensial di luar sel,
pada saat sel mendapat stimulus, maka perubahan
potensial yang terjadi sebagai fungsi dari waktu, disebut

pemeriksaan fisik. Keadaan pasien harus diperhatikan


secara keseluruhan, misalnya umur, jenis kelamin, berat
badan, tekanan darah, obat-obat yang diminum, dan
sebagainya. EKG adalah pencatatan grafis potensial listrik
yang ditimbulkan oleh jantung pada waktu berkontraksi.

potensial aksi. Kurva potensial aksi menunjukkan


karakteristik yang khas dan dibagi menjadi 4 fase yaitu:
Fase 0: awal potensial aksi yang berupa garis vertikal ke
atas yang merupakan lonjakan potensial hingga mencapai
+20 mV Lonjakan potensial dalam daerah intraselular ini
disebabkan oleh masuknya ion Na+ dari luar ke dalam sel.

KONSEP DASAR ELEKTROKARDIOGRAFI

Sifat-sifat Listrik Sel Jantung

Fase 1: masa repolarisasi awal yang pendek, di mana


potensial kembali dan +20 mV mendekati 0 mV.

Sel-sel ototjantung mempunyai susunan ion yang berbeda


antara ruang dalam sel (intraselular) dan ruang luar sel

Fase 2: fase datar di mana potensial berkisar pada 0 mV.


Dalam fase ini terjadi gerak masuk dari ion Ca** untuk
mengimbangi gerak keluar dari ion K*.

(ekstraselular). Dari ion-ion ini, yang terpenting ialah ion


Natrium (Na*) dan ion Kalium (Kt). Kadar K* intraselular

sekitar 30 kali lebih tinggi dalam ruang ekstraselular

Fase 3: masa repolarisasi cepat dimana potensial kembali


secara tajam pada tingkat awal yaitu fase 4.

daripada dalam ruan g i ntraselul ar.

Membran sel otot jantung ternyata lebih permeabel


untuk ion negatif daripada untuk ion Na*. Dalam keadan
istirahat, karena perbedaan kadar ion-ion, potensial

Sistem Konduksi Jantung


Pada umumnya, sel otot jantung yang mendapat stimulus
dari luar, akan menjawab dengan timbulnya potensial aksi,
yang disertai dengan kontraksi, dan kemudian repolarisasi
yang disertai dengan-relaksasi. Potensial aksi dari satu

membran bagian dalam dan bagian luar tidak sama.


Membran sel otot jantung saat istirahat berada pada
keadaan polarisasi,dengan bagian luar berpotensial lebih

positif diban dingkan dengan bagian dalam. Selisih


ini disebut potensial membran, yang dalam

sel otot jantung akan diteruskan ke arah sekitarnya,


sehingga sel-sel otot jantung di sekitarnya akan

potensial

keadaan istirahat berkisar -90 mV. Bila membran otot jantung

t52

L524

KAR.DIOLOGI

mengalami juga proses eksitasi, kontlaksi. dan relaksasi.


Fenj al aran peristi wa iistrik i rri di sebut konduksi .
Beriainan dengan sel-sel jantung biasa, dalam.jantung

teldapat kunrpulan sel-sel jantung khLrsus yang


mempunyai sii'at dapat rnenimbulkan potensial aksi sendiri
tanpa ardanya stirrulus dari luar. Sifat sel-sel ini discbut
sifat automatisitas. Sel-sel ini terkunipul dalam suilu sistenr
1,ang clisebut sistem konduksi jantung.
Sistem kondr-rksi jantung terdiri atas :
Simpul Sinoatrial (sering disebut nodus sinus, disingkat
sinus). Sinrprll ini terletak pada batas antara vena kava su-

Sistem konduksi intra atrial. Akhir-akhir ini dianggap


bahwa dalarr-r atrium terdapat jalLrr-jaiur khLlsus sistern
konduksi jantung 1,ang terdiri dari 3 jalur internodal yang
menghubur.r-ekan simi:rul sino-atrial dan sirnpul atrioventrikular, dan jalur Bachman yang rlenghubungkan
atr-iur.n kanan dan

atriurlkiri.

Simpul ario-ventrikular (sering disebut nodus


atrioventrikular disingkat nodus). Simpu! ini terletak di
bagian bawah atrium kanan. antirra sinus koronarius dan
daurr katup trikuspid bagian septal.
Berkas His. Berkas His adaiah sebuah berkas pendek

perior dan atriunr kanan. Simpul ini mempLrnyai sifat

yang merupakan kelanjutan bagian bawah simpul

alrtomatisitas yang tertinggi daiam sistem konduksi jlntung.

atrioventrikuiar yang rnenernbus anulus fibrosLrs dan septum brigian membrau. Sinrpr-rl atriorenirikular bersarra
berkas IIis disebut penghubung aino-ventrikular'.

Cabang berkas. Ke arah distal, berkas His bercabang


menjadi dua bagian, yaitLr caban-s berkas kiri dan cabang
berkas kanan. Cabang berkas kiri membelikan cabangcabang ke ventrikel kiri, sedangkan cabang berkas kanan
bercnbang-cabang ke alah ventrikel kanan.
Gamball. Sel otot jantung dalam keadaan isiirahat

membran

sel dalam keadaan polarisasi

K+

Na'

Fasikel. Cabang berkas kiri bcrcabang menjadi duabagian.


,v..aitu tasikel kiri anterior dan fasikel kiri posterior.

Serabut purkinje. Bagian terakhir clari sisterr konduksi


jantLrng ialah serabut-serabut PLrrkinje. yang merupakan
anyaman halus dan berhubungan erat dengan sel-sel otot
0mV

Gambar 2. Sel otot jantung mengalami aktivasi, membran sel


dalam keadaan depolarisasi

Jantun-9.

Pengendalian Siklus Jantung


Pengendali utama siklus iantung ialah simpul sinus yang

mengawali tirnbulnl,a potensial aksi yang diteruskan


melalui atriunr kanan dan kiri menuju -qimptrl AV, tertLs ke
berkas His. selanjutnva kc cabang berkas kanan dan kiri.
dan akhirn_va nrencapai serabut-serabLrt Purkinje.

lmpuls listrik yang ditemskan melalLri atlium


:st:r:hat
'1.',,ai-isasi)

(d

klir'asi

olarrsasi)

Reoo,arrsa:r

Garnhar 3. Proses aktivasi otot jantung Suatu stimulus listrik


menyebabkan aktivasi yang disusul dengan repolarisasi

S mpul SA

Jalur bachman
Ja ur-jalur internodal

SLmpulAV

Berkas HIS
Cabang be.kas kiri
Cabang berkas kanan
Fasikel kin oosterior
Fasikel kirl anierior

Serabut Purkinj--

Garnbar 4. Sistem konduksi jantung

rrenvebabkan depolarisasi atrium. sehingga terjadi sistol

atrium. Impuls yang kemudian mcncapai simpul

AV,

mengalami perlambatan konduksi, sesuai dengan sifat


fisiologis simpul AV. Selanjutnya, impuls yang rnencapai
serabut-serabut Purkinje akan menyebabkan kontraksi
otot-otot ventrikel secara bersamaan sehingga terjadi
sistol ventrikel.
Karena merupakan pengendali utarna siklus jantung.
simpul sinus disehtrt pelnacu janlung utrlrna.

Gambaran Siklus Jantung pada


Elektrokardiograrn
Elektrokardiogram (EKC) adalah rekanran potensiel listrik
yang tinbul sebagai Lrkibat aktivitas iantung. Yan-e drLpat
clirekam adalah aktivitas lisLrik yang tim[rul pada waktu
otot-otol jantung berhontraksi. Sedangkan potensial aksi
pada sistem konduksi jantung tak terukur dari luar karena
terlalu kecil.

1525

FI F"KTROKAtrTDIOGRAFI

Rekaman EKG biasanya dibuat pada kertas yang


berjalan dengan kecepatan baku 25 mm/detik dan clet'leksi
l0 mm sesuai dengan potensial I m\l Ganrbaran EKG yang
normai menunjukkan bentuk dasar sbb:

Elektroda TKa selalu dihubungkan dengan bumi untuk


menjan.rin potensial nol yan-u sttrl-.i1.

Gelombang P. Gelombang ini pada umumnya berukuran


kecil dan mertLpakan hasil depolarisasi attiurr kanan dan
kiri.
Segmen PR. Segmen ini rnerupakan garis isoelekti'ik lrnpo
menghubungkan gelombang P dan gelombang QRS.

Gelombang Kompleks QRS. Gelombang kompleks QRS


ialah suatu kelompok gelombang yang merupakan hasll
depolarisasi verrtrikel kanan dan kiri. Celombang kompleks
QRS pada umumnya terdili dari gelombang Q yang
tnerupakan gelombang ke bawah iiang pefiama, gelornbang

R yang merupakan gelontbang ke atas yang pertama, dan


gelornbang S yang nerupakan geiombang ke bawah
pertama setelah gelombang R.

Gambar 6. Elektroda-elektroda ekstremitas

Segmen ST. Segmen ini merupakan garis isoelektrik yang


men-uhubungkan korrpleks QRS dan gelomban_u T.

Gelombang T. Gelombang

merupakan potensial

repolarisasi ventrikel kanan dan kiri.

Gelombang U. Gelombang ini berukuran kecil dan seling


tidak ada. Asal gelornbang ini masih belum jelas.
Gelomban-s \i an-s mcrupakan hasii repolarisasi ulriun.r
sering tak dapat dikeniili karena berLrkurar kecil dan
'biasanya

terbenam dalarn ge lornbang QRS. Kaclan-u-kaclang

gelombang repolarisasi atrir-rm ini bisa terlihat jelas pada


se-glrren PR atau ST. dan disebut
Ta.
-eelornbang

Elektroda-elektroda prekordial diberi nama-nama V I


srirnpai V6, dengan lokalisasi sebagai berikut:
Vl : garis parasternal kanan, pada interkostal lV
\2 : garis parasternal kiri, padainterkostal IV

\B : titik

tengah antara V2 dirn V4.

V4 : garis k1al'ikula tengah, pada interkostal V,


V-i : garis aksila depan. sama tinggi dengan V.1,
V6 : saris aksila tengah, sama tinggi dengan V:l dan VS.

Kadang-kadang cliperlLrkan elektroda-elektroda


prekordial sebelah kanan. yang disebut V3R. V,lR, VSR dan
V6R irang letaknya berseberangan clengan V3. V4, V5 dan
v6.

RR
RR

T
K avlku a
U

Kosta

Kosla li
PR

PP

Kosta ili
Kosta lV
Kosta V

Gambar 5. Bentuk dasar EKG dan nama-nama


interval

Kosta lV

Sandapan-sandapan pada Elektrokardiografi


Untuk nrembuat rekaman EKC. pada tubuh dilekatkan
elektroda-elektroda yang dapat men eruskan poten si al I i stri k
dari tubuh ke sebuah aiat pencatilt potensial yang disebut
elektrokardiograf. Pada rekarnan EKG yang konvensional
dipakai 10 bLrah elektroda, yaitu 4 blrah elektroda
ekstremitas dan 5 bLrah elektroda plekotdial. Elektrodaelektroda ekstremitas masing-masing dilekatkan pada:
lengan kanan (LKa), lengan kiri (LKi), tungkai kanarr (TKa),
tungkai kiri (TKi).

Gambar 7. Elektroda-elektroda prekordial

Sandapan Standard Ekstrernltas


Dari elektroda-elektroda ekstremitas diclapatkan
sandapan dengan rekaman potensial bipolar yaitu

o | = Poiensial LKi -Potensial LKa


o l] = Potensial LKa -Potensial TKi
. III = Potensial TKi -Potensial LKi

1526

I(ARDIOLOGI

Untuk mendapatkan sandapan unipolar, gabungan dari


sandapan I, II dan III disebut Terminal Sentral dan

dianggap berpotensial nol. Bila potensial dari suatu


elektroda dibandingkan dengan terrninal sentral, maka
didapatkan potensial mutlak elektroda tersebut dan
sandapan yang diperoleh disebut sandapan unipolar.

Sandapan-sandapan berikut
sandapan unipolar yaitu:

ini

semuanya adalah

Sandapan prekordial. Sesuai dengan nama-nama


el

ektrodany a, sandapan prekordi al disebu

r V 1,V2.V3,V4,V5,

Gambar 8. Vektor V dengan proyeksinya pada bidang F (VF)

dan pada bidang H (VH) Selanjutnya VH dan VF dapat


diproyeksikan lagi pada sumbu-sumbu yang dibuat pada bidan

danV6.
Sandapan ekstremitas unipolar. Sandapan ini menunjukkan

potensial mutlak dari masing-masing ekstremitas,


yaltu

.
.
.

dan F

Penelitian menunjukkan bahwa letak sumbu-sumbu ittr

ialah sebagai berikut :


0
- pusal jxntung

aVR = Potensial LKa

aVL=Potensial LKi
aVF = Potensial Tungkai

KONSEP VEKTOB PADA ELEKTROKARDIOGRAFI


Karena gaya listrik mempunyai besar dan arah. maka ia
adalah sebuah vektor. Suatu vektor dapat dinyatakan
dengan sebuah anak panah dengan arah anak panah
menunjukkan arah vektor dan panjang anak panah

I
tr

garis mendatar 00
membuat sudut 600 dengan I, searah jarum jam.
yaitu +60')

+1200

aVR =

a\il- aVF =

-150)
- 300

+9if

menyatakan besarnya vektor.


Dalam satu siklus jantung,

terjadi gaya listrik pada


saat depolarisasi atrium, ventrikel, dan repolarisasi

ventrikel. Pada rekaman disebut sebagai gelombang P, QRS


dan T. Yang sebenarnya gelombang P, QRS, dan T ini
adalah vektor-vektor ruang yang selalu berubah-Lrbah
besar dan arahnya sehingga disebut vektor P, vektor QRS,
dan vektor T.
Untuk mempelajari vektor pada umumnya dipakai suatu
sistem sumbu. Untuk vektor ruang. dipakai sistem sumbu
ruang yang terdiri dari tiga buah bidang yang saling tegak
I urus. Untuk mempelaj ari vektor-vektor li strik pada j antun g,
ketiga bidang berikut ini dipilih : bidang Horisontal. (H),
bidang Frontal (F) dan bidang Sagital (S). Untuk keperluan
elektrokardiografi yang konvensional, cukup dipakai dua
bidang saja yaitu bidang H dan bidang F .
Selanjutnya vektor-vektor yang proyeksinya pada
bidang F dan H dapat diproyeksikan lagi pada garis-garis
sumbu yang dibuat pada bidang F dan bidang H.

Dari sandapan-sandapan konvensional, ternyata


sandapan-sandapan yang diperoleh itu terletak dalam
bidang frontal dan bidang horizontal sebagai berikut
L Pada bidang frontal: I, II, III, aVR, aVL, aVF
II. Pada bidang horisontal : Vl, V2,V3,V4, V5, V6

6o' r

ill+

6o'

aVF'

Gambar 9. Sistem sumbu pada bidang frontal

Sistem Sumbu pada Bidang Horisontal


Sesuai dengan nama sandapan, maka sumbu- sumbu pada

bidang horisontal disebut sebagai berikut


Yg = garis mendatar 0(l
Y5=+220

Y4=4lo
V3 =+580
Y2=+94t)

Vt

=+1150
K.K

Sistem Sumbu pada Bidang Frontal

v3(58")

Sesuai dengan nama sandapan, maka sumbu-sumbu


pada bidang frontal disebut sumbu I, II, III, aVR, aVL,
dan aVF.

Gambar 10. Sistem sumbu pada bidang horisontal

r527

FI FKTROKAIIDIOGRAFI

Bila selama siklus jantung kita tinjau vekltor-vekor listrik


yang timbul, maka selama depolarisasi atrium, terjadi vektor
P dalam ruang yang dimulai dari nol, muncul dengan besar
dan arah yang berubah-ubah dan akhirnya menjadi nol lagi.
Bila vektor P ini diproyeksikan pada bidang H dan bidang
F. maka terdapat garis tertutup yang mulai dari titik awal 0

dan kembali lagi pada

titik 0. Garis

(bila ada) satu sandapan yang mempunyai jumlah aljabar

defleksi nol (defleksi positif sama dengan defleksi


negatif). Maka sumbu QRS adalah tegak lurus pada
sandapan ini. Dalam menentukan arah sumbu QRS, dapat

ditinjau salah satu dari sandapan iainnya, untuk memilih


satu dari dua arah.

tertutup yang

menggambarkan perjalanan dari vektor P ini disebut bulatan


P.

Jadi depolarisasi atrium menghasilkan bulatan P pada


bidang F dan juga pada bidang H. Demikian juga selama
depolarisasi ventrikel, timbul bulatan QRS pada bidang F
dan bidang H. Pada repolarisasi dari ventrikel timbul juga

bulatan T.
Dari ketiga bulatan vektor itu, bulatan vektor QRS ialah

yang terpenting dan terbesar ukurannya.


Suatu vektor yang menjalani bulatan vektor, besar dan
arahnya selalu berubah-ubah. Tetapi selama perubahan
itu, dapat ditentukan satu vektor yang merupakan ratarata atau sumbu listrik. Secara pendekatan, sumbu listrik
ialah vektor yang membagi bulatan vektor menjadi dua
yang sama. Sumbu listrik merupakan sifat penting dari
masing-masing ruang jantung.

Gambar 12. Menentukan sumbu lisirik QRS pada bidang frontal


dengan menggunakan sandapan I dan aVF V adalah sumbu
ORS

Untuk lebih tepatnya, yang diukur bukan tingginya


defleksin, tetapi dari luas area yang berada dj bawah
defleksi itu.

Kelainan Sumbu QRS pada Bidang Frontal


Sumbu QRS pada bidang frontal yang dianggap normal
bervariasi antara -300 hingga +900.
l. Sumbu QRS antara -30" hingga -900 disebut deviasi

sumbukekiri (DSKi)

2.
Gambar 11. Bulatan vektor QRS pada bidang F.

1,2,3,

dan 4

adalah beberapa kedudukan vektor dalam perjalanannya


membentuk bulatan QRS M adalah vektor rata-rata atau sumbu
listrik

3.

Sumbu QRS antara +900 hingga - 1800 disebut deviasi


sumbu ke kanan (DSKa)
Sumbu QRS antara +1800 hingga -900 disebut sumbu
superior.

Menentukan Sumbu QRS pada Bldang


Horisontal

SUMBU LISTRIK VEKTOR QRS


Sumbu listrik vektor QRS dapat disingkat dengan sumbu
QRS saja. Sumbu QRS dapat ditentukan dari hasil rekaman
EKG konvensional.

Menentukan Sumbu QRS pada Bidang Frontal

Dari 6 sandapan yang ada pada bidang F, 2 sandapan


sudah cukup untuk menentukan sumbu QRS. Untuk
praktisnya penentuan sumbu QRS dapat dilakukan
dengan beberapa eara, antara lain : l). Pilih 2 sandapan
yang termudah yaitu saling tegak lurus misalnya I dan
aVF. Tentukan jumlah aljabar defleksi pada masing-masing
sandapan dan gambarkan sebagai vektor pada masing-

masing sumbu. Dari kedua vektor

ini

dapat dibuat

resultante yang menggambarkan sumbu QRS; 2). Pilihlah

Pada dasarnya menentukan sumbu QRS pada bidang


horisontal adalah sama dengan sumbu QRS pada bidang
frontal. Yang umum dipakai ialah cara II, yaitu mencari
sandapan yang jumlah aljabar defleksinya nol. Dari sini
didapatkan arah vektor yaitu tegak lurus pada sadapan
ini. Suatu kebiasaan, bahwa sumbu QRS pada bidang
horisontal tidak dinyatakan dalam derajat, tetapi cukup
ditentukan sadapan yang tegak lurus pada sumbu itu. Jadi
cukup ditentukan sadapan yang mempunyai jumlah aljabar
defleksi nol. Sadapan ini disebut daerah transisi pada
bidang prekordial.
Dianggap bahwa daerah transisi yang normal ialah V3
dan V4. Bila daerah transisi berpindah ke arah jarum jam
(dilihat dari arah tungkai), misalnya di V5 atau V6, maka
dikatakan bahwa sumbu QRS mengalami rotasi searah
jarum jam. Bila daerah transisi berpindah ke arah V2, maka
dikatakan terjadi rotasi lawan arah jarumjam.

1528

KARDIOI-OGI

. ra mil
' '4 mm

ebar I mm luas (%)x4xl = +4


ebai 2mm Luas (%)x4x2 = -8
l!mlah = -4

Gambar 13. Seperti pada gambai' 12. tetapi lebar defleksi tidak

sama, yaitu di sandapan Di sini dipakai perhitunEan luas Karena


bentuk segitiga, maka luas defleksi ialah 1i2 x tinggi x lebar Faktor
112 dap'al dihiiangkan karena yang dipakai adalah perbandingan

Gambar 17. Sumbu listrik QRS pada bidang horisontai Daerah


transisi di V5, yang menunjukkan rotasi searah jarum jam

SUMBU LISTR!K VEKTOR P


Cara menentukar sunrbu P pada dasarnva sama dengan
penentuan surlbu QRS. Karena defleksi gelontbang P kecil.
rlraka cara menentukan sumbu P sering tak bisa terlalu tepat,

dan biasanya dipakai cara II.

Sumbu P pada Bidang Frontal


Celorrbang P yang berasai dari sinrpLrl sinus mempunyri
Gambar 14. Meneniukan sumbu listrik QRS paoa bidang frontal
dengn mencari sandapan yang jurnlah defieksinya nol, dalam
contoh ini aVL Maka sur,rrbu listrik ialah tegak lurus pada aVL
Selanjutnya untuk menentukan arah ke atas atau ke bawah.
diperhatikan jumlah defleksi pada l; karena defleksinya positif,
maka arah sumbu ialah ke kanan

sumbu yall-c beruariasi antara 0 hingga +750. Gelombang F

,N menrpunyai sumbu
-90%. Dikatakan sutnbu P ini memputlyai
arah lawan-arus. Gelombang P yang berasal dnri airium.
arahnya tergantung dari letak pelracu ektopik di atrium.
Sering sumbunva me unyai arah antara +900 dan 1 800.

_vang her:asai

antala 180''

dari pen-uhubung

darr

Surnbu F pada Bidang Horisontal

lupericr

Gelornbang P 1,ang berasal dari simpul sinus metnpttnvli


s,,rnrbu rang arahnya sekitar di tengah-tengah antara Vl
dan V6. Surnbu P yang buknn bei'asal dari simpLrl sinLrs

r'.

memp,Jn;-ai alah yang terganttln-s dari letak pemacll


ektopik dari gelombang P.

Sumbu
ke kanan

Gambar 15. Kelainan sumbu QRS pada bidang frontal Sumbu


listrik yang mendekati 00 sering disebut "jantung horisontal" yang
mendekati 900 disebut "jantung vertikal"

Gambar 18. Menentukan riektor P oada bidang frontal Karena


total defleksi nol terdapat pada sandapan lll, maka vel<tor P harus
tegak lurus pada sandapan lll dan arahnya ke kanan, karena totai
defleksi di sandapan I iaalah positif

v6

V1

V2

V3 V4 V5 V6

Gambar 16. Sumbu listrik QRS pada bidang horisonta! yang


norma!. Dari sandapan-sandapan prekordial ditentukan sandapan
yang jumlah defleksinya nol, dalam hal ini didapatkan V3. Maka
sumbu listrik QHS ialah tegak lurus pada V3 V3 disebut daerah

transisi (T)

V]

V2

Gambar 19. Menentukan vektor P pada bidang horisontal. Karena


total defleksi nol terdapat pada V2, maka vektor P harus tegak
lurus pada V2 dan arahnya searah dengan V6, karena defleksi P
pada V6 positif

t529

EITKTROKARDIOGRAFI

Gambar 20. Vektor P sinus. Pada bidang frontal: antara 00-750.


Pada bidang horisontal: antara V1 dan V6
Gambar 23. Kalibrasi standard: Defleksi 10 mm = 1 mV, kecepatan
keftas 25 mm/detik 1 mm = 0,04 detik, 5 mm = 0,20 detik, 10 mm
=0,40 detik

Gelombang

Gelombang P ialah defleksi pertama siklus jantung yang


menunjukkan aktivasi atrium. Gelombang P bisa positif,
negatif, bifasik, atau bentuk lain yang khas.
Gambar 21. Sumbu P bukan dari sinus, pada bidang frontal.
Sumbu P dari penghubung AV (Pp), mempunyai arah lawan arus,
yaitu berlawanan dengan arah sumbu P dari sinus Sumbu P dari
atrium (Pa), sering mempunyai arah antara 900-1800

Gambar 24. Gelombang P sinus, dengan sumbu +300

Gambar 22. Sumbu T yang normal mempunyai arah yang hampir

sama dengan sumbu QRS. Bila ada gangguan konduksi


intraventrikular, maka sumbu T juga berubah, yang disebut
perubahan T yang sekunder. Dalam hal ini sumbu T dan sumbu
QRS berlawanan arah

Gambar 25. Gelombang P dari penghubung AV, dengan sumbu


-1 000

Sumbu Listrik Gelombang T


Pada umumnya sumbu vektor T jarang diperhatikan karena

morfologi gelombang T mempunyai ciri-ciri khas di luar


sumbu vektornya. Secara umum dapat dikatakan bahwa
sumbu T yang normal lebih kurang mempunyai arah yang
sama dengan sumbu QRS.
Bila ada kelainan depolarisasi ventrikel, gelombang T
mengalami kelainan juga, yang disebutkelainan gelombang
T yang sekunder. Dalam hal ini T adalah terbalik dibanding
defleksi QRS, atau vektor T dan vektor QRS berlawanan
arah.

INTERPRETASI ELEKTRO KAR DIOG RAM


Bila kita membuat rekaman sebuah elektrokardiogram, pada
awal rekaman kita harus membuat kalibrasi, yaitu satu atau
lebih defleksi yang sesuai dengan I milivolt (mV). Secara
baku, defleksi 10 mm sesuai dengan I mV. Kecepatan kertas
perekam secara baku adalah 25 mmldt.

Gambar 26. Gelombang P dri atrium dengan sumbu +1500

Gelombang Kompleks QRS


Kompleks ini menunjukkan depolarisasi ventrikel. Istilah-

istilah tentang bagian-bagian kompleks QRS ialah

1).

Gelombang Q yaitu defleksi negatif pertama; 2). Gelombang


R yaitu defleksi positif pertama. Defleksi berikutnya disebut
gelombang R', R" dan seterusnya; 3). Gelombang S yaitu
defleksi negatif pertama setelah R. Gelombang S berikutnya

disebut S', S" dan seterusnya.

Garis rekaman mendatar tanpa ada potensi listrik


disebut garis isoelektrik. Defleksi yang arahnya ke atas
disebut defleksi positif dan yang ke bawah disebut defleksi

Gambar 27. lstilah-istilah untuk berbagai bentuk gelombang

negatif.

kompleks QRS

OR

qR

rS

RS

OS

RR

1530

KARDIOI.OGI

QRS yang monofasik terdiri dari satu defleksi saja yaitu

R atau defleksi tunggal negatif yang disebut QS. Untuk


defleksi yang lebih dari 5 mm, dipakai huruf-huruf besar Q,
R dan S. Sedangkan untuk defleksi yang kurang dari 5 mm
dipakai huruf kecil q,r, dan s.

Gelombang T
ini menunjukkan repolarisasi ventrikel.

Gelombang

Gelombang T bisa positif, negatif atau bifasik.

Gelombang U
U adalah gelombang kecil yang mengikuti

yang ditimbulkan ventrikel kiri jauh lebih kuat dari pada


ventrikel kanan.
Gambaran kompleks QRS pada bidang horisontal yang

normal mempunyai corak khas. Sandapan Vl dan V2


terletak paling dekat dengan ventrikel kanan sehingga
disebut kompleks ventrikel kanan. Di sini gaya listrik dari
ventrikel kanan menimbulkan gelombang R yang
selanjutnya diikuti gelombang S yang menggambarkan
gaya listrik dari ventrikel kiri. Sebaliknya, sandapan V5
dan V6 paling dekat dengan ventrikel kiri sehingga
sandapan ini disebut kompleks ventrikel kiri. Di sini

gelombang T yang asalnya tidak jelas.

gelombang Q menggambarkan aktivasi ventrikel kanan atau


septum, sedangkan gelombang R menggambarkan aktivasi
ventrikel kiri. Dengan demikian gambaran kompleks QRS

Pengukuran Waktu

pada bidang horisontal ialah gelombang R meningkat dari


Vl ke V6, sedangkan gelombang S mengecil dari Vl ke V6.

Gelombang

Penentuan frekuensi. Frekuensi jantung (atrial atau


ventrikular) dapat dihitung berdasarkan kecepatan kertas.
Karena kecepatan kertas ialah 25 mmidetik, maka kertas
menempuh 60 x25 mm = 1500 mm dalam 1 menit. Jadi
frekuensi jantung adalah1500 yaitu sama dengan jarak
siklus dalam mm (yaitu jarak R-R atau P-P).
Penentuan interval-interval. Untuk pengukuran suatu interval, maka dengan kecepatan baku 25 mm/detik terdapat
1 m;n = 1/25 detik = 0,04 detik, atau 5 mm = 0,20 detik.
Interval PR : interval PR diukur dari awal gelombang P
hingga awal kompleks QRS. Interval QRS : interval ini
diukur dari awal kompleks QRS hingga akhir dari kompleks
QRS. Interval QT : Interval ini diukur dari awal QRS hingga
akhir dari gelombang T.

ELEKTROKARDIOGRAM NORMAL

Gelombang T
Pada orang dewasa, biasanya gelombang T adalah tegak
di semua sandapan kecuali di aVR dan Vl.

Gelombang

Gelombang U biasanya tegak dan paling besar terdapat di


V2 dan V3. Sering gelombang U tak jelas karena bersatu
dengan gelombang T.

Nilai Normal untuk lnterval-lnterval

Interval PR (durasi) : kurang dari 0,12 detik


Interval PA
:0, 12 -0,20detik
Interval QRS (durasi) : 0,07 -0, 10 detik

lnterval QT
Interval ini tergantung dari frekuensijantung, yang dapat

Gelombang

ditentukan dengan suatu rumus atau tabel. Untuk


P

Bentuk gelombang P pada sandapan konvensional dapat


dipetoleh dengan I,II dan aVF dan negatif di aVR.
Sedangkan di aVL dan III bisa positif, negatif, atau bifasik.
Pada bidang horisontal biasanya bifasik atau negatif
di V1 dan V2, danpositif di V3 hinggaV6.
Gelombang P dari sinus yang normal tidak lebih lebar
dari 0,11 detik dan tingginya tak melebihi 2,5 mm.

Kompleks QRS
Impuls listrik yang datang dari simpul AV melanjutkan diri
melalui berkas His. Dari berkas His ini keluar cabang awal
yang mengaktivasi septum dari kiri ke kanan. Ini mengawali

vektor QRS yang menimbulkan gelombang Q di I, II, m,


aVL, V5 dan V6, tergantung dari arah vektor awal tersebut.
Selanjutnya impuls berlanjut melalui cabang berkas kiri
(CBKi), cabang berkas kanan (CBKa), dan mengaktivasi
ventrikel kiri dan kanan. Karena dinding ventrikel kanan
jauh lebih tipis daripada ventrikel kiri, maka gaya listrik

praktisnya, diberikan 3 nilai sebagai berikut: frekuensi 60/


menir: 0,33-0,43 detik, 80 kali/menit: 0.29-0,38 detik, dan
100 kali/menit :0,27-0,35 detik.

ABNORMALITASATRIUM
Akhir-akhir ini dianggap bahwa konduksi impuls dari simpul
sinus ke arah simpul AV melibatkan jalur-jalur khusus yaitu
jalur-jalur internodal. Sedangkan atrium kiri dicapai melalui
jalur Bachman. Bila terjadi gangguan konduksi intra-atrial,
maka bentuk gelombang P mengalami kelainan yang

disebut abnormalitas gelombang P. Abnormalitas


gelombang P tidak selalu disebabkan pembesaran atau
hipertrofi atrium seperti yang dianggap di masa lalu.
Aktivasi atrium kanan terjadi lebih dulu daripada atrium
kiri sehingga suatu abnormalitas gelombang P dapat
menunjukkan suatu abnor- malitas atrium kiri atau
abnormalitas atrium kanan. Dalam hal ini "abnormalitas"

1531

ELEKTROIqRDIOGRAFI

merupakan kelainan konduksi dengan atau tanpa


pembesaran atau hiperlrofi.

Abnormalitas Atrium Kanan (AAKa)


Tinjauan vektor

l.
2.

Pada bidang frontal: sumbu P bergeser ke arah kanan


Pada bidang horisontal : sumbu P bergeser ke arah lawan

Waktu Aktivasi Ventrikel

jarumjam.

Kriteria EKG untukAAKa :


1. P tinggi dan lancip di II, m dan aVF : tinggi > 2,5 mm

2.

dalam di I,trJII, aVL, V5 dan V6, dan gelombang R yang


lebih besar di V 1 .
Pada sumbu QRS terjadi pergeseran sebagai berikut :
l). Pada bidang frontal: sumbu QRS bergeser ke arah
kiri;2). Pada bidang horisontal: sumbu QRS bergeser
ke arah lawanjarum jam.

dan interryal > 0,11 detik


Defleksi awal di Vl > 1,5 mm. Bentuk gelombang P pada

AAKa sering disebut P pulmonal

Gambar 28. Abnormalitas atrium kanan

Waktu yang berlangsung antara awal QRS hingga puncak

gelombang R disebut Waktu Aktivasi Ventrikel (WAV).


Defleksi tajam ke bawah yang mulai dari puncak R disebut
defleksi intrinsikoid. WAV menggambarkan waktu yang
diperlukan untuk depolarisasi masa ototjantung yang ada
di bawah elektroda prekordial. Jadi makin tebal otot jantung
(ventrikel), makin panjang waktu yang diperlukan untuk
depolarisasi. Dengan demikian WAV memanjang pada
HVKi.

Kriteria EKG untuk HVK|


1. Kdteria Voltase : Voltase ventrikel kiri meninggi
Ada macam-macam criteria dan dapat dipilih salah satu

Abnormalltas Atrium Kiri (AAKi)

yartu:

Tinjauan vektor

1.

1.

2.

Pada bidang frontal: sumbu P bergeser ke arah kiri


Pada bidang horisontal : sumbu P bergeser ke arah jarum

R atau S di sandapan ekstremitas > 20 mm, a'tau


S di kompleks VKa > 25 rnm. atau
R di kompleks VKi > 25 mm, atau

SdiVKa+RdiVKi>35mm.

Jam.

KriteriaEKGuntukAAKi:

2. Depresi ST dan inversi T di kompleks VKi Ini sering

Interval P di II melebar (> O, 12 detik). Sering gelombang P


berlekuk, karena mempunyai 2 puncak. Defleksi terminal
V 1 negatif dengan lebar > 0,04 detik dan dalam > 1 mm.
Kriteria ini disebut kriteriaMorris. Bentuk PpadaAAKi
sering disebut p mitral.

3. AAKi
4. Sumbu QRS padabidang frontal > -150
5. Interval QRS atau WAV di kompleks VKi memanjang:

disebut strain pattern

* Interval
QRS > 0,09 detik
'r' WAV > 0,04 detik '1

Beberapa catatan tentang

HVKi antara lain : l).

Gambaran HVKi pada EKG terutama berkorelasi dengan


masa otot ventrikel kiri, dan kurang berkorelasi dengan tebal
otot atau volumenya; 2). Pada HVKi yang disebabkan

karena beban volume, gambaran EKG terutama


Gambar 29. Abnormalitas atrium kiri

menunjukkan aktivasi septal awal yang menonjol, yaitu


adanya gelombang Q di I, aVL,V5 dan V6, dan gelombang
R yang menonjol di Vl dan Y2;3). Pada HVKi yang

HIPERTROFI VENTRIKEL

Hipertrofi Ventrikel Kiri (HVKi)


Hipertrofi ventrikel kiri memberikan tanda-tanda yang
cukup jelas pada EKG. Meskipun demikian, akurasinya tak

dapat dianggap mutlak.

Berbagai kriteria telah disusun untuk mempertinggi


sensitivitas dan spesifisitas diagnosis HVKi pada EKG.
Tinjauan vektor pada HVKi :

.
.

Gambar 30. Hipertrofi ventrikel kiri, beberapa kriteria:


A

Pada umumnya vektor QRS membesar dalam ukurannya.

Penebalan septum menyebabkan vektor QRS awal


membesar, sehingga terlihat gelombang Q yang lebih

Kriteria votase: S di V1 , V2, yang dalam dan R di V5, V6 yang


tinggi

B.

Depresi ST dan inversi T di VO (V5)

Waktu aktivasi ventrikel memanjang di V6 (V5)

Ls32

I(ARDIOI.OGI

disebabkan karena beban tekanan, gambaran EKG terutama


menunjukkan R yang tinggi disertai depresi ST dan inversi
T pada sandapan ventrikel

kiri (V5

dan V6).

Hipertrofi Ventrikel Kanan (HVKa)

Menurut tempatnya, blok intraventrikular dapat dibagi


. BlokCabangBerkasKanan(BCBKa)

.
.
.

Karena dinding ventrikel kanan jauh lebih tipis dari pada


dinding ventrikel kiri, maka HVKa baru nampak pada EKG

bila HVKa sudah cukup menonjol untuk

dapat

BlokCabangBerkasKiri(BCBKi)
BloklntraventrikularNonspesifik
Blok Fasikular : 1)..B1ok fasikular kiri anterior; 2). Blok
fasikular kiri posterior.

Blok Cabang Berkas Kanan (BCBKa)

mempengaruhi gaya-gaya listrik ventrikel kiri yang besar.

Bila CBKa mengalami blok, maka depolarisasi ventrikel

Tinjauanvektor:

kanan mengalami kelambatan, dan septum mengalami


depolarisasi disusul oleh ventrikel kiri lebih dulu. Pada

1.
2.

Pada bidang frontal: sumbu QRS bergeser ke kanan


Pada bidang horisontal : sumbu QRS bergeser searah

jarumjam.

R/S

divl

R"/S

div6< I

mengarah ke depan (pada bidang H) dan ke kanan (pada


bidang F).
Dari sini didapatkan gambaran EKG pada BCBKa : 1).
Interval QRS memanjang > 0,10 detik; 2). S yang lebar di I
dan V6; 3). R' yang lebar di V1.

QRS pada bidang frontal yang bergeser ke

Bila interval QRS 0, lO-0,I2 detik, maka disebut BCBKa

Kriteria EKG untuk IfVKa

1.

Rasio R/S yang terbalik

.
.

2. Sumbu
3.

fase yang terakhir, vektorberasal dari ventrikel kanan, yang

>

:
:

kanan, meskipun belum mencapai DSKa.

inkomplit.

Beberapa kriteria tambahan yang tidak begitu kuat,

Bila interval QRS > 0, 12 detik, maka disebut BCBKa komplit.

misalnya: WAV di VI > 0,035 detik, depresi ST dan


inversi T di V1, S, di I,[, dan III.
Beberapa catatan tentang IfVKa:
1. Diagnosis HVKa pada EKG mempunyai sensitivitas
yang rendah tapi spesifisitas yang tinggi.
2. Kriteria EKG untuk HVKa yang paling kuat ialah rasio

R/SdiVI.
Berdasarkan konfigurasi QRS di V1, maka HVKa dibagi
menjadi 3 tipe: l). Tipe A: di sini terdapat R yang tinggi.
Sering disertai depresi ST dan inversi T di Vl dan V2. Tipe
ini menunjukkan beban tekanan yang tinggi; 2). Tipe B: di
sini terdapat bentuk RS, yang menunjukkan HVKa yang

sedang; 3). Tipe C: di sini terdapat bentuk rsR', yang


merupakan blok cabang berkas kanan yang inkomplit.
Bentuk ini biasanya menunjukkan adanya hipenrofi jalur
keluar dari ventrikel kanan.

Gambar 32. Blok cabang berkas kanan. QRS melebar, S yang


lebar dan dalam di I dan V6 (V5), dan berbentuk RR' di V1 (V2)

Blok Cabang Berkas Kirl (BCBKi)


Bila CBKi mengalami blok, maka depolarisasi ventrikel kiri
mengalami kelambatan. Pada awal depolarisasi ventrikel,
QRS inisial menggambarkan depolarisasi ventrikel kanan
dan septum, kemudian menyusul depolarisasi ventrikel kiri.
Jadi pada BCBKi vektor terminal berasal dari ventrikel kiri
yang kuat, yang bergeser ke arah kiri (pada bidang F) dan
ke arah belakang (pada bidang H).
Dari sini didapatkan gambaran EKG pada BCBKi :

1.

Interval QRS melebar> 0,10 detik


R yang lebar, sering berlekuk di I, V5 dan
V6, dengan WAV > 0,08 detik
rS atau QS di V1, disertai rotasi searah jarum jam.

2. Gelombang
3.
Gambar 31. Hipedrofi ventrikel kanan. Kriteria terpenting: rasio
R/S terbalik di V1 (V2) dan V6 (V5)

Bila interval QRS 0,10-0,12 det1k, maka disebut BCBKi


inkomplit
Bila interval QRS >

DEFEK KONDUKSI INTRA VENTRIKULAR


Gangguan penghantaran impuls melalui suatu jalur disebut
blok. Yang dimaksudkan dengan konduksi intraventrikular

0,

2 detik, maka disebut BCB

Ki komplit.

Blok lntraventrikular Nonspesif ik


Istilah ini dipakai bila interval QRS melebar (> 0,10 detik)
tetapi tidakkhas untukBCBKa atau BCBKi.

ialah konduksi melalui cabang berkas kanan (CBKa),


cabang berkas kiri (CBKi), fasikel-fasikel dan serabut-

Blok Fasikular

serabut Purkinje.

Blok Fasikular sering disebut juga hemiblok.

1533

ELEKTROKARDIOGRAFI

III dan aVF. Blok Fasikular Kiri Posterior jauh


lebihjarang dari pada blok fasikular kiri anterior.
qR di II,

Gambar 33. Blok cabang berkas kiri. QRS yang melebar, bentuk
B di I dan V6 (V5), dan S yang dalam di V1 (V2, V3)

Blok fasikular

kiri anterior.

Fasikel

kiri

anterior

menghantarkan impuls dari puncak septum ke muskulus


papilaris anterior. Bila terjadi blok padajalur ini, maka bagian
posterior-inferior mengalami depolarisasi lebih dulu dari
pada bagian anterior-superior.
Vektor QRS awal selama 0,02 detik mengarah ke bawah
dan ke kanan, sehingga terbentuk r kecil di II, m, dan aVF,
dan q kecil di 1, aVL dan kadang-kadang di V5 dan V6.
Vekor QRS awal selama 0,04 detik mengarah ke kiri dan ke
atas, sehingga terbentuk R tinggi menyusul q di 1, dan
aVL, dan S dalam menyusul r di II,[I, dan aVF (bentuk QIS[I). Sumbu QRS mengalami deviasi ke kiri hingga > -450
Sebagai ringkasan, gambaran EKG pada 81ok Fasikular
Kiri anterior ialah : l).Interval QRS sedikit memanjang 0,090,1 1 detik; 2). Sumbu QRS deviasi ke kiri > -450. Ini disebut
kriteria yang paling kuat; 3). Di I dar aVL terdapat R tinggi,
dengan atau tanpa q; 4). Di II,III dan aVF terdapat rS,
dengan S yang dalam.

Gambar 35. Blok fasikular kiri posterior. Tanda terpenting ialah


sumbu QRS pada bidang frontal: deviasi ke kanan lebih dari +1100,

tanpa adanya penyebab lain dari deviasi sumbu ke kanan

Sindrom Pre-eksitasi
Sindrom pre-eksitasi ialah suatu sindrom EKG di mana
ventrikel mengalami depolarisasi lebih awal dari biasa. Hal

ini disebabkan karena adanyajalur-jalur lain di samping


jalur-jalur pada sistem konduksi jantung. Ja-lur-jalur ini
disebut jalur-jalur aksesori.
Ada 3 macam jalur aksesori, yaitu : 1). Jalur Kent. Jalur
ini ialah yang terpenting di antarajalur-jalur aksesori. Jalur

ini menghubungkan atrium langsung dengan ventrikel,


tanpa melalui simpul -AV. Jalur ini menembus cincin AV di

tempat-tempat yang berbeda. 2). Jahr James. Jalur ini


berawal dari atrium dan berakhir di berkas His. 3). Jalur
Mahaim. Jalur ini berawal di berkas His dan berakhir di
ventrikel.

Jalur-jalur aksesori dianggap sebagai kelainan


kongenital dan terdapat pada l-2 permil dari populasi
umum. Jalur aksesori bisa bersifat non fungsional pada
waktu lahir dan manifes pada masa kanak atau dewasa.
Gambar 34. Blok fasikular kiri anterior Tanda terpenting ialah
sumbu QRS pada bidang frontal: deviasi ke kiri lebih dari -450

GAMBARAN EKG PADA SINDROM PRE.EKSITASI

Blok fasikular kiri posterior. Fasikel kiri posterior

Pre-eksitasi pada Jalur Kent

menghantarkan impuls dan CBKi ke muskulus papilaris


posterior dari ventrikel kiri. Suatu blok pada jalur ini
mengakibatkan bagian anterior-superior dari ventrikel kiri

Pre-eksitasi pada jalur Kent disebut luga sindrom Wolff


Parkinson White (WPW).
Gambaran EKG pada sindrom WPW menggambarkan
kompleks fusi antara aktivasi ventrikel melalui jalur normal
dan melalui jalur aksesori. Impuls dari atrium yang melalui
jalur Kent lebih cepat sampai di ventrikel karena tidak

mengalami depolarisasi lebih dahulu dari pada bagian


posterior-inferior.
Vektor QRS awal selama 0,02 detik mengarah ke krri
dan superior, sehingga terbentuk r kecil di I dan aVL, dan
1 kecil di II,[, dan aVF. Vektor QRS awal selama 0,06 detik
mengarah ke bawah, sehinggaterbentukR tinggi di II, III,
dan aVF dan S di I dan aVl.Sumbu QRS bergeser ke kanan

>+1lff.
Sebagai ringkasan, gambaran EKG pada blok fasikular

kiri posterior ialah

.
.
.

Interval QRS memanjang 0,09 -0,1 1 detik


Sumbu QRS bergeser ke kanan > + 110o
rS di I dan aVL

melewati simpul AV yang mempunyai sifat memperlambat

impuls. Impuls yang melalui jalur Kent ini mengawali


depolarisasi ventrikel di suatu tempat di ventrikel, yang
menyebabkan timbulnya suatu gelombang khas pada awal
kompleks QRS, yang disebut gelombang delta.
Gelombang delta merupakan bagian landai pada awal
kompleks QRS. Adanya gelombang delta ini menyebabkan
kompleks QRS melebar. Waktu konduksi atrio-ventrikular
yang memendek menyebabkan interval PR yang memendek.
Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom W-P-W

t534

KARDIOLOGI

ialah: 1). Interval PR memendek < 0,12 detik; 2). Adanya


gelombang delta; 3). Kompleks QRS melebar (karena
gelombang delta).

Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom L-G-L

ialah

Interval PR memendek (0,12 det); 2). Tak ada gelombang


delta, kompleks QRS normal.
1).

Pre-eksitasi pada Jalur Mahaim


Karena jalur Mahaim dimulai dari berkas His, maka interval

PR tidak terpengaruh. Jalur Mahaim mengawali aktivasi


pada sebagian ventrikel, sehingga terjadi gelombang delta.

Jalur

Kent

Jalur

James

Jalur Mahain

Dengan demikian gambaran EKG pada sindrom preeksitasi melalui ialur Mahaim iatah: l). Interval PR normal;
2). Terdapat gelombang delta, kompleks QRS melebar.

Gambar 36. Jalur-jalur aksesori

- interval PR memendek
- tak ada gelombang delta
QRS tak melebar

- lnterval PR memendek
- ada gelombang delta,
QRS melebar
Gambar 37. Pre-eksitasi pada jalur Kent: sindrom WPW. lmpuls
dari sinus menempuh dua jalur: jalur 1 ialah jalur normal, jalur 2
melalui lalur Kent. lmpuls yang melalui jalur 2 mencapai ventrikel
lebih awal dan mengaktivasi suatu daerah D di ventrikel, yang
pada EKG menggambarkan gelombang delta (D). Aktivasi ventrikel

Gambar 38. Pre-eksitasi jalur James: Sindrom Lown Ganong


Levine. lmpuls dari sinus menempuh dua jalur: jalur 1 ialah jalur
normal, jalur2 melaluijalurJames lmpuls melalui jalur2 mencapai
berkas His lebih awal karena tidak mengalami perlambatan di
simpul AV, sehingga interval PB memendek, sedangkan bentuk
kompleks QBS normal Aktivasi melaluijalur 2 tak mempunyai efek
karena ventrikel dalam periode refakter mutlak

melalui jalur 2 menyusul sehingga bentuk akhir EKG ialah fusi


antara aktivasi melalui jalur 1 dan ialur 2

Meskipun letak jalur Kent sangat bervariasi, pada garis


besarnya dapat dibedakan 2 tipe, yaitu :
Sindrom W-P-W tipe A. Di sini j alur Kent terletak di sebelah
kiri, sehingga aktivasi dini terjadi di ventrikel kiri. Garnbaran
EKG menyerupai bentuk BCBKa, dengan R yang tinggi di

- interval PR normal
- ada gelombang delta,
QRS melebar

V1danV2.
Sindrom WPW tipe B. Di sini jalur Kent terletak di sebelah
kanan, sehingga aktivasi dini terjadi di ventrikel kanan.
Gambaran EKG menyerupai bentuk BCBKi, dengan defleksi
QRS yang negatif di Vl dan V2.

Pre-eksitasl pada Jalur James


Pre-eksitasi padajalur James disebutjuga sindrom lownGanong-Levine (L-G-L). Gambaran EKG pada sindrom LG-L menggambarkan interval PR yang memendek karena
impuls yang melalui jalur ini mencapai ventrikel lebih cepat
karena tidak diperlambat oleh simpul-AV. Tetapi aktivasi
ventrikel ini berpangkal dari berkas His sehingga jalur

aktivasi ini tidak berbeda dari aktivasi normal. Ini


menghasilkan kompleks QRS yang normal, tanpa
gelombang delta.

Gambar 39. Pre-eksitasi jalur Mahaim. lmpuls dari sinus hingga


simpul AV berjalan biasa, sehingga tak ada pengaruh terhadap
interval PR lmpuls melali jalur 2 yang berawal dari berkas His,
mencapai suatu daerah D di ventrikel (sedikit) lebih awal dari
pada aktivsi ventrikel melalui jalur biasa (1), sehingga pada EKG
terdapat gelombang delta Selanjutnya terjadi fusi dari aktivasi
melalui kedua jalur tersebut

PENYAKIT JANTUNG KORONER

Elektrokardiografi ialah sarana diagnostik yang penting


untuk penyakit jantung koroner.Yang dapat ditangkap
oleh EKG ialah kelainan miokard yang disebabkan oleh
terganggunya aliran koroner.
Terganggunya aliran koroner menyebabkan kerusakan
miokard yang dapat dibagi menjadi 3 tingkat : 1). Iskemia.

1535

EI.EKTROI(ARDIOGRAFI

kelainan yang paling ringan dan masih reversibel; 2). Injuri,


yaitu kelainan yang lebih berat, tetapi masih reversibel; 3).
Nekrosis, yaitu kelainan yang sudah ireversibel, karena
kerusakan sel-sel miokard sudah permanen.

kiri, maka adalah penting untuk menentukan lokalisasi


bagian-bagian dinding ventrikel kiri pada EKG.
Pada umumnya dipakai istilah-istilah sebagai berikut

1.

Daerah anteroseptal:Vl -V4

2. Daerahanterior ekstensif : Vl -V6, I dan aVL


3. Daerah anterolateral: V4-V6. I dan aVL
4. Daerah anterior terbatas : V3-V5
5. Daerah inferior: II. III dan aVF
6. Daerah lateral tinggi : I dan aVL
7. Daerah posterior mumi memberikan bayangan cermin

Daerah lskemia
Daerah injuri
Daerah nekrosis

Vl, Y2 dan V3 terhadap garis horisontal.


Proyeksi dinding-dinding ventrikel kanan pada
dari

Endokard

umumnya terlihat pada V4R-V6R. Sering bersamaan dengan


[,III, danaVF.

Epikard

Gambar 40. Berbagai derajat iskemia pada infark miokard

Masing-marsing kelainan ini mempunyai ciri-ciri ylng


khas pada EKG. Pada umumnya iskemia dan injuri

menunjukkan kelainan pada proses repolarisasi miokard,


yaitu segmen ST dan gelombang T.
Nekrosis miokard menyebabkan gangguan pada proses
depolari sasi, yaitu gelombang QRS.
Gambar 41. Depresi ST pada iskemia miokard

lskemia
Depresi ST. Ini ialah ciri dasar iskemia miokard. Ada

rnacam jenis depresi ST, yaitu : a). Horisontal, b). Landai


ke bawah, c). Landai ke atas

Yang dianggap spesifik ialah a dan b. Depresi ST

a. Depresi ST horisontal, spesifik untuk iskemia


b. Depresi ST landai ke bawah, spesifik untuk iskemia
c. Depresi ST landai ke atas, kurang spesifik untuk iskemia

dianggap bermi*na bila lebih dzLri I mm, makin dalam makin

spesilik.

Inversi T. Gelombang T yang negatif (vektor T berlawanan


arah dengan vektor QRS) bisa terdapat pada iskemia
miokard, tetapi tanda ini tidak terlalu spesifik. Yang lebih
spesifik ialah bila gelombang T ini simetris dan berujung
lancip.

Inversi U. Gelombang U yang negatif (terhadap l) cukup


spesifik untuk iskemia miokard.
Gambar 42. Depresi T pada iskemia miokard

lnjuri

Ciri dasar injuri ialah elevasi ST dan yang khas ialah

konveks ke atas. Pada umumnya dianggap bahwa elevasi


ST menunjukkan injuri di daerah subepikardial, sedangkan
injuri di daerah subendokordial menunjukkan depresi ST
yang dalam.

lnversi T pada umumnya kurang spesifik untuk iskemia


lnversi T yang berujung lancip darr simetris (seperti ujung
anak panah), spesifik untuk iskemia

Nekrosis
Ciri dasar nekrosis miokard ialah adanya gelombang Q
patologis yaitu Q yang lebar dan daJam, dengan syaratsyarat: lebar > 0,04 detik dalam >4 mm atau > 257o tinggi R

Lokalisasi Dinding Ventrikel pada EKG


Karena iskemia miokard sebagian besar mengenai ventrikel

Gambar 43. lnversi U, cukup spesifik untuk iskemia

1536

IQ{RDIOI.OGI

fase sebagai berikut:

Fase awal atau fase hiperakut: l). Elevasi ST yang


nonspesifik, 2).T yang tinggi dan melebar.
Fase evolusi lengkap : 1). Elevasi ST yang spesifik, konveks
ke atas, 2).T yangnegatif dan simetris, 3). Q patologis.

a.
b.
c.

infark lama: 1). Q patologis, bisa QS atau Qr. 2). ST


yang kembali iso-elektrik, 3). T bisa normal atau negatif

Fase

Gambar 44. lnjuri miokard


Elevasi ST cembung ke atas, spesifik untuk injuri (epikard)

Beberapa catatan tentang EKG pada infark miokard : 1).

Elevasi ST cekung ke atas, tidak spesifik


Depresi ST yang dalam, menunjukkan injuri subendokardial

D-

Timbulnya kelainan-kelainan EKG pada infark miokard akut


bisa terlambat, sehingga untuk menyingkirkan diagnosis
infark miokard akut, diperlukan rekaman EKG serial; 2). Fase
evolusi berlangsung sangat bervariasi, bisa beberapa jam
hingga2 minggu. Bila elevasi ST bertahan hingga 3 bulan,
maka dianggap telah terjadi aneurisma ventrikel; 3). Selama

evolusi atau sesudahnya, gelombang Q bisa hilang


sehingga disebut infark mrokard non-Q. Ini terj adi 20-30%o

kasus infark miokard; 4). Gambaran infark miokard


Gambar 45. Nekrosis miokard. Pada umumnya dianggap: Q
menunjukkan tebalnya nekrosis, R menunjukkan sisa miokard yang
masih hidup

a. Bentuk qR: nekrosis dengan sisa miokard sehat yang cukup


b. Bentuk Qr: nekrosis tebal dengan sisa miokard sehat yang tipis
Bentuk QS: nekrosis seluruh tebal miokard, yaitu transmural

lnferlor
Lateral tinggi
Anteroseptal
Anterior ekstensil
Anterolateral
Anterior terbatas
Ventrikel kanal

Posteior murni

subendokardial pada EKG tidak begitu jelas dan


memerlukan konfirmasi klinis dan laboratoris. Pada
umumnya terdapat depresi ST yang disertai inversi T yang
dalam yang berlahan beberapa hari; 5). Pada infark miokard
pada umumnya dianggap bahwa Q menunjukkan nekrosis
miokard, sedangkan R menunjukkan miokard yang masih
hidup, sehingga bentuk Qr menunjukkan infark non-transmural sedangkan bentuk QS menunjukkan infark transmural. Pada infark miokard non-Q, berkurangnya tinggi R
menunjukkan nekrosis miokard; 6). Pada infark miokard
dinding posterior murni, gambaran EKG menunjukkan
bayangan cermin dari infark miokard anteroseptal terhadap
garis horisontal, jadi terdapat R yang tinggi di V1, V2, V3
dan disertai T yang simetris.

Gambar 46. Lokalisasi dinding ventrikel pada EKG

Gambar 47. Gambaran EKG pada infark miokard akut : evolusi

Gambar 48. Contoh lokasi infark miokard

a. Fase hiperakut

a. lnfark akut anteroseptal

b. Fase ovulasi lengkap


c. Fase infark lama

b. lnfark akut posterior murni

GAMBARAN EKG PADA INFARK MIOKARD AKUT

ANEKA KELAINAN ELEKTROKABDIOGRAFI

Hiperkalemia

Umumnya pada infark miokard akut terdapat gambaran


iskemia, injuri dan nekrosis yang timbul menurut urutan
tertentu sesuai dengan perubahan-perubahan pada

Bila kadar kalium darah meningkat, berturut-turut

miokard yang disebut evolusi EKG. Evolusi terdiri dari fase-

menjadi lebih pendek, 3). QRS menjadi lebar, 4). QRS bersahr

akan

nampak kelainan: 1).T menjadi tinggi dan lancip, 2). R

t537

tr.I F-KIROIQq'RDIOGRAFT

I sehingga segmen ST hilang, 5). P mengecil dan


akhirnya menghilang.
dengan

Hipokalemia
Bila kadar kalium darah menurun. berturut-turut akan
tampak kelainan-kelainan: 1). U menjadi prominen, 2).7
makin mendatar dan akhirnya terbalik, 3). Depresi ST, 4).
Interval PR memanjang.
Sering U yang prominen dikrra T sehingga seolah-olah
interval QT memanjang.

Gambar 51. Gambaran EKG pada hipo dan hiperkalsemia


Hipokalsemia
Hiperkalsemia

QT memanjang terutama karena perpanjangan ST


QT memendek, terutama karena pemendekan ST

Hiperkalsemia
Kelainan EKG yang terpenting ialah interval QT yang
memendek.

Hipokalsemia
Kelainan EKG yang terpenting ialah perpanjangan segmen
Sl sehingga interval QT memanlang.

Gambar 52. Efek digitalis. QT yang memendek, depresi ST yang


menurun landai dan kemudian naik dengan curam dan T yang
rendah

Digitalis
Digitalis dapat mempengaruhi bentuk QRS-T, yang disebut
efek digitalis: l). Memperpendek interval QT, 2) Depresi
ST, mulai dengan menurun landai disusul bagian akhir
yang naik dengan curam. 3). Sering menjadi rendah. Selain

itu bisa terjadi gangguan pembentukan dan penghantar


impuls.

:\^r\A -]4

Gambar 53. Perikarditis akut. Elevasi ST kurang dari 5 mm, bentuk


cekung ke atas, tidak timbul Q

Perikarditis

Gambar 49. Gambaran EKG pada hiperkalemia. Bila kadar K-

Pada perikarditis, biasanya teriadi peradangan pada


epikard, sehingga gambaran EKG menyerupai gambaran
iniuri pada epikard berupa elevasi ST. Pada perikarditis

makin meningkat:

yang hanya sedikit menimbulkan peradangan pada epikard

a. T meninggi dan lancip, R menjadi pendek

maka EKGbisanormal.
Kelainan EKG yang khas untuk perikarditis ialah sebagai

K+ meningkat

K+ normal

QBS melebar dan bersatu dengan T

berikut:
1. Elevasi segmen ST : a). Biasanya luas kecuali

c. P merendah dan hilang

2.

Vl

dan

aVR, b).Bentuk konkaf ke atas, c). Kurang dari 5 mm


T menjadi terbalik, terutama setelah segmen ST kembali
ke garis isoelektrik.

3.

;\^
K+ normal

TidaktimbulQ.
Pada efusi perikardial, tanpa adanya peradangan

K+ menurun

a. U prominen, T mendatar

epikardial; tidak terdapat elevasi ST. Dalam hal ini gambaran


EKG hanya menunjukkan voltase yang rendah pada QRS
dan T.
Mengenai gambaran EKG pada kelainan irama jantung
(aritmia) dibahas khusus pada topik khusus di bagian lain

b. Depresi ST, Tterbalik, PR memanjang

buku ini.

Gambar 50. Gambaran EKG pada hipokalemia Bila K. makin


menurun:

1538

KARDIOI.OGI

BEFERENSI
Arrhytmia -a Guide to Clinical Electrocardiology. Erik Sandoe,
Sigurd' Publishing Partners Verlags GmbH., 1991.
Arrhytmia. Diagnosis and Management. Erit Sandoe, Bjarne
Fachmed AG-Verlag fur Fach-medien, 1984.

fUark Silverman

Bjame
Sigurd

A, Kessler KM, Meyerburg RJ. The resting


McGrawHilll nc. lgg4, 321-52,
Fish C. Electrocardiography and vectocardiog- raphy. In: Braunwald,
Heart Disease, Fourth Edition, WB Saunders Company. 1992:
1 16_60.
Castellanos

electrocardiogram. In: Hurst, The Heart, Eight Edition,

Hein J.J. Wellens, Mury B. Conover. The ECG in Emergency Dedsion


Making WB. Saunders Com- pany.l992.

Myerburg RJ. Willis HurstJW. Electrocardio-

graphy, Basic Concepts and Clinical Application. McGraw-Hill


Book Company, 1983.

Thomas Bigger, J.Jr. The electrical activity of the heart. In :Hurst


.The Heart, , Eight Edition,1994:.645-57.
Waldo AL, Wit AL. Mechanism of cardiac anhythmias and conduction disturbances. In: Hurst, The Hearl, Eight Edition, McGrawHilllnc 1994: 656-97.
WHO ISFC Task Force. Classification of cardiac arrhytmias and
conduction disturbances. Am Heart J, 19'79l' 98(2): 263-7.
WHO/ISFCTaskForce. Definition of terms related to cardiac rhytm.
Am Heart t, 7978;95(6): 796-806.

240
RADIOLOGI JANTUNG
Idrus Alwi

sloping bagian inferior mediastinum pada foto lateral.

RADIOLOGI DADA NORMAL

dimaksud dengan normal.


Pada pemeriksaarr rontgen dada PA standar, diameter

Jantung mudah dibedakan dari paru-paru karena


jantung lebih mengandung darah dengan densitas air lebih
besar dibandingkan dengan udara. Karena darah
melemahkan x-ray lebih kuat dibandingkan dengan udara,
jantung relatif tampak berwarna putih (namun kur"ang putih
dibandingkan dengan tulang) dan paru-paru relatif hitam
(kurang hitam dibandingkan dengan ujung-ujung film di

keseluruhan jantung yang normal adalah kurang dari

mana tidak ada jaringan yang menghalangi). Bantalan lemak

setengah diameter tranversal toraks. Jantung pada daerah


toraks kisarannya tiga perempat ke kiri dan seperempat ke
kanan dari tulang belakang. Mediastinum lebih sempit, dan

dengan ketebalan yang berbeda mengelilingi apeks


jantung. Lemak memiliki kepadatan yang lebih besar
dibandingkan dengan udara dan sedikit lebih kecil

biasanya aorta descendens dapat didefinisikan dari arkus


ke kubah diafragma di sisi kiri. Di bawah arkus aorla, dapat
dilihat hilus pulmonal, sedikit lebih tinggi pada bagian kiri

dibandingkan dengan darah. Kantong perikardium tjdak


dapat didefinisikan secara normal. Pinggiran dari siluet
jantung biasanya cukup tajam namun konturnya tidaktajam
secara keseluruhan. Meskipun waktu pajanan terhadap
sinar x sangat singkat (kurang dari 100 milidetik), biasanya
terdapat gerakanjantung yang cukup mengakibatkan agak
buramnya siluet tersebut. Jika sebagian pinggiran j antung
tidak bergerak, seperti dalam kasus aneurisma ventrikel
kiri, pinggirannya nampak tajam. Arkus aorta biasanya
terlihat, karena aorta mengalirkan darah secara posterior

Pada pembacaan foto rontgen dada, pendekatan secara


sistematis adalah penting, berdasarkan penilai an pertama
pada anatomi dan selanjutnya fisiologi. Pendekatan ini
tentu saja didasarkan pada pemahaman mengenai apa yang

dibandingkan dengan bagian kanan. Pada foto lateral, arteri


pulmonalis utama kiri dapat terlihat superior dan posterior

dibandingkan dengan yang kanan. Pada penampakan


frontal sekaligus lateral, aorta asendens (akar aorta)
biasanya terhalang oleh arteri pulmonalis utama dan kedua
atrium. Lokasi pulmonary outflow tractbiasany aielas pada
foto lateral.

dan dikelilingi oleh udara. Sebagian besar aorta desendens


juga dapat terlihat. Posisi dan ukuran masing-masing dapat
dievaluasi dengan mudah dengan pandangan frontal dan
lateral.

RUANG JANTUNG DAN AORTA


Pada pandangan PA, kontur bagian kanan mediastinum
berisi atrium kanan, aorta asendens dan vena kava.
Ventrikel kanan, setengahnya menutupi ventrikel kiri pada
penampakan frontal sekaligus lateral. Atrium kiri terdapat
inferior dari hilus pulmonal kiri. Pada kondisi normal,
terdapat cekungan pada tingkat ini, yaitu pada left atrial

PARU DAN VASKULARISASI PARU


Ukuran paru-paru bervariasi sebagai fungsi inspirasi, usia,
bentuk tubuh, kandungan air, dan proses-proses patologis
intrinsik. Dengan adany a peningkatan disfun gsi ventrikular
kiri, cairan interstisial dalam paru-paru meningkat dan
ekspansi paru-paru menurun. Di sisi lain, paru-paru nampak
lebih besar dan lebih gelap jika disertai penyakit paru

appendage. Atrium membentuk sebagian atas kontur


posterior jantung pada foto lateral namun tak dapat
dipisahkan dari ventrikel kiri. Ventrikel kiri membentuk
apeks jantung pada pandangan frontal seperti halnya

153

1540

Ii{RDIOI.OGI

obstruktif kronis dengan pembentukan bula. Jika ekspansi


paru-paru menurun, jantung nampak sedikit lebih besar
meskipun jantung sebenarnya tidak berubah ukurannya.
Namun, jantung tersebut tidak melebihi setengah diameter
transversal dada pada foto PA yang berkualitas baik
kecuali jika benar-benar ada kardiomegali. Penting untuk
diingat bahwa pembesaran yang nyata kemungkinan
di sebabkan

oleh pembesaran j antung secara kesel uruhan,

pelebaran satu ruang jantung atau lebih, atau cairan


perikardial. Pada pasien-pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronis, jantung seringkali nampak berukuran
kecil atau normal pada kondisi disfungsijantung.
Pada subyek normal, arteri pulmonalis biasanya dapat

terlihat dengan mudah pada hilus dan secara bertahap


berkurang lebih perifer. Afieri-arleri pulmonalis kanan dan
kiri utama biasanya tak dapat diidentifikasi secara terpisah,

jantung yang menyempit, meningkatkan diameter transversal, sehingga jantung mungkin nampak membesar pada
penampakan frontal namun diameterAP yang sempit yang
terlihat pada penampakan lateral dapat menjelaskan hal
ini. Kifosis atau skoliosis juga dapat menyebabkan jantung

atau mediastinum nampak abnormal. Oleh karena itu


penting halnya untuk memeriksa tulang belakang dan

struktur tulang lainnya secara sistematis

saat

memperhatikan radiografi dada.

EVALUASI FOTO RONTGEN DADA PADA


PENYAKITJANTUNG

Penyakit kardiovaskular menyebabkan perubahanperubahan yang beragam dan kompleks dalam gambaran

kirena rnereka terletak dengan mediastinum. Jika paru-paru

foto rontgen dada. Kardiomegali secara keseluruhan

diandaikan terbagi menjadi tiga bagian, arteri utama adalah


sentral, arteri-arteri kecil yang mudah dibedakan dengan
jelas di zona tengah, dan arteri-arleri kecil dan arteriol yang

dapat ditentukan dengan akurat pada penampakan frontal dengan mencatat apakah diameter jantung melebihi
setengah diameter toraks atau tidak. Kardiomegali paling sering terlihat karena kardiomiopati iskemia yang

biasanya di bawah batas resolusi pada zona luar. Dalam


keadaan standar, pandangan frontal berdiri, arleri-arteri
pada zona yang lebih rendah lebih besar dibandingkan
dengan yang berada dr zona yang lebih tinggi, padajarak
yang sama dari hilus. Penampakan tersebut sehubungan
efek gravitasi pada sirkulasi paru-paru bertekanan rendah
yang normal. Hal tersebut terjadi demikian, jika gravitasi

mengarah pada volum intravaskular yang sedikit lebih


besar pada dasar-dasar paru-paru dibandingkan dengan
padazona-zona yang lebih tinggi. Sudut yang dibuat oleh
paru-paru dengan diafragma biasanya sangat tajam dan
dapat ditandai dari dua sisi pada penampakan frontal dan
lateral. Kontur yang dibentuk oleh vena kava inferior
denganjantung terlihatjelas pada foto lateral. Jika pasien
diletakkan pada sisinya dengan sisi kiri menghadap film,
bagian kanan relatif sedikit diperbesar dibandingkan
dengan yang

mengikuti infark miokard. Dalam penilaian foto rontgen


dada secara sistematis, langkah pertama adalah untuk
menetapkan tipe film apa yang akan dievaluasi-PA dan
lateral, PA saja, atau AP (entah portabel atau satu diambil
dalam pandangan AP karena pasien tidak mampu berdiri).
Langkah berikutnya adalah menentukan apakah foto-foto

sebelumnya tersedia untuk perbandingan.

kiri.

VARIASINORMAL
Variabel anatomis dan penuaan merupakan tantangan
dalam evaluasi foto rontgen dada karena penurunan
compliance paru. Aorta dan pembuluh darah besar
biasanya menyempit dan menjadi lebih berTrkl(tourtuous)
dan lebih jelas seiring bertambahnya usia, mengarah pada

pelebaran mediastinum superior. Jantung nampak lebih

besar karena penurunan komplaiens paru kecuali jika


melnang ada penyakitjantung, jantung ukurannya kurang
dari setengah diameter transversal dada pada pandangan
PA. Pasien yang obes lebih mungkin memiliki derajat
hambatan ekspansi paru-paru maksimal, sehingga mungkin
akan membuat jantung normal nampak sedikit lebih besar.
Pasien dengan pektus ekskavatum memiliki diameter AP

Gambar 1. A). Proyeksi frontal jantung dan pembuluh darah; B).


Gambar garis pada proyeksi frontal menunjukkan hubungan katup
jantung, cincin, dan sulci ke garis mediastinal A= ascending aoftai
AA= aoriic archi Az= azygous vein; LA= left atrial appendage;
LB= left lower border of pulmonary arlery, LV= left ventricle; PA=
main pulmonary afteiy, RA= right atrium, S= superior vena cava;

SC= subclavian aftery

PABU DAN VASKULARISASI PARU


Pemeriksaan terhadap pola vaskularisasi paru merupakan
hal yang sulit namun sangatpenting. Pemeriksaan tersebut

t54r

RADIOI.OGIJANTUNG

bervariasi tergantung posisi pasien (berdirr versus


berbaring) dan berubah secara mendasar oleh penyakit
paru yang mendasarinya. Cara terbaik untuk menilai

RUANG.RUANG JANTUNG DAN PEMBULUH BESAR

vaskularisasi paru adalah dengan memperhatikar, zona


tengah paru-paru (misalnya sepertiga dari paru-paru di

Evaluasi terhadap jantung harus dilakukan secara sistematis.


Setelah menilai ukuran keseluruhan dan pola vaskular paru
sebagai refleksi status fisiologis jantung bagian kiri-ruang

antara daerah hilus dan daerah perifer lateral) dan

jantung harus diperiksa. Seperti telah disebutkan, tidak

membandingkan daerah pada lapangan paru atas dengan


daerah pada daerah yang lebih rendah pada jarak yang
sebanding dari hilus. Pembuluh darah harus lebih besar
pada paru-paru bagian bawah namun berbeda dengan
jelas pada zora-zor\a atas dan bawah. Pada kondisi
normal, pembuluh-pembuluh menyempit dan bercabangcabang dan sulit ditemukan pada sepertiga luar dari
paru-paru. Dalam kondisi normal tak terlihat di dekat
pleura.
Pada pasien dengan high-output s/a/e (misalnya
kehamilan, anemia berat seperti pada penyakit sickle cell,
hipertiroidisme) atau shuntkiri ke kanan, karena aliran

mungkin untuk menunjukkan ruang jantung dengan jelas


pada sebuah foto rontgen dada normal. Pada penyakit
valvular yang didapat dan pada banyak jenis penyakit
jantung kongenital, ditemukan pembesaran ruang jantung.

arteri pulmonalis meningkat, pembuluh-pembuluh


pulmonalis dapat terlihat lebih jelas dibandingkan dengan
biasanya pada paru-paru perifer. Pada keadaan tekanan
arteri pulmonalis yang meningkat, batas-batas pembuluh
menjadi tidak jelas, pembuluh-pembuluh pada zona
rendah menyempit dan yang berada pada zona lebih
tinggi membesar, dan pembuluh-pembuluh menjadi lebih

ATRIUM KANAN
Perbesaran atrium kanan biasanya tak pernah terbatas

(isolated') kecuali dengan adanya atresia trikuspid


kongenital atau kelainan Ebstein, keduanya jarang terj adi
meskipun pada kelompok usia anak. Atrium kanan dapat
melebar dengan adanya hipertensi pulmonal atau
regurgitasi trikuspid, namun pelebaran ventrikel kanan
biasanya melebihi atau menghalangi atrium. Kontur atrium

kanan bergabung dengan vena kava superior, arteri


pulmonalis utama kanan dan ventrikel kiri.

jelas ke arah pleura, pada sepertiga luar paru-paru.


Dengan tekanan akhir diastolik ventrikel ktri (left
ventricular end-diastolic pressltre =LVEDP) ata:u left
atrial pressure yang meningkat, edema interstisial

VENTRIKEL KANAN

meningkat dan akhirnya muncul edema paru. Biasanya

retrosternal. Pemenuhan tersebut disebabkan oleh


pergeseran letak tranversal apeks ventrikel kanan saat
ventrikel kanan melebar. Karena pada orang dewasa

terdapat korelasi pola vaskular paru dar, pulmonary


capillary wedge pressure (PCWP). Pada PCWP yang
lebih kecil dari 8 mm Hg, pola vaskular adalah normal.
Sementara PCWP meningkat menjadi 10 sampai 72mm
Hg, diameter pembuluh-pembuluh pada zona lebih rendah

Tanda klasik pembesaran ventrikel kanan adalah jantung


"boot-shaped' dan pementhat (filling in) ruang udara

ventrikel kananjarang melebar tanpa pelebaran ventrikel


kiri secara bersamaan, bentuk boot ini seringkali tidak jelas.
Bentuk tersebut paling sering terlihat pada penyakit

nampak sebanding atau lebih kecil dari pembuluhpembuluh padazona yang lebih tinggi. Pada tekanan 12
sampai 18 mm Hg batasan-batasan pembuluh menjadi
lebih buram secara bertahap karena meningkatnya
ekstravasasi cairan ke dalam interstisium. Efek ini
terkadang mudah dikenali sebagai Kerley B lines, yatg
horizontal, basis pada pleura, densitas linier perifer.
Bersamaan dengan meningkatnya PCWP melebihi 18
sampai 20 mm Hg, muncul edema paru dengan adanya

jantung kongenital, biasanya pada tetralogi

cairan interstisial dalam jumlah cukup untuk

pembesaran bilik kanan yang dapat dipercaya.


Pembesaran ventrikel kanan paling sering ditemukan

mengakibatkan gambaran bat wing perihilar. Gambaran


khas tersebut dapat berubah untuk beberapa hal. Pada
pasien fibrosis paru luas atau bula multipel, terdapat pola
vaskular abnormal pada baseline dan jika terdapat
peningkatan PCWP, tak ada perubahan yang dapat
diprediksi. Pada pasien gagal jantung kronis, terdapat
perubahan-perubahan kronis pada pola vaskular paru
yang tidak berhubungan dengan perubahan yang muncul
pada pasien dengan tekanan ventrikel kiri yang normal
pada baseline.

FaLLot.

Bersamaan dengan melebarnya ventrikel kanan, ventrikel


tersebut meluas secara superior juga secara lateral dan
posterior, memenuhi ruang udara retrosternal. Ajaran yang
klasik adalah pada foto rontgen dada lateral, pada pasien
normal densitas jaringan lunak terbatas pada kurang dari
sepertiga jarak dari suprasternal notch sampai ke ujung
xyphoid. Jika jaringan lunak tersebut memenuhi lebih dari
setengah jarak ini, hal tersebut merupakan indikasi

pada penyakit katup mitral, setelah terjadi hipertensi


pulmonal. Yang lebih jarang adalah karena hipertensi
pulmonalprimer.

ATRIUM KIRI
Terdapat beberapa tanda klasik yang menunjukkan
pembesaran atrium kiri. Yang pertama adalah pelebaran

1542

KARDIOI.OGI

kanan. Ventrikel kiri tetap berukuran normal. Pada


regurgitasi mitral, atrium dan ventrikel kiri keduanya
beflambah besar karena meningkatnya aliran. Redistribusi

vaskular paru lebih bervariasi pada regurgitasi mitrai


dibandingkan dengan stenosis mitral, seperti halnya
pelebaran ventrikel kanan.

VENTRIKEL KIRI
Pembesaran ventrikel kiri dicirikan dengan kontur apeks
yangjelas dan mengarah ke bawah, yang dibedakan dari
pergeseran letak transversal seperti yang terlihat pada
pembesaran ventrikel kanan. Kontur keseluruhan jantung
biasanya juga membesar, meskipun hal ini tidak spesifik.
Juga penting mengevaluasi ventrikel kiri pada posisi lateral, di mana tampak sebagai tonjolan posterior, di bawah
tingkatan anulus mitral. Pembesaran ventrikel kiri fokal
pada orang dewasa paling sering terlihat pada insufisiensi
aofta atau regurgitasi mitral (dengan pelebaran atrium kiri).
Pelebaran ventrikel kiri lebih jarang pada stenosis aorta,
rneskipun hal tersebut dapat terjadi, bersamaan dengan
gagal jantung kongesti l.
Gambar 2. A) Radiografi dada lateral; B). Gambaran anatomis
ruang jantung dan pembuluh darah; C). Diagram proyeksi lateral
pada ruang jantung, cincin katup dan sulci

ARTER! PULMONALIS

Arteri pulmonalis utama dapat terlihat abnormal pada


left atrial appendage di mana biasanya tampak sebagai
cembungan fokal dalam keadaan normal terdapat
cekungan di antara arteri pulmonalis utama kiri dan batas
kiri ventrikel kiri pada penampakan frontal. Yang kedua,
dikarenakan lokasinya, bersamaan dengan membesarnya
atrium kiri, hal tersebut akan mengan gkat left main stem
bronchu.s sehingga akan melebarkan sudut karina. Yang
ketiga bersamaan dengan membesamya atrium kiri secara

posterior, hal tersebut mungkin menyebabkan


membengkoknya aorta torakalis tengah sampai yang
rendah ke arah

banyak keadaan. Pada stenosis pulmonal, arteri pulmonalis


utama dan arteri pulmonalis kiri melebar. Pelebaran ini
dianggap disebabkan oleh efek jet melalui katup stenotik.
Pembesaran ini dapat terlihat dengan hilus kiri yang jelas
pada penampakan frontal dan prominent pulmonary outflow tract pada penampakan lateral. Penting halnya untuk
mengingat bahwa katup pulmonal berada lebih tinggi dan
perifer dari out'low tract dibandingkan dengan katup aorta.
Katup tersebut juga terletak di depan katup aorta pada
penampakan lateral.

kiri. Pembengkokan ini dapat dibedakan

dari liku (tourtuous') yang terlihat pada aterosklerosis,


yang melibatkan aorta torasik desendens pada bagian
atasnya atau keseluruhan. Selanjutnya, dengan

AORTA

pembesaran atrium

kiri yang khas, densitas ganda dapat


dilihat pada penampakan frontal, karena atrium kiri

Pada foto dada frontal, pelebaran aorta terlihat sebagai


tonjolan mediastinum tengah ke arah kanan. Juga terdapat

memberikan proyeksi secara lateral ke arah kanan juga

sebuah tonjolan pada anterior mediastinum pada


penampakan lateral, di belakang dan superior terhadap
pulmonary outflow tract. Pelebaran aortic root paling
sering terlihat pada hipertensi sistemik lama yang tak
terkontrol. Pembesaran aortic root jlga ditemukan pada
penyakit katup aorta.

secara posterior dan dikelilingi oleh paru-paru. Yang


terakhir, pada foto lateral, pembesaran atrium kiri nampak
sebagai tonjolan khas yang mengarah ke posterior.

Pembesaran atrium

kiri

yang terbatas pada orang

dewasa paling sering terlihat pada stenosis mitral, dan


pembesaran atrium kiri merupakan ciri penyakit katup
mitral. Pada stenosis mitral, atrium kiri membesar, terdapat
bukti redistribusi vaskular paru (seringkali dengan Kerley
B lines'), dan pada akhimya terdapat pembesaran ventrikel

Pada stenosis aorta, biasanya terdapat pelebaran fokal

aortic root yang seringkali jelas, dan seringkali tanpa


disertai pembesaran ventrikel kiri. Ventrikel kiri biasanya
menjadi hipertrofi sebagai respons terhadap peningkatan

t543

RADIOI.OGIJANTUNG

resistensi terhadap out'low dibandingkan dengan melebar


seperti yang terjadi sebagai respons terhadap peningkatan

volume aliran yang terjadi karena insufisiensi aorta.


Penebalan dinding ventrikel pada hipertrofi dapat dilihat
dengan pemeriksaan ekokardiografi, CT atau MRI, namun
ventrikel mungkin tampak normal pada pemeriksaan foto
rontgen dada walaupun terdapat stenosis katup aorta berat.
Pada keadaan di mana sudah terjadi dekompensasi ventrikel

kiri, terdapat pembesaran aortic root dan ventrikel kiri.


Pada regurgitasi aorta, keterlibatan aorta biasanya lebih

difus dibandingkan dengan stenosis aorta dan lebih mudah


terlihat. Pada regurgitasi aorta murni, atrium kiri biasanya
tidak membesar. Namun, seiring dengan waktu, mungkin

muncul pelebaran anulus mitral sekunder terhadap


pelebaran ventrikel kiri dengan hasil regurgitasi mitral dan
pelebaran atrium kiri. Meskipun regurgitasi aorta secara
klasik muncul pada demam reumatik (dengan penyakit
katup mitral yang terkait), defek kongenital, atau penyakit
katup degeneratif, mungkinjuga disebabkan oleh penyakit
pada aortic root, termasuk cystic medial necrosls, dengan
atau tanpa sindrom Marfan. Pada cystic medial necrosis,
keterlibatannya difus, dan biasanya terdapat pelebaran
aorta pada tingkatan katup setidaknya melalui arkus. Pada
sifilis tersier, sekarang jarang terlihat, penemuan khasnya
adalah pelebaran khas aorta dari akar sampai ke arkusnya,
namun mendadak menjadi normal diameternya pada

tingkatan ini. Pelebaran aneurisma aorta asendens juga


terjadi pada cystic medial necrosis. Kelainan aorta lainnya,
seperti diseksi akut atau kronis dan ruptur traumatik atau
pseudoaneurisma, lebih baik dilihat dengan CT.

PLEURA DAN PERIKARDIUM


Perikardium jarang dapat dibedakan pada pemeriksaan foto
rontgen dada. Terdapat dua keadaan di mana perikardium

dapat dilihat. Pada efusi berat, perikardium viseral dan


parietal akan terpisah. Karena terdapat bantalan lemak yang
berhubungan dengan masing-masing, terkadang mungkin
untuk membedakan dua garis lucent yar,g paralel pada
foto lateral, biasanya pada daerah puncak (apeks) jantung,
dengan kepadatan (cairan) di antaranya. Biasanya, siluet

jantung tersebut memiliki bentuk "water bottle" jlka


terdapat efusi perikard berat, namun bentuk seperli itu
sendiri tidak memastikan diagnostik.

Kalsifikasi pleura sekaligus perikard dapat muncul,


namun seringkali tidak jelas. Kalsifikasi perikardial
berhubungan dengan riwayat perikarditis dan paling sering
berhubungan dengan tuberkulosis danjuga karena etiologi
lainnya, seperti infeksi viral, biasanya tipis dan linear dan
mengikuti kontur perikardium. Karena kalsifikasi tersebut
tipis, hal tersebut seringkali hanya terlihat pada satu sisi.

REFERENSI
Bettmann MA. The chest radiograph in cardiovascular disease. In:
Braunwald E, Zipes DP, Libby P, eds. Heart disease: a textbook

of cardiovascular medicine 7th ed. Philadelphia:


Saunders;2005.p.21

WB

l-86.

Boxt LM. Radiology of the right ventricle. Radiol Clin North Am.
1999:.37:379

Lipton MJ, Coulden R. Valvular heart disease. Radiol Clin North

Am. 1999;37:31.
Murray JG, Brown AL, Anagnostou EA, et al. Widening of the
tracheal bifurcation of chest radiographs:value as a sign of left
atrial enlargement.AJR 1995 ; 1 64: 1089.
Thomas JT, Kelly RF, Thomas SJ et al: Utility of history, physical
examination, electrocardiogram, and chest radiograph for
differentiating normal from decreased systolic function in
patients with heart failure. Am J Med 2O02;172:43'7.

24t
ELEKTROKARDIOGRAFI
PADA UJI LATIH JANTUNG
Ika Prasetya Wijaya

PENDAHULUAN
Mutlak

Uji latih jantung dengan menggunakan treadmil sering


dikenal dengan tes treadmil. Uji latih ini sudah sering
dilakukan sebagai cara untuk mengetahui adanya

lnfark miokard akut dalam 2 hari


Angina tak stabil yang risiko tinggi
Aritmia jantung tak terkontrol dengan gejala dan gangguan
hemodinamik
Stenosis aorta berat dengan gejala
lnfark paru atau emboli paru akut
Perikarditis atau miokarditis akut
Diseksi aorta akut

gangguan pada pembuluh darah koroner, gangguan irama


serta menjadi bahan referensi untuk pemeriksaan lanjutan
untuk mengetahui adanya kelainan jantung. Ada dua cara
yang dikenal sebagai uji latih yakni dengan treadmil atau
dengan sepeda ergometri.
Sebelum pelaksanaan tes semua alat dan perlengkapan
guna tindakan kedaruratan harus tersedia dalamjangkauan

Relatif
Stenosis di pembuluh koroner left main
Penyakit jantung katup stenosis yang sedang
Gangguan elektrolit
Hipertensi berat
Takiaritmia dan bradiaritmia
Kardiomiopati hipertrofi dan bentuk lain hambatan aliran ke
luar jantung
Gangguan fisik dan mental yang mengganggu jalannya
pemeriksaan
Blok atrioventrikular deraiat tinqoi

tenaga pelaksana. Defibrilator, oksigen dan obat-obat


untuk mengatasi terjadinya gangguan pada jantung

merupakan hal yang wajib tersedia. Tenaga yang


melaksanakan harus mengerti tatalaksana tindakan
kedaruratan kardiak dan sudah menjalani pelatihan
sebelumnya.

. Alat treadmil sebaiknya mempunyai jalur aman di


sisinya untuk menjaga keamanan pasien. Lengan pasien
juga harus bebas dari alat agar mudah dilakukan

Pelaksana tes wajib pula mengetahui obat-obat yang

pemeriksaan tekanan darah oleh pemeriksa.

dikonsumsi pasien sebelum melaksanankan tes.


Penggunaan obat penghambat B sebaiknya tidak

PERSIAPAN SEBELUM TES

dihentikan bila memang sangat diperlukan pasien walau


dapat mempengaruhi hasil tes. Persiapan juga dilakukan
terhadap kebersihan kulit agar tidak menimbulkan banyak

Pasien disarankan untuk tidak makan, minum dan merokok


duajam sebelum tes. Lakukan anamnesis tentang riwayat

artefak pada rekaman EKG.


Pemeriksaan EKG 12 lead wajlb dilakukan sebelum

penyakit pasien dan kemampuan aktivitas fisik pasien

tes baik pada posisi berbaring dan berdiri. Pemasangan


elektroda sebaiknya menghindari daerah lengan agar

terakhir untuk melengkapi status. Laksanakan pemeriksaan


awal dalam keadaan istirahat pada pasien dalam posisi yang

nyaman. Semua

ini untuk mengetahui apakah

pasien

memiliki gejala yang menjadi kontraindikasi mutlak maupun


relatif tes ini. (Tabel l)

tidak menimbulkan gangguan rekaman. Jadi elektrode


lengan sebaiknya diletakkan di bahu, elektroda hijau
(grounds di spina pinggang dan untuk kaki kanan di
bawah umbilikus, atau modifikasi lainnya.

1s44

ELEKTROKARDIOGRAFI

PADA UJI

t545

LAIIH JANTUNG

PELAKSANAAN TES

Komplikasi dapat diketahui segera bila kita tetap

mengurangi terjadinya perubahan gambaran EKG. Setelah


dianggap cukup, pasien duduk atau dapat pula berbaring
sambil tetap dilakukan pengawasan dan rekaman 10 detik

melakukan pengawasan pada tekanan darah, mengawasi


hasil rekaman EKG bertanya pada pasien tentang gejala

pertama setelah kaki berhenti. Pengawasan pasca tes

yang dialami dan gejala keletihan dan melakukan penilaian


terhadap semua gejala atau tanda yang muncul saat tes.

lama sampai gejala atau gambaran perubahan EKG

Selama tes berlangsung sebaiknya lengan pasien tidak


memegang dengan kencang pada tempat pegangan agar
tidak menimbulkan hasil yang tidak sesuai dengan

dilakukan selama 5 menit walau terkadang dilakukan lebih


berkurang atau hilang.

PROTOKOL YANG DIGUNAKAN

kemampuan pasien.

Target frekuensi nadi sebaiknya tidak terlalu


bergantung pada umur agar tidak mengacaukan
kemampuan yang dimiliki pasien, karena kemampuan
yang ada bersifat individual. Walau demikian sebagai
patokan pencapaian kerja fisik dapat digunakan. Kapan
kita melakukan penghentian tes dapat dilihat di

Ada beberapa macam protokol. Yang sering digunakan

Tabel 2.

perlahan saja.

Mutlak
Tekanan darah sistolik turun drastis > '10 mmHg dari hasil
pemeriksan sebelum uji latih disertai bukti lain adanya
gejala iskemia
Angina sedang ke berat
Gejala sistem saraf meningkat (seperti ataksia, mengantuk
dan gejala sinkop)
Tanda rendahnya perfusi (sianosis dan pucat)
Sulit untuk evaluasi EKG dan tekanan darah
Pasien meminta berhenti
Takikardia ventrikel menetap

E/evasl ST (>1.0 mm) tanpa ada diagnosis gelombang Q


(selain /eadVlatau aV)

Relatif
Tekanan darah sistolik turun drastis > 10 mmHg dari hasil
pemeriksaan sebelumnya namun tanpa disertai gejala
iskemia
Perubahan ST dan QRS seperti menurunnya ST (>3 mm
penurunan segmen ST baik horisontal maupun
downsloping) atau perubahan aksis tetap
Aritmia selain aritmia ventrikel suslalned
Lemas, sesak napas, timbul mengi, kram kaki atau gejala
klaudikasio
ferjadi bundle branch block pada konduksi intraventrikular
yang tidak dapat dibedakan dengan takikardia ventrikel
Nyeri dada yang meningkat
Hipertensi yang meningkat

Untuk mengetahui kemampuan pasien sesungguhnya,


dapat digunakan skala Borg.

adalah protokol Bruce dan Naughton. Pada metode Bruce,


selama menjalani uji latih, pasien akan mendapatkan beban
dari alat dengan menaikkan ban berjalan beberapa derajat
disertai penambahan kecepatan setiap peningkatat stage.

Metode Naughton hanya ada peningkatan kecepatan

l,ll-Grade Scale

1i-Grade Scale
b
7
8

Very, very light

Very light

11

Fairly light

12
13
14

4
5

Somewhat hard

15

Hard

0.5
1

'10

Nothing
Very, very weak (jusl
Very weak
Weak (light)

,.

16
17

Somewhat strong
Strong (. )
Very strong

10

Very, very strong (hampir


maksimum)

'18

19

Very, very hard

Maksimum

20

* From berg GA Med Sport. 1982;14:377-381 Reproduced


with permission

FREKUENSI NADI
Target denyutjantung yang akan dicapai sebaiknya bukan
menjadi masalah untuk tidak memastkan bahwa hasil tes
tidak dapat diolah. Semua hasil tes disimpulkan sesuai
dengan gejala atau gambaran rekaman yang terjadi selama
pelaksanaan tes.

PEMULIHAN DENYUT JANTUNG


FASE PEMULIHAN SETELAH TES

Denyut Jantung atau frekuensi nadi akan berkurang


Setelah mencapai kemampuan maksimal, maka pasien
diminta untuk berhenti secara teratur. Setelah alat teadmil
berhenti sempurna, pasien tetap menggerakkan kakinya

seperti jalan

di tempat dengan santai. Hal ini untuk

dengan cepat setelah tes dihentikan. Apabila berkurangnya

denyut jantung kurang dari 20 kali/menit pada menit


pertama dan kedua, maka ini menjadi prediktor
meningkatnya risiko kemalian.

1546

I(ARDIOLOGI

TEKANAN DARAH

A.resting ST elevation--------| Exercise induced ST depression


or at PQ level

i"'

Tekanan darah sistolik seharusnya naik saat tes


berlangsung. Bila terjadi penurunan tekanan darah di

ii
l

ii

li
it

btiwah tekanan darah sebelum tes, bisa menjadi kriteria


yang diwaspadai. Bila terjadi aktivitas yang menyebabkan
terjadin-va hipotensi, maka dianggap terjadi disfungsi
ventrikel kiri, iskemia atau obstruksi alilan keluar.

J-Junction

Standing pro- exercise


Exercise response

Peningkatan tekanan darah yang cepat saat tes


beriangsung menjadi penilaian adanya kemungkinan

B. When the ST level begins below the isoelectric line:

tir-nbulnya iskemia.

Standing pre- exercise


Exercise response

KAPASITAS FUNGSIONAL
Kemampuan mencapai kapasiias maksimal saat aktivitas
menjadi salah satu penilaian. Untuk mengetahui dapat
disesuaikan dengan skala MET. (Tabel 4)

J-JunoUon - ,-'

ResUng ST depression with

Exercise induced St dePression

D
Rest ng ST depresion
with spasmor exercise
lnduced ST elevalron

1 MET

2 METs

4 METs
<5 METs
1O

METs

13 METs
18 NIETs

20 METs

Resting
Level walking at 2 millhour
Level walking at 4 millhour
Poor prognosis: peak cost of basic
activities of daily living
Prognosls with medical therapy as
good as coronary aftery byPass
surgery
Excellent prognosis regardless of other
exerctse responses
Elite endurance athletes
Word-class athletes

iransmura

Standinq

prc

exerclse

E.Wal! motion abnormalitY

(Not ischemia)
St elevalion with tachYCardia
over diagnosis Q waves

INTERPRETASIEKG
PQ

Point

Depresi ST segmen menunjukkan iskemia subendokardial.


Digunakan gambaran pada lead V5, serta II dan aVF.
Gambaran EKG pada kemampuan maksimal (ercercise
mcLrimal) dan masa 3 menit saat recoven, menjadi waktu
yang perlu diwaspadai.
Aktivitas tes yang menimbulkan elevasi atau depresi

segmen ST menunjukkan adanya iskemia. E,levasi

schem a

l---l--*a:--\ i
\ I
li

Measured

sr

deprssror

'
Gambar

-:----

Standing pro- exercise


Exercise response

1.

gambarkan terj adinya iskemi a transmural yang bersifat


aritmogenik, biasa berhubungzrn dengan spasme dan lesi

men

yang jelas pada arteri. Elevasi juga bisa menjadi patokan


lokasi lesi. Depresi biasanya berhubungan dengan iskemia

SKOR TES AKTIVITAS

subendokardial yang tidak aritmogenik dan tidah


berhubungan dengan spasrne maupun lokasi lesi.
Uji latih jantung juga dapat menimbulkan timbulnya
aritmia. Yang sering terjactri adalah kontraksi ventrikular
prematur (PVC). Biasa terjadi pada orang usia lanjut dengan
penyakit kardiovaskular, PVC saat istirahat maupun akibat
iskemia. Baik akibaraktivitas maupun istirahar, PVC menjadi
prediktor timbulnya perburukan.

ACC/AHA menganjurkan untuk menggunakan skor guna


meningkatkan kemampuan tes untuk mencapai hasil yang
sesuai denga keadaan penyakit pasien. Dapat digunakan
nomogram berikut. (Gambar 2)
Skor yang sering digunakan adalah skor Duke's
Skor treadmil= lama ercercise (5 kali deviasi ST (4 kali
indeks angina TM)

ELEKTROKARDIOGRAFI

t547

PADA UJI LATIH JANTUNG

EXERCISE CAPACITY
(%of normal in referral males)

Less than 100 bpm

Maximal Heart

20

100toJ29bpm=24

25

130 to 159 bpm =

30

160

35.
40

:30

Ratc

to

159

50

Oso

Low

I6o

55

<40 =

Exercise ST
Dcpression

45
IJJ

70

>2mm=25

7
8

40 to 55

10n
110

'so

130

20

)rs:

12

TO

75

1l

80

12

Llypercholestcrol

85-

13

cmia'l

90

14

Diabetes

40-60 =

Probable/arypical:

lntermediate

Non- cardio pain

15

Yes=

Probabilitl

5
3

>60 =

High
Probability

Reason for stopping

Gambar

Exercise Test
induced angina

Probabolity

Definite/Typical

Angina History

,12A
7A

>55 yrs

Ag"

,80
60
65

12

190 to 220 bpm

..

bpm =

Total Score =

1.

Muimal

Lama ercerclse dalam menit. deviasi ST dalam mm dan


indeks angina TM (treadmil) adalah: 0 untuk tidak ada

Heart

100
130

angina, 1 untuk angina yang tidak mempengaruhi

160

excercise,2 untuk angina yang menyebabkan hambatan


excercise. Bila skor kurang atau sama dengan -11 maka
risiko meningkat. Sedangkan skor Iebih atau sama dengan
+5 risiko rendah.

Sebelum melakukan tes aktivitas sebaiknya kita


mengetahui kira-kira pasien perlu menjalani pemeriksaan
angiografi atau tidak. Dapat digunakan tabel berikut. Bila
pasien telah menjalani ujr latih jantung maka untuk tindakan

lanjut yang diperlukan pasien dapat diprediksi melalui


tabel-tabel di bawah ini:

Less than I 00 bpm

20

Rate

Exercise ST
Dcpression

90 to 220 bprr
1-2mm

<31=

Low
Probabolity

> 2mm: 10
>65 yrs:25

Age

50 to 65

Angina History

Women

to 129 bpm = 16
to 159 bpm : 2
to 159 bpm : 8

yrs:

15

Definite/Typical: l0

31-75 =

Intermediate
Probability

6
Probable/arypical
Non- cardio pain: 2

>57 =

High
Probability

Hypercholesterolemia ?
Diaberes ?
Excrcise Test
induccd angina ?

l0

Reason for stopping: 15


Positive: -5, negative =
Variable

Age

Gircle response

Men 4o-55, women =

\4en
Bstrogen

sum

Total Score =

Men <40, women <50 = 3

55,

5o-65
,,

\\omer, o5 q
Positive =

-3

Nccxti\e=
-Y".

I
2

|
I
|

Pretest
<9=
Lorr
Probability

REFERENSI

status

Diabctes

Obesity
Famili History
Hypercholeste

yes: I
YCS=

Yes:

Yes:
Yes:

rolemia
Hypertension
Smoking

Total Score =

I
II

s_15

lntermediate
Probabilitv
"

,tS=
nigr,

Chaitman BR. Exercise stress testing. Dalam Braunwald's et ai editor. Heart disease. a textbook of cardivascular medicine. Edisi 7.

New York 2005. 153-85


Engel G et al. ECG exercise testing. Dalam: Fuster V et a1 editor
Hurst's the heart. Edisi 11. New York, McGraw-Hi1l. 2004:
467 -80.

242
PEMANTAUAN IRAMA JANTUNG
(HOLTER MONITORING)
M. Yamin, Daulat Manurung

PENDAHULUAN

mengalami gejala maka dapat dilakukan interogasi dengan


alat khusus yang disebut programmer. ILR dapat dipakai
selama satu tahun. Alat ini bermanfaat untuk diagnosis
aritmia yang sangatjarang muncul yang biasanya disertai
sinkop.

Ada tiga hal penting yang harus diketahui oleh seorang


dokter yang dihadapkan pada kasus gangguan irama
jantung (aritmia) yaitu jenis aritmia, gejala yang berkaitan
dengan aritmia tersebut, dan penyebab atau penyakit yang
mendasarinya. Rekaman EKG permukaan 12 sandapan
sering tidak dapat memberikan informasi tersebut secara
lengkap. Untuk tujuan ini pemantauan irama jantung

INDIKASI

ambulatori yang non-invasif (Holter Monitoring) telah


digunakan secara luas. Selain untuk mendeteksi aritmia

Indikasi penggunaan HM adalah:


. Menilai gejala yang mungkin berkaitan dengan aritmia:
- Pasien dengan sinkop atatnear-syncope yangtidak
dapat diterangkan atau gejala pusing dengan
penyebab yang tidak jelas
- Pasien dengan palpitasi berulang dan tidak dapat
diterangkan
. MenilaiTerapi antiantmia
.. Menilai fungsi alat pacu jantung dan implantable
c ar diov e rt e r defib rill at o r (ICD)

HM kerap dipakai untuk membantu diagnosis penyebab


sinkop. Teknik ini perlama kali diperkenalkan oleh Holter
padatahun 1950-an.
Komponen pada Holter Monitoring (HM) terdiri dari
alat perekam (recorder) 24 jam yang berbentuk kaset,
penanda waktu internal, catatan aktivitas dan gejala, dan
tombol pen anda gej ala (sy mpt om - indi c at o r butt on). Si stem
ini dihubungkan dengan elektrode dua sadapan untuk
mendapatkan gambaran EKG yang optimal.
HM biasanya digunakan pada pasien dengan gejala
aritmia yang muncul setiap hari karena hanya dipasang
selama 24 jam. Untuk pasien dengan aritmia yang jarang

INTERPRETASI

(muncul dalam dua atau tiga hari sekali), digunakan

Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam


interpretasi hasil HM adalah aritmia muncul intermiten,
variasi diumal terhadap irama jantung, adanya pengaruh

modifikasi HM yaitu alat perekam kejadian (event recorder)


yang merekam EKG secara terus-menerus pada pita dan
hanya kejadian 30 sampai 90 detik terakhir yang dapat
diputar ulang. Saat pasien merasakan gejala aritmia maka
ia dapat mengaktifkan tombol dan menghentikan rekaman
serla mengirim data melalui telepon ke pusat penerima data.
Modifikasi HM yang tercanggih adalah ILP.(implanttable
loop recorder) yang ditanam di bawah kulit seperti pacu
jantung. Alat ini merekam EKG secara berkesinambungan
selama 24 jam dan menghapusnya kembali. Bila pasien

aktivitas fisik dan tekanan emosi (s/ress emotional)


terhadap aritmia.

Hasil rekaman data dianalisis secara otomatis oleh


komputer. Teknisi akan membantu pelacakan (scanning)
dan menyunting data. Sistem komputer akan menghitung
laju jantung, premature atrial danventricular beat, dan
takikardia lainnya.
Dokter yang melakukan penafsiran harus mengaitkan

1548

1549

PEMANTAUAN IRAMA JANTUNG GIOLTER MONITORING)

data rekaman dengan gambaran klinis dan gejala yang


dirasakan pasien. Sering didapatkan kelainan irama pada
pasien dengan jantung normal dan tidak bergejala seperti
sinus bradikardia berat (laju nadi kurang dari 40 x/menit),

sinus pause, premature

atrial

dan ventricular beat,

bahkan blok atrioventrikular tipe Wenckebach (terutama


saat tidur). Adanya sinus aritmia dan sinus bradikardia
berat dalam keadaan istirahat pada atlit terlatih adalah
normal. Sebaliknya bila didapatkan irama sinus normal pada
saat pasien merasakan gejala yang berat maka harus
dipi kirkan penyebab non-aritmta.
Jenis aritmia yang ditemukan dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kategori berikut im:

Risikotinggi:

Takikardiaventrikel
Fibrilasi ventrikel
Blok AV total dengan escape beat yang tidak
memadai

Wolf-Parkinson-White dengan konduksi cepat saat


hbrillasi atrial (AF)
Risiko sedang:

Blok AV derajat 2
Blok AV derajat 3 dengan escape beat yang memadai
Risiko rendah
- Premature atrial complex

berisiko tinggi untuk terjadinya kematian mendadak. Geiala


tersebut dikelompokkan menj adi :
l. Risiko tinggi: hampir pingsan, pingsan, dan aborted
,sudden death
2. Risiko sedang: pusing, palpitasi berat, perburukan gejala

3.

gagal jantung
Risiko rendah: pusing ringani palpitasi.

memperlihatkan rekaman HM pada pasien


dengan keluhan utama berdebar dan hampir pingsan.

Gambar

Data berikutnya yang harus dicari adalah penyakit yang


mendasari aritmia tersebut. Ditemukannya PVC kompleks
pada pasien dengan jantung normal tidak memberikan nilai
prognostik yang bermakna. Sebaliknya PVC kompleks pada
pasien dengan penurunan fungsi ventrikel kiri memberikan

implikasi yang bermakna untuk terjadinya kematian


mendadak.
Dengan semua informasi di atas maka dapat ditentukan
strategi penanganan yang tepat: menghilangkan gejala atau
mencegah kematian mendadak.

Premature Ventricular Contraction (PYC)


kompleks yang disertai penyakit jantung

hemodinamik. Bradiaritmia atau takiaritmia seperti ini

PVC

Disfungsi sinus node


Takikardiasupraventrikel

BlokAVderajat

PVC kompleks tanpa kelainan jantung

Setelah menentukan jenis aritmia yang didapat, langkah


selanjutnya adalah mencari gejala yang berkaitan dengan
aritmia tersebut. Secara umum gejala yang dikeluhkan
pasien adalah palpitasi, pusing, hampir pingsan, dan

kehilangan kesadaran (sinkop). Aritmia yang disertai


kehilangan kesadaran menandakan adanya gangguan

KESIMPULAN
Diagnosis aritmia tidak selalu dapat ditegakkan dengan

rekaman EKG perrnukaan sesaat. Apalagi untuk


menghubungkan antara aritmia dengan gejala yang
dirasakan pasien. Holter Monitoring (HM) merupakan alat

sederhana yang bersifat noninvasif yang dapat


memberikan jalan keluar atas kesulitan tersebut.
Interpretasi hasil HM harus dilakukan secara holistik

dengan mengintegrasikan gejala, jenis aritmia yang


ditemukan, dan penyakit/kelainan jantung yang
mendasarinya. Berdasarkan itu dilakukan stratifikasi
risiko rendah, sedang, dan tinggi. Penanganan aritmia
secara umum diarahkan untuk mengurangi gejala
dan mencegah kematian mendadak akibat aritmia
fatal.

Gambar 1. Rekaman Holter monitoring pada pasien dengan keluhan utama palpitasi
dan hampir pingsan Terekam aritmia berupa fibrilasi atrial dan henti sinus (slnus
arrest)

1550

KARDIOI.OGI

REFERENSI
Dougherty AH and Naccarelli GV. Noninvasive evaluation in
patient with cardiac arrhythmias. In: Vlay SC. A practical
approach to cardiac arrhythmias. 2"d Ed, Liitle, Brown and
Company, 1996
Fogoros RN. Electrophysiologic testing.

3rd Ed, Blackwell

Science,

t999
Lee H. Ambulatory electrocardiography and electrophysiology tesr
ing. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a

textbook of cardiovascular medicine.Tth Ed, Elsevier Saunders,


2005.
Wrought RA and Wagner GS. Electrocardiographic monitoring.
In:Waught RA, Ramo BW, Wagner GS (Eds). Cardiac
arrhythmias: a practical guide for clinician. 2'd Ed, FA Davis
Company, 1994.

243
PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDIOGRAFI
AliGhanie

PENDAHULUAN

mengatasi hal tersebut belakangan muncul eko


transesofageal (ETE) yang bersifat invasif, di mana

Ekokardiografi merupakan alat diagnostik di bidang


kardiovaskular dengan prinsip dasar gelombang suara

transduser dilekatkan pada ujung alat endoskopi. Dengan


cara ini transduser dimasukkan melalui esofagus sampai
kelambung, dan evaluasijantung dilakukan dari belakang,
sehingga limitasi TTE dapat diatasi karena jarak yiulg lebih

frekuensi tinggi. Dengan transmisi gelombang suara,

diharapkan terjadi pantulan gelombang yang akan


memberikan kontur yang sesuai dengan jaringan yang

dekat dengan target, serta jaringan pemisah antara

memantulkan transmisi gelombang. Sehingga dengan alat


ekokardiografi akan diperoleh kontur dinding pembuluh
darah, ruang-ruang jantung, katup-katup jantung serta
selaput pembungkus jantung. Pencitraan akan tergambar
dalam bentuk satu dimensi (m-mode) dua (2-D) bahkan
dimensi tiga(3-D) atau empat (4-D).

transduser dan target dapat diabaikan.

Adanya dopler pada alat eko yang menggunakan


prinsip transmisi pantulan gelombang suara oleh sel darah
merah, akan memungkinkan pengukuran kecepatan

(velositas) dan arah aliran darah dalam jantung dan


pembuluh. Oleh karena itu dapat dipakai untuk pengukuran
hemodinamik jantung seperti isi sekuncup. curah jantung,
tekanan, dan' pressure gradien' .
Sementara sistem warna pada eko (color flow mapplng) memungkinkan untuk menentukan arah dan sifat
aliran darah baik yang 'stream line' atat turbulen. Oleh
karena itu dengan modalitas tersebut pengukuran dopler
dapat diarahkan melalui bimbingan aliran yang berwama
(color guided dopler), selain dapat dengan mudah melihat
adanya aliran-aliran turbulen akibat regurgitasi, stenosis
maupun aliran abnormal melalui defek pada septum atrial

Selain daripada itu dikenal beberapa prosedur eko


invasif yang lain yaitu intraoperatif, dengan meletakkan
transduser langsung ke permukaan jantung pada saat
operasi jantung, serta pemeriksaan eko intravaskulat

(in'

tra vascular trltrasound=Ivus) di mana transduser


diletakkan pada ujung kateter pada prosedur angiografi
koroner.
Dengan perkembangan teknologi di bidang ultrasound
belakangan dikenal pula pemeriksaan eko dengan kontras
untuk melihat adanya defek pada sekat maupun dalam
evaluasi kinesis gerakan dinding jantung, sementara itu

pemeriksaan tissue dopler lebih diarahkan untuk


mendeteksi kinesis jantung yang dapat dikaitkan dengan
penyakit jantung iskemia, dan diastologi.
Dalam bab diagnosis ekokardiografi ini hanya akan
dibicarakan beberapa basis modalitas eko seperti M-mode,
eko 2 dimensi, eko warna, eko dopler sederhana, dan eko

transesofageal yang sering diternukan dalam praktek


sehari-hari.

atau ventrikel.

Pada awalnya pemeriksaan eko bersifat noninvasif,


karena pemeriksaan dilakukan dengan transduser (sumber:

INSTRUMENTASI

dan penerima gelombang suara) melalui dinding dada,


dikenal sebagai pemeriksaan eko transtorakal (ETT)'
Namun ada beberapa keterbatasan ETT pada keadaan

Transduser
Merupakan kelengkapan alat eko berupa sumber:
gelombang suara ultra yang berasal dari kristal
piezoelektrik, sehingga memungkinkan terjadinya

tertentu seperli pasien emhsema, gemuk, serta tidak mampu

dalam evaluasi ruang seperti apendik atrium. Untuk

1551

t552
pencitraan. Melalui transduser, gelombang suara dapat
diarahkan secara elektronik atau mekanikal ke arah target
sasaran yang dikehendaki.

Pilihan transduser tergantung dengan frekuensi,


semakin tinggi frekuensi semakin besar kemampuan
resolusi (kemampuan memisahkan dua objek yang
berdekatan), namun ke dalaman penetrasi akan berkurang.

KARDIOIOGI

OSKILOSKOP
Merupakan layar dengan berbagai ukuran, menampilkan
hasil proses pengolahan gelombang suara yang diterima
oleh transduser setelah melalui berbagai proses perubahan
sifat gelombang suara, amplifikasi serta prosedur teknis
lain yang tidak menjadi topik dalam bab ini.

Oleh karena itu dalam pemeriksaan eko diupayakan


menggunakan frekuensi yang paling tinggi tetapi masih

mempunyai kemampuan penetrasi yang maksimal.


Biasanya pada satu transduser telah dilengkapi dengan
multi frekuensi, sementara ke dalaman dapat diatur.
Dikenal dua macam transduser yaitu transduser untuk
pemeriksaan melalui dinding toraks, dan transduser untuk
pemeriksaan melalui esofagus. (Gambar I dan 2)

Printer
Dapat dilakukan dokumentasi dengan printer hitam putih,
berwarna, dengan video maupun sistem digital. Pada
rekaman gambar/foto ('stop picture') terdapat beberapa

kendala kelengkapan gambar yang barangkali tidak


dianggap penting oleh ekokardiografer. Oleh karena itu
sebaiknya dilakukan dokumentasi dengan video sehingga
diperoleh kondisi yang menyerupai'real time' , akan tetapi
menyita waktu dan terjadi penurunan gradasi kualitas
gambar. Sistem digital dapat mengatasi masalah kualitas
gambar sama dengan aslinya dan memudahkan sistem
arslp.

TEKNIK PEMERIKSAAN
Hasil gambar eko sangat subjektif tergantung keterampilan
dan pengalaman dari ekokardiografer. Oleh karena itu
seorang ekokardiografer dituntut mempunyai kompetensi
pengetahuan dasar mengenai gelombang suara ultra dan
karakteristik kemampuan mesin eko dalam pengaturan
gambar, sehingga dapat dibuat gambar yang standar,
Gambar 1. A. Transduser linear untuk pemeriksaan vaskular
B. Transduser Eko Transtorakal (Sumber: A.Ghanie, Div.
Cardiology, Dept int.Med. Facutty of Medicine, Sriwijaya

informatif dan dapat diulang dengan kualitas gambar yang

University Palembang)

dengan anatomi maupun hemodinamik akibat kelainan


yang didapat maupun kongenital.

sama. Selain itu dibutuhkan pengetahuan anatomi jantung


normal beserta varian normal, kelainan yang berhubungan

MODALITAS EKO DAN PERANNYA DALAM DIAGNOSIS KARDIOVASKULAR

Ekokardiogtati M-Mode
Merupakan eko satu dimensi, di mana dilakukan pencitraan
satu garis dari anterior sampai ke posterior bidangjantung

yang kemudian dengan waktu akan tampak pada layar


sebagai gerakan dari kiri ke kanan(motionmode=M-mode).
Walaupun merupakan modalitas yang pertama di bidang
eko, kemampuan resolusi spatial jelek, namun mempunyai
kelebihan dalam resolusi temporal kar ena 'frame rate' y ang
cepat, oleh karena itu sangat baik untuk objek yang
bergerak.
Gambar 2. Transduser Ekoardiografikardiografi transesofageal
(Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int.Med Facutty of
Medicine, Sriwijaya University Palembang)

Agar gambar dan pengukuran akurat, dibutuhkan


potongan tegak lurus terhadap struktur yang akan diambil.
Saat ini dengan adanya sistem digital, potongan tegak lurus

1553

PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDIOGRAFI

dapat dilakukan pasca pengambilan gambar, walaupun


dengan posisi yang kurang baik.
Beberapa informasi yang dapat diperoleh dengan
modalitas M-mode ini antaralain:
. Pengukuran dimensi ventrikel, tebal dinding ventrikel
atau septum, affium, aorta
. Pengukuran fungsi jantung dengan fraksi ejeksi, bila

.
.

150-330

IVS

0 60 - 1.00

PW

0.50 - 0 90
27.00 - 57.00

LA

61.00 - 90 00
2 00 - 3.10
1 80 - 3.00

LVM

35.01

LVMI

23 34 - 108 82

AO

Gambaranperikardium

Kejadian waktu di jantung, misalnya waktu relaksasi


isovolemik, waktu ej eksi

320 - 460

ESD

EF

potongan yang perpendikuler.


Estimasi masa ventrikel kiri dengan menggunakan
formula, misalnya 'formula Pen'

Range

EDD

FS

kondisi gambar memungkinkan untuk melakurkan

Parameter
Ekokardiografi

Bersama dengan eko wama dapat menentukan gambaran


aliran.

48 00 - 70.00
153 00 - 180.00

BSA

Beberapa rujukan parameter ukuran normal pada

157 85

0 30 - 0.45

RWT
BW

1 42

- 1.77

Rata-rata

Standar
deviasi

9353 0 3549
1324 0.3607
0.8147 8.214E-02
0.7176 I 338E-02
46.0294 7 2007
81.2941 5 9520
27088 0.2927
22324 0.4290
95 0418 29.4444
61 '1988 18.8395
0 3761 4 199E-02
7 1189
55 6029
3

163.4412
1

5718

7 2329

8.266E-02

Sumber: A Ghanie Parameter echo normal Unpublished

pemeriksaan M-mode dapat dllihat pada Tabel 1, 2, demikian


pula beberapa contoh kasus yang dapat dievaluasi dengan

modalitas M-mode.

Parameter

Range

Rata-rata

Standar
deviasi

4.02
2.069

0.4580
0.3799
0.07

Ekokardiografi

IVS

4.90
3.30
0.70 - 1.00

PW

0 70 - 0

0.078

2.20 - 3.60
1.70 -

7.93
4.07
o 245
o.412

EDD
ESD

3.'10 -

1.50 -

FS
EF
AO

3.00

LA

2 867
2.217

Gambar 3. Ekokardiografikardiografi M-mode pada orang


normal dengan bimbingan 2-D melalui katup mitral menunjukkan
titik pembukaan katup mitral fase cepat (E), plateu (F), pembukaan
fase lambat (A), penutupan mitral (CD). Ventrikel kanan (BV),
septum ventrikel (lVS), ventrikel kiri (LV). (Sumber : A.Ghanie,

.41 106.087 29.561 I


4192 17 5942
388 0.05326
8.033
47 0 -7200
59.33
154.0 - 179.0 163.359 5 98
1.34 - 1 80
1.6213 0j042

53.53 - 177
36.42 - 101.12 67
023-053
0

LVM

LVMI
RWT
BW
H

BSA
Sumber

0.8M

90
0.772
48 25
28.0 - 58.0
80,307
63.0 - 90.0

Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwiiaya


University Palembang)

A.Ghanie. Parameter echo normal. Unpublished

Keterangan :
EDD: End Diastolic Diameter, ESD: End Systolic Diameter,
IVS: lnterventricular Septum, PW: Post Wall, FS: Fractional
Shortening, E: Ejection Fraction, AO: Aorta, LA: Left Atrium,
LVM: Left Ventricular Mass, LVMI: Left Ventricular Mass
lndex, RWT: Relative Wall Thickness, BW: Body Weight, H:
Height, BSA: Body Survace Area

EKO DUA DTMENST(EKO 2-D)


ara'real time'

Gambar 4. Ekokardiograti M-mode dengan bimbingan 2-D

mempunyai resolusi spasial lebih baik dari M-mode.


Target adalah jaringan, sehingga lebih berperan dalam

menunjukkan gambaran katup aorta yang normal berupa gambaran


jajaran genjang pada saat sistol dan berupa garis pada saat diastol
Di sini terlihat atrium kiri membesar 47 cm. (Sumber : A.Ghanie,

Lebih mampu melihat struktur dan fungsi

sec

evaluasi morfologi j antung.


. Mencerminkan gerakan dan anatomi jantung.

Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriiliaya


University Palembang)

1554

Gambar 5. Ekokardiografi M-mode dengan bimbingan 2-D pada


pasien gagal jantung kongesti (kardiomiopati dilatasi), terlihat dilatasi

ventrikel kiri pada saat diastol dan sistol, septum dan dinding
belakang ventrikel terlihat hipokinesis (tidak ada perubahan ketebalan
septum dan dinding belakang sepanjang fase) (Sumber:A.Ghanie,

Div. Cardiology, Dept int Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya


University Palembang)

Gambar 6. Ekokardiograti M-mode dengan bimbingan 2-D pada


pasien efusi perikardium, hiperlensi dan gagal ginjal kronik, terlihat
daerah posterior yang bebas ekokardiografi, penebalan septum
ventrikel (lVS) dan dinding posterior venirikel kiri (LVPW). (Sumber
: A Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine,
Sriwijaya University Palembang)

Gambar.7. Ekokardiografi ftrl-mode dengan bimbingan 2-D pada


pasien dengan kardiomiopati hiperlrofik obstruktif, terlihat gerakan
katup mitral ke anterior pada saat sistol (SAM= 'systolic anterior
motion'). (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med.
Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)

IqRDIOI,.OGI

Gambar.8. Ekokardiografi M-node dengan bimbingan 2-D pasien


hipertensi dengan hipertroii ventrikel kiri Septum ventrikel
(IVSD=2.27 cm) normal <1 cm, dinding posterior (LVPWd= 1.16
cm) normal < 1 cm (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology,

Dept.int Med Faculty of Medicine, Sriwijaya University


Palembang)

Gambar 9. Ekokardiograli M-Mode dengan bimbingan 2-D pasien


stenosis mitral, EF slope mendatar, katup posterior bergerak ke
anterior sejajar dengan katup anterior (Sumber : A.Ghanie, Div.

Cardiology, dept int.Med Faculty of Medicine, Sriwijaya


University Palembang)

Gambar

0. Ekokardiograf i M-mode dengan bimbingan 2-D melalui

aofia terlihat separasi daun katup aoda anterior (AAC) dan posterior (PAC) aoda Stenosis (Sumber: A Ghanie, Div. Cardiology,

Dept int.Med Faculty


Palembang)

of Medicine, Sriwijaya University

1555

PENGAIYTAR, DIAGNOSIS EKOKARDIOGRAFI

Bidang Penyitraan
Pengambilan gambar eko dilakukan melalui suatu celah
sempit yang disebut 'acoustic windows' atau jendela eko
pada sela iga III garis para sternal kanan, apeks, melalui
suprasternal, atau subkostal.
Pada dasarnya ada tiga bidang utama dalam pengambilan
gambar eko:
. Sumbu panjang ('long axis'), merupakan bidang tegak
lurus dengan permukaan anteroposterior dada dan
sejajar dengan sumbu panjang jantung. Pada bidang
ini secara anatomi akan tergambar dinding depan

ventrikel kanan, ventrikel kanan, septum ventrikel,


ventrikel kiri, serta dinding posterior ventrikel kiri
(Gambar13)

Gambar 11. Ekokardiograti M-Mode dengan bibingan 2-D dari


katup pulmonal normal (Sumber :A.Ghanie, Div. Cardiology,
Dept int Med Faculty of Medicine, Sriwiiaya University
Palembang)

Gambar 12 Ekokardiografi M-modedengan bimbingan 2-D pasien


regurgitasi mitral potongan perpendicular sempurna melalui ujung

katup mitral, terlihat hipertrofi septum dan dilatasi ventrikel kiri


dengan fungsi pompa yang masih baik. (Sumber : A.Ghanie, Div.
Cardiology, Dept.int Med. Faculty of Medicine, Sriwiiaya Univer'

sity Palembang)
Gambar 13. Ekokardiograti 2-D sumbu panjang menunjukkan
potongan ventrikel kanan (BV), ventrikel kiri (LV), septum ventrikel

(lVS), Aorta (Ao), Atrium kiri (LA), katup mitral dalam hal ini

stenosis (MV). (Sumber: A.Ghanie, Div. Cardiology,


Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwiiaya University
Palembang)

Pengukuran ventrikel

kiri

dan tebal dinding pada

keadaan rli mana M - mo de idak memenuhi syarat.


Pengukuran isi sekuncup
Pengukuran fraksi ejeksi dan volume
Pengukuran area rnitral dengan planimetri.

Sumbu pendek (',short axis'), merupakan bidang tegak


lurus permukaan anteroposterior dada dan tegak lurus
dengan bidang sumbu panjang jantung. Pada bidang
ini akan tergambar struktur jantung sesuai dengan
daerah potongan. Pada dasar jantung akan tergambar

atrium, sekat atrium, pembuluh darah besar, katup


trikuspid sefia pulmonal. (Gambar 14) Pada bagian
tengah akan tampak katup mitral, ventrikel kanan,
septum ventrikel, dan ventrikel kiri, dan katup mitral.
(Gambar 15) Sedangkan potongan setinggi apeks akan
menampilkan ventrikel kiri, septum ventrikel, sebagian
ventrikel kanan dan muskulus papilaris. (Gambar 16)

1556

Gambar 14. Ekokardiograti 2-D sumbu pendek setinggi aorta


Terlihgt aorta (ao), muara ventrikel kanan ke pulmonal (rvot), arteri
pulmonalis utama (mpa), atrium kiri (la), atrium kanan (ra), katup
tricuspid (tv\. (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med.
Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)

I(ARDIOI.OGI

Gambar 16. Ekokardiografi 2-D suhu pendek setinggi m. papilaris.


(Sumber : A Ghanie, Div. Cardiology, Dept int Med. Faculty of
Medicine, Sriwijaya University Palembang)

Adajuga bidang-bidang lain yang dipergunakan dalam

pemeri[saan sehari-hari seperti bidang dua ruang yang


menggambarkan atrium, katup mitral dan ventrikel kiri. (lihat
gambar). Bidang lain yang juga sering dipakai adalah bidang

lima ruang sama sepefti empat ruang dengan tambahan


aorta (Gambar 17 B)

Namun adakalanya pada pasien tertentu dibutuhkan


posisi lain yang tidak standar untuk dapat memberikan
informasi yang kita kehendaki.

Dengan kemajuan dibidang teknologi ('second


harmonic imaging'), dimungkinkan untuk membuat
gambar itu menjadi lebih baik, sehingga delineasi
endokardium menjadi lebih tegas. (Gambar 18)

Gambar 15. Ekokardiografikardiografi 2-D sumbu pendek setinggi


katup mitral. Terlihat area mitral yang kecil (stenosis), ventrikel
kiri (LV), septum ventrikel (lVS), ventrikel kanan (BV). (Sumber :
A Ghanie, Dlv. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine,
St'iwijaya University Palembang)

. Bidang empat rLlalg (.'opical. foLtr chamber'),


merupakan bidang sejajar dengan permukaan
anteroposterior melalui potongan dari apeks ke dasar
jantung. Pada bidang ini akan tergambar kedua ventrikel,

atrium, sekat atrium dan ventrikel, serta kedua katup


mitral dan tril.-uspid. (Gamhar 17A)

A) Ekokardiografi 2-D potongan apeks 4 ruang


pasien normal, terlihai ventrikel kiri (LV), serambi kiri (LA), ventrikel
kanan (BV), serambi kanan (RA), septum ventrikel (lVS), septum
atrial (lAS) B). Ekokardiografikardiografi 2-D potongan apeks 5
ruang sama seperti gambar A dengan tambahan aorta (Ao)
Gambar 17.

(Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int Med Faculty of


Medicine, Sriwijaya University Palembang)

PENGANTAR DIAGNOSIS EKOKARDIOGRAFI

Gambar 18. Ekokardiograti2-D potongan 4 ruang menunjukkan


kemampuan teknologi harmonik dalam meningkatkan kemampuan
pencitraan ekokardiografi (A. tanpa tissue harmonic, B dengan

harmonik terlihat deliniasi endokardium lebih jelas) (Sumber :


A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int Med. Faculty of Medicine,
Sriwijaya University Palembang)

Gambar 19. Pengukuran fraksi e.jeksi dengan pengukuran area,


pada kondisi di mana pemeriksaan dengan M-modelidakmemenuhi

syarat Terlihat fraksi ejeksi 327". (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwiiaya University
Palembang)

Gambar 20. Ekokardiografi 4 ruang apical pada gagal jantung


kongestif jantung kanan menunjukkan trombus multipel pada
ventrikel kanan (tanda panah). (Sumber : A.Ghanie, Div.
Cardiology, Dept.int.Med Faculty of Medicine, Sriwiiaya
University Palembang)

1557

Gambar 21. Ekokardiograti 2-D surnbu panjang melalui apeks


pada pasien hipertrofi kardiomiopati obstruktif, terliha.t katup
mitral bergerak menutup 'left ventricle out flow tracl (LVOT) (tanda

panah) (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med


Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)

Gambar 22. Ekokardiograti 2-D sumbu panjang pasien stenosis


mitral berat, terlihat penebalan daun katup (A), pada potongan
pendek terlihat area rnitral secara planimetri sangat sempit 0 57
cm'? (B). (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int Med.
Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)

Gambar 23. Ekokardiografi 2-D potongan pendek setinggi mitral


pasien gagal jantung dan infark anteroseptal, terlihat akinesis
dari daerah anterior pada saat sistol (tanda panah) (Sumber
A Ghanie, Div Cardiology, Dept int lt/led. Faculty of Medicine,
Sriwijaya University Palembang)
:

1558

KARDIOLOGI

Gambar 24. Ekokardiografi 2-D sumbu panjang pasien miksoma


pada atrium kiri yang bergerak keluar masuk ventrikel kiri melalui
mitral pada setiap siklus (M) (Sumber:A.Ghanie, Div Cardiology,

Dept.int.Med. Faculty

oI Medicine, Sriwijaya University

Palembang)

Gambar 26. Doppler normal pengisian ventrikel kiri melalui mitral,


dengan meletakkan 'sample volume' (dua garis sejajar) pada
daerah mitral, terlihat fase pengisian cepat (E) dan fase pengisian
lambat kontraksi atrium (A) (Sunber : A Ghanie, Div. Cardiology,

Dept int Med. Faculty

of Medicine, Sriwijaya University

Palembang)

Gambar 25. Ekokardiografikardiografi 2-D sumbu panjang pasien


miksoma atrium kiri dengan tangkai yang jelas (tanda panah)
(Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int,Med Facuity of
Medicine, Sriwijaya University Palembang)

Gambar 27. Dopler PW normal melalui katup aorta, dengan


bimbingan 2-D ekokardiografi warna 'sample volume dilelakkan
pada daerah katup aoda, diperoleh velositas i 2 m/sec (Sumber
: A.Ghanie, Div Cardiology, Dept.int.Med Faculty of Medicine,
Sriwijaya University Palembang)

EKO DOPLER
Seperti disebutkan pada pendahuluan, konsep eko dopler
adalah menangkap sinyal yang dipantulkan oleh sel darah
merah, sehingga dapat ditentukan adanya aliran darah,
arah, kecepatan, dan karakteristik aliran.
Dikenal dua modalitas dopler yaitu,
.. Dopler spectrum ('spectral dopLer') yang terdiri dari
'pulsed wave dopler'(dopler gelornbang pulsasi) dan

'continuou.s wave dopler' (dopler gelombang kontinu)

Color flow dopler.

ini satu transduser memiliki kemampuan


sebagai dopler gelornbang pulsasi, sekaligus -eelombang
kontinyu dan dopler aliran berwarna.
Belakangan dikenal 'ti.ssue dopler' , bukan seperti
dopler yang menangkap pantulan sinyal sel darah merah
tetapi sinyal yang dipantulkan oleh kinesisjaringan, oleh
karena itu dipergunakan untuk menguki.rr kinesi s j ari n gan.
Pada saat

Gambar 28. Dopler PW melalLri area mitral pada pasien hiperlensi


dengan disfungsi diastolik, terlihat gelombang E lebih rendah
dibandingkan dengan gelombang A dengan ratio EA 0,67 ( normal
2:1) (Sumber :A.Ghanie, Div Cardiology, Dept int Med Faculty
of Medicine, Sriwijaya Universitl,, ['alembang)

1559

PENGANIAR DIAGNOSIS EKOKARDIOGFAFI

Gambar 29. Dopler PW melalui area mitral pada pasien regurgitasi


mitral, doplelr tidak sempurna menuju kedua arah garis Nyhquist

dan terputus tanpa amplop, dikenal sebagai aliasing (Sumber :


A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int Med. Faculty of Medicine,
Sriwijaya University Palembang)

Gambar 30. Eko dopler CW pada pasien yang sama dengan di


atas, tetapi dopler terambil dengan amplop yang sempurna dengan

velositas 5.31 m/sec (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology,


Dept int Med Faculty of Medicine, Sriwijaya University

Gambar 32. Eko dopler CW melalui katup mitral yang stenosis,


pengukuran area dengan 'pressure half time' diperoleh area
seluas 0,66 cm'?lebih kurang sama dengan pengukuran secara
planimetri pada gambar 22. (Sumber :A.Ghanie, Div. Cardiology,
Dept int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang

Gambar 33. Eko dopler CW pasien dengan stenosis mitral terlihat


gradien 9 mmHg dengan area mitral 1,10 cmz (Sumber: A Ghanie,
Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwiiaya
University Palembang)

Palembang)

Gambar 34. Eko dopier warna pada pasien regurgitasi trikuspid,


menunjukkan velositas 5 m/sec dengan gradient 123 mmHg,
Gambar 31. Eko dopler CW melalui mitral pada pasien setonis
dan regurgitasi mitral dengan amplop yang sempurna (Sumber :
A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int.Med. Faculty of Medicine,
Sriwijaya University Palembang)

dengan asumsi tek ventrikel kanan 10 mmHg, maka diperkirakan

tekanan pulmonal 133 mHg (hipertensi pulmonal). (Sumber


A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty
Sriwijaya University Palembang)

of

Medicine,

1560

KARDIOI.OGI

PULSED WAVE DOPLER ( PW )


Dengan PW transmisi sinyal gelombang suara dikirim
dalam bentuk pulsasi ('pulse'). Oleh karena itu dapat
dilakukan pemeriksaan pada area tertentu dari suatu area

aliran dengan menggunakan yang disebut 'sample


volume', yang merupakan marka dari daerah yang
diinginkan, pada alat ekokardiografi ditandai dengan dua
garis sejajar.
Informasi yang
. Pengukuran
. Pengukuran
. Pengukuran

dapat diperoleh berupa:

fungsi diastolik
mitral atau orifisium aorta
isi sekuncup dan curahjantung

area

Mengukur besarurya shunt.


Dalam prakteknya pengukuran-pengukuran itu dapat

dilakukan oleh alat eko secara otomatis hanya dengan


meletakkan marka-marka pada gambar yang dibuat.

co

35. Ekokardiografi warna pada orang normal, warna


merah menunjukkan arah aliran dari atrium kiri ke ventrikel kiri
pada saat diastol (mengarah ke transduser), sementara warna

Gambar

biru menunjukkan aliran dari ventrikel kiri ke aorta pada saat sistol
(menjauhi transduser) (Sumber '. A Ghanie, Div. Cardiology,
Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Siwijaya University Palembang)

NTI N u o u s wAV E Do P LE R (CW)

Tidak seperti pulsed wave dopler di sini transmisi


gelombang suara berlangsung kontinu, sehingga
spektrum lebih luas dari semua area yang dilewati
gelombang suara. Karena tidak mempunyai' sample volume',
tidak bisa melokalisir sinyal aliran sehingga tidak spesifik,
dan sering terjadi kontaminasi aliran dari area yang tidak
kita kehendaki. Namun karena gelombang kontinyu dapat

menangkap aliran darah kecepatan tinggi dengan baik


tanpa terjadi 'aliasing', yaitu suatu keadaan gambar
dopler terputus akibat terlampauinya batas maksimal

kecepatan yang dapat diukur dengarr dopler.


(Gambar.29)

Karena sifatnya, maka CW sangat bermanfaat untuk


menangkap sinyal dari aliran frekwensi tinggi seperti
stenosis katup, dan pengukuran semi kuantitatif dari
regurgitasi.

Gambar

36,

Ekokardiografi warna pada pasien regurgitasi

mitral, terlihat gangguan koaptasi katup mitral (pada gambar kiri,


a), dan adanya gambaran aliran balik dengan warna biru mosaik
(menjauhi transduser, b) melalui katup mitral pada saat sistol.

(Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept int.Med Faculty of


Medicine, Sriwijaya University Palembang)

EKO DOPLERWARNA
Prinsip eko dopler warna adalah sama dengan 'pulsed
dopler' tetapi menangkap sinyal pada beberapa
beberapa titik sepanjang garis penyitraan. Dengan
kesepakatan diberikan warna merah untuk aliran darah
yang mendekati transduser, dan warna biru untuk aliran
yang menjauhi transduser. (Gambar 35 ) Pada keadaan

tertentu di mana aliran bersifat turbulen terjadi


campuran warna merah dan biru atau mosaik. (Gambar
36 dan 37)

Informasi yang diperoleh:


. Menentukan arah dan waktu aliran
. Menentukan sifat aliran laminar atau turbulen

Gambar 37 Ekokardiografi dopler warna pasien regurgitasi


trikuspid berat, menunjukkan gambaran aliran mozaik melalui
tricuspid pada saat sistol (Sumber'. A.Ghanie, Div. Cardiology,

Dept.int.Med Faculty of Medicine, Sriwijaya University


Palembang)

1561

PENGAI\MAR DIAGNOSIS EKOI(ARDIOGRAFI

38 Ekokardiograti 2-D dengan warna pada pasien


stenosis mitral, aliran turbulen memberikan warna mosaik (kiri)
Gambar.

melalui katup mitral yang sempit (kanan) (Sumber : A.Ghanie, Div.

Cardiology, Dept.int Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya


University Palembang)

Gambar 40. Ekokardiograf transesofageal pasien dengan


endokarditis, terlihat vegetasi yang jelas melekat pada katup
mrtral

anterior (Sumber : A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int Med

Faculty of Medicine, Sriwijaya University Palembang)

TISSUE DOPPLER
Dengan majunya teknologi dapat dilakukan pengukuran
kecepatan dopler dai jaingan miokardium, bukan sel darah
merah seperti pada doplerbiasa. Dengan modalitas ini dapat
diperoleh informasi mengenai relaksasi abnormal ,
pseudonormal, dan kondisi restriktif dan miokardium.

EKOKARDTOGRAFT TRANS ESOFAGEAL (ETE)


Dengan ETE, transduser dilengkapi dengan frekuensi yang
relatif lebih tinggi, karena jarak bukan masalah maka kualitas
gambar lebih baik dan jendela eko lebih luas. Oleh karena
itu beberapa informasi dapat diperoleh sebagai tambahan
terhadap informasi yang tidak bisa didapat dengan TTE.
Beberapa contoh pencitraan dengan ETE yang sulit

41 Ekokardiografi transesofageal pasien klinis dengan


regurgitasi mitral, terlihat ruptur daun katup mitral anterior (panah

Gambar

tunggal, koaptasi mitral dua panah). (Sumbe: A.Ghanie, Div.


Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of Medicine, Sriwijaya
University Palembang)

didapat dengan ETT dapat dilihat pada Gambar 39,40,41.

REFERENS{
Anderson, B. Echocardiography: the normal examination and
Echocardigraphic measurements, MGA Graphics, Manly,
Queensland, Australia. First edition. 2000
Chambers, J. Echocardiography in clinical practice. The parthenon
publishing group, Spain. 2002.

& Febiger, Malvern, Pennsylvania, USA. Fifth edition. 1994.


Feigenbaum, H. Echocardiography. Lea & Febiger, Malvern, Pennsylvania, USA. Sixth edition. 2005.
Feigenbaum, H. Echocardiography. Lea

Ghanie,A. arsip ekokardiografi, Divisi Kardiologi Bagian Ilmu


Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya /
RS. Dr. Mohammad Hoesin Palembang 1987 - 2006.

Gambar 39. Ekokardiografi transesofageal pasien stenosis


mitral dengan strok, terlihat trombus di daerah apendik atrium kiri
yang tidak terlihat dengan eko trastorakal (TH, panah besar)
(Sumber: A.Ghanie, Div. Cardiology, Dept.int.Med. Faculty of
Medicine, Sriwijaya University Palembang)

Ghanie, A. Parameter ekokardiografi normal. Unpublished. 2005.

244
EKOI(ARDTOGRAFT TRANS ESOFAGEAL (ETE)
Lukman H. Makmun

TEKNIK PEMERIKSAAN

PENDAHULUAN
Pemeriksaan Ekokardiografi Trans Esofageal (ETE)
merupakan pemeriksaan lanjutan Ekokardiografi Trans
Torakal (ETT). Letak perbedaan antara kedua cara
pemeriksaan ini adalah pada ETE dengan meletakkan
transduser dibelakang organ jantung dengan cara
memasukkannya melalui esofagus seperti melakukan
pemeriksaan esofago-gastroskopi. Hasil yang didapat
adalah gambarat (imaging) struktur jantung lebih jelas
dibandingkan dengan hasil ekokardiografi trans torakal
dengan transduser berukuran 5 MHz.
Transduser terletak pada ujung pipa fiber yang dapat
diputar-putar dengan modus biplane atatt multiplane.
Biplane berarti transduser hanya dapat digerakkan untuk

mendapatkan horizontal dan vertikal view saja yang


berbeda 90'. Sedangkan pada multiplane dapat digerakkan

secara bebas dalam perubahan setiap derajat sehingga


didapat gambaran yang diinginkan oleh pemeriksa artinya
dapat melihat yiew semua arah.

Dengan ETE

ini

sesuai dengan standar pemeriksaan


c o lo r dan D op le r untlk

ekokardio graf1 dapat dilakuk anBko


melihat dan m englkur fl ow.

. "':j'.*.;rt
."t. *..
"":[
f

Persiapan Alat
Alat transduser Trans Esofageal Qtrobe) sebelumnya
dibersihkan lebih dahulu dengan air kemudian disterilkan

dalam cairan kimia (misal:Cidex) selama 20 menit.


Seterusnya dibilas dengan air (biasanya dengan cairan
infus dekstrosa) dan dikeringkan.
Disiapkan lelly xylocain dan dengan kain kasa
dioleskan pada probe mulai dari ujung sampai sepanjang
30-40 cm. Atau kalau memungkinkan dibuatkan sarung
karet (seperti kondom panjang) untuk menyarungi probe;
jelly dimasukkan ke dalam ujung sarung karet supaya
terdapat kontak yang baik antara transduser dengan
safl.rng karet dan pada bagian luar sarung karet diolesi
juga jelly tadi untuk memudahkan masuknya probe ke
dalam esofagus.
Elektroda EKG dipasang untuk melihat EKG di monitor
mesin eko. Probe dihlbtngkan dengan mesin eko dan di
set untuk pemeriksaan ETE.

Persiapan pasien:

Dilakukan pemeriksaan HBsAg bila alat TEE hanya ada

memungkinkan untuk pasien HBsAg dipergunakan

sarungkatettntukProbe.
s4rullB
ll'anEL uttLuL PIUUe.
Pasiendipuasakanterlebihdahuluselama6jamsupaya
tidakmuntah.

Cara kerja
Pasien dibaringkan dengan posisi miring ke kiri, bagian
atas badan agak tinggi, tanpa bantal dan leher diganjal

dengan pengganjal. Gigi palsu dilepas dahulu. Faring


disemprot dengan Xylocain spray,beberapa kali. Bila
Gambar 1 Gambar alal probe

transduser

pasien agak takut dapat disuntikkan midazolam


(DormicumR) 0.07 - 0.1 mg/kgBB iv. Hati-hati pada pasien

1562

1563

EKOKARDIOGRAFI TRANS ESOFAGEAL (ETE)

usia lanjut karena dapat terjadi depresi napas.


Mouth piece disuruh gigit. Badan pasien bagian distal
agak melengkung ke dalam dan kepala agak rnenekuk dan
melihat kakinya sendiri.
Probe dia1nn sehingga ujungnya agak fleksi (melekuk

ke dalam) sesuai dengan bentuk faring dan ditahan.


Gerakan menyamping probe stpaya dikunci.
Probe dimasukkan secara perlahan ke dalam mulut,
lidah pasien di dalam dan kalau perlu ditekan. Sesampainya
probe dr faring, kondisi fleksi probe yang tadi ditahan
dengan tangan supaya dilepaskan sehingga probe tadi
bebas dan menyesuaikan diri dengan bentuk keadaan
esofagus. Pasien disuruh mengambil napas dalam supaya
tenang dan disuruh menelan. Sambil pasien menelan, probe
didorongkan perlahan dengan lembut ke dalam. Bila ada
tahanan jangan dipaksakan. tetapi cabut sedikit, kemudian

arah disesuaikan iagi. Biasanya kalau sudah melewati


larirg, probe dengan mudah dapat didorongkan ke distal

esofagus. Kemudian dilihat melalui monitor posisi


tran sduser.

Biasanya setelah melewati 30 cm, transduser sudah


berada di belakang jantung. Bila lebih dalam lagi akan
masuk ke dalam lambung dan akan terlihat ventrikel kanan
dan kiri. Kemudianprobe dttaik lagi sampai terlihat semua
ruang Jantung.

"
.
.
.
,
.

Mitral valve prolaps (MVP)


Gambaran vegetasi pada katup.

Fungsi protese katup


Kelainan katup mitral, aor1a, trikuspid
Penonjolan foramen ovale pada strok non hemoragik

Kelainan pada aorta torakalis, misal plak atau


aneurysma.

Pada pasien obesitas, emfisema paru dan deformitas


dada kadang-kadang sulit untuk mendapatkan gambaran
strukturjantung dengan TTE biasa, karena itu diperlukan
pemeriksaan dengan ETE ini untuk mendapatkan gambaran
yang lebih jelas.

Kontra indikasi:
Kontra indikasi pemeriksaan ETE ini adalah sebagai berikut:

.
"
.

kelainan esofagus
aritnriaberat

pendarahan
hiperlensi maligna.

trombo tes yang sangat rendah, takut bahaya

Dengan memanipulasi tombol pengarah, pemeriksa


dapat mengamati bagian-bagian struktur jantung temasuk
LAA (LeJt ArriaL Appendage).
Setelah selesai pemeriksaan, probe ditaikpelan-pelan
sambil melihat kembali struktur aorta. Kemudian pasien
dipuasakan tidak makan dan minum selama 3 jam, karena
elek xylocain spray tadi.

Gambar 3. Gambaran ETE dengan struktur jantung yang normal,


di mana dimensi ruang-ruang jantungnya normal.

Gambar 2. Cara memasukkan alal probe

lndikasi:
Indikasi pemeriksaan ETE ini adalah untuk melihat struktur
jantung dengan lebihjelas, yaitu:
. dugaan trombus di LAA misal pada kasus strok non
hemoragik
. dugaan trombus di ventrikel.
. ASD dan VSD dengan melihat aliran shunt.
. Foram.en ovale persistent

Gambar 4. Gambaran trombus di LAA, di mana di lokasi ini tidak


bisa di deteksi dengan pemeriksaan TTE biasa. Keadaan patologis

ini merupakan penyebab utama strok non henroragik.

t564

I(ARDIOI.OGI

Gambar 8. Tampak vegetasi pada daun katup trikuspid dan


Gambar 5. Gambaran septum inter atrial, tampak intak dengan
tidak ada defek

septum ventrikel.

Perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya refleks


vagal, sehingga perlu disiapkanjuga sulfas atropin ampul.
Pemeriksaan ETE ini kurang mengenakkan pasien
karena harus menelan probe, meskipun sudah diberikan
anestesi lokal.

GAMBABAN ETE PADA KEADAAN NORMAL DAN


DENGAN KELAINAN KLINIS
Tampak disini gambarannya lebih jelas daripada hanya bila

dilakukan dengan TTE biasa.

REFERENSI

Hatle L, Angelsen B.Doppler Ultrasound in Cardiology.


Gambar 6. VSD. Tampak celah pada septum ventrikel. Kondisi
seperti ini saat ini dapat dilakukan penutupan dengan teknik
kateterisasi.

Gambar 7. MVP (Mitral valve prolaps) Di sini terlihat dengan


jelas katup mitral tidak menutup dengan rapat.

Philadelphia : Lea & Fabiger. 2nd ed 198-5.


Y, Konstadt SN.Clinical Transesophageal Ekokardiografi cardio
graphy. Philadelphia Lippincott-Raven. 1996.
Siglow V,Schofer J, Mathey D. Transoesophageale Ekocardiographie
Thieme Verlag Stuttgart. 1993.

Oka

245
PEMERIKSAAN KARDIOLOGI NUKLIR
Ika Prasetya Wijaya

PENDAHULUAN

PENILAIAN FUNGSI VENTRIKEL

Pemeriksaan pencitraan j antung dengan radionuklir invasif

Angiografi radionuklir dalam kesetimbangan ata:u multiple gated blood pool imaging sangat sering digunakan sebagai
salah satu cara untuk menilai fungsi ventrikel yang bersifat

bermula di tahun 1970-an, dengan pemeriksaan aliran darah


miokardial. Seiring dengan perkembangan jaman maka saat

ini pencitraan

dengan radionuklir sudah mampu

tak invasif. Teknik yang digunakan adalah dengan memberi


label ee'Tc pada albumin atau sel darah merah yang secara

menganalisis fisiologi dan patofisiologi kerja jantung.


Pemeriksaan dimaksud adalah aliran darah miokard,
metabolisme rniokard sefia fungsi ventrikel.

seragam akan didistribusikan ke seluruh pembuluh darah.

Untuk mendapatkan hasil optimal pada pemeriksaan

saat

istirahat maka sebaiknya tidak ada gangguan irama janrung.


Pemeriksaan ini sangat akurat. Hasil lain dari pemeriksaan

ini

PRINSIP DASAR KARDIOLOGI NUKLIR

adalah dengan didapatkannya ukuran dan fungsi

ventrikel kanan, ukuran ruang atrium dan pembuluh darah


besar, parameter pengisian diastolik, dan tingkatan berat

Pemeriksaan kardiologi nuklir bergantung kepada


penyuntikan isotop yang mengandung foton ke dalam

ringannya regurgitasi katup.

darah pasien. Hasil dari adanya foton tadi akan keluar sinar

First-pass radionuclide angiography adalah metode

gamma yang kemudian ditangkap oleh kamera khusus,

lain yang juga dapat digunakan untuk menilai fungsi

dinamakan kamera gamma. Kelemahan dari pemeriksaan

ventrikel di dalamnya terdapat rekaman perjalanan bolus


radionuklir dalam darah dari saat pemberian hingga
mencapai pembuluh darah pusat. Metode ini tidak
memerlukan sela darah merah yang dilabel dengan.

ini adalah foton yang disuntik dapat memancar ke segala


penjuru, menyebar, melemahkan serta dapat diserap.
Semakin tinggi energi dari isotop, semakin rendah

Penggunaan ee'Tc pada pemeriksaan

kemungkinan untuk menyebar dan penyerapan. Ada dua


isotop yang sering digunakan saat ini, talium 201 (201T1)
dan teknetium 99m (ee-Tc), teknetium 99m sendiri terbagi
atas beberapa bahan: sestamibi, tetrofosmin dan
teboroksim.

Thallium 201

Technetium 99m sestamibi

Waktu paruh fisik 73 jam


Biaya radiofarmasi rendah
Digunakan untuk
mengukur ambilan paru
Baik pada pemeriksaan
iskemia saat istirahat

Waktu paruh fisik 6 jam


Hasil pencitraan yang lebih baik
Untuk menilai fungsi ventrikel
Waktu pencitraan yang pendek
Protokol pencitraan yang cepat
Dapat dilakukan pada IMA dan
angina pektoris tak stabil
Kuantifikasi baik terutama untuk
mengukur luas iskemia saat
istirahat

ini karena biaya

murah dan waktu paruh yang pendek. Selama pemeriksaan,

perjalanan radioisotop melalui atrium kanan, ventrikel


kanan, pembuluh paru kemudian atrium kiri, ventrikel kiri
dan aorta direkam dengan kamera khusus (high-count
camera). Kelemahan pemeriksaan ini dibandingkan dengan
pemeriksaan dalam kesetimbangan adalah rendahnya
resolusi dari pergerakan otot ventrikel.
Gate d single -photon emis sion computed tomo graphy
(SPECT) dapat digunakan untuk menilai fraksi ejeksi dan
pergerakan otot ventrikel regional dengan mengambil
manfaat dari pemeriksaan perfusi miokard SPECT.
Pemeriksaan ini bisa menggunakan 201T1, tetapi yang sering
digunakan adalah karena bersifat higher count rate adaTah
ee^Tc
sestamibi. Aritmia juga menjadi faktor yang dihindari
pada pemeriksaan ini.

156

1566

I(ARDIOI.OGI

PENILAIAN PERFUSI MIOKARD


Pemeriksaan pencitraan radionuklir dengan metode SPECI

mtocardial pe$usion banyak digunakan penyakit jantung


iskemia. Penyuntikan radioisotop pada saat istirahat dan
saat aktivitas dilakukan untuk menghasilkan gambaran citra
dari hasil dar aliran darah setempat. Terkadang untuk
mendapatkan keadaan dengan aktivitas dapat diberikan
dipiridamol dan adenosin. Bila terCapat kontra indikasi pada
kelainan paru terutama bronkospasme maka dapat diganti
dengan menggnnakan dobutamin.

TOMOGRAFT ErVilSr POSTTRON (POSITRON EMiS-

StoNToMoGRAFD
Pemeriksaan

ini

berbeda dengan dua pemeriksaan

terdahulu di atas. Dengan menghirup positron, maka emisi


yang dihasilkan sangat tinggi. Berguna untuk memeriksa
aliran darah di miokard dan lain-lain. Bahan yang dapat
digunakan saat ini adalah: arnonia nitrogen-13, air oksigen-

rubidium.
Aplikasi klinis pemeriksaan PET adalah untuk menilai
kehidupan dari otot-otot ventrikel jantung (myocardiaL

Garnbar

1.

15. dan

Perneriksaan tidak direkomendasikan pada


. Infark mrokard akut dengan peningkatan segmen ST

apalagi digunakan untuk menegakkan diagnosis.


ini hanya digunakan untuk mengukur

viabilit-t). Selanjutnya dapat diketahui manfaat dari


tindakan PTCA atau CABG dengan membandingkan hasil
sebelum dan sesudah tindakan. Dengan adanya hasil ini
maka diketahui apakah CABG ataupun PTCA yang sudah
atau akan dikerjakan dapat memberikan hasil optimal.

Pemeriksaan

luasnya daerah infark. Sebagai pemeriksaan utama tetap


uji latih jantung dengan EKG.

Fasien yang diduga menderita sakit jantung tanpa

gejala, pemeriksaan
BEKOMENDASI PEMERI KSAAN
Pemeriksaan kardiologi nuklir

ini

direkomendasikan

dikerjakan pada:

Angina pektoris tak stabil dan infark miokard tanpa


peningkatan segmen ST untuk menilai beratnya iskemia
dan menilai fungsi ventrikel.
Fenyakit iskemia jantung kronis untuk menilaiperh-lasan
dan beratnya gangguan arteri koroner pada pasien.
Pada pasien yang iidak mampu melakukan aktivitas fisik
dengan baik maka dapat dibantu dengan menggunakan
adenosin atau dipiridamol. Walau demikian uji latih
jantung dengan EKG lebih diutamakan.
Pada gagal jantung digunakan untukmengeterhui fungsi
ventrikel. Pada pasien penyakit jantung koroner lama
yang menderita gagal j antung namun tanpa nyeri dapat

dilakukan pemeriksaan kardiologi nuklir untuk

persiapan revaskularisasi.

Pasca tindakan revaskularisasi yang menunjukkan


gejala adanya iskemia berulang.

ini tidak

direkomendasikan

digunakan sebagai alat untuk mendiagnosis penyakit


jantung. Tetapi dapat digunakan untuk memastikan
diagnosis dari hasil uji latihjantung yang positif.
Persiapan menjalani pembedahan rutin yang bukan
berkenaan dengan pembedahan vaskular karena
risikonya rendah. Tetapi pada pasien penyakitjantung
iskemia kronis sebaiknya dilakukan untuk menilai fungsi

ventrikel mallpun viabilitas otot ventrikel.


Pasien pasca tindakan revaskularisasi yang tidak
bergejala.

REFERENSI
Nishimura RA et

a1.

Non-invasif. Cardial imaging: ekokardiografi

Dalam Kasper. Dalam Harrison's principle of internal


medicine. New York. McGraw Hill. 2005.
NK et al. role of myocardial perlusion imaging for risk
stratification in suspected or known coronary artery disease
Heart, 20031 89: l29l-1
Udelson JE et al. Nuclear cardiologl'. Dalam Bt'aunwald's editor
Heart disesase a textbook of cardiovascular medicine
Sabhar-wal

Philadelphia. Elsevier saunders. 2005.

246
PENYADAPAN JANTUNG
(CARDTAC CAT H ET ERr ZAT rOM
Hanafi B. Trisnohadi

PENDAHULUAN

semua pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan kateter

secara perkutan.

Walaupun banyak kemajuan dalam teknik pemeriksaan

Untuk penyadapan jantung dibutuhkan alat image in-

jantung dengan cara non-invasif seperti dengan


pemeriksaan ekokardiografi

tensifier dan cine angiography, kateter, transduser untuk

multis lic e CT s can,kardiologi

mengukur tekanan jantung dan oksimeter untuk mengukur


saturasi oksigen.
Tindakan penyadapan dilakukan dengan anestesi lokal

nuklir dan sebagainya, penyadapan jantung masih


memegang peranan penting untuk mengevaluasi anatomi
dan fisiologi jantung dan pembuluh darah.
Penyadapan jantung ialah suatu tindakan invasif, di
mana kateter dimasukkan ke dalam vena atau arteri perifer

dan sedikit obat penenang, tetapi pada anak seringkali


dibutuhkan anestesi umum.

dan kemudian didorong sampai ke berbagai tempat di


jantung atau pembuluh darah. Melalui kateter tersebut
dapat diukur tekanan darah baik di arteri, vena, serambi
jantung (atrium) baik kiri atau kanan, bilik janrung

INDI KASI PENYADAPAN JANTUNG

. Untuk memastikan

dan menentukan beratnya


penyempitan, lokasi penyempitan dan banyaknya

(ventrikel) kiri atau kanan maupun pembuluh darah besar


seperti aorta, arteri pulmonalis, tergantung apa yang mau
diperiksa. Melalui kateter tersebut dapat diperiksa saturasi
oksigen di ruangan jantung maupun pembuluh darah tadi.
Melalui kateter tersebut juga dapat disuntikkan bahan
kontras yang radio opak, sehingga pembuluh darah besar
dan ruanganjantung dapat di visualisasi secara radiologis.
Dengan penyadapan jantung dapat diperoleh data
hemodinamik maupun data radiologis (angiografi) untuk
tujuan diagnostik.
Ada dua macam cara untuk memasukkan kateter ke
dalam pembuluh darah, yaitu dengan cara Seldinger di
mana kateter dimasukkan secara perkutan ke dalam
pembuluh arteri atau vena baik di daerah femoral (arteri
femoralis atau vena femoralis). Kateter juga dapat
dimasukkan melalui arteri brakialis dan vena cubiti; akhir-

akhir

ini mulai banyak dipakai arteri radialis

penyempitan pembuluh koroner pada penyakit jantung

koroner yang membutuhkan tindakan operasi

bypass atau tindakan intervensi.


Untuk menentukan beratnya kelarnan katup jantung, baik
beratnya stenosis ataupun beratnya insufisiensi katup

jantung, sebelum dilakukan pembedahan jantung,


sehingga bisa ditentukan sebelumnya apakah pasien
membutuhkan penggantian katup atau perbaikan katup

.
.

saJa.

Untukmenentukan faal ventrikel kiri.


Untuk menentukkan perubahan anatomi jantung pada

penyakit jantung kongenital yang akan dilakukan


tindakan operasi.

untuk

KOMPLI KASI PENYADAPAN JANTUNG

kateterisasi jantung kiri. Yang kedua dengan insisi terutama


untuk pembuluh darah lengan, tapi akhir-akhir ini cara insisi

Komplikasi yang dapat terjadi misalnya perdarahan atau


hematoma pada tempat masuknya kateter, infeksi, reaksi

pembuluh darah hampir tidak pernah dipakai. Hampir

t567

1568

KARDIOI.OGI

pirogen, hipotensi, reaksi vagal, hipertensi, trombosis,


emboli, perforasi pembuluh darah, perforasi miokardium,
alergi terhadap kontras, mual sampai muntah tapi dengan

kontras non-ionik yang banyak dipakai sekarang,


komplikasi makin berkurang. Bahkan akhir-akhir ini dari
pengalaman kami komplikasi dapat dikatakan sangat mini-

mal. Gangguan irama jantung juga dapat terjadi seperti


takikardia sinus ,bradikardia sinus , ekstrasistol ventrikel,
takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel,ekstrasistol atri al
dan fibrilasi atrial.

Komplikasi umumnya ringan dan tidakmembahayakan;


dikatakan angka kematian bervariasi dari 0,0lVo sampai
0,l47o.

PENYADAPAN JANTUNG KANAN


Kateter dimasukkan melalui vena femoralis ataupun melalui
vena di lengan secara per kutan (metoda Seldinger), dan
dengan kontrol fluoroskopi kateter dapat didorong ke vena
kava inferior superior, atrium kanan, ventrikel kanan, arteri
pulmonalis, sampai ke posisi wedge. Tekanan darah dan
saturasi oksigen tiap ruangan dapat diperiksa. Kateter dari
atrium kanan dapat masuk ke atrium kiri melalui foramen
oval atau bila ada defek septal atrial. Melalui kateter juga

dapat disuntikkan bahan kontras radio-opaque untuk


melihat ruangan jantung kanan dan pembuluh darah paru.

(Gambar5). Ventrikulografi kiri dalam projeksi lefi anterior


oblique (LAO) untuk melihat adanya defek septal ventrikel.

(GambarO
ARTERIOGRAFI KORONER: (GAMBAR 2,3)
Pemeriksaan arleriografi koroner untuk menentukkan letak

dan beratnya stenosis dari pembuluh darah koroner.


Kateter didorong sampai di muara arteri koroner, dan seca4a
selektif disuntikkan bahan kontras radio-graphic ke dalam
pembuluh koroner dan dilakukan pemotretan dengan alat
cine-angiografi, sehingga pembuluh koroner sampai ke
cabang-cabangnya dapat divisualisasi. Setiap pembuluh
koroner dilihat dari berbagai projeksi untuk mengurangi
overlapping dan lebih akurat dalam menentukan beratnya

penyempitan. Projeksi yang lazim dipakai left anterior

oblique (LAO), right anterior oblique cranial (RAO


kranial), posteroanterior caudal (PA caudal) luntttk
pembuluh darah koroner kiri sedangkan untuk pembuluh
darah koroner kanan dipakai projeksi LAO, RAO dan PA
kranial. Ada 2 macam cara melakukan arteriografi koroner
yaitu metode Sones dengan memakai kateter Sones biasa
dilakukan metalui arten brakialis sedangkan metode Judkins
dengan kateter Judkins melalui arteri femoralis. Belakangan
melalui arteri brakialis juga dipakai kateter Judkins maupun
kateter multipurpose. Akhir-akhir ini banyak juga dipakai
arteri radialis. Dengan arleriografi koroner, lokasi, beratnya

dan morfologi tempat penyempitan dapat dianalisis


dengan baik, dan hasilnya penting untuk menentukan
PENYADAPAN JANTUNG KIRI

apakah pasien membutuhkan bedah pintas koroner atau

tindakan intervensi dengan memakai dasar kateter.


Pada penyadapanjantung

kiri kateter dapat dimasukkan ke

(Gambar2dan3)

dalam pembuluh arteri melalui afteri femoralis atau arteri

brakialis secara per kutan. Kateter dengan kontrol


fluoroskopi dapat didorong ke aorta lalu ke dalam ventrikel
kiri melalui katup aofta. Melalui kateter dapat diukur tekanan
dan saturasi oksigen di aorla dan ventrikel kiri. Melalui

kateter dapat disuntikkan kontras radio-opaque dan


dilakukan pemotretan aorta dan ventrikel kiri secara
radiologis. Pemotretan aorta atau aorlografi digunakan untuk
melihat apakah ada kelainan aofia atau katup aorta.misalnya
apakah ada insufisiensi aofia , dilatasi aofia, aneurisma aorla
dan koarktasio aorta. Sedangkan pemotretan ventrikel kiri
ata;u left v entriculo g raphy (ventrikulografi kiri)dilakukan
dengan menyuntikkan kontras radiologi di ventrikel kiri dan
pemotretan dalam projeksi right anterior oblique (RAO)
dapat dipakai untuk mengevaluasi faal ventrikel kiri. (Gambar
5,7) Dalam keadaan normal 507o sampai 807o darah dalam
ventrikel kiri dapat dipompa keluar, fraksi ejeksi (ejection
fraction) antara 50Vo sampai 807o. Dat'r left v entriculo grafi
dalam posisi RAO juga dapat dilihat adanya aneurisma
ventrikel kiri, trombus di ventrikel kiri, biasanya terlqtak
didaerah apeks, dan adanya insufisiensi mitral di mana
tampak aliran darah dari ventrikel ke atrium pada masa sistol.

INDIKASI ABTERIOGRAFI KORONER


Indikasi arteriografi koroner di unit kami:
. Pasien dengan angina pektoris stabil ataupun tak stabil
. Pasien dengan exercise test yang positif
. Pasien dengan infark jantung akut maupun infark lama

PENGUKURAN CURAH JANTUNG (CARDLAC OUT-

PUt)
Curah jantung secara rutin dapat diukur pada waktu
penyadapan j antung kiri. Pengukuran curah jantung tidak
saja penting untuk menentukan faal ventrikel kiri' tapi juga
penting untuk menghitung luas katup jantung. Tetapi akhirakhir ini dengan kemajuan pemeriksaan ekokardiogarfi,
tindakan untuk mengukur curahjantung secara non invasif
cukup dapat diandalkan.
Cara memeriksa curah jantung pada waktu penyadapan
jantung adalah sebagai berikut:

PENYADAPAN JANTU NG (CARDZA

r569

C CAT H E TE RI 7.ATI OM

Metoda Fick: Curah jantung diperoleh dengan

kanaikan saturasi oksigen sebesar 2Vo di arteri pulmonalis


menunjukkan ada shunt dari aorta ke arteri pulmonalis
seperti padapatent duktus arteriosus. Sedangkan bila ada
penurunan saturasi oksigen di sistem jantung kiri maka
ada shunt dari kanan ke kiri.
Besarnya ,shunt biasanya didasarkan atas perhitungan:

memeriksa konsumsi oksigen dibagi dengan perbedaan


oksigen (oksigen content) di arteri dan vena. Curah
j antun g normal sampai 4.8 Ll mtnl m2.

. Metoda
.

dengan termodilusi maupun dengan

indocy anide green sudah jarang dipakai

Angiografi
Paling banyak dipakai karena dapat diJakukan pada

Pulmonary flow = Systcmic irtery 02 satLrnxi Systenic venous 02 satrmsi

waktu melakukan penyadapan jantung kiri.

Systemic

Pada waktu membuat ventrikulografi kiri dapat diukur


aksis yang panjang dan pendek dari ventrikel kiri pada masa
sistol dan diastol, sehingga volume ventrikel kiri pada masa

sistol atau diastol dapat dihitung sehingga curah jantung


juga dapat diketahui.

flow

Pulmonary afiery 02 satura-si PuJmonary venous 02 saturxi

Contoh data yang diperoleh dari penyadapan


jantung pada pelbagai macam kelainan jantung
Stenosis mitral. Pada stenosis mitral tekanan di atrium kiri
lebih tinggi dari ventrikel kiri pada masa diastol, sehingga
ada perbedaan tekanan di atrium kiri dan ventrikel kiri yang
disebut "gradient katup mitral". (lihat gambar 1)Makin
tinggi perbedaan tekanan tersebut makin berat stenosis

LUAS KATUP
Luas katup dapat dihitung dengan menggunakan rurllls
dari Gorlin:
Untuk menggunakan rumus Gorlin perlu diketahui:
. Cardiac output
. Perbedaan tekanan (pressure gradient') pada katup
yang mau dihitung luasnya.
. Systolic e.jection period. atat diastolic filling period
tergantung dari katup yang mau diukur luasnya.
Rumus untuk menghitung luas katup:

katup mitral. Luas katup mitral dapat dihitung dengan rumus

ILI,

menggambarkan tekanan di atrium kiri menunjukkan adanya


gelombang v yang besar. Kebocoran dari katup mitral dapat

rl
illi
rl

Di.astoLic Jllling periocl x heart rate

diastolic

K (37) x mean

gradient

-__]

SHUNT
jantung kongenital, dilakukan pemeriksaan
oksigen saturasi di vena kava, atrium kanan, ventrikel
kanan, dan arteri pulmonalis sedangkan untuk sistem
jantung kiri juga diperiksa saturasi di aorta dan ventrikel
kiri. Akan ada kenaikan saturasi oksigen pada tempat yang
Pada penyakit

ada

shunt dai kiri ke kanan. makin besar kenaikan saturasi

menunjukkan shunt j:uga makin besar. Misalnya adanya


kenaikan saturasi oksigen di atrium kanan sebesar 47o atau
lebih menunjukkan adanya shunt daiktike kanan di tingkat
atrium karena defek septal atrial, sedangkan adanya
kenaikan saturasi di ventrikel kanan sebesar 37o alauleblh
menunjukkan adanya .shunt dari kiri ke kanan di tingkat

ventrikel seperti pada defek septal ventrikel. Adanya

Insufisiensi mitral (Gambar 10). Adanya insufisiensi


mitral dapat diduga bila dari pemeriksaan grafik rekaman
tekanan di posisi wedge dari arteri pulmonalis yang

dengan mudah dilihat dari pemeriksaan ventrikulografi krri,


i

--

Gorlin. Dari ventrikulografi kiri dapat dilihat pergerakan


katup mitral, adanya kalsifikasi pada katup mitral dan apakah
ada kebocoran pada katup mitral. Faal ventrikel kiri juga
dapat dinilai dan kadang dapat dinilai apakah ada trombus
di atrium kiri. Adanya hipertensi pLrlmonal juga dapat dinilai
dengan mengukur tekanan di arteri pulmonalis.

di mana akan tampak aliran kontras dari ventrikel kiri ke


atrium kiri pada waktu sistol. Dari ventrikulograh juga dapat
dinilai besarnya dan faal ventrikel kiri.

Stenosis aorta (Gambar 4). Diagnosis stenosis aorta


ditegakkan bila ada perbedaan tekanan sistolik di ventrikel
kiri dibandingkan dengan tekanan sistolik di aorta (tekanan
sistolik di ventrjkel kiri lebih tinggi dari tekanan sistolik di
aorta. dalam keadaan nonnal tekanan sistolik di ventrikel
kiri dan aofia sama) Makin tinggi perbedaan tekanannya
makin besar stenosisnya. Luas katup aofta dapat dihitung
dengan rumus Gorlin. Dari pemeriksaan aorlografi dapat
dilihat bentuk katup aorta, pergerakannya, adanya
kalsifikasi dan apakah ada insufisiensi aorta.

Insufisiensi aorta: (Gambar 8,9). Pada insufisiensi aofta


adanya kebocoran katup aorta dapat dilihat dari
pemeriksaan aortografi. Bentuknya katup aorta, dan
beratnya insufisiensi juga dapat ditentukan. Faal ventrikel
kiri juga dengan mudah dapat dilihat.

Defek septal yentrikel: (Gambar 6). Adanya defek septal


ventrikel (VSD) dapat diketahui karena adanya kenaikan
saturasi oksigen di ventrikel kanan dibandingkan dengan
atrium kanan. Dari pemeriksaan ventrikulografi kiri tampak
adanya aliran kontras dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan

1570

I(ARDIOLOGI

melalui septum interventrikularis (posisi Left anterior


oblique). (Gambar 6) Lokasi VSD juga dapat ditentukan.
Flow ratio dapat dinilai dan tekanan di arteri pulmonalis
dapat diukur apakah sudah ada hipertensi pulmonal.
Biasanya dianjurkan tindakan operasi penutupan VSD bila

flow ratio lebih dari

1.5.

Atrium kanan
Mean (rerala)

- z-

=2-10
=2-10

Gelombang a
Gelombang v
Ventrikel kanan
Sistolik
Diastolik akhir
A. pulmonalis
Sistolik
Diastolik
Rerata

Gambar 2. Left coronary angiogram menunjukkan penyempitan


90% di pembuluh LAD (Left anterior descending)

= 15-23

= 2-B

=15-30
=4-12

=9-12

Atrium kiri
Sistolik
Diastolik akhir

= 100

Cardiac index

=26-42llminlm

Stroke volume

= 30 - 65 ml/m'?
= 700 '1600 dynes sec m5
,, 2
= JU - b5 mt/m
= 100 - 300 dynes sec m5

140

- J - tz

Systemlc vascular resistance


Stroke volume index
Total pulmona ry va scul a r

resistanc

Gambar 3. Gambar menunjukkan angiogram pembuiuh koroner


kanan (BCA=flght coronary artery), menunjukkan I00% blok
PCr,r

3i

Angiografi dilakukan pada pasien infark akut bagian inferior kurang


dari 6 jam Pasien juga mendapat pacu jantung sementara karena
ada AV blok

,il
il

,i

-L

\t

Gambar 1. Pada gambar di atas dapat dilihat kurva tekanan di


posisi wedge (PCWP= pulmonary capillary wedge pressure\ dan
kurva tekanan di ventrikel kiri yang direkam bersama-sama.
Tampak tekanan di posisi wedge lebih tinggi dari ventrikel kiri
pada masa diastol, dengan perbedaan tekanan pada akhir diastol
( gradient katup mitral ) sebesar 20 mmHg. Tekanan di posisi
wedge ( PCWP ) menggambarkan tekanan di atrium kiri Adanya
perbedaan tekanan antara PCWP dan ventrikel kiri menunjukkan
adanya stenosis katup miiral, makin tinggi perbedaannya makin
berat deralat stenosis katup mitral.

Gambar 4. Gambar menunjukkan kurva tekanan di ventrikel kiri


dan di aorla, di mana tekanan sistolik di ventrikel tinggi jauh lebih
tinggi dari tekanan sistolik di aorta, didapatkan perbedaan tekanan
sebesar '130 mmHg (tekanan sistolik di ventrikel kiri '140 mmHg
dan di aoda 110 mmHg). Kurva tekanan diatas menunjukkan aorta
stenosis berat. Perbedaan tekanan di katup aorta menunjukkan
adanya aona stenosis, makin besar beda tekanan makin berat

stenosisnya

l57t

PEITYADAPAN JANTUNG (CA.RD'A C CATH ET E RI ZAT I A M

Gambar 5. Ventrikulografi kiri menunjukkan adanya hipokinetik


didaerah anteroapical

Gambar 9. Aortografi dalam posisi LAO menun.lukkan aorta


asendens yang melebar dan tampak adanya kontras yang
mengalir dari aorta ke ventrikel kiri pada masa diastol, menunjukkan

adanya insufisiensi aorta

Gambar 6. Ventrikulografi kiri pada posisi LAO menunjukkan


kontras yang disuntikkan di ventrikel kiri ada yang mengalir ke
ventrikel kanan melalui defek septal ventrikel
Gambar 10. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO menunjukkan
ventrikel kiri agak membesar dan faal sistolik masih baik, dan
didapatkan insufisiensi mitral, dapat dilihat kontras mengalir dari
ventrikel kiri ke atrium kiri pada masa sistol

BEFERENSI

\(nlrikcl lir r, )udr m.sr sislo

Gambar 7. Ventrikulografi kiri pada posisi RAO pada pasien


dengan faal ventrikel yang normal

Gambar 8. Aortografi pada posisi RAO menunjukkan aorta


mempunyai 3 daun dan tidak ada insufisiensi aorta

Bainr DS, Grossman W: Grossrnan's Cardiac Catheterization, Angiography and lntervention. 6'h editjon Baltimore. Lippincot,

William Wilkins 2000.


Davidson CJ et al: Cardiac catheterization. in Heart Disease. 6'h ed
E Brzrunwald (ed), Philadelphia, Saunders, 2001

247
INTERVENSI KORONER PERKUTAN
T. Santoso

Angioplasti koroner diperkenalkan oleh Andreas Gruentzig


sebagai tindakan revaskularisasi koroner non-bedah pada

akhirnya dinding pembuluh akan dilapisi endotel normal


kembali. Akan tetapi pasca PTCA, reaksi penyembuhan
ini dapat terjadi dalam bentuk remodelling, elastic recoil
dan/atau hiperplasia neointima. Negctrit,e remodelling,

tahtn 1,911 . Tindakan angioplasti koroner ini lazim


dinamakan percutaneous transluminal coronary

menyebabkan terj adinya restenosis. Karena itu

ANGIOPLASTI KORONER PERKUTAN

angioplasty (PTCA). Pada waktu itu teknik yang dipakai


hanyalah menggunakan balon yang dimasukkan ke

pembuluh koroner yang stenotik, setelah itu balon


dikembangkan dan dengan demikian stenosis menghilang
atau amat berkurang, lalu balon dikempiskan dan
dikeluarkan. Teknik ini dapat amat et'ektif, tetapi kadangkadang dapat menyebabkan komplikasi seperti oklusi arteri
mendadak akibat diseksi dan infarkjantung akut5. Teknik

angioplasti koroner berkembang pesat sejak


diperkenalkannya penggunaan "alat-alat baru" yang
bukan hanya menaikkan angka keberhasilan angioplasti
koroner tetapi juga amat menurunkan risiko tindakan.
Dengan perkembangan ini maka istilah PTCA menjadi
diperluas dan pada saat ini lazim disebut "intervensi
koroner perkutan" atalu percutaneous coronar\ intervention (PCI). Salah satu "alat baru" yang amat bermanfaat
adalah stent. Pada masa sekarang, PTCA mumi sudah jauh
lebih jarang dilakukan, karena pada umumnya dilakukan
pemasangar] stent.

elastic recoil dan hiperplasia neoinitma ini

akan

dikembangkan penggunaan stent. Stent dapat dipakai


untuk mengatasi komplikasi akut seperli hasil dilatasi yang
suboptimal, diseksi oklusif dan infark jantung akut yang

dapat terjadi sebagai akibat dari ini. Stent dapat pula


menghambat negative remodeling dan elastic recoil,
sehingga penggunaan stent akarr mengurangi restenosis.
Stent pefiama kali dipakai pada manusia oleh Puel di
Toulouse dan Sigwart di Lausanne. Stent merupakan
struktur metal yang dapat menyangga pembuluh darah
supaya tetap terbuka. Secara garis besar, ada stent dalam
bentuk self-expanding stent di mana s/enf terbungkus
dengan membran dimasukkan ke lesi stenotik dalam bentuk

belum terkembang, lalu dengan menarik membran, maka


s/enl terbuka. Kemudian dapat dilakukan optimalisasi

dengan balon. Akan tetapi kebanyakan stent yaflg


sekarang dipakai adalah bentuk balloon expandable stent
,etent dalam keadaan belum terkembang ditempel
pada balon sedemikian sehingga profilnya kecil dan dapat
dimasukkan ke lesi stenotik. Setelah sampai di tempat tar-

Di sini

get, stent dipasang dengan mengembangkan balon.


Kemudian balon dikempiskan dan s/enr ditinggal dj dalam.

STENT

Sering diperlukan preparasi lesi stenotik untuk

terutama dapat menyebabkan robekan dinding pembuluh


atau diseksi. Makin besar alat atau tekanan dipakai, maka
trauma yang diakibatkannya makin besar, bukan hanya
sebatas intima atau plak, tetapi dapat lebih dalam mencapai

memudahkan penempatan dan pemasangan stent di tempat


lesi, umumnya dengan melakukan predilatasi dengan balon
(balon biasa atau balon khusus seperti cutting balloon)
atau tindakan ajungtif lain seperli rotablasi atau aterektomi.
Pasien yang menjalani pemasangan s/e,?/ umumnya diberi
2 jenis obat antiplatelet untuk mencegah trombosis srerr,

media atau bahkan adventisia. Trauma ini akan


mencetuskan terjadinya proses penyembuhan dan

rninimal satu bulan.


Pada waktu stent perlama kali dipakai pada manusia,

PTCA selalu menyebabkan trauma pada dinding arteri,

1572

L573

INTERVENSI KORONER PERKIJTAN

penggunaan stent ternyata dapat menyebabkan komplikasi


trombosis akut atau subakut, yang dapat mengakibatkan

5.2Vo menjadi 3.57o pada penyelidikan-penyelidikan di mana


stent stdah mulai dipakai. Penggunaan stent menurunkan

terjadinya infark jantung akut dan kematian. Kemudian


diketahui, bahwa terjadinya trombosis amat tergantung
pada hasil pemasangan stent. Karena itu pada waktu
pemasangan stenthanrslah diyakini bahwa hasilnya harus
optimal. Colombo membuktikan, bahwa komplikasi ini
dapat amat dikurangi dengan melakukan dilatasi balon
dengan tekanan tinggi, dan dibuktikan dengan
int rav as c ular ult r as ound (IVUS ).
Penggunaan stent terbukti dapat menekan terjadinya
restenosis akibat PTCA. Selain itu stent }uga amat berguna
untuk mencegah oklusi pembuluh akut seperti misalnya
akibat diseksi, serta untuk menyempurnakan hasil PTCA
yang masih suboptimal. Penyelidikan BENESTENT dan
STRESS membuktikan, bahwa penggunaan stent lebrh
superior dibandingkan PTCA dalam kaitan dengan
restenosis dan"eventfree survival". Sejak itu minat orang
terhadap pemasangan stent menjadi amat besar (stent

risko tindakan revaskularisasi ulang (target lesion

frenay). Stent menjadi amat sering dipasang dengan


indikasi yang amat luas untuk tatalaksana stenosis yang
bahkan tidak termasuk dalam lesi yang diselidiki pada
penyelidikan-penyelidikan tersebut.
Restenosis setelah pemasangan srenr lebih kecil
daripada restenosis pasca PTCA, yaitu sekitar l0-18Vo,
walaupun untuk lesi-lesi kompleks angka ini dapat lebih

revascularization, TLR) sampai setengahnya. Selain itu


baik stent maupun CABG sama baik memperbaiki keluhan
pasien (angina).

Untuk kelainan banyak pembuluh ("multivessel


disease". MVD) ada beberapa penyelidikan penting
perbandingan PCI dengan stent dan CABG. Pada
penyelidikan ARTS (Arterial Reyas cularization Therapy
Study) diacak 1205 pasien untuk menjalani pemasangan
stent ata.u CABG. Setelah satu tahun, tidak ada perbedaan
dalam angka kematian atau infark jantung, walaupun
demikian kelompok stentlebih sering menjalani TLR. Pada
penyelidikan ERACI II (Argentine Randomised Study of

Stents yersus CABG in Multivessel Disease) angka


harapan hidup bahkan lebih baik pada kelompok stent (97 .4
vs 92.5 persen; p<0.015) dan pula angka bebas serangan
infark jantung juga lebih baik pada kelompok stent (97 .7
vs 93.4 persen; p<0.017), tetapi kebutuhan TLR lebih sering

diperlukan pada kelompok s,tent, walaupun biaya


keseluruhan untuk kedua kelompok sama. Pada
penyelidikan SoS (Srenr assisted PCI versus CABG in
multivessel coronary artery disease), angka morlalitas dan
infark jantung sama banyak pada kedua kelompok PCI atau
CABG. TLR diperlukan lebih sering pada kelompok PCI.

tinggi lagi. Berbagai faktor berpengaruh terhadap


terjadinya restenosis. Faktor klinik seperti diabetes melitus,
atau angina tak stabil akan menaikkan angka restenosis.
Faktor tindakan antara lain pemasangan stent yatg kurang

DRUG.ELUTING STENT

sempurna (misalnya aposisi stent ke dinding kurang

Dengan makin luasnya pemakaian s/enl, problem utama

sempurna), atau diseksi yang tak diatasi juga

PCI yang sulit dipecahkan adalah restenosis. Stentmemarrg

mempermudah terjadinya restenosis. Morfologi lesi juga

menurunkan kekerapan restenosis, tetapi hiperplasia

amat berpengaruh, termasuk yang menaikkan

neointima tetap terjadi. Penggunaan obat sistemik ternyata


tidak memberi hasil baik. Salah satu usaha untuk mengatasi

kecenderungan restenosis misalnya lesi yang panjang atau


difus, oklusi total, diameter pembuluh kecil, lesi ostial, lesi
restenotik, serta lesi pada pembuhh graft saphena.Untlk

menilai apakah pemasangan s/e/?/ sempurna dapat


dilakukan pemeriksaan IVUS, angioskopi, fractional flow
reserve (FFR) atau co ronary flow reserve (CFR), akan tetapi
pemeriksaan ini tidak mutlak lagipula menaikkan biaya

tindakan.
Perbandingan antara PCI dan operasi pintas koroner
(coronary artery bypass surgery, CABG) diselidiki pada
13 penyelidikan yang mencakup 7964 pasien. Pada kurun
waktu pemantauan 1, 3 sampai 8 tahun, tidak ditemui
perbedaan angka kematian antara kedua kelompok terapi
revaskularisasi tersebut. Penggunaan stent ler.nyata
banyak memberi manfaat. Pada penyelidikan-penyelidikan

terdahulu di mana stent belum dipakai, ditemui


kecenderunganbahwa CABG lebih baik daripada PCIpada
tahun ketiga; hal mana tidak ditemui lagi setelah dipakai
stent. Kecenderungan bahwa CABG lebih baik daripada
PCI hilang walaupun mortalitas akibat CABG menurun dari

ini

adalah dengan memberikan radiasi intrakoroner.

Tindakan ini lazim dinamakan brakiterapi (brachytherapy).


Upaya lain yang kemudian ternyata memberi hasil amat
memuaskan adalah penggtraan drug-eluting stent (DES).
Pada prinsipnya, DES merupakan stent yang bersalut

obat. Obat yang dipakai harus mempunyai efek


antiproliferatif dan antiinfl amasi, sehingga dapat menekan
hiperplasia neointima. Dengan demikian secara teoretis,
obat yang potensial toksik bila diberikan secara sistemik
dapat diberi secara lokal dalam konsentrasi yang amat kecil,
tetapi efektif dan lebih aman. Supaya obat dapat menempel
pada stent diperlukan polimer. Polimer berfungsi sebagai
pengangkut obat dan setelah stent dipasang obat akan
mengalami difusi secara perlahan masuk ke dinding
pembuluh. Hasil jangka panjang tergantung dari reaksi
tubuh (pembuluh) terhadap polimer dan obat dan juga
terhadap stent ittr sendiri. Penyelidikan-penyelidikan
terdahulu dengat stentbersalut emas, juga dengan QuaDS
stent, aktinomisin, dan batimastat, ternyata gagal karena

1574

I(ARDIOI.OGI

DES ini lebih menyebabkan reaksi prolifersi, peradangan


(inflamasi), atau lebih trombogenik daripada stent biasa
(bare metal s/e,?/, BMS)

DES yang kemudian ternyata memberikan hasil baik


adalah sirolimus - eluting stent (SES) dan paclitaxel-eluting stents (PES). Hal ini terbukti dari banyak penyelidikan
seri kasus atau penyelidikan acak yang telah dilakukan
dan dipublikasi. (Tabel 1)

Penyelidikan pertama pada manusia dengan SES


dilakukan pada 45 pasien di Sao Paolo, Brazilia dan
Rotterdam, Negeri Belanda. SES ternyata dapat hampir
sempurna menghambat proliferasi neointima pada
pemantauan setelah 4 bulan. Selanjutnya pemantauan

dan 2 tahun menunjukkan bahwa penekanan


hiperplasia neointima ini menetap, dibuktikan baik dengan
IVUS atau "4 uantitativ e coronary angio graphy (QCA).
Pada penyelidikan Randomized Study With the
Sirolimus - Eluting Bx Velocity B alloon- Expandable Stent
(RAVEL) trial,238 pasien secara acak mendapat stentbiasa
(BMS) atau SES. Setelah 6 bulan, restenosis temyata26To
pada kelompok BMS dan 07o pada kelompok SES. Selain
itu tak ditemui trombosis subakut dengan kombinasi 2 obat
setelah

anti-platelet. Pada pemantauan 1 tahun kekerapan kejadian


koroner mayor (major adverse cardiac events,MACE) 29Vo
padakelompok BMS dan hanya 5,8Topadakelompok SES.

Perbedaan ini terutama disebabkan oleh rendahnya


kebutuhan revaskularisasi ulang pembuluh taryet ("targ e t v e s s e I rev as c ul ari zation", TY R). Pada RAVEL, setelah
3 tahun dapat dipantau 114 pasien pada kelompok BMS
dan 1 13 pasien pada kelompok SES. Dilaporkan TVP.ll,4Vo

pada kelompok SES dibandingkan dengan 33,67o pada


kelompok BMS. Data ini jelas membuktikan bahwa hasil
baik pemasangan SES dapat dinikmati jangka panjang serta
menurunkan kebutuhan tindakan revaskularisasi ulan g.
Penyelidikan SIRIUS (Sirolimus - Eluting B alloon Expandable Stent in the Treatment of Patients With De Novo
Native Coronary Artery Lesions) melibatkan 1058 pasien
yang diacak menjalani pemasatgan stentbiasa (BMS) atau
SES pada 53 senter. Kohort ini melibatkan juga pasien
diabetes melitus (267o), kelainan yang lebih panjang (rerata
14,4 mm) dan diameter pembuluh lebih kecil (rerata 2,8 mm)
dibandingkan dengan populasi RAVEL. Sekali lagi terbukti
bahwa kelompok SES mengalami MACE pada kurun waktu
pemantauan 270 hari yang lebihrendah dari kelompok BMS
(7 ,lVo vs 18,97o), dan hal ini terutama karena kebutuhan
untuk TLR lebih rendah pada kelompok SES dibandingkan
kelompok BMS (4,17o vs 16,6%o). Dengan evaluasi QCA
dan IVUS dibuktikan bahwa mekanisme efek baik tersebut
adalah karena proses hiperplasia neointima dapat ditekan.
S elanj utnya penyelidikan R E S EARC H dar T- S EARC H

(Rapamycin-Eluting and TAXUS Stent Evaluated At


Rotterdam Cardiology Hospital) pada Thoraxcenter,
Rotterdam, Negeri Belanda, membuktikan keamanan
penggunaan SES pada pasien sindrom koroner akut,

termasuk STEMI. Penyelidikan di Rotterdam tersebut juga


menunjukkan bahwa SES potensial juga baik dipakai unhrk
memperbaiki res tenosis setelah pemas angan s t e nt (" in s I e nt
restenosis"). Pada penyelidikan lain di mana 368 pasien
dengan 735 lesi stenotik menjalani pemasangatS4l stent,
restenosis >507o hanya ditemui pada 11 pasien dan pada

semua pasien dalam bentuk fokal (bentuk restenosis


paling ringan dan paling mudah diperbaiki). Harus
ditambahkan bahwa pada seri iri stent dipasang pada lesi
yang relatif panjang (17,48 + 12,19 mm) dan anatomi lesi
yang lebih kompleks, di mana biasanya angka restenosis
dengan BMS amat tinggi.

Untuk PES, penyelidikan pertama yang dilakukan


adalah TAXUS -I di mana dip akai " p ac lit axe l, p o lyme 4 N I R
stent system". Sejumlah 61 pasien diacak mendapat BMS
atau PES. Setelah dipantau l2 bulan, angka MACE adalah

3Vo (l kejadian) pada kelompok TAXUS dan l07o (4


kejadian pada 3 pasien) pada kelompok BMS dan tidak
ditemui trombosis s/enf subakut. Walaupun perbedaan ini
tidak mencapai kemaknaan statistik, diameter lumen

minimal ("minimal luminal diameter", MLD) secara


bermakna lebih baik pada kelompok TAXUS.
Penyelidikan ASPECT melibatkan 177 pasien dengan
lesi pendek (kurang dari 15 mm), dan "ideal" (diameter
pembuluh 2.25 sampai 3.5 mm) dan secara acak mendapat
BMS Cook Supra-G atau PES di mana dipakai 2 macam
dosis. Penilaian penyelidikan ini agak sulit karena dipakai
3 macam regimen obat anti-platelet. Restenosis terjadi
sebesar 4Vo pada kelompok PES dosis tingg| l27o pada
kelompok PES dosis rendah darr 27 7o pada kelompok B MS.
Pada evaluasi IVUS, terbukti bahwa pada kelompok PES
hiperplasi neointima dapat ditekan.

IV merupakan penyelidikan
acak ganda tersamar " slow-release;

Penyelidikan TAXUS

prospektif

olyme r- b as ed p ac litaxel-NlR stent sy stem pada 7 3 serfier


di Amerika. Sejumlah 1314 pasien dengan lesi pembuluh
koroner berdiameter antara 2,5 sampu 3,75 mm dan panjang
10 sampai 28 mm diacak untuk mendapatkan BMS atau
PES. Pada pematauan 9 bulan, walaupun angka kematian,

infarkjantung, atau trombosis s/enf subakut tak berbeda


antara kelompok B MS dan PES (0, 8 % v s. O,6Vo), restenosis
pada angiografi amat menurun dengan penggunaan PES
dibandingkan BMS (7,97o dibandingkan 26,6Vo). Atas
dasar hasil baik ini FDA menyetujui penggunaan PES di
Amerika. TAXUS Itr merupakan penyelidikan registri yang

memperlihatkan bahwa PES ini potensial dapat dipakai


untuk pengobatan instent restenosis.
Penyelidikan perbandingan (REALITY, SIRIAX) antara
SES dan PES tidak memperlihatkan perbedaan bermakna

(M.C. Morice, presentasi oral, American College of


Cardiology Scientijic Session, Orlando, FIa, Maret 2005;

S. Windecker, presentasi oral, American College

of

Cardiology Scientffic Session, Orlando, Fla, Maret 2005).

Harus diingat, bahwa kebanyakan penyelidikan

ts75

INTERVENSI KORONER PERKLTIAN

melibatkan pasien dengan angina stabil atau tak stabil,

BRAKITERAPI

stenosis 5l-99%o, diameter pembuluh 2,75-3,5 mm, panjang

lesi 15-30 mm. Pada kebanyakan penyelidikan tidak


dimasukkan pasien dengan infark akut kurang dari 48 jam,
fraksi ejeksi kurang dari1,25, riwayat atau dalam rencana
akan dilakukan brakiterapi, riwayat PCI pada lesi sama,
kelainan atau penyakit lain yang akan memperpendek umur,
kontraindikasi aspirin, tienopiridin, atau substansi ste nt,

Instent restenosis umumnya terjadi di dalam stent dan


sering pula terjadi pada tepi stent. Walaupun angioplasti

balon merupakan cara pa.ling mudah dan aman untuk

insufisiensi ginjal atau kelainan hematologi. Selain itu

memperbaiki hal ini, angka kekambuhan kembali amat tinggi.


Banyak faktor memudahkan terjadinya restenosis instent
: lesi yang panjang (>30 mm), penggunaan stent panjaflg,
diameter pembuluh kecil (<2,5 mm), diameter pembuluh

termasuk dalam kondisi yang secara angiografik umumnya


dimasukkan dalam kriteria eksklusi adalah: lesi ostium, lesi

pasca tindakan kecil, buntu total kronis, lesi ostium atau


bifurkasi, adanya diabetes melitus.

pembillh graft

Pada beberapa penyelidikan, penggunaan brakiterapi


intrakoroner dan intra-SVG memberikan hasil yang baik

bifurkasi, lesi unprotected left main,

Tesi

vena saphena, kalsifikasi berat, trombus, tortuositas berat,

klinik maupun angiografik cukup

dan oklusi pembuluh.


Untuk mengevaluasi apakah DES dapat dipakai pada

pada penilaian

subset kelainan angiografik yang beragam tersebut,


Semrys dkk. telah menyelidikinya pada registri RESEARCH
dan T-SEARCH. Pada pasien sindrom koroner akut
penggunaan DES pada 198 pasien dibandingkan dengan
penggunaan BMS pada 301 pasien. MACE termasuk
kematian (3,)Vo vs 3,07o), infark jantung nonfatal (3,07o vs
1,07o), dan TLR (1,07o vs2,77o)takberbedauntuk SES dan
BMS (total6,1% vs6,67o). Lemos menyelidiki penggunaan
SES pada 186 pasien STEMI dan dibandingkan dengan
1 83 pasien STEMI yang mendapat BMS. Pada kurun waktu

INHIBIT, SVG-WRIST). Restenosis pada tepi stent

pemantauan 30 hari, MACE (7 ,57o vs 10,4Vo) dan trombosis


stent (07o vs 1,6Vo) tak berbeda antara kelompok SES dan

BMS. Setelah 300 hari, TLR (1,1% vs8,2Vo') dan MACE

memuaskan (GAMMA-I, WRIST, LONG-WRIST, STARI,

merupakan penyulit yang kurang menyenangkan. tetapi


dapat dikurangi dengan penggunaan sumber radiasi yang

lebih panjang (atau teknik sekuensial, pull-back


technique) dimana segment of interest dapat secara efektif

diradiasi. Manfaat klinik jangka panjang radiasi dengan


penggunaan sinar beta (STARTsT) terbukti sama dengan
pengunaan sinar gamma (SCRIPS-I, GAMMA-I, WRIST).
Untuk radiasi sinar gamma, hasil baik setelah 3 dan.5 tahun
telah dilaporkan. Untuk mencegah oklusi pembuluh setelah
pemantauan jangka panjang, disarankan penggunaan
klopidogrel untuk I tahun. Penggunaan brakiterapi amat
berkurang sejak diperkenalkannya drug - e luting stent.

(9,4Vo vs 11 ,)Vo) menurun pada pasien yang mendapat SES.

Suatu penyelidikan kuantitatif oleh Saia melaporkan angka


restenosis O7o pada 6 bulan pada 96 pasien STEMI, dan
angka"late loss" turun sampai sebanding dengan angka

pada penyelidikan pada pasien stabil dan mempunyai


kelainan anatomi yang kurang kompleks. Penggunaan SES
pada oklusi total diselidiki oleh Hoye dkk pada 56 kasus
yang mendapat SES dibandingkan dengan 28 pasien yang
mendapat BMS. Setelah 12 bulan, kekerapan bebas MACE
9 6.4Vo p adakelompok SES dan 82. I Vo dengan B MS (<0,05
dengan lo g - r ank /esl). Untuk g r afi v ena s afena (" s ap he n ous vein graft", SVG) lama yang berdegenerasi diselidiki
19 pasien denagn 21 lesi yang diberi SES. Ternyata TLR
dibutuhkan p ada)Vo dan angka bebas MACE tahun adalah
84Vo.

Penyelidikan-penyelidikan lebih luas penggunaan DES

untuk segala macam indikasi dan berbagai subset pasien


dan beraneka ragam morfologi lesi ("real world cases")
makin banyak dilakukan. Hasilnya memang sebagian masih
kita tunggu, akan tetapi dalam praktek karena sebegitu
jauh penggunaan DES memberikan hasil begitu baik, DES
sering dipakai untuk indikasi diluar dari indikasi yang telah
dilakukan pada penyelidikan yang telah selesai (off-label
zse). Dengan demikian di seluruh dunia pada saat ini

CUTTINGBALLOON
Cutting balloon adalah balon yang mempunyai 3 sampai 4
pisau pemotong tipis yang ditempel secara longitudinal pada
balon. Dengan demikian bila dikembangkan, maka plak akan
mengalami insisi longitudinal dan diharapkan akan terjadi

redistribusi plak yang lebih baik pada dilatasi dengan


tekanan yang lebih rendah dibandingkan angioplasti balon
biasa. Penyelidikan "cutting balloon global randomized
trial" mellbakan 1238 pasiendengande novo stenosis.Akau:,
tetapi hasil "primary endpoint" dan angka restenosis tidak

berbeda antara cutting balloon dibandingkan balon


konvensional biasa (3l,4%o vs 30,4Vo). Dengan demikian
hipotesis bahwa dilatasi terkendali dengan cutting balon
akan menurunkan angka restenosis tidak terbukti. Pada
beberapa penyelidikan dilaporkan bahwa per,ggtrnaar, cutting balloon mungkin dapat dipakai untuk terapi instent
restenosis. Hal mana ternyata tidak terbukti pada
penyelidikan RESCUT. Cutting balloon mungkin masih
berguna dipakai pada restenosis instent untuk mengurangi
terjadinya pergeseran balon waktu dilakukan dilatasi
(balloon slippage), setttngga mengurangi trauma. Hal mana

kecenderungan untuk operasi pintas koroner telah

berguna untuk menghindari geographical miss

menurun dengan pesat.

digunakan bersama dengan brakiterapi.

bila

t576
ROTABLASI
Ateroma dapat "dihancurkan" menjadi mikropartikel Iebih
kecil dari eritrosit dengan menggunakan rotablasi. Mata
bor dibuat dari platinum dan berlian dan kecepatan yang
dipakai umumnya amat tinggi, yaitu antara 140.000- 1 80.000
rpm. Karena dapat terjadi spasme koroner dan "no/slow
flow phenontenon", operator harus tahu dengan baik cara
menggunakan alat ini (CARAFE Study). Pada penyelidikan
COBRA. untuk lesi de novo. penggunaan rotablasi ternyata
terbukti tidak mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
angioplasti balon. Pada penyelidikan STRATAS, rotablasi
yang lebih agresif juga tidak terbukti lebih bermanfaat,
dan pada penyelidikan CARAT bahkan dilaporkan bahwa
tindakan yang lebih agresif dengan bor berukuran lebih
besar malahan menyebabkan angka komplikasi lebih tinggi
dibandingkan dengan bila dipakai bor ukuran lebih kecil.

Rotablasi juga pernah dianggap berguna untuk


pengobatan in-stent restenosis, karena difikirkan bahwa
ablasi jaringan dengan bor akan lebih efektif dibandingkan
dengan hanya kompresijaringan dengan angioplasti biasa.
Penyelidikan ARTIST justru sebalikny a melaporkan bahwa

hasil rotablasi pada kondisi ini lebih buruk dibandingkan


dengan angioplasti balon biasa. Dipihak lain, penyelidikan
ROSTER melaporkan hasil yang lebih baik dan penurunan
kekerapan kejadian kardiovaskular buruk (major adverse

cardiovascular events) dengan rotablasi dibandingkan


dengan angioplasti balon
Pada masa sekarang indikasi rotablasi adalah untuk
lesi fibrotik atau lesi kalsifikasi yang dapat dilewati dengan
guide wire tetapi tak dapat dilewati balon atau tak dapat
didilatasi dengan balon sebelum dilakukan pemasangan
stent.

Dt R ECTTONAL CORO N ARY ATH E B ECTO MY (DC A)

Konsep untuk mengeluarkan plak ateroma dengan DCA


merupakan konsep yang menarik (daripada hanya sekedar
melakukan kompresi plak sebagaimana yang diperoleh bila
dilakukan angioplasti balon atau pemasangan stent) dan
hal ini memicu dilakukannya berbagai penyelidikan. Pada
penyelidikan CAVEAT-I dilaporkan angka komplikasi serta
biaya yang lebih tinggi bila dilakukan DCA dibandingkan
dengan angioplasti balon. Pada CAVEAT-II di mana
dibandingkan DCA dan angioplasti balon pada SVG tidak
didapatkan perbedaan dalam angka restenosis seleah 6
bulan. Pada penyelidikan BOAT, CCAT, dan OARS juga
tidak ditemui perbedaan hasil klinik pada kurun waktu
pemantauan 18 bulan setelah DCA. Pada penyelidikan
AMIGO terdapat perbedaan hasil yang diperoleh bila DCA
dilakukan pada institusi yang berbeda, hal mana mungkin
dapat menerangkan mengapa pada beberapa penyelidikan
didapat hasil negatif. Pada saat ini DCA merupakan satu-

KARDIOI.OGI

satunya cara perkutan untuk mengeluarkan plak ateroma


danjaringan restenosis. Pada era DES indikasi penggunaan
DCA amat berkurang, mungkin hanya untuk lesi ostium
dan bifurkasi bila dilakukan oleh intervensionis terampil.

ALAT PROTEKSI EMBOLI


Pasien yang menjalani PCI potensial dapat mengalami emboli distal, terutama bila intervensi dilakukan pada SVG.

PCI pada stenosis SVG harus dinilai sebagai tindakan


dengan risiko tinggi. Pada meta-analisis 5 penyelidikan,
penggunaan obat penghambat glikoprotein IIb/IIIa (GPIIb/
IIIa) pada PCI stenosis pembuluh SVG ternyata tidak
terbukti mempunyai manfaat. Demikian pula penggunaan
ste

nt b ermembr an (" m e mb r ane - c ov e r e d

st

en t"

trdak

menurunkan kejadian klinis akibat emboli distal (STING,


RECOVERS, SYX4BTOT ltr).
Fenomena no-flow ditandai oleh adanya aliran darah
pada jaringan yang tidak mencukupi walaupun pembuluh
epikardial telah terbuka. Hal ini dapat disebabkan oleh
karen a

-san

g-suan mikrovaskul ar. disfun gsi endotel, edema

miokardial. atau embolisasi debris ateroma atau trombus.


Sebagai akibat dapat terjadi pemburukan hemodinamik.
Untuk mengatasi hal ini telah diselidiki penggunaan
berbagai alat filter atau aspirasi partikel embolik pada
pembuluh target.

Alat Proteksi Distal


Alat proteksi distal yang terdiri dari balon yang oklusif
dan ditempatkan distal dari lesi dan kateter untuk aspirasi

(Guard-Wire, PercuSurge) terbukti dapat memperbaiki

derajad perfusi miokardium pada PCI-SVG. Pada


penyelidikan SAFER "primary- endpoirtt" (kematim, infark
jantung, operasi pintas koroner darurat, dan TLR pada
hari ke-30) amat dikurangi dari 16.57o menjadi 9.6Vo.
Penurunan MACE 42Vo ini disebabkab terutama karena

penurunan infark jantung (14,1% menjadi 8,67o) dan


fenomenano-flow (97o menjadi 37o). Jenis lain alatproteksi
distal berbentuk filter. Alat seperti ini akan tetap
mempertahankan aliran darah selama dipakai karena
mempunyai lubang-lubang mikropor. Penyelidikan FIRE
membandingkan kedua konsep alat proteksi distal ini pada
PCI SVG dinilai dengan konsep non-inferioritas. Endpoint
gabungan kematian, infark jantung dan TLR ternyata sama

pada kelompok FilterWire EX (.9.97o) dibandingkan


kelompok GuardWire (1l.6Vo). Pada penyelidikan CAP-

TIVE, alat proteksi emboli Cardioshield tak terbukti


mempunyai marfaat non- infe rio r dibandingkan GuardWire
dalammenurunkm emboli pada waktu melakukan PCI SVG.

triaktif merupakan alat proteksi distal yang


dikombinasikan dengan alat penghisap. Pada penyelidikan
PRIDE, alat ini terbukti tidak inferior dibandingkan dengan
GuardWire dan F ilte rWire
Sistem

t577

INTERVENSI KORONER PERKI.TTAI\I

Sayangnya banyak pasien dengan kelainan SVG


mempunyai kondisi anatomik yang tidak memungkinkan
dipakainya alat proteksi emboli distal. Hasil baik pada PCI
SVG ternyata tak terbukti pada primary PCI untuk infark
jantung akut. Pada penyelidikan EMERALD, luas infark
diturunkan menjadi 177o pada kelompok alat proteksi
distal dan 1 6Vo padakelompok PCL
Secara singkat, alat proteksi distal dapat disarankan
dipakai pada PCI SVG dan PCI sindrom koroner akut di
mana terdapat beban trombus banyak.

untuk aspirasi trombus dekat dengan ostium. Penggunaan


alat AngioJet dinilai pada penyelidikan acak dengan
pembanding infus urokinase pada PCI SVG di mana secara
angiogafik jelas tampak trombus (VeCAS-2). Temyata tidak

ditemukan perbedaan dalam kekerapan MACE. Pada


penyelidikanAiMl alatAngioJet ini juga tak terbukti dapat
mengurangi luas infark. Alat X-Sizer merupakan alat
penghisap lain, yang mungkin berguna untuk kasus infark

filter adalah keharusan untuk memasukkan alat

jantung akut. Pada penyelidikan X-Tract, pasien SVG atau


pasien dengan lesi trombotik pada pembuluh koroner
diacak untuk menjalani pemasangan stent dengan atau
tanpa sebelumnya menjalani aspirasi trombus dengan alat
X-Sizer. Kekerapan infarkjantung pada hari ke-30 adalah
15,87o padakelompok X-Sizer dan 16,67c pada kelompok
kontrol (tak bermakna). Pada analisa subkelompok,
tampaknya trombektomi dengan X-Slzer dapat membatasi

tersebut melewati lesi dan hal ini dengan sendirinya dapat

luas, tetapi tidak mencegah terjadinya mionekrosis.

menyebabkan emboli. Selain itu diperlukan adanya


landing zone tnttk balon atau filter tersebut. Sebagai
alternatif, dapat dipakai alat penghisap atau alat proteksi

Harapan hidup jangka pendek maupun jangka panjang


ternyata tidak dipengaruhi oleh penggunaan alat ini. Pada
saat ini alat proteksi distal dapat disarankan dipakai pada

dengan balon oklusif proksimal. Tindakan paling


sederhana tentunya adalah aspirasi trombus dengan
guiding catheter yang kadang-kadang dapat dilakukan

lesi dengan kemungkinan emboli besar.


Untuk penangan perforasi, disarankan penggunaan
PTFE covered stent (graJi stents).

Alat Proteksi Proksimal (Alat Penghisap


lS

cti onl, Trom bektom i)

Salah satu keterbatasan alat proteksi dengan sistem balon

atau

Penyelidikan

Tahun

FM

2001

FIM

2002

DES/BMS

Kematian
DES/BMS

Stent

f/.1

.lnfark

Jl!',Et%

Kestenosts
DESiBMS

TLR
DES/BMS

\ tot

l/.1

(%l

Bx-velocity

14O ltglcm2

TAD

TAD

0%t1 tn

HNI minimal
dlm 1 th

15 Rotterdam

Bx-velocity

140 pg/cm2

TAD

TAD

oo/.12 th

HNI minimal
dlm 2 th

120t118

Bx-velocity

140 1.tgtcm2

1711 7

33142

30 Sao Paolo,
'15

Rotterdam

0/26 6 pd
RAVEL

SIRIUS

2004

C-SIRIUS

533/525

Bx-velocity

140 1.tgtcm2

0 9/0.6

28t32

6 bln
(p<0 001
8 9/36 3
pd 8 bln
(p<0 001

50/50

Bx-velocity

140 1.tglcm2

0/0

20t40

2 3t51

5 9t42 3

01229pd6bln
(p<0.001

4 9120 pd
(p<0 00
)

1 th

4 0/18 0 pd 9
bln (p< 0 001)

4.0i20 9 pd 9
bln (p<0 001)

E-SIRIUS

2003

175t177

Bx-velocity

140 1.tglcm2

11tO6

46t23

RESEARCH
Regisiry total

2004

508/450

Bx-velocity

140 1.tglcm2

16/20pd

08/16pd30

30 hari

hari

98/301

Bx-velocity

140 1.tglcmz

30/30pd
30 hari

3 0/1 0 pada
30 hari

TAD

2004

86/1 83

Bx-velocity

140 ltglcm2

0 512 2 pada
300 hari

TAD

1 118.2 pd 3o0
hr

2004

56t28

Bx-velocity

140 1.tglcmz

TAD

TAD

MACEs 6 /17 2
pd 12 bln

RESEARCH
registry ACS
RESEARCH
Registry
STEMI

RESEARCH
Registry CTO

B3/82pd
300 hari
0/0 di
rumah sakit

TAD

10/18pd30
hr

10127 pd30
hr

1578

I(ARDIOI.OGI

Kematian

Penyelidikan

QuaDS-QP2

ASPECT

Tahun

2002

2OO3

oe#r,,rs
4F
59 dosis tinggi,
58 dosis
renoan,
59 kontrol

Dosis

QuaDS-

DES/BMS
(%)

lnfark
jantung

Restenosis

TLR

DES/BMS
(%)

DES/BMS

DES/BMS
("/"1

2400-3200
mcg dosis
total

oP2

TAD

TAD

5UOra-U

3. 1 mcg/mm2

1.3 mc/mm2

0.9/0

2.6t17

2OO3

31/30

NrR

1.0 mcg/mm2

0/0

0/0

TAXUS

il

2003

266t279

NtR

1.0 mcg/mm2

0/0.8

31/53

ISR
663/652

NIR

1 0 mcg/mm2

TAD

TAD

III
TAXUS IV

2OO3
2OO4

28

(%)

133pd6bln,
61.5 pf 1 th

20 pd 6 bln, 60
pada 1 th

4112127 pd 4-6

TAXUS

TAXUS

$t

Kematian
DES/BMS

EXPRESS

'1

0 mcg/mm2

1.411

513.7

bln (dosis
tinggi vs
control)
(p<0.001)
0/10 pd 6 bln
(p=0.012)
7.1121 9 pd 6

21212

0/10 pd

th

bln

21

7 9126.6 pd
bln (p<0.001)

'1

(p=0.237)
10 4121 7 pd 12

bln
TAD

pd 1-6 bln

4pdllh

4 4115.1 pd I tn
(p<0 0001

PENGOBATAN PADA PCI: OBAT-OBATAN ANT! PLATELET DAN ANTITROMBOTI K


Pasien yang telah makan aspirin menahun harus makan
7 5-325 mg aspirin sebelum tindakan PCI. Pasien yang belum
makan aspirin, disarankan diberi 300-325 mg aspirin minimal2 jam sebelumPCl atau lebihbaik 24jam sebelum PCI.
Setelah tindakan PCI, pada pasien tanpa resistensi atau

alergi terhadap aspirin, atau tidak mempunyai


kecenderungan perdarahan, maka aspirin harus diberikan
minimal 1 bulan setelah pemasangan BMS, 3 bulan setelah
pemasangan SES dan 6 bulan setelah pemasangan PES,
setelah itu aspirin diteruskan seterusnya dengan dosis
16-162 mg/hari. Untuk klopidogrel, dosis pemula 300 mg
disarankan diberi sebelum PCI, sebaiknya minimal 6 jam
sebelumnya. Klopidogrel diteruskan 75 mg/hari minimal 1

bulan setelah implanttasi BMS (kecuali bila risiko


perdarahan besar, dalam keadaan ini pemberian minimum
2 minggu), 3 bulan setelah implanttasi SES, dan 6 bulan
setelah implanttasi PES, dan idealnya sampai 12 bulan pada
pasien yang tidak dalam risiko tinggi untuk perdarahan.
Pada pasien angina tak stabil atau infark NSTEMI yang
menjalani PCI tanpa pemberian klopidogrel, penghambat

GPII/IIIa harus diberi. Pada pasien angina tak stabil,


NSTEMI yang menjalani PCI dengan pemberian
klopidogrel, pemberian penghambat GPIIb/IIIa) juga tetap

disarankan. Pemberian penghambat GPIIb/IIIa juga


disarankan pada pasien STEMI yang menjalani PCI.
Pada PCI umumnya diberikan heparin. Sebagai

lndikasi
Tanda objektif iskemia luas
Oklusi total kronis
Risiko operasi tinggi, termasuk EF < 35%
Penyakit banyak pembuluh / DM
Unprotected left main tanpa opsi tindakan
revaskularisasi lain
Stenf rutin pada lesi << de novo ) pembuluh
koroner asli
Stent rutin oada SVG
*European Society of Cardiology 2005

Tingkat
Rekomendasi*

IA
lla C
lla B

ilbc

[bc
IA
IA

alternatif dapat diberi heparin berat molekul rendah atau


bivaluridin. Pada pasien dengan trombositopenia akibat
heparin, dapat diberi bivaluridin atau argatroban sebagai
penggantinya.

INDIKASIPCI
Indikasi PCI secara singkat dapat dilihat pada tabel 3 dan
gambar I dat2.Untuk lebih mendetail disarankan diba'ca
dua panduan terbaru dari European Society of Cardiology 2005 dart Amerian College of Cardiology/American
Heart Association/Society of Cardiac Angiography and
Intervention 2005

1579

INTERVENSI KORONER PERKUTAN

Pasien dengan NSTEMIsindrom koroner akut

Rx angio segera (2.5 jam):

lnhibitor GPllb/llla tunda

Rx angio dini (48 jam):


lnhibitor GPllb/lll3a beri
(tirofiban atau eptofibatide)

PCI provisional
abciximab atau
eptifibatid

Gambar 1. Algoritme PCI pada Non-Sf ebvation Myocardial lnfarction (NSTEMI) / Sindrom
Koroner Akut

Ps. dg. NSTEMIsindrom koroner akut

Rx angio segera (2 5 jam):

lnhibitor GPllb/llla tunda

Rx angio dini (48 jam):


lnhibitor GPllb/lll3a beri
(tirofi ban atau eptofi batide)

Gambar 2. Algoritme PCI pada ST Elevation Myocardial lnfarction (STEMI) / sindrom Koroner
Akut

Keterangan
Dalam 3 lam pertama setelah timbul nyeri dada, trombolisis dapat dilakukan sebagai alternatif
PCl. *Bila trombolisis terkontraindikasi, atau penderita dalam risiko tinggi, amat disarankan penderita
untuk ditransfer ke senter dengan fasilitas PCl. Tujuan utama lebih dipilih PCI daripada trombolisis
pada 3 jam pertama adalah untuk pencegahan strok. Sedangkan pilihan PCI pada iam 3-12
adalah untuk menyelamatkan miokardium dan mencegah strok. Bila dilakukan trombolisis, hal ini
tidak boleh dinilai sebagai terapi final. Walaupun trombolisis berhasil, angiografi dan bila perlu
PCI disarankan dilakukan dalam24iam pertama.

1580

I(ARDIOI.OGI

REFERENSI

de Feyter PJ, van Suylen

Abizaid A, Kornowski R, Mintz GS, et al. The influence of diabetes


mellitus on acute and late clinical outcomes following coronary
stent implanttation. J Am Coll Cardiol 1998;32:584-9.
Albiero R, Silber S, Di Mario C, et aI. Cutting balloon versus conventional balloon angioplasty for the treatment of instent restenosis:

results of the restenosis cutting balloon evaluation trial


(RESCUT). J Am Coll Cardiol 20041 43:943-9.
Angelini A, Rubartelli P, Mistrorgio F, et al Distal protection with
filter device during coronary stenting in patients with stable and
unstable angina. Circulation 2004;110:515-21
Baim DS, Cutlip DE, Sharma SK, et al. Final results of the balloon vs
optimal atherectomy trial (BOAT). Circulation 19981'97:32231

Beran G, Lang I, Schreiber W, et al Intracoronary thrombectomy


with the X-sizer catheter system improves epicardiai blood flow
and accelerates ST-segment resolution in patients with acute
coronary syndrome: a prospective, randomized, controlled study.

Circulation 2002:70 5 :23 5 5 - 60


Baim DS, Wahr D, George B, et al Randomized trial of a distat
embolic protection during percutaneous intervention of

saphenous

vein coronary bypass grafts. Circulation

2002;105:1285-90
Colombo A, HaIl P, Nakamura S, cs. Intracoronary stenting without
anticoagulation accomplished with intravascular ultrasound
guidance. Circulation 1995;91 : 1676-88
Colombo A, Orlic D, Stankovic G, et al. Preliminary observations
regarding angiographic pattern of restenosis after rapamycineluting stent implanttation. Circulation 2003'101 :2118-80.
Colombo A, Drzewiecki J, Banning A, et al. Randomized study to
assess

the effectiveness of slow- and

moderate-release

polymerbased paclitaxel-eluting stents for coronary artery


lesions. Circulation 2003;108:788-94
Cohen BM, Weber VJ, Blum RR, et al. Cocktail attenuation of

rotablation flow effects (CARAFE) study: pilot. Cathet


Cardiovasc Diagn 1996;(suppl 3):69-12
Cohen EA, Sykora K, Kimball BP, et al. Clinical outcomes of
patients more than one year following randomization in the
Canadian Coronary Atherectomy Trial (CCAT) Can J Cardiol

1991;73:825-30

Derre KM, Holmes DRJ, Holubkov R, et al. Incidence and


consequences of periprocedural occlusion: the 1985-1986
National Heart, Lung, and Blood Institute Percutaneous
Transluminal Coronary Angioplasty Registry. Circulation
1990;82:739-50.
Degertekin M, Serruys PW, Foley DP, et al. Persistent inhibition of
neointimal hyperplasia after sirolimus-eluting stent
implanttation: long-term (up to 2 years) clinical, angiographic,

and intravascular ultrasound follow-up. Circulation


2002;106:1610-3.
Degertekin M, Ser:ruys PW, Foley DP, et al. Persistent inhibition of
neointimal hyperplasia after sirolimus-eluting stent
implanttation: long-term (up to 2 years) clinical, angiographic,

and intravascular ultrasound follow-up. Circulation


2002;706:1610-3.
Dussaillant GR, Mintz GS, Pichard AD, et al. Small stent size and
intimal hyperplasia contributing to restenosis: a volumetric
intravascular ulftasound analvsis. J Am Coll Cardiol 1995:26:1204

Dill T, Dietz U , Hamm

CW, et a1. A randomized comparison of


balloon angioplasty versus rotational atherectomy in complex
lesions (COBRA Study). Eur Heart J 2000;21:1159-66

RI, de Jaegere

PP, et

al Balloon

angioplasty

for the treatment of lesions in saphenous vein bypass grafts. J


Am Coll Cardtol 1993.21:1539-49
Exaire JE, Brener SJ, Ellis CG et al. GuardWire emboli protection
device is associated with improved myocardial perfusion grade

in saphenous vein graft intervention. Am Heart

2004:1 48: I 003-6

Fischman DL, Leon MB, Baim DS: A randomized comparison of


coronary stent placement and bailoon angioplasty in the
treatment of coronary artery disease. N Engl J Med

7994;331:496-501
Fajadet J, Morice MC, Bode C, et al. Maintenance

of long-term

clinical benefit with sirolimus-eluting coronary stents: threeyear results

of the RAVEL tria[. Circulation

2005;111:1040-4.

JL, Panetta CJ, et al. Incidence, correlates, management, and clinical outcome of coronary perforation:

Fasseas P, Orford

analysis of 16,298 procedures. Am Heart J 2004;147:140-5


Gruntzig AR, Senning A, Siegenthaler WE Nonoperative dilatation

of coronary-artery stenosis: pgrcutaneous transluminal


coronary angioplasty. N EngI J Med 1979;301:61-8
Grube E, Silber S, Hauptmann KE, et al. TAXUS I: six- and twelve-

month results from a randomized, double-blind trial on a


slow-release paclitaxel-eluting stent for de novo coronary
lesions Circulation 2003;107:38-42.
Grise MA, Massullo V, Jani S, et al Five-year follow-up after
intracoronary radiation: results of a randomised clinical trial

Circulation 2002:1 05 :21 31 -40


Grube E, Gerkens U, Yeung AC, et al. Prevention of distal embolization during coronary angioplasty in saphenous vein grafts and
native vessels using porous filter protection. Circulation
2001:104:2436-41
Holmes DR Jr, Topol EJ, Califf RM, et al. A multicenter, randomtzed tial of coronary angioplasty versus directional atherectomy
for patients with saphenous vein bypass graft lesions. CAVEAT

II

Investigators. Circulation 1995;91 :1966-1 4

Hong MK, Mehran R, Dangas G, et al Creatine kinase-MB enzyme


elevation following succesful saphenous vein graft intervention
is associated with late mortality Circulation 1999;100:2400-05
Hoffman SN, TenBrook JA, Wolf MP, et al,. A meta-analysis of
randomized controled trials comparing coronary arery bypass
graft with percutaneous transluminal angioplasty: one- to eight
year outcomes. J Am Coll Cardiol 2003;41:1293-304
Hong MK, Mintz GS, Lee CW, et al. Paclitaxel coating reduces instent intimal hyperplasia in human coronary arteries: a serial
volumetric intravascular ultrasound analysis from the Asian
Paclitaxel-Eluting Stent Clinical Trial (ASPECT). Circulation
2003:107:517 -20.
Hoye A, Lemos PA, Arampatzis CA, et al. Effectiveness of the
sirolimus-eluting stent in the treatment of saphenous vein graft
disease. J Invasive Cardiol 2004;16:230-3.
Holmes DR Jr, Leon MB, Moses JW, et a1. Analysis of l-year
clinical outcomes in the SIRIUS trial: a randomized trial of a
sirolimus-eluting stent versus a standard stent in patients at
high risk for coronary restenosis. Circulation 2004;109:63440.
Hoye A, Tanabe K, Lemos PA, et al. Significant reduction in restenosis
after the use of sirolimus-eluting stents in the treatment of
chronic total occlusions. J Am Coll Cardiol 2004;43:1954-8.
Kent KM, Bentivoglio LG, Block PC, et al. Percutaneous transluminal
coronary angioplasty: report from the Registry of the National
Heart, Lung, and Blood Institute Am J Cardiol 1982;49:201120
Kobayashi N, Finci L, Ferraro M, cs. Restenosis after coronary

1581

INTERVENSI KORONER PERKUTAT{

stenting: Clinical and angiographic predictors

in

1906 lesions.

Am Coll Cardiol 1999;33(suppl A):32A


Kastrati A, Schomig A, Elezi S, et al Predictive factors of

restenosis

after coronary stent placement. J Am Coll

Cardiol

1991:,30:1428-36

Kuntz RE, Baim DS, Cohen DJ, et al A trial comparing rheolytic


thrombectomy with intracoronary urokinase for coronary and
vein graft thrombus (the Vein Graft AngioJet Study [VEGAS 2].

Am J Cardiol 2002:,89l.326-30
Kornowski R, Ayzenberg O, Halon DA, et al. Preliminary experiences using X-Sizer catheter for thrombectomy of thrombuscontaining leslons during acute coronary syndromes. Cathet
Cardiovasc Interv 2003:58:443-8
Lemos PA, Serruys PW, van Domburg RT, et al Unrestricted utilization of sirolimus-eluting stents compared with conventional
bare stent implantration in the "rea1 world": the RapamycinEluting Stent Evaluated At Rotterdam Cardiology Hospital (RESEARCH) registry. Circulation 2004;109:190-5
Lemos PA, Saia F, Hofma SH, et al. Short- and long-term clinical
benefit of sirolimus-eluting stents compared to conventional bare
stents for patients with acute myocardial infarction. J Am Coll

Cardiol 2004;43:704-8,
Lemos PA, Lee CH, Degertekin M, et al Early outcome after
sirolimus-eluting stent implanttation jn patients with acute coronary syndromes: insights from the Rapamycin-Eluting Stent
Evaluated At Rotterdam Cardiology Hospital (RESEARCH) registry J Am Coll Cardiol 2003{1:2093-9.
Liistro F, Stankovic G Di MC, et al. First clinical experience with a

paclitaxel derivate-eluting polymer stent system implanttation


lor in-stent restenosis: immediate and long-term clinical and
angiographic outcome Circulation 2002t105: 1883-6
Leon MB, Teirstein PS, Moses JW, et al Localised intracoronary
gamma-radiation therapy to inhibir the recurrence of restenosis
after stenting. N Engl J Med 200 1:3.14:250-6
Miller DD, Verani MS. Current status of myocardial perfusion imaging after percutaneous transluminal coronary angioplasty. J Am
Coll Cardiol 1994:24:260-6
Morice MC, Serruys PW, Sousa JE, et al. A randomized comparison
of a sirolimus-eluting stent with a standard stent lor coronary
revascularization. N Engl J Med 2002;3.{6:1113-80.
Moses JW, Leon MB, Popma JJ, et al. Sirollmus-eluting stents
versus standard stents in patients with stenosis in a native
coronary artery. N Engl J Med 2003;349:1315-23.
Mehran R, Dengas G, Abizaid AS, et al. Angiographic patterns of
in-stent restenosis:classification and implications for long-tern]
outcome. Circulation 1999:100:1872-8
Mauri L, Bonan R, Weiner BH, et a1. Cutting balloon angioplasty
for the prevention of restenosis: results of the Cutting Ballloon
Global Randomized Trial. Am J Cardiol 2002190:1079-83
Matthew V, Lennon RJ, Rihal CS, et al. Applicability of distal

protection for aortocoronary vein graft lnierventions in


clinical practice. Cath Cardiovasc Interv 2004;63:148--51
Park SJ. Shim WH, Ho DS, et al. A paclitaxel-eluting stent for the

prevention of coronary restenosis. N Engl J Med


20031348:1531-45.

M, Lansky AJ, et al Randomised trial


of 90Sr/90Y beta-radiation versus placebo control for

Popma JJ, Suntharalingham

treatment of in-stent restenosis. Circulation 20021 106:1090-6


Plokker HW, Meester BH, Serruys PW. The Dutch experience in
percutaneous transluminal angioplasty

of narrowed

saphenous

veins used for aortocoronary arterial bypass. Am J Cardiol


1991l.61:361-6
Rodriguez

A, Palacios IF, Navia J, cs Argentine randomised study:

Coronary angioplasty with stenting versus coronary artery bypass surgery in patients with multiple vessel disease (ERACI Il):

30 day and long term follow-up results. Circulation


I 999;100(suppl 1'):I-234
Roffi M, Mukherjee D, Chew DP, et al. Lack of benefit from intravenous platelet glycoprotein IIb/IIIa inhibition as adjunctive
treatment for percutaneous interventions of aortocoronary
bypass grafts: a pooled analysis of five randomized trials
Resnic FS, Wainstein M, Lee MK, et a[ No-reflow is an independent
predictor of death and myocardial infarction after percutaneous coronay intervention. Am Heart I 2003;145l.42-6
Sermys PW' van Hout B, Bonnier H, cs. Randomised comparison of
implanttation of heparin-coated stents with balloon angioplasty
in selected patients with coronary artery disease (Benestent II).

Lancet I 998:3 52:61 3 -81


Serruys PW, Unger F, Sousa JE, et al. Comparison

of coronary

artery bypass surgery and stenting for rhe treatment of


multivessel disease. N Engl J Med 2007;344:lll7-24.
Sousa JE, Costa MA, Abizaid AC, et al. Sustained suppression of
neointimal proliferation by sirolimus-eluting stents: one-year
angiographic and intravascuiar ultrasound foilow-up. Circulation 2001;37:1335-43.
Stone GW, Ellis SG, Cox DA, et al. One-year clinical results v/ith thr:
slow-release, polymer-based, paclitaxel-eluting TAXUS stcnt:

the TAXUS-IV trial Circulatiort 2004;1,09:1942-1 .


Schampaert E, Cohen EA, Schluter M, et al. The Canadian study of
the sirolimus-eluting stent in the treatment of patients with
long de novo lesions in small native coronary art'eries (C-

SIRIUS) J Am Coll Czrrdiol 2004;43:1110-5.


Schofer J, Schluter M, Gershlick AH, et al. Sirolimus-eluting stents

for treatment of patients with long atherosclerotic lesions in


small coronary arteries: double-blind, randomised controlled trial
(E-SIRIUS). Lancet 2003:362:1 093-9.
Sousa JE, Costa MA, Abizaid A, et al Lack of neointimal proliferation after implanttation of sirolimus-coated stents in human

coronary arteries: a quantitative coronary angiography and


threedimensional intravascular ultrasound study. Circulation
2001:103:192-5.

Saia F, Lemos PA, Lee CH, et al. Sirolimus-eluting stent


implanttation in ST elevation acute myocardial infarction: a
graphic study. Circulati on 2003 ;708 : 1921 -9.
DA, et al. A polymer-based, paclitaxel eluting
patients with coronary artery disease. N Engl J l!{ed

clini cal and

an gio

Stone GW, El1is SG Cox

stent

in

2004t350:22I -31
Sitber S, Popma J, Suntharalingham M, et al. Two-year follow-up of
90Sr/90Y beta-radiation versus placebo-control for the treament
of in-stent restenosis. Am Heart J 2005 (in-press)
Safian RD, Feldman T, Muller DW, et al. Coronary angioplasty and
rotablator atherectomy (CARAT): lmmediate and late results of
a prospective multicentre randomi2ed trial Cathet Cardiovasc
Intervent 2OO l'.53 :213-20
Simonton CA, Leon MB, Baim DS, et al. Optimal directional coronary atherectorly :final results of the optimal atherectomy
restenosis study (OARS). Circulation 1998:.91:332-9
Stankovic G Colombo A, Bersin R, et al. Comparison of directional
coronary atherectomy and stenting versus stenting alone for the
treatment of de novo and restenotic coroanry narrowing. Am J

Cardiol 2004:93:953-8
Schachinger Y Hamu-r CW, Munzel T, et al. A randomized trial of
in
s te n t s
poiy tetrafluoroethyl en e- mem brane - co v e red

aortocoronary saphenous vein grafts. J Am Coll Cardiol


2003 142: I 360-9

Stankovic G. Colombo

A, Presbitero P, et al

Randomized

1582

I(ARDIOI.OGI

of polytetrafluoroethylene-covered stents in
saphenous vein grafts: the Randomized Evaluation of
polytetrafluoroethylene-COVered stents in Saphenous vein
grafts (RECOVERS) Trial.Circulation 2003:108:37-42
Sharma SK, Kini A, Mehran R, et al. Rotational atherectomy versus
balloon angioplasty for diffuse in-stent restenosis (ROSTER)
Am Heart I 2004'147:16-22
Stone GW, Rogers C. Hermiller J, et a1. Randomized comparison of
distal protection with filter-based catheter and a balloon
occlusion and aspiration system during percutaneous intervention of diseased saphenous veln aorto-coronary bypass grafts
Circulation 2003; 108:548-53
Stone GW, Webb J, Cox D, et a1. Primary angioplasty in acute
evaluation

myocardial infarction with distal protection of the


microcirculation:Principal results from the prospective,
randomized EMERALD trial 2005 (in press).
DA, Babb J, et al Prospective, randomized evaluation

Stone G, Cox

of thrombectomy prior to

percutaneous intervention in
diseased saphenous vein grafts and thrombus-containing
coronary areries. J Am Coll Cardiol 2003;42:200'7-13
Silber S, Alberlsson P, Aviles Ffl et a1. Guidelines for percutaneous

coronary interventions. The task force for percutaneous


coronary interventions of the European Society of Cardiology.
Eur Heart J 2005:26:804-47.
Smith SC, Antman EM, Smith SC, et al ACC/AHA/SCAI 2005
Guideline Update for Percutaneous Coronary Intervention A
Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines (ACC/AHA/SCAI
Writing Committee to Update the 2001. Guidelines for Percutaneous Coronary Intervention) www.acc.org
The SoS Investigators. Stent assisted PCI versus CABG in multivessel
coronary artery disease. Lancet 2002;360;965-70
Tanabe K, Serruys PW, Grube E, et al TAXUS III Trial: in-stent
restenosis treated with stent-based delivery of paclitaxel incorporatsd in a slow-reiease polymer formulation. Circulation
2003;10'l:559-64.
Topol EJ, Leya

fl

atherectomy

Pinkerton CA, et a1.A comparison of directional

with coronary angioplasty in patients

with

coronary artery disease The CAVEAT Study Group. N Engl J


' Med 1993:329 221-1
Topol EJ, Nissen SE Our preoccupation with coronary luminology:
the dissociation between ctinicat and angiographic findings in
ischemic heart disease. Circulation 1995;92:2333-42
Teirstein PS, Massullo Y Jani S, et al. Two-year follow-up after
catheter-based radiotherapy to inhibit coronary restenosis.
Circulation 1999;99:243-7
Teirstein PS. Kuntz RE. New frontiers in interventional cardiology : intravascular radiation to prevent restenosis. Circulation
2001:,704:2620-6

Teirstein PS, Massullo Y jani S, et al Three-year clinical and


angiographic follow-up after intracoronary radiation: results of
a randomised clinical trial. Circulatlon 2000:101:360-5
Topol EJ, Yadav JS, Recognition of the importance of embolization
in atherosclerotic vascular disease. Circulation 2000:101:57080
Tanabe

K, Serruys PW, Grube E, et al. TAXUS III Trial: in-stent


restenosis treated with stent-based delivery of paclitaxel
incorporated in a slow-release polymer formulation.
Circulation

2003 ;101

59

-64

vom Dahl J, Dietz U, Haager PR, et al. Rotational atherectomy


does not reduce recurrent instent restenosis: results of the
rotational atherectomy versus balloon angioplasty for treatment of diffuse in-stent restenosis trial (ARTIST). Circulation
2002;105:583-8
von Kom H, Scheinerl D, Bruck M, et a1. Initial experience with the
Endicor X-Sizer thrombectomy device in patients with ST

segment elevation myocardial infarction Z Kardiol


2002:91:466-11
Williams DO, Riley RS, Singh AK, Most AS. Restoration of normal
coronary hemodynamics and myocardial metabolism after per-

cutaneous transluminal coronary angioplasty. Circulation


1980:62:653-6
Waksman R, White RL, Chan RC, et al. Intracoronary gammaradiation therapy after angioplasty inhibits recurrence in patients with instent restenosis (WRIST) Circulation 2000;

lQ1 2165-71
Waksman R, Cheneau E, Ajani AE, et al Intracoronary radiation
therapy improves the clinical and angiographic outcomes of
diffuse in-stent restenotic lesions: results of the Washington
Radiation for In-stent Restenosis Trial for Long lesions (1ong
WRIST) Studies. Circulation 2003;107 :1744-9
Waksman R, Raizner AE, Yeung AC, et al. Use of localised intracoronary
beta radiation in treatment of in-stent restenosis: the INHIBIT
randornised controlled trial Lancet 2002:359:551-7
Waksman R, Ajani A, White RL, et al. Intravascular gamma
radiation for in-stent restenosis in saphenous-vein bypass grafts.
N Engl J Med 2002;346:1194-99
Waksman R. Ajani AE, White RL, et al Two-year follow-up after
beta and gamma intracoronary radiation therapy for patients
with diffuse in-stent restenosis. Am J Cardiol 2001:88:425-8
Waksman R, Ajani AE, Pnnow E, et al. Twelve versus six months of
clopidogrel to reduce major cardiac events in patients
undergoing gamma-radiation therapy for in-stent restenosis:
Washington Radiation for In-Stent restenosis Trial (WRIST)
l2 versus WRIST PLUS. Circulation 2002:106:116-8
Whitlow PW, Bass TA, Kipperman RM, et al. Results of the study
to determine rotablator and transluminal angioplasty strategy
(STRATAS). Am J Cardiol 2001;87:699-705.

248
GAGAL JANTUNG
Marulam M. Panggabean

DEFINISIGAGAL JANTUNG

dapat dibedakan dari pemeriksaan jasmani, foto toraks atau

Gagal jantunC (GJ) adalah sindrom klinis (sekumpulan

EKG dan hanya dapat dibedakan dengan eko-Doppler.


Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan
kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung

tanda dan gejala), ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat
istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan

menurun dan menyebabkankelemahan,fatik,kemampuan

aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi

struktur atau fungsi jantung.

lainnya.
Gagaljantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan
Sangguan pengisian ventrikel.Gagal jantung diastolik
didefenisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi
lebih dari 50Vo. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan
Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena
pulmonalis. Tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan
anamnesis, pemeriksaan jasmani saja. Ada 3 macam
gangguan fungsi diastolik:

PARADTGMA LAMA (MODEL HEMODTNAMTK)

Dulu GJ dianggap merupakan akibat dari berkurangnya


kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan
inotropik untuk meningkatkannya dan diuretik serta
vasodilator untuk mengurangi beban (un-load).

'.
.
.

PARADIGMA BARU (MODEL NEUROHUMORAL)


Sekarang GJ dianggap sebagai remodelling progresif
akibat beban/penyakit pada miokard sehingga pencegahan

Gangguan relaksasi,
Pseudo-normal
Tipe restriktif.
Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau

mengurangi penyebab gangguan diastolik seperti


fibrosis, hipertrofi, atau iskemia. Di samping itu kongesti

progresivitas dengan penghambat neurohumoral


(neurohumoral blocker) seperti ACE-Inhibitor,
Angiotensin Receptor-Blocker atal penyekat beta

sistemilJpulmonal akibat dari gangguan diatolik tersebut


dapat diperbaiki dengan restriksi garam dan pemberian
diuretik. Mengurangi denyut jantung agar waktu untuk

diutamakan di samping obat konvensional (diuretika dan


digitalis) ditambah dengan terapi yang muncul belakangan
ini seperti biyentricular pacing, recyncronizing cardiac
teraphy (RCT), intra cardiac defibrllator (ICD), bedah
rekonstruksi ventrikel kiri (LY reconstruction surgery) dan
mioplasti.

diastolik bertambah, dapat dilakukan

dengan

pemberian penyekat beta atau penyekat kalsium non-

dihidropiridin.

Low output dan High output Heart Failure


Low out put HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati
dilatasi, kelainan katup dan perikard. High out put HF
ditemukan pada penurunan resistensi vaskular sistemik
seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V,
beri-beri dan penyakit Paget. Secara praktis, kedua
kelainan ini tidak dapat dibedakan.

BEBERAPA ISTILAH DALAM GAGAL JANTUNG

Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik


Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak

rco

1584

I(ARDIOLOGI

Gagal Jantung Akut dan kronik


Contoh klasik gagal jantung akut (GJA) adalah robekan
daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis,trauma atau
infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara
tiba tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa
disertai edema perifer.

Contoh gagal jantung kronis (GJK) adalah


kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang
terjadi secara perlahan lahan.Kongesti perifer sangat
menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan
baik.

Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri


Gagal jantung

kiri akibat kelemahan ventrikel,meningkatkan


tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien
sesak napas dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi
kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada
hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru

kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang


menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi
vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal
jantung terjadi pada miokard kedua ventriel, maka retensi

cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung


bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.

PATOGENESIS GAGAL JANTUNG SISTOLIK


GJ sistolik didasari oleh suatu beban/penyakit miokard
(underlying HD/index of events) yang mengakibatkan
remodeling struktural, lalu diperberat oleh progresivitas
beban/penyakit tersebut dan menghasilkan sindrom klinis
yang disebut gagal jantung.
Remodeling struktural ini dipicu dan diperberat oleh
berbagai mekanisme kompensasi sehingga fungsi jantung

terpelihara relatif normal (gagal jantung asimtomatik).


Sindrom gagal jantung yang simtomatik akan tampak bila
timbul faktor presipitasi seperli infeksi, aritmia, infark
jantung, anemia, hipertiroid dan kehamilan, aktivitas
berlebihan,emosi atau konsumsi garam berlebih, emboli
paru, hipertensi, miokarditis, virus, demam reuma,
endokarditis infektif. Gagal jantung simtomatikjuga akan
tampak kalau terjadi kerustkan miokard akibat progresivitas

penyakit yang mendas airry al underlying HD.


Skema di bawah ini dapat menerangkan patogenesis
tersebut:

Gambar 1. Patogenesis gagal jantung

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk


diagnosis gagal jantung kongestif.

Kriteria Major

.
.
.
.
.
.
.
.

Paroksismal nokturnal dispnea


Distensi vena leher

Ronkiparu
Kardiomegali
Edemaparu akut
Gallop 53

Peninggiantekanan venajugularis
Refluks hepatojugular

Kriteria Minor

.
.
.
.
.
.
.

Edema ekstremitas

Batukmalamhari
Dispnea d'effort
Hepatomegali

Efusipleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari ormal
Takikardia(>l20imeniQ

Major atau minor


Penurunan BB 24.5 kg dalam 5 hari pengobatan
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada
major dan 2 kriteria minor

kriteria

PENATALA KSANAAN GAGAL JANTU NG

DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
asmani, elektrokardiografilfoto toraks, ekokardiografiDoppler dan kateterisasi seperti terlihat pada bagan di

bawah ini

Pada tahap simtomatik di mana sindrom GJ sudah terlihat


jelas seperti cepat capek (fatik), sesak napas (dyspnea in
effo rt,

rthopnea),kardiomegali,peningkatan

tekanan vena

jugularis, asites, hepatomegalia dan edema sudah jelas,


maka diagnosis GJ mudah dibuat. Tetapi bila sindrom
tersebut belum terlihatjelas seperti pada tahap disfungsi

1585

GAGALJANTUNG

ventrikel kiri/LV dysfunction (tahap asimtomatik), maka


keluhan fatik dan keluhan di atas yang hilang timbul tidak
khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto

nsidious ----->
lnsidious

-----> Refrakier/berat
lnsdious-------------->

Simtomatk

Aktivlas aerobjk: aktivtas jasman dibabsi keluhan (symptoms

lmited)-+

rontgen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain


Natriuretic Peptide.
Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung
tombak pengobatan gagal jantung sampai edema atau
asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atat
Angioten.sin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat
dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat
beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah
diuretik dan A C E - inhib it o r ter sebtt diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular
(fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau ketiga obat di atas
belum memberikan hasil yang memuaskan. Intoksikasi digi-

talis sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal


menurun(ureum./kreatinin meningkat) atau kadar kalium
rendah (kurang dari 3.5 meq/L).
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek
diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia,dan ada
beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas
dengan pemberian jenis obat ini.
Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi
seperti Brain Natriuretic Peptide (Nesiritide) masih dalam

penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac


Re

sychronization

The rap h.r

(CRT) maupun Pembedahan,

pemasangan ICD ( I nt ra - C arcli ac D efi b r i I I at o r) seba gai


alat mencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat

iskemia maupun non-iskemia dapat memperbaiki status


fungsional dan kualitas hidup, namun mahal. Transplantasi

sel dan stimulasi regenerasi miokard,masih terkendala


dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat
ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan
m asi h

memerlukan penelitian lanj ut.

Suplemen K, Ivlg vitamin ses!ai kebutuhan--'


Reskrksi calran 1-2 L/hari - - --- -- - -- ->

96

4
!.

Gambar 2. Langkah-langkah penatalaksanaan gagal jantung


sesuai beratnya penyakit

BEFERENSI
Braunwald E.Heart Failure and Cor Pulmonal.

In:

Kasper

Dl,Braunwald E,Fauchi AS et.al, eds Harrison's principles of


internal medicine l6 ed,2003 :1367-11
Francis GS Systolic dysfunction and pathogenesis:two coceptual pathways humoral,neurogenic and hemodynamic pathways.The 37'h

Annual New york Cardiovascular Symposium:Major Topics in

Cardiology Today,New York Hilton and Towers,New


York,December I0- 12,2004 : I 49 -63
Maisel Alan, B-type natriuretic peptide:a marker with two clinical
applications.cardiac failure diagnosis and prognosis. The 37'h
Annual New york Cardiovascular Symposium:Major Topics in
Cardiology Today,New York Hilton and Towers,December 1012,2004.p.188-201.

249
GAGAL JANTUNG AKUT
Daulat Manurung

PENDAHULUAN

mengakibatkan toleransi aktivitas berkurang retensi air


yang dapat memicu edema paru dan edema perifer.
Perlu diingat bahwa keluhan dan gejala bisa berbeda
pada setiap individu,ada sesak nafas, belum tentu ada
edema perifer dan sebagainya.
Untuk menilai derajat gangguan kapasitas fungsional
dari HF, pertama kali diperkenalkan oleh New York Heart

Heart Failure (HF) atau gagal jantung (GJ) adalah suatu

sindroma klinis kompleks, yang didasari oleh


ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah
keseluruh jaringan tubuh secara adekuat, akibat adanya
gangguan struktural dan fungsional dari jantung. Pasien
dengan HF harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
. Gejala-gejala (symptoms) dari HF berupa sesak nafas

.
.

Association (NYHA) tahun 1994, yang membagi HF


menjadi 4 klaSifikasi, dari kelas I sampai kelas 4 tergantung

yang spesifik pada saat istirahat atau saat beraktivitas


dan atau rasa lemah, tidak bertenaga
Tanda-tanda (slgns) dari HF berupa retensi air seperli
kongesti paru, edema tungkai
dan objektii ditemukannya abnormalitas dari struktur
dan fungsional jantung (Tabel 1)

dari tingkat aktivitas dan timbulnya keluhan, misalnya


sesak sudah timbul saat istirahat menjadi kelas 4, sesak
timbul pada aktivitas ringan kelas 3, sesak timbul saat
aktivitas sedang menjadi kelas 2, sedangkan kelas I sesak
timbul saat beraktivitas berlebih. Klasifrkasi menurut NYHA
lebih banyak atau pada umumnya berdasarkan keluhan
subyektif.
Klasifikasi terbaru yan g dikeluarkan American Colle ge
of Cardiology/Amercan Heart Association (ACC/AHA)

pada tahun 2005 yang menekankan pembagian HF

Symptoms typical of heart failure


(breathlessness at rest or on exercise, fatique, tiredness, ankle
swelling)

berdasarkan progressivitas kelainan struktural dari jantung

dan perkembangan status fungsional. Klasifikasi dari


ACC/AHA ini, perkembangan HF dibagi juga menjadi 4

and

Sings typical of heart failure


(tachycardia, tachypnoea, pulmonary rates, pleural effusion,
raised jugular venous pressure, peripheral oedema,
hepatomegaly)

stages, A,B,C dan D. Stage A dan B jelas belum HF, hanya


mengingatkan pelaksana pelayanan kesehatan (health
care provider) bahwa kondisi ini kedepan dapat masuk

and

kedalam keadaan HF. StageAmenandakan ada faktor risiko


HF (diabetes, hipertensi, penyakit jantung koroner) namun
belum ada kelainan struktural dari jantung (cardiomegali,
LVH, dll) maupun kelainan fungsional. Sedangkan pada
stage B ada faktor-faktor risiko HF seperti pada stage A
dan sudah terdapat kelainan struktural, LVH cardiomegali
dengan atau tanpa gangguan fungsional, namun bersifat
asimptomatik. Stage C, sedang dalam dekompensasi dan
atau pernah HF, yang didasari oleh kelainan struktural dari
jantung. Stage D adalah yang benar-benar masuk ke dalam
refractory HF, dan perllu advanced treatment strategies.

Objective evidence of a structural or functional abnormality of


the heart at rest
(cardiomegaly, third heart sound, cardiac murmurs,
abnormality on the echocardiogram, raised natriuretic peptide
concentration)

HF dapat memberikan spektrum klinis yang luas, mulai

dari ukuran jantung LV yang masih normal, dengan


Ejection Fraction (EF)yangmasih cukup, sampai LV dilatasi
berat, dengan/ atau EF yang sangat buruk. Manifestasi
klinis utama dari HF sesak nafas, mudah capek yang

1586

1587

GAGALJANTUNGAKUT

Juga apabila dilihat dari segi onset nya, maka HF dapat


dibagi menjadi new onset HE transient HF dar. chronic
I1fl New onset HF merujuk ke presentasi klinis perlama HF
transient HF merujuk ke HF simptomatik terbatas pada

periode waktu tertentu, walaupun pengobatan jangka


panjang masih diperlukan, misalnya HF karena myokarditis

ringan dan sembuh secara baik. HF karena ischemia,


dilakukan revaskularisasi dan berhasil. HF pada infark akut
yang tidak memerlukan terapi diuretik jangka panjang.
Chronic HF dapat berupa persisten atau perburukan HF
atau mengalami dekompensasi akut dari chronic HF.
Perburukan HF yang didasari chronis HF (dekompensasi)
merupakan HF terbanyak dari seluruh bentuk HF yang
dirawat di rumah sakit yaitu sekitar 807o dari semua kasus.

Peninggian afterload pada penderita hipertensi sistemik


atau pada penderita hipertensi pulmonal
II. Peninggian preload karena volume overload atau retensi
alr
Itr. Gagal sirkulasi (circulatory failure) seperti pada
keadaan high output states a\tara lain pada infeksi,
anemia atau thyrotoxicosis.

Kondisi lain yang dapat mencetuskan GJA adalah


ketidakpatuhan minum obat-obat GJ, atau nasehat-nasehat
medik, pemakaian obat seperli NSAIDs, cyclo-oxygenare
(COX) inhibitor, dan thiazolidinediones. GJ berat juga bisa
sebagai akibat dari gagal multi organ (multiorganfailure).
(Thbel 2)

Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai diagnose

dan penatalaksanaan GJA meliputi new onset HF, dan


dekompensasi akut dari chronic HF mengacu pada
tatalaksana yang dikeluarkan oleh European Society of
Cardiology (ESC) yaitu ESC guidelines for the
Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2008 dan ACCF/AHA guidelines for the
Diagnosis and Management of Heart Failure in Adult
2009 focus up date incorporated into the ACC/AHA 2005.

GAGAL JANTUNG AKUT


Gagal Jantung Akut (GJA) didefinisikan sebagai serangan
cepal/ rapid / onset atau adanya perubahan pada gejalagejala atau tanda-tanda (symptoms and sign) dari gagal
jantung (GJ) yang berakibat diperlukannya tindakan atau
terapi secara urgent. GJA dapat berupa serangan pertama
GJ, atau perburukan dari gagaljantung kronik sebelumnya.
Pasien dapat memperlihatkan kedaruratan medlk (medical
emergency) seperti edema paru akut. (acute pulmonary
oedema).

Disfungsi jantung dapat berhubungan dengan atau


diakibatkan ischema jantung, irama jantung yang
abnormal, disfungsi katup jantung, penyakit perikard,
peninggian dari tekanan pengisian ventrikel atau
peninggian dari tahanan sirkulasi sistemik.
Dengan demikian berbagai faktor kardiovaskular dapat
merupakan etiologi dari GJA ini, dan juga bisa beberapa
kondisi (comorbid) ikut berinteraksi.
Ada banyak kondisi kardiovaskular yang merupakan
kausa dari GJA ini dan juga faktor-faktor yang dapat
mencetuskan Qtrecipitating factors) terjadinya GJA.
Semua faktor-faktor ini sangat penting untuk diidentifikasi;
dan dihimpun untuk mengatur strategi pengobatan.
Gambaran klinis khas dari GJA adalah kongesti paru,
walau beberapa pasien lebih banyak memberikan gambaran
penurunan cardiac output dan hipoperfusi jaringan lebih
mendominasi penampilan klinis.
Penyakit kardiovaskular dan non kardiovaskular dapat
mencetuskan GJA. Contoh yang paling sering antara lain.

iskemik
akut
mekanik
akut
kanan

Penyakit jantung

.
.
.

Sindrom koroner
Komplikasr
dari infark
lnfark ventrikel

Valvular
. Slenosis valvular
. Regurgitasi valvular
. Endokarditis
o Diseksi aorta
Miopatia
. Postpartum
kardiomiopati
. Miokarditis akut

Gagal sirkulasi

.
.
.
.
.
o

Pirai

Tamponade
Emboli paru

Dekompensasi pada gagal

jantung kronik

o
.
o
.
.
.

a
H

Septikemia
Hygrotoxicosis
Anemia

Tidak patuh minum obat


Volume overload
lnfeksi, terutama
pneumonia
Cerebrovaskular insult
Operasi
Disfunsi renal
Asma/PPOK
Penyalahgunaan obat
Penyalahgunaan alkohol

ipertensi/a ritmia
Hipertensi
Aritmia akut

.
.

Simptom gagal jantung bisa juga dicetuskan oleh


faktor-faktor non kardiovasfcular seperti penyakit paru
obstruktif, atau adanya penyakit organ lanjut (end-organ
disease) terutama disfungsi renal. Pengobatan inisial yang

tepat dan pengobatan jangka panjang yang sesuai sangat


diperlukan. Bila mungkin, koreksi kelainan anatomis yang

mendasarinya seperti penggantian katup atau


revaskularisasi, dapat mencegah episode GJA dan
memperbaiki prognose jangka panjang.

Klasifikasi Klinis
Manifestasi klinis GJA memberikan gambaran/ kondisi
spectrum yang luas dan setiap klasifikasi tidak akan dapat
menggambarkan secara spesifik.
Pasien dengan GJA biasanya akan memperlihatkan
salah satu dari enam bentuk GJA. Edema paru tidak selalu
menyertai semua ke enam bentuk GJA.

1588

KARDIOI.OGI

sindroma "low out put" tanpa disertai oleh kongesti


paru dengan peninggian tekanan venajugularis dengan

atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian

6.

ventrikel kiri yang rendah.


Sindroma koroner akut dan gagal jantung.
Banyak penderita GJA timbul bersamaan dengan SKA
yang dibuktikan dari gambaran klinis dan pemeriksaan

penunjang. Kira-kira l57o penderita SKA


memperl ihatkan gej ala dan tanda-tanda GJ. Episode GJA

bisaanya disertai atau dipresipitasi oleh aritmia


(bradikardia, AF, VT)
Di samping itu, ada beberapa klasifikasi GJA yang bisaa
dipakai di ICCU. antara lain:
Gambar 1. Klasifikasi Klinis gagal jantung akut

Klasifikasi Killip, berdasarkan tanda-tanda klinis


sesudah infark jantung akut,
Forester yang juga berdasarkan tanda-tanda
klinis dan karakteristik hemodinamik pada infark akut.

2. Klasifikasi
Gambar 1 dapat memperlihatkan kemungkinan
terjadinya tumpang tindih dari ke enam bentuk GJA ini.
Keenambentuk dari PJA ini, adalah:

1. Perburukan atau gagal jantung kronik (GJK)


dekompensasi, adanya riwayat perburukan yang
progresif pada penderita yang sudah diketahui dan
mendapat terapi sebelumnya sebagai penderita GJK dan
dijumpai adanya kongesti sistemik dan kongesti paru.

Tekanan darah yang rendah pada saat masuk RS,


merupakan petanda prognose buruk.

2.

Edemaparu.

Pasien dengan respiratory distress yang berat,


perrrafasan yang cepat, dan orthopnea dan ronchi pada

seluruh lapangan paru. Saturasi 02 arterial bisaanya


< 907o pada suhu ruangan, sebelum mendapat terapi

3.

oksigen.
Gagal jantung hipertensif, terdapat gejala dan tandatanda gagal jantung yang diserlai dengan tekanan darah
tinggi dan bisaanya fungsi sistolik jantung masih relatif

cukup baik, juga terdapat tanda-tanda peninggian


tonus simpatitik dengan takhikardia dan vasokonstriksi.

Pasien mungkin masih eu volemia atau hanya

4.

hipervolemia yang ringan. Umumnya memperlihatkan


kongesti paru tanpa tanda-tanda kongesti sistemik.
Syok kardiogenik, didefinisikan sebagai adanya bukti
tanda- tanda hipoperfusi j aringan yan g disebabkan oleh
gagaljantung, walau sesudah preload dan aritmia berat
sudah dikoreksi secara adekuat.

Tidak ada parameter hemodinamik diagnostik yang


pasti. Akan tetapi cirikhas dari syok kardiogenik adalah

tekanan darah sistolik yang rendah (tekanan darah


sistolik <90mmHg, atau penurunan dari tekanan arteriol
rata-rata(mean arterial pressure >3OnmHg), dan tidak
adanya produksi urin, atau berkurang (<0,5ml/kg/jam).

5.

Gangguan irama jantung serin g ditemukan. Tanda-tanda


hipoperfusi organ dan kongesti paru timbul dalam waktu
cepat.
Gagaljantung kanan terisolasi, ditandai dengan adanya

Prognosa
Data yang diperoleh dari beberapa registry terbaru dari
GJA dan beberapa survey yang telah dipublikasikan
seperti the EUro-Heart Failure Survey II, the ADHERE
registry dr Amerika Serikat dan survey Nasional dari Italia,
Perancis dan Finlandia . Namun banyak dari pasien-pasien
yang masuk dalam registry ini adalah penderita-penderita
dengan usia lanjut dengan faktor-faktor cormobid cardio
vaskuler dan Non cardiovaskuler yang sangat banyak,
dengan prognosejangka pendek danjangka panjang yang
buruk. Sindroma koroner akut merupakan kausa yang
paling sering dari gagal jantung akut yang baru. Kematian
di RS yang tinggi didapatkan pada pasien dengan shok
kardiogenik berkisar antara 40-60%. Sangat berbeda
dengan pasien gagal jantung akut hipertensif angka
kematian di rumah sakit rendah dan kebanyakan pulang
dari rumah sakit dalam keadaan asimptomatik.
Rata-rata perawatan di RS akibat GJA dari the Euro
Hearl Survey adalah t hari. Dari studi registry yang dirawat
karena GJA, hampir separuh diantaranya dirawat kembali
paling tidak sekali datam 12 bulan pertama. Estimasi
kombinasi kematian dan perawatan ulang untuk 60 hari
sej ak perawatan diperkirakan berkisar antata 30-50c/o .
Indikator prognostik selanjutnya sama dengan yang
dijumpai pada gagal jantung kronik lainnya.

Diagnosis GJA
Diagnosis GJA adalah berdasarkan simptom-simptom yang
ada dan penemuan-penemuan klinis. Konfirmasi dan
pemantauan dari diagnosis diperoleh dari anamnesa yang
teliti, pemeriksaanjasmani, EKG foto thorax, ekokardiografi

dan penemuan laboratorium dan analisa gas darah dan


Biomarker spesifik. Algoritme diagnose sama dengan
untuk GJA yang timbul akibat "de novo" atau episode
dekompensasi dari GJK. (Gambar2)

1589

GAGALJANTUNGAKUT

Evaluasi Awal
Penilaian secara sistematik presentasi klinik adalah sangat
penting, meliputi riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
yang teliti.
Penilaian perfusi perifer, suhu kulit, peninggian tekanan

pengisian vena adalah sangat penting, adanya sistolik


murmur dan diastolik murmur, demikian j uga irama gallop
sangat perlu dideteksi pada auskultasi bunyi jantung.
Mitral ineffisiensi sangat sering ditemukan pada fase akut.
Adanya stenosis aorta atau inefisiensi aorta juga harus
dideteksi. Kongesti paru dideteksi dengan auskultasi dada
dimana ditemukan ronchi basah pada kedua basal paru
dan konstriksi bronchial pada seluruh lapangan paru

sebagai petanda peninggian dari tekanan pengisian


ventrikel kiri. Tekanan pengisian jantung kanan dapat
dinilai dari evaluasi pengisian vena jugularis.
Efusi pleura umumnya ditemukan pada dekompensasi
akut dari GJH. Berikut ini adalah beberapa pemeriksaan
yang dianjurkan pada penderita dengan GJA

kongesti paru, dan untuk mengetahui adanya kelainan paru


dan jantung yang lain seperti efusi pleura, infiltrat atau
kardiomegali. (IC)

Analisa Gas Darah Arterial


Analisa gas darah arterial, memungkinkan kita untuk menilai

oksigenasi (pO2) fungsi respirasi (pC02) dan


keseimbangan asambasa (pH) danharus dinilai pada setiap
pasien dengan respiratory distress berat. Asidosis petanda
perfusi jaringan yang buruk atau retensi CO2 dikaitkan

dengan prognose buruk. Pengukuran dengan pulse


oxymetry dapat mengganti analisa gas darah afierial. Tetapi
tidak bisa memberikan informasi pCO2 atau keseimbangan
asam basa, dan tidak bisa dipercaya pada sindroma low
output yang berat atau vasokonstriksi dan status syok.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, urea, cretinin, gula
darah, albumin, enzyme hati dan INR harus merupakan

pemeriksaan awal pada semua penderita GJA. Kadar

sodium yang rendah, urea dan creatinin yang tinggi

Analisa gas ded abnonnal ?


Kongesti pada foto thoGx ?
Naduredc peptide meninggi ?
Riwayat sakitjiltung
abu gagaljantung ?

memberikan prognose buruk pada GJA. Peninggian sedikit


dari cardiac troponin bila terlihat pada GJA, walau tidak
ada SKA. Peningkatan dari Troponin yang disertai dengan
SKA merupakan petanda prognosa yang tidak baik.

Natriuretic Peptide
B-type natriuretic peptides (BNP dan NT-pro BNP) yang
diperiksa pada fase akut dapat diterima sebagai prediktif
negative untukmeng-eklusi GJ, walau tidak sepenting pada
GJK dalam praktik sehari-hari. Belum ada kesepakatan
mengenai referensi nilai BNP atau NT-pro BNP pada GJA.

Nilai

tipe, bemhya dan etiologinya


deogan investigasi selekif

Pada saat serangan (flash) edema paru atau mitral


regurgitasi akut, kadar natriuretic peptide bisa masih
normal saat masuk RS. Namun pemeriksaan BNP atau NT
pro BNP saat masuk dan sebelum pulang, akan memberikan

Gambar 2. Evaluasi pasien dengan persangkaan GJA

informasi prognostic yang penting. (IA)

Ekokardiograf

Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat
penting, meliputi frekuensi debar jantung, irama jantung,

sistem konduksi dan kadang etiologi dari GJA. Kelainan


segmen ST; berupa ST segmen elevasi infark miokard
(STEMD atau Non STEMI. Gelombang Q petanda infark
transmural sebelumnya. Adanya hipertropi, bundle branch
block, disinkroni elektrikal, interval QT yang memanjang,
disritmia atau perimiokarditis harus diperhatikan. (I C)

Ekokardiografi memegang peranan yang sangat penting


untuk evaluasi kelainan struktural dan fungsional dari
jantung yang berkaitan dengan GJA. Semua penderita GJA

harus dievaluasi/ ekokardiografi secepat mungkin.


Penemuan dengan ekokardiografi bisa langsung

Foto Toraks

menentukan strategi pengobatan. (IC)


Pencitraan echo/ dopler harus diperiksakan untuk
evaluasi dan memonitor fungsi sistolik ventrikel kiri dan
kanan secara regional dan global, fungsi diastolik, struktur
dan fungsi valvular, kelainan perikard, komplikasi mekanis
dari infark akut, adanya disinkroni, juga dapat menilai semi
kuantitatif, non invasive, tekanan pengisian dari ventrikel

Foto toraks harus diperiksakan secepat mungkin saat masuk


pada semua pasien yang diduga GJA, untuk menilai derajat

kanan dan kiri, stroke volume dan tekanan arteri


pulmonalis, yang dengan demikian bisa menentukan

1590

strategi pengobatan. Echo/dopler dapat diulang sesuai


kebutuhan, dan dapat mengganti pemeriksaan atau m
onitoring invasif

I(ARDIOI.OGI

Managemen GJA
Kebanyakan GJA didasari oleh adanya PJK. Oleh sebab
itu identifrkasi PJK ini harus dipikirkan dari sejak awal untuk

memilih terapi yang tepat. Target terapi awal adalah

Instrumentasi dan Monitoring Pasien dengan


GJA

secepatnya memperbaiki gejala-gejala atau keluhan dan


menstabilkan kondisi hemodinamik.

Penanganan GJA selama perawatan memerlukan

Monitoring pasien dengan GJA harus dimulai secepat


mungkin sesudah sampai di RS atau unit darurat medis,
bersamaan juga pemeriksaan-pemeriksaan yang

strategi pengobatan yang sudah terbukti manfaatnya, dan


dipertimbangkan dengan realitas objektif, dan sebelum

menunjang diagnose etiologi primer dan juga bagaimana


respons terhadap terapi awal. (IC)

lanjutan. Penanganan GJA sebaiknya dilakukan menurut

Monitoring Non lnvasif


Semua pasien sakit berat harus dimonitor hal-hal yang
mendasar seperti suhu, laju pernafasan, laju detakjantung,
tekanan darah, oksigenasi, produksi urine dan pemeriksaan
EKG. Perlu oximeter harus dipasang secara continue, dan
dinilai secara regular interval. (IC)

dipulangkan harus direncanakan tentang pengobatan


program management GJ, apabila tersedia, seperti yang di
gariskan oleh panduan ini (class I LoE B).Berikut ini adalah
beberapa opsi yang diperkirakan tepat pada pasien dengan
GJA, walau kebanyakan berasal dari opsi consensus dari
para ahli, oleh sebab itu tarafkemaknaan adalah C (level of

evidence C).

Oxygen
Diberikan secepat mungkin pada penderita hipoksemia

Monitoring lnvasif
Arlerial line : Di indikasikan apabila memerlukan analisa
secara kontinu tekanan darah arterial pada penderita
dengan hemodinamik yang tidak stabil, atau untuk

kebutuhan pengambilan sampel darah arlerial yang sering.

(traC)

Central Venous Line

Untuk mendapatkan alkes sirkulasi sentral, dipakai untuk


pemberian cairan dan obat-obatan dan memonitor Central
Venous Pressure (CVP). Dapat juga dipakai untuk
mengukur saturasi oxygen vena (SVO2) yang merupakan
evaluasi dari konsumsi oksigen/ delivery ratio (IIa C).

Kateter Arteri Pulmonali


Pemasangan kateter arteri pilmonal (pulmonary artery catheter (PAC) untuk diagnose GJAbiasanya tidak diperlukan.

PAC biasanya diperlukan untuk membedakan antara

Segera /saat perawatan di ruangi intensif (ED, lCU, CCU)


lmmediate
Memperbaikikeluhan-keluhan
Memperbaikioksigenisasi
Memperbaiki perfusi organ dan hemodinamik
Mencegah kerusakan jantung dan ginjal
Perawatan di ruang intensif sesingkat mungkin.
Saat perawatan di ruang perawatan (lntermediate)
Stabilkan pasien dan optimalkan strategi terapi
Mulai pengobatan terapi farmakologi yang tepat
untuk penyelamataan (life / saving)
Pertimbangkan pemasangan alat bantu (device
therapy) untuk pasien yang tepat.
Perawatan di RS sesingkat mungkin
Jangka panjang dan penangan saat berobatjalan
Rencanakan strategi perawatan lanjut
Diingatkan untuk penyesuaian pola hidup yang
tepat.
Penjelasan mengenai pencegahan sekunder
Pencegahan perawatan ulang
Memperbaiki kualitas hidup dan harapan hidup

mekanikal kardiogenik atau non kardiogenik pada penderita


yang komplek. Kemungkinan bersamaan sakitjantung dan
penyakit paru, terutama apabila dengan ekokardiografi/
Doppler sangat sulit untuk diperoleh. PAC juga berguna
pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil, walau sudah
mendapat terapi convensional. (IIb B)

Angiografi Koroner
Pada pasien GJA yang didasari iskemia seperti angina tak

stabil atau SKA, maka angiografi koroner sangat


diperlukan kecuali ada kontraindikasi kuat. Opsi
revaskularisasi (PCI/CABG) harus dipertimbangkan
apabila secara teknis memungkinkan, dan risiko tindakan

Fsu.ruri oz--- l
,

anerial<qs".

Irama jmtung dan


debar jmtung

nomal

f+

)a

Tidak+
-

Tingkatkm pemberian 02
pertimbmgkan CPAP
NI PPV, Ventitasi mekanis
Pacu

masih bisa diterima. Reperfusi yang berhasil akan


memperlihatkan prognose yang baik (I B).

janhrB mti ritmia

elektroversi

Gambar 3. Algoritme terapi awal dari GJA

1s91

GAGALJANTUNGAKUT

untuk memperoleh saturasi 02 arterial. > 95Vo, atau >90Vo


pada penderita PPOK. Harus hati-hati pada penderita
obstruktif saluran napas berat untuk mencegah hiperkapnia

yang lama
Hiperkapnia

.
.
.
.

(IB).

Ansietas dan claustrophobia


Pnemotoraks

Aspixia.

Ventilasi Non lnvasive (Non lnvasive Vantilation

Morfin dan Analog Morfin pada GJA

= NIV)

Indikasi. Ventilasi non invasif merujuk ke semua upaya

Morfin harus dipertimbangkan pada stadium awal GJA,


terutama bila pasien gelisah, sesak nafas, ansietas atau
nyeri dada (14). Morphine diberikan bolus 2,5 - 5 mg IU

untuk membantu pernapasan, tanpa memakai endotrakeal


tube, tetapi lebih jauh dari pemasangan masker penutup
wajah. NIV dengan positif end-expiratory pressure (PEEP)
harus dipertimbangkan secepat mungkin pada semua

dan dapat diulang seperlunya. Respirasi harus dimonitor,


kadang timbul nausea dan bila perlu boleh pakai anti emetic.
Hati-hati pada hipotensi, bradikardia AV block lanjut dan

pasien dengan edema paru kardiogenik akut (acute


cardiogenic pulmonary oedema) dan GJA hipenensif, akan
segera memperbaiki parameter klinis termasuk gagal nafas.
NIV dengan PEEP akan memperbaiki fungsi ventrikel kiri,

retensi CO2.

Loop Diuretika

karena dapat mengurangi after load dari ventrikel kiri.


Pemakaian NIV harus hati-hati pada syok kardiogenik dan

Pemberian diuretic intravena direkomendasikan pada GJA


bila ada symptom akibat kongesti atau volume overload (I
B). (Tabel.4)
Beberapa hal yang perlu diingat :
. Manfaat simptomatik diuretic sudah terbukti dan sudah

gagal jantung kanan.

Kontralndikasi

.
.
.

Pasien tidak kooperatif (tidak sadar, gangguan

kognitif

berat ,ansietas)

Sedang

Berat

dan hiponatremia dan meningkatkan kemungkinan


hipotensi apabila bersamaan dengan ACE I atau ARB.

'Dosis
Duretika
furosemide atau
Bumetanide atau
torasemide
Furosemide
Furosemide infus
Bumetanide
Torasemide

Refraktor

responsifnya terhadap terapi diuretika.


Dosis tinggi diuretika dapat memicu hipoalbuminemia

Efek yang tidak diinginkan


. Perburukan dari gagaljantung kanan
. Mukosa membran yang jadi kering akibat pemakaian

air

Pasien dengan hipotensi (sistolik <90 nimHg)

hiponatremia berat dan acidosis tidak sama

endotrakial karena hipoksia yang progresif)


Hati-hati pada penyakit obstruksi saluran napas berat.

Retensi

diterima dan sudah diterima secara universal

Diperkirakan perlu segera pemakaian intubasi

Perkalian

Harian (mg)
20-40
0,5

'l

10-20
40-1 00

5-40 mg/jam

Tambah HCT

1-4
20-100
50 -100

Atau metolazone

2,5-10

Atau
spironolaktone

25-50

Acetazolamide

0,5

terhadap
diuretika

Oral atau lV sesuai klinis


Dosis dititrasi
Monitor K, Na, creatinin,
tekanan darah,
i.v ditinggikan
Lebih baik daripada bolus
dosis tinggi
Oral atau intravena
Oral

Kombinasi lebih baik


daripada loop diuretikdosis
tinggi
Lebih poten bila
CCT<30mL/mnt
Terutama bila fungsi renal
baik dan K normal atau
rendah.

Dengan
Alkalosis

Refraktor
terhadap
diuretika
dan HCT

Tambahdopamine
ataudobutamine

Pertimbangkan ultrafiltrasi
dan HD apabila ada
gangguan renal dan
Hiponatremia

1592

Opsi terapi alternatif seperti pemakaian vasodilator IV


dapat mengurangi keluhan dan mengurangi pemakaian
diuretic dosis tinggi.

Bagaimana cara pemberian loop diuretika pada GJA.


. Dosis awal yang dianjurkan adalah 20-40mg I.V (0,5 - 1
mg bumetadine; 10-20 mg torasemide) atau harus sama

atau lebih dari dosis sehari-hari yang biasa didapat.


Pada fase awal ini pasien harus sering diawasi terutama
mengenai produksi urine. Pemasangan kateter urine
umumnya perlu untuk memonitor produksi urine, dan
mengetahui secara cepat respons pengobatan.(I C)
Pada pasien dengan bukti adanya volume overload
dosis furosemide IV dapat ditingkatkan,sesuai dengan
fungsi renal dan pemakaian oral diuretika yang sudah
lama sebelumnya. Pada pasien seperti ini, pemakaian
furosemide IV secara continous (IV drips) dapat
dipenimbangkan sesudah pemberian initial. Pemakaian
furosemide tidak boleh melebihi 100 mg untuk 6 jam

IGRDIOI.OGI

Vasodilator dapat menurunkan tekanan sistolik,


mengurangi tekanan pengisianjantung sisi kiri dan sisi kanan

dan tekanan vaskuler sistemik dan memperbaiki sesak


napas. Aliran darah koroner bisaanya masih baik apabila
tekanan darah diastolik masih baik/ tidak terlalu rendah.
Beberapa hal yang perlu diingat:

. Vasodilator mengatasi kongesti paru tatpa

.
.
.
.
.

Kombinasi dengan diurtetika lain

dengan dosis tinggi. Netrofiltrasi dapat diterima apabila


kongesti refrakter terhadap terapi medikamentosa (IIa B).

Efek Samping Diuretika

.
.
.
r

Hipokalemia,hiponatremia, hiperuricemia
Hipovolemia,dehidrasi, produksi urine harus dimonitor.
Aktivasi neurohormonal
Dapatmemicuhipotensi apabilasebelumnyadapatACE-

YARB.

Vasodilatorjangan diberikan apabila sistolik <90 mmHg,


dapat mengurangi perfusi organ.
Hipotensi harus dicegah terutama bila ada disfungsi
renal.
Hati-hati pada stenosis aorta.
Nitrat (introgliserin dan ISDN). Sodium nitroprusside,

intravena, per infuse. Nitroglycerine, merupakan hal


yang sering dipakai pada GJA, dengan efek utama
adalah venodilator. Nitroprusside memiliki balans
vasodilator yang poten, antara penurunan preload dan

Diuretik thiaride dapat dikombinasi dengan furosemide


(loop diuretika). Pada pasien yang resisten terhadap
diuretika. Pada GJA dengan volume overload, dapat

dengan efek samping yang kurang, ketimbang obat tunggal

Calcium antagonis tidak direkomendasikan pada GJA.

dan nesiritide biasanya diberikan dengan cara

peftama, dan 240 mgpada 24 jam pefiama.

diberikan hidrochlorothiazide (HCT) 25 mg per oral dan


aldosteron antagonis (spironolaktone, eplerenone 25-50
mg per oral), dapat diberikan, disamping furosemide
kombinasi dengan dosis rendah, kadang lebih efektif

mempengaruhi strok volume atau meningkatkan


konsumsi oksigen pada miokardium, terutama pada
penderita SKA

afterload. Nesiritide memiliki efek vasodilator dan


arterial venodilator. Juga efek sedang (modest) sebagai

diuretik dan efek natriuretik


Efek samping yang potensial adalah sakit kepala pada
pemberian nitrat, Tachipilaxis sering sesudah pemberian
24-48 jam, diperlukan peningkatan dosis dengan nitrat.

Nitroprusside harus hati-hati pada penderita SKA,


dapat menyebabkan tekanan darah turun dengan tibatiba.

NESIRITIDE

Nesiritide (human BNP) dapat menurunkan tekanan


pengisian ventrikel kiri, namun efek terhadap cardiac
output prodttksi urin, ekskresi natrium, adalah bervariasi.

VASODILATOR

Sesak napas yang berat bias lebih cepat teratasi ketimbang


hanya dengan diuretik saja. Nesiritide mempunyai efek
yang lama dan juga waktu paruhnya (half life) dari nitroglycerin atau nitroprusside,maka efek samping seperti

Vasodilator direkomendasikan pada stage awal dari GJA


apabila tidak ada tanda-tanda hipotensi yang simptomatik,

pemberian dosis rendah dan tanpa bolus. Efek samping


yang tidak diinginkan, berupa gangguan renal, sehingga

tekanan sistolik <90 mmHg atau penyakit valvuler


obstruktif yang serius (I.B)
Vasodilator dapat berupa nitroglycerine (NGT)
isosorbide dirutrate (ISDN) nitroprusside dan nesiritide.

perlu monitoring fungsi ginjal. Efek nesiritide terhadap

Indikasi:

Obat-obat inotropik
Inotropik agent harus harus dipertimbangkan pada
keadaan low output states, adanya tanda-tanda

hipotensi berlangsung lebih lama. Bisa diantisipasi dengan

Pemberian IV nitrat atau nitroprusside


direkomendasikan bila tekanan sistolik >110 mmHg dan
hati-hati bila tekanan darah sistolik antara 90 dan 110
mmHg.

mortalitas masih perlu dibuktikan, menunggu investigasi


klinis yang sedang berjalan.

hipoperfusi atau kongesti, walaupun pemberian vasodilator dan atau diuretika dapat memperbaiki symptom.

1593

GAGALJANTUNGAKUT

lndikasi Pemberian Terapi lnotropik


Obat inotropik hanya boleh diberikan pada penderita
dengan tekanan sistolik yang rendah, atau cardiac index
yang rendah dengan adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
kongesti. Tanda-tanda hipoperfusi seperti, kulit dingin,

basah (.claming skin) pada pasien yang disertai


vasokonstriksi dengan asidosis, gangguan fungsi ginjal,
gangguan fungsi hati atau gangguan kesadaran, terutama
bila pasien dengan dilatasi dan hipokinetik dari ventrikel.
Bila memang diperlukan harus diberikan sedini mungkin.
Pasien harus dalam monitoring EKG (IIa B).

phospodiesterase inhibitor tipe III (PDEIs) yang dipakai


dalam klinis sehari-hari. Obat ini mencegah pemecahan dari
cyclic AMP dan memiliki efek inotropik dan efek vasodilator perifer dengan meningkatkan cardiac output dan
volume sekuncup, bersamaan dengan penurunan tekanan
arteri pulmonalis, tekanan baji paru (pulmonary wedge
pressure) resistensi sistemik dan sirkulasi paru.

Milrinone dan enoximone diberikan secara infuse


intravena, bisa didahului oleh bolus pada penderita dengan
tekanan darah yang masih cukup baik. Hati-hati pemberian

PDEIs pada pasien dengan PJK, dapat meningkatkan


kematian jangka menengah (IIb B).

DOBUTAMINE

Levosimendan

Dobutamine adalah obat inotropik positif, bekerja melalui


stimulasi Bl-reseptor untuk menginduksi efek inotropik
positif dan efek chronotropik. Efek stimulasi ini sebanding
dengan dosis yang diberikan.
Dosis awal afiNa2-3 pg/kg/menit secara infus intravena,
tanpa didahului oleh bolus, atau loading dose. Dosis boleh
naikkan secara progressif tergantung symptom response
diuretika, dan gambaran klinisnya. Efek hemodinamik sejajar
dengan dosisnya dan dapat ditingkatkan sampai 15 Fgkgl
menit. Apabila sebelumnya mendapat beta blocker, maka

dosis bisa ditingkatkan jadi 20 pg/kg/menit, untuk


memperbaiki efek inotropiknya. Tekanan darah harus

Levosimandan merupakan salah satu dari calcium sensilizer yang dapat memperbaiki kontrolisitas jantung secara

berikatan dengan troponin C didalam kardiomiosit.


Levosimendan memiliki vasodilator yang signifikan yang
dimediasi AIP sensitive potassium channels dan juga
mempunyai efek/ kerja sepefti PDEi yang ringan. Pemberian
levosimendan infuse pada GJA dekompensasi akan

meningkatkan cardiac output dan volume sekuncup


mengurangi tekanan baji paru, tahanan vaskuler sistemik
dan tahanan vaskuler paru mengurangi tekanan vaskuler
paru. Respons hemodinamik pada pemberian levosimendan

dapat bertahan berhari-hari. Levosimendan dapat efektif


pada GJ kronik dekompensasi. Levosimendan dapat

dimonitor secara invasive atau non invasif.

meningkatkan detak jantung dan penurunan dari tekanan

Eliminasi obat berlangsung cepat apabila infuse


dihentikan. Oleh sebab itu harus hati-hati apabila

darah, terutama bila sebelumnya mendapat bolus


pembebanan (loading dose). Levasimendan dapat
diberikan bolus (3-12 mglkg) selama 10 menit, kemudian

dobutamine akan dihentikan. Penurunan dosis secara


gradual secara bertahap misalnya 2trrglkg/menit, dan secara
bersamaan pemakaian oral harus dioptimalkan (IIa B).

Dopamine
Dopamine juga menstimulasi reseptor B-adrenergik, secara
langsung dan tidak langsung, dengan akibat meningkatkan
kontraklilitas miokardium dan cardiac output, merupakan
efek inotropik tambahan. Infus dopamine dosis rendah

(<2-3 p,glkgimenit) akan menstimulasi reseptor


dopaminergik, tetapi sedikit efek terhadap diuresa Dosis
tinggi dopamine dapat dipakai untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik, tetapi dapat meningkatkan risiko
tachikardi, aritmia, dan stimulasi cr adenergik. Dopamine

dan dobutamin harus hati-hati bila frekuensi denyut


jantung >100 kali permenit. Stimulasi u adenergik pada
pemakaian dosis tinggi dapat menyebabkan

vasokonstriksi dan peninggian resistensi vaskuler


sistemik. Dosis rendah dopamine sering dikombinasi
dengan dobutamin dosis tinggi (IIbC).

Vasopressor
Vasopressor (Norepinephrine) tidak direkomendasikan
sebagai terapi awal (first line agents) pada GJA, dan hanya
dibenkan pada penderita dengan syok kardiogenik apabila
kombinasi obat-obat inotropik dan pengaturan cairan,
gagal menaikkan tekanan darah sistolik lebih dari 90mmHg,
dengan perfusi perifer yang tidak adekuat, meskipun ada

perbaikan cardiac output (IC). Pasien dengan sepsis yang


menyebabkan GJA mungkin memerlukan vasopressor,
sementara syok kardiogenik biasanya disertai oleh tahanan

vaskuler sistemik yang tinggi. Semua vasopressor


pemakaiannya harus hati-hati dan harus dihentikan
secepat mungkin. Noradrenalin bisa dikombinasi dengan

inotropik lain pada syok kardiogenik, walau idealnya


diberikan lewat "central line". Epinephrine tidak
direkomendasikan sebagai inotropik atau vasopressor

Milrinone dan Enoximone

Milrinone dan enoximone keduanva

diikuti drip intravena (0,05-0,2mgkglmenit untuk 24 jam).


Kecepatan infuse dapat ditingkatkan sampai tekanan darah
stabil. Apabila tekanan sistolik kurang dari 100mmHg,
infuse darus dimulai tanpa pemberian bolus sebelumnya
untuk mencegah hipotensi. (IIA B)

adalah

pada pasien syok kardiogenik, dan hanya dibatasi sebagai

r594

Ii{RDIOI.OGI

terapi penyelamatan (rescue therapy) padapasien dengan


henti jantung (cardiac arest) (IIb C).

(LVADs) mungkin dipertimbangkan apabila potensial


kausa dari GJA adalah reversibel, dan dapat sebagai
jembatan (bridge) untuk tindakan selanjutnya. (misalnya

Glikosida Jantung

operasi).

Pada GJA glikosida jantung hanya menaikkan sedikit

kardiak output dan penurunan dari tekanan pengisian

GJ Kanan

mungkin bermanfaat untuk menurunkan laju ventrikel pada


keadaan rapid atrial fibrilasi (IIb C)

Pembebanan cairan biasanya tidak efektif, ventilasi


mekanikal harus dihindari. Obat-obat inotropik diperlukan
apabila ada tanda-tanda hipoperfusi jaringan. Harus
dipikirkan adanya emboli paru atau infark akut ventrikel

ALUR PENANGANAN GJA


Sesudah penilaian awal, semua pasien harus diberikan
terapi oksigen, dan NIV. Target terapi pada fase prehospital

atau ruang emergency adalah segera memperbaiki


oksigenasi jaringan dan mengoptimalkan hemodinamik dan
saat bersamaan segera memperbaiki simptom-simptom dan

memungkinkan untuk intervensi. Strategi terapi spesifik


harus berdasarkan ciri khas kondisi klinis yang terutama
seperti berikut ini.

GJK Dekompensasi
Direkomendasikan pemberian vasodilator bersamaan
dengan loop diuretic. Pertimbangkan pemakaian dosis
tinggi dari diuretic pada penerita yang sudah mendapat
diuretika lama sebelumnya dan penderita dengan disfungsi
ginjal. Obarobat inotropik dapat diberikan pada penderita
hipotensi, dan pasien dengan hipoperfusi.

Edema Paru
Morphine biasanya diindikasikan, terutama apabila sesak
disertai rasa nyeri dan ketakutan. Vasodilator dapat
direkomendasikan asal tekanan darah normal atau tinggi
dan diuretika apabila ada volume overload atau retensi air.
Inotropik diperlukan apabila ada hipotensi dan tandatanda hipoperfusi organ. Intubasi atau ventilasi mekanik
meungkin diperlukan untuk memperoleh oksigensasi yang
adekuat.

GJ Hipertensif
Direkomedasikan vasodilator dengan monitoring yang
ketat dan terapi diuretic dosis rendah pada penderita
dengan volume overload, atau edema paru.

Syok Kardiogenik
Pembebanan cairan apabila secara klinis diperlukan (250
ml/ 10 menit) diikuti obat inotropik, apabila tekanan darah
sistolik masih < 90 mmHg. Apabila dengan inotropik gagal
menaikkan tekanan darah dan tanda hipoperfusi organ
masih menetap, norepineptrian boleh ditambahkan dengan
sangat hati-hati, Pompa intraaortic ballon (LABP) dan

intubasi harus dipertimbangkan. Alat bantu jantung

kanan.

GJA pada SKA


Semua pasien dengan SKA dan tanda-tanda GJ harus
diperiksakan echocardiografi dan menilai fungsi sistolik
dan diastolic. Fungsi katup dan menyingkirkan gangguan
jantung lainnya atau komplikasi mekanis dari infarkjantung
akut (IC).
Pada penderita SKA dengan komplikasi GJA, reperfusi
dini dapat memperbaiki program (ada guidelines tersendiri)
Apabila PCI atau bedah (CABG) belum tersedia boleh juga
dicoba dengan fibrinolitik pada pasien dengan STEMI.
CABG secepatnya diindikasikan pada penderita dengan
komplikasi mekanikal pada penderita infark jantung akut.

Syok kardiogenik pada SKA harus dipasang IABP,


corangiografi koroner, dan revaskularisasi primer (PCI)
harus dipertimbangkan secepat mungkin (I C).
Pemakaian beta blocker dan ACE I/ARB pada
dekompensasi akut gagal jantung kronik.
ACE I tidak diindikasikan untuk menstabilkan awal dari
GJA. Akan tetapi pasien dengan risiko tinggi pasien masuk
pada keadaan GJK, ACE VARB memegang peranan penting
pada fase awal GJA pasien infark jantung akut, terutama

bila dijumpai tanda-tanda gagal jantung atau bukti


gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri. Kedua obat ini dapat

mencegah remodeling, mengurangi morbiditas dan


mortalitas. Belum ada kesepakatan kapan memulai obatobat ACE il ARB pada penderita GJA. Pada umumnya
disetujui pemberiannya sebelum pulang dari RS' Apabila
terjadi perburukan dari gagal jantung padapemberianACE
ilARB, obat ini harus diteruskan selama mungkin (I A).
Pada pasien gagal jantung dekompensasi akut, dosis
beta blocker mungkin perlu diturunkan sementara, ala:u

dihentikan, walaupun umumnya pengobatan jangan


dihentikan sampai pasien secara klinis belum stabil dengan

tanda-tanda low out put. Pengobatan mungkin


bisadihentikan dulu apabila terdapat komplikasi
bradikardia. AV Block derajat tinggi, bronchospasme atau
syok kardiogenik, atau pada kasus GJA berat dan respons
tidak adekuat pada terapi initial. Pasien infarkjantung akut
dengan tanda-tanda gagal jantung atau disfungsi ventrikel
kt/r,B Blockerharus dimulai sedini mungkin paling tidak
sebelum dipulangkan dari RS. Pasien yang dirawat dengan
GJA, B blocker harus diperlimbangkan apabila klinis sudah

1595

GAGALJANTUNGAKUT

stabil denganACE I atauARB dan dimulai sebelumpasien


dipulangkan dari RS (IIaB).

REFERENSI
The Criteria Committee of The New York Heart Association.
Nomenclature and criteria for Diagnosis of Disease of the Heart
and Great Vessels. 9th ed. Little Brown & Co;1994. pp253-256.
Hunt SA, Abraham WT, Chin MH,et al. ACC/AHA 2005 Guideline
update for the diagnosis and management of chronic heart failure in the adult: a Task Force on Practice Guidelines. Circulation 2005;l 12: el54-e235.
Kenneth Dickstein, Alain Cohen-Solal, Garasimos Filippatos, et al.
The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of Cardi-

ology. European Heart Journal (2008) 29,2388-2442.


Sharon Ann Hunt, Abraham WT., Marshall H.Chin, et al. 2009
Focused Update Incorporated Into the ACC/AHA 2005 Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in
Adults. (Full Text). Circulation. 2009; 119:.e391-e479).
Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR, et a1. Executive summary of
the guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart
failure: the Task Force on Acute Heart Failure of the European
Society of Cardiology. Eur Heart J 2005;26:384-416.
Fillipatos G, Zannad F. An introductionto acute heart failure syndromes: definition and classification. Heart

Fail

Rev 2OO7:12:87-

90.

Killip T

3'd, Kimball JT Trereatment of myocardial infarction in a


coronary care unit. A two year experience with 250 patients.
Am J Cordiol 1961:20 457-464
Forrester JS. Diamond GA, Swan HJ. Correlative classification of

clinical and hemodynamic function after acute myocardial infarction. Am J.Cardiol 1977 ;39:13'7 -745
Maisel AS, Bhaila

Braunwald E. Cardiac biomarkers: a conrempo-

rary status report. Nature Clin Pract.2006:3:24-34.


Maisel AS, Krishnaswamy P, Nowak RM. et al. Rapid measurement
of B-type natriuretic peptide in the emergency diagnosis of
heart failure. N Engl J Med 2002.347:16I-161
Moe GW, Howlett J, Jantzzi JL, et al. N-terminal pro-B-type natriuretic peptide testing improves the management of patients
with suspected acute heart failure: primary results of the Canadian prospective random- ized multicenter IMPROVED-CHF
.

study Circulation. 2007; 1 15:3 103-

10

Bassand JP, Hamm CW. Ardissino D,et al. Guidelines

for the diagno-

sis and treatment of non ST-segment elevation acute coronary


syndromes. Eur Heart J 200'1;28:1598-1660.

Peter JY Moran JL. Philips-Hughes J, Graham P.Bersten AD. Effects of non invasive positive pressure ventilation (NIPPV) on
mortality in patients with acute cardiogenic pulmonary oedema:
a meta-analylis. Lancet 2006;367 :1155-1163.
Lee G.DeMaria AN, Amsterdam EA, et al. Comparative effects of
morphine, meperidine and pentazocine on cardiocirculatory
dynamic in patients with acute myocardial lnfarction. Am J
Med 1976'.60:949-955.
Mebazaa A, Gheorghiade M, Pina IL, et al. Practical recommendations for prehospital and early in -hospital management of
patients presenting with acute heart failure syndromes. Crit
Care Med.2008;36:S 129-39.
Costanzo MR, Johannes RS, Pine M, et al. The safety of intravenous diuretics alone versus diuretics plus parenteral vasoactive
therapies in hospitalized patients with acutely decompensated
heart failure: a propensity score and instrumental variable analysis using the Acutely Decompensated Heart Failure National
Registry (ADHERE) database. Am Heart J. 2007 154:267-'17.
Costanzo MR, Guglin ME, Saltzberg Ml et al. Ultrafiltration versus intravenous diuretics for patients hospitalized for acute decompensated heart failure. J Am Coll Cardiol. 2007;49:67583.
Elkayam U, Bitar F, Ak}ter MW,et al. Intravenous nitroglycerin in
the treatment of decompensated heart failure: potential benefits and limitations. J Cardiovasc Pharmacol Ther 2004;9:227241
Sackner-Bernstein JD, Skopicki HA, Aaronson KD. Risk of worsening renal function with nesiritide in patients with acutely decompensated heart failure. Circulation. 2005;lll:1487 -97.
Bayram M, De Luca L, Massie MB,Gheorghiade M. Reassessment
of dobutamine, dopamine, and milrinone in the management of
acute heart failure syndromes. J Am Coll Cardiol 2005;96:47Gs8G.

Galley HF. Renal dose dopamine: will the message now get through?
Lancet 2000;3 56:21 12-2113.
Felker GM, Benza RL, Chandler AB, et a1. Heart failure etiology and
response to milrinone in decompensated heart failure: results
from the OPIOME-CHF stldy J Am Coll Cardiol 2003;41:9971 003.
Cuffe MS, Califf RM, Adams KF, et al. Short-term intravenous
milrinone for acute exacerbation of chronic heart failure: a
randomized controlled trial. JAMA. 2002;287 : I 541 -7 .
Mebazaa A, Nieminen MS, Packer M, et al. Levosimendan vs
dobutamine for patients with acute decompesated heart failure:
the SURVIVE Randomized Trial. JAMA 2007',297:1883-1891.

250
GAGAL JANTUNG KRONIK
AliGhanie

PENDAHULUAN

Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data


rumah sakit di Palembang menunjukkan hipeftensi sebagai
penyebab terbanyak, disusul penyakitjantung koroner dan
katup.

Definisi Gagal Jantung Kronik


Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, di mana
terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai

dengan kebutuhan jaringan. Suatu definisi objektif yang

Pencetus

sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung


kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat
nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel.

Sebagaimana diketahui keluhan dan gejala gagaljantung,


edema paru dan syok sering dicetuskan oleh adanya

berbagai faktor pencetus. Hal ini penting diidentifikasi


terutama yang bersifat reversibel karena prognosis akan

Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik


didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek yang
disenai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik
dalam keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda

menjadi lebih baik.

objektif adanya disfungsi jantung dalarri keadaan istirahat.

TATALAKSANA GAGAL JANTUNG KRONIK

Epidemiologi

Dalam 10-15 tahun terakhir terlihat berbagai perubahan


dalam pengobatan gagal jantung. Pengobatan tidak saja

Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar

0,4Vo-2Vo dan

ditujukan dalam memperbaiki keluhan, tetapi juga


diupayakan pencegahan agar tidak terjadi perubahan

meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengat rata-tata


umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantung akan jelek bila
dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Setengah
dari populasi pasien gagaljantung akan meninggal dalam
4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan
gagal jantung berat lebih dari 507o akan meninggal dalam

disfungsi jantung yang asimtomatikmenjadi gagal jantung


yang simtomatik. Selain dari pada itu upaya juga ditujukan
untuk menurunkan angka kesakitan dan diharapkan jangka
panjang terjadi penurunan angka kematian.
Oleh karena itu dalam pengobatan gagaljantung kronik

tahun pertama.

perlu dilakukan identifikasi objektifjangka pendek dan


jangka panjang
Dalam tulisan ini kami mengacu kepada petunjuk atau
guidelines dari European Society of Cardiology (ESC)
tahun 2001 dan 2OO5 serta American Heart Association
2m1,
Tingkat rekomendasi (Class) dan tingkat kepercayaan
(evidence) mengikuti format petunjuk atau guidelines dai

ETIOLOGI DAN FAKTOR PENCETUS


Penyebab dari gagaljantung antara lain disfungsi miokard,

endokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia,


kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika

disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit


jantung koroner biasanya akibat infark miokard, yang

ESC 2005, di mana untuk rekomendasi:


Class I Adanya buktr,/kesepakatan umum bahwa tindakan
bermanfaat dan efektif

merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari


75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan di

1596

t597

GAGALJANTUNGKRONIK

Class

ILa

II

Bukti kontroversi
Adanya bukti bahwa tindakan cenderung

bermanfaat
II.b
Manfaat dan efektivitas kurang terbukti
Class III Tindakan tidak bermanfaat bahkan berbahaya
sedangkan tingkat kepercayaan:
A data berasal dari uji random multipel, atau metaanalisis
B data berasal dari satu uji random klinik
C Konsensus, pendapat para pakar, uji klinik kecil, studi
retrospektif a[au registrasi

Upaya Pencegahan
Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif
primer terutama pada kelompok dengan risiko tinggi.

Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor

risiko jantung koroner


Pengobatan infark jantung segera

.
.

pencegahan infark ulangan


Pengobatan hipertensi yang agresif
Koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung

.
.

katup
Memerlukan pembahasan khusus
Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi

di triase,

serta

penyebab yang mendasari, selain modulasi progresi dari


disfungsi asimtomatik menjadi gagal jantung.

PENANGANAN GAGAL JANTUNG KRON!K


Pendekatan terapi pada gagal jantung dalam hal ini
disfungsi sistolik dapat berupa:
. Saran umum, tanpa obat-obatan

.
.

Pemakaian obat-obatan
Pemakaian alat. dan tindakan bedah

Penatalaksanan Umum, Tanpa Obat-obatan

.
.
.
.
.
.
.

Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan


bagaimana mengenal sefta upaya bila timbul keluhan,
dan dasar pengobatan

Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi


aktivitas seksual. serta rehabilitasi
Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan
kebiasaan alkohol
Monitor berat badan, hati-haLi dengan kenaikan berat
badan yang tiba-tiba
Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas
Hentikan kebiasaan merokok.
Pada perjalananjauh dengan pesawat, ketinggian, udara
panas dan humiditas memerlukan perhatian khusus
Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan

menghindari obat-obat tertentu seperti NSAID,


antiaritmia klas I, verapamil, diltiazem, dihidropiridin efek

cepat, antidepresan trisiklik, steroid

Pemakaian Obat-obatan

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

g io t ens in- c onv e5tin g enzyme inhibit


enzim konversi angiotensin
Diuretik

An

o rI

peny ekat

Penyekat beta

Antagonis reseptor aldesteron


Antagonis reseptor angiotensin II
Glikosidajantung
Vasodilator agents (nitrat/hidralazin)
Nesiritid, merupakan peptid natriuretik tipe B
Obatinotropikpositif, dobutamin, milrinon,enoksimon
Calcium sensitiz.er, levosimendan
Antikoagulan
Anti aritmia
Oksigen

Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah

.
.
.
.
.
.
.
.

Revaskularisasi (perkutan, bedah)


Operasi katup mitral
Aneur-ismektomi

Kardiomioplasti
ExternctL cardiac support

Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu


jantung biventrikular

Implantable ccLrdioverter defibrillators (ICD)

Heart transplantation, venlricular assist devices,


artificial heart
Ultrafiltrasi, hemodialisis.

Terapi Farmakologi
An g

o t e n s i n-c

onv

ertin

na,\) n1.e

inhib

it o r s/pen y

ekat

enzim konversi angiotensin (Tabel ldan 2).


. Dianjurkan sebagai obat lini peftama baik dengan atau

ejeksi 40-457o untuk


meningkatkan survival, memperbaiki simtom,
rnengurangi kekerapan rawat inap di rumah sakit (1, A)
tanpa keluhan dengan fraksi

.
.

Harus diberikan sebagai terapi awal bila tidak ditemui


retensi cairan. Bila disertai retensi cairan harus diberikan
bersama diuretik. (I, B)
Harus segera diberikan bila ditemui tanda dan gejala

gagal jantung, segera sesudah infark jantung, untuk


meningkatkan,s u rv iv al, menurunkan angka reinfark
serta kekerapan rawat inap.
Harus dititrasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat

sesuai dengan bukti

klinis, bukan berdasarkan

perbaikan gejala.

Diuretik
Loop diuretic,tiazid, metolazon (Tabel 3)
' Penting untuk pengobatan simtomatik bila ditemukan
beban cairan berlebihan, kongesti paru dan edema

perif'er.(I,A)

Tidak ada bukti dalam memperbaiki survival, dan harus

1598

KARDIOIJOGI

Mortalitas Penelitian

Obat

Dosis Harian Rerata

Target
Dosis

Penelitian pada
Gagal jantung
kronik

ConsensusTrial

Enalapril

20 mg b i.d

1B4mg

Study Group,
1978
Cohn et al.

(V-

Enalapril

10 mg b.i.d

150m9

HeFT 11,1991)
The SOLVD

Enalapril

10 mg b.i.d

166m9

Lisinopril

Dosis

lnvestigators,
1

991

ATLAS

tinggi:
Dosis

32.5

35 mg perhari

25-5mgperhari

rendah:
Penelitian pasca lM dengan disfungsi LV dengan atau tanpa GJ
Pfeffer et al
(SAVE, 1992)
AIRE

TRACE

Captopril

50 mg t.i.d

(tidak ada)

Ramipril 5mgbid

(tidak ada)
(tidak ada)

Trandolapril 4 mq dailv

LV = Left Ventricular, Ml = Myocardial lnfarction; HF = Hearl failure

"
Obat

Dosis inisial

Dosis
oemeliharaan

Benazepril
2.5 mg
5 -'10 mg b.i d
Captopril
6.25 mg t i.d
25-50mgtid
Enalapril
2.5 mg perhari
10 mg b.i.d.
Lisinopril
2.5 mg perhari
5 - 20 mg perhari
Quinapril
2 5-5 mg perhari
5
l0 mg perhari
Perindopril
2 mg perhari
4 mg perhari
Ramipril
1 25 - 2.5 mg
2 5 - 5 mg b.i.d
Cilazapril
0.5 mg perhari
1-25mgperhari
'10 mg perhari
Fosinopril
20 mg perhari
Trandolapril
1 mg perhari
4 mg perhari
* Manufacture's or regulatory recommendations

menurunkan mortalitas. (I.B)


Sampai saat ini hanya beberapa penyekat beta yang
direkomendasi yaitu bisoprolol, karvedilol, metoprolol
suksinat, dan nebivolol (I,A) (Tabet 4)

Antagonist Reseptor Aldosteron (Tabel 5)

perhari

Penambahan terhadap penyekat enzim konversi


angiotensin. penyekat beta, diuretik pada gagaljantung
berat (NYHA III-N) dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas (I, B)

Sebagai tambahan terhadap obat penyekat enzim


konversi angiotensin dan penyekat beta pada gagal
jantung sesudah infark jantung, atau diabetes,
menurunkan morbiditas dan morlalitas (I, B)

dikombinasi dengan penyekat enzim konversi


angiotensin atau penyekat beta.

Antagonis Penyekat Beseptor Angiotensin ll


p- Blocker (Obat Penyekat Beta)

.
.

Direkomendasi pada semua gagal jantung ringan,

sedang, dan berat yang stabil baik karena iskemi atau

kardiomiopati non iskemi dalam pengobatan standar


seperli diureti atau penyekat etzim konversi angiotensin. Dengan syarat tidak ditemukan adanya kontra
indikasi terhadap penyekat beta.

Terbukti menurunkan angka masuk rumah sakit,


meningkatkan klasifikasi tungsi (I, A)
Pada disfungsi jantung sistolik sesudah suatu infark
miokard baik simtomatik atau asimtomatik, penambahan

penyekat beta jangka panjang pada pemakaian


penyekat enzim konversi angiotensin terbukti

Masih merupakan alternatif bila pasien tidak toleran


terhadap penyekat enzim konversi angiotensin
Penyekat angiotensin II sama efeketifdenganpenyekat
enzim konversi angiotensin pada gagaljantung kronik
dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas (IIa, B)
Pada infark miokard akut dengan gagal jantung atau
disfungsi ventrikel, penyekat angiotensin II sana efektif
dengan penyekat enzim konversi angiotensin dalam
menurunkan moflalitas (I, A)
Dapat dipertimbangkan penambahan penyekat angio-

tensin

II

pada pemakaian penyekat enzim konversi

angiotensin pada pasien yang simtomatik guna


menurunkan mortalitas (IIa, B)

1599

GAGALJANTUNGKRONIK

Rekomendasi
Harian Maksimum
(ms)

Dosis lnisial
Loop diuretics
Furosemid
Bumetanid
Torasemid

20-40

250

1.0

500

100 - 200

25

50-75

25
25

10

.F

25
26

Bisoprolol

50
50

First
dose
(mq)

Hipokalemia, hipomagnesaemia,
hiponatremia
H iperuricaemia, intoleransi
glukosa
Gangguan asam basa

25

+ACEI -ACEI

Beta-blocker

Hipokalemia, hipomagnesemia,
hiponatremia
Hiperurikemia, intoleransi glukosa
Gangguan asam basa

10

5-'10

Tiazid
Hidroklorotiazid
Metolazon
lndapamid

Potassium-sparing
diuretic
Amilorid
Triamteren
Spironolacton

0.5

25

Efek Samping Utama

ACEI - ACEI
20
40
100 200
50 100-200

Hiperkalemia, rash
Hiperkalemia
Hiperkalemia, ginaekomastia

Taroet
lncrements
-r,
OOSe
(mg'day')
trno-o*-rt

2.5,3 75,

5,

Titration
period

10

Minggu-Bulan

150

Minggu-Bulan

200

Minggu-Bulan

50

Minggu-Bulan

75,10

Metoprolol
Carvedllol

10,15,30,

50, 75,

suksinat CR
12 5125

'100

25,50, 100,
200

Nebivolol

3.125

6 25, 12 5,

25,50
Frekuensi pemberian harian sepefli pada penglihatan rujukan diatas

.
1
2

Pertimbangkan apabila gagal jantung berat (NYHA lll - lV)


meskipun telah menggunakan penyekat enzym konversi
ang iotensin/d iuretik
Periksa potasium serum (<5 O mmol l1) dankreatini (<250
pmol.l-1)

Vasodilator

3 Tambahkan 25 mg spironolacton per hari


4. Periksa serum potassium dan kreatinin setelah 4 - 6 days
5. Jika serum potassium > 5- 5.5 < mmol.l-1, kurangi dosis
sampai,50%. dan hentikan bila serum potassium > 5 5

mmol.l

',

6 Jika setelah

1 bulan keluhan menetap tanpa kenaikan serum


potasium, naikkan dosis sampai 50 mg perhari Ulangi

pemeriksaan serum potassium/kreatinin sesudah 1 minggu

Glikosida Jantung (Digitalis)

.
.

Merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai


derajat gagal jantung, terlepas apakah gagal jantung
bukan atau sebagai penyebab.(I,B)
Kombinasi digoksin dan penyekat beta lebih superior

Tidak mempunyai efek terhadap mortalitas, tetapi dapat


menurunkan angka kekerapan rawat inap. (IIa, A)

Tidak ada peran spesifik vasodilator direk pada gagal


jantung kronik (III, A)

Hidralazin-isosorbid Dinitrat'

Dapat dipakai sebagai tambahan, pada keadaan di


mana pasien tidak toleran terhadap penyekat enzim
konversi angiotensin atau penyekat angiotensin II

(I,B). Dosis besar hidralazin (300 mg) dengan


kombinasi isosorbid dinitrat 160 mg tanpa penyekat
enzim konversi angiotensin dikatakan dapat
menurunkan morlalitas. Pada kelompok pasien AfrikaAmerikapemakaian kombinasi isosorbid dinitrat 20 mg

dibandingkan bila dipakai sendiri-sendiri tanpa

kali sehari dapat


menurunkan morbiditas dan mortalitas dan

kombinasi.

memperbaiki kualitas hidup.

dan hidralazin 37.5 mg, tiga

1600

KARDIOI.OGI

ventrikel, dan vasodilatasi berlebihan


Obat
Terbukti menurunkan moftalitas
dan morbiditas
Candesartan
Valsartan
Lain

- lain

Eprosartan
Losartan
I rbesartan

Telmisartan

Dosis (ms)

4
80

Levosimendan, merupakan sensitisasi kalsium yang


baru, mempunyai efek vasodilatasi namun tidak sepefii
penyekat fosfodiesterase, tidak menimbulkan hipotensi.

-32

Uji klinis menunjukkan efek yang lebih baik

- 320

dibandingkan dobutamin.

400 - 800
50 - 100

150-300

40-80

AntiTrombotik

Nitrat

Sebagai tambahan bila ada keluhan angina atau sesak

(IIa, C), jangka panjang tidak terbukti memperbaiki


simtom gagal jantung. Dengan pemakaian dosis yang
sering, dapat terjadi toleran (takipilaksis), oleh karena
itu dianjurkan interval 8 atau 12 jam, atau kombinasi
dengan penyekat enzim konversi angiotensin

Pada gagal jantung sistolik penyekat kalsium tidak


direkomendasi, dan dikontraindikasikan pemakaiaan
kombinasi dengan penyekat beta (III, C)
Felodipin dan amlodipin tidak memberikan efek yang
lebih baik untuk sarvival bila digabung dengan obat

penyekat enzim konversi angiotensin dan diuretik.


(III,A) Data jangka panjang menunjukkan efek netral
terhadap survival, dapat dipertimbangkan sebagai
tambahan obat hipertensi bila kontrol tekanan darah
sulit dengan pemakaian nitrat atau penyekat beta.

Nesiritid
Merupakan klas obat vasodilator baru, merupakan
rekombinan otak manusia yang dikenal sebagai natriuretik
peptida tipe B. Obat ini identik dengan hormon endogen
dari ventrikel, yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena

Pada gagal jantung

kronik yang diseftai fibrilasi atrium.


riwayat fenomena tromboemboli, bukti adanya trombus
yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat dianjurkan

(I,A)
Pada gagal jantung kronik dengan penyakit jantung
koroner, dianjurkan pemakaian antiplatelet. (IIa, B)
Aspirin harus dihindari pada perawatan rumah sakit
berulang dengan gagal jantung yang memburuk.

Anti Aritmia

Obat Penyekat Kalsium

dapat

menimbulkan hipotensi

.
.

Pemakaian selain penyekat beta tidak dianjurkan pada


gagal jantung kronik, kecuali pada atrial fibrilasi dan
ventrikel takikardi
Obat aritmia klas I tidak dianjurkan

Obat anti aritmia klas II (penyekat beta) terbukti


menurunkan kejadian mati mendadak (I,A) dapat
dipergunakan sendiri atau kombinasi dengan amiodaron
(IIa, C)

. Anti aritmia

klas

III,

amiodaron efektif untuk

supraventrikel dan ventrikel aritmia (I,A) amiodaron


rutin pada gagal jantung tidak dianjurkan.

Suatu data survei

di Eropa menunjukkan

bahwa

pemakaian obat-obat pada gagal jantung kronik masih belum


maksimal, demikran jugayang te!adi dalampraktek seharihari di Indonesia. Sebagai acuan praktis dari ESC guidelnes

2005, strategi pemilihan kombinasi obat pada berbagai


keadaan gagaljantung secara sistematis dapat dilihat pada
Tabel 7 dan 8.

dan koroner, dan menurunkan pre dan afterload,


meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik.
Sejauh ini belum banyak data klinis yang menyokong

RINGKASAN

pemakaian obat ini.

lnotropik Positif

.
.

Telah dibahas suatu tatalaksana gagaljantung terkini yang


mengacu pada ESC guidelines, di mana terlihat bahwa

mempunyai efek vasodilatasi perifer dan koroner.

penanganan pasien gagal jantung kronik mengalami


perkembangan yang signifikan.
Tatalaksana gagal jantung kronik harus disesuaikan
bagi setiap individu dan daerah, karena perbedaan sosial
ekonomi, sarana dan modalitas kesehatan yang berbeda.
Terlihat perlunya pelayanan holistik terpadu mulai dari
pusat pelayanan primer, dokter umum di daerah, dokter
spesialis di pusat-pusat pelayanan sekunder dan pusat

Namun diserlai juga dengan efek takiaritmia atrial dan

rujukan.

Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak


dianjurkan karena meningkatkan mortalitas (III, A)
Pemakaian intravena pada kasus berat sering
digunakan, namun tidak ada bukti manfaat, justru
komplikasi lebih sering muncul. (II b, C)
Penyekat fosfodiesterase, seperti milrinon, enoksimon
efektif bila digabung dengan penyekat beta, dan

1601

GAGALJANTUNGKRONIK

Diuret k

Angiotensin
Receptor
Blocker

ACE.

lnhibitor

intolerant

Penyekat
Beta

indicated

lf ACE

lndikasi

lndikasi dengan lndicated if


atau tanpa ACE- fluid retention
inhibitor

lndikasi

lndikasi

lndikasi dengan
atau tanpa ACE
inhibitor

lndicated,
combination
of diuretics

GJ tahap akhir indikasi


(NYHA rV)

lndikasi dengan
atau tanpa

lndicated,
combination
of diuretics

lndikasi
(di bawah
pengawasan
spesialis)
lndikasi
(di bawah
pengawasan
spesialis)

(NYHA

[)

GJ memburuk
(NYHA ilr-rv)

ACE-inhibitor

Not

Pasca

lnfark

lndikasi

Disfungsi LV
asimtomatik
dysfunction
GJ simtomatik

Glikosida
Jantung

lnfark baru

Dengan fibrilasi
atrial

lnfark baru

a.when atrial

lndikasi

fibrillation
b when
improved from
more severe
HF in sinus
rhythm
lndikasi

lndikasi

lndikasi

Untuk gejala

Untuk survival/morbiditas
NYHA

Antagonis
Aldosteron

Lanjutkan ACE inhibitor / ARB jika


intoleran ACE inhibitor, lanjuikan
antagonis aldosteron jika pasca-Ml Pengurangan /
hentikan diuretik
Tambah penyekat beta jika
Ml.

pasca

NYHA

II

Ace inhibitor sebagai terapi lini


pertama ARB jika intoleran ACE
inhibitor tambah penyekat beta
dan antagonis aldosteron jika pasca

+/- diuretik
tergantung pada
retensi cairan

MI

NYHA

lll

+ diuretik + digitalis

ACE inhibitor + ARB atau ARB


Jika intoleran ACE sendiri

jika masih simtomatik

Penyekat beta
Tambah aldosteron
Antagonis

NYHA

lV

+ diuretik + digitalis +

Lanjutkan ACE inhibitor / ARB


Penyekat beta
Antagonis aldosteron

consider
suport inotropis
sementara

REFERENSI

Remme, W.J., Swedberg, K. Guidelines for the diagnosis and


treatment of chronic heart failure : Task force for the diagnosis

Chodilawati,R., Ghanie,A. Pola etiologi gagal jantung di RSMH

and treatment of chronic heart failure. Euro Heart

Palembang. Kopapdi Menado 2003.


Francis, GS, Gassler, JP, Sonnenblick, EH. Pathophysiology and
diagnosis of heart failure. ln The Heart. Fuster V, Alexander.
RW., O'Rourke, AR. l0m edition. Volume 1. Mc. Graw Hill
p.655.
Gibbsons, RJ., Antman, EA., Alpert, J.S., et al. Guidelines for the
evaluation and management of chronic heart failure in the adult
ACC/AHA Practice guidelines-Full text. American College of
Cardiology and the American Heart Association, Inc. 2001

2001;22:152'7 -55

Swedberg,

K,

J.

Chairperson. Guidelines for the diagnosis and

treatment of chronic heart failure: full text (update 2005). The


European Society of Cardiology 2005.

261
MEI(ANISME DAN KLASIFIKASI ARITMIA
A. Muin Rahman

PENDAHULUAN
Bila yang dimaksud dengan irama jantung normal adalah
irarna yang berasal dari nodus SA, yang datang secara
teratur dengan frekuensi antara 60-l 00 /menit, cian dengan
harltaran tak mengalami hambatan pada tingkat manapun,
maka irama jantung lainnya dapat dikatakan sebagai aritnia.
Jadi yang dapat didefinisikan sebagai aritmia adalah:
. Irama yang berasal bukan dari nodus SA.
. Irama yang tidak teratur. sekalipun ia berasal dari nodus SA. rnisalnya sinus alitmia.
. Frekuensi kurang dtri 60x/menit (sinus bradikardia) atau
lebih dari l0Ox/menit (sinus takikardia).

Terdapatnya harnbatan impuls supra atau intra


ventr:ikuiar.

Jeiaslah bahlva untuk membaca irama jantung.


disamping fiekuensi dan leratur atau tidaknya, harus dilihat

juga tempat asal (fokus) irama tersebut. Nodus SA


merupakan fokus irama jantung yang paling dominan,
sehingga pada umumnya irama jantung adalah irama sinus. Bila nodus SA tidak dapat lagi mendominasi fokus
lainnya, maka irama jantung akan ditentukan oleh fokus
lainnya itLr. Fokus irama jantring ini menjadi dasar deu'i

repolarisasi fase 1, 2 dan3, akan masuk ke fase 4 yar,g

secara spontan perlahan-periahan akan mengalami


depolarisasi, dan apabila telah meliwati ambang batasnya

ini kemudian akan


merangsang sel-sel sekitarnya, selanjutnya disebarkan
keseluruh jantung sehingga menghasilkan denyut jantung
akan timbullah impuls. Impuls

spontan.

Kelompok-kelompok sel yang mempunyai automtisitas'


misalnya terdapat pada nodus SA , kelompok sel-sel yang
terdapat di atrium dan ventrikel, AY jtutction, sepanjang
berkas (bundle) Ilis dan lain-lain. Pada keadaan normal
yang paling dominan adalah yang berada di nodus SA'
Bila ia mengalami depresi dan tak tak dapat mengeluarkan
impuls pada waktunya, maka fokus yang berada di tempat
Iajn akan mengambil alih pembentukan impuls sehingga

terjadilah irama jantung yang baru yang kita katakan


sebagai aritmia. Kadang-kadang fokus lainnya secara aktif
mengambil alih dominasi nodus SA dan menentukan irama

jantung tersebut, dengan frekuensi yang lebih cepat,


misalnya pada ventrikular atau supraventrikular takikardia.
Selain dari itu, sudah diutarakan di atas, bahwa kecepatan
perjalanan impuls menuju keseluruh jantung juga dapat
menimbulkan aritrnia.

klasitikasi aritrnia.

Maka dapat disimpulkan bahwa aritmia bisa timbul melalui

Kiasitikasi aritmia masih bisa ditentukan pula oleh


kecepatan hantaran impuls melalui berkas penghantar
seperti berkas ffis dan percabangannya (Bundle Branch'y"

mekanisme berikut:

vang bisa mendapatber-bagai bentuk hambatan dari parsial


sampai total (kompiit).

M E KANISIVI E

TEB-!ADINYA ARITM IA

Dalam jantung terdapat sel-sel yang mempunyai


automatisitas, artinya dapat dengan sendirinya secara
teratur melepaskan rangsang (impuls). Sel-sel ini setelah

..

Pengaruh persarafan autonom (simpatis dan para

Nodus SA mengalami depresi sehingga fokus irama


jantung diambil alih yg lain.

.
.
.

simpatis) yang mempengaruhi HR.

Fokus yang lain lebih aktif dari nodus

SA

dan

mengontrol irama j antung.


Nodus SA membentuk impuls, akan tetapi tidak dapat
keluar (Sinus arrest) atau mengalami hambatan dalam
perjalanannya keluar nodus SA (SA block).
Terjadi hambatan perjalanan impuls sesudah keluar

nodus SA, misalnya di daerah atrium, berkas llls,

1602

1603

MEI(ANISME DAN KI.ASIFIKASI AR"ITMIIA

ventiikel dan lain-lain. Harnbatan yang terjadi dapat Lrni/

ETIOLOGIABITMIA

bi direksional atau dapat pula parsial s/d komplit.

blok

dari derajat t, derajat 2 tipe


komplit. Namun dapat pula menjadi
dasar terjadinya aritmia lain. terutama takiaritmia, yaitu
sehingga teljadi

atau 2, derajat 3 atau

melalui mekanisrne reentr)-. Fokus lain

ciapat

mendominasi nodus SA dan mengambil alih irama


jantung selain karena nodus SA tertekan, juga dapat
karena fokus tainnya itu lebih aktif dengan frekuensi
1,ang lebih tinggi. Terjadinya peningkatan frekuensi
fokus iainnya dapat timbul dengan berbagai cara:
- Pengaruh persarafan yang menekan nodus SA
seperti telah dijelaskan di aias atau mengaktifkzrn
kelompok-kelornpok sel automatisitas di dalam/di
luar noclus SA..
- Timbulnya reentry takikardia di salah satu tempat
penghantar baik supra atau ventrikular karena
tirnbulnya hanrbatan parsial ataupun komplit, uni
atau bi direksional. maupun hambatan masuknya
imptrls (entrance bbck) setempat.
- Selain reentn' tachlcardia danberbagai derajat blok
AV seperli telah disebutkan pada 2 di atas, hambatan
yang timbul pada penghantar dapat menjadi dasar
terjadinya berbagai aritmia, seperti bunclle branch

b/ock (BBB), rote dependent BBts/uberront


concluctitlt, e.\tro slstol e boik sin gle, t'tntteqtrtive
hiirg-:a Solvo/rutt, bahkan parosismal takikardia.
parasistol.. fisiott becrr. dan lain-lain

Sepefti telah dr.lelaskan di atas, Aritmia dapat terjadi karena

hal-hal yang mempengaruhi kelompok sel-sel yang


mempunyai automati sitas dan sistem penghantarnya:

. Persarafan autonom dan obat-obatan yang

lnempengaruhinya.
Lingkungan sekitamya seperti beratnya iskemia, pH dan
berbagai elektroli t dalam serum, obat-obatan.
Kelainan janttrng seperti fibrotis dan sikatriks, inflamasi,

metabolit-metabolit dan jaringan-j aringan abnormal/


degeneratif dalam jmtung seperti amiloidosis, kalsifikasi
dan lain-lain.
Rangsangan dari luar jantung seperli pace maker.

Berbagai etiologi ini dapat saling memberatkan. afiinya

bila telah ada hipertrofi otot jantung misalnya, kemudian


timbul pula iskemia dan gangguan balans elektrolit maka
aritmia akan lebih mudah timbul, sedangkan
mengon[rolnyapun lebih sulit pula.
Karena itu sebaiknya sudah ada data struktur jantung pasien
waktu ia dirawat, sehingga sudah dapat diantisipasi atau bahkan
sudah dapat mulai diberikan pencegahan timbulnya aritmia.

KLASIFIKASI ABITMIA
Dari mekanisme terjadinya iramajantung dan aritmia maka
dapatlah kita buat klasifikasi irama jantung sebagai berikut:
. Irama berasal dari nodus SA.
- Irama sinus normal, yaitu irama jantung normal pada

Gb Unidirectional bJock pd ACB, tapi tidak pada ADB.


Impuls dari Ake B melalui D, kemudian darj B diterus-

kan ke distal, lapi ada yang kembali ke BCA ( block


hanya rah ACB ), yang diteruskm lagi ke ADB dst,
berputar terus, sehilgga timbuI takikardia melalui B,
sarnpai ada impuls dari A yang dapat memadanlkannya
atau unidireksional block pulih kembali

umufimya.

Sinus aritmia, baik yang disebabkan pernapasan

Sinus takikardia, peningkatan aktivitas node SA 1 00

(" re sp

G ambar blok parsial dari A ke B sehingga impuls dari A


ke B me ngalami perlambatan tiba di B (AVB derajat 1),
sedangkan impuls berikrtnya dari A dapat mengalami
hambatan yang lebih lama (inter"val PR lebih panjang),
dan akhimya impuls berikutnya dari A mengalami
hambatan total (AVB 2 tipe 1)
Bila impuls dari A mengalami hambatan total timbullah

kali/menit atau lebih.

AritmiaAtrial.

Fibrilasi atrial (AFi) dengan respons ventrikel cepat,

Fluteratrial (AFi).
Atrial takikardia, biasanya paroksismal (PNI, Paroxysmal Atrial Tachltcardia). Ada juga yang
disertai dengan blok hantarannya, dan disebut
sebagai PAI dengan blok (PAT dengan blok).
Ekstrasistol atrial yaitu bila denyut dari Atrial

normal atau lambat.

AVB3.
Dapat pula impuls 1 dan 2 dari A tak mengalami
hambatan, tapi impuls berikutnya mengalami hambatan
total (AVB 2 tipe 2) Sebetulnya impu ls 1 dan 2 telah
mengalami hambatan yang baru terlihat pada impuls
berikutnya (co ncea ed b lock)
Bila impuls di A datang dengan frekuensi lebih cepat,
maka ia tiba di B, Ialu mengalami hambatan parsial
dengan mmifestasi QRS yg lebih lebar (aberantia).

-.

tersebut hanya datang satu per-satu, mungkin dari


satu fokus (unifokal) atau lebih (multi fbkal).

BiLa impuls dari atas A (SV) dan dari sanrping A


(ventrikel) masuk ke A pada saat yang hampir bersamaan

maka QRS yang dikeluarkan A bentuknya merupakan


gabungan kedua impuls trsebut (fusion).
Bila kedua impuls tsb tak dapat masuk ke A (entrance
block), sedangkan A mampu mengeluarkan impuls
sendiri tiap2 1000 ms misalnya, maka impuls ini ekan
tetap keluar tanpa dipengaruhi impuls lain (parasistol).

Gambar 1.

iratory") ataupun tidak.

AritmiaAVJungsional.
Ada yang timbul pasif', yaitu karena nodus SA kurang
aktif sehingga diambil alih:
- Irama AV Jungsional, biasanya bradikardia; bisa

tinggi, sedang atau rendah.


AV Jungsional takikardia non paroksismal, yaitu
irama ad 1 dg HR yang cepat (70-130/menit). Tapi
ada pula yang secara aktif mendominasi nodus SA
dan tbkus-fokus lainny a:

1604

"

AV Jungsional ekstrasistol (uni-rnLrlti focal).

SV ekstrasistol "non condttctect'.

Aritmia Ventrikuiar.
- Irama Idio Ventrikular, biasanya non paroksismal,
dan idio ventrikuiar takikardia/non paroksismal
ventrikular takikardia (non PVT).
- Paroksismal ventrikular takikardia (PVT).
- Fluter ventrikular (VFl) serta Fibriiasi ventrikular

kesukaran dalam mengenali irama ventrikuiar atau


suprav entrikr.rlar 1'ang um umn)/a terapinya sangat

berbeda. Kunci dari pembedaan ini adalah


menemukan ada tidaknya gelornbang P dan
menentukan posisinya/hubungannya terhadap
QRS. Irama ventrikular tidak didahului P atau tak
ada hubungan antara P dan QRS.

REFERENSI
AN, Lau SH, Heltanr R. et aJ. A study of heart block in rran
using Hrs bundle recordings. Circulation 1969t39:197 305,
Goldrever BN, Damato AN. The essenrial role of aLrioventricular
conduction deiay in the initiation oi paro.rysmaJ supraverltricular tachycardia. Circulation. l97l;43:679-87
Horowitz LN, Josephson NJE, Farshidi A, et al. Recuffent sustained
ventricular tachycarclia, 3: role ol the electrophysiologic study
Damato

in seleciion ol antiarrhythmic regimens. Circulation


I

978:5 8:985--97.

Lie KL,Wellens HJJ, Schuilenburg RM

BLrndJe branch

block and

0/Ft).

aclLte mvocardial infarction.

Parasistolventrikular.

\lD.editors. The Conduction Slsrem ol rhe Hearr: Srrucrure.


Functionand Clinical lmplications Philadelphia (PA): Lea &

Gangguan hantaran pada sekitar berkas His dan


percabangannya (Bundle Bronch).
- Blok (AVB) derajat 1 ,2 (ripe

Wenkebach serta

Bundle Branch Block (BBB), mungkin kanan


(R.BBB) atau kiri (LBBB), bisa piLrsial (incomplete)
atau total (complete) dan bisa juga tergantung pada

HR sehingga disebut sebagai "rctte clependent


Bundle Branclt Block".
Daiam suatu rekaman dari seorang pasien bisa
diternukan irama jantung sinus dengan ekstrasistol
ventrikel (VES) atau S\/ES unifokal atau multifokal,
multi fokal SVES ciengan aberantia, atau irama
j antung yang

ln: \\re lens HJJ. Lie KI.

Janse

Febiger,1976:662-72.

tipe2) dan 3 (total).

atau atriai atau ventrikuiar, tergantung kondisi dan


faktor etiologi yangada. Tidakjarang kita mengalarni

AV Jungsional takikardia paroksismal. seperli PAT.


Seringkaii sukar membedakan antara irama yang
berasal dari Atrial atau AV Jungsional, sehingga
disebut saja sebagai irama supra r,entiknlar, karena
memang keduanya berasal dari atas ventrikel dan
penatalaksanaannyapun tak jauh berbeda" Tetapi
AFI dan AFi tidak mungkin dari AV Jungsional,

sebagaimana irama AV Junctional pasif (non


paroksi smal) dapat dikenali bukan Atrial.
Aritmia Supra Ventrikular (SV) lainnya,
- Aritmia SV rnultifokallwandering pace maker.
- Muhilbkal SVtakikardia.
- Multifol<al Sr/ hkikardia dengan blok.

KARDIOLOGI

berganti-ganti ke aritmia AV j ungsi onal

josephson NtE, Horowitz

ventriculartachycard

LN, Farshidi A, et al. Recurrent


ia. I

rrechanisms.Circulati on

sustained

I 97815 7 :.13 I

,10.

Lie KL.Wellens }l.lJ, Schuilenburg RM Bundle blanch block and


acute rryocardial infarction. In: We]lens HJJ, Lie K[. Janse
NlD.editors The Conduction Sysrem ol the Hcart: StrLrcture,
Functionand Clinical Implications Philadelphia (PA): Lca &
Febrger.1916:662-12
Nlandel \\r. Hayakaua H, Danzig R. et al Evaluation of sino-atrial
node function in man by overdrive suppression. Circularion
1971

::14:59 66.

Narula OS, Scherlag BJ, Samet P, eL al. Atrioventricular block: localization and classification by His bundle recordings. Am J Med.
i 97 I ;50: I 46 65.

252
GAI{GGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK
Hanafi B. Trisnohadi

Blok Sinoatrial

PENDAHULUAN

Blok sinoatrial ialah keadaan di mana pembentukan impuls


di nodus sinus masih normal tapi impuls dari nodus sinus
tidak dapat mencapai atrium secara lengkap sehingga pada
gelombang P pada EKG tidak muncul pada waktunya dan
jarak interval P-P menjadi dua kali jarak interval PP yang

Gangguan irama jantung (disritmia atau aritmia) tidak hanya

terbatas pada denyut jantung yang tidak teratur, tetapi


juga termasuk kecepatan denyut jantung yang abnormal
dan gangguan konduksi.

normal.

Keadaan ini dapat disebabkan oleh stimulasi vagus


yang berlebihan, miokarditis, penyakit jantung koroner,
terutama infark jantung bagian inferior, keracunan
digitalis atau obat anti aritmia yang lain. Blok sinoatrial
dapat menimbulkan serangan sinkop pada pasien.
Pengobatan ditujukan pada penyakit dasarnya disertai

GANGGUAN PADA NODUS SINUS

Sinus Bradikardia
Sinus bradikardia ialah irama sinus yang kurang dari 60
kali per menit. (Gambar 1) Hal ini sering diketemukan pada

pemberian sulfas atropin, atau perangsang beta adrenergik,


seperti efedrin, isoproterenol, alupen. Pasien yang resisten
terhadap pengobatan perlu dilakukan pemasangan pacu

olahragawan yang terlatih. Pada pasien usia lanjut


bradikardia sinus dapat disebabkan oleh gangguan faal
nodus sinus. Bradikardia sinus dapat juga disebabkan

Jantung

karena miksedema (hipotiroidisme), hipotermra, vagotonia

dan tekanan intrakranial yang meninggi. Umumnya

Sinus Aritmia

bradikardia sinus tidak perlu diobati bila tidak ada keluhan.


Tetapi bila denyut kurang dari 40 kali per menit dan pasien

Sinus aritmia ialah kelainan irama jantung di mana irama


sinus menjadi lebih cepat pada waktu inspirasi dan menjadi
lebih lambat pada waktu ekspirasi. Keadaan ini menjadi
lebih nyata ketika pasien disuruh menarik napas dalam.
Aritmia ini hilang kalau timbul takikardia pada pasien karena

merasa gelap (black out), mendapat serangan sinkop,


lelah, hipotensi karena curah jantung yang sangat
menurun, maka sebaiknya diobati dengan sulfas atropin,
yang dapat diberikan secara intravena. Bila tidak berhasil
dengan terapi medikamentosa, kadang-kadang perlu

melakukan kegiatan olahraga atau pasien menderita


demam. Keadaan ini dapat ditemukan pada individu sehat

pemasangan pacu Jantung.

dan tidak membutuhkan pengobatan.

Sinus Takikardia
Sinus takikardia ialah irama sinus yang lebih cepat dari
100 kali per menit (Gambar 2)
Keadaan ini biasa ditemukan pada bayi dan anak kecil
dan takikardia sinus juga sering ditemukan pada beberapa
keadaan stres fisiologis maupun patologis sepefti kegiatan
fi sik (ol ahraga), demam, hipertiroidi sme. anemia, infek si,

Gambar 1, EKG menunjukkan bradikardia sinus di mana tampak


gelombang P normal dan tiap gelombang P diikuti kompleks QRS
yang normal, interval PB juga normal ( 0 16 detik ) tapi frekuensi
gelombang P sangat lambat hanya 38 kali per menit

160

1606

sepsis, hipovolemia, penyakit paru kronik. Obat-obatan


seperti atropin, katekolamin, kafein. hormon tiroid dapat
menimbulkan takikardia sinus. Takikardia sinus dapat juga
disebabkan karena gagal jantung. Terapi ditujukan pada
kelainan dasarnya. Pemberian digitalis hanya pada gagal
jantung. Pada hipertiroidisme kadang-kadang perl u
diberikan penghambat beta.

KARDIOLOGI

pada bola mata (ey'e ball pres;ure) atau rrassage sinus


karoLikus. Bila tak berhasil dapat diberikan veraparril secara
intravena. Obat lain yang dapat dipakai adenosin, diltiazenr.
digitalis dan penyekat beta secara intravena. Bila obat-

obatan tidak berhasil menghentikan takikardia perlu


dipertimbangkan tindakau defibrilasi dengan DC (direct
current) cototer sh.ock.

KELAINAN IRAMA JANTUNG YANG BERASAL


DARIATRIUM

Ekstrasistol Atrial
atrial di sebut J\ga p re nrutur e tt I r i a I b e at s. Hal
ini terjadi karena adanya impuls yang berasal dtu'i atrium
yang timbul secara prematur. Keadaan ini biasanya tidak
mempunyai arti klinis yang penting, tetapi kadang-kadang

Eks trasis tol

Post isoptin. 5 mg i.v

dapat menjadi pencetus timbulnya takikardia


supraventrikular dan fibrilasi atrial. Pemeriksaan EKG
menunjukkan adanya gelornbang P yang timbui prematur
diikuti komplek QRS yang rrormal. Ekstrasistol atrial tidak
membutuhkan pengobatan (Gambar 2).

Gambar 3 Gambar di atas menunjukkan takikardia supraventrikular


paroksismal, dengan kecepatan 160 kali per menit dan kompleks
QRS tidak melebar, Gambar di bawahnya menunjukkan irama
sinus sielah diberi obat isoptin secara intravena.

Fibrilasi Atrial
atri al terj adi eksi tasi dan recoverv yang sangat
teratur dari atrium. Oleh karena itu impuls listrik -vang
timbul dari atrium juga san-sat cepat dan sat.na sekali tidak
tel'atur. Pada perreliksaan EKG akan tampak adanya

Pada

fibrilasi

tidaLk

Gambar 2. EKG menunjukkan takikardia sinus dengan kecepatan


104 kali per menit, tampak adanya ekstrasistol atrial (SVES=
su praventricu lar extrasystole alau pre matu re atri al beat)

gelonrbang

fiblilasi (.fibrillution

w'nue) yang berupa

yang sangat tidak teratur dan sangat cepat


-uelombang

Takikardia Atrial Paroksisrnal

dengan frekuensi deri 300 sampai 500 kali per menit. Bentuk
gelombang fibnlasi dapat kasar (coarse atriol fibrillation)

supraventrikular paroksismal. Takikardia atrial paroksismal ial ah


suatu takikardia yang berasal dari atrium atau nodus AV, Biasanya
karena adanya re-entrybaik di atrium atau nodus AV

(gambar 5) dengan amplitude lebih I mm, atar-r halus ffine


atricLl .fibriLlarion) sehingga gelombangnya tidak begitu
nyata. (girmbar4). Biasanya hanytr sebagian kecil dari impuls
tersebut yang sampai di ventr-ikel karena diharnbat oleh

Takikardia atrial paroksismal disebut juga takikardia

Pasien dengan takikardia atrial merasajantung berdebar


cepat sekali, dapat disefiai keringat dingin dan pasien akan
merasa lemah. Kadang-kadang timbul sesak napas dan

hipotensi. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner


bila mendapat serangan takikardia akan timbul serangan
anglna.
Pada pemeriksaan EKC akan terlihat gambaran seperti
ekstrasistol atrial yang berturut-turut lebih dari enam. Pada
EKG kadang-kadang sukar dibedakan antara takikardia
atrial dan takikardia ventrikel felxtama bila gelombang P
tidak jelas dan ada aberansi kompleks QRS. Takikardia atrial
dapat berlangsung sebentar atau menetap sampai beberapa

hari.
Pen atalaksanaan takikardia atrial paroksi sm al haru s
dilakukan segera, yaitu dengan memberikan penekanan

nodus AV untuk melindungi ventrikel, strpaya denyut


ventrikel tidak terialu cepat, sehingga akan menimbulkan
denl,ut ventrikel antara 80- 150 per menit. (Gambar 4 dan 5 )
Pada pemeriksaan klinis ditemukan irama jantung yang
sama sekaii tidak teratur dengan bunyi jantLrng yang
intensitasnya tidak sama. Seringkali didapatkan adanya
defisit putsus. Diagr.rosis dapat dengan mudah dilakukan
dengan pemeri ksaan EKG.

Fibrilasi atriai dapat berlangsung

sebentar

(paroksisrnal) atau menetap. Fibrilasi atrial dapat


disebabkan karena penyakit katup miiral, seperti stenosis
mitral atau insufisiensi mitral, penyakit jantung iskenria,
infark miokard akut, tirotoksikosis, dan infeksi akut pada

jantung.

t6a7

GAI{GGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK

ap e rhy thnt), maka nodu s atri oventri kuiari s bertin clak


sebagai pusat ektopik yang memacu jcnlung dan pada
gambaran EKG tampak irama jantung dengan gelombang
P berasal dari nodus AV diikuti kompleks QRS biasa dengan
kecepatan 50-60 per rnenit. Keadaan ini dapat teriadi karena
es c

Gambar 4. EKG menunjukkan fibrilasi atrial yang halus, di mana


tampak gelombang fibrilasi yang cepat dan sama sekali tidak
teratur, kompleks QRS juga tidak teratur.

iskemia jantung atau intoksikasi digitalis. Kelainan ini


belum tentu memerlukan pengobatan khusus, kecuaJi bila

frekuensi jantung menjadi sangat lambat, kurang dari 40


kali per menit atau menimbulkan gangguan hemodinamik.
maka perlu terapi dengan atropin sulfat secara intravena.
Gambar 5. EKG menunjukkan fibrilasi atrial yang kasar, dengan
gelombang fibrilasi lebih dari 1 mm, juga cepat dan tidak teratur

kadang-kadang perlu pemasangan pacu jantung


sementara.

dengan kecepatan lebih dari 300 per menit, diikuti kompleks QRS

juga tidak teratur dengan kecepatan sekitar 100 kali per menit.

Pengobatan tergantung pada cepatnya denyut jantung,


penyebab dan keadaan pasien. Bila denyutjantung cepat
sekali, lebih dari I 50 per menit dan pasien dalam keadaan
sftock, mungkin perlu segera dilakukan kardioversi dengan

direct current counter shock (DC shock). Bila denyut


jantung cepat sekali dan pasien dengan gagal jantung.
dapat diberikan digoksin secara intravena bersama-sama
dengan pemberian furosemid dan amiodaron secara
rntravena.

Bila denyutjantung tidak terlalu cepat dapat diberikan


digoksin secara oral untuk mengontrol deny'ut jantung.
kadang-kadang perlu diberikan bersama penyekat beta
misalnya pada tirotoksikosis atau dapat diberikan
verapamil kalau ada kontraindikasi pemberian penyekat
beta.

Takikardia Nodal (AV junctional tachycardia


atau n od a I t ac h yca rd i a)
Ada dua rracam takikardia nodal yaitu junctional tach,,-cardia dengan kecepatan 100-140 per menit dan
extrcLsystolic AY junctionttl tachycardia dengan denyut
ventrikel 140-200 per menit.
Pada yang pertama terdapat percepatan junctionaL
rhythm, yang menjadi nyata biia kecepatannya melebihi
kecepatan nodus sinus. Hai ini rlapat disebabkan oleh
intoksikasi digitalis, infark miokard akut attru dcmam
reumatik akut. Pada intoksikasi digitalis hams diobati
secepatnya karena dapat berkembang menjadi takikardia
ventrikel dan fibrilasi ventrikel. Digitalis harus dihentikan
dan diberi kan difeni lhidantoin.
TnkikardiaAV junctional sangat mirip dengan takikar-dia
atrial, baik dalam diagnosis, gambaran klinis maupun
pengobatan n1,a.

Untukmengkonversi fibrilasi menjadi irama sinus dapat


diberikan amiodaron secara intravena, rhythmonom
propafenon per oral atau disopiramid secara oral. Akhirakhir ini ada obat baru yang lebih efektif untuk konversi
fibrilasi atrial seperli dofetilid dan ibutilid.
Gambar 6. EKG menunjukkan tiap kompleks QRS diikuti dengan
dengan gelombang P, sesuai untuk irama nodal, disini frekwensi

AR]TMIAYANG DISEBABKAN OLEH PEMBENTUKAN


RANGSANG EKTOPIK DI NODUS AV

kompleks QRS 70 per menit jadi lebih cepat dari irama nodal biasa,

dan disebut takikardia rdionodal.

Ekstrasistol Nodal
Irama ektopik dapat berasal dari nodus AV. Seperti
ekstrasistol atrial biasanya bersifat jinak. Secara klinis
ekstrasistol nodal tidak dapat dibedakan dengan
ekstrasistol ventrikular atau atrial. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan EKG yang menunjukkan
gambaran seperli ekstrasistol atrial, kecuali gelornbang P
dari ekstrasistol berbentuk negatif di hantaran II atau

gelombang P tak nampak, atau gelombang P muncul


setelahkompleks QRS.

lrama Nodal (nodal rhythml


todal Qunctional rhythm atat AV nodal

Pada irama

ARITMIAYANG DISEBABKAN OLE!{ PEMBENTU KAN


RANGSANG EKTOPIK DI NODUS AV

Ekstrasistol Ventrikel
Ekstrasistol ventrikel ialah gangguan irama di mana timbul
denyut jantung prematur yan-e berasal dari fokus yang
terletak di ventrikel. Ekstrasistol ventrikel dapat berasal
dari satu fokus atau lebih (multifokal). Ekstrasistol ventrikei
merupakan kelainan irama jantung yang paling sering
ditemnkan dan dapat timbul pada jantung yang normal.
B i asan.va fi'ekuen si nya bertambah dengan bertambah n ya

1608

KARDIOI.OGI

usia, terlebih bita banyak minum kopi, merokok, atau emosi

(GambarT).
Ekstrasistol ventrikel dapat disebabkan oleh iskemia
miokard, infark miokard akut, gagal jantung, sindrom QT
yang memanjang, prolaps katup mitral, cerebrovascular
acc iclent, keracunan digitalis, hipokalemia, miokarditi s.
kardiomiopati. Pengobatan ditujukan pada penyakit
dasarnya atau pengobatan perlu diberikan pada ventrikel
ekstrasistol yang dapat berkembang menjadi aritmia
ventrikel yang lebih berbahaya, sepefti takikardia ventrikel.
Pada pasien dengan infark jantung akut terapi perlu
diberikan bila ekstrasistol dianggap maligna, karena dapat
berkembang menjadi aritmia ventrikel yang berbahaya
seperti takikadia atau fibrilasi ventrikel. Ekstrasistol yang
maligna yaitu yang jumlahnya lebih dari 5 kali per menit,
ekstrasistol ventrikel yang timbul secara berturut-turut

menunjukkan adanya penyakitjantung yang berat. Diagnosis takikardia ventrikel ditegakkan bila ditemukan
takikardia dengan kecepatan 150-210 per menit, umumnya
teratur tapi kadang-kadang sedikit tak teratur. Biasanya
timbul tiba-tiba dan tidak pernah terjadi sebelumnya.
Penekanan pada bola mata atau penekanan pada arteri
karotis tidak ada efek apa-apa. Intensitas bunyi jantung
kadang-kadang berubah-ubah karena adanya disosiasi AV

(GambarS).

Gambar 8. EKG menunjukkan takikardia ventrikel, tampak

ekstrasistol yang timbul pada gelombang T (R on T).

kompleks QBS lebar, bizarre seperti eksirasistol ventrikel, yang


timbul berturut{urut dan terus menerus, dengan kecepatan lebih
dari 150 per menit.

Obat yang paling sering dipakai pada ekstrasistol


ventrikel yang maligna pada infark jantung akut ialah
xilokain yang diberikan secara intravena dengan dosis

EKG di mana didapatkan adanya takikardia dengan

(.consec

utive), ekstrasistol ventrikel yang multifokal,

bolus 1 -2 mg per kg berat badan, dilanjutkan dengan infus


l-2 mg per menit. Dosis dapat dinaikkan sampai 4 mg per
menit. Obat lain yang dapat dipakai amiodaron, meksiletin,
dilarrtin. Pada pasien yang tak ada kelainan janfling organik
lain maka pengobatan ekstrasistol ditujukan pada terapi
non farmakologi seperti menghentikan kebiasaan minum
kopi, merokok" menghindari obat-obat simpatomimetik
seperti adrenalin, efedrin dan lain-lain. Kadang-kadang
perlu pembeian tranquiliz,er pada pasien yang banyak
ketegan_ean.

Kepastian diagnosis dengan melakukan pemeriksaan


kompleks QRS yang lebar, lebih dari 0.12 detik dan tak ada
hubungan dengan gelombang P. Kadang-kadang sukar
dibedakan dengan takikardia atrial paroksismal disertai

konduksi aberan. Sehingga kadang-kadang diperlukan

pemeriksaan His bundle electrocardiogram lunt:uk


menegakkan diagnosis yang pasti.
Pengobatan dengan memakai xylocain 1-2mg per kg
berat badan dilanjutkan dengan pemberian infus 1-2 mg
per menit seperti pada pengobatan ekstrasistol ventrikel
yang maligna. Infus diberikan paling sedikit selama 24 jur,

selanjutnya dapat diberikan amiodaron, meksiletin atau


sotalol secara oral. Dalam keadaan akut selain mlocain
-juga dapat diberikan amiodaron per infus. Bila pasien dalam
keadaan distres, gagal jantung atau syok harus segera
dilakukan defibrilasi dengan direct current countershock
dengan dosis 50-100 Joules.

Gambar 7. EKG menunjukkan irama dasar masih irama sinus,


tapi tampak ada beberapa ekslrasistol ventrikel, yaitu kompleks
QRS ke 2, 4 dan I yang timbulnya prematur, bentuknya lebar dan
bizarre dan tidak didahului gelombang P

Takikardia Ventrikel
Takikardia ventrikel ialah ekstrasistol ventrikel yang timbul

berturut-turut 4 kali atau lebih. Kelainan irama ini


berbahaya dan membutuhkan pengobatan segera.
Takikardia ventrikel mudah berkembang menjadi fibrilasi
ventrikel dan dapat menyebabkan henti jantung (cardiac
arrest). Penyebab takikardia ventrikel antara lain penyakit
jantung koroner, infark rniokard akut, gagal jantung,

keracunan digitalis. Takikardia ventrikel umumnva

Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel ialah irama ventrikel yang chaos dansarna
sekali tidak teratur. (Gambar 9) Hal ini menyebabkan
ventrikel tak dapat berkontraksi dengan cukup sehingga
curah jantung sangat menurun, bahkan sama sekali tidak

ada, sehingga tekanan darah dan nadi tak bisa diukur,


pasien tidak sadar dan bila tidak segera ditolong akan
menyebabkan kematian. Fibrilasi ventrikel paling sering
karena penyakit jantung koroner, terutama infark miokard
akut, penyebab lain intoksikasi digitalis, sindrom QT yang
memanjang. Pada pasien harus secepatnya dilakukan
resusitasijantung paru, yaitu pernapasan buatan dan pijat
jantung dan secepatnya dilakukan direct curuent countershock dengan dosis 400 Joules. Pasien juga diberikan
xilocain atau amiodaron secara intravena. Pertolongan
harus diberikan dalam 2-4 menit, bila tidak terlambat

1609

GANGGUAN IRAMA JANTUNG YANG SPESIFIK

prognosis cukup baik. Bila sudah lebih dari 5 menit dapat


terjadi kerusakan otak, sehingga walaupun irama jantung
kembali normal, mungkin kesadaran pasien tidak dapat
kembali.

Terjadi blok total di nodus AV sehingga impuls dari


atrium sama sekali tidak dapat sampai ke ventrikel,
sehingga ventrikel berdenyut sendiri karena stimulasi
impuls yang berasal dari ventrikel sendiri.

Blok AV Tingkat !
BlokAV tingkat I umumnya disebabkan karena gangguan
konduksi di proksimal His bundle. (Gambar 11) Hal ini
Gambar 9. EKG menunjukkan fibrilasi ventrikel , dapat dilihat
gelombang yang sama sekali tidak teratur dan chaos

disebabkan karena intoksikasi digitalis, peradangan, proses

degenerasi atau variasi normal. Biasanya tidak


membutuhkan terapi apa-apa dan prognosisnya baik.

Takikardia ldioventrikular
Pada takikardia idioventrikular, gambaran EKG
memperlihatkan adanya kompleks QRS yang berasal dari
ventrikel (lebar dan bizarre) berturut-turut 3 atau lebih
dengan kecepatan 60-100 kali per menit. Keadaan ini
disebut jttga slow ventricular tachycardia atat accelerated idioyentricular rhythm. (Gambar 10) Kelainan ini
paling sering disebabkan oleh infark miokard akut.
Takikardia idioventrikular biasanya tidak berbahaya dan
tidak memerlukan pengobatan. Bila terjadi terus-menerus
dan ditemukan tanda hipoperfusi jaringan, maka perlu

diberi terapi dengan atropin sulfat 0.5-l mg secara


lntravena.

PR

ll

Gambar 11. EKG menunjukkan irama sinus dan interval PR


memanjang menjadi 0.30 detik karena ada blok AV tingkat 1 , pada
EKG diatas juga tampak QRS melebar karena right bundle branch

b/ock(RBBB).

Blok AV Tingkat l!
Dibagi 2, yail;u Mobitz tipe
Mobitz tipe II.
Pada Mobitz tipe

(Wenckebach block) dan

interval PR secara progresif

bertambah panjang sampai suatu ketika impuls dari atrium

tidak dapat sampai ke ventrikel dan denyut ventrikel


(kompleks QRS ) tidak tampak atau gelombang P tidak
Gambar 10. EKG menunjukkan semula irama sinus dengan
kecepatan sekitar 100 per menit dan diambil alih oleh irama
idioventrikular (mulai kompleks QRS ke 5) dengan kecepatan
sekitar 100 kali per menit, kompleks QRS menjadi lebih lebar karena
berasal dari ventrikel, kemungkinan karena irama sinus menjadi
lambat.

Gangguan Konduksi
Heqrt block (blok jantung). Istilah blok jantung
menunjukkan suatu keadaan di mana terjadi gangguan
konduksi di nodus AV. Interval PR ialah waktu yang
dibutuhkan oleh impuls listrik untuk menjalar dari atrium

ke nodus AV dan His bundle serta cabang-cabangnya


sampai ke ventrikel. Inter.,ral PR yang normal berkisar antara
0,12-0,20 detik.
Berdasarkan pemeriksaan EKG blok AV dibagi 3 yaitu:

BlokAVtingkatI:
Pada blok AV tingkat I interval PR memanj ang lebih dari

diikuti oleh kompleks QRS (Gambar 12). Pada pemeriksaan


H i s bundle e le ctro cardio gram (elektrokardiogram bundel
His) biasanya lokasi dar blok proksimal dari bundel His.
Mobitz tipe I dapat disebabkan karena tonus vagus yang
meningkat, keracunan digitalis atau iskemia. Bila tidak

menimbulkan keluhan dan tidak ada gangguan


hemodinamik tidak memerlukan pengobatan.
Pada Mobitz tipe II, interval PR tetap sama tetapi
didapatkan denyut ventrikel yang berkurang (dropped
beaf) (Gambar 13). Kekurangan denyut ventrikel dapat
teratur atau tidak seperti 2:1, 4:1, 4:3 dan sebagainya.
Pemeriksaan elektrokardiogram bundel His menunjukkan
gangguan konduksi distal dari bundel His. Etiologinya
ialah infark miokard akut, miokarditis, proses degenerasi
(penyekat Lev's atau Lenegre). Kelainan dapat timbul
sementara dan kembali normal, menetap, atau berkembang

jadi blok yang komplit. Pasien dengan Mobitz tipe II dapat

timbul serangan sinkop dan sebaiknya dilakukan


pemasangan pacu Jantung.

0.20 detik.

BlokAVtingkatII:
Terjadi kegagalan impuls dari atrium untuk mencapai
ventrikel secara intermiten, sehingga denyut ventrikel

berkurang.
Blok AV tingkat III: (blok jantung yang komplit = com-

plete heart block)

Gambar 12. EKG menunjukkan blokAVtingkat lltipe Wenckebach


(atau Mobitz tipel), di mana tampak interval PR makin memanjang,
dan pada P ke 5 tidak diikuti kompleks QRS

1610

KARDIOI.OGI

Pasien dengan LBBB seringkali tak ada keluhan dan


tidak membutuhkan pacu jantung. Kalau ada sinkop atau
timbul gangguan konduksi lebih berat seperti blok AV

tingkat
Gambar 13. EKG menunjukkan blokAV tingkat ll tipe Mobitz ll, di
mana interual PR tidak memanjang tapi pada gelombang P ke 3

tidak diikuti kompleks QRS, jadi ada dropped beat lanpa


pemanjangan interval PR.

Blok AV Tingkat Ill


BlokAV tingkat III disebut juga blok jantung komplit. Pada
blokAV tingkat III impuls dari atrium tidak bisa sampai di
ventrikel. Kontraksi ventrikel karena rangsangan oleh fokus
di nodus AV atau fokus di ventrikel, sehingga ventrikel

berdenyut sendiri tidak ada hubungan dengan denyut


atrium (Gambar 14). Gambaran EKG memperlihatkan
adanya gelombang P teratur dengan kecepatan 60-90 kali
per menit, sedangkan kecepatan kompleks QRS hanya 4060 kali per menit. Blok AV tingkat III disebabkan oleh proses

degenerasi, peradangan, intoksikasi digitalis, infark


miokard akut. Blok AV tingkat III pada infark biasanya
hanya sementara dan akan kembali normal setelah infark
sudah tenang, walaupun ada yang menetap. Bila blok AV
tingkat III menetap sebaiknya dilakukan pemasangan pacu
jantung. Blok AV tingkat III biasanya menimbulkan
gangguan hemodinamik dan menimbulkan keluhan lelah,
sinkop, sesak dan angina pada usia lanjut.

II

atau

III,

maka seringkali perlu dilakukan

pemasangan pacu jantung.


Bila cabang kanan yang terganggu disebut right bundle
branchblock(RBBB). Pada pemeriksaan EKG akan tampak
adanya kompleks QRS yang melebar lebih dari 0,12 detik
dan akan tampak gambaran rsR' atau RSR' di Vl, V2,
sementara itu di I, a\il, V5 dan V6 didapatkan S yang melebar
karena depolarisasi ventrikel kanan yang terlambat (Gambar
16).

RBBB dapat diketemukan pada jantung yang normal,


dapatjuga pada kelainan kongenital seperti atial"septal
defect (ASD),pada infark miokard maupun iskemia miokard
atau pada penyakit degenerasi sistem konduksi (penyakit

Lenegre atau Lev)


Pasien dengan RBBB seringkali tak ada keluhan dan
membutuhkan terapi. Tapi bila terjadi sinkop dan ada tanda
gangguan konduksi yang lain seperti blok AV tingkat II
atau III, maka perlu dipertimbangkan pemasangan pacu
Jantung.

Sindrom Brugada ialah kelainan EKG berupa RBBB


dengan elevasi ST di V1-V3 dan biasanya tak ada
gelombang S yang lebar. Pasien dengan sindrom ini
terancam kematian mendadak. Sindrom ini diterapi dengan

Quinidin dosis tinggi atau amiodaron. Akhir-akhir


dianj urkan pemas angan ICD (.imp I ant ab e c ar di ov e r t e r defibrillator).
I

Gambar 14. EKG pada blok AV tingkat lll di mana dapat dilihat
gelombang P tak ada hubungan dengan kompleks QRS, gelombang
P kecepatan 60 kali per menit sedangkan kompleks QRS hanya
42 kali per menit

Bundle Branch Block (BBB);


Bundle branch block mentnjukkan adanya gangguan
konduksi di cabang kanan atau kiri sistem konduksi, atau
divisi anterior atau posterior cabang kiri. Diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan EKG di mana ditemukan
kompleks QRS yang melebar lebih dari 0.11 detik disertai
perubahan bentuk kompleks QRS dan aksis QRS.
Bila cabang kiri yang terganggu disebut left bundle
branchblock(LBBB). Pada pemeriksaan EKG akan tampak
bentuk rsR' atau R yang lebar di I, aVL, V5 dan V6. (Gambar
15) Gangguan konduksi yang terjadi pada divisi anterior
cabang kiri akan menyebabkan perubahan aksis menjadi
deviasi ke kiri yang ekstrim dan disebut left anterior
hemiblock, sedangkan bila divisi posterior cabang kiri
terganggu akan menimbulkan aksis yang deviasi ke kanan
yang ekstrim dan dinamakan left posterior hemiblock.

Gambar 15. EKG menunjukkan irama sinus dan LBBB, di mana


dapat dilihat kompleks QRS melebar sampai 0.20 detik, dengan R
yang lebar di l, aVL, V5 dan V6. Di V1 -V3 gelombang r kecil

dengan S yang dalam dan lebar EKG dari pasien dengan


kardiomiopati dilatasi tanpa infark lantung.

Sindrom Praeksitasi
Sindrom ini ditandai dengan adanya depolarisasi ventrikel
yang prematur. Termasuk dalam golongan ini ialah sindrom
Wolff ParkinsonWhite (WPW) dan sindrom Lown Ganong

Levine (LGL). Pada WPW gambaran EKG menunjukkan


adanya gelombang P yang normal, interval PR yang
memendek, kurang dari 0,11 detik, kompleks QRS melebzLr

karena adanya gelombang delta (adanya defleksi


permulaan kompleks QRS yang dini dan slurued).
Perubahan kompleks QRS disertai perubahan gelombang

T yang sekunder. (Gambar 17) Gambaran EKG ini

1611

GANGGUAN IRAMA JAIYTUNG YANG SPESIFIK

DisosiasiAV
Pada disosiasi AV, atrium dikontrol oleh fokus di atrium,

Gambar 16. EKG menunjukkan RBBB (right bundle branch


block), di mana dapat dilihat kompleks QRS lebar lebih dari 0,1 2
(mungkin 0,18) detik dengan gambaran rsR'di V1 dan S lebar di
I aVL, V5 dan V6.

seringkali oleh nodus AV sedangkan ventrikel dikontrol


oleh pacemaker di ventrikel sendiri. Disosiasi AV dapat
disebabkan karena aktivitas nodus sinus berkurang atau
nodus AV menjadi lebih cepat sehingga mendominasi
ventrikel atau kombinasi keduanya. Disosiasi AV dapat
karena keracunan digitalis atau komplikasi infark miokard
akut atau karena peradangan seperti penyakit demam
reumatik yang aktif.
Keadaan ini harus dibedakan dengan blok AV tingkat
III karena disosiasi AV mempunyai prognosis lebih baik
dan seringkali tidak membutuhkan obat aritmia dan juga
tidak membutuhkan pacu jantung. Pengobatan terutama
untuk penyakit dasarnya.

REFERENSI
disebabkan karena adanyajalur asesori atau jalur anomalus

yang menghubungkan atrium dengan ventrikel, sehingga


sebagian ventrikel akan diaktivasi sangat dini. WPW lebih

sering ditemukan pada pria dan dapat ditemukan pada


pasien tanpa kelainan jantung lain. WPW umumnya jinak
tapi dapat menimbulkan takiaritmia seperti reciprocatin g

tachycardia atau paroxysmal flutter atau fibrilasi.


Pengobatan diberikan bila ada takiaritmia dengan digitalis,

propanolol atau amiodaron. Kadang-kadang perlu


dilakukan tindakan ablasi jalur anomalus.
Pada LGL gambaran EKG menunjukkan gelombang P
nonnal, interval PR memendek kurang dari 0,11 detik,
kompleks QRS normal. Pada LGL dapat terjadi serangan
takikardia supraventrikular. Keadaan ini karena adanya jalur
asesori yang menghubungkan atrium dengan bundel His.
Kelainan ini lebih sering pada perempuan; aritmia yang

sering terjadi selain takikardia supraventrikular juga


fibrillasi danflutter atium. Pengobatan dengan propanolol,
amiodaron, verapamil. Bila hasil kurang memuaskan perlu

dilakukan pemeriksaan elektrofisiologi dan dilakukan


tindakan ablasi jalur yang abnormal tadi.

Atrial Fibrillation: Current understanding and research imperatives:


The National Heart, Lung and Blood Institute Working Group
of atrial fibrillation. J Am Coll Cardiol 1993: 22: 1830-1
Akhtar M, Shenasa M, Jazayei M et al. Wide QRS complex tachycardia: Reappraisal of a common clinical problem. Ann Intern

Med 1988:109:9U5-12
Boriani G, Capucci A, Lenzi T, et al. Propafenon for Conversion of
Recent Onset Atrial Fibrllation. A Controlled Comparison Between Oral Loading Dose and Intravenous Administration. Chest

1995:108:355-8
Bar trW, Den Dulk K, Wellens HJJ. Atrioventricular dissociation. In
Comprehensive Electrocardiography; Theory and Practice in
Health and Disease, MacFarlane PW Lawrie TDV, Pergamon
Press, New

York 1989, page 933.

Chung EK. Wolff Parkinson White syndrome: Current views. Am

Med 19'71',62:252-66.
K et al Spontaneous Conversion and Maintenance of Sinus Rhythm by Amiodarone in Patients With Heart Failure and Atrial Fibrillation: Observations
From Veteran Affairs Congestive Heart Failure Survival Trial of

Deedwania PC, Singh BN, Ellenbogen

Antiarrhythmic therapy ( CHF-STAT). The Department of


Veterans Affairs CHF-STAT Investigators. Circulation 1998;
98:2574-9.
Denes P, Levy L, Pick A et al : The incidence of typical and atypical
A-V Wenckebach periodicity. Am Heart J 1975 89: 26-31

Knight BP, Michaud GF, Strickberger SA, Morady F: Electrocardiographic differentjation of atrial flutter from atrial fibrillation
by physicians. J Electrocardiol 1999:.32:315-9.
Rotman M, Triebwasser JH, A Clinical and follow up study of right
and left bundle branch block . Circulation 1975; 5l: 447.
Rosenbaum M, Elizari }'{Y, Lazzari JO. The hemiblocks. Tampa
Tracings, Tampa 1970.
Spodick DH. Normal sinus he:rrt rate: Sinus tachycardia and sinus
bradycardia redefined Am Heart J 1992l. 124:. 1ll9

Gambar 17. EKG menunjukkan \NPW (Wolff Parkinson White


syndrome) dilandai adanya gelombang delta (deltawave) sehingga
kompleks QRS melebar dan interval PB memendek.

25s
FIBRILASI ATRIAL
Sally Aman Nasution, Ryan Ranitya

operasi. Walaupun seringkali menghilang secara spontan,

PENDAHULUAN

FA pasca opdratif tersebut akan memperpanjang lama


Fibrilasi atrial (FA) merupakan aritmia yang paling sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari dan paling sering
menjadi penyebab seorang harus menjalani perawatan di
rumah sakit. Walaupun bukan merupakan keadaan yang
mengancam jiwa secara langsung, tetapi FAberhubungan
dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.

DiAmerika Serikat diperkirakan terdapat 2,2 jtiapasien


FA dan setiap tahun ditemukan 160.000 kasus baru. Pada

populasi umum prevalensi FA terdapat

+ l-2%a

tinggal di rumah sakit.


Sedangkan hubungan antara FA dengan penyakit

katup jantung telah lama diketahui. Penyakit katup'


reumatik meningkatkan kemungkinan terjadinya FA dan

mempunyai risiko empat kali lipat untuk terjadinya


komplikasi tromboemboli. Pada pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri, kejadian FA ditemukan pada satu di antara
lima pasien. FAjuga dapat merupakan tampilan awal dari
perikarditis akut dan jarang pada tumor jantung seperti
miksoma atrial. Aritmia jantung lain seperti sindroma
Wolff-Parkinson-White dapat berhubungan den gan FA.

dan

meningkat dengan bertambahnya umur. Pada umur di


bawah 50 tahun prevalensi FA kurang dari lVo dan

Hal yang menguntungkan adalah apabila dilakukan


tindakan ablasi pada jalur aksesori ekstranodal yang
menjadi penyebab sindroma ini, akan mengeliminasi FA

meningkat menjadi lebih dari 9Vo padausia 80 tahun. Lebih

banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita,


walaupun terdapat kepustakaan yang mengatakan tidak
terdapat perbedaan jenis kelamin.
FA merupakan faktor risiko independen yang kuat

pada90Vo kasus. Aritmia lain yang berhubungan dengan


FA misalnya takikardia atrial, AVNRT (AtrioVentricular
Nodal Reentrant Tachycardia) darr bradiaritmia seperti
sick sinus syndrome dan gangguan fungsi sinus node

terhadap kejadian strok emboli. Kejadian strok iskemik pada


pasien FAnon valvular ditemukan sebanyak5% per tahtn,
2-1 kali lebih banyak dibandingkan pasien tanpa FA. Pada

lainnya.
FA juga dapat timbul sehubungan dengan penyakit
sistemik non-kardiak. Misalnya pada hipertensi sistemik
ditemukan 45 Vo dart diabetes melitus 107o dari pasien FA.

studi Framingham risiko terjadinya strok emboli 5,6 kali


lebih banyak pada FA non valvular darr 11,6 kali lebih
banyak pada FA valvular dibandingkan dengan kontrol.

Demikian pula pada beberapa keadaan lain seperti


penyakit paru obstruktif kronik dan emboli paru akut.
Tetapi pada sekitar 3Vo pasien FA tidak dapat ditemukan
penyebabnya, atau disebut dengan lone FA. Lone FAini
dikatakan tidak berhubungan dengan risiko tromboemboli
yang tinggi pada kelompok usia muda, tetapi bila terjadi
pada kelompok usia lanjut risiko ini tetap akan meningkat.

PENYEBAB FA
FAmempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan
struktural akibat penyakit jantung. Diketahui bahwa sekitar
257o pasien FA juga menderita penyakit jantung koroner.
W'alaupun hanyal0% dari seluruh kejadian infark miokard
akut yang mengalami FA, tetapi kejadian tersebut akan
meningkatkan angka mortalitas sampai 40%. Pada pasien
yang menjalani operasi pintas koroner, sepertiganya
mengalami episode FA terutama pada tiga hari pasca

Untuk mengetahui.kondisi yang kemungkinan


berhubungan dengan kejadian FA tersebut harus dicari
kondisi yang berhubungan dengan kelainan jantung
maupun kelainan di luar jantung. Kondisi-kondisi yang
berhubungan dengan kejadian FA dibagi berdasarkan:

t6t2

t6t3

TIBRILASIATRIAL

Penyakit Jantung yang Berhubungan dengan FA:


. Penyakit Jantung Koroner
. KardiomiopatiDilatasi
. KardiomiopatiHipertrofi

.
.

Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun non-

pada FA dengan dasar penyakitjantung koroner. Fungsi


kontraksi atrial yang sangat berkurang pada FA akan
menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan terjadi

gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi


ventrikel kiri.

reumatik

Aritmiajantung : takikardia atial,fluter atrial, AVNRT,


sindrom WPW. sict sinus syndrome.

EVALUASIKLINIK FA

Perikarditis

Penyakit di luar Jantung yang Brhubungan dengan FA:


. Hipefiensi sistemik
. Diabetes melitus
. Hipertiroidisme

Penyakit paru: penyakit paru obstruktif kronik,

hipertensi pulmonal primer, emboli paru akut


Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan

Evaluasi klinik pada pasien FA meliputi :


. Anamnesis :
- Dapat diketahui tipe FA dengan mengetahui lama
timbulnya (episode pertama, paroksismal, persisten,
permanen)

FA pada pasien yang sensitif melalui peninggian


tonus vagal atau adrenergik.

KLASIFIKAS!FA

FA paroksismal bila FA berlangsung kurang dari 7 hari.


Lebih kurang 50% FAparoksismal akan kembali ke irama
sinus secara spontan dalam waktu 24 jam. FA yang
episode pertamanya kurang dari 48 jamjuga disebut FA

berdebar-debar, lemah, sesak napas terutama saat


aktivitas, pusing, gejala yang menunjukkan adanya
iskemia atalu gagal jantung kongestif
- Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain
dari FA misalnya hipertiroid.
Pemeriksaan Fisis:
- Tanda vital: denyut nadi berupa kecepatan dan
regularitasnya, tekanan darah
- Tekanan venajugularis

terdapat gagal jantung kongestif

kongestif, terdapatnya bising pada auskultasi


kemungkinan adanya penyakit katup

dari 7 hari. Pada FApersisten diperlukan kardioversi untuk


mengembalikan ke irama sinus.

jantung

Mkronik

atau permanen bilaFAberlangsung lebih dari 7


hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit sekali untuk
mengembalikan ke irama sinus (resisten).

PRINSIP MEKANISME ELEKTROFISIOLOGI FA

Muhiple Wavelet Reentry: timbulnya gelombang yang

.
.

MANIFESTASIKLINIS FA

gejala FA sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju


irama ventrikel, lamanya FA, penyakit yang mendasarinya.
Sebagian mengeluh berdebar-debar, sakit dada terutama
saat beraktivitas, sesak napas, cepat lelah, sinkop atau
gejala fromboemboli. FA dapat mencetuskan gejala iskemik

Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung


kanan
Edemaperifer: kemungkinan terdapat gagal jantung

kongestif

Laboratorium: hematokrit (anemia), TSH (penyakit


gondok), enzim jantung bila dicurigai terdapat iskemia

pulmonalis

FA dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-

pada auskultasi jantung

menunj ukkan kemun gkinan ter dapat gagalj antun g

FA persisten bila FA menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang

menetap dari depolarisasi atrial atauwavelets yang dipicu


oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivitas aritmogenik
dari fokus yang tercetus secara cepat.

Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan

- Irama gallop 53

paroksismal.

Aktivasi fokal: Fokus diawali biasanva dari daerah vena

Menentukan beratnya gejala yang menyertai:

.
.
.

jantung.
Pemeriksaan EKG: dapat diketahui antara lain irama
(verifikasi FA), hipertrofi ventrikel kiri, pre-eksitasi
ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi (sindroma WPW),

identifrkasi adanya iskemia


Foto rontgen toraks
Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup,
ukuran dari atrium dan ventrikel, hipertrofr ventrikel kiri,
fungsi ventrikel kiri, obstruksi outJlow danTEE (Trans
Esophago Echocardio graphy) wfiuk melihat trombus
di atriumkiri.

Pemeriksaan fungsi tiroid. Pada FA episode pertama


bila laju irama ventrikel sulit dikontrol.
Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan
adekuasi dari kontrol laju irama jantung
Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah

holter monitoring, sfidi elektrofisiologi.

1.614

KOMPLIKASI
FA dapat mengakibatkan terjadi beberapa komplikasi yang
dapat meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas.

Pada pasien dengan sindroma WPW dan konduksi yang


cepat melalui jalur ekstranodal yang memintas nodus
atrioventrikular, dimana pada saat terjadi FA disertai preeksitasi ventrikular, dapat berubah menjadi fibrilasi ventrikel
dan menyebabkan kematian mendadak. Pada keadaan seperti

ini ablasi dengan radiofrekuensi sangat dianjurkan. FAyang


disertai dengan laju irama ventrikel yang cepat serta
berhubungan dengan keadaan obstruksi jalur keluar dari
ventrikel atau terdapat stenosis mitral, dapat menyebabkan
tef adinya hipotensi dan perubahan keadaan klinis.
Beberapa komplikasi lain dapat terjadi pada flutter atrial
dengan laju irama ventrikel yang cepat. Laju ventrikel yang
cepat

ini bila tidak dapat terkontrol dapat menyebabkan

Di antara
komplikasi yang paling sering muncul dan membahayakan
adalah tromboemboli, terutama strok.

KARDIOI.OGI

7 hari setelah terjadinya FA. Klasifikasi obat anti aritmia


dan obat-obat yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 1.
Dalampemberian obat anti aritmia efek samping obatobat tersebut harus diperhatikan. Salah satu efek samping
obat anti aritmia adalah pro-aritmia. Untuk mengurangi

timbulnya pro-aritmia maka dalam memilih obat perlu


diperhatikan keadaan pasien.

Kardioversi Elektrik
Pasien FA dengan hemodinamik yang tidak stabil akibat

laju irama ventrikel yang cepat disertai tanda iskemia,


hipotensi, sinkop perlu segera dilakukan kardioversi
elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 2fi) Joule. Bila
tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 Joule. Pasien
dipuasakan dan dilakukan anestesi dengan obat anestesi
kerja pendek.

kardiomiopati akibat takikardia persisten.

PENATALAKSANAAN FA
Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan FA
adalah mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju
irama ventrikel dan pencegahan komplikasi ffomboemboli.

Dalam penatalaksanaan FA perlu diperhatikan apakah


pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama
sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama ventrikel.
Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama
sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada

FA permanen sedikit sekali kemungkinan atau tidak

mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif

MEMPERTAHANKAN IRAMA SINUS


FA adalah penyakit kronis dan rekurensi sering terjadi baik
pada FAparoksismal maupun pada FApersisten. Bila telah

terjadi konversi ke irama sinus maka hal ini perlu


dipertahankan dengan pengobatan profilaktik.

PENGOBATAN PROFILAKTIK DENGAN OBAT


ANTIARITMIA UNTU K MENCEGAH REKURENSI
FA yang berlangsung lebih dari 3 bulan merupakan salah
satu prediktor terj adinya rekurensi. Obat antiaritmi a y an.g
sering dipergunakan untuk mempertahankan irama sinus
dapat dilihat pada Tabel 1.

pcngobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus

diperlimbangkan.

PEM!LIHAN OBAT.OBAT ANTIARITMIA PADA


PASIEN DENGAN KELAINAN JANTUNG

KARDIOVERSI
Pengembalian ke irama sinus pada FA akan mengurangi

gejala, memperbaiki hemodinamik, meningkatkan


kemampuan latihan, mencegah komplikasi tromboemboli,

mencegah kardiomiopati, mencegah remodeling


elektroanatomi dan memperbaiki fungsi atrium. Kardioversi

dapat dilakukan secara elektrik atau farmakologis.


Kardioversi farmakologis kurang efektif dibandingkan
dengan kardioversi elektrik. Risiko tromboemboli atau strok

emboli tidak berbeda antara kardioversi elektrik dan


farmakologi sehingga rekomendasi pemberian
antikoagulan sama pada keduanya.

Kardioversi Farmakologis
Kardioversi farmakologis paling efektif bila dilakukan dalam

Pemilihan obat-obat antiaritmia disesuaikan dengan


keadaan penyakit jantung yang diderita untuk mencegah
timbulnyapro aritmia.
Pada sindrom WPW digoksin tidak boleh diberikar oleh
karena dapat menimbulkan kenaikan paradoksal laju ventrikel

selama FA. Penyekat beta tidak menurunkan hantaran pada

jalur aksesori selama periode pre-eksitasi dari FA.

PENGONTROLAN LAJU IRAMA VENTRIKEL


Obat-obat yang sering dipergunakan untuk mengontrol
laju irama ventrikel adalah digoksin, antagonis kalsium
(verapamil, diltiazem) dan penyekat beta. Laju irama yang
dianggap terkontrol adalah di antara 60-80 kali/menit pada
saat istirahat dan 90-1 15 kalilmenit pada saat aktivitas.

16L5

FIBRILASIATRIAL

Dosis

Efek Samping

Harian
Amiodaron

00-400

mg

Disopyramide

400-750
mg

Dofetilide
Flecainide

500-'1000
ug

200-300
mg

Procainamide

'1000-4000
mg

Propafenon

450-900
mg

Quinidine

600-1 500

mg

Sotalol

240-320
mg

Fotosentivitas, toksisitas paru,


polineuropati, kel Gl,
bradikardia, torsade de pointes
(jarang), hepatotoksis,
disfungsi tiroid
Torsade de pointes, gagal
jgntung, glaukoma, retensi urin,
mulut kering
Torsade de pointes
Takikardia ventrikular, gagal
jantung kongestif, konduksi
nodal AV berubah (konversi
menjadi fluter atrial)
Torsade de pointes, lupus like
syndrome, gejala Gl
Takikardia ventrikular, gagal
jantung kongestif, konduksi
nodal AV berubah (konversi
menjadi fluter atrial)
Torsade de pointes, keluhan
sal cerna, konduksi nodal AV
berubah
Torsade de pointes, gagal
jantung kongestif, bradikardia,
penyakit paru bronkospastik
yang merupakan eksaserbasi
dari obstruksi kronik,
bradikardia

PENCEGAHAN TROMBOEMBOLI
Pencegahan komplikasi tromboemboli merupakan salah
satu tujuan yang penting dalam pengobatan FA. Risiko
tromboemboli 7 kali lebih tinggi pada FA. Menurut studi

Framingham risiko terjadinya emboli 5,6 kali lebih tinggi


pada FA non valvular dan 17,6 kali pada FA valvular
dibandingkan dengan kontrol. Risiko terjadinya strok emboli pada FA meningkat pada orang usia lanjut. Pada
golongan umur antara 50-59 tahun kejadian strok emboli
6,77o dan36,2Vo pada golongan umut arlttara 80-89 tahun.
Tidak ada perbedaan risiko terjadinya strok antara pasien
dengan FA paroksismal dan FA kronik.
Kopeky melaporkan risiko strok embolipadal'one AF
2,7Vo. Lone AF pada umur kurang dari 60 tahun bukan
merupakan faktor risiko strok emboli.
Risiko relatif terhadap strok iskemik pada beberapa
keadaan dapat dilihat pada tabel 1. CHADs (Cardiac failure, Hypertension, Age, Diabetes, Stroke) untuk pasien
tanpa kelainan katup jantung.

Ekokardiografi sangat bermanfaat untuk evaluasi


penyebab FA yaitu pad paien dengan penyakit jantung
rematik dimana terdapat kelainan katup jantung seperti
stenosis mitral. Gambaran ekokardiografi tranesofageal
(TEE) yang mempunyai risiko tromboemboli yang tinggi
yaitu adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri, tromus,

Kriteria risiko CHADs


Riwayat strok atau TIA
Usia > 75 tahun
Hipertensi
Diabetes Melitus
Gagal jantung
Keterangan: TIA= transien ischemic aftack
(adaptasi dari ACCIAHAIESC 2006 Guideline for the
management of patients with atrial fibrillatlon, Circulation 2006;

114:700-52\

gambaran spontaneous echo contrast, kecepatan aliran


darah yang menurun < 20 cmldetik dan plak aterom
kompleks pada aorta torakalis.

PATOFISIOLOGI PEMBENTU KAN TROMBUS PADA


FA
Pada FA aktivitas sistolik pada atrium kiri tidak teratur,
terjadi penurun an atrial flow velocities y ang menyebabkan
stasis pada atrium kiri dan memudahkan terbentuknya
trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada htrium kiri

lebih banyak dijumpai pada pasien FA dengan strok


emboli dibandingkan dengan FA tanpa strok emboli. Dua
pertiga sampai tiga perempat strok iskemik yang terjadi
pada pasien dengan FA non valvular karena strok emboli.
Beberapa penelitian menghubungkan FA dengan
gangguan hemostasis dan trombosis. Kelainan tersebut
mungkin akibat dari stasis atrial tetapi mungkin juga
sebagai kofaktor terjadinya tromboemboli pada FA.
Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor

von Willebrand (faktor VII), fibrinogen, D-dimer, dan


fragmen protrombin 1,2. Sohaya melaporkan FA akan
meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini
dipengaruhi oleh lamanya FA.

PENGOBATAN ANTITROMBOTIK UNTUK


MENCEGAH KOMPLIKASI STROK EMBOLI
Banyak laporan mengenai efektivitas anti trombotik dalam
pencegahan komplikasi tromboemboli pada FA.Pada Atrial

Fibrillation Investigator (AFI), didapatkan bahwa


warfarin secara bermakna menurunkan risiko strok dai

4 ,5Vo

per tahun menjadi l,45Vo. Terdapat

penurunan
risikosebesar 68Vo.Wartain menurunkan risiko strok ada
wanita 897o danpada laki-laki 6OVo.Pada studi AFASAK
pemberian aspirin 75 mg akan menurunkan risiko lSVo (957o
CI60-58Vo) sedangkan pada SPAF, pemberian aspirin 325

mg menurunkan islko MVo (95Vo CI1-66Vo). Kombinasi


dari kedua studi tersebut menurunkan risiko 36Vo (95Vo Cl
4-57Vo). Pada metaanalisis warfarin menurunkan kejadian

l6t6

I(ARDIOLOGI

strok62Vo(95EoCI48-727o)penlrutaarisikoabsolut2,T%
per tahun pada pencegahan primer dan 8,4Vo per tahun
pada pencegahan sekunder. Warfarin lebih baik dari pada
aspirin dengan penurunan risiko relatif 367o (CI l4-52Eo).
Warfarin dan aspirin menurunkan kejadian strok pada

pasien dengan FA dan warfarin jauh lebih efektif


dibandingkan aspirin.
Dosis optimal yang efektif dan aman untuk pencegahan
komplikasi tromboemboli pada FA adalah INR 2,5 dengan
rentang antara2-3. Pada pasien dengan usia lebih dari 75
tahun target INR 2 dengan rentang antara 1,6-2.
Ada beberapa faktor risiko pada pasien fibrilasi atrial

yang direkomendasikan untuk mendapatkan terapi


antitrombotik aspirin atau warfarin untuk pencegahan
emboli. Tabel berikut merukan rekomendasi antitrombotik
pada pasien dengan FA.

Faktor risiko
rendah
Gender

wanita

Usia 65 -74

tahun

PJK
Tirotoksikosis

risiko moderat
usia > 75 tahun
hipertensi
gagal jantung
EF s 35%
Diabetes Melitus

risiko tinggi
riwayat strok,TlA
Atau emboli
stenosis mitral
katup protese

warfarin akan mempercepat proses organisasi trombus,


penempelan pada dinding atrium dan resolusi trombus.
Pada pasien FA yang timbul lebih dari 48 jam atau tidak
diketahui lamanya dianjurkan pemberian warfarin dengan
target INR 2-3 diberikan 3 minggu sebelum kardioversi dan

dilanjutkan 4 minggu pasca kardioversi. Manning


menganjurkan pemeriksaan TEE sebelum kardioversi.
Pasien diberikan heparin bila tidak ditemukan trombus,
dilakukan kardioversi dan diberikan antikogulan sampai 4
minggu pasca kardioversi.
Pada studi multisenter Assessment of Cardioversion
U s in g Tr an s e s opha g e al E c ho c ardi o g r ap hy (A C U T E)
kejadian tromboemboTi 0,87o pada strategi dengan
pemeriksaan TEE, sedangkan pada strategi konvensional
0,57o tidak ada perbedaan yang bermakna. Waktu yang
diperlukan untuk kardioversi lebih pendek dengan
pemeriksaanTEE. Pada FA yang berlangsung kurang dari
48 jam kemungkinan terjadinya tromboemboli pasca
kardioversi sangat rendah (O,8Vo).
Pada beberapa kasus pembentukan trombus dapat

terjadi pada FA yang kurang dari 48jam dianjurkan


pemberian antikoagulan selama periode peri kardioversi.

Keterangan p..1( = penyakit jantung koroner,


EF = fraksi ejeksi (adaptasi dari ACC/AHA/ESC 2006
Guideline for the management of patients with atrial fibrillation,
Circulation 2006; 1 14: 700-52.)

KARDIOVERSI DAN TROMBOEMBOLI


Tromboemboli merupakan komplikasi yang dapat terjadi
setelah kardioversi baik kardioversi elektrik, farmakologis,
maupun kardioversi spontan. Kejadian tromboemboli
setelah kardioversi pada pasien FA tanpa pemberian
antikoagulan antaru 1,5 -3 Va.

Byerkeland dan Orning melaporkan insiden


tromboemboli pasca kardioversi tanpa pemberian
antikoagulan 5,3Vo sedangkan yang mendapatkan
antikoagulan 0,87o.
Setelah kardioversi kontraksi mekanik atrium kiri masih
belum pulih (atrial stunnirrg) sampai 2-4 minggu setelah

kardioversi sehingga ada kemungkinan terbentuknya


trombus baru yang dapat lepas pada periode pasca
kardioversi. Oleh karena itu antikoagulan diberikan sampai

empat minggu pasca kardioversi untuk mencegah


pembentukan trombus baru selama periode atrial
stunning dan mencegah pembentukan trombus apabila
setelah kardioversi, FA timbul kembali. Trombus yang
terbentuk di atrium kiri memerlukan waktu kurang lebih 2
minggu untuk mengalami organisasi dan.melekat erat pada
dinding atrium sehingga tidak mudah lepas bila atrium
berkontraksi setelah kembali ke irama sinus. Pemberian

Gambar 1. Algoritma tatalaksana pasien dengan fibrilasi atrial


yang baru terdiagnosis

ALGORITM E PENATALAKSANAAN FA

Dalam penatalaksanaan FA perlu diketahui apakah FA


tersebut paroksismal, persisten atau permanen. Hal
tersebut penting untuk penatalaksanaan selanjutnya
apakah perlu dilakukan kardioversi atau cukup dengan
pengendalian laju irama ventrikel.
FAyang baru ditemukan atau episde pertamaM. Kadangkadang sulit menentukan apakah FA yang baru pertama
ditemukan merupakan episode pertama FA. Apalagi bila
gejala minimal atau asimptomatik. Pada FAparoksismal yang
secara spontan kembali ke irama sinus tidak perlu pemberian

t6t7

FIBRILASIATRIAL

Fibrilasi atrial bar

i"..

rroksismal

Persisten

J
k diperlukan terapi

kecual

gejald (hiptertensi, angina, dll)'

tive summar Task Force on practice Guidelines and the Euro_


pean Sociery of Cardiology Committee for practice Guide'lines
and Policy Conferences (Committee to Develop Guidelines for

FA permanen

\
\

I
Antikoa gulan dan
kontrol laju
I

kontrol laju dan

avntikoagulan

pedimbangkan obat antiaritmia


kardioversi

I
I

Te rapi antiaritmia jangka panjang


Ti dak diperlukan

Gambar 2. Algoritma tatalaksana pasien dengan FA paroksismal


berulang

obat antiaritmia untuk pencegahan rekurensi, kecuali bila


FA dengan gejala-gejala hipotensi, iskemia miokard atau
gagal jantung. Pemberian antikoagulan tergantung dari
adanya faktor risiko tromboemboli. pada FA persisten ada
2

pilihan dalam penatalaksanaannya. pilihan pertama pada

pasien tersebut tidak dilakukan kardioversi dan membiarkan


progresivitas FAtersebut ke arah FApermanen. padapasien

tersebut dilakukan pengontrolan laju irama ventrikel dan


pemberian obat antikoagulan. Dasar pemikiran pilihan
tersebut karena pemberian obat-obat antiaritmia pada
pasien tersebut lebih banyak ruginya. pilihan kedua adalah
dilakukan kardioversi dan mempertahankan ke irama sinus.
Sebelum dilakukan kardioversi, diberikan antikoagulan dan

pengontrolan laju irama ventrikel. pada FA yang


berlangsung lebih dari 3 bulan biasanya timbul rekurensi

awal setelah kardioversi maka perlu pemberian obat


antiaritmia sebelum kardioversi (setelah dapat obat
antikoagulan) dan diberikan selama I bulan.

FA paroksismal rekuren. pada FA paroksismal yang


mengalami rekurensi bila gejala-gejala minimal dan
berlangsung singkat tidak perlu diberikan obat-obat
antiaritmia, tetapi bila gejala-gejala tersebut mengganggu
maka perlu diberikan obat-obat antiaritmia. pada pasien
tersebut dilakukan pengontrolan laju irama ventrikel dan
pemberian obat antikoagulansia.

FA persisten rekuen. Pasien dengan gejala minimal dan


paling sedikit pernah dicoba untuk mengembalikan ke irama
sinus tetapi kembali ke FA maka dilakukan pengontrolan
laju irama ventrikel dan pemberian antikoagulan. Sebaliknya
bila gejala mengganggu maka dilakukan kardioversi dengan

pemberian obat antiaritmia (di samping obat untuk


mengontrol laju irama ventrikel dan antikoagulansia)
sebelum kardioversi.

REFERENSI

Y Ryden LE, Asinger RW, et al. ACC/AHA/ESC Guidelines


for the Management of Patients with Atrial Fibrillation : execu_

Fuster

the Management of patients with Atrial Fibrillation). A report


of the American College of Cardiology/American Heart Asso_

ciation. Circulation 20061 l14: i00-52.


Hart RG Halperin JL. Atrial fibrillatlon and thromboembolism : a
decade of progress in stroke prevention. Ann Intern Med 1999;
131:688-95.
Haissaguerre M, Jais P, Shah DC et al. Spontaneous initiation of
atrial fibillation by ectopic beats originating in the pulmonary
veins. N Engl J Med t998 339: 659-66.
Julian DG, Prescott RJ, Jackson FS et a1. Controlled trial of sotalol
for one year after myocardial infarction. Lancet 19g21 I: 1142_
1

Kopecky SL, Gersh BJ, McGoon MD et al. The natural history of


lone atrial fibrillation. A population-based study over three de_
cades. N Engl J Med 198't 311: 669-14.
Kannels WB, Abbott RD, Savage DD. Mc Namara pM. Coronary
heart disease and atrial fibrillation : the Framingham Study.4rrr
Heart J 1983; 106: 389-96.
Kannel WB, Wolf PA, Benjamin EJ et al. prevalence, incidence.
prognosis, and predisposing conditions for atrial fibrillation
Population based estimates. Am J Cardiol l99g;gl: 40D_46D.
Krahn AD, Manfreda J, Tate RB, Mathewson FA, Cuddy TE. The
natural history of atrial fibrillation : incidence, risk factors. and
prognosis in the Manitoba Follow-up Study. Am J Med 1995;
:

98:476-84.
Lanzarotti

CJ Thromboembolism in chronis atrial fibrillation : is

the risk underestimated ? J Am Coll Cardiol 19971 30: 1506_ll


Lee SH, Chen SA, Tai CT et al. Comparisons of quality of life and

cardiac performance after complete atrioventricular junction


ablation and atrioventricular junction modification in parients
with medically refractory atrial fibrillation. J Am Coll Cardiol

1998:31:631-44.
Manning WJ, Silverman DI, Gordon Sp et al. Cardioversion from
atrial fibrillation without prolonged anticoagulation with use of
transesophageal achocardiography to exclude the presence of
atrial thrombi. N Engl J Med 1993; 328: 750-55
Prystowsky EN, Karz AM. Arrial Fibrillation. In : Topol ES, ed.
Textbook of Cardiovascular Medicine philadelphia: Lippincott_

Raven, I998:1827-61.
Psaty BM, Manolio TA, Kuller LH et al. Incidence of and r.isk
factors for atrial fibrillation in older adults. Circulation 1997:
96: 2455-61
Page RL, Wilkinson WE, Clair WK et al. Asymptomatic arhythmias
in patients with symptomatic paroxysmal atrial fibrillation and
paroxysmal supraventricular tachycardia. Circulation 1994; g9:
)41

Peterson P, Boysen G, Godtfredsen J et al. placebo controlled.


randomised trial of warfarin and aspirin for prevention of throm_

boembolic complication in chronic atrial fibrillation The


Copenhagen AFASAK study. Lancet 1989; l: 175-9.
Singer DE, Hughes RA, Gress DR et al. The effect of aspirin on the
risk of stroke in patientswith nonrheumatic atrial fibrillation :
the BAATAF Study. Am Heart I 7992; t24: 1561-'73.
Sakata K, Kurihara H, Iwamori K et al. Clinical and prognosric
significance of atrial fibrillation in acute myocardial infarction.
Am J Cardiol 1991 80: t522-7
Vaziri SM, Larson MG, Benjamin EJ, et al. Echocardiographic predictors of nonrheumatic atrial fibrillation. Circulation l99zt:
89: 724-30.

254
ARITMIA SUPRA VENTRIKULAR
Lukman H. Makmun

PENDAHULUAN

impulsed formation) yang dapat disebabkan oleh

Aritmia dapat merupakan kelainan sekunder akibat

peningkatan otomatisitas (enhanc e d aut omaticity) dan


aktivitas pemicu-(rrigg ered activity).

penyakit jantung atau ekstra kardiak, tetapi dapat juga


merupakan kelainan primer. Kesemuanya mempunyai
mekahisme yang sama dan penatalaksanaan yang sama
juga. Kelainan irama jantung ini dapat terjadi pada pasien
usia muda ataupun usia lanjut.

Peningkatan automatisitas: Aktivitas pacemaker

bradikardia ataupun takikardia, dengan nilai normal berkisar


antara 60-00/menit. Tergantung dari letak fokus, selain

otomatis selain pada nodus SA, juga didapat pada serabut


atrial khusus, serabut AY junction dan serabut Purkinje.
Sel miokard pada keadaan normal tidak mempunyai
aktivitas sebagai pacemaker. Peningkatan automatisitas
ser abtt p ac emake r laterkarena terjadi depolarisasi parsial
pada resting membrane. Terjadi perubahan kecepatan
depolarisasi pada fase diastolik yaitu percepatan fase 4
sehingga automatisitas meningkat. Bila mencapai ambang
rangsang, akan terjadi aksi potensial baru sehingga dengan
demikian mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut

menyebabkan VES (Ventricular Extra Systole), dapat

jantung. Keadaan ini didapat pada:(1) peningkatan

terjadi Supra Ventricular Extra systole (SVES) atau

katekolamin endogen dan eksogen, (2) gangguan elektrolit


(misal hipokalimia), (3) hipoksia atau iskemia, (4) efek
mekanis dan (5) obat-obatan (misal digitalis).

Aritmia dapat dibagi menjadi kelompok aritmia


supraventrikular dan aritmia ventrikular berdasarkan letak
lokasi yaitu apakah di atrial termasukAV node dan berkas
I#s ataukah di ventrikel mulai dari infra /zis bundle. Selain
itu aritmia dapat dibagi menurut denyut jantung yaitu

Supra Ventriculare Tachycardy (SVT) di mana fokusnya


berasal dari berkas Flis ke atas. AVNRT (AV Nodal Reentry
Tachycardia) merupakan salah satu dari SVT di mana
terjadi proses reentry mechanismdi sekitar nodus AV. Pada
bab ini akan membahas tentang aritmia dengan fokus di
supra ventrikel yang bersifat takikardia.

(Percepatan fase 4)

\/\a
)

MEKANISME TAKIARITMIA

Ada beberapa teori yang menerangkan mekanisme


takiaritmia, yang biasanya dipicu oleh premature beat.
Mekanisme ini tergantung dari peran ion-ion natrium,

(perlambatan fase 4

kalium, kalsium, khususnya mengenai fungsi kanal ion,


sehingga berpengaruh terhadap potensial aksi dan juga
konduksi elektrisnya. Gangguan ini dibagi menjadi

potensial aksi dapat terjadi kenaikan


potensial membran sehingga terjadi pemendekan atau percepatan
fase 4 (fase repolarisasi diastolic) karena lebih mendekati ambang

Gambar 1. Pada fase

rangsang dengan akibat mudah terjadi rangsangan baru


(enhanced automaticity= accelerated). Dapat juga terjadi

gangguan fungsi pembentukan impuls (rangsang) dan


gangguan perbanyakan Qtropagation) impuls.

pelambatan fase 4, sehingga irama melambat (decreased automaticity = dePressed).

Pembentukan rangsang bertambah (enhanced

1618

r6t9

ARITMIA SUPRA VENTRIKUI.AR

konduksi, baik sementara maupun menetap, (2) adanya


jalan tambahan sehingga membentuk sirkuit tertutup, (3)
Konduksi perangsangan cukup lambat, sehingga pada saat
rangsang sampai di titik blok, titik tersebut sudah berada
dalam fase refrakter relative kembali, (4) ada extra beat
sebagai pemicu terjadinya mekanisme reentri. Secara
matematis panjang gelombang = kecepatan konduksi x
masa refrakter.
Perjalanan berulang dari impuls tersebut mengakibatkan
Gambar 2. Pada gambar atas: Ambang rangsang A normal (TP=
Threshold potentiale) . Sedangkan pada B: potential membrane
mendekati ambang rangsang sehingga mudah dirangsang. Pada
gambar bawah: A= normal. Pada B: Ambang rangsang menurun
sehingga mendekati potensial diastolic. Keduanya ini memudahkan
timbul perangsangan baru.

timbulnya takiaritmia menetap. Contoh yang jelas


mekanisme ini adalah pada sindrom WPW (.Wolff
Parkinson White) di mana terdapat jalan tambahan misal
dari atrium ke ventrikel, di samping jalan normal nodus AV-

His-Purkinje.
Perlambatan konduksi terjadi,
patologis karena jaringan parut

Aktivitas pemicu (triggered activity)z Dapat disebabkan


oleh early after depolarization, yang terjadi pada fase 2
dan fase 3 potensial aksi atau pada after depolarisasi
terlambat (delayefi. Karena itu mekanisme ini terjadi tidak

secara spontan, tetapi sudah ada gangguan elektris


jantung. Setelah hiperpolarisasi akhir (late),Na dan Ca
yang masuk ke dalam sel meningkat, sehingga terjadi
gelombang sesudah (after) depolarisasi dan bila mencapai

ambang rangsang maka akan terjadi ekstrasistol.


Mekanisme ini telah diobservasi terjadi di atrial, ventrikel
dan jaringan His-Purkinje di mana kadar katekolamin
meningkat, hiperkalsemia, intoksikasi digitalis atau pada
bradikardia, hipokalimia. Semua keadaan ini menghasilkan
akumulasi Ca intraselular.

(s

jika terjadi fibrosis

car) akibat infark miokard.

Blok unidirektional terjadi karena perubahan arsitektur


jaringan sehingga tidak homogen sehingga menyebabkan
refrakter yang inhomogen misal karena infark miokard.
Sinus takikardia Frekuensi nadi melebihi 100/menit dan
biasanya bukan merupakan kelainan jantung primer, tetapi
akibat sekunder karena berbagai stres, yaitu demam,
kehilangan cairan, khawatir, latihan, tirotoksikosis,
hipoksemia, hipotensi atau gagaljantung kongesfif. Pada
gambaran EKG terlihat gelombang P masih jelas dan masih
diikuti oleh gelombang kompleks QRS. Masase sinus
karotis bisa memperlambat takikardia.

Zone of unidirectional

A: Potensial aksi yang terjadi diikuti oleh


hiperpolarisasi yang terlambal (delayed hyperpolarization) atau
identik dengan early after depolarization (panah 1) dan pasca
depolarisasi terlambat (delayed after depolarization) (panah 2l
Gambar 3. Pada

B.: Potensial aksi yang terjadi diikuti pasca depolarisasi terlambat


(delayed after depolariza tion\ yang mencapai ambang rangsang
dan nondriven potensial aksi (panah 3) yang muncul dari puncak
pasca depolarisasi (a/ler depolarization) menyebabkan terjadi
ekstra sistol baru.

Mekanisme reentry. Teori ini banyak dipakai untuk


menerangkan terjadinya takiaritmia paroksismal menetap
(sustain). Persyaratan terjadinya mekanisme ini adalah: (1)

adanya blok unidirectional pada salah satu jalan

Gambar 4. skematik mekanisme reentry. A= jalan normal.


B = jalan ekstra. Rangsang mengalir dari atas melalui tangan A
dan B. Pada waktu sampai di B terdapat blok satu arah sehingga
rangsang tersebut tidak dapat lewat Kemudian rangsang awal
tadi, ketika sampai di zona blok, area tersebut tidak lagi dalam
keadaan terblokade (refrakter absolute) tetapi sudah dalam
keadaan refrakter relative, sehingga dapat meliwatinya. Begitu
seterusnya, rangsang melalui circuit tersebut.

Pengobatan: ditujukan pada penyakit primer. Lain halnya


bila terdapat pada kasus gagal jantung kongestif, yaitu
pemberian penyekat beta haruslah bersama dengan
inhibitor ACE atau Angiotensin Receptor Blocker.

1620

I(ARDIOI,TOGI

Fibrilasi Atrial: (FA) Kelainan ini sering didapat

dan

dibagi menjadi paroksismal, persisten dan permanen

Gambar 5. Mathematical Reentry Mechamsm (LH Makmun,19B2)

Jika suatu massa mengelilingi suatu circuit, akan


membentuk suatu bentuk gelombang.
Misal: panjang jalan = panjang lingkaran = I atau AB cm.
Waktu tempuh = T sek atau = AD sek.
Kecepatan (V) vcm/sek. I =VxT (lu = anatomis).
Syarat untuk reentry:
Minimal T = PR (Period Refrakter). 1"= V x PR (1, = 1r)

tergantung dari cara timbul dan lamanya bertahan.


Bila timbul secara mendadak dan hilang spontan dalam
waktu 2 x24 jam, disebut paroksismal. Bila terus menerus
menetap menjadi kronik disebut permanen. Sedangkan
persisten adalah bila bertahan sampai 7 hari. Dapat terjadi
pada manusia normal terutama karena stres emosional atau
sesudah operasi, latihan, intoksikasi alkohol akut atau
karena peningkatan tonus vagal. Dapat juga terjadi pada

pasien jantung atau paru dengan hipoksia, hiperkapnia


atau gangguan metabolik atau gangguan hemodinamik.
FA persisten sering terdapat pada pasien jantung, yaitu
reuma jantung, penyakit katup mitral non reuma, penyakit

hipertensi kardiovaskular, penyakit paru kronik, defek

V = 50 cm/sek

septal atrial, juga pada tirotoksikosis. Sedangkan lone FA


bila pasien tidak mengidap penyakit jantung.
Fibrilasi atrial dapat menimbulkan komplikasi yang
berkaitan dengan (1) frekuensi ventrikel yang sangat cepat
sehingga terjadi hipotensi, edema paru, angina pektoris
dan dapat juga menyebabkan kardiomiopati yang

),"= 50 x 0.1 =5 cm

terlalu lambat dapat menimbulkan sinkop. (3) emboli

11.

Contoh:

PanjangAB=5cm
----+T atau AD = 0.1 sek.

disebabkan oleh takikardi a (tach1'cardia-mediatefi

(2) Bila

sistemik yang biasanya terjadi pada pasien dengan demam

Syarat untuk terjadi

reentry:

reumajantung dan sebagai penyebab tersering strok non


n

Dsek(=T)

min.T = RP.
),,= 50x 0.1=5 cm

Gambar 6. Cara penghitungan matematik untuk terjadinya


mekanisme reentry. ('trakmun LH,1 982)

hemoragik. (4) Hilangnya kontraksi atrial sehingga


mengurangi curah jantung output dengan akibat terjadi
.fatigue. (5) rasa khawatir (ansietas) dengan palpitasi. Pada
gambaran EKG gelombang P tidak terlihat dengan jelas.
Respons aksi ventrikel (gelombang kornpleks QRS) tidak
teratur (iregular). Hal ini terjadi karena dari sekian banyak
aksi atrial, tetapi hanya sebagian impuls yang dapat
meliwati nodus AV sehingga frekuensi aksi ventrikel lebih
lambat daripada aksi atrial.

Pengobatan: penyakit primer harus diobati, seperti

Rangsang melalui 2 arah


- Pada satu sisi: terjadi blockade
satu arah
- Sisi lain: tidak ada hambatan

- Rangsang dari bawah tiba


pada area dalam fase refrakter
relatif, sehingga dapat jalan terus

Reentry

Gambar 7, Bagan terrjadi mekanisme reentry setelah dipicu oleh


aksi ekstra

tirotoksikosis, panas dan lainnya. Bila keadaan klinis buruk,


misal hemodinamik menurun, dapat dilakukan kardioversi.
Bila keadaan masih cukup baik, dapat diberikan obat
penyekat beta atau antagonis kalsium, di mana keduanya

memblokade di nodus AV yaitu pada slow conduction


pathway, dengan memperpanjang masa refrakternya.
Pemberian antikoagulan sampai INR minimal 1,8 untuk
mencegah emboli. Pada pasien FA kronik tujuan
pengobatan adalah untuk kontrol rate yaitu dengan
penyekat beta, atau antagonis kalsium atau digitalis.
Sedangkan pada pasien yang telah kembali ke irama
sinus dapat diberikan obat-obatan golongan IC, sotalol,
amiodaron untuk memperlahankan iramanya, yaitu sebagai
kontrol ritme.
Penatalaksanaan Farmakologis
Penyakit dasarnya seharusnya diobati juga di samping
penatalaksanaan terhadap aritmianya sendiri, seperti gagal
jantung, PJK, perbaikan elektrolit dan lainnya.

r62t

ARITMIA SUPRA VENTRIKUI.AR

Pada pasien usia lanjut harus diperhatikan efek


samping, berkenaan dengan sudah menurunnya fungsi
hepar, renal, distribusi dengan berkurangnya volume cairan

tubuh. Selain itu dilihatjuga interaksi obat-obat danjuga


dihindari polifarmaka.

Obat-obatan antia aritmia yatg digunakan pada


( 1 ) kelompok kontrol rate untlk
mengatasi denyut nadi, yaitu golongan penyekat beta
(class II), (2) golongan antagonis kalsium yaitu verapamil,
diltiazem (kelas IV). Di samping itu dapat dipergunakan
juga digitalis. (B) adalah kelompok rythme control tn1]ltk
mengkonversi dari AF ke irama sinus dan juga untuk
mempeflahankannya bila telah kembali ke irama sinus,
yaitu : (l). Golongan yang memblokade kanal ion Na (kelas
IA, IC) yaitu antara lain kuinidin, propafenon. (2) kelas III

pengobatan AF adalah: (A).

yang memperpanJang masa refrakter potensial aksi dengan

menghambat kanal ion K, yaitu antara lain amiodaron,


sotalol.

Intervensi Invasif
. Yang paling sederhana adalah dengan menggunakan
defibrilator untuk mengatasi VT dan VF yang termasuk
dalam resusitasi jantung paru.
. Ablasi biasanya dilakukan pada AF paroksismal.
Biasanya tipe ini dipicu oleh fokus otomatis yang
berlokasi di vena pulmonalis. Dengan menggunakan
teknik kateterisasi sampai ke atriurrr kiri mencapai vena
pulmonalis kemudian setelah didapat signal fokus,
dilak-ukan ablasi. Selain itu ada juga teknik bedah MAZE
dengan membentuk multipel scars di atria kanan dan
kili sehingga mencegah penjalaran gelombang hbrillasi.

FluterAtrial (FIAT) Aritmia ini biasanya berkaitan dengan


penyakitjantung organik. Fluter

iri

dapat terjadi secara

AV Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT) Termasuk


Paroksismal supra takikardia ventrikular. Letak kelainan
adalah di nodus AV dan lebih sering terjadi pada
perempuan. Kompleks QRS langsing dengan frekuensi
berkisar antaral20-250/menit dan dipicu oleh atrial ekstra
sistol dan berkaitan dengan PR memanjang karena terjadi
keterlambatan konduksi di dalam AV node. Dalam AV node
terdapat dua pathway yaifi fast dan slow pathway yang
disebfi dual pathway . Fast pathway memberikan konduksi
yang cepat serta mempunyai periode refrakter panjang
sedangkan slow pathway memberikan konduksi lambat
dengan periode refrakter pendek. Pada irama sinus konduksi
rangsang hanyamelaluifast pathway sehingga interval PR
normal. Dengan adanya atrial ekstra sistol, terjadi blokade
di fast pathway sehingga konduksi rangsang berikutnya
dialirkan melalui slow pathway dan selain itu kecepatan
rambat menurun, sehingga memenuhi persyaratan untuk
terladi reentryAVnodal dan terjadilah takikardia dan disebut
AV nodal reentrant tachycardia. Aktivasi atrial retrograd

dan ventrikel antegrad terjadi bersamaan sehingga


gelombang Ptak terlihat di EKG.

Gambaran klinis berupa palpitasi, dapat terjadi sinkop


dengan hipotensi.

Pengobatan Tindakan pijat sinus karotikus sebagai


manipulasi vagal dapat dicoba untuk menghentikan aritmia.
Bila tak berhasil dapat diberikan Adenosin intravena. Selain
itu dapat dilakukan dengan verapamil atau penyekat beta.
Sedangkan digitalis, awitan aksinya lebih lambat sehingga
tidak dianjurkan pada keadaan akut. Bila tak berhasil dapat
dilakukan dengan pacing di atrial atau ventrikel melalui
intravena. Dalam keadaan hemodinamik jelek dengan

hipotensi atau iskemia berat, dipertimbangkan untuk

paroksismal dengan faktor presipitasi seperti perikarditis,

dilakukan kardioversi.

gagal napas akut. Dapat juga terjadi dalam minggu pertama

Non reentrant tachycardia: Multifocal Atriul

setelah operasi jantung terbuka. FIAI dapat berubah


menjadiAF dan jarang menimbulkan emboli sistemik.

FIAT mempunyai kekhasan berupa gambaran


gelombang P seperli gigi gergaji (saw teeth), mempunyai
frekuensi atrial sekitar 250-350/menit. Sedangkan frekuensi
ventrikel adalah setengahnya karena terjadi blok 2: I di
nodus AV.
Pengobatan. Yang paling efektif adalah dengan kardioversi
dengan low energy (25-50Ws). Selain itu bila frekuensi
ventrikel meningkat dapat diturunkan dengan antagonis
kalsium atau penyekat beta atau digitalis yang memblokade
di nodus AV. Kemudian setelah itu dapat diberikan anti

aritmia golongan IA atau IC atau Amiodaron untuk


merubah menjadi irama sinus. Untuk menjaga jangan
sampai kembali ke FIAT dapat diberikan golongan IA, IC
atau golongan III.
Ablasi dengan radiofrekuensi biasanya dilakukan di
lokasi sekitar katup trikuspidal yaitu pada daerah isthmus
yang sempit. Keberhasilan cukup tinggi sampaiS5Vo.

Tachycardia (MAT). Biasanya terjadi karena intoksikasi


digitalis atau hipokalimia atau efek teofilin atau obat
adrenergik. Gambaran EKG adalah lebih dari tiga gelombang
P consecutive dengan gambaran berbeda-beda. Interval
R-R iteguler.

Pengobatan dapat diberikan penyekat beta, antagonis


kalsium, dan digitalis yang bekerja di nodus AV untuk
menghentikan respons ventrikel.

OBATANTIARITMIA
Obat-obatan antiaritmia dibagi menjadi beberapa golongan

yaitu:

Klas L yang berfungsi memblokade kanal Na pada


membran sel sehingga menurunkan kecepatan maksimal
depolarisasi (Vmaks) pada fase 0, sehingga tidak terjadi
potensial aksi baru yang berarti mencegah timbulnya
ekstrasistol. Tergantung dari intensitasnya memblokade

1622

IqRDIOI.OGI

kanal Na tersebut, Klas I dibagi menjadi:

Klas IA. Kinetik kerjanya intermediate, memperpanjang


masa repolarisasi potensial aksi. Menurunkan Vmaks pada

Klas IV. Antagonis kalsium. Memperlambat kecepatan


konduksi dan memperpanjang masa refrakter dari jaringan
dengan potensial aksi yang slow respons misal di nodus

semua heart rate. Contoh: kuinidin, prokainamid,

AV. Contoh: verapamil, diltiazem. Golongan ini tidak

disopiramid.

bermanfaat pada Ventricular Arrhytmia (VA) kompleks.


Pada pasien dengan VT bila diberikan verapamil intravena

Klas

B. kinetik kerjanya cepat dan memperpendek

repolarisasi potensial aksi hanya ringan saja. Mempunyai


efek yang ringan terhadap kasus dengan h eart rate rcndah,
tetapi mempunyai efek lebih besar pada kasts detgan heart
rate inggi. Contoh: lidokain, meksiletin, fenitoin, tokainid.
Klas I C. kinetikkerjanyalambat danmempunyai efekkecil
terhadap repolarisasi potensial aksi. Contoh: Propafenon,

flekainid,lorkainid.
Pada penelitian-penelitian obat-obatan kelas I ini tidak
menunjukkan penurunan angka kematian secara signifikan
dibandingkan dengan kontrol. Bila diberikan pada pasien

dapat menyebabkan kolaps hemodinamik. Angka kematian


menunjukkan kenaikan tidak signifikan dibanding kontrol.
Karena itu tidak diberikan pada pasien dengan VT.
Digitalis dan Adenosin tidak termasuk golongan anti
aritmia. Efek Digitalis: memperlambat ventrTkular rate
sehingga dapat dipakai pada FA, FIAI dan atrial takikardia
lain.
Adenosin: menterminasi SYT reentrarzl yaitu AVNRT dan
bekerja di nodus AV.

usia lanjut dengan penyakit jantung sering terjadi


proaritmia.

Klas II. Obat anti simpatik: menurunkan otomatisasi nodus


SA, memperpanjang refrakter nodus AY menurunkan
kecepatan konduksi nodus AV. Golongan ini adalah
penyekat beta, misal propranolol dan lainnya. Pemberian
penyekat beta pada pasien pasca IMA menunjukkan
penurunan angka mortalitas secara signifikan, dengan
mencegah terjadinya suddent cardiac death dar, IMA
berulang. Golongan ini menurunkan kejadian terjadinya
Ventricular Activity (VA) complex termasuk VT.
Klas III. Golonganini memblokade kanal kalium sehingga
repolarisasi potensial aksi diperpanjang dan pada EKG
dapat dilihat dengan perpanjangan QT. Obat ini menekan

terjadinya VA kompleks, dengan memperlama periode


refrakter. Contoh: amiodaron, bretilium, sotalol (sebetulnya
termasuk golongan penyekat beta). Amiodaron sangat
efektif dalam menurunkan kejadian VA kompleks yang

berkaitan dengan penyakit jantung. Namun mesti


diperhatikan efek sampingnya yang antara lain terhadap
paru, saluran cerna dan lainlain.

ACEINHIBITOR
Pada pasien dengan gagal jantung kongestif menurut
beberapa penelitian golongan obat ini dapat menurunkan
kejadian VA kompleks termasuk VT, sehingga angka
suddent cardiac death juga akan menurun.

REFERENSI
ME, Zimetbaum P. The Tachyarrhytmias. In: Harrison's
Principle of Internal Medicine. Editor: Kasper, Braunwald, Fauci,

Josephson

Hauser, Longo, Jameson. l6'h. Ed. New York: McGraw

Hlll;2005.p. 1342-9.
Jossephson. Clinical Cardiac Electrophysiology. 2'd. Lea &
Fabiger; I 993

Khan
r

MIG Cardiac Drug Therapy. l" ed.London Bailliere Tindall;


984

255
ARITMIA VENTRIKEL
M. Yamin, Sjaharuddin Harun

reentry dan biasanya disebabkan oleh kelainan kronis

PENDAHULUAN

seperti infark miokard lama atau kardiomiopati dilatasi (di-

lated cardiomyopathy ). Jaringan parut (scar tissue) yang


terbentuk akibat infark miokard yang berbatasan dengan

Aritmia ventrikel memiliki spektrum yang luas mulai dari


premature ventricular contraction (PVC, dikenal juga
sebagai ventricular extrasystole atau VES), takikardia
ventrikel (selanjutnya disebut VT), fibrilasi ventrikel
(selanjutnya disebut VF), sampai torsades de poinres

jaringan sehat menjadi keadaan yang ideal untuk

fatal pada kelompok pasien tertentu (misalnya PVC frekuen


pada pasien pasca infark miokard dengan penurunan fungsi

terbentuknya sirkuit reentry. Bila sirkuit ini telah teibentuk


maka aritmia ventrikel reentrant dapat timbul setiap saat
dan menyebabkan kematian mendadak.
Triggered activity memiliki gambaran campuran dari
kedua mekanisme di atas. Mekanismenya adalah adanya
kebocoran ion positif ke dalam sel sehingga terjadi lonjakan

ventrikel kiri) karena dapat menimbulkan kematian

potensial pada akhir fase3 atau awal fase 4 dari aksi

mendadak.
Dalam tulisan ini akan diulas etiologi, gambaran EKG,
kepentingan klinis dan tatalaksana aritmia ventrikel yang

potensial jantung. Bila lonjakan ini cukup bermakna maka

(selanjutnya disebut TDP). Tantangan utama bagi klinisi


adalah mengindentihkasi aritmia ventrikel yang berpotensi

akan tercetus aksi potensial baru. Keadaan ini disebut


afterdepolarization.

sering dijumpai dalam praktek sehari hari yaitu PVC,


takikardi ventrikel. fibrilasi ventrikel. dan torsades de
pointes. Pembahasan lebih mendalam diberikan pada VT.

PREMATURE VENTRICULAR CONTRACTION


(PVC)
PVC timbul bila karena adanya fokus ektopik pada ventrikel
yang muncul lebih awai dari iramadasamya. PadaEKG akan
terlihat kompleks QRS yang lebar, terdapat perubahan
segmen ST-T sekunder, dan terdapat paase kompensasi
penth(fully compensatory pause) seperti pada Gambar 1.

ETIOLOGI DAN MEKANISME ABITMIA VENTRIKEL


Secara umum terdapat empat mekanisme terjadinya aritmia,
termasuk artimia ventrikel, y aitlu aut omat i c i ty, r e e nt r ant,
dan triggered activity.
Automatic ity terj adi karena adanya percepatan aktivitas
fase 4 dari potensial aksi jantung. Aritmia ventrikel karena
gangguan automaticity biasanya tercetus pada keadaan
akut dan kritis seperti infark miokard akut, gangguan
elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan tonus
adrenergik yang tinggi. Oleh karena itu bila berhadapan
dengan aritmia ventrikel karena gangguan automaticiry,
perlu dikoreksi faktor penyebab yang mendasarinya. Aritmia
ventrikel yang terjadi pada keadaan akut tidaklah memiliki
aspek prognostikjangka panjang yang penting.
Mekanisme aritmia ventrikel yang tersering adalah

Berdasarkan frekuensi dan bentuknya PVC dapat dibagi


menjadi:
. PVC Jaran g (infrequent): kurang dari lima kali per menit
. PVC Seing(frequenf): lebih dari lima kali per menit
. PVC Repetitif: bila muncul pada tiap denyutan (beat)
kedua dari irama dasar disebut PVC bigemini (gambar
2),blla timbul pada denyutan ketiga dari irama dasar
disebut PVC trigemini.
. PVC berkelompok: bila dua PVC muncul berkelompok
disebut PVC salvo.Bilatiga atau lebih PVC disebut VT
. PVC Multifokal: Bila bentuk PVC dalam satu sandapan

L!U.L

1624

I(ARDIOI,.OGI

bentuknya berlainan. Ini menandakan fokus ektopik


berasal lebih dari satu tempat

kematian mendadak yang tinggi. Kelompok pasren lnr


sebaiknya dirujuk untuk pemeriksaan elektrofisiogi untuk

Fenomena R on T: PVC muncul pada periode repolarisasi


ventrikel yang rentan untuk terjadinya VF yaitu pada

menentukan apakah perlu dipasarrg implanttable


c ardiov e rt e r defib rillato r (ICD).

down-slope gelombang T
Secara klinis PVC yang terjadi pada pasien dengan

TAKTKARDT VENTRTKEL (VT)


CompencatoryV5Non Compencatory
Pauses

Takikardi Ventrikel (untuk kemudahan selanjutnya disebut


adalah terdapat tiga atau leblh premature ventricular
contraction (PVC) atau yentricular extrasystoles (VES)
dengan laju lebih dai 120 kali per menit. Fokus takikardi
dapat berasal dari ventrikel (kiri atau kanan) atau akibat
dari proses reentry pada salah satu bagian dari berkas
cabang (bundle branch reentry VT1. Dai rekaman EKG
permukaan VT umumnya memberikan gambaran EKG

f---N6m-Ef---l

sinu"

I nnvt,.

VT)

TFiAmeiilE--

II

Ventricutar
Contraction

I rpvct

I
I
I

r-EEm;iil;---'l

I 3'i1i1"".""
I ipnq

dengan ciri kompleks QRS yang lebar (>0,12 detik). Namun


tidak semua takikardi dengan kompleks QRS lebar adalah
VT karena takikardi supraventrikel (SVZ) dengan konduksi

I
I

1
J

To measure a full compensatory

1 Tandai

2
3

3 siklus normal
Beri tanda gelombang P siklus EKG normal yang berada tepat sebelum
kompleks kontraksi premalur
Tanda gelombang P ke-3 harus jatuh tepat pada gelombang P
yang seharusnya seharusnya setelah kompleks prematur
disebut compensatory pause

Gambar 1. Rekaman EKG PVC dengan ciri kompleks QRS lebar


dan adanya fully compensatory pause yaitu interval antara
gelombang P irama dasar sebelum PVC dengan sesudah PVC
adalah dua kali interval P-P irama dasar (Dikutip dari
www.ekglearning com)

""; '

aberan atau dengan konduksi melalui jaras tambahan


(accessory pathway) juga akan memberikan gambaran
takikardi dengan komplek QRS lebar. Oleh karena itu
pengenalan VT menjadr penting dalam keadaan kegawatan
karena pemberian obat untuk SVT dapat membahayakan
pada pasien dengan VT. Pengenalan VT juga harus
mencakup identifikasi etiologi, sumber fokus, terapi, dan
prognosisnya. VT idiopatik misalnya, dapat diterapi secara

definitif dengan ablasi kateter.

sangat jarang menyebabkan

kematian mendadak, dan memiljki prognosis yang baik.

Sebaliknya VT iskemia (VT akibat penyakit jantung


koroner) memberikan risiko tinggi untuk terjadinya
;,

kematian mendadak(.sudden cardiac death) aktbat aritmia

fatal (VT yang berdegenerasi menjadi ventricular


fibrillation).

t'

Klasif ikasi
VT dapat dibagi menjadi monomorfik dan
polimodik. VT monomorf,rk memiliki kompleks QRS yang

VI

Secara umum

Gambar 2. PVC bigemini. Tampak PVC muncul secara bergantian

dengan denyut (beat) normal

sama pada tiap denyutan (beat) dan menandakan adanya

depolarisasi yang berulang dari tempat yang sama.


Umumya disebabkan oleh adanya fokus atau substrat

jantung normal tidak memiliki faktor prognostik yang


penting. Pada keadaan ini tidak diperlukan terapi. Bila
pasien merasa tidak nyaman dapat dlberikan minor
tranquilizer dan menghindarkan faktor yang memperberat
seperli kopi dan rokok. Bila gejala tidak berkurang dapat
diberikan obat penyekat beta.
Pada keadaan akut seperti infark miokard akut, terutama

PVC bigemini, multifokal, atau R on T, dapat diberikan


lidokain, prokainamid, atau amiodaron.
Bila PVC yang sering (frequent) muncul pada pasien
pasca infark dengan penurunan fungsi LV (fraksi ejeksi
<357o) atau kardiomiopati dilatasi, maka nilai prognostiknya
menjadi penting karena kelompok pasien ini memiliki risiko

aritmia yang mudah dieliminasi dengan teknik ablasi kateter.

Sedangkan

VT polimorfik ditandai dengan

adanya

kompleks QRS yang bervariasi (berubah) dan menunjukkan


adanya urutan depolarisasi yang berubah dari beberapa
tempat. Biasanya VT jenis ini berkaitan dengan jaringan
parrt (scar tissue) aklbat infark miokard (ischemic VT).
Bila VT berlangsung lebih dari 30 detik disebut sustained
dan sebaliknya bila kurang dari 30 detik disebut non-

sustained.
Berdasarkan etiologi VT dikelompokkan menjadi:

VTldiopatik(ldlopathic VTy.
- VT Idiopatik Alur Keluar Ventrikel Kanan (Right
Ventricular Oufflow Tract VT=RVOT W)

t625

AR.ITMIAVENTRIKEL

VT pada Kardiomiopati Dilatasi Non-Iskemia


- Bundle Branch Reentrant YT

..

VT Idiopatik Ventrikel Kiri (ldiopathic Lefi Ventricular VT'1

Dissociation), pada VT nodus sinus terus memberikan


impuls secara bebas tanpa ada hubungan dengan aktivitas
ventrikel (atrium dikontrol oleh nodus sinus dan ventrikel

dikontrol oleh fokus takikardi dengan laju lebih cepat)

Arrhttthmogenic Right Ventricular Dysplasia

sehingga gelombang P yang muncul tidak berkaitan dengan

(ARVD)

kompleks QRS (dikenal dengan AV dissociation) seperti


terlihat pada Gambar 3. Adanya disosiasi AV sangat khas
untuk VT walaupun adanya asosiasi (hubungan) AV belum
dapat menyingkirkan VT. Secara klinis disosiasi AV dapat
dikenal dengan adanya variasi bunyi jantung satu dan
variasi tekanan darah sistolik.

VTiskemia(lschemicW)

Diagnosis Takikardia Ventrikel


Diagnosis VT didasarkan pada gambaran berikut ini:

Durasi dan morfologi kompleks QRS, pada VT urutan


aktivasi tidak mengikuti arah konduksi normal (terganggu)
sehingga bentuk kompleks QRS akan kacau dan durasi
kompleks QRS menjadi panjang (biasanya lebih dari 0,12
detik). Pedoman umum yang berlaku adalah semakin lebar
kornpleks QRS semakin besar kemungkinannya suatu Vl
khususnya bila lebih dari 0,16 detik. Pengecualian adalah
VT yang berasal dari fasikel posterior berkas cabang kiri

(idiopathic left venricular tachycardia) yang memiliki


kompleks QRS kurang dari 0, 12 detik karena pada VT jenis
ini lokasi reentry dekat dengan septum interventrikel seperti
konduksi normal.
Morfologi kompleks QRS bergantung pada asal fokus
VT. Bila berasal dari ventrikel kanan akan memberikan
gambaran morfologi blok berkas cabang kiri (leJi bundle
branch block morphology) dan jika berasal dari ventrikel
kiri akan menunjukkan gambaran blok berkas cabang kanan
(right bundle branch block morphology). Kalat morfologi
QRS adalah RBBB maka takikardi adalah VT j ika morfologi
kompleks QRS adalah monomorfik atau bifasik (QR atau
RS). Jika morfologi QRS adalah LBBB maka akan
menguatkan diagnosis VT jika adanya talok (notching)
gelombang S atau nadir S yang lambat (>70 milidetik).

Laju dan irama,laju (rate)YT berkisar antara 120-300 kali


per menit dengan irama yang teratur atau hampir teratur
(variasi antar denyut adalah <0,04 detik). Jika takikardi
disertai irama yang tidak teratur (irreguLar) maka harus
dipikirkan adanya AF dengan konduksi aberan atau preeksitasi.

Aksis kompleks QRS, aksis kompleks QRS tidak hanya


penting untuk diagnosis tapi juga untuk menentukan asal
fokus. Adanya perubahan aksis lebih dari 40 derajat baik
ke kiri maupun ke kanan umumnya adalah VT. Kompleks
QRS pada sandapan aVR berada pada posisi -210 derajat
dengm kompleks QRS negatif. Bila kompleks QRS menjadi
positif saat takikardi sangat menyokong adanya VT yang
berasal dari apeks mengarah ke bagian basal ventrikel. Aksis
ke superior pada takikardi QRS lebar dengan morfologi
RBBB sangat menyokong kearah VT. Adanya takikardia
QRS lebar dengan aksis inferior dan morfologi LBBB
mendukung adanya VT yang berasal dai right venticular
outflo*- tract.
Dissosiasi antara atrium dan ventrikel (Atrio -Ventricular

Gambar 3. Gambaran disosiasi AV pada idiopathic left ventricular tachycardia Perhatikan sandapan ll dan terlihat gelombang P
di depan kompleks QFIS ke-3, ke-6, ke-8, ke-15, ke-21

,danke-24

(tanda panah) yang tidak berkaitan dengan kompleks QRS yang


mengikutinya.

Capture beat dan Fusion beat, Kadang-kadang

berlangsungnya

saat

VT, impuls dari atrium dapat

mendepolarisasi ventrikel melalui sistem konduksi normal


sehingga memunculkan kompleks QRS yang lebih awal

dengan ukuran normal (sempit). Keadaan ini disebut


capture beat (Gambar 3). Fusion beat terjadt bila impuls
dari nodus sinus dihantarkan ke ventrikel melalui nodus
atrioventrikel (nodus AV) dan bergabung dengan impuls
dari ventrikel. Jadi ventrikel sebagian didepolarisasi dari
nodus sinus dan sebagian dari ventrikel sehingga kompleks
QRS berbentuk antara kompleks normal dan VT (Gambar
4). Capture danfusion beat jarang ditemukan dan sangat
khas untuk VT walaupun tidak adanya mereka bukan belarti

VT dapat disingkirkan.

Konfigurasi kompleks QRS, adanya concordance


(kesesuaian) dari kornpleks QRS pada sandapan dada
sangat menyokong diagnosis VT. Kesesuaian positif (posltive c'oncordance) kompleks QRS pada sandapan dada
dominan positif menunjukkan asal fokus takikardi dari
dinding posterior ventrikel. Kesesuaian negatif (ne gativ e
concctrdonce) kompleks QRS pada sandapan dada dominan

negatif menunjukkan asal fokus dari dinding anterior


ventrikel. Kedua gambaran tersebut dapat dilihat pada
Gambar5.

1626

I(ARDIOLOGI

Kriteria untuk diagnosis VT yang telah dibahas tadi,


tidak selalu didapatkan dan tidak jarang hanya satu atau

Kompleks RS tak ditemukan


pada semua sandapan prekordial?

dua kriteria saja yang ditemukan. Oleh karena itu Brugada

membuat kriteria pendekatan yang sederhana seperli yang


terlihat pada Gambar 6. Pedoman tersebut lebih mudah
dan praktis untuk di pakai dalam praktek sehari-hari.
Selain rekaman EKG, anamnesis, pemeriksaan fisik, data
penunjang lainnya (foto toraks, dan ekokardiografi) dapat

Pertanyaan selanjutnya

membantu. Pada pasien yang pernah mengalami infark


miokard dengan gangguan fungsi ventrikel misalnya, maka

lnterval R ke S >100 ms pada satu


sandapan prekordial?

diagnosis VT lebih diutamakan bila pasien tersebut


mendapat takikardi dengan kompleks QRS lebar. Penting
diingat untuk selalu membuat EKG lengkap l2 sandapan
saat dan sesudah takikardi.

Pertanyaan selanjutnya

Pertanvaan selan

Kriteria Morfologi for VT


ditemukan pada
sandapan prekordialVl-2 dan VG

Gambar 4. Pada sadapan ll, kompleks QRS ke-2,


menunjukkan capture beat

dengan

ke-9, irri

-16

irri kompleks sempit dan muncul

lebih awal dari seharusnya. Fusion beat terlihat pada kompleks


ORS ke-7

Gambar 6. Kriteria Brugada untuk diagnosis VT (Dikutip dari


Ci rcu lation 1 99 1 83 : 1 649-59)
;

v3

v4

v5

V6

DIAGNOSIS BANDING
Tidak semua takikardi dengan kompleks QRS lebar adalah
VT meskipun l07o takikardi jenis ini adalah VT.
Takikardi dengan kompleks QRS lebar bisa terjadi pada:

Takikardia supraventrikel (SVT) dengan konduksi


aberan, pada keadaan SVT biasa maka konduksi dari atrium

ke ventrikel melalui jalur konduksi normal sehingga

.-J
v5

\,f6

kompleks QRS akan normal. Namun secara lisiologis dapat


terjadi hambatan (blok) pada salah satu berkas cabang (kiri
atau kanan) karena adanya perbedaan masa refrakter di
antara keduanya. Kedaan ini disebut konduksi aberan
(aberrant conduction). Katena adanya hambatan berkas
cabang maka kompleks QRS akan lebar seperti keadaan

LBBB

atau

RBBB biasa.

Takikardia supraventrikel (SVT) dengan konduksi


Gambar 5. A. Menunjukkan kesesuaian negatif (negative
concordance) dan gambar B menunjukkan kesesuaian positif
(positive concordance)

melalui jaras tambahan (accessory p&thway), Bila terdapat


jaras tambahan yang memintas jalur konduksi normal dari

t627

ARITMIAVENTRIKEL

atrium ke ventrikel, maka pada saat takikardi supraventrikel


(SVT), ventrikel diaktivasi tidak melalui jalur konduksi normal sehingga ventrikel mengalami aktivasi dini (preeksitasi).
Akibatnya kompleks QRS akan terlihat lebar.

Thkikardia supraventrikel (SVT) pada keadaan hambatan


trerkas cabang yang sudah ada, bila pada keadaan irarna
sinus sudah terdapat gambaran hambatan berkas cabang
(kiri ataukanan) makasaattimbul SVTkompleks QRS akan
terlihat lebar seperli pada keadaan sinus. Oleh karena itu
sangat penting untuk membandingkan EKG sebelum
dengan pada saat takikardia.

Gambar 7.

ldiopatik dari BVOT. Rekaman EKG memperlihatkan

takikardi dengan kompleks QHS lebar, morfologi left bundle


branch block (LBBB) pada V1, aksis kompleks QRS normal.

KEPENTINGAN KLINIS TAKIKARDIA VENTBIKEL

Takikardia Ventrikel ldiopatik


Dijumpai pada pasien

den-qan

jantung normal (tidak ada

kelainan struktural). Urnumnya VT tidak berbahaya, tidak

rnengganggu hemodinamik. dan tidak menyebabkan


kematian mendadak (.suddent c'ardiac death). Namun bila
VT timbul dengan laju yang cepat dapat menyebabkan

sinkop. Karena disebabkan oleh fokus ektopik yang


terbatas pada satu lokasi maka umumnya sangat mudah
dihilangkan dengan cara ablasi kateter.

dengan ablasi kateter (Gambar 8). Keberhasilan tindakan


ini berkisar 70-857c dengan angka komplikasi yang rendah
(misalnya perforasi).
Diagnosis banding VT tipe ini adalah jenis VT lainnya.
Hanya saja perlu diperhatikan jenis VT yang paling mirip
dengan VT ini yaitut Arhytmogenic Right Ventricular

DyspLasia (ARVD). Pebedaannya adalah pada ARVD


didapatkan adanya infiltrasi lemak pada ventrikel kanan
(terdapat kelainan struktural).

VT Idiopatik dari Ventrikel Kiri (Idiopathic left

VT Idiopatik alur keluar ventrikel kanan (right


ventricular outflow tract YI), fbkus VT berasal dari RVOT
dan jenis VT ini merupakan90Tc dari VT idiopatik. Pasien
umumnya adalah perempuan muda. VT dapat dicetuskan
oleh ketegangan, emosi, dan aktivitas fisik. Manifestasi
klinis jenis ini dapat berupa VT yang dicetuskan oleh latihan
(exerci.sed-induced W) atau VT monornorfikyang berulang
(repetitive monomorphic VT) yatg timbul saat istirahat.
Pada beberapa pasien kerap dijumpai dalam bentuk prematLtre ventricular contractiorz (PVC) bigemini atauYT nonsu,stained yang simptomatik dan mengganggu. Pemeriksaan

ekokardiografi dan angiografi koroner biasanya normal.


Gambaran elektrokardiogram EKG) menunjukkan suatu
takikardi dengan kompleks QRS lebar. morfologi kompleks
QRS le, bundle branch block (LBBB) pada sandapan V 1 ,

Gambar 8. Ablasi kateter pada BVOT VT dari berbagai posisi.


ABL (kateter ablasi) yang ditempatkan pada RVOT. RVA adalah
kateter yang ditempatkan di apeks ventrikel kanan.

dengan aksis kompleks QRS ke arah inferior (right axis


deviation) atau normal (Gambar 7).

ventricular tqchycardia=ILVZ), istilah lain untuk VT jenis


ini adalah takikardia fasikular karena adanya proses

Umumnya VT jenis ini disebabkan oleh proses


otomatisasi, triggerecl activitl', dan takikardi dengan
perantaraan siklik-AMP yang dirangsang oleh sistem saraf
adrenergik dan sensitif terhadap peningkatan kalsium
intrasel. Oleh karena itu dapat diberikan pengobatan

reentry pada fasikel anterior dan posterior sebagai


penyebab takikardi. Ada tiga sub-kelompok pada VT ini
yaitu kelompok yang sensitif terhadap verapamrl (verapamil

dengan obat penyekat kalsium (calcium channel blocker)


seperti verapamil. Sedangkan pada VT jenis lain obat ini
adalah kontraindikasi. Karena salah satu jenis VT ini
dicetuskan oleh latihan (.exercise induced) maka obat

sensitive). Yang terbanyak adalah kelompok sensitif


terhadap verapamil. VT jenis ini umumnya diderita oleh
pria usia muda. Pada rekaman EKG permukaan terlihat

penyekat beta (betablocker )juga efektif. Dapat diberikan


metoprolol sampai dosis optimal 2 x 100 mg per hari. Bila
pasien tetap berge.jala maka dapat diberikan terapi definitif

sensitive), sensitif terhadap adenosin (adenosine


sensitive), dan sensitif terhadap propanolol (propanolol

takikardi dengan morfologi kompleks QRS berbentuk blok


berkas cabang kanan (RBBB), dengan aksis superior
(gambar 2). Kompleks QRS tidak begitu lebar karena fokus

takikardi dekat dengan septum (lokasi jaringan konduksi

1628

I(AR"DIOLOiGI

normal). Takikardia ini sering dikelirukan dengan SVT


karena kompleks QRS tidak terlalu lebar dan sensitif
terhadap verapamil sehingga dapat diterminasi dengan

Takikardia Ventrikel lskemia


VT iskemia disebabkan oleh penyakit jantung

verapamil seperti umumnya SVT.


Pada pasien yang simptomatik dapat diberikan terapi
obat-obatan. Bila gagal dapat dilakukan eliminasi dengan
ablasi kateter dengan angka keberhasilan rata-rata 87o/a.
Ablasi kateter juga diindikasikan pada pasien yang tidak
ingin minum obat dalam jangka waktu lama.

sangat penting karena dapat menyebabkan kematian


jantung mendadak. VT iskemia teljadi karena adanya
reentt)) akibat adanya jaringan parut di sekitar jaringan

Takikardia Ventrikel pada Kardiomiopati


Dilatasi Non-iskemia
Bundle branch reentrant yentricular tachycardia, YT
jenis ini (Gambar 9) drtemukan sekitar 407o padapasien
kardiorriopati dilatasi i di opatik (non-i skemi a) dan 6Vo d:ati

seluruh jenis VT yang dirujuk ke laboratorium


elektrofisiologi. Secara klinis VT jenis ini bersifat berbahaya
sehingga menyebabkan sinkop atau henti jantung. Pada
EKG biasanya ditandai oleh kornpleks QRS dengan
modologi blok berkas cabang kiri (LBBB).Takikardi dapat
dihilangkan dengan melakukan ablasi kateter pada berkas

cabang kanan tapi kesintasan pasien menurun karena


adanya disfungsi ventrikel kiri sebagai penyerta.

Bundle branch reentry VT

295

AA

HlrlEi

Gambar 9. Mekanisme dan gambaran EKG permukaan dan


intrakardiak pada bundle branch reentry Vf

koroner

seperli infark miokard akut. Secara prognostik VT jenis ini

sehat. Secara umum, semakin luas jaringan infark semakin


besar peluang terjadinya reentry-. VT iskemia cenderung
bersifat fatal karena dapat berdegenerasi menjadi fibrilasi

ventlikel dan kematian mendadak. Prediktor kematian


jantung mendadak adalah adanya riwayat serangan
jantung sebelumnya, penurunan fungsi ventrikel kiri (fraksi
ej eksi <407o), dan adany a 7) r etnat u r e v e nt r i c ul ar c o n.t r ac tion yang sering.
Terapi VT iskemia pada umumnya adalah dengan obatobatan. Sedangkan ablasi kateter pada VT iskemia belum
memberikan hasil yang memadai.

TATALAKSANA UMUM

Tatalaksana pada Keadaan Akut


Bila keadaan hemodinamik stabil. terminasi VT dilakukan
dengan pemberian obat-obatan secara intravena seperti
amoidaron, lidokaine, dan prokainamid. Dua obat yang
pertama tersedia di Indonesia. Amiodaron dan prokainamid
lebih unggul dibandingkan dengan lidokain.
Amiodaron dapat diberikan dengan dosis pembebanan
(loercling dose) 15 mg/menit diberikan dalam 10 menit dan
diikuti dengan infus kontinu 1mg/menit selama 6 jam , dan
dosis pemeliharaan 0,5 mg/menit dalam I 8 jam benkutnya.
Bila gagal dengan obat, dilakukan kardioversi elektrik yang
dapat dimular dengan energi rendah ( I 0joule dan 50joule).
Dalam tatalaksana akut perlu dicari faktor penyebab
yang dapat dikoreksi seperti iskemia, gangguan elektrolit,
hipotensi, dan asidosis.
Bila keadaan hemodinamik tidak stabil (hipotensi, syok,
angina, gagal jantung, dan gejala hipoperfusi otak) maka
pilihan pertama adalah kardioversi elektrik.

Arrhythmo ge nic right v entricular dy splasia (ARVD ),


kelainan ini sangatjarang, biasanya diderita oleh kelompok
usia muda, di mana terdapat infiltrasi lemak dan jaringan
parut pada miokard ventrikel kanan. Karakteristik VT adalah
kompleks QRS dengan morfologi blok berkas
Cabang kiri (LBBB). Tatalaksana VT jenis ini hampir
sama dengan VT iskemia dengan peran ICD (implanttabLe
cardioverter defibrillator ) yang efektif untuk mencegah
kematian jantung mendadak (suddent cardiac death').
Terapi pembedahan dengan mengisolasi daerah yang
displastik ternyata tidak efektif karena timbulnya gagal

jantung kanan.

Tatalaksana Jangka Panjang


Tujuan terapi jangka panjang adalah mencegah kematian
mendadak. Pada pasien dengan YT non-sustained dan
bergejala dapat diberikan obat penyekat beta. Bila tidak
efektif dapat diberikan sotalol atau amiodaron.
Pada pasien dengan riwayat infark miokard akut dan
penurunan fungsi ventrikel kiri (fiaksi ejeksi <35%),
terdapat VT yang dapat dicetuskan dan tidak dapat
dihilangkan dengan obat, maka ICD lebih unggul dalam

menurunkan mortalitas (The Multicenter Autonratic


rillato r TricLl=MADIT). Untuk pencegahan sekunder
kematian mendadak (pasien yang berhasil diselamatkan
dari aritmia fatal) pada pasien pasca infhlk miokard dengan

D efib

r629

ARITMIAVENTRIKEL

penurunan fungsi ventrikel kiri, ICD telah terbukti lebih


unggul daripada amiodaron.

FTBRtLASt VENTRIKEL (VF)


Fibrilasi ventrikel (VF) rnerupakan keadaan terrriinal dari

aritmia ventrikel yang ditandai oleh kompleks QRS,


gelombang P, dan segrnen ST yang tidak beraturan dan
sulit dikenali (.clis'organized) seperti pada Gambar 10. VF
merupakan pen)/ebab utama kematian mendadak.
Penyebab utama VF adalah infark miokard akut, blok

AV total dengan respons ventrikel sangat lambat,


gangguan elektrolit (hrpokalemia dan hiperkalemia),
asidosis berat, dan hipoksia. Salah satu penyebab VF
primer yang sering pada orang dengan jantung normal
adalah sindrom Brugada. Pada keadaan ini terjadi kelainan
genetik pada gen yan-s mengatur kzrnal natlium (SCN-5A1
sehingga tercetus VF primer. Angka kejadiannya ringgi
pada populasi Asia dan kelompok laki-laki usia muda. Pada
E,KG permukaan saat irama sinus ditemukan adanya
gambaran R.BBB inkomplit dengan elevasi segmen ST di
sandapan V | -V3.
VF akan rnenyebabkan tidak adanya curah jantung
sehingga pasien dapat pingsan dan mengalami henti
napas dalam hitungan detik. VF kasar (.coarse V[)

ini baru terjadi dan lebih besar


peluangnya untuk diterminasi dengan defibrilasi.
Sedangkan VF halus (fine VF) sulit dibedakan dengan
asistol dan biasanya sulit diterminasi. Penanganan VF
menunjukkan aritmia

harus cepat dengan protokol resusitasi kardiopulmonal


yang baku meliputi pemberian unsynchronized DC shack
mulai 200 J sarnpai 360 J dan obat-obatan seperti adrenalin,
amiodaron, dan magnesium sulfat.

TORSADES DE POTNTES (TDP)


Istilah TDP (dalam bahasa Perancis berarti berputar-putar
mengelilingi satu titik) adalah suatu bentuk takikardi
ventrikel yang ditandai oleh perubahan bentuk dan arah
(aksis) kompleks QRS dalam satu beberapa denyutan
(beot') seperti pada Gambar ll.
Penyebab tersering TDP adalah adanya pemanjangan

interval QT akibat pengaruh obat-obatan antiaritmia


(misalnya amiodaron, sotalol, dan flekainid), dan penyakit
sindrom QT panjang(long QT syndrr,tmeJ, bradikardia berat,
dan sindrom Brugada.
Tatalaksana TDP adalah pemberian magnesium sulfat,
pernasangan pacu jantung sementara (pada keadaaan
bradikardia), dan obat penyekat beta.

Gambar

11 .

Rekaman EKG TDP dengan karateristik kompleks QRS

yang berubah bentuk dan arah dalam beberapa denyutan Pada


denyut awal sebelum TDP terlihat adanya pemanjangan interval
OT

REFERENSI
Brugada P. Brugada J, Mont L, et al. A new tLpproach to the dif'feren-

tial diagnosis oI regular tachycardia with wide QRS complex


Circulation 199 I ;83 : I 649--59)
Davrs DW. Catheter ablation of ventricular tachycardia: are there
limits? Heart 2000:84:585-6
Edhouse J and Nlorris . Broad complex tachycardia part t. BMJ

324:719-22

Fibrilasi Ventrikular

Edhouse J and Morris F. Broad cornplex tachycardia part

II.

BMJ

321:116-9
Farzanh A, Lerman BB. Idiopathic outflow tract ventricular
t:rchycardia Heart 2005;91 :1 36-8

RN Electrophysiologic testing. 3rd Ed. Blackwell Science,


1999
Huszar RJ. Basic dysrhythmias: interpretation and management 7th
Ed, Mosby, 2002
Fogoros

Denyut
lanrung

Ritme

Gelombang P

300-600

Sangat
iregular

Tidak ada

lnterval PR

ORS
(dalam detik)

Fib

rilasi

Gambar 10. Contoh gambaran EKG VF. Tampak gambaran


kompleks QRS yang sangat tidak beraturan dan tidak terlihat

gelombang P dan segmen ST yang jelas. (Dikutip dari


www ekglearning.com)

Lemola K, Brunckhorst C, Helfenstein U, et al. Predictors of


adverse outcome in patients with arrhythmogenic right
ventricular dl,splasia/cardiomyopathy: long-term experience of
a tertiary centre Heart 2005;91 1167-72
Miles WM and Mitrani RL Ablation of idiopathic lelt ventricular
tachycardia, nght ventricuiar outflow tract tachycardia, and
bundle branch reentry tachycardia. ln: Singer I (Ed).
Interventional electrophysiology.2'd Ed, Lippincort Willi.rms
& Wilkins. 2002
Morgan JM Patients wi[h ventricu]ar arrythmias: whotr should be
ref'erred to an electrophysiolgist? Heart 2002;88:-544-550
SLevenson

WG and Delacretaz

Radiofrequency catheter ablation

of ventricular tachycardia Heart

2000;84:-553-9

266
BRADIKARDIA
M. Yamin, A. Muin Rachman

PENDAHULUAN
Bradikardia merupakan temuan klinis yan-t kerap dijumpai

dalam praktek sehari-hari. Secara elektrokatdiografi


manifestasinya dapat berupa sinus bradikardia, ,srrrut
aruest, atau hambatan konduksi di nodus atrioventrikular

(atrioven/tcular node=AV node)). Karena bradikardia


dapat menurunkan curah jantung maka gejala yang
dirasakan pasien berka-itan gejala hipoperfusi seperti

atrium kiri rnelalui Boclmtan's bundle, dilaniutkan ke nodus AV, His bundle, berkas cabang kanan dan kir-i, serabut
Purkinje, dan berakhir di miokard. Secara ringkas dapat
dilihat pada Gambar 1. Nodus ,{V mendapatkan pasokan
darah dari arteri desenden posterior yang merupakan
cabang dari arteri koroner kananpadaS0To populasi. Maka

infark miokard inferior paling sering menimbulkan


komplikasi gangguan hantaran pada nodus AV (blok AV).

pusing, lemas. hampir pingsan (necir syncope), pingsarr

(syncope), dan kadang-kadang dapat menyebabkan


kematian. Namun sering bradikardia tidak memberikan
gej ala samasekali

(asimptomatik).

Secara umum bradikardia disebabkan oleh kegagalarl

pembentukan impuls oleh nodus sinoatrial (sinoatrial


node=SA node) atar kegagalan penghantaran (konduksi)
impuls dari nodus SA ke ventrikel (hambatan pada AV
akr-rrat akan memberikan
arah terapi dan penentuan prognosis yang tepat.
Dalam tulisan ini akan diuraikan etiologi, patofisiologi,
gambaran klinis, dan tatalaksana kel ainan i ni..

node).Idefiifikasi penyebab yang

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Nodus SA adalah pembangkit impuls alamiah pada sistem

Gambar 1. Sistem konduksi (hantaran) jantung

konduksi jantung dengan laju 60-100 kali per menit.

normal

Struktur ini terletak di atrium kanan pada pertemuan vena

Nodus SA dan nodus AV dipengaruhi oleh sistem


persarafan simpatis dan parasimpatis. Rangsangan

kava superior dengan atrium kanan. nodus SA


mendapatkan pasokan darah dari arteri nodus SA yang
merupakan cabang dari arteri koroner kanan (pada 657o
populasi) atau cabang dari arteri koroner sirkumfleks (pada
25Ea populasi). Oleh karena itu infark miokard inferior
(biasanya akibat stenosis di arteri koroner kanan) bisa
disertai komplikasi bradikardia.
Selanjutnya impuls diteruskan ke atrium kanan dan ke

simpatis akan meningkatkan otomatisasi dan konduksi

nodus SA dan nodus AV. Sebaliknya rangsangan


parasimpatis menekan otomatisasi nodus SA dan
menurunkan kecepatan konduksi nodus AV. Jadi dalam
menilai keadaan bradikardia faktor sistem persarafan ini
harus dipertimbangkan.

1630

1631

BRADII(ARDI,A

Pe

n,vebab bradikardi a adalah sebagai berikut:

diulang seperlunya. Bila tidak membaik atau SB cenderung


berulang maka harus dipasang pacu jantung sementara
(temporary pacing').

Penyebab lntrinsik

l.

2.
3.
4.
5.

Proses degeneratif (penuaan)


Inf'eksi atau iskemia

QRS

infil tratif (amiloidosis, sarkoidosis)


Penyakit kolagen (SLE, reumatoid artritis)
Trauma bedah (penggantian katup, koreksi penyakit
jantung bawaan)
Peny akrt

PT

Sinus bradycardia

ORS

Penyebab Ekstrinsik

l.

Obat-obatan (penyekat beta, digoksin, antiarjtmia)

2.
3.
4.
5.
6.

Hipotiroid

Sinus bradycardia with sinus rrhylhmia

PT

Gangguan elektrolit
Hipotermia
Kelainan neurologis

Sinus bradvcardia

Gangguan saraf otonom (sinkop neurokardiogenik,


hipersensitif sinus karotis)

] ORS

pT

Sinus bradycardia

GAMBARAN KLINIS DAN TATALAKSANA

Gambar 2. Bekaman EKG sinus bradikardia dengan laju kurang


dari 60 kali/menit, jarak antar kompleks QRS teratur, dan interval

Secara klinis bradikardia dapat ditemukan dalam bentuk

PR konstan.

sinus bradikardia, sindrom sinus sakit (sict

slnr.r.s

syndronte). dan ganggauan hantaran pada nodus AV (blok


AV).

Sindrom Sinus Sakit (Sick Sinus Syndrome)


Gangguan atau penyakit pada nodus SA merupakan
penyebab bradikardia tersering. Sindrom sinus sakrt (SSS)

Sinus Bradikardia

adalah gangguan fungsi nodus SA yang disertai gejala.

Sinus bradikardia (SB) biasanya disebabkan stimulasi

SSS. Gambaran EKG dapat berupa sinus bradikardi


persisten tanpa pengaruh obat, sinus arrest atat sinus
exit block, AF (atrial fibrillasi) respons lambat, atau suatu
braditakikardia yang bergantian (Gambar 3).
Penanganan SSS tergantung pada irama dasarnya.

vagal yang berlebihan dan atau penurunan tonus simpatis.


Penyebab tersering lainnya adalah pengauuh obat-obatan.
SB asimptomatik kerap dij umpai pada atlit terlatih. SB juga
dapat terjadi saat muntah atau sinkop vasovagal, operasi
mata, peningkatan tekanan intrakranial, tumor servikal, dan
hipoksia berat.
Gambaran EKG (Gambar 2) SB adalah bila laju nadi

kurang dari 60 kali/menit dengan bentuk gelombang P

Umumnya diperlukan pemasangan pacu jantung permanen


(Gambar 4). Pada keadaan braditakikardia diperlukan
kombinasi obat antiaritmia dan pacu jantung permanen
(PPM).

normal di depan setiap kompleks QRS dan interval PR yang


tetap (konstan).

Umumnya SB tidak berbahaya bahkan kadang-kadang


bermanfaat untuk memperpanjang waktu pengisian ventrikel.
Pada infark miokard akut dapat terjadi SB dan bila tidak
disertai gangguan hemodinamik umumnya tidak memerlukan
terapi khusus. Yang terpenting adalah memastikan hubungan
antara gejala dengan bradikardia. Hal ini dapat dilakukan
dengan pemantauan irama jantung 24 jam (holter monitor-

ing), event recorder (perekam irama jantung yang dapat


diaktifkan setiap saat ada gejala), dan loop recorder (alaI
perekam irama jantung yang ditanam di bawah kulit)

Tatalaksana SB tidak diperlukan bila tidak terdapat


gejala dan gangguan hemodinamik. Dalam keadaan infark
miokard akut dan disertai gangguan hemodinamik dapat
diberikan sulfas atropin (SA) 0,5 mg intravena dan dapar

Gambar 3. Rekaman irama jantung 24 jam (Holter monitoring)


dari seorang pasien dengan gambaran SSS Terlihat episode AF
dengan sinus arrest saat terminasi AF (bradyiachyarrhythmia)

t632

I(ARDIOLOGI

pemanjangan interval PR yang progresif sebelum


terjadinya hambatan total (Gambar 6). Lokasi kelainan ini
biasanya di tingkat nodus AV. Sedangkan pada tipe Mobizt

Ii terdapat hambatan impuls dari atrium yang intermiten di


mana impuls dari atrium tiba-tiba tidak dapat dihantarkan

ke ventrikel (Gambar 7').Pada tipe ini lokasi hambatan


adalah infranodal (pada sistem His-Purkinje). Gejala yang

muncul sangat bergantung pada besarnya laju ventrikel.


Jarang biokAV derajat 2 menimbulkan gejala.

gambar 5. Rekaman EKG pad blok AV derajat 1. Semua


gelombang dapat diteruskan ke ventrikel dengan waktu hantaran
lebih panjang (interval PR=0,32 detik)

Gambar 4. Pasien pasca operasi bedah pintas koroner yang


mencierita SSS dan menjalani pemasangan pacu jantung
permanen kamar ganda (dual chamber pacemaker). Terlihat juga
electrode wire paat jantung sementara yang berwarna hitam

terang

Hambatan Atrioventrikular {Atrioventricular


Block)
Hambattrn atrioventrikuiet' (blok AV) kerap menjadi
penyebab bradikardia meskipun lebih j arang dibandr

Gambar 6. Pada blok AV derajat 2 tipe Wenckebach terllhat


pemanjangan interval secara progressif (dari 0,16 detik menjadi
0,24 detlk pada gelombang P pertama dan kedua) dan gelombang
P ketiga tidak dapat dihantarkan (blok)

lri
"a-

.-,:lr-*.U

Lf

-i +:*:-

i_.--

gkan

dengan kelainan fr-rngsi nodus SA. Penyebab tersering


blok AV adalah obat-obatan, p-r:oses degeneratif, penyakit

Blok AV derajat 2 tipe Mobizt ll. Tampak hambatan


hantaran impuls dari atrium ke ventrikel yang intermiten

Gambar

janlung koroner, clan efek samping tindakan operasi


jantung. Gejala yang ditimbLrlkan satna sepetli gejala akibat
bradikardi lainnya yaitu pusing, lemas, harnpir pingsan,

pingsan, dan kadang-kadang kernatian rnendadak.


Keputusan apakah perlu pentasangan pacu jantung atau
tidak ditentukan oleh tiga hal: pefiama adalah gejala, kedua
adalah lokasi hambatan (blok). dan ketiga adalah derajat
hambatirn tersebut. Gangguan ini dibagi r-r,enjadi btok AV
derajat l. blokAV derajat 2, dan blokAV derajat 3 (total)'
1, blokAV derajat 1 bila semua impuls dari
atrium dapat dihantarkirn ke 'n entrikel dengan waktu hantaran
yang lebih lama (pada EKG interval PR> 0,20 detik seperti
pada gambar 5). Kelainannya biasanya pada tingkat nodus
AV dan jarang pada sistem His-Purkinje. Karena semua
impuls dari atrium ciapat dihantarkan ke ventrikel maka tidak

BlokAV derajat

menimbulkan gejala.

Blok AV derajat 3 (complete heart block)' bila hantaran


impuls dari atrium samasekali tidak dapat mencapai ventrikel
disebut blok AV deraj at 3 (blok AV total). Pada keadaan ini

laju ventrikel tergantung pada pqcentaker cadangan


(subsidiary pacenmker) yang mengambil alih. Bila lokasi
hambatan berada di AV Node maka laju ventrikel biasanya
cukup untuk mempertahankan curah jantung. Namun bila
lokasi hambatan berada di bawah nodus AV (infranodal)
kerap menimbulkan gangguan hemodinamik karena lajunya
sangat pelan (< 40 kali per menit)

Karena pada blok AV total atriutn dan ventrikel


dikendalikan oleh pacemaker yarrg berbeda dan tidak
berkaitan maka pada EKG permukaan akan terlihat
gambaran disosiasi atrioventrikuler (AV dissociation).
Contoh disosiasi AV dapat dilihat pada Gambar 7'

dari atrium dapat dihantarkan melalui nodus AV dan sistem


His-Purkinj e ke ventrikel.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah


satu pertimbangan keputusan apakah perlu pemasangan
pacu jantung permanen adalah lokasi hambatan (blok).

Berdasarkan rekaman EKG kelainan ini dapat


dikelompokkan menjadi tipe Mobizt I (tipe Wenckebach)
dan tipe Mobizt II. Pada tipe Mobizt I terdapat

Kompleks QRS yang lebar dengan laju 20-40 kali per menit
menunj ukkan lokasi hamb ata:n infrano dol' Sedangkan

Blok AV derajat 2,pada keadaan ini tidak semua impuls

Rekaman EKG permukaan dapat membantu hal ini.

1633

BRADII(ARDIA

kompleks QRS yang normal (sempit) dengan laju sekitar


40-60 kali per menit menandakan lokasi hambatan pada

KESlMPULAN

nodus AV.
Karena nodus AV dipersarafi oleh sistem saraf otonom
(terutama parasimpatis) yang dominan sedangkan jaringan
infranodal (sistem His-Purkinje) tidak, maka manuver yang
merangsang atau menghambat sistem saraf tersebut dapat
dipakai untuk menentukan lokasi gangguan hantaran. Jika
lokasi hambatan ada di nodus AV maka atropin atau latihan
fisik akan mengurangi atau bahkan menghilangkan blok.
Sebaliknyajika lokasi gangguan hantaran ada di infranodal,
maka pemberian atropin atau latihan fisik tidak akan

Bradikardia adalah gejala klinis yang kerap didapatkan


dalam praktek sehari-hari. Pengaruh obat-obatan dan
proses degeneratif merupakan penyebab bradikardia
tersering. Gangguan fungsi nodus SA adalah jenis
bradikardi yang paling banyak dijumpai, terutama pada
orang tua. Sedangkan blok AV lebih jarang didapat.
Penyebab blok AV tersering selain proses degenaratif
adalah infark miokard akut dan proses pembedahan.

mengurangi blok bahkan kadang-kadang dapat

Pengenalan etiologi, patofisiologi, dan gambaran EKG yang


baik akan mempermudah diagnosis etiologi dan tatalaksana

memperburuk. Umumnya blok infranodal menimbulkan

yang baik.Umumnya bradikardi yang bergejala, apapun


sebabnya, memerlukan terapi definitif yaitu pemasangan

gejala yang bermakna sehingga memerlukan pemasangan

pacu Jantung permanen.

pacu Jantung permanen.

Umumnya blok AV derajat 1 tidak memerlukan terapi


PPM kecuali pada pemeriksaan elektrofisiologi didapatkan
interval HV (dari Ills ke ventrikel) >100 milidetik. Untuk

blok AV derajat 2 apapun tipe dan lokasi gangguan


memerlukan PPM jika bergejala (simptomatik). Pada blok
AV derajat 3 indikasi PPM adalah:
. Bila disertai bradikardi yang simptomatik
. Bila disertai pause >3 detik atau laju ventrikel <40 kali
per menit pada saat terjaga, walaupun tidak bergejala
. Blok AV pasca pernbedahan yang diperkirakan tidak
dapat pulih kembali
. Pasca ablasi nodus AV
ftid-Degree

AV B ock

(CompeieAV block)

REFERENSI
Fogoros

RN Electrophysiologic

testing.

3rd Ed, Blackwelt

Sclence,

t999
Gold MR Permanent pacing:new indications Heart 2001;86 355
60
Huszar RJ. Basic dysrhythmias: interpretation and managernent 7t'
Ed, Mosby, 2002.
Magrum JM and DiMarco JP The evaluation and management of
bradycardia N Eng J Med 2005;10:703-9
Moses HW, Miller BD, Moulton KP, et al Practical guide to cardiac
pacing 5'h Ed. Lippincott Williams, 2000.
Munawar M, Yuniadi Y, Yamin M (Eds). Minicourse on arrhythmia,
16'h Weekend Course on Cardiology, 2004
Olgin JE and Zipes DP Specific arrhythmias: diagnosis and treatment In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a
textbook of cardiovascular medicine 7'h Ed. Elsevier Saunders.
2005.

Rowlands DJ. Understanding the electrocardiogram. Imperial


Chemicals Industries. 1987.

Simmons JD, Chakko SC, Myerburg RJ. Arrhythmias and


conduction disturbances. In: O'Rourke RA, Fuster Y Alexander
RW, et al (Eds). The heart manual of cardiology. 11'h Ed, Mc
Graw Hill. 2005.

Gambar 8. Disosiasi atrioventrikuler pada blok AV derajat 3


(complete heart block\ Pada gambar paling atas terlihat laju
atrium (gelombang P) adalah 80 x/menit sedangkan laju ventrikel
(kompleks QRS) sekitar 30x/menit lni menunjukkan pacemaker
cadangan yang mengambil alih adalah ventrikel karena lajunya di

bawah 40 x/menit dan kompkes QBS lebar (>0,12 detik) Dari


gambaran ini dapat pula ditentukan bahwa lokasi hambatan adalah
inf ranodal

257
I(ARDIOVERSI
M. Yamin, A. Muin Rachman

INDIKASI KARDIOVERSI

PENDAHULUAN

Fibrilasi ventrikel
Takikardia ventrikel, bila pengobatan medikamentosa
yang adekuat tidak berhasil menghentikan takikardia
tersebut atau pasien dengan keadaan hemodinamik
yang buruk.
Takikardia supraventrikular yang tidak bisa dihentikan
dengan pemberian obat-obatan atau keadaan

Kardioversi ialah suatu tindakan elektif atau emergensi


untuk mengobati takiaritrnia di mana diberikan aliran listrik,
biasanya dengan energi yang rendah dan disinkronkan
dengan gelombang R, di mana aliran listrik diberikan pada
puncak gelombang R. Kardioversi secara elektrik dilakukan
dengan DC (direct current) counter shockyang synchronized.

Direct current(DC) counter shock ialah impuls listrik


energi tinggi yang diberikan melalui dada (ke jantung)
untuk waktu yang singkat. DC countershock dilakukan
dengan alat defibrilator.

MEKANISME KERJA KARDIOVERSI

hemodinamik yang buruk


Fibrilasi atrial yang tidak bisa dikonversi menjadi irama
sinus dengan obat-obatan.
Fluter atial yang tidak bisa dikonversi menjadi irama
sinus dengan obat-obatan.

PERSIAPAN KARDIOVERSI

Pada kardioversi diberikan aliranlistrik ke miokardium pada

puncak gelombang R. Hal

ini menyebabkan terjadinya

depolarisasi seluruh miokardium, dan masa refrakter

memanjang, sehingga dapat menghambat dan


menghentikan terjadinya re-entry, dan memungkinkan
nodus sinus mengambil alih irama jantung menjadi irama
sinus. Pada fibrilasi ventrikel sftock listrik menyebabkan
hiperpolarisasi membran sel sehingga fibrilasi dapat
dihentikan dan kembali ke irama sinus. Kardioversi elektrik
paling efektif dalam menghentikan takikardia karena
re-entry, seperti fluter atrial, fibrilasi atrial, takikardia nodal
AY, reciprocating tachycardia kareta sindrom Wolff
Parkinson Wite (WPW), takikardia ventrikel. Takiaritmia
dapat juga karena pembentukan impuls (automaticity)
yang bertambah seperti pada parasistol atau takikardia
ideoventrikular. Gangguan irama seperti itu tidak perlu
dilakukan kardioversi listrik karena akan kembali lagi dalam
waktu singkat.

Antikoagulan
Pada fibrilasi atrial kronik perlu diberikan antikoagulan
seperti koumadin selama dua minggu sebelum tindakan,

untuk menghindari terjadinya emboli sistemik. Bentuk


takikardia yang lain tidak membutuhkan antikoagulan.
Pada fibrilasi ventrikel, DC kardioversi harus segera
dilakukan, disertai dengan pemberian pernapasan buatan
dart. massage

kardiak, jadi merupakan bagian dari

resusitasi jantung paru

Anestesia
Perlu diberikan obat anestesia karena prosedur
DC defibrilasi menimbulkan rasa sakit yang cukup
berat. Obat anestesi diberikan secara intravena,
biasanya golongan barbiturat kerja pendek atau
fentanil.

1634

1635

I(ARDTOVERSI

Jumlah Energi untuk Kardioversi


Jumlah energi yang dibutuhkan biasanya dimulai rendah,
lalu dapat dinaikkan tergantung macamnya takikardia. Pada

fluter atrial biasanya cukup 25-50 Joule. Takikardia


supraventrikular membutuhkan energi sebesar 50-100
Joule, sedangkan fibrilasi atrial dan takikardia ventrikular
membutuhkan 100-200 Joule. Pada henti jantung (cardiac
aruest) dengan fibrilasi ventrikel energi yang dibutuhkan
200-400 Joule.

HASIL
Kardioversi dapat mengembalikan irama sinus sampai 957o,
tergantung tipe takiaritrnia. Tetapi kadang-kadang gangguan

0 bulan. Oleh karena itu


mempertahankan irama sinus perlu diperhatikan dengan
memperbaiki kelainan jantung yang ada dan memberikan
obat anti-aritrnia yang sesuai. Bila irama sinus sudah kembali
maka atrium kiri dapat mengecil dan kapasitas fungsionil
akan menjadi lebih baik.
irama timbul lagi kurang dan

PROSEDUR KARDIOVERSI LISTRIK

KOMPLIKASI
Sebelum dilakukan tindakan kardioversi secara elektif,
dilakukan pemeriksaan fisis yang menyeluruh dan
pemeriksaan EKG lengkap. Pasien sebaiknya dalam
keadaan puasa selama 6-12 jamdan tidak ada tanda-tanda
intoksikasi obat seperti digitalis. Pasien juga dipantau
tekanan darah, iramajantung dan saturasi oksigen dengan
pulse oxymeten Setelah diberikan obat sedatif secara
intravena.
P addle pertama dibei j elly secukupnya dan diletakkan
di dada bagian depan sedikit sebelah kanan sternum di
sela i ga III, p addl e kedua setelah diberi j e lly diletakkan di
sebelah kiri apeks kordis; alat defibrilator dinyalakan dan

dipilih tingkat energi yang ditentukan, alat untuk


sinkronisasi gelombang R juga dinyalakan lalu kedua
paddle diberi tekanan yang cukup dan alat dinyalakan
dengan energi yang dibutuhkan, misalnya untuk fluter
dimulai dengan 50 Joule sedangkan untuk fibrilasi atrial
dimulai 100 Joule dan untuk fibrilasi ventrikel diberikan
energi 200 Joule. Bila belum berhasil dinaikkan menjadi
300 Joule sampai 400 Joule. Pasien yang menderita
cardiac arrest paling sedikit harus dicoba 3 kali, sebagai
awal tindakan resusitasi. Pemberian shock listrlk yang
disinkronkan pada komplek QRS atau pada puncak
gelombang R, biasanya dipakai pada semua kardioversi
secara elektifkecuali pada fibrilasi ventrikel atau fluter atau
takikardia ventrikel yang sangat cepat dan keadaan
hemodinamik pasien kurang baik. Pada waktu dilakukan
shock biasanya terjadi spasme otot dada dan juga otot
lengan.

Aritmia dapat timbul sesudah kardioversi secara listrik


karena sinkronisasi terhadap gelombang R tidak cukup
sehingga shock listrik terjadi pada segmen ST atau
gelombang T dan dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel
(dalam hal ini dapat dilakukan DC countershock sekali lagi).
Juga dapat timbul bradiaritmia atau asistol sehingga perlu

disiapkan obat atropin dan pacu jantung sementara.


Peristiwa homboemboli dilaporkan ted adi I -37o pada pasien
fibrilasi atrial kronik yang dikonversi menjadi irama sinus,
oleh karena itu pada pasien dengan hbrilasi atrial yang sudah
lebih dari 23 han sebaiknya diberi antikoagulan selama 2
minggu sebelum dilakukan tindakan kardioversi, Hal ini
terutama untukpasien dengan stenosis mitral dengan atrium
kiri yang membesar dan terjadi fibrilasi atrial yang baru.

REFERENSI
Ewy GA:Optimal technique forelectrical cardioversion of atrial
fibrillation. Circulation 7986:1645-7
Prystowsky EN, Benson W, Fuster Vet al : Managements of patients

with atrial fibrillation. Circulation 1993:1262-7'7


Kerber RE.Transthoradc cardioversion and defibrillation. In : Zipes
DR Jaliffe J, editors. Cardiac Electrophysiology: From the Cell
to Bedside, :3'd ed, Philadelphia: WBSaunders; 2000
Kerber RE. Transthoracic cardioversion of atrial fibrillation and
flutter: Standard technique and new advances. Am J Cardiol
1996;78:22

Wacott GP, Knisley SB, Zhou x, et al: On the mechanism of


ventricular fibrillation. Pacing Clin Electrophysiol 1997 ;20(2pt
2):422.

258
PACU JANTUNG SEMENTARA
A. Muin Rachman

PENDAHULUAN

Di dalam jantung terdapat kelompok-kelompok sel yang


dapat mengeluarkan impuls listrik ke otot jantung untuk
merangsang terjadinya kontraksi dan denyut jantung. Bila
kelompok sel ini gagal atau membutuhkan waktu terlalu
lama untuk mengeluarkan impuls atau impuls yang
dikeluarkan abnormal atau terhambat hantarannya
sehingga tidak atau terlalu lambat menghasilkan denyut
jantung. maka harus ada alat yang dapat mengeluarkan
impuls listrik untuk menggantikannya. Alat ini disebut pacu
jantung buatan.
Pacu jantung buatan ini dibedakan menjadi 2 macam
berdasarkan lama pemakaiannya, yaitu yang dipakai hanya

untuk sementara waktu saja, disebut temporary pace


maker (TPM), dan yang dapat dipakai seterusnya/
menetap. disebut permanent pace maker (PPM). TPM
ditempatkan di luar badan pasien. sedangkan PPM yang
harus dipakai seumur hidup ditempatkan di dalam badan,
biasanya diletakkan di bawah kulit pada dinding dada (di
atas m. Pectoralis mayor) atpu perut.

Dewasa ini, teknik elektrcifisiologi pacu jantung


mengalami kemajuan pesat. lehingga kesulitan yang
ditimbulkan oleh pemakaian PPM diperkecil, sedangkan
indikasi penggunaannya diperluas, bahkan dipakai pula

sarana yang cukup untuk pemasangannya dan sangat tidak

praktis untuk menolong pasien yang mengalami henti


jantung. Zoll {1952), setelah mencobanya pada anjing,
dengan menggunakan elektroda yang ditempatkan secara
subkutan pada dinding dada, berhasil menolong pasien
sindrom Adam-Stokes. Sayangnya arus listrik yang dipakai
dengatcaraZoll inijauh lebih besar dibandingkan dengan
bila elektroda tersebut ditempatkan langsung pada jantung.

Karena itu pada pemakaian pacu jantung tetap,

elektroda sebaiknya ditempatkan langsung pada


endokardium ventrikel kanan melalui vena ( transv enous ).
Cara ini lebih praktis dan dapat dilakukan tanpa melakukan
operasi torakotomi.
Pacu jantung eksternal telah mengalami banyak
perubahan dan dapat dibuat dalam ukuran lebih kecil
sehingga dapat dibawa ke mana-mana oleh pasien. Akan
tetapi pada pacujantung transvenous, bahaya infeksi tetap
besar karena adanya hubungan langsung antara jantung
pasien dengan dunia luar {melalui elektroda) .Untuk
mengatasi hal tersebut, kemudian diusahakan pacu
jantung steril yang ditanam di bawah kulit.
Arrne Larson dari Swedia adalah orang pefiama yang
memakai pacu jantung steril yang ditanam dalam badannya
di bawah kulit oleh Elquist dan Senning. Sayang isi muatan
listrik pacu jantungnya tak dapat bertahan cukup lama
meskipun dapat diisi lagi (rechargeable).

sebagai pengontrol takiaritmia.

Pada tahun 1960, Chardack, Gege dan Greatbach


mencoba menanamkan pacu jantung yang memakai baterai

ini

akhirnya

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMAKAIAN PACU

agar dapat bertahan lebih lama. Metode

JANTUNG

merupakan cara yang lazim dipakai sampai sekarang.


Pacu jantung berkembang pesat sekali dalam waktu 20
tahun ini, sepefii terlihat pada perubahan-perubahannya.

Percobaan untuk memacu jantung dengan arus listrik telah


dimulai sejak tahun 1935 oleh Hyman dan kemudian oleh

Di

samping yang menyangkut elektrodanya. juga

perubahan mengenai bentuk atau ukuran serta sistem


sirkuit listrik dalam alat pacujantung itu.

Callaghan dan Bigelow tahun 1951. Peneliti-peneliti ini


menggunakan elektroda yang ditanamkan langsung pada
jantung { epikardium/miokardium) sehingga memerlukan

Di Indonesia pada f.ahur. 1.912, pacu


1636

jantung

t637

PACU JAI\TUNG SEMENTARA

transvenous permanen pertama kali ditanamkan oleh


Nurhay dkk pada seorang perempuan yang mendeita sick
sinus syndrome (SSS) .Kemudian pada tahun yang sama
di Surabaya ditanamkan pacu jantung memakai elektroda
epikardial pada seorang anak. Setelah itu semakin banyak

penggunaan pacu jantung tetap pada pasien di

PULSEGENERATOR

Indonesia. Di antaranya terdapat juga pasien yang memakai


pacu jantung yang dapat diatur beberapa parameternya

Transthoracic pacing, penempatan elektroda melalui

dinding dada, dengan cara pungsi langsung ataupun


operasl.

Pacu jantung mungkin hanya dipakai untuk sementara

Ada pulse generator yanghanya ditempatkan di luar badan


(eksternal) yang biasanya dipakai pada TPM; tapi ada juga
yang ditanam dalam badan (implantted), yaitu pada pacu
jantung permanen (PPNI).
Di samping untuk mengeluarkan impuls (stimulator),
pulse generator jluga mempunyai unit untuk mendeteksi
impuls yang dikeluarkan oleh jantung (sensor) baik yang
berasal dari atrium (P) maupun dari ventrikel (QRS). Impuls
dari pulse generator yang memacu jantung dikeluarkan
berdasarkan kerja sama antara unit sensor dan stimulator

(TPM) untuk mengatasi gangguan yang biasanya

tersebut.

dari luar (programmable).

Akhirnya pada bulan Januari 1984, Santoso dkk


memasang pacu jantung fisiologis (dual demand) yang
pertama di Indonesia.

MACAM.MACAM PACU JANTUNG

berlangsung tidak lama. TPM ini dapat dibiarkan ter?asang


untuk waktu kurang dari 30 hari. Setelah itu elektrodanya
harus diangkat dan kalau perlu diganti dengan elektroda
yang lebih permanen. Pacu jantung yang dipakai lebih lama
atau mungkin selamanya, adalah pacu jantung perrnanen
(PPM) .Di samping itu masih dikenal pembagian bermacammacam pacu jantung dengan berbagai klasifikasi.

Berdasarkan cara pengeluaran impuls dari pulse


generator itu (modus), terdapat bermacam-macam pacu
jantung, misalnya: pacujantung asynchronous yaitu pacu
jantung yang mengeluarkan impuls secara tetap ke jantung
menurut frekuensi tertentu (fixed rate), tidak bergantung
pada ada atau tidaknya impuls jantung itu sendiri. Apabila
jantung mengeluarkan impulsnya juga, dan mungkin saja
impuls dari pulse generator tersebut jatuh pada fase
bahaya (vulnerable periode) sehingga dapat timbul aritmia

ELEKTRODA

berat.
Pacu jantung synchronous ialah pacu jantung yang

Seperti diketahui pacu jantung terdiri atas dua bagian


penting, yaitu sumber listriknya (pulse generator) dan
elektroda yaitu penghubung antara sumber listrik dengan
j antung (endokardium, epikardium atau miokardium).
Ada dua macam elektroda yaitu unipolar dan bipolar.
Pada yang unipolar, elektroda di dalam jantung hanya ada
l, yaitu kutub negatif (katoda). Ssedangkan elektroda
indiferennya bipolar, di dalam jmttng ada 2elektroda, yaitu
bagian distal katoda (negatifl dan sedikit di proksimalnya

mengeluarkan impuls sesuai dengan impuls yang


dikeluarkan oleh atrium ( atrial synchronous ) atatt venrikel

terdapat anoda (positif).


Dengan demikian terdapat pacu jantung unipolar dan
bipolar. Ada beberapa keuntungan dan kerugian antara
keduanya, akan tetapi pacujantung bipolar dapat diubah
menjadi unipolar.
Penempatan elektroda dalam jantung dapat menentukan
pula jenis pacu jantung. Elektroda dapat ditempatkan pada
endokardium, epikardium atau miokardium dari:

pacu Jantung.

.
.
.

Atrium, disebut atrial pacing.


Ventrikel, disebut ventricular pacing.
Atrium dan ventrikel disebut atrio-ventricular pacing
( dual- chamber pacing ).
Sinus koronarius: coronary sinus pacing. Kemudian
dari cara penempatan elektroda berbeda yaitu: dalam
jantung juga disebut:

.
.

Trans venous pacing, penempatan elektroda melalui vena.

(ventricular synchronous). Bila impuls jantung tidak ada,


maka dengan sendirinyg pacu jantung iru mengeluarkan
impuls menurut frekuensi teftentu (fixed rate).
Pacu jantung on demand (stand by) ialah pacu jantung

yang mengeluarkan impuls ke ventrikel (ventricular


demand) atau atrium (atrial demand) apabila frekuensi
ventrikel atau atrium kurang dibandingkan frekuensi impuls

Dulu, elektroda untuk atrium hanya bisa ditanam di


epikardium atau miokardium. Sekarang, dengan kemajuan
teknologi, elektroda telah dapat dipasang di endokardium,
baikpadaventrikel maupun affium. Dengan demikian secara
transvenous telah dapat dipasang elektroda dalam atrium
dan ventrikel sekaligus sehingga atrium dan ventrikel
dapat disensor dan distimulasi.
Pulse generator-nya sendiri ada yang dapat diatur dari
luar untuk berb agu parametemy a (pro grammable ), seperti

frekuensi, voltase, sensitivitas, modus pacunya


(synchronous menjadi asynchronous dll), katup
elektrodanya (bipolar menjadi unipolar), interval AY masa
refrakter. Yang sederhana adalah hanya dapat diatur
frekuensi dan voltase sala (simple programmable), tetapi
ada pula yang lebih dai 2 parameternya dapat diatur

1638

I$RDIOI.OGI

(multipro grammable ). Mula-mula pengaturannya secara

invasif, tapi sekarang sudah dapat dilakukan dari luar


(noninvasif), bahkan dengan telemetri.
Pada pacu jantung yang digunakan untuk pengobatan
takikardia, bentuk impuls yang dikeluarkan berbeda dengan
pacu jantung yang biasa. Impuls yang dikeluarkan ada

yang berfrekuensi cepat dan sekaligus banyak (burst),


ada pula yang berfrekuensi biasa (normal) sehingga

terjadi
jantungnya
(misalnya
kompetisi dengan frekuensi
sendiri
berupa pacu jantung synchronous yang diletakkan magnit
di atasnya sehingga menjadi asynchronous),' dan ada lagi
pacu jantung dengan kemampuan scanning sampai
ditemukannya waktu yang tepat untuk mengeluarkan
impulsnya guna memutus siklus "reentty tachycardia"
jantung yang mengalami takikardia tersebut.
Dengan demikian terdapat bermacam-macam pacu
jantung bila ditinjau dari cara pengeluaran impulsnya
(modus) dan bagian jantung yang disensor/dipacunya.
Komisi istilah telah menyusun suatu cara untuk pemberian
nama pada pacu jantung tersebut menurut modusnya
dengan singkatan 5 huruf sebagai berikut.
Huruf pertama (I)
Bagian jantungnya
(Chamber-paceQ

disensor

Huruf kedua (II)


Bagian jantungnya dipacu
(Chamber-senseQ

V-ventrikel
A-atrium

V-ventrikel
A-atrium

D-double
S-single

D-double

Respons (mode
response)

of

Huruf keempat (IV)


Kemampuan pemrogram

VVI
Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel (V), sedangkan
sensor dari ventrikel (V), dan impuls dihambat oleh tanda
sensor (I). Bila ventrikel mengeluarkan impuls (QRS) maka
jantung tidak mengeluarkan impuls sampai wakru tertentu.
Bila dalam waktu tersebut QRS tak keluar lagi, makajantung
mengeluarkan impulsnya. Jadi ini suatu pacu janltngventricular demand. Sekarang banyak jenis pacu jantung ini
yang dapat diprogram secara sederhana misalnya VVI, P

dari Medtronic,Teletronic, Siemens dan lain-Iain; dan, juga

yang dapat diprogram multipel misalnya VVI, M dari


Medtronics.

WI

nya sama yaitu bergantung pada penempatan elektroda


atau ventrikel (VVD. Pacu jantung
chamber pacing (SSI). Contoh dari
Medtronic adalah SSI, M auu Spectrax SXT: SSI, T.
apakah di atrium

(AAI)

ini disebut single

P-simple

l-inhibitor

M-multi programmable
T-multi programmable
telemetri

O-one
R-reverse

telemetri.

Seperti WI mengenai atrium.


Pacu jantung
atau AAI sebetulnya pulse generator-

T-trigger
D-double

pacu jantung asynchronous. Di sini tidak dinyatakan


apakah pacu jantung ini dapat diprogram atau tidak; bila
hendak disebutkan maka harus ditambah satu huruf lagi:
VOO, O tak dapat diprogram
VOO, P dbpat diprogram sederhana (frekuensi/output).
VOO, M dapat diprogram lebih dari 2 parameternya
VOO, T dapat diprogram lebih dari 2 parametemya dengan

AAI

S-single

Huruf ketiga (III)

sensor: tidak ada (0), dan keluarnya impuls tak bergantung


ada sensor (0) .Pacu jantung ini mengeluarkan impuls ke
ventrikel, menurut frekuensi tertentu (fixed rate),jadi suatu

VAT

(V), sensor di
atrium (A), dan impuls dikeluarkan bila ada tanda dari
Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel

Huruf kelima (V)


Khususnya fungsi takiaritrnia (special tachyarrytmias

Bila ada impuls dari anium (gelombang P) maka


jantung mengeluarkan impulsnya ke ventrikel setelah
selang waktu tertentu (sesuai P-R interval). Bila tidak ada
gelombang P maka picu jantung mengeluarkan impuls ke
venrikel secara spontan. Jadi suatu pacu jarfiung atrial
synchonous. Contoh pacu jantung demikian adalah Omni
Stanicor (Cordis) dan Siemens 625.
sensor (T).

function)

pacu

B-burst

N-normal rate
competition
S-scanning

E-external

Jadi suatu pacu jantung menurut cdra kerjanya disebut


dengan sekurang-kurangnya 3 huruf, dapatjuga 4 atat 5
huruf. Setelah huruf ke 3, diberikan tanda koma (,) baru

dilanjutkan ke 4 dan 5.

CONTOH:

DVI
Pacu jantung dengan impuls ke atrium dan ventrikel (Ddouble), sensor di ventrikel (V), dan impuls dihambat bila
ada tanda sensor (I). Bila ventrikel mengeluarkan impuls,
maka pacu jantung tak mengeluarkan impuls. Bila tak ada

impuls dari ventrikel maka pacu jantung mengeluarkan


impuls ke atrium dan ventrikel dengan interval sama dengan

voo
Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel

M,

sedang

interval PR yang normal. Suatu pacu jantung dual


demand (A-Y sequential);.tak disebut apakah program-

1639

PACUJANTUNGSEMENTARA

mable atalu tidak. Contoh pacu jantung demikian adalah


Medtronic; Byrel dan Versatrax. Versatrax adalah suatu
pacu jantung multiprogrammable: DVI, M. Pacu iantung

intermiten diikuti dengan: takikardia/bradikardia

ini dapat dipakai untuk mengontrol takikardia

automatisitas iantung, atau adanya asistol 3 detik atau


lebih. Keadaan ini mungkin pula diikuti adanya atrial

supraventrikular paroksimal dengan cara kompetisi; jadi


dalam hal ini adalah suatu .DVI, MN (N = normnl rate
competition).

VDD
Pacu jantung dengan impuls ke ventrikel (V), sensor di
atrium dan ventrikel (D), sedangkan impuls bisa dihambat
atau dikeluarkan bila ada tanda dari sensor (D) , jadi bisa

bekerja seperti VVI atau VAT. Contoh pacu jantung


demikian adalah Medtronic: Enertrax. Pacu jantung ini
multi programmable, iadi suatu VDD, M.

simtomatis, atau gagal jantung, atau keadaan-keadaan

yang memerlukan pemakaian obat yang menekan

.
.

BlokbifasikulardenganblokA-V intermiten derajat3

alternatiflain).
Sindromkarotishipersensitif.
Sinkop berulang yang timbul spontan ataupun dengan

rangsangan karotis atau pasien yang menunjukkan


asistol selama 3 detik atau lebih pada rangsangan
karotisminimal.

Keadaan !l

BlokA-V derajat3 atau2tipr', 112 asimamais, peflrvmen


atau intermiten, dengan frekuensi ventrikel 40lmenit

Contoh pacu jantung demikian adalah Medtronic:


Versatrax; Cordis: Sequicor dan Biotronic: Di plos.

INDIKASI PEMAKAIAN PACU JANTUNG

atau menetap. Pada keadaan akut yang belum pasti


biasanya dipasang dulu TPM, sedang pada keadaan
tertentu yang sudah pasti, langsung dipasang PPM. TPM
dapat juga dipasang tidak untuk langsung dipakai,
melainkan hanya untuk persiapan kalau-kalau ternyata

sering anterior).

'

DDD

Seperti telah disebutkan di atas, pacujantung dapat dipakai


sementara (TPM, kurang dari 30 hari) atau menetap (PPM)
bergantung pada gangguan yang timbul apakah sementara

ata:u detajat
3 yang persisten sesudah infark jantung akut (paling

atau derajat 2tipe2, dengan gejala-gejala.


Dysfungsi A-V node (SSS) dengan bradikardia
simtomatis (tanpa/dengan terapi dan tak ada obat

Pacu jantung dengan impuls ke atrium dan ventrikel (D),

sensor di atrium dan ventrikel (D) dan impuls dihambat


atau dikeluarkan bila ada tanda dari sensor (D) sesuai
dengan kebutuhan. Dengan demikian pacu jantung ini
berfungsi sebagai AAI, WI dan VAT. Selain itu dapat pula
berfungsi sebagai DVI, VDD. Jelas bahwa pacu jantung
ifimultiprogrammable,jadi suatu DDD, M. Pacu jantung
ini disebut juga pacu jantung universal.

flutter parorysmal.
Blok A-V derajat 2 yangberat (advanced)

atau lebih.

Blok A-V deraiat I menetap dengan BBB yang baru


atau blok A-V derajat 2 berat (advanced) meski
sementara, diserlai BBB.

Blok biltri fasikular dengan sinkop tanpa sebab lain,


atau dengan blok A-V derajat 2 yang berat meski
asimtomatis.
Dysfungsi sinus node (SSS) spontan atau karena terapi
yang diperlukan, dengan HR kurang dari 40 kah lmentt,
simtomatis.
Pada sindrom karotis hipersensitif dengan sinkop yang
berulang walaupun adanya rangsangan karotis tak jelas.

Pada keadaan-keadaan

I jelas diperlukan

PPM,

sedangkan pada keadaan II biasanya diperlukan PPM,


meskipun adayang menganggap hanya diperlukan TPM,
selanjutnya bisa dilepas bila tetap stabil.

diperlukan (profilaksis).

Pemasangan pacu jantung dimaksudkan untuk


menghilangkan gejala klinis gangguan irama jantung,
seperti pusing-pusing sampai sinkop, berdebar sampai
meninggal mendadak atau dekompensasi jantung. Pacu
jantung sementara dipakaijuga untuk mengatasi keadaankeadaan sementara waktu anestesia umum, operasi
jantung, tindakan-tindakan jantung (kateterisasi, PTCA
dan lain-lain), waktu penggantian generator pacu jantung,
dan lain-lain.

Keadaan lll
Ada pula PPM yang dipakai sebagai defrbrilator automatis,
suatu alat menyerupai pacu jantung yang memantau irama
jantung dan bila tiba-tiba muncul takiaritrnia ventrikel atau
f,rbrilasi ventrikel maka alat ini akan mengeluarkan arus

listrik cukup besar dan berlaku sebagai defibrilator


internal untuk mengoreksinya.
Sampai dengan tahun 1990 di Sub-bagian Kardiologi

Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran

Keadaan yang memerlukan pemakaian pacujantung adalah:

Universitas Indonesia telah ditanamkan 187 pacu jantung


perrnanen pada 109 pasien. Di antara indikasi pemakaian

Keadaan I
Blok A-V derajat 3 atau derajat 2 permanen

PPM pada pasien-pasien tersebut, adalah (menurut urutan


terbanyak) sebagai berikut:

atau

1640

Gangguan hantaran pada 98 pasien: blokAV total.

Blok A V deraj at 2 detganbradikardia (simtomatik).


B ifas c ic ular block (simtomatis)
Sick sinus syndrome pada 89 pasien, satu pasien di
antaranya dengan gangguan hemodinamik sehingga
dipasang pacu jantung DDD, M.

I(ARDIOLOGI

Banyaknya macam pacu jantung menyebabkan


perlunya melakukan seleksi pasien dengan hati-hati, kalau

perlu secara elektrofisiologi supaya pasien tersebut


mendapat pacu jantung yang sesuai. Hal ini tjdak akan
dibicarakan lebihjauh di sini.
Gambar 1. Teknik pemasukan elektroda ke dalam vena

TEKNIK PEMASANGAN

Menempatkan elektroda ke dalam jantung dapat dilakukan


dengan cara:

B
C
D

Pungsi vena memakai jarum cukup besar sehingga guide wire dapal
masu k

Transtorakal

Guide wlre dimasukkan lalu jarum dikeluarkan dari guide wire


Dilator dimasukkan ke guide wrre diikuti oleh sheath
guide wire dan dilator dikeluarkan dari sheath dan elektroda dimasukkan

melalui shealh

Fungsi langsung melalui dinding dada ke dalamjantung,


kemudian elektroda dimasukkan melalui jarum pungsi
tersebut. Dahulu cara ini dipergunakan untuk menolong
pasien dalam keadaan gawat darurat, tetapi sekarang sudah

ditinggalkan.
Torakotomi, membuka dinding dada atau dari bawah
melal ui diafragma ditanamkan elektroda ke epikard/miokard

(prosedur operatif).

Transvenous, Melalui Pembuluh Vena


Elektroda didorong ke dalam jantung sampai mencapai
endokard atritm ( ap p endage) atau ventrikel kanan (apeks).

Vena yang biasanya dipakai adalah: v. Femoralis, v.


Subklavia, v. Brakhialis, v. Sefalika. v.Jugularis eksterna

lainlain. Pemasukan elektroda ke dalam vena dilakukan


dengan cara seperti terlihat pada gambar (Garnbar 1 dan
dan

2)

Pungsi langsung perkutan, biasanya melalui vena-vena


yang besar seperti v. Femoralis. v. Subklavia atau v.
Jugularis eksterna. Caranya sama seperti melakukan
kateterisasi jantung (v. Femoralis) atau memasang CVP.
Dengan sayatan pada vena kemudian dibuka sedikit

untuk memasukkan elektrodanya. Hal ini dilakukan


terutama pada vena-vena yang lebih kecil dan tak
mungkin dilakukan fungsi misalnya v. Brakialis, v.

Gambar 2. Teknik pemasangan elektroda ke dalam jantung

A,

Tempat untuk pungsi vena atau vena seksi

(E ), Garis titik-titik

menunjukkan jaannya elektroda yang didorong ke lantung dari tempattempat tersebut

B. PPM, Transvenous
C. Transtorakal

Seialika dan lain-lain.

Untuk pacu jantung tetap (PPM), biasanya dipakai v.


Sefalika atau v. Subklavia atau v. Jugularis ekstema kanan,
kadang-kadang kiri. Sedangkan untuk TPM biasanya paling mudah dipakai v. Femoralis, kadang-kadang dipakai v.
Brakialis atau v. Subklavia.
Harus diperhatikan bahwa apabila seorang pasien kira-

kira memerlukan PPM, maka sebaiknya pada TPM tak


dipakai vena-vena yang perlu untuk PPM, yaitu v.

Subklavia atau v. Sefalika kanan atau kiri. Karena itulah


sebaiknya pemasangan TPM dilakukan pada v. Femoralis
saJa.

Apabila elektroda telah masuk vena maka didorong


terus sampai masuk ke atrium kanan. Dari sini kemudian

diusahakan masuk RV dengan sedikit manipulasi


(memutar). Bila tidak dapat segera masuk, dibuat sedikit
lengkungan yang menghadap ke dinding luar atrium kanan,

L641

PACUJANTUNGSEMENTARA

lalu kemudian diputar sehingga lengkungan itu mengarah


ke katup trikuspid dan kemudian didorong masuk ke

KOMPLIKASI

ventrikel kanan. Elektroda ditempatkan pada apeks

Berbagai komplikasi dapat terjadi sehubungan dengan


pemakaian pacu jantung sementara atau tetap (TPM atau
PPM) ini. Komplikasi pada TPM tentu lebih sedikit
dibanding PPM, karena periode pemakaiannya yang
pendek dan prosedur pemasangannya sederhana,
sedangkan intervensj terhadap komplikasi pun mudah

ventrikel kanan.
Setelah diperkirakan posisi elektroda sudah baik,
dilakukan beberapa uji seperti EKG intra-kardiak (untuk
melihat adanya elevasi ST, pertanda bahwa elektroda
berkontak pada endokardium dengan baik, sedang
voltage QRS lebih dari 4,0 mV supaya mekanisme sensor
berjalan dengan baik), pengukuran ambang rangsang
(threshold), perubahan posisi pasien seperti batuk, tarik
nafas dalam dan sebagainya. Paling mudah ambang
rangsang dan voltase QRS diukur dengan alat PSA

(pacing system analyzer). Stimulasi dilakukan dengan


pulse width 0.5 ms dan voltase 5V dan frekuensi di atas
frekuensi jantung sendiri sehingga terlihat respons

dilakukan, meskipun sebetulnya TPM lebih sering


digunakan dalam keadaan darurat pada pasien-pasien
dengan keadaan yang lebih berat. Komplikasi yang
mungkin terjadi dapat digolongkan sebagai berikut:

Berhubungan dengan teknik operasi seperti:


perdarahan, infeksi, perforasi, pneumotoraks, post
c ardiotomy syndrome dll.
Berhubungan dengan pacu jantungnya.

ventrikel yang konsisten (bila tidak berarti posisi eletktroda

sama sekali tak baik). Kemudian voltase diturunkan


perlahan-lahan bertingkat sampai didapat voltase terendah
yang dapat memberikan respons ventrikel konsisten, bila

jaringan setempat oleh lengkungan stimulasi


diafragma atau dinding dada dan lain-lain.

dikurangi lagi sebagian respons ventrikel hilang. Inilah

ambang rangsang tersebut. Sebaiknya pada saat


permulaan ini ambang rangsang adalah 0,6 MA/0.3 volt
atau paling tidak kurang dari 1,0 volt. Berarti tahanan

elektroda sekitar 250 -1000 ohms. Bila tidak didapatkan


demikian maka posisi elektroda harus diperbaiki lagi/
dicarikan tempat yang baru.

MENANAM PULSE GENERATOR


Pulse generatorpaling sering ditanam di dinding dada

kanan, kadang-kadang

di kiri.

Pada prosedur

torakotomi, melalui diafragma, biasanya pulse generator ditanam di dinding pertt. Pulse generator ditanam
di antara jaringan kulit (subkutan) dan otot, bukan di
jaringan lemak bawah kulit, untuk mengurangi erosi.
Untuk dinding dada insisi transversal dilakukan di
daerah dada melengkung ke bawah, di bagian lateral ke

arah sulkus deltoideus pektoralis. Dengan insisi inilah


dicari v. Sefalika bila elektroda akan dimasukan melalui
vena lnl.
Di lapisan antara subkutan dan otot dibuat kantong

yang agak besar secara tumpul. Pulse generator


ditanamkan di dalam kantong ini, dengan tempat hubungan
elektroda dan pulse generator mengarah ke atas. Bila perlu

dilakukan fiksasi di dua tempat. Kemudian lengkungan

Elektroda: dislokasilmalposisi yang terjadi dini atau


lambat, fraktur, diskoneksi dengan pulse genera/o4 trombosis tromboemboli,erosi karena penekanan

Pulse generator: erosi. aritmia. gangguan


hemodinamik dan lainlain.
Sirkuit listrik pacu jantung, baik terjadr dengan
sendirinya atau karena lingkungan seperti tegangan
listrik yang tinggi atau medan magnit yang besar
dari luar. Kesulitan yang terjadi misalnya exit block
sehingga bisa timbul bradikardia sampai dengan
asistol, run away pacing dll. Meskipun generator
pacujantung telah diusahakan untuk terlindung dari
hal-hal tersebut, sedapat-dapatnya kontak dengan
tempat-tempat dihindarkan.

Dengan teknik operasi yang baik dan pemilihan pwlse


generator yalg sesuai. komplikasi dapat ditekan serendahrendahnya sehingga pemasangan pacu jantung betul-betul
merupakan prosedur yang aman.
Di Subbagian Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ternyata


terdapat komplikasi sebagai berikut:
. dislokasi diniI3Io
. dislokasi lambatjTo

.
.
.
.
.

stimulasidiafragma47o
infeksi37o
perdaruhan2Vo
erosi3%o

run away pacing baru terjadi pada 1 kasus (sampai


dengan rate 145/mefit).

elektroda diatur melewati bagian bawah pulse generator.


Setelah dilakukan irigasi dengan antibiotik, kantong
ditutup. Semua prosedur pemasangan pacu jantung
dilakukan dengan anestesi lokal, kecuali prosedur dengan
torakotomi, yang sudah jarang dilakukan pada saat ini.
Karena itu pemasangan pacu jantung sebetulnya hanya

Pemasangan pacu jantung melalui torakotomi baru


dilakukan dua kali, sedangkan pemasangan elekffoda dengan
pungsi perkutan pada vena subklavia baru akhir-akhir ini

suatu operasi kecil saja.

c ardi

dikembangkan sehingga komplikasi berat seperti posl


cardiotomy syndrome dan pneumotoraks belum pernah
ditemukan. Aritmia yang berat sepertt endless loop'tach1,a, dan p ac e make r sy ndr ome belum pemah ditemukan.

1642

I(ARDIOI.OGI

EVALUASI DAN PENGGANTIAN GENERATOR


Setelah pacu jantung ditanarn, perlu dievaluasi keadaan

pasien dan pacu jantungnya untuk mendeteksi


kemungkinan adanya komplikasi. Pasien dikembalikan ke

ruangan untuk pernantauan satu atau beberapa hari,


kemudian dilakukan mobilisasi dan akhirnya dipulangkan.
Satu minggu setelah dipulangkan, pasien harus kembali
untuk reevaluasi. Kemudian tiga bulan pertama. pasien
diperiksa ulang setiap bulan dan setelah itu bila temyata
tak ada kesulitan barulah observasi ditangguhkan menjadi
setiap 2 atau 3 atau 6 bulan.

Enam bulan sebeium usia pacu jantung (pulse


generator) habis (usia pacu jantung dinyatakan oleh
pabriknya). pasien diobservasi dengan ketat lagi" Evaluasi
ulangan dilakukan setiap bulan atau 2 minggu sekali, sampai

saatnya pacu jantung harus diganti.


Observasi yang ketat iuga dilakukan pada pasien yang
pada pemeriksaan EKG menunjukkan tanda-tanda tidak
efektifnya impuls pada jantung atau sensornya sehingga
timbul aritmia yang mungkin membahayakan"
Penggantian pacu jantung tidak didasarkan atas usia

pacu jantung yang disebutkan oleh pabriknya.


Penggantian dilakukan atas dasar evaluasi ulang
terhadap keadaan klinis pasien dan fungsi jantung
tersebut. Usia pacu jantung yang disebut oleh pabrik
hanya dipakai sebagai pegangan. Yang diganti hanyalah
sumber impuls (pulse generaror), sedangkan elektroda

atau lead tetap dipakai, dihubungkan dengan sumber


yang baru. Biasanya selalu sesuai hubungann),a dan
kalau diperlukan selalu ada adaptor untuk menyesuaikannya sehingga hubungan dengan elektroda mudah dan
baik.

frekuensi berkr.rrang l07o atat lebih, generator harus


segera diganti.

Parameter lain, untuk impuls yang dikeluarkan oleh


jantung, adalah terutama lebarnya impuls (pulse v,idth),
bentuk dan amplitudonya. Hal ini diperiksa dengan alat
khusus yang mempunyai osciloscope tntuk membuat
gambaran ot,ttput tmpuls tersebut,
Sekarang ada alat sederhana yang dapat digunakan
untuk memeriksa liekuensi dan lebarnya impuls pacu
jantung sekaligus. Untuk pasien-pasien yang jauh lebih
dari pusat-pusatpacu jantung dapat diperiksa EKG melalui
telpor ( transtelephon i c: ECG ).

PENGARUH LUAR TERHADAP PACU JANTUNG


Pacu jantung adalah suatu sirkuit listrik. Karena itu setiap

perubahan potensial

listrik atau gelombang elektro

magnetik dari luar dapat inempengaruhinya.

Pertarna-pertama, gangguan dapat timbui karer"a


miopotensial pada waktu kontraksi otot-otot dinding dada,
perut dan diafragma. Pacujantung yang diproduksi akhirakhir ini telah diusahakan untuk tidak begitu dipengaruhi
oleh miopotensial ini.

Kemudian gangguan dapat juga ditimbulkan

elektromagnit (EM) dari luar. Akan tetapi sebetulnya pacu


jantung sendiri begitu ditanamkan, dengan sendirinya ekan
terlindung dari pengaruh EM tersebut. Selain itu pacu
jantung yang diproduksi akhir-akhir ini juga telah dibuat
lebih kebal terhadap pengaruh EM dengan pelindung
elektronik dan kapsulasi metal dan pulse generator. Kalau
gelombang EM tersebut masuk juga ke dalam pacu jantung
maka pacu jantung tersebut berubah modusnya menjadi

Pada tiap-tiap evaluasi ulang biasanya dilihat:

ost,nchrortous sehingga tetap bekerja.

EKG, untuk melihat apakah impuls pacu jantung tetap efektif

Laporan-laporan tentang adanya gangguan yang


terjadi karena EM dari luar kebanyakan mengenai pacu

dengan tiekLrensi yang tetap sesuai dengan keadaan


pemasangall pertama. Untuk maksud ini kecepatan mesin
EKG harus tetap utuh 25 mm/detik.
Hal ini supaya tidak terdapat salah penafsiran bahwa
seolah-olah frekuensi impuls pacu jantung telah berubah.

jantung model lama atau pacu jantung eksternal.


Yang masih mungkin berpengaruh adalah:
. Sumber listrik yang berkekuatan besar, seperti yang

Selain itu, dapat diiihat adanya aritmia dan fungsi

mekanisme sensor pacu jantung. Bila yang ditanamkan


adalah pacu jantung synchronous maka adanya irnpuls
intrinsik dari jantung mungkin akan menyebabkan impuls
pacu jantung tidak keluar sehingga frekuensi impuls tidak

"

dapat dinilai.

Untuk mengeluarkan pacu jantung secara tetap, pacu


jantung synchronows tersebut harus diprogram menjadi
aswchronous atau diletakkan magnit di atasnya sehingga
ia rnenjadi asynchronous.
Dengan dernikian frekuensi dan stabilitas keluarnya
impuls dapat dilihat dengan baik. Hal ini merupakan indikasi
penting dari berkurangnya baterai pacu jantung. Bila
.

dipakai dalam industri.


Kauter bedah elektronik (electro .surgical cautery) yang
dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel. Kalau terpaksa
harus digunakan, usahakan letaknya sejauh mungkin
dari pulse generator atau elektroda./leadnya.
Alat-alat diatermi untuk fisioterapi dan defibrilator dapat
dipakai dengan aman, tetapi sebaiknya dijauhkan dari
elektroda/lead, sekurang-kurangnya 5 inci'

Pasien dengan PPM sebaiknya jangan menjalani


pemeriksaan MRL Listrik dan alat-alat elekfronik rumah

tangga yang berjalan normal, begitu pula kebanyahan


alat-alat listrik di rumah sakit dan alat keamanan di

lapangan terbang tak berpengaruh pasca pacu


Jantung.

t643

PACU JANTUNG SEMENIARA

REFERENSI
Dreifus LS and Brest AN (Eds) Pacemaker Therapy. Philadelphia
FA Davis Go. 1983.
Iittle Ford PO Method for the rapid and a traumatic insertion of
permanen endocardial pacemaker electrodes through the subclavian vein. Am Cardiol 1979: 43: 980.
Personet v dkk Implanttable cardiac pacemakers. Status report and
resource guideline Pacemaker Study Group. Girc 50. 1974
Supplll, A 21,
Mond HG and Sloman JG. The malfunctioning pacemaker system.
Pert L Pace la8l; -1:49.
Mirowski M. The automatic implanttable defibrillator. Am Heart J
1980: 1 DO: 1089.
:

259
ELEKTROFISIOLOGI
M. Yarnin, Sjaharuddin Harun, Lukman H. Makmun

EASAH SISTEM KONDUKSI DAN KELISTRIKAN

PENDAHULUAF{

JANTUNG
Elektlofisiologi adalah prosedur perleriksaan sistem listrik
jantung clengan tujLran utanra untnk mengetahui rlekanistne
clan terapi ariti'nia . Proscdur perneriksaan ini meliputi
peneulpatan katel-er dengan elektroda multipolar melalui
vena dan atau ai'teri pada beberapa tempat di dalam jantung

untuk pelekaman dan pemacuan. l)engan kata lain


diiakukan pelekaman dan pernacnan pada bagian lang
spcsitlk pada sistem listrik jantung nrisalnya atrium.
ventrikel, sinus koronarius clau Hi.t huntlle. Umumnya
perleriksaan elektrofisiologi dilan.iutlcan dengan prosedur
ablasi kateter yaitu suatu tindakan niemutus (terminasi)
sirkuit atau tbkus aritnria dengan rnenggLtnakan enr-rgi
gelorrrhang ( rttdi ofr e q ue nr'.t' ab i u t i rt i t).
Secara umurr ada tiga tu-iuan utanra pe rneri ksaan
elektroiisiologi yaitu menentukau jeris aritmia, rnemastikan
mekanisnre aritnria, dan memilih jenis terapi yang paling

Sistenr kelistlikan jantung bersumber dan dimulai dari


NodLrs Sinoatrial (NSA) 1'ang terletak di antara pertemuan
vena kava superior dan atrium kanan seperti yang terlihat
pada Gambar 1. Sinyal listrik kemudian disebarkan ke
seluruh atrium melalui nodus interatrial (anterior, media,
dan posterior) dan ke atrium kiri melalui bundle dari
Bachman. Di antara atrium dan ventrikel pada sulkus

atrioventrikular terdapat suatu struktur jaringan ikat


(.carrlinr: .skeleton) y'ang berfungsi sebagai tempat
melekatr.rya katup jantung. Secara elektris. komponen ini
bersifat sebagai penyekat (insulator) sehingga sinyal listrik

tadi tidak dapat lewat ke ventrikel kecuali melalui Nodus


Atrioventrikular (NAV). NAV terletak di atrium kanan pada
bagian bawah septlrm interatrial Saat memasuki NAV
impuls mengalami perlambatan yang tergambar sebagai

tepat untuk aritmia tersebut, termasuk ablasi


radioliekuensi. Jadi pemeriksaan elektrofi siologi umumnya

men.jadi satu kesatuan dengan prosedur terapi ablasi


ladiofiekuensi yang dikenal juga sebagai elektrofisiologi
intervensi. Bidang ini menjadi satu subspesialisasi
kaldiologi yang mengkhususkan pada terapi aritmia yang
kompleks dengan inl-eryensi kateter dan aiat-alat (devices).
Sebe:iur-n nremahami clektrofisiologi secara lebih baik
diperlukan penrahaman dasar tentang sistem listrik dan
konduksi jantung, dan mekanisme ter-jadinya gangguan
irama (aritrnia) baik [akiriritmia (ganggr"ran irama dengan
laju jantLrng yang cepat) rraupuu bradiiiritmia (gangguan
iranla dengan iaju jantung lanlbat). Selanjutnya akan

-,

supenorvena cava

2 intelof

the

suFror

3 rlghlal rum
4 in eL oI the nbior

dibalias cara, prinsip, dan indikasi pemeriksaan

6 lnleiorvensva

elektrofisiologi. Pada akhir dari trrlisan ini diulas pula secaril

ringkas peranxn terapi ablasi radiofrekuensi untuk

Gambar 1. Anatomi sistem konduksi jantung. Penjelasan terinci


lihat teks (Dikutip dari Huszan RJ. Basic dysrhythmias 71h Ed,
Mosby 2002)

beberapajenis aritmia yang kerap dijurnpai dalam praktek


sehari-hari

Lefl anterior [ascLcle

- Righ b!ndie branch

"

1644

t64s

FI FKIROFISIOIOGI

interval PR pada EKG permukaan. Selanjutnya impuls


masuk ke bundle His, yang metupakan bagian pangkal

0 (depolarisasi cepat) terjadi pembukaan


kanal natrium cepat (rapid sodium channel) sehingga

(proksimat) dari sistem His-Purkinje yang bersifat

terjadi pergerakan ion natrium dari luar sel ke dalam sel


dan membuat potensiai trans membran meniadi lebih
positif. Hasil akhir (resultan) dari peningkatan puncak
voltase ini yang dikenal sebagai depolarisasi. Setelah fase
depolarisasi ini maka sel akan kembali ke dalam potel-rsial

menghantarkan listrik dengan sangat cepat. Kemudian


sinyal listrik ini diteruskan ke berkas cabang kanan dan
kiri dan berakhir pada serabut Purkinje dan miokard untuk
membuat otot jantung berkontraksi.
NSA merupakan pembangkit lisrrik alamiah yang
dominan (automatisasi dengan laju yang paling cepat)
sehingga mengendalikan seluruh pacuan. Bagian lain dari
jantung terutama jaringan konduksi, pada dasarnya juga
mampu membangkrtkan impuls listnk. BilaNSA tidak dapat
membangkitkan impuls karena satu dan lain hal, maka akan

diambil alih olehbagian lain seperli atrium,NAY, atatbundle


His. Demikian pula bila terjadi blok atrioventrikel (keadaan
bila impuls dari NSA tidak dapat diteruskan ke ventrikel)
makaNAV atatbundle His akan menjadipembangkit listrik
cadangan tentu dengan laju yang lebih lambat dari NSA.

POTENSIAL AKSI JANTUNG (CAPDtAC ACTTON

Pada fase

membran istirahat yang dikenal dengan istilah repolarisasi.


Pada fase I dan2 sel tetap mengalami depolarisasi walaupun
sudah mulai memasuki fase repolarisasi. Pada saat ini sel
sama sekali tidak dapat dirangsang yang dikenal dengan
p erio de refrakte r eJbkt |f (efib c tiv e refracto ty p e rbde).
Peran kanal kalsiurn lambat amat menonjol pada fase ini
yaitu dengan memompa kalsium masuk kembali ke dalam

sel secara perlahan sehingga memperlarnbat fase


repolarisasi. Selama fase 3 repolarisasi terus berlangsung
dan sel mulai kembali ke keadaan istirahat dan pada saat
ini sel sudah dapat dirangsang tetapi dengan energi yang
lebih besar (periode refiakter relatif). Fase 4 adalah fase
akhir saat sel kembali dalam keadaan istirahat penuh dan
siap untuk menerima rangsangan kembali.

POTENTTAL)
Semua sel hidup, termasuk sel jantung, pada saat istirahat
memiliki muatan positif di luar sel dan muatan negatif di

MEKANISM E TERJADINYA ARITMIA

dalam sel dan perbedaan potensial yang timbul akibat hal


ini disebut potensial transmembran istirahat. Besarnya
perbedaan potensial berkisar antara -90 sampai -60 mV.
Bila sel tersebut dirangsang akan menimbulkan pergerakan
ion dari luar sel ke dalam sel. Pergerakan ini akan

Gangguan irama jantung (dikenal sebagai aritmia) dapat


dikelompokkan menjadi takiaritmia (gangguan irama
dengan laju cepat) dat bradiaritmia (.ganggtan irama

menimbulkan potensial listrik dan bila digambarkan


berdasarkan waktu akan terlihat sebagai sebuah grafik yang
dikenal sebagai Potensial Aksi Jantung (PAJ). Jadi PAJ

merupakan gambaran EKG dari satu sel jantung yang bisa


direkam dengan meletakkan electrode mikro di dalam sel.

PAJ terdiri dari lima fase yaitu fase 0 (depolarisasi


1 (repolarisasi cepat dini), fase 2 (plateu), fase
3 (repolarisasi akhir), dan fase 4 (potensial membran
istirahat) seperti terlihat pada Gambar 2.
cepat), fase

dengan laju lambat). Terj adinya aritmia (a r ry ht hmo

gen

es i

s)

disebabkan oleh tiga mekanisme utama yaitu gangguan

pembentukan impuls, gangguan hantaran impuls, dan


kombinasi kedua-duanya.
Yang termasuk gangguan pembentukan impuls adalah
otomatisasi yang tidak normal (abnormal atrtomaticitlt),
aktivitas yang dicetuskar. (triggered activit!). dan setelah
depolari sasi lambat (de I ay e d aft e rd ep o I ariz,at

n).

ang

tergolong gangguan hantaran impuls adalah blok satu atatl


dua arah tanp a reent,)) (blok AY blok SA, dan blok berkas

cabang), blok satu arah dengan reentr)i (resiprokal


n son -Whi te), re e nt r tnodus AV dan takikardia ventrikel karena reentry berkas
cabang.
Pada tulisan ini pembahasan akan disederhanakan pada

taki kardi a p ada s indrom Wolf-Parki

penyebab yang paling sering yaitu gangguan

-x

pembentukan (inisiasi) impuls yang lebih dikenal dengan

otomatisasi dan gangguan hantaran irnpuls yang lebih


dikenal dengan reentr\.
-90

t@

s@nds n

tu

40

60

30

AU OTOMATISASI (A UrO M AT t C

trYl

RP = Resting membrane Potential

Gambar 2. Potensial Aksi Jantung (PAJ) dimulai bila rangsangan


yang diberikan melampaui ambang batas (threshold) yaitu -60
mV (Dikutip dari Huszan RJ. Basic dysrhythmias. 7'h Ed, Mosby
2002)

(enh cutc ed aut omat ic it,-)


disebabkan oleh percepatan (akselerasi) pada fase 4 dan
dapat terjadi di atrium, bundle His, dan ventrikel sehingga

Automatisasi yang meningkat

t646

KARDIOI,OGI

muncul istilah takikardi atrial, junc.tionctl, dan ventrikel

jalur ini saling berhubungan baik di bagian distal maupun

otomatis. Struktur lain yang dapat menjadi sumber fbkus

proksimal seperti yang disyaratkan di atas. Pada gambar 3


B, bila irnpuls prematur tiba di jalur B pada saatjalur tersebut
masih refrakter karena stin'rulasi sebelumnya (ingat jalur B
memiliki masa refrakter yang relatif lebih panjang), maka
impuls tadi tidak bisa melewati jalur tersebut dan beralih
ke jalurA. Pada saat impuls tadi beralih dari jalur B ke jalur
A, saat itu jalurA sudah pulih dari masa reltakternya karena
ia memiliki masa refrakter yang lebih pendek daripada jalur
B. Oleh karena itu impuls tadi dapat turun ke distai melalui
jalurA. Karena kecepatan konduksi di jalurA lebih lambat
maka saat impuls tiba di bagian distal, jalur B telah pulih

olomati sasi adrilah vena pulmonal dan vena kava


superior. Contoh takikardi otomatis yang normal adalah
sinus takikardi. Ciri khas takiaritmia ini adalah adanya
fenomena wonn-up dan wamn-down yaitu peningkatan
laju nadi secara perlahan dan kernudian laju nadi berkurang
secara perlahan sebelum akhirnya takiaritmia berhenti.

Takiaritrnia karena automatisasi sering berkaitan


dengan gangguan metabolik sepeti hipoksia, hipokalemia,

hipomagnesemia, dan asidosis.

dari masa refraktemya sehiu_{-ea impuls dapat melewatijalLrr


secara retrograd dan kembali ke jalur A dan demikian

REENTRY

seterusnya dan timbullah sirk:uit rcentry.

Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab


takiaritmia dan paling mudah dibuktikan pada pemeriksaan
el ektrofisiologi. Prasyarat mutlak Lrntuk tim bul ny a r e e nt r radalah sebagai berikut:
. Adanya dua jalur konduksi yang saling bcrhubungan
baik pada bagian distal maupun proksimal
. Salah satu jalur tersebut harus memiliki periode refrakter
yang lebih panjang dari yang lain

.lalur dengan periode refrakter yang lebih pendek harus


memiliki kecepatan konduksi yang lebih lambat dari yang
lain
lnisiasi reentry* memerlukan adanya hambatan pada
salah satu jalur tersebut (.unidirectional block).

PETAKSANAAN PEMEBIKSAAN ELEKTROFISIOLOGI


Pemeriksaan elektrofisiologi jantung merupakan suatu
cabang spesialisasi kardiologi yang memerlukan fasilitas
dan alat yan-u khusus. staf yang terampil. dan ekspertise

yang akurat. Persiapan pemeriksaan elektrofisiologi


meliputi persiapan a1at. staf dan pasien. Peralatan yang
paling utama diperlukan adalah:

. Alat fluoroskopi

Secara skematis mekanisme tersebut dapat dilihat pada

Gambar3.

(biasanya sudah tersedia di

laboratori um kateterisasi)

Alat khusus eiektrofisiologi yang meliputi:


- stimu.lator jantung (cardiac stimulator')

piranti lunak untuk sistem pencatat dan perekam data


berbagai jenis kateter untuk diagnostik. pemetaan.
dan ablasi

alat pemban-ukit energi radiofrekuensr (radio

fre quenct ener gl generator)


Alat tambahan sepefii i.nfusion pump, pulse oximern'.
haemo dynami c monito rin g, dan e xte rnal deJibrill a xt r.

Secara skematis tata letzk peralatan di atas dapat dilihat


pada Gambar 4. Untuk staf diperlukan seorang perawat dan

ts

teknisi yang mahir melakukan berbagai stimulasi jantung


dengan memakai alat stimulator jantung.

Gambar 3. Mekanisme terjadinya reentry Jalur A adalah jalur


dengan periode refrakter pendek tapi kecepatan konduksi lambat
sedangkan jalur B adalah jalur dengan kecepatan konduksi cepat
tapi masa refrakter lebih paniang Mekanisme terinci dapat dilihat
pada teks.( Dikutip dari Fogoros RN Electrophysiologic testing
3'd Ed, Blackwell Science, 1999)

Pada Gambar 3 jalur A adalah jalur dengan periode

refrakter lebih pendek tapi memiliki kecepatan konduksi


yang lambat sedangkanjalur B adalahjalur dengan periode
refrakter panjang tapi kecepatan konduksi cepat. Kedua

Gambar 4. Skema tata letak semua peralatan utama yang


diperlukan dalam pemeriksaan elektrofisiologi (Dikutip dari ESI EP
Training material)

1647

EI FKTROFISIOLCIGI

Persiapan pasien dilakukan sama seperti untuk


prosedur invasif lainnya yaitu puasa sekitar 6 jam dan

rremberikan surat persetujuan tindakan (inJormed


con,sent). Obat-obat antiaritmia harus dihentikan paling

tidak empat kali waktu paruh (rata-rata 2-3 hari


sebelumnya). Yang agak problematik adalah amiodaron
karena waktu paruhnya sangat panjang. Obat antikoagulan

juga harus dihentikan.


Akses (alan masuk) kateter yang akan ditempatkan di
dalam ruang jantung dapat dimasukkan melalui vena

-*-**r--.------

*.-,-

femoralis, venajugularis interna, vena subklavia, dan vena


basilika. Sering pula diperlukau akses melaltri arteri

femoralis dan pungsi septum interatrium (trunseptal


puncture ) untuk mencapai atrium kiri .
Kateter selanjutnya ditempatkan di atrium kanan, apeks
ventrikel kanan, 111.r bundle,dan sinus koronatius (Gamtrar
5). Kadang-kadang diperlukan penempatan kateter di
ventrikel kiri, right ventricuLar outflow trcLct (RVOT), dan

Gambar 6 . Contoh pengrXrr- interval dasar dari EKG perrnukaan


dan intrakardiak (elektrogram). Dari EKG permukaan ditampilkan
sandapan l, AVF, dan V1 RV=right ventricle, HRA=high right
atrium, HBE D=his bundle electrogram dista!, FIBE P=his bundle
electrogram proximal, CS 9-10= coronary sinus proximal, CS 12=coronarV sinus distal (Dikutip dari Murgatroyd FD, Krahn AD,

r.'ena pulmonalis untuk studi khusus seper-ti ablasi pada

Klein GJ, et al. Handbook of cardiac electrophysiology: a


practical guide to invasive EP studies and catheter ablation.

fibrilasi atrium.

Remedica Publishing, 2002)

penilaian konduksi dan masa refraktori sistem

His-Purkinje
induksi aritr-nia atrial
Pemacuan ventl-ikel
- penilaian kondLrksi retrograd
- indLrksi aritmia ventrikel
L,ji-coba etek obat

"
'

ini hanya diterangkan cat'a pengukuran


saja
sedangkan plotokol lainnya tidak.
interval dasar
Pada tulisan

PENGUKURAN INTERVAL DASAR


Sebelunr dilakukan stilnttlasi dilakukan perekatlan dan

Gambar 5. Posisi kateter di dalam jantung masing-masing di


ventrikel kanan, atrium kanan, bundle dari His, dan sinus

penghitungan interval dasar (Gamtlar 6) yaitu:


. Dari EKC pcrrnukaan:
- interval PR (dari rnulai gelombang P sampai awal

koronarius

Langkah seianjutnya adalah rnelakukan perekatran


sinyal listrik dalam jantung (dikenal dengan elektrogram)
dari masing-masing lokasi khusus dalam jantung (atrium
kanan. verrtrikel kanan, lrlis buntlle, dan sinus koronarius).
Gambar 6 memperlihatkan contoh eiektrograrn dari tempat

tersebut di atas.
Secara umum ada empat protokol utama dalam pemeriksaan

komple-ks QRS)
dLrrasi kornpleks QRS

interval QT (dari mulai gelornbang sarrrpai akhir

gclomban-e T)
DadEGM(Elektrogram)
- panjang siklLrs dasar (.Basir: Ctcle Lcn;qth) yang
menceflninkan laju irama clasar (intrinsik)

interval PA
interval AFI
interval LtrV

elektrof isiologi yaitu:

.
.

Pengukuran interval sistern konduksi pada satat all'al


(basel ine)

PEMEHIKSAAN ELEKTROFISIOLOGI PADA

Pemacuan atrium:

TAKIKAR DIA SUPRAVENTRI KEL (TSV)

penilaian sifat konduksi dan otoruatisasi NSA


penilaian konduksi dan nrasa refiaktori NAV

Tirkikardia supraventrikel (TSV) aclalah aritmia yang diderita

1548

I(ARDIOI.OGI

sekitar i% populasi, paling sering ditemukan dalam praktek

sehari-hari, dan digunakan untuk menggantikan istilah


lama untuk parorysmal atrial tachycardia.
TSV n-rerupakan suatu kelompok aritmia yang
melibatkan struktur di atas bundel dari His dengan atau
tanpa rrelibatkan ventrikel . TSV dapat dibagi lagi nienjadi
)/ang tidak teratur (iregular) yaitu fibrillasi atrial dan yang
teratur' (regular) yaitu:

.'l-akikardi a reentri nodal atdoventrikul


lar Notlal Reentrant Tachycardia)

er (Atrioy

et

tric u-

Sirkuit reentri berada di dalam nodus atrioventrikel dan


ventrikei tidak ikut serta dalan memperlahankan aritmia

(Gambar6.A)

Takikardia reentri atrioventrikules (Atriov e nt ric ular


reentrant tachttcardia)
Takikardia ini amat bergantung pada keberadaanjaras
tambahan (.accessor r- parhwalt) dan melibatkan
ventrikel dalam sirkuit takikardia
Takil<ardia atrial. Takikardia ini sama sekali tidak
melibatkan struktur hunclle dari His (AY junction).
Contohnyd adalah takikardi atrial ektopik dan flutter
atr-ial.

masuk melaluijalur cepat karena impuls melalui jalur lambat


terhambat akibat jalur tersebut masih dalam masa refrakter

dari depolarisasi melalui jalur cepat.


Karakteristik jalur ganda pada NAV (dual AV nodal
pathway') adalah adanya jalur lambat (cr) dan jalur cepat
(0). Jalur lambat mempunyai masa refrakter singkat tapi
kecepatan konduksi yang lambat. Sedangkan jalur cepat
memiliki masa refrakter lebih panjang tapi kecepatan

Ini adalah syarat mutlak utnuk


memungkinkan terjadinya reentri. Pada gambarA, impuls
dari atrium masuk ke NAV dan ventrikel melalui jalur cepat
konduksi yang cepat.

(p). Pada gambar B, impuls prematur dari atrium yang masuk


ke jalur cepat (B) terhambat karena pada saat itu jalur B
masih dalam masa refrakter. Akibatnya impuls akan beralih
ke jalur lambat (u) dan karena konduksi di jalur ini lambat
maka tercermin pada EKC permukaan sebagai pemanjangan

interval PR. Pada gambar C, impuls yang lewat melalui


jalur lambat tadi naik kembali secara retrograd melalui jalur

u dan turun kembali secara antegrad melalui jalur p dan


membentuk sirkuit reentry di dalam NA. Pemanjangan
interval PR ini menandakan adanya lompatan impuls dari
jalur cepat ke jalur lambat yang merupakan salah satu

Dari ketiga jenis TSV yang teratur tersebut, yang


paling kerap ditemukan adalah takikardi reentri nodus
atrioventrikular yang rneliputi 907o dari seluruh TSV dan

karakteristik inisiasi pada takikardi rentri nodus


atrioventrikuler. Jenis TRNA ini disebut tipe biasa
(common/typical type). Reentry dapat pula terjadi

25% TSV yang datang ke laboratorinm elektrofisiologi. Oleh


karena itu jenis ini akan dibahas lebih rinci dibandingkan
dengan yang lainnya.

sebaliknya yaitu antegrad melaluijalur cepat dan retrograd


melalui jalur lambat (tipe tidak umtm/uncommon type).
Karena NAV memegang peranan penting dalam sirkuit
reentri ini maka perasat vagal (vagal maneut,er) dan obatobat yang menghambat konduksi NAV (penyekat beta,
digoksin, Can antagonis kalsium) dapat memutus aritmia
ini. Pada Gambar 8 diperlihatkan gambaran rekaman
intrakardiak (elektrograrn) saat inisiasi TRNA tipe biasa

(commonhlpical type).
Ablasi TRNA merupakan tindakan terapi kuratif dengan
angka keberhasllan 95-9lVo. Pendekatan ablasi TRNA
adalah dengan memutus jalur lambat (slo** pathway).
Gambar 9 memperlihatkan skema lokasi ablasi dan rekaman

elektrogram yang spesifik dari jalur lambat (,slow


Gambar 7. Tiga jenis takikardia supraventrikel yang tersering A
Takikardi reentri nodal atrioventrikuler B. Takikardi reentri
atrioventnkuler C Takikardi atrial. Untuk penjelasan rinci dapat
dilihat pada teks (Dikutip dari Fogoros RN. Electrophysiologic
testing. 3'd Ed, Blackwell Science, 1999)

TAKIKARDIA REENTRI NODUS ATRIOVENTRIKUI.AR

pathway).

(,

(rRNA)
Pada kebanyakan pasien terdapat dua jalur mastk (dual
AV nodal pathwav*) dari atrium ke nodus atrioventrikuler
(NA) yaitu jalur cepat (fust pathway) dan jalur lamb at(slowpathv:av). Penelitian terkini mendapatkan adanya tiga jalur
nr asuk dari atri urn ke NA yaitu j alur lambat, j alur menengah,
dan jalur cepat. Umumnya pada saat irama sinus, impuls

Gambar 8. Mekanisme terjadinya takikardia reentri nodus


atrioventrikuler. penjelasan rinci dapat dilihat pada teks (Dikutip
dari Fogoros BN Electrophysiologic testing. 3'd Ed, Blackwell
Science, 1999)

ELEKTROFISIOLOGI

1649

Supen('r
vena cava
Coronary

Compact

os

His bundle

I.icusOic

Garnbar 10. Takikardia Reentran Atrioventrikuiar (TRA). Atrium


Right
ventiic e

Kanan dan kiri (FIA/LA) dan ventrikel kanan dan kiri (R/LV) secara
normal tidak dapat menghantarkan impuls listrik karena adanya
skeleton kardiak (membentuk annulus tricuspid dan mitral) yang

bersifat sebagai insulator Satu-satunya penghubung secara


elektris adalah NAV Jika pasien memiliki penghubung tambahan
dalam hal ini accessory pathway, maka kriteria sirkuit reentri
terpenul.ri (Dikutip dari: Schitling RJ Which patient should be
referred to an electrophysiologist: supraventricular tachycardia
Hea
S

rt 2002 87 299-304
;

ow pathway potentia

TRA dapat dibagi rnenjadi antidrornik


V6

Gambar 9. (A) Skema ablasi pada jatur lambat (slow pathway)


pada TRNA Kateter ablasi diletakkan di depan ostium sinus
koronarius.(B) Gambaran elektrogram tempat ablasi yang
baik:terlihat defleksi ventrikel yang lebih besar dari defleksi atrium

yang diikuti oleh defleksi potensial jalur lambat (slow pathway


potential) Diperlihatkan juga elektrogram atrium dan ventrikel
kanan, dan bundel dari His. (Dikutip dari Culkins H. Radiofrequency
ablation of supraventricular arrhythmias. Heart 2OO1 ;85:594-600).

TAKIKARDIA
ffRA)

dan

ortodromik. Pada TRA antidrornik konduksi antegrad


terjadi rnelalui jaras tambahan sedangkan konduksi
retrograd rnelalr,ri NAV sehingga pada rekaman EKG
permukaan hkan membelikan garnbaran takikardia dengan
kompleks QRS lebar (contoh pada Gambar 1l). pada

TRA ortodrornik konduksi antegrad melalui NAV dan


retrograd melalui jalas tarnbahan sehingga gambaran EKG
permukaan terlihat sebagai takikardi dengan kompleks
QRS sempit (normal). TRA merupakan jenis aritmia yang
sangat diindikasikan untuk tindakan 1<uratif dengan ablasi
radiofrekuensi dengan angka keberhasilan

R EENTRY ATBIOVENTRIKULER

Pasien dengan TRA dilahirkan memiliki jaras tambahan


(occe s sotl' pathutay) yang biasanya memiliki karakteristik
konduksi yang berbeda dengan NAV sehingga takikardi

dapat muncul pada usia neonatus, kanak-kanak. cian


dewasa. Jaras tambahan tersebLrt menghubungkan
permukaan epikardial atrium dengan ventrikel sepanjang
sulkus atrioventrikuler. Jaras tambahan dapat

99o/o d,an

komplikasi 1.8'lo.
Pada tulisan tidak dibahas tenrang elektrotisiologi pada
takikardia venl.rikuler (TV) karena akan dibahas pada topik

TV

lt

l.r. ,r,/'1, trur- ,l'

dikelompokkan berdasarkan tokasinya di sepanjang anulus


katub trikuspid dan mitral, sifat konduksinya (detrimental
atau non-detrimental), dan apakah ia mampu melakukan
konduksi antegrad saja, retrograd saja, atau kedua-duanya.
Bila jaras tambahan ini hanya mampu melakukan konduksi
secara retrograd saja maka disebut sebagi jaras yang

tersembunyi (concealed pttthway). Sedangkan yang


mampu melakukan konduksi secara antegrade disebut
manifest , tercermin dengan adanya preeksitasi pada E,KG
permukaan (gelombang delta). Jadi istilah sindrom WoLJ'
Parkinson White hanya diberikan kepada pasien dengan
preeksitasi dan takiaritmi yang bergejala.
Mekanisme terjadinya TRA dapat dilihat pada Gambar
10.

Gambar 11 Takikardia Beentran Atrioventrikuler (TFIA) tipe


ododromik dengan gambaran kompleks QRS lebar. (Dikutip dari
Wellen HJJ. Ventricular tachycardia: diagnosis of broad eRS
complex tachycardia. Heaft 2001 ;86:579-585)

1650

PEMERIKSAAN ELEKTROFISIOLOGI PADA


BRADIARITM!A
Penyebab bradiaritmia yang kerap didapatkan di klinik
adalah penyakit pada NSA dan blok atrioventrikular (AV

KARDIOLOGI

bawah kateter ablasilah yang menjadi sumber energi panas,


bukan kateter itu sendiri. Thermal injury adalahmekanisme
utama kerusakan j aringan selama prosedur ARF. Kerus akan
jaringan permanen timbul pada temperatur sekitar 50 derajat

Celcius (Gambar 12).

block).

Kelainan pada NSA dapat bermanif'estasi berupa


sinus bradikardia, sinus arrest, atau bradikardia yang
bergantian dengan fibrilasi atrial (FA) paroksismal. Evaluasi
otomatisitas (automaticity) NSA dilakukan dengan menilai
Waktu pemulihan nodus sinoatrial (Slnas Node Recoverl
Time). Caranya adalah dengan meletakkan kateter pada
atrium kanan di dekat NSA, dan dilakukan pemacuan
dengan laju sedikit lebih tinggi dari irama dasar selama 30
detik. Pemacuan selanjutnya dihentikan secara mendadak.
Interval pemulihan (diukur dari saat pacuan atrial terakhir
sampai munculnya irama sinus spontan) mencerminkan
normal tidaknya fungsi NSA. Umumnya bila nilai interval
ini melebihi 1500 milidetik dianggap tidak normal.
Penilaian gangguan konduksi pada NAV umumnya
memerl ukan prosedur invasif . Prosedur
elektrofisiologi Iebih menekankan pada penilaian lokasi
hambatan hantaran: pada NAV, pada I1is-Purkinie. atau

tidak

Gambar 12.. Kerusakan jaringan permanen (daerah berwarna


putih) akibat ablasi radiofrekuensi (Dikutip dari ESI training
material)

distal dari /1is-Purkinje (infrahis). Gangguan pada tingkat

NAV umumnya bersifat sementara seperti pada iskemia


dan infark miokard akut. Umumnya gangguan pada NAV
bersifatjinak karena laju nadi berkisar 55 kali per menit
sehingga j arang menyebabkan gangguan hemodinamik.

Gangguan pada Ills atau pada bagian distalnya kerap


menimbulkan gangguan hemodinamik yang signifikan.
Infark miokard akut yang melibatkan arteri koroner kiri
desendens adalah penyebab tersering karena daerah ini
diperdarahi oleh arteri tersebut. Miokarditis kerap juga
mengenai jaringan konduksi ini. Pada pemeriksaan
elektrofisiologi untuk menilai gangguan hantaran pada
NAV adalah dengan melihat rekaman dari His (His electrogram). Berdasarkan gambaran elecktrogram tersebut dapat
ditentukan tingkat hambatan pada NAV.

Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan


memasukkan kateter ukuran 4-8 mm secara intravaskular
(umumnya ke jantung kanan) dengan panduan sinar X.
Biasanya prosedur ini bersamaan dengan perneriksaan
elektrofisiologi. Prosedur elektrofisiologi bertujuan untuk

mencetuskan aritmia dan memahami mekanismenya,


Selanjutnya kateter ablasi diletakkan pada sirkuit yang
penting dalam merpertahankan kelangsungan aritmia
lersebut di luarjaringan konduksi normal. Bila lokasi yang

tepat sudah ditemukan maka energi radiofrekuensi


diberikan melalui kateter ablasi. Umumnya pasien fidak
merasakan adanya rasa panas tapi kadang-kadang dapat

juga dirasakan adanya rasa sakit. Bila tidak terjadi


komplikasi pasien hanya perlu dirawat selama satu hari
btrhkan bisa pulang hari.

ABLASI KATETER (CATHETER ABLATIOM


SEBAGAI TINDAKAN KURATIF PADA TAKIARITMIA

KAPAN HARUS MERUJUK PASIEN UNTUK


PBOSEDUR ELEKTROFISIOLOGI DAN ABLASI

Prosedur elektrofisiologi hampir selalu diikuti oleh tindakan

KATETER?

kuratif berupa ablasi kateter. Sebelum tahun 1989 ablasi


kateter dilakukan dengan sumber energi arus langsung
yang tinggi (high energy direct current)berupa DC shock.
Karena pemberian energi dengan jumlah tinggi dan tidak

Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak hal seperti


Iama dan frekuensi takikardi, tolerausi terhadap -sejala,

terlokalisasi maka banyak timbul komplikasi. Saat ini ablasi


kateter dilakukan dengan energi radiofrekuensi sekitar 50
watt (W) yang diberikan sekitar 30-60 detik. Energi tersebut
diberikan dalam bentuk gelombang sinusoid dengan
frekuensi 500.000 siklus per detik (Hertz).
Selama prosedur ablasi radiofrekuensi (AR.F) timbul
pemanasan resistif akibat agitasi ionik. Jadi jarrngan di

efektivitas dan toleransi terhadap obat antiaritmia, dan ada


tidaknya kelainan struktur jantung. Untuk TSV yang teratur
(re gular sup raventriotLa r tac hy c a rdia), banyak penelitian
yang menunjukkan bahwaARF lebih efektif daripada obat
dalam aspek peningkatan kualitas hidup pasien dan
penghematan biaya daripada obat antialitmia.
Kelompok pasien berikut ini sebaiknya dirujuk untuk
prosedur elektrofisiologi dan ARF:

1651

FI tr'KIROFISIOLOGI

Pasien dengan aritmia yang mengancam

jiwa:

Pasien Fibrilasi Atrial (FA) dengan sindrom I|'ofParkinson-Whlte dengan masa refrakter antegrad jaras
tambahan yang pendek
Pasien dengan aritmia yang menimbulkan gagal jantung:

takikardia atrial incessant

fluter atrial

TRA dengan menggunakanjaras tambahan dengan


sifat penghantaran yang lambat dari ventrikel ke
atnum

fibrilasiatrial

Pasien dengan takiaritmia bergejala meskipun telah


mendapat terapi obat:

takikardiaatrial
fluter atrial
fibrilasi atrial

TRNA
TRA
takikardia ventrikel idiopatik

Pasien seperli pilot, supirbis, atlit professional dengan


j aras tambah an (.atriov entricular ac c e s s o t) p athw ay)

dengan periode refrakter antegrad yang pendek


sehingga dapat membahayakan jiwa orang lain.

Dari beberapa meta analisis didapatkan angka


keberhasilan rata-rata ARF pada TSV adalah 90-98Vo
dengan angka kekambuhan sekitar 2-57o. Angka penyulit

rata-rata adalah sekitar l,Vo. Oleh karena itu ARF


dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama dibandingkan
dengan obat-obatan. Seandainya diperlukan tindakan
ulang biasanya angka keberhasilannya jauh lebih tinggi
lagi.

REFERENSI
Calkins H. Radiofrequency ablation of supraventricular arrhythmias
. Heart 2001:85:594-600.
Chauhan VS, Krahn AD, Klein GJ, et al Supraventricular tachycardia, Medical Clin of North Am;85:196-223.
Fogoros RN. Electrophysiologic testing. 3rd Ed, Blackwell Science,
1999
Friedman PA Novel mapping techniques for cardiac electrophysiology Heart 2002;81:575-82
Huszan RJ. Basic dysrhythmias 7'h Ed, Mosby, 2002
Lundqvist CB, Scheinman MM, Aliot EM, et al ACC/AHA/ESC
guidelines for the management of patients with supraventricu-

lar arrhythmias Circulation 2003 ;108:1871-909


Mi11er

JM and Zipes DP Diagnosis of cardiac arrhythmias. In: Zipes

DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart disease: a textbook of


' cardiovascular medicine.T'h Ed, Elsevier Saunders, 2005.
Murgatroyd FD, Krahn AD, Klein CJ, et al. Handbook of cardiac
electrophysiology: a practical guide to invasive EP studies and
catheter ablation. Remedica Publishing, 2002.
Ramo BW and Wagner GS. The Physiology of normal and abnormal
rhythms In: Waugh RA. Ramo BW, Wagner GS, et al. Cardiac
arrhythmias : a practical guide for clinician. 2"d Ed, FA Davis

Company, 1994.
Rubart M and Zipes DP. Genesis of cardiac arrhythmias: electrophysiological consideration. In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO,
et al. Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine.T'h
Ed, Elsevier Saunders, 2005.
Schilling RJ Which patient should be referred to an electrophysiologist: supraventri c ular tachycardia. Heart 2002:.8'7 :299 -304.
Singer I (Ed). Interventional electrophysiology. 2"'j Ed, Lippincort

Williams and Wilkins, 2001


Wellen HJJ Ventricular tachycardia: diagnosis of broad complex
QRS tachycardia. Heart 2001;86:579-85
Wellen HJJ. Catheter ablation for cardiac arrhythmias. N Eng J Med
2005 12:1112-4

260
PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN)
M. Yamin

PENDAHULUAN
jantung permanen (PJP) adalah suatu sirkuit di mana
sebrah generalor mengeluarkan arus listrik yang mengalir
ke otot jantung (miokard) melalui sebuah kabel (wire)
penghantar untuk merangsang jantung berdenyut, dan
selanjutnya kembali ke generator (sirkuit berakhir). Jadi
PJP umumnya diindikasikan pada kelainan irama jantung
yang lambat (bradikardia), baik oleh karena kelainan
pembentukan impuls misalnya sindrom sinus sakit (SSS)
Pacu

maupun kelainan hantaran impuls (misalnya blok


atrioventrikel total). PJP akan mengembalikan sistem

anestesi lokal dan masa perawatan singkat (satu hari).


Para dokter umum, peserta program pendidikan spesialis
penyakit dalam atau kardiologi, spesialis penyakit dalam,
atau spesialis jantung baik pada saat pendidikan maupun

melaksanakan praktek tidak jarang berhadapan dengan


pasien yang memerlukan pemasangan PJP atau yang sudah
terpasang PJP. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan
dasar tentang PJP, terutama indikasi pemasangan dan

tindak lanjut (follow-up) sederhana dan praktis. Dalam


tulisan ini akan dibahas prinsip kerja PJP, terminologi yang
dipakai pada PJP, indikasi pemasangan dan pemilihan jenis
PJP, dan kemajuan terkini di bidang PJP.

pemacuan jantung ke keadaan fisiologis sehingga dapat


meningkatkan curah jantung dan memperbaiki sirkulasi otak

dan organ tubuh lainnya. Hasil akhirnya adalah


menghilangkan keluhan pasien yang mengalami
bradikardia. seperti mudah lelah, sinkop, dan sesak napas.
Teknologi PJP telah mengalami perkembangan dan
kemajuan yang pesat sejak pemasangan PJP pertama pada
manusia yang dilakukan olehAke Senning, seorang dokter
bedah toraks dari Swedia, pada tahun 1958. Pada waktu
itu indikasi pemasangan PJP masih sangat terbatas pada
kasus bradikardia seperti hambatan atrioventrikel total dan
proses pemasangan melalui prosedur torakotomi yang
dilakukan oleh seorang ahli bedah toraks.
Saat ini perkembangan PJP semakin luas dari segi
indikasi dan penempatan pacing lead. Terobosan terkini
dari segi indikasi adalah untuk mencegah takiaritmia seperti
fibrilasi atrium (FA). Lokasi penempatan p acing lead ptn
mengalami perubahan dari yang klasik (apeks ventrikel

kanan dan apendiks atrium kanan) menjadi septum


ventrikel kanan atau, Right Ventricular Outflotv Tract
(RVOT) tntlk lead ventrikel dan septum bagian bawah
atrium kanan untuklead atrilm untuk mengurangi kejadian
FA. Demikian pula dengan prosedur implant yang semakin
sederhana dan dilakukan oleh seorang kardiolog dengan

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM KONDUKSI


JANTUNG
Jantung memiliki pembangkit listrlk (generaror) sendiri
yaitu nodus sinoatrial (NSA) yang bekerja menghasilkan
impuls listrik secara otomatis (Gambar 1). Imppls listrik ini
diteruskan ke sistem konduksi lain yaitu jaras interatrial
danbundle dari Bachman ke atrium kiri. Di antara atrium

dan ventrikel terdapat jaringan kartilago yang dikenal

sebagai cardiac skeleton (Gambar 2). Struktur ini


berfungsi sebagai insulator (penyekat hantaran impuls
setelah terjadi depolarisasi atrium semua
impuls listrik akan masuk ke Nodus Atrioventrikuler (NAV).

listrik) sehingga

Di sini impuls listrik

mengalami perlambatan untuk

memberikan kesempatan pengisian darah dari atrium ke


ventrikel secara optimal. Selanjutnya impuls akan
diteruskan ke berkas His yang kemudian bercabang
menjadi Berkas Cabang Kiri (BCK) dan Berkas Cabang
Kanan (BCKa) dan berakhir di serabut Purkinje dan otot
jantung (miokard) dan membuat bilik jantung berkontraksi.
Gangguan pada salah satu komponen sistem konduksi
ini dapat berupa gangguan pembentukan impuls pada NSA

t652

1653

PACU JANTUNG MENETAP (PERMANET9

dan atau gangguan hantaran impuls yang secara klinis


berdampak timbulnya gejala hampir pingsan (nearsyncope') atau pingsan (syncope). Keadaan klinis inilah
yang menjadi indikasi utama pemasangan pacu jantung.

Atrioventricular node
Bundle of His

KONSEP DASAR DAN PHINSIP KERJA PACU


JANTUNG PERMANEN
PJP pada dasarnya terdiri dari dua komporren Lltama yaitu
pulse genercnor (Gambar 3) dan pacing lead (Gambar 4).

Pulse generalnr terbuat dari lithitrm iotline bottert, yang


merupakan sumber energi Lltama untllk menghantarkarl
impuls ke miokard. Fungsi tambahannya adaiah sebagai

pusat pengaturan fungsi PiP. Rata-rata gcnerator


mempunyai lamakerja sekitar4-10 thn (tergantung apakah

pasien sepenuhnya tergantung pada PJP atau tidak).


Generator dihubungkan dengan endokardium .jantung
melalui pacing lead. Pacing leod merupakan suatu
insul.ate

d -w i t"e

yang berfungsi menghantarkan impuls dari

pttLse generator ke otot jantung dan melaktLkan deteksi

(sensing) sinyal depolarisasi (kontraksi) jantung. Secala


umum pacing lead dibagt dua yaitu pacing leatl yang
dimasukkan secara intravena ke dalam endokardiurn
(transvenous lead) dan yang dipasang di atas epikardiurr
(epicardial lea$.Yang paling sering dipakai adalah jenis
yang pertama . Transvenous lead terdii dari dua jenis yaitu

Purkinje fibers

untuk fiksasi pasif (tine lead'y atalu untuk fiksasi aktif


(.screw-in lead') seperti terlihat dalam Gambar 4.
Left bundle branch

Gambar 1. Sistem konduksi jantung, Pembentukan impuls dimulai

secara otomatis di Nodus Sinoatrial (Sinoatrial Node) dan


dihantarkan ke seluruh atrium untuk mendepolarisasi atrium
Selanjutnya impuls diteruskan ke Nodus Atrioventrrkel (Atrioventricular Node), berkas dari H s, Berkas Cabang Kanan dan Kiri,
serabut Purkinje, dan berakhir di otot jantung (Dikutip dari AHA
ECG tutorial)

Gambar 3. Pada gambar ini diperlihatkan contoh generator dari


berbagai merek dan model (Dikutip dari www.medtronicConnect.
com dan www guidant com)

Fibrous skeleton
of the heart

Gambar 4. Gambar di sebelah kiri adalah jenis /eadfiksasi pasif


(tine lead) dengan tonjolan seperti duri pada ujungnya untuk
memudahkan perlekatan dengan trabekel endokardium Sedangkan
gambar sebelah kanan adalah lead f iksasi aktif (screw-in) dengan
screw pada ujungnya (Dikutip dari St Jude Medical Teaching
Material)

Gambar 2. Cardiac skeleton. Jaringan kaftilago yang menyokong


struktur katup jantung dan berfungsi sebagai penyekat impuls
listrik dari Nodus Sinoatrial agar tdk menyebar ke jaringan lain tapi

terkumpul di Nodus Atrioventrikular. (Dikutip dari: Fogoros FlN.


Electrophysiologic testing 2nd Ed, Blackwell Science, 1999)

Lead wtuk fiksasi aktif lebih stabil dan jarang lepas


(dislokasi) pada fase akut pasca implant karena ujung Lead
di tanam melalui .rcreru ke dalam septum atau endokardium
dan mudah ditanam di mana saja di dalam ruang jantung.

t654

KARDIOLOGT

Sedangkan tine lead melekat pada trabekel endokardium


sehingga relatif lebih mudah mengalami perubahan posisi
pada t'ase akut pasca implantt apalagi bila terdapat kelainan
regurgitasi katub trikuspid. Di sarnping ifi pacing lead
juga ada yang dilapisi obat steroid dan ada yang tidak.
Jadi arus listrik yang dikeluarkan oleh generator akan
dihantarkan ke otot jantung melalui pacing lead darr
kembali ke generotor dan demikian seterusnya. Pada ujung
pacing lead terdapat elektroda bermuatan negatif (katoda)
yang kontak langsung miokard. Sedangkan elektroda yang
menerima impuls listrik setelah terjadi depolarisasi disebut

saat tindak lanjut. Pada tahanan (itnpeclance) yang tinggi


maka arus yang dikeluarkan akan berkurang sehingga
kelangsungan generator akan lebih panjang.
Beberapa konsep dasar yang perlu dipahami adalah
ambang rangsang (stinttrlation thre,shold) dan scnsing.

anoda. Pada sistern kutub tunggal (unipolar) maka


katodanya terletak di ujung pacing lead darr anodanya di
generator. Sedangkan pada sistem kutub ganda (bipolar)

Ampiitude (yang dinyatakan dalam volt) yang diberikan

katoda terletak di uj ung pacing lead yangkontak langsung


dengan miokard dan anoda terletak pada bagian proksinral

pacing lead (terdapat dua elekroda). Jadi saat terjadi


pemacLran maka impuls listrik akan keluar dari generator
dialirkan melalui lead dan katoda dan kembali ke anoda.
Untuk FJP kamal tunggal (single charuber) maka hanya
dipakai salt lead yang biasanya ditempatkan pada apeks
ventrikel kanan (Gambar 5). Pada PJP kamar ganda(clouble
chamber) lead ditempatkan di atrium kanan dan ventrikel

Ambang rangsa,ng(thresholrl) adaiah energi minimal yang

diperlukan untLrk membuat kontraksi otot juntung


(depolarisasi) Agar ambang rangsang dapat membuai
kontraksi otot jantung (captttre) rnaka diperltrkan besarnya

arus yang diberikan oleh pacu jantung ke miokard


(cr

m p I itw de

) dan lamany a s ti mul us diberi kan (pu l,s e

n:

dth

1.

harus rnemiliki nilai yang cukup r-rntuk depolarisasi miokard.


Denrikran pula denganpuls e witlth (y,ang dinyatakan dalarn
milisekon) harus mempunyai durasi yang cukup agar dapat

membuat otot jantung kontraksi. Kombinasi kedua


komponen inilah yang menentukan apakah stimulasi dari
pacu jantung dapat mendepolarisas miokard (c'ttpture).
Pada Gambar 6 (diambil dari hasil uy threshoLtl sa.lah
satu pasien penutris saat tindak lanjut di Divisi Kardioio,qi

Departemen llmu Penyakit DalnmiPJT RSUPN Ciptcr


Mangtrnkusumot diperlihatkan conloh garnbaran EKC
pada saat captLtre dan io.rt (.tl)tt(re.

kanan.
,oPLUlcUUllll,lCUvUdylucUUll,llllt

1,20v@0,37rs V

0,90i@0.37ms
I

Gambar 6. Gambaran EKG yang diambil dari programer pada


saat tindak lanjut pasien dengan PJP.Dengan amplitude 2,4 voll

Gambar 5. Pada pacu jantung kamar tunggal maka lead umumnya


diletakkan pada ventrikel kanan. Pada indikasi tedentu lead dapat
pula diletakkan pada atrium kanan. (Dikutip dari www.guidant.com/
condition/arrhythmia/ image)

terljhat stimulus pacu jantung dapat membuat depolarisasi ventrikel


kanan (capture) yang terlihat pada EKG sebagai kompleks QRS
dengan moffologi Blok Berkas Cabang Kiri (Leff Bundle Branch
Black Morphology) Amplitude terus diturunkan secara bedahap
dan pada angka 0,6 volt stimulus ini tidak dapat mendepolarisasi
ventrikel (lost capture) Berufii thresholrl (energi minimal yang
diperlukan untuk mendepolarisasi ventrikel) pada pasien ini adalah
0,9 volt.

Komponen lain yang penting adalah sensing yaitu


Prinsip kerja PJP terkait erat dengan konsep dan hukum

elektrodinamik terutama hukum ohm. Hukum ohm


menyatakan bahwa tegangan listnk (V) adalah berbanding
lurus dengan perkalian kuat arus (I) dan resistensi (R).
Semakin besar resistensi dalam sirkuit PJP maka semakin
besar tegangan yaog diperlukan untuk mengalirkan arus
listrik dalam sirkuit tersebut. Penerapan hukum ini pada
sistem PJP amat penting untuk menilai keutuhan sistem
PJP baik pada saat pemasangan (.implanf) maupun pada

kemampuan pacu jantung untuk mengenali adanya iraml


intrinsik jantung (.intrinsic rlqtthnt') sehingga bila irama
tersebut muncul maka pacu jantung tidak akan memberikan
stimulus (inhibited). Sensing yang akurat memungkinkan
pacu jantung untuk mengetahui apakah jantung dapat
membentuk iramanya sendiri. Jadi pacu jantung hanya akan

bekerja bitra jantung tidak dapat membentuk atau


menghantarkan itrpuls. Pada GambarT berikut ini disajikan
contoh penilaian sensing oleh pacu jantung (diambil dri
salah satu pasien penLrlis):

1655

PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEN)

Gambar 9. Kompleks ORS yang ke-7 tidak dapat dikenali


(undersensing) oleh pacu jantung sehingga stimulus tetap

I
Gambar 7" Sensing yang dilakukan oleh pacu jantung mendapat
nilai gelombang R (irama intrinsik pada ventrikel) adalah 8,4 milivolt
(mV) Nilai ini cukup baik untuk ventrikel (minimal 5 mV)

Dalanr kaitan ini dikenal istilah undersensing dan


ctversensing. Yang pertama berarti jantung tidak dapat
rnengenali ilarna intrinsik pasien baik di atrium maupun di
ventrikel sehingga tetap memberikan pacuan (stirnuius)
wal.aupun jantung ticiak memerlukannya. Sedangkan yang
i<ed,,la berarti jantung ie riaiu 'oerlebihan daiam mengenali
aktivitas di iuar jantung (akiii,itas otot di Caerah dada)
sebagai irama intrinsikjantung atau mengenali gelombang
T -"ebagai kompleks QRS sehingga pacu jantung tidak
mernberikan sti mul us y an g di perl ukan (dihambat). Faktortaktor yang mempengaruhi sensing adalah polaritas lead
(unipolar atau bipolar'). integritas lead (retak pada insulasi
atau patah pada wire). dan interferens elektromagnetik.
Pada Gambar 8 ditampilkan contoh keadaan ot'ersertsirtg
dan Gambar 9 nntuk urttlerserrsing.
Untr-rk mendapat kedua komponen (thresholcl dan
sensing) yang ideal maka pacirtg Lead harus diposisikan
cli lokasi yang tepat pada atriun'r dan atau ventrikel.

diberikan (tanda garis lurus, splke, setelah QRS kompleks)


Seharusnya pada saat tersebui pacu jantung tidak memberikan
stimulus (Dikutip dari St Jude Medical Teaching Material)

TERMINOLOGIDALAM PJP
Untuk memudahkan dalam komunikasi dan penamaan PJP
maka oleh Norrh Americo.n Society of Pacing and
ELectropht;siology (NASPE) dan British Pacing and

Electropht;siology Group ( BPEG) dibuatlah pedoman


istilah yang dipakai pada PJP sebagai berikut:

Posisi

menggambarkan ruangan dipacu untuk

mengatasi bradikardia. Posisi iI menggambarkan ruang


tempat deteksi irama spontan (intrinsik) untuk tujuafl
mencetuskan atau menghambat pacuan. Sedangkan posisi
III menggambarkan reaksi terhadap posisi II.
Posisi IV agak unik karena menggambarkan apakah PJP

tertentu memiliki kemampuan untuk menyesuaikap laju


pacuan (rate adaptive) sesuai dengan kebutuhan aktivitas
pasien. Ini penting pada pasien dengan chronotropic incompetence . Sedangkan posisi V menggambarkan apakah
ada pemacuan lebih dari satu tempat pada ruang yang
sama (biatriaL atau biventricle pacing). Umumnya empat
posisi pertama yang kerap dipakai dalam praktek sehari
hari. Berikut ini disajikan berbagai contoh istilah tersebut:

voo
Ruang yang dipacu adalah ventrikel (V) tanpa ada ruang
yang dideteksi (O) dan tentu tidak ada respons terhadap
deteksi/sensing (O). Jenis ini dikenal sebagai pemacuan

ventrikel tidak sinkron

VVI
Ruang yang dipacu adalah ventrikel (V) dan ruang tempat
deteksi adalah ventrikeljuga (V) dan respons bila terdapat
s ensingl irama intrinsik adalah inhibisi (I)/ penghambatan.

VVIR
Sama seperti
B

Gambar B. Keadaan oversensing pada gambar A terjadi setelah

kompleks QRS ketiga akibat adanya aktivitas otot dada


(miopotensial) Aktivitas otot ini ditangkap oleh pacu jantung

di

atas tetapi pada jenis

ini

terdapat

kemampuan adaptasi laju pacuan (R=rate adaptive) sesuai


dengan kebutuhan aktivitas pasien, Biasanya dipasang
pada pasien FA dengan blok AV total

sebagai irama intrinsik ventrikel sehingga pacu jantung tidak


memberikan stimulus pada saatnya yaitu di antara kompleks QRS
ketiga dan keempat Pada gambar B pacu jantung salah mengenali
gelombang T sebagai kompleks QRS sehingga tidak memerikan
stimulus pada saat seharusnya (tanda panah) (Gambar A dikutip
dari buku The Medtronic ECG Workbook dan Eambar B dikutip
dari St Jude Medical Teaching Material).

DDD
Pemacuan dan deteksi kamar ganda (D) dengan respons
inhibisi bila terdapat sensing irama intrinsik baik pada
atrium dan ventrikel pada nilai AV tertentu dan akan

1656

I(ARDIOI.OGI

Ruang yang dipacu

Kategori O=Tidakada
A = atrium
V = ventrikel
D = atrium dan ventrikel

Ruang yang
mendeteksi (sensrng)

Respons terhadap
sens/ng

Laju Pemacuan Banyak


(rafe Tempat (multisite
modulation) pacing\

O = tidak ada
A = atrium
V = ventrikel
D = atrium dan vetrikel

O = tidak ada
| = inhibisi
T = trigerred
D = inhibisi dan trigerred

O = tidak ada
R = rate
modulation

memberikan pemicuan (/rigger) pada ventrikel bila terdapat


sensing/deteksi pada atrium pada interval VA tertentu

DDDR
Sama seperti di atas ditambah kemampuan adaptasi laju
pemacuan. Inilahjenis PJP yang paling fisiologis dan ideal.

Pengaturan
Pacuan

O=tdk ada
A=atrium
V=ventrikel
D=atrium dan ventrikel

bradycardia). Secara terinci indikasi pemasangan PJP


menurut pedoman bersama dari American College
Cardiolctgy, American Heart Associatiott, dan North
American Society of Pacing and Electrophysiolog:,,
terutama untuk indikasi kelas I, adalah sebagai berikut:

Blok Atrioventrikel Didapat (Acquired


Atr i ove nt r i c u I a r
HEMODINAMIK PADA PACU JANTUNG

kejadian fibrilasi atrium. Sebaliknya pada pemacuan kamar


ganda (dual chamber pacing) tujuan ini dapat dicapai
secara

maksimal.

Tekanan darah sistemik dan curahjantung adalah dua


parameter yang menjadi perhatian utama pada pemacuan
fisiologis. Pada uji khnis The Mode Selection Trial in

Sinus-Node Dysfunction didapatkan pemacuan kamar


ganda menyebatrkan adanya penurunan risiko fibrilasi
atrial, pengurangan gejala gagal jantung, dan sedikit
perbaikan angka kesintasan (surviv al).

INDIKASI PEMASANGAN PACU JANTUNG

laju jantung lambat yang bergejaTa (symptomaric

Setelah prosedur ablasi pada Atrioventricular

BlokAV pasca operasi yang tidak dapat pulih kembali


Penyakit neuromuskular dengan blok AV seperti
distrofi muskular miotonik
Blok AV derajat dua pada tingkatan manapun yang
diserta bradikardi bergej ala.

Pemacuan pada Blok Bifasikular dan


Trifasikular Kronis

.
.
.

BlokAV derajat tiga yang hilang timbtil (intermittent)


BlokAV derajat dua tipe II
Blok berkas cabang yang bergantian (alternating
bundle branch block)

Pemacuan pada Blok AV pada lnfark Miokard


Akut (lMA)

PERMANEN
Secara umum indikasi pemasangan PJP adalah keadaan

yang berkaitan dengan blok AV


Aritmia dan keadaan lain yang memerlukan obat
yang menyebabkan bradikardi bergejala
Adanya asystole yang terdokumentasi dengan
durasi 3 detik atau lebih atau laju irama escape yar,g
kurang dari 40 kali per menit pada pasien sadar
meskipun tanpa gej ala (sympt om-fr e e)

junction

diketahui bahwa atrium menyumbang sekltat 30qa


terhadap curah jantung (atriaL kick). Pada pemacuan
dapat dicapai. Pemacuan kamar tunggal juga dapat
memberikan efek samping berupa peningkatan angka
rawat-inap karena gagal jantung dan peningkatan

k)

pada lokasi anatomi manapun yang disertai:


Bradikardi yang bergejala (termasuk gagaljantung)

Tujuan yang paling ideal dalam pemasangan PJP adalah


tercapainya pemacuan yang fisiologis (physiological paclng) untuk mendapatkan efek hemodinamik yang optimal.
Konsep pemacuan fisiologis ini telah berkembang seiring
dengan bertambahnya pemahaman tentang hemodinamik
yang berkaitan dengan pacu jantung dan kecanggihan
sistem pacu jantung itu sendiri.
Adanya keselarasan antara pemacuan atrium dan
ventrikel (.AV synchrorzy) adalah amat penting untuk
memberikan efek hemodinamik yang positif. Seperti

kamar tunggal (single chamber pacln g) maka hal ini tidak

B Io c

BlokAV derajat 3 atau blokAv derajat dua yang lanjut

BIokAV derajat dua menetap dengan blokberkas cabang


bilateral atau blok AV derajat tiga pada IMA
Blok AV (derajat dua atau tiga) sesaat yang disertai
blok berkas cabang. Jika lokasi blok tidakjelas maka
diperlukan pemeriksaan elektrofisiologi.
Blok AV derajat dua atau tiga yang menetap dan
simtomatik

1657

PACU JAIYTUNG MENETAP (PERMANEN)

Pemacuan pada Disfungsi Nodus Sinus (srnus


node dysfunction)
. Disfungsi nodus sinus dengan bradikardi yang
terdokumentasi, termasuk sinus pauses yang sering.
Pada kebanyakan pasien hal ini disebabkan oleh obat-

obatan yang penting dengan indikasi kuat dan tidak


ada pilihan pengganti obat tersebut
Inkompetensi kronotropik (laju nadi yang tidak dapat
naik saat kebutuhan meningkat mislanya latihan) yang
simtomatik

Pencegahan dan Terminasi Takiaritmia


dengan Pemacuan (indikasi kelas lta)

Takikardia supraventrikel yang berulang dan bergejala


serta terbukti dapat diterminasi dengan pemacuan dan
ablasi atau obat akan memberikan efek samping yang
tidak dapat ditoleransi.
Fluter atrium dan takikardia supraventrikel yang terbukti
dapat diterminasi dengan pemacuan dan obat atau ablasi
tidak efektif

Pemacuan pada Sinkop Neurogenik dan


Sindrom Sinus Karotis Hipersensitif

lain yang telah dijelaskan di atas. Sedangkan indikasi


kelas II adalah keadaan kardiomiopati obstruktif
hipertrofi yang simptomatik dan gagal dengan terapi
obat dengan adanya bukti obstruksi alur keluar ventrikel
kiri baik saat istirahat maupun dengan provokasi
Pemacuan pada Kardiomiopati Dilatasi, indikasi kelas
I adalah pada keadaan yang disertai disfungsi nodus
sinus. Sedangkan indikasi kelas II adalah pemasangan
pacu jantung ventrikel ganda (biventricular pacing)
pada pasien kardiomiopati iskemia atau dilatasi yang
bergejala, fungsional klas New York Heart Association

(NYHA) III

atau IV, tidak membaik dengan obat, durasi

kompleks QRS memanjang (130 milidetik atau lebih),


diameter diastolik akhir ventrikel kiri sama atau lebih
dari 55 mm, dan fraksi ejeksi kurang atau sama dengan
35Vo

Pemacuan pasca T[ansplantasi Jantung, adanya


disfungsi nodus sinus dan inkompentensi kronotropik
yang tidak dapat pulih setelah transplantasi jantung.

TEKNIK DAN PROSES PEMASANGAN PACU


JANTUNG

Sinkop berulang akibat stimulasi pada sinus karotis, atau

Pemasangan PJP saat ini tidaklah sesulit pada masa dulu

penekanan minimal pada nodus sinus karotis yang


menimbulkan asistol ventrikel selama 3 detik atau lebih
tanpa adanya obat-obat yang menekan fungsi nodus si-

dan dapat dilakukan dengan anestesi lokal serta oleh


seorang kardiolog saja. Persiapan pasien adalah puasa
sekitar 6 jam sebelum prosedur. Antibiotika intravena
diberikan sebelum dan 24 jam sesudah prosedur
dilaksanakan. Selama tindakan pasien hanya diberikan

nus karotis

Pemacuan pada Anak dan Orang Dewasa


dengan Penyakit Jantung Bawaan

.
.
.
.
.

Akses yang umunmya dipakai adalah dengan cepha-

BlokAV derajat dua atau tiga yang berkaitan bradikardi

lic vein cut-down atau punksi vena subklavia. Pada teknik

asimptomatik, disfungsi ventrikel, dan penurunan curah

perlama dilakukan insisi di atas sulkus deltopektoralis, dan


dengan pemisahan jaringan secara tumpul, dicari vena
sefalika yang umumnya berjalan sejajar dengan sulkus

jantung
Disfungsi nodus sinus yang bergejala dan berkaitan
dengan bradikardi yang tidak sesuai dengan usia
Blok AV derajat dua atau tiga pasca operasi yang tidak
pulih setelah rujuh hari
BlokAV bawaan dengan irama pengganti tipe kompleks
QRS lebar, irama ektopik ventrikel, dan disfungsi
ventrikel kiri

Blok AV total pada bayi dengan irama ventrikel kurang


dari 50-55 kali per menit atau disertai penyakitjantung
bawaan dengan irama ventrikel kurang dai70 kali per
merut

Takikardia ventrikel yang berganittg pada pause


Qtause-dependent VT) dengan atau tanpa pemanjangan

interval QT dan manfaat pacing terbukti efektif.

Pemacuan pada Keadaan Khusus (spesifik)

sedasi ringhn tanpa anestesi umum.

Pemacuan pada kardiomiopati obstruktif hipertrofi,

indikasi kelas

pada kelainan

ini adalah adanya

disfungsi nodus sinus dan blokAV seperti pada keadaan

deltopektoralis. Pada saat yang sama dibuat kantung


Qtocket) untuk generator. Bila vena diternukan, dilakukan
cut-down untuk memasukkan lead alat wire ke dalam
atrium dan atau vetrikel kanan. Teknik lain adalah dengan
langsung melakukan punksi pada vena subklavia untuk
mendapatkan akses ke ventrikel dan atau atrium kanan.
Setelah akses didapat dimastl<kanwire dan disusul dengan
peel-away sheath fienis sheath yang dapat disobek).
Setelah lead dimasukkan, peel-away sheath dikeluarkan
dengan cara merobeknya.
Penempatan lead untuk ventrikel umumnya adalah di
apeks ventrikel kanan. Namun berdasarkan studi terkini
tempat alternatif seperti RVOT, adalah lebih baik karena
aktivasi antara ventrikel kanan dan kiri lebih sinkron. Telah
pula dibuktikan bahwa pemacuan pada apeks ventrikel
kanan berdampak buruk secara jangka panjang berupa
remodeling dan dilatasi ventrikel kiri serta penurunan
kapasitas fungsional. Pada pacu jantung kamar tunggal,
setelah lead berada di posisi yang dimaksud, dilakukan

1658

KARDIOI.]OGI

pengujian parameter berupa threshold, sensing, dan

impedance. Untuk penempatan lead

atritm yang

konvensional adalah pada right atrial appendage. Namun


saat ini untuk mencapai sinkronisasi antara atrium kanan
dan kiri dan mengurangi dispersi elektris antara kedua
atrium, posisi lead diletakkan pada right atrial high
septum dan right atrial low septum (pada ostium sinus
koronarius). Gambar 10 merupakan salah satu contoh
pasien penulis yang dipasang PJP kamar ganda (dual
chamber pacemaker).
Selanjutnya lead diflksasi secara baik dan dihubungkan
ke generator. Kulit ditutup lapis demi lapis secara jahitan
berkesinambungan. Antibiotika diberikan sehari sebelum
dan sampai sehari pasca pemasangan. Segera setelah selesai

dilakukan pemograman dan pengecekan akhir dengan


memakai alat yang disebut programmer. Pemeriksaan rutin
dengan programmer ini diulang kembali tiga bulan kemudian

untuk mengtbah acute threshold menjadi chronic


threshold dan secara berkala setiap 6 bulan.
Parameter baku untuk atrium dan ventrikel dapat dilihat
pada Tabel 2.
Komplikasi yang mungkin timbul saat dan setelah

Gambar 10. PJP kamar ganda dengan penempatan lead atrium


pada appendiks atrium kanan dan lead ventrikel di apeks ventrikel
kanan. Jenis yang dipakai adalah tiksasi aktif (screw-in lead)
yang pada ujung terlihat adanya screw (gambar diambil dari
Laboratorium Kateterisasi Divisi Kardiologi Dept llmu Penyakit

Dalam FKU|/Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN Cipto


Mangunkusumo, Jakafia)

PEMILIHAN JENIS PJP

pemilihan PJP bergantung pada beberapa hal seperti yang


terlihat pada Gambar 11.
Pada prinsipnya pada blokAV yang disertai oleh aritmia
atrial yang kronik maka dipilih pacu jantung kamar tunggal
di ventrikel. Sebaliknya bila tidak disertai aritrnia atrial kronik
dan diperlukan adanya keselarasan antara atrium dan
ventrikel (AV synchrony) maka dipilih jenis pacu jantung
kamar ganda. Faktor penentu lainnya adalah kompetensi

Yang menjadi pegangan utama dalampemilihan PJP adalah


jenis kelainan dalam sistem konduksi jantung dan aspek

kronotropik (chronotropic c ompetence).


Pada kelainan atau penyakit nodus sirus (sinus node
dysfunction) maka faktor penentu pemilihan jenis pacu

sosial ekonomi pasien. Pada kelainan berupa blok AV maka

jantung adalah ada tidaknya kelainan konduksi nodus AV.

pemasangan PJP adalah pneumotoraks, hemotoraks,


emboli udara, hematoma, trombosis intravaskular, erosi dan
infeksi.

Desire for
antrial pacing

Desire for
rate response
Rate-responsive

ventricular
pacemaker

Rate-responsive

ventricular
pacemaker

Singel-lead atrial
sensing ventricular
pacemaker

Gambar 11 . Pemilihan jenis pacu jantung pada kelainan blok atrioventrikuler (Dikutip dari Gregoratos G, Abraham J, Epstein AE et al. ACC/
AHfuNASPE guideline update for implanttation of cardiac pacemakers and antiarrhythmia devices.Circulation 2002;106:2145-61 )

16s9

PACU JANTUNG MENETAP (PERMANETO

Evidence for impaired AV


conduction or concern over
future development of AV
block

Desire for
AV syncrony

Desire for
rate response

Desire for
rate response

Gambar 12. Pemilihan pacu jantung pada kelainan nodus sinus. (Dikutip dari Gregoratos G, Abraham J, Epstein AE et
al. ACC/AHA/NASPE guideline update for implanttation of cardiac pacemakers and antiarrhythmia devices.Circulation
2002;106:2145-61

TINDAK LANJUT (FOLLOW-U4 PASTEN DENGAN


PACU JANTUNG PERMANEN

l.

Parameter implant akut (segera setelah implant sampai


dengan 3 bulan):
Threshold
Voltagd < lV, tapi lebih disukai <0,5V
Current <1,5 mA
lmpedance kira-kira 400-1200 ohm
Senslng
Gelombang R: > 5 mV
Gelombang P: > 2 mV

A.

1.
2.
3.
B
'1.
2.

ll. Parameter pada saat kronis

A.

B.

Threshold

1.
2.
3.

Voltage, <3 mV
Current:< 6 mA

lmpedance sekitar 500 ohm


Senslng
Gelombang R: > mV
Gelombang P:> 1,5 mV, sebaiknya 2,0-3,0 mV

1.
2.

Bila kelainan nodus sinus disertai dengan blok AV maka


diperlukan pacu jantung di ventrikel dan bila diperlukan
keselarasan antara atrium dan venrikel maka dipilih pacu
jantung kamar ganda. Berdasarkan uji klinlkMOSD (Mode
Selection in Sinus-node Dysfucntiorz) didapatkan bahwa
pada pasien dengan disfungsi nodus sinus yang dipasang
PJP kamar ganda dibandingkan kamar tungal, kelompok
yang mendapatkan PJP kamar ganda mempunyai risiko
kejadian fibrilasi atrial yang lebih rendah, gejala gagal
jantung berkurang, dan mempunyai kualitas hidup yang
lebih baik. Pemilihan secara rinci dapat dilihat pada Garnbar
12.

Tujuan pokok tindak lanjut pada pasien dengan PJP adalah


menilai sistem dan kinerja PJP secara menyeluruh untuk
menjamin adanya fungsi pemacuan yang optimal dan

sesuai dan mendeteksi serta mencegah masalah yang


berkaitan dengan PJP. Yang lebih penting lagi adalah
merangkum semua informasi yang diperoleh dari riwayat
penyakit, pemeriksaan fisis, data kejadian yang tersimpan

di dalam pacu jantung,

dan hasil penilaian yang

kesemuanya diramu dalam satu "resep pacujantung". Pada


prinsipnya tindak lanjut dimulai segera setelah implant dan

sampai sepanjang hayat pasien.


Pada fase akut pasca pemasangan PJP, tindak lanjut
awal dilakukan satu minggu setelah prosedur untuk menilai
keadaan luka. Hal penting lain yang harus diinformasikan
ke pasien adalah agar tidak mengangkat sisi tangan yang

dipasang pacu jantung melebihi bahu dan tidak


mengangkat beban berat >5 kg pada selama I bulan. Pasien

tidak perlu kuatir akan pengaruh alat-alat elektronik di


rumah. Yang perlu dihindari adalah alat generator besar di
pabrik yang dapat menghasilkan gelombang elektro
magnetik yang besar. Kemudian dilakukan tiga bulan
berikutnya dengan tujuan utama untuk mengubah acute
threshold (nilai amplitude yang diprogram pada saat
pemasangan dan biasanya lebih tinggi untuk menjamin
adanya capture karena masih adanya edema antara ujung

lead dan endokardium) ke chronic threshold (ntlai


amplitude yang diprogram lebih rendah dari acute

1660

IGRDIOI.OGI

threshold dan minimal dua kali threshold). Tindak lanjut


rutin selanjutnya adalah tiap 6 bulan.
Penilaian dan pemeriksaan rutin yang dikerjakan saat
tindak lanjut adalah menilai sensing dan capture,'
memantau integritas sistem, memantau keadaan baterai'

generator, dan memodifikasi pemrograman sesuai


kebutuhan pasien. Untuk itu setiap pasien datang
dilakukan pengambilan riwayat penyakit, pemeriksaan
dengan programmer
untuk menilai parameter yang telah disebutkan di atas.
Dalam memodifikasi semua parameter tersebut maka

EKG 12 sadapan, dan pemeriksaan

keselamatan pasien menjadi prioritas utama.

KEMAJUAN TERKINI DALAM BIDANG PACU


JANTUNG
Gambar 11. Pada CRT terdapat tiga buah lead yang dipasang di

Beberapa tahun belakangan

ini bidang pacu jantung

mengalami kemajuan yang pesat dalam hal indikasi. PJP


tidak hanya digunakan untuk indikasi yang konvensional

seperti bradikardi tapi dikembangkan pula untuk


pemakaian pada pasien gagal jantung (cadiac

atrium kanan (kiri atas) ventrikel kanan (paling bawah), dan sinus

koronarius (kanan atas). Gambar dikutip dari Cardiac


Resynchronization Therapy for heart failure management,
Medtronic lnc 2002)

resynchronization therapy) dan untuk pencegahan FA.

Indikasi pemakaian CRT menurut pedoman ACC/AHA/

Cardiac Resynchronization Therap (CRT) adalah


istilah yang dipakai untuk menyelaraskan (sinkronisasi)
kontraksi antara dinding ventrikel kiri dengan septum

NASPE (indikasi kelas IIa) untuk pemasangan CRT adalah:


. pasien gagaljantung kelas funsional III-IV

interventrikel dalam usaha memperbaiki efisiensi ventrikel


kiri dan selanjutnya berdampak kepada perbaikan klas
fungsional. CRT memiliki 3 buah pacing lead yang

.
.
.

tidak membaik dengan obat yang optimal


penyebab gagal jantung oleh karena kardiomiopati

..
.
.

iskemia atau idiopatik


durasi kompleks QRS > 130 ms
fraksi ejeksi <35Vo
dimensi akhir diastolik ventrikel kiri > 55 mm

masing-masing diletakkan di atrium kanan, ventrikel


kanan, dan sinus koronarius untuk pemacuan pada
dinding ventrikel kiri (Gambar 11). Dengan demikian
pemacuan akan menyelaraskan kontraksi antara venrikel
kiri dan kanan dan ini memberikan perbaikan hemodinamik
berupa penurunan tekanan baji arteri pulmonal dan
peningkatan curah jantung.
Braun MU dan kawan-kawan melldapatkan adanya

simptomatik

jantung telah dicoba untuk mencegah takiaritmia


atrial termasuk FA. Alasannya berdasarkan pengamatan
bahwa denyut atrial prematur atau takikardi atrial muncul
pada saat sinus bradikardi, sinus paus e, atau saat laju atrial
Pacu

penurunan aktivasi neurohormonal, perbaikan klas

menurun. Selanjutnya denyut atrial premoture ini


mencetuskan FA (focally-initiated AF). Oleh karena itu,

fungsional, dan kapasitas latihan paru jantung pada pasien


gagaljantung klas fungsional III-IY fraksi ejeksi <35Vo,
blok berkas cabang kiri dengan lebar kompleks QRS >150

dengan pacu jantung, sinus bradikardi dar. pause dapal


dicegah sehingga denyut atrial prematur sebagai pemicu
dapat ditekan. Hasil uji klinis Atrial Dynamic Overdrive

<24btian Bahkan Cleland

Pacing Trial (ADOPT) pemacuan pada atrium dapat

dan kawan-kawan dalam Cardiac Resynchronization and

mengurangi beban FA (AF burden). Jadi untuk pasien FA


paroksismal dengan kecendrungan bradikardi dan FAyang
dicetuskan oleh denyut atrial prematur maka PJP dengan
kemampuan penekanan FA (AF suppression abilitl,) ada
tempatnya dalam pilihan terapi.

ms yang mendapat CRT selama

Heart Failure (CARE-HF) Study mendapatkan adanya


perbaikan gejala dan kualitas hidup pada pasien gagal

jantung yang diberikan CRT. Saat ini CRT kerap


dikombinasi dengan implanttable cadiov erter defibrilla-

tor (ICD) karena angka kejadian kematian jantung


mendadak pada pasien gagal jantung cukup tinggi yaitu
sekitar 40Vo dai semua penyebab kematian. Mengingat
mahalnya harga alat ini maka pemakaiannya harus sangat
selektif pada pasien yang memang sangat memerlukan dan

akan mendapatkan manfaat yang maksimal dari alat


tersebut.

REFERENSI
Berstein AD, Daubert JC, Fletcher ED, et al. The revised NASPE/

BPEG generic code for antibradycardia, adaptive-rate, and


multisite pacing. PACE 2002:'25:260-4.

L66t

PACU JANTUNG MENETAP (PERMANEI9

Braun MU, Rauwolf T, Zerm T, et al. Long term biventricular


resynchronization therapy in advanced heart failure: efTect on
neurohormones. Heart 2005:91 :60 l-5
Cleland JG, Daubert JC, Erdman E, et al The effect of cardiac
resynchronization on rnorbidity and mortality in heart failure
N Eng J Med 2005;352:62.
Cooper JM, Katcher MS, Orlov MY Implanttable devices lbr treatment of atrial fibrillation. N Eng J Med; 2002;3216:2062-8.
Ellenbogen KA. Cardiac pacing. Blackwell Scientific Publications,

t992
Gregoratos C, Abraham J. Epstein AE et al. ACC/AHA/NASPE guideline update for implanttation of cardiac pacemakers and

antiarrhythmia devices.Circulation 2002; 106:2145-61.


Hayes Dl, Zipes DP, Cardiac pacemakers and cardioverterdefibrilators In: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al. Heart
Disease: a textbook

of cardiovascular medicine. 7'h Ed. Elsevier

Saunders, 2005.

Jeffrey, K, PeLrsonnet, V. Cardiac pacing, 1960-1985, a quarter cen-

tury of medical and indusLrial innovation


998:97:1978-91
IGight BP, Gesrh BJ, Carlson MD, et

Circulation

al

Role of permanent pacing

to prevent atrial fibrillation Circuiation 2005;11 l:240-5

KI, Sweeney MO, Silverman R. Ventricular pacing


or dual chamber pacing fbr sinus node dystinction. N Eng J Med
2002:346:1854-2.

modulated pacing system. St Jude Medical Inc 2004


Linde C, Leclercq C, Rex S, et al. Long-term benefits of biventricirlar
pacing in congestive heart failure. Results from the MUSTIC

(multisite stimulation in cardiomyopathy) study. J Am Coll


Cardiol 2002:40: 1 1 1- 1 8.
HW Miller BD, Moulton KP, et a1. Practical guide to cardiac
pacing. 5'h Ed. Lippincott Williams, 2000.
Reynods DW. Hemodynamics of cardiac pacing In: Ellenbogen
KA, Wood MA Cardiac pacing and ICDs. 3'd Ed. Blackwell
Moses

Science. 2002
Schoenfeld MH. Fo11ow-up assessments of pacemaker patient. ln:
Ellenbogen KA, Wood MA. Cardiac pacing and ICDs. 3'd Ed.

Blackwell Science, 2002.


Sweeney MO, Hellkamp AS, Ellenbogen

KA

Adverse effect of ven-

tricular pacing on heart failure and atrial fibrillation among


patients with normal QRS duration in a clinical trial of pacemaker therapy for slnus node dysfunction. Circulation
2003:101:2932-1

Lamas GA. Lee

Levine PA. Guidelines to the routine evaluation, programming and


fol1ow-up of the patient with an implantted dual-chamber rate-

Thambo JB, Bordachar P, Garrigue S, et al.Detrimental ventricle


remodeling in congenital complete heart block and chronic
right ventricle apical pacing. Circulation 2004;1 10:3166-37
Turner MS, Bleasdale RA, Mumford CE, et al.Left ventricular
pacing improves haemodynamics variables in patients with heaft
failure with a normal QRS duration. Heart 200.1;90:502-5.

26t
DEMAM REUMATIK DAN
PENYAKIT JANTUNG REUMATIK
Saharman Leman

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Berdasarkan pola etiologi penyakit jantung yang dirawat
di B agian Penyakit Dalam RSUP dr.M.Dj amil Padang tahun
1973-1977 didapatkan 31,47o pasien Demam Reumatik/
Penyakit Jantung Reumatik (DR/PJR ) pada usia 10-40
tahun, dengan mofialitas I2,4Vo (Harif, Saharman Leman,
1978).

Diagnosis kerja terhadap seorang pasien DR/PJR


menentukan sekali, apakah benar-benar kita akan
membantu pasien meningkatkan kualitas hidup yang baik
atau sebaliknya, yang membebani pasien yang berat, baik
mental, fisik ataupun sosioekonomi untuk seumur hidup
bagi pasien ataupun keluarganya.

Spagnuolo, 1962).DR dapat sembuh dengan sendirinya


tanpa pengobatan, tetapi manifestasi akut dapat timbul
kembali berulang-ulang, yang disebut dengan

kekambuhan (recurrenl). Dan biasanya setelah


peradangan kuman SGA, sehingga dapat menyebabkan
DR tersebut berlangsung terus-menerus melebihi 6 bulan.
DR yang demikian disebut DR menahun (TarantaA, 1981).
Meskipun sendi-sendi merupakan organ yang paling
tersering dikenai, tetapi jantung merupakan organ dengan
kerusakan yang terberat. Sedangkan keterlibatan organorgan lain bersifat jinak dan sementara.("Rheumatic fever
lips the joints, but bites the hearts").

Kuman SGA adalah kuman yang terbanyak


menimbulkan tonsilofaringitis, di mana juga yang
menyebabkan demam reumatik. Hampir semua
Streptokokus grup A (SGA) adalah beta hemolitik,.(Bisno,
1977

Batasan
DR merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non
supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular
kolagen atau kelainan jaringan ikat (Stollermary 1972).
Proses reumatik ini merupakan reaksi peradangan yang
dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung,
sendi dan sistem saraf pusat.
Manifestasi klinis penyakit DR ini akibat kuman

Streptokokus Grup-A (SGA) beta hemolitik pada


tonsilofaringitis dengan masa laten 1-3 minggu (Morehead,
1965). Sedangkan yang dimaksud dengan PJR adalah
kelainan jantung yang terjadi akibat DR, atau kelainan

&Bravol9l9).

Dikatakan bahwa DR dapat ditemukan diseluruh dunia,


dan mengenai semua umur, tetapi 907o dari serangan
pertama terdapat pada umur 5-15 tahun, sedangkan yang
terjadi dibawah umur 5 tahun adalah jarang sekali (Taranta
dan Markowitz, 1981, Stollerman, 1990.)
Yang sangat penting dari penyakit demam reumatik akut
ini adalah dalam hal kemampuannya menyebabkan katupkatup jantung menjadi fibrosis, yang akan menimbulkan
gangguan hemodinamik dengan penyakit jantung yang
kronis dan berat. Demam reumatik merupakan kelainan
jantung yang biasanya bukan kelainan bawaan, tetapi yang

diperdapat. Walaupun angka morbiditas menurun tajam


pada negara yang berkembang tetapi pada negara yang
sedang berkembang penyakit ini masih merupakan masalah
kesehatan yang utama. Kepastian sebab-sebab naik

karditis reumatik (Taranta A dan Markowitz, 1 98 1 ).


DR akut adalah sinonim dari DR dengan penekanan
saat akut, sedangkan yang dimaksud dengan DR inaktif
adalah pasien-pasien dengan DR tanpa ditemui tandatanda radang, sinonim dengan riwayat DR (TarantaA dan

turunnya insidensi penyakit

ini masih belum jelas.

Meskipun demam reumatik ini telah diteliti secara luas

t662

1663

DEMAM REUMATIK DAN PEITYAKIT JAI{TUNG REUM^'ITIK

(ekstensif) tetapi patogenesisnya masih belum jelas


(Taranta,1916).
Penyakit Demam Reumatik dapat mengakibatkan gejala
sisa (sequele) yang amat penting pada jantung sebagai

akibat berat ringannya karditis selama serangan akut


demam reumatik. Dari beberapa penelitian tentang insidens

karditis dan PJR yang menetap adalah akibat kekambuhan


DR tanpa PJR sebelumnya adalah sebagai beiktrt:6-l4Va
Kekambuhan yang terbanyak dan terpenting adalah
akibat perjalanan penyakit demam reumatik itu sendiri.
Cukup banyak dilaporkan insidens dari kekambuhan
demam reumatik yang yang berlanjut dan mengakibatkan
Penyakit Jantung Ruematik. Pencegahan primer DR dapat
diatasi dengan antibiotika Penisilin - V atau benzatin
penisilin parentral yang adekuat terhadap kuman SGA
betahemolitikus. Atau dapat juga dengan makrolid lainnya,
bila biakan hapusan tenggorok merupakan diagnostik
untukkuman SGA tersebut (Stollerman, 1955; Siegel, 1961).
Dajani A. dan kawan-kawan 1995 melaporkan bahwa
pasien DR adalah berisiko tinggi untuk terjadi kekambuhan

kembali oleh kuman SGA, sehingga diperlukan


pencegahan yang berkelanjutan dengan antibiotika
sebagai pencegahan sekunder terhadap kekambuhan
tersebut.

"American Heart Asscosiation 1988"


merekomendasikan perlunya dilakukan pencegahan
sekunder yang berkelanjutan dengan protokol seperti
yang dianjurkan oleh "Irvington House Group" ( U.K and
U.S, 1965), tetapi yang sukar adalah menetapkan untuk
berapa lama pencegahan sekunder ini dilakukan. Walaupun
risiko kekambuhan berkurang dengan bertambahnya umur

dan juga interval kekambuhan makin panjang tetapi


kekambuhan ini bisa terjadi selama 5-10 tahun. Hanya akan
berkurang atau menghilang bila dilakukan pengobatan
pencegahan sekunder secara teratur untuk waktu yang
cukup lama (Barrent, 1975).

Maka dari itu disamping pencegahan primer perlu


dilanjutkan dengan pencegahan sekunder untuk jangka
waktu tertentu. Karena itu eradikasi untuk pencegahan
sekunder dengan "Benzatin Penisilin G yang long acting" satgat diperlukan dalam mencegah terjadinya
kelainan hemodinamik pada sirkulasi darah jantung

tidak memperlihatkan gejala-gejala yang khas (Wood dkk


1964, Krause 1975, Straser 1978), (Ramelikamp, 1958).
(Krause 1975). Sedangkan kekambuhan demam reumatik
+3}Vobilaterserang infeksi SGA (Spagnuolo dkk 1971)
Majeed H.A dkk 1998, menganjurkan carApengobatan
pencegahan sekunder tersebut sbbl. (Penicillin long act-

ing)
Bila DR dengan karditis dan atau PJR (kelainan katup)

dilaksanakan pencegahan sekunder tersebut selama 10

pencegahan sekunder selama 10 tahun.

. DR saja tanpa karditis dilakukan

Streptokokus beta hemolitikus grup

sehingga

tercegah dari penyakit demam reumatik.

Pencegahan sekunder: yaitu upaya mencegah


menetapnya infeksi Streptokokus beta hemolitikus
grup A pada bekas pasien demam reumatik.

Program pencegahan primer sangat sukar dilaksanakan


karena sangat banyaknya penduduk yang dicakup dan juga
adanya infeksi Streptokokus hemolitik grup A (SGA) yang

pengobatan

pencegahan selama 5 tahun sampai umur 21 tahun.


Secara umlu;rr Committee on Rheumatic Fever tahln
1995 menganjurkan pencegahan sekunder ini sampai umur
2l tahtn dan 5 tahun lagi setelah terjadi serangan ulangan,
yang dilakukan tiap 4 minggu. Tetapi Lue H.C dkk 1986 dan

1994 pada daerah dengan insidens DR yang tinggi atau


pasien dengan gejala PJR menganjurkan pencegahan
sekunder ini tiap 3 minggu.
Majeed H.A (1992) melaporkan bahwa selama,12 tahun
pencegahan sekunder ini didapatkan kekambuhan DR ini
sebanyak 0.0037o pasien pertahun dibandingkan tanpa
melakukan pencegahan sekunder yaitu sebanyak 0.27o

pasien pertahun, juga melaporkan bahwa kekambuhan


yang dicegah dengan cara diatas ternyata 70Vo pasien

dengan karditis menghilang bising jantungnya serta


dengan irama jantung yang normal.

Maka dari itu di Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUnand/RSUP dr.M.Djamil Padang dilaksanakan suatu
program pencegahan sekunder yang dapat mengurangi/
menghilangkan pe{alanan penyakit Demam Reumatik (DR)
dan PJR yang cukup dahsyat ini. Protokol tetap yang
dilaksanakan sejak tahun 1978 sampai sekarang adalah
sebagai berikut:
. Untuk pasien <20 tahun, mendapat suntikan Benzatin
Penisilin G 1,2 juta unit tiap 4 minggu sampai umur 25
tahun.

. Bila umur pasien >20 lahlurr, harus mendapatkan


suntikan Benzatin Penisilin G (long-acting) selama

(Stollerman, 1955).
Seperti diketahui bahwa pencegahan demam reumatik ada
2caru:
. Pencegahan primer: yaitu upaya pencegahan infeksi

tahun sesudah serangan akut sampai umur 40 tahun


dan kadang-kadang diperlukan selama hidup.
DR dengan karditis tanpa PJR dilakukan pengobatan

tahun.

Bila pasien telah selesai dengan protokol I dan 2


sedangkan terjadi kekambuhan lagi maka akan
mendapatkan kembali suntikan Benzatin Penisilin G
dengan dosis I ,2 juta unit tiap 4 minggu.untuk selama 5
tahun berikutnya. Bila kasus berat tiap 3 minggu

Selama 20 tahun, sejak Agustus 1978 sampai Agustus


1998 di bagian Penyakit Dalam FK-UNAND/RSUP Dr M
Jamil Padang telah dilakukan analisis kesintasan dari hasil

program/protokol tetap di atas, dengan hasil kekambuhan

dapat dicegah sebanyak 80,27o dengan p<0,001.


Kesembuhan yang datang teratur adalah 92,4Vo dengan

t664

IqRDIOI.OGI

odds rasio I1,61 di manap <0,0001 dan RR 1,8l. yang datang

dengan kepatuhan/taat. Sedangkan pengobatan serangan


akut demam reumatik dipergunakan protokol tetap yang
direkomendasikan oleh Taranta A ( 1 970 ) sebagai berikut:
. Ditujukan pada manifestasi klinis yang didapat pada
serangan akut (Tabel 1).
. , Pencegahan primer ditujukan langsung pada SGA pada
saat serangan akut.

Untuk pengobatan dari bermacam-macam manifestasi

klinis sewaktu pasien datang berobat maka pada fase akut


ini dilakukan pengobatan sebagai berikut (Tabel 1)
(Frankish,

197

5;TNanta & Markowitz, 198 1 , Committee on

Rheumatic Fever, I 995).

i':Ji"#
^"'i#i"" populasr

Negara

lnggris &
Wales
* Kuwait
. Saudi Arabia
* Swedia
- USA

* lran

* Cekoslowakia
* Hongkong
* lndonesia

1-14

47

1984-1988 5-14

29

963

984 5 - 14
22
197'l-1980 0 - 15
0.2
1978
0 - 14
I
1975
semua umur
59-100
1972
1- 15
8.5
1972
semua umur
23
1

980-1

(belum ada laporan)

"dikutip dari Majeed HA 1992

sebagai akibat kekurangan kemampuan untuk melakukan


Manifestasi klinis
Artralgia
Artritis saja dan/atau
karditis tanpa
Kardiomegali
Karditis dengan
kardiomegali atau
Gagal jantung

Pengobatan
Salisilat saja
Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2
minggu dan diteruskan dengan 75
mg/Kgbb/hr selama 4-6 minggu
Prednison 2 mg/kgbb/hari se lama 2
minggu dan tapering selama 2
minggu dengan ditambahkan
salisilat 75 mg//kgbb/hari untuk 6

pencegahan sekunderDR dan PJR. TarantaAdan Markowitz

M,

1984 melaporkan bahwa DR adalah penyebab utama


terjadinya penyakit jantung untuk usia 5-30 tahun. DR dan
PJR adalah penyebab utama kematian penyakit jantung

untuk usia dibawah 45 tahun, juga dilaporkan

25-40%o

penyakit jantung disebabkan oleh PJR untuk semua umur.

mrnggu

PATOGENESIS
Untuk program pencegahan primer dipergunakan obat
Penisilin V 2 juta Unit/hari selama 10 hari atau Eritromisin
40 mg/kg bb ftrari selama l0 hari.

Meskipun sampai sekarang ada hal-hal yang belum jelas,


tetapi ada penelitian yang mendapatkan bahwa DR yang
mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitisasi dari antigen
Streptokokus sesudah 1-4 minggu infeksi Streptokokus
di faring. Lebih kurang 957o pasien menunjukkan

EPIDEMIOLOGI DAN INSIDEN

peninggian titer antistreptoksin O (ASTO),

Meskipun individu-individu segala umur dapat diserang


oleh DR akut, tetapi DR ini banyak terdapat pada anak-

dua macam tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman

antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan

anak dan orang usia muda (5- I 5 tahun) (Rosenthal, 1 968).


Ada dua keadaan terpenting dari segi epidemiologik pada

DR akut ini yaitu kemiskinan dan kepadatan penduduk.


Tetapi pada saat wabah DR tahun 1980 diAmerika pasienpasien anak yang terserang juga pada kelompok ekonomi
menengah dan atas. (Majeed, 1984). Setelah perang dunia
kedua dilaporkan bahwa di Amerika dan Eropah insiden

DR menurun, tetapi DR masih merupakan masalah


kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang.
(Syed G.A, 1966; Shiokawa, 7917; Padmavati, 1978;
Shrestha, 1979)

Pada penelitian dibawah ini terlihat insiden DR dan


PJR di Eropah dan Amerika menurun (Pinsky, 1977),
sedangkan di negara tropis dan sub tropis masih terlihat
peningkatan yang agresif, seperli kegawatan karditis dan
payah jantung yang meningkat. Majeed i992 melaporkan
insiden DR di beberapa negara tercantum pada Tabel 2.
Ternyata insiden yang tinggi dari karditis adalah pada
anak muda dan terjadinya kelainan katup jantung adalah

SGA. (Pattaroyo,1979)
Faktor-faktor yang diduga terjadinya komplikasi pasca

Streptokokus ini kemungkinan utama adalah pertama


Virulensi dan Antigenisitas Streptokokus, dan kedua
besarnya responsi umum dari "host" dan persistensi
organisme yang menginfeksi faring (Morehead, 1965).
Risiko untuk kambuh sesudah pernah mendapat serangan

Streptokokus adalah 50-60Vo. Robbins dkk. 1981


mendapatkan tidak adanya predisposisi genetik.
Sedangkan Moreheid 1965 mengganggap pada mulanya
faktor predisposisi genetik mungkin penting.
Penelitian-penelitian lain kebanyakan menyokong
mekanisme autoimunitas atas dasar reaksi antigen antibodi

terhadap antigen Streptokokus. Salah satu antigen


tersebut adalah protein-M Streptokokus. Pada serum
pasien DR akut dapat ditemukan antibodi dan antigen.
Antibodi yang terbentuk bukan bersifat kekebalan. Dan
reaksi ini dapat ditemukan pada miokard, otot skelet dan
sel otot polos. Dengan imunofloresensi dapat ditemukan
imunoglobulinnya dan komplemen pada sarkolema miokard

t665

DEMAM REUMAIIK DAN PEITYAKIT JANTUNG REUMATIK

MORFOLOGI

disertai bising mid-diastolik (bising Carey Coombs).

Lesi yang patognomonik DR adalah Badan Aschoff

Dengan dua dimensi ekokardiografi dapat mengevaluasi


kelainan anatomi jantung sedangkan dengan Doppler
dapat menentukan fungsi dari jantung. (Massel, 1958)

sebagai diagnostik histopatologik. Sering ditemukan juga


pada saat tidak adanya tanda-tanda keaktifan kelainan
jantung, dan dapat bertahan lama setelah tanda-tanda
gambaran klinis menghilang, atau masih ada keaktifan laten.
Badan Aschoff ini umumnya terdapat pada septumfibrosa
intervaskular, dijaringan ikat perivaskular dan didaerah
subendotelial. Pada PJR biasanya terkena ketiga lapisan
endokard miokard dan perikard secara bersamaan atau
sendiri-sendiri atau kombinasi.
Pada endokard yang terkena utama adalah katup-katup
jantung dan 507o mengenai katup mitral. Pada keadaan
dini DR akut katup-katup yang terkena ini akan merah,
edema dan menebal dengan vegetasi yang disebut sebagai
Vemrceae. Setelah agak tenang katup-katup yang terkena

menjadi tebal, fibrotik, pendek dan tumpul yang


menimbulkan stenosis. (Morehead, 1965).

MANIFESTASI KLINIS
DR/PJR yang kita kenal sekarang merupakan kumpulan
gejala terpisah-pisah dan kemudian menjadi suatu penyakit
DR/PJR. Adapun gejala-gejala itu adalah:

.Miokarditis dapat bersamaan dengan endokarditis


sehingga terdapat kardiomegali atau gagal jantung.
Perikarditis tak akan berdiri sendiri, biasanya pankarditis.

Chorea
Chorea ini didapatkan l07o dari DR (Strasseg I 978) yang
dapat merupakan manifestasi klinis sendiri atau bersamaan
dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan chorea
cukup lama yaitu 2-6 bulan atau lebih. Lebih sering dikenai
pada perempuan pada umur 8-12 tahun. Dan gejala ini
muncul selama 3-4 bulan. Dapat juga ditemukan pada anak

ini suatu emosi yang labil di mana anak ini suka menyendiri
dan kurang perhatian terhadap lingkungannya sendiri.
Gerakan-gerakan tanpa disadari akan ditemukan pada wajah

dan angota-anggota gerak tubuh yang biasanya unilateral. Dan gerakan ini menghilang saat tidur.

Eritema Marginatum
Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira1%o daipasien
DR, dan berlangsung berminggu-minggu dan berbulan,
tidak nyeri dan tidak gatal.

Artritis

Nodul Subkutanius

Artritis adalah gejala major yang sering ditemukan pada

Besamya kira-kira 0.5-2 cm, bundar, terbatas dan tidak nyeri

DR akut (Majeed H.A 1992). Sendi yang dikenai berpindahpindah tanpa cacat yang biasanya adalah sendi besar
seperti lutut, pergelangan kaki, paha, lengan, panggul, siku
dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri yang
meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang.
Nyeri ini akan menghilang secara perlahan-lahan.
Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu
minggu sehinggaterlihat sembuh sempuma. Proses migrasi
artritis ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi
keciljari tangan dan kakijuga dapat dikenai. Pengobatan
dengan aspirin dapat merupakan diagnosis terapetik pada
atritis yang sangat bermanfaat. Bila tidak membaik dalam
24-72 jam, maka diagnosis akan diragukan.

tekan. Demam pada DR tidak khas, dan jarang menjadi


keluhan utama oleh pasien DR ini (Strasser, 1981) Pada
penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti-peneliti di
berbagai negara, dari manifestasi klinis DR yang dilaporkan
oTeh

insidens 40-507o (Majeed H A 1992), atau berlanjut dengan

gejala yang lebih berat yaitu gagal jantung. Kadangkadang karditis itu asimtomatik dan terdeteksi saat adanya
nyeri sendi. Karditis ini bisa hanya mengenai endokardium
saja. Endokarditis terdeteksi saat adanya bising jantung.

Katup mitrallah yang terbanyak dikenai dan dapat


bersamaan dengan katup aorta. Katup aorta sendirijarang
dikenai. Adanya regurgitasi mitral ditemukan dengan bising

sistolik yang menjalar ke aksila, dan kadang-kadangjuga

PAYA PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan adanya infeksi kuman Streptokokusus Grup

A sangat membantu diagnosis DR yaitu:

.
.

Pada saat sebelum ditemukan infeksi SGA.


Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi

SGA tersebut.

Karditis
Karditis merupakan manifestasi klinis yang penting dengan

Committee of Rematic F ev er tahw 1992 dan penelitian

sendiri dapat dilihat seperti Tabel 3.

Untuk menetapkan ada atau pernah adanya infeksi kuman


SGA ini dapat dideteksi:
. Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya
kultur SGA negatif pada fase akut itu. Bila positif inipun
belum pasti membantu diagnosis sebab kemungkinan
akibat kekambuhan dari kuman SGA itu atau infeksi
Streptokokus dengan strain yang lain.

Tetapi antibodi Streptokokuslebih menjelaskan adanya

infeksi Streptokokus dengan adanya kenaikan titer


ASTO dan anti DNA-se

1666

KARDIOI.OGI

Di Negara

.S
.

Arabia,1984

Eritema Nodul
r Marginatum
Artritis carditis Korei
Subkutan
80%

60%

7%

Mortalitas

0o/o

0%

lYo

(30)

lraq, 19BB (86)

. Tunisia, 1982

ao/

92o/o

79%

63%

1%

0%

0%

0%

60/o

64%

NI

NI

10o/o

2%

0.4o/o

10k

,o/

0.450/o

8o/o

20o/o

2%

2%

0 36%
0.98%

35Yo

1.7Yo

2.2%

4 4%

1,6Yo

(324)

. Kuwait,1992 (445)
. usA, 1962 (275)
. tndia,1974 (102)
* lndonesia:
- Asikin H 1984
- Saharman L

B1o/o

76%
66%
38%
83Yo

44%
42%
34%
57%
94,5Yo

11 5o/.

1999

Keterangan: Nl= tidak ada laporan


Data ini dikutip dari Majeed AH untuk negara diluar lndonesia

Terbentuknya antibodi-antibodi ini sangat dipengaruhi

oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila


besamya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd
pada anak-anak, sedangkan titer pada DNA-se B 120
Todd untuk orang dewasa dan240 Todd untuk anakanak. Dan antibodi ini dapat terdeteksi pada minggu
kedua sampai minggu ketiga setelah fase akut DR atau
4-5 minggu setelah infeksi kuman SGA di tenggorokan
(Whitnack F dkk 1985). Untuk inilah pencegahan
sekunder dilakukan tiap 3-5 minggu (Stollerman, 1961).
Pada fase akut ditemukan lekositosis, laju endapan darah

yang meningkat, protein C-reactive, mukoprotein serum. Laju endapan darah dan protein C-reactive yang
tersering diperiksa dan selalu meningkat atau positif
saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat-obat
antireumatik. (Taranta & Moody, 1971)
Anemia yang ringan sering ditemukan adalah anemia
norrnositer normokrom karena infeksi kronis DR. Dengan
kortikosteroid anemia dapat diperbaiki.Tidak ada pola yang
khas dari EKG pada DR dengan karditis. Adanya bising
sistolik dapat dibantu dengan kelainan EKG berupa interval PR yang memanjang atau perubahan patern ST:T yang
tidak spesifik (Wahab, 1980)

PAYA-U PAYA DIAG NOSTI K

Diagnosis DR akut didasarkan pada manifestasi klinis,

bukan hanya pada simtom, gejala atau kelainan


laboratorium patognomonis. Pada tahun 1944 Jones
menetapkan kriteria diagnosis atas dasar beberapa sifat
dan gejala saja. Setelah itu kriteria ini dimodifikasi pada
tahun 1 955 dan selanjutnya direfisi 1965, 1984 dan terakhir
1992 olehAHA. (Tabel4)

Gejala major:

Gejala minor:

Korea

- Klinis: - suhu tinggi


- Sakit sendi (adralgia)
- Riwayat pernah menderita DRI/PJR

Nodul subkutaneus
Eritema marginatum

- Lab : "reaksi fase akut"

Poliatritis
Karditis

B. Terutama pada anakJdewasa muda aloanamnesa pada


orang tua dan keluarga sangat diperlukan.
Bila terdapat adanya infeksi Streptokoku,r sebelumnya
maka diagnosis DR/PJR didasarkan atas adanya:
1. Dua gejala mayor atau
2. Satu gejala mayor dengan dua gejala minor
se

Sedangkan penyediaan fasilitas pemeriksaan kuman


Streptokokus belum meluas maka manifestasi klinis diatas
harus dijadikan pegangan diagnosis suatu DR/PJR. Tentu

perlu dibedakan dengan

gej ala-gej ala penyakit-penyakit


lain seperti rematoid artritis, pegal-pegal kaki infeksi virus,
kelainan jantung bawaan dan lain-lain.

PERJALANAN PENYAKIT
Manifestasi DR sangat bervariasi. tetapi umumnya muncul
dengan bermacam-macam manifestasi klinis. Dan biasanya
dengan berbagai manifestasi klinis yang sukar ditentukan
pada saat pasien datang pertama kali berobat. Masa laten
infeksi Streptokokus dengan munculnya DR akut cukup
singkat bila ada atritis dan eritema marginatum dan akan
lebih lama dengan chorea, sedangkan karditis dengan nodul
subkutan diantaranya.
Lamanya DR akut jarang melebihi 3 bulan. Tetapi bila
ada karditis yang berat biasanya klinis DR akut akan

Ditambah: bukti-bukti adanya suatu infeksi

berlangsung 6 bulan atau lebih. (Taranta, 1964;

Streptokokus sebelumnya yaitu hapusan tenggorok yang


positif atau kenaikan titer tes serologi ASTO dan anti DNA-

Majeed, I 992 Gejala karditis akan ditemukan pada tiga bulan


pertama dari 93% pasien DR akut. (Mc Intosch dkk. 1935,

1667

DEMAM REUMATIK DAIY PEIYYAKIT JANTUNG REUMATIK

Rossentha, 1968)
Kadang-kadang karditis dapat juga terjadi pertama kali
serangan DR akut pada umur >25 tahun. Bila ringan akan
sembuh, tetapi bila karditis yang disertai demam dan
takikardia sering berlanjut dengan (3) kardiomegali dan
menetap dan bising-bising katup akan terdengar. Dan (4)
dekompensatio kordis dapat terjadi selama karditis masih
aktif.

Umumnya serangan DR dibuktikan juga dengan ditemukan


remato genik str ain

St

r ept o ko

kus g rup A.(S tolletman dkk.,

1990).

(Bisno dkk,1911). Studi Framingham (Goetzner dkk,


1985) selama 30 tahun dengan penelitian "cohort -control
study group" dari kasus-kasus PJR terdapat penurunan
yang tajam dari kematian pada studi karena serangan yang
berulang dari PJR yang diobati dengan cara pencegahan
sekunder. Pada PJR angka kehidupan hanya ktrar,g 40Vo
sedangkan pada DR tanpa PJR lebih dari 40%. Di Amerika

kelainan klinis DR/PJR akan bertambah baik bila

PROGNOSIS
DR tidak akan kambuh bila infeksi Streptokokus diatasi.
Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada saat
permulaan serangan akut DR. Selama 5 tahun pertama
perjalanan penyakit DR dan PJR tidak membaik bila bising
organik katup tidak menghilang, (Feinstein AR dkk, I 964).
Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat,
dan ternyata DR akut dengan Payahjantung akan sembuh

pencegahan sekunder dilaksanakan seumur hidupnya.


Karena mereka melaporkan dari Amerika masih ditemukan
kasus DR/PJR pada usia tua sehingga menjadi kelompok
penyakit lanjut usia. (Denny dkk, 1950; W.H.O, 1966,1988).
Pengalaman kami di B agian Ilmu Penyakit Dalam 1 97 8- I 998

(20 tahun) didapatkan penurunan insidensi DR/PJR dari


3l,4Vo menjadi l2,2Vo dari 1 82 pasien DR/PJR.

30Vo pada 5 tahun peftam a dan 40Vo setelah 1 0 tahun. Dari


data penyembuhan ini akan bertambah bila pengobatan

UPAYAPENCEGAHAN SEBANGAN ULANG DR

pencegahan sekunder dilakukan secara baik. Ada


penelitian melaporkan bahwa stenosis mitralis sangat

Bila seorang pasien DR akut telah sembuh, makamasalah

tergantung pada beratnya karditis, sehingga kerusakan


katup mitral selama 5 tahun pertama sangat mempengaruhi
angka kematian DR ini.(It-vington House Group & U.K
and U.S 1965).Penelitian selama 10 tahun yang mereka
lakukan menemukan adanya kelompok lain terutama
kelompok perempuan dengan kelainan mitral ringan yang
menimbulkan payah jantung yang berat tanpa diketahui
adanya kekambuhan DR atau infeksi Streptokokus.
(Stresser, 1978)

mempersoalkan bagaimanapun ringan atau beratnya


serangan pertama, namun kerentanan penyakit

ini

sangat

tinggi sehingga serangan berulang-ulang dapat timbul


kembali. Kekerapan penyakit ini sudah menurun dalam 25
tahun terakhir ini di Amerika dan Eropah. Di mana keadaan
ini sebahagian besar disebabkan oleh pencegahan

sekunder yang telah dilaksanakan. Dari penelitian


"Irvington House" 1954 diketahui bahwa dengan parentral
Penisilin G lah yang paling baik diantara tiga obat
pencegahan yang dicobakan yaitu Sulfadiazin, Oral
penisilin G dan suntikan benzatin penisilin G setiap bulan.

KEKAMBUHAN
Serangan perlama DR biasanya terjadi pada daerah wabah

faringitis Streptokokus yaitu sebanyak 3Vo, sedangkan


pasien yang pernah mendapat serangan DR akut
sebelumnya akan didapatkan l5%o (Tarufiadkk, 1970). Dari
" I rv in gt o n H o us e St udy" (Wood dkk, 1 964, American Heart
Asscosiation" 1988) melaporkan bahwa serangan reumatik

pada tiap infeksi Streptokokus pada anak-anak menurun


sebnyak 23Vo menjadi 117o selama 1-5 tahun sesudah

serangan pertama DR. Kekambuhan akan berkurang


tergantung pada lamanya serangan terakhir. Faktor yang
mendasar yang menyebabkan meningkatnya serangan
reumatik juga tergantung pada gejala sisa dari pada PJR.

Studi ini melaporkan PJR dengan kardiomegali


sedangkan PJR tanpa kardiomegali 27 Vo

utama adalah pencegahan sekunder. Kita tidak

43Vo

dantanpa kelainan

(w.H.o,1966)
Keunggulan cara

ini (Markowitz

,1985) mungkin

disebabkan oleh:
. Kunjungan sekali sebulan yang mendapatpencegahan
sekunder itu dipatuhi dan kesediaan obat lebih terjamin
dalam depot obat. (Wannamaker, 195 1)
. Absorpsi obat dan otot mungkin lebih lengkap dari pada

di

'

usus.

Yang terpenting kadar terapetik penisilin cukup untuk

menghilangkan setiap "intercurrent

" Streptokokus

selama satu minggu dari tiap interval 4 minggu.

Sesuai dengan laporan dari "Intersociaty Commition


for Heart Disease Resources" (AHA, 1988) bahwa semua
pasien yang sembuh dari DR akut diberikan suatu
pencegahan sekunder dengan atau tanpa karditis. Sehingga

serangan ulang dapat dicegah. Tentang lamanya

yang dibuktikan dengan meningkatnya titer ASTO.

pencegahan belum ada kata sepakat sampai saat ini.


Ternyata bahwa kekerapan serangan-serangan berulang
pada usia dewasa, tetapi serangan akut ini masih ditemukan

antung l)Vo. (Taranta, 1,964).


Faktor lain yang mempengaruhi kekambuhan ini sangat
tergantung pada reaksi imun dengan infeksi Streptokokus

1668

I(ARDIOI.OGI

pada usia 20 dan 30 tahunan. Tentu tidaklah bijaksana bila

mengandalkan pengobatan infeksi Streptokokus dengan


antibiotika saja, sedangkan pencegahan sekunder terusmenerus dipertahankan untuk waktu yang tidak ditentukan

(Taranta, 1981). Dari itu pencegahan sekunder perlu


disesuaikan dengan lingkungan, cuaca, umur, pekerjaan,
keadaan rumah tangga, dan keadaan jantung itu sendiri

yang sangat berpengaruh terhadap timbulnya resiko


serangan berulang. (Charney, 1968; Bravo, 1979; Brown,
1951; Davies, 1973)

pendidikan orang tua merupakan faktor penting akan

.
.
.

ketaatan melakukan pencegahan ini.


keadaan sosioekonomi bagi pasien atau keluarga
jarak antara tempat tinggal dan Rumah sakit.
manifestasi klinis waktu pasien masuk ke Rumah Sakit

juga mempengaruhi ketaatan untuk melakukan

pencegahan.

terhadap semua dokter, tenaga kesehatan dapat


mengenal dan melaksanakan pencegahan sekunder ini.

SARAN
UPAYA PENGENDALIAN DB/PJ H/ERADI KASI

Untuk ini perlu dipahami riwayat alamiah penyakit ini,


walaupun ada beberapa aspek patogenesis DR yang belum
dapat diterangkan seluruhnya (Reyes, 1975). Di mana perlu

diajukan suatu konsep sehingga pencegahan sekunder


ini dilaksanakan. Dari cara ini dapat dilakukan interfensi
siklus reinfeksi Streptokokus pada pasien dengan atau
pernah menderita DRiPJR. (Committee on Rheumatic
Fever, 1995).Untuk pengendalian dan pelaksanaan
pencegahan sekunder DR dan atau PJR dilapangan maka
diperlukan konsep intervensi siklus reinfeksi Streptokokus
dari tiap pasien yang datang berobat.

Menegakkan diagnosa demam reumatik dan penyakit


jantung reumatik sebaiknya didasarkan pada kriteria
Jones yang telah dimodifikasi dan dengan
perlimbangan klinis.

Melaksanakan protokol tetap pencegahan sekunder


demam reumatik dan penyakit jantung reumatik haruslah
sesegera mungkin setelah eradikasi kuman S.G.A dengan
penisilin selama 10 hari.
Meyakinkan adanya infeksi kuman S.G.A sebelumnya

diperlukan sarana laboratorium untuk pemeriksaan


titer ASTO dan Anti DNA-se B, dengan kemungkinan
tidak Saudaramiliki.

REFERENSI
Ad hoc Committee to Revise the Jones criteria (Modified) of the
councill on Rheumatic Fever And Congetudinal Heart Disease
1967 Jones criteria (revised) for qurdence in the diagnosis of
rheumatic fever American Heart Asso-ciation.
Abraharn M.T, Ghersam G: Rheumartic fever. Dalam ParmleyWW,
Chateryee K : Cardiology voJ. 2, Phyladelphia: JB Lrppincoot

Company; I 988.

Gambar 1. Skema pencegahan sekunder DR dan/atau PJB

Pencegahan sekunder adalah usaha mencegah


terjadinya infeksi kuman SGA pada pasien-pasien yang
pernah DR dan PJR. Pencegahan ini dilakukan dalam
jangka lama, yang memerlukan kesabaran baik pasien,
petugas kesehatan ataupun dokter. Mengingat DR dan
PJR menyebabkan cacat seumur hidup pada jantung. Dan

cacat tersebut menyebabkan umur harapan hidup akan


berkurang.
Untuk menunjang keberhasilan pengendalian atau eradikasi

Bladd E.F,Jones T.G : Rheumatic fever and Rleumatic heart disease.


A 20 years report on 1000 patients followed since childhood,.

Circulation 1951,4.
Brown E.E, 1951

Cause

121.1:

of rheumatic fever chronic sinusitis. Arch.

565-76

Bisno A.L, Pearce I A, and Stollerman G.H: Streptococcal


infections that fail to cause recurences of rheumatic fever.
J.Infect. Dis. 1911 ; 136:.278.

tergantung pada:

Bravo L.C, et.al: Streptococcal infections and rheumatic recurrences

cata pemberian obat

diperlukan keyakinan dan ketaatan pasien untuk


pencegahan sekunder
pengertian.

American Heart Association, Committee on Rheumatic Fever and


Bacterial Endo carditis: Prevention of rheumatic fever.
Cieculation 1988; 78: 1082.
Barrent A.L, Ferry E E, Perselin R.M: Acute rheumatic fever in
adults JAMA, 1975: 232.

Pediat 68

DR/PJR yaitu dengan pencegahan sekunder sangatlah

.
.

Albam B, Epstein J.A, Feinstein, A.R et.al : Rheumatic fever in


children and adolescents A long-tern epidemiologic study of
subsequent rophylaxis, streptococcal infections, and clinical
sequelae. Ann. Intern Med 1964; 60(suppl.5), No.2 part II.

ini

secara spontan dan penuh

in

subjects on secondary prophyJaxis. Philipp. J. Intern.


Med.l919'. 11: 12
Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of AmaericanHeart Association. Guidelines for Diagnosis

t669

DEMAM REUMITTIK DAN PEIYYAIflT JANTUNG REUMATIK

of Rheumatic Fever: Jones cliaeia, 1992 Update : JAMA 1992;


268 :2O69-13.
Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of American Heart Association. Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis and Prevention of Rheumatic Fever: Pediatrics 1995; 96:1 58-64.
Denny F.W, Wannamaker L.W, Brink W.R : Prevention of rheumatic fever, Treatment of the proceeding streptococcal infection. JAMA 1950; 143 : 151.
Dajani A.S, : Current status of pharing complication of group A
streptococci. Pediatatrics Heart J 1991; l0 :225.
Feinstein A.R and Spagnuolo M: The clinical pattems of acute rheumatic fever : A reappraisal. Medicine 1962; 4l: 219.
Feinstein A.R, Wood H.fl Spagnoulo M, Taranta A, Jones S, Kleinberg
E, and Tursky E,: Rheumatic fever in children and adolescent
VII, Cardiac changes and sequele. Ann. Intern. Med 1964; 60
(2) supll. 5.
Frankish J.D : Management of rheumatic fever. Med. Prog. 1975;
Dec.: 21 - 33.
Friemer E.H, and Mc Carty M.C: Rheumatic fever. Sience. Am.
1965; 213 : 67 - 74.
Gupta R.C , Bahdiwar A.K, Bisno A.L : Detection of Creative protein, Streptolysin O, antistreptolysin O antibodies in immune
complexis related form sera of patients with acute rheumatic
fever. Immunol. J 1986; 137:2113.
Gordis L, : Effectiveness of comprehensive care programs in preventing rheumatic fever. N. Enggl. J. Med. 1973; 289:331.
Hanafiah A : Diagnosis Demam Reumatik dan Penyakit Jantung
Reumatik. Berita Klinik IDAI 1976: Jakarta.
Hanif, Saharman Leman, Chairul Safri : Pola etiologik Penyakit
Jantung di Bagian Penyakit Dalam RSUP dr.M.Jamil Padang
1913-1977. Naskah Lengkap KOPAPDI IV 1978.
Jones T.D: The diagnosis of rheumatic fever J Am. Med.Associa.
1944'. 126 : 481.
Lue H.C, et. al: The natural history of rheumatic fever and rheumatic heart disease in the Orient. Jpn. Heart. I 7979;20 : 237.
Krause R.M : Prevention of streptococcal sequele by penicillin prophylaxis : a resses-sement. J. Infec. Dis. 1975; I3l (5): 592601

Markowitz M, : The decline of rheumatic fever, role of medical


intervention. J. Pediatr 1985; 106: 545
Massel B.V, Fyler D.C, and Roy S.B : The clinical picture of rheumatic fever. Diagnosis Immediate prognosis, course and
therapeuic implications. Am.J. Cardiol 1958; 1: 436.
Majeed H.A, Batnager S, Yousof A.M et.a1 : Acute Rheumatic Fever
and the Evaluation of Rheumatic Heart Disease: A Prospective
12 year Follow-up Study. J.Clin.Epidemiol 7992; 45:871-5.
Majeed H.A, Shaltout A, Yousof A.M : Recurences of Acute rheumatic Fever. AJDC 1984: 138:541-5.
Majeed H.A: Acute Rheumatic Fever medicine streptococcal. Them
Medicine Publishing Company Inter. 1991; 40 (11):100-5.
Morehead : Collagen Diseases and granule matrics Carditis

in

thema

Pathology publish. Mebrano-hall Book Co., 1965: 491.


Padmavati S, : Rheumatic fever and rheumatic heart disease in developing countries. Bull. WHO 19781, 56 : 543.
Pinsky W.W, Pinsky K.M, and Mc Namara O G : A current view of
acute rheumatic fever. Texas Med 1977;73 : 51 55
Pattaroyo M.E, Winchester R, Vejerano A et.al: Association of Bcell alloantigen with Susceptibility to rheumatic fever. Nature
1979l,218: 773.
Reyes A.L : Management of rheumatic fever in South Asia. Med.
Prog. 1975; 14 Dec. Roy S.B, et. al: Juvenile mitral stenosis in

India. Lancet 7963;2: 1193.

A, Czoniczer G and Massel B.F : Rheumatic fever under


three years of age. A Report of ten cases. Pediatrics 1968;

Rosenthal

4l:612.
: Rheumatic fever and rheumatic heart diseases
eradication with secondary prophylaxis prevention Benzanthine
penicillin G long acting 1,2 million unit in M.Djamil Hospital
Padang, 1978-1998. Abstract l3h Asian Congress of Cardiology, Singapore, June 2000, 182-3.
Saharman Leman : Perjalanan Penyakit Demam Reumatik dan
Penyakit Jantung Reumatik di Lab./UPF Penyakit Dalam FKUnand./RSUP dr.M.Djamil Padang. Analisis "survival".Naskah
Lengkap KOPAPDI VIII, Yogjakarta, 1990, 153-60.
Siegel A.C, Johnson E.E, and Stollerman G.H: Controlled studies of
streptococcal pharyngitis in pediatric population. New Engl. J.
Med . 1961; 24 :25 7 -264.
Shrestha N.K, and Padmavati S, : Prevalence of rheumatic heart
disease in Delhi school Children. Indian J Med. Res 1979;69:
Saharman Leman

827.
Spagnoulo M, Postemcak B,Taranta A: Risk of rheumatic fever
recurrence after streptococcal infection. Prospective study in
clinical and social factors. New Eng. J. Med.1971; 12:641-647.
Strasser T. : Recent advances in rheumatic fever control and future
prospects. Bull. WHO 1978; 56 : 887.
Strasser T. : Community control of rheumatic heart disease in developing countries. WHO Chron. 1980; 34 : 336.
Strasser ! Dondog N, A1 Kholy A, et.al: The community_control of
rheumatic fever and Rheumatic heart disease: Report of a WHO
International cooperative project. WHO Bull. 1981; 59 : 2.
Stollerman G.H: Rheumatogonic group A streptococci and the return of rheumatic feverAdv.Intern. Med. 1990, 35:1.
Stollermen G.H : Streptococci and Rheumatic Heart Disease. in
Devries, RRP, Cohen. I.R, and van Rood J.Ji The Role of Microorganisms in noninfectious disease. London Springer-Verlag
1990; pp. 9-20.
Stollerman G.H : Connective tissue disease in Barnett H.I, et al.
Pediatrics 797 2; 5h ed. New York, Appleton-Century-Crofts.
Taranta A, A. Markowithz M : Rheirmatic Fever. MTB Press Ltd.
1981.
Taranta A : Rheumatic fever in children and adolescents. A longterm
epidemiologic study of subsequent prophylaxis, streptococcal
infections, and clinical sequele IV. Relation of the rheumatic
fever recurrence rate per streptococcal infection to the titers
:

of

streptococcal antibodies. Ann. Intern. Med. 1964; 60

(suppl.5):47

A, Kleinberg E, Feinstein A.R: et.al: Rheumatic fever in


children and adolescents. A long-term epidemiologic study of
subsequent prophylaxis, streptococcal infections, and chnical
sequelae: VRelation of the rheumatic fever recurrence rate per
streptococcal infection to pre-existing clinical features of the
patients. Ann. Intern. Med 1964; 60 (suppl.5): 58.
Taranta A, Spagnuolo M, Feinstein A.R : "Chronic" rheumatic fever
Ann Intern. Med. 1962; 56 :367.
Taranta A: Rheumatic fever made difficult. A critical review of pha
Taranta

togenetic theories. Paediatrician 1976; 5 : 74.


Taranta A, et.al : Intersociaety Commission for Heart Disease
Resoources.:Prevention of rheumatic fever and rheumatic heart
disease. Circulation 1970; 41: A1-15.
Taranta A, and Moody M : Diagnosis of streptococcal pharyngitis
and rheumatic fever. Pediatr. Clin. N. Am. 1971; 18 : 125.
Toompkins D, et.al: Long term programs of rheumatic fever patients receiving regular inramuscuiar benzanthiine penicillin.

L670

Circulation 79'72l. 45 : 543.

UK and US, Joint Report. The natural history of rheumatic fever


and rheumatic heart disease: cooperative clinical trial of ACTH,

cortisone and aspirin. Circulation 1961; 32 : 45'7.


United Kingdom and United States Joint Report on Rheumatic Heart
Disease: The natural History'of the rheumatic fever and rheumatic heart disease. Ten-year report of a cooperative clinical
trial of ACTH, corsitone and aspirin. Circulation, 1965; 32:

457.
Walker C.H.M : Rheumatic fever and rheumatic heart disease in
Watson (ed.) Pediatric Cardiology. The C.V Mosby Co. Saint
Louis, 1968.
W.H.O : Preventive of rheumatic fever. Report of W.H.O Expert.
Committee Geneve, 1966.
W.H.O : Rheumatic fever and rheumatic heart disease. Report of
W.H.O Study Group, Geneve, 1988.

KARDIOI.OGI

Wood H.F et al: Rheumatic fever in children and adolescents. A


long-term epidemiologic study. Ann. Intern. Med. 1964; 60

(suppl.5);31.
Whitnack E, and Stollermen G.H: Antistreptococcal antibodies in
the diagnosis of rheumatic fever: In Cohen A.S (eds.): Lab.
Diagnostic Procedures in Rheumatic Diseases, 3'd Ed. Boston,
Little, Brown and Co. 1985: pp. 273-92.
Wood H.F, Simpson R, Feinstein A.R, Taranta A, Tursky E, and
Stollerman : Rheumatic Fever in children and adoloscent, a
long epidemioiogic study of subsequent prophylaxis, strepto
coccal infection and clinical sequele. Description of the investigative techniques and of population studied. Ann. Intem. Med,
1964;60 (2) supll. 5.

Wannamaker

L.W, Rammelkamp C.H Jr, Denny

F.W,

et.al:Prophylaxis of acute rheumatic fever by treatment of the


preceding streptococcal infection with various amounts of
depot penicillin Am. J. Med. l95l; 70: 673.

262
STENOSIS MITRAL
Taufik Indrajaya, Ali Ghanie

PENDAHULUAN

ETIOLOGI

Stenosis mitral merupakan kasus yang sudah jarang

Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika, akibat


reaksi yang progresif dari demam reumatik oleh infeksi
streptokokus. Penyebab lain walaupun jarang dapat juga

ditemukan dalam praktek sehari-hari terutama di luar negeri.

Sebagaimana diketahui stenosis mitral paling sering

disebabkan oleh penyakit jantung reumatik yang

stenosis mitral kongenital, deformitas parasut mitral,

menggambarkan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Oleh


karena itu di negara maju seperti Amerika, penyakit ini
sudah jarang ditemukan, walaupun ada kecenderungan
meningkat karena meningkatnya jumlah imigran dengan
kasus infeksi streptokokus yang resisten. Sedangkan di
Indonesia walaupun kasus baru juga cenderung menurun,
namun kasus stenosis mitral ini masih banyak kita temukan.
Angka yang pasti tidak diketahui namun dari pola etiologi
penyakit jantung di poliklinik Rumah Sakit Moehammad
HoesinPalembang selama 5 tahun (1990-1994) didapatkan
angka 13.94Vo dengan penyakit jantung katup.

vegetasi systemic lupus erythematosus (SLE), karsinosis

sistemik, deposit amiloid, akibat obat fenfluramin/


phentermin, rhematoid arthritis (RA), serta kalsifikasi
annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses
degeneratif.
Beberapa keadaan juga dapat menimbulkan obstruksi
aliran darah ke ventrikel kiri seperti Cor triatrium, miksoma

atrium serta trombus sehingga menyerupai stenosis


mitral.

Dari pasien dengan penyakit jantung katup ini 607o


dengan riwayat demam reumatik, sisanya menyangkal.
Selain daripada itv 50Ea pasien dengan karditis reumatik

Seperti di luar negeri maka kasus stenosis mitral


memang terlihat pada orang-orang dengan umur yang lebih
tua, dan biasanya dengan penyakit penyerta baik kelainan

akut tidak berlanjut sebagai penyakitjantung katup secara


Pada kasus kami di klinik (data tidak
dipublikasi) juga terlihat beberapa kasus demam reumatik
akut yang tidak berlanjut menjadi penyakitjantung katup,
walaupun ada di antaranya memberi manifestasi chorea.
Kemungkinan hal ini disebabkan karena pengenalan dini
dan terapi antibiotik yang adekuat.

klinik (Rahimtoola).

kardiovaskular atau yang lain sehingga lebih merupakan


tantangan.
Dengan perkembangan di bidang ekokardiografi diagnosis stenosis mitral, derajat berat ringannya dan efek
terhadap hipertensi pulmonal sudah dapat diambil alih,
yang sebelumya hanya dapat dilakukan dengan prosedur
invasif kateterisasi.

PATOLOGI
DEFINISI

Pada stenosis mitral akibat demam reumatik akan terjadi


proses peradangan (valvulitis) dan pembentukan nodul
tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini akan

Merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran


darah dari atrium kiri melal'ui.katup mitral oleh karena
obstruksi pada level katup mitral. Kelainan struktur mitral
ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul
gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat diastol.

menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup,


kalsifikasi, fusi komisura, fusi serta pemendekan korda atau
kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan
menimbulkan distorsi dari aparatus mitral yang normal,

t67

L672

mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut

I(ARDIOI.OGI

PATOFISIOLOG!

lkan ('fish mouth') atau lubang kancing (button hole)

(Gambarl).
Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari

orifisium primer, sedangkan fusi korda mengakibatkan


penyempitan dari orifi sium sekunder.
Pada endokarditis reumatika, daun katup dan khorda
akan mengalami sikatrik dan kontraktur bersamaan dengan
pemendekan korda sehingga menimbulkan penarikan daun
katup menj adi befiik funne I shap e d.
Kalsilftasi biasanya terjadi pada usia lanjut dan biasanya
lebih sering padaperempuan dibanding pria sertalebih sering
pada keadaan gagal ginjal kronik. Apakah proses degeneratif
tersebut dapat menimbulkan gangguan fungsi masih perlu
evaluasi lebih jauh, tetapi biasanya ringan.
Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala
klinis (periode laten) biasanya memakan waktu berlahuntahun (10-20 tahun).

mitral mempunyai ukuran


4-6 cm2. Bila area orifisium katup ini berkurang sampai 2
Pada keadaan normal area katup

cm2, maka diperlukan upaya aktif atrium

kiri

berupa

peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang

normal tetap terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi bila


pembukaan katup berkurang hingga menjadi I cm2. Pada
tahap ini, dibutuhkan suatu tekanan atrium kiri sebesar 25

mmHg untuk mempertahankan cardiac output yar,g


normal (Swain,2005).

Gradien transmitral merupakan 'hall mark' stenosis


mitral selain luasnya area katup mitral, walaupun
Rahimtoola berpendapat bahwa gradien dapat terjadi akibat
aliran besar melalui katup normal, atau aliran normal melalui
katup sempit. Sebagai akibatnya kenaikan tekanan atrium
kiri akan diteruskan ke v. pulmonalis dan seterusnya
mengakibatkan kongesti paru serta keluhan sesak
(exertional dyspnea).

Derajat berat ringannya stenosis mitral, selain


berdasarkan gradien transmitral, dapat juga ditentukan
oleh luasnya area katup mitral, serta hubungan antara
lamanya waktu antara penutupan katup aorta dan kejadian
opening snap. Berdasarkan luasnya atea katup mitral
derajat stenosis mitral sebagai berikut:

1. Minimal :bllaarea>2.5 cm2


2. Ringan : bila area 1.4-2.5 crfi
3. Sedang : bila area l-1.4 crfi
4. Berat :bilaarea<1.0cm?
5. Reaktif : bila area < 1.0 cnf
Keluhan dan gejala stenosis mitral mulai akan muncul

bila luas area katup mitral menurun sampai seperdua


Gambar 1. Ekokardiograti 2-D sumbu pendek (kanan) yang
menunjukan bentuk mulut ikan ('frsh mouth') alau lubang kancing
(button holel; dan sumbu panjang yang menunjukan 'dooming'

area mitral dan fusi dari korda (Sumber: A. Ghanie. Divisi


Kardiologi. Dept. lnt. Med. FK. UNSRI / RSMH Palembang).

normal (<2-2.5 cnf). Hubungan antara gradien dan luasnya


area katup serta waktu pembukaan katup mitral dapat dilihat
pada Tabel 1.

Derajat
Stenosis

A2-OS

Area

Gradien

interval

msec
msec
< B0 msec

Ringan

>'110

Sedang
Berat

80-1 '10

cm2
cm2
< 1 cm2

> 1.5
>1 dan < 1.5

< 5 mmHg
5-10 mmHg
>'10 mmHg

A2-OS :Waktu antara penutupan katup aorta dan pembukaan


katup mitral

Kalau kita lihat fungsi lama waktu pengisian dan


besarnya pengisian, gejala/simtom akan muncul bila waktu
pengisian menjadi pendek dan aliran transmitral besar,

sehingga terjadi kenaikan tekanan atrium kiri walaupun


area belum terlalu sempit (>1.5 cm2). Pada stenosis mitral
Gambar 2. Ekokardiografikardiografi transesofageal Potongan
4-ruang, menunjukan penebalan daun katup mitral dengan fusi
khorda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder.
(Sumber : A. Ghanie. Div. Kardiologi. Dept. lnt. Med. FK. UNSRI
/RSMH Palembang)

ringan simtom yang muncul biasanya dicetuskan oleh


faktor yang meningkatkan kecepatan aliran atau curah
jantung, atau menurunkan periode pengisian diastol, yang
akan meningkatkan tekanan atrium kiri secara dramatis.
Beberapa keadaan antara lain: (1) latihan, (2) stres emosi,

STENOSISMITRAL

1673

(3) infeksi, (4) kehamilan, dan (5) fibrilasi atrium dengan


respons ventrikel cepat.
Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan
atrium kiri akan meningkat bersamaan dengan progresi
keluhan. Apabila area mitral <1 cm2 yang berupa stenosis
mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam aktifitas.
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada stenosis mitral, dengan patofrsiologi yang
komplek. Pada awalnya kenaikan tekanan atau hipertensi
pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan
atrium kiri. Demikian pula te{adi perubahan pada vaskular

juga fatigue. Pada stenosis mitral yang bermakna dapat

paru berupa vasokonstriksi akibat bahan neurohumoral


seperti endotelin, atau perubahan anatomik yaitu remodel
akibat hipertrofi tunika media dan penebalan intima
(' re ac tiv e hyp e rtens ion' ). Kenaikan resistensi arteriolar

nokturnal dispnea atau ortopnea, oleh karena vaskular


tersebut akan menghalangi (sumbatan) sirkulasi pada
daerah proksimal kapiler paru. Hal ini mencegah kenaikan

mengalami sesak pada aktivitas sehari-hari, paroksismal


nokturnal dispnea, ortopnea atau edema paru yang tegas.
Hal ini akan dicetuskan oleh berbagai keadaan
meningkatnya aliran darah melalui mitral atau menurunnya
waktu pengisian diastol, termasuk latihan, emosi, infeksi
respirasi, demam, aktivitas seksual, kehamilan serta fibrilasi

atrium dengan respons ventrikel cepat.


Fatig juga merupakan keluhan umum pada stenosis
mitral. Wood menyatakan bahwa pada kenaikan resistensi

vaskular paru lebih jarang mengalami paroksismal

dramatis dari tekanan v.pulmonalis tetapi tentunya dalam

paru ini sebenarnya merupakan mekanisme adaptif untuk

situasi curah jantung rendah. Oleh karena itu simtom

melindungi paru dari kongesti. Dengan meningkatnya


hipertensi pulmonal ini akan menyebabkan kenaikan

kongesti paru akan digantikan oleh keluhan fatig akibat


rendahnya curah jantung pada aktifitas dan edema perifer.
Aritmia atrial berupa frbrilasi atrium juga merupakan
kejadian yang sering terjadi pada stenosis mitral yaitu 304OVo. Kqadianini sering terj adi pada umur yang lebih lanjut
atau distensi atrium yang menyolok akan merubah sifat
elektrofrsiologi dari atrium kiri. Hal ini tidak berhubungan

tekanan dan volume akhir diastol, regurgitasi trikuspid dan


pulmonal sekunder, dan seterusnya sebagai gagal jantung
kanan dan kongesti sistemik.

Perjalanan Penyakit
Stenosis mitral merupakan suatu proses progresif kontinyu

dan penyakit seumur hidup. Merupakan penyakit 'a


disease of plateaus' yang pada mulanya hanya ditemui
tanda dari stenosis mitral yang kemudian dengan kurun
waktu (10-20 th) akan diikuti dengan keluhan, frbrilasi
atrium dan akhirnya keluhan disabilitas.
Di luar negeri periode laten bisa berlangsung lebih lama

sampai keluhan muncul, sedangkan dinegara kita


manifestasi muncul lebih awal, hal ini dapat karena tidak
atau lambatnya terdeteksi, pengobatala yang kurang
adekuat pada fase awalnya.

Angka 10 tahun survival pada stenosis mitral yang


tidak diobati b erkisar 5OVo -6OVo,blla tidakdisertai keluhan
atau minimal angkameningkat 807o. Dari kelompok ini 607o
tidak menunjukkan progresi penyakitnya. Tetapi bila
simtom muncul biasanya ada fase plateu selama 5-20 tahun

sampai keluhan itu'benar-benar berat, menimbulkan


disabilitas. Pada kelompok pasien dengan kelas III-IV
prognosis jelek di mana angkahidup dalam lOtahtn<l1Vo.
Apabila timbul fibrilasi atrium prognosisnya kurang
balk (25Vo angka harapan hidup 10 th) dibanding pada
kelompok irama sinus (46Vo argkaharapan hidup 10 th).
Risiko terjadinya etnboli arterial secara bermakna meningkat

padafrbrilasi atrium.

MANIFESTASI KLINIS

Riwayat
Kebanyakan pasien dengan stenosis mitral bebas keluhan,
dan biasanya keluhan utama berupa sesak napas, dapat

dengan derajat stenosis. Fibrilasi atrium yaftg tidak


dikontrol akan menimbulkan keluhan sesak atau kongesti
yang lebih berat, karena hilangnya peran kontraksi atrium
dalam pengisian ventrikel (ll4 dan isi sekuncup) serta
memendeknya waktu pengisian diastol. Dan seterusnya

akan menimbulkan gradien transmitral dan kenaikan


tekanan atriumkiri.
Kadang-kadang pasien mengeluh terjadi hemoptisis

yang menurut Wood dapat te{adi karena: (l) apopleksi


pulmonal akibat rupturnya vena bronkial yang melebar,
(2) sputum dengan bercak darah pada saat serangan
paroksismal nokturnal dispnea,(3) sputum seperti karat
(pinkfrothy) oleh karena edema paru yangjelas, (4) infark
paru, (5) bronkitis kronis oleh karena edema mukosa
bronkus. Di luar negeri keluhan hemoptisis sudah jarang
diketemukan dan biasanya merupakan stadium akhir,
sedangkan di tndonesia sering ditemukan dan didiagnosa
secarakeliru sebagai tuberkulosis paru pada awalnya. Nyeri
dada dapat terjadi pada sebagian kecil pasien dan tidak
dapat dibedakan dengan anginapektoris. Diyakini hal ini
disebabkan oleh karena hipertroh ventrikel kanan dan
jarang bersamaan dengan aterosklerosis koroner.
Manifestasi klinis dapat jugaberupa komplikasi stenosis mitral, seperti tromboemboli, infektif endokarditis atau
simtom karena kompresi akibat besarnya atrium kiri seperti

disfagia dan suara serak.


Emboli sistemik terjadi pada lOTo-ZOVo pasien dengan
stenosis mitral dengan distribusi7l%o serebral, 33Vo peifer
dan 6Vo viseral. Risiko embolisasi tergantung umur dan
ada tidaknya hbrilasi atrium,SOVo kejadianemboli terjadi
pada fibrilasi atrium. Sepertiga dari kejadian emboli terjadi
dalam 3 bulan dari frbrilasi atrium, sedangkan 213 tetladi

1674

dalam

IiIRDIOI.OGI

I tahun. Jika embolisasi terjadi pada pasien dengan

irama sinus, harus dipertimbangkan suatu endokarditis


infektif. Kejadian emboli tampaknya tidak tergantung
dengan berat ringannya stenosis, curah jantung, ukuran
atrium kiri serla ada tidaknya gagal jantung. Oleh karena
itu kejadian emboli dapat berupa manifestasi awal stenomitral. Pada kejadian emboli angka rekuren dapat sampai
15-40 kejadian dalam 100 pasien/bulan.

sis

Dapat juga terjadi trombus masif dalam atrium kiri


'pedunculated ball-valve thrombus' yang dapat
memperberat keluhan obstruksi bahkan dapat terjadi
kematian mendadak (dikatakan jarang, tetapi pada seri kami
cukup banyak) (Gambar 4) Endokarditis infektif jarang
terjadi dengan insiden 27o dal.am I tahun (pada kasus tanpa
operasi).

DIAGNOSIS

Pemeriksaan Fisis
Temuan klasik pada stenosis mitral adalah 'opening snap'
dan bising diastol kasar ('diastolic rumble') pada daerah
mitral. Tetapi sering pada pemeriksaan rutin sulit bahkan
tidak ditemukan rumbel diastol dengan nada rendah, apalagi
bila tidak dilakukan dengan hati-hati. Diluar negeri kasus
stenosis mitral ini jarang yang berat, sehingga gambaran
klasik tidak ditemukan, sedangkan di Indonesia kasus berat
masih banyak. Walaupun demikian pada kasus-kasus
ringan harus dicurigai stenosis mitral ini bila teraba dan

terdengar S1 yang keras. S1 mengeras oleh karena


pengisian yang lama membuat tekanan ventrikel kiri
meningkat dan menutup katup sebelum katup itu kembali
ke posisinya. Di apeks rumbel diastolik ini dapat diraba
sebagai thrill.

Dengan lain perkataan katup mitral ditutup dengan


tekanan yang keras secara mendadak, Pada keadaan di
mana katup mengalami kalsifikasi dan kaku maka
penutupan katup mitral tidak menimbulkan bunyi S I yang

keras. Demikian pula bila terdengar bunyi P2 yang


mengeras sebagai petunjuk hipertensi pulmonal, harus
dicurigai adarrya bising diastol pada mitral.
Beberapa usaha harus dilakukan untuk mendengar
bising diastol antara lain posisi lateral dekubitus, gerakangerakan atau latihan ringan, menahan napas dan
menggunakan bell dengat meletakkan pada dinding dada
tanpa tekanan keras.

Derajat dari bising diastol tidak menggambarkan


Gambar 3. Ekokardiografi 2-D potongan 4 ruang melalui apek,
tampak vegetasi di katup mitral yang bisa menjadi sumber emboli
(tanda panah). (Sumber : A. Ghanie Div. Kardiologi. Dept. lnt.
Med. FK. UNSHI / RSMH Palembang)

beratnya stenosis tetapi waktu atau lamanya bising dapat


menggambarkan derajat stenosis. Pada stenosis ringan

bising halus dan pendek, sedangkan pada yang berat


holodiastol dan aksentuasi presistolik. Waktu dari A2-OS
juga dapat menggambarkan berat ringannya stenosis, bila
pendek stenosis lebih berat.
Bising diastol pada stenosis mitral dapat menjadi halus
oleh karena obesitas, PPOM, edema paru, atau status curah

jantung yang rendah. Beberapa keadaan yang dapat


menimbulkan bising diastol antara lain aliran besar melalui
trikuspid seperti padaASD, atau aliran besar melalui mitral
seperti pada VSD, atau regurgitasi mitral. Pada AR juga

dapat terjadi bising diastol pada daerah mitral akibat


terhrtupnya katup mitral anterior oleh aliran balik dari aorta
(murmur Austin-Flint). Bising diastol pada MR atau AR
akan menurun intensitasnya bila diberikan amil nitrit karena

menurunnya after load dan berkurangnya derajat


regurgrtasl.

Gambar 4. Ekokardiograli 2-D, menun.jukan trombus di dinding


posterior atrium kiri dan muara apendiks atrium kiri (Sumber : A.
Ghanie. Div. Kardiologi. Dept. lnt Med. FK. UNSRI / RSMH
Palembang)

Pemeriksaan Foto Toraks


Gambaran klasik dari foto toraks adalah pembesaran atrium
kiri serla pembesaran arteri pulmonalis. (terdapat hubungan

yang bermakna antara besarnya ukuran pembuluh darah

L675

STENOSISMITRAL

dan resistensi vaskular pulmonal).(Gambar 4) Edema

intertisial berupa garis Kerley terdapat pada 307o pasien


dengan tekanan atrium kiri <20 mmHg, pada TOVo blla
tekanan atrium kiri >20 mmHg. Temuan lain dapat berupa
garis Kerley A serta kalsifikasi pada daerah katup mitral.

Ekokard iograf i Transesofageal


Merupakan pemeriksaan ekokardiografi dengan
menggunakan tranduser endoskop, sehingga jendela
ekokardiografi akan lebih luas, terutama untuk struktur
katup, atrium kiri atau apendiks atrium. Dari data kami
dengan ekokardiografi transesofagus lebih sensitif dalam

Ekokardiograf i Doppler
Merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan
spesifik untuk untuk diagnosis stenosis mitral. Sebelum

deteksi trombus pada atrium kiri atau terutama sekali


apendiks atrium kiri (Gambar 6).

era ekokardiografikardiografi, kateterisasi jantung


merupakan suatu keharusan dalam diagnosis.

Dengan ekokardiografik dapat dilakukan evaluasi


strukxur dari katup, pliabilitas dari daun katup, ukuran dari
area katup dengan planimetri (' mitral valve area' ),struktur

dari aparatus subvalvular, juga dapat ditentukan fungsi


ventrikel. (Gambar 1)

Gambar 6. Ekokardiografi transesofageal potongan 4-ruang yang


memperlihatkan spontan eko kontras di atrium kiri yang tidak terlihat
pada TTE. (Sumber : A. Ghanie. Div. Kardiologi. Dept. lnt. Med.
FK. UNSRI / RSMH Palembang)

Selama ini eko transesofageal bukan merupakan


prosedur rutin pada stenosis mitral, namun ada prosedur
valvulotomi balon atau pertimbangan antikoagulan
sebaiknya dilakukan.

Gambar 5. Foto polos dada menuniukkan pembesaran segmen


pulmonal dan atrium kiri, sehingga pinggang jantung hilang
(Sumber : A. Ghanie. Div. Kardiologi. Dept. lnt. Med. FK' UNSRI
/ RSMH Palembang)

Sedangkan dengan doppler dapat ditentukan gradien

dari mitral, serta ukuran dari area mitral dengal cata


mengukur' pressure half time' terutama bila struktur katup
sedemikian jelek karena kalsifikasi, sehingga pengukuran
dengan planimetri tidak dimungkinkan. Selain dari pada
itu dapat diketahui juga adanya regurgitasi mitral yang
sering menyertai stenosis mitral
Derajat berat ringannya stenosis mitral berdasarkan

eko doppler ditentukan antara lain oleh gradien


transmitral, area katup mitral, serta besarnya tekanan
pulmonal.

Selain

itu

dapat juga ditentukan perubahan

hemodinamik pada latihan atau pemberian beban dengan


dobutamin, sehingga dapat ditentukan derajat stenosis
pada kelompok pasien yang tidak menunjukkan beratnya
stenosis pada saat istirahat.

Kateterisasi
Seperti disebutkan di atas dulu kateterisasi merupakan
standar baku untuk diagnosis dan menentukan berat
ringan stenosis mitral. Walaupun demikian pada keadaan
tertentu masih dikedakan setelah suatu prosedur eko yang
lengkap. Saat ini kateterisasi dipergunakan secara primer
untuk suatu prosedur pengobatan intervensi non bedah
yaitu valvulotomi dengan balon.

PENATALAKSANAAN

Pendekatan Klinis Pasien dengan Stenosis


Mitral
Pada setiap pasien stenosis mitral anamnesis dan
pemeriksaan fisik lengkap harus dilakukan. Prosedur
penunjang EKG foto toraks, ekokardiografi seperti yang
telah disebutkan diatas harus dilakukan secara lengkap.

Pada kelompok pasien stenosis mitral yang

asimtomatik, tindakan lanjutan sangat tergantung dengan

hasil pemeriksaan eko. Sebagai contoh pasien aktif

1676

I(ARDIOI.OGI

asimtomatik dengan area > 1,5 cnf , gradien <5 mmHg, maka
tidak perlu dilakukan evaluasi lanjutan, selain pencegahan
pasien tersebut dengan area mitral <1.5 cm2.

antagonis kalsium. Penyekat beta atau anti aritmia juga


dapat dipakai untuk mengontrol frekuensi jantung, atau
pada keadaan tertentu untuk mencegah terjadinya fibrilasi
atrial paroksismal. Bila perlu pada keadaan tertentu di mana

Balon mitral valvuloplasty (lihat skema di bawah ini).

terdapat gangguan hemodinamik dapat dilakukan


kardioversi elektrik, dengan pemberian heparin

terhadap kemungkinan endokarditis. Lain halnya bila

intravenous sebelum pada saat ataupun sesudahnya.


Relationship of MVAto cmdient

MVA

Stenosis sedang atau berat


atau MVA <1,5 cm'z

6 8

Morfologi katup layak untuk


Miral Balloning Va lvotomy
(PBMV)

Percutaneus

"**' ii"u*, 'o

16

Gambar 7. Hubungan antara gradien transmitral area mitral (MVA)


pada pasien stenosis
Pemeriksaan tahunan
anamnesis pemeriksaan
fisis, foto toraks,
ekokardiografi

Pendekatan Medis
Prinsip umum. Stenosis mitral merupakan kelainan
mekanik, oleh karena itu obat bersifat suportif atau
simtomatik terhadap gangguan fungsional jantung, atau
pencegahan terhadap infeksi.

ToleEnsi atihan buruk


atau PAP >5mmHg

Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan


penisilin, eritromisin, sulfa, sefalosporin untuk demam
reumatik atau pencegahan ekdokarditis sering dipakai.
Obat-obat inotropik negatif seperti p-blocker alatr Cablocker, dapat memberi manfaat pada pasien dengan irama
sinus yang memberi keluhan pada saat frekuensi jantung

meningkat seperti pada latihan. Retriksi garam atau


pemberian diuretik secara intermiten bermanfaat jika
terdapat bukti adanya kongesti vaskular paru.
Pada stenosis mitral dengan irama sinus, digitalis tidak

bermanfaat, kecuali terdapat disfungsi ventrikel baik kiri


atau kanan. Latihan fisik tidak dianjurkan, kecuali ringan

hanya untuk menjaga kebugaran, karena latihan akan


meningkatkan frekuensi jantung dan memperpendek fase
diastole dan seterusnya akan meningkatkan gradient

Pertimbangkan PNrvB
(singkirkan bekuan atrium kiri,
regurgitasi mitral34l

Gambar 8. Algoritme pada pasien stenosis mitral (from Bonow


R, et al. ACC/AHA Task Force report on guidelines for valvular
heart disease MVB, penggantian katup mitral; LA atrium kiri,MR,

regurgitasi mitral; PMBV, percutaneous mitral ballon

valvotomy. .Terdapat variabilitas pengukuran area katup mitral


dan gradien rata-rata transmitral, dan tekanan pulmonar yang
seharusnya menjadi pertimbangan.

+ Terdapat kontroversi tentang apakah pasien dengan stenosis


mitral berat dan hipertensi pulmonar berat harus menjalani
penggantian katup mitral untuk mencegah gagal ventrikel kanan.

transmitral.

Fibritasi atrium. Prevalensi 3O-407o, akan muncul akibat


hemodinamik yang bermakna karena hilangnya kontribusi
atrium terhadap pengisian ventrikel serta frekuensi ventrikel
yang cepat.
Pada keadaan ini pemakaian digitalis merupakan
indikasi, dapat dikombinasikan dengan penyekat beta atau

Pencegahan embolisasi sistemik. Antikoagulan warfarin


sebaiknya dipakai pada stenosis mitral dengan fibrilasi

atrium atau irama sinus dengan kecenderungan


pembentukan trombus untuk mencegah fenomena
tromboemboli.

Valvotomi mitral perkutan dengan balon. Pertama kali

1677

STENOSISMITRAL

diperkenalkan oleh Inoue pada tahun 1984 dan pada tahun


1994 ditermiasebagai prosedur klinik. Mulanya dilakukan

Intervensi bedah, reparasi atau ganti katup. Konsep

ini dengan

tahun 1902, dan berhasil pertamakali pada tahun 1920.

dengan dua balon, tetapi akhir-akhir

perkembangan dalam teknik pembuatan balon, prosedur


valvotomi cukup memuaskan dengan prosedur 1 balon.

Stenosis berat sedang


MVA <1,5 cm'?

PAP,60 mmHg
PAWP > 30 mmHg
Gradien > 15 mHg

Modologl katup yang


ayak untuk PMBV

Pedimbangkan PIVBV
(slngkirkan bekuan atrium k ri,
regurqitasi mifal 34)

komisurotomi mitral perlama kali diajukan oleh Brunton pada


Sampai dengan tahun 1940 prosedur yang dilakukan adalah

komisurotomi bedah tertutup. Tahun 1950 sampai dengan


1960 komisurotomi bedah tertutup dilakukan melalui
transatrial serta transventrikel.
Akhir-akhir ini komisurotomi bedah dilakukan secara
terbuka karena adanya mesin jantung-paru. Dengan cara
ini katup terlihat dengan jelas, pemisahan komisura, atau
korda, otot papilaris, serta pembersihan kalsifikasi dapat
dilakukan dengan lebih baik. Juga dapat ditentukan
tindakan yang akan diambil apakah itu reparasi atau
penggantian katup mitral dengan protesa. Perlu diingat
bahwa sedapat mungkin diupayakan operasi bersifat
reparasi oleh karena dengan protesa akan timbul risiko
antikoagulasi, trombosis pada katup, infeksi endokarditis,
malfungsi protesa serta kejadian trombo emboli.

LAMPIRAN

Gambar 9. Algoritme pasien dengan stenosis mitral dengan


simtom klasifikasi ll. (From Bonow R, et al ACC/AHA Task Force
report on guidelines for valvular heart disease. J Am Coll Cardiol
(in press). MVA, Area katup mitral; PAP, tekanan sistolik arteri
pulmonar; PAWP, tekanan baji arteri pulmonar; MV, mitral valve.
MVR, penggantian katup mitral; LA, atrium kiri; MR, regurgitasi
mitral; PMBV, percutaneous mitral balloon valvotomy.

Sesuai dengan petuniuk dari 'American College o.f


C a r d i o I ct gy / Ame r i c an H e art A s s o c i at i o n (.ACC/AHA)
dipakai klasifikasi indikasi diagnosis prosedur terapi.
sebagai berikut:
Klas I : keadaan di mana terdapat bukti atau kesepakatan
umum bahwa prosedur atau pengobatan itu bermanfaat

.
.

dan efektif,

Klas II: keadaan di mana terdapat konflik/perbedaan


pendapat tentang manfaat atau efikasi dari suatu
prosedur atau pengobatan.
. II.a. Bukti atau pendapat lebih kearah bermanfaat

atau efektif
II.b. Kurang / tidak terdapat bukti adanya manfaat
atau efikasi

. Klas III:

keadaan

di mana terdapat bukti

atau

kesepakatan umum bahwa prosedur atau pengobatan


itu tidak bermanfaat bahkan pada beberapa kasus
berbahaya.

Gambar 10. Algoritme pasien dengan stenosis mitral dengan


simtom klasifikasi lll-lV. (From Bonow R, et al. ACC/AHA Task
Force report on guidelines for valvular head disease J Am Coll
Cardiol (in press). MVA, Area katup mitral; PAP, tekanan sistolik
arteri pulmonar; PAWP, tekanan baji aderi pulmonar; MV, mitral

valve. MVR, penggantian katup mitral; LA, atrium kiri; MR,


regurgitasi mitral; PMBV, percutaneous mitral balloon valvotomy

t678

IqRDIOI.OGI

lndikasi
1.

2
J

4
5.

lndikasi

Klas

Diagnosis stenosis mitral, evaluasi berat


ringannya (gradient rata-rata, area katup,
tekanan arteri pulmonalis), serta ukuran dan
fungsi ventrikel kanan
Evaluasi morfologrs katup, guna menentukan
kelayakan tindakan balon katup
Diagnosis dan evaluasi kelainan katup yang
menyertai
Re-evaluasi stenosis mitral dengan perubahan
gejala dan tanda
Evaluasi respons hemodinamik dari gradient
rata-rata pada latihan, bila terlihat perbedaan
gambaran klinis dengan hemodinamik pada

Pasien simtomatik klasifikasi NYHA ll-lV,

1.

stenosis mitral sedang atau berat dengan area


< 1.5 cm2, modologis katup memenuhi syarat
untuk valvotomi balon, ianpa adanya
thrombus atrium kiri atau regurgitasi mitral
sedang-berat
Pasien asimtomatik dengan gradasi sedangberat (area
1.5 cm2), morfologis katup
memenuhi syarat dengan hipertensi pulmonal
(>50 mmHg pada istirahat, 60 mmHg dengan

<

latihan), tanpa adanya trombus di atrium kiri


a

atau regurgitasi mitral sedang-berat


Pasien dengan klasifikasi NYHA Il-lV, gradasi
sedang-berat (area <1.5 cm2), katup tidak
p/rabie disertai kalsifikasi dengan risiko tinggi
operasi, tanpa adanya trombus diatrium kiri

latihan

Re-evaluasi pasien stenosis sedang-berat


asimtomatik untuk menentukan tekanan arteri
pulmonalis
7.

Klas

atau regurgitasi mitral sedang dan berat

Evaluasi rutin stenosis ringan dan klinis stabil

Pasien asimtomatik, gradasi sedang-berat

(area < 1.5 cm2), morfologi katup memenuhi


syarat untuk valvotomi balon, disertai onset

atrial fibrilasi yang baru, tanpa

adanya

trombus diatrium kiri atau regurgitasi mitral


sedang-berat

lndikasi

Klas

Untuk menentukan ada tidaknya trombus


atrium kiri pada pasien dengan rencana balon
valvotomi atau kardioversi
Evaluasi morfologis katup bila data
transtorakal kurang optimal
Evaluasi rutin morfologis katup mitral bila data
transtorakal cukup optimal

Indikasi

1.
2.
3.

Fibritasi atrial paroksismal atau kronik


Riwayat kejadian emboli sebelumnya
Stenosis berat dengan dimensi atrium kiri > 55
Seluruh oasien denqan stenosis mitral

Klasifikasi NYHA lll-lv, gradasi sedang - berat


(area <1.5 cm2), katup kaku disertai kalsifikasi
dan risiko rendah untuk operasi

b.

Pasien dengan stenosis mitral ringan

REFERENSI

Klas
I

ilb
ilt

Bruce, C J., Nishimura, R.A. Newer Advances in the Diagnosis and


Treatment of Mitral Stenosis In Cunent Problems in Cardiology.
Mosby lnc.Vol. 23, Number 3. March 1998, p.125-96
Braunwald, E Mitral Stenosis. In Valvular heart disease. In Horrison's
Principles of Internal Medicine. Kasper, D.L., Braunwald, E.,
Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, J.L. 16n
edition. Vol. II McGraw-hill . 2005. p.1390-92.
Dalen, J.E., Fenster, P.E. Mitral Stenosis. In : Valvular heart disease.

Alpert, J.S., Dalen, J 8., Rahimtoola, S.H. Third edition.


Philadelphia Lippincott Williams & walkins, USA. 2000. p.
7

lndikasi

1.
2.
3
4.
5.

Pada pasien secara selektif


Menentukan gradasi stenosis pada rencana
balon valvotomi, dimana gambaran klinis
dan eko tidak sesuai
Evaluasi arteri pulmonal, atrium kiri,
tekanan diastoliK ventrikel kiri jika simtom
tidak sesuai dengan 2-D echo dan doppler
Evaluasi respons hemodinamik arteri
pulmonal dan tekanan artrium kiri terhadap
stres bila simtom klinis dan hemodinamik
pada istirahat tidak sesuai
Evaluasi hemodinamik katup mitral bila data
2-D dan doppler sesuai dengan temuan
klinis

mm

4.

Klas
I

ll a

ll a

ll a

il

5-1 12.

Bonow R, et al. ACC/AHA Task Force report on guidelines for


valvular MY mitral valve replacement
Ghanie,A Arsip ekokardiografikardiografi, Divisi Kardiologi Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/
RS. Dr. Mohammad Hoesin Palembang. 1987 - 2006.
Ghanie, A. Comparative study of transesophageal to transthoracal
in detecting thrombus and spontaneous ekokardiografi contrast
in mitral stenosis. Acta Medica Indonesiana. Vol. XXXIV. No.
2. edition April - June 2002. p.52-4.
Swain,2005. Mitral Stenosis. McNamara et al, eds. eMedicine http/
/www.eMedicine.com/emerg.topic.3 I 5 htm.

263
REGURGITASI MITRAL
Daulat Manurung

PENDAHULUAN

pada masing-masing daun katup, yang berfungsi untuk


menopang daun katup mitral dalam berkoaptasi. Setiap

Regurgitasi mitral sama denganmitral regurgitation (INIR)


adalah suatu keadaan di mana terdapat aliran darah balik
dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri pada saat sistol, akibat
tidak dapat menutupnya katup mitral secara sempurna.
Dengan demikian aliran darah saat sistol akan terbtrgi dua,
disamping ke aorta yang seterusnya ke aliran darah
sistemik, sebagai fungsi utama, juga akan masuk ke atrium
kiri. Akan tetapi daya pompa jantung jadi tidak efisien

berkas chorda terdiri dari beberapa serabut yang


"Jlerible".

Muskulus papillaris. Terdiri dari dua buah,-tempat


berpangkalnya kedua chctrdae tendinea, dan berhubungan
langsung dengan dinding ventrikel kiri. Berfungsi untuk
menyanggah kedua chordae. " Muskulus papillaris' adalah
bagian dari endokardium yang menonjol, satu di medial,
dan satu lagi di dinding lateral.

dengan berbagai tingkat klinisnya, mulai dari yang


asimtomatis sampai gagal jantung berat. Dari segi proses
terjadinya mitral regurgitasi dapat dibagi menjadi mitral
regurgitasi yang akut, transient atau bersifat sementara,
dan kronik. Sedangkan etiologi regurgitasi mitral sangat

Kelainan pada apparatus mitral ini pada keadaan


regurgitasi bisa saja hanya satu dari keempat komponen
tadi, misalnya pada anulus yang melebar, pada penyakit
jantung degeneratif seperti penyakit jantung koroner,
namun bisa saja mengenai dua atau lebih, seperti katup
mitral memendek, mengapur dan kelainan pada chordae,
fusi dan memendek seperli pada penyakit jantung rematik.
Pada akut infark, dapat terjadi muskulus papilaris.

banyak.

STRUKTUR DAN FUNGSIKOMPONEN KATUP MI.


TRAL

ETIOLOGI

Katup mitral terdiri dari empat komponen utama yaitu:

Anulus katup mitral. Terdiri dari bagian yang kaku


("fixed") yang berhubungan dengan annulus katup aorta.

Etiologi regurgitasi mitral (MR) sangat banyak, erat


hubungannya dengan klinisnya MR akut atau MR kronik.
MR akut secara garis besar ada tiga bentuk:
. MR primer akut non iskemia yang terdiri dari:
- ruptur korda spontan

Terdiri dari jaringan fibrosa dan merupakan bagian dari


pangkal katup mitral bagian anterior.

Bagian annulus mitralis yang lain yaitu bagian yang


dinamik, bagian yang terbesar dan tempat pangkal dari
daun katup mitral bagian posterior.

Kedua daun katup. Terdiri dari daun katup anterior dan


posterior. Keduanya asimetris. Celah dari kedua katup ini
disebut komisura, bagian antero medial dan postero

lateral.
Chordae tendinea.Terdiideri dua berkas, berpangkal pada
muskulus papilaris. Berkas chordae tendinea ini menempel

t67

endokarditisinfektif
degerasi miksomatous dari valvular

trauma

hipovolemia pada mitral valve prolapse (MVP)


MR karena iskemia akut
MR yang terjadi karena iskemia akut dapat dijelaskan
sebagai berikut. Akibat adanya iskemia akut, maka akan
terjadi gangguan fungsi ventrikel kiri, annular geometri

1680

IQIRDIOI.OGI

atau gangguan fungsi muskulus papilaris. Pada infark


akut, dapat terjadi ruptur dari muskulus papilaris, satu
atau keduanya. Selanjutnya timbul edema paru, syok
dan kematian. Namun apabila hanya satu muskulus
papilaris yang ruptur, biasanya walau klinisnya berat,

namun kemungkinan masih bisa diatasi. Ruptur


muskulus papilaris pada infark akut biasanya timbul

"slowly progressive", seperti pada penyakit jantung


rematik. Dapat juga terjadi sebagai konsekuensi lesi akut
seperli perforasi katup atau ruptur korda yang tidak pernah
memperlihatkan gejala-gejala akut, namun dapat diadaptasi
sampai timbul bentuk kronis dari MR. Beberapa jenis
etiologi MR kronik terdiri dari hal-hal sebagai berikut (Thbel
1).

antara hari kedua sampai hari kelima, klinisnya berat,

biasanya perlu tindakan operasi. MR juga bisa timbul


sebagai kelanjutan dari infark akut, di manaterjadi re-

modeling miokard, gangguan fungsi muskulus

papilaris, dan dilatasi annulus, gangguan koaptasi katup


mitral, selanjutnya timbul MR.
MR akut sekunder pada kardiomiopati.
Pada kardiomiopati terdapat penebalan dari miokard

yang tidak proporsional dan bisa asimetris, yang


berakibat kedua muskulus papilaris berobah posisi,
akibatnya tidak berfungsi dengan sempurna,
selanjutnya penutupan katup mitral tidak sempurna.

ETIOLOGIDAN MEKANISME MR KRONIK


Etiologi MR kronik sangat banyak. MR kronik dapat terjadi
pada penyakitjantung valvular yang berlangsung secara

Etiologi

MR karena Reumatik
Biasanya disertai juga dengan stenosis mitral berbagai
tingkatan dan fusi dari "commisura" , hanya sekitar l07o
kasus rematik mitral murni MR tanpa ada stenosis. MR

berat karena rheuma yang memerlukan tindakan operasi


masih sering ditemukan pada negara-negara yang sedang
berkembang, tetapi sudah jarang di negara-negara yang
sudah maju. Biasanya lesi rematik dapat berupa retraksi
fibrosis pada apparatus valvuler, yang mengakibatkan
koaptasi dari katup mitral tidakberfungsi secara sempurra.
Pada kasus-kasus MR yang mengalami koreksi operasi.
terdapat 3-40Vo karena atas dasar reumatik.

MR Degeratif
Yang paling sering penyebabnya adalah mitral valve
prolapse (MVP), di mana terjadi gerakan abnormal dari

Mekanisme

Gambaran Ekokardiografi

Retraksi
Penebalan

Penebalan kordal le aflets


Gerakan restriksi atau normal

Prolaps /eaflets
Ruptur korda

Prolapsil Fl ail leaflets


Redundant tissue
Ruptur korda

Dilatasi anulus
Tenting of leaflets

Normal /eafleats
Penurunan gerakan /eaflets

Penebalan
leaflets
Hilangnya
koaptasi

Penebalan /eaflets
Penurunan gerakan

lmobilisasi /eaflefs
Penebalan
leaflets

Penebalan /eaflets dan korda


Gerakan restriksi

Destructive
/eslons
Cleft leaflets
Transposed valve

Perforasi
Flail leaflets
Cleft leaflets
Tricuspid valve

Pascainflamasi
Rematik
Lupus eritematosus

Sistemik
Sindrom antikardiolipin
Pasca radiasi

Degeneratif
Mitral valve prolapse
ruptur korda idiopatik
Sindrom Marfan's
Sindrom Ehlers-Danios
Traumatik MR

Penyakit Miokardial
lskemik (kronik)
Kardiomiopati

Penyakit lnfiltratif
Penyakit amiloid
Penyakit Hurler's

Encasing disease
Sindrom hipereosinofilik
Fibrosis endomiokardial
Penyakit karsinoid
Lesi egot
Diet-drug lesions

Endokarditis
Kongenital
MR = Mitral Regurgitation

1681

REGURGNASIMITRAL

daun katup mitral ke dalam atrium

kiri

saat sistol,

diakibatkan

Pada keadaan seperti ini, pasien akan memperlihatkan


kiri akut, kongesti paru, dan

oleh tidak adekuatnya sokongan ("support") dari korda,


memanjang atau ruptur, dan terdapat jaringan valvular yang
berlebihan
Di negara-negara maju, lesi MVP merupakan lesi yang

gejala-gejala gagal jantung


penurunan cardiac output.

terbanyak didapatkan, 20-1}Vo dari kasus-kasus MR yang


mendapat tindakan koreksi dengan operasi.

PATOFISIOLOGI MB KRONIK

MR karena Endocarditis lnfective


"

Infective endocarditis" dapat menyebabkan destruksi

dan perforasi dari daun katup.

MR karena lskemia atau MR Fungsional


Timbul sebagai akibat adanya disfungsi muskulus papilaris
yang bersifat transient atau permanen akibat adanya
iskemia kronis. Iskemia kronik dan MR fungsional dapat
juga terjadi akibat dilatasi ventrikel kiri, aneurisma ventrikel,
miokardiopati atau miokarditis.

Penyebab Lain MR Kronik


Masih sangat banyak, walau sangat jarang ditemukan,
seperti penyakit jaringan lkat ("connective tissue

disorders"

), seperti sindrom Marfan,

sindrom

antikardiolipin, sindrom SLE dan lain-lain.

PATOFISIOLOGI MR AKUT
Pada MR primer akut, atrium

kiri dan ventrikel kiri yang

sebelumnya normal-normal saja, tiba-tiba mendapat beban


yang berlebihan ("severe volume overload"). Pada saat
sistol atrium kiri akan mengalami pengisian yang
berlebihan, disamping aliran darah yang biasa dari venavena pulmonalis, juga mendapat aliran darah tambahan
dari ventrikel kiri akibat regurgitasi tadi. Sebaliknyapada
saat diastol, volume darah yang masuk ke ventrikel kiri
akan mengalami peningkatan yang berasal dari atrium kiri
yang mengalamivolume overload tadi. Dinding ventrikel

kiri cukup tebal tidak akan sempat berdilatasi, namun akan

mengakibatkan mekanisme Frank-Starling akan


berlangsung secara maksimal, yang selanjutnya pasien
masuk dalam keadaan dekompensasi jantung kiri akut.
Tekanan atau volume ventrikel kiri yang berlebih
diteruskan ke atrium kiri, selanjutnya ke vena-vena
pulmonalis dan timbullah edema paru yang akut. Pada saat
yang bersamaan pada fase sistol di mana ventrikel kiri
mengalami volume overload dan tekanan di ventrikel kiri
meningkat, tekanan after load berkwang akibat regurgitasi
ke atrium kiri yang bisa mencapai 507o dari strok volume
ventrikel kiri. Aliran darah ke aorta (sistemik) akan

berkurang karena berbagi ke atrium

kiri. Akibatnya

cardiac output akan berkurang walaupun fungsi ventrikel


kiri sebelumnya masih normal atau bahkan diatas normal.

Tidak sempurnanya koaptasi dari kedua daun katup mitral


pada fase sistol, menimbulkan ada pintu/celah terbuka
("regurgitant orifice") untuk aliran darah balik ke atrium
kiri. Adanya "systolic pressure gradient " antara ventrikel
kiri dan atrium kiri, akan mendorong darah balik ke atrium
kiri. Volume darah yang balik ke atrium kiri disebut
"volume regurgitant" , dan presentase regurgitan volume
dibanding dai total ejection ventrikel kiri, disebut sebagai
fraksi regurgitan. Dengan demikian pada fase sistole, akan
terdapat beban pengisian atrium kiri yang meningkat, dan
pada fase diastol, beban pengisian ventrikel kirijuga akan
meningkat, yang lama kelamaan akan memperburuk
perfo rutance ventrikel kii (" remodeling " ).
Pada MR kronis, terjadi dilatasi ventrikel kiri, walau
lebih ringan ketimbang pada regurgitasi aorta (AR), pada
tingkat regurgitasi yang sama. Tekanan volume akhir diastol
("end diastolic volume") dan regangan dinding ventrikel
("wall slress ") akan meningkat. Volume akhir sistol akan
meningkat pada MR kronik, meskipun demikian, regangan
akhir sistole dinding ventrikel kiri biasanya masih normal.
Selanjutnya massa ventrikel kiri pada MR akan meningkat
sejajar dengan besarnya dilatasi ventrikel kiri.
Fungsi ventrikel kiri sulit dinilai karena ada perubahan
pada preload dan after load. After load lebih sulit lagi
dinilai karena ada aliran darah regurgitasi ke atrium kiri,

yang sedikit banyak akan mengurangi tahanan


pengeluaran darah dari ventrikel kiri, padahal pengukuran
after load danregangan akhir dinding ventrikel kiri masih
dalam batas norrnal. Bagaimanapun juga, terdapat korelasi
terbalik antara tekanan akhir dinding ventrikel dengan
fraksi ejeksi pada MR.
Petunjuk yang cukup komplek dengan memakai after
load seperti regangan akhir sistolik dinding ventrikel kiri
atau elastan maksimum yang disejajarkan dengan volume
ventrikel kiri , dapat dipakai sebagai pengukur perubahan

fungsi ventrikel

kiri yang cukup sensitif. Disfungsi

ventrikel kiri akibat MR merupakan pertanda prognase


yang tidak baik.
Fungsi diastolik pada MR sangat sulit dianalisis akibat

peningkatan volume pengisian. Relaksasi ventrikel kiri


("stffiess") ventrikel

biasanya memanjang dan kekakuan

kiri juga biasanya berkurang akibat bertambahnya


diameter rongga ventrikel kiri.
Pada pasien MR fungsional akibat penyakit jantung
koroner atau kardiomiopati, kelainan primer terdapat pada

ventrikel kiri, di mana kontraktilitas dinding ventrikel


sangat berkurang, padahal daun katup mitral

itu sendiri

L682

IGRDIOIOGI

masih normal. MR kebanyakan tidak sejajar dengan derajat

disfungsi ventrikel kiri, tetapi lebih berhubungan dengan


remodeling ventrikel kiri secara regional. MR fungsional
agak berbeda dengan MR organik ("valvular"'). Pada MR
fungsional, volume regurgitasi biasanya sedikit dan dilatasi
ventrikel kiri biasanya tidak proporsional dengan derajat
MR. Tetapi MR fungsional punya arti klinis yang penting.
berhubungan dengan peninggian volume dan tekanan di
atrium kiri, dan suatu pertanda penyakit miokardium yang
sudah lanjut. MR fungsional sangat efektif diobati dengan

vasodilator.

MANIFESTASI KLINIS
Pasien MR berat akut hampir semuanya simtomatik. Pada

Pasien dengan MR ringan biasanya asimtomatik. MR


berat dapat asimtomatik atau gejala minimal untuk

bertahun-tahun. Rasa cepat capai karena cardiac output


yang rendah dan sesak napas ringan pada saat beraktivitas,
biasanya segera hilang apabila aktivitas segera dihentikan.
Sesak napas berat saat beraktivitas, paroxysmal
nocturnal dyspnea atau edema paru bahkan hemoptisis
dapatjuga terjadi. Gejala-gejala berat tersebut dapat dipicu

oleh fibrilasi atrial yang baru timbul atau karena


peningkatan derajat regurgitasi, atau ruptur korda atau
menurunnya p e rfo rmanc e ventrikel kiri.
Sedangkan periode transisi dari akut menjadi kronik
MR, dapat juga terjadi misalnya dari gejala akut seperti
edema paru dan gagal jantung dapat mereda secara
progresif akibat perbaikan p e rfo tman c e ventrikel kiri atau
akibat pemberian diuretika.

beberapa kasus dapat diperberat oleh adanya ruptur


chordae, umumnya ditandai oleh sesak napas dan rasa

lemas yang berlebihan, yang timbul secara tiba-tiba.


Kadang ruptur korda ditandai oleh adanya

nyei

thopnea, paroxysmal nocturnal dispnea dan rasa capai


kadang ditemukan pada MR akut.
Dari anamnesis juga kemungkinan dapat diperoleh
perkiraan etiologi dari MR akut. MR akut akibat iskemia
berat, dapat diperkirakan pada kasus dengan syok atau
gagal jantung kongestif pada pasien dengan infark akut,
terutama bila didapatkan adanya murmur sistolik yang baru,

walau kadang tidak ditemukan murmur sistolik pada MR


akut akibat iskemia, karena dapat terjadi keseimbangan
tekanan darah di dalam ventrikel kiri dan atrium kiri, yang
dapat menimbulkan lamanya murrnur memendek sehingga
pada auskultasi sulit dideteksi (Tabet 2).

Akut
Gejala
Palpasi jantung

Sr

PEMERIKSAAN FISIS

dada, or-

Kronik

Hampir selalu
ada, biasanya
berat
Unremarkable
Soft
Ealy systolic to
holosystolic
Normal

Mungkin tak
ditemukan
Displaced dynamic
apical impulse
Soft or normal
Holosystolic
LVH dan fibrilasi
atrial sering

Jantung normal
silhouette;
edema paru
Normal LA

Enlarged heaft:
normal lung fields

Tekanan darah biasanya normal. Pada pemeriksaan palpasi,

apeks biasanya terdorong ke lateral/kiri sesuai dengan


pembesaran ventrikel ktti. Thrill pada apeks pertanda
terdapatnya MR berat. Juga bisa terdapat right ventricular
heaving,bisa juga didapatkan pembesaran ventrikel kanan.
Bunyi jantung pefiama biasanya bergabung dengan
murmur. Umumnya normal, namun dapat mengeras pada
MR karena penyakit jantung rematik. Bunyi jantung kedua
biasanya normal. Bunyi jantung ketiga terdengar terutama

pada MR akibat kelainan organik, di mana terjadi


peningkatan volume dan dilatasi ventrikel kiri. Murmur
diastolik yang bersifat rumbling pada awal diastolik bisa
juga terdengar akibat adanya peningkatan aliran darah pada
fase diastol, walau tidak disertai oleh adanya stenosis mitral. Namun perlu diingat bahwa bunyi jantung ketiga dan

murmur diastolik ini biasanya bunyinya bersifat "low


pitch", sulit dideteksi, perlu auskultasi yang hati-hati, lebih
jelas terdengar pada posisi dekubitus lateral kiri, dan pada
saat ekspirasi.

pemeriksaan fisis, perekaman EKG dan perubahan


radiologi sangat tergantung dari derajat dan kausa dari
MR, dan bagaimana performa atrium dan ventrikel kiri.

Gallop atrial biasanya terdengar pada MR dengan


awitan yang masih baru dan pada MR fungsional atau
iskemia serta pada irama yang masih sinus.
Pada MR karena MVP dapat terdengar mid systolic
click yang merupakan petanda MVP, bersamaan dengan
murrnur sistolik. Hal ini terjadi sebagai akibat peregangan
yang tiba-tiba dai chordae tendinea.
Petanda utama dari MR adalah murmur sistolik,
minimal derajat sedang, berupa murmur holosistolik yang
meliputi bunyi jantung pertama sampai bunyi jantung
kedua. Murmur biasanya bersifat b lowing, tetapi bisa juga
bersifat kasar ("harsh") terutama pada MVP. Pada MR
karena penyakit jantung valvular dan MVP dari daun katup
anterior, punctum maximum terdengar di apeks, menjalar
ke aksila. Sedangkan pada MVP katup posterior arah "jet"

(Tabel3).

dari murmur menuju superior dan medial. Akibatnya

Murmur
Elektrokardiogram
Foto toraks

Ekokardiografi
Terapi

and

LV

vasodilators

Endlarged LA and
Bedah

LA = atrium kiri, LV = ventrikel kiri, LVH = VHL = Hipstofi ventrikel kiri

MANIFESTASI KLINIS

Manefestasi klinis MR kronik, termasuk simtom,

1683

REGURGNASIMITRAL

Sindrom MVP

MR Fungsional

MR Organik

Nyeri dada
Lelah
Gejala
Pemeriksaan Mid-systolicclick, Loudholosystolic
fisis
dan- murmur sistolik murmur, 53
perubahan ST-T
Fibrilasi atrial

EKG
Foto dada

Pectus

CHF
Soft early

systolic murmur
Sa, Ss

excavatum Kardiomegali,
LA enlargement

Gelombang Q,
LBBB
Kardiomegali,
Edema paru

MR, mitral regurgitationi MYP, mitral valve prolapse; CHF , congestive heart
failure; ECG, electrocardiogram; LBBB, left bundle branch block; CXR, chesf
X-ray; LA, left atrium

murnur menjalar ke basis jantung dan sulit dibedakan


dengan murnur karena stenosis aorta atau kardiomiopati
obstruktif. Murmur juga bisa terdengar di punggung.
Murmur biasanya paralel dengan derajat MR, namun tidak
demikian pada MR karena iskemia atau fungsional.

ELEKTROKARDIOGRAFI
Gambaran EKG pada MR tidak ada yang spesifik, namun
fibrilasi atrial sering ditemukan pada MR karena kelainan
organik.
MR karena iskemia, Q patologis dan LBBB bisa terlihat
sedangkan pada MVP bisa terlihat perubahan segmen
ST-T yang tidak spesifik.
Pada keadaan dengan irama sinus, tanda-tanda dilatasi
atrium kiri (LAH) dan dilatasi atrium kanan (RAH) bisa
ditemukan apabila sudah ada hipertensi pulmonal yang
berat. Tanda-tanda hipertropi ventrikel kiri (LVH) bisa juga
ditemukan pada MR kronik.

FOTOTORAKS
Bisa memperlihatkan tanda-tanda pembesaran atrium kiri
dan ventrikel kiri. Juga tanda-tanda hipertensi pulmonal

atau edema paru bisa ditemukan pada MR kronik.


Sedangkan pada MR akut, biasanya pembesaran jantung
belum jelas, walaupun sudah ada tanda-tanda gagal
jantung kiri.

EKOKARDIOGRAFI
Ekokardiografi Doppler saatini merupakan alat diagnostik
yang utama pada pemeriksaan pasien dengan MR. Dengan
Eko Doppler, dapat diketahui morfologi lesi katup mitral,
derajat atau beratnya MR. Juga mengetahui beratnya MR.
Juga mengetahui fungsi ventrikel kiri dan atrium kiri.
Dengan eko bisa diketahui etiologi dari MR.
Color Flow Doppler imaging merupakan pemeriksaan

non-invasive yang sangat akurat dalam medeteksi dan


estimasi dari MR. Atrium kiri biasanya dilatasi, sedangkan
ventrikel kiri cenderung hiperdinamik. Dengan quided Mmode diameter, dapat diukur besamya ventrikel kiri, massa
ventrikel kiri dan tekanan dinding ventrikel, dan fraksi
ejeksi dapat dikalkulasi atau diestimasi. Volume ventrikel
juga dapat diukur dengan Ekokardiografi dua dimensi (2 D
E ko ka

rdio

g r afi c

ar di o g rap hy).

PENATALAKSANAAN TERAPI

Terapi Medikamentosa
Terapi MR akut adalah secepatnya menurunkan volume
regurgitan, yang seterusnya akan mengurangi hipertensi
pulmonal dan tekanan atrial dan meningkatkan strok
volume. Vasodilator arterial seperti sodium nitroprusid
merupakan terapi utama untuk tujuan ini. Vasodilator

arterial dapat mengurangi resistensi valvuler,


meningkatkan aliran pengeluaran ("forward

flow") dan
bersamaan dengan ini akan terjadi j uga pengurangan dari

aliran regurgitasi. Pada saat bersamaan dengan


kiri dapat membantu

berkurangnya volume ventrikel

perbaikan kompetensi katup mitral.


Sodium nitroprusid diberikan secara intravena, sangat
bermanfaat karcna half life sangat pendek, sehingga mudah
dititrasi, apalagi bila diberikan dengan pemasangan SwanGanz catheter.
Pada pasien MR berat dengan hipotensi, sebaiknya

pemberian sodium Nitroprusid harus dihindari. Intra


Aortic Balloon Counter Pulsation dapat dipergunakan
untuk memperbaTki mean arterial blood pressure, di mana
diharapkan dapat mengurangi afterload dan meningkatkan

forward output (pengeluaran darah dari ventrikel kiri).


Pengantian katup mitral baru bisa dipertimbangkan
sesudah hemodinamik stabil.

Terapi Medikamentosa pada MR Kronik


Prevensi terhadap endokarditis infektif pada MR sangat
penting. Pasien usia muda dengan MR karena penyakit

1684

Ii{RDIOI.TOGI

jantung rematik harus mendapat profilaksis terhadap


demam rematik. Untuk pasien dengan AF perlu diberikan

digoksin dan atau beta blocker untuk kontrol frekuensi


detak jantung ("rate control"').
Antikoagulan oral harus diberikan pada pasien dengan

AF. Penyekat beta merupakan obat pilihan utama pada


sindrom MVP, di mana sering ditemukan keluhan berdebar
dan nyeri dada. Diuretika sangat bermanfaat untuk kontrol
gagal jantung, dan untuk kontrol keluhan terutama sesak

perlu penilaian aparatus mitral secara cermat, dan


perforruance dari ventrikel kiri. Namun kadang saat
direncanakan rekonstruksi, sesudah dibuka, ternyata harus
diganti atau di replacement.
Penggantian katup mitral, dipastikan apabila dengan
rekonstruksi tidak mungkin dilakukan.
Apabila diputuskan :unlrtk replacement, maka pilihan
adalah apakah pakai katup mekanikal di mana ketahanan
dariyalye mechanical ini sudah terjamin, namun terdapat

dengan disfungsi ventrikel kiri, memperbaiki sirrvival dan

risiko tromboemboli dan harus minum antikoagulan


seumur hidup atau katup bioprotese ("biobgic valve") dr

tapas. ACE inhibitor dilaporkan bermanf'aat pada MR

memperbaiki sirntom. Juga MR fungsional sangat

mana umur valve sttht diprediksi, namun tidak perlu pakai

bermanfaat dengan ACE inhibitor ini.

antikoagulan lama.

Terapi dengan Operasi

banyak para ahli yang belum sepaham, namun ada


kecenderungan semakin cepat semakin baik, sebelum

Kapan tindakan penggantian katup diakukan masih


Ada dua pilihan yaitu rekonstruksi dari katup mitral dan
penggantian katup mitral (." mitral valv e replac ernent").

Ada beberapa pendekatan dengan rekonstruksi


valvular ini, tergantung dari morphologi lesi dan etiologi
MR, dapat berupa valvular repair misalnya pada MVP,
annuloplctsty, memperpendek korda dan sebagainya.
Sebelum rekonstruksi ataupun sebelum replacement

terladi disfungsi ventrikel kiri. Disfungsi ventrikel kiri


biasanya irreversible, walau katupnya sudah diganti.
Sebagai pegangan, AH A("American Heart Association")
dan ACC ("American College of Cardiologl,") telah
menerbitkan guidelines (panduan) tentang management
dari MR kronik (Gambar 1).

Regurgitasi mitral
berat kronik

Fraksi ejeksi

ventrikular >0,60
dan dimensi sistolik
akhir <45mm

ventrikelkiri<060
dan dimensi
sistolik akhi

Katup mitral
dapat direparasi

>45
Fraksi ejeksi

Tidak ada fibrilasi atrial


atau hipertensi pulmonal

Fraksi ejeksi

<030

Fibrilasi atrial atau


hipertensi pulmonal

Operasi katup mitral


jika teknis memungkinkan
reparasi katup kubis disulam

Terapi medis

Gambar 1. Bagan tatalaksana regurgitasi mitral berat kronik Dimodifikasi dari The American College of Cardiology-American Head
Association guidelines.

1685

REGURGTTA$MITRAL

REFERENSI

Catherine M Otto. Evaluation and management of chronic mitral


regurgitation. N Engl J Med, 2001; 345 ;74O-5.

ACA/AHA guidelines for the management of patient with valvular


heart disease: a report of the American College of Cardiology/

Eugene Brauwald. Valvular heart disease. 16 ed. Harrison's


Principles of Internal Medicine. 2005 Mc Graw-Hill; 1390-5.
Edited by Kaspen et al.
J.S. Fleming. Lecture notes on cardiology. (Chapter 7 : Mitral Valve

American Heart Association Task Force on Practice Quidelines


(Committee on Management of Patient with Valvular Heart
Disease). J Am. Coll Cardiol 1998:32:1486-588.
Barry M Massie Thomas M Amidon : Mitral regurgitation in Current medical diagnosis & teatment 2003. Edited by Tierney
LM, McPhee J/ Hapadakis MA. Lange Medical Books/ McGraw

Hill. The Heart. 42'd Ed. Current Medical Diagnosis &


Treatment 2003.p. 322-8.
Carabello BA. Acute mitral regurgitation. 3.d Ed. Valvular Heart
Disease by Lippincott William & Wilkin 2O00;143-55.

Disease).
Sarano ME, Hartzell VS, Abdul Jamil T, Robert LF. Chronic mitral
regurgitation. 3d Ed. Valvular Heart Disease 2000 by Lippincott

William & Wilkin;l 15-55.


Sjahbudin HR, Maurice ES, Hartzel et all. Mitral relurgitation

lOh

ed. 2001; in Hursts the Heart Ed. By Fuster Y et al. Internal


edition Mc Graw Hill Medical Publish Divisi; 1708-27.

264
STENOSIS AORTA
Marulam M. Panggabean

ETIOLOGI STENOSIS AORTA

Etiologi stenosis aorta adalah kalsifikasi senilis, variasi


kongenital, penyakit jantung rematik. Di negara maju,
etiologi terutama oleh kalsifikasi-degeneratif dan seiring
dengan prevalensi penyakitjantung koroner dengan faktor
risiko yang sama, sedang di negarakurang maju didominasi
oleh penyakit jantung rematik

DIAGNOSIS STENOSIS AORTA


Pada tahap asimtomatik, stenosis aorta ditandai oleh murmur sistolik ejeksi di basis jantung yang menyebar ke leher,

paling keras di daerah aorta dan apeks. Pada awalnya


karena curah jantung masih baik, murnur ini keras dan
kasar puncak mid-sistol dan disertai thrill . Pada

Gerak danjenis katup bikuspid (kongenital) atau trikuspid,


hipertrofi ventrikel kiri, fraksi ejeksi yang menggambarkan
fungsi sistolik ventrikel kiri dapat pula dinilai. Kecepatan
aliran darah di katup aorla (transvalvular aortic velocity
disingknt l.) dapat diukur dengan Doppler-Ekokardiograf,r.
Gradien katup aorta dapat dikalkulasi dengan memakai
rumus Bemoulli Gradien =4 x V2.
Treadmill Exercise ksl dulu dianggap kontraindikasi
pada stenosis aorta.sekarang perlu bagi pasien stenosis
aorta asimtomatik dengan velocity rransvalvular antata 34 m/detik. Dobutamin stres echo dapat pula dipakai untuk
memastikan beratnya penyakit pada stenosis aorta dengan
gradien transaorta rendah atau fungsi sistolik yang
menurun.
Kateterisasi jantung dan angiografi koroner diperlukan
oleh ahli bedahjantung bila direncanakan tindakan operasi
katup untuk menilai beratnya stenosis (Gradien katup dan

sistole. Pada stenosis aorta kongenital, murmur ini

area katup aorta), menilai anatomi katup, fungsi sistolik


ventrikel kiri dan menilai ada tidaknya penyakitjantung
koroner. Indikasi kateterisasi adalah: pasien dengan 1) AS

biasanya didahului oleh klik sistolik. Perabaan amplitude

serla tanda iskemia miokard untuk memastikan keterlibatan

perkembangannya di mana curah jantung mulai menurun,


murmur ini menjadi lebih halus dengan puncak di akhir

arteri koronaria, 2) Kelainan multivalvular untuk

nadi menurun Qtulsus parvus et tardus). Bunyi jantung


kedua melemah atau terdengar hanya satu komponen saja.

memastikan kelainan di masing-masing katup, 3) Pasien

Bila disertai regurgitasi aorta akan ditemukan early

AS muda asimtomatik dan non-kalsihkasi di mana tindakan


valvotomi balon masih dapat dilakukan, 4) Kecurigaan
obstruksi infra valvular seperti kardiomiopati hipertrofik

diastolik murmur. Foto toraks dapat normal tahap awal


karena hipertrofi konsentrik ventrikel kiri. Kalsifikasi aorta
dapat terlihat pada flouroskopi. Pada tahap lanjut akan
ditemukan dilatasi posl stenotik aofta asendens, dilatasi

obstruktif.

ventrikel kiri, kongesti paru, pembesaran atrium kiri dan


rongga jantung kanan. Elektrokardiografi menunjukkan
pembesaran ventrikel kiri. Pada kasus lanjut akan ditemukan
depresi segmen ST dan inversi gelombang T(LV Strain)
di sandapan I, AVL dan prekordial. Namun beratnya AS
tidak bisa disingkirkan walaupun tanpa hipertrofi ventrikel
kiri pada EKG. Ekokardiografi sangat membantu untuk
menunjukkan penebalan dan kalsifikasi daun katup aorta.

PERJALANAN PENYAKIT
Stenosis aorta asimtomatik mengalami periode normalyutg
laten dan lamanya tergantung etiologi. Pada masa laten ini
akan terjadi fibrosis dan kalsifikasi katup. Periode laten ini
lebih pendek pada stenosis aorta karena aorta bikuspid
serta reumatik dibandingkan dengan sklerotik aorta. Gejala

1686

t687

STENOSISAORTA

yang paling sering muncul adalah angina (35Vo), sinkop


(157o) dangagal jantung (50Vo). Begitu gejala muncul, rata-

rata hanya 25Vo yarlg bertahan hidup 3 tahun. Pasien


dengan angina hanya S}Vobertahan hidup 5 tahun, kecuali
dilakukan operasi ganti katup. Pasien dengan sinkop hanya

507o yarg bertahan hidup 3 tahun.Pasien dengan gagal


jantung hanya 50% yangbertahan hidup 2tahtn(2). Risiko
mati mendadak pada pasien asimtomatik h any a sekitar 2Vo
sehingga pembedahan harus segera dilakukan pada pasien
stenosis aorta simtomatik.
Pasien asimtomatik akan mengalami mati mendadak
sebesar 0,SVoltahtn. Pasien yang sudah dioperasi akan
mengalami re-operasi sebesar l7o pertahun dengan risiko
kematian operasi sebesar 17o
Gradasi stenosis asimtomatik dapat diukur dengan

Doppler dan dapat dipakai sebagai penentu timbulnya


gejala. Hanya 37o pasien dengan Transvalvular velocity

>4mldetik yang bertahan asimtomatlk daTam

Trans-valvular velocity lebih dari 4mldetik dianjurkan


untuk menjalani operasi seperti pasien simtomatik.
Transvalyular-velocity kurang dari 3m/detik tetap
diobservasi saja dan dibuat Doppler-ekokardio grafrtiap 6
(bagi mereka yang disertai penyakitjantung koroner atau
kalsifikasi sedang dan berat) atau tiap tahun bila tidak
ditemukan hal dimuka. Bila transvalvtlar velocity arrtaru
3-4mldetik dianjurkan Treadmil Exercise ksl protokol

Bruce dengan pengawasan ketat dilaiukan untuk


menentukan saat operasi. Bila timbul gejala saat tes,
tekanan darah turun saat tes atau kemampuan yang sangat
rendah (digambarkan dengan wakit exercise yang sangat

pendek), maka pasien dianjurkan untuk operasi katup


seperti pada pasien simtomatik.
Karena patogenesis stenosis aorta akibat sklerosis
aorta dianggap sama seperti aterosklerosis, maka semua
tindakan untuk pencegahan aterosklerosis harus diberikan
untuk mencegah progresivitas stenosis.

tahun.Sedangkan 85Vo pasien asimtomatik dengan


kecepatan <3m/detik dapat tetap hidup tanpa keluhan
dalam 5 tahun.Beratnya kalsifrkasi katup oarta, peningkatan

jet velocity yang progresif serta adanya penyakit jantung

PENATALAKSANAAN

koroner mempercepat timbulnya gejala dan memperburuk

Aktivitas fisik berat dihindarkan pada pasien AS

prognosls.

berat(<0,5cm2/nf walaupn masih asimtomatik. Nitrolliserin


diberikan bila ada angina. Diuretik dan digitalis diberikan

bila ada tanda gagal jantung. Statin dianjurkan untuk


PATOGENESIS
Hambatan aliran darah

di katup aorta (progressive

mencegah kalsifikasi daun katup aorta.


Operasi dianjurkan bila area katup <1cm2 atau 0.6cm/
m2 permukaan tubuh), disfungsi ventrikel kiri (stress test),

pressure overload of left ventricle aklbat stenosis aorta)


akan merangsang mekanisme RAA (Renin-AngiotensinAldosteron) beserta mekanisme lainnya agar miokard
hipertrofi. Penambahan massa otot ventrikel kiri ini akan
meningkatkan tekanan intraventrikel agar dapat melampaui
tahanan stenosis aorta tersebut dan mempertahankanwall
s/ress berdasarkan rumus Laplace: Srress= (pressure x

dilatasi pasca stenostik aorta walaupun asimtomatik.


Stenosis aorta karena kalsifikasi biasanya terjadi pada

radius): 2x thickness. Namun bila tahanan aorta

PROGNOSIS

bertambah, maka hipertrofi akan berkembang menjadi


patologik dengan gejala sinkop, iskemia sub-endokard
yang menghasilkan angina dan berakhir dengan gagal
miokard (gagal j antun g kongestif).

PENATALAKSANAAN

Tidak ada pengobatan medikamentosa untuk AS


asimtomatik, tetapi begitu timbul gejala seperti sinkop,
angina atau gagaljantung segera harus dilakukan operasi
katup, tergantung pada kemampuan dokter bedah
jantung(repair atau replace). Pasien asimtomatik perlu

dirujuk untuk pemeriksaan Doppler-Ekokardiografi.

orang tua yang telah pula mengalami penurunan fungsi

ginjal, hati dan paru. Evaluasi dari organ-organ ini


diperlukan sebelum operasi dilakukan.

Survival rate I0 tahun pasien pasca operasi ganti katup


aorta adal ah sekitar 60 7o dan r ata r ata 3 0 Vo kafip artifi

si

al

bioprotesis mengalami gangguan setelah 10 tahun dan


memerlukan operasi ulang. Katup metal artifisial harus

dilindungi dengan antikoagulan untuk mencegah trombus


dan embolisasi. Sebanyak 307o pasien ini akan mengalami
komplikasi perdarahan ringan-berat akibat dari terapi
tersebut. Valvuloplasti aorta perkutan dengan balon dapat
dilakukan pada pasien anak atau anak muda dengan AS
kongenital non-kalsifikasi. Pada orang dewasa dengan
kalsifikasi, tindakan ini menimbulkan restenosis yang

tinggi.

1688

REFERENSI
Brauwald E.Valwlar Heart Disease. In Kasper Dl,Braunwald E,Fauchi

AS et.al(editor),Harrison's Principles of Internal Medicine 16


ed.2003.p. 1390-403
Carabello,BA,Is it time to Operate on Asymptomatic Aortic
Stensosis?ACCEl.November 2004,vo1 36,no 11,Disc I
Fuster V, Aortic Valve Sclerosis.The 37s Annual New york
Cardiovascular Symposium:Major Topics in Cardiology
Today,New York Hilton and Towers,New York,December 1012,2004
Otto,CM,Aortic Stenosis:even mild disease is significant.Eur J Card
2OO4;25:185-7
Rosenhek R,Klaar U,Schemper M etal,Mild and moderate aortic
stenosis.Eur I Cald 20O4;25:199-205

Stewart WJ and Carabello BA,Aortic Valve Disease.In:Topol


EJ(Editor),Textbook of Cardiovascular Medicine,ed2.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2OO2.p. 5O916.

KARDIOI.OGI

265
REGURGITASI AORTA
Saharman Leman

PENDAHULUAN

dalun2 macam kelainan artifisial yaitu:

..

Abnormalitas katup jantung yang dibahas dalam bab ini


menyangkut katup aorta, baik segi etiologi, patofisiologis,
gambaran klinis serta penatalaksanaannya. Kelainan ini
merupakan penyakit jantung yang masih cukup tinggi

insidensinya. Beberapajenis pemeriksaan dapat digunakan

untuk membantu menegakkan diagnosis seperti


fonokardiografi, kateterisasi kardiak, serta angiografi,
seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya.

..

EPIDEMIOLOGI

menderita regurgitasi aorta yang berat, didapatkan angka


kematian lebih tinggi dari yang diharapkan (10 tahun, 34 +
5Vo,p <O,0OI) dan angka kesakitan meningkat tinggi pada
pasien yang diterapi secara konservatif. Prediksi angka

Sindrommarfan
Mukopolisakaridosis

Dilatasi ventrikel merupakan kompensasi utama pada


regurgitasi aorta, bertujuan untuk mempertahankan curah
jantung disertai peninggian tekanan artifisial ventrikel kiri.
Pada saat aktivitas, denyutjantung dan resistensi vaskular
perifer menurun sehingga curah jantung bisa terpenuhi.
Pada tahap lanjut, tekanan atrium kiri, pulmonary

fibilasi atrium, diameter

sistolik akhir ventrikel kiri. Dari penelitian prospektif di


Eropa terhadap pasien dengan kelainan katup jantung,
didapatkan bahwa pasien dengan kelainan katup ini masih
perlu tindakan intervensi yang segera. Jenis kelainan katup
yang sering didapatkan adalah stenosis aorta 43,lVo dai
1197 pasien, regurgitasi mitral 31,5 Vo dai 877 pasien,
regurgitasi aorta 13,3 Vo dai 369 pasien, stenosis mitral
Vo

Aortic left ventricular tunnel

PATOFISIOLOGI

harapan hidup pasien tergantung dari umur, kelas

12,7

Genetik

Karl et al melakukan penelitian terhadap 246pasienyang

fungsional, index c omorb idity,

Dilatasi pangkal aorta seperti yang ditemukan pada:


- Penyakitkolagen
- Aortitis sifilitika
- Diseksi aorta
Penyakit katup artifisial.
- Penyakit jantung reumatik
- Endokarditisbakterialis
- Aorta artificial congenital
- Ventricular septal defect (YSD)
- Rupturffaumatik

wedge pressure, arteri pulmonal, ventrikel kanan dan atrium

kanan meningkat sedangkan curah jantung menurun


walaupun pada waktu istirahat

dari 336 pasien. Kelainan degeneratif masih

merupakan penyebab tersering relurgitasi aorta. Dari studi


F ramin gham didapatkan 4, 9Vo angka kejadian

regurgitasi

dm strong heart study terhadap

250 pasien.

aorta dan lOVo

GEJALA KLINIS
Ada2 macam gambaran klinis regurgitasi yang berbeda
yaitu:

ETIOLOGI

Regurgitasi aorta kronik. Biasanya terjadi akibat proses

Regurgitasi darah dari aorta ke ventrikel kiri dapat terjadi

kronik seperti penyakitjantung reumatik, sehingga artifisial

I'to

1690

KARDIOLOGI

Normal aodic valve

Ankylosing sponclylitls
oda

Ven

to

Congenitally bicuspid
aph

lnfective endocarditis(aclive

or healed)(becuspid)

Rarhe

1'
l
.r

'

\i,
ilr
1

Gambar 1. Diagram bermacam-macam kasus regurgitasi aorta (Braunwald,


2001

kardiovaskular sempat melakukan mekanisme kompensasi.


Tapi bila kegagalan ventrikel sudah muncul, timbullah

keluhan sesak napas pada waktu melakukan aktivitas dan


sekali-sekali timbul artificial nocturnal dyspnea. Keluhan
akan semakin memburuk antara 1 -10 tahun berikutnya.
Angina pektoris muncul pada tahap akhir penyakit akibat
rendahnya tekanan artifisiai dan timbulnya hipertrofi
ventrikel kiri.
Pemeriksaan jasmani menunjukkan nadi, selar dengan
tekanan nadi yang besar dan tekanan artifisial rendah,
gallop dan bising artifisial timbul akibat besarnya curah
sekuncup dan regurgitasi darah dari aorta ke ventrikel kiri.
Bising artifisial lebih keras terdengar di garis sternal kiri
bawah atau apeks pada kelainan katup artifisial, sedang
pada dilatasi pangkal aorta, bising terutama terdengar di
garis sternal kanan. Bila ada ruptur daun katup, bising ini
sangat keras dan musikal.
Kadang-kadang ditemukan juga bising sistolik dan

thrill

akibat curah sekuncup meningkat (tidak selalu


merupakan akibat stenosis aorta). Tabrakan antara
regurgitasi aorta yang besar dan aliran darah dari katup
mitral menyebabkan bisirg mid/lare diastolik (bising
Austin Flint).

E Volume

LV

volume sekuncup

I
I

fLVr

J Tekanan

J Effective
stroke volume

LVET

JWaktu
T LVEDP

(dispnea)

O2miokard

diastolik

JSuotai 02
mio'kardial

lskdmia
Miokardial

+t
Wiaiturd
Gambar 2. Patofisiologi regurgitasi aoda sehingga terjadi gagal
jantung kiri melalui diastolik regurgitasi. LV : Left Ventricle, LVET:
Left Ventricle Ejection Time, Ao Aortic, LVEDP : Left Ventricle
End Diastolic Pressure (Braunwald, 2001)

Elektrokardiografi menunjukkan adanya hipertrofi


ventrikel kiri dengan strain. Foto dada memperlihatkan

t69t

REGURGTIASIAORTA

adanya pembesaran ventrikel kiri, elongasi aorta, dan


pembesaran atrium kiri. Ekokardiografi menunjukkan
adanya volume berlebih pada ventrikel kiri dengan dimensi
ventrikel kiri yang sangat melebar dan gerakan septum
dan dinding posterior ventrikel kiri yang hiperkinetik.
Kadang kadang daun katup mitral anterior atau septum

interventrikular bergetar hahs (flutt

rin

g ).

Tanda kebocoran perifer yang dapat ditemukan pada


regurgitasi aorta adalah:

.
.
.
.
.
.
.
.

tekanan nadi yang melebar


nadi artifici's
nadi quincke's
tanda hill's
pistol shot sound
tanda traube's
tanda duroziez's
tanda de musset
- tanda muller's
- tanda rosenbach

Pengobatan Pembedahan. Hanya pada regurgitasi aorta

akibat diseksi aorta, reparasi katup aorta bisa


dipertimbangkan. Sedang pada regurgitasi aorta akibht
penyakit lainnya, katup aorta umumnya harus diganti
dengan katup artifisial.

Timbulnya keluhan, terutama sesak napas, merupakan


indikasi operasi. Tapi pasien dengan regurgitasi beratpun
bisa asimtomatik, padahal ventrikel kiri sudah dilatasi dan
hipertrofi sehingga bisa mengakibatkan fibrosis otot
jantung apabila dibiarkan. Bila ekokardiografi menunjukkan
dimensi sistolik ventrikel kiri 55 mm atatfractional short-

ening 257a dipertimbangkan untuk tindakan operasi.


sebelum timbul gagal jantung. Studi jangka panjang
terhadap pasien dengan regurgitasi aorta dengan
pembedahan memberikan hasil yang baik. Dari 125 pasien

yang diikuti selama 13 tahun, didapatkan mortality rate


2,5 7o per pasien setahun. Prediksi yang baik didapatkan

tanda gerhardt's
tanda landolfi's

Regurgitasi aorta akut. Berbeda dengan regurgitasi kronik,


regurgitasi akut biasanya timbul secara mendadak dan
banyak, sehingga belum sempat terjadi mekanisme
kompensasi yang sempurna. Gejala sesak napas yang berat
akibat tekanan vena pulmonal yang meningkat secara tibatiba. Dengan semakin beratnya gagal jantung peninggian
tekanan artifrsial ventrikel kiri menyamai tekanan artifisial
aorta, sehingga bising artifisial makin melemah. Hal ini akan
menyrlitkan diagnosis. Pemeriksaan elektrokardiografi dan
foto rontgen bisa normal karena belum cukup waktu untuk
terjadinya dilatasi dan hipertrofi, tetapi pada ekokardiografi

terlihat kelebihan volume ventrikel

sehingga dapat memperlambat progresivitas dari disfungsi

miokardium.

kiri (ventricular

volume overload), penutupan artifisiai katup mitral dan


kadang kadang endokarditis bakterialis dapat diagnosis
dengan katup vegetasi.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan medikamentosa. Digitalis harus diberikan pada
regurgitasi berat dan dilatasi jantung walaupun asimtomatik.
Regurgitasi aorta karena penyakit jantung reumatik harus
mendapat pencegahan sekunder dengan antibiotik. Juga

terhadap kemungkinan endokarditis bakterialis bila ada


tindakan khusus.

Mortalitas operasi pada regurgitasi aorta akibat


sindrom Marfan cukup tinggi (107o). Beberapa pusat
penelitian menganjurkan penggunaan propranolol pada
dilatasi aorta akibat sindrom Marfan untuk mengurangi
pulsasi aorta yang begitu kuat.Pengobatan dengan
vasodilator seperti nifedipine, felodipine, dan ACE
inhibitor dapat mempengaruhi ukuran dan fungsi dari
ventrikel kiri dan mengurangi beban di ventrikel kiri,

pada pasien dengan umur muda, index end systolic


angiografi kurang dari 120 ml/m2 sebelum operasi, dan
dimensi end diastolic berkurang pasca operasi lebih dari
20Vo.Dari data yang ada ternyata hasil akhir pembedahan
pada perempuan dengan mengganti katup aorta lebih jelek

dibandingkan pria. Sebagai contoh dari suatu studi


terhadap

I perempuan dan 198 pria, didapatkan tindakan

lndication

ACC-AHA
Guidelines*

C/ass*

Simtom NYHA kelas lll


atau lV
Simtom NYHA kelas ll
dengan dilatasi
ventrikel kiri progresif,
fraksi ejeksi menurun
atau penurunan
toleransi latihan angina
CCS kelas ll
Operasi diindikasikan
untuk katup lain atau
by pass koroner.
Simtom NYHA kelas ll
terbatas (llA)
Dilatasi ventrikel kiri
asimtomatik > 75 mm
diastol dan >
35mm saat sistol (lla)
Fraksi ejeksi < 25%

-saat

(ilb)
Dilatasi ventrikel
asimtomatik 70 - 75
mm saat diastol dan
50-55 mm saat sistol
(il b)

Asimtomatik,
penurunan fraksi ejeksi
denqan latihan (llb)

European Society of
Cardiology
Guidelines
Left ventricular
diastolic diameter >
70 mm
Left ventricular
systolic diameter > 55
mm

atau> 25 mmlm'of
body-surface area

Ascending aottic
dilatation

>55mm

Peningkatan cepat

left ventricular
diameters, Bicuspid
aoftic valve atau
Marfan syndrome
dengan diameter
aorta > 50 mm

1692

KARDIOI.OGI

bedah lebih sering terhadap perempuan dengan gejala yang


berat, tetapi proporsi kematian setelah tindakan bedah pada
perempuan dan pria adalah sama.
Secara umum rekomendasi untuk tindakan pengobatan

dan pembedahan adalah pasien dengan pembesaran


ventrikel l<ln GV end diastolic dimention besar dari 65
mm) dan normal fungsi sistolik, dapat diterapi dengan
vasodilator, dan nifedipin merupakan pilihan yang baik.
Pembedahan dilakukan terhadap pasien dengan
pembesaran ventrikel kiri yang progresif, dimensi diastolik
akhir lebih dari 70 mm,.dimensi sistolik 5 0 mm dan EF 50%.
Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang simtomatis,

harus dilakukan penggantian katup setelah periode


pengobatan intensif dengan digitalis, diuretik, dan
vasodilator untuk mencegah timbulnya gejala gagaT
lantung.

60

REFERENSI
Braunwald E (ed). Heart Disease A Textbook of Cardiovascular
Medicine. Philadelphia: WB Saunders Company; 1980.p. 112147.
Braunwald E. Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia : WB Saunders Company; 1980 p. I153-5
Braunwald E. Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia : WB Saunders Company; 2001.p. 1671-89
Bernard Lung et al, A Prospective survey of patients with valvular
heart disease in Europe : The Euro Heart Survey on Valvular
Heart Disease. Euro Heart J 2003:24: 1237-43
David Daniel, Chin C Chen and Joel Morganroth. Ekokardiografi
cardiography in the diagnosis and quantification of valvular
heart disease. In : Nobel 0 Fowler (ed), Non Invasive Diagnostic
Methods in Cardiology, Philadelphia : FA Davis. Company;
1983.p. 67 115.
Emmanouillidies, George C and Barry G Baylen Pulmonary
stenosis in moss. In: Heart Disease in Infants, Children and
Adolescents, 1983: 214.
Fuster Valentine, Robert 0 Braudenburg, Emillio R Giuliani and Dwight
C Mc Goon. Clinical approach and management of acquired
valvular heart disease In : Robert 0. Brandenburt I Ed, Office
Cardiology. Philadelphia: FA Davis Company; 1980p. 125-59.
Joseph S A. Valrular heart decease in manual of cardiovascular

dragnosis and rherapl. ljttle broun and company. fourth


edition.1996:228-36
Karl S D MD, Mortality and Morbidity of Aortic Regurgitation in
Clinical Practice, Circulation. 1999; 99:1851-7
Maurice Enriquez. S, MD. Aortic Regurgitation in N Engl J Med.
2004:351: 1539-46
Panggabean, Marulam M dan kawan kawan : Penyakit jantung

&.

Gambar 3. Perubahan hemodinamik pada regurgitasi aorta.


A.Normal. B.Regurgitasi aorta akut. C.Regurgitasi aorta kronik
D.Regurgitasi aorta kronik dalam Dekompensasi. E Segera
sesudah replacement katup aorta (Kutip Braunwald, 2001)

kongenital pada orang dewasa, KOPAPDI V: Jakarta, 1984 (in


Press).

A, Davis A. Mokotoff, Sorya Nouri, William Winters and Rochard R Miller Non invasive quanrification of left
ventricular wall stress Validation of method and application to
assessment of chronic pressure overload. Am J Cardiol. 1980:
.15: 782-90,
Wilcox W Dean Indication for surgery for aortic valve disease in
children In : J. Willis Hurst (ed), Clicinal Essay on The Heart,
Vol. 1, New York Graw Hill Book Company, 1983:249-69
William H G, course and management of chronic aortic regurgitation in up to date, www.up to date Com, 2002,10 : (800) 998
Quinones Miguel

6314. (181) 237


Gambar 4. Perbaikan katup aorta pada pasien dengan regurgitasi

aorta berat (Kutip Braunwald, 2001)

4'788.

266
KELAINAN KATUP PULMONAL
Bambang Irawan M

malformasi jantung ini 10 kali lebih banyak dari bayi yang


dilahirkan hidup dan banyak lagi kasus-kasus abortus
spontan disertai dengan kelainan kromosom hal tersebut

PENDAHULUAN
Berbagai faktor sangat berpengaruh terhadap kelainan
katupjantung, di antaranya faktor genetik, infeksi, trauma
dan faktor yang lain. Kelainan katup bisa berupa stenosis
(katup membuka tidak sempurna) ataupun regurgitasi
(katup menutup tidak sempurna). Kelainan katup pulmonal
relatif jarang terdapat dan bisa merupakan kelainan yang
baik kongenital ataupun didapat. Dengan pemeriksaan bayi
saat lahir secara rutin, kelainan ini sudah dapat didiagnosis
secara dini dan biasanya sudah dilakukan tindakan operatif
untuk koreksi. Walaupun demikian masih ada beberapa
kasus kongenital yang masih luput dari diagnosis dan baru
ditemukan setelah dewasa.

mengakibatkan insidens yang tercatat masih lebih kecil


dibandingkan dengan hal yang sesungguhnya.
Data studi baik secara klinis maupun secara
histopatologis dari 2310 kasus dengan malformasi jantung
saat lahir didapatkan stenosis pulmonalis terdapat pada
6,9Vo. Kalalu persoalan ini telah diketahui dan ditanggulangi
secara awal, baik angka kematian maupun kesakitan akan

sangat menurun. Beberapa kelainan kongenital


menunjukkan kecenderungan perbedaan jenis kelamin.
Patent ductus arteriosus dan atrial septal defect leblh
banyak diderita oleh perempuan, sementara stenosis aorta,
koarlasio aorta, tetralogi Fallot dan transposisi arteri besar
lebih banyak pada pria.
Sementara itu stenosis pulmonal reumatik relatif sangat
jarang dan kalaupun terdapat, biasanya dengan karditis
reumatik yang berat dan mengenai keempatkatup jantung.

Kelainan katup pulmonal akibat jantung reumatik


sangatjarang terdapat dan kalau terjadi biasanya disertai
dengan kelainan katup-katup yang lain seperti katup aorta
dan mitral. Kelainan katup pulmonal biasanya masih bisa

ditoleransi oleh pasien tanpa keluhan yang nyata. Namun


demikian, kelainan ini bisa pula mengakibatkan gagal
jantung dan bahkan kematian pada pasien. Oleh karena
itu diagnosis awal dan pengawasan pada mereka yang
terdiagnosis sangat penting dalam pengelolaan kelainan
katup pulmonal ini.

Regurgitasi pulmonal biasanya terjadi oleh karena


disfungsi katup akibat hipertensi pulmonal. Hipertensi
pulmonal itu sendiri dapat terjadi akibat penyakit reumatik
katup mitral (pada auskultasi terdengar bising Graham
Steel),peryakitparu obstruksi kronik (PPOK) dan lainnya.

INSIDENS

ETIOLOGI
Stenosis pulmonalis dapat disebabkan oleh kelainan

Walaupun banyak kelainan dapat mengakibatkan stenosis katup pulmonal secara didapat, namun kelainan ini lebih
sering disebabkan kelainan sejak lahir atau kongenital.
Yang disebut kelainan kongenital adalah abnormalitas dari
struktur kardiovaskular atau fungsinya y ang terdapat sej ak

kongenital maupun didapat. Kelainan didapat di antaranya


disebabkan oleh reumatik jantung, tuberkulosis, malignant circinoid tumor endocardiris, miksoma dan sarkoma.
Kelainan sejak lahir merupakan kelainan yang paling
banyak pada stenosis pulmonalis.
Kelainan sejak lahir di antaranya:
. Tak terbentuknya katup pulmonal. Kelainan ini bisa

lahir, walaupun baru diketemukan dikemudian hari.


Insidens yang sesungguhnya kelainan kardiovaskular
kongenital sangat sulit dideteksi, pada"Stillborn " kejadian

169

t694

merupakan kelainan tersendiri, akan tetapi lebih sering


disertai dengan defek septum ventrikel dan sumbatan
jalan keluar ventrikel kanan. Di sini regurgitasi pulmonal
dapat pula terjadi.
Atresia pulmonal dengan septum ventrikel yang intak.
Disini katup pulmonal tidak sempurna dan hanyaberupa
jaringan fibrosa, ruang ventrikel kanan biasanya kecil
sedangkan dindingnya hipertrofi. Pada kelainan ini
selalu ada komunikasi atrium kanan dan kiri sehingga
kalau terjadi aliran balik dari atrium kanan ke kiri akan

terjadi sianosis.
Stenosis pulmonal dengan septum ventrikel yang intak.
Kelainan ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan

dua kelainan

KARDIOI.OGI

di

atas. Pada bentuk yang ringan

merupakan fusi sebagian, dua atau ketiga daun katup.


Pada kasus yang berat komisura hampir tak terbentuk
dan dengan katup membentuk diafragma berbentuk
kubah dengan lubang kecil di tengah.
Defek septum ventrikel dengan obstruksi jalan keluar

ventrikel kanan. Defek septum ventrikel dapat


mengalami komplikasi obstruksi jalan keluar ventrikel
kanan baik di tingkat sub valvular maupun valvular.

Kadang-kadang didapatkan hipertrofi krista

supraventrikularis atau stenosis pulmonal.


Tetralogi Fallot. Di sini defek septum ventrikel biasanya
terletak di bawah krista supraventrikularis. Sumbatan
jalan keluar ventrikel kanan biasanya disebabkan oleh
sempitnya infundibulum disertai dengan hipertrofi otot.
Sebagai tambahan mungkin didapatkan stenosis katup
pulmonal, hipoplasi annulus pulmonalis atau kontriksi

pada tempat arteria pulmonalis kanan atau

kiri

berpangkal.

Transposisi arteri besar yang sempurna. Aorta


berpangkal pada ventrikel kanan sedangkan arteria
pulmonalis berpangkal pada ventrikel kiri. Kelainan ini
dapat disertai dengan malformasi jantung yang lain
misalnya stenosis pulmonal, koartasio aorta dan adanya
hanya satu ventrikel.

Regurgitasi pulmonal biasanya disebabkan oleh dilatasi


cincin katup sebagai akibat hiperlensi pulmonal, (oleh sebab
apapun), atau dilatasi arteria pulmonal, baik idiopatik atau
akibat kelainan jaringan ikat seperli pada sindrom Marfan,
yang kedua sebagai akibat endokarditis infeksi dan yang
paling jarang adalah iatrogenic dan dapat juga akibat
tindakan operatif dari stenosis pulmonal ataupun tetralogi
Fallot. Hal lain yang bisa juga mengakibatkan regurgitasi
pulmonal antara lain sindrom karsinoid, akibat tindakan
kateterisasi jantung, lues dan trauma dada.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Stenosis pulmonal dengan septum ventrikel intak bisa
disebabkan oleh stenosis valvular. infundibular atau

keduanya. Obstruksi infundibular atau jalan keluar


ventrikel kanan disebabkan oleh jaringan fibrosa yang
seakan mengikat atau oleh hipertrofi otot. Secara normal,
area lubang katup pulmonal pada saat lahir sebesar 0,5 cm

dan akan ikut membesar seiring dengan pertumbuhan


badan.
Sebagai akibat stenosis pulmonal baik derajat ringan,
sedang maupun berat, terjadi perbedaan tekanan fase
sistolik antara ruang ventrikel kanan dan atleria pulmonalis.
Pada stenosis pulmonal, puncak perbedaan tekanan sistolik
bisa mencapai 150 sampai 240 mmHg atau bisa lebih tinggi

lagi walaupun jarang.


Gangguan hemodinamik bisanya baru terjadi kalau
obstruksi katup pulmonal sudah mencapar60To atau lebih.
Stenosis pulmonal ringan yang disertai aliran darah yang
tinggi dapat mengakibatkan perbedaan tekanan yang
nyata, sebaliknya pada stenosis yang berat dengan aliran
darah yang rendah akibat gagaljantung perbedaan tekanan
yang dihasilkan dapat rendah.
Pasien dengan perbedaan tekanan puncak pada saat
istirahat kurang dari 50 mmHg termasuk stenosis ringan,
antara 50 sampai dengan 100 mmHg termasuk stenosis
sedang dan di atas 100 mmHg termasuk stenosis berat.
Pada stenosis pulmonal berat, ventrikel kanan mengalami
gagal jantung sehingga isi semenit turun walaupun pada
saat istirahat. Keadaan ini diikuti dengan kenaikan baik
tekanan akhir diastolik ventrikel kanan dan tekanan rata
rata atrium kanan. Sebaliknya pada pasien dengan stenosis ringan sampai sedang tekanan sistolis ventrikel kanan
bisa tidak berubah dengan pertumbuhan anak sampai
berlahun-tahun. Ini menunjukkan lubang daun katup ikut

membesar dengan pertumbuhan anak. Tekanan atrium


kanan yang tinggi dapat menimbulkan gejala dan tanda
bendungan vena sistemik dan pada saat yang sama akan
mengakibatkan foramen oval terbuka dan terjadi aliran
darah shunting dari atrium kanan ke atrium kiri. Hal ini
akan mengakibatkan unsaturation arteri dan sianosis. Pada

stenosis pulmonal berat sianosis dapat pula terjadi tanpa


adanyapintasan tersebut. Hal ini disebabkan aliran darah
perifer menurun akibat rendahnya isi semenit. Dalam hal
ini saturasi arteria normal. Pada saat yang sama terjadi
fibrosis endokardium ventrikel kanan dan mengakibatkan
gagal jantung kanan dan kenaikan tekanan diastolik.

Regurgitasi pulmonal sering sekali terjadi akibat


disfungsi valvular yang sekunder pada pasien dengan
hipertensi pulmonal kronik akibat stenosis mitral rematik
[dengan bisin g Graham Steel),penyakit jantung pulmonal

dan sebab lain hipertensi pulmonal. Regurgitasi pulmonal


fungsional ini dipikirkan terjadi akibat dilatasi cincin katup
pulmonal. Walaupun jaratg, regurgitasi pulmonal dapat

pula terjadi pada kelainan kongenital tersendiri,


endokarditis infeksiosa yang mengenai katup pulmonal
dan penyakit jantung reumatik. Pada regurgitasi katup
pulmonal sangat berat, tekanan arteri pulmonalis dan

KELAIITT,AN

1695

KITruP PULMONAL

ventrikel kanan pada akhir fase diastolik sama atau


mendekati sama. Regurgitasi pulmonal akibat kelainan
kongenital [primer] biasanya tanpa disertai hipertensi
pulmonal menimbulkan bising diastolik dengan nada
rendah dan sifatnya cres c endo-dec

re sc

endo. Sebaliknya

pada pasien regurgitasi pulmonal sekunder [dengan


hipertensi pulmonall sifat bising diastolik yang terjadi
mempunyai nada tinggi, meniup dan decrescendo.Pada
pasien yang mr;,da, isolated pulmonary regurgitation ir'i
biasanya masih bisa ditoleransi dengan baik tanpa
hipertensi pulmonal.

Klasif ikasi
Stenosis pulmonal dapat dibedakan menurut penyebabnya,

kongenital atau didapat. Menurut obstruksi jalan ke luar


ventrikel kanan, bisa vahular atau subvalvular. Pada mereka
yang disebabkan kelainan kongenital bisa stenosis pulmonal

tersendiri dengan septum ventrikel yang utuh stenosis


pulmonal dengan defek septum ventrikel misalnya pada
tetralogi Fallot. Juga bisa dibedakan mereka yang dengan
shunting afrim kanan ke atrium kiri sehingga menimbulkan

sianosis dan unsaturation arterial atau yang tanpa


shunting yang walaupun bisa terjadi sianosis kalau terjadi

gagal jantung saturasinya tetap normal. Atas dasar


perbedaan puncak tekanan sistolik antara ventrikel kanan
dan arteri pulmonalis bisa dibedakan menjadi derajat ringan
pada mereka yang dengan perbedaan tekanan sistolik kurang

dari 50 mmHg, derajat sedang pada mereka yang dengan


perbedaan tekanan sistolik antara 50 sampai dengan 100
mmHg dan derajdberatpada mereka yang dengan perbedaan
tekanan sistolik lebih dari 100 mmHg. Pada regurgitaasi
pulmonal dapat dibedakan akibat kelainan primer, biasanya
tanpa hipertensi pulmonal, atau akibat kelainan sekunder,
yaitu adanya hiperlensi pulmonal oleh sebab apapun.

MAN!FESTASI KLINIS
Penyakitjantung kongenital dengan akibat obstruksi atau
stenosis dan regurgitasi katup jantung umumnya gejalanya
sama dengan penyakit jantung valvular yang didapat.
Walaupun demikian pada kelainan jantung kongenital ada

beberapa tanda khas yang perlu diperhatikan. Pada


kebanyakan remaja dengan stenosis pulmonal kongenital
yang nyata, isi sekuncup pada saat istirahat tetap normal,
akan tetapi kenaikan isi semenit pada saat olah raga
mengalami gangguan, sedangkan pada anak-anak toleransi
terhadap olah raga cukup baik. Pada tetralogi Fallot ldefek
septum ventrikel dan stenosis pulmonall baik tidaknya

toleransi pasien ini tergantung pada besarnya defek


septum ventrikel dan rasio antara tahanan aliran darah
yang masuk aorta dan tahanan darah yang lewat stenosis
pulmonal. Pada kebanyakan anak dan dewasa, lubang pada

septum ventrikel biasanya cukup besar dan tekanan

ventrikel kiri dan kanan kira-kira sama. Kalau tahanan jalan


keluar ventrikel kanan tidak terlalu berat, aliran pulmonal

bisa dua kali dari aliran sistemik dan saturasi arterial


normal lacyanotic tetralogi Fallotl. Sebaliknya kalau
tahananjalan keluar ventrikel kanan berat, aliran pulmonal
akan sangat turun dan terjadi pintasan dari kanan ke kiri
dengan unsaturation arterial dan sianosis walaupun dalam

keadaan istirahat. Adanya lubang yang besar pada


septum ventrikel dapat menyebabkan tekanan sistolik
ventrikel kanan tidak bisa melebihi ventrikel kiri. Hal ini
melindungi ventrikel kanan terhadap kerja yang berat dan
oleh karenanya gagaTjantung jarang terdapat pada masa
kanak-kanak. Pada tetralogi Fallot sering terjadi sianosis
atau sianosis menjadi lebih berat kalau anak menangis.
Hal ini disebabkan oleh kombinasi manuver Valsalva,
menahan napas dan perangsangan simpatis.
Pasien dewasa dengan stenosis pulmonal ringan
sampai sedang biasanya tidak mempunyai keluhan, pasien
ditemukan karena ada bising sistolik pada pemeriksaan
fisis biasa. Bahkan pasien dengan stenosis pulmonal berat
pun kadang tanpa keluhan. Kalau ada keluhan biasanya
berupa dyspnoe d'effort, rasa lelah yang berlebihan. Kedua
keluhan ini sehubungan dengan kenaikan isi sekuncup
yang tidak adekuat pada saat olah raga. Tak ada keluhan
ortopnea karena tekanan vena pulmonal normal pada
stenosis pulmonal.
Gagal jantung kanan bisa terjadi pada stenosis yang
berat. Sinkop bisa terjadi akan tetapi kematian mendadak
[seperti pada stenosis aorta] tidak terjadi. Nyeri dada
menyerupai angina pektoris dapat terjadi pada stenosis
pulmonal yang berat. Tanda fisis pada stenosis pulmonal
di antaranya terdapat habitus sindrom Noonan berupa
badan yang pendek dengan dada seperti perisai dan leher
berselaput. Terdapat sianosis pada pasien stenosis
pulmonal berat dan defek septum atrial atau patent
foramen ovale.Prlsasikarotis bisa normal atau volumenya
sedikit menurut dengan pulsasi vena jugularis. Teraba
getaran [t/zrill] sistolik pada spasium interkostal ke 3 atau
4 linea para sternalis kiri. Teraba impuls ventrikel kanan di
para sternal. Stara ejection , bising sistolik bersifat ejeksi.
Suara jantung kedua yang pecah dengan lemahnya
komponen pulmonal.
Regurgitasi pulmonal biasanya dapat ditoleransi pasien
dan jarang terlihat dengan gagal jantung kanan atas dasar
regurgitasi pulmonal saja. Keluhan lelah dan tanda gagal

jantung kanan ringan kadang terdapat pada pasien ini.


Bising diastolik yang meniup atau kasar terdengar di
stenrum bagian kiri atas. Bising pada regurgitasi pulmonal
ini terdengar lebih keras saat inspirasi. Dan kalau bising ini
terjadi akibat hipertensi pulmonal, disebut bising Graham
Stell. Bising ini terdengar dengan nada tinggi mirip dengan

bising regurgitasi aorta, sedangkan bising regurgitasi


pulmonal organik terdengar dengan nada rendah dan kasar.
Bising diastolik ini disertai dengan bising sistolik. Denyutan

t696

KARDIOI-OGI

fisiologis.

atas dasar pemeriksaan fisis disertai dengan


pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi,
radiologis dan ekokardiografi. Kriteria untuk membuat
diagnosis, pada stenosis pulmonal baik dengan ataupun
tanpa keluhan terdengar bising sistolik ejeksi sepanjang

PEMERIKSAAN PENUNJANG

sternum bagian kiri dan sering disertai dengan ejection


clickpadafase awal sistolik. Pembesaran ventrikel kanan

Dengan pemeriksaan elektrokardiogram, stenosis


pulmonal yang ringan biasanya normal, sedang pada
yang berat terdapat gambaran hipertrofi atrium dan

dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisis [pulsasi


jantung di parasternal kiril, pemeriksaan elektrokardiografi, foto rontgen dada dan ekokardiografi.

ventrikel kanan terasa sepanjang dada sebelah kiri. Ada


bunyi sistolik click detgan suara dua yang pecah secara

ventrikel kanan. Beratnya stenosis pulmonal


berhubungan dengan rasio antara gelombang R/S di V1.
Makin berat kelainan makin tinggi gelombang R di V1.
Ada deviasi aksis jantung ke kanan pada rekaman
elektrokardiogram. Sedangkan pada regurgitasi pulmonal,
gambaran elektrokardiogram bisa normal atau adanya

Diagnosa regurgitasi pulmonal ditegakkan atas dasar

fisis, elektrokardiografi foto dada,


ekokardiografi dan terutama dengan pemeriksaan

pemeriksaan

angiografi pulmonal di mana didapatkan aliran balik cairan


kontras dari arteri pulmonalis ke ventrikel kanan pada fase

diastolik.

gambaran hipertrofi ventrikel kanan.

Pemeriksaan radiologis, pada stenosis pulmonal


gambaran vaskularisasi paru perifer normal, arteri

KOMPLIKASI

pulmonalis tampak membesar akibat dilatasi pasca stenosis. Gambaran pembesaran ventrikel kanan tampak pada
stenosis pulmonal sedang sampai berat. Walaupun jarang

pada stenosis pulmonal bisa tampak klasifikasi katup


pulmonal. Sedangkan pada regurgitasi pulmonal gambaran
radiologis bisa normal atau tampak gambaran pembesaran
ventrikel kanan dan pembesaran arteria pulmonalis.

Pemeriksaan fungsi paru, pada stenosis pulmonal


dewasa sering abnormal dengan penurunan volume, jalan

Pada stenosis pulmonalis yang berat bisa terjadi gagal


jantung kanan. Demikian juga infark miokard kanan dapat
terjadi pada stenosis pulmonal berat dengan pembesaran
ventrikel kanan. Walaupun jarang, endokarditis dapat
terjadi sebagai komplikasi stenosis pulmonal. Sedangkan
komplikasi regurgitasi pulmonal selain gagal jantung, bisa
juga mengakibatkan terjadinya endokarditis walaupun
jarang.

udara dan kapasitas difusi paru yang sangat mungkin


disebabkan ketidaksempurnaan perkembangan paru pada
masa kanak-kanak.
Pemeriksaan ekokardiografi pada stenosis pulmonal
berat menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kanan. Pada
pemeriksaan langsung di katup pulmonal terlihat kenaikan
gelombang katup atrial [a].
Pemeriksaan radioisotop dengan radioangiografi pada
stenosis pulmonal berguna untuk melihat tidak adanya
pintasan dari kiri ke kanan.
Pemeriksaan kateterisasi dan angiografi pada stenosis
pulmonal dapat mengukur adanya perbedaan tekanan

PENGOBATAN
Stenosis pulmonal yang ringan sampai sedang dapat
dikelola tanpa tindakan operasi. Pada pasien yang
membutuhkan tindakan operasi ataupun pencabutan gigi

dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis. Untuk


stenosis pulmonal tanpa keluhan oleh sebagian ahli
dianjurkan pengobatan konservatif saja, tanpa tindakan

valvulotomi, sedangkan sebagian ahli yang lain


menganj urkan valvulotomi.

sistolik melalui katup pulmonal. Ukuran lubang katup


pulmonal yang mengalami stenosis dapat ditentukan

Pada stenosis pulmonal berat dengan gagal jantung


kanan, semua menganjurkan tindakan valvulotomi. Pada

dengan kateterisasi jantung sekalian mengukur perbedaan


tekanan katup pulmonal saat sistolik dan isi semenit. Tak
ada shunt dari kiri ke kanan, sedangkan dari kanan ke kiri
kadang ada walaupun hanya kecil pada pasien dengan defek
septum atrial atau patent foramen ovale. Pada regurgitasi

keadaan di mana pasien menolak operasi atau kondisi


pasien tidak memungkinkan untuk operasi, dianjurkan
pemberian digitalis. Pemberian diuretika secara hati-hati
dapat pula dicoba, akan tetapi dapat menurunkan isi
sekuncup menit sehingga menimbulkan kelelahan yang

pulmonal, dengan angiografi bisa terlihat adanya aliran


kembali kontras ke ventrikel kanan pada fase diastolik.

berat.

DIAGNOSIS

pada regurgitasi pulmonal sehingga tidak banyak

Biasanya diagnosis stenosis pulmonal dapat ditegakkan

pengalaman tindakan pengobatan ataupun operasi pada


kasus tersebut.

Pengelolaan regurgitasi pulmonal biasanya terbatas


pada pemberian profilaksis antibiotik pada tindakan
dental atau operasi. Gagal jantung sangat jarung terjadi

t697

KEIJ\III,AN KAiruP PULMOII,AL

REFERENSI
Altrichter PM, Olson LJ, Edwards WD, et al. Surgical pathology of
the pulmonary valve: a study of 116 cases spanning 15 years.
Mayo Clin Proc 1989;64; 1352.
Brickner ME, Hillis LD, Lange RA.Congenital heart disease in adults.
N Engl J Med. 2000;342:256-63.

Balk H: Congenital malformations of the heart.and great lessels:


synopsis of pathology, embryology and natural history. Baltimore-Munich: Urban & Schwarzenberg;1977.
Brayshaw JR, Perloff JK.Congenital pulmonary insufficiency complicating idiopathic dilatation of the pulmonary artery. Am J
Cardiol. 1962l.10:282.
Cassling RS, Rogler WC, McManus BM.Isolated pulmonic valve
infective endocarditis. a diagnostically elusive entity. Am Hean
"I 1985;109;558.
Balaguer JM, Byrne JG, Cohn LH. Orthotopic pulmonic valve
replacement with a pulmonary homograft as an interposition
graft. J Card Surg.7996;711,417.

DePace

NL, Nestico Pfl Iskandrian AS, Morganroth J. Acute

severe

pulmonic valve regurgitation: Pathophysiology, diagnosis and


treatment. Am Heart J. 1984;108;567.
Fontana RS, Edwards JE.Congenital cardiac disease: a review of 357
cases studied Pathologically. Philadelphia:

WB Saunders;

1962.

Gerlis LM: Covert congenital cardiovascular malformations


discovered in an autopsy series of nearly 5000 cases. Cardiovasc
Pathol. 1996:,5;ll
Hoffman JIE: Congenital heart disease. Pediatn Clin North Am.
31;45,1990.
kirshenbaum HD: Pulmonary valve disease. In: Dalen JE ard Alpert
JS eds. Valvular heart disease. 2nd ed. Boston: Little,

Brown;1987.p.403-3 8.
Samanek M.Boy : Girl ratio in children bom with different forms of
cardiac malformation: A population-based stttdy. Pediatr Cardiol.

1994:'15;53.

O Toole JD, Wurtzbacher JJ, Weearner NE, Jain AC.Pulmonary


valve injury and insufficiency during pulmonary-artery
catheterization. N EngI J Med. 1979;301;1167.

267
PENYAKIT KATUP TRIKUSPID
AliGhanie

PENDAHULUAN
i peran

sirkuit
an

dari

) tidak
istensi Yang

difus; (3)
stensi Yang
aliran darah

pulmonal.
Tekanan darah aneri pulmonalis adalah 2218 mmHg,
dengan tekanan rata-rata 13 mmHg. Kalau kita lihat tekanan
rata-rata atrium kiri sebesar 7 mmHg, maka perbedaan
tekanan 6 mmHg saja sudah cukup untuk mengalirkan
darah ke paru-paru.

Anatomis katuP abnormal


Penyakit jantung reumatik
Bukan reumatik :
Endokarditis infektif
Anomali Ebstein's
Prolaps
Kongeni
Karsinoi
PaPilaris
lnfark
Trauma
Kelainan jaringan ikat (sindrom Marfan)
Artritis reumatoid
Radiasi, dengan akibat gagal jantung
Fibrosis endomiokard
Anatomis katuP normal
Kenaikan tekanan sistolik ventrikel kanan oleh berbagai
sebab (dilatasi anulus)

.
.

Lain

.
.
.
.

Daun katup trikuspid yang merupakan bagian dari

sirkuit tekanan rendah, akan mengakibatkan toleransi


terhadap beban tekanan akan sangat kurang' Selain itu
daun katup trikuspid tidak setebal katup mitral, demikian
pula anulus fibrosisnya tidak sekuat katup mitral' Oleh
t*"nu itu sangat mudah melebar pada keadaan kenaikan

beban atau sftes.

REGUBGITASI TRIKUSPID

- lain

Kawat pacu jantung (jarang)


HiPertiroidisme
Endokarditis Loeffler
Aneurisma sinus valsava

dengan katup jantung lain. Biasanya bila penyebabnya


p"ryut ltiut tung reumatik, selain regurgitasi disertai pula
dengan stenosis.

Hemodinamik
Pada

akan

Etiologi dan Patologi


Regurgitasi trikuspid adalah suatu keadaan kembalinya
sebagian darah ke atrium kanan pada saat sistolik' Keadaan

ini dapat terjadi primer akibat kelainan organik katup,

dan v

mendekati tekanan ventrikel kanan sesuai dengan kenaikan


tekanan ventrikel kanan, yaitu sesuai dengan kenaikan

gurgitasi trikusPid.
Tekanan sistolik arteri pulmonalis dan ventrikel kanan
regurgitasi
dapat
4OmmHg'
prime
bila
ngkan
lebih

deraj at re

ataupun sekunder karena hipertensi pulmonal, perubahan


fungsi maupun geometri ventrikel berupa dilatasi ventrikel
kanan maupun anulus trikuspid- (Tabel 1)

Penyakit jantung reumatik, dapat mengenai katup


trikuspid secara langsung walupun lebih sering disertai

tekanan lebih dari 40 mmHg.

1698

PEIYYAKIT

1699

KAruP TRIKUSPID

Curah jantung biasanya sangat menurun, dan saat


sistolik tekanan atrium tidak akan menunj u,kkan x descent,
tetapi gelombang yang mencolok dari c-v dan y descent
yang cepat (padavenous wave).

Manifestasi Klinis
Riwayat. Regurgitasi trikuspid tanpa hipertensi pulmonal
biasanya tidak memberikan keluhan dan dapat ditoleransi
dengan baik. Rasio perempuan terhadap pria adalah2:. l,
dengan rata-rata umur 40 tahun. Oleh karena lebih sering
bersamaan dengan stenosis mitral, maka gejala stenosis
mitral biasanya lebih dominan. Riwayat sesak napas pada
latihan yang progresif, mudah lelah danjuga batuk darah.
Bila keadaan lebih berat akan timbul keluhan bengkak

Elektrokardiogram
Biasanya tidak spesifik, dapat berupa blok cabang bundle
kanan, tanda pembesaran atrium dan ventrikel kanan, dan
sering juga terjadi fibrilasi atrium.

Ekokardiograf

Pulsed color doppler echocardiography, merupakan


sarana yang mempunyai akurasi, sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dalam menentukan adanya
regurgitasi trikuspid. Di sini dapat dilihat morfologi katup
mitral, sehingga dapat diketahui berbagai penyebab yang
mendasari regurgitasi trikuspid ini. Demikian pula dapat
dilakukan pemeriksaan semikuantitatif terhadap tekanan
ventrikel kanan maupun arteri pulmonalis.

tungkai, perut membesar, maka kelelahat/fatig dan


anoreksia merupakan keluhan yang paling mencolok.
Adanya asites dan hepatomegali akan menimbulkan
keluhan kurang enak pada perut kanan atas dan timbul
pulsasi pada leher akibat pulsasi regurgitasi vena. Pada
keadaan ini justru pasien dapat tidur berbaring dengan
rala.

Pemeriksaan fisis. Pada inspeksi selalu terlihat adanya


gambaran penurunan berat badan, kakeksia, sianosis dan
ikterus. Biasanya selalu dijumpai pelebaran vena jugularis,
garnbaran gelombang x dan xr yang normal akan menghilang,
sedangkan y descent akan menjadi nyata, terutama pada
inspirasi. Akan terlihat juga impuls ventrikel kanan yang
mencolok. Pada saat sistolik juga dapat teraba impuls atrium
kanan pada garis sternal kiri bawah. Biasanya pada fase
awal dapat teraba pulsasi sistolik pada permukaan hati,
namun pada keadaan sirosis kongestif pulsasi menghilang
karena hati menjadi tegang dan keras. Selain itu terlihat
juga asites dan edema.
Pada auskultasi dapat terdengar 53 dari ventrikel kanan
yang terdengar lebih keras pada inspirasi, dan bila disertai

Gambar 1. Pemeriksaan eko 2 dimensi pada penderita mitral


stenosis, yang juga disertai trikuspid stenosis

hipertensi pulmonal suara P2 akan mengeras. Bising


pansistolik dengan nada tinggi terdengar paling keras di

kiri dan dapat pula sampai ke


subxifoid. Bila regurgitasi ringan, bising sistolik pendek,
tetapi bila ventrikel kanan sangat besar bising dapat sampai
ke apeks dan sulit dibedakan dengan regurgitasi mitral.
sela iga 4 garis parasternal

Perlu diingat bahwa derajat bising pada regurgitasi


trikuspid akan meningkat pada inspir

asi

(Riv ero - C ant ello's

slgrz). Adanya kenaikan aliran melalui katup

trikuspid dapat

menimbulkan bising diastolik pada daerah parasternal kiri.

Gambaran Radiologis
Adanya kardiomegali yang mencolok akibat pembesaran
ventrikel kanan. Kadang-kadang akibat tingginya tekanan
ventrikel kanan yang akan berlangsung lama dapat terjadi

kalsifikasi pada anulus trikuspidalis. Dapat terjadi


gambaran hipertensi pulmonal, dan pada fluoroskopi
terlihat pulsasi sistolik pada atrium kanan.

Gambar 2. Eko 2 dimensi pada penderita DSA sekundum yang


disertai trikuspid regurgitasi (warna biru)

Kateterisasi
Dengan kateterisasi berupa ventrikulografi ventrikel kanm
dapat diketahui adanya regurgitasi, namun adanya kateter
pada katup dapat juga menimbulkan regurgitasi positif

palsu

1700

IGRDIOI.OGI

Pengobatan
Konservatif. Ditujukan terutama bila terdapat tanda-tanda
kegagalan fungsi jantung berupa istirahat, pemakaian
diuretik dan digitalis.

Pembedahan. Tanpa suatu tanda hipertensi pulmonal


biasanya tidak diperlukan suatu tindakan pembedahan.
Tetapi pada keadaan tertentu dapat dilakukan tindakan

anuloplasti dan pada yang lebih berat dilakukan


penggantian katup dengan prostesis.

STENOSIS TRIKUSPID
Gambar 3. Eko 2 dimensi pada penderita DSA sekundum dengan
trikuspid stenosis dan mitral stenosis (tanda panah)

Stenosis trikuspid terisolasi merupakan kelainan katup


yang relatifjarang ditemukan, dan paling sering merupakan

penyakit jantung reumatik yang menyertai kelainan katup


mitral atau aorta. Pada autopsi ditemukan 15 persen
stenosis trikuspid pada pasien penyakit jantung reumatik,
dan hanya 5 persen yang memberi arti klinis. Kejadian
stenosis trikuspid lebih sering terjadi pada perempuan
dibandingkan dengan pria, dengan umur 20-60 tahun'

Etiologi dan Patologi


Stenosis trikuspid selalu disebabkan oleh penyakit jantung

reumatik. Keadaan lain walaupun jarang, yang dapat


menimbulkan obstruksi terhadap pengosongan atrium
kanan adalah atresia trikuspid, tumor affium kanan, sindrom

karsinoid dan vegetasi pada daun katup.


Perubahan anatomik yang paling sering ditemukan
sebagaimana stenosis mitral berupa fusi dan pemendekan
korda tendinea dan fusi pinggiran katup, sehingga terjadi
Gambar 4. Eko 2 dimensi pada penderita dengan DSA sekundum
(tanda panah) yang disertai dengan gangguan koaptasi katup

bentukan diafragma dengan celah yang terfiksasi.


Sebagaimana pada katup mitral, selain stenosis sering

trikuspid

te{adi juga regurgitasi. Atrium kanan akan melebar dengan


dinding yang tebal.

Patof

isiologi

Gambaran hemodinamik ditentukan oleh besarnya


pressure gradient antara atrium dan ventrikel kanan' yang
akan meningkat pada saat latihan atau inspirasi, dan

menurun pada saat istirahat atau ekspirasi. Hal ini


disebabkan perubahan besarnya volume pada latihan dan
pernapasan. Pada keadaan normal pressure gradient rttt
hanya 1 mmHg. Bilameningkat sampai 2 mmHg sudah dapat
menunjukkan suatu stenosis trikuspid, sedangkan 5 mmHg

merupakan gambaran stenosis berat dengan tanda


kongesti sistemik.

Manifestasi Klinis
Gambar 5. Pemeriksaan doppler eko berwarna pada DSA

sekundum menunjukkan regurgitasi trikuspid (warna biru) dan


doppler menunjukkan dengan tekanan yang tinggi

Rendahnya curah jantung akan menimbulkan keluhan


mudah lelah, dan adanya kongesti sistemik dan
hepatomegali menimbulkan keluhan tidak enak pada perut,
perut membesar dan bengkak umum. Beberapa pasien

PEIYYAKIT

t70t

KIIruP TRIKUSPID

mengeluh denyut pada leher akibat besarnya gelombang


' a' padavena jugularis.

Pemeriksaan lnvasif
Dengan kateterisasi dapat ditenttkan gradient
transvalvular antara atrium dan ventrikel kanan, sehingga

dapat ditentukan gradasi stenosis guna tindakan

Pemeriksaan Fisik
Oleh karena sering menyertai kelainan katup lain, maka
stenosis trikuspid ini tidak terdiagnosis, kecuali memang
sengaja dicari. Suatu stenosis berat akan menimbulkan
bendungan hati yang berat sehingga terjadi sirosis, ikterus,
malnutrisi yang berat, edema dan asites yang berat bahkan
splenomegali. Vena jugularis akan melebar dengan
gelombang '.a' yang besar, sedangkan gelombang

'v'tidak

jelas dan y descent menjadi lambat. Dapat ditemukan


pulsasi presistolik yang jelas pada permukaan hati yang
membesar.

Pada auskultasi dapat terdengar opening snap pada


daerah garis sternal kiri sampai pada daerah xifoideus,
terutama presistolik. Bising ini akan menjadi lebih keras
pada inspirasi, dan melemah pada ekspirasi dan manuver
valsava karena menurunnya aliran darah melalui trikuspid.

Pemeriksaan Non lnvasif


Adanya gambaran pembesaran atrium kanan pada EKG
berupa gelombang p yang tinggi dan tajam pada sandapan
II, demikian pula pada V 1 . tidak adanya hipertrofi ventrikel
kanan pada pasien yang dicurigai sebagai stenosis mitral,
sangat mungkin disertai dengan stenosis trikuspid.
Pada pemeriksaan foto dada didapatkan pembesaran
atrium kanan dan vena kava superior tanpa pembesaran
arteri pulmonalis. Lain halnya dengan stenosis mitral, pada
stenosis trikuspid tidak didapatkan tanda bendungan paru
Ekokardiografi menunjukkan penebalan daun katup

trikuspid dengan gambaran dooming dan adanya


gradient transvalvular pada pemeriksaan dopler.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yan g l00Vo sensitif
dan907o spesifik.

selanjutnya.

Pengobatan
Pengobatan konservatif ditujukan untuk mengurangi
kongesti sistemik yang merupakan kondisi yang dominan,
dalam hal ini dibutuhkan diuretik atau restriksi konsumsi
garam, Keadaan ini dibutuhkan untuk memperbaiki fungsi
hati yang sangat dibutuhkan pada saat operasi. Selain itu
pemakaian antibiotik juga penting pada keadaan tertentu
untuk mencegah terjadinya endokarditis infektif.

Tindakan Operasi
Tindakan operatif dapat berupa komisurotomi, tetapi bila
disertai regurgitasi dapatjuga dilakukan anuloplasti secara
bersamaan. Penggantian katup dilakukan bila kelainan
katup lanjut yang disertai regurgitasi berat yang tidak
dikoreksi dengan anuloplasti.

REFERENSI
Braunwald E Valvular heart disease. In : Heart Disease a Textbook
of Cardiovascular Medicine third edition 1988.
Feigenbaum H Ekokardiograficardiograhy fisth edition 1994
Ockene IS. Tricuspid valve disease In : Valvular Heart Disease edited by Dalen JE and Alpert JS, Little, Brown and Company,

Boston, 1981.
Rackle CE. Tricuspid and pulmonary valve disease.
Heart eight edition 1994.

In : Hurst's The

268
ENDOKARDITIS
Idrus Alwi

operasi dikerjakan sebelum terapi antibiotik lengkap selesai.

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini direkomendasikan menyebut EI aktif jika


Endokarditis infektif (EI) adalah infeksi mikroba pada
permukaan endotel jantung. Infeksi biasanya paling
banyak mengenai katup jantung, namun dapat juga terjadi

pada lokasi defek septal, atau korda tendinea atau


endokardium mural.
Lesi yang khas berupa vegetasi, yaitu massa yang tediri

platelet, fibrin, mikroorganisme dan sel-sel inflamasi,


dengan ukuran yang bervariasi. Banyakjenis bakteri dan

jamur, mycobacteria, rickettsiae, chlamydiae dan


mikoplasma menjadi penyebab EI, namun streptococci.

diagnosis ditetapkan <2 bulan sebelum operasi

Status diagnosis: definite, suspected dan possible (hhat


kriteria Duke pada Thbel2)
Patogenesis: endokarditis pada katup asli (native valve
endocarditis), endokarditis katup prostetlk ( prostethetic
valye endocarditis) dan endokarditis pada penyalahguna
narkoba intravena (intravenous drug abuse).

Lokasi anatomis: EI pada sisi kanan jantung (right sided


endocarditis) dan EI pada sisi kiri jantung (left sided

staphylococci, enterococci dan cocobacilli gram negatif

endocarditis)

yang berkembang lambat (fastidious) merupakan penyebab

Mikrobiologi: jika organisme penyebab dapat diidentihkasi.


Jika tidak ditemukan secara mikrobiologi disebut EI

tersering.

Terminologi akut dan subakut sering dipakai untuk

mikrobiologi negatif.

menggambarkan EI. EI akut menunjukkan toksisitas yang

nyata dan berkembang dalam beberapa hari sampai


beberapa minggu, mengakibatkan destruksi katup jantung

dan infeksi metastatik, dan penyebabnya khas yaitu


Staphylococcus eureus. Sebaliknya, EI subakut
berkembang dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan dengan penyebabnya biasanya Streptococcus
viridans, enterococci, staphylococci koagulase negatif
atau coccobacilli gram negatif.

EPIDEMIOLOGI
Insidens di negara maju berkisar antara 5,9 sampai 11,6
episode per 100.000 populasi. EI biasanya lebih sering
terjadi pada pria dibandingkan perempuan dengan rasio
1

,6 sampai 2,5. Sekitar 36 -7 5 7o pasien dengan EI katup asli

(native valve endocarditis) mempunyai faktor


predisposisi; penyakit jantung reumatik, penyakit jantung

kongenital, prolaps katup mitral, penyakit jantung


KLASIFIKASI DAN TERMINOLOGI

degeneratif, hipertrofi septal asimetrik atau penyalahguna

NARKOBA intravena (PNIV). Sekitar 7-257o kasus


Berbeda dengan klasifikasi lama yang membedakan akut,
subakut dan kronik, klasifikasi baru merujuk kepada:

Aktivitas penyakit dan rekurensi: membedakan aktif dan


,sembuh terutama penting untuk pasien yang menjalani
operasi. EI aktif jika kultur darah positif dan demam ada
pada saat operasi, atau kultur positif saat operasi atau

morfologi inflamasi aktif ditemukan intraoperatif,

atau

melibatkan katup prostetik. Faktor predisposisi tidak dapat


diidentifikasi pada 25 sampai 47 7o pasien.
Epidemiologi endokarditis infektif selama 50 tahun
terakhir ini telah banyak berubah. Kalau dulu sebagian
besar pasien endokarditis infektif mempunyai penyakit

dasar penyakit jantung reumatik, penyakit jantung


kongenital atau sifilis sebagai penyebab kelainan

1702

L703

ENDOKARDITIS

endokard, namun dengan meningkatnya intervensi medis,


surgikal dan yang terpenting adalah meningkatnya angka
PNIV, maka kejadian endokarditis infektif karena penyebab
di atas semakin meningkat.
Di Amerika Serikat hampir 25Vo pasienEl adalah PNIV.

adalah sisi kanan jantung. Di samping kerusakan mekanis


secara langsung, faktor lain yang juga berperan adalah

diluent (pelarut) yang dipakai dapat menyebabkan


vasospasme, kerusakan intima, dan pembentukan trombus.

Selain

itu obat adiktif sendiri dapat menyebabkan

Walaupun insidens EI belum diketahui secara pasti,


diperkirakan kejadian EI pada PNIV berkisar anrara 7 ,5-20
kasus per 1000 PNIV pertahun. EI memberikan risiko tinggi
terhadap morbiditas dan mor-talitas. Risiko EI pada PNIV 2-

kerusakan endotel. Pada PNIV kuman dapat berasal dari


kulit yang tak steril maupun jarum yang tak steril/spuit

5 7, perpasien perlahun, beberapa kali lebih tinggi dan pasien


penyakit jantung reumatik atau katup prostetik. Meskipun
mortalitas EI pada PNTV yang terutama melibatkan sisi kanan

Staphylococcus aureus merupakan kuman flora kulit nor-

yang terkontaminasi kuman dan berfungsi sebagai


reservoir pada penggunaan berikutnya. Oleh karena
mal, maka kuman ini merupakan kuman penyebab tersering,
berki sar antar a 50 -607o .

jantung tidak setinggi EI pada sisi kiri jantung, namun


komplikasi kardiopulmonar, neurologis, ginjal, mata, abdomen dan ekstremitas dapat mengakibatkan morbiditas yang
bermakna. Mortalitas EI pada PNIV berki sar antaral -757o .

RESPONS IMUN PADA ENDOKARDITIS

Patogenesis Vegetasi Jantung


PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya EI pada pasien dengan katup normal belum diketahui dengan pasti. Mikrotrombi steril yang

menempel pada endokardium yang rusak diduga


merupakan nodus primer untuk adhesi bakteri. Faktor
hemodinamik (stres mekanik) dan proses imunologis
mempunyai peran penting pada kerusakan endokard.
Adanya kerusakan endotel, selanjutnya akan
mengakibatkan deposisi fibrin dan agregasi trombosit,
sehingga akan terbentuk lesi nonbacterial thrombotic
endoc ardial (NBTE). Jika terjadi infeksi mikroorganisme,
yang masuk dalam sirkulasi melalui infeksi fokal atau
trauma, maka endokarditis non bakterial akan menjadi
endokarditis infektif. Faktor-faktor yang terdapat pada

bakteri seperti dekstran, ikatan fibronektin dan asam


teichoic berpengaruh terhadap perlekatan bakteri dengan
matriks fibrin-trombosit pada katup yang rusak. Tahapan
patogenesis endokarditis dapat dilihat pada Tabel 1.

Kerusakan endotel katup


Pembentukan trombus fl brintrombosit
Perlekatan bakteri pada plak trombus- trombosit
Prollferasi bakteri lokal dengan penyebaran hematogen
Frontera JA dan Gradon JD

Penelitian terhadap peran respons imun pejamu (host),


dalam proteksi terhadap endokarditis menunjukkan hasil
yang beragam. Pada beberapa kasus, imuni sasi aktif dapat
mencegah terjadinya endokarditis, tanpa memicu laju
klirens bakteri dalam sirkulasi. Diduga terdapat mekanisme

yang berhubungan dengan penghambatan perlekatan


bakteri terhadap vegetasi. Perkembangan endokarditis,
tergantung pada keseimbangan antara kemampuan
organisme untuk melekat pada vegetasi dan menolak
respons peJamu.

Kompleks lmun
Penelitian nekropsi menunjukkan adanya glomerulonefritis
pada sejumlah besar kasus endokarditis pada manusia,
dan pada penelitian imunofluoresens, ditemukan lesi khas

yang merupakan deposisi kompleks imun. Deposisi


kompleks imun juga ditemukan pada organ lain seperti limpa
dan kulit. Pemeriksaan yang mendeteksi adanya kompleks

imun dalam sirkulasi, menunjukkan korelasi antara


konsentrasi kompleks imun dalam sirkulasi dengan
lamanya penyakit, manifestasi di luar katup dan rendahnya
kadar komplemen dalam darah. Kadar kompleks imun dalam
sirkulasi, juga menurun sebagai respons terhadap terapi.
Antibodi spesifik terhadap kuman penyebab infeksi dan

dinding sel bakteri sudah dapat diidentifikasi pada

Patogenesis El pada PNIV

kompleks imun tersebut. Dalam keadaan normal kompleks


antigen-antibodi ini akan larut dan difagositosis. Pada
endokarditis, terdapat faktor yang menghambat larutnya
kompleks ini, sehingga mengalami deposisi dalam jaringan.

Beberapa teori mengemukakan adanya kerusakan endotel

Bukti menunjukkan, faktor rheumatoid yang terdeteksi

(endotheLial injury), karena bombardir secara terus


menerus oleh partikel yang terdapat pada materi yang
diinjeksikan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
granulasi talk subendotel pada katup trikuspid pasien El
yang diautopsi. Karena materi yang diinjeksikan secara

pada 507o kasus endokarditis, menutupi reseptor untuk


fagositosis dan akan menghambat klirens kompleks imun.
Hal ini dapat menjelaskan
mengalami bakteremia yang
antibodi IgG spesifik yang cukup tinggi, kadar komplemen
yang cukup dan neutrofil yang masih berfungsi.

intravena, katup jantung yang pertama menyaring partikel

t704
Antibodi Terhadap Protein Miokard
Gambaran klinis lain pada endokarditis yang menarik
perhatian adalah adanya disfungsi miokard yang lebih
berat daripada lesi katup yang ada, bahkan tanpa adanya
destruksi katup yang bermakna. Maisch melaporkan
terdapat respons antibodi poliklonal pada endokarditis

yang terdiri dari antibodi antisarkolema dan antibodi


antimiolema. Antibodi antimiolema bersifat sitolitik
terhadap sel jantung in vitro jika terdapat komplemen.
Aktivitas sitolitik serum pada beberapa pasien, hanya ada
jika ditemukan antibodi antimiolema dan berhubungan
dengan titer antibodi antimiolema.

I(ARDIOI.OGI

purulenta. Pada katup bioprotese, elemen yang bergerak


berasal dari jaringan, mungkin menjadi lokasi infeksi dan
perforasi katup serta vegetasi. Abses cincin juga dapat
ditemukan.

PATOFISIOLOGI
Manifestasi klinis EI merupakan akibat dari beberapa
mekanisme antara lain:
.. Efek destruksi lokal akrbat infeksi intrakardiak. Koloni
kuman pada katup j antung dan j aringan sekitamya dapat

mengakibatkan kerusakan dan kebocoran katup,

Aktivitas Limfosit
Analisis fungsi leukosit pada endokarditis menunjukkan
peningkatan jumlah monosit dan granulosit, namun
terdapat penurunan jumlah dan aktivitas selT helper, sel
T suppressor dan natural killer cells selama infeksi. Pada
beberapa penelitian, aktivitas selT suppresso4 sebagian

dalam sirkulasi (bakteremia kontinus), yang

mengalami perbaikan setelah terapi. Hal ini memperkuat

mengakibatkan gejala konstitusional seperli demam,

dugaan bahwa faktor predisposisi endokarditis, merupakan

malaise. tak nafsu makan. penurunan berat badan dan

hasil penurunan fungsi limfosit pada pasien, daripada


disfungsi limfosit murni akibat infeksi (risiko EI meningkat
pada individu dengan supresi imun).

Mekanisme lnflamasi dan Sitokin


Terdapat peningkatan ekspresi interleukin-8 pada
makrofag, di dalam endokard yang mengalami inflamasi,
pada pasien dengan endokarditis karena S. aureus.
S elanj utnya asam lip o t e i c ho i c, y ang berasal dari dinding
sel bakteri gram positif dan diketahui mempunyai efek
stimulasi sangat penting terhadap makrofag, merupakan
perangsang produksi sitokin yang kuat. Interleukin-6,
suatu sitokin yang terlibat dalam stimulasi sel B dan
produksi antibodi serta pelepasan protein fase akut,

didapatkan meningkat pada endokarditis karena


streptokokus dan Q fever. Aktivitas proinflamasi rumour
necrosis factor (TNF), yang menginduksi respons fase
akut mungkin berperan pada manifestasi sistemik EI.

terbentuk abses atau perluasan vegetasi ke perivalvular.


Adanya vegetasi fragmen septik yang terlepas, dapat
mengakibatkan terjadinya tromboemboli, mulai dari
emboli paru (vegetasi katup trikuspid) atau sampai ke
otak (vegetasi sisi kiri), yang merupakan emboli septik.
Vegetasi akan melepas bakteri secara terus menerus ke

lainlain.
Respons antibodi humoral dan selular terhadap infeksi

mikroorganisme dengan kerusakan jaringan akibat


kompleks imun atau interaksi komplemen-antibodi

dengan antigen yang menetap dalam jaringan.


Manifestasi klinis EI dapatberupa; petekie, Osler's node,
artritis, glomerulonefritis dan faktor reumatoid positif.

MANIFESTASI KLIN!S
Demam merupakan gejala dan tanda yang paling sering
ditemukan pada EI. Demam mungkin tak ditemukan atau
minimal pada pasien usia lanjut atau pada gagal jantung
kongestif, debilitas berat, gagal ginjal kronik dan jarang
pada EI katup asli yang disebabkan stafilokokus koagulase
negatif.

Murmur jantung ditemukan pada 80-857o pasien EI


katup asli, dan sering tidak terdengar pada EI katup asli.
-507o pasien dan lebih

PATOLOGI ENDOKARDITIS

Pembesaran limpa ditemukan pada


sering pada EI subakut.

Patologi EI katup asli dapat lokal (kardiak) mencakup valvular dan perivalvular atau distal (non kardiak) karena

Ptekie, merupakan manifestasi perifer tersering, dapat


ditemukan pada konjungtiva palpebra, mukosa palatal dan
bukal, ekstremitas dan tidak spesifik pada EI. Splinter atat

perlekatan vegetasi septik dengan emboli, infeksi


metastatik dan septikemia. Vegetasi biasanya melekat pada
aspek atrial katup atrioventrikular dan sisi ventrikular katup
semilunar, predominan pada garis penutupan katup.
Patologi intrakardiak pada EI katup prostetik berbeda
bermakna dengan EI katup asli. Jika katup mekanik terlibat,
lokasi infeksi adalah perivalvular dan komplikasi yang
biasa adalah periprosthetic leaks dan dehiscence, abses
cincin dan fistula, disrupsi sistem konduksi dan perikarditis

I5

subungual hemorrhages merupakan gambaran merah


gelap, linier atau jarang berrpaflame-shaped streakpada
jari, biasanya pada bagian proksimal. Osler
nodes biasanya berupa nodul subkutan kecil yang nyeri
yang terdapat padajari ataujarang padajari lebih proksimal
dasar kuku atau

dan menetap dalam beberapa jam atau hari, dan tak


patognomonis untuk EI. Lesi Janeway berupa eritema kecil
atau makula hemoragis yang tak nyeri pada tapak tangan
atau kaki dan merupakan akibat emboli septik. Roth spots,

1705

ENDOKARDITIS

perdarahan retina oval dengan pusat yang pucat jarang


ditemukan pada EI.
Gejala muskuloskletal sering ditemukan berupa artr-algia
dan mialgia, jarang artritis dan nyeri bagian belakang yang
promlnen.
Emboli sistemik merupakan sequellae klinis tersering

EI, dapat terjadi sampai 407o pasien dan kejadiannya


cenderung menurun selama terapi antibiotik yang efektif.
Gejala dan tanda neurologis terjadi pada 30-407o pasien EI

dan dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Strok


emboli merupakan manifestasi klinis tersering. Manifestasi
klinis lain yaitu perdarahan intrakranial yang berasal dari

ruptur aneurisma mikotik, rdptur arteri karena arteritis


septik, kejang dan ensefalopati.

Pemeriksaan

fisis yang cukup penting

adalah

ditemukannya murmur yang merupakan petunjuk lokasi


keterlib atan katup ( 8 0- 8 5 7o). P ada EI dengan keterlibatan
katup trilmspid murmur ditemukan pada 30-50% kasus pada

presentasi awal. Murmur yang khas adalah blowing


holosistolik pada garis sternal kiri bawah dan terdengar
lebih jelas pada saat inspirasi (Rivello-Carvallo maneuver). Sedangkan EI pada katup jantung kiri, murmur
ditemukan pada lebih dari 9}To.TandaBl pada pemeriksaan
fisis yang lain adalah kelainan kulit antara lain fenomena
emboli, splenomegali, clubbing, petekie, Osler" s node dm.
Tesi

laneway, lesi retina/Roth spots.

Diagnosis EI perlu diwaspadai pada PNIV yang disertar


gejala demam. Marantz el al, mendapatkan diagnosis EI
padal3To pasien PNIV yang menderita demam yang datang
ke Instalasi Gawat Darurat. Kecermatan dalam menentukan

ENDOKARDITIS PADA PENYALAHGUNA NAR KOBA

diagnosis secara cepat, sangat membantu dalam

rNTRA VENA (PNrV)

penatalaksanaan pasien secara optimal, sehingga terapi

terhadap EI dan komplikasinya dapat dilakukan sedini


Pada pasien PNIV, lokasi keterlibatan katup pada EI
biasanya paling sering mengenai sisi kananjantung. sesuai
dengan patogenesis penyakit yang dikaitkan dengan
infeksi dari kulit, kemudian melalui suntikan intravena akan
dibawa mengikuti aliran darah vena menuju sisi kanan
jantung. Penelitian di Divisi Kardiologi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUURSUPN CM mendapatkan vegetasi
hanya pada katup trikuspid pada 80,8% kasus, vegetasi
hanya pada katup mitral atau hanya pada katup aorta
masing -mas in g seb esar 7,7 7o dan ve getasi c ampuran pada
katup mitral dan aorla 3,87o.
Endokarditis infektif pada PNfV memberikan gambaran
klinis, mikrobiologi dan prognosis yang berbeda daripada
EI non PNIV. Diperkirakan lebih daril6To kasus kasus EI
pada PNIV terjadi pada sisi kananjantung, dibandingkan
haryag%o pada non PNIV, dan melibatkan katup trikuspid

pada 40-697o kasus. Stafilokokus merupakan kuman


penyebab tersering EI pada PNIV.

DIAGNOSIS
Diagnosis EI ditegakkan berdasarkan anamnesis yang

cermat, pemeriksaan fisis yang teliti, pemeriksaan


laboratorium antara lain: kultur darah dan pemeriksaan
penunj ang ekokardiografi. Investigasi diagnosis harus
dilakukan jikapasien demam disertai satu atau lebih gejala

kardinal; ada predisposisi lesi jantung atau pola


lingkungan, bakteremia, fenomena emboli dan bukti
proses endokard aktif, serta pasien dengan katup

mungkin.

Kultur Darah
Kultur darah yang positif merupakan kriteria diagnostik
utama dan memberikan petunjuk sensitivitas antimikroba.
Beberapa peneliti merekomendasikan kultur darah diambil

pada saat suhu tubuh tinggi. Dianjurkan pengambilan


darah kultur 3 kali, sekurang kurangnya dengan interval
1 jam, dan tidak melalui jalur infus. Pemeriksaan kultur
darah terdiri atas satu botol untuk kuman aerob dan satu
botol untuk kuman anaerob dan diencerkan sekurangkurangnya 1:5 dalam brothmedia. Minimal jumlah darah
yang diambil 5 ml, lebih baik l0 ml pada orang dewasa.
Jika kondisi pasien tidak akut, terapi antibiotika dapat
ditunda 2-4hati.

Peran Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi sangat berguna dalam
menegakkan diagnosis terutama jika kultur darah negatif.
Demikian juga pada diagnosis bakteremia persisten di mana

sumber infeksi belum dapat diketahui. Deteksi


ekokardiografi transtorakal (TTE) pada pasien yang
dicurigai EI sekitar 50Vo.Padakatup asli sekitar 20% TTE
memperlihatkan kualitas suboptimal. Hanya25Vo vegetasi
<5 mm dapat diidentifikasi, persentase meningkat sampai
70Vo padavegetasi >6 mm. Jika bukti klinis EI ditemukan,

ekokardiografi transesofageal (TEE) meningkatkan


sensitivitas kriteria Duke untuk diagnosis pasti EI.

adalah demam (80-85%). Keluhan lain dapat berupa

Sensitivitas TEE dilaporkan 88-1007o dan spesifisitas 91100Vo. Pada kasus yang dictrrigai terdapat komplikasi,
seperti pasien dengan katup prostetik dan kondisi tertentu
seperti penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), atau

menggigil, sesak napas, batuk, nyeri dada, mual, muntah,


penurunan berat badan dan nyeri otot atau sendi.

terdapat deformitas pada dinding dada, ekokardiografi


transesofageal lebih terpilih daripada transtorakal.

prostetik.
Pada anamnesis, keluhan yang paling sering ditemukan

1706

Kriteria Endokarditis lnfektif

KARDIOI,OGI

Kriteria Mayor

Mengingat manifestasi klinis EI yang cukup beragam,


maka diperlukan suatu strategi diagnosis yang sensitif

Kultur darah positif untuk El


Mikroorganisme khas konsisten untuk El dari 2 kultur darah
terpisah seperti tertulis di bawah ini :
Streptococci viridans, Streptococcus bovls atau grup
HACEK, atau
Community acquired Staphylococcus aureus alau
enterococci, tanpa ada fokus primer, atau
Mikroorganisme konsisten dengan El dari kultur darah
positif persisten di definisikan sebagai :
> 2 kultur dari sampel darah yang diambil terpisah
> 12.jam, atau
(ii) Semua dari 3 atau mayoritasdariZ4 kulturdarah
terpisah ( dengan sampel awal dan akhir diambil

(i)

untuk mendeteksi penyakit dan spesifik untuk

(ii)

menyingkirkan penyakit lain. Durack et al, dari Universitas Duke mengajukan kriteria, yang terdiri dari berbagai
aspek baik secara klinis maupun histopatologis, dengan

(i)

mempeftimbangkan dan memasukkan hal-hal yang tersebut


di atas. Kriteria Duke ini dapat dilihat pada Tabel2 dan 3.

terpisah>1jam)
Bukti keterlibatan endokardial
A Ekokardiogram positif untuk El didefinisikan sebagai
Massa intrakardiak oscillating pada katup atau struktur
yang menyokong, di jalur aliran jet regurgitasi
atau pada material yang di implantasrkan tanpa ada
alternatif anatomi yang dapat menerangkan, atau
(ii) Abses, atau
(iii) Tonjolan baru pada katup prostetik atau

(i)

El Definite
Kriteria Patologis
Mikroorganisme : ditemukan dengan kultur atau histologi
dalam vegetasi, dalam vegetasi yang mengalami emboli,
atau dalam suatu abses intrakardiak,
Lesi patologis : vegetasi atau terdapat abses intrakardiak,
yang dikonfirmasi dengan histologis yang menunjukkan
endokarditis infektif
Kriteria Klinis, menggunakan definisi spesifik (lihat pada tabel
2)

Dua kriteria mayor, atau


Satu mayor dan 3 kriteria minor, atau
Lima kriteria minor
El Possible
Temuan konsisten dengan El, turun dari kriteria definite
tetapi tidak memenuhi kriteria rejected.

El Rejected
Diagnosis alternatif tidak memenuhi manifestasi endokarditis
atau

Resolusi manifestasi endokarditis dengan terapi antibiotika

Regurgitasi valvular yang baru terjadi (memburuk atau


berubah dari murmur yang ada sebelumnya tidak cukup

Kriteria Minor

'1
2
3
4

5.
6

Predisposisi : predisposisi kondisi jantung atau pengguna obat


intravena
Demam: suhu > 38 C
Fenomena vaskular: emboli arteri besar, infark pulmonal septik,
aneurisma mikotik, perdarahan intrakranial, perdarahan
konjungtiva dan lesi Janeway
Fenomena lmunologis : glomerulonefritis, Os/er's nodes, Roth
Spots, dan faktor rheumatoid
Bukti mikrobiologi : kultur darah positif tetapi tidak memenuhi
kriteria mayor seperti tertulis di atas atau bukti serologis infeksi
aktif oleh mikroorganisme konsisten dengan EI
Temuan ekokardiografi : konsisten dengan El tetapi tidak
memenuhi kriteria seperti tertulis di atas,

selama<4hari, Atau
Tidak ditemukan bukti patologis El pada saat operasi atau
autopsi, setelah terapi antibiotika selama < 4 hari
Durack, dkk

Kdteria Duke ini terbukti mempunyai sensitivitas yang


lebih tinggi dan lebih efektif dalam menegakkan diagnosis

klinis dibandingkan kriteria von Reyn. Kedua kriteria di


atas pada mulanya berkembang untuk riset klinis dan
epidemiologis. Karena EI merupakan penyakit yang
heterogen dengan presentasi klinis yang sangat beragam,
penggunaan kriteria seperti di atas saja tidaklah cukup.

tetap harus mempertimbangkan judgement klinis.


Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kriteria Duke ini
juga mempunyai keterbatasan, khususnya pada pasien
PNIV yang sudah mendapat terapi antibiotika sering
ditemukan kultur darah yang negatif, kemungkinan lain

adalah teknis pengambilan kultur darah yang salah,


sehingga diagnosis EI definite sulit ditegakkan.
Kriteria Duke hanya merupakan petunjuk klinis untuk

diagnosis EI tentunya tidak harus menggantikan


judgementklinis.

Penilaian klinis tetap penting pada evaluasi pasien yang

dicurigai EI. Dokter dapat secara tepat dan bijak


memutuskan untuk mengobati atau tidak pasien, tanpa
melihat apakah dapat memenuhi atau gagal memenuhi
kriteria definite ata:u possible berdasarkan skema Duke.
Dalam praktek di lapangan kita sering mendapatkan
kriteria yang tak memenuhi definite. Misalnya hanya
ditemukan adanya riwayat PNIV ( 1 kriteria minor), demam
>38" C ( 1 krrteria minor) dan vegetasi di katup jantung ( 1
kriteria mayor). Berdasarkan kriteria Duke, maka pasien di

atas hanya memenuhi kriteria possible. Namun


pertimbangan diagnosis klinis EI dan penatalaksanaannya

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kasus

EI biasanya berdasarkan terapi

empiris, sementara menunggu hasil kultur. Pemilihan


antibiotika pada terapi empiris ini dengan melihat kondisi
pasien dalam keadaan akut atau subakut. Faktor lain yang
juga perlu dipertimbangkan adalah riwayat penggunaan
antibiotika sebelumnya, infeksi di organ lain dan resistensi
obat. Seyogyanya antibiotika yang diberikan pada terapi
empiris berdasarkan pola kuman serta resistensi obat pada
daerah tefientu yang evidence based.

1707

ENDOKARDMS

Pada keadaan EI akut, antibiotika yang dipilih haruslah


yang mempunyai spektrum luas yang dapat mencakup S.
aureusl Streptokokus dan basil gram negatif. Sedangkan
pada keadaan EI subakut regimen terapi yang dipilih harus
dapat membasmi streptokokus termasuk E. .faecalis.
Terapi empiris ini biasanya hanya diperlukan beberapa
hari sambil .menunggu hasil tes sensitivitas yang akan

menentukan modi likasi terapi.


Untuk memudahkan dalam penatalaksanaan EI, telah

dikeluarkan beberapa guidelines (pedoman) yaitu:


American Heart Association (AHA) dan European
Society of Cardiolog), (ESC). Rekomendasi yang
dianjurkan kedua pedoman ini pada prinsipnya hampir
sama. Penelitian menunjukkan bahwa terapi kombinasi
penisilin ditambah aminoglikosida membasmi kuman lebih
cepat daripada penisilin saja.

Regimen terapi yang pernah


seftriakson I

x2

gram

IV

diteliti antara lain:

selama 4 minggu, diberikan pada

kasus EI karena Streptococcus. Pemberian regimen ini


cukup efektif dan aman, praktis karena pemberiannya satu
kali dalam sehari, dan dapat diberikan sebagai terapi rawat

American Heart Association ( AHA ) (2005)


Katup Asli I Native Valve I

Arnpicillin-sulbaklam 12 grl24 iam dalam


dosis terbagi
+ gentamisin sulfat 3 mg/kg/24 jam lV dalam
3 dosis terbagi atau
vankomisin 30 mglkgl24 jam lv/lM dalam 2
dosis terbagi
+ gentamisin sulfat 3 mg/kg/24 jam lV/lM
dalam 3 dosis terbagi
+ siprofloksasin 1000 mgl24 jam per oral
atau 800 mgl24 jam lV dalam 2 dosis terbagi

Katup Prostetik ( < 1 tahun )


Vankomisin 30 mg/kg/24 jam dalam 2 dosis
terbagi
+ gentamisin sulfat 3 mg/kg/24 jam lV/lM
dalam 3 dosis terbagi
+ sefepim 6 grl24 jam lV dalam 3 dosis
terbagi
+ rifampisin 900 mg/24 jam peroral/lV dalam
3 dosis terbagi
European Society of Cardiology ( ESC

pendek.

TERAPISURGIKAL
Intervensi surgikal dianjurkan pada beberapa keadaan
antara lain:
Vegetasi menetap setelah emboli sistemik: vegetasi pada
katup mitral anterior, terutama dengan ukuran >10 mm

atau ukuran vegetasi meningkat setelah terapi

.
.
.
.
.

antimikroba 4 minggu.
Regurgitasi aorla atau mitral akut dengan tanda-tanda
gagal ventrikel
Gagal jantung kongestif yang tidak responsif terhadap

terapi medis

Perforasi atau ruptur katup


Ekstensi perivalvular: abses- besar atau ekstensi abses
walaupun terapi antimikroba adekuat
Bakteriemia menetap setelah pemberian terapi medis
yang adekuat.

4-6 minggu

4-6 minggu
4-6 minggu

4-6 minggu

6 minggu
2 minggu
6 minggu
6 minggu

(2004)

jalan.
Beberapa penelitian lain juga melaporkan efektivitas
regimen terapi oral: siprofloksasin 2 x 750 mg dan rifampisin
2 x 300 mg selama 4 minggu dan dapat diberikan pada
pasien rawatjalan
Regimen terapi vankomisin merupakan terapi pilihan
pada kasus EI dengan methicillin resistant Staphylococcus oureus (MRSA), walaupun demikian respons klinis
yang lambat masih cukup sering ditemukan.
Infeksi HIV sering ditemukan pada pasien EI yang
di sebabkan PNIY sekitar'7 5 Vo . P enatalaksanaanny a pada
prinsipnya sama, terapi antibiotika diberikan secara
maksimal dan tidak boleh,dengan regimen terapi jangka

4-6 minggu

Katup Asli ( Native Valve I


Vankomisin 15 mg/kg lV tiaP '12 jam
+ gentamisin 1 mg/kg lV tiap 8 jam
Katup Prostetik
Vankomisin 15 mg/kg lV tiap 12 jam

+ rifampisin 300-450 mg per oral tiap 8 jam


+ gentamisin 1 mg/kg lV tiap B jam

4-6 minggu
2 minggu
4-6 minggu
4-6 minggu
2 minggu

KOMPLIKASI
Komplikasi EI dapat terjadi pada setiap organ, sesuai
dengan patofisiologi terjadinya manifestasi klinis (lihat
patofisiologi):
. Jantung: katup jantung: regurgitasi, gagal jantung.

.
'
.

abses
Paru : emboli paru, pneumonia, pneumotoraks, empiema

dan abses.
Ginjzrl: glomerulonelrifis
Otak: perdarahan subaraknoid, strok emboli, infark
serebral

PENCEGAHAN ENDOKARDITIS INFEKTIF


Beberapa kondisi jantung dikaitkan dengan risiko
endokarditis lebih besar dari populasi norunal. Kondisi ini
dikelompokkan pada 3 kategori; risiko tinggi, risiko sedang
dan risiko rendah./tanpa risiko (Tabel 8).
Kondisi non kardiak yang meningkatkan risiko El adalah

penyalahguna narkoba intravena (PNIV) yang

dikalkulasikan 12 x lebih tinggi daripada non PNIV. Kondisi


lain yang menjadi predisposisi EI adalah hiperkoagulasi,

1708

KARDIOITOGI

Regimen
H ig h

ly

Lama
Minggu

Dosis dan Cara

Kekuatan
Rekomendasi

Pen i ci I li n-Susceptib/e

crystalline
sodium

Aqueous
Penicillin G
Atau
Ceftriaxone sodium
Aqueous crystalline
Penicillin G sodium
Atau

12-18 juta Ul24 jam lV secara kontinyus


atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama

2 grl24 jam lV/lM dalam 1 dosis

12-18 jula Ul24 jam lV secara kontinyus


atau dalam 6 dosis terbagi sama

Ceftriaxone sodium
Ditambah
Gentamisin sulfat
Vankomisin

2 grl24 jam lV/lM dalam 1 dosis

3 mg/kg per 24 jam lV/lM dalam 1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama
30 mg/kg per 24 jam lV dalam 2 dosis terbagi tidak lebih dari 2 grl24 jam

Rel atively Re

si

stant to

crystalline

Oxaci

I Ii

Nafcillin
oxacillin

n- s u

24 jula Ul24 jdm lV secara kontinyus


atau dalam 4 atau 6 dosis terbagi sama

2grl24 jam lV/lM dalam

1 dosis

3 mg/kg pet 24 jarn lV/lM dalam '1 dosis atau dalam 3 dosis terbagi sama
30 mg/kg pet 24 jam lV dalam 2 dosis terbagi tidak lebih dari 2 grl24 jam

scepti ble stra i n s


12 grl24 jam lY
dalam 4-6 dosis
terbagi sama

atau

Oxac

3 mg/kg per 24

mrnggu

3-5 hari

6 grl24 jam lV
dalam 3 dosis

Gentamisin

opsional
Gentamisin
sulfat

t)

30 mg/kg per 24

jam lV dalam 2

>6

3 mg/kg per 24

Vankomisin 30 mg/kg per 24

>6

jam lV dalam 2
dosis terbagi

2atau3dosis

Vankomisin

>6

Ox a c i I i n-resi sta nt stra i ns

3-5 hari

sama

terbagi sama

nt strai n s

Kekuatan
Rekomendasi

atau 3 dosis
terbagi sama

jam lV/lM dalam

Oxac i li n -resista

Lama

Minggu

jam lV/lM dalam2

mrnggu

terbagi sama
3 mg/kg per 24

900 mg per 24 jam


lV/Per oral dalam
3 dosis terbagi

sama

Ditambah

Tambahan

sceptibl e strai n s
12 grl24 jam lV
dalam 6 dosis
terbagi sama

Ditambah

Untuk pasien alergi penisilin

Cefazolin

i I I i n- s u

Nafcillin
atau
oxacillin
Ditambah
Rifampin

Ditambah

opsional jam lV/lM dalam


Gentamisin 2 atau3dosis
sulfat
terbagi sama

uosls dan Gara

Regimen

Dosis dan Cara

Tambahan

Pe n ic i I I i n

Aqueous
Penicillin G sodium
Atau
Ceftriaxone sodium
Ditambah
Gentamisin sulfat
Vankomisin

Regimen

Ditambah

Rifampin
6

m nggu

dosis terbagi
sama

900 mg per 24 jam


lV/Peroral dalam
3 dosis terbagi
sama

Ditambah

Gentamisin

3 mg/kg per 24

jam lV/lM dalam2

penyakit kolon inflamasi, lupus eritematosus sistemik,


pengobatan steroid, diabetes melitus, luka bakar,

atau 3 dosis
terbagi sama

pemakaian respirator, status gizi buruk dan hemodialisis.

Target primer pencegahan pada prosedur yang


melibatkan rongga mulut, saluran pernapasan atau
esofagus adalah Streptococcus viridans, yang merupakan
penyebab sering katup asli dan katup jantung prostetik
onset akhir-. Prosedur yang melibatkan traktus genitourinari

dan gastrointestinal sering mendahului berkembangnya


endokarditis enterokokkal sehingga target kumannya
adalah enterokokkus. Jika dilakukan insisi dat drainage
kulit dan jaringan lunak yang terifeksi, profilaksis
difokuskan pada S.aureus.

1709

ENDOKARDIfiS

Risiko Tinggi
Relatif
Katup jantung

prostetik

Endokarditis
infektif
sebelumnya

Risiko

Sedang

Risiko Sangat

Rendah atau Tak


Ada

Prolaps katup
mitral dengan
regurgitasi atau
penebalan katup
Stenosis mitral

Prolaps katup mitral


tanpa regurgitasi atau
penebalan katup
Regurgitasi katup
trivial pada
ekokardiografi tanpa
abnormalitas
struktural

Penyakit katup
trikuspid

Defek septum atrial


(sekundum)

Duktus
arteriosus paten

Stenosis
pulmonal

Plak arterisklerotik

Hipertrofi septal
asimetris

Penyakit arteri koroner


sebelumnya
Pacu jantung,
defibrilator implant

(PDA)
Regurgitasi
Stenosis aorta

Regurgitasi
mitral

Katup aorta
bikuspid atau
sklerosis aorta
kalsifikasi
dengan
gangguan
hemodinamik
minimal
Penyakit
valvular
generatif pada
usia lanjut

Lesi intrakardiak yang


dioperasi dengan
tanpa/ minimal
abnormalitas
hemodinamik, pasca
operasi > 6 bulan
(ASD.

Stenosrs mitral
dan regurgitasi

Defek septum
ventrikular
(VSD)

Koartasio aorta
Lesi intakardiak
yang sudah
dioperasi
dengan
abnormalitas
hemodinamik
alau device
prostetik
Shunt pulmonal
sistemik yang
dioperasi

Lesi intrakardiak
yang dioperasi
dengan tanpa /
minimal
abnormalitas
hemodinamik
pasca operasr
< 6 bulan

Regimen

Regimen standar

Amoksisilin 3 gram per oral '1 jam


sebelum prosedur, kemudian 1,5
gram 6 jam setelah dosis inisial

Pasien allergi penisilin

Eritromisisn etilsuksinat 800 mg,


atau eritromisisn stearat 1 gram,
peroral2 jam sebelum prosedur,
kemudian setengah dosis 6 jam
seteiah dosis inisiai

/ amoksisilin

Penyakit jantung
kongenital
sianotik

aorta

Sett ng

Pasien tak bisa


mendapat terapi oral

Ampisilin 2 gram lM atau lV 30


menit sebelum prosedur, kemudian
ampisilin 1 gram lM atau lV, atau
amoksisilin 1,5 gram per oral 6 jam
setelah dosis rnisial

Pasien alergr penisilin /


amoksisilin /
Ampisilin tak bisa
mendapat terapi oral
Pasien dianggap
sebagai risrko sangat
Tinggi dan bukan
kandidat untuk
regimen standar

Klindamisin 300 mg lV 30 menit


sebelum prosedur, kemudian 150
mg 6 jam setelah dosis inisial

Pasien dianggap risiko


sangat tinggi
Alergi
pen isilin/amoksilin/
ampisilin

Gunakan regimen untuk pasien


alergi yang menjalani prosedur
genitourinari dan gastrointestinal

Gunakan regimen standar untuk


prosedur genitourinari dan
gastrointestinal

VSD, PDA,

stenosis pulmonal )
Operasi graft pintas
koroner sebelumya

Penyakit Kawasaki
sebelumnya atau
demam reumatik
tanpa disfungsi
valvular

Antibiotik

Regimen

Pasien risiko
tinggi

Ampisilin plus

Ampisilin 2 gram lV/lM


plus gentamisin 1,5
mg/kg dalam 30 menit
prosedur, ulangi ampisilin
1 gram lV/lM atau
diberikan amoksisilin 1 gr
peroral 6 jam kemudian

Settrng

gentamrsin

Vankomisin 1 gram lV
diinfus dalam 1-2 jam dan
selesai dalam 30 mentt
prosedur plus gentamisin
1,5 mg/kg lM/lV Tidak
direkomendasikan dosis

Pasien risiko

Vankomisin

tinggi,

plus

Allergi penislin

gentamisin

Pasien risiko
sedang

Amoksisilin
atau ampisilin

Amoksisilin 2 gram
peroral 1 jam sebelum
prosedur atau ampisilin 2
gram lM/lV 30 menit
sebelum prosedur

Pasien alergi

Vankomisin

Vankomisin 1 gram lV
dinfus dalam 1-2 jam dan
selesai dalam 30 rnenit
prosedur

kedua.

penisilin,

risiko sedang

17t0

KARDIOLOGI

Prosedur di mana pencegahan endokarditis infektif


direkomendasikan dapat dilihat pada tabel 9,10. Prosedur
dianjurkan pada semua pasien dengan semua risiko yang
menjzLlani prosedur gigi yang menyebabkan perdarahan,

namun ekstraksi merupakan risiko yang paling kuat


terjadinya EI. Profilalsis tidak rutin direkomendasikarr pada
prosedur endoskopi dengan atau tanpa biopsi, karena

kejadian EI jarang dilaporkan. Profilaksis tidak


direkomendasikan secara rutin pada kateterjsasi jantung
atau TEE.

REFERENSI
Alwi I, Rahman AM, Mad-iid A, Ismail D, Harutr S, Suryadipradja
RM. Endokarditis inleksi pada penyalahgunaan obat intraveu;t:
spektrum ekokardiografi pada 26 kasus Nlakalah Bebas Oral
KOPAPDI XI. Surabaya. 2000
Iladdour LM, Wilson WR, Bayer AS, er

al

[nfective endocarditis

Diagnosis. antirnicrobial therapy. and nrarragement of


conlplications. A Statement for Heaithcare Prolessionals From
tLre Committee on Rheumatic Fever, Endocuditis, and Kawasaki
Disease, Council on Cardiovascular Disease in the \bung, and
the Councils on Clinical Cardiology, Stroke tnd Cardiovascular

Surgery and Anesthesia, American EIeart Association.


Circulation 2005: I I I :e39:l-e.133
Bayer AS, Bolger AN. Tauberr KA. Wilson W, Steckclberg J.
Karchmel AW et al AHA Scientific Statement Diagnosis and

of inf-ective endocarditis and its cornplications


Circulation 1998 ;98:2936-48.
Brown M, Gdffin GE Immune responses in endocarditis. Editorial
Heart 1998l.19:l-2.
Charnbers HE. Korzenioski OM, Sande MA. Staphylococcus aureus
endocarditis: clinical manitestations in addicts and nonaddicts
managernent

N{edicine 1983;62:170-1.
Cheitlein MD, Alpert JS, Armstrong WF, Aungemma CP, Beller GA,
Biermzln FZ et al. ACC/AI{A Guidelines for the Clinical
Application of Ekokaldiograficardiography. A report of [he
American College of Cardiology/American Heart Assoeiarion
Task Force on Practice GuideUnes (Comrnittee on Clinical AppLcation of Ekokardiograficardiography). Circulation
1997:95:1 686-'7 44.
Durack DT, Lukes AS, Bright DK. New criteria for diagnosis of infective endocarditis: utilization of spesific ekokardiograficardiographic

findings. Am J Med 199196:200-9


Dwolkin RJ, Lee 81, Sande MA, Chambers HF. Treatment of right
sidcd Staphyloccus aurcus endocarditis in intravenous drug users
wiLh ciprofloxacin and rifampicin. Lancet 1989:107i-3

Durack DT. Infective and non-infective endocarditis. In : Schlant


RC, Alexander RW, O'Rourke RA, Robert R, Sonnenblick EH.
The Heart 8 th Eds. New York , Mc Graw Hill Inc. 1994 p 1681709.
Francioii P, Etienne J. Hoigne R, Thys JP, Gerber A. Treatment of
streptococcal endoc:rditis with a single daily dose of ceftriaxone
and outpatient Lieatment feasibility. JAMA 1992:261 :264-7.
Horstkotte D, Follath F, Cutschik E, et al. Guidelines on prevention. diagnosi-s and treatment of infective endocarditis The
Task Force on Inlective Endocarditis of the European Society
of Cardiology. Eur Heart J 2004100:1-37
Heldman AW, Hartert TY Ray SC, Daoud EG Kowalski TE, Pompili
EJ et al. Oral antibiotic treatment of right sided staphylococcal
endocarditis in injection drug users : plospective randomized
cornparison with parenterzrI therapy. Am J Mcd 1996;l0l:6816.
Heeht SR, Berger

M Right sided endocarditis in intravenous drug


users Ann lntern NIed 1992:117:560-6.

Habib G Derumeaux G Avierinos JF, Casalta JP, jamal F. Volot F et


al. Value and limitations of the Duke criteria for the di.rgnosis of
infective endocarditis. J Am Coll Cardiol 1999;33:2023-9
Karchmer AW. Infective endocarditis ln : Braunwald's Heart Disease. A Textbook of Cardivascular Medicine 7 th Eds. Philadel-

phia, Elsevier Saunders. 2005.p. t633--58

BR Slow response to vancomycin or


vancomycin plus rifampin in neth jcillin-resistant Staphl lococcus aure[rs endocarCitis, Ann lntern \4ed l99l;115:674-80
Mathew J. Addai T Anau A. Morrobel A, Maheshwari P, Freels S
Clinical featnres, site of involvement, bacteriologic findings,

Levine DP Fromm BS, Reddy

and outcome ol infective endocarditis in intravenous drug


Arch Intern Med 1995;15-5:1641-8.

users

Nalass RG Weinstein MP, Bartels J, Gocke DJ. Infective endocarditis in intravenous drug users : a comparison of human inrmttnodeliciency virus tipe-l negative and positive patients J Infect
Dis 1990:162:967-70.
Ribera E. N4ilo JM, Cortes E, Cruceta A. Melce J, Marco F et al
Influence of human irnmunodeticiency virus-1 infection and
degree of immunosuppression in the clinical characteristics and
outcome of infectire endocarditis in intlavenous drug users.
Arch Intern Med 1998;158:2043-9.
Roberts R, Slovis CM. Endocarditis in intravenous drug abusers.
Emergency Med Clin North Am. 1990;8:665-81.
Shanson DC. New guidelines for the antibiotic treatment of streptococcal, enterococcal and staphylococcal endocarditis J Anti-

microbial Chemotherapy 19981,42:292-6


Wilson WR, Karchmer A1il, Dajani AS, Taubert KA. Bayer A. Kaye
D et al. Antibiotic treatment of adult with infective endocarditis due to streptococci, enterococci, sraphylococci, and HACEK
microorganisms. JAMA 1995:.21 4:1706-13.

269
MIOKARDITIS
Idrus Alwi, Lukman H. Makmun

PENDAHULUAN
Miokarditis merupakan penyakit ffiamasi pada miokard, yang

bisa disebabkan karena infeksi maupun non infeksi.


Patofisologi miokarditis belum sepenuhnya dimengerti.
Miokarditis primer diduga karena infeksi virus akut atau

penelitian miokarditis pada hewan oleh virus kardi<ltropik.


Garis waktu penelitian eksperimental miokarditis viral dapat
dilihat pada gambar 1. Setelah masuk tubuh melalui saluran
cerna (enterovirus) atau melalui saluran napas (adenovirus dan enterovirus), virus kadiotropik ini akan mengikat

coxsackie odenoviral receptor (CAR), untuk

respons autoimun pasca infeksi viral. Miokarditis sekunder


adalah inflamasi miokard yang disebabkan patogen spesifik.

penggabungan genom virus ke dalam miosit.


Pada fase akut miokarditis viral (hari 0-3), tikus yang

ini mencakup bakteri, spiroseta, riketsia, jamur.

diinjeksi dengan virus koksaki menunjukkan bukti

Patogen

protozoa, obat, bahan kimia, obat fisika dan penyakit inflamasi


lain seperti lupus eritematosus sistemik. Etiologi miokarditis
karena infeksi yang terbanyak adalah infeksi viral, terutama
enterovirus koksaki B.

Pada sebagian besar pasien, miokarditis tak dapat


diduga karena disfungsi jantung bersifat subklinis,
asimtomatik dan sembuh sendiri (self limited). Oleh karena
miokarditis biasanya asimtomatik, maka data epidemiologi
yang ada berasal dari penelitian pasca mortem. Pada
pemeriksaan pasca mofiem miokarditis ditemukan sekitar
1-9Vo, sehingga diduga miokarditis adalah penyebab utama
kematian mendadak.

sitotoksisitas virus langsung, dengan nekrosis miokard


tanpa infiltrasi sel inflamasi. Makrofag yang teraktivasi
mulai mengekspresikan interleukin (IL)-1u, IL-2, TNF-ct
dan interferon gamma (IFN-o).
Pada fase subakut (hari 4-14) terd"apat infiltrasi sel.natural killer (sel NK) yang memproduksi neutraLizing antibody dan sel patogen yang dimediasi imun. Gelombang
pertama infiltrasi sel terutama terdiri dari sel NK yang
mempunyai 2 peran penting yaitu menghambat replikasi
virus (protektif) dan melepaskan perforin dan granzymes
yang membentuk lesi inti sirkular pada permukaan membran
sel yang terinfeksi virus (menimbulkan kerusakan miosit).

Sitokin merupakan mediator utama aktivasi imun. Kadar

n-),IL-Z danll--6
MIOKABDITIS VIRAL

Patogenesis
Infeksi oleh virus kardiotropik merupakan hipotesis awal
bahwa infeksi viral dapat menimbulkan kerusakan miokard.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa disfungsi miokard
membaik setelah eradikasi penyebab infeksi dan menduga
bahwapatogenesis miokarditis mungkin disebabkan 2 fase
berbeda kerusakan sel miokard; pertama akibat infeksi
virus langsung dan kedua akibat respons imun pejamu.
Pengertian respons imun spesifik yang mengakibatkan
kerusakan miokard sebagian besar berasal dari model

meningkat pada pasien miokarditis akut,


seperli juga TNF-cr dan ekspresi protein. Nitrik oksida yang

bermanfaat mempertahankan tonus vaskular, mungkin


mempunyai efek buruk pada miokarditis akut dan berperan
pada progresivitas kerusakan miosit.
Pada fase kronik (hari 15-90) terjadi eliminasi virus dan
kerusakan miokardial yang terus berlanjut. Jantung tikus
yang terinfeksi mengalami hipertrofi dan fibrosis miokard
menetap. Sel inflamasi tak tampak lagi. Mekanisme yang
melibatkan transisi stadium ini menjadi kardiomiopati
dilatasi belum sepenuhnya dipahami (Gambar I ).
Apoptosis atau kematian sel terprogram, mungkin

merupakan mekanisme patogenesis ketiga yang


mengakibatkan miokarditis menjadi kardiomiopati dilatasi'

tTrt

t7t2

I(ARDIOLOGI

Miokarditis akut

Miokarditis subakut

Miokarditis kronis

lnfeks
VITUS
I

sis

___N

ag

r- \

Infiltrasi

sel mononuklear

Ekspresi

Natural
killer

Sel

Limfoslt T
ik

lo
t"

Perforin

interferon-y

Nitrit

oksida

ng

antibodies

Pembersihan virus

Gambar 1. Perjalanan waktu miokarditis viral eksperimental (Adaptasi dari Kawai)

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis miokarditis bervariasi, mulai dari
asimptomatlk (sel,f-limited disease) sampai syok
kardiogenik. Keterlibatan jantung biasanya muncul 7
sampai 10 han setelah penyakit sistemik. Gejala paling jelas
yang menunjukkan miokarditis adalah sindrom infeksi vi-

ral dengan demam, nyeri otot, nyeri sendi, dan malaise.

Sebagian besar pasien tidak mempunyai keluhan


kardiovaskular yang spesifik namun mungkin memiliki
kelainan segmen ST dan gelombang T pada
elektrokardiogram (EKG). Nyeri dada ditemukan sampai
dengan 35 persen pasien dan mungkin berupa iskemia
yang khas, atau pada umumnya perikardial. Nyeri dada
biasanya menunjukkan perikarditis yang terkait, namun
terkadang dikarenakan adanya iskemia miokard.
Kardiomiopati dilatasi akut pada miokarditis limfositik
dapat menyebabkan gagal jantung ringan, sedang, atau
gagaljantung berat. Sebagian besar pasien dengan gejala
ringan mengalami tahap penyembuhan spontan fungsi
ventrikular dan normalisasi pada ukuran jantung. Pasien

dengan gagal jantung New York Heart Association


(NYHA) kelas III atau IV umumnya memiliki derajat
pelebaran ventrikular dan disfungsi ventrikel yang lebih
besar. Meskipun sebagian sembuh dengan spontan,
diperkirakan bahwa separuh akan dihadapkan dengan

Kadang-kadang pasien mengalami sindrom klinis yang


serupa dengan infark miokard akut, dengan nyeri dada
iskemia dan elevasi segmen ST pada EKG. Disfungsi pada
ventrikel kiri mungkin muncul pada kurang dari setengah
pasien dan cenderung bersifat difus. Pada autopsi, arteri
koroner biasanya masih paten, meskipun arteritis koroner
viral pemah dilaporkan. Vasopasme koroner juga pernah
dihubungkan dengan miokarditis akut.

Pasien mungkin mengalami sinkop atau palpitasi


dengan blok atrioventrikular (AV) atau aritmia ventrikular.

Blok AV lengkap umurri dijumpai, dan sebagian pasien


mengalami serangan Stokes-Adams. Blok jantung lengkap
umumnya bersifat sementara dan jarang membutuhkan alat
bantu jantung permanen. Pada evaluasi selama 20 tahun
terhadap kematian mendadak pada anggota-anggola Air
F orc e baru, tercatat 20 persen yang mengalami miokarditis

saat diautopsi. Pada beberapa pasien dengan aritmia


ventrikel refrakter, biopsi endomiokardial atau autopsi
menunjukkan adanya miokarditis. Penyakit tromboemboli
sistemik juga terkait dengan miokarditis.
Kecenderungan famrlial pada miokarditis dapat terjadi.
Pada beberapa laporan, terdeteksi adanya defek sel
supresor, menjadi predisposisi perkembangan ke arah

gejala sisa disfungsi miokarditis dan seperempatnya akan

miokarditis aktif. Pasien dengan kardiomiopati peripartum


memiliki frekuensi miokarditis yang lebih tinggi pada biopsi
endomiokardial. Perubahan-perubahan imunoregulasi

meninggal atau membutuhkan transplantasi jantung.

pada saat kehamilan dan setelahnya mungkin

Pasien dengan miokarditis berat seringkali diserlai dengan


kolaps sirkulasi dan tanda-tanda disfungsi organ. Pasien

meningkatkan miokarditis viral, dan pajanan terhadap

seringkali mengalami demam, disfungsi miokard global


berat, dan peningkatan minimal dimensi ventrikular kiri dan
dimensi pada akhir diastolik. Dibutuhkan support sirkulasi
mekanik sebagai jembatan untuk transplantasi jantung atau

kerusakan miokard yang dimediasi imun.

penyembuhan.

sindrom seperti flu atau mungkin asimtomatik. Pemeriksaan

antigen trofoblastik mungkin akan menyebabkan

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya

1713

MIOKARDITIS

Elektrokardiograf
lnfeksi

Virus
Coxsackievirus, echovirus, HlV, virus Epstein-Barr,
influenza, cytomegalovirus, adenovirus, hepatitis (A dan
B), mumps, poliovirus, rabies, respiratory syncitial virus,
rubella, vaccin ia, varicella zostet, a rbov i ru s

Bakteri
Co ryn e bacte ri u m d i p hte ri ae, St re ptococ c u s pyog e n e s,
Staphylococcus aureus, Haemophilus pneumoniae,
S a I mon e I I a spp., /Velsserla g o norrh oe ae, Le ptospi ra,
Borrelia burgdorferi, Treponema pallidum, Brucella,
Myobacterium tubercolosis, Actinomyces, Chlamydia
spp., Coxiella burnetti, Mycoplasma pneumoniae,
Rlcketfsla spp

Jamur
Candida spp , Aspergillus spp., Hlstoplasma,
s, C rypto cocc u s, Cocc i d ioi d i o myce s

Bl a sto myce

Parasit
Trypanosoma cruzii, Toxoplasma, Schistosoma, Trichina

Noninfeksi
Obat-obatan yang menyebabkan reaksi
h

ipersensitivitas

Antibiotik: sulfonamida, penisillin, kloramfenikol,


amfoterisin B, tetrasiklin, streptomisin
Antituberkulosis: isoniazid, para-aminosalicylic acid
Antikonvulsan: penindion, fenitoin, karbamazepin
Anti-inflamasi: indometasin, fenilbutazon
Diuretik: asetazolamid, klortalidon, hidroklorotiazid,
spironolakton
Lain-lain: amitriptilin, metildopa, sulfonilurea

Obat-obatan yang tidak menyebabkan reaksi


h

iperse n s it ivita s
Kokain, siklofosfamid, litium, interferon alpha

Penyebab selain obat-obatan


Radiasi,

gianl

cells, myocarditis

EKG hampir selalu abnormal pada pasien miokarditis. EKG


paling sering menunjukkan sinus takikardia. Lebih khas
adalah perubahan gelombang ST-T. Dapat ditemukan
perlambatan interval QTc, voltase rendah (low voltage),
dan bahkan pola infark miokard akut. Aritmia jantung

seringkali ditemukan, termasuk blok jantung total,


takikardia ventrikular dan aritmia supraventrikular
terutama dengan adanya gagal jantung kongestif atau
inflamasi perikard.

Folo Rontgen Dada


Rasio kardiotorasik biasanya normal, terutama pada fase

awal penyakit sebelum terjadi kardiomiopati. Fungsi


ventrikel kiri yang menurun progresif dapat

mengakibatkan kardiomegali. Dapat ditemukan


manifestasi gagal jantung kongestif seperti sefalisasi atau
edema paru.

Ekokardiograf

Ekokardiografi dapat menunjukkan disfungsi sistolik


ventrikel kiri pada pasien dengan dimensi ventrikel kiri
yang berukuran normal. Kelainan gerakan dinding segmental mungkin ditemukan. Ketebalan dinding jantung
mungkin bertambah, terutama saat permulaan penyakit,
inflamasi sedang hebat. Trombus ventrikel terdeteksi
l5 persen. Gambaran ekokardiografi pada
miokarditis aktif dapat meniru restriktif, hipertropik, atau
saat

sekitar

kardi omiopati dilatasi.

laboratorium dapat menunjukkan leukositosis, eosinofilia,


laju endap darah yang meningkat atau peningkatan MB
band of creatine phosphokinase (CKMB). Peningkatan
CKMB ditemukan pada kurang lebih 10 persen pasien,

namun pemeriksaan troponin lebih sensitif untuk


mendeteksi kerusakan miokard pada kecurigaan miokarditis.

Dapat dijumpai peningkatan titer virus kardiotrofik.


Dibutuhkan peningkatan empat kali lipat pada titer IgG
setelah lebih dari 4-6 minggu untuk mendokumentasikan

Biopsi Endomiokardial
Karena tidak adekuatnya pemeriksaan non invasif dalam

menetapkan diagnosis miokarditis, diagnosis histologis

dianggap perlu untuk memastikan diagnosis. Biopsi


endomiokardial merupakan tes yang penting untuk
membuktikan diagnosis tersebut. Spesimen miokard
ventrikel kanan bisa didapatkan dengan mengakses vena
jugularis interna kanan atau vena,femoralis. Biopsi

intravaskular dari ventrikel

kiri

jarang dilakukan

infeksi akut. Peningkatan titer antibodi IgM mungkin


menunjukkan infeksi akut secara lebih spesifik
dibandingkan peningkatan pada titer antibodi IgG.
Sayangnya, peningkatan pada titer antibodi hanya
menangkap respons infeksi virus yang masih baru dan

dikarenakan angka kematian yang lebih tinggi. Bioptom


ventrikular kanan yang tepat diletakkan di bawah
fluoroskopi atau ekokardiografi untuk mengambil sampel
septum interventrikel. Karena miokarditis dapat terjadi
setempat, maka sampel diambilminimal empat sampai enam

tidak menunjukkan keberadaan miokarditis aktif. Dilaporkan

fragmen. Dengan menggunakan bioptom Stanford, sampel-

kelainan pada hitung limfosit T and B, namun tidak


konsisten dan tidak dapat digunakan sebagai penentu
diagnostik. Tiga hal kiinis yaitu infeksi viral sebelumnya,
perikarditis, dan kelainan laboratorium terkait yang
digunakan untuk mendiagnosis miokarditis karena
coxsackie B dijumpai pada kurang dari 10 persen kasus
yang terbukti secara histologis.

sampel pada umumnya

memiliki diameter maksimal

2 sampai

3 mm dan berat basah 5 mg. Sampel-sampel tersebut


diproses, ditempel pada parafin, diletakkan dan.diwarnai

dengan hematocylin-eosin dan trichrome. Beberapa


peneliti melakukan biopsi endomiokardial pada pasien
dengan gagal jantung kongestif yang tak jelas dan/atau
aritmia venrikular.

1714

I(ARDIOLOGI

Kriteria Histologis Miokarditls


Persentase pasien dengan hasii biopsi yang diinterpletasi
sebagai miokarditis bervariasi Iuas. Hal ini pada dasarnya

karena acianya perbedaan hriteria diagnosis untuk


miokariiti s aktil' vang ,Jigunaltnn oleh peneliti.
Ketidakpastian kriteria biopsi endomiokardial ini
r-nenyebabkan adanya pertemlian bagi patololi jantLrng
tuntuk mencapai kesepakatan umuln ciefinisi patologis
miokarditis, yang sekarang dikenal sebagai kriteria Dailas.
Kriteria ini membagi hasil biopsi menjadi miokarditis,

rriiokarditis borderline. atau tidak ada miokarditis.


Miokarditi s akti f

di defin i sil<an sebagai in-til trat i nfl am asi


pada miokarci ciengan nekrosis dan atau ciegenelasi miosit,
tidak khas acianya kerusakan iskenria yang terkait dengan

PJK. N{iokardttis horderllne digunakan jika infiltrat


inflarnasi terlalu ringan ataLl saat kerusakan rriosit tidak
tampalt. Frekuensi rniokarditis aktif yang tinggi dikonfirmasi

dengan pengu!angai.r biopsi pada pasien yang sampel

histoiogis ter-daliulunya n'renunjukkan miokardit!s


horde rlin

Meskipun kritcria Dalias menyamakan deskripsi sampel

biopsi, garnbaran histopatologis sendiri mungkin tidak


cukup Lrntuk mengidentifikasi keberadaan miokarditis aktif.
Skema klasifikasi alternatif sudah dianj urkan. tennasuk satu

yang menggabungkan kriteria histopatologis dan klinis.


N{iokarditis terbagi rnenjadi empat sub-grup fulminan
(kuat), akut, kronik aktif-, dan kronik persisten, Penggunaan
petanda inflamasi imunohistologis, seperli histocontpttt -

ibilittt leukocyte antigenr (HLAs) pada miosit

atau
pendeteksian terhadap autoantibodi, mungkin membantu

diagnosis.

Biopsi endomiokardial harus dilaksanakan secepat


mungkin untuk memaksimalkan hasil diagnosis. Resotrusi
miokarditis aktif dapat dijumpai dalam waktu 4 hari dari
biopsi awal, dengan penyembuhan progresif dalarn u'aktu
beberapa minggu pada biopsi serial. Perkembangan
miokarditis aktif menjadi kardiomiopati dilatasi didapatkan
saat biopsi serial dilakukan.

Studi Noninvasif
Meskipun skin ti grafi

etium 9 9 m- py r o p ho s p hat e Lelah


terbukti berguna dalam mendeteksi miokarditis pada model
murin, namun tidak ef'ektif dalam mendiagnosis miokarditis
pada manusia. Proses penggambaran dengan gallium 67,
radioisotop infkunnat b n-avld, cukup menj anj ikau se bagai
metode skrining untuk miokarditis aktif, dengan spesitisitas
dan sensitivitas sebesar 83 persen dan niiai prediksi negatif
sebesar 98 persen pada miokarditis yang terbukti dengan
te c hn

biopsi. Scan dengan Indium lll - labeled antimyosin


ttntibodl, dapat digunakan untuk mendeteksi nekrosis
miosit. Penggunaan teknik ini pada pasien miokarditis
menunjukkan sensitivitas 83 persen, spesifisitas 53 persen.
dan nilai prediksi negatif scan nonnal sebesar 92 persen.
Pada pasien-pasien yang antibodi antimiosin positif dan

Gambar 2. Gambaran Histopatologis Miokardium Normal


(A,X100), Miokarditis Borderline (8,X100,C,X350), Miokarditis
Aktif (D,X100,E,X300), Menurut Kriteria Dallas (Dikutip dari Feldman

AM, et

al

N Engl J Med 2000;1388-98)

biopsi negatif, kemungkinan tidak terdeteksinya inflamasi


dapat terjadi. Proses penggarnbaran antimiosin dapat

inendeteksi kerusakan miosit tanpa membutuhkan


etiologi, dan penyebab kerusakan otot jantung non
inflamasi. Pada pasien muda dapat terjadi scan positif
palsu. Kegunaan skintigrafi dalam mendiagnosis
miokarditis terbatas oleh rendahnya spesifisitas dan
pajanan terhadap radiasi.
Perubahan jaringan sehubungan dengan miokarditis
mungkin bisa diidentifikasi dengan menggunakan nktg-

netic resonance intaging (MRI). Hasil-hasil awal


menunjukkan infl amasi miokard mungkin menyebabkan
intensitas sinyal dinding miokard abnormal. Penggunaan
T2-,,veighted imoges untuk memvisualkan edema jaringan
telah dilaporkan dalam beberapa laporan kasus pasien
dengan miokarditis aktif. Baru-baruini, contrast mediumenhanced MRI telah digunakan untuk mendeteksi
perubahan miokardial pada miokarditis. Obat kontras dalam
proses pencitraan MRI yai::u gadopentetate dimeglumine

berkumpul pada lesi-lesi inflarnasi. Bahan tersebut bersifat


pada ruang ekstraseiular jaringan
yang mengandung air. Gadolinium meningkatkan sinyal
Tl+veighted images. Pada sejumlah 19 pasien dengan
dugaan miokarditis secara klinis dan 18 subyek normal

hidrofilik yang berkumpul

melalui contrast-enhanced MRI, menunjukkan

1715

MIOKARDITIS

peningkatan global relatif lebih tinggi pada pasien

lmunosupresif

dibandingkan dengan kontrol. MRI kontras dan


pemrosesan gambar ekokardiografi digital dapat

Keberhasilan terapi imunosupresan pada miokarditis viral


aktif mengarah ke Myocarditis Treatment TriaL y ang besar.
Dalam studi ini, 11 I pasien dengan miokarditis yang
terbukti dengan biopsi dan dengan fraksi ejeksi ventrikel
l<ti < 457o diacak untuk menerima terapi konvensional saja

rnemvisualkan area inflamasi dan berapa besar inflamasi


tersebut, dan juga terbukti berguna sebagai teknik dalam
diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit.
Meskipun teknik-teknik noninvasif cukup menjanjikan,
biopsi endomrokardial tetap menjadi standar baku dalam
diagnosis.

Penatalaksanaan
Perawatan suportif merupakan terapi lini pertama pada
pasien miokarditis akut. Pada pasien dengan gejala gagal

jantung, terapi mencakup diuretik untuk menurunkan


tekanan pengisian ventrikel; inhibitor angiotensinconverting enzyme untuk menurunkan resistensi
vaskular; penyekat betajika kondisi klinis sudah stabil,
dan antagonis aldosteron. Karena digoksin telah terbukti
dapat meningkatkan ekspresi sitokin inflamasi dan
mortalitas pada model murin miokarditis viral, maka obat
tersebut harus digunakan secara hati-hati dan dalam dosis
rendah.

Pada pasien dengan keluhan hebat, seperti kolaps

hemodinamik, perawatan suportif mencakup terapi


inotropik intravena dan alat support sirkulasi mekanis yang
dapat digunakan untuk menjembatani pasien yang akan
dilakukan transplantasi jantung. Adanya antmia atrial atau
ventrikular dapat diberikan antiaritmia yang tepat atau
mungkin implantasi defi brilator.

Antiinflamasi
Diterimanya hipotesis immune - me diate d inj ury telah
mendorong penelitian untuk membuktikan apakah terapi

anti-inflamasi dapat memberikan keuntungan klinis


tambahan pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi
inflamasi yang dirawat dengan regimen gagal jantung
konvensional. Parillo mempelajari 102 pasien dengan
kardiomiopati dilatasi dan mengklasifikasikannya sebagai
"reaktif ', dengan bukti endomiokardial atau laboratorium
inflamasi yang berlanjut, atau "nonreaktif." Titik akhir
primer studi tersebut adalah peningkatan pada fraksi ejeksi
ventrikel kiri sebesar atau lebih besar dari 5 persen. Pada
pemantauan setelah 3 bulan, 67 persen pasien reaktifyang
menerima prednison mencapai titik akhir ini, dibandingkan
dengan hanya 28 persen pada kelompok kontrol reaktif.
Setelah 9 bulan pemantauan, peningkatan fraksi ejeksi
ventrikel kiri yang disebabkan oleh prednison sudah tidak

atau terapi imunosupresan dengan prednison yang


dikombinasikan den gan azatioprin atau si klosporin. Titik
akhir primer penelitian tersebut adalah perubahan pada
fraksi ejeksi setelah 28 minggu. Untuk semua pasien, ratarata peningkatan fraksi ejeksi di atas keadaan awal adalah
9 persen.
Studi yang lebih baru mengamati penggunaan terapi
imunosupresif pada pasien-pasien dengan kardiomiopati
dilatasi dan bukti imunohistokimia inflamasi. Delapan puluh
empat pasien dengan kardiomiopati dilatasi setidaknya 6
bulan yang telah mengalami peningkatan ekspresi HLA

pada spesimen biopsi endomiokardial diacak untuk

menerima terapi gagal jantung standar atau yang


dikombinasikan dengan prednison dan azatioprin. Setelah
pemantauan selama 2 tahun, tidak ada perbedaan pada
titik akhir primer gabungan kematian, transplantasi, atau
perawatan ulang di rumah sakit. Pasien yang dirawat
dengan terapi imunosupresif mengalami peningkatan fraksi
ejeksi bermakna pada bulan ke-3 dan ke-24.

lmunoglobulin lntravena
Intravenous immune globulin (IVIG) dosis tinggi memiliki
sekaligus efek modulasi imun dan antivirus. Pemberian
IVIG untuk anak-anak dengan kardiomiopati onset baru
dan untuk perempuan dengan kardiomiopati peripallum

terkait dengan peningkatan signifikan pada fungsi


ventrikular. Sayangnya, saat IVIG diuji pada penelitian
prospektifyang dikontrol dengan plasebo pada62 pasien
dengan kardiomiopati dilatasi onset baru dan fraksi ejeksi

<40Vo, hasilnya mengecewakan. Meskipun fraksi ejeksi


meningkat 16 persen dalam I tahun pada kelompok yang

mendapat IVIG, peningkatan ini pada dasarnya sama


dengan mereka yang menggunakan plasebo. Maka tidak
ada keuntungan pemberian obat imunomodulator.

Secara keseluruhan, penelitian yang ada tidak


mendukung penggunaan rutin terapi imunosupresif pada
miokarditis. Data kini menunjukkan bahwa sub-grup
dengan miokarditis berlanjut mungkin dengan
imunosupresi, meskipun belum ada metodologi serupa
untuk mengidentifikasi mereka.

Antivirus

ditemukan. Pasien-pasien nonreaktif tidak mengalami

Penggunaan terapi antivirus kini sedang dipertimbangkan

peningkatan dengan prednison. Meskipun didapat hasil-

dr European Study of Epidemiology and Treatment of


Cardiac Inflammato ry D is eas , Pasien-pasien dengan

hasil negatif tersebut, para pengamat menyimpulkan bahwa

terapi prednison dapat memberikan peningkatan yang


cukup dalam titik akhir klinis, tapi hanya pada subpopulasi
reaktif tertentu.

titer enteroviral positif diacak dengan terapi interferon alfa


atau plasebo, sementara miokarditis sitomegalovirus
(CMV) mendapat terapi immunoglobin intravena atau

17t6

I(ARDIOLOGI

plasebo"

Titik akhir primer ( primary

end

ini adalah peningkatan fraksi ejeksi

poinf) penelitian

sebesar atau lebih

besar dari 5 persen.

perawatan lanjutan yang hati-hati untuk pasien-pasien ini


diindikasikan untuk mendeteksi perkembangan awal
di sfungsi ventrikel kiri. Tatalaksana gagal jantung secara

konvensional dapat meringankan gejala-gejala yang

Prognosis
Sekitzr sepertiga karditis klinis yang sembuh akan memiliki
beberapa kelainan jantung, mulai dari perubahan ringan
pada EKG sampai gagal jantung. Kurang lebih 40 pef,sen
dari seluruh pasien akan senlbuh total. Pada saat ini tidak
ada kriteria klinis yang dapat memprediksi dengan tepat
siapa yang akan sembuh, meskipun sebagian besar pasien
dengan penurunan ringan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan
gagal jantung NYHA kelas I atau II sembuh secara total.
Anehnya, pasien-pasien dengan miokarditis berat memiliki

kesembuhan jangka panjang yang sangat baik. tak


terpengaruh oleh pengalaman kolaps sirkulasi sebelumnya.
Dalam sebuah studi, kemampuan bertahan jangka panjang
tanpa transplantasi adalah 93 persen, jika dibandingkan
derrgan 45 persen untuk mereka yang memiliki miokarditis
akut.

berhubungan dengan jantung.

Sitomegalovirus
CMV mungkin akan mengarah ke miokarditis dalam populasi
pada umumnya, tapi umumnya miokarditis adalah self-limited dar tak memiliki gejala. Pada resipien transplantasi
jantung, miokarditis CMV mungkrn menjadi penyakityang
lebih serius, yang akan menyebabkan disfungsi jantung.
Perawatan untuk miokarditis CMV adalah ganciclovir
intravena, yang secara efektif menyingkirkan virus tersebut.
Infeksi CMV dini berhubungan dengan perkembangan ailograft penyakitjantung koroner, yang menladi penyebab
utama kematian setahun setelah transplantasi jantung.
Infeksi fibroblas subintimal atau sel-sel endotel akan
menyebabkan kerusakan imunologis yang mengarah ke
kondisi yang fatal.

Prognosis miokarditis tergantung pada bahan


klinis berlanjut, ratarata angka kematian 5 tahun adalah sekitar 50 sampai 60
persen. Inflamasi kronis, persistensi virus, atau keduanya
mungkin mempengaruhi perkembangan penyakit dan prognosis. Terapi di masa mendatang perlu mengidentifikasi

American tripanosomiasis, atau penyakit Chagas'

faktor predominan target perawatan dan diharapkan

merupakan penyebab paling umum gagal jantung kongestif

meningkatkan ketahanan hidup.

di dunia. Kondisi ini disebabkan oleh gigitan reduviid bug,


yang diikuti dengan infeksi oleh Trypanosoma cruzi, dan
endemis pada daerah pedesaan di Amerika Selatan dan
Tengah.

kaus atifnya, namun j ika gagal j antung

Hu man I mm u nodeticiency Vi rus


Human immunodeficiency virus (HIV) dikenal luas sebagai
penyebab kardiomiopati dilatasi. Etiologi kardiomiopati
mungkin berasal dari infeksi sel-sel miokardial oleh HIV
atau koinfeksi dengan virus-virus kardiotropik lainnya,
respons autoimun pasca viral atau keracunanjantung oleh

NONVIRUS

Penyakit Chagas'
,

Patogenesis
Patogenesis kardiomiopati kagasik kronik masih
kontroversial karena parasit tersebutjarang muncul pada

obat-obat terlarang atau terapi obat. Barbaro et al.

miokardium. Seperti pada model kardiomiopati maka cedera

mempelajan perkembangan kardiomiopati dilatasi pada 952


pasien HlV-positif tanpa gejala. Pasien-pasien dengan
c atatarr pen g gunaan ob at-obatan terl aran g, penyakit
jantung yang lebih awal, penatalaksanaan sebelumnya
dengan obat-obatan antiretroviral atau imunomodulator,

jantung dianggap melalui mediasi proses imunologis.

atau fraksi ejeksi <50 persen dikeluarkan dari studi


prospektif. Dalam 60 bulan perawatan lanjutan, 8 persen
pasien mengalami kardiomiopati, dengan rata-rata angka
kejadian pertahun 16 kasus per 1000 pasien. Faktor yang
memungkinkan perkembangan kardiomi opati adalah C D4
cell count di bawah 400/mL. Infeksi koeksisten dengan
coxsackievirus grup B, CMY dan virus Epstein-Barr dapat

dideteksi pada sebagian kecil pasien. Penelitian lainnya


menunjukkan lama penyakit dan penggunaan obat-obatan

terlarang sebagai faktor yang berperan dalam


perkembangan penyakit.
Karena gejala-gejala gagal jantung dan HIV bisa jadi
sangat

mirip (misalnya kelelahan, wasting, dll) mungkin

Respons kekebalan selular dan humoral keduanya sudah

diimplikasikan pada cedera miokardial. Biopsi miokardial


menunjukkan, infiltrat inflamasi pada penyakit Chagas'
kronis sebagian besar terdiri dari sel-sel CDS+ T. Hal ini
menunjukkan bahwa ada beberapa tingkatan depresi
imunologis pada induk, sehubungan aktivasi sel-sel Z
helper dkenal sebagai mekanisme perlahanan paling efektif
terhadap parasit. Beberapa peneliti mengusulkan ekspresi
terbatas sel-sel CD4+ T selama infeksi T. cruzi akut
mungkin berhubungan dengan mekanisme toleransi yang
disebabkan oleh parasit tersebut. Bukti hal ini dapat dilihat
pada penelitian yang menunjukkan penambahan IL-1

invitro mengembalikan fungsi sel T helper, sehingga


diduga terdapat defek makrofag dalam proses ini. Lebih
lanjutnya, Il,-2 dan reseptor IL-2 tidak ditemukan atau
hanya ada sedikit dalam infiltrat inflamasi, membuktikan
peran subset T-helper yang tidak besar pada penyakit ini.

1717

MIOKARDITIS

Manifestasi Klinis

Penatalaksanaan

Penyakit parasit ini memiliki fase akut, di mana penyebaran


hematogenous parasit tersebut akan menginvasi jaringan
dan sistem organ. Invasi tersebut diikuti dengan reaksi
inflamasi hebat dengan sel-sel mononuklir dan manifestasi

Perawatan untuk penyakit Chagas' kronis adalah

klinis demam, berkeringat, mialgia, miokarditis,


hepatosplenomegali, dan case fatality rate sekitar 5 persen.

Sebagian besar pasien sembuh dari fase akut dan


memasuki fase laten tanpa gejala, namun 20 sampai 30
persen akan menjadi kronis sampai dengan 20 tahun sejak
infeksi peftama.
Tahap kronis adalah hasil penghancuran jaringan
yang bertahap. Saluran cerna dan jantung merupakan
lokasi keterlibatan yang tersering, dengan penyebab

kematian utama adal ah gagal jantung. Di dalam


abdomen, penghancuran pleksu

s mi

enterik menyebabkan

pembentukan megaesofagus dan megakolon. Pada


jantung, miofibril dan serat-serat Purkirye digantikan oleh
jaringan fibrosa, yang akan menyebabkan kardiomegali,

gagal jantung kongestif, blok jantung, dan aritmia.


Penemuan-penemuan mikroskopis menunj ukkan adanya
librosis luas, tapi seringkali ada infiltrat selular kronik
yang terdiri dari limfosit, sel-sel plasma, dan makrofag,
dan ditemukan parasit-parasit pada sekitar seperempat
paslen.

Diagnosis
Diagnosis penyakit akut tergantung pada ada-tidaknya
tripomastigotes dalam darah individu.yang terinfeksi.
Pada infeksi yang kronis, diagnosis langsung kurang
berguna karena tripomastigotes yang beredar dalam
sirkulasi darah lebih sedikit. Xenodiagnosis (di mana

pasien digigit dengan reduviid bugs yang


dikembangkan di laboratorium, lalu parasit itu akan
diidentifikasi dalam pencernaan serangga tersebut)

simtomatik dan termasuk alat pacu jantung untuk blok


j antun

g total,

imp lantt ab

car

di ov

rt

r-d

efi

ri llat

(ICD) untuk aritmia ventrikel rekuren, dan terapi standar


untuk gagal jantung kongestif seperti pada bentuk
miokarditis lainnya. Obat antiparasit seperti Nifurtimoks
dan benzimidazol menghilangkan parasitemia selama fase
akut dan biasanya menyembuhkan. Obat tersebut harus

dipertimbangkan jika penyakit tersebut belum pernah


dirawat sebelumnya dan mungkin dapat dipergunakan
sebagai profilaksis jika kemungkinan besar penyakit
muncul kembali, misalnya mengikuti terapi imunosupresif.
Peran terapi imunosupresif untuk miokarditis chagas masih
kontroversial, dan transplantasi jantung efektif untuk
penyakit jantung refrakter tahap akhir.

Lyme Carditis. Penyakit Lyme disebabkan oleh infeksi


spiroseta Borrelia burgdorferi, dikenali dengan gigitan
kutu. Gejala awal yang menyertai pasien-pasien dengan
penyakit ini yang berlanjut ke keterlibatanjantung seringkali
adalah blok jantung total. Disfungsi ventrikel kiri dapat

dijumpai tapi jarang. Biopsi endomiokardial mungkin


menunjukkan miokarditis aktif. Spirosetes jarang ditemukan
pada biopsi. Pemberian korlikosteroid sangat me'li1bantu
mengatasi Lr-me carditis sebagai tambahan terapi tetrasiklin.

Penyebab lnfeksi Kardiomiopati Lainnya


Di antara sekian banyak etiologi infeksi lainnya adalah
Toxoplasma gondii, yang dapat disembuhkan dengan
pirimetamin dan sulfadiazin dan paling sering muncul pada
pejamu dengan defisiensi imun. Leptospirosis adalah
penyebab umum lainnya pada kasus miokarditis fatal. Lima
puluh persen kasus memiliki perubahan gelombang ST dan

TpadaEKG.

adalah tes yang pahng berguna, yang akan mendeteksi


adanya infeksi pada sekitar separuh pasien. Tes fiksasi

Karditis Reumatik

komplemen (tes Machado-Guerreiro) juga memiliki

Salah satu jenis miokarditis yang menurun secara

sensitivitas dan spesifisitas untuk mengidentifikasi


penyakit Chagas' kronis. Tes laboratorium lainnya,
tergantung pada tes serologi positif (seperti indirect

mendadak kejadiannya pada setengah akhir dari abad dua


puluh adalah karditis reumatik. Tersedianya antibiotik dan

immtrn o.fl uo re s c e nt ant ib o dy, en z.y me - I inke d immun o sorbent assa), , dan tes hemaglutinasi) bersamaan

Streptokokkus grup A mungkin menjelaskan penurunan


kejadian penyakit saat ini.
Demam reumatik akut dapat terjadi pada anak kecil dan

dengan gejala-gejala dan tanda-tanda yang cocok


dengan penyakit Chagas'.

Biopsi endomiokardial mungkin menunjukkan


f meng gunakan kriteria Dallas. Penilaian
noninvasif umumnya menunjukkan kelainan gerakan
miokarditi

s akti

dinding segmental, khususnya aneurisma apikal.


Penemuan pada EKG termasuk blok jantung lengkap, blok

atrioventrikular, atau blok cabang berkas kanan, dengan


atau tanpa blok fasikular pada 1 1 persen individu yang
terinf-eksi. Aritmia ventrikular mungkin memerlukan obatobatan antiaritmia.

perubahan-perubahan pada virulensi dan serotip

remaja. Penyakit tersebut umumnya merupakan kelanjutan

dari faringitis karena streptokokkus grup A. Karditis


reumatik bisa disebabkan oleh efek langsung beberapa
produk streptokokkus versus mekanisme kekebalan. Streptokokkus grup A memiliki komponen struktur yang mirip
dengan struktur jaringan manusia. Antibodi terhadap
streptokokkus bereaksi silang dengan glikoprotein katup

jantung. Serum pasien demam reumatik mengandung


autoantibodi untuk miosin dan sarkolema. Nodul ini dapat
bertahan bertahun-tahun setelah sebuah serangan akut.

1718

Makrofag yang mengandung miosin pernah diidentifikasi


dalam nodul tersebut.
Diagnosis klinis dibuat menggunakan kriteria Jones.
Manifestasi utama adalah karditis, poliartritis, korea, eritema
marginatum, nodul subkutan, dan bukti infeksi sfreptokokkal

yang akan muncul (misalnya kultur tenggorok positif,


riwayat demam, peninggian titer antistreptolisin). Kriteria
minornya adalah penemuan nonspesifik misalnya demam,
artralgia, demam reumatik sebelumnya atau penyakit
jantung reumatik. Peninggian laju endap darah atau Creactive protein, dan interval PR memanjang. Diagnosis
dibuat berdasarkan adanya dua kriteria mayor atau satu
kriteria mayor dan dua kriteria minor.
Dua pertiga pasien yang mengalami faringitis, akan
diikuti dengan gejala-gejala demam reumatik dalam I
sampai 5 minggu, dengan rata-rata presentasi 18,6 hari.
Karditis berat yang mengakibatkan kematian dapat terjadi,
namun jarang. Gagal jantung kongestif ditemukan hanya
sebanyak 5 sampai 10 persen kasus. Biasanya karditis
tersebut ringan, dengan efek predominannya adalah
jaringan parut pada katup jantung. Demam dan murmur
jantung, menggambarkan valvulitis akut. Keterlibatan
katup mitral tiga kali lebih sering daripada katup aorta;
karena itu murmur pada katup mitral lebih sering dijumpai.
Regurgitasi mitral adalah penemuan yang paling sering.
Murmur midsistolik pada apeks terkadang dapat didengar,
disebut murm ur Carey Coombs dan keberadaanya hampir
selalu memastikan adanya valvulitis mitral.
Tidak ada penemuan EKG yang khas, meskipun inter"val
PR memanjang dan perubahan gelombang ST-T nonspesifik

seringkali dijumpai. Bi opsi endomiokardial menunjukkan


ttodul Aschoff dan juga infiltrat interstisial selular difus
termasuk limfosit, sel polimorfonuklear, histiosit, dan
eosinofil. Tes laboratorium yang menunjukkan demam
reumatik termasuk antibodi antistreptolysin O (ASTO) dan
anti-DNAase B, peninggian LED, dan peningkatan C-reactive protein. Manifestasi di luar jantung umumnya muncul
sebagai poliarlritis migrasi pada sendi besar.
Aspirin dan penisilin merupakan terapi terperlting.
Kortikosteroid juga dapat meredakan gejala. Perbaikan
katup rnitral selama karditis akut berkaitan dengan risiko
kematian yang lebih tinggi dan harus dilakukan hanya saat
gagal jantung refrakter terhadap terapi antiinflamasi
optimal. Begitu demam reumatik didiagnosis, diperlukan
antibiotik profi laksis untuk mencegah kekambuhan penyakit
dengan memberikan injeksi benzatin penisilin G 1,2 juta
unit intramuskular sekali sebulan sampai usia 21 tahun.

I(ARDIOI.OGI

alergi terhadap macam-macam obat (Tabel 1). Metildopa,

penisilin, sulfanomida, tetrasiklin, dan obat-obat


antituberkulosis adalah obat-obatan yang paling sering
terkait dengan hal ini. Penyakit tersebut mempunyai ciri
adanya eosinofilia perifer dan penyusupan eosinofil ke
dalam miokardium, multinucleated giant cells. dan
leukosi t. Penatalaksanaan dengan menghentikan bahan-

bahan penyebab dan menggunakan kortikosteroid.


Sayangnya, kondisi ini seringkali tidak disadari dan
manifestasi pertama dari keterlibatan jantung adalah
kematian mendadak disebabkan oleh aritmia.
G ia nt-ce I I M yocard iti s
Giant-cell mlocarditis sangat jarang namun merupakan
bentuk miokarditis yang agresif miokarditis, umumnya
progresif dan tidak respons terhadap terapi medis.

Penyakit ini paling umum terjadi pada remaja, dengan usia


rata-rata saat onset 42 (dan berkisar antara l6 sampai 69

tahun). Hubungan dengan kelainan-kelainan autoimun


lainnya dilaporkan pada kurang lebih 20 persen kasus.
Diagnosis dibuat berdasarkan biopsi endomiokardial.
Nekrosis multifokal atau luas dengan infiltrat inflamasi
campuran temasuk limfosit dan histiosit dibutuhkan untuk
diagnosis histologis. Eosinofil seringkali ditemukan,
seperti halnya multinucleated giant cells sebagai ganti

granuloma. ImmunophenoD)ping infiltrat selular


menunjukkan populasi limfosit terdiri dari T-heLper atalu
pada beberapa kasus sel-sel T-supressor.

Manifestasi klinis biasanya berupa gagal jantung


kongestif progresif dan seringkali berhubungan dengan
aritmia ventrikular refrakter. Angka harapan hidup buruk.
Laporan kasus dari the Giant Cell Mvocarditis Registry
menunjukkan bahwa penatalaksanaan dengan regimen
imunosupresif tertentu, bukan hanya steroid, dapat
memperpanj ang kemungkinan bertahan tanpa transplantasi

sampai beberapa bulan. Beberapa pasien mungkin


membutuhkarr support sirkulasi mekanis sebelum
transplantasi. Transplantasi jantung merupakan pilihan
penatalaksanaan yang terbaik meskipun ada kemungkinan
rekuren pada jantung yang ditransplantasi. Giant cells
dapat dideteksi pada pengamatan biopsi rutin sampai
dengan 9 tahun setelah transplantasi.

REFERENSI
Aretz HT, Billingham ME. Edrviuds WD, et al Myocarditis: a histopatlrologic definition zrnd classification. Am J Car-diovasc Pathol

1987: l:3-14

NONINFEKSI

Anandasabapathy S, Frishman

WH

lnnovative drug treatments tbr


Pharmacol

viral and autoimmune myocarditis J Clin


H

ipersensitivitas

Miokarditis hipersensitivitas adalah sebuah contoh fase


awal miokarditis eosinofilik dan dianggap karena reaksi

1 998:3 8:295 - 3 08.


Baughman KL, Wynne J. Myocarditis ln : Zipes et al. Braunwald's
Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7 th ed'

Philadelphia. Elsevier Saundets 2005.p

169'7 -1 11.

L719

MIOI(ARDITIS

Bowles NE, Richardson PJ, Olsen EGJ, Archard LC Detection of


Coxsackie-B-virus-specific RNA sequences in myocardial biopsy samples from patients with myocarditis and dilated cardi-

omyopathy. Lancet 1986; l:1120-3


Di Lorenzo G Grisorio B. Barbarini G Incidence of
dilated cardiomyopathy and detection of HIV in myocardial
cells of HlVpositive patients. N Engl J Med 1998;339:1093-9
Bozkurt B, Villaneuva FS. Holubkov R, et al. Intravenous immune
globulin in the therapy of peripartum cardiomyopathy. J Am
Coll Cardiol 1999:34:111 -30
Burke AP, Saenger J, Mullick F, Virmani R. Hypersensitivity nryocardiris. Arch Pathol Lab Med 1991:115:'764-9.
Caforio AL, McKenna WJ. Recognition and optimum management
of nryocarditis Drugs 1996;52:51l5-25.
Caforio ALP, Goldman JH, Baig MK, et al. Cardiac autoantibodies in
Barbaro G,

dilated cardiomyopathy become undetectable wilh disease progression. Heart 1997 ;17 :62-7

Caforio ALP Keeling PJ, Zachara E, et al. Evidence from family


studies for autoimmunity in dilated cardiomyopathy. Lancet
1991:.344:173-1 .
Cooper LT Jr, Berry GJ, Shabetai R. Idiopathic giant-cell myocarditis-natural history and treatment. N Engl J Med 1997;336:18606.

Dec GW Jr, Palacios IF, Fallon JT, et al. Active myocarditis in the
spectrum of acute dilated cardiomyopathies: clinical features,
histologic correlates, and clinical outcome. N Engl J Med
1985:3 I 2:885-90

! Turetz Y Hiss Y, et al Sudden unexpected death in persons


less than 40 years of age. Am J Cardiol 1991:68:1388-92

Drory

DE How can m_v- ocarditis be diagnosed and should


be treated? Br Heart J 1992:68:316-7.

Davies MJ, Ward

it

Feldman

AM, McNamara D Myocarditis. N Engl J

Med

2000:343:1388-98.
Fenoglio JJ Jr, Ursell PC, Kellogg CF. Drusin RE, Weiss

MB

Kawai C From rnyocarditis to cardiomyopathy: mechirnisms of


inflammalion and cell death: learnir-e from the past for the
future. Circulation I 999:99: l09l -l 00Knowlton KU, Badorff C. The imrnune system in viral myocarditis:
maintaining the balance. Circ Res 1999;85:-559-61.
Liu P, Martino T, Opavskl, MA, Penninger J. Viral myocarditis:
balance between viral infection and immune response. Can J

Cardiol I 996r 1 2:935-13.


Lauer B, Niederau C, Kuhl U, et al. Cardiac troponin T in patients
with clinically suspected myocarditis. I Am Coll Cardiol
1997;30:1354-9
Lieback E, Hardouin I, N{eyer R. Bellach J, Hetzer R Clinical value
of ekokardiograficardiographic tissue characterization in the
diagnosis of nryocarditis Eur Heart I 1996l.1'7:135-42.
Lie JT. Myocarditis and endomyocardial biopsy in unexplained heart
failure: a diagnosis in search of a disease. Ann Intern Med
I 988;l 09:525-8
Mason JW O'Connell JB. Herskowitz A. et al. A clinical trial of
immunosuppressive therapy lor myocarditis. N Engl J Med
1995t333:269-7 5 .
Mason JW. Techniques for right and left ventricular endomyocardial

biopsy. Am J Cardiol 1978;41:887-92.


McNamara DM. Rosenblum WD, Janosko KM, et al. Intravenous
immune globulin in the therapy of myocarditis and acute cardiomyopathy Circulation 1997 ;95:247 6-8.
McCarthy RE III, Boehmer JP, Hruban RH, et al. Long-term outcome of fulminant myocarditis a-" compared witl acute
(nonl'ulminant) myocarditis N Engl J Med 2000;342:690-5.
McNamara DM, Starling RC, Dec GW et al. Intervention in myocarditis and acute cardiomyopathy with immune globulin: results from the randomized plzrcebo controlled IMAC trial. Circulation 1999;100:Suppl I: I-21. abstract.
Midei MG DeN,lent SH, Feldman AM, Hutchins CM, Baughman KL.

Diag-

Peripartum myocarditis and cardiomyopathy Circulation

nosis and classification of myocarditis by endomyocardial biopsy. N Engl J Med 1983;308:12-8.


Fairweather D, Lawson CM, Chapman AJ, et al. Wild isolates of
murine cytomegalovirus induce myocarditis and antibodies that
cross-react with virus and cardiac myosin. Immr.rnology

1990:81: 922-8.
McCormack JG Bowler SD, Donnelly JE. Steadman C. Successful
treatment of severe cytomegalovirus infection with ganciclovir
in an immunocompetent host. Clin Infect Dis 1998;26:1007-

1998t94:263-'7 0.
Fenoglio JJ Jr, McAllister HA Jr, Mullick FG Dmg related myocardi:

Maisch B, Hufnagel G Schonian U, Hengstenberg C. The European


Stud), of Epidemiology and Treatment of Cardiac Inflammatory Disease (ESETCID). Eur Heart J 1995116:173-5
Pinney SP Mancini DM. Myocarditis in : Fuster et al The Heart.
11 th ed. New York, McGraw-Hill 2004.p.1949-71
Panillo JE, Cunnion RE, Epstein SE, et al. A prospective, randomized, controlled trial of prednisone for dilated cardiomyopathy.

tis. I. Hypersensitivity myocarditis. Hum Pathol 1981;12:9007.

I, Saphir O Myocarditis: a classification of 1402 cases Am


Heart I 1941 ;34:821 -30.
Higuchi ML, Reis MM, Aiello VD, et al. Association of an increase in
CD8+ T cells with the presence of Trypanosoma crazf antigens in
chronic, human, chagasic myocardit'is. Am J Trop Med Hyg
Gore

1991:,56:185-9

Heart Failure Society of America (HFSA) practice guidelines: HFSA


guidelines for management of patients with heart failure caused

by left ventricular systolic dysfunction pharmacologic approaches. J Card Fail 1999;5:357-82. [Erratum, J Card Fail
200O;6:7 4.)
Huber SA. Autoimmunity in myocarditis: relevance of animal mod-

els. Clin Immunol Immunopathol 1997 ;83:93-102.

8.

N Engl J Med 1989;321:1061-8.


Singal PK, Iliskovic N Doxorubicin-induced cardiomyopathy N
Engl J Med 1998;339:900--5
Smith SC, Ladenson JH, Mason JW, Jalfe AS. Elevations of cardiac
troponin I associated with myocarditis: experimental and clinical correlates. Circulation 1997 :95:163-8.
Tomioka N, Kishimoto C, Matsumori A, Kawai C EfTects of plednisolone on acute viral rnyocarditis in mice J Am Cotl Cardiol
I 986:7:868-72.

270
KARDIOMIOPATI
Sally Aman Nasution

PEI!DAHULUAN
Kelornpok penyakit ini beberapa kali mengalami perubahan
dalam hal klasifikasi kelainannya. Bila dilihat dari definisi
dapat disebutkan bahwa kardiomiopati merupakan suatu
kelompok penyakit yang langsung mengenai ototjantung
atau miokard itu sendiri. Kelompok penyakit ini tergolong
khusu*s karena kelainan yang ditimbulkannya bukan terjadi
akibat penyakit perikardiunl, hipertensi, koroner, kelainan

kongenital atau kelainan katup. Walaupun untuk


menegakkan diagnosis perlu rnenyingkirkan faktor-taktor
etiologi terseblrt, gambaran dari kardiomiopati itu sendiri
sangat khusus baik secara klinis maupun hemodinamik.

penyakit eosinofi lik endomiokardium dan fibrosis


endomiokardium, (2). Tipe sekunder, apabila ditemukan
penyakit miokardium dengan penyebab yang dapat
diketahur, termasuk bila berhubungan dengan penyakit
yang melibatkan sistem organ lain. Sedangkan bila
klasifikasi berdasarkan klinis dan patofisiologr, maka

kardiomiopati dibagi menjadi dilatasi, restriktif dan


hipetrofik.
Perbedaan kelainan yang ditemukan antara ketiga
klasifikasi kardiomiopati tersebut dapat dilihat secara
skematis pada Gambar 1.

Dengan meningkatnya kewaspadaan terhadap kondisi


penyakit ini serta teknik dan prosedur diagnostik yang
semal<in canggih saat ini kardiomiopati diketahui sebagai
penyebab nrorbiditas dan mortalitas yang bermakna.
Akhir-akhir ini, insidens kardiomiopati sernakin
meningkat frekuensinya. Dengan bertambah majunya

teknik diagnostik, ternyata kardiomiopati idiopatik


merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
utama. Di beberapa negara, penyakit ini bahkan merupakan
penyebab kematian sampai sebesar 307o atau lebih dari
pada semua kematian akibat penyakit jantung.
Banyak usaha yang telah dilakukan untuk membuat
klasitlkasi yang tepat dari penyakit ini. Klasifikasi yang
saat ini telah dikenal luas adalah pembagian yang dibuat
oleh kerjasama antara World Health Organization (WHO)
dan International Societl and Federation of'CardioLogl:
( ISFC).Pada klasifikasi ini kardiomiopati diklasifikasikan
berdasarkan gambaran patofisiologi yang dominan.
Bila kardiomiopati diklasifikasikan berdasarkan etiologi
maka dikenal dua bentuk dasar, yaitu (l). Tipe primer,
apabila terdapat penyakit pada otot jantung dengan
penyebab yang tidak diketahui. Termasuk di dalamnya

adalah idiopatik kardion-riopati. familial kardiomiopati,

Normal

Kardiomiopati

hipertropik

Kardiomiopati

ilatasi

Kardiomiopati restriktif

Gambar 1. Perbandingan antara tiga klasifikasi kardiomiopati


Ao, Aorla; LA, Left Atrium; LV, Left Ventricle (Dari BF Waller
Am Soc Ekokardiograficardiogra 1:4, 1998)

7720

:J

t72I

TQ{RDIOMIOPATI

KARDIOMTOPAT| DILATASI (DtLATED


cARDTOMYOPATHY/DCM
Merupakan jenis kardiomiopati yang paling banyak
ditemukan. Dengan deskripsi kelainan yang ditemukan:
dilatasi ventrikel kanan dan atau ventrikel kiri, disfungsi
kontraktilitas pada salah satu atau kedua ventrikel, aritmia,

emboli dan seringkali disertai gejala gagal jantung


kongestif. Satu dari tiga kasus gagal jantung kongestif
terjadi pada kardiomiopati dilatasi, dan yang lainnya
merupakan konsekuensi dari penyakit j antung koroner.
Dulu kelainan ini sering disebut dengan kardiomiopati
kongestif, tetapi saat ini terminologi yang dipergunakan

adalah kardiomiopati dilatasi karena pada saat awal


abnormalitas yang ditemukan adalah pembesaran ventrikel

genetik heterogen tetapi kebanyakan transmisinya secara


autosomal dominan, walaupun dapat pula secara autosomal resesif dan x-linked inheritance. Sampai saat ini belum
diketahui bagaimana menentukan seseorang akan memiliki
predisposisi kardiomiopati dilatasi apabila tidak diketahui
riwayat kejadian penyakit ini dalam keluarganya. Hal yang
cukup menjanjikan adalah melalui teknik molekular genetik
untuk identifikasi petanda kerentanan pada pembawa sifat
yang asimptomatik sebelum timbul gejala klinis yang jelas
dari kardiomiopati dilatasi tersebut. Sebagai contoh salah
satu petanda yang menjanjikan adalah pemeriksaan enzim

konversi angiotensin genotip DD yang berhubungan


dengan kejadian klinis pasien kardiomiopati dilatasi. Pada
keadaan jantung yang lemah, walaupun tidak terdapat
riwayat keluarga ditemukan variasi dari perubahan gen dan
ekspresi protein pada beberapa plotein kontraktilitas.

dan disfungsi kontraktilitas sistolik, dengan tanda dan


gejala gagal jantung kongestif yang timbul kemudian.
Apabila hanya ditemukan disfungsi kontraktilitas dengan
dilatasi mirumal ventrikel kiri, maka varian dari kardiomiopati
dilatasi ini digolongkan ke dalam kelompok kardiomiopati
yang tidak dapat diklasifikasikan (menurut klasifikasi
WHO/ISFC). Sebaliknya, pada atlit sehat sering ditemukan.
Klasifikasi penyakit ini dapat mengenai segala usia,
tetapi kebanyakan mengenai usia pertengahan dan lebih
sering ditemukan pada pria dibandingkan perempuan.

sangat bervariasi, tetapi kejadian kematian mendadak akibat


kelainan ini selalu merupakan ancaman yang dapat terjadi
sewaktu-waktu. Sehingga penggunaan modalitas terapi
sepefii ablasi kateter dan fokus-fokus aritmia atau bahkan

Insidens kejadian dilaporkan 5-8 kasus per 100.000 populasi

implantasi alat defibrilator kardioversi kemungkinan

pertahun dan kejadian

ini terus meningkat jumlahnya.

Kejadian pada pria dan kulit hitam dikatakan tiga kali lebih
sering dibandingkan populasi kulit putih dan perempuan.
Dan angka kelangsungan hidup pada kufit hitam dan pria
lebih buruk dibandingkan kulit putih dan perempuan.

Etiologi
Etiologi kardiomiopati dilatasi tidak diketahui pasti, tetapi
kemungkinan besar kelainan ini merupakan hasil akhir dari
kerusakan miokard akibat produksi berbagai macam toksin,

zat metabolit atau infeksi. Kerusakan akibat infeksi viral


akut pada miokard yang akhirnya mengakibatkan terjadi

kardiomiopati dilatasi ini terjadi melalui mekanisme


imunologis. Hal ini banyak ditemukan pada populasi pria
usia perlengahan, terutama yang berasal dari

AmerikaAfrika

dibandingkan yang berkulit putih. Prevalensinya semakin


lama makin meningkat.

Pada kardiomiopati dilatasi yang disebabkan oleh

penggunaan alkohol, kehamilan, penyakit tiroid,


penggunaan kokain dan keadaan takikardia kronik yang
tidak terkontrol, dikatakan kardiomiopati tersebut bersifat
reversibel. Obesitas akan menin gkatkan risiko terj adinya
gagal jantung, sebagaimanajuga gejala sleep apnea.
Kira-L,tra 20-407o pasien memiliki kelainan yang bersifat
familial akibat dari mutasi genetik. Kelainan tersebut dapat

Displasia ventrikel kanan (Right Ventricular Dysplasla) merupakan kardiomiopati familial yang menarik karena

ditandai dengan dinding ventrikel kanan yang digantikan


secara progresif menjadi jaringan adiposa. Seringkali
berhubungan dengan kejadian aritmia ventrikel, gejala ldinis

dibutuhkan.

Gejala Klinis
Gejala klinis yang menonjol adalah gagal jantung kongestif,
yang timbul secara bertahap pada sebagian besar pasien.

Beberapa pasien mengalami dilatasi ventrikel kiri dalam


beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun sebelum
timbul gejala. Pada beberapa kasus sering ditemukan gejala
nyeri dada yang tidak khas, sedangkan nyeri dada yang
tipikal kardiak tidak lazim ditemukan. Bila terdapat keluhan
nyeri dada yang tipikal, dipikirkan kemungkinan terdapat
penyakit jantung iskemia secara bersamaan. Akibat dari
aritmia dan emboli sistemik kejadian sinkop cukup sering
ditemukan. Pada penyakit yang telah lanjut dapat pula
ditemukan keluhan nyeri dada akibat sekunder dari emboli
paru dan nyeri abdomen akibat hepatomegali kongestif.
Keluhan seringkali timbul secara gradual, bahkan

sebagian besar awalnya asimptomatik walaupun telah


terjadi dilatasi ventrikel kiri selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Dilatasi ini kadangkala diketahui bila telah

timbul gejala atau secara kebetulan bila dilakukan


pemeriksaan radiologi dada yang rutin.

Pemeriksaan Fisis
Pembesaranjantung dengan derajat yang bervariasi dapat

desmin), kontraktilitas dan membran sel (seperti gen lamin

ditemukan, begitu pula dengan gejala-gejala yang


menyokong diagnosis gagal jantung kongestif. Pada

A/C) dan protein-protein lainnya. Penyakit ini bersifat

penyakit yang lanjut dapat ditemukan tekanan nadi yang

terjadi pada sitoskeletal gen (seperti gen distrofin dan

t722

sempit akibat gangguan pada

I(ARDIOI-OGI

isi

sekuncup. Pulsus

alternans dapat terjadi bila terdapat gagal ventrikel kiri


yang berat. Tekanan darah dapat nonnal atau rendah. Jenis
pernapasan C heyne - Stokes menunjukkan prognosis yang
buruk. Peningkatan tekanan vena jugularis bila ierdapat
gagal jantung kanan. Bunyi jantung ketiga dan keempat
dapat pula terdengar, serta dapat ditemukan regurgitasi
mitral ataupun trikuspid. Hati akan membesar dan seringkali
teraba pulsasi, edema perifer serta asites akan timbul pada
gagal jantung kanan yang lanjut.
Pada pemeriksaan fisis jantung dapat ditemukan tandatanda sebagai berikut:

.
.
.
.

prekordiumbergeserke arahkiri
impuls pada ventrikel kanan
impuls apikal bergeser ke lateral yang menunjukkan

kiri
gelombang presistolik pada palpasi, serta pada
dil atasi ventrikel

auskultasi terdengar presistolik gallop (S4)

. split pada bunyr jantung kedua


. gallop ventrikular (S3) terdengar bila

tersebut sesuai definisi tidak diketahui sehingga


pengobatan khusus tidak dapat dilakukan. Pengobatan
ditujukan sesuai gambaran klinis yang timbul, di mana
sebagian besar timbul gejala gagal jantung kongestif.
Sehingga pengobatan standar untuk gagal jantung
kongestif tersebut yang diberikan, seperti diuretika untuk
mengurangi gejala, ACE Inhibito4 dan penghambat beta.
Digoksin merupakan pilihan pengobatan lini kedua, di mana
dosis optimal yang akan dicapai adalah bila kadar dalam
serum mencapai 0,5-0,8

ng/ml.

Pengobatan farmakologis bertujuan untuk modifikasi


secara langsung akibat dari aktivasi yang lama sistem
adrenergik dan renin angiotensin. Sedangkan pengobatan
non-farmakologis seperti pengaturan diet, latihan fisik dan
pengobatan farmakologis seperti yang telah disebutkan
di atas berlujuan untuk membantu mengontrol gejala yang
mungkin timbul. Latihan fisik yang teratur sesuai dengan

toleransi masing-masing individu akan meningkatkan


kapasitas latihan dengan memperbaiki disfungsi endotel

terjadi

dekompensasi jantung

Pemeriksaan Penuniang
radiologi dada akan terlihat pembesaran
jantung akibat dilatasi ventrikel kiri, walaupun seringkali
terjadi pembesaran pada seluruh ruang jantung. Pada
lapangan paru akan terlihat gambaran hipertensi pulmonal
serta edema alveolar dan interstitial.
Elektrokarcliografi akan menunjukkan gambaran sinus
takikardia atau fibrilasi atrial, aritmia ventrikel, abnortnalitas
atrium kiri, abnormalitas segmen ST yang tidak spesifik
dan kadang-kadang tampak gambaran gangguan konduksi
intraventrikular dan low voltage.
Sedangkan dari pemeriksaan ekokardiografi dan
ventrikulografi radionuklir menunjukkan dilatasi ventrikel
dan sedikit penebalan dinding jantung atau bahkan normal atau menipis, gangguan fungsi sistolik dengan
Pada pemeriksaan

penurunan fraksi ejeksi. Dapat pula ditemukan peningkatan

kadar brain natriuretic peptide dalam sirkulasi akan


membantu diagnostik pasien dengan gejala sesak napas
yang tidak jelas etiologinya.

Pemeriksaan kateterisasi jantung dan angiografi


koroner seringkali dibutuhkan untuk dapat menyingkirkan
penyakit jantung iskemia. Pada angiografi akan terlihat
dilatasi, hipokinetik difus dari ventrikel kiri dan regurgitasi
mitral dalam derajat yang bervarrasr.

Modalitas pemeriksaan lain seperti biopsi


endomiokardial transvena tidak diperlukan untuk
kardiomiopati dilatasi yang familial atau idiopatik. Tetapi
pemeriksaan dibutuhkan untuk di agnostik kardiomiopati
s;llunder seperti amiloidosis dan miokarditis akut.

Pengobatan
Karena penyebab dari kardiomiopati dilatasi idiopatik

dan meningkatkan aliran darah di otot-otot skeletal.


Kematian seringkali terjadi akibat gagal jantung kongestif
atau bradi-takiaritmia. Risiko terjadi emboli sistemik juga
harus dipertimbangkan untuk pemberian antikoagulan.
Sedangkan modalitas pengobatan yang terbukti dapat
memperpanjang usia harapan hidup dengan menurunkan
hampir 507o mortalitas akibat gagal jantung pada waktu-

waktu terakhir

ini

adalah: transplantasi jantung dan

pengobatan farmakologis spesifik seperti vasodilator

hidralazin ditambah nitrat, ACE Inhibitor (enalapril),


penghambat beta (karvedilol dan metoprolol) serta
penghambat aldosteron (spironolakton). Angiotensin II
Receptor Blocker dapat diberikan pada pasien dengan
intoleransi terhadap golongan ACE inhibitor.
Golongan calcium antagonist trdak dianjurkan untuk
dikombinasi pemberiannya dengan pengobatan standar
seperti di atas, dan bukan merupakan pengobatan lini

pertama. Kemungkinan terdapatnya hubungan antara


kardiomiopati dilatasi dengan abnormalitas sirkulasi
mikrovaskular, gangguan pada kanal kalsium merupakan
alasan pertimbangan pemberian golongan obat ini sebagai
salah satu pilihan pengobatan. Secara umum penggunaan

obat-obat golongan

ini

dapat ditoleransi dengan baik,

walaupun efek depresi miokardium yang merupakan efek

samping penting yang harus dipertimbangkan dalam


pilihan pengobatan.

Prognosis
Secara umum prognosis penyakit inijelek. Beberapa variasi
klinis yang dapat menjadi prediktor pasien kardiomiopati

dilatasi yang mempunyai risiko kematian tinggi antara lain:


terdapatnya gallop protodiastolik (S3), aritmia ventrikel,
usia lanjut dan kegagalan stimulasi inotropik terhadap
ventrikel yang telah mengalanri miopati tersebut. Walaupun
akurasi dan gambaran pada masing-masing individu akan

1723

KARDIOMIOPATI

berbeda dalam menentukan prognosis tersebut. tetapi


dikatakan bahwa semakin besar ventrikel yang disertai
disfungsi yang semakin berat berhubungan erat dengan
prognosis yang semakin buruk. Khususnya bila terdapat
dilatasi ventrikel kanan disertai gangguan fungsinya. Uji
latih kardiopulmonal juga berguna sebagai gambaran
prognostik. Keterbatasan yang bermakna dari kapasitas
latihan yang digambarkan dengan penurunan ambilan
oksigen sistemik maksimal merupakan prediktor mortalitas

dan dipergunakan sebagai indikator dan pertimbangan

untuk transplantasi jantung.

.
.

macam/bentuk, yaitu
Hipertrofi yang simetris atau konsentris
Hipertrofi septal simetris

ada 2

Pada foto rontgen dada terlihat pembesaranjantung ringan


sampai sedang, terutama pembesaran atrium kiri. Pada
:

Dengan left venticular outflow tract obstruction


atau disebut j :uga idiopathic hype rtopic subaortic
stenosis (IHSS), ata:u hypertrophis obstructive cardiomyopathy (HOCM).
Tanda left ventricular outflow tract obstruction.

Kardiomiopati hiperlrofik adalah hipertrofi ventrikel


tanpa penyakit jantung atau sistemik lain yang dapat

menyebabkan hipertrofi ventrikel

berdiri lalu menjongkok atau dengan melakukan olah raga


isometrik.
Pada pemeriksaan fisis akan ditemukan pembesaran
jantung ringan. Pada apeks teraba getaranjantung sistolik
dan kuat angkat. Bunyi jantung ke-4 biasanya terdengar.
Terdengar bising sistolik yang mengeras pada tindakan
valsava.

Pemeriksaan Penuniang

KARDIOMIOPATI HIPERTROFIK
Kardiomiopati hipertrofik

berumur muda. Denyut jantung teratur. Bising sistolik


dihubungkan dengan aliran turbulensi pada jalur keluar
ventrikel kiri. Bising sistolik dapat berubah-ubah, bisa
hilang atau mengurang bila pasien berubah posisi dari

ini.

Perubahan

makroskopik ini dapat ditemukan pada daerah septum,


interventrikularis. Hipertrofi asimetris pada septum ini, bisa
ditemukan di daerah distal katup aorta, di daerah apeks.
Hipertroh yang simetris tidak senng ditemukan.

Kardiomiopati hipertrofik di daerah apikal biasanya


disertai dengan kelainan EKG, gelombang T negatif yang

pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan hipertrofi


ventrikel kiri, kelainan segmen ST dan gelombang T,
gelombang Q yang abnormal dan aritmia atrial dan
ventrikular. Pada pemeriksaan ekokardiografi Ten Cate
menemukan tiga jenis hipertrofi ventrikel kiri yaitu:
. Hipertrofi septalsaja(4la/o)

.
.

Hipertrofi septal disertai hipertrofi dindinglateru), (53c/o)


Hipertrofi apikal distal (67o) (septum dan dinding lateral, kedua-duanya).

radionuklir akan ditemukan ventrikel


atau normal. Fungsi sistolik menguat dan
hipertroh septal asimetrik.
Pada pen rc, Lslan
,

kiri mengecil

Dengan pemeriksaan pencitraan nucLear magnetic


resonance (M.R.I.) berbagai jenis hipertrofi apikal ventrikel
kiri dapat dibedakan. Pada sadapanjantung akan ditemukan
c

omplionc e v entricular outflow tract

ob

truction.

dalam.

Pengobatan

Etiologi
Etiologi kelainan ini tidak diketahui. Di duga disebabkan
katekolamin, kelainan pembuluh darah koroner kecil,
kelainan yang menyebabkan iskemia miokard, kelainan
konduksi atrioventrikular dan kelainan kolagen.
Penyakit ini dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin
dalam frekuensi yang sama, sertl dapat menyerang semua
umur. Gangguan irama sering terjadi dan menyebabkan
berdebar-debar, pusing sampai sinkop. Tekanan darah
sistolik dapat pula menurun, banyak kasus kardiomiopati

hipertrofik tidak bergej alalasimtomatis.


Orang tua dengan kardiomiopati hipertrofik sering
mengeluh sesak napas akibat gagal jantung dan angina
pektoris yang mengganggu disertai fibrilasi atrium. Pada
kasus-kasus yang sudah lanjut, malah bisa terdapat
pengerasan/kekakuan katup mitral, sehingga dapat
memberikan gejala-gejala stenosis atau regurgitasi mitral.

Pengobatan yang utama adalah menggunakan penghambat

beta adrenergik, yag efeknya di samping mengurangi


peninggian obstruksi jalan pengosongan ventrikel kiri, juga

untuk mencegah gangguan irama yang

sering
menyebabkan kematian mendadak. Akhir-akhir ini
dilaporkan adanya khasiat yang baik golongan antagonis
kalsium seperti verapamil.
Obat-obat lain tidak dianjurkan untuk diberikan, karena
dapat memperburuk keadaan penyakit. Operasi

miomektomi

juga dilakukan pada keadaan tertentu.

Prognosis
Prognosis penyakit ini ternyata sekarang ini cukup jinak.

Angka mortalitas hanya 17o per tahun, dibanding

Pemeriksaan Fisis

penelitian sebelumnya yang 2-4 x lebih tinggi. Ada beberapa


pasien yang keadaannya stabil atau malah membaik dalam
jangka waktu 10 tahun. Sebagian besar pasien akan
bertambah berat penyakitnya, pasien mengalami gagal
jantung kongestif; kardiomiopati hipertrofi ini berubah

Pasien kardiomiopati hipertrofik biasanya fisisnya baik,

menjadi kardiomiopati kongestif sekali pun sudah

t724

KARDIOI.OGI

dilakukan mimektomi. Kematian mendadak sering terjadi

Pemeriksaan Penunjang

pada orang muda.

Pada pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan low voltag e. Terlihat juga gangguan konduksi intra-ventrikular dan

KARDIOMIOPATI RESTRIKTIF
Kardiomiopati restriktif merupakan kelainan yang amat
jarang dan sebabnya pun tidak diketahui. Tanda khas
untuk kardiomiopati ini adalah adanya gangguan pada
fungsi diastolik, dinding ventrikel sangat kaku dan
menghalangi pengisian ventrikel.
Pada pemeriksaan patologi-anatomis ditemukan adanya
fibrosis, hipertrofi atau infiltrasi pada otot-otot jantung
yang menyebabkan gangguan fungsi diastolik tersebut.

gangguan konduksi atrio-ventrikular. Pada pemeriksaan


ekokardiografi tampak dinding ventrikel kiri menebal serta
penambahan massa di dalam ventrikel. Ruangan ventrikel
normal atau mengecil dan fungsi sistolik yang masih norma1. Pada pemeriksaan radionuklir terlihat adanya infiltrasi
pada otot jantung. Ventrikel kiri notmal atau mengecil, dan

fungsi sistolik yang normal. Pada sadapan jantung


ditemukan complience ventrikel kiri mengurang dan
peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan.

Diagnosis Banding
Perikarditis konstriktif adalah penyakit j antung yang secara

Etiologi
Etiologi penyakit ini tidak diketahui. Kardiomiopati restriktif

sering ditemukan pada amiloidosis, hemokromatosis,


deposisi glikogen, fibrosis endomiokardial, eosinofilia,
fibroelastosis. dan lain-lain.

Gejala Klinis
Pasien merasa lemah, sesak napas. Ditemukan tanda-tanda
gagal jantung sebelah kanan. Juga ditemukan tanda-tanda

serta gejala penyakit sistemik seperti amiloidosis,


hemokromatosis.

klinis dan hemodinamik sukar dibedakan

dengan

kardiomiopati restriktif. Kedua kelainan ini perlu dibedakan


karena implikasi pengobatan dan prognosisnya berbeda.

Pengobatan
Pengobatan pada umumnya sukar diberikan, karena
panyakit ini tidak efisien untuk diobati dan lagi pula
bergantung pada penyakit yang menyertainya. Obat-obat
anti-aritmia diberikan bila ada gangguan irama. Umumnya

aritmia dapat menyebabkan kematian mendadak.

Pemeriksaan Fisis

Pemasangan alat pacu jantung untuk gangguan konduksi


yang berat dapat diberikan.
Dengan ekokardiografi transesofagus dapat dibedakan

Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya pembesaran


jantung sedang. Terdengar bunyi jantung ke-3 atau ke-4
dan adanya regurgitasi mitral atau trikuspid.

antara kardiomiopati restriktif dan perikarditis konstriktif


secara jelas dengan mengevaluasi perubahan aliran vena
pulmonalis pada pernapasan.

Kardiomiopati

Restriktif

.
.
.
.

Perikarditis

Konstriktif

Tekanan permulaan
diastolik di dalam
ventrikel kanan

Di atas 0

di bawah

Tekanan akhir diastolik


di dalam ventrikel kiri
dan kanan

berbeda

Sama

Hipertensi pulmonal

ada

tidak ada

Dinding

dinding
ventrikel
normal serta
pergerakan
septum yang
paradoksal

Ekokardiografi

ventrikel kiri
menebal serta
massanya ber
tambah

27t
PERIKARDITIS
Marulam M. Panggabean

PENDAHULUAN

penumnan volume akhir diastolik sehingga curah jantung


sekuncup dan semenit berkurang. Kompensasinya adalah

Perikardium terdiri dari perikardium viseralis yang melekat


ke miokardium dan bagian luar yaitu perikardium parietalis
yang terdiri dari jaringan elastik dan kolagen serta villi-

takikardia, tetapi pada tahap berat atau kritis akan


meyebabkan gangguan sirkulasi dengan penurunan
tekanan darah serta gangguan perfusi organ dengan

villi penghasil cairan perikard dan membungkus rongga

segala akibatnya yang disebut sebagai tamponadjantung.

perikard. Rongga perikard normal berisi 15-50 ml cairan


perikard yang mengandung elektrolit, protein dan cairan
limfe dan berfungsi sebagai lubrikan

Bila reaksi radang ini berlanjut terus, perikard mengalami


hbrosis, j aringan pirut luas, penebalan, kalsifikasi dan j uga
terisi eksudat,yang akan menghambat proses diastolik
ventrikel, mengurangi isi sekuncup dan semenit serta

Spektrum penyakit perikard mencakup defek kongenital,

perikarditis, neoplasma dan kista. Etiologi terdiri dari


perikarditis infeksi, perkarditis pada penyakit autoimun
sistemik, sindrom pasca infark miokard atau perikarditis

mengakibatkan kongesti sistemik (perikarditis konstriktifa)

Perikarditis Akut

konik

Perkarditis akut adalah perdangan primer maupun sekuder

Perikarditis adalah peradangan perikard parietalis,

perkardium parietalis/viseralis atau keduanya. Etiologi

viseralis atau keduanya. Respons perikard terhadap

bervariasi luas dari virus, bakteri, tuberkulosis,

peradangan bervariasi dari akumulasi cairan atau darah


(efusi perikard), deposisi fibrin, proliferasi jaringan fibrosa,
pembentukan granuloma atau kalsifikasi. Itulah sebabnya
manifestasi klinis perikarditis sangat bervariasi dari yang
tidak khas sampai yang khas

jamur,uremia, neoplasia, autoimun, trauma, infark jantung


sampai ke idiopatik.
Keluhan paling sering adalah sakit/nyeri dada yang
tajam, retrosternal atau sebelah kiri. Bertambah sakit bila
bernapas, batuk atau menelan. Keluhan lainnya rasa sulit
bernapas karena nyeri pleuritik di atas atau karena efusi
perikard.

Klasif ikasi Perikarditis


Variasi klinis perikarditis sangat luas mulai dari efusi
perikard tanpa tanda tamponad, tamponad jantung,

Pemeriksaan jasmani didapatkan

friction

rub

presistolik, sistolik atau diastolik. Bila efusi banyak atau

cepat terjadi,akan didapatkan tanda tamponad.

perikarditis akut, dan perikarditis konstriktif.

Elektrokardiografi menunjukkan elevasi segmen

ST.

Gelombang T umumnya ke atas, tetapi bila ada miokarditis


akan ke bawah (inversi)
Foto jantung normal atau membesar (bila ada efusi

PATOGENESIS

perikard). Foto paru dapat normal atau menunjukkan


patologi (misalnya bila penyebabnya tumor paru, TBC,

Salah satu reaksi radang pada perikarditis akut adalah


penumpukan cairan (eksudasi) di dalam rongga perikard
yang disebut sebagai efusi perikard. Efek hemodinamik

dan lainJain).

efusi perikard ditentukan oleh jumlah dan kecepatan


pembentukan cairan perikard. Efusi yang banyak atau
timbul cepat akan menghambat pengisian ventrikel,

Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan : leukosit,

ureum, kreatinin, etzim jantung, mikrobiologis


parasitologis, serologis, virologis, patologis dan

172

1726

imunologis untuk mencari penyebab peradangan dari


sediaan darah, cairan perikad ataujaringan biopsi perikard.

Ekokradiografi diharapkan untuk:


1. Menunjukkan efusi perikard, perkiraan jumlah dan
lokasinya.

2.
3.

Menilai kontraktilitas ventrikel kiri (akan teganggu bila


adamiokarditis)
Membedakan perikarditis dengan infark jantung.

PENATALAKSANAAN
Semua penderita perikarditis akut harus dirawat untuk

menilai/observasi timbulnya tamponad (1 dalam l0


perikarditis akut) dan membedakannya dengan infark
jantung akut. Ekokardiografi diperlukan untuk mengira
banyaknya efusi perikard.
OAINS (obat anti inflamasi nonsteroid) dipakai sebagai
dasar pengobatan medikamentosa (mengurangi rasa sakit
dan anti-infl amasi). Korlikosetroid (prednisolon oral 60mg/
hari) diperlukan bila sakitnya tidak teratasi dengan

OAINS.Pungsi perikard dilakukan untuk tindakan

I(ARDIOI.OGI

voltage) dan electrical alternans.


Ekokardiografi menunjukkan efusi perikard moderat
atau berat (echo free spase di ruang depan jantung di
bawah sternum dan dinding belakang jantung), swinging
heart detgan kompressi diastolik vena cava, atrium kanan
atau ventrikel kanan.
Kateterisasi menununjukkan peninggian tekanan atrium

kanan dengan gelombang X yang prominen serta


gelombang Y yang berkurang atau menghilang. Tampak
pula kesamaan tekanan diastolik keempat ruang jantung
(atrium kanan, ventrikel kanan, atrium kiri dan ventrikel
kiri). Pulsus alternans tampak pula lebih jelas.
Tamponad jantung merupakan keadaan darurat dan
harus diatasi dengan pungsi perikard. Etiologi harus dicari

seperti pada perikarditis lainnya dan diobati sesuai


penyebabnya.

Perikarditis Konstriktif Kronik


Peradangan kronik perikard menyebabkan penebalan,
fibrosis, fusi viseral dan parietal perikard yang mengurangi
rongga perikard.
Etiologi mulai dari idiopatik, pasca perikardiotomi,

diagnostik. Bila timbul tamponad, maka pungsi perikard


dilakukan sebagai tindakan terapi. Perikarditis rekurens
(non-bakteriaVvirus yang dibuktikan dengan PCR) dapat
diobati dengan kolkisin 1 mg-2mg/hari

tuberkulosis, radiasi, keganasan, bekas perikarditis

TAMPONAD

menunjukkan tanda gagal jantung kanan seperti tekanan

Tamponad terjadi bila jumlah efusi perikard menyebabkan

vena jugularis meninggi dengan tanda kusmaule


(peninggian tekanan V. jugularis saat inspirasi),

hambatan serius aliran darah ke jantung (gangguan

pembesaran hati, asites, dan edema tungkai.

diastolik ventrikel). Penyebab tersering adalah neoplasma,


idiopatik dan uremia. Perdarahan intraperikard juga dapat

Foto toraks menunjukkan perkapuran pada setengah


pasien (terutama pada etiologi TBC). Elektrokrdiografi

terjadi akibat dari kateterisasi j antung intervensi koroner,


pemasangan pacu jantung,tuberkulosis, dan penggunaan
antikoagulan.

menunjukkan voltase rendah (low voltage) atal


gelombang T yang datar (generalized T wave flatteing).

purulen,lain lain seperti uremia, reumatoid artritis, lupus


eritematosus sistemik, dan obat.
Penderita tampak seperti mengalami gagal jantung
kronik. Keluhan disebabkan oleh penurunan curahjantung
seperti lelah, takikardia dan bengkak. Pemeriksaan jasmani

Keadaan umum penderita tampak buruk/berat. Tekanan

darah turun, peninggian tekanan vena jugularis -; tanda


kusmaule (penurunan tekanan V jugularis pada saat
inspirasi), takikardia, nadi lemah dengan tekanan nadi kecil,
bunyi jantung yang lemah, serta napas yang cepat.

Pelebaran area pekak prekordial, pulsus paradoksus


(penurunan tekanan sistolik >1Omg pada inspirasi).
Pulsus paradoksus terjadi karena pembesaran ventrikel
kanan akibat inspirasi, menekan septum dan rongga
ventrikel kiri, hingga mengurangi volume ventrikel kiri dan
menurunkan curah jantung sekuncup.
Foto toraks menunjukkan paru yang relatif bersih
kecuali bila penyebabnya tumor paru/radang paru,
bayangan jantung yang besar bentuk kendi (bila cairan
>250m1) dengan pulsasi yang sangat minimal pada
flouroskopi.
EKG menuniukkan pengurangan voltase QRS (lou,

Ekokardiografi menunjukkan penebalan perikard, ada


tidaknya cairan perikard dan gerak septum interventrikel
yang abnormal.

Ekokardiografi Doppler menunjukkan variasi aliran


darah yang besar saat diastolik melalui katup mitral dengan
gambaran konstriktif.
Bila tersedia CT scanl}4Rl akan tampakpenebalan dan

kalsifikasi perikardium. Bila dilakukan kateterisasi jantung


maka akan ditemukan kesamaan tekanan akhir diastolik
dari keempat ruang jantung dengan gelombang Y yang
dominan
Penatalaksaan dapat dimulai dengan diuretik untuk

mengurangi gejala sesak dan retensi cairan. Reseksi


perikard (perikardiektomi) merupakan terapi kausal dan
umumnya akan memperbaiki keluhan dan memperbaiki
prognosis. Bila penyebabnya radiasi atau miokard yang
telah mengalami fibrosis atau atrofi, maka prognosisnya
sangat buruk.

PERII(ARDITIS

REFERENSI
Grub NR and Newby DE. Pericardial Disease,Churchil's Pocketbook

of Cardiology, London: Chuchil Livingstone; 20O0.p. 172-77


Guidelines on Diagnosis and Management of Pericardial Diseases.
Executive Summary. The Task Force of the European Society
of Cardiology Eur Heart J 2004;25:585-610
Artom G,Koren-Morag N, Spodik DH et al,Pretreatment with
corticosteroids attenuates the efficacy of colchicines in preventing recurrent pericarditis:a multi-centre all-case analysis.
Eur Heart J,2O05 ;26:7 23-27
Braunwald E, Pericardial disease.In Kasper DL, Braunwald E, Fauchi
AS et.al (editor), Harrison's Principles of Internal Medicine 16
ed,.2003.p.1474-20

1727

272
ANGINA PEKTORIS TAK STABIL
HanafiB. Trisnohadi

Di Amerika Serikat setiap tahun I juta pasien dirawat di


rumah sakit karena angina pektoris tak stabil; di mana 6
sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark
jantung yang tak fatal atau meninggal dalam satu tahun
setelah diagnosis ditegakkan.
Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu: 1.
pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di
mana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih
dari 3 kali per hari. 2. pasien dengan angina yang makin
bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan
angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya,

sedangkan faktor presipitasi makin ringan. 3. pasien


dengan serangan angina pada waktu istirahat.

Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat

klasifikasi supaya ada keseragaman. Klasifikasi


berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.
Beratnya angina:

.
'
.

Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau


makin bertambah beratnya nyeri dada.
Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya
subakut dalam I bulan, tapi tak ada serangan angina
dalam waktu 48 jam terakhir.
Kelas III. Adanya serangan angina waktu istirahat dan
terjadinya secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu

48jamteraktir.
Keadaan klinis:

.
.

Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya


anemia, infeksi lain atau febris.
Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor
ekstrakardiak.
Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark
jantung.

Intensitas pengobatan:
. Tak ada pengobatan atau hanya mendapat pengobatan
minimal

.
.

Timbul keluhan walaupun telah dapat terapi yang


standar.
Masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan
pengobatan yang maksimum, dengan penyekat beta,
nitrat dan antagonis kalsium.

Menurut pedoman American College of Cardiology


(ACC) dan America Heart Association (AHA) perbedaan
angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST
(NSTEMI=non ST elevation myocardial infarction) ialah
apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat
menimbukan kerusakan pada miokardium, sehhgga adanya
petanda kerusakan miokardium dapat diperiks a' Diagnosi s
angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemia
sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB,
dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemia,
seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang
sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena
kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada
tahap awal serangan, angina tak stabil seringkali tak bisa
dibedakan dari NSTEMI.

PATOGENESIS

Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting
angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi
subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya

mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari


pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai
penyempitan 5O7o at-at kurang, dan pada 97Vo pasiert
dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang

dari

7OVo.

Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang

mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan frbrotik


(fibrotic cap).PTakyang tidak stabil terdiri dari inti yang

1728

1729

ANGINA PEKTORIS TAK STABIL

banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel


makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang
berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu
dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada
dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim pro-

tease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik


melemahkan dinding plak (fibrous cap).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan
agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya
trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 700Vo
akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan

bila trombus tidak menyumbat l007o, dan hanya


menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak
stabil.

Trombosis dan Agregasi Trombosit


Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan
salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya
trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena
interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag
dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam
pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel
otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak
berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak

tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor


janngan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai
kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan
trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi

agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi


sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi
dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi
ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan
koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang
intermiten, pada angina tak stabil.

menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan


keluhan iskemia.

GAMBARAN KLINIS ANGINA TAK STABIL


Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama
kali atau keluhan angina yang bertambah dari biasa. Nyeri
dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih
lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul
karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai
keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadangkadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani
seringkali tidak ada yang khas.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Elektrokardiograf i (E KG)
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis
maupun stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya
depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan
adanya iskemia akut. Gelombang T negatif juga salah satu
tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST
dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang
dari 0.5 mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm,
tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat disebabkan karena
hal lain. Pada angina tak stabil 4Vo rnernp\n\ai EKG normal, dan pada NSTEMI 1 -67o EKG juga normal.

Uji Latih
Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan
menunjukkan tanda risiko tinggi perlu pemeiksaan exercise test dengan alat treadmill. Bila hasilnya negatif maka

prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebihlebih


bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan

Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting


pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi

untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk


menilai keadaan pembuluh koronernya apakah perlu
tindakan revaskularisasi (PCI atau CABG) karena risiko
terjadinya komplikasi kardiovaskular dalam waktu

endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh

mendatang cukup besar.

Vasospasme

platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh


darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir
seperti pada angina Printzmetal juga dapat menyebabkan
angina tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada

plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam


pembentukan trombus.

Erosi pada Plak tanpa Ruptur


Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena
terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai
reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan
bentuk dan lesi karena berlambahnya sel otot polos dapat

Ekokardiograf

Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk


diagnosis angina tak stabil secara langsung. Tetapi bila
tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya

insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding


regional jantung, menandakan prognosis kurang baik.
Ekokardiografi stres juga dapat membantu menegakkan
adanya iskemia miokardium.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB

1730

I(ARDIOI.OGI

telah diterima sebagai petanda paling penting dalam

beta dapat menurunkan risiko infark sebesar l37o . (P<0,04)

diagnosis SKA. Men:urrtt European Society of

Semua pasien dengan angina tak stabil harus diberi


penyekat beta kecuali ada kontraindikasi. Berbagai macam
beta-bloker seperti propranolol, metoprolol, atenolol, telah

Cardiology (ESC) danACC dianggap ada mionekrosis bila


I positif dalam 24 jam. Troponin tetap

troponin T atau

positif sampai 2 minggu. Risiko kematian berlambah dengan


ti ngkat kenai kan troponin.
CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga

diketemukan

di otot skeletal, tapi berguna untuk

diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa


jam dan kembali normal dalam 48 jam.
Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan
mortalitas jangka panjang. Marker yang lain seperli amioid

A, interleukin-6 belum secara rutin dipakai dalam


diagnosis SKA.

PENATALAKSANAAN

Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit
intensif koroner, pasien perlu diistirahatkan (bed rest),
diberi penenang dan oksigen; Pemberian morfin atau
petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada
walaupun sudah mendapat nitrogliserin.

Terapi Medikamentosa
OBAT ANTI ISKEMIA

Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena
dan arteriol perifer, dengan efek mengurangipreload dan
afterload sehingga dapat mengurangi wall s/ress dan

kebutuhan oksigen (oxygen demand). Nitrat juga


menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh
koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam

diteliti pada pasien dengan angina tak stabil,

yang
menunjukkan efektivitas yang serupa.
Kontra indikasi pemberian penyekat beta antara lain

pasien dengan asma bronkial, pasien dengan


bradiaritmia.

Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar:
golongan dihidropiridin seperti nifedipin dan golongan
nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua
golongan dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah.
Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi

lebih kuat dan penghambatan nodus sinus maupun


nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif juga
lebih kecil.

Meta analisis studi pada pasien dengan angina tak


stabil yang mendapat antagonis kalsium, menunjukkan

tak ada pengurangan angka kematian dan infark. Pada


pasien yang sebelumnya tidak mendapat antagonis
pemberian nifedipin menaikkan infark dan angina yang
rekuren sebesar 16%o, sedatgkan kombinasi nifedipin dan
metoprolol dapat mengurangi kematian dan infark sebesar
207o, tapi kedua studi secara statistik tak bermakna.
Kenaikan mortalitas mungkin karena pemberian nifedipin

menyebabkan takikardia dan kenaikan kebutuhan


oksigen.
Verapamil dan diltiazem dapat memperbuki survival
dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom
koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyutjantung yang

berkurang, pengurangan afterload memberikan


keuntungan pada golon gan nondihidropiridin.pada pasien
SKA dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis
kalsium biasanya pada pasien yang ada kontraindikasi

keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat

dengan antagonis atau telah diberi penyekat beta tapi

diberikan secara sublingual atau melalui infus intravena;


yang ada di Indonesia terutama isosorbid dinitrat, yang
dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4 mg
per jam. Karena adanya toleransi terhadap nitrat, dosis
dapat dinaikkan dari waktu ke waktu. Bila keluhan sudah

keluhan angina masih refrakter.

terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat

Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam

per oral.

pengobatan angina tak stabil maupun infark tanpa elevasi


ST segmen. Tiga golongan obat anti platelet seperti aspi-

Penyekat Beta
Penyekat beta dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokardium melalui efek penurunan denyut jantung dan

OBAT ANTIAGREGASI TROMBOSIT

rin, tienopiridin dan inhibitor GP IIb/IIIa telah terbukti


bernanfaat.

daya kontraksi miokardium. Data-data menunjukkan

Aspirin

penyekat beta dapat memperbaiki morbiditas dan mortalitas

Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat

pasien dengan infark miokard, Meta analisis dari 4700


pasien dengan angina tak stabil menunjukkan penyekat

mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal


maupun non fatal dari 5IVo sampai 72Vo pada pasien

173l

ANGINA PEKTORIS TAK STABIL

dengan angina tak stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan


untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160 mg
per hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg per hari.

Tiklopidin
Tiklopidin suatu derivat tienopiridin merupakan obat lini
kedua dalam pengobatan angina tak stabil bila pasien tidak
tahan aspirin. Studi dengan tiklopidin dibandingkan
plasebo pada angina tak stabil ternyata menunjukkan
bahwa kematian dan infark non fatal berkurang 46,3Vo.
Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek
samping granulositopenia, di mana insidennya 2,4Vo.
Dengan adanya klopidogrel yang lebih aman pemakaian
tiklopidin mulai ditinggalkan.

Klopidogrel
Klopidogrel juga merupakan derivat tienopiridin, yang
dapat menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih
kecil dari tiklopidin dan belum ada laporan adanya neutropenia. Klopidogreljuga terbukti dapat mengurangi strok,
infark dan kematian kardiovaskular. Klopidogrel dianjurkan
untuk diberikan pada pasien yang tak tahan aspirin. Tapi
dalam pedoman ACC/AHA klopidogrel juga diaryurkan
untuk diberikan bersama aspirin paling sedikit 1 bulan
sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari
dan selanjutnya 75 mg per hari.

lnhibitor Glikoprotein llb/llla


Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada
platelet ialah ikatan terakhir pada proses agregasi platelet.
Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka
ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan
agregasi platelet tidak terjadi.
Pada saat in ada 3 macam obat golongan ini yang

angina tak stabil dan NSTEMI yang direncanakan untuk


tindakan invasif dini di mana PCI direncanakan dalam 12
Jam.

OBAT ANTITROMBIN

nf racti o nated Hepari n

Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari


pelbagai rantai polisakarida yang berbeda panjangnya
dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda.
Antitrombin III, bila terikat dengan heparin, akan bekerja
menghambat trombin dan faktor Xa. Heparin juga juga
mengikat protein plasma yang lain, sel darah dan sel

endotel, yang akan mempengaruhi bioavailibilitas.


Kelemahan lain heparin adalah efek terhadap trombus
yang kaya trombosit dan heparin dapat dirusak oleh
platelet faktor 4.

Metaanalisis dari 6 penelitian menunjukkan bahwa


pemberian heparin bersama aspirin dapat mengurangi

risiko sebesar 33Vo dlbandingkan dengan aspirin


saJ a.

Karena adanya ikatan protein yang lain dan


perubahan bioavailabilitas yang berubah-ubah maka
pada pemberian selalu perlu pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan dosis pemberian cukup efektif . Activated partial thromboplastin time(APTT) harus 1.5-2.5
kali kontrol dan dilakukan pemantauan tiap 6 jam.setelah
pemberian. Pemeriksaan trombosit juga perlu untuk
mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced throm-

bocytopenia (HIT).

Low Molecular Weight Heparin (LMWH)

tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina tak stabil.

Low molecular Weight Heparin (LMWH) dibuat dengan


melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin.
Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 dan
hanya bekerja pada faktor Xa, sedangkan heparin
menghambat faktorXa dan ffombin. Dibandingkan dengan
unfractionated heparin, LMWH mempunyai ikatan
terhadap protein plasma kurang, bioavailabilitas lebih

Suatu metaanalisis dari 12,296 pasien didapatkan

besar dan tidak mudah dinetralisir oleh faktor 4, lebih besar

pengurangan mortalitas dan infark miokard secara relatif


sebesar 34Vo selama24 jam terapi medikamentosa tanpa
revaskularisasi. (2.5Vo vs 3,57o; p = 0,001). Keuntungan
lebih nyata pada pasien risiko tinggi, dan lebih tampak

pelepasan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan


kejadian trombositopenia lebih sedikrt.
Low molecular weight heparin (LMWH) yang ada di
Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan
fondaparinux.
Dalteparin sama efektifnya dengan heparin sedang

telah disetujui untuk pemakaian dalam klinik yaitu:


absiksimab, suatu antibodi monoklonal ; eptifibatid, suatu

siklik heptapeptid; dan tirofiban, suatu nonpeptid


mimetik. Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan
angina tak stabil maupun untuk obat tambahan dalam

pada pasien dengan PCI karena strategi invasif dini.


Penelitian pada pasien SKA tanpa elevasi segmen ST
dan mendapat tindakan PCI, kematian dan infark miokard

dalam 30 hari berkurang dari 3O-70Vo. Tirofiban dan


eptifibatid harus diberikan bersama aspirin dan heparin
pada pasien dengan iskemia terus menerus atau pasien

risiko tinggi dan pasien yang direncanakan untuk


tindakan PCI. Abciximab disetujui untuk pasien dengan

penelitian dengan enoksaparin menunjukkan berkurangnya


mortalitas atau infark sebesar 20Vo pada pasien yang
mendapat enoksaparin dibandingkan heparin.
Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian
mudah yaitu dapat disuntikkan secara subkutan dan tidak
membutuhkan pemeriksaan laboratorium.

t732
DIRECT TH ROM BIN IN HI BITORS

KARDIOLOGI

Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain pasien

yang tidak mempunyai angina sebelumnya, dan sudah

Direct trombin inhibitor secara teoritis mempunyai


kelebihan karena bekerja langsung mencegah

tidak ada serangan angina, sebelumnya tidak memakai obat


anti angina dan ECG normal atau tak ada perubahan dari

pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh plasma

sebelumnya; enzim jantung tidak meningkat termasuk


troponin dan biasanya usia masih rnuda. Risiko sedang
bila ada angina yang baru dan makin berat, didapatkan
angina pada waktu istirahat, tak ada perubahan segmen
ST, dan enzim jantung tidak meningkat. Risiko tinggi bila

protein maupun platelet faktor 4. Activated partial


thromboplastin time dapat dipakai untuk memonitor
aktivitas antikoagulasi, tetapi biasanya tidak perlu.
Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark
miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah.
Bivalirudin juga menunjukkan efektivitas yang sama
dengan efek samping perdarahan kurang dari heparin.
Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin
pada pasien angina tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin
maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada
efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT).

TINDAKAN REVASKULARISASI PEMBULUH


KORONER

pasien mempunyai angina waktu istirahat. angina


berlangsung lama atau angina pasca infark; sebelumnya

sudah mendapat terapi yang intensif, usia lanjut,


didapatkan perubahan segmen ST yang baru, didapatkan
kenaikan troponin, dan ada keadaan hemodinamik tidak
stabil.
Bilamanifestasi iskemia datang kembali secara spontan

atau pada waktu pemeriksaan, maka pasien sebaiknya


dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk
risiko rendah maka terapi medikamentosa sudah cukup.
Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan
tindakan invasif segera, dengan kemungkinan tindakan

Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada

revaskularisasi.

pasien dengan iskemia berat, dan refrakter dengan terapi


medikamentosa.
Pada pasien dengan penyempitan di left main atat

REFERENSI

penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai faal


ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi bypass (CABG)
dapat memperbaiki harapan hidup, kualitas hidup dan
mengurangi masuknya kembali ke rumah sakit. Pada
tindakan bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih
buruk dari pada bedah elektif.
Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik
dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau 2
pembuluh darah atau bila ada kontra-indikasi tindakan
pembedahan PCI merupakan pilihan utama.
Pada angina tak stabil apa perlu tindakan invasif dini
atau konservatif tergantung dari stratifikasi risiko pasien;
pada risiko tinggi, seperti angina terus-menerus, adanya
depresi segmen ST, kadar troponin yang meningkat, faal
ventrikel kiri yang buruk, adanya gangguan irama jantung
yang maligna seperti takikardia ventrikel, perlu tindakan
invasif dini.2,55.s6,57

STRATIFIKASI RISIKO

Graves E. National Hospital Discharge Survey. Annual survey 1996


Series 13, no. 4. Washington, D.C.: National Center for Health
S

tati stics. 1 99 8

Braunwald E. Unstable angina. A classitlcation. Circulation 1989;

80:410

Little WC, Constantinescu M, Applegate RJ, et al. Can coronary


angiographypredict the site of a subsequent myocardial infarction in pattents with mild-to-moderate coronary artery disease? Circulation 1988;78:l 157-66,
Fishbein MC, Siegel RJ. How big are coronary atherosclerotic plaques
that rupture? Circulation 1996;94:2662-6.
Ambrose JA, Winters SL, Arora RR, et al. Angiographic evolution
of coronary artery morphology in unstable angina J Am Coll
Car diol 7986ti 4'7 2 -8.
Ambrose JA, Tannenbaum MA, Alexopoulos D, et al Anglographic
progression of coronary artery disease and the development of
myocardial infarction. J Am Coll Cardiol 1988;12:56-62
Richardson PD, Davies MJ, Bom GVR. Influence of plaque configuration and stress distribution on fissuring of coronary atherosclerotic plaques. Lancet 1989;2:941-4.
Fuster Y Lewis A Conner Memorial Lecture: mechanisms leading
to myocardial infarction: insights from studies of vascular biol:

ogy. Circulation 1994;90:2126-46 lErratum, Circulation

Delapan puluh persen pasien dengan angina tak stabil


dapat distabilkan dalam 48 jam setelah diberi terapi
medikamentosa secara agresif. Pasien-pasien ini kemudian
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dengan treadmill
test atal;. ekokardiografi untuk menentukan apakah pasien

1995:91:256

V Acute coronary syndromes: unstable angina


and non-Q-wave myocardial infarction Circulation

Th6roux P, Fuster

cukup dengan terapi medikamentosa atau pasien

7998:9'7 :1195-206.
Cheng GC, Loree HM, Kamm RD, Fishbein MC, Lee RT, Distribution of circumferential stress in ruptured and stable atherosclerotic lesions:a structural analysis with histopathological corre-

membutuhkan pemeriksaan angiografi dan selanjutnya


tindakan revaskularisasi.

Ferndndez-Ortiz A, Badim6n JJ, Falk E, et al. Characterization of

lation. Circulation

1993:,87 :11'7 9-81

t733

AIIGINA PEI(TORIS TAK STABIL

the relative thrombogenicity of atherosclerotic plaque components: implicationsfor consequences of plaque rupture. J Am
Coll Cardiol 1994:23:1562-9.
Moreno PR, Bernardi VH, Lopez-Cudllar J, et al.
Macrophages,smooth muscle cells, and tissue factor in unstable
angina: implications for cell-mediated thrombogenicity in acute
coronary syndromes. Circulation 1996;94:3090-7.
Wilcox JN, Smith KM, Schwartz SM, Gordon D. Localization of
tissue factor in the normal vessel wall and in the atherosclerotic
plaque. ProcNatl Sci U S A 1989;86:2839-43.
Patrono C. Renda G Platelet activation and inhibition in unstable
coronary syndromes. Am J Cardiol 1997;80:17E-208.
Cermak J, Key NS, Bach RR, Balla J, Jacob HS, Vercellotti GM. Creactive protein induces human peripheral blood monocytes to
syntbesize tissue factor. Blood 1993;82:513-20.
Ridker PM, Glynn RJ, Hennekens CH. C-reactive protein adds to
the predictive value of total and HDL cholesterol in determining risk of first myocardial infarction. Circulation 19981'9'7:2007-

tl
Ridker PM, Cushman M, Stampfer MJ, Tracy RP, Hennekens
CH.Plasma concentration of C-reactive protein and risk of
developing peripheral
Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, et al. Circadian variation in the
onset of unstable angina and non-Q-wave acute myocardial in-

farction (theTIMI Registry and TIMI IIIB). Am J Cardiol


1997;79 253-B
Alpert JS. Coronary vasomotion, coronary thrombosis, myocardial
infarction and the camel's back. J Am Coll Cardiol 1985:5:6178.

Meredith IT, Yeung AC, Weidinger FF, et al. Role of impaired


vasodilation in ischemic manifestations
ofcoronary artery disease. Circulation 1993;87:Suppl V:V-56-

endothelium-dependent

v-66.
Wieczorek I, Haynes WG Webb DJ, Ludlam CA, Fox KAA. Raised
plasma endothelin in unstable angina and non-Q wave myocardial infarction: relation to cardiovascular outcome. Br Heart J

1994:72:436-41.
! Suzuki N, Shimamoto N, Fujino M, Imada A. Contribution of endogenous endothelin to the extension of myocardial
infarct size in rats Circ Res 1991169:370-7
Ross R. The pathogenesis of atherosclerosis - an update N Engl J
Watanabe

Med 1986:314:488-500.
Nobuyoshi M, Tanaka M, Nosaka H, et al. Progression of coronary
atherosclerosis: is coronary spasm related to progression? J Am

Coll Cardiol 1991;l 8:904-10


A, Burke AP, Tang AL, et al. Coronary plaque erosion
withoutrupture into a lipid core: a frequent cause of coronary
thrombosis in sudden coronary death. Circulation 1996;,93:1354-

Farb

63.
Flugelman MY, Virmani R, Correa R, et al Smooth muscle cell
abundance and fibroblast growth factors in coronary lesions of
patients with nonfatal unstable angina: a clue to the mechanism
of transformation from the stable to the unstable clinical state.

Circulation 1 993 ;88:2493-500.


Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, et al. The electrocardiogram
predicts one-year outcome of patients with unstable angina and
non-Q wave myocardial infarction: results of the TIMI III
Registry ECG Ancillary Study. J Am Coll Cardiol 1997;30:13340.
Savonitto S, Ardissino D, Granger CB, et al. Prognostic value of the
admission electrocardiogram in acute coronary syndromes.

JAMA 1999:28r:701-lf.

Pettijohn TL, Doyle T, Spiekerman AM, Watson LE, Riggs


MW,Lawrence ME. Usefulness of positive troponin-T and negative creatine kinase levels in identifying high-risk patients with
unstable angina pectoris Am J Cardiol 1997;80:510-1.
Lindahl B, Venge P, Wallentin L. Relation between troponin T and
the risk of subsequent cardiac events in unstable coronary artery disease.Circulation 1996;93:165 l-1
Antman EM, Sacks DB, Rifai N, McCabe CH, Cannon CP, Braunwald
E. Time to positivity of a rapid bedside assay for cardiac-specific troponin T predicts prognosis in acute coronary syndromes:
a Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMf) I I A substudy.
J

Am Coli Cardiol 1998131:326-30.

Karlberg KE, Saldeen I Wallin R, et al. Intravenous nitroglycerin


reduces ischaemia in unstable angina pectoris: a double-blind
placebo-controlled study. J Intern l;{ed 19981, 243:25.
Curfman, GD, Heinsimes, JA, Lozner, EC, Fung, HL. Intravenous
nitroglycerin in the treatment of spontaneous angina pectoris:
A prospective randomized trial. Circulation '1983l. 67:276.
Horowitz, JD Role of nitrates in unstable angina pectoris. Am J
Cardiol 1992: 70:648.
Yusuf S, Wittes J, Friedman L. Overview of results of randomized
clinical trials in heart disease. II. Unstable angina, heart failure,
primary prevention with aspirin, and risk factor modification.
JAMA 1988:260:2259-63.
Ferrari R. Prognosis of patients with unstable angina or acute myocardial inlarction treated with calcium channel antagonists. Am
J Cardiol 1996:17 :22D-25D.
Held PH, Yusuf S, Furberg CD. Calcium channel blockers in acute
myocardial infarction and unstable angina: an overview BMJ
1989:299: 1 181 -92
Thdroux P, Taeymans Y, Morissette D, Bosch X, Pelletier GB,
Waters DD. A randomized study comparing propranolol and
diltiazem in the treatment of unstable angina. J Am Coll Cardiol
1985:,5:1 )1 -22
Lewis HD Jr, Davis JW Archibald DG et al. Protective effects of
aspirin against acute myocardial infarction and death in men
with unstableangina: results of a Veterans Administration
cooperative study. N Engl JMed 1983;309:396-403.
Cairns JA, Gent M, Singer J, et al. Aspirin, sulfinpyrazone, or both
in unstable angina: results of a Canadian multicenter trial. N

Engl J Med 1985;313:1369-75.


Antiplatelet Trialists' Collaboration. Collaborative overview of

I. Prevention of death,
myocardial infarction,and stroke by prolonged antiplatelet
therapy in various categories of patients. BMJ 1994;308:81106. [Erratum, BMJ 1994;308: 1540.]
Balsano F, Rizzon B Violi F, et al. Antiplatelet treatment with
randomised trials ofiantiplatelet therapy.

ticlopidine in unstable angina: a controlled multicenter clinical

trial. Circulation 1990',82:17 -26.


CAPRIE Steering Committee. A randomised, blinded, trial of
clopidogrel versus aspirin in patients at risk of ischaemic events
(CAPRIE). Lancet 1996;348:1329 -39.
The CAPTURE Investigators. Randomised placebo-controlled trial

of

abciximab before and during coronary intervention in

refractory unstable angina. The CAPTURE study. Lancet 1997;


349: 1429-35
Platelet Receptor Inhibition in Ischemic Syndromes Management
in Pateints Limited by Unstable Signs and Symptoms (PRISM-

PLUS ) Study Investigators. Inhibition of the platelet


glycoprotein IIb/IIIa receptor with tirofiban in unstable angina
and non Q wave myocardial infarction. N Engl J Med 1998;

338:1488-97.

t734

IGRDIOI.OGI

The PURSUIT Trial Investigators. Inhibition of platelet glycoprotein IIb/IIIa with eptifibatide in patients with acute coronary
syndromes. N Engl J Med 1998; 339:436-43
Boersma E, Akkerhuis KM, Theroux P, et al. Platelet glycoprotein
Iib/IIIa receptor inhibition in non ST elevation acute coronary
syndromes: early benefit during medical therapy only, with additional protection during percutaneous coronary intervention.
Circulation 1999 ; 100:2045-2048
The PARAGON Investigators. An international, randomized,

controlled trial of lamifiban (a platelet glycoprotein IIb/IIIa


inhibitor), heparin, or both in unstable angina. Circulation
199897:2386-95.
Oler A, Whooley MA, Oler J, Grady D. Adding heparin to aspirin
reduces the incidence of myocardial infarction and death in

patients with unstable angina:


1996l'27

a meta-rnalysis. JAMA

6:811-5.

Klein LW, Wahid F, VandenBerg BJ, Parrillo JE, Calvin JE. Comparison of heparin therapy for < or = 48 hours to > 48 hours in
unstable angina pectoris. Am J Cardiol 19911.79:259-63.
Warkentin TE, Levine MN, Hirsh J, et al. Heparin-induced
thrombocytopenia in patients treated with 1ow-molecular-weight
heparin or unfractionated heparin. N Engl J Med 1995.332:13305.

Cohen

M, Demers C, Gurfinkel Eq et al. A comparison of low

molecular-weight heparin w.ith unfractionated heparin for unstable coronary artery disease. N Engl J Med 19971'331:447-52.
Antman EM, McCabe CH, Gurflnkel EP, et al. Enoxaparin prevents
death and cardiac ischemic events in unstable angina/non-Qwave myocardial infarction: results of the Thrombolysis in

Myocardial Infarction (TIMI)

IIB

trial.

Circulation

19991100:1593-601.
Organisation to Assess Strategies for Ischemic Syndromes (OASIS2) Investigators. Effects of recombinant hirudin (lepirudin) compared with heparin on death, myocardial infarction, refractory
angina, and revascularisation procedures in patients with acute
myocardial ischaemia without ST elevation: a randomised trial.

Lancet I 999:353:429-38.
Luchi RJ, Scoft SM, Deupree RH, Principal Investigators and Their
Associates of Veterans Administration Cooperative Study No.
28. Comparison of medical and surgical treatment for unstable
angina pectoris: results of a Veterans Administration cooperative study. N Engl J Med 1987;316:977-84
Braunwald E, Mark DB, Jones RH, et al Unstable angina: diagnosis
and management. Clinical practice guideline. No. 10. Rockville,
Md.: Department of Health and Human Services, 1994. (AHCPR
publication no.94-0602 )
Braunwald E, Antman EM, Heasky JW, et a1. ACC/AHA Guideline
Update for the Management of Patients with Unstable Angina
and Non ST segment Elevation Myocardial Infarction 2002,

Summary Article: A report of the American College of


Cardiology/ American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines ( Committee on the Management of
Patients With Unstable Angina) Circuiation 2002:106:1893900 the stable to the unstable clinical state. Circulation
1

993:8 8 :2493

-5 00.

273
ANGINA PEKTORIS STABIL
A. Muin Rahman

Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh "Canadian


Cardiovascular Society" sebagi berikut:
. Klas I. Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun.
naik tangga 7-2 lantai dan lain-lain tak menimbulkan
nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada latihan yang
berat, berjalan cepat serta terburu-buru waktu kerja atau
bepergian.
. Klas IL Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya

Angina pektoris (AP) adalah rasa nyeri yang timbul karena


iskemia miokardium. Biasanya mempunyai karakteristik
tertentu:
. Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit di
kirinya, dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri
sampai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar,
punggung/pundak kiri.
. Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul
seperti rasa tertindih/berat di dada, rasa desakan yang
kuat dari dalam atau dari bawah diafragma. seperti

AP timbul bila melakukan aktivitas lebih berat dari

diremas-remas atau dada mau pecah dan biasanya pada


keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak
napas serta perasaan takut mati. Biasanya bukanlah

nyeri yang tajam, seperti rasa ditusuk-tusuk/diiris

bila berjalan 1-2 blok, naik tangga 1 lantai

sembilu, dan bukan pula mules. Tidak jarang pasien


mengatakan bahwa ia hanya merasa tidak enak di

kecepatan yang biasa.


Klas IV APbisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hampir
semua aktivitas dapat menimbulkan angina, termasuk
mandi, menyapu dan lain-lain.

dadanya.

Nyeri berhubungan dengan aktivitas, hilang dengan

istirahat; tapi tak berhubungan dengan gerakan

biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih


dari 1 lantai atau terburu-buru, berjalan menanjak atar-i
melawan angin dan lain-lain.
Klas III. Aktivitas sehari-hari nyata terbatas. AP timbul
dengan

Nyeri dada ada yang mempunyai ciri-ciri iskemik


miokardium yang lengkap, sehingga tak meragukan lagi
untuk diagnosis, disebut sebagai nyeri dada (angina)
tipikal; sedangkan nyeri yang meragukan tidak mempunyai
ciri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan yang
hati-hati, disebut angina atipik. Nyeri dada lainnya yang
suflah jelas berasal dari luar jantung disebut nyeri non

pernapasan atau gerakan dada ke kiri dan kekanan.


Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh stres fisik ataupun
emosional.
Kuantitas: Nyeri yang pertama sekali timbul biasanya
agak nyata, dari beberape menit sampai kurang dari20
menit. Bila lebih dari 20 menit dan berat maka harus
dipertimbangkan sebagai angina tak stabil (unstable
angina pectorls = UAP) sehingga dimasukkan ke dalam

kardiak.

Untuk membantu menentukan nyeri tipikal atau bukan


maka baiknya anamnesis dilengkapi dengan mencoba
menemukan adanya faktor risiko baik pada pasien atau
keluarganya seperti kebiasaan makan/kolesterol, DM,
hipertensi, rokok, penyakit vaskular lain seperti strok dan
penyakit vaskular perifer, obesitas, kurangnya latihan dan

sindrom koroner akut="acute coronatl syndrome" =


ACS, yang memerlukan perawatan khusus. Nyeri dapat
dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual dalam
hitungan detik sampai beberapa menit. Nyeri tidak terusmenerus, tapi hilang timbul dengan intensitas yang
makin bertambah atau makin berkurang sampai
terkontrol. Nyeri yang berlangsung terus-menerus
sepanjang hari, bahkan sampai berhari-hari biasanya
bukanlah nyeri angina pektoris.

lain-1ain.
Pada AP stabil, nyeri dada yang tadinya agak berat,

sekalipun tidak termasuk UAP, berangsur-angsur turun


kuantitas dan intensitasnya dengan atau tanpa

t73

1736

T(ARDIOII)GI

pengobatan, kemudian menetap (misalnya beberapa hari


sekali, atau baru timbul pada beban/stres yang tertentu
atau lebih berat dari sehari-harinya).

Pada sebagian pasien lagi nyeri dadanya bahkan


berkurang terus sampai akhirnya menghilang, yaitu
menjadi asimtomatik, walaupun sebetulnya adanya iskemia

tetap dapat terlihat misalnya pada EKG istirahatnya,

keadaan yang disebut sebagai "silent iskhemia"


sedangkan pasien-pasien lainnya lagi yang telah menjadi
asimtomatik, EKG istirahatnya normal pula, dan iskemia
baru terlihat pada stres tes.

hanya positif pada 507o pasien. Kelainan EKG 12 leads


yang khas adalah perubahan ST-T yang sesuai dengan
iskemia miokardium. Akan tetapi perubahan-perubahan lain
ke arah faktor risiko seperti LVH dan adanya Q abnormal
amat berarti untuk diagnostik. Gambaran EKG lainnya tidak
khas seperti aritmia, BBB, bi atau trifasikular blok, dan
sebaginya. EKG istirahat waktu sedang nyeri dada dapat
menambah kemungkinan ditemukannya kelainan yang
sesuai dengan iskemia sampai 507o lagi, walaupun EKG

istirahat masih normal. Depresi ST-T I mm atau lebih


merupakan pertanda iskemia yang spesifik, sedangkan
perubahan-perubahan lainnya seperti takikardia, BBB, blok

fasikular dan lain-lain, apalagi yang kembali normal pada


waktu nyeri hilang sesuai pula untuk iskemia.

PEMERIKSAAN FISIS
Tak ada hal-hal yang khusus/spesifik pada pemeriksaan
fisik. Sering pemeriksaan fisis normal pada kebanyakan
pasien. Mungkin pemeriksaan fisis yang dilakukan waktu
nyeri dada dapat menemukan adanya aritmia, gallop
bahkan murmur, split 52 paradoksal, ronki basah dibagian
basal paru, yang menghilang lagi pada waktu nyeri sudah
berhenti. Penemuan adanya tanda-tanda aterosklerosis

umumnya seperti sklerosis

A. Carotis,

aneurisma
abdominal, nadi dorsum paedis/tibialis posterior tidak
teraba, penyakit valvular karena sklerosis, adanya
hipertensi, LVH, xantoma, kelainan fundus mata dan lain-

Foto Toraks
Pemeriksaan ini dapat melihat misalnya adanya kalsifikasi
koroner ataupun katup jantung, tanda-tanda lain, misalnya

pasien menderita juga gagal jantung, penyakit jantung


katup, perikarditis, dan anurisma dissekan, serta pasienpasien yang cenderung nyeri dada karena kelainan paruparu.

EKG Waktu Aktivitas/Latihan

lain, tentu amat membantu.

Penting sekali dilakukan pada pasien-pasien yang amat


dicurigai, termasuk kelainan EKG seperti BBB dan depresi
ST ringan. Begitu pula pada pasien-pasien dengan angina

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

vasospastik; sedangkan pada pasien-pasien dengan


kemungkinan iskemianya rendah, LVH, minum obat
digoksin, dengan depresi ST kurang dari 1 mm boleh saja

Beberapa pemeriksaan lab diperlukan disini: hemoglobin,

hematokrit, trombosit dan pemeriksaan terhadap faktor


risiko koroner seperti gula darah, profil lipid, dan penanda
inflamasi akut bila diperlukan, yaitu bila nyeri dada cukup
berat dan lama, seperti enzim CK/CKMB, CRP/hs CRP,
troponin. Bila nyeri dada tidak mirip suatu UAP maka tidak
semuanya pemeriksaan-pemeriksaan ini diperlukan.

DIAGNOST!K
Pedoman yang disusun oleh AHA telah cukup lengkap
untuk melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan yang
efektif dan efisien pasien PJK, sehingga ia dipakai sebagai

dasar penyusunan pedoman-pedoman yang diusulkan


berikut ini.

Untuk memastikan bahwa memang ada iskemia


miokardium sebagai penyebab nyeri dada maka diperlukan
beberapa pemeriksaan:

EKG Waktu lstirahat


Dikerjakan bila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dada
adalah non kardiak. Bila angina tidak tipikal, maka EKG ini

dikerjakan, meskipun sebenarnya tak terlalu perlu. Kontra


indikasi: IMA kurang dari 2 hari, aritmia berat dengan
hemodinamik terganggu, gagal jantung manifes, emboli
paru dan infark paru, perikarditis dan miokarditis akut,

diseksi aorta. Kontra indikasi relatif: stenosis LM,


stenosis aorta sedang atau obstrukst "outflow" lainnya,
elektrolit abnormal, hipertensi sistolik >200 dan diastolik
>100 mm Hg, bradi atau takiaritmia, kardiomiopatia
hipertrofik, UAP (kecuali yang berisiko rendah dan sudah
bebas nyeri), dan gangguan fisik yang menyulitkan
melakukan tes ini. Treadmill exercise tesr memiliki
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 687o
+l-16 Vo danll% +l-117o. Tes ini ternyata sensitivitasnya
lebih rendah dari s/ress testlainnya.

Ekokardiograf i
Pemeriksaan ini bermanfaat sekali pada pasien

dengan

murmur sistolik untuk memperlihatkan ada tidaknya


stenosis aorta yang signifikan atau kardiomiopati
hipertrofik. Selain itu dapat pula menentukan luasnya
iskemia bila dilakukan waktu nyeri dada sedang
berlangsung. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menganalisis fungsi miokardium segmental bila hal ini telah

t737

ANGINAPEKTORIS STABIL

terjadi pada pasien AP stabil kronik atau bila telah pernah


infark jantung sebelumnya, walaupun hal ini tidak dapat

memperlihatkan iskemia yang baru terjadi. Bila


ekokardiografi dilakukan dalam waktu sampai 30 menit dan

serangan angina, mungkin sekali masih dapat


memperlihatkan adanya segmen miokardium yang
mengalami disfungsi karena iskemia akut. Segmen ini akan

pulih lagi setelah hilangnya iskemia akut. Kuantitas iskemia

dapat diperlihatkan dengan sistem skor. Bila daerah


disfungsi iskemik itu sukar terlihat, maka sensitivitas dapat
ditambah dengan memakai alat eko yang menggunakan
harmonic imaging atau dapat dipakai juga eko kontras
memakai gelembung-gelembung mikro (micro bubbles)
yang terjadi waktu injeksi IV larutan kontras. Pada saat
terjadi iskemia dapat timbul MR, yang dapat diperlihatkan
pula dengan eko doppler.

Stress lmaging, dengan Ekokardiograf i atau


Radionuklir
Pemeriksaan stres ekokardiografi ini bermanfaat dikerj akan
pada pasien yang dicurigai menderitaAPS sedangkan EKG

istirahatnya menunjukkan ST depresi I mm atau lebih atau

memperlihatkan adanya sindrom WPW. Kedua tes ini


bergunajuga pada pasien pre revaskularisasi atau pasienpasien dengan pacu jantung atau LBBB. Ekokardiografi
stres dengan memakai obat-obatan bermanfaat sekali
dilakukan pada pasien-pasien yang tak dapat melakukan

stres dengan latihan ataupun yang akan dilakukan


revaskularisasi (dengan PCI atau CABG).Tes-tes ini kurang
bermanfaat bila dikerjakan pada pasien-pasien yang sudah
hampir pasti atau sama sekali belum jelas menderita iskemia
miokardium. Pemeriksaan-pemeriksaan stres tes ini dapat
diterapkan juga bagi pasien-pasien asimtomatik, terutama

pada pasien-pasien asimtomatik yang berisiko tinggi.


Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan stres

karakteristik klinisnya tergolon g risiko tinggi.


Pemeriksaan ini diperlukan juga bagi pasien-pasien
yang diketahui mempunyai disfungsi ventrikel kiri (EF
kurang dari 457a) walaupun dengan angina klas I-II dan
pemeriksaan non invasif tidak menunjukkan risiko tinggi,
serta pasien-pasien yang tidak dapat ditentukan status
koronernya dengan pemeriksaan non invasif.

Keterbatasan angiografi koroner misalnya adalah


bahwa ia tak dapat menentukan perubahan fungsi
miokardium berdasarkan stenosis koroner yang ada dan
insensitif dalam menentukan adanya trombus. Lagipula ia

juga tak dapat menunjukkan plak sklerosis yang akan


menyebabkan berkembangnya menjadi UAP, yang
tergantung pada isi dan kapsul plak tersebut. Tidakjarang

plak yang demikian biasanya hanyalah menunjukkan


stenosis 50Vo. Dengan tambahan beratnya disfungsi LV,

angiografi koroner bermanfaat sekali untuk stratifikasi


prognostik, yang berkorelasi dengan jumlah pembuluh
darah yang mengalami stenosis, yaitu l, 2, 3 pembuluh
atau LM. Surviv al 1 2 th untuk pasien dg 0,1,2,3 pembuluh
adalah masing-masing 9 I

Vo,

I 4Vo, 59 Vo dan 407o, sedan gkan

LV fungsi sistolis dengan EF 50-1007o,35-497o dan<35o/o


berturut-turut adalah I 37o, 547o dan 2lVo.

1-3%lth
%

Mortalitas

<1%lth

Disfungsi LV
(angio)

Tidak ada

EF 35-49

TMT/Sfress
fesf
Disfungsi LV

low risk

lntermediate High risk

Tidak ada
None/terbatas

dosis

Defek pefusi
pd stres
Stres Eko

Normal

moderat

besar

Normal

iskemia
terbatas

multipel/
besar

tinggi

>3%/rh
EF < 35%

mencapai
< 35o/o

ekokardiografi berkisar pada 60-857o, sedangkan


pemeriksaan den gan radionuklir kira-kira berkisar antara

80-907o. Selain untuk diagnostik, tes-tes ini dapat


dimanfaatkan juga untuk stratifikasi prognostik serta

evaluasi pasien-pasien yang telah dilakukan


revaskularisasi dengan PCI atau CABG. Sampai dengan

dilakukannya pemeriksaan noninvasif

ini

dapatlah

digolongkan pasien-pasien ke dalam risiko ringan, sedang


dan tinggi.

Angiografi Koroner

Dengan Pemeriksaan-pemeriksaan Noninvasif


dan lnvasif Didapat Klasifikasi Pasien Menjadi
Pasien-pasien yang asimtomatik diberlakukan menyerupai
APS juga, hanya dengan skala yang lebih nngan; misalnya

bila EKG istirahatnya normal, tidak memerlukan stres eko


lagi, apalagi adanya PJK sudah dibuktikan sebelumnya.

Apabila ia termasuk high risk pada pemeriksaanpemeriksaaan non invasif, maka pemeriksaan invasif
mungkin diperlukan juga.

Pemeriksaan ini diperlukan pada pasien-pasien yang tetap


pada APS klas III-IV meskipun telah mendapat terapi yang

cukup, atau pasien-pasien dengan risiko tinggi tanpa

PENATALAKSANAAN

mempertimbangkan beratnya angina. serta pasien-pasien


yang pulih dari serangan aritmia ventrikel yang berat sampai

cardiac arrest, yang telah berhasil diatasi. Begitu pula


perlunya pemeriksaan ini pada pasien-pasien yang
mengalami gagal jantung dan pasien-pasien yang

Tujuan pengobatan terutama adalah mencegah kematian


dan terjadinya seranganjantung (infark). Sedangkan yang
Iainnya adalah mengontrol serangan angina sehingga
memperbaiki kualitas hidup.

1738

I(ARDIOI.OGI

Pengobatan terdiri dari farmakologis dan non


farmakologis seperti penurunan BB dan lainlain, termasuk
terapi reperfusi dengan cara intervensi atau bedah pintas

(cABG).

Bila ada 2 cara terapi yang sama effcL.tif rnengontrol


angina, maka yang dipilih adalah terapi yang terbukti lebih

efektif mengurangi serangan jantung dan mencegah


kematian. Pada stenosis LM misalnya, bedah pintas
koroner lebih dipilih karena lebih efektif mencegah
kematian.
Memang kebanyakan terapi farmakologis adalah untuk
segera mengontrol angina dan memperbaiki kualitas hidup,
tetapi belakangan telah terbukti adanya terapi farmakologis
yang mencegah serangan jantung dan kematian juga,
misalnya statin sebagai obat penurun lemak darah.

itu barulah menghilangkan simtom dan perbaikan kualitas


hidup
Maka diantara obat-obatan ini yang berguna untuk
mengurangi angka kematian dan serangan jantung adalah
aspirin, penurunan kolesterol darah terutama dengan
statin, penyekat beta dan ACE inhibitors. Obat-obatan
lainnya berguna untuk mengurangi angina dan merperbaiki

kualitas hidup.

NON FARMAKOLOGIS

Di samping pemberian oksigen dan istirahat pada waktu


datangnya serangan angina misalnya, maka hal-hal yang
telah disebut di atas seperti perubahan lfe sryLe (termasuk

berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB,


penyesuaian diet, olahraga teratur dar.r lain-lain, merupakan

FARMAKOLOGIS

.
.
.
.
.
.

Aspirin.
Penyekat beta.

Angiotensin converting eLLZ))me, terutama bila disertai


hipertensi atau disfungsi LV.
Pemakaian obat-obatan untuk penurunan LDL pada
pasien-pasien dengan LDL >130 mg/dl (target <l00mg/
dl).

anglna.

Reperfusi miokardium dapat dilakukan dengan herbagai

Antagonis kalsium atau nitrat jangka panjang dan

cara, seperti intervensi koroner dengan balon dan

kombinasinya untuk tambahan beta bloker apabila ada


kontra indikasi penyekat beta, atau efek samping tak

pemakaian s/enr sampai operasi CABG. Terapi ini pun


haruslah mengutamakan tujuan penurunan mortalitas serta
mengurangi serangan jantung akut, bukan hanya untuk
mengurangi simtom dan memperbaiki kualitas hidup.
Misalnya pasien APS/asimtomatik dengan kelainan l-2
pembuluh koroner, haruslah diberikan terapi farmakologis
yang intensif dulu sebelum dikatakan bahwa terapi yang
diberikan telah gagal; sedangkan pasien dengan kelainan
pembuluh LeJt Main (LM) sebaiknya langsung dilakukan
reperfusi karena memang terbukti menurunkan mortalitas.

dapat ditolerir atau gagal.

REPERFUSI MIOKARDIUM

Nitrogliserin semprot/sublingual untuk mengontrol

" Klopidogrel untuk pengganti aspirin


.

terapi non farmakologis yang dianjurkan.


Semuanya ini, termasuk pula perlunya pemakaian obat
secara terus menerus sesuai yang disarankan dokter dan
mengontrol faktor risiko, serta bila perlu mengikutsertakan
keluarganya dalam pengobatan pasien, dapat dimasukkan
juga ke dalam pendidikan (educ'crtions).

yang

terkontraindikasi mutlak.

Antagonis Ca nondihidropiridin long acting sebagai


pengganti penyekat beta untuk terapi permulaan.
Terapi terhadap faktorrisiko.

Penurunan kolesterol LDL pada pasien yang jelas


menderita PJK atau amat dicurigai menderita PJK
dengan LDL antara 100- 129 mg/dl, dengan target LDL
adalah di bawah 100 mg/dl . Ada beberapa pilihan terapi
untuk ini, yaitu:
- Gaya hidup atau dengan obat-obatan.

Keadaan-keadaan yan g memerlukan reperfusi miokardi um

padaAPS:

Coronary artety bypass graft (CABG) pada stenosis

LM.
Coronury ctrtert bltpass graft pada lesi 3 pembuluh

Penurunan BB dan peningkatan latihan pada

sindrom me[abolik.
Pengobatan terhadap peninggian lipid Iainnya atau

faktor lisiko nonlipid lainnya; pemakaian asam


nikotinat atau asam fibrat untuk peninggian

trigliserid atau HDL yang rendah.


BB pada obesitas meskipun pasien tidak
menderita hipertensi, dislipidemia ataupun DM.

Penurunar-r

Sudah disebutkan di atas bahwa dalam terapi APS


ataupun PJK asimtomatik, maka tujuan yang utama adalah
pencegahan seran gan j antun g (infaLk) dan kemati an ; setel ah

terutama bila ada disfungsi LV.


Coronary ctrtery bv-pass gra.fi pada pasien lesi 2
pembuluh dan proksimal LAD dan disfungsi LV atau
terdapat iskemia pada tes non invasif.

Percutaneous corowtry intervention pada pasienpasien dengan lesi 2 pembuluh dan proksimal LAD
yang anatomis baik untLrk PCI, apalagi bila LV fungsi
normal dan tidak diobati untuk DM.
Percutaneous coronaty intervention atau CABG pada
pasien-pasien dengan

lesi 1 atau 2 pembuluh, tanpa

1739

ANGINA PEKTORIS STABIL

proksimal LAD yang bermakna, tetapi terdapat"viable"

mula diperiksa 4-8 minggu, lalu tiap 4-6 bulan.

Dalam penatalaksanna lanjutan (follow zp) pasien-

miokardium cukup luas atau pada tes noninvasif

termasuk risiko tinggi.

Coronary artery bypass graft pada pasien-pasien


LAD, yang

dengan lesi 1-2 pembuluh tanpa proksimal

pulih dari aritmia ventrikel yangberat/cardiac arrest.


Percutaneous coronary intervention atau CABG pada
pasien yang sebelumnya sudah reperfusi PCI tapi
mengalami restenosi s, sedangkan terdapat miokardium
"viable" luas ataupun pada tes noninvasif termasuk

pasien APS/asimtomatik mungkin diperlukan lagi tes-tes


noninvasif, seperti direkomendasikan sebagai berikut:

1.

Foto toraks bila terdapat tanda-tanda CHF yang baru

2.

Penilaian kembali fungsi sistolis LV ataupun analisa segmental LV dengan cara eko ataupun radionuklir pada

atau pemburukannya.

pasien-pasien dengan CHF yang baru timbul maupun


perburukannya ataupun timbulnya tanda-tanda infark

high risk

Percutaneous corondry intentention atau CABG pada

pasien-pasien yang tak berhasil baik dengan terapi


konservatif, sedangkan reperfusi dapat dikerjakan
dengan risiko cukup baik
Reperfusi transmiokardial secara operatif dengan
menggunakan laser

Terapi lain yang dapat dipertimbangkan pula pada


pasien-pasien APS atau asimtomatik PJK adalah:
. Pemberian hormon pengganti pada pasien perempuan
posmenopos, bila tak ada KI.
. Penurunan BB pada obesitas, sekalipun tak ada
hipertensi, DM dan hiperlipiemia.

Terapi asam folat pada pasien dengan peninggian

.
.

homosistein.
Suplemen vit E dan C.
Identifikasi adanya depresi dan pengobatannya yang
adekuat.

PENATALAKSANAAN LANJ UTAN


Belum tersedia pedoman yang jelas mengenai evaluasi
lanjutan pasien-pasien APS dan asimtomatik PJK yang
telah berhasil distabilkan dengan pengobatan atau/
dilakukan terapi revaskularisasi. Beberapa pedoman yang
tersusun berikut ini merupakan hasil pengalaman, namun
dapat dipakai untuk pegangan.
Yang lebih dulu perlu dievaluasi antara lain adalah
bagaimana keluhan-keluhan AP nya, apakah bertambah
Iagi atau tetap stabil, apakah timbul tanda-tanda disfungsi
LV yang baru, apakah terapi yang ada dapat ditolerir
dengan baik dan bagaimana kontrol faktor risikonya serta
adanya komorbid baru yang memerlukan terapi tapi
mengganggu stabilitas AP nya.
Setelah anamnesis yang teliti mengenai perubahan dan
perkembangan simtom, maka pemeriksaan harus dilakukan
dengan hati-hati pula mengeani adanya tanda-tanda gagal

jantung, aritmia, perubahan-perubahan pada pembuluh


darah tepi lainnya, perubahan-perubahan pada jantung
dan lain-lain.

Pemeriksaan laboratorium terutama ditujukan pada


faktor risiko, seperti gula darah dan glikosilat Hb pada
DM, profil lipid, fungsi ginjal,dan lain-lain. Profil lipid mula-

3.

jantung.
Ekokardiografi pada pasien-pasien dengan tanda-tanda
kelainan katup yang baru atau perburukan kel. Katup
yang ada,

Uji treadmill pada pasien-pasien yang belum dilakukan


revaskularisasi, yang menunjukkan perubahan-perubahan
klinis yang cukup berarti dan mampu melakukan stres tes

dengan exercise, sedangkan pada yang tak mampu


melakukan ex ercise test diTakukan pemeriksaan radionukliq
dan tak menunjukkan perubahan-perubahan EKG seperti
WPW, electrical pacing rhythme dan ST depresi lebih dari
1 mm pada EKG istirahat.

REFERENSI
Chatterjee K. Recognition and management of patients with stable
angina pectoris. In: Goldman L, Brqunwald E, eds. Primary
Cardiology. Philadelphia: WB Saunders, 1998:234-56.
Levine HJ. Difficult problems in the diagnosis of chest pain. Am

Heart J 1980;100: 108-18.

A clinically relevant classification of chest


discomfortUetterl. J Am Coll Cardiol 1983;l:574-5.
Wise CM, Semble EL, Dalton CB. Musculoskeletal chest wall
syndromes in patients with noncardiac chest pain: a study of
100 patients. Arch Phys Med Rehabil 1992;73 147-9.
Diamond GA.

Campeau

L. Grading of

angina pectoris Iletter]. Circulation

1976l'54 522-3.
Alonso J, Permanyer-Miralda G, Cascant P, Brotons C, Prieto L,
Soler-Soler J. Measuring functional status of chronic coronary
patients. Reliability, validity and responsiveness to clinical
change of the reduced version of the Duke Activity Status Index
(DASI). Eur Heart I 1997;18 414-9.
Wexler L, Brundage B, Crouse J, et al. Coronary artery calcification: pathophysiology, epide miology, imaging methods, and
clinical implications. A statement for health prof'essionals tiom
the American Heart Association Writing Group. Circulation
1996:94 l 17 5-92.
Califf RM, Armstrong PW, Carver JR, D'Agostino RB, Strauss WE,

Stratification of patients into high, medium and low risk


subgroups for purposes of risk factor management. J Am Coll
Cardiol 1996127: 1007- 19.
Peels CH, Visser CA, Kupper AJ, Visser FC, Roos JP Usefulness of
two-dimensional cardiography for immediare detection of myo-

cardial iskhaemia in the emergency room. Am J Cardiol


1990;65:687-91.
Roger VL, Pellikka PA, Oh JK,

Miller FA, Seward JB, Tajik

Stress echocardiography. Part

I. Exercise

AJ.

cardiography:

1740

techniques,implementation, clinical applications, and correlations. Mayo Clin Proc 1995;70:5-15.


Marwick TH Use of stress ekokardiograficardiography for the prognostic assessment of patients with stable chronic coronary artery disease. Eur Heart J 1997;18(Suppl D):D97-101.
Chuah SC, Pellikka PA, Roger VL, McCully RB, Seward JB. Role of
dobutamine stress ekokardiograficardiography in predicting
outcome in 860 patients with known or suspected coronary
artery disease. Circulation 1998;97 :117 4-80.
Severi S, Picano E, Michelassi C, et al. Diagnostic and prognostic
value of dipylidamole cardiography in patients with suspected
coronary artery disease. Comparison with exercise electrocar-

diography. Circulation 1994;89: 1 160-73


Berman DS, Hachamovitch R. Risk assessment in patients with
stable coronary artery disease: incremental value of nuclear
imaging. J Nucl Cardiol 1996;3:54l-9.
McTavish D, Faulds D, Goa KL. Ticlopidine. An updated review of
its pharmacology and therapeutic use in platelet-dependent disorders. Drugs I 990;40:238-59.
Hirsh J, Dalen JE, Fuster Y Harker LB, Patrono C, Roth G. Aspirin
and other platelet-active drugs. The relationship among dose,
effectiveness, and side effects. Chest 1995;108:2475-57S

Antiplatelet Trialists Collaboration. Collaborative overview of


randomised trials of antiplatelet therapy, l: prevention of death,
myocardial infarction and stroke by prolonged antiplatelet
therapy in various categories of patients BMJ 1995;308:81I

06.

L, Lindholm LH, Niskanen L, et al Effect of angiotensinconverting-enzyme inhibition compared with conventional


therapy on cardiovascular trorbidity and mortality in hy
pertension: the Captopril Prevention Project (CAPPP) randomized trial. Lancet 1999:353:61 I -6.
Pitt B, Waters D, Brown WV, et al. Aggressive lipidJowering therapy
Hansson

with angioplasty in stable coronary artery


disease.Atorvastatin versus Revascularization Treatment Investigators. N Engl J Med 1999;341:70-6.
Serruys PW, Unger F, Sousa JE, et al. Comparison of coronary
compared

artery bypass surgery and stenting for the treatment of


multivessel disease. N Engl J Med 2001:'344:1117-21.
Mosca L, Collins P, Herrington DM, et al Hornrone replacement
therapy and cardiovascular disease: a statement for healthcare
profes.rionals from the American Heart Association Citculation
20011104:499-503.
Heart Protection Study Collaborative Group. MRC/BHF Heart
Protection Study of antioxidant vitamin supplementation in
20536 high-risk individuals: a randomised placebo-controlled trial.
Lancet 1002:360:22-33.
Marie YP, Danchin N, Durand JF, et al. Long-term prediction of

IqRDIOI.OGI

major ischemic events by exercise thallium-201 single-photon


emission computed tomography. J Am Coll Cardiol 1995;26:87986.
Hachamovitch R, Berman DS, Shaw LJ, et al. Incremental prognostic value of myocardial perfusion SPECT for the prediction of
cardiac death: differential stratification for risk of cardiac death
and myocardial infarction [published erratum appears in Circulation 1998;98: 1201. Circulation 1998:'97 :533-43.
Geleijnse ML, Elhendy A, van Domburg RT, et al. Prognostic value
of dobutamine-atropine stress technetium-99m sestamibi perfusion scintigraphy in patients with chest pain. J Am Coll Cardiol
1996:'28:441 -54.
Stratmann HG, Tamesis BR, Younis LT, Wittry MD, Miller DD
Prognostic value of dipyridamole technetium-99m sestamibi
myocardial tomography in patients with stable chest pain who
are unable to exercise. Am J Cardiol 1994;13:647-52.
Margolis JR, Chen JT, Kong Y, Peter RH, Behar VS, Kisslo JA The
diagnostic and prognostic significance of coronary artery calcification: report of 800 cases. Radiology 1980;137:609-16.
Pryor DB, Shaw L, Mccants CB, et al. Value of the history and
physical examinations in identifying patients at increased risk
for coronary artery disease. Ann Intern Med 1993;118:81-90.
Chaitman BR, Bourassa MG, Davis K, et al. Angiographic prevalence of high-risk coronary artery disease in patient subsets
(CASS). Circulation 1981 t64:360-l
Evans AT Sensitivity and specificity of the history and physical
examination for coronary artery disease [letter; comment].
Ann Intern Med 1994;120:344-5.
Lonn EM,Yusuf S, Jha P, et al. Emerging role of angiotensin-converting enzyme inhibitors in cardiac and vascular protection.

Circulation 1994l'90:2056-69.
Miranda CP, Lehmann KC1 Froelicher VF. Correlation between resting ST segment depression. exercise testing. coronary angiography, and long-term prognosis. Am Heart J 199l;122:1617'
28.
Aronow WS. Correlation of ischemic ST-segment depression on the
resting electrocardiogram with new cardiac events in 1,106 patients over 62 years of age. Am J Cardiol 19891.64:232-3.
Diamond GA. Staniloff HM, Forrester JS, Pollock BH, Swan
HJ.Computer-assisted diagnosis in the noninvasive evaluation
of ptients with suspected coronary disease. J Am Coll Cardiol
I 983: 1 :444-55.
Morise AP, Diamond GA. Comparison of the sensitivity and specificity of exercise electrocardiography in biased and unbiased
populations of men and women Am Heart J 1995;130:741-7.
Taylor HA, Deumite NJ, Chaitman BR, Davis KB, Killip T, Rogers
WJ. Asymptomatic left mai.n coronary artery disease in the
Coronary Artery Surgery Study (CASS) registry. Circulation

1989:19:l17 I -9.

274
INEARK MIOI(ARD AKUT DENGAT.I ELEVASI ST
Idrus Alwi

PENDAHULUAN

PATOFISIOLOGI

Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu


diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju
mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 307o dengan
lebih dari separuh kematian terjadr sebelum pasien
mencapai Rumah Sakit. Walaupun laju mortalitas

Infark mikard akut dengan elevasi ST (STEMD umumnya

menurun sebesar 30Vo dalam 2 dekade terakhir, sekitar

di antara 25 pasien yang tetap hidup pada

perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah

IMA.

Infark miokard akut dengan elevasi ST

(SZ

elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan


bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang

terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa


IMA dengan elevasi ST (Gambar 1

elevasi ST dan

stabil{$

lnfark miokard

Spektrum
Nekrosis

.1,0

mioslt

Petanda: Tn & CK-l\,4B tdk terdeteksi


EKG: ST J atau STlsementara
atau norma

,1,0S

,10s

,259

Tn1+/CK-MB menrngkat
ST1 atau STJ atau inversi T
dapat berkembang menjadi glombang O

Risiko kematiani 5 B%

Fungsi ventrike kir:i


Disfungsi tak
NT Pro BN

ada sebelumnya. Stenosis arteri

koroner berat yang

berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI


karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.

STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara


cepat pada lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini
dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi,
dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak
aterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan
jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis.
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur
jika mempunyaifibrous cap yarrg tipis dan inti kaya lipid
(lipid rich core).Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri dari fb rin rich red trombus,yang dipercaya menjadi
dasar sehingga STEMI memberikan respons terhadap

dan 2).

Angina pektoris tidak

terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak


setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah

Dlsfungsi sistolik, di atasi LV

ngkat

Gambar 1. Bentang sindrom koroner akut mulai dari angina


pektoris tak stabil tanpa nekrosis miokard yang terdeteksi sampai
infark miokard ekstensif (Dikutip dari Fox Heart 2004;90:698706)

terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis

(kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi


trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang
poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan
konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Seteiah
mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai
afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein
adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekui
multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda
secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasl.

t741

1742

I(ARDIOITOGI

Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga


disebabkan'oleh oklusi arteri koroner )/ang disebabkan
oleh emboli koroner. abnormalitas kongenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.
hterue.s iarm:[olog !

";il

Gambar 3. Pembentukan trombus dan intervensi farmakologis

dalam kaskade koagulasi (Dikutip dari: Brouwer, et al. Heart


2004;90:581-8)

Gambar

Patogenesis Sindrom koroner akut (Dikutip dari

Antman, et al)

lnteraksi agregasi trombosit (fibrinogen, glikoprotein llblllla) dan


aktivasi kaskade koagulasi menghasilkan trombin yang menginduksi
pembentukan bekuan yang kaya fibrin. Fibrin akan berikatan dengan

Gambar 2 menunjukkan kronologis interaksi antara pasien dan


dokter sepanjang progresi pembentukan plak, onset dan

faktorXlll yang meningkatkan kekuatan bekuan (c/of). Antikoagulan

komplikasi STEMI dengan relevansi tatalaksana pada masingmasing tahap Potongan longitudinal arteri menggambarkan timeline
pi'oses aterogenesis dari arteri no!'mal (1 ); (2) Lesi inisiasi dan
akumulasi lipid ekstraselular dalam intima; (3) evolusi stadium
fibrofatty, (4) lesi progresi dengan ekspresi prokoagulan dan
lemahnya fibrous cap Sindrom koroner akut berkembang jika
plak vulnerabel dan risiko tinggi mengalami disrupsi pada fibrous

ucts; LMWH, low molecular weight heparin; OAC, oral


anticoagulans; PT, prothrombin (ll),;T, Thrombin (lla); UFH,

oral menghambat produksi faktor koagulasi, obat lain menghambat


aksi faktor pembekuan yang teraktivasi Target fibrinolisis adalah
degradasi fibrin, melalui plasmin. FDP,s fibrin degradation prod-

unfractionated heparin; vWF, von Willebrand factor.

cap. (5) ciisrupsi plak adalah rangsangan terhadap trombogenesis.


Resorpsi trombus dilanlutkan dengan akumulasi kolagen dan

pertumbuhan sel otot polos

(6)

Selanjutnya disrupsi plak

vulnerabel atau plak risiko tinggi mengakibatkan pasien mengalami


nyeri iskemia akibat penurunan aliran arteri koroner epikardial
yang terlibat Heduksi aliran dapat menyebabkan oklusi trombus
total (bawah kanan) atau oklusi trombus subtotal (bawah kiri)
Pasien dengan nyeri iskemia dapat berupa elevasi ST atau tanpa
elevasi segmen ST pada EKG. Pasien dengan elevasi ST sebagian
besar berkembang menjadi infark miokard gelombang Q, sebagian
kecil berkembang menjadi infark miokard gelombang nonQ. Pasien
tanpa elevasi segmen ST dapat mengalami angina pektoris tak
stabil atau infark miokard akut tanpa elevasi ST. Sebagian besar
pasien dengan NSTEMI berkembang menladi infark miokard non
Q, dan sebagian kecil menjadi infark miokard gelombang Q Dx =
diagnosis; NQI\ll, non-O-wave myocardial infarction; QwMl = Qwave myacardia! infarction; CK-IVB = MB isoenzyme of creatine

kinase

Gambar 4. Gambar potong lintang afteri koroner pada pasien


dengan ateroma ekstensif (Dikutip dari:
706)

Fox Heart. 2004;90:698-

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan rissr.re


factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X

diaktivasi. mengakibatkan konversi protrombin menjadi


trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi
fibnn. Pembentukan trombus pada kaskade koagulasi dapat

DIAGNOSIS

dilihat pada Gambar 3. Arteri koroner yang terlibat

Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan


anamn-esis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG
adanya elevasi ST >2mm. minimal pada 2 sandapan

(culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus


yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.

L743

INFARK MIOKAR.D AKUT DENGAN ELEVASI ST

prekordial yang berdampingan atau > 1mm pada 2 sandapan

ekstremitas. Perneriksaan enzim jantung, terutama


troponin T yang meningkat, lnemperkuat diagnosis, namun

keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu


menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam
tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah

Diagnosis banding nyeri dada STEIVII ant-ara lain


perikarditis akut, emboii paru, diseksi aorta akul,
kostokondritis.dan gangguan gastrointestinai. Nyeri dada
tidak selalu ditemukan pada STEN{I. In
miokard akuf
dengan elevasi ST (STEMD tempa nyeri lebih sering dijumpai
pada diabetes melitus dan usia lan-iut

time is muscle.

PEMERIKSAAN FISIS
ANAMNESIS
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat
(gelisah). Seringkali ekstrernitas pucat disertai keringat
dingin. Kombinasi nyeri dada substernai >30 menit dan
banyak keringat dicurigai kuiit adanya STEMI. Sekitar
seperempat pasien infark an reli or me mp un y ai mani f-estas i

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu


dilakukan anarnnesis secara cermat apakah nyeri dadanya
berasal dari jantung atau dari luarjantung. Jika dicurigai
nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan
apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianarnnesis pula apakah ada riwayat infark ntiokard
sebelurnnya serta iaktot--faktor risiko antara lain hipefiensi,
diabetes melitus. dislipidemra. merokok, stres serta riwayat
sakit jantun-u koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus
sebelum terjadi STENII, seperti aktivitas fisik berat, stres
emosi atau penyakit medis atau beclah. Walaupun STEMI
bisa terjadi sepiurjang hari atau malam, variasi sirkadian
dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah
bangun tidur.

pertama dan split paradoksikal buni,i jantung kedua. Dapat


ditemukan murmur midsistolik atau iate sistolik apikal yang
bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral
dan pericardiaL Jriction ruD. Peningkatan suhu sampai
380C dapat dijumpai dtriam nringgu peftama pusca STEMI.

NYERI DADA

ELEKTROKABDIOGRAM

Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu


dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita
IMA atau trdak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah,
dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi
yang berat.
Nyeri dada tipikal (an-eina) merupakan gejala kardinal
pasien IMA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri
dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada
lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam
pengelolaan pasien IMA.

Silat nyeri dada angina sebagai berikut:


. Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
. Sjf'at nyeri: rasa sakit. seperli ditekan, rasa terbakar,
ditindih benda berat, seperli ditusuk, rasa diperas, dan

.
.
.
.

dipelintir.
Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapatjuga ke ieher,
rahang bawah, gigr, punggrrng/interskapula, perut, dan
dapatjuga ke lengan kauan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat
nrtrat.
Faktor pencetus: latihtm fisik, stres emosi, udara dingin,
dan sesudah makan.
Gejala yang menyefiai: mual. muntah, sulit bernapas,
keringat dingin, cemas dan lemas.

hiperakti vitas s araf simp atis (ta.krkardia cian /atau h j poten si.1
dan hampir setengah pasien inlark inferior nienunjukkan

hiperaktivitas parasirnpatis (bradikardia dan/atau


hipotensi)
Tanda lisis Jain pada dislungsi ventrikr-rlal adalah Srl

dan 53 gallop, penurunan intensitas bunyi jiintung

Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pacla


semua pasien dengan nyeri dada atali keiuhan yang
dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera
dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pcmerik-saan EKG
di IGD merupakan landasan dalam menentukan keputusan
terapi karena bukti kuat menunjukkan ganrbaran ele,,'asi
segmen ST dapat mengidentilikasi pasien yang benlanfaai
untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKC
awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapr pasien lcrap
simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan intervai 5-10 rnenit atau pemantauan EKG i2

sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk


mende[eksi potensi perkembangan elevasi segmen S'I.
Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus

diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada


ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elcvasi
segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada
EKG yang akhimya didiagnosis infnrk miokard gelombang

Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard


gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total.
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak
kolateral, biasanya tidak diternukan elevasi segmen ST.
Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tak

t744

I(ARDIOI.OGI

stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi


ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut
infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menuniukkan gelombang Q atau
hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara
segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu
ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark
(mural/transmural) sehingga terminologi IMA gelombang

Q dan non Q menggantikan IMA mural/nontransmural.


Pada gambar 5 dapat dilihat EKG yang menyebabkan
STEMI anterior ekstensif

dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai

petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai


kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan inijuga akan

diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi


ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera
mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas
normal menunjukkan ada nekrosis j antung (infark m i okard).
. CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali
normal dalam 2-4hai. Operasi jantung, miokarditis dan

kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.

cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini


meningkat setelah 2 jamblla ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih
dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5- l0 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:

Mioglobin: dapat dideteksi

satu

jam setelah infark dan

mencapai puncak dalam 4-8 j am.

Creatinin kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila


ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36
jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lttctic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48
jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari
dan kembali normal dalam 8- 14 hari.

Gambar 5. EKG menunjukkan STEMI anterior ekstensif.

Garis horizontal menunjukkal upper reference limit


(URL) biomarker jantung pada laboratorium kimia klinis.
URL adalah nilai yang mempresentasikan 99th percentile

LABORATORIUM

kelompok kontrol tanpa STEMI.


Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah
leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam

Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian


menghambat implementasi terapi repefusi.

beberapa jam setelah onset nyei dan menetap selama 3-7


hari. Leukosit dapat mencapai 1 2.000- 1 5.000/u1.

PETANDA (B'OMAR KEH) KERUSAKAN JANTUNG

PENATALAKSANAAN

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase


(CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn I

Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada

dalam tatalaksana pasien STEMI namun tidak boleh

Biomarker

Berat
Molekul,
Da

data-data dari evidence based berdasarkan penelitian

Rentang

waktu untuk
meningkat

Rerata Waktu
Elevasi Puncak
(Non reperfusi)

Waktu Kembali ke
Rentang Normal

24 jam
24 jam

48-72 jam
5-1 0 hari

Sering Digunakan di Praktek Klinik

CK-MB
cTnl
cTnT

86 OOO
23 500
33 000

3-12 jam

3-12 jam
3-12 jam

Jarang Digunakan di Praktek Klinik


1-4iam
17 800

Myoglobin
CK-MB tissue isoform
CK-MM tlssue lsoform

000
BO 000

86

12

jam-2 hari
6-7 jam

jam

2-6 iam

'18

1-6 jam

12 jam

5-'14 hari

24 hari
Tak diketahui
38 jam

Da = Daltons; CK-MB = MB isoenzyme of creatine klnase; cTnl = cardiac troponin l; cTnf = cardiac
troponin
CK-Ml\l = MM isoenzyme of creatine klnase (Modifikasi dari Adams et al. Circulation
1993;88:750)

t745

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST

Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada

50

-_""'"-"

t
t^^

;
Io
=5
E

Card ac ropon

Cardiac

-------

10

koponrn

CK-MB

no

no repedut

o.

repetrusion

repe{ls

on

CK-MB -reperfusion

penanganan pasien biasanya bukan selama transportasi


ke Rumah sakit, namun karena lama waktu mulai on,rer nyeri
dada sampai keputusan pasien untttk meminta pertolongan.
Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada
masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai
pentingnya tatalaksana dini.
n olitik pra hospital hanya bis a dikerj akan
ada paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk
menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali

Pemberian fibri

jika
2

komando medis online yang bertanggungjawab pada


1B
Days After onset of STEMI

pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian trombolitik


prahospital ini belum bisa dilakukan.
U e of
Reference Conto Group

URL =991h ?o

Gambar 6. Biomarker jantung pada infark miokard akut dengan


elevasi ST (STEMI)

randomizecl clinical trial yang terus berkembang ataupun


konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat.
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi

strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian


antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat
penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat
beberapa pedoman (guicleline) dalam tatalaksana IMA
dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan
ESC tahun 2008. Walaupun demikian perlu disesuaikan
dengan kondisr sarana/fasilitas di tempat masing-masing

Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9- I 1 : Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan
terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter
(PCI primer). Implementasi strategi ini berryariasi tergantung
cara transpoftasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah
sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu
transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus
lainnya. tetapi sasaran waktu iskemia total adalah 120 menit.
Terdapat 3 kemungkinan:

1) Jika EMS mempunyai kemampuan memberikan


fibrinolitik dan pasien memenuhi syarat terapi.
fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit

2)

senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang

kardiologi intervensi).

3)
TATALAKSANA AWAL

Talaksana Pra Rumah Sakit


Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2
kelompok komplikasi umum yaitu :komplikasi elektrikal
(aritmia) dan komplikasi mekanik (p ump fai I u r e).
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada
STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak,
yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onsef
gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pefiama.
Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari
pertolongan medis
. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat

.
.

melakukan tindakan resusilasi


Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai
fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat
yang terlatih.
Melakukan terapi reperfusi

sejak EMS tiba.


Jika EMS tidak mampu memberikan f,rbrinolisis sebelum
ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit yang
tak tersedia sarana PCI, hospitcl door to needle time

harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai


indikasi trbrinolitik.
JikaEMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum
ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan
sarana PCI, hospital door-to-balloon time harus dalam
waktu 90menit.

Tatalaksana di Ruang Emergensi


Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai
STEMI mencakup: mengurangi/menghilangkan nyeri dada,

identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi


reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan
yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan
cepat pasien dengan STEML

TATALAKSANA UMUM
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan
saturasi oksigen afieri <90Vo. Pada semua pasien STEMI
tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama.

1746

Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan

ISRDIOLOGI

aman

dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis


dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada,
NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard

dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai


oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner
yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri
dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena.
NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan
hipertensi atau edema paru.

Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan


tekanan darah sistolik <90 mmHg atau pasien yang
dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior
pada EKG JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi).
Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan

phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam


sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi njtrat.

penyekat beta IY selain nitrat mungkin efektif. Regimen


yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung

>60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg,


interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari I 0 cm dari

diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir


dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg
tiap 6 jam selama 48 jam, dan diianjutkan I 00 mg tiap 12
Jam.

Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan
mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang
menjadi pump .failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah

door-to-needle (atau medical contact-to-needle)

ti.me

untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30

Mengurangi/Menghilangkan Nyeri Dada

nrenit atau door-to-balloon (atau

Mengurangi/menghilangkan nyeri dada sangat penting.


karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban

contact-to-balloon) time untuk PCI dapat dicapai dalam

medical

90menit. (GambarT)

Jantung.

SELEKSI STRATEGI REPERFUSI

Morf in

Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan


merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada
pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan
dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis
total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar
melalui penurunan simpatis, sehingga terj adi pooling vena
yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arleri.
Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai
dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan
IV dengan NaCl 0,97o. Morfin juga dapat menyebabkan
efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok

jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark


posterior. E1'ek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian
atropin 0,5 mg IV.

Aspirin

Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis


terapi reperfusi antara lain:

Waktu Onset Gejala


Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan
prediktor penting luas infark dan ourc'ome pasien.
Efektivitas obat I'rbrinolisi s dalam menghancurkan trombus
sangat tergaotung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang
diberikan daiam

jamperleuna (terutama dalam jam pertama)

terkadang menghentikan infark miokard dan secara


dramatis menurunkan angka kematian.

Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang


mengalami infark menjadi paten, kurang banyak tergantung
pada lama gejala pasien yang menjalani PCL Beberapa
laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan
waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah
2 sampai 3 jam setelah gejala.

Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang


dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindrom
koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit

The Task Force on the Management of Acute


Myocardial InJarction oJ the European Society of
Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target

yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A'2 dicapai


dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-32-5 mg
di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral

medical contact-to-baLkton atau door-to-balloort time


dalam waktu 90 menit.

dengan dosis 75- I 62 mg.

Risiko STEMI

Penyekat Beta

Beberapa model telah dikembangkan yang membantu


dokter dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI.
Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi,

Jika morfin tidzk berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian

1747

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST

Panel A

EMS on-scene

- Encourage 12-lead ECGs


- Consider prehospital fibrinolytic if
capable and EMS{o-needle within 30 min

Goalsl

after

5 min
symptom onset

EMS

1 min

on

SCENC

F-

*_A

Within
8 min

F-----

EMS Transport

Prehospitalfibrinolysis:

Ey9--t,g1:!gd, EMS-to-Balloon within 90

min

Patient selftrasport: Hospital Door-to-Baloon within 90 min

EMS-to-Needle within 30 min


Total ischemic time: Within 120 min-

*Gold Hour= First 60 minutes

Gambar 7. Pilihan transportasi pasien dengan STEMI dan terapi reperfusi awal (Dikutip dari: Antman , et al)

seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti kiinis


menunjukkan strategi PCI lebih baik.

Langkah 2: Tentukan apakah fibrinolisis atau strategi


invasiflebih disukai

Jika presentasi kurang dari 3 jam dan tidak

Bisiko Perdarahan
Pemilihan terapi reperfusi juga melibarkan lisiko
perdarahan pada pasien. r-ika terapi reperfusi bersama-sama

tersedia PCI dan fibrinolisis), semakin tinggi risiko


perdarahan derrgan terapi fibrinolisis, semakin kuat
keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tak tersedia, manfaat

terapj reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan


manfaat dan risiko.

Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke


Laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardioiogi intervensi merupakan
penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan. Untuk
fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian
menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi
farmakologis . Jlka composite end pointkematian, infark

miokard rekuren non fatal atau strok dianalisis.


superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark

miokard non fatal berulang.


Langkah-langkah Penilaian dal am Memilih Terapi Reperfirsi
pada Pasien STEMI.

Langkah 1: Nilai waktu dan risiko


. Waktu sejak onser gejala

.
.
.

RisikoSTEMI
Risiko fibrinolisis

Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke


laboratorium PCI yang mampu.

ada
keteriambatan untuk strarategi invasif, tidak ada prelerensi
untuk strategi lain.

Fibrinolisis umumnya lebih disukai jika:


. Presentasi awal <3 jam atau kurang dari onset gejala
dan keterlambatan ke strategi invasif.
. Strategi invasif bukan merupakan pilihan
. Laboratorium kateterisasi belumtersedia
. Kesulitan akses vaskular
. Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang mampu.
. Terlambat untuk strategi invasif:
- Transport jauh
- (D oo r-to - ba.lloon'l( door-to -nee dle') time leblh dari
I

jam.

Medical contact-to-balloon atatt door-to-ballon


rime lebih dari 90 menit.

Strategi invasif umumnya lebih disukai jika:


. LaboratoriumPCl yang mampu tersedia dengan backup
surgical Medical contact-to-balloon. alatt door-toballoon rirrc <90 menit
- (Door-to-baLLoon)-(door-to-needle') time <1 jam.
. Risiko tinggi STEMI

.
.
.

Syokkardiogenik
Klas Killip lebih atau sama dengan 3
Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk meningkatnya
risiko perdarahan dan pergarahan intrakranial.
Presentasi terlambat
Onset gelala >3 jam yang lalu

Diagnosis STEMI tidak yakin.

t748

I(ARDIOLOGI

kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial

Panel B

inJ'arction (TIMI ) grading system'.


. Grade 0 menunjukkan oklusi total(.compLete occLusion)
pada arteri yang terkena infark.
. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras
melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskularLate Hosp Care
& pencegahan
sekunder

Receiving

distal.

Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang

mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan aliran


yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
Cracle 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang
mengalami inf'ark dengan aliran normal

Target terapi reperlusi adalah aliran TIMI grade 3, karena


perfusi penuh pada arteri koroner yang terkena infark
Gambar 8. Strategi terapi reperfusi pada STEMI (Dikutip dari:
Antman, et al)

menunjukkan hasil yang lebih baik dalam mernbatasi luasnya


infark, memperlahankan fungsi ventnkel kui dan menurunktrn
laj u mortalitas jangka pendek dan jangka panjang'

PERCIITANEOUS CORONARY INTERVENTION

kematian di rumah sakit sampai 50clc jika diberikan dalam

Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relatif


(Pcr)
Intervensi koroner perkutan, biasanyn angioplasti dan/ataLL
stentitlg tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer.
PCI ini ef'ektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI
jika dilakukan dalam beberapa jam perlama inlhrk miokark

akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam


membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan

jam pertama onset geJala STEMI, dan manfaat ini


dipertahankan sampai 10 tahun. Setiap hitungan menit dan
pasien 1,ang mendapat terapi dalam 1-3 jam onset gelala

akan rnendapat nranfaat yang terbaik. \\'alaupun Iaju


mortalitas lebih tinggi jika dibandingkan terapi dalam 1-3

jam, kontraindikasi terapi fibrinolitik pada STEMI dapat


clilihat pada tabel 3, terapi rnasih tetap bermanfaat pada

fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalarn hal

banyak pasien 3-6jam setelah onsel infark, dan beberapa


manfaattampaknyamasih ada sampai 12 jam, temteulajika
nyeri ilada masih ada dan segmen ST masih tetap elevasi
pada sandapan EKC yang belum menunjukkan gel omban g
Q yang baru. Jika dibandingkan dengan PCI pada STEMI
(PCI primer). fibrinolisis secara tlmuln lnerupakan sn'ategi
repelfusi yan-u lebih disukai pada pasien pada jam pertama
ge;ala. jika perhatian terhadap masalah logistik seperti

personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan


tersedianya sarana, hanya di beberapa Rumah Sakit.

antisipasi keterlambatan sekurang-kurangnya

dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang


yang lebih baik. Dibandingkan trombolisrs, PCI prirner lebih
dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75
tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah
ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah

lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat

transportasi pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada


1

jam antara

waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan


implementasi PCI.

REPERFUSI FARMAKOLOGIS

Fibrinolisis
Jika tidak ada kon[raindikasi, terapi fibrino]isis idealnya
diberikan dalam 30 menit sejak masuk (doo r-to-needle time
< 30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat

patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat


fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen actfuator (tPA).
streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA).
Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi
plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan

trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan


spesifik fibrin seperti tPA dan non spesifik fibrin seperti
streptokinase.

Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri


koroner yang terlibat (culprit) digambarkan dengan skala

Tisswe pla,sminogen

activator (tPA) dan aktivator

plasminogen spesifik tibrin lain seperti rPA dan TNK lebih


efektif daripada streptokinase dalan-r mengembalikan

perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan


memperbaiki survival sedikit lebih baik.

OBAT FIBBINOLITIK

Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik tibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pejanan
selanjutnya karena terbentr-Lknya antibodi. Reaksi alergi
tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang
murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah,
manfaat pertama diperli hatkan pada' G I S S I - I t r hl.

t749

INFARK MIOKARD AKUT DENGAT{ ELEVASI ST

Streptokinase
T%(menit)
Alergenik
Spesifik fibrin
Resisten PAt-1
Bolus
Dosis

15-25
ya

Reteplase
(r-PA)

Tenecteplase
(TNK-PA )

4-8
Tidak

1 1-14
Tidak

Tidak

++

Tidak
15 mg bolus,
dilan jutkan
dengan 0,75
mg/kg (max 50
mg) lebih dari
30 menit,
dilanjutkan 0,5
mg/ kg (maks
35 mg) lebih
dari 1 jam

Dobel
'10 U bolus,
dua kali,
interval 30
menit

Satu
berdasarkan BB

t|$li*

Tidak
1,5 juta unit
lebih dari 3060 menit

fissue P I a s m i n oge n Act i v ator (tPA, altep lase)


Global Use of Strategies to Open Coronaty Arteries-l
(GUSTO-

1)

17-20

trial menunj ukkan penurunan mortalitas 30 hari

sebesar l5Vo pada pasien yang mendapat tPA


dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih mahal
daripada SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih

tinggi.

<60k9
60-69
70-79
80-89

30mg

kg 35 mg
kg 40 mg
kg 45 mg

>90k9

50mg

onset gejala <12 jam dan EKG 12 sandapan konsisten


dengan infark miokard posterior.

2.

Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan


pemberian terapi fibrinolitik pada pasien dengan gejala
STEMI mulai dari <l2jam sampu24 lwnyangmengalami
gejala iskemiayarrg terus berlanjut dan elevasi ST 0,1
mV pada sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial

yang berdampingan atau sekurang-kurangnya

Reteplase (Retavase)
INJECT trial mentnjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO

III tial,

dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang

lebih panjang.

sandapan ekstremitas.

Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi


nyeri dada dan penurunan elevasi ST >507o dalam9} menit
pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkan hasil
pada graft vena, sehinggajikapasien pasca CABG datang
dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah
percutaneous c oronary inte rvention (PCI)

Tenekteplase (TNKase)
Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin

dan resistensi tinggi tehadap plasminogen activator

inhibitor (PAI-l). Laporan awal dari TIMI l0

menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 ,flow


dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan
dengan tPA.

TATALAKSANA DI RUMAH SAKIT

tccu
Aktivitas. Pasien harus istirahatdalam

12

jampertama.

Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark

lndikasi Terapi Fibrinolitik


Klas I
1. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik

harus

dilakukan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12


j am dan elevasi ST >0, I mV pada sekurang-kurangnya
2 sandapan prekordial atau sekurang-kurangnya 2
sandapan ekstremitas.
2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus
diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12
jam dan LBBB baru atau diduga baru.

miokard, pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan


mulut dalam 4-12 jampertama. Diet mencakuplemak<307o
kalori total dan kandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu
harus diperkaya dengan makanan yang kaya serat, kalium,
magnesium dan rendah natrium.

Bowels. Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan


narkotik untuk menghilangkan nyeri sering megakibatkan
konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di samping
tempat tidur, diet tinggi serat dan penggunaan pencahar

ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat


(200mg/hari).
Sedasi. Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk

Klas ll

l.

Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan


pemberian terapi fibrinolitik pada pasien STEMI dengan

mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang.


Diazepam5 mg, oksazepam l5-30 mg, atarlorazepaml,S-2
mg, diberikan 3 atau 4 kali sehari biasanya efektif.

1750

KARDIOI.OGI

menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan


abciximab dan stenting dengan plasebo dan stenting.

Kontraindikasi absolut

.
.
.
.
.
.
.

Setiap riwayat perdarahan intraserebral


Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
Terdapat neoplasma intrakranial ganas (primer atau
metastasis)
Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut
dalam 3 jam
Dicurigai diseksi aorta
Perdarahan aktif atau diatesis berdarah ( kecuali mens )
Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam
3 bulan

Kontraindikasi relatif

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali


Hipedensi berat tak terkendali saat masuk (TDS > 180
mgHG atau TDD > 1 '10 mmHG)
Riwayat strok iskemik sebelumnya > 3 bulan, demensia,
atau diketahui patologi intrakranial yang tidak termasuk
kontraindikasi
Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (> '10 menit)
atau operasi besar (< 3 minggu)
Perdarahan internal baru (dalam2-4 minggu)
Pungsi vaskular yang tak terkompresi
Untuk streptase/anisreplase: riwayat penggunaan > 5 hari
sebelumnya atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat
tnl

Kehamilan
Ulkus peptikum aktif
Penggunaan antikoagulan baru: makin tinggi INR makin
tinggi risiko perdarahan

TDS = tekanan darah sistolik TDD = tekanan darah diastolik

Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau


revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada
kelompok abciximab dan stent.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek

klinis adalah unfractionated heparin. Pemberian UFH IV


segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat

trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK),

membantu trombolisis dan memantapkan dan


mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis
yang direkomendasikan adalah bolus 60 Uikg (maksimum
4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 Ulkg perjam (maksimum
1000 U/jam). A ctivated partial thromboplasti.n time selama
terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5 -2 kali.
Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah

low-molecular-weight heparin (LMWH). Pada penelitian


ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh
memperbaiki mortalitas, reinfark di Rumah Sakit dan iskemia
refrakter di Rumah Sakit.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri
berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombus
mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial
merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik. Pada

keadaan

ini

harus mendapat terapi antitrombin kadar

terapeutik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat,


dilanjutkan terapi warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan.
Pada penelitian

TERAPI FARMAKOLOGIS

Antitrombotik
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase
awal STEMI berdasarkan bukti klinis dan laboratoris bahwa
trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis.
Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark.

Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien


menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar
pada STEMI. Manfaat antiplatelet terutama aspirin pada

STEMI dapat dilihat

pada

Antiplatelets Trialists' Collabo-

ration. Data daihampir 20.000 pasien dengan infark miokard


yang berasal dari 15 randomised trial diklmptlkan dan
menunjukkan penurunan relatif laju mortalitas sebesw 27 Vo,

dai l4,2%o pada kelompok kontrol dibandingkan 10,4Vo pada


pasien yang mendapat antiplatelet. Pada penelitian ISIS-2
pemberian aspirin menurunkan moftalitas vaskular sebesar

OASIS-6, faondaparinux dosis rendah,

suatu obat anti-Xa tak langsung, lebih superior


dibandingkan dengan plasebo atau heparin dalam
mencegah kematian dan reinforce pada 5436 pasien yang
mendapat terapi fibrinolitik. Pada subset pasien yang

menjalani PCI, fondaparinux dikaitkan dengan insiden


kematian atau infark berulang dalam 30 hari lebih tinggi
(l7o) yang tidak bermakna. Hal ini dikaitkan dengan
terjadinya trombosis kateter, sehingga perlu diberikan
tambahan bolus heparin intra vena, untuk mencegah
trombosis kateter
Pada pasca STEMI dengan onset <12 jam yang tidak
diberikan terapi reperfusi, atau pasien STEMI dengan onset > l2 jam aspirin, klopidogren dan obat anti trombin
(heparin, enoksapirin atau fondaparinux) harus diberikan
sesegera mungkin.,

Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi

infark nonfatal sebesar 49Vo.


Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada
semua pasien STEMI yang mengalami PCI. Pada pasien
yang mengalami PCI dianjurkan dosing loading 600 mg.

menjadi: yang terjadi segerajika obat diberikan secara akut

Sedangkan yang tidak menjalani PCI dosis loading 300 mg


dilanjutkan dosis pemulihan 75 mg/hari.

keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,

Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk

menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.


Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk

23Vo dan

mencegah komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang

dan yang diberikan dalam jangka panjang

jika

obat

diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark.


Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki
mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark dan

L75t

INFARK MIOI(ARD AKUT DENGAN ELEVASI ST

sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi in-

hibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi


(pasien dengan gagaljantung atau fungsi sistolik ventrikel

kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi orlostatik atau


riwayat asma).

lnhibitor

nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis


lebih buruk. Progresivitas dilataii dan konsekuensi
klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan
vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi <40Vo,
tanpa melihat ada tidaknya gagaljantung, inhibitor ACE
harus diberikan.

ACE

Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan

Gangguan Hemodinamik

manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan

Gagal pemompaan (pump failure) mertpakan penyebab


utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan
nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan

penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE,


AIRE dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE
yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan

risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior. riwayat


infark sebelumnya, dan/atau fungsi ventrikel kiri menurun
global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek
terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien
dengan hemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan
tekanan darah sistolik >100 mmHg). Mekanisme yang
melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark
dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark
berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat
inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama
pasien STEMI. Pemberian inhibitorACE harus dilanjutkan
tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung,
pada pasien dengan pemeriksaan intoging menunjukkan
penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien
hipenensif. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal
jantung termasuk data dari penelitian klinis pada pasien

dengan tingkat gagal pompa dan morlalitas, baik pada awal

(10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang


tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi
jantung 53 dan 54 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering
dijumpai kongesti paru.

TATALAKSANA EDEMA PARU AKUT

.
.
.

sering membutuhkan support sirkulasi dengan


inotropik dan vasopressor dan/atau intra-aortic balloon counterpulsation untuk menghilangkan edema

KOMPLIKASI STEMI

pulsation untuk menghilangkan edema paru dan

remodeling ventrikular dan umumnya mendahului


berkembangnya gagaljantung secara klinis dalam hitungan

bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark


ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini

berasal dari ekspansi infark al; slippage serat otot, disrupsi


sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalamzona

nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen


noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional
dan elongasi zona infark. Pembesaran ruangjantung secara
keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark,
dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel
kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang

paru dan mempertahankan perfusi adekuat.


Nitrogliserin sublingual atau intravena.'Nitrogliserin
diberikan per oral 0,4-0,6 mg tiap 5- 10 menit, kemudian
intravena l0-2Oug/menit kecuali tekanan darah sistolik
<100 mmHg atau >30 mmHg di bawah baseline.Pasten
dengan edema paru dan tekanan darah rendah sering
membutuhkan support sirkulasi dengan inotropik dan

vqsopressor dan/atau intra-aortic ballonon counter-

Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial

dalam bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang


mengalami infark dan non infark, Proses ini disebut

InhibitorACE, mulai dengan titrasi inhibitorACE jangka


pendek dengan dosis awal rendah (6,25 mg captopril)
diberikan pada pasien edema paru kecuali tekanan darah
sistolik <100mmHg atau >30 mmHg dibawahbaseline.
Pasien dengan edema paru dan tekanan darah rendah

STEMI menunjukkan bahwa angiotensin receptor


blockers (ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan
fungsi ventrikel kiri menurun atau gagaljantung klinis yang
tak toleran terhadap inhibitor ACE.

Terapi 02 untukmempertahankan saturasi oksigen >90%.


Morfin sulfat: diberikan 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat
diulang tiap 5-10 menit sampai dosis total 20m9.

mempertahankan perfusi adekuat.

Diuretik: furosemid 40-80 mg bolus intravena, dapat


diulang atau dosis diringkatkan setelah 4 jam, atau
dilanjutkan dengan drip kontinyu sampai mencapai
produksi urin I mUkgBB/jam.
Penyekat beta harus diberikan sebelum pulang untuk
pencegahan sekunder. Pada pasien yang tetap mengalami
gagal jantung selama perawatan, dosis kecil dapat
dimulai, dengan titrasi bertahap pada saat rawat jalan.
Antagonis aldosteron jangka panjang harus diberikan
pada pasien STEMI tanpa disfungsi ginjal bermakna
(kreatinin harus <2,5 mg/dl pada pria dan < 2 mgldl
pada perempuan) atau hiperkalemia (K harus < 5 mEq/
liter) yang sudah mendapat inhibitor ACE dosis terapi.

1752

mempunyai fraksi ejeksi ventrikel

KARDIOI.OGI

kiri

<40Vo dan

mengalami gagal jantung simtomatik atau diabetes.


Ekokardiografi harus dilakukan dengan segera untuk
memperkirakan fungsi ventrikel kiri dan ventrikel kanan
dan menyingkirkan komplikasi mekanis.

SYOK KARDIOGENIK
Hanya l0% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat
masuk, sedangkan 9O7o terjadi selama perawatan. Biasanya

pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik


mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.

Tatalaksana Syok Kardiogenik

.
.
.
.

Terapi 02.

Jika tekanan darah sistolik < 7OmmHg dan terdapat


tanda syok diberikan norepinefrin.
Jika tekanan darah sistolik <90mmHg dan terdapat tanda
syok diberikan dopamin dosis 5- l5 ug/kgBB/menit.
Jika tekanan darah <90 mmHG namun tidak terdapat
tanda syok diberikan dobutamin dosis 2-20 uglkgBB/

Revaskularisasi arteri koroner segera, baik PCI atau

jam IMA dan ideal untuk revaskularisasi yang dapat


dikerjakan dalam l8 jam syok, kecuali jika terdapat

.
.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Pertahankan preloadventrikel kanan:

Loading volume (infus NaCl 0,9 Vo): I -2 liter cairan jam


I selanjutnya 200 ml/jam (target tekanan atrium kanan
>10mmHg(13,6cmH20).
Hindari penggunaan nitrat dan diuretik

Pertahankan sinkroni A-V dan bradikardia harus


dikoreksi.

jantung sekuensialA-V pada blokjantung derajat


tinggi simtomatik yang tidak respons dengan atropin.
Diberikan inotropik jika curah jantung tidak meningkat
setelah loading volume
Kurangi afterload ventrikel kanan sesuai dengan

Pacu

disfungsi ventrikel kiri.


Pompa balon intra-aortik

Vasodilatorarteri(nitropruspid,hidralazin)
PenghambatACE
Reperfusi

Obattrombolitik
Percutaneous coronary intervention (PCI) primer
Coronary artery bypass graft (CABG) (pada pasien
tertentu dengan penyakit multivesel)

merut.
CAB G direkomendasikan pada pasien <75 tahun dengan
elevasi ST atau LBBB yang mengalami syok dalam 36

Tatalaksana lnfark Ventrikel Kanan

kontraindikasi atau tidak ideal dengan tindakan invasif.


Terapi trombolitik diberikan pada pasien STEMI dengan
syok kardiogenik yang tak ideal untuk terapi invasif
dan tidak mempunyai kontraindikasi trombolisis.
Intra aortic ballon pump (IABP) direkomendasikan
pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tidak
membaik dengan segera dengan terapi farmakologis,

bila sarana tersedia

INFARKVENTRIKEL KANAN
Sekitar sepertiga pasien dengan infark inferoposterior
menunjukkan sekurang-kurangnya nekrosis ventrikel
kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas
primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara
klinis meyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat
(distensi vena jugularis, tanda Kussmaul's, hepatomegali)
dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada
sandapan EKG sisi kanan, terutama sandapan V4R, sering
dijumpai dalam 24 jam pertama pasien infark ventrikel

kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk


mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat
dan upaya untuk meningkatkan tampilan dengan reduksi
Pulmonary Capillary Wedge (PCW) dan tekanan arteri

pulmonalis.

ARITMIA PASCA STEMI


Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien
segera setelah onset gejala. Mekanisme aritmia terkait
infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,
gangguan elektrolit, iskemia dan perlambatan konduksi di
zona iskemia miokard.

EKSTRASISTOL VENTRIKEL
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis yang tidak sering,
dapat terjadi pada hampir semua pasien STEMI dan tidak

memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam


mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI
dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan
rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan
hipomagnesimia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel
pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum diupayakan
mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2,0 mmol,/liter.

TAKIKARDIA DAN FIBRILASI VENTRIKEL


Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardia dan fibrilasi
ventrikular dapat terjadi tanpa tanda bahaya aritmia
sebelumnya.

Ta

kikardia Ventri kel (ve ntri cul a r tachyca rd ia = YTI


Thkikardiaventrikel (VT) polimorFftyang menetap (lebih

t753

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI ST

dari 30 detik atau menyebabkan kolaps hemodinamik)


harus diterapi dengan DC shock unsynchoronized
menggunakan energi awal 200 J; jika gagal harus
diberikan shockkedta 200-300 J, danjika perlt shock

dengan disfungsi ventrikel

kiri berat dan

gagal

Jantung.

Fibrilasi atial sustained dan fluter atrial pada pasien

ongoing iskemia tetapi tanpa gangguan

ketiga 360 J.

hemodinamik diberikan terapi dengan satu atau lebih


obat berikut:
- Penyekat beta lebih disukai, kecuali ada

Takikardia ventrikel (VT) monomorfik, menetap yang


diikuti dengan angina, edema paru atau hipotensi
(tekanan darah <90 mmHg) harus diterapi dengan DC
shock synchoronized energi awal 100 J. Energi dapat
ditingkatkan jika dosis awal gagal.
Takikardiaventrikel (VT) monomorfftyang tidak disertai
angina, edema paru atau hipotensi (tekanan darah <90
mmHg) diterapi dengan salah satu regimen berikut:
- Lidokain: bolus I -1,5 mgikg. Bolus tambahan 0,50,75 mg/kg tiap 5-10 menit sampai dosis loading

kontraindikasi
DiltiazematauverapamillV
Kardioversr synchronized dengan shock 200 J

untuk fibrilasi atrial dan 50 J untuk fluter,

total maksimal 3 mg/kg. Kemudian loading

didahului anestesi umum singkat atau sedasi


jika memungkinkan.
Fibrilasi atrial atau fliter sustained tanpa gangguan
hemodinamik atau iskemia, diindikasikan rate
control. Pasien dengan fibrilasi atrial atau fluter
sustained harus diberikan antikoagulan.

dilanjutkan dengan infus 2-4 mg/menit (30-50 ug/


kg/menit).

Disopiramid: bolus 1-2 mg/kg dalam 5-10 menit,


dilanjutkan dosis pemeliharaan I mg/kg/jam.
Amiodaron: l50mginfus selama 10-20menitatau 5
mUkgBB 20-60 menit, dilanjutkan infus retap 1 mg/

menit selama 6 jam dan kemudian infus pemeliharaan


0,5 mg/menit.
Kardioversi elektrik syrz choronized dimulai dosis 50
J (anestesi sebelumnya).

Aritmia Supraventrikular
Takikardia supraventrikalar reentrant diberikan terapi
menurut urutan berikut:
. Massage sinus karotis

setelah

Fibrilasi Ventrikel

Fibnlasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless


diberikan terapi DC shock unsynchoronized dengan
energi awal200 J jika tak berhasil harus diberikan sftock
kedua 200 sampai 300 J danjika perh shockketiga 360

(Klas I).

Fibrilasi Atrium
Fibrilasi atrial sustained dan fluter atrial pada pasien
dengan gangguan hemodinamik atau ongoing iskemia
harus diterapi dengan I atau lebih cara berikut:
. Kardioversi synchronized dengan shock 200 J untuk
fibrilasi atrial dan 50 J untuk fluter atrial. didahului
dengan anestesi umum singkat atau sedasi jika
memungkinkan.

Fibrilasi atrial yang tak respons terhadap kardioversi


elektrik atau berulang setelah periode ritme sinus,
dianjurkan penggunaan terapi antiaritmia yang
ditujukan untuk penurunkan respons ventrikel. Satu
atau lebih obat farmakologi berikut dapat dipakai

Amiodaron

mg jika diperlukan.
Penyekat beta IV dengan metoprolol 2,5-5 mgtiap2-5
menit sampai dosis total 15 mg lebih dari 10-15 menit
atau atenolol 2,5-5 mg lebih dari menit sampai dosis
total 10 mg dalam 10-15 menit.

Diltiazem

IV 20 mg (0,25 mg/kg) lebih dari

menit

dilanjutkan infus I 0 mg/jam

Digoksin IV, mungkin ada perlambatan sekurangkurangnya l jam sebelum efek farmakologis muncul (815 mcg/kg (0,6-l mg pada pasien dengan berat badan
70 kg).

Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless


yang refrakter terhadap syok elektrik diberikan terapi
amiodaron 300 mg atau 5 mg/kg, IV bolus dilanjutkan
pengulangan shock unsynchoronized. (Klas IIa)

IV 6 mg dalam l-2 detik; jika tak respons


l-2 menit dapat diberikan l2 mg IV; diulang 12

Adenosin

Asistol Ventrikel
Resusitasi segera mencakup kompresi dada, atropin,
vasopresin, epinefrin dan pacu antung sementara harus
diberikan pada asistol ventrikel

Bradiaritmia dan Blok


Bradikardia sinus simtomatik, sinus pauses >3 detik atau
bradikardia dengan frekuensi jantung <40 kali/menit
disertai hipotensi dan tanda gangguan hemodinamik
sistemik diberikan terapi atropin 0,5-l mg. Jika bradikardia
menetap dan dosis atropin sudah mencapai 2 mg, harus
diberikan pacu jantung transkutaneus atau transvenous.

IV

Digoksin IV untuk pengendalian laju respons


ventrikel (rate control) terutama untuk pasien

KOMPLIKASI MEKANIK

'

Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel,

L754

KARDIOLTOGI

ruptur dinding ventrikel.


Penatalaksanaan : operasi
Skor
Faktor Risiko (Bobot)

Risiko/Mortalitas
30 hari (%)

PERIKARDITIS

Aspirin (160-325 mg/hari): merupakan pengobatan

.
.

terpilih.
Indometasin,ibuprofen
Korlikosteroid.
,

PROGNOSIS
Terdapat beberapa sistem
pasca IMA:

untuk menentukan prognosis

Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis

Frekuensi jantung > 100 mm Hg (2 poin)


Klasifikasi Killip ll-lV (2 poin)
Berat < 67 kg (1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)
Skor risiko = total poin (0-14)

0 (0,8)
1 (1,6)

2 (2,2)
3 (4,4)

4 (7,3)
5 (12,4)
6 (16,1)
7 (23,4)
8 (26,8)
>8 (35,9)

bedside

sederhana; 33 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik

Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring


hemodinamik indeks jantung dan pulmonary capillary
wedge pressure (PCWP)

TIMI risk score adalah

Usia 65-74 tahun (2 poin)


Usia > 75 tahun (3 poin) '
Diabetes mellitus/hipertensi atau angina
(1 poin)
Tekanan darah sistolik < 100mm Hg
(3 poin)

sistem prognostik paling akhir yang

menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan


fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi
trombolitik.

REFERENSI
Van de Werf, Bax.J, Betriu.A, et al. Management of acute
myocardial infrction in patients presenting with persistent STsegment elevation. Eur Heart I 2008;29:2909-45
Antman EM, Anbe DT, Armstrong PW et al. ACC/AHA Guidelines
for the Management of Patients Wirh ST--Elevation

Myocardial lnfarction A Report of the American College of

Cardiology/American Heart Association Task Force on


Practice Guidelines (Committee to Revise the 1999 Guidelines

Management of Patients With Acute Myocardial


Infarction) Circularion 2004;l 10:588-636
Antman E, Braunwald E. ST elevation myocardial infarction:

for the

il
ilt
IV

Mortalitas

Definisi

Klas

("/"1

Tak ada tanda gagal jantung kongestif


+ 53 dan/atau ronki basah
edema paru
syok kardiogenik

6
17

30-40
60-80

management In: Braunwald E, Zipes DP, Libby P, eds. Heart


Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7th ed. Phila-

delphia, Pa: WB Saunders12005:1167-226.


Rogels WJ, Canto JG Lambrew CT. et al. Temporal trends in the
treatment of over 1.5 million patients with myocardial infarction in the US from 1990 through 1999: the National Registry

of Myocardial Infarction 1, 2 and 3. J Am Coll Cardiol.


2000;36:2056-63.

Klas
I

il
ilt
IV

lndeks Kardiak
(L/min/m'z)
>
>
<
<

2,2
2,2
2,2
2,2

,l?,T!, Mortaritas (%)


< 18

>18

< 18
> 18

23

PCWPr pulmonary capillary wedge pressure

51

Wiviott SD, Morrow DA, Giugliano RP, et al. Performance of


thethrombolysis in myocardial infarction risk index for early
acute coronarysyndrome in the National Registry of Myocardial Infarction: a simple risk index predicts mortality in both
ST and non-ST elevation myocardial infarction J Am Coll
Cardiol

2003 ;4 I :365A-366A.

National Cholesterol Education Program. Third Report of the Expert


Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel IIl. NIH publication
No. 02-5125. Bethesda, Md: National Heart, Lung, and Blood

t755

INEARK MIOKARD AKUT DENGAI{ ELEVASI ST

Institute, 2002. Guidelines, Related Toois, and Patient Information, available at: http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/cholesterol/
index.htm. Accessed

April 12,

2003.

Eisenberg MJ, Topol EJ. Prehospital administration of aspirin in


patients with unstable angina and acute myocardial infarction.

Arch Intern Med. 1996;1 56: 1506-10.


Fibrinolytic Therapy Trialists' (FTT) Collaborative Group. Indications for fibrinolytic therapy in suspected acute myocardial
infarction: collaborative overview of early mortality and major
morbidity results from all randomized trials of more than 1000
patients. Lanc et. 1994;343 :3 1 l-22.
Gruppo Italiano per lo Studio della Streptochinasi nell'Infarto
Miocardico (GISSI). Effectiveness of intravenous thrombolytic
treatment in acute myocardial infarction. Lancet. 1986;l:39'l402.
The American Heart Association in collaboration with the International Liaison Committee on Resuscitation. Guidelines 2000 for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care: Part 7: the era of reperfusion: section 1: acute coronary

syndromes (acute myocardial infarction). Circulation.


2000; 1 02(suppl I ),1l1 2-I-203.
Antithrombotic Trialists' Collaboration. Collaborative meta-analysis
of randomized trials of antiplatelet therapy for prevention of
death, myocardial infarction, and stroke in high risk patients.

8MJ.2002;324:11-86.
De Luca G, Suryapranata H, Zijlstra F, et al, for the ZWOLLE
Myocardial Infarction Study Group. Symptom-onset-to-balloon
time and mortality in patients with acute myocardial infarction
treated by primary angioplasty. J Am Coll Cardiol 2003 42:9917.

N. Poldermans D. er al Acure myocardial


infarction. Lancet 2003.36I:847-58
De Luca G, Suryapranata H, Ottervanger JP, et al Time de)ay to
treatment and mortality in primary angioplasty for acute
Boersma E, Mercado

myocardiaI infarction: every minute of delay counts.


Ci r c ulatio n. 2004:109 :1223-5.
The Task Force on the Management of Acute Myocardial
Infarction of the European Society of Cardiology.
Management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J.2003;24:2866

Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et al TIMI risk score


for ST-elevation myocardial infarction: a convenient, bedside,

clinical score for risk assessment at presentation: an intravenous nPA for treatment of infarcting myocardium early Il trial
substudy. Circulation. 2000;102 2031-7

multicentre trial: PRAGUE-2. Eur Heart J.2003;24:94-104


Lincoff AM, Califf RM, Van de Werf P, et al, for the Global Use of
Strategies To Open Coronary Arteries (GUSTO) Investigators.
Mortality at 1 year with combination platelet glycoprotein IIb/
IIIa inhibition and reduced-dose fibrinolytic therapy vs conventional fibrinolytic therapy for acute myocardial infarction:
GUSTO V randomized trial. JAMA. 2002;288:2130-5
Widimsky P, Groch L, Zel(zko M, et al. Multicentre randomized
trial comparing transport to primary angioplasty vs immediate

thrombolysis vs combined strategy for patients with acute


myocardial infarction presenting to a community hospital without a catheterization laboratory: the PRAGUE study. Eur Heart

J. 2000:21:823-31
Grines CL, Browne

Kfl

Marco J, et al, for the Primary Angioplasty

in Myocardial Infarction Study Group. A

comparison of
immediate angioplasty with thrombolytic therapy for acute
myocardial infarction. N Engl J Med. 1993;328:673-9.
Schcimig A, Kastrati A, Dirschinger J, et al, for the Stent versus
Thrombolysis for Occluded Coronary Arteries in Patients with
Acute Myocardial Infarction Study Investigators Coronary
stenting plus platelet glycoprotein IIb/llIa blockade compared

with tissue plasminogen activator in acute

myocardial
infarction. N EngL J Med. 2000;143:385-91.
Andersen HR, Nielsen Tl Rasmussen K, et al. tbr the DANAMI-2
Investigators. Thrombolytic therapy vs plimzu'y percutaneous
coronary intervention for myocaldial inl'arction in patients
presenting to hospitals wirhour on-site cardiirc sufgery: a
randomized controlled trial. JAMA. 2002;281 1943-51.
Andersen HR, Nielsen TT, Rasmussen K, et al, for the DANAMI-2
Investigators. A comparison of coronary angioplasty with
fibrinolytic therapy in acute myocardial infarction. N Engl J Med
2003;349: '733-42.

Hochman JS, Sleeper LA, Webb JG et al, for the Should We


Emergently Revascularize Occluded Coronaries for Cardiogenic
Shock (SHOCK) Investigators. Early revascularization in acute
myocardial infarction complicated by cardiogenic shock N Engl
J Mecl. 1999:341: 625-34.

Keeley EC, Boura JA, Grines CL. Primary angioplasty versus


intravenous thrombolytic therapy for acute myocardial
infarction: a quantitative review of 23 randomised trials.
Lancet. 2003:.361 :1 3-20.
Berger PB, Ellis SG Holmes DR, et al. Relationship between deJay in
performing direct coronary angioplasty and early clinical
outcome ln patients with acute myocardial infarction: results
from the Global Use of Strategies To Open Occluded Arteries in

Acute Coronary Syndromes (GUSTO-IIb) triaL. Circulation.

Lee KL, Woodlief LH, Topol EJ, et al, for the GUSTO-I

999: I 00:

4-20.

Investigators Predictors of 30-day mortality in the era of


reperfusion for acute myocardial infarction: results from an
international trial of 41,021 patients. Circulation.

Juliard JM, Feldman LJ, Golmard JL, et al. Relation of mortality of

I995:9I:I659-68.

Am J CardioL. 2003:91: 1401-5.


Suryapranata H, Ottervanger JP, Nibbering E, et al. Long term

Bonnefoy

E, Lapostolle F, Leizorovicz A, et al., for

the
Comparison of Angioplasty and Prehospital Thrombolysis in
Acute Myocardial Infarction study group Primary angioplasty
versus prehospital fibrinolysis in acute myocardial infarction: a
randomised stldy. Lancet. 2002;360:825-9.
Steg PG, Bonnefoy E, Chabaud S, et al. Impact of time to treatment

on mortality after prehospital fibrinolysis or

primary

angioplasty: data from the CAPTIM randomized clinical trial.


Circulation. 2003 ; 1 08:285 1-6
Widimsky P, Budesinsky T, Vorac D, et al. Long distance transport

for primary angioplasty vs immediate thrombolysis in

acute

myocardial infarction: final results of the randomized national

primary angioplasty during acute myocardial infarction to


door-to- Thrombolysis In Myocardial Infarction (TIMI) time.

outcome and cost-effectiveness of stenting versus balloon


angioplasty for acute myocardial infarction. Heart.
2001:85:661 -1

DA, et a1, for the Controlled Abciximab


and Device Investigation to Lower Late Angioplasty Complications (CADILLAC) Invesrigators. Comparison of angioplasty
with stenting, with or without abciximab, in acute myocardial
infarction. N Engl J Med. 2002;346:957-66.
The TIMI Research Group. Immediate vs delayed catheterization
Stone GW, Grines CL, Cox

and angioplasty following thrombolytic therapy for acute


A restits JAMA 1988;260:2849-

myocardial infarction: TIMI II

t756
58.

Hochman JS, Sleeper LA, White HD, et al, for the SHOCK
Investigators: Should We Emergently Revascularize Occluded
Coronaries for Cardiogenic Shock: one-year survival following
early revascularization for cardiogenic shock. JAMA.

2001 285:190-2.

Y Sleeper LA, Cocke TP, et al, for the SHOCK Investigators. Early revascularization is associated with improved
survival in elderly patients with acute myocardial infarction

Dzavik

complicated by cardiogenic shock: a report from the SHOCK

Trial Registry. Eur Heart J.2003;24:828-37


Montalescot G, Barragan P, Wittenberg O, et al, for the ADMIRAL

(Abciximab before Direct Angioplasty and Stenting in


Myocardial Infarction Regarding Acute and Long-Term
Follow-up). lnvestigators. Platelet glycoprotein IIb/IIIa

inhibition with coronary stenting for acute myocardial


infarction. N Engl J Med. 2001;344:1895-903.
Braunwald E, Antman E, Beasley J, et al. ACC/AHA 2002 guideline
updatefor the management of patients with unstable angina and

non-ST-segment elevation myocardial infarction: summary


article: a report of the American College of Cardiology/
American Heart Association Task Force on Practice Guidelines
(Committee on the Management of Patients With Unstable
Angina). J Am Coll Cardiol.20O2;40:1366.
Gupta M, Chang WC, Van de Werf F, et al, for the ASSENT II

Investigators. International differences in in-hospital


revascularization and outcomes following acute myocardial
infarction: a multilevel analysis of patients in ASSENT-2. Ear
Heart J. 2001',24:1640-50.
Gibson CM, Karha J, Murphy SA, et al, for the TIMI Study Group.
Early and long-term clinical outcomes associated with

reinfarction following fibrinolytic administration in the

thrombolysis in myocardial infarction trials. J Am Coll Cardiol.


2003 42:1 -16.
ISIS-2 (Second International Study of Infarct Survival) Collaborative Croup. Randomised trial of intravenous streptokinase, oral
aspirin, both, or neither among 17,187 cases of suspected acute
myocardial infarction : ISIS -2. Lanc et. 1 98 8 ;2: 349-60.
Bertrand ME, Rupprecht HJ, Urban R et al. Double-blind study of
the safety of clopidogrel with and without a loading dose in

combination with aspirin compared with ticlopidine in


combination with aspirin after coronary stenting : the Clopidogrel

Aspirin Stent International Cooperative Study (CLASSICS).


C i r c ulat i o n 2O00 tl 02:624-9.
Mehta SR, Yusul S, Peters RJ, et al, for the Clopidogrel in Unstable
angina to prevent Recurrent Events trial (CURE) Investiga-

tors. Effects of pretreatment with clopidogrel and aspirin


followed by long-term therapy in patients undergoing
percutaneous coronary intervention: the PCI-CURE study.
Lancet. 2001:358:527 -33.
Steinhubl SR, Berger PB, Mann JT

III, et al, for the CREDO


(Clopidogrel for the Reduction of Events During Observation)
Investigators. Early and sustained dual oral antiplatelet therapy
following percutaneous coronary intervention: a randomized
controlled trial. JAMA. 2O02; 288:241 I-20.

Patrono C, Bachmann F, Baigent C, et al. Expert consensus


document on the use of antip'latelet agents: The J45k Force on

KARDIOI.OGI

the Use of Antiplatelet Agents in Patients

With

Atherosclerotic Cardiovascular Disease of the European


Society of Cardiology. Eur Heart J.200425:166-81
Levine GN, Kern MJ, Berger PB, et al, for the American Heart
Association Diagnostic and Interventional Catheterization
Committee and Council on Clinical Cardiology. Management
of patients undergoing percutaneous coronary revascularization.
Ann Intern Med. 2003:139:123-36.
Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP)
Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) final

report. C ircuLation. 2002;106:3143-421.


Pitt B, Zannad F, Remme WJ, et al, for the Randomized Aldactone
Evaluation Study Investigators. The effect of spironolactone
on morbidity and mortality in patients with severe heart
failure. N Engl J Med. 1999;341:'709-11 .
Pfeffer MA, McMurray JJ, Velazquez EJ, et al, for the Valsartao in
Acute Myocardial Inlarction Trial Investigators Valsartan,
captopril, or both in myocardial infarclion complicated by heart
failure, left ventricular dysfunction, or both. N Engl J Med.
2003;349:1893-1906.
Yusuf S, Zhao F, Mehta SR, et al, ibr the Clopidogrel in Unstable
Angina to Prevent Recurrent Events Trial Investigators Effects of clopidogrel in addition to aspirin in patients with acute
coronary syndromes without ST-segment elevation N Engl J

Med 2001:345:494-502.
Brouwer MA, van den Bergh PJ, Aengevaeren WR, et al. Aspirin

plus coumarin versus aspirin alone in the prevention of


reocclusion after fibrinolysis for acute myocardial infarction:
results of the Antithrombotics in the Prevention of Reocclusion

In Coronary Thrombolysis (APRICOT)-2 Trial. Circulation.


2002: 1 06:65 9-65 .
Yusuf S, Sleight P, Pogue J, et al, for the Heart Outcomes Preven-

tion Evaluation Study Investigators. Effects of


angiotensin-convertingenzyme inhibitor, ramipril,

an

on

cardiovascular events in high-risk patients. N Engl J Med


2000t342:145-53
Fox KM, for the EURopean trial On reduction of cardiac events
with Perindopril in stable coronary Artery disease Investigators. Efficacy of perindopril in reduction of cardiovascular events
.

with stable coronary artery disease: randomised,


double-blind, placebocontrolled. multicentre trial (the EUROPA
strdy). Lancer. 2003 ;362: 7 82-8.
Granger CB, McMurray JJ, Yusuf S, et al, for the CHARM Investigators and Committees. Eff'ects of candesartan in patients with
among patients

chronic heart failure and reduced left-ventricular systolic


function intolerant to angiotensin- converting-enzyme inhibitors: the CHARM-Alternative trial. Lancet. 2003;362:112-6'
McMurray JJ, Ostergren J, Swedberg K, et al, for the CHARM
Investigators and Committees. Effects of candesartan in
patients with chronic heart failure and reduced left-ventricular

systolic function taking angiotensin-converting-enzyme


inhibitors: the CHARM-Added trial. Lancet. 2003:362:76771.
Yusuf S, Pfeffer MA, Swedberg K, et al, for the CHARM Investigators and Committees. Effects of candesartan in patients with
chronic heart failure and preserved left-ventricular ejection

fraction: the CHARMPreserved fiial. Lancet. 2003 ;362:'7 7 1 81.

Seventh report

of the Joint National Committee on

the

Prevention. Detection, Evaluation, and Treatment of High


Blood Pressure (JNC 7): resetting the hypertension sails'
Hy pe rtension. 2003:.41:1 178 -9.

275
INFARK MIOI(ARD AKUT TANPA ELEVASI ST
Sjaharuddin Harun, Idrus Alwi

PENDAHULUAN

oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis


akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut
pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang
tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai
inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rqndah,
fibrous cap yangtipis dan konsentrasi faktorjaringan yang

Angina pektoris tak stabil (unstable angina = UA) dan


infark miokard akut tanpa elevasi ST (non ST elevation
myocardial infarction = NSTEMI) diketahui merupakan
suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan

gambaran klinis sehingga pada prinsipnya

tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai

penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis

konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak


tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat
dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukkan
adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan
sitokin proinflamasi seperti TNF cr, dan IL-6. Selanjutnya
IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati.

NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis


UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa
peningkatan biomarker j antung.

Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri


dada, yang menjadi salah satu gejala yang paling sering
didapatkan pada pasien yang datang ke IGD, diperkirakan
5,3 juta kunjungan/tahun. Kira-kira l/3 darinya disebabkan

oleh UA/NSTEMI, dan merupakan penyebab tersering


kunjungan ke rumah sakit pada penyakit jantung. Angka
kunjungan RS untuk pasien UA/NSTEMI semakin
meningkat, sementara angka infark miokard dengan elevasi
ST (STEMD menurun.
Penatalaksanaan UA/ NSTEMI telah disusun dalam

EVALUASIKLINIS
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala
di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti
diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat

atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering

pedoman (guidelines) oleh American College of


Cardiology (ACC) dan American Heart Association

klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala

(AHA). Guidelines untuk tatalaksana UA./N-STEMI juga


dibuat oleh European Society of Cardiology dan memiliki

dengan onset baru angina berat/terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri

kemiripan den gan g uide lines Am erika. Perlu diingat bahwa


prinsip penatalaksanaan sangat tergantung kepada sarana./

pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak


enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan
baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis,
sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau
leherjuga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada
pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.

ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran

prasarana yang tersedia di tempat pelayanan masingmasing khususnya untuk tindakan intervensi koroner.

PATOFISIOLOGI
Non ST elevation myocardial Infarction (NSTEMI) dapat
disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat

EKG
Gambaran elektrokardiogram (EKG), secara spesihk berupa

t75

1758

I(ARDIOI.OGI

deviasi segmen ST merupakan hal penting yang


menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in
Mltocardial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen
ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan prediktor oLttcome

yang buruk. Kaul et al. menunjukkan peningkatan risiko


outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan
memberatnya depresi segmen ST, dan baik depresi segmen
ST maupun perubahan troponin T keduanya memberikan
tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan
NSTEIVII.

BIOMARKER KEBUSAKAN MIOKARD

dengan skor risiko 0- I , sampai 4l7o dengan skor risiko 6-7.

Skor risiko ini berasal dari analisis pasien-pasien pada


penelitian TIMI l18 dan telah divalidasi pada empat
penelitian tambahan dan satu registry. Dengan
meningkatnya skor risiko, telah diobservasi manfaat yang
lebih besar secara progresif pada terapi dengan LMWH
versus UFH, detgan Platelet GP IIb/IIIa receptor blocker

tirofiban versus plasebo, dan strategi invasif versus


konservatif.
Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI,
penggunaan klopidogrel menunjukkan penu;runan outc ome
yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam
memprediksi olttcome yang buruk pada pasien setelah
pulang.

Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis


miokard yang lebih disukai, karena lebih spesifik daripada
enzim jantung tradisonal seperti CK dan CKMB. Pada
pasien dengan lMA, peningkatan awal troponin pada
darah perifer setelah 3-4 jamdan dapat menetap sampai 2
minggu. Pada gambar- I dapat dilihat kinetik biomarker
jantung seperti mioglobin, CKMB dan troponin.

SERUM KREATININ
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan disfungsi ginjal

berhubungan dengan peningkatan risiko outcome yang


buruk. Beberapa penelitian seperti Platelet Receptor

STRATIFIKASI RISIKO

Inhibition in Ischemic S),ndrome Managemenl in Patients


Limited by Unstable Sign and Syntptom (PRISM-PLUS),
Treat Angina with Aggrastctt and Detennine Cost of

Penilaian klinis dan EKG keduanya merupakan parameter

(TACTICS)-TIMI 18, dan Global Use Stategies to Open

utama dalam pengenalan dan penilaian risiko NSTEMI.


Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan
terapi awal yang segera. Penatalaksanaan sebaiknya terkait
dengan faktor rjsikonya (Garnbar l). Terdapat beberapa
pendekatan untuk stratifikasi risiko pada NSTEML

kesemuanya menunjukkan pasien-pasien dengan kadar


klirens kreatinin yang lebih rendah memiliki gambar-an risiko
tinggi yang lebih besar dan outcome yang kurang baik.
Walaupun strategi invasif banyak bermanfaat pada pasien

Therapy with Invasive or Conservative Strategy

dengan disfungsi ginjal, namun mempunyai risiko


perdarahan yang lebih banyak. Karena "molekul kecil''
inhibitor GP IIb/IIIadan LMWH diekskresikan lewat ginjal,

50

=o,
o
o

o.

.r..rtr..t.

o
(E

penglepasan awal dari mioglobin


atau CK-MB isoform

20
Troponin, setelah IMA klasik kardiak
10

-g
.E

----

CK-IVB setelah lM

Troponin kardiak setelah mikro infark

PETANDA BTOLOGTS (BTOMARKEB IIULTIPEL

UNTUK PENILAIAN RISIKO

terapi ini seharusnya diberikan dengan perhatian khusus


pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Walaupun
disfungsi ginjal dapat mengganggu kiirens troponin.
namun tetap merupakan prediktor keluaran yang benilai
pada pasien tersebut.

.=
,9

Occluded Coronary Arteries (GUSTO) IV-ACS,

2345678

Jumlah hari setelah onset IMA

Gambar 1. Kinetik berbagai petanda biokimia jantung

Newby et al. mendemonstra-sikan bahwa strategi bedside


menggunakan mioglobin, creatinin kinase-MB dan
troponin I menunjukkan stratifikasi risiko yang lebih akurat
dibandingkan j i ka menggunakan petanda tunggal berbasis

SKOR RISIKO TIMI


Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana untuk
stratifikasi risiko, dan angka faktor risiko. Insidens outcome yatrg buruk (kematian, (re) infark miokard, atau
iskemia berat rekuren) pada 14 hari berkisar antara 5Eo

laboratorium. Sabatine et al. mempertimbangkan 3 faktor


patofisiologi yang terjadi pada UAAJSTEMI yaitu :
. Ketidakstabilan plak dan nekrosis otot yang terjadi

.
.

akrbat mikroembol isasi,


Inflamasi vaskular.
Kerusakan ventrikel kiri.

1759

INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST

Masing-masing dapat dinilai secara independen


berdasarkan penilaian terhadap petanda-petanda seperti
cardiac-spesific Iroponin, C-reactive protein dan brain
natrittret ic p eptide, berturut-turut. Pada peneli tian TACTICS-TIMI 18, di mana risiko relatif, mortalitas 30 hari
pasien-pasien dengan biomarker 0, l, 2, dan 3 semakin
meningkat berkali lipat 1;2,I;5,1; dan 13,0 berturut-turut.
Pendekatan dengan berbagai petanda laboratorium ini
sebaiknya tidak digunakan sendiri-sendiri tapi seharusnya
dapat memperjelas penemuan klinis.

TERAPI ANTIISKEMIA
Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada
berulang, dapat diberikan terapi awal mencakup nitrat dan
penyekat beta. Terapi anti iskemia terdiri dari nitrogliserin
sub lingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena, dan
penyekat beta oral (pada keadaan tertentu dapat diberikan
intravena). Antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan
pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang tidak
toleran dengan obat penyekat beta.

Usia > 65 tahun


> 3 faktor risiko PJK
Stenosis sebelumnya > 50 %
Deviasi ST
> 2 kejadian angina < 24 jam
Aspirin dalam 7 hari terakhir
Peningkatan petanda jantung

PENATALAKSANAAN
Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan
pemantauan EKG untuk deviasi segmen ST dan irama
jantung. Empat komponen utama terapi harus
dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu :

..
.
.
.

Terapi antiiskemia,

Terapi antiplatelet/antikoagulan,
Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi),

NITRAT

Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah

Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atalu sPrcty


bukal jika pasien mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri

perawatan RS.

lskemia berulang dan/atau


perubahan segmen ST atau
inversi gelombang T dalam atau
petanda kardiak yang positif

AsPirin

Penyekat reseptor beta


Nitrat
Regimen antitrombin
Penghambat GP llb/llla
Monitoring (ritme cjan iskemia)

Angiografi dalam

Braunwald et al. Circulation 2002;106:1893-900


Gambar 2. Jalur iskemia akut

1760

I(ARDIOI.OGI

menetap setelah diberikan nitrat sublingual 3 kali dengan


interval 5 menit, direkomendasikan pemberian nitrogliserin

intravena (mulai 5-10 ug/menit). Laju infus dapat


ditingkatkan l0 ug/menit tiap 3-5 menit sampai keluhan
menghilang atau tekanan darah sistolik < 100 mmHg.
Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengan nitral
oral atau dapat menggantikan nitrogliserin intravena jika
pasien sudah bebas nyeri selama 12-24 jam. Kontraindikasi
absolut adalah hipotensi atau penggunaan sildenafil atau

obat sekelasnya dalam 24 jam sebeiumnya.

PENYEKATBETA
Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi
jantung 50-60 kali/menit. Antagonis kalsium yang
mengurangi frekuensi jantung seperti verapamil atau

diltiazem direkomendasikan pada pasien dengan nyeri


dada persisten atau rekuren setelah terapi nitrat dosis
penuh dan penyekat beta dan pada pasien dengan
kontraindikasi penyekat beta. Jika nyeri dada menetap
walaupun dengan pemberian nitrogliserin intravena, morfin
sulfat dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit
sampai dosis total 20 mg.

TERAPI ANTIPLATELET

Aspirin

Peran penting aspirin adalah

menghambat

siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan dari penelitian


klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga
aspirin menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaan
UAA{STEMI. Sindrom "resistensi aspirin" dapat terjadi
pada pemberian aspiran. Sindrom ini dideskripsikan dengan
bervariasi sebagai kegagalan relatif untuk menghambat
(inhibisi) agregasi platelet dan/atau kegagalan untuk
memperpanjang waktu perdarahan, atau perkembangan
kejadian klinis sepanjang terapi aspirin. Pasien-pasien
dengan resistensi aspirin mempunyai risiko tinggi kejadian
rekuren. Walaupun penelitian prospektif secara acak belum

pernah dilaporkan pada pasien-pasien ini, adalah logis


untuk memberikan terapi klopidogrel, walaupun aspirin
sebaiknya juga tidak dihentikan. Alexander et al.
mendemonstrasikan tingginya kejadian (event rate) dan
efek terapi yang besar dengan eptifibatide pada pasien
sindrom koroner akut meskipun sebelumnya diterapi
asplnn.

Klopidogrel
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine
Aktivitas

Obat

selektivitas Agonis

Propranolol

Tidak

Metoprolol

Beta l

Dosis Umum
untuk Angina

parsial
Tidak 20-80 mg 2 kali
sehari

Tidak

50-200 mg 2 kali
sehari

Atenolol

Betal

Nadolol

Tidak
Tidak
Beta l

Timolol
Asebutolol

Esmolol

Betal
Betal
Betal

(intravena)
Labetalol.

Tidak

Pindolol

Tidak

Betaksolol
Bisoprolol

Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Ya

50-200 mg/hari
40-80 mg/hari
10 mg 2 kali sehari

200-600 mg 2 kali
sehari

10-20 mg/hari
10 mg/hari
50-300 mcg / kg/
menit
200-600 mg 2 kali
sehari
2 5-7.5 mg 3 kali
sehari

*Labetalol adalah kombinasi penyekat alfa dan beta


Gibbons, et al J Am Coll Cardiol 1999;33:2092-'197

diphospate P2Y,rpada permukaan platelet dan dengan


demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaannya

pada UA/NSTEMI terutama berdasarkan penelitian


Clopidogrel in Unstable Angina to Prevent Recurrent
Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel for the
Reduction of Events During Observation (CREDO).
Dilakukan randomisasi terhadap 12.562 pasien dengan
UA/NSETMI (semuanya mendapat terapi aspirin)
ditambahkan klopidogrel (dosis awal 300 mg dilanjutkan
dengan 75 mg/hari) atau plasebo. Setelah di pantau rata-

rata 9 bulan, hard end point primer (kematian


kardiovaskular, infark miokard dan strok) menurun secara
bermakna yaifi207o yaitu I 1,5 Vo padakelompok plasebo

menjadi 9,3 7o pada kelompok klopidogrel. Penurunan


kejadian iskemia rekuren mulai terlihat dalam 6 jam
randomisasi. Efek bermanfaat ditemukan untuk semua
subkelompok, termasuk kelompok tanpa deviasi segmen
ST atau pelepasan troponin dan kelompok yang memiliki
skor risiko TIMI rendah.

TERAPIANTITROMBOTIK
Oklusi trombus sub total pada koroner mempunyai peran
utama dalam patogenesis NSTEMI dan keduanya mulai

dari agregasi platelet dan pembentlkan thrombinactivated fibrin befianggtng jawab atas perkembangan
klot. Oleh karena itu, terapi antiplatelet dan anti trombin
menjadi komponen kunci dalam perawatan.

Keuntungan terbesar adalah penurunan kejadian


infark miokard, walaupun kecenderungan kematian dan
strok tidak bermakna secara statistik. Namun, klopidogrel
dikaitkan dengan peningkatan perdarahan mayor (3,77o
versus 2,7Vo) dar' minor, sejalan dengan kecenderungan
peningkatan perdarahan yang mengancam nyawa

(lfe-

threatening bleeding). Perdarahan yang berlebihan


banyak ditemukan pada pasien dengan aspirin dosis
tinggi atau pada mereka yang menjalani CABG selama 5

L76l

INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST

hari penghentian klopidogrel. Telah dibuktikan

Antagonis GP llb/llla

peningkatan risiko perdarahan pada pemakaian kombinasi

Terdapat bukti kuat pada penelitian multipel bahwa

aspirin dan klopidogrel pada pasien-pasien yang

antagonis GP IIa/IIIb mengurangi insidens kematian atau

menjalaniCABG.
Pada sub studi pengamatan penelitian CURE yang
melibatkan 2.658 pasien yang menjalani PCI, dengan
median 10 hari setelah randomisasi (PA-CURE study),

infark miokard pada pasien UA/NSTEMI yang menjalani


PCI dan penggunaannya pada keadaan ini diindikasikan

kebanyakan pasien mendap at thienopy r idine y ang selama

4 minggu setelah menjalani prosedur. menunjukkan


penatalaksanaan dengan klopidogrel dikaitkan dengan
risiko relatif 30 7o lebih rendah terhadap kematian
kardiovaskular, infark miokard atau revaskularisasi selama
30 hari (6,47o vs 4,5Vo). Manfaat klopidogrel telah diteliti
selama 8 bulan pada penelitian tersamar (klopidogrel atau

plasebo) dengan kesimpulan yang ditentukan I bulan


setelah PCI. Keuntungan pengobatan sebelumnya dan
pemantauan terapi jangka panjang dengan klopidogrel juga
diamati padapenelitian CREDO, pada sekitar 2.116 pasien,
55Vo pasiet dengan UA/NSTEMI yang hendak menjalani

secarajelas. Padapenelitian GUSTO IV-ACS yang didesain


khusus untuk menguji manfaat abciximab pada pasien
UAA{STEMI di mana PCI tidak dianjurkan, tidak didapat
adanya manfaat, termasuk end point sekunder, misalnya
kematian dalam 48 jam. Antagonis GP IIb/IIIa eptifibatid
atau tirofiban manfaatnya masih kurang jelas. Suatu analisis
retrospektif penelitian PRISM-PLUS menunjukkan bahwa
tirofiban mengurangi insidens outcome yang buruk pada
pasien risiko tinggi (skor risiko TIMI > 4) yang tidak
menjalaniPCL
Meta-analisis terhadap antagonis GP IIb/IIIa dari 6
penelitian besar yang melibatkan 3l .402 pasien UA/

NSTEMI yang tidak dijadwalkan menjalani PCI


menunjukkan penurunan yang bermakna (-97o relatif , -l7o

PCI.

absolut), pada rasio odd untuk gabungan endpoint

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, maka


klopidogrel direkomendasikan sebagai obat lini pertama

kematian atau infark miokard pada kelompok antagonis


GP IIb/IIIa, sedangkan perdarahan meningkat secara
bermakna dat', 1,4 Vo pada kelompok plasebo menjadi 2,4
Vo pada kelompok antagonis GP IIb/IIIa. Dalam analisis

(first-line drug) pada UA/NSTEMI dan ditambahkan


aspirin pada pasien dengan UA/NSTEMI, kecuali mereka

dengan risiko tinggi perdarahan dan pasien yang


memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya

tambahan ditemukan bahwa 5.841

diberikan pada pasien dengan UA/NSTEMI pada pasien-

hari) dan pengamatan manfaat antagonis GP IIb/IIIa


misalnya, pengurangan kematian atau infark miokard
sebagian besar terbatas ke dalam sub grup ini (-2lVo).
Penemuan ini termasuk dan diperkuat oleh analisis

pasren:

.
.

Yang direncanakan untuk mendapat pendekatan non


invasif dini.
Yang diketahui tidak merupakan kandidat operasi
koroner segera berdasarkan pengetahuan sebelumnya
tentang anatomi koroner/ memiliki kontraindikasi untuk

operasl,
Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama > 24-36 jam.

Pada Pasien-pasien yang direncanakan untuk


kateterisasi diagnostik dalam 24-36 jam presentasi, menj adi
alasan untuk tidak memberikan klopidogrel sampai dengan

temuan angiogram koroner meniadakan kebutuhan operasi


bypass segera. Dosis awal klopidogrel dapat diberikan di

dai3l .402 (19 %o) pasien


sebenamya menjalani revaskularisasi dini (dalam waktu 5

terperinci penelitian PURSUIT di Amerika Serikat. Pada


penelitian itu strategi invasifdini cukup sering digunakan.
Guideline ACC/AHA menetapkan pasien-pasien risiko
tinggi terutama pasien dengan troponin-positif yang
menjalani angiografi, mungkin sebaiknya mendapatkan
antagonis GP IIb/IIIa. Dua agen molekul kecil, eptifibatid
dan tirofiban, mungkin dimulu " up s tr e am" mis alnya I atau
2 hari sebelumnya dan dilanjutkan selama menjalani
prosedur. Salah satu dari 3 antagonis GPIIb/IIIayatgada
dapat dimulai secepatnya sebelum atau selama menjalani
prosedur. Berdasarkan temuan GUSTO -I\'/ ACS, abciximab

laboratorium kateterisasi sebelum PCI atau dimulai

tidak diindikasikan pada pasien-pasien yang tidak

secepatnya setelah kateterisasi. Klopidogrel (seperti aspirin) adalah inhibitor fungsi platelet yang ireversibel, maka

direncanakan menjalani PCI. Tak ada satupun antagonis


GP IIb/IIIa terlihat efektif atau diindikasikan secara rutin
untuk penatalaksanaan pasien risiko rendah, pasien-pasien
dengan troponin-negatif yang tidak menjalani angiografi
dini.
Berdasarkan pengamatan pada penelitian PCI-CURE
dan CREDO, klopidogrel tidak terlihat menambah risiko

direkomendasikan juga agar obat ini dihentikan selama 5


atau lebih disukai 7 hari sebelum operasi elektif, termasuk
CABG
Risiko perdarahan berlebihan dapat ditoleransi pada

pasien yang belum dilakukan angiografi, dan dapat


mencegah kejadian iskemia selama periode menunggu.
Pandangan ini didukung oleh pengamatan pada penelitian
CREDO bahwa terapi sebelumnya >6 hari sebelum PCI
cenderung memperkuat manfaat obatnya dan kombinasi
klopidogrel dan inhibitor GP IIb/trIa tampaknya menambah
manfaat tanpa meningkatkan risiko perdarahan.

perdarahan terhadap antagonis GP IIb/IIIa. Efikasi


thienopyridine dan antagonis GP IIb/IIIa tampaknya perlu
ditambahkan dan terapi platelet tripel (aspirin, klopidogrel
dan antagonis GP IIb/IIIa) diindikasikan pada pasien risiko
tinggi yang direncanakan untuk menjalani PCI dan tidak

mempunyai risiko perdarahan berlebihan.

1762

TERAPI ANTIKOAGULAN

IGRDIOI.OGI

Holter selanjutnya menurun hampir separuhnya pada


kelompok enoxaparin.

UFH (U nfa ra cti onated Hepari n)


Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalam
tujuh penelitian acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah
digunakan dalam tatalaksana UA/NSTEMI untuk lebih dari
15 tahun. Penelitian sebelumnya menunjukkan keuntungan
klopidogrel dan inhibitor GP IIb/IIIa. Namun demikian
terdapat banyak kerugian UFH, termasuk di dalamnya
ikatan yang non spesifik dan menyebabkan inaktivasi
platelet, endotel vaskular, fibrin, platelet faktor 4 dan
sejumlah protein sirkulasi. Produksi antibodi antiheparin

mungkin berhubungan dengan heparin-induced


thrombocytopenia. Ikatan ini menimbulkan efek
antikoagulan yang tak menentu, memerlukan monitor lebih

sering terhadap activated partial thromboplastin time


(aPTT), pengaturan dosis dan membutuhkan infus
intravena kontinyu.

LMWH (Low Molecular Weight Heparin)


Akhir-akhir ini perhatian lebih difokuskan pada LMWH,
dan kerugian-kerugian pada penggunaan UFH sebagian

besar dapat diatasi. Pentingnya pemantauan efek


antikoagulan tidak diperlukan dan kejadian
trombositopenia yang diinduksi heparin berkurang.
LMWH adalah inhibitor utama pada sirkulasi trombin dan

STRATEGI INVASIF DINI VS KONSERVATIF DINI


Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan
strategi invasif dini (arteriografi koroner dini dilanjutkan
dengan revaskularisasi sebagaimana diindikasikan sesuai

temuan arteriografi) dengan strategi konservatif dini


(kateterisasi dan jika diindikasikan revaskularisasi, hanya
pada yang mengalami kegagalan terhadap terapi oral/obatobatan). Lima penelitian besar telah dilakukan secara

prospektifdan acak; dua di antaranya dilakukan sebelum

stenting rutin digunakan. Penelitian TIMI IIIB

menunjukkan tidak ada perbedaan bermakn a outcome pada

kedua strategi

ini,

walaupun analisis retrospektif

mengidentifikasi faktor-faktor risiko tinggi yang dapat

digunakan untuk memprediksi kegagalan strategi


konservatif dan superioritas strategi invasif. Penelitian dini
lainnya, The Veterans Affairs Non Q-Wave Infarction Strategies in Hospital (VANQWISH), menunjukkan kematian
lebih banyak sejalan dengan kematian atau infark miokard
dengan strategi invasif.

juga pada faktor X a sehingga obat ini mempengaruhi tidak


hanya kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti faktor IIanya), seperti juga UFH, tapi juga mengurangi pembentukan

Terapi Antiplatelet

trombin (efek anti faktor X a-nya). Keuntungan praktis


LMWH lainnya adalah absorbsi yang cepat dan dapat

Klopidogrel

diprediksi setelah pemberian subkutan. Dua penelitian acak


tersamar ganda, Efficacy and Safety of Subcutaneous

Terapi Antiplatelet lntravena

Enoxap ar in in N on- Q-Wav e C o ro nary Evenrs (ES SENCE)


dan TIMI 1 1B, yang melibatkan 7.081 pasien menunjukkan

keuntungan enoxaparin di atas UFH secara bermakna, dan


suatu meta-analisis menunjukkan pengurangan kematian
atau infark miokard secara bermakna.
Karena ditemukan kesulitan untuk menentukan level
antikoagulan, maka perlu dipikirkan dosis LMWH yang
sesuai untuk pasien-pasien yang menjalani PCI dan
keamanan LMWH pada pasien yang mendapat terapi inhibitor GP IIb/IIIa. Pada penelitian yang membandingkan
enoxaparin dengan UFH pada 746 pasien UA/NSTEMI

yang mendapat aspirin dan eptifibatid yaitu penelitian


Integrilin and Enoxaparin Randomized Assessment of
Acute Coronary Syndrome Treatment (INTERACT),
didapatkan outcome utama perdarahan mayor yang

Aspirin

Dosis awal 160-325 mg formula nonenterik


dilajutkan 75-'160 mg/hari formula enterik
atau nonenterik
Dosis /oadlng 300 mg dilajutkan 75 mg/hari

(Plavix)

Abciximab
(Reopro)

Eptifibatid
(lntegrilin)
Tirofiban

(Aggrastat)

0,25 mg/kg bolus dilanlutkan infus 0,125lkg


per menit (maksimum 10 ug/menit) untuk 1224 )am

'lB0 ug/kg bolus dilanjutkan infus 2 ug/kg


permenit untuk 72-96 jam
0,4 ug/kg permenit untuk 30 menit
dilanjutkan infus 0,1 ug/kg permenit untuk
48-96 jam

Heparin

Dalteparin
(Fragmin)
Enoksaparin

(Lovenox)
Heparin
(UFH)

120 lU/kg SC tiap 12 jam (maksimum 10.000


lU 2 kali sehari )
1 mg/kg SC tiap 12 jam; dosis awal boleh
didahului bolus 30 mg intravena
Bolus 60-70 U/kg (maksimum 5000 U) lV
dilanjutkan infus 12-15 U/kg perjam
(maksimum awal 1000 U/jam) dititrasi
sampai aPTT 1,5-2,5 kali kontrol

Terdapat tiga penelitian sejalan dengan "era stent",

dikaitkan non CABG, lebih rendah secara bermakna pada

dan semua penelitian itu menunjukkan superioritas strategi

kelompok enoxaparin dibandingkan dengan kelompok UFH


( 1, 8 7o Vs 4,6 7o), w alaupun in siden relatif perdarahan minor adalah sebaliknya. Juga angka kematian atau infark
miokard non fatal pada 30 hari dan iskemia pada monitor

menunjukkan penurunan yang bermakna mortalitas total

invasif. Penelitian Fragmin and Fast Revascularization


during Instability in Coronary Artery Disease (FRISC) II
dan kematian atau infark miokard dalam

I tahun

pada pasien

1763

INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST

yang mendapat strategi invasif. Pasien-pasien pada


kelompok invasif (invasive arm) pada penelitian ini telah
diterapi di RS dengan regimen intensif yang termasuk di

dalamnya LMWH untuk rata-rata 6 hari sebelum

Dike uarkan dari


Protokol

kateterisasi.
Pada penelitian TACTICS-TIMI 18, semna pasien

mendapatkan tidak hanya aspirin dan UFH tapi juga


"up-front" misalnya pemberian inhibitor tirofiban GP IIb/
IIIa segera. Berlawanan dengan FRISC II, kateterisasi
jantung pada kelompok invasif dilakukan relatif dini,
misalnya rata-tata22 jam setelah randomisasi. Kematian
atau infark pada 6 bulan menurun secara bermakna dari
237o rnenjadi 9,57c pada kelompok konservatif dan
menjadi 7,3Vo pada kelompok invasif. Keuntungan
terbatas hanya untuk pasien dengan risiko tinggi dan
sedang, yang didefinisikan sebagai skor risiko TIMI 3,
semua peninggian troponin T (> 0,01 mg/ml) atau deviasi
segment ST. Pada pasien tanpa gambaran risiko ini
outcome dengan kedua strategi adalah sama. Lamanya
perawatan di RS juga menurun dengan strategi invasif
dan keseluruhan biaya penggunaan kedua strategi ini
sama.

Penelitian Randomized Intenention Trial o.f Unstable


Anginct (RITA)3 dilakukan pada pasien UA/NSTEMI, dan
semua telah di terapi aspirin dan enoxaparin. Pada pasien-

pasien yang masuk untuk kelompok invasif, dilakukan


angiografi koroner rata-rata 2 hari setelah randoriisasi.
Setelah 4 bulan, terdapat reduksi 347c end point ?rinler
kematian, (re) infark atau angina refrakter (dari l1.5Vc,
menjadi 9,6a/o') dengan strategi invasif. dan waktu l2 bularr
terdapat perbedaan bermakna. Hord end point kematian
atau (re) infark sebagaimana telah didefinisikan oleh Eu-

ropean Society

of Cardiologylkriteria ACC, juga

menunjukkan penurunan bermakna sebesar 2lo/o dalam


tahun dengan strategi invasif.
Pada kondisi tidak ditemukan kontraindikasi spesifik,
strategi invasif saat ini direkomendasikan pada pasien UA/
NSTEMI dengan risiko tinggi/sedang. Pasien itu sebaiknya
1

mendapatkan aspirin dan heparin atau mungkin


enoksaparin. Sebagaimana disebutkan di atas, klopidogrel
sebaiknya dimulai segera, jika kateterisasi diundur >24 36 jam, dan angiogram awal menyingkirkan indikasi untuk

CABG segera.

PERAWATAN UNTUK PASIEN RISIKO RENDAH


Tes stres noninvasif sebaiknya dilakukan pada pasien
risiko rendah, dan pasien yang hasil tesnya menunjukkan
gambaran risiko tinggi sebaiknya segera menjalani
arteriografi koroner dan berdasarkan temuan anatomis,
revaskularisasi dapat dilakukan. Arteriografi koroner dapat
dipilih pada pasien-pasien dengan tes positif tapi tanpa
temuan risiko tinggi.

1 oT

2 vesse Dlsease

2 Vessel Disease dengan


Keter batan LAD proksimal

PCI atau CABG

Gambar 3. Strategi revaskularisasi pada NSTEMI/UAP

lndikasi Klas I (/evel of evidence: Al

Angina rekuren saat istirahaU aktivitas tingkat rendah


walaupun mendapat terapi
Peninggian troponin I atau T
Depresi segmen ST baru
Angina/iskemia rekuren baru dengan gejala gagal jantung
kongestif, ronki, regurgitasi mitral
Tes stres positif
Fraksi ejeksi kurang dari 40%
Penurunan tekanan darah
Takikardia ventrikel sustained
PCI < 6 bulan, CABG sebelumnya

TATAI-AKSA\ lA PREDISCHAPGEDAN PENCEGAHAN


SEKUNDER
Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai

berat badan yang optimal, nasihat diet, rnenghentikan


merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi dan
tatalaksana intensif diabetes melitus dan deteksi adanya
diabetes yang tidak dikenali sebelumnya.
Terdapat satu penelitian besar double-blind, placeboc:ontrolled, The MyocLcrdial Ischemia Reduction with
Aggressire Chole.sterol Lovuerin g (MIRACL), yang
menunjukkan manfaat penggunaan statin secara dini.
Pasien-pasien UA/NSTEMI sebaiknya diterapi,
sestai National Cholesterol Education Program (NCEP
III), dan konsentrasi kolesterol LDL sebaiknya tereduksi
hingga kurang dari 100mg/dl.

1764

KARDIOI.OGI

of Patients with Unstabie Angina) J Am


2000l,36:91

Obat antiiskemik
dan

Kerja Obat

Antitrombotik/
Antiplatelet
Aspirin
Klopidogrel. atau
tiklodipin
Penyekat beta
lnhibitor ACE

KlaslLevel of
Evidence
A

Antiplatelet
Antiplatelet
Jika kontraindikasi
Aspirin
Anti-iskemik
Fraksi ejeksi < 40

A
A

atau
Gagal jantung

Nitrat
Antagonis kalsium
(antagonis
dihidropiridin kerja

l/A lla/A

kongestif
Fraksi ejeksi > 40
Antianginal
untuk gejala iskemik
Antiangina

IC
I

Untuk gejala
iskemik (harus
dihindari)
jika penyekat
beta tidak
berhasil (/evel
of evidence: B\

singkat harus
dihindari)

atau

kontraindikasi
atau

Warfarin intensitas
rendah dengan
Atau tanpa aspirin
Dipiridamol

Obat
lnhibitor HMG-CoA
reduktase
lnhibitor HMG-CoA
reduktase
Gemfibrozil

Antitrombotik

Antiplatelet

Faktor Risiko
Kolesterol LDL >130
mg/dL
Kolesterol LDL 100'130 mg/dL
Kolesterol HDL <40

menyebabkan
efek samping
yang tak dapat
diterima (/evel
of evidence: C)
ilb/B

nA
Klas / Level of

Evidence
lA
lla/B
lla/B

mg/d
Niasin

Niasin atau
gemfibrozil
Folat
Antidepresan
Terapi hipertensi
HRT (inisiasi)f
HRT (lanjutan)t

Kolesterol HDL <40


mg/dL
Trigliserida >200
mg/dL
Homosistein
meningkat
Pengobatan depresi
Tekanan darah
>135/85 mm Hg
Kondisi
pascamenopause
Kondisi

lla/B

Col1 Cardiol.

0-1062

Braunwald E, Antman EM, Beasiey JW, et al. ACC/AHA guideline


update for the management of patients with unstable angina
and non-ST-segment elevation myocardial infarction-2002:
Summary article. Circulation. 20021 106: 1893-900.
Bertrand ME, Simoons ML, Fox KAA, et al Management of acute
coronary syndromes in patients presenting without persistent
ST-segment elevation. Task Force of the European Society of
Cardiology. Eur Heart J. 2002; 23: I 809-40.
Braunwald E. Application of current guidelines to the management
ofunstable angina and non-ST elevation myocardial infarction
Circulatio.n.2003 ; 108(suppl III):III-28-III-37.
Scirica BM, Cannon CP, McCabe CH, et al. Prognosis in the
Thrombolysis in Myocardial Ischemia III Registry according to
the Braunwald unstable angina pectoris classification. Am J
Cardiol 2002; 90: 821-6.
Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, et al., for the TIMI III Registry
ECG Ancillary Study Investigators The electrocardiogram
predicts one-year outcome of patients with unstable angina and
non-Q wave myocardial infarction: Results of the TIMI III
Registry ECG Ancillary Study. J Am Col1 Cardiol. 7997; 30:

t33-40.

Y et al. Troponin T and quantitative STsegment depression offer complementary prognostic


information in the risk stratification of acute coronary

Kaul P, Newby LK, Fu

syndrome patients. J Am Col1 Cardiol. 2003; 41: 371-80.


Boersma E, Pieper KS, Steyerberg EW, et al. Predictors of outcome
in patients with acute coronary syndromes without persistent

ST segment elevation: Results from an international trial of


9461 patients. The PURSUIT investigators. Circulation. 2000;
l0l: 2557-67.
Antman EM, Cohen M, Bernink PJLM, et al. The TIMI risk score
for unstable angina/non-ST elevation MI: A method for
prognostication and therapeutic decision making. JAMA. 2000;
284: 835-42.
Morrow DA. Antman EM, Snapinn S, et al. An integrated clinical
approach to predicting the benefit of tirofiban in non-ST
elevation acute coronary syndromes: Application of the TIMI
Risk Score for UA/NSTEMI in PRISM-PLUS. Eur Heart J. 2002:

23: 223-9.

lla/B

LA, et al. Comparison of


early invasive and conservative strategies in patients with

ilb/c

IIIa inhibitor tirofiban. N Engl J Med. 2001; 344:1819-87.

ilb/c

Budaj A, Yusuf S, Mehta SR, et al. Benefit of clopidogrel in patients


with acute coronary syndromes without ST-segment elevation

Cannon CP, Weintraub WS, Demopoulos

unstable coronary syndromes treated with the glycoprotein IIb/

t/A

ilt/B
IIA/C

pascamenopause

in various risk groups. Circulation. 2002;106: 1622-6.


Scirica BM, Cannon CP, Antman EM, et al. Validation of the
Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) Risk score for
unstable angina and non-ST-elevation myocardial infarction in
the TIMI III registry. Am J Cardiol. 2002; 90: 303-5
James SK, Lindahl B, Siegbahn A, et al. N-terminal pro-brain

natriuretic peptide and other risk markers for the separate

REFERENSI
Braunwald E, Antman EM, Beasley JW et al. ACC/AHA guidelines
for the management of patients with unstable angina non-ST
segment elevation myocardial infarction: A report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines (Committee on the Management

prediction of mortality and subsequent myocardial infarction in


patients with unstable coronary artery disease: A global utilization of strategies to open occluded arteries (GUSTO)-N substudy.
Circulation. 2003; 108: 215-81.
Jan:uzzi JL, Cannon CP, DiBattiste PM, et al. Effects of renal insufficiency on early invasive management in patients with acute

coronary syndromes (The TACTICS-TIMI


Cardiol. 2002; 90: 1246-9.

l8 Trial). Am

1765

INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI ST

Aviles RJ, Askari AT, Lindahl B, et al. Troponin T levels in patients

with acute coronary

syndro.mes, with or without renal


dysfunction N Engt J Med. 2002; 346:2047-52.
Sabatine MS, Morrow DA, del-ernos J, et al. Multimarker approach
to risk stratification in non-ST elevation acute coronary
syndromes: Simultaneous assessment of rroponin I, C-reactive
protein, and B-type natriuretic peptide. Circulation. 2002;105:
r 760-3.
Morrow DA, Braunwald E. Future of biomarkers in acute coronary

syndlomes: Moving toward a multimarker strateg)/.


rculation. 2003; 1 08: 250-2.
Antithrombotic Trialists' Collaboration. Collaborative meta-analysis
of randomised trials of antiplatelet therapy for prevention of
death, myocardial infarction, and stroke in high risk patients.
BMJ 2U02: 124: 7l-86.
Yusuf S, Zhao F, Mehta SR, et al Effects of clopidogrel in addition
to aspirin in patients with acute coronary syndromes without
ST-segment elevation. N Engl J NIed 2001; 345: 491-502.
Yrrsuf S, Mehta SR. Zhao F, et al Early and late effects of clopidogrel
in patients with acute coronary syndromes. Circulation. 2003;
Ci

myocardial infarction: TIMI llB ESSENCE meta-analysis


Circulation. 1999; 100: 1602-8.
Kereiakes DJ, Mbntalescot G Antman EM, et al. Low-molecularweight heparin therapy for non-ST-elevation acute coron:try
syndromes and during percutaneous cororary intervention: An
expert consensus. Am Heart J.2002; 144: 615-24.

Goodman SG, Fitchett D, Armstrong PW, et al. Randomized


evaluation of the safety and efficacy of enoxaparin versus
unlractionated heparin in high-risk patients with non-ST-seg
ment elevation acute coronarysyndromes receiving the
glycoprotein IIb/IIIa inhibitor eptifibatide. Circulation. 2003;

l0i:238-44.
The SYNERCI' Executive Committee. Superior yield of the new
strategy of enoxaparin, revascularization and glycoprotein IIb/

IIla inhibitors. Am Heart 1.20O2;143:952-60.


TIMI ltl Study Group. Effects of tissue plasminogen activator

and

Hongo RH. Ley J, Dick SE, Yee RR. The effect of clopidogrel in
cornbination with aspirin when given before coronary artery
bypass grafting. J Arn Coll Cardiol. 2002,40:231 7.
Mehta SR, Yusuf S, Peters RJ, et al Effects of pretreatment with

a comparison of early invasive and conseNative strategies in


unstable angina an<i non-Q-wave myocardial infarction: Results
of the TIMI IIIB trial. Citculation. 1994; 89: 1545-56.
Solomor DI{, Stone PH, Glynn RI, et aI. Use of risk stratificaiion to
identify paiients with unstabie angina likeliest to benefit from
an invasive versus conservative management strategy. J Am
Coll Cardiol. 2001: 38: 969-16.
Boden WE, O'Roueke RA, Crawford IVIH, et al. Outcomes in
patienls with acute non-Q-wave myocardial infarction randomly

clopidogrel and aspirin followed by long-term thelapy in

assigned to an invasive as compared with a conservative

patients undergoing percutaneous coronary intervention: The


PCI-CURE study. Lancet. 2001; 358: 521-33.
Steinhubl SR, Bcrger PD, Mann JT III, et al . for the CREDO Investigators. Early and sustained dual oral antiplatelet therapy following percutaneous coronary interventiol: A randomized controlled trial JAIr{A. 2002; 288: 24ll-20.

managemeDt stralegy. Veterans Affairs NoU-Q-Wave


Infarction Strategies in Hospital (VANQWISH) Trial
Investigators. N Engl J Med. 1998; 338: 1185-92
Wallentin L, Lagerqvist B, Husted S, et al. Outcome at 1 year atter
an invasive compared with a non-invasive strategy in unstable

t01: 966-12.

Simoons ML. Effect of glycoprotein IIb/IIIa receptor blocker


abciximab on outcome in patients with acute coronary syndromes without early coronary revascularization: The GUSTO
IV-ACS raudomized trial Lancet. 2001: 357: 1915-24.
Boersma E, Harrington RA, Moliterno DJ, et al Platelet
glycoprotein IIb/IIIa inhibitors in acllte coronary syndromes: A
meta-analysis of all rnajor randomised clinical trials. Lancet.

coronary artery disease: The FRISC II invasive randomized


trial. Lancet. 2000: 356: 9 i6.
Mahoney EM,, Jurtovitz CT, Chu H, et al. Cost and cost-effectivensss of an early invasive vs conservative strategy for the
treatment of unstable angina aud non-ST-segment elevation
myocardial infarction. JAMA. 2002; 288: 1905-1 .
Fox KAA, Poole-Wilson PA, Henderson RA, et al. Interventional
vefsus conservative treatment

for patients with unstable angina

2002; 359: I 89-98.


LincofT AM. Harrington RA, Califf RM, et al. Management of
patients with acute coronary syndromes in the United States by

or non-ST-elel'ation myocardial infarction: The British Heart


Foundation RITA 3 randomised trial. Lancet. 2002: 360:143

platelet glycoprotein IIb/llla inhibition: Insights from the

The Joint European Society of Cardiology/American College of


Cardiology Committee. Myocardial infarction redefined: A

Platelet G)ycoprotein IIb/IIla in Unstable Angina Receptor


Suppression Using Integrilin (PURSUIT) trial. Circuiation 2000;

102:1093-100.

EM Use of low-molecular-weight
management of acute coronary artety
syndiomes and percutaneous coronary intervention JAM.\.

Wong GC, Giugliano RP, Antman

heparins

in the

2003:289:331-42.
Cohen M, Demers C, Gurfinkel EB et al., for the Efficacy and
Safety of Subcutaneous Enoxaparin in Non-Q-Wave Coronary
Events Study Croup A comparison of low-molecular-weight
heparin with unfractionated heparirr tbr unstable coronary artery disease. N Engl J Med. 1997; 337 147-52.
Antman EM, McCabe CH. Gurfinkel EP, et a1., for the TIMI lIB
Investigators. Enoxaparin prevents death and cardiac ischemic
events in unstable angina/non-Q-wave myocardial infarction:
Results of the Thrombolysis in Myocardial Int'arction (TIMI)
l1B Trial. Circulation. 1999; 100: 1593-601.

Antmao EM, Cohen NI, Radtey f), et a[ Assessrnent of the


treatment effcct of enoxaparin for unstable angina/non-Q wave

51

of the Joint European Society of Cardiology/American College of Cardiology Committee for the
Redefinition of Myocardial Infarction. Eur Heart J.2000;,21:
consensus document

502-t3.

Stone PH, Thompson B, Anderson HV, et al.,

for the TIMI III

Registry Study Gloup. Influence of race, sex and age on


management

of unstable angina and non-Q-wave myocardial

infarction The TIMI

III Registry JAMA.

1996; 275:

l\O4-

12.
Hochman JS, McCabe CH, Stone PH, et aI., for the

TIMI Investiga-

tors. Outcome and profile of women and men preserrling witlr


acute coronary syndromes: A reporl from TIMI IIIB J Am Coll

Cardiol.

199'7

; 30: 141-8.

The PURSUIT Trial Investigators lnhibition of platelet


glycoprotein Ilb/llla with eptifibatide in patients with acute
coronary syndrome N Engl J lvled. 1998; 339: 436-43.
Aronow HD, TopoJ EJ, Roe NlT, et al. Effect of lipid-lowering
therapy on early mortality aftcr acute coronary syndromes: An

t766

KARDIOTPGI

observational study. Lancet. 2001 351: 1063-8.


Newby LK, Kristinsson A, Bhapkar MY et aI. Early statin initiation
and outcomes in patients with acute coronary syndromes. JAMA.

2002; 281; 3087-95.


Schwartz GG Olsson AG Ezekowitz MD, et al. Effects of atorvastatin
on early recurrent ischemic events in acute coronary syndromes:
The MIRACL study, a randomized controlled trial. JAMA. 2001;

285:

171 1-8.

Cannon CP, McCabe CH, Belder R, et al. Pravastatin or atorvastatin


evaluation and infection therapy (PROVE IT) - TIMI 22 trial:

Rationale and design Am J Cardiol. 2002; 89: 860-1

Executive summary of the Third Report of the National


Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on

Detection. Evaluation and Treatment of High Blood


III). JAMA. 200i;
285: 2486-91.
Heart Protection Study Collaborative Group. MRC/BHF Heart
Protection Study of cholesterol lowering with simvastatin in
20,536 high-risk individuals: A randomized placebo-controlled
triai. Lancet. 2002:360: 1-22.
Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel

276
ANTITROMBOTIK DAN TROMBOLITIK
PADA PENYAKIT JANTUNG KORONER
Iwang Gumiwang, Ika Prasetya W, Dasnan Ismail

(lesi stenotik). Karena terjadi suatu trauma (faktor

PENDAHULUAN

pencetus) pada plak maka plak mengalami erosi/ruptur dan


menjadi tak stabil yang kemudian akan diikuti oleh respons

Melalui bukti berbagai studi autopsi, pembedahan dan


angiografi, konsep tromboemboli pada lesi stenotik (plak
ateroskierotik) merupakan dasar pada mayoritas kejadian
penyakitjantung koroner (PJK) dengan berbagai tingkatan
klinis. Dalam rangka penanggulangan masalah lesi stenotik
dan trombosis ini, upaya dapat dibedakan sebagai usaha
preventif (primer atau sekunder) dan usaha terapeutik pada
seluruh tingkatan klinis PJK. Sebagai contoh misalnya

koagulasi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (ertrinsic pathway') dar aktivasi trombosit sehingga sebagai hasil akhir
terbentuklah trombus.

Hal tersebut di atas merupakan dasar dari


patofisiologi sindrom koroner akut (SKA). Bentuk klinis
SKA adalah serangan angina tak stabil (unstable angina'),

IMA gelombang non-Q, dan IMA gelombang Q. Paham


yang dianut saat ini adalah bahwa ketiga bentuk SKA
tersebut mempunyai patofisiologi yang sama dengan
perbedaan terletak pada bentuk trombosis yang
menyertainya. Angina tidak stabil ditandai oleh
terbentuknya trombus mural, IMA gelombang non-Q oleh
trombus inkomplet/nonoklusif sedangkan pada kasus
IMA gelombang Q terjadi tromboemboli dengan trombus

penanggulangan fase akut sindrom koroner, maka


manajemen terapi yang logis adalah melisiskan trombus,
"membereskan" r,askular yang stenotik, dan mencegah
berulangnya kedua gangguan utama tersebut di masa
datang. Obat antitrombus (-antitrombotik) berperan sangat
penting. Obat antitrombotik terdiri atas golongan obat
trombolitik (misalnya streptokinase, urokinase), golongan

antikoagulan (misalnya heparin, low molecular weight


heparin, kurnarin, warfarin), antitrombin direk (misalnya
hirudin, bivalirudin), dan golongan antiagregasi trombosit

komplet/oklusif pada plak aterosklerotik yang mengalami

erosi/ruptur tersebut. Terbentuknya trombus ini


menyebabkan iskemia dan hipoksemia kardiak dengan
segala konsekuensinya. Tugas antitrombotik trombolitik
adalah sebagai aktivator plasminogen untuk menjadi
plasmin yang akan melisiskan fibrin menjadifibrin deg-

(selanjutnya disebut antiplatelet) misalnya aspirin,


tiklopidin, klopidogrel, dan penghambat GPIIb/IIIa.

PERAN ANTITROMBOTIK PADA PJK

radation product.
Antikoagulan mempunyai peran mencegah aktivasi

Konsep patofisiologi trombosis arteri perlu selalu

koagulasi misalnya heparin membentuk kompleks dengan


antitrombin III yang menghambat aktivasi faktor IIa, Xa,

mempertimbangkan tiga faktor yaitu abnormalitas dinding


vaskular termasuk endotel, masalah hemoreologi, dan
masalah aliran yang melambat (trias Virchow) selain faktorlaktor lain yang belum diketahui pasti.
Pada PJK patogenesis didahului oleh terbentuknya plak
ateroskeloris. Plak yang semakin berkembang dan tumbuh
menyebabkan diameter lumen arteri koronaria menyempit

dan IXa.

Antiplatelet mempunyai peran inaktivasi trombosit


dengan berbagai cara, misalnya aspirin dosis rendah
bekerja menghambat aktivitas siklooksigenase (COX-1)

dalam siklus prostaglandin sehingga terbentuknya


prostasiklin lebih tinggi yang bersifat menghambat agregasi
dan bersifat vasodilator pula.

t76

t768

I&IRDIOIJOGI

Dalam artikel ini akan dibahas ringkasan peran obat


antikoagulan dan antiplatelet pada berbagai tingkat klinis
PJK yaitu untuk upaya pencegahan primer terhadap
morbiditas PJK (primary prevention), angina tak stabil,

infark miokard akut (IMA), angioplasti koroner'

dan

pascabedah pintas.

FARMAKOLOGI

Antikoagulan Oral
Warfarin merupakan obat jenis ini yang paling banyak
dipakai di Amerika. Obat ini terprlih karena mula kerja dan

lama kerja yang mudah diprediksi. Obat ini bekerja


mengganggu konversi siklik vitamin K sehingga akan
menginaktivasi prokoagulan yang tergantung dengan
vitamin K (faktorII, VII, fx, danX).

Antiplatelet

Antikoagulan
Beberapa aspek farmakologis antikoagulan telah
diterangkan pada tulisan terdahulu. Secara ringkas obat

antikoagulan dibedakan menjadi yang diberikan


parenteral dan oral. Antikoagulan parenteral yang
dianggap standar adalah heparin (unJractinated heparin)
yang dapat diberikan secara intravena atau subkutan.
Heparin masih direkomendasikan untuk beberapa keadaan
klinis PJK, meski perlu pemantauan ketat untuk rnenilai

efektivitasnya
Dalam lima tahun terakhir, telah dipasarkan heparin
baru yang dikenal dengan Low Molecular Weight
Heparin (LMWH) yang lebih superior karena lebih stabil,
cara pemberian mudah (hanya subkutan), tidak memerlukan

monitoring APTT, tetapi lebih mahal dibandingkan


heparin standar.

Antitrombin Direk
Obat pada golongan ini yang telah banyak diteliti adalah
bivalirudin selain Hirudin yang telah ada sebelumnya' Hirudin sendiri adalah polipeptida 65-asarn amino yang berasal
dari lendir pacet atau lintah namun saat ini di buat dari

bahan rekombinan berasal dari ragi. Hirudin adalah


penghambat spesifik pada trombin. Proses yang
pengahambatan ini berlangsung perlahan namun terkadang

ireversibel.

Antitrombin direk lain adalah Argatroban dan


Melagatran. Argatroban diberikan 2 mg/kg per menit dalam

continuous infusion. Evaluasi dengan memperhatikan


aPTT dan tidak melebihi dosis i0 mg/kg per menit.
Melagatran sendiri dapat diberikan subkutan dan ada
preparat oral namun harus mendapatkan prodrug yang
memperbaiki bioavailabilitasnya dengan penambahan

Dalam proses trombogenesis ada tiga mekanisme yang


berkaitan dengan agregasi trombosit yaitu pertama
aktivasi trombosit menyebabkan dinding menjadi siap,
kedua adalah produksi dan sekresi ADP dan serotonin,
dan ketiga terbentuknya tromboksan 42' Obat
antiplatelet saat ini ditujukan untuk mempengaruhi
mekanisme tersebut agar trombosit tidak beragregasi satu
sama lain.

Sampai tulisan ini dibuat, obat antiplatelet yang telah


dipasarkan dan dipertimbangkan untuk direkomendasi-

kan adalah aspirin sebagai obat standar, kemudian


tiklopidin, klopidogrel, dipiridamol, sulfinpirazon' dan
terbaru adalah golongan GPIIb/IIIa (abciksrmab,
tirofiban, eptifibatid). Aspirin menghambat
pembentukan tromboksan A2. Tiklopidin dan
klopidogrel mempunyai struktur yang mirip, berasal dari
golongan tienopiridin dengan efek yang juga sama-sama
menghambat reseptor ADP. Ef'ek samping tiklopidin yang
dilakporkan adalah terjadinya neutropenia. Penghambat
GPIIa/IIIb menahan proses bridging yang merupakan

jalur terakhir (final pathwatt) antar trombosit.

Mekanisme kerja dipiridamol belum jelas benar, mungkin

memblok ambilan adenosin. Sulfinpirazoir mungkin


bekerja mirip seperti aspirin.

Trombolitik
Trombolitik bekerja dengan merubah proenzim plasminogen menjadi enzim plamin aktif melalui pelepasan ikatan
peptida arginin-valin. Plasmin dapat melisiskan bekuan fibrin dan merupakan suatu serum protease nonspesifik yang
mampu merusak plasminogen dari faktor V dan VIII, juga
dapat berlindak sebagai penghambat agregasi trombosit
pada stenosis arlerial. Aksi plasmin dapat dinetralisir oleh

penghambat plasma dalam pembuluh seperti.

H316195 (ximelagatrair). Obat ini dianjurkan pada DVT.

a-antiplasmin.

Jenis lain antitrombin yang bekerja langsung pada


penghambat faktor Xa sehingga menghambat
pembentukan trombin adalah Fondaparinux yang memiliki

clilakukan. Saat ini strategi pemikiran dalam rangka


pencarian obat antitrombotik tersebut ditujukan sebagai

waktu paruh pendek. Hasil rekombinan pentasakarida he-

berikut.

parin dan bukan berasal dari hewan jni

baru

direkomendasikan untuk mencegah DVT pasca operasi


ortopedi..
Pemberian antitrombin direk ini dilakukan bila terjadi
trombositopenia akibat penggunaan heparin.

Pencarian obat antitrombotik baru masih terus

Menghambat reaksi trombosit


- Menghambat adhesi

Menghambatrekruitmen
Memblok agregasi
Menghambat koagulasi

t769

ANTITROMBOTIK DAhI TROMBOLITIK PADA PJK

.
.

Mencegah terbentuknya trombin


Mencegah aktivasi trombin
Meningkatkan aktivitas antikoagulan natural/sendiri
- Modulasi alur protein C
Meningkatkan fibrinolisis endogen
- Memblok penghambat aktivator plasminogen tipe
I (plasminogen activator inhibitor type l)
- Menghambat prokarboksipeptidase B

lnfark Miokard Akut


Antikoagulan dan trombolitik
Direkomendasikan pada seluruh pasien IMA mendapat
terapi antikoagulan. Fada kasus yang mendapat terapi
tromtrolitik:

1.

R.IPA atau altepiase harus mendapat heparin:


Bolus 75UlKgBB iv lalu dosis pemeliharaan 1000-1200
U/jam sanpai 48 jarn dengan sasaran APTT 1,5-2 x

normal.

REKOMENDASI APLIKASI KLINIS ANTI.


TROMBOTIK DAN TROMBOLITIK PADA PJK

Pencegahan Primer (Primary Prevention)

Pemberian rutin aspirin pada kasus usia < 50 tahun, tak

pernah ada riwayat IMA, strok,

"

2.

TIA

tidak

direkomendasikan.
Padakasus seperti di atas tetapi mempunyai risiko yang
meningkat terh adap coronary events misalnya memiliki
satu faktor risiko utama (merokok, diabetes, hipertensi.
dislipidemia) direkomendasikan aspirin 80-325 mglhxi.
Bila tak bisa dengan aspirin, dapat diberikan warfarin
untuk sasaran INR 1,5.

Angina Stabil (Stable Angina)


Direkomendasikan semua kasus ini, mendapat aspirin 160325 mglhai seumur hidup.

sasaran APTT 1,5-2

.
.

Aspirin diberikan sesegera mungkin dengan dosis 160325mg.

Bila tak tahan dengan aspirin dapat diberikan tiklopidin


2 x 250 mg/hari atau klopidogrel 75 mg/hari (50- 100

Bila terdapat trombositopenia disebabkan heparin pada


penerima streptokirrase atau alteplase, maka dapat diberikan
hirudin IV (lepirudin 0,1 mg/kg bolus dilanjutkan dengan
0,1-5 mg/jam infus).
Pemberian fibrinolisis direkomendasikan dengan
gambaran:
. Gejala iskemia jelas IMA dengan segmen ST meningkat
atau LBBB pada EKG sefia kurang dari l2 jam kejadian

diberikan terapi fibrinolisis intravena (perhatikan

diberikan heparin dilanjutkan warfarin untuk beberapa

bulan.

Sulfinpirazontidakdianjurkan.

Antikoagulan
. Heparin direkomendasikan pada semua pasien dengan
dosis bolus 75 U/kgBB IV, dilanjutkan pemeliharaan 1 250
U/jarn dengan sasaran APTT 1,5-2 x kontrol selama
minimal 48 jam atau sampai keadaan stabiymendapat terapi

definitif.

Altematif Lain

.
.

.
.

mg)'
Pasien yang mempunyai kontraindikasi terhadap aspirin, tiklopidin, dan klopidogrel dianjurkan sejak arval

Penghambat GIIb/IIIa direkomendasikan terutama pada

UAP yang resisten dengan terapi standar atau pasien


disiapkan untuk an gioplasti

kontraindikasi pemberian).
Gejalajelas IMA selama 12-24 jam dengan segmen ST
meningkat atau LBBB pada EKG dapat diberikan terapi

fibrinolisis.
Terdapatriwayatperdarahanintrakranial, strok setahun
terakhir atau perdarahan aktif maka terapi fibrinolitik
tidak boleh diberikan
Setiap pasien yang rnendapatkan terapi fibrinolisis

sebaiknya dibenkan pula aspirin 160-325 mg saat tiba di


rumah sakit maupun pada perawatan selanjutnya. Semua
pasien yang akan menerima terapi fibnnolisis seharusnya
mendapatkan terapi tersebut paling lambat 30 menit seteiah
tiba di rurnah sakit.
Jenis obat fibrinolisis piiihan disesuaikan dengan

waktu sebagai berikut:

Gejala muncul kurang dari 1 2 jam diberikan streptokinase (atau reteplase), anistreplase atau alteplase.
Gejala muncul kurang dari 6 jam diberikan alteplase .

.
. Bila ada alergi

terhadap streptokinase diberikan

alteplase, tenekteplase atau reteplase.

LMWH (enoxiparin, dalteparin) dapat menggantikan


heparin.

x kontrol dan dilanjutkan

antikoaguian oral.

Angina Tidak Stabil (Unstable Anginal


Antiplatelet

Pada kasus dengan risiko tinggi trombus sistemik, dosis


pemeliharaan diteruskan > 48 jam untuk selanjutnya
diper-timbangkan antikoagtLlan oral jangka panjang.
Streptokinase atau APSAC
Heparin IV hanya diberikan pada kasus dengan risikc.r
tinggi terhadap trombosis vena atau sistemik seperli
IMA anterior, CHF, riwayat emboli sebelumnya, dan AF.
Pemberian hepiuin bilaAPTT setelah < 2 x kontrol.
Setelah lewat48jam diberikan subkutan 2 x sehari untuk

Pada kasus yang tidak mendapat terapi trombolitik:


Heparin diberikan pada kasus yang berisiko tinggi.
Diberikan bolus 75 U/KgBB IV lalu dosis pemeliharaan

.
.

l00Gl2fi)U/jam.

1770

I(ARDIOLOGI

Antikoagulan oral hingga 3 bulan, kecuali pada AF

diberikan selamanya.

Di atas dari kasus-kasus tersebut pada semua IMA


dianjurkan heparin loyv dose subkutan 2 x 7500 U per hari
sampai berobat jalan.

.
.
.
.
.
.
.
.

Aspirin diberikan sesegera mungkin dengan dosis 160325 mg.

Aspirin diteruskan meski pasien mendapat terapi


tromboUtik dan atau heparin.
Bila pasien tkan mendapat antikoagulan oral aspirin
dihentikan sementara.
Disarankan aspirin tidak diberikan bersamaan dengan
lvafarin kecuali pada kasus risiko emboli sangat tinggi
atau kasus yang gagal bila hanya diberi salah satunya.
Aspirin jangkapanjang lebih diutamakan dibandingkan

.
.

.
.
.

dengan klopidogrel.

Sulfinpirazon, tidak dianjurkan pada pasca-IMA.

Heparin diberikan untuk target ACT (activated c'lotting time) 300- 350 detik. Dosis heparin diberikan bolus
70- 1 50 U/kg dan s he ath dicabut bi Ia ACT < I 5 0 detik.

Bila penghambat GIIb/IIIa diberikan, dosis heparin


diturunkan 70 U/KgBB.
Heparin pascatindakan tidak diberikan secara rutin.

Dipiridamoltidaklagi direkomendasikan.
klopidogrel dengan dosis muatan 300 mg dilanjutkan
dengan 75 mglhari atau tiklopidin 2x 250 mg/hari, mulai
24 jam sebelum PTCA atau tiklopidin 250-500 mg/hari
diberikan paling tidak selama 14 hari dan hingga 30 hari
pada kasus risiko tinggi terhadap .r/erzr trombosis.

memberikan antikoagulan oral hingga 1-3 bulan yang


selanj utnya di sambung dengan aspirin.
Pasien yang tak tahan dengan aspirin direkomendasikan

abciximab

direkomendasikan.

Kasus yang dipasang .stenr


. Aspirin diteruskan pascatindakan 1 60-325mg.

Pada kasus yang risiko trombosis dapat dipilih

.
.

LMWH dapat diberikan

sebagai tambahan.

Warfarin tak direkomendasikan.


PenghambatGllb/Illadirekomendasikan.

Dipiridamol secara sendiri atau bersama aspirin tidak

Coronary Artery Bypass Graff (CABG)


PascaCABG
. Aspirin 325 mgflrari, dimulai 6 jam pascaoperasi sarnpai

Pasca-lMA Risiko Tinggi

wafi-arin karena ef'ektif, aman, dan murah.

dianjurkan pada pasca-IMA.

karena alasan mahal.

. Pada kasus angioplasti primer,


.

Antiplatelet

Penghambat GIIb/IIIa (abciximab. eptifibatid. atau


tirofiban) direkomendasikan pada semua kandidat PTCA
terutama yang berisiko tinggi. Tidak diberikan rutin

Pasca-IMA risiko tinggi, yaitu kasus dengan usia > 75


tahun, gagal jantung klinis, gangguan fungsi sistolik
(LVEF < 4OVo), riw ayat emboli kiri atau kanan, ri w ayat
strok dan TIA, pasca-IMA anterior luas, dan atrial

trbrilasi.

Antikoagulan oral jangka panjang, menurunkan risft


rtfiio 687o dibandingkan dengan kontrol)) dengan

target INR 2,5 (rentang 2,0-3,0).

Aspirin dosis rendah, menurunkan risk rcttio

217o

dibandingkan dengan kontrol.

selama setahun untuk rtenurunkan risiko terjaclinva


penutupan vena safena graft.
Aspirin tidak direkomendasikan dibelikan > l2 bulan
untuk tujuan mempertahankan grafl potency,. meskipun
aspirin disarankan tetap dipakai seumur hidup pada
pasien CAD.
Bila tak bisa menerima aspirin, dapat diberikan tiklopidin
2 x 250 mg/hNidimulai 48 jant pascaoperasi.
Pada CABG dengan arteri mamaria interna, aspirin

hanya optional.

Pada kasus risiko tinggi ini antikoagulan oral lebih


direkomendasikan dibandingkan dengan aspirin.

REFERENSI

Percutaneous Tranluminal Coronary


Angioplasty (PTCA)
Waktu tindakan dan pascatindakan:

.
.

.
.

Sebelum tindakan aspirin 80-325 mg diberikan minimal


2 jam sebelumnya.
Aspirin jangka panjang (.long term aspirin) 160-325 mg
per hari untuk selamanya kecuali ada penyulit.
Dipiridamol tak diberikan rutin.
Untuk pasien yang tak bisa mendapat aspirin, diberikan
klopidogrel dengan dosis muatan 300 mg dilanjutkan
dengan 75 mgfliari atau tiklopidin 2x25}mglhari, mulai
24 jam sebelum PTCA bila tidak ditemukan kontra
indikasi

DeWood MA, Spores J, Notske R. et

al

Prevalence

of

total

coronary occlusion during the early hours of transmurli


myocardial infarction. N Engl J Med 1980; 303:897 902
Fatk E. Unstable angina with fatal outcome: dynamic coronar-v
thrombosis Ieading to infalction andior sudden death: autopsy
evidence of recurrent mural thrombosis with peripheral

embolization culminating in total vascular occlusion


Circulation 1985: 7l :699-708.
Fifth ACCP consensus conference on antithromboLic therapy. Chest
1998: 1 1 z1(suppl)
Braunwald

E. Unslable angina An eriologic approach

tcr

management (editorial). Circulation 1998;98:2219-22.


Ambrose JA, Dangas G. Unstable angina current concepts of pathogenesis and treat-ment Arch Intern Med 2000;160:25-37

AI{TTTROMBOTIK DAN TROMBC'LITIK PADA PJK

Gumiwang

G Antikoagulan

pada penyakit jantung koroner. kapan

diberikan dan bagaimana pemantauannya?. httpill


w ww.interna.fk.ui. ac.id/
Antman EM, Fox KM for the intemational cardiology forum. Guidelines for the diagno-sis and management of unstable angina and
non-Q-wave myocardial infarction: proposed revisions. Am
Heart J 2000;139:461-'/ 5.
Ryan TJ. 1999 Update ACC/AIIA guidelines for the management of
patients with acute myocardial infarction. A report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines (Committee on Management of
Acute Myocardial Infarction). Circulation 1999;100: 1016-30.
Frishman WH et aI. Antiplatelet and antithrombotic drugs Dalam

Frishman WH et al editor. Cardivascular pharmacotherapeutics


manual. Edisi 2. New York. McGraw-Hi11.2004

l77l

277
EDEMA PARU AKUT
Sjaharuddin Harun, Sally Aman Nasution

PENDAHULUAN
Q,''-,n,,
Edema paru akut (EPA) adalah akumulasi cairan di paru-

paru yang terjadi secara mendadak. Hal

ini

dapat

= Krl(Pi,-Pi",)

5r

(ll,-ll
",)l

di manal
Q = Kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang

disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema

paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas


membran kapiler (edema paru non kardiak) yang

interstitial.

P,,

= Tekanan hidrostatik intravaskular.


Tekanan hidrostatik interstisial.
- Tekanan osmotik koloid intravaskular.

men gakibatkan terj adiny a eks travasasi cairan secara cepat.

Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai

ll,,

kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi


gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan
fekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun
demikian penting sekali untuk menetapkan faktor mana
yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai
pedoman pengobatan.
EPA adalah suatu keadaan gawat darurat dengan
tingkat mortalitas yang masih tinggi. Berikut ini akan
dibahas mengenai mekanisme, klasifikasi dan aspekklinis
EPA, sedangkan penatalaksanaan lebih difokuskan pada

ll ., =

=
",

1sk.r, osmotik koloid interstisial


6r = Koeffisien refleksi protein.
q = Konduktans hidraulik.
Sistem Limfatik

Siste.m pembuluh ini dipersiapkan untuk menerima


larutan, koloid dan cairan balik dari pembuluh darah.
Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstisial
peribronkial dan perivaskular dan dengan peningkatan
kemampuan dari interstisium nonalveolar ini, cairan lebih

EPAkardiak.

sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika


kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut
berlebihan. Bila kapasitas dzri saluran limfe terlampaui
dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema.
Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam

MEKANISME
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:

keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira2O ml/


jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe
bisa mencapai 20O ml/jam pada orang dewasa dengan

Membran Kapiler Alveoli


Edema paru terjadijika terdapat pelpindahan cairan dari
darah ke ruang interstisial atau ke alveoli yang melebihi
jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan
aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan
nomal terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dai
pembuluh darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental
membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada
sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.

ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan arium


kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi
dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi

filtrat

kapiler dalim jumlah yang lebih besar sehingga dapat


mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai
konsekuensi terjadinya edema interstitial, saluran
napas yang kecil dan pembuluh darah akan
terkompresi.

1772

1773

EDEMAPARUAKUT

KLASIFIKASI

Immunologi : pnemonitis hipersensitif


Shock-lung pada trauma non toraks.

Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus

Pankreatiti s hemoragik akut.

Ketidakseimbangan " Starling Force"


Peningkatan tekanan v ena pulmonafis. Edema paru akan
terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat
sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang

lnsufisiensi Sistem Limfe

.
.
.

Pasca transplantasi paru.

Karsinomatosis,limfangitis
Limfangitis fibrotik (silikosis)

biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai

normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-72


mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya
edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain :
(l) Tanpa gagal ventrikel kiri (mis : stenosis mitral), (2)
Sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3) Peningkatan
tekanan kapiler pam sekunder akibat peningkatan tekanan
arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi).

nurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia


saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga

Pe

peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan

Tidak Diketahuiatau Belum Jelas Mekanisme nya

.
.
.
.
.
.
.
.

High altitude pulmonary edema.


Edemaparu neurogenik.
Over dosis obat narkotik
Emboli paru.
Eklampsia
Pasca kardioversi.
Pasca anastesi
Pasca operasi pintas jantung paru

yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menimbulkan

edema paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan


perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial,
sehingga cairan dapat berpindah dengan lebih mudah di
antara sistem kapiler dan limfatik.
P eruingkatan ne gativitas

dari tekanan inters tis ial. Edema


paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara
pleural. Keadaan yang sering menjadi etiologi adalah : (l).
Perpindahan yang cepat pa{a pengobatan pneumotoraks
dengan tekanan negatif yang besar. Keadaan ini disebut
'edema paru re-ekspansi'. Edema biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis
dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus
yang menjadikan 'edema paru re-ekspansi' ini berat dan

membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif. (2).


Tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan

nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir


(misalnya pada asma bronkial).

EDEMAPARU KARDIOGENIK
Secara patofisiologi edema paru kardiogenik .ditandai
dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang
rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di
atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi
tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari
membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah

penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak


nafas.

Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat


yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage

I distensi dan

keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat


peningkatan tekanan di atrium kiri dapat memperbaiki
pertukaran udara di paru dan meningkatkan kemampuan
difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan
terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik, dan

disertai ronki inspirasi akibat terbukanya saluran

Gangguan Permeabilitas Membran Kapiler


Alveoli: (ARDS = Adult Respiratory Disfress

Syndrome)
ini merupakan akibat langsung dari kerusakan
pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak
kondisi medis maupun surgikal tertentu yang
berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan
Keadaan

pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Starling

Force.

.
.
.
.
.
.
.

Pneumonia (bakteri, virus, parasit)


Terisap toksin (NO, asap).
Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
Aspirasi asam lambung.
Pneumonitis akut akibat radiasi
Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)

Disseminated intravascular coagulation

pernafasan yang tertutup.


Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya
atal stage 2, edema interstitial diakibatkan peningkatan
cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan
jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini
akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dari petanda vaskular paru, hilangnya
demarkasi dari bayangan hilus paru dan penebalan septa
interlobular (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi
kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh

darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan di


daerah interstisium yang longgar tersebut, dan akan terjadi
pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang
menimbulkan refl eks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan
antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya

hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang

L774

KARDIOI.OGI

EPK

EPNK

Anamnesis
Jarang
Penyakit dasar I B-C,

(+)

Acute cardiac event

il, tv
Penemuan Klinis
Perifer

Dingin (low flow


slate)

Hangat (high flow state)


Nadi kuat

53 gallop / kardiomegali

(+)

(,

JVP

Meningkat
Basah

Tak meningkai

Ronki

Kering
Tanda penyakit dasar

Laboratorium
EKG

Foto toraks
Enzim kardiak
PCWP
Shunt intra pulmoner
Protein cairan edema
JVP:

lskemia / infark
Disiribusi perihiler
Bisa meningkat
> lB mmHg.
Sedikit

<05

Biasanya normal
Distribusi perifer
Biasanya normal
< 18 mmHg.
Hebat
>o.7

jugular venous pressure

PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure

semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut


misalnya, beratnya hipoksernia berhubungan dengan
tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga
seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnu.
Pada proses yang terus berlanjut, atau meningkat

yang ditimbulkan adalah keadaan hipoksia berat.


Bersamaan dengan hal tersebut terjadi juga rasa takut

menjadi stage 3 edema paru tersebut, proses pertukaran


gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang
berat dan seringkali bahkan menjadi hipokapnea. Alveolar
yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar
saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan

Dengan peningkatan rasa tidak nyaman dan usaha

mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh


si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume
paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari
kanan ke kiri pada intrapulmonar akibat perfusi dari alveoli
yang telah terisi oleh cairan. Walaupun hipokapnea yang

pada pasien karena kesulitan bernafas, yang berakibat


peningkatan denyut jantung dan tekanar darah sehingga
mengurangi kemampuan pengisian dari ventrikel kiri.
bernapas yang harus kuat akan menambah beban pada
jantung sehingga fungsi kardiak akan semakin menurun,
dan diperberat oleh keadaan hipoksia. Bila kejadian ini
tidak diatasi dengan segera, tingkat mortalitas edema paru
akut kardiogenik masih tinggi.

Manifestasi Klinis
Anamnesis. Edema paru akut kardiak berbeda dari
ortopnea dan paroksismal nokturnal dispnea, karena

terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin

kejadiannya yang sangat cepat dan terjadinl,a hipertensi

memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis


respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah
menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini
terapi morfin, yang diketahui memiliki efek depresi pada

pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan

pernafasan, bila akan dipergunakan harus dengan


pemantauan yang ketat.

Diagnosis dan Etiologi


Edema paru kardiogenik akut merupakan gejala yang
dramatik kejadian gagal jantung kiri yang akut. Hal ini dapat
diakibatkan oleh gangguan padaj alur keluar di atrium kiri,
peningkatan volume yang berlebihan di ventrikel kiri,
disfungsi diastolik atau sistolik dari ventrikel kiri atau
obstruksi pada jalur keluar dari ventrikel kiri. Peningkatan
tekanan di atrium kiri dan tekanan baji paru mengawali
terjadinya edema paru kardiogenik tersebut. Akibat akhir

pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka


merasakan ketakutan, batuk-batuk dan seperti seorang
yang akan tenggelam. Pasien biasanya dalam posisi duduk
agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan
lebih baik saat respirasi, atau sedikit membungkuk ke depan,
sesak hebat, mungkin disertai sianosis, sering berkeringat
dingin, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan
Qtink frothy sputum).

Pemeriksaan fisis. Dapat ditemukan frekuensi nafas yang


meningkat, dilatasi alae nasi, akan terlihat retraksi inspirasi

pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang


menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar
dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan
terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau
lebih, sering disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat

1775

EDEMAPARUAKUT

ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II pulmonal


mengeras, dan tekanan darah dapat meningkat.

maka perlu dilakukan intubasi endotrakheal , suction dan


penggunaan ventilator.

Radiologis. Pada foto toraks menunjukkan hilus yang

Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin

melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan


paru, akibat edema interstisial atau alveolar.

diberikan peroral 0,4

Lab o r at o r i um. Kelainan pemeriksaan I aboratorium

se su

ai

dengan penyakit dasar. f,Iji diagnostik yang dapat


dipergunakan untuk membedakan dengan penyakit lain
misalnya asma bronkial adalah pemeriksaan kadar BNP
(brain natriuretic peptide) plasma. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan cepat dan dapat menyingkirkan
penyebab dyspneu lain seperti asma bronkial akut. Pada
kadar BNP plasma yang menengah atau sedang dan
gambaran radiologis yang tidak spesifik, harus dipikirkan
penyebab lain yang dapat mengakibatkan terjadinya gagal

0,6 mg tiap 5

10

menit . Jika tekanan

darah sistolik cukup baik (> 95 mmHg). Nitrogliserin


intravena dapat diberikan dimulai dengan dosis 0.3 - 0.5
mglkgBB. Jika nitrogliserin tidak memberi hasil yang
memuaskan, maka dapat diberikan nitroprusid.

Morfin Sulfat. Diberikan 3 15

5 mg i.v., dapat diulangi tiap


menit. Sampai total dosis I 5 mg biasa cukup efektif.

Diuretik i.v. Diberikzm furosemid 40-80 mg i.v. bolus, dapat


diulangi atau dosis ditingkatkan setelah 4 jam, atau
dilanjutkan dengan drip kontinyu sampai dicapai produksi
urine l mVkgBB/jam.

yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan


membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang
dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini

Obat untuk Menstabilkan Klinis Hemodinamik


. Nitroprusid i.v.: dimulai dosis 0,1 mglkg BB/menit.
diberikan pada pasien yang tidak memperlihatkan
respons yang baik dengan terapi nitrat atau pada pasien
dengan regugitasi mitral, regurgitasi aorta, hipertensi
berat. Dosis dinaikkan sampai didapat perbaikan klinis
dan hemodinamik, atau sampai tekanan darah sistolik
85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai
tekanan darah yang normal atau selarna dapat
dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ
vital.
. Dopamin 2 - 5 pg &g BB/menit : atau dobutamin2 - 10
mg kgBB I menit. osis dapat ditingkatkan sesu ai respon
klinis, dan kedua otiat ini bila diperlukan dapat diberikan

belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang


dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain : iskemia

jantung tersebut, misalnya restriksi pada aliran darah di


katup mitral yang harus dievaluasi dengan pemeriksaan
penunjang lain seperti ekokardiografi.

EKG. Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali


didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark pada infarks
miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis
hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya
menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien
dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik

biasanya menunjukkan gambaran gelombang

T negatif

sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan


tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis

kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan


metabolik atau katekol amin.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terutama untuk edema paru akut
kardiogenik. Terapi EPA harus segera dimulai setelah
diagnosis ditegakkan meskipun pemeriksaan untuk
rnelengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisis masih
berlangsung. Pasien diletakkan pada posisi setengah

duduk atau duduk, harus segera diberi oksigen,


nitrogliserin, diuretik i.v., morfin sulfat, obat untuk

bersama-sama.

Digitalisasi bila ada fibrilasi atrium (AF) atau


kardiomegali.

; atau revaskularisasi (urgent PTCA,


CABG) padapasien infark miokard akut.

Obat trombolitik

pada pasien dengan hipoksia berat,


asidosis atau tidak berhasil dengan terapi oksigen.

Intubasi dan ventilator

Terapi terhadap artimia atau gangguan konduksi.

Koreksi defrnitif misalnya penggantian katup atatt repair


pada regurgitasi mitral berat bila ada indikasi dan keadaan

klinis mengizinkan.

PROGNOSIS

menstabilkan hemodinamik, trombolitik dan revaskularisasi,

intubasi dan ventilator, terapi aritmia dan gangguan


konduksi. serta koreksi definitif kelainan anatomi.
Terapi oksigen. Oksigen (40-507o) diberikan sampai dengan
8 L/menit, untuk mempertahankan PaOr.kalau perlu dengan
masker. Jika kondisi pasien makin memburuk, timbul
sianosis, makin sesak, takipneu, ronki bertambah, PaO,
tidak bisa dipertahankan > 60 mmHg dengan terapi O,
konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO, hipoventilasi,
atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat,

Hingga saat ini mortalitas akibat edema paru akut termasuk


yang disebabkan kelainan kardiak masih tinggi. Setelah
mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat pasien
dapat membaik dengan cepat dan kembali pada keadaan
seperti sebelum serangan. Kebanyakan dari mereka yang
selamat mengatakan sangat kelelahan pada saat serangan
tersebut. Diantara beberapa gejala edema paru ini terdapat
tanda dan gejala gagal jantung.
Prognosis jangka panjang dari edema paru akut ini

1776

I(ARDIOI.OGI

sangat tergantung dari penyakit yang mendasarinya,


misalnya infark miokard akut serta keadaan komorbiditas
yang menyertai seperti diabetes melitus atau penyakit ginjal
terminal. Sedangkan prediktor dari kematian di rumah sakit

antara lain adalah

: diabetes, disfungsi ventrikel kiri,

hipotensi atau syok dan kebutuhan akan ventilasi mekanik.

AM et al. The pathogenesis of acute


pulmonary edema associated with hypertension N Engl J Med

Gandhi SK, Powers JC, Nomeir

2001: 344: 1.7.


Hunt SA, Baker DW, Chin MH et a1. ACC/AHA guidelines for the
evaluation and management of chronic heart failure in the adult:
Executive Summary. A report of the American College of

Cardiology/American Heart Association Task Force on


Practice Guidelines (Committee to Revise the 1995 Guidelines

for the Evaluation and Management of Heart

Failure)
Circulation 200I: 104: 2996.
Kawanishi DT, Rahimtoola S.H. Acute Pulmanary Edema in Hurst
J.W. Current Therapy in : Cardiovascular Disease, 3'd ed

REFERENSI
ACC/AHA Task Force Report : Guidelines for the Evaluation and

of

Heart Failure. Circulati-oo 1995 ;92:27 64-21 84.


Braundwauld E, Colucci WS and Grossman W : Clinical Aspect of
Heart Failure : Pulmonary Edema in : Braundwauld E : Heart
Disease, A Textbook of Cardiovascular Medicine, 7'h ed.
Philadelphia : WB Saunders Company; 2005.p. 539-68.
Goldberger E, Wheat MV : Treatment of Cardiac Emergency:
Cardiopulmonary Emergencies 5'h ed, St Louis: The CV Mosby
Companyi 1990 p. 194 210.
Galloway JM, Fenster PE : Acute Pulmonary Edema in : Green HL,
Johnson WP, Maricic MJ : Decision Making in Medicine. St
Louis: Mosby Year Book Inc; 1993.p. 70-71.
Management

Philadelphia: B.C. Decker Inc; 1991.p. 3-7.


F, Remme WJ et a1. The effect of spironolactone on
morbidity and mortality in patients with severe heart failure N
Engl J Med 1999; 347: 109-17.
Schlant RC, Sonnenblick EH : Phatophysiology of Heart Failure ln:
Schlant RC, Alexander RW : The Heart Arteries and Veins 8h ed,
New York: McGraw-Hill, Inc; 1994.p. 515-55.
Schuller D, Lynch JP, Fine D. Protocol-guided diuretic management: Comparison of furosemide by continuous infusion and
intermittent bolus. Critical Care Med 1991l,25:1969-'75.

PittB, Zarnad

278
PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI
Marulam M. Panggabean

PENDAHULUAN
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar
antara 5-l}Vo sedangkan tercatat pada tahun 1 978 proporsi
penyakit jantung hipertensi sekitar 14,37o dan meningkat
menjadi sekitar 39Vo pada tahun 1985 sebagai penyebab
penyakit jantung di Indonesia.

Sejumlah 85-90Vo hipertensi tidak diketahui


penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer
(hipertensi esensial atau Idiopatik). Hanya sebagian kecil
hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi

sekunder).Tidak ada data akurat mengenai prevalensi


hiperlensi sekunder dan sangat tergantung di mana angka
itu diteliti. Diperkirakan terdapatseT<ltar 6Ea pasien hipertensi
sekunder sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar
35Vo.Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2

mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan gangguan


fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena
komplikasi jantung (yang disebut sebagai penyakit jantung
hipertensi). Juga dapat menyebabkan strok, gagal ginjal,
atau gangguan retina mata.

PATOGEN ESIS PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI

Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan kompensasi


jantung menghadapi tekanan darah tinggi ditambah
dengan faktor neurohumoral yang ditandai oleh penebalan

konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi


diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan
relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi
ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis

sistolik)
Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris,infark
jantung dll) dapat terjadi karena kombinasi akselerasi
proses aterosklerosis (lihat patogenesis aterosklerosis atau
penyakit jantung koroner) dengan peningkatan kebutuhan
oksigen miokard akibat dari HVK. HVK, iskemia iniokard
dan gangguan fungsi endotel merupakan faktor utama
kerusakan miosit pada hipertensi.
Evaluasi pasien hipertensi atau penyakitjantung hipertensi

ditujukan untuk:
. meneliti kemungkinan hiperlensi sekunder,
. menetapkan keadaan pra pengobatan,

.
.

menetapkan faktor faktor yang mempengaruhi


pengobatan atau faktor yang akan berubah karena
pengobatan,
menetapkan kerusakan organ target, dan
menetapkan faktor risiko PJK lainnya.

KELUHAN DAN GEJALA


Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya
kebanyakan pasien tidak ada keluhan. Bila simtomatik,
maka biasanya disebabkan oleh
1. Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar
debar,rasa melayang (dizzy') dan impoten
2. Penyakit jantung/hipertensi vasksular seperti cepat
capek, sesak napas,sakit dada (iskemia miokard atau
diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut. Gangguan

vaskular lainnya adalah

epistaksis,

hematuria, pandangan kabur karena perdarahan retina,


transient serebral ischemic.

dan aktivasi sistem RAA memacu mekanisme FrankStarling melalui peningkatan volume diastolik ventrikel
sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi
gangguan kontraksi miokard (penurunan /gangguan fungsi

3. Penyakit dasar seperti

pada hipertensi sekunder:

polidipsia, poliuria, dan kelemahan otot pada


aldosteronisme primer, peningkatan BB dengan emosi

t777

1778

yang labil pada sindrom Cushing. Feokromositorna


dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala,
palpitasi, banyak keringat dan rasa melayang saat berdiri
Qtostural dizztrt).

KARDIOI-OGI

.
.
.
.

Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai keadan umum:

memperhatikan keadaan khusus seperti: Cushing,


feokromasitoma, perkembangan tidak proporsionalnya

kiri dan kanan

saat tidur dan berdiri. Funduskopi dengan


klasifikasi Keith-Wagener-Barker sangat berguna untuk
menilai prognosis. Palpasi dan auskultasi arterikarotis
nntuk menilai stenosis atau oklusi.

Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran

Ekokardiografl dilakukan karena dapat menemukan HVK


lebih dini dan lebih spesilft (spesifisitas sekitar 95-10070).
Indikasi ekokardiografi pada pasien hipertensi adalah:

PEMERIKSAAN FISIS

tubuh atas dibanding bawah yang sering ditemukan pada


pada koarktasio aorta"Pengukuran tekanan darah di tangan

Trigliserida, HDL dan kolesterol LDL


Kalsium dan fosfor
Foto toraks

Konfirmasi gangguan jantung atau murmur


Hipertensi dengan kelainan katup
Hipertensi pada anak atau remaja
Hipertensi saat aktivitas,tetapi normal saat istirahat
Hipertensi disertai sesak napas yang belum jelas
sebabnya (gangguan fungsi diastolik atau sistolik)
Ekokardiografi-Doppler dapat dipakai untuk menilai
fungsi diastolik (gangguan fungsi relaksasi ventrikel

kiri, pseudo-normal atau tipe restriktif).

PENATALAKSANAAN

jantung ditujukan untuk menilai HVK dan tanda-tanda


gagal jantung. Impuls apeks yang prominen. Bunyi jantung
52 yang meningkat akibat kerasnya penutupan katup aofta.

Kadang ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi


aorta. Bunyi 54 (gallop atrial atau presistolik) dapat
ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium kiri.
Sedangkan bunyi S3 (gallop vetrikel atau protodiastolik)

ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri


meningkat akibat dari dilatasi ventrikel kiri.Bila S3 dan 54

Penatalaksanaan Llmum hipertensi mengacu kepada


tuntunan umLrm (JNC VII 2003, ESHiESC 2003).
Pengelolaan lipid agresif dan pemberian aspirin sangat
bermanfaat.
Pasien hipertensi pasca infarkjantung sangat mendapat
manfaat pengobatan dengan penyekat beta , penghambat
ACE atau antialdosteron

Pasien hipertensi dengan risiko PJK yang tinggi

ditemukan bersama disebut .swmmatittn gallop. Paru perlu


diperhatikan apakah ada suara napas tambahan seperti
ronki basah atau ronki kering/mengi. Pemeriksaan perut

mendapat manfaat dengan pengobatan diuretik, penyekat


beta dan penghambat kalsium.
Pasien hipertensi dengan gangguan fungsi ventrikel

ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati,

mendapat manfaat tinggi dengan pengobatan diuretik,


penghambat, ACE/ARB, peny'ekat beta dan antagonis
aldosteron.
Bila sudah dalam tahap gagal jantung hipertensi, maka
prinsip pengobatannya sama dengan pengobatan gagal
jantung yang lain yaitu diuretik, penghambat ACE/ARB,
penghambat beta, dan penghambat aldosteron.

limpa, ginjal dan asites. Auskultasi bising sekitar kiri kanan


umbilikus (.renal artery stenosis). Arteri radialis, Arteri

femoralis dan arteri dorsalis pedia harus diraba.Tekanan


darah di betis harus diukur minimal sekali pada hipertensi
umur muda (kurang dari 30 tahun).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
REFERENSI
Pemeriksaan laboratorium awal meliputi:
Urinalisis:protein,leukosit,eritrosit, dan silinder

.
.
.
.
.
.
.

Hemoglobin/hematokrit
Elektrolitdarah:Kalium
Ureum/kreatinin
Gula darah puasa
Kolesterol total
Elektrokardiografi menunjukkan HVK pada sekitar 20507o (kurang sensitit) tetapi masih menjadi metode
standar.

Apabila keuangan tidak menjadi kendala,maka diperlukan


pula pemeriksaan:
. TSH
. Leukosit darah

Boedi-Darmojo et al,6'h Asean Congress of Cardiology,Jakarta,l986


Chobanian AV,Bakris GL,BIack HR et al The seventh report of the

joint natiolral committee on prevention,detection,evaluation


and tratment of high blood pressure:the JNC 7 report.JAMA.
2003:,289:2560-12
Fisher NDL, Williams GH.Hipertensive vascular disease.In: Kasper
DL,Braunwald E,Fauchi AS, et.al.editors.Harrison's principles
of internal medicine. 16 ed 2003 :1463-81
Guidelines Committee 2003 European Society of HypertensionEuropean Society of Cardiology guidelines for the managetrent
of arterial hypertension.J Hypertens. 2003;21:101 1.
Panggabean MM.Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit jantung

Alwi l, Fahrial Syam A, et al.Prosiding


simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular 23
Februari-25 Februari 2001.Jakarta:Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian I.PDalam FKUI.
hipertensi. In:Bawazir LA,

279
PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL
PADA DEWASA
AliGhanle

Di Amerika penyakit jantung kongenital baik yang

PENDAHULUAN
Def

dikoreksi maupun yang tidak diperkirakan meningkat 5 %


perlahun. Insiden penyakitjantung kongenital diperkirikan
sebesar 0.8 %, di mana 85 7a di antarcnya bertahan hidup
sampai dewasa muda.

inisi

Penyakit jantung kongenital merupakan kelainan struktur


atau fungsi dari sistem kardiovaskular yang ditemukan
pada saat lahir, walaupun dapat ditemukan di kemudian

Pada dasarnya kelainan jantung kongenital


dikelompokkan atas dua kelompok besar yaitu kelompok
tanpa sianosis, dan yang disertai sianosis.

hari.

Kelompok sianosis secara rinci lebih banyak


lnsiden

dibicarakan dalam kardiologi anak, sebagian di antaranya


dilakukan tindakan reparasi, sebagian lagi hanya paliasi.
Sedangkan sernbuh pada beberapa kasus masihjauh dari
memuaskan, sehingga tetap menjadi pasien sesudah suatu
tindakan, karena sebagian tindakan bersifat bukan kuratif.
Sementara itu kelainan kongenital yang mencakup katup
dibicarakan pada bab penyakit jantung katup.
Cakupan dalam buku ajar ini hanya kelompok non-

Kejadian yang sebenarnya dari kelainan kardiovaskular


sulit ditentukan secara akurat, oleh karena ada beberapa
hal yang tidak terdeteksi pada saat kelahiran, misalnya
stenosis aorta bikuspidalis dan prolaps katup mitral,
padahal keduanya merupakan kelainan paling sering
ditemukan. Demikian pula beberapa kelainan lain seperti
sindrom Marfan dan anomali Ebstein.
Frekuensi relatif kejadian malformasi jantung pada
persalinan
. Defek septurn ventrikel
30.5 Va

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Defek septum atrium


Duktus arteriosus persisten
Stenosis pulmonal

aorta
aorta
Fallot

Koarktasio

9.8

Vo

9.7

Vo

6.9

7o

sianosis sebelum tindakan intervensi yang bertahan


sampai dewasa, antara lain defek septum atrium (DSA),
defek septum ventrikel (DSV), duktus afteriosus persisten
(DAP), koarktasio aorta (KA), tetralogi Fallot (TF), serta
transposisi pembuluh darah besar (TPB)

6.87o

Etiologi

Stenosis
6.7 Vo
Tetralogi
5.8 Vo
Transposisi pembuluh darahbesar 4.2Vo

Trunkus arleriosus persisten


Atresia trikuspid

Sulit ditentukan, terjadi akibat interaksi genetik yang multi


faktorial dan sistem lingkungan, sehingga sulit untuk
ditentukan satu penyebab yang spesifik.

2.2Vo
1.3

Vo

Dalam 20-30 tahun terjadi kemajuan pesat dalam


diagnosis dan pengobatan penyakit jantung kongenital
pada anak-anak. Sebagai akibatnya anak-anak dengan
penyakit jantung kongenital bertahan hidup sampai

DEFEK SEPTUM ATRIUM (DSA)

dewasa.

Defek septum atrium merupakan keadaan di mana terjadi

Definisi dan Morfologi

t77

1780

I(ARDIOLOGI

defek pada bagian septum antar atrium sehingga terjadi


kiri dan kanan.

komunikasi langsung antara atrium

Septum atrium yang sesungguhnya adalah dalam lingkaran

fosa ovalis.
Menurut lokasi defek DSA dikelompokkan menjadi :
. Defek septum atrium (DSA) sekundum, defek terjadi
pada fosa ovalis, meskipun sesungguhnya fosa ovalis
merupakan septumprimum. (Gambar 1)
Gambar 4. Defek septum primum

Fisiologi/Hemod inami k
Akibat yang timbul karena adanya defek septum atrium
sangat tergantung dari besar dan lamanya pirau serta
resistensi vaskular paru. Ukuran defek sendiri tidak banyak

berperan dalam menentukan besaran dan arah pirau.


Sebagaimana diketahui tidak terdapat gradien antara atrium

kiri
Gambar 1. Defek septum

atrium

Gambar 2. Jantung normal

sekundum

Pada keadaan tertentu di mana defek cukup besar dapat

keluar dari lingkaran fosa ovalis. Umumnya defek


bersifat tunggal tetapi pada keadaan tertentu dapat
terjadi beberapa fenestrasi kecil, dan sering disertai

dan kanan, aliran darah akan tergantung dengan

besarnya resistensi. Oleh karena ventrikel kanan lebih tipis


danlebih akomodatif, arah aliran dari atriumkiri dan atrium
kanan akan menuju ventrikel kanan. Terjadi beban volume

berlebihan pada atrium dan ventrikel kanan, sementara


volume di atrium dan ventrikel kiri tetap atau menurun.
Terjadi perubahan konfigurasi diastol di ventrikel kiri,
karena septum ventrikel akan mencembung ke arah kiri

dengan aneurisma fosa ovalis.

Defek septum atrium dengan defek sinus venosus

Manifestasi dan Pemeriksaan Fisis

superior, defek terjadi dekat muara vena kava superior,


sehingga terjadi koneksi biatrial. (Gambar 3) Sering
vena pulmonalis dari paru-paru kanan juga mengalami
anomali, di mana vena tersebut bermuara ke vena kava
superior dekat muaranya di atrium. Dapat juga terjadi
defek sinus venosus tipe vena kava inferior, dengan
lokasi di bawah foramen ovale dan bergabung dengan
dasar vena kava inferior.

Defek septum atrium sekundum lebih sering terjadi pada


perempuan dengan rasio 2 : I antara perempuan dan pria,
sedangkan pada tipe sinus venosus rasio 1 : 1.
Defek septum atrium (DSA) sering tidak terdeteksi
sampai dewasa karena biasanya asimtomatik, dan tidak
memberikan gambaran diagnosis fisik yang khas. Lebih
sering ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
rutin foto toraks (gambar 7,8,9,10,11) atau ekokardiografi.

Walaupun angka kekerapan hidup tidak seperti

Gambar 3. Defek septum atrium sinus venosus

Defek septum atrium primum, merupakan bagian dari


defek septum atrioventrikular dan pada bagian atas
berbatas dengan fosa ovalis sedangkan bagian bawah
dengan katup atrioventrikular. (Gambar 4.)

normal, cukup banyak yang bertahan hidup sampai usia


lanjut. Oleh karena itu DSA tipe sekundum merupakan
kelainanjantung kongenital yang paling sering ditemukan
pada dewasa.
Sesak napas dan rasa capek paling sering merupakan
keluhan awal, demikian pula infeksi napas yang berulang.
Pasien dapat sesak pada saat aktivitas, dan berdebardebar akibat takiaritmia atrium. Pada pemeriksaan fisis
dapat ditemukan pulsasi ventrikel kanan pada daerah para
sternal kanan, wide fixed splitting bunyi jantung kedua
walaupun tidak selalu ada, bising sistolik tipe ejeksi pada
daerah pulmonal pada garis sternal kiri atas, bising mid
diastolik pada daerah trikuspid, dapat menyebar ke apeks.
Bunyi jantung kedua mengeras di daerah pulmonal, oleh
karena kenaikan tekanan pulmonal, dan perlu diingat
bahwa bising-bising yang terjadi pada DSA merupakan
bising fungsional akibat adanya beban volume yang besar

1781

PENYAXIT JANTUNG KONGENITAL PADA DHWASA

pada jantung kanan. Sianosis jarang ditemukan, kecuali

bila defek besar atau com.mon. atriurn. defek

sinr-rs

koronarius, kelainan vaskular paru, stenosis pulmonai


atau bila disefiai anomali Ebstein.

Elektrokardiograf

Elektrokardiografi menunjukkan aksis ke kanan. blok


bundel kanan, hipertrofi ventrikel kanan, interval PR
memanjang, aksis gelombang P abnormal, aksis ke kanan
secara ekstrim biasanya akibat defek ostium primum.

(Gambar 5 dan 6)
.

:"]-.,'-';,- '

Gambar 8. Foto rontgen dada pada pemeriksaan rutin, rasio


jantung-toraks membesar, segmen pulmonal menonjol, dan afteri
pulmonal kanan juga melebar dan tappered Pemeriksaan

ekokardiografi

menunjukkan suatu DSA sekundum

Gambar 5. Elektrokardiogram seorang perempuan 17 tahun,


menderita DSA ll yang menunjukan gambaran incomplete RBBB

Gambar 6. Elektrokardiogram seorang perempuan 33 tahun,


menderita DSA ll yang menunjukan gambaran complete RBBB

Gambar 9. Foto rontgen dada atas indikasi kelainan paru , terlihat

Foto Rontgen Dada

fibrosis pada kedua lapangan paru, segmen pulmonal terlihat

"

Pada foto lateral terlihat daerah retrostemal terisi, Lkibat

tetapi akibat tarikan fibrosis pada daerah hilus. Ekokardiografi

pembesaran ventrikel kan an.

menuniukkan DSA sekundum

"
.

membesar, walaupun pinggang jantung juga terlihat rnenghilang,

Dilatasi atriumkanan
Segmen pulmonai menonjol, corakan vaskular paru
promlnen

Gambar 10. Foto rontgen dada seseorang yang memang ciiketahui


Gambar 7. Pada tolo rontgen dada secara kebetulan ditemukan
adanya pembesaran segmen pulmonal, dan pada pemeriksaan
ekokardiografi terbukli sebagai DSA sekundum

sebagai penderita DSA sekundum berat tanpa tindakan, setelah


7 tahun terlihat kardiomegali dengan segmen pulmonal dan arteri
pulmonalis kanan yang sangat menonjol

1782

Gambar

KARDIOI]OGI

1 1

. Foto ro ntgen dada seoran g laki-laki, 49 tahun, dengan

keluhan sesak napas, splitting bunyi kedua, menunjukkan rasio


lantung- thorak membesar dengan segmen pulmonal yang

Gambar 14. Ekokardiografi 2-D transtorakal menunjukan adanya


defek septum atrium dan ventrikel (sinus venosus, defek
atriovenlrikulo septum)

menonjol, terbukti sebagai DSA ll pada pemeriksaan ekokardiografi


pulmonal menonjol dan pembesaran aderi pulmonalis kanan

Ekokardiograf

'

Dengan menggunakan ekokardiografi transtorakal


(ETT) dan doppler berwama dapat ditentukan lokasi
det-ek septum. arah pirau, ukuran atrium dan ventrikel
kanan, keterlibatan katup mitral rnisalnya prolaps yang
memang sering terjadi pada DSA (gambar l2 s/d 18)

Ekokardiografi tr-ansesofageal (ETE) sangat bemanfaat


bila, dengan cara ini dapat dilakukan pengukuran besar
defek secara presisi, sehingga dapat membantu dalam
tindakan penutupan DSA perkutan,juga keiainan yang
menyerlai (gambar.

15, 1 6, 17, I

8)

Gambar 15. Eko transesofageal menunjukkan defek septum


primum dan adanya delek septum ventrikel (tanda panah)

Gambar 12. Ekokardiograti 2-D seorang laki-laki 49 th


menunjukkan defek atrium sekundum dengan pirau dari atrium kiri
ke kanan (secara kebetulan dicurigai dari foto rontgen dada pada

gambar .10 sebagai DSA).

Gambar 16. Seorang laki-laki 63 tahun diketahui menderita DSA


sekundum, menolak tindakan penutupan defek. Setelah beberapa

tahun teriadi kenaikan tekanan hiperlensi pulmonal sedemikian


(sindrom Eisenmenger) Pada pemeriksaan ekokardiografi 2-D
transtorakal, terlihat defek septum namun pada ekokardiografi
Gambar 13. Ekokardiografi warna 2-D yang diambil pada tahun
1998 menun1ukkan defek septum sekundum dengan pirau dari
atrium kiri ke airium kanan (warna merah) Foto terakhir pada

warna tidak jelas terlihat arah pirau. Pada pemeriksaan

tahun 2005 menun.lukkan adanya hiperlensi pulmonal yang berat

atrium kiri dan merah berupa pirau dari atrium kiri kekanan, tanda
panah)

(gambar 9)

ekokardrografi transesofageal terlihat defek cukup besar dengan

pirau dua arah (warna biru berupa pirau dari atrium kanan ke

1783

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA

indikasi penutupan DSA :


. Pembesaran jantung pada foto toraks, dilatasi ventrikel
kanan, kenaikan tekanan arteri pulmonalis 50olo atau
kurang dari tekanan aofia, tanpa mempertimbangkan
keluhan. Prognosis penutupan DSA akan sangat baik
dibanding dengan pengobatan medikamentosa. Pada
kelompok umur 40 tahun ke atas harus dipertimbangkan
terjadinya aritmia atrial, apalagi bila sebelumnya telah

.
Gambar 17. Pemeriksaan eko transesofageal menunjukkan
kelainan berupa stenosis katup trikuspid, dan stenosis katup
pulmonal yang menyertai kelainan DSA sekundum

ditemui adanya gangguan irama. Pada keiompok ini perlu


diperlimbangkan ablasi perkutan atau ablasi operatif
pada saat penutupan DSA.
Adanya riwayat iskemiktransient atau strok pada DSA
atau foramen ovale persisten

Operasi merupakan kontraindikasi bila terjadi kenaikan


resistensi vaskular paru 7-B unit, atau ukuran defek kurang
dari 8 mm tanpa adanya keluhan dan pembesaran jantung

kanan.

Tindakan penutupan dapat dilakukan dengan operasi


terutama Llntuk defek yang sangat besar lebih dari 40 mm,
atau tipe DSA selain tipe sekundum.
Sedangkan untuk DS,A sekundum dengan ukuran defek

lebih kecil dari 40 rnm harus dipertimbangkan penutupan


dengan kateter dengan menggunakan aruplatz.er septal
occluder. Masih dibutuhkan evaluasi jangka panjang

untuk menentukan kejadian aritmia dan komplikasi


tromboemboli.

Pemantauan Pasca Penutupan DSA

.
Gambar 1 8. Pemeriksaan eko transesofageal menunjukkan defek
septum atrium sekundum dan adanya stenosis tricuspid.

pemantauan
Pada dewasa atau umur yang lebih lanjut perlu evaluasi

periodik, terutama bila pada saat operasi telah

Kateterisasi Jantung
Pemeriksaan ini diperlukan guna
. Melihat adanya peningkatan saturasi oksigen di atrium
kanart
. Mengukur rasio besarxya aliran pulrnonal dan sistemik
(Qp/Qs)
. Menetapkan tekanan dan resistensi arteri pulmonalis
. Evaluasi anomali aliran vena pulmonalis
' Angiografi koroner selektif pada kelompok umur yang
Iebih tua, seLrelum tindakan operasi penutupan DSA.

Pada anak-anak tidak bermasalah, dan tidak memerlukan

ada

kenaikan tekanan arteri pulmonal, gangguan ir-ama atatt

disfungsi ventrikel

Profilaksis untuk endokarditis diperlukan pada DSA


prirnum, regurgitasi katup, juga dianjurkan pemakaian
antibiotik selama 6 bulan pada kelompok yang menjalani
penutupan perkutan.

DEFEK SEPTUM VENTRIKEL (DSV)

Magnetic Resonunce Imaging

.
.

Sebagai tambahan dalam menentukan adanyadan lokasi

DSA
Evaluasi anomali aliran vena. bilabelum bisa dibuktikan
dengan modalitas lain
Dapat juga dipakai untuk estimasi Qp/Qs

Definisi dan Morfologi


Merupakan kelainan jantung di mana terjadi def"ek sekat
antarventrikel pada berbagai lokasi. (Gambar 18)

Merupakan kelainan kongenital yang tersering


sesudah kelainan aorla bikuspidalis, sekitar 20 Vc (1.5 --2.5
dalam 1000 persalinan, tidak ada perbedaan kejadian antara

Penatalaksanaan

laki-laki dan perempuan)

Pada dewasa sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor


tennasukkeluhan. umur, ukuran dan anatomi defek, adanl,a

defek relatif pada empat komponen lokasi septum.

kelainan yang menyertai. tekanan arteri pulmonal serta


lcsistcnsi r askrrlar paru.

(ekokardiografi gambar 1 9,20)


. Perimembranous, merupakan tipe yang paling sering

ICasifikasi def'ek septum ventrikel ditentukan oleh lokasi

t784

I(ARDIOLOGI

(80Ea), menggambarkan defisiensi dari membran


septum langsung di bawah katup aorta (Gambar 19).
Muskular, di mana defek dibatasi oleh daerah otot (5 207o). (gan:/l,ar 20)
Double comnitted subarterial ve.ntricuLar septal
defect. sebagian dari batas defek dibentuk oleh temsan
jaringan ikat katup aorta dan pulmonal (67o).

Ukuran dan besarnya aliran melalui defek merupakan

faktor yang penting dalam menentukan akibat fisiologls


klasifikasi DSV.
Ekokardiografi dapat dipakai untuk mengukur besarnya

serta tambahan

defek dan menghitung perbandingan besar defek terhadap

ukuran annulus aorta.

Pada DSV kecil ('nruladie de Roger'), ukuran def-ek


lebih kecil dari 1i3 anulus aorta, terjadi gradien yang
signifikan antara ventrikel kiri dan kanan (>54 mmHg).
Defek seperti ini disebut restriktif, dengan berbagai
variasi aliran dari kiri ke kanan, tekanan sistol ventrikel

kanan dan resistensi pulmonal normal.(gambar

ekokardiografi 20)

Defek septum ventrikel moderat dengan restriksi,


gradien berkisar 36 mmHg, besar defek sekitarr,/z anulus
aorta. Awalnl,a derajat aliran dari kiri ke kanan bersifat
sedang berat. Resistensi vaskular paru dapat meningkat,

tekanan sistolik ventrikel kanan dapat meningkat


walaupun tridak melampaui tekanan sistemik. Ukuran

atrium dan ventrikel

Gambar 19. Defek septum ventrikel

kiri

dapat membesar akibat

befiambahnya beban volume.


Pada DSV besar non restriktif, tekanan sistol ventrikel

kiri

dan kanan sama. Seba-eian besar pasien akau


mengalami perubahan vaskular paru yang menetap
dalarn waktu satu atau dua tahun kehidupan. Dengan
waktu terjadi penurunan aliran dari kiri ke kanan.
bahkan terjadi aliran dari kanan ke kiri, yang kita kenal
sebagai fi si ologi Eisenmenger. (gambar ekokardio grafi
le)

Gambaran Klinis
Gambar 20. Eko transesofageal seorang perempuan 40 tahun
dengan bising sistolik tipe ejeksi menunjukkan t DSV besar
perimembran dengan arah pirau dari aoek ventrikel kiri (warna
merah) menuju ventrikel kanan (warna biru)

Tergantung ukuran defek dan umur saat ditemukan, pada


DSV kecil terdengar bising pansistolik. Def'ek kecil bersifat
benigna, dan dapat rnenutup spontan tergantung tipenya.
dan biasanya tidak mengganggu pertumbuhan.

Pada DSV besar dapat disertai sesak napas dan


gangguan pertumbuhan oleh karena meningkatny'a aliran
pulmonal

Pemeriksaan f isis
Oksimetri, saturasi oksigen normal, kecuali bila

ada

kompleks Eisenmenger.

Elektrokardiograf

Biasanya dapat ditemukan gelombang melebar P pada


Gambar 21. Eko transesofageal penderita dengan DSV pada
pars membranous

atrium kiri yang mer-nbesar. atau gelombang Q dalam dan R


tinggi pada daerah lateral. Adany'a gelonrbang R. tinggi di
Vl dan perubahan aksis kekanan menuniukkan hipertrofi
ventrikel kanan dan hipcrtensi pLrlmonal.

Fisiologi
Pada DSV terjadi aliran darah dari ventrikel kiri menuju
ventrikel kanan, terjadi percampuran darah arteri dan vena

Bisa normal pada DSV kecil, bisa.iuga terjadi pembesaran

tanpa sranosls.

segmen pulmonal dengan kardiomegali.

Foto Rontgen dada

1785

PENYAKII' JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA

Ekokardiograf

t-etal. tetap paten sampai lahir, pertama

kaii ditemukan oleh

(l:ri AD)

Dapat menentukan lokasi defek, ukuran def'ek, arah dan

Calen

gradien aliran, perkiraan tekanan ventrikel kanan .iln


pulntonal, gambaran beban volume pada jantung kiri,

Lokasi uruala duktus terletak lebih kc kiri percabanqan


arteri pulmonaiis, sedangkan ujung aorta dnktus terletak
paila bagiarr bar,vah aorta setinggi arteri subklavia kiri.
Bcntuk duktus incngecil pada lokasi arteri pulmonal,
sehingga berbentuk kerucut karena penLrtupan dimulai dari
daeral-r puhnonal. (Garnbar 21)
[{e niodiriarr.iik (akibat fisiologrs) tergantung dari
bebcrapa faktor. ukuran dari komunikasi tersebtrt,
resistensi penibuiuh darah paru, clera.jat prematuritas, dan
kcmampuan fungsional ventrikel kiri yang mengalarni

keterlibatan katup aorta atau trikuspid serta kelainan lain


(tihat Gambar 19,20)

Magnetic Resonance lmaging


NXen'rberikan gambaran yang

lebih baik tetularna DSV

dcngan lokasi apikal yang sulit dilihat dc'iigan


ekokardiografi. Juga dapat dilakukan besarnya curah

jantung. besaran pirau, dan evaluasi kelainan yang


rrrenyeltai seperti pada aorta asendens dan arkus aorta.

Kateterisasi
lvleneniukan tekanan selta resistensi arteri pulmonulis,
rcvcrsibilitas resistensi dengan menggunakan oksiget.
ritrii: oksid. plostaglandin atau acienosin.
Ei,aluasi al irar r intrakardiak. kei ai nan valls nrcnyeri.rl
seperli r.cgur,eitasi aorta, nrenyingkirkan DSV rnultipei , scrta
evaluasi koroner pada usia yang lebih ianjur.

Penatalaksanaan
TLrj uan

nl'a untuk nrencegah timbu

n,v-

a kel ai nan vaskui

ai^

perLl )'ang pel'rranen. rrenrpertairankan lungsi rttriutl dan


ventrikel kiri. scrta nrence-uah kejadian endokarditis ini'e ktif

Delek kecil biasanya diseltai rlirill pada saris sterral


Bisrn-u bersitat holosistolik. tetapi
dapat juga pendek.

beban voiume.
Bila duktrLs kecil, resistensi vaskular paru notmal.
Terdapat gradien tckanan aniara aorta dan arleri puhnonal is

sepanjang siklus kardiak. dan bertanggung .iawab


Aliran tidak besar

terhactap aliran riarah aorto-pultlonal.

dan gangguan herrodinamik tidak signitikan.

Bila duktus besar tetapi restriktif, aliran pulrnonai


:aeningkat, sehingga terjadi beban voiuue pada ventrikei
kiri. tetapi lesistensi pulmonal tetap normal. Atrium kid
dan ventrikel kiri akan membesar, tetapi tanpa disertai
hiperrrofi irentrikel kanan. Bila duktus tidak restriktif.
tekanan aorta akan diteruskan langsung ke tlunkus
pulmor.ral. sehingga terjadi hipertensi pulmonal dengan
konsekuensi beban tel<anan pada ventrikel kanan
Gradasi dari DAP dapat dikelompokkan sebagai berikut

kiri scla iga keenrpat.

I0 tahun.
Pada pasien yang tidak dioperasi, prognosis baik bila

terjadi penutupan spontan DSV demikian pula DSV kecil


yang asimtomatik. Dengan angka kekerapan hidup 25 tahun
sebesar 95.9 9/o. Sedangkan pada DSV non-restriktif apalagi

disertai kornplek Eisenrnenger prognosis jelek, dengan


angka kekerapan hidup 25 tahun 4l .1 %
Pada pasien yang dioperasi tanpa hipertensi pulmonai
nien.rpunyai angka kekerapan hidup yang normal.

terdengar bising.

Kecil, terdengar bising bersifat ejeksi panjang,

perifer normal. tanpa perubahan ukuran atrium dan

ventrikel kiri, juga tanpa diserlai hipertensi pulmonal.


Moderat, tekanan nadi besar seperli pada regurgitasi
aota. bising kontinu, ditemukan pembesarall atrium dan
ventrikel kiri, dan hiperlensi pulmonal yang biasanya
masih reversibel

Besar, biasanya pada dewasa disettai dengan


Eisenmenger, bising kontinu tidak diternukan. Akan

terjadi sianosis setempat akibat saturasi oksigen


dibagian bawah tubuh lebih rendah dibanding lengan
kanan, dan pada kaki dapat terjadi jari tabuh.

ilEmal (.|#Mi

13F*,nl

Dt,KTUS ARTERTOSUS pEBSTSTEN (DAP)

Definisi dan Morfologi


Merupakan suatu kelainan di mana vasktrlar yang
rnenghubungkan arteri pulmonal dan aorta pacla tase

atau

kontinu, tidak ditemui pembahan hemoditramik, pulsasi

Perjalanan Penyakit
Defek septurn ventlikel dapat menutup

dengan
bertambahnya usia. kecuali det-ek sub aorlik, sub puhnonik,
atau dcfck tipe kanal.
Dcfek septunr ini dapat menutup secara sporltan pada
25 - 40 Vo saat urnul pasien 2 tahun. 90 92, pada saat umur

Silent, berupa DAP kecil yang biasanya ditemukan


secara kebetulan pada saat ekokardiografi, tidak

Gambar 22. Duktus Afteriosus Persislen (DAP)

L786

I(ARDIOLOGI

PEMERIKSAAN PADA NAT]F ATAU RESIDUAL


DAP

Penreriksaan Fisis

.
.

Tekanan nadi yang besar rnenunjLrkkan DAP yang


signifikan
Adanya hiperdinarnik ventrikel kanan, terabanya suara
kedua menurrjukkan hiperlensi puhron:rl. Bising kontinu
pada garis sternai kiri atas, menyebar ke belakang. Ada

kalanya bising belsifat ejeksi panjang bukan kontinu.


Pada DAP besar dan komptrek Eisennrenger, tidak
ditemukan bising kontinu, tetap tanda-tanda hiperrensi
pulmona.l. sianosis tubuh bagian bawah dan jari tabuh
pada tungkai

ElektrokardioEram
Dapat ditemukan gelombang P yan g melebar, komplek QRS
yang tinggi akibat beban tekanan pada atrium dan ventrikel

kiri. Hipertrofi ventrikel kanan dapat terlihat

akil-.at

hipertensi pulmonal.
Gambar 23. Foto (A) menunjukkan ekokardiografi 2-D tanpa

Foto Rontgen
Adanya dilatasi arteri pulmonal, meningkatnya corakan
vaskular, dilatasi atrium kiri, menunjukkan adanya aliran
dari kiri ke kanan yang signifikan.
Dapat terlihal- adanya kalsifikasi pada posisi anteroposterior dan lateral pada pasien yang lebih tua.

Ekokard iograf i (Gambar 23)


Dapat diukur ukuran dari DAP, pada dewasa biasanya
sukar dan kurang tepat. Dapat ditentukan ukuran atrium
dan ventrikel kiri sebagai petanda aliran dari kiri ke kanan

yang signifikan. Juga dapat diukur tekanan arteri


pulmonalis, adanya gradien lebih dari 64 mmHg pada
daerah DAP menunjukkaan tidak adanya hipertensi
pulmonal

Kateterisasi
Dilakukan apabila ada keragu-raguan dalam penentuan
tekanan pulmonal dan kemungkinan reversibilitas dari
tekanan pulmonal, dengan menggunakan tes oklusi balon.

Penatalaksanaan
Penutupan DAP, dianjurkan dengan alasan hemodinamik,
mencegah endarteritis, dan mencegah terjadinya hipertensi
pulmonal.
. Intervensi dengan kateter, merupakan pilihan dalam
penutupan DAP, terutama bila terdapat kalsifikasi pada
duktus, karena akan meningkatkan risiko pada operasi.
. Operasi dianjurkan pada DAP yang besar, atau terdapat
distorsi seperti aneurisma.

warna dengan potongan sumbu pendek setinggi aoda, terlihat


hubungan antara aoda dan a.pulmonalis kiri Sedangkan foto (B)
menunlukkan arah aliran (merah) dari aorta dengan velositi pada

doppler yang kontinyu pada fase sistol dan diastol

KOARKTASTO AORTA (r(A)

Definisi dan Morfologi


Merupakan stenosis atau penyempitan lokal atau segmen
hipoplastik yang panjan-u. Pertama kali ditemukan oleh
Morgagni pada tahun 1760 pada autopsi dari seorang rahib,
kemudian dijelaskan secara rinci patoanatominya oleh Jordan (1 827) dan Reynaud ( 1 828).

Pada dewasa lokasi tersering KA ditemukan pada


pertemuan arkus aorta dan aorta desenden, segera
sesudah muara dari arteri subklavia kiri. Pada keadaan
tertentu, tetapi jarang dapat juga ditemukan pada acrta
abdominalis.
Koarktasio Aorla dapat berupa kelainan tersendiri (KA

simple), tanpa kelainan jantung lain. Dapat berupa KA


kompleks yang disertai kelainan intra kardiak seperti katup
aorta bukuspid, defek septum ventrikel, kelainan katup
mitral, serta ekstra kardiak berupa aneurisma sirkulus dari

Willisi

atau sindrom Turner.

Manifestasi Klinis
Sangat tergantung pada derajat KA dan adanya kelainan
kardiovaskular penyerta. Pada pasien yang tidak diobati,
60Vo KA berat tanpa penyerta dan 90Vo yang disertai
kelainan jantung penyerta, akan meninggal pada tahuntahun pertama kehidupan. Walaupun ekspektasi umur rata-

L787

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL PADA DEWASA

rata KA adalah 35 tahun, ada yang bertahan hidup sampai

Ekokardiograf

umurlanjut.
Pasien yang bertahan hidup sampai dewasa tanpa
diobati biasanya mempunyai kelainan KA pasca duktal

Tidak terlalu rnudah untuk mendeteksi isthmus aorta.

yang ringan, umumnya asimtornatik dalam waktu lama.

pengambilan sudut dari supra sternai dapat membantu.


Dengan ekokardiografikardiografi dapat di [i hat kelainan
akibat koarktasio atau adanya kelainan intra kradiak yang

Sering tidak ditemukan tekanan darah yang tinggi .


oleh karena itu diagnosis baru ditegakkan sesudah urnur

menyertai.

dewasa.

Magnetic Resonance lmaging (MRt) dan

Masalah yang mungkin timbul nantinya dapat berupa


dan mungkin sebagai penyebab kematian adalah gagal

jantung kiri (287o), perdarahan intrakranial (127o),


endokarditis bakterialis (18 7o), ruptur atau diseksi
aorta (2la/o), dan penyakit jantung koroner yang lebih
awal.

Computed Tomography
Dapatmernborikan gambaratl selurtth aofta. dan merupakan
pemeriksaan piiihan non invasif untuk KA, Dengan N{RI
dan CT dapat ditentukan lokasi dan derajat penyempitan
aorta.

Kateterisasi

Gejala
Pasien dewasa biasanya hipertensi, dan dapat ditemukan
bising, walaupun pada dewasa sering asimtomatik.
Gejala yang khas akibat tekanan darah tinggi pada
badan bagian atas dapat berupa sakit kepala, perdarahan

hidung, melayang, tinitus, tungkai dingin. angina


abdomen, kelelahan tungkai pada latihan bahkan
perdarahan intrakranial. Klaudikasio tungkai dapat
menggambarkan KA abdominalis.

Pemeriksaan Fisis
Tekanan darah sistolik lebih tinggi pada lengan dibanding
tungkai, tetapi tekanan diastolik sama, oleh karena itu
tekanan nadi di lengan akan besar. Pulsasi arteri femoralis
lemah dan terlambat dibanding arteri radialis. Dapat teraba
thrlll sistolik pada pada daerah suprasternal. Bila disertai
aorta bikuspid, dapat terdengar bising sistolik tipe ejeksi,
dan suara kedua mengeras. Bising sistolik kasar tipe ejeksi
dapat terdengar sepanjang garis sternal kiri dan belakang,
terutama didaerah koarktasio. Adanya kolateral dapat

Merupakan baku emas untuk evaluasi anatomi KA sertii


pembuluh supraaortik, dapat ditentukan gradien tekatran
yang menggambarkan derajat KA, lungsi ventrikel kiri, dan
status afieri koronet.

Penatalaksanaan
Tindakan operatif, dengan tujuan menghilangkan
stenosis dan regangan pada dinding aorta; serta
mempertahankan patensi dari aorta. Reparasi segera
sesudah diagnosis pada usia muda mempunyai risiko yang
lebih kecil dibanding usia yang lebih lanjut. Sesudah 30

40 tahun mortalitas intra-operatif tinggi akibat akibat


adanya proses degenerasi pada dinding aorta.

Tindakan intervensi berupa angioplasti dengan atau


tanpa implanltasi stent merupakan pengobatan alternatif
baik pada anak-anak maupun dewasa.
Pada kondisi rekoarktasio, terdapat kesepakan bahwa
pilihan lebih kepada tindakan angioplasti baik dengan atau
tatpa stent .

menimbulkan bising kontinyu.

TETBALOGI FALLOT (TF\

Elektrokardiograf

Dapat memberikan gambaran berbagai derajat beban


tekanan pada atrium dan ventrikel kiri, secara fungsional
akibat hipertensi, berupa hipertrofi atrium dan ventrikel
kiri.

Foto Rontgen Oada


Ukuran jantung pada radiografi toraks bisa normal, dilatasi

aorta asenden, kinking atau gambaran double contour


di daerah aorta desenden, sehingga terlihat gambaran
seperti angka tiga dibawah aortic knob ('figure 3' sign),
serta pelebaran bayanganjaringan lunak arteri subklavia

Def

inisi/Morfologi

Pertama kali dijelaskan oleh Nicholas Steno (1673), dan


pada tahun 1888 Etienne-Louis Arlhur Fallot menjelaskan
hubungan klinis dengan perubahan patologis. Secara
anatomis malformasi terdiri dari stenosis katup pulmonal

(umumnya stenosis subinfundibular), defek septum


ventrikel, deviasi katup aorta ke kanan sehingga kedua
ventrikel bermuara ke aofia (overriding aorta), hipertrofi
ventrikel kanan. Defek septum ventrikel, defek biasanya
tunggal, besar dan bersifat non restriktif, 80% bersifat
perimembran. Stenosis pulmonal, pada sebagian besar

kili.
Rib notching dari daerah posteroinferior kosta ketiga

kasus stenosis subinfundibular, katup biasanya abnormal,

dan keempat, terjadi akibat kolateral arleri sela iga,jarang


terlihat sebelum umur 50 tahun.

obstruksi. Dapat juga terjadi atresia dari infundibulum atau

walaupun biasanya bukan sebagai penyebab utama

katup, serta hipoplasia dari arteri pulmonal. Aorta

1788

I(ARDIOISGI

ove[iding, derajat override aorta terhadap ventrikel kanan


bervariasi dari 5 - 95Vo. Alr-h karena itu Tetralogi Fallot
bisa sebagai double outLet ventrlkel kanan bila lebih dari
50 7o muaru aorta berada di ventrikel kanan. Hal ini penting
saat tindakan koreksi di mana diperlukan penutup yang

Penatalaksanaan
Operasi reparasi biasanya dilakukan pada masa anak-anak,
namun dapat saja ditemukan TF pada dewasa muda tanpa
tindakan operatif sebelumnya. Bila ditemukan pada dewasa
operasi masih dianjurkan karena hasilnya bila dibandingkan

lebih besar. Lesi yang menyertai, penting diketahui karena


rnempunyai nilai pada saat tindakan koreksi bedah. Dapat

dengan operasi pada rnasa anak-anak sama baiknya.

berupa DSA, DSV tipe muskular, defek septum

menghilangkan obstruksi pulmonal. Upaya menghilangkan


obstruksi ini dapat melalui valvulotomi pulmonal, reseksi
otot infundibulum pada muara pulmonal, implanttasi katup
pulmonal balk homograJi atau bioprotese katup babi, atau
operasi pintas ekstra kardiak antara ventrikel kanan dan
arteri pulmonalis dan dapat pula dilakukan angioplasti pada
arteri pulmonalis sentral.

atrioventrikular anomali arteri koroner.

Gambaran (lini=
Perubahan fisiologis yang terjadi tergantung dua variabel.

derajat obstruksi pulmonal, dan resistensi vaskular


sistemik. Sebagian besar pasien dengan TF akan
mengalami gangguan pertumbuhan, kadang terjadi

sirkulasi kolateral ke paru sehingga

dapat

mempertahankan perturnbuhan. Sianosis yang terjadi


simetris, akibat pirau dari ventrikel kanan ke kiri melaiui
defek besar yang non-restriktif. Hipertrofi ventrikel l<anan
biasanya tidak terlalu berat, lain hainya pada hipoplasi
arteri pulmonal, sehingga tidak sampai terjadi obliterasi
rongga ventrikel kanan. Sehingga masih dimungkinkan
tindakan reparasi Bila obstruksi pulmonal tidak terlalu berat
maka derajat sianosispun ringan. dikenal sebagai
acyanotic Fttllot atat pink tetralogy, dan kadang-kadang
ditemui pada dewasa muda.

Cepat Lelah
Hypoxic spells, merupakan hal penting berupa paroksismal
hiperpnea, hipoksia, anoksia, biru atau serangan sinkop.
Riwayat jongkok pada keadaan tertentu, akan
menur-unkan aliran darah balik yang kurang kandungan
oksigennya, meningkatkan resistensi sisternik sehingga
aliran darah ke paru akdn besar, saturasi oksigen akan
meningkat.

Adanya gelombang pada dinding dada pada bagian


bawah sternum akibat gerakan hiperdinamik ventrikel
kanan yang mengalami hipertrofi. Suara jantung I normal,
bising sistolik akibat aliran darah melalui daerah stenosis
bukan melalui defek septum, terdengar di sela iga II, III
garis stemal kiri.

Bunyi jantung II keras dan tunggal bukan karena


komponen pulmonal tetapi aorta yang biasanya melebar,
pada keadaan ini dapat terdengar bising ejeksi sistolik .
Dapat terdengar bising kontinu yang berasal dari
kolateral aortopulmonal. merupakan tanda penting dari
atresia pulmonal.
Elektrokardiogram, menunjukkan gelombaug P tajam
dengan amplitudo yang normal, dapat disertai dengan
hipertrofi ventrikel kanan.
Foto Rontgen toraks menunjukkan ukuranjantung bisa
normal, paru oligemik, aofia asenden prominen, segmen
pulmonal cekung, apek terangkat keatas memberikan
gambaran seperti sepatu trot.

Bentuk operasi adalah penutupan DSV

dan

Sedangkan terapi medikamentosa, mencakup


pemakaian antibiotika untuk mencegah endokarditis,
penghambat beta untuk menurunkan frekuensi denyut
jantung sehingga dapat menghindari spell, dan bila
diperlukan dapat dilakukan flebotomi.

TRANSPOSISI PEMBULUH DARAH BESAR


(rPB)
Def

inisi

Kelainan ini pertama kali dijelaskan oleh Baillie pada tahun


1797, dan kemudian oleh Fan-e pada tahun 1814. Biasanya
50 a/o disertai oleh kelainan kongenital lain . Defek septum
ventrikel paling sering menyerlai TPB, disusul obstruksi
muara aorta dan koartasio aorta.

Anatomis
Dikenal ada dua macam TPB,
L Transposisi pembuluh darah besar lengkap
Merupakan kondisi anatomi di mana aorta keluar dari
ventrikel kanan. dan arteri pulmonal keluar dari ventrikel
kiri, hubungan ini disebut sebagai ventriculo-arteriol
discordance. Sementara hubungan antara atrium dan
ventrikel normal yang kita kenai sebagar atrioventricular concordance. Oleh karena itu transposisi ini dikenal
sebagai transposisi lengkap dan secara fisiologis tak
terkoreksi

2. Transposisi pernbuluh darah besar terkoreksi, di sini


terjadi atrio ventricular dan yentricwloarterial
discordance.

Posisi ventrikel terbalik, ventrikel yang secara


morfologis ventrikel kanan berada dikiri, sebaliknya
ventrikel yang morfologis ventrikel kin berada di kanan.

Gambaran Klinis / Diagnosis


Transposisi pembuluh darah besar komplit jarang bertahan

sampai dewasa kecuali bila disertai DSV atau DSA.


Sedangkan TPB terkoreksi bisa bertahan sampai dewasa

PET,TYAKIT JANTUNG

L789

KONGENIIAL PADA DEVYASA

namun biasanya mengalami gagal jantung

kiri

akibat

kegagalan venffikel yang secara morfologis merupakan


ventrikel kanan. Klinis ditemukan sianosis, gambaran
radiologis berupa meningkatnya corakan vaskular paru,

dan identifik asi


ekokardiografi

ve

nt

ric

ulo art

e r i

al

di

s c

o r dan c

e den gan

REFERENSI
MA. Tetralogy of fallot. In: Gatzoulis, MA., Webb, GD.,
Daubeney, PEF, editors. Diagnosis and management of adult
congenital heart disease. 2003; p.315.
Hornung, T. Transposition of the great arteries, In: Gatzoulis, MA.,
Webb, GD., Daubeney, PEfl editors Diagnosis and management
of adult congenital heart disease. 2003; p349.
Prasad S. Ventricular septal defect. In: Gatzoulis, MA., Webb, GD.,
Daubeney,PEF, editors. Diagnosis and management of adult
congenital heart disease. 2003; p.I7l.
Perloff, JK. The clinical recognition of congenital heart disease.
Clinical recognition of congenital heart disease. 3'd edition.
1987.
Shineboume, WA., Ho, SY. Atrioventricular septal defect: complete
and partial (ostium primum atrial septal defect). In: Gatzoulis,
Gatzoulis,

MA., Webb, GD., Daubeney, PEF, editors. Diagnosis


management

and

of adult congenital heart disease. 2003: p.l'/9.

280
PENYAKIT JANTUNG PADA. USIA LANJUT
Lukman H. Makmun

PENDAHULUAN
Perubahan yang terjadi pada usia lanjut (usila) adalah te4adi

proses menua, di mana secara struktur anatomi maupun

fungsional terjadi kemunduran, yaitu terjadi proses


degenerasi. Pada usila berusia 80-90 tahun terjadi penurunan
fungsi pada banyak organ dan sistem, sehingga yang tersisa

adalah sebagai berikut: kecepatan konduksi saraf tinggal


85Vo, Basal metabolic rate menjadi 807o, Volume cairan
tubuh juga menjadiS}Vo, sehingga mudah terjadi dehidrasi
bila ada infeksi, indeks kardiak menurun, thggal 70Vo,
sehingga mudah terjadi sesak bila beraktivitas kapasitas
vital paru pun menurun, menjadi 68Vo, vital capacity

dari proses aterosklerosis awal, yang dipicu dengan adanya


berbagai faktor risiko baik yang konvensional maupun
yang novel (baru). Pada usia lanjut perempuan dengan
menurunnya kadar estrogen, prevalensi PJK meningkat,
menyamai prevalensi pada pria. PJK ini sangat sering
didapatkan pada populasi usia lanjut, karena progresivitas
proses aterosklerosis akibat proses menua. Di Indonesia,
menurut WHO-Community study of the elderly di Jawa
Tengah tahun 1990 angka morbiditas karena penyakit
kardiovaskular pada usia lanjut menduduki tempat kedua
setelah rematisme. Manifestasi klinis antara pasien PJK
usia lanjut dan pasien usia dewasa muda berbeda, sehingga
PJK pada usia lanjut kadang-kadang tidak atau salah

maksimum menjadi 40Vo, glomerular filtration rate torur,

terdiagnosis. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh adanya

menj adi 61 Vo, renal plasma

penyakit penyerta (superimposed). Selain itu pada pasien


usila, karena sudah menurunnya aktivitas fisik, keluhan
sakit dada yang biasanya terpicu oleh aktivitas fisik, tidak
akan terasa. Karena itu keluhan sesak napas (dyspnea)
akan lebih banyak terasa daripada nyeri dada sebagai
keluhan utama, baik pada kasus angina pektoris ataupun
pada infark miokard. Hal ini mungkin karena sudah terjadi
perubahan pada miokard dan kelenturan perikard (compliance) karena proses menua sehingga terjadi gangguan
fungsi diastolik ventrikel. Di samping itu dengan adanya

flow tinggal: 40

Pada sistem kardiovaskular, proses

41 Vo

menua

menyebabkan'. basal heart rale menurun, respons terhadap

stres menurun,

LY compliance menufl)n: karena terjadi

hipertrofi, senile amyloidosis, pada katup terjadi sklerosis


dan kalsifikasi yang menyebabkan disfungsi katup, AV
node dan sistem konduksi fibrosis, komplains pembuluh
darah perifer menurun, sehitgga afterloadmetingkat, dan
terj adi proses aterosklerotik.
Pada penyakit jantung koroner (PJK) yaitu

IMA (infark

miokard akut) pada usila hanya 507o memberikan gejala


nyeri dada. Perbedaan yang terjadi pada pasien usia lanjut
ini adalah karena perubahan fisiologis, ataupun terkena
suatu penyakit penyerta lain, sehingga akibat ataupun
efeknya akan berbedajuga. Penyakitjantung yang sering
terdapat pada usia lanjut adalah : penyakitjantung koroner,
aritmia, gagal jantung di samping hipertensi.

penyakit penyerta seperti emfisem paru akan lebih


memperkuat timbulnya keluhan sesak napas dibanding
nyeri dada sendiri. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan
kelainan khusus. Kelainan seperti gallop 54 ataupun bising
sistolik sering didapatjuga pada pasien usila tidak dengan
kelainan jantung akibat proses menua. Pemeriksaan
penunjang test treadmill dapat dipergunakan pada pasien

dengan dugaan PJK, tetapi perlu diperhatikan


PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK)

keterbatasannya, misal pengaruh obat antara lain digitalis


ataupun kemampuan durasi latihan. Pemeriksaan cardiac
imaging dengan thallium scanning dapat menolong, bila

Natural history sama seperti dengan pasien muda. Dimulai

hasil tes treadmill negatif, sedangkan pasien tersebut

t790

1791

PENYAXIT JANTUNG PADA USIA LANJUT

sangat dicurigai menderita PJK. Pemeriksaan angiografi


koroner bukan merupakan kontra indikasi untuk dilakukan
pada pasien usila, tetapi tetap dengan memperhitungkan
cosl and benefit setiap tindakan.
Pengobatan pada iskemia kronik. Sebenamya sama seperti
pada usia muda. Semua faktor risiko yang dapat dimodifikasi
harus diatasi. Penyakit-penyakit seperti anemia, hipertensi
dan gagaljantung sering didapat pada usila, sehingga harus
diperhatikan, begitu juga dengan kepatuhan minum obat.
Farmaka yang diberikan sama seperti pada pederita muda,
tetapi harus diperhatikan adalah mencegah polifarmasi,
interaksi obat, efek samping dan pengaturan dosis obat
mengingat daya metabolisme dan daya sekresi obat sudah
menurun untuk mencegah intoksikasi, yang kesemuanya
ini karena sudah terjadi proses menua pada semua organ.

dapat lebih mudah menimbulkan pendarahan sehingga


perlu lebih ketat pengawasannya dan juga efek lidokain
terhadap susunan saraf pusat yang dapat menurunkan
kesadaran.

Aritmia
Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih

sering didapat dan dapat berpengaruh terhadap


hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan darah turun
banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat
juga menyebabkan angina, gagaljantung. Perlu diperiksa
faktor presipitasi seperti kadar elektrolit darah, efek digitalis, hipertiroidisme, anemia, emboli paru dan gagal
jantung. Pengobatan dengan anti aritmia tergantung dari
beratnya simtom dengan memperhatikan kekhususan pada

Seandainya dengan pengobatan konservatif tidak

usila seperti efek samping, dosis dan juga mengobati

memberikan hasil yang memuaskan, PTCA Qtercutaneous


trans coronary angioplasty) dapat dipertimbangkan. Lebih
lanjut tindakan operusi By-pa,ss arteri koroner (CABG) pada
usila juga masih dapat dipertimbangkan dengan lebih hati-

penyakit dasamya, serta mengatasi faktor presipitasinya.


Bradiaritmia sering didapat pada usila, meskipun tak
ada penyakit jantungnya. Hal ini berkaitan dengan
perubahan pada sinus node, hipercensitif refleks sinus
caroticus atau pengaruh obat seperti digitalis, penyekat
beta, antagonis kalsium dan obat anti hipertensi lain.
Pengobatan tergantung simtom yang timbul, dan.dapat
diberikan sulfas atropin, isoproterenol. Bila berat, dapat

hati mengingat angka mortalitas, morbiditas akan lebih


tinggi.
Pada infark miokard akut (IMA). Kemungkinan komplikasi
yang perlu diperhatikan adalah edema paru, gagal jantung

kongestif, ruptur ventrikel . Meningkatnya insidens ini


belum diketahui dengan pasti patofisiologinya, ada

dipertimbangkan untuk pemasangan pace maker baik


sementara maupun perrnanen.

kemungkinan karena sudah berkurangnya fungsi miokard


yang masih sehat, kerusakan miokard sebelumnya, turunnya
respons terhadap katekolamin, efek hipertensi atau luasnya

infark. Perubahan karena proses menua terjadi perubahan

pada tebal dinding ventrikel, impendans di perifer


meningkat, muatan kolagen berkurang, ataupun sudah
adanya proses inflamasi miokard yang kesemuanya ini
mempengaruhi kerja miokard sendiri. Pengobatanjuga tidak
berbeda dengan pasien dewasa muda. Perlu diperhatikan
efek samping dari obat tertentu, misal pemberian heparin

REFERENSI
Cardiovascular Disease in the Elderly. Editor: Aronow WS, Fleg
JL.New York. Marcel Dekker Inc. 8d.3. 2004
Weisfeldt ML, Lakatta EG, Gerstenblith G. Aging and cardiac
disease. In: Braunwald E, editor : Heart Disease. A textbook of
cardiovascular medicine. Philadelphia. WB Saunders co. 1998.

Ed.3. p. 1650-60.

28t
MANIFESTASI KLINIS JANTUNG
PADA PENYAKIT SISTEMIK
Idrus Alwi

DIABETES MELITUS
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama
kematian pada DM, diperkirakan dua pertiga dari semua
kematian. Tiga perempat dari penyebab kematian ini karena
penyakitjantung koroner ( PJK ). Penelitian menunjukkan
pasien DM tipe2tanpaiwayat infark miokard mempunyai
risiko terjadinya infark sama dengan pasien non DM yang
mempunyai infark miokard sebelumnya sehingga DM saat
ini dianggap sebagai coronary risk equivalent.

PENYAKIT JANTUNG KORONER

kemungkinan karena disfungsi sistem saraf autonom


menyeluruh. Pemantauan EKG holter menunjukkan sampai
907o episode iskemia tidak dikeluhkan (silent) pada pasien
diabetes dengan penyakit jantung koroner; presentasi
iskemia mungkin berupa sesak saat aktivitas atau episodik,
edema paru, aritmia, blok jantung, atau sinkop.

Karena penyakit jantung koroner lebih sering


ditemukan pada pasien dengan diabetes melitus dan
seringkali tidak berhubungan dengan gejala-gejala angina yang khas, maka threshold diagnosis harus rendah,
terutama jika penyakit sudah berlangsung lama dan

terdapat faktor risiko terkait untuk penyakit


jantung koroner (misalnya hipertensi, merokok,
hiperlipidemia).

Angka kejadian aterosklerosis pada pembuluh darah besar


dan infark miokard meningkat pada pasien diabetes
melitus tipe 1 dan tipe 2. Diabetes melitus juga merupakan
faktor risiko independen untuk penyakitjantung koroner

KARDIOMIOPATI

dan angka kejadian penyakit jantung koroner

Penelitian epidemiologi, autopsi, penelitian hewan dan klinis

berhubungan dengan lama menderita diabetes. DM tipe


2 meningkatkan risiko terjadinya PJK sebanyak 2 kali lebih
besar. Diabetes melitus dikaitkan dengan peningkatan
risiko kematian karena PJK pada pria maupun perempuan
dan peningkatan mortalitas pasca infark miokard akut.
Pada pasien diabetes melitus, infark miokard tidak hanya
terjadi lebih sering namun juga cenderung lebih berat
dan cenderung mengakibatkan komplikasi seperti gagal
jantung, syok, dan kematian. Pada pasca infark miokard
akut, fatalitas pasien DM lebih tinggi daripada pasien
non DM. Pasien DM dengan angina pektoris tak stabil
rnenunjukkan mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan

menduga adanya penyakit jantung diabetik atau


kardiomiopati diabetik sebagai e ntity YJinis yang berbeda
yang tidak berhubungan dengan hipertensi dan penyakit
jantung koroner.
Pasien diabetes melitus mungkin mengalami difungsi

kelompoknon-DM.

peningkatan asam lemak bebas, perubahan metabolisme


energi miokard, defisiensi karnitin dan perubahan
homeostasis kalsium; fibrosis miokard dikaitkan dengan

Pasien diabetes melitus mungkin tidak mempunyai

respons nyeri terhadap adanya iskemia miokard,

miokardial berupa kardiomiopati restriktif tanpa adanya


penyakit jantung koroner, dengan relaksasi abnormal
miokard, dan dibuktikan secara klinis dengan tekanan
pengisian ventrikel kiri yang meningkat.
Mekanisme yang mendasari terjadinya kardiomiopati

diabetik adalah multifaktorial antara lain gangguan


metabolik berupa deplesi glucose transporter 4,

1792

t793

MANIFE,STASI KLINIS JANTUNG PADA PEITYAKIT SISTEMIK

peningkatan angiotensin II, IGF-I, dan sitokin inflamasi;


penyakit pembuluh kecil (mikroangiopati, penurunan
cadangan aliran koroner dan disfungsi endotel), resistensi

insulin (hiperinsulinemia dan penurunan sensitivitas


insulin) dan neuropati autonom jantung (denervasi dan
perubahan kadar katekolamin miokardial).

Manifestasi klinis kardiomiopati diabetik awalnya

pengendalian gula darah. Pengobatan lain yang mungkin


efektif dalam mencegah atau menghambat kardiomiopati

diabetik antara lain : inhibitor angiotensin conyerting en4;me (ACE ) dan antagonis reseptor angiotensin. Obat

lain yang menunjukkan manfaat pada penelitian hewan


antara lain antagonis kalsium, terapi penurun lipid,
antioksidan dan obat insulin sensitizer

berupa disfungsi diastolik, mulai dari disfungsi diastolik

ringan sampai berat dan berlanjut menjadi disfungsi


sistolik. Prevalensi disfungsi diastolik pada pasien DM
tipe 2 dengan menggunakan ekokardiografi Doppler
dilaporkan cukup tinggi. Prevalensi disfungsi diastolik
pada pasien DM tipe2 yang terkendali sebesar 607o.
Penelitian pada pasien DM tipe2 tanpa kelainan
kardiovaskular (hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri,
penyakit jantung koroner dan penyakit jantung valvular) mendapatkan prevalensi disfungsi diastolik 13,37o.
Penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara
mikroalbuminuria dengan disfungsi sistolik dan diastol ik.

Penelitian lain dengan menyingkirkan penyakit


kardiovaskular menunjukkan tidak ada hubungan antara
mikroalbumi nuria dengan difungsi diastolik.
Secara histologis, pasien-pasien ini memiliki fibrosis

interstisial dengan jumlah kolagen, glikoprotein,


trigliserida, dan kolesterol yang meningkat pada
interstisium miokard. Pada beberapa kasus ditemukan
penebalan intima, deposisi hialin, dan perubahan inflamasi
pada arleri-arteri intramural kecil.

Insidens gagal j antung yang tinggi dan prognosis yang


buruk pada pasien DM, selain karena faktor hipertensi dan
penyakit jantung koroner, dikaitkan juga dengan adanya
kardiomiopati diabetik. Gagal jantung dapat terjadi pada
pasien DM tanpa adanya koeksistensi dengan hipertensi
dan atau stenosis arteri koroner yang bermakna. Pasien
diabetes melitus memrliki risiko lebih besar mengalami gagal
jantung klinis, bahkan setelah koreksi penyakit jantung

koroner, hipertensi, dan kegemukan, dan mungkin


kardiomiopati diabetik memberi kontribusi pada angka
kesakitan dan angka kematian kardiovaskular yang

meningkat pada pasien DM. Ada beberapa bukti


menunjukkan terapi insulin memperbaiki disfungsi
miokardial.
Mengingat prevalensi kardiomiopati diabetik diketahui
cukup tinggi pada pasien DM tipe 2 yatg asimtomatik,
maka untuk mencegah progresivitas menjadi gagal jantung

perlu ditegakkan diagnosis secara dini. Deteksi dini

kardiomiopati diabetik dapat dilakukan dengan


pemeriksaan ekokardiografi Doppler baik untuk melihat

OBESITAS
Penelitian klinis dan epidemiologi menunjukkan obesitas
mempunyai hubungan kuat dengan semua faktor lisiko
kardiovaskular. Obesitas berat, terutama jika terjadi pada
distribusi tubuh bagian atas, berhubungan dengan
peningkatan angka kesakitan dan kematian kardiovaskular.
Meskipun obesitas itu sendiri tidak dianggap sebuah

penyakit, namun jelas terdapat peningkatan prevalensi


hipertensi, intoleransi glukosa, dan penyakitjantung koroner
aterosklerotik pada pasien-pasien yang obes.

Jaringan adiposa merupakan sumber beberapa molekul


yang potensial patogenik seperti : kelebihan asam lemak
nonesterifikasi, sitokin (.tumor ne cro sis factor- a'), resistin,
adiponektin, leptin dan PAI- 1. Kadar CRP yang tiriggi juga

ditemukan pada obesitas yang menunjukkan kondisi


proinflamasi. Mekanisme yang mendasari hubungan antara
obesitas abdominal (sebagian obesitas viseral) dan
sindrom metabolik belum sepenuhnya diketahui dan
tampaknya kompleks. Diduga jaringan adiposa obes

melepas kelebihan asam lemak dan sitokin yang


menginduksi resistensi insulin.

Pasien mempunyai abnormalitas sistem


kardiovaskular yang berbeda, dengan ciri peningkatan
volume darah total and sentral, curahjantung dan tekanan
pengisian ventrikel kiri. Tekanan pengisian ventrikel kiri
seringkali berada di batas atas normal dan meningkat
secara berlebihan dengan latihan. Sebagai has17 oyerload
volume kronik, dapat terjadi hipertropi jantung eksentrik
dengan dilatasi dan fungsi ventrikel yang abnormal.
Secara patologis, terdapat hipertrofi ventrikel kiri dan
pada beberapa kasus, hipertrofi ventrikel kanan dan
dilatasi jantung menyeluruh, yang bukan hanya karena
infiltrasi lemak pada miokardium. Meskipun pasien-pasien
ini mungkin mengalami kongesti paru, edema perifer dan
intoleransi latihan, kesadaran terhadap temuan-temuan
ini mungkin tidak dipikirkan pada sebagian besar pasien
obes.
Penurunan berat badan merupakan terapi yang paling
efektif dan menghasilkan pengurangan volume darah dan

disfungsi diastolik dengan berbagai stadiumnya yaitu;


abnormalitas relaksasi (disfungsi diastolik ringan),
pseudonormal (disfungsi diastolik sedang), gangguan
restriksi (disfungsi diastolik berat), maupun disfungsi

kembalinya curah jantung menjadi normal. Namun,


penurunan berat badan secara mendadak mungkin

sistolik.

kematian mendadak dikarenakan ketidakseimbangan

Penatalaksanaan kardiomiopati diabetik adalah dengan

berbahaya, karena pernah dilaporkan aritmiajantung dan

elektrolit.

t794

I(ARDIOLOGI

r#t
93

Diabetes, dislipidemia
h

pertens

neu

Perubahan lipoendokrin

'l leptln, inflamasi, stres oksidatil

ng
atnum

Remodel

Remode ng
LV

OL
!o
OC
6;
oE
tIo
!

._

1 Tahanan perifer

Viskositas plasma

Kekakuan pembuiuh

Disfungsi sistolik LV dan diastolik asimtomatis

caqal jantung kongestif

Gambar 1. Mekanisme disfungsi jantung pada obesitas

MALNUTRISI DAN DEFISIENSI VITAMIN


kalori, atau keduanya
sangat kurang, jantungnya mungkin menjadi kecil, pucat,
dan lemah dengan atrofi miofibril dan edema interstisial.

Pada pasien di mana asupan protein,

Tekanan sistolik dan curah jantungnya rendah, dan


tekanan nadi sempit. Edema generalisata sering dijumpai

dan disebabkan karena kombinasi beberapa faktor,


termasuk penurunan tekanan onkotik serum dan disfungsi

miokardial. Keadaan malnutrisi berat, pada kasus


kekurangan kalori disebut mctrastnus dan pada kasus
kekurangan protein yang relatif disebut kwashiorkor,
sangat sering dijumpai di negata-negara yang kurang
berkembang. Namun penyakit jantung nutrisional yang
bermakna mungkin juga terjadi di negara-negara maju.
terutama pada pasien dengan penyakit kronis seperti
AIDS, pada pasien dengan anoreksia nervosa, dan pada
pasien dengan gagal jantung berat di mana terdapat
hipoperlusi gastrointestinal dan kongesti vena yang
mungkin mengarah kepada anoreksia dan malabsorpsi.
Operasi jantung terbuka mempunyai risiko yang lebih besar

pada pasien kekurangan

gizi, dan pasien mungkin

bermanfaat dengan pemberian hiperalimentasi praoperatif.

tiamin, meskipun hipovitaminosis ini mungkin juga muncul


dengan keberadaan protein dan asupan kalori yang cukup,
terutama di Timur, di mana nasi yang kekurangan tiamin
menjadi komponen makanan utama. Di negara-negara

Barat, penggunaan tepung yang luas yang diperkaya


dengan tiamin menghambat adan.va kekurangan tiamin
terutama pada pecandu alkohol dan food faddist.
Pengukuran thiamine -p1, ropho.s phate e.ffe c t (TPPE) secar a
biokimia dapat menghitung cadangan tiamin. TPPE yang

meningkat, merupakan indikasi kekurangan tiamin,


ditemukan pada 20 sampai 907o pasien dengan gagal
jantung kronis. Kekurangan tersebut nampaknya
disebabkan oleh asupan makanan yang dikurangi dan
peningkatan ekskresi tiamin urin yang dinduksi obat.
Pemberian tiamin akut pada pasien-pasien ini akan
meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan pembuangan
garam dan air.
Secaraklinis, biasanya terdapat bukti malnutrisi umttm,

neuropati perifer, glossitis, dan anemia. Sindrom


kardiovaskular khas adalah gagal jantung dengan
peningkatan curah jantung, takikardia, dan seringkali
tekanan pengisian bagian kiri dan kananjantung meninggi.
Penyebab utama keadaan jantung high-outpwt ini adalah
depresi vasomotor, mekanisme yang tepat belum diketahui

namun mengarah pada penurunan resistensi vaskular


DEFTSTENST TIAMTN ( BEBr-BERr )
Pada banyak kasus, malnutrisi diikuti dengan kekurangan

sistemik. Pemeriksaan jantung menunjukkan tekanan nadi


melebar, takikardia, bunyi jantung ketiga (gaLlop) dan,
seringkali terdengar murmur sistolik apikal.

t795

MANIFESTASI KLINIS JANTUNG PADA PENYAKIT SISTEMIK

EKG mungkin menunjukkan voltase yang menurun,


interval QT yang memanjang, dan kelainan-kelainan
gelombang T. Pemeriksaan foto Rontgen dada umumnya
menunjukkan jantung membesar dengan tanda-tanda gagal
jantung kongestif. Respons pada tiamin seringkali diamati,

dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik.,


penurunan curah jantung, hilangnya kongesti paru, dan
penurunan dimensi jantung yang sering terjadi dalaml2
sampai 48 jam. Meskipun respons pada pemberian
digitalis dan diuretik mungkin buruk sebelum terapi tiamin,
obat tersebut mungkin penting setelah diberikan tiamin,
karena ventrikel kiri mungkin tidak mampu mengatasi
beban kerja yang meningkat yang dikarenakan kembalinya
tonus vaskular.

DEFISIENSI VITAMIN B., B,r, DAN FOLAT


Vitamin-vitamin ini merupakan kof'aktor pembantu dalam
metabolisme homosistein yang mungkin memberikan
kontribusi dalam sebagian besar kasus

hiperdinamik, tekanan nadi melebar, peningkatan pada


intensitas bunyi jantung pertama dan komponen pulmonik
pada bunyi jantung kedua, dan bunyi jantung ketiga.

Peningkatan angka kejadian prolaps katup mitral


berhubungan dengan hipertiroidisme, dan pada beberapa
kasus mungkin ada murmur mid sistolik yang terdengan
paling jelas pada left sternal border dengan atau tanpa
systolic ejection click. Means-Lerman scratch adalah
suara sistolik yang kasar, terdengar pada ruang interkostal
kedua kiri selama ekspirasi; karena pergesekan perikardium
hiperdinamik pada pleura.
Pasien lanjut dengan hipertiroidisme, yang disebut apathetic hyperthyroidism, mungkin muncul hanya berupa
manifestasi kardiovaskular tirotoksikosis, seperti fibrilasi
atrial, yang mungkin resisten terhadap terapi sampai
hipertiroidisme dapat terkendali. Angina pektoris dan gagal

jantung kongestif jarang terjadi kecuali ada penyakit


jantung yang tersembunyi, dan pada banyak kasus gejalagejala akan hilang dengan pengobatan hipertiroidisme.

hiperhomosisteinemia pada populasi umum.


Hiperhomosisteinemia dihubungkan dengan

HIPOTIROIDISME

meningkatnya risiko aterosklerosis. Namun, keuntungan


klinis menormalkan peninggian kadar homosistein masih
belum terbukti.

Manifestasi kardiak hipotiroidisme termasuk penurunan


curah jantung, volume sekuncup (stroke volume),frekuensi
jantung, tekanan darah, dan tekanan nadi. Pada sekitar
sepertiga pasien terdapat efusi perikardial yang jarang
menimbulkan tamponad. Permeabelitas kapiler yang

PENYAKITTIROID

meningkat menyebabkan efusi perikard dan pleura. Tandatanda klinis Iainnya mencakup kardiomegali, bradikardia,

Hormon tiroid memberikan pengaruh yang besar pada


sistem kardiovaskular dengan sejumlah mekanisme

denyut nadi melemah dan bunyi jantung menjauh.

langsung atau tidak I angsung. Efek kardiovaskular penting

pada hipo- dan hipertiroidi sme. Hormon tiroid


menyebabkan peningkatan pada metabolisme dan
konsumsi oksigen seluruh tubuh yang secara tidak
langsung memberikan beban kerja tambahan pada jantung.

Selain itu, meskipun mekanisme yang jelas belum


didefinisikan, hormon tiroid memberikan efek langsung
inotropik, kronotropik, dan dromotropik yang mirip dengan
apa yang terlihat dengan stimulasi adrenergik (misalnya
takikardia, peningkatan curah jantung). Hormon tiroid
meningkatkan sintesis miosin dan Na+, K+-AIPase, seperti
halnya dengan densjtas reseptor miokardial u-adrenergik.

Meskipun tanda-tanda dan gejala miksedema mungkin


mengarah ke diagnosis gagal jantung kongestif, tanpa
adanya penyakit jantung lainnya, kegagalan miokard jarang
dijumpai. EKG umumnya menunjukkan sinus bradikardia

dan voltase rendah dan mungkin menunjukkan interval


QT memanjang, penurunan voltase gelombang P, waktu
konduksi AV memanjang. gangguan-gangguan konduksi
intraventrikular dan kelainan gelombang ST-T non-

spesifik. FoIo rontgen dada mungkin menunjukkan


kardiomegali, seringkali dengan konfigurasi "water bott le",
efusi pleura, dan, pada beberapa kasus, terdapat gagal
jantung kongestif. Secara patologis, jantungnya pucat,
dilatasi, dan flabby, seringkali dengan pembengkakan
miofibri l, hilangnya, dan fibrosi s interstisial.

Pasien hipotiroidisme seringkali mengalami


HIPERTIROIDISME
Manifestasi kardiovaskular hipertiroidisme termasuk
berdebar, hipertensi sistolik, lelah atau, pada pasien-pasien

dengan penyakit jantung tersembunyi, angina atau gagal

jantung. Takikardia sinus ditemukan pada sekitar 40%


pasien dan fibrilasi atrial pada sekitar l57o pasiet.
Penemuan-penemuan lainnya termasuk prekordium

peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida, dan penyakit


aterosklerosis arteri koroner berat. Sebelum pengobatan
dengan hormon tiroid, pasien hipotiroidisme seringkali
tidak mengalami angina pektoris, kemungkinan karena

kebutuhan metabolik yang rendah. Angina dan infark


miokard mungkin terjadi selama permulaan penggantian
hormon tiroid, terutama pada pasien-pasien berusia lanjur
dengan penyakitjantung yang tersembunyi. Oleh karena

t796

I(ARDIOLOGI

i.tu, penggantian harus dilaksanakan dengan hati-hati,


dimulai dengan dosis rendah yang ditingkatkan secara

mungkin disebabkan oleh curah jantung yang tinggi,


disfungsi diastolik yang disebabkan oleh hipertrofi

berkala.

ventrikel (dengan peningkatan pada ukuran atau ketebalan

dinding ruang ventrikel kiri), atau disfungsi sistolik


giobal. Hipertensi muncul pada sarnpai sepertiga pasien

KARSINOID GANAS

dengan ciri supresi aksis renin aldosteron dan peningkatan


pada jumlah sodium tubuh dan volume plasma. Penyakit

Tumor-tumor ini terdiri dari sejumlah amin vasoaktif


(mrsalnya serotonin), kinin, indol, dan bahan-bahan lain

jantung muncul pada sekitar sepertiga pasien akromegali,


dan berhubungan dengan penggandaan risiko kematian

yang dipercaya men gakibatk an diare, fl ushin g, dan tekanan


darah yang labil. Lesi kardiak, karena karsinoid gastrointes-

tinal, hampir hanya ditemukan pada sisi kanan jantung

karena penyakit j antung.


Manifestasi kardiovaskular pada penlraftit sistemik lain
seperti penyakit kolagen akan dibahas dalam bab

dan hanya muncul saat ada metastasis ke hati,

tersendiri.

menunjukkan bahwa substansi yang mengakibatkan lesi


tersebut diinaktivasi oleh jalur yang melalui hati dan paruparu. Lesi-lesi yang serupa muncul pada sisi kirijantung
saat terdapat shunt kanat ke kiri atau ketika terdapat
tumor pada paru-paru. Lesi-lesi ini berupalibrous plaques
pada endotelium ruangjantung, katup, dan pembnluh besar
jantung. Plak-plak ini, yang mengakibatkan distorsi pada
katup-katup jantung, terdiri dari sel-sei otot halus yang
tertanam pada stroma dari mukopolisakarida asam dan
kolagen dan kemungkinan disebabkan oleh pen-vembuhan
luka endolel.
Gejala klinisnya seringkali berupa regurgitasi trikuspid,
stenosis pulmonal, atau keduanya. Pada beberapa kasus

keadaan jantung high-output mungkin terjadi,


kemungkinan akibat penurunan resistensi vaskular
sistemik yang disebabkan oleh substansi vasoaktif yang
dilepaskan oleh tumor. Progresi lesi-lesi kardiak tampaknya

tidak terpengaruh oleh antagonis serotonin, dan, pada


pasien yang memiliki gejala berat, diindikasikan
penggantian katup. Spasrne arteri koroner, kemungkinan

disebabkan oleh substansi vasoaktif dalam sirkulasi,


mungkin ditemukan pada pasien sindrom karsinoid.

FEOKBOMOSITOMA
Selain menyebabkan hipertensi labil atau menetap, kadar

katekolamin dalam sirkulasi yang tinggi yang disebabkan


oleh peokromositoma juga mungkin menyebabkeur kerusakan

miokard langsung. Nekrosis miokard fokal dan jnfiltrasi sel

inflanrasi ditemukan pada sekitar 507o pasien yang


meninggal karena peokromositoma dan mungkin berperan
dalam gagal ventrikel kin yang bermakna dan edema paru.
Selain itu, hipertensi menyebabkan hiperlrofi ventrikel krri.
Fungsi ventrikel kiri dan gagal jantung kongestif rnungkin
menghilang setelah pengangkatan tumor.

REFERENSI
Lee WL, Cheung ANI, Cape D. Zinman B [mpact of diabetes on
coronary artery diserse in women and men A meta-analysis of
prospective studies Diabetes Care 2000r 23 962-8.
Goldberg RB Ctrdiovascular disease in diabetic patients. Med Clin
North Am 2000; 84:81-93
Colucci WS, Price DT Cardiac tumors, cardiac manifeslations of
systemic diseases, and traumatic cardiac injury In: Kasper et al.
Harrison's Principles of Internal Medicine- 16 th EC New York,
Nf ccrau' FIil 1.200-5.p. 1420-5,
Haf{ner S\'I, Lehto S, Ronnemaa T, Pyorala K. Laakso M,
Nlortality from coronary heart disease in subjects with Lype 2
diabetes and nondiabetic subjects with rnd rvithout prior
myocardial infarction. N Engl J NIed 1998: 339 229-31.
James RW Diabetes and other coronary heart disease risk
equivalents Curr Opin Lipidol 2001; 12:425-31.
llaffncr SM. Cororary hearl disease rn patients with diabetes N

Engl J Med 2000; 342:1040-2


Cho E. Rimrn EB, Stampfer MJ, \\illet WC, FIu FB. The impact of
diaberes mellitus and prior-nryocardial infarction on mortaiity
from all causes and from coronary hcarr disease in rnen. J Arn
Coll Cardiol 2002: 40:954-60.
Hu FB, Stampt'er MJ, Solomon CG Liu S, Willet WC, Speizer FE, et
al. The impaci of diabetes mellitus ou rnortality from a1l causes
and coronary heart dise;rse in wornen 20 years oI follow rip
Arch Intern Med 20011 161:1711 23.
Mukamal KJ, Nesto RW, Cohen I\{C, Nluller JE, l\,{aclure N{. Sheruood

JB, et al Impact of diabetes on lcrng-[enn survival atier acute


myocardial infarction Diabetes Care 2C101: 21 1122-1
Miettinen H, Lehto S. Salon:ra V. et a1 Impact o1 rliabetes on
mortality after the lirst rn)'ocardial infarction Diabctr:s Care
1998:21:69-15
Fava S, Azzopardi J, Agius-MlLsc21t [-]: Oritcorne of unstablL- rn!lnl rn
patients with diabcies mellitus Diab l\{ed 1997: l4:2()9-13

Nichols GA. Gullior CNT, Koro CF, Ephross SA. Brown JB The
incidence of congcstive heart failure in tlpe dizrbctcs An
update. Diabetes Care 2004;27: I 879-84

NHLBI Working GroLrp on Cellular and Molecular Mechanisni of


Diabetic Cardiomyopathy 1998

AKROMEGALI
Efek hormon pertumbuhan yang berlebihan pada fungsi

jantung mengakibatkan gagal jantung kongestif yang

Bloomgarden ZT. Cardiovascular disease and diabetes. Diabetes Care

2003l.26:230-'7.

Bell DSH Heart failure. The frequent, forgotten, and often fatal
complication of diabetes Diabetes Care 2003;26:2433-4I
Mizushige K, Yao L. Noma T, Kiyomoto H, Yu Y, Hosomi N,

1197

MANIFESTASI KLINIS JAI\TTUNG PADA PENIYAKIT SISTEMIK

Ohmori K. Matsuo H. Alteration in lefl ventricular diastolic


filling and accumuiation of rnyocardizLl collagen at insulinresistant prediabetic stage of type II diabetic rat model
Circulation 2000: 101 : 899-907
Alwi I Deteksi djnj dan tatalaksana kardiomiopati diabetik. In: Alwi
I, Widjaya lP, Nasution SA Prosrding Simposium Pendekatan

Holistik Penyakit Kardiovaskular lV. Jakarta: Pusat Informasi


dan Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI
2005.p.128-38

Bertoni AG, Tsai A, Kasper EK, Brancati FL. Diabetes and


idiopathic cardiomiopathy. A nationu,ide case-control study
Diabetes Carc 2003 ;26:21

1, -

5.

Belt DSH. Diabetic cardiomiopathy. Diabetes Care 2003:,26:294951

Francis GS. Diabetic cardiomyopathy: fact or fiction? Heart 200 l;


85:24'7 -8.
Feln FS, Sonnenblick EH. Diabetic cardiomyopathy Cardiovasc Drugs

Ther 1994; 8:6-5-73


Porier P, Bogaty P, Garneau C, Marois L, Dumesnil JG. Diastolic
dysfunction in normotensive mcn with well-controlled tlpe 2
diabetes. Diabetes Care 2001 ; 24:5-10
Nugroho BS, Rahman AM, Suryad:ipradja RM, Waspadji S. Diastolic
dysfunction in t1'pe diabetes mellitus without cardiovascular
abnormality, Acta Med Indones 2003; 35:131--5.

AIwi I, Harun S, Soehardjono et al. Left ventricular diastolic


dysfunction in type 2 diabetes rrellitus patients without
cardiovascular disease: the association wrth microalbuminuria
Med J Indones 200511 .1: I 69-72

Fang ZY, Prins JB, Marwick

TH Diabetic

cardiomyopathy:

evidence, mechanism, and therapeutic implications Endocrine


Reviews 2004; 25(1):543-6i .

Grundy SM, Howard B, Smith S, Eckek R, Redberg R, Bonorv Ro"


Diabetes and cardiovascrLlar disease. Executive sutnmary
Conference Proceeding for Healhcare Professionals from a
Special Writing Group of the
American Heart Association. Circulation 2002: !05:2231 -9
Feuvray D Dial-.etic cardiomyopathy. Arch Mal Coeur 2004; 97:2615.

Young ME, McNulty P, Taegtmeyer H, Adaptation ard maladaptior.r


of the heart in diabetes: Part II. Potentral mechanisms.
Circulation 2002; 105: 1 86 I -70.
Diamant M, Lamb HJ, Groeneveld Y et al. Diastolic dysfunction is
tussociated with altered m),ocardial metabolism in asymptomatic

normotensive patients with well-controlled type 2 diabetes


mellitus- J Am Coli Cardiol 2003; 42:328-35.
Mottram PNI, Marwick TH Assesment of diastolic function: what
the general cardiologist needs to know. Heart 2005;91:681-95
Nesto RW'. Diabetes and heafi disease. Braunwald's Heart Disease A
Textbook of Cardiovascular Medicine. 7 th Eds. In: Zipes. Libby.
Bonow, Braunwald Eds Phiiadelphia, Elsevier Saunders. 2005

p 1355-66.
The Heart Outcomes Prevention Evaluation Study Jnvestigators.
Effects of an angiotensin-converting-enzyme inhibitor, ramiprtl
on cardiovascular events in high-risk patients N Engl J Med

2000;342:145-60
sebagzri faktor risiko penyakit jantung
koroner In:Setiati S, Alwi I, Simadibrata M et a1 Eds Proceeding Simposium Curent Diagnosis and Treatment in- Internal
Medicine 2004. Jakarta, Pusat Informasi dan Penerbitan
Departernen Penyakit Dalam FKUL 2004.p.213-24
Grundy SM Obesity, metabolic syndrome and cardiovascular
disease J Clin Endocrinol & Metab. 2004; 89(6):2595-600.

Alwi I. Sindrom metabolik

282
PENYAKIT JANTUNG TIROID
Dono Antono, Yahya Kisyanto

PENDAHULUAN

Perrnrlxlrn Ler nopere5i\


Jaringan

Hormon tiroid mempunyai banyak efek pada proses


metabolik di semua jaringan, terutama di jantung yang
paling sensitif terhadap perubahannya. Gangguan fungsi
kelenjar tiroid dapat menimbulkan efek yang dramatik
terhadap sistem kardiovaskular, sering kali menyerupai
penyakit jantung primer. Pengaruh hormon tiroid pada
jantung digolongkan menjadi 3 kategori, efek terhadap
jantung langsung, efek hormon tiroid pada sistem saraf

a rc:ist<r.t
er sisteoiik

Penunuran pengisisar

\b[unc

amen

EliL!i

tI

Penjtgkatan reab!orbsi
Natr ium renal

tI

Peningkatan Yolurne

l)arah
P,

rincL,r'arr kard:ak

nJrl.ur

simpatis dan efek sekunder terhadap perubahan


hemodinamik.

--

Pening"atan lotr opik


dan kr orotropik kardiak

Gambar 1. Efek hormon tiroid terhadap hemodinamik


kardiovaskular

EFEK HOBMON TIBOID TERHADAP SISTEM


KARDIOVASKULAR

nukleus T3 dan bukan T4, pada jaringan berespons


terhadap hormon tiroid, terutama jantung.

Hormon tiroid sangat mempengaruhi sistem kardiovaskular


dengan beberapa mekanisme baik secara langsung ataupun
tak langsung. Pada keadaan hipotiroid maupun hipertiroid

Efek hormon tiroid terhadap sel nuklear, terutama


dijembatani melalui perubahan penampilan gen yang
responsif. Proses ini dimulai dengan difusi dari T4 and T3

sangat mempengaruhi kardiovaskular. Hormon tiroid


meningkatkan metabolisme tubuh total dan konsumsi

melintasi membran plasma karena mudah larut dalam lemak.

oksigen yang secara tidak langsung meningkatkan beban


kerja jantung. Mekanisme secara pasti belum diketahui,
hormon tiroid menyebabkan efek inotropik, kronotropik,

5- monodelodinase, konsentrasinya bervariasi dari j arin gan

dan dromotropik, yang mirip dengan efek stimulasi


adrenergik (takikardia, peningkatan kardiak output).
Hormon tiroid meningk4tkan sintesis myosin dan Na*, K*AIPase, mirip seperti pada reseptor p- adrenergik miokard.

Efek hemodinamik hipotiroid berlawanan dengan

Dalam sitoplasma, T4 dirubah menjadi T 3 oleh


ke jaringan, merupakan hubungan yang tidak langsung
respons jaringan terhadap hormon tiroid. Kemudian T 3
sirkulasi dan T3 yang baru disintesis melalui membran
nukleus untuk berikatan dengan reseptor hormon tiroid
spesifik (THRs). THR merupakan bagian dari protein
superfamili reseptor nuklear, termasuk protein yang bekerja
seperli reseptor untuk steroid , vitamin D dan asam retinoik.

hipertiroid, dengan manifestasi klinis yang lebih kurang


jelas.

Tiroid mensekresi 2 macam hormon biologis aktif yaitu

HIPERTIBOIDISME

tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Banyak penelitian


yang mendukung hipotesis bahwa T3 adalah mediator akhir

dan T4 adalah prohormonal, terutama karena reseptor

Hipertiroid merupakan keadaan klinis akibat dari produksi


T" , T, atau keduanya. Penyebab terbanyak adalah struma

1798

I799

PENYAKIT JANTUNG TIROID

difus toksik (penyakit Grave). Etiologrnya belum diketahui

, kelebihan produksi T., dan T,, diduga karena IgG


autoantibodi berikatan dengan reseptor tirotropin pada
kelenjar tiroid. Penyebab terbanyak kedua hipertiroid
adalah struma nodosa toxic. suatu keadaan di mana daerah
yang terlokalisir pada kelenjar dan otonomi.
Hiper-tiroidrelatif lebih sering mengenai4- 8 kali pada
perempuan di6anding pria, dengan insiden terbanyak pada
dekade ke tiga atau ke empat. Gejala yang sering ditemukan
adalah kelelahan, hiperaktif, insomnia, kepanasan, palpitasi,
sesak napas, nafsu makan meningkat, berat badan turun,
nokturia, diare, oli go menorrhoea, kelemahan otot, tremor,
emosi labil, denyut jantung meningkat, hipertensi sistolik,
hipertermia, kulit lembab dan hangat, kelopak mata turun,
dan refleks halus. Serum T* meningkat dan serum TSH
rendah.
Manifestasi klinis kardiovaskular hiperliroidisme adalah
palpitasi biasanya merupakan salah satu keluhan awal
pasien untuk pergi berobat ke dokter. Di samping itu dapat
berupa hipertensi sistolik, kelelahan, atau dengan dasar

Efek Seperti Adrenergik

Efek Langsung Hormon

Beta

Tiroid
Denyut jantung saat istirahat
>90 x/ menit (90%)
Palpitasi (85%)
Fibrilasi atrial (10%)
Edema pedis (30%)
Peningkatan konsumsi
oksigen (metabolisme
basal)
Penurunan berat badan
Miopati otot skeletal
Peningkatan bone turnove r
(pada keadaan steoporosis
atau hiperkalsemia)
Kulit pucat
Rambut halus dan rapuh.
Kuku keras dan rapuh
Oligimenorrhoea atau
amenorrhea
Diare/ sering BAB

penyakit jantung yang sudah ada, angina atau gagal


jantung. Sinus takikardi dijumpai pada 40 7o pasien dan
15 7o denganfibrilasi atrial pada pasien hipertiroid. Dapat

Denyut jantung saat istirahat


> 90 x/ menit (90%)
Palpitasi (85%)
Dyspnea d'etforl (80%).
Peningkatan tekanan nadi
(hipertensi sistolik )
lmpuls apikal aktif
Suara jantung kesatu keras
dan komponen suara jantung
kedua
Murmur midsistolik, biasanya
di basal.
Suara jantung ketiga.
(kadang-kadang)
Means-Lerman scractch
(jarang)
Tremor
Refleks halus,
Perspirasi meningkat
lntoleransi panas
lnsomnia
Ansietas
Lid lag

dijumpai gambaran hiperdinamik pada prekordial.


peningkatan tekanan nadi, intensitas suara jantung
peftama, suara jantung ke dua komponen pulmonal. suara

jantung ketiga meningkat. Hipertiroid meningkatkan


insidensi prolaps katup mitral, dan beberapa kasus dapat
didengar mid sistolik mur-mur yang baik terdengar pada
batas sternal kiri dengan atau tanpa sistolik klik ejeksi.
Means-Lermarr scratch adalah suara gesekan sistolik
yang terdengar pada sela iga ke dua kiri selama ekspirasi.
Ini merupakan hasil dari gesekan perikardium dengan
jantung yang hiperdinamik terhadap pleura. Index kardiak

dan strok volume, rasio ejeksi sistolik rata-rata, velositi


dan exten.t o.f wall shortening, dan aliran darah koroner
semuanya meningkat. Waktu ejeksi sistolik dan preejeksi
singkat. Tekanan nadi meningkat dan resistensi vaskular
sistemik menurun. Perubahan penampilan ventrikel kiri
dirangsang oleh peningkatan hormon tiroid sekunder
terjadi peningkatan kontraktilitas dan denyut jantung
akibat peningkatan metabolisme j aringan perifer.
Pada pasien usia lanjut dengan hipertiroid, yang
disebut hipertiroid apatetik, pada tirotoksikosis dapat
hanya terlihat manifestasi kardiovaskulamya saj a, antara
lain atrial fibrilasi, mungkin resisten terhadap terdpi sampai
hipertiroidnya terkohtrol. Angina pektoris dan gagal
jantung kongesti jarang terjadi kecuali berhubungan
dengan dasar penyakit jantungnya sendiri dan banyak

kasus gejala berkurang setelah terapi hipertiroidnya


teratasi.
Gambaran foto dada dan elektrokardiografi dapat terjadi
perubahan , walaupun tidak spesifik pada hipertiroid. Pada
foto sinar X ventrikel kiri, aorta, arleri pulmonalis biasanya
tidak berubah, hanya pada beberapa kasus dapat terjadi

Pen uruna n

Peningkatan
resistensi
vaskular sistemik

LVESV

Gambar 2. Efek hipertiroidisme pada sistem kardiovaskular.

Keterangan

LVESV = Left ventricle end systolic volume,

LVEDV = Left ventricLe end diastolic volume.


pembesaran jantung. Pada pasien dengan sinus ritme,
manifestasi klinis takikardi secara umum sebanding dengan
beratnya penyakit. Sinus takikardia terjadi pada 40 Vo
pasien dengan hipertiroid dan lebih sering timbul pada
kelompok usia muda dan sering timbul pada malam hari.
Sepuluh sampai 15 Vo dapatterjadi fibrilasi atrial persisten.

Terjadi pemendekan waktu konduksi AV dan periode


refrakter fungsional yang menyebabkan peningkatan
frekuensi pada sistem konduksi AV membangkitkan impuls

atrial cepat. Kekacauan konduksi intraatrial, ditandai


dengan pemanjangan atau pelebaran gelombang P dan

1800

I(ARDIOI.OGI

pemanjangan interval PR walaupun tanpa terapi dengan


digitalis, terlihat 15 dan 5 7o padapasiendengan hipertiroid.
Walaupun sangat jarang, dapat juga terjadi blok jantung
derajat 2 atar3. Penyebab gangguan konduksi AV belum
diketahui. Tirotoksikosis terselubung dapat merupakan
penyebab atrial fibrilasi kronik atau paroksismal.
Pada suatu studi yang luas ditemukan bahwa kurang
dari l7o kasus serangan baru fibrilasi atrial disebabkan
oleh hipertiroid. Pada suatu studi didapatkan l37o dari
pasien dengan fibrilasi atrium ditemukan bukti biokimia
hipertiroid, walaupun gejala klinis tidak jelas. Pada suatu
studi lain 610 pasien hiperliroid, fibrilasi atrial merupakan

Pada krisis tiroid, propanolol intravena dapat diberikan

faktor resiko utama terjadinya emboli. Nakazawa

dapat mengurangi fibrilasi atrial. Pada umumnya


antikoagulan diperlukan untuk mencegah terjadinya

melaporkan I1.345 pasien dengan hipertiroid 288 kasus


disertai fibrilasi atrium,6 kasus mengalami emboli sistemik,

4 diantaranya mengalami gagal jantung, 5 orang


diantaranya berusia lebih dari 50 tahun. Hipertiroid
subklinis ditandai dengan konsentrasi serum tirotropin
yang rendah (< 0.1 mUfliter) dan konsentrasi hormon tiroid

yang normal pada usia 60 tahun atau lebih, ada


kemungkinan 3 kali lipat menjadi fibrilasi atrial dalam 10
tahun.

mg/menit, dengan catatan fungsi sistolik ventrikel kiri

normal. Diagnosis hipertiroid dipastikan dengan


rendahnya kadar TSH dengan akibat peningkatan hormon
tiroid darah. Pada usia lanjut dengan hipertiroid apathetik,

manifestasi kardiovaskular lebih menonjol, khususnya


fibrilasi atrium dan atau gagal jantung kongesti. Terapi
terhadap hipertiroid adalah operasi pengangkatan kelenjar
tiroid atau radiasi dengan yodium radioaktif.
Pada penyakitjantung tirotoksik, tirotoksikosis dengan
fibrilasi atrial, langkah pertama harus dibuat sedapat
mungkin menjadi eutiroid, di mana secara umum masih

tromboemboli, apalagi disertai dengan gagal jantung.


Terapi hipertiroid kadang-kadang dapat mengembalikan
ke ritme sinus. Hal ini dibuktikan dari suatu sttdi627o dari
163 pasien setelah 8 sampai 10 minggu dalam keadaan
eutiroid kembali spontan ke irama sinus. Jika fibrilasi atrial
belum teratasi, perlu dilakukan kardioversi setelah 16
minggu telah menjadi eutiroid. Perlindungan antikoagulan
terus diberikan sampai 4 minggu setelah konversi.

Angina pektoris dan gagal jantung dapat timbul pada


pasien dengan hipertiroid. Hal ini sejak lama diasumsikan

karena penyakit jantung yang mendasarinya. Akhir-akhir


ini dilaporkan gagal jantung kongesti dapat terjadi pada

HIPOTIROIDISME

percobaan binatang yang diberikan T.. Gagal jantung


kongesti dapat timbul pada anak dengan tirotoksikosis

Diagnosis hipotiroid ditandai dengan peningkatan serum


TSH. Hipotiroid merupakan akibat dari penurunan sekresi
To dan T.,, kasus tersering disebabkan karena destruksi
dari kelenjar tiroid itu sendiri. Biasanya disebabkan karena
proses inflamasi. Penyebab utama di Amerika adalah
tiroiditis Hashimoto. Penyebab yang lebih jarang adalah
sekunder karena penurunan sekresi TSH disebabkan
karena penyakit kelenjar hipofise atau hipothalamus. Pada
hipotiroid sekunder keluhan dan gejala klinis berhubungan
dengan defisiensi hormon hipofise yang lain juga bisa
muncul. Insiden hipotiroid puncaknya pada usia antara 30
- 60 tahun, dua kali lebih sering pada perempuan dari pada
laki-laki. Keluhan dan gejala yang tersering adalah
gangguan toleransi dingin, kulit kering, lemah, gangguan
mengingat, perubahan kepribadian, sesak napas,
konstipasi, suara parau, menorrhagia dan bentuk lain
gangguan menstruasi, dan bisa terjadi gagal jantung.
Manifestasi jantung hipotiroid adalah penurunan
kardiak output, volume sekuncup, denyutjantung, tekanan
darah dan tekanan nadi. Sepeftiga pasien terjadi efusi
perikard, tetapi jarang terjadi tamponad. Peningkatan
permeabilitas kapiler menyebabkan efusi pleura dan
perikard. Gejala klinis yang lain adalah kardiomegali,
dilatasi jantung, bradikardia, tekanan nadi arteri lemah,
hipotensi, edema nonpitting pada wajah dan perifer, dan
suara jantung jauh. Myxedema (edema non pitting)
berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler
dan karena kebocoran protein ke ruangan interstitial.

tanpa penyakit jantung yang mendasarinya. Angina


pektoris pernah dilaporkan terjadi pada pasien hipertiroid
dengan hasil corangiografi normal. Kemungkinan sekunder

tiroid menyebabkan spasme arteri koroner. Ebisawa


melaporkan kasus kardiomiopati pada pasien tirotoksikosis
kemungkinan akan terus menetap. Empat kasus seperti ini

terjadi peningkatan LVEDV (lefi ventricel end diastolic


volume) dan penurunan fraksi ejeksi, walaupun telah
diterapi hipertiroidnya selama 13 - l5 tahun. Biopsi mrokard
menunjukkan tidak ada kelainan mikroskopik yang spesifik.
Pada sepertiga kasus hiperliroid ditemukan prolaps katup
mitral.

TERAPI
Pasien hipertiroid dengan penyakit kardiovaskular
biasanya resisten terhadgp terapi. Telah banyak dilaporkan

gagal jantung dan aritmia resisten terhadap dosis


konvensional golongan glikosida. Terapi dasar efek
hipertiroid berupa takikardi adalah obat golongan
penghambat adrenergik beta, walaupun keadaan
hipermetabolik belum teratasi. Bersama-sama dengan obatobat anti tiroid atau radioiodin sebelum tindakan operasi.

Penyekat beta mengontrol takikardi, palpitasi, tremor.


kecemasan, dan mengurangi aliran darah ke kelenjar tiroid.

1801

PENYAKIT JAIYTUNG TIROID

Kelainan ini menyebabkan efusi perikard. Efusi dapat


menghilang dengan terapi pengganti tiroid. Dilaporkan

myxedema dapat menyebabkan syok kardiogenik


walaupun jarang terjadi, dan respons perbaikan setelah
mendapat terapi pengganti tiroid. Walaupun tanda dan
gejala myxedema disangka bagian dari diagnosis gagal
jantung kongesti, dan tidak ada penyakitjantung lain, gagal
jantung jarang terjadi. Tekanan pengisian jantung kiri dan
kanan biasanya dalam batas normal, meningkat karena
adanya efusi perikard. Ventrikular isovolumetrik re laxation
time memanjang dan normal setelah pemberian terapi T,,.
Pada percobaan yang dibuat keadaan hipotiroid pada otot
jantung kucing, didapatkan hasil penurunan kontraktilitas
yang ditandai dengan penurunan kurva velositi miokard

paksa, penurunan kemampuan denyut jantung dan


pemanjangan respons kontraktilitas.

hati, dimulai dari dosis rendah biasanya hanya25 7o dari


dosis yang dianjurkan dan ditingkatkan berlahap dengan
interval 6 sampai 8 minggu.
Kadar katekolamin tidak menurun pada hipotiroid.

Demikian juga kepekaan kemampuan kerja jantung


terhadap rangsangan saraf simpatis atau respons dari
adenilsiklase jantung ke norepineprin. Jumlah total reseptor

beta miokard menurun. Pada hipotiroid eksperimen

kontraktilitas yang dirangsang oleh isoproterenol,


akumulasi siklik adenosin monofosfat, kalsium pada
partikel retikulum sarkoplasmik miokard menurun pada
jantung tikus hipotiroid. Data klinis untuk kardiomiopati
dilatasi idiopatik yang disebabkan hipotiroid sedikit, pada

penelitian tersebut tidak ditemukan bukti klinis atau


biokimia yang menandakan hipotiroid maupun hipertiroid.

Pasien dengan hipotiroid mempunyai risiko


peningkatan kejadian aterosklerosis karena terjadi

lipid hiperkoleterolemia dan


hipertrigliserida. Hal ini berhubungan dengan kejadian
penyakit jantung koroner yang timbul dini. Pengobatan

perubahan metabolisme

hipotiroid akan memperbaiki pola metabolisme lipid menladi

normal. Sebagai contoh Arem dan Patsch melaporkan


penurunan kadar LDL (low density lipoprotein) sebanyak

227o setel.ah terapi tiroid selama 4 bulan. HDL (high


density lipoproterin) tidak berubah. Data yang

Gambar

3.

mendukung hubungan hipotiroid dengan aterosklerosis


telah dilaporkan dari beberapa sumber, pasien dengan
myxedema akan meningkat dua kali lipat dibandingkan
dengan yang berhubungan dengan kontrol umur danjenis
kelamin. Infark miokard dan angina pektoris relatifjarang
terjadi pada pasien dengan hipotiroid. Hal ini disebabkan
karena rendahnya metabolisme miokard pada hipotiroid.
Terapi gagaljantung kongesti pada pasien myxedema
biasanya sulit, karena ada efek lain akibat pemberian
hormon tiroid dan glikosida jantung. Pasien dengan an-

Eiek hipotiroid pada sistem kardiovaskular

Gambaran elektrokardiografi umumnya berupa sinus

bradikardia dan low voltage. Dapat terjadi pemanjangan


interval

Q!

penurunan voltase gelombang

P,

pemanjangan

waktu konduksi AV gangguan konduksi intraventrikel


dapat berupa aritmia ventricular reentrant, incomplete

gina pektoris yang berat dan myxedema yang belum diterapi


akan mendapat dilema dalam penatalaksanaannya. Ha1

complete right bundle branch block dan abnormalitas


gelombang S - ST tak spesifik. Foto dada dapat ditemukan
kardiomegali, sering dengan bentukbotol air, efusi pleura,
dan beberapa kasus dilaporkan gagal jantung kongesti
dan kelainan primer miokard yang dicurigai kardiomiopati.
Patologi dapat ditemukan jantung pucat , dilatasi, lembek,
sering ditemukan pembengkakkan miofibrilar, dan fibrosis
ata:.l

bloker untuk angina akan menyebabkan bradikardia yang

berat. Angiografi koroner dapat ditemukan kelainan


penyakit jantung koroner yang berat. Biasanya dosis
hormon tiroid diberikan minimal sampai dengan dilakukan
revaskularisasi. Setelah berhasil dilakukan revaskularisasi,
pemberian dosis hormon tiroid dapat diberikan dosis
maksimal tanpa disertai keluhan angina berulang.

interstisial.
Pasien dengan hipotiroid sering ditemukan peningkatan

kadar kolesterol (an trigliserida, dan penyakit


atherosklerotik arteri koroner yang berat. Sebelum diterapi
dengan hormone tiroid, pasien dengan hipotiroid sering
kali tidak ada gejala angina pektoris, kemungkinan karena

kebutuhan metabolik rendah tergantung dari kondisi


masing-masing. Angina dan infark miokard dapat timbul
selama pemberian hormon tiroid , khususnya pada pasien
usia lanjut dengan dasar penyakit jantung. Untuk itu
pemberian terapi hormon harus dilakukan dengan hati-

ini

disebabkan karena angina dapat dieksaserbasi oleh


pemberian hormon tiroid itu sendiri. Penggunaan beta

AMIODARON DANT!ROID
-

Penggunaan amiodaron secara luas untuk aritmia jantung,


saat ini merupakan salah satu penyebab utama kelainan

tiroid pada pasien dengan penyakit jantung koroner.


Amiodaron mempunyai struktur yang mirip dengan

T,, dan

1802

I(ARDIOI]OGI

T., dan juga banyak mengandung yodium. Amiodaron

menurunkan konversi perifer To ke T, , jadi akan


meningkatkan kadar T., sirkulasi dan menurunkan T.,
sirkulasi. Sejak hal ini terjadi kelenjar hipofise akan

Pada daerah-daerah dengan defisiensi iodin sering


terjadi hipertiroidisme yang dipengaruhi oleh amiodaron.
Pasien-pasien memperlihatkan gejala-gejala khas
hipertiroidisme seperti penurunan berat badan, gangguan
toleransi panas, dan tremor. Dapat juga timbul aritmia

meningkatkan sementara kadar TSH pada awal terapi, dan


biasanya akan kembali normal kembali setelah 3 bulan
terapi. Perubahan tes laboratorium ini sering terjadi dan

jantung yang berulang. Diagnosis ditegakkan

tidak selalu berhubungan dengan manifestasi klinis

tiroid dengan gambaran TSH yang rendah

disfungsi tiroid.

Di Amerika dan Inggris, hipotiroid merupakan


manifestasi klinis tersering dari disfungsi tiroid akibat
amiodaron. Insidennya mencapai l37o dari pasien.
Mekanisrrrenya belum jelas, diduga berhubungan dengan
efek sejumlah besar yodium pada saat menghambat
pelepasan hormon tiroid dan sintesisnya tumpang tindih
dengan penyakit autoimun tiroid. Selain itu juga diduga
amiodaron itu sendiri dapat menyebabkan gangguan
autoimun tiroid dengan mempengaruhi fungsi sel T.
Gejalanya sama dengan hipotiroidisme, diagnosisnya
dipastikan dengan peningkatan kadar TSH. Sekelompok
pasien fungsi tiroid akan menjadi normal beberapa bulan
setelah terapi amiodaron, kelompok lain akan menjadi
hipotiroidisme permanen.

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan tes fungsi

dan
peningkatan kadar T,, dapat terlihat pada saat fase awal
terapi amiodaron, tanpa gejala. Pada fase awal terapi
dengan amiodaron kadar T, menurun. Pada saat
hipertiroidisme kadar T., meningkat. Ada 2 mekanisme

amiodaron menyebabkan hipertiroidisme. Tipe I


(hipervaskular) terlihat pada kelenjar tiroid yang tidak
normal dan disebabkan karena iodin merangsang
peningkatan sistesis hormon tiroid pada pasien dengan
struma nodosa atau penyakif Graves yang lanjut. Tipe II
(hipovaskular) terlihat pada kelenjar tiroid yang normal.

Penyebabnya adalah sekunder karena proses destruksi


tiroid oleh iodin atau oleh amiodaron itu sendiri. Pada

kasus selanjutnya amiodaron dapat merangsang


terbentuknya antibodi reseptor tirotropin. Untuk
membedakan kedua tipe ini dapat menggunakan color

Skrining pasien dalam terapi amiodaron

TSH <0 35 mU/L

TSH <0 03 mU/L

TSH03s-43mU/L

TSH >4.3 mU/L

(Ftrendah N;FT4 tinggi

TSH <0 03-0.35

mu/L

Ulang TSH
tiap 6 minggu,dan
tiap 3 bulan

Trial Tp bulan

Gambar 4. Algoritma untuk mengevaluasi status tiroid pada pasien yang memakai amiodaron

1803

PEIYYAKIT JANTUNG TIROID

flow doppler sonografi.

REFERENSI

Kadar serum interleukin-6 meningkat pada tipe II.


Pasien dengan tipe II responsnya sangat baik dengan
pemberian glukokortikoid.

Penghentian terapi dengan amiodaron dapat


mengurangi keadaan hipertiroidisme, walaupun kembali
normal dapat memakan waktu beberapa bulan. Bilamana

terapi amiodaron tidak dapat dihentikan, modalitas


pengobatan lain harus diberikan. Dua modalitas utama

adalah pemberian obat thionamide dan operasi.


Propiltihiourasil atau methmazol mungkin dapat berhasil,
tetapi tidak pada semua kasus. Jika medikamentosa gagal,
mungkin tiroidektomi dapat menjadi pilihan. Terapi iodin
radioaktif tidak dianj urkan. Karena sering terj adi gangguan
fungsi tiroid selama pemakaian terapi amiodaron, dianjurkan
untuk pengawasan rutin tes fungsi tiroid.

Cooper DS. Subclinical Hypothyroidism. N Engl J

Med 2001;345;4:

260-5
Colucci WS, Prize DT. Cardiac Tumors, Cardiac Manifestastions of
Systemic Diseases, and Traumatic Cardiac Injury. In Harrison et
al (ed) : Principles of Intemal Medicine, l6'h ed . New York ,

McGraw-Hill. 2005. 1423.


V et al. Guideline For The Management of Patient With
Atrial Fibrilation. JACC. 2001; 38: 1266 I - ixx.
Forfar JC, Feek CM, Miller HC, Toft AD. Atrial Fibrillation isolated
suppression of the Pituitary-thyroid axis : respons to specific
antithyroid therapy. Int J Cardiol 1981;1:43-8
Klein I, Ojamaa K. Thyroid Hormone and the Cardiovascular
System. N Engl J Med. 2001;344;7: 501-11.
Ladenson PW, Singer PA, Ain KB, et al. American Thyroid
Association Guidelines for Detection of Thyroid Dysfunction
Arch Inter Med 20001160:1573-5.
Seely EW, Williams GH The Heart in Endocrine Disorder. In
Braunwald (ed) : Heart Disease Textbook of Cardiovascular
Disease. 6thed Philadelphia, WB Saunders Company, 2001,2154Fuster

60

Toft AD. Subclinical Hyperthyroidism. N Engl J Med. 2001;345;7:


512-1 6.
Weetman AP. Graves Disease.

48.

N Engl J Med 2000;343;11: 1236 -

283
PENYAKIT JANTUNG PADA
PENYAKIT JARINGAN II(AT
Idrus Alwi

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

diduga berperan penting pada patogenesis berbagai


bentuk serositis (seperti pieuritis dan perikarditis),

Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit


autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan

miokarditis dan endokarditis pada LES. Hal ini didukung


berdasarkan pengamatan sebagai berikut:
. terdapat kompleks imun, ANA, antibodi anti dsDNA

manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Komplikasi pada


jantung merupakan salah satu manifestasi klinis LES yang
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Mortalitas karena

kelainan kardiovaskular menempati urutan ketiga setelah


infeksi dan gagal ginjal. Salah satu laporan menunjukkan
mortalitas karena perikarditis/miokarditis pada pasien LES
sebesar 15%.

Kelainan kardiovaskular sering dijumpai pada


penelitian klinis dan post mortem pada pasien LES.

C3 pada arteriol perikard pasien LES yang mengalami

Gambaran patologis adalah pankarditis yang melibatkan


perikard, miokard, endokard, katup jantung, dan pembuluh

darah. Perikarditis (efusi perikard) merupakan kelainan

jantung yang paling sering ditemukan yaitu 2l-547o,


kelainan valvular 28-4 4Vo, dankelair,art miokard

perikarditis konstriktif

konsentrasi komplemen hemolitik cairan perikard pasien


LES menurun dan ditemukan komplemen spesifik C1q,

C4, dan C3 pada cairan perikard. Terdapat aktivasi


komplemen jalur klasik (melalui IgM) dan altematif
(melalui IgA) in vivo pada cairan perikard pasien LES.

ditemukan deposit imunoglobulin granular dan


komponen komplemen pada dinding pembuluh darah

-2OVo.

Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup

miokard.

. lesi endokarditis Libman-Sacks

pasien LES dan teknik diagnostik, penyakitjantung pada


LES menjadi lebih sering ditemukan. Dengan menggunakan

mengandung

imunoglobulin dan komplemen.

ekokardiografi 2-D, Doppler, dan ekokardiografi


transesofageal prevalensi kelainan jantung pada LES
cukup tinggi di mana sebagian besar kasus secara klinis

Spektrum Kelainan Jantung pada LES


Penelitian ekokardiografi pasien LES yang dilakukan di

tidaktampak.

Divisi Kardiologi Departemen Penyakit

Faktor yang diduga'berhubungan dengan kelainan


jantung pada pasien LES antara lain aktivitas penyakit,
lama penyakit, lama penggunaan steroid dan antibodi

Dalam

menunjukkan efusi perikard ditemukan pada 13 pasien


(36,117o), masing-masing 3 pasien (8,337o) dengan efusi
perikard sedang dan berat dan 8 pasien (21,78Vo) dengan
efusi perikard ringan. Hanya pasien dengan efusi perikard
berat menunjukkan gambaran EKG low voltage tu'pa gejala
klinis perikarditis. Spektrum kelainan jantung yang

antikardiolipin.

Patof

dan sel LES yang khas pada cairan perikard pasien LES.
ditemukan depositkompleks imun padapembuluh darah
perikard pada penelitian imunopatologi j anngan j antung
pada kasus LES fatal yang diautopsi serta IgG IgM dan

isiologi

didapatkan pada pemeriksaan ekokardiografi 36 pasien LES


dapat dilihat pada Tabel 1.

Patofisiologi komplikasi pada organ pada pasien LES belum


jelas. Diduga terdapat deposit kompleks imun pada organ
disertai dengan aktivasi komplemen. Faktor imunologis

Penelitian mengenai hubungan aktivitas penyakit LES

1804

1805

PENYAKIT JANTUNG PADA PEITYAKIT JARINGAN IKITT

dengan kejadian efusi perikard menunjukkan efusi perikard

Angka kejadian tamponad jantung pada LES

lebih sering ditemukan pada LES aktif dibandingkan LES


yang tidak aktif.
Pada gambar 1 dapat dilihat efusi perikard masif pada
LES dengan pemeriksaan ekokardiografi.

dilaporkan kurang dari l}Vo.Padapenelitian terhadap 395


pasien LES, ditemukan kejadian perikarditis pada 75 pasien

(197o), dengan episode tamponadjantung pada l0 pasien


(137o daikasus perikarditis,2,5To dari seluruh kasus LES).
Laporan penelitian lain secara retrospektif terhadap 88

pasien LES selama enam tahun didapatkan kejadian


perikarditis pada 29,5Vo pasien, di mana perikarditis
Kelainan Jantung

^,
"/o

Efusi perikard

'13

36,1

- Ringan

10

- Sedang
- Berat

27,78
5,56

z,t o

merupakan manifestasi pertama pada 9 pasien (10,2o/o).


Dua dari sembilan pasien perikarditis tersebut (2,3Vo dari
seluruh kasus LES) mengalami tamponad sebagai
manifestasi pertama penyakit.

Gambaran klinis perikarditis lupus biasanya khas, dengan


keluhan nyeri substernal atau perikardial yang diperberat

LES

LES Tak

Aktif

Akrif

11
82
20
10

Manifestasi Klinis

Pembesaran ruang

jantung
- Dilatasi atrium kiri
- Dilatasi ventrikel kiri
Hipertrofi ventrikel kiri
Disfungsi sistolik ventrikel

2
2

5,56
5,56

8,33
13,88

2
5

5,56

8,33
5,56

0
0

8,33

kiri

Disfungsi diastolik
ventrikel kiri
Hipokinetik global
Hipokinetik segmental

Kelainan valvular
- Prolaps katup mitral

oleh gerakan napas dan batuk yang berkurang bila


membongkok ke depan. Dapat terdengar suara gesekan
perikard (pericardial friction rub). Terdapat hubungan
yang bermakna antara keluhan nyeri dada dengan
p e ricardial friction rub dan efusi perikard. Suaru friction
rub yang khas ditemukan hanya pada 5Vo dari 520 kasus
LES. Keluhan-keluhan ini bisa berat dan menetap atau
hanya ringan dan sesaat. Keluhan dapat menghilang dalam

beberapa jam atau minggu dan sering berulang dalam


periode beberapa tahun. Namun demikian, perikarditis
mungkin ditemukan dalam keadaan tanpa nyeri dan secara

lsmail dkk

klinis tanpa gejala. Pada keadaan tamponad dapat


ditemukan pulsus paradoks, tekanan vena juguleris (JVP)
meningkat, hipotensi dan pembesaran hati, selain gejala

dan tanda perikarditis lain. Salah satu laporan


menunjukkan nyeri dada, sesak napas, dan pericardial
rub ditemtkan masing-mas ing pada 407o pasien tamponad.
Sedangkan pulsus paradoks hanya ditemukan pada satu
di antara empat kasus tamponad yang diperiksa.

Elektrokardiograf i (EKG)
Perubahan elektrokardiografi (EKG) dapat mengkonfirmasi
Gambar 1. Elusi perikard berat pada pemeriksaan ekokardiografi
(Parasternal Long Axis View)

diagnosis klinis perikarditis akut pada pasien LES.


Perubahan EKG pada perikarditis terjadi dalam beberapa
jam atau beberapa hari setelah awitan nyeri dada. Gambaran

EKG yang khas pada fase akut yaitu ditemukannya

Perikarditis dan Efusi Perikard pada LES


Keterlibatan perikard pada LES pertama kali dilaporkan oleh
Keefer dan Felty, pad'a 1924 dan merupakan kelainan
jantung yang paling sering ditemukan. Perikarditis yang
tampak secara klinis dilaporkan berkisar antara23-307o.
Data dari beberapa penelitian mendapatkan keterlibatan

gelombang T yang tinggi dan elevasi ST yang konkaf.


Pada keadaan di mana terdapat efusi perikard dapat
ditemukan penurunan voltage QRS (low voltage) dan

gelombang T datar. Jika terdapat gambaran electrical


alternans, mungkin ditemukan efusi perikard masif dan
tamponad jantung.

perikard secara klinis, ekokardiografis, dan histopatologis


masing-masin g29%o ,31% , dan

66Vo

Pada beberapa penelitian baik dengan atau tanpa


kontrol menunjukkan prevalensi efusi perikard berkisar
antara2l-54Vo.

Foto Toraks
Pada perikarditis akut yang disertai adanya efusi perikard

dapat terlihat kardiomegali dan perubahan konfigurasi


silhoutte janttng. Gambaran pembesaran ^silhoutte ini baru

1806

I(ARDIOI.OGI

terjadi jika cairan yang terkumpul dalam ruang perikard


sekurang-kurangnya 250 ml.

sering ditemukan.

Laboratorium

Diagnosis perikarditis akut ditentukan bila ditemukan nyeri


dada yang khas dan/atau suara gesekan perikard dan
perubahan EKG yang khas. Diagnosis efusi perikardjuga
dapat ditegakkanjika pada pemeriksaan ekokardiografi M
mode ditemukan pemisahan epikard dan perikard, baik pada
fase sistolik maupun diastolik. Selain itu, pada pemeriksaan
ekokardiografi 2-D tampak gambaran daerah bebas eko

Diagnosis
Perikarditis umumnya terjadi selama periode aktif penyakit

sehingga biasanya ditemukan tanda aktivitas penyakit


pada pemeriksaan darah antara lain kadar komplemen
rendah, anti dsDNA meningkat, dapat ditemukan sel LE,
dan kadar LED meningkat.

Ekokardiograf

posterior di antara dinding ventrikel kiri.

Diagnosis efusi perikard ditegakkan berdasarkan adanya


gambaran area bebas eko (ekokardiografi free space) di
antara gambaran eko epikard dan perikard posterior.
Adanya efusi perikard dapat diperiksa pada parasternal
long axis, short axis, dan apical four chamber view.
Pemeriksaan dilakukan pada tingkat muskulus papilaris

atau apeks ventrikel

kiri.

Dengan pemeriksaan

ekokardiografi 2-D, perkiraan jumlah cairan lebih akurat,

identifikasi struktur jantung lebih jelas, dan efusi


berkantong (pocket) dapat dideteksi lebih baik.

PERIKARDIOSENTESIS
Perikardiosentesis diagnostik hanya dilakukan pada
keadaan di mana dipikirkan perikarditis purulenta.

Analisis Cairan Perikard


Cairan perikard pada LES berwarna kekuning-kuningan
sampai kemerahan, eksudatif, dan jumlah sel leukosit tinggi,
dengan dominasi sel PMN. Sel LE yang khas mungkin
ditemukan pada sedimen sel yang disentrifugasi, yang
menyokong diagnosis LES sebagai penyebab perikarditis.
Analisis cairan perikard pada l0 episode tamponad
menunjukkan volume cairan bervariasi antara 300- 1400 ml.
Cairan efusi khas eksudat dengan kadar protein tata-rata
4,8meldl(2,7-4,D.

Secara keseluruhan, analisis cairan perikard


menunjukkan leukositosis dengan neutrofil > 90Vo. Hasil

analisis ini menyerupai gambaran analisis perikard


perikarditis bakterial, yang dapat ditemukan juga pada
pasien LES yang mendapat terapi steroid. Beberapa laporan

lain menunjukkan penurunan aktivitas komplemen dan


ANAmeningkat.

Diagnosis tamponad ditentukan bila pada pemeriksaan

ekokardiografi ditemukan kolaps atrium kanan dan kolaps


diastolik ventrikel kanan, yang menunjukkan spesifisitas
IOOVo pada pasien tamponad yang dikonfirmasi dengan
kateterisasi. Ini merupakan teknik diagnostik non-invasif
terbaik untuk diagnosis tamponad.
Untuk menentukan etiologi efusi perikard pada pasien
LES dilakukan analisis cairan perikard, pemeriksaanANA
anti dsDNA, komplemen, dan sel LE pada cairan perikard.
Untuk menyingkirkan kemungkinan perikard septik,
dilakukan pemeriksaan kultur cairan peri kard.

Karena risiko komplikasi pada tindakan


perikardiosentesis cukup besar, diagnosis etiologi
ditegakkan secara klinis. Bila pasien LES dalam keadaan
aktif, maka efusi perikard pada LES secara klinis dianggap
sebagai bagian dari serositis LE. Tetapijika efusi perikard
merupakan satu-satunya manifestasi aktivitas r-ES dan
terdapat kecurigaan perikarditis septik dapat dilakukan
perikardiosentesis diagnostik.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perikarditis lupus terutama tergantung

pada beratnya kondisi perikarditis dan memperhatikan


aktivitas penyakit LES di luarjantung. Pasien perikarditis

simtomatik akut harus dirawat di rumah sakit karena


perkembangan efusi ke arah tamponad jantung tidak dapat
diprediksi. Pasien perlu istirahat sampai nyeri dada dan
demam hilang karena aktivitas akan memperburuk gejala.
Pasien LES dengan gejala ringan dan dengan efusi
perikard ringan atau tanpa efusi perikard dapat diterapi
dengan salisilat 1 gram setiap 4jam sampai tercapai kadar
terapi 20-30 mg/hari. Atau dapat juga diberikan obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS) lain seperti indometasin
100-150 mg/ hari. Jika tidak ada respons, dapat ditambahkan
antimalaria hidroksiklorokuin sulfat 200 mg sehari (5 -7 mgl
kgBBftrari), klorokuin fosfat 250 mg/hari, atau kuinakrin

Gambaran Histopatologi

hidroklorida 100 mg/hari. Bila perlu, dapat diberikan

Gambaran patologi perikard pada pasien LES dipengaruhi


oleh terapi steroid. Pada penelitian autopsi terhadap 28
pasien LES didapatkan bahwa sebelum masa terapi ste-

prednison 2,5-10 mglhari. Pada keadaan yang lebih berat,


dapat diberikan prednison 20-40 mg/hari. Efusi perikard
masif diberikan terapi prednison dosis tinggi 60-100 mg/
hari. Pada pasien yang sangat kritis, steroid dosis tinggi

roid, kasus-kasus autopsi menunjukkan perikarditis


fibrinosa difus atau fokal. Dengan penggunaan steroid
yang luas untuk pengobatan, perikarditis fibrosa lebih

(1 g metil prednisolon intravena) yang diberikan secara


parenteral, dapat mengurangi gejala dengan cepat dan

PEhTYAKIT JAI\TTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN

1807

II(AT

mengurangi tingkat efusi secara bertahap.

MIOKARDITIS DAN ABNORMALITAS MIOKABD


Pada evaluasi klinis pasien LES, prevalensi miokarditis

dilaporkan berkisar antara 8-257o. Pada penelitian


prospektif manifestasi kardiovaskular pada 100 pasien LES,
kejadian miokarditis didaparkar I 47o.

Gambaran Histopatologi
Abnormalitas patologis bervariasi sesuai beratnya
miokarditis, biasanya terdiri atas fokus kecil sel plasma
interstisial dan infiltrasi limfosit dan jarang terjadi
inflamasi interstisial difus. Dapat ditemukan juga
perubahan fibrinoid dan hematoxyllin bodies. Pada
pasien yang mendapat terapi steroid sering ditemukan
fibrosis miokard.

Diagnosis

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis miokarditis pada LES sama dengan
miokarditis yang berasal dari infeksi viral atau beberapa
penyebab lain. Tanda paling awal adalah takikardia yang
tak sesuai dengan demam. Pasien dapat mengalami sesak
atau berdebar. Pada pemeriksaan tisis, sering ditandai titik
impuls maksimal pada linea aksilaris anterior, dapat
ditemukan juga murmur! irama gallop dan/atau manifestasi
gagal jantung kongestif. Pada pemeriksaan EKG dapat

ditemukan takikardia sinus atau aritmia ventrikular.


Pemeriksaan fbto toraks dapat terlihat jantung membesar
secara difus.

Diagnosis miokarditis LES sering sulit ditegakkan secara


klinis karena faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan
gagal jantung kongestif mungkin ditemukan seperti anemia, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi sistemik,
penyakit valvular atau retensi garam dan air yang berasal
dari penyakit ginjal atau penggunaan kortikosteroid
sistemik.

Diagnosis klinis miokarditis LES ditegakkan


berdasarkan kombinasi keadaan sebagai berikut
l. Takikardia saat istirahat yang tak sesuai dengan suhu

tubuh

2. Perubahan ST-T nonspesifik pada pemeriksaan EKG


3. Sa[u atau lebih keadaan berikut: kardiomegali pada
pemeriksaan rontgen dada tanpa adanya efusi perikard,
irama derap (gallop), gagal jantung kongestif, aritmia
ventrikular dan peningkatan kadar enzim CKMB

-NSAID
- + klorokurn
Bila perlu
- Prednison 2,5 - 10 mg/hari

- Prednison 20-40 mgliari

- Prednison dosis tinggi 60-100 mg/hari

Penatalaksanaan
Pasien LES dengan miokarditis akut diterapi dengan
prednison sekurang-kurangnya 1 mg/kgBB/hari. Obat
sitotoksik seperti azatioprin dan siklofosfamid juga pernah
digunakan pada beberapa pasien.

ENDOKARDITIS DAN PENYAKIT JANTUNG


VALVULAR

- Perikardiosentesis

- Prednison intra perikard

Tamponade
Prednison dosis tinggi
Perikardiosentesis
Jendela perikard

Gambar 2. Algoritme penatalaksanaan elusi perikard pada LES

Endokarditis pertama kali dilaporkan oleh Libman dan


Sacks pada tahw 1924, jauh sebelum hubungannya
dengan LES diketahui. Lesi endokarditis ini secara
patologis berbeda dengan endokarditis karena etiologi lain,

dan dipercayai karakteristik untuk LES, yaitu berupa


vegetasi verrucous,non-bakterial, 3-4 mm pada katup dan/
atau permukaan endokard mural. Vegetasi ini dapat tunggal
atau berkelompok berupa kluster seperti mulberry. Katup
yang sering terkena adalah katup mitral.
Vegetasi Libman Sacks ditemukan 35-65% pada

Biopsi Endomiokardial

penelitian autopsi awal pasien LES, namun tidak


ditemukan gejala secara klinis (sllenr) dan pengaruhnya
terhadap hemodinamik kecil. Penelitian post mortem

Biopsi endomiokardial telah digunakan untuk diagnosis

selanjutnya menunjukkan kejadian dan ukuran vegetasi

miokarditis LES pada sejumlah kecil pasien LES. Tindakan

menjadi lebih kecil. Penyakit jantung valvular pada


beberapa penelitian dilaporkan berhubungan dengan

ini

tidak hanya menunjang diagnostik tetapi juga

menentukan perluasan miokarditis pada LES.

anti bodi antiposfolipid.

1808

Ekokardiograf

KARDIOI.OGI

Dengan pemeriksaan ekokardiografi, penebalan katup


mitral y ang didlga v e r rucae dilaporkan p ada 3 - 47o kasts,
namun vegetasi biasanya terlalu kecil untuk dideteksi.

(morning stffiess), arfialgia atau arlritis terutama pada


metakarpopalangeal atau sendi interpalang proksimal,
nodul reumatoid, faktor reumatoid IgM atau IgG serum
dan erosi artikular pada pemeriksaan foto rontgen.

Penelitian dengan menggunakan ekokardiografi

Penyebab kematian tersering adalah komplikasi

transesofageal (TEE) pada69 pasien LES yang dilakukan


pemantauan selama 57 bulan menunjukkan abnormalitas
valvular sering ditemukan, baik pada saat awal dan tindak
lanjut masing-masing 617o dat53Vo. Abtormalitas katup
tersebut antara lain:

artikular dan ekstraartikular seperti subluksasi

Faseawal Tindaklanjut

. Penebalan katup
. Vegetasi
. Regurgitasi valvular
. Stenosis

5lVo
437o
257o
4Vo

52Vo
34Vo

287o
3Vo

Pada penelitian tersebut, penyakit j antung valvular tidak


berhubungan dengan lama penyakit, aktivitas penyakit,
beratnya lupus atau pengobatan yang diberikan.

atlantoaksial, sinovitis krikoaritenoid, sepsis, komplikasi


jantung paru dan vaskulitis difus.
Penyakit kardiovaskular reumatoid disebabkan karena
inflamasi imun nonspesifik, vaskulitis atau deposisi
granulomatous pada perikardium, miokardium, katup
jantung, arteri koroner, aorta atau sistem konduksi. Penyakit
jantung reumatoid secara klinis ditemukan pada sepertiga

pasien, dibandingkan sampai 807o pada pemeriksaan

autopsi. Penyakit jantung reumatoid dapat berupa


perikarditis, miokarditis, penyakit jantung valvular,
gangguan konduksi, arteritis koroner, artitis atau kor
pulmonal.

Penelitian kohort prospektif yang membandingkan


insidens infark miokard dan bencana serebrovaskular antara

Gambaran Hispatologi
Secara mikroskopis vegetasi terdiri atas proliferasi dan
degenerasi sel, fibrin, jaringan fibrosa, dan jarang

RA menunjukkan pasien RA mempunyai


insiden bencana vaskular dan mortalitas lebih tinggi.
pasien RA dan non

hematoxyllin bodies. Terdapat pula deposit imunoglobulin


dan komplemen sepanjang dinding yerrucae, yarrg

Aterosklerosis juga menunjukkan laju akselerasi pada RA.


Terdapat korelasi yang kuat antara adanya petanda biokimia
inflamasi dan plak aterosklerosis karotis pada RA.

menyokong dugaan adanya kompleks imun dalam sirkulasi


yang berperan dalam pertumbuhan dan proliferasi vegetasi
yerrucous Libman-Sacks.

mencakup jenis kelamin laki-laki, usia lanjut, awitan


penyakit, hipertensi, terapi kortikosteroid dini, penyakit

Prediktor penyakit kardiovaskular secara klinis

yang lama, manifestasi ekstraartikular yang aktif,

Diagnosis
Sebelum ditemukan ekokardiografi, sulit menegakkan
diagnosis klinis. Pemeriksaan fisis dan ekokardiografi
dapat menduga adanya yerrucae, tetapi tidak diagnostik.
Murmur dapat disebabkan demam, takikardia, hipertensi
atau anemia. Diagnosis endokarditis Libman-Sacks primer
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan autopsi.

poliartikular erosif dan penyakit nodular, vaskulitis sistemik


dan kadar faktor reumatoid serum yang tinggi. Pasien yang
mengalami bencana kardiovaskular mempunyai LED yang
tinggi, kadar haptoglobin, kadar faktor von Willebrand dan

plasminogen activator inhibitor yang lebih tinggi


dibandingkan pasien tanpa penyakit kardiovaskular. Hal
ini menunjukkan bahwa proses inflamasi dan protrombotik
mengakibatkan penyakit kardiovaskular.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan endokarditis dan abnormalitas valvular

PERIKARDITIS

pada LES, tergantung pada aktivitas LES secara


keseluruhan. Pada pasien lupus yang stabil, penyakit val-

vular yang baru didiagnosis, tidak merefleksikan


peningkatan aktivitas atau beratnya penyakit, sehingga
mungkrn tidak memerlukan modifikasi terapi antiinfl amasi.
Pada keadaan di mana ditemukan stenosis berat atau
regurgitasi berat yang biasanya mengenai katup mitral,
dilakukan tindakan operatif penggatian katup.

Keterlibatan jantung jarang pada RA, namun terjadi dalam


berbagai bentuk. Perikarditis fibrofibrinous non spesifik
difus terjadi pada sekitar 50 7o pasien RA, biasanya secara
kTinis silent dan tertutupi oleh pleuritis atau nyeri sendi.
Penyakit perikard cenderung benigna, namun efusi berat
dapat terjadi dan memerlukan tindakan perikardiosentesis,
dan konstriksi perikarditis konstriktif jarang memerlukan

tindakan perikardiektomi. Perikarditis konstriktif terjadi


pada 4 dari

REUMATOID ARTRITIS

Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi kronik yang


dimediasi imun dengan ciri kekakuan pada pagi hari

4l

pasien RA yang kasusnya dipantau selama

periode 10 tahun.
Prevalensi perikarditis ditemukan lebih tinggi pada
pasien dengan penyakit aktif yang dirawat. Terdapat
hubungan kuat antara perikarditis dan faktor reumatoid

1809

PENYAKIT JANTUNG PADA PENWAKIT JARINGAN IKAT

IgM atau Ig G yang positif, penyakit nodular reumatoid


LED > 55 mrr/jam.
Perikarditis reumatoid terjadi melalui 3 mekanisme:
proses inflamasi imun nonspesifik, vaskulitis dan jarang
penyakit nodular atau granulomatous.

PENYAKIT JANTUNG VALVULAR REU MATOID

dan

Manifestasi Klinis

Penyakit jantung valwlar reumatoid diakibatkal oleh proses


inflamasi akut nonspesifik, kronik atau rekuren, vaskulitis
atau deposisi granulomata pada katup. Proses inflamasi ini
terdiri dari infrltrasi sel plasma, histiosit, limfosit dan eusinofil
yang mengakibatkan fibrosis, penebalan dan retraksi katup.

fisis dapat didengar pericardial rub. Tamponad dan

Granulomata katup yang merupakan nodul reumatoid,


ditemukan pada katup, cincin katup, puncak musculus
papilans dan endokardium atrial atau ventrikular. Katup
jantung yang sering terlibat adalah katup mitral dan aorta.

perikarditis konstriktif jarang dijumpai, biasanya pada


pasien dewasayarrg aktif dan berat yang lama dan pasien

Granulomata tersering dijumpai pada basal melekatnya kah-rp,


biasanya fokal dan biasanya tidak mengakibatkan disfungsi

Perikarditis reumatoid umumnya tanpa komplikasi dan


sangat sering dengan tanda nyeri pleuritik, fibrilasi atrial
atau fluter. Sepertiga pasien asimtomatik. Pada pemeriksaan

dengan keterlibatan ekstrartikular. Keluhan lain seperti


dispnu, ortopnu, edema, distensi vena jugularis, ronki,
pulsus paradoksus, tanda Kusmaull dan distensi vena
hepatojugular sering dijumpai jika terjadi kompresi jantung.

Pemeriksaan Penuniang
EKG sering menunjukkan perubahan gelombang T dan
segmen ST nonspesifik, demikian juga elevasi segmen ST
difus yang klasik. Pada efusi perikard yang banyak dapat

ditemukan low voltage atatt electrical alternans.


Pemeriksaan foto rontgen dada biasanya normal,
Kardiomegali ditemukan pada pasien dengan efusi perikard
yang berat. Kalsifikasi perikard jarang dr.lumpai.

Pemeriksaan ekokardiografi merupakan teknik


diagnostik yang sangat penting yang kelainan tersering
dijumpai adalah efusi perikard dan penebalan perikard.
Kompresi diastolik ventrikel kanan dan atrium kanan dapat
ditemukan pada efusi perikard berat yang menunjukkan
adanya tamponad. Tidak dijumpai abnormalitas perikard
pada pemeriksaan ekokardiografi tidak menyingkirkan
adanya perikarditis pada pasien dengan gejala khas atau
pericardial rub.
Pemeriksaan laboratorium sering menunjukkan LED
meningkat > 55 mm/jam. Cairan perikard eksudatif dan
serosanguineus dan kadar protein dan LDH yang tinggi,
tapi kadar glukosa rendah dan dapat mengandung faktor
reumatoid. Hitung jenis sel biasanya > 2000, dengan
neutrofil predominan. Pada biopsi perikard dapat
ditemukan deposit granular IgG, IgM, C3 dan Clq pada
interstisium dan dinding pembuluh darah perikard.

Penatalaksanaan
Pada perikarditis reumatoid ringan tanpa komplikasi

dianjurkan istirahat di tempat tidur dan pemberian


antiinflamasi non steroid. Pada kasus yang berat dan tak

respons dengan terapi OAINS dapat diberikan


steroid. Pada efusi perikard masif atau tamponad dilakukan
perikardiosentesis atau perikardiotomi. Pada perikarditis
konstriktif dilakukan perikardiektomi. Penggunaan steroid
intraperikard saat perikardiosentesis masih kontroversial.

katup. Penyakit katup reumatoid terjadi pada pasien dengan

penyakit reumatoid yang sudah lama dan berat dengan


penyakit nodular dan poliartikular erosif, vaskulitis sistemik
dan kadar faktor reumatoid yang tinggi.
Penyakit katup mitral atau aorta reumatoid biasanya
ringan dan asimtomatik, akut atau kronikjarang berkembang

menjadi berat. Valvulitis akut dan berat atau ruptur


ganulumata katup yang mengakibatkan regurgitasi berat

dan gagal jantung jarang dijumpai. Aortitis yang


menyebabkan dilatasi aorta (aortic root) dan regurgitasi
aorta juga jarang ditemukan. Regurgitasi aorta reuinatoid

Iebih berkembang cepat jika dibandingkan dengan


penyebab lain.

Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan fisis penyakit jantung reumatoid
mungkin tak tampak kelainan karena sebagian besar kasus
ringan. Pada kasus yang jarang berupa regurgitasi mitral
atau aorta akut atau kronik, dapat ditemukan auskultasi
yang klasik dan tanda-tanda yang berhubungan dengan
kegagalan ventrikel dapat ditemukan.

Diagnosis
Pemeriksaan EKG dan foto rontgen dada mempunyai nilai
diagnostik yang terbatas. Pada kasus penyakit katup berat
dapat menunjukkan pembesaran ruang jantung.
Ekokardiografi transtorakal dengan Dopler berwama
merupakan pemeriksaan tersering yang digunakan untuk
mendeteksi dan menilai beratnya penyakit katup reumatoid.

Katup mitral dan aorta yang tersering terlibat dapat


menunjukkan penebalan nodular lokal atau difus, dengan
atau tanpa kalsifikasi. Pada pemeriksaan ekokardiografi
transesofageal, regurgitasi mitral atau aorta pada semua
derajat ditemukan masing-masing pada 80 Vo dan 33 7o
pasien. Nodul katup reumatoid biasanya berukuran kecil
< 0,5 cm2, berbentuk oval yang homogen, biasanya tunggal.

Penatalaksanaan
Tak ada terapi antiinflamasi khusus pada penyakit katup
reumatoid. Penggunaan steroid dan imunosupresif lain

1810

KARDIOI.OGI

pada beberapa kasus valvulitis berat akut ,menunjukkan


perbaikan yang nyata. Penggantian katup mitral atalu aorta
berhasil dilakukan pada regurgitasi berat akut atau kronik.

jika

MIOKARDITIS REUMATOID

PENYAKIT JANTUNG KORONER REUMATOID

Miokarditis reumatoid ditemukan sebanyak 307o pada

Prevalensi PJK pada pasien RA pada penelitian post

pasien post mortemnamsnjarang pada laporan klinis dan


ekokardiografi. Biasanya lebih sering dijumpai pada pasien

mortem sekitar 20Vo. Terdapat 2 tipe etiologi:


1. Yang tersering adalah aterosklerosis koroner yang

RA aktif dan penyakit ekstraartikular, faktor reumatoid

mungkin diakselerasi steroid dan episod arteritis

positif yang tinggi, ANA, dan vaskulitis sistemik.


Miokarditis reumatoid dapat berasal dari proses autoimun,
vaskulitis, atau deposisi granulomata, jarang karena

infiltrasi amiloid. Kecuali granulomata, miokarditis


reumatoid sukar dibedakan pada pemeriksaan

ada keluhan din pemantauan jantung sekurangkurangnya 48-12 jam. Pada beberapa kasus berat steroid
oral atau IV dosis tinggi menunjukkan manfaat.

koroner berulang.

2. Yang jarang karena arteritis

titer faktor reumatoid yang tinggi dan peningkatan

histopatologi dari eosinofilik, toksik atau infeksi.

mortalitas kardiovaskular.

Manifestasi Klinis

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis miokarditis reumatoid adalah sama


dengan miokarditis karena sebab lain. Yang sangat sering
ringan, asimtomatik dan tak dikenali secara klinis. Jika
simtomatik, gejala nonspesifik seperti lelah, sesak, palpitasi

dan nyeri dada dapat ditemukan. Nyeri dada biasanya

pleuritik, dan mungkin menggambarkan

adanya

mioperikarditis. Miokarditis akut berat dengan disfungsi


ventrikel kiri dengan manifestasi gagal jantung kongestif
atau aritmia atrial / ventrikularjarang dijumpai.
Pada pemeriksaan fisis sering dijumpai demam dan
takikardia sinus. Bunyi jantung I dan II normal, bunyi
jantung III dan IV jarang terdengar. Murmur sistolik
fungsional dapat terdengar. Jika terdapat mioperikarditis,
dapat ditemukan pericardial rub.

Diagnosis
Pada pemeriksaan EKG biasanya menunjukkan
abnormalitas gelombang T dan segmen ST non spesifik.
Dapat ditemukan juga gangguan konduksi atrioventrikular
dan ektopi atrial atau ventrikular.

Ekokardiografi dapat menunjukkan abnormalitas


gerakan dinding segmental atau disfungsi kontraksi
ventrikel kiri difus dan dilatasi ruang jantung pada kasus
miokarditis fokal berat atau difus. Namun pada sebagian
besar pasien miokarditis nngan, pemeriksaan ekokardiografi

tidak menunjukkan kelainan . Scanning radionuklid dengan

indium 111, galium 6J atau technitium 99 dapar


menunjukkan uptake miokardial fokal atau difus yang
menunjukkan inflamasi miokard, nekrosis atau keduanya.

Pemeriksaan laboratorium pada kasus berat,


menunjukkan peningkatan ringan CKMB atau LDH.

Penatalaksanaan
Pasien perlu istihat di tempat tidur, diberikan analgesik

koroner sendiri

Pasien arteritis koroner biasanya mempunyai nodul


reumatoid, vaskulitis, penyakit reumatoid progresif cepat,

Sebagian besar pasien artritis reumatoid dengan PJK


asimtomatik. Penyakit koroner aterosklerotik dapat
bergejala angina pektoris stabil kronik, angina pektoris
tak stabil atau infark miokard akut, di mana arteritis koroner
lebih sering muncul sebagai angina pektoris tak stabil dan
jarang sebagai infark miokard akut.
Pada pemeriksaan fisis selama sindrom iskemia akut
dapat ditemukan takikardia, bunyi jantung ketiga atau

keempat dan ronki basah pada paru


jantung kiri.

jika terdapat gagal

Diagnosis
Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan gelombang Q
yang menunjukkan infark miokard sebelumnya, elevasi
atau depresi segmen ST menunjukkan kerusakan iskemia
subendokard atau epikard, atau inversi gelombang T yang
menunjukkan iskemia.
Pemeriksaan ekokardiografi selama iskemia berat dapat
menunjukkan abnormalitas gerakan dinding atau jariangan
parut miokard jika terdapat infark miokard sebelumnya.

Juga dapat ditentukan ada tidaknya serta beratnya


disfungsi ventrikel kiri.
Pemeriksaan laboratorium CKMB, troponin, dan LDH
dapat meningkat jika terjadi nekrosis miokard. Angiografi
koroner dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan tinggi
adanya PJK atau pemeriksaan treadmill yang dicurigai
PJK. Diagnosis arleritis koroner dicurigai jika teradapat
lesi stenosis multipel pada arteri koroner epikardial.

Penatalaksanaan
Jika terdapat kecurigaan arteritis koroner simtomatik dan
berat dapat diberikan terapi steroid dosis tinggi dan
siklofosfamid sebagai tambahan dengan heparin, aspirin.
nitrat, penyekat beta atau antagonis kalsium. Tak ada data

1811

PENYAI(T JANTUNG PADA PEI\IYAKIT JARINGAN IKAT

penggunaan PCI pada arteritis koroner reumatoid.

Diagnosis

Aterosklerosi s koroner si mtomatik dapat diberikan terapi


medis atau revaskularisasi koroner.

Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan pembesaran


atrium dan ventrikel kanan dan blok cabang berkas.

Pemeriksaan ekokardiografi dapat menunjukkan

Gangguan Konduksi
Prevalensi gangguan konduksi atrioventrikular atau
intraventrikular pada pasien artritis reumatoid mungkin tak
berbeda dengan populasi umum. Mekanismenya antara
lain inflamasi akut pada nodus AV atau berkas His, vaskulitis

pada arteriol yang mensuplai jalur konduksi, deposisi


granulomata pada sistem konduksi dan infiltrasi amiloid.

pembesaran atrium dan ventrikel kanan, hipertrofi atau


disfungsi, regurgitasi trikuspid dan bukti tekanan sistolik
arteri pulmonal yang tinggi.

Biopsi paru terbuka dan lavage bronkoalveolar


merupakan metoda yang dikerjakan jika vaskulitis paru
berat atau bronkolitis obliterans dicurigai sebagai
penyebab hipertensi pulmonal.

Penatalaksanaan

Manifestasi Klinis
Rerata usia pasien dengan gangguan konduksi biasanya

> 60 tahun, dan sebagian besar mempunyai gambaran


penyakit berat dengan penyakit nodular yang
rnembutuhkan terapi steroid. Gangguan konduksi biasanya

ringan dan asimtomatik dan didiagnosis secara kebetulan


pada pemeriksaan EKG. Pada kasus yang jarang di mana
terdapat blok AV derajat tinggi dapat ditemukan keluhan
pusing, lelah, prasinkop atau sinkop. Walaupun jarang,
blok AV total mungkin asimtomatik karenas penyakit sendi

berat mernbatasi aktivitas pasien. Blok AV selintas dan


kembali normal setelah terapi antiinflamasi jarang dijumpai.

Penalatalaksanaan hipertensi pulmonal karena vaskulitis

pulmonal adalah imunosupresan atau steroid, namun


prognosis buruk dan sebagian besar pasien meninggal
dalam satu tahun sejak diagnosis.

SKLERODERMA
Skleroderma atau sklerosis sistemik adalah penyakit
sistemik dengan ciri akumulasi jaringan ikat berlebihan,
fibrosis dan perubahan degeneratif pada kulit, otot

Diagnosis

skeletal, sinovium, pembuluh darah, saluran cerna, ginjal,


paru dan jantung.
Penyakit paru terutama hipertensi pulmonal dan

Metode diagnosis terbaik adalah pemeriksaan EKG rutin,


pemantauan EKG 24 jam (Holter) atau keduanya.

penyakit ginjal merupakan penyebab utama mortalitas,


diikuti penyakitjantung, dengan suruival kumulatif hanya

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan blok AV derajat tinggi simtomatik atau
blok intraventrikular terdiri dari pacu jantung sementara
dan steroid dosis tinggi. Pasien yang tak responsif harus
mendapatkan pacu jantung permanen.

HIPERTENSI PULMONAL REUMATOID

20 7o dalam 7 tahun. Penyebab kematian karena jantung


yang utama adalah penyakit jantung iskemia, kemudian
gagal jantung refrakter, kematian mendadak dan
perikarditis. Penyakit jantung skleroderma manifestasinya
predominan sebagai PJK, miokarditis dan hipertensi
pulmonal dengan atau tanpa kor pulmonal. Perikarditis,
gangguan konduksi dan aritmia jarang dijumpai. Penyakit
jantung skleroderma yang nyata secara klinis dilaporkan
kurang dari seperempat pasien, kejadiannya meningkat
sampai 80 7o padapemeriksaan autopsi. Penyakitjantung
skleroderma umumnya kurang sering dan kurang berat pada

Penyebab hipertensi pulmonal denian tekanan vena


pulmonal normal mencakup hiperviskositas serum,
fibrosis interstisial, bronkiolitis obliteratif dan vaskulitis

pulmonal. Prevalensinya masih belum jelas. tetapi


rendah.

tipe limited (terbatas) dibandingkan tipe difus.

PENYAKIT JANTUNG KORONER


Walaupun arteri koroner epikardial biasanya normal, arteri

Manifestasi Klinis

koroner intramural dan arteriol sering menunjukkan

Sesak merupakan manifestasi yang biasa dijumpai pada


hipertensi pulmonal dan kor pulmonal. Hipertensi pulmonal
sedang yang tak berhubungan dengan kor pulmonal dapat
asimtomatik.

penyempitan. fibrosis, nekrosis fibrinoid dan hipetrofi intima. Kerusakan endotel yang dimediasi imun, stimulasi

Pada pemeriksaan

fisis dapat ditemukan heaving

parasternal, bunyi jantun g II split, regurgitasi trikuspid,


gallop 53 sisi kanan dan jarang hepatomegali dan edema.

fibroblas, deposisi kolagen dan peningkatan produksi


platelet derived growthfactor dapat menurunkan respons
endotel terhadap trombosis, inflamasi dan vasodilatasi.
Selanjutnya degranulasi sel mast melepas zat vasoaktif
seperti histamin, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dan

t8t2
D3 yang dapat menyebabkan vasospasme. Hampir semua
pasien dengan bukti PJK intramiokardial mempunyai

I(ARDIOI,OGI

pasien skleroderma dengan penyakit kutaneus difus,

fenomena Raynaud's perifer.

antibodi antiSclT0 dan usia > 60 tahun.


Miokarditis secara klinis jarang dijumpai, namun pada

Manifestasi Klinis

penelitian post mortem menunjukkan prevalensi yang


tinggi. Fibrosis miokardial difus atau fokal dan nekrosis

Nyeri dadajarang ditemukan;jika ada, dikaitkan lebih sering


dengan perikarditis atau refluks esofageal daripada iskemia
miokard. Sebagian besar pasien, bahkan dengan defek
pada pencitraan perfusi miokard yang dinduksi latihan atau
istirahat adalah asimtomatik. Walaupun vasospasme
koroner intramiokardial dapat ditemukan, vasospasme
berat arteri koroner epikardial yang menyebabkan infark
miokard transmural jarang dilaporkan.

Diagnosis
Pemeriksaan tes treadmill merupakan metode dengan
sensitivitas terbatas karena prevalensi PJK epikardial pada
pasien skleroderma rendah.
Pada pemeriksaan radionuklid, abnormalitas perfusi
multisegmental yang dinduksi latihan atau istirahat sering
ditemukan. Keadaan ini sering kembali normal atau membaik
dengan nifedipin atau dipiridamol yang menunjukkan episode vasospasme berulang yang meyebabkan iskemia

miokard atau fibrosis.


Pada pemeriksan ekokardiografi infark miokard transmural yang khas biasanya tidak ditemukan. Pasien biasanya

menunjukkan disfungsi diastolik atau sistolik global.


Jarang dijumpai infark miokard transmural karena
vasospasme koroner epikardial.

Angiografi koroner biasanya menunjukkan arteri


koroner epikardial normal, aliran yang lambat menunjukkan
resistensi koroner intramiokardial yang meninggi dan

penurunan aliran darah sinus koronarius menunjukkan


cadangan aliran koroner abnormal.

Penatalaksanaan
Walaupun antagonis kalsium seperti nifedipin dan
nikardipin jelas menunjukkan perbaikan jangka pendek
dalam jumlah dan beratnya defek perfusi, manfaat jangka
panjang belum diketahui. Kaptopril menunjukkan manfaat

yang sama.

pita kontraksi (contraction-band) sering ditemukan.

Manifestasi Klinis
Penyakit fibrosis miokardial difus atau fokal dapat
mengakibatkan disfungsi diastolik atau sistolik ventrikel
kiri yang bermakna, aritmia dan gangguan konduksi. Pasien
dengan miopati skletal dan dengan miokarditis lebih sering

mengalami gagal jantung klinis yang sering intraktabel.


Gejala yang muncul perlahan seperti dispnu, ortopnu dan
edema perifer merupakan gejala yang paling sering
ditemukan. Gejala akut gagal jantung dan mati mendadak
jarang dijumpai.
Pada pemeriksaan fisis dapat menunjukkan kardiomegali,

gallop 53 atau 54, murrnur sistolik, penurunan intensitas


bunyijantung, ronki paru dan edema perifer.

Diagnosis
Jika terdapat bukti miokarditis secara klinis atau
laboratorium, penapisan diagnosis keterlibatan j antung
yang asimtomatik harus dilakukan.
Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan pola infark

septal pada beberapa pasien, berhubungan dengan


abnormalitas perfusi thalium anteroseptal atau septal,
walaupun arteri koroner epikardial normal. Keadaan ini
diduga menunj ukkan fibrosis septal.
Pada pemeriksaan ekokardiografi sebagian besar pasien
menunjukkan fungsi sistolik ventrikel kiri yang masih baik.
Dapat dijumpai abnormalitas gerakan dinding ventrikel kiri
regional atau global dan jarang abnormalitas gerakan
dinding ventrikel kanan dan lebih sering tampak pada
pasien dengan penyakitjantung secara klinis.

Biopsi endomiokardial merupakan pemeriksaan


pemeriksaan yang jarag, digunakan untuk diagnosis
penyakit miokardial skleroderma, namun pola keterlibatan

yang heterogen dan nonspesifik membatasi sensitivitas


dan spesilisitas teknik ini.

Penatalaksanaan
MIOKARDITIS

Jika ditemukan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimtomatik,

terapi bersifat nonspesifik dan terdiri dari diuretik, digiTerdapat 2 tipe penyakit miokardial skleroderma. Yang
tersering karena iskemia intramiokardial berulang yang

talis dan vasodilator. Penggunaan metilprednisolon


intravena pada miokarditis inflamasi akut masih

mengakibatkan fibrosis; yang kedua jarang di mana

kontroversial.

patogenesisnya tak diketahui adalah miokarditis inflamasi

Adanya gallop 53 menunjukkan disfungsi sistolik

akut. Pasien skleroderma dengan miopati skeletal aktif


mempunyai prevalensi penyakit niokardial sampai21 7o,
dibandingkan hanya l0 7o pada pasien tanpa miopati
perifer. Penyakit miokardialjuga lebih sering dan berat pada

ventrikel kiri dan meningkatkan risiko kematian lebih dari


50OVo. Pasien dengan gagal jantung mempunyai laju
mortalitas lOOTo dalam 7 tahun, dengan angka tertinggi
(82 Eo) terjadi dalam tahun pertama diagnosis.

r813

PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT

GANGGUAN KONDUKSI DAN ARITMIA


Defek konduksi terjadi sampai 20Vo pasien skleroderma.

Prevalensi tertinggi pada ditemukan pada pasien


miokarditis atau defek perfusi miokardial. Penggantian fibrosa pada nodus SA dan AY cabang berkas dan
miokardium tampak pada pemeriksaanp ost mortem pasien
dengan gangguan konduksi.

Manifestasi Klinis
Bukti klinis pada penyakit perikard ditemukan 5-15 Vo pasien
dan lebih sering pada pasien dengan tipe kutaneus
terbatas. Manifestasi klinis tersering adalah efusi perikard
kronik dengan sesak, ortopnu dan edema; dan jarang
tampak sebagai perikarditis akut dengan demam, nyeri dada

pleuritik, dispnu dan pericardial rub. Tamponadjantung


atau perikarditis konstriktif kronik j arang dijumpai.

Manifestasi Klinis

Diagnosis

Aritmia sering dijumpai dan dikaitkan dengan miokarditis


aktif. Kontraksi ventrikel dan atrial prematur, takikardia

Ekokardiografi sering menunjukkan efusi perikard ringan


asimtomatik dan penebalan dan dapat mengkonfirmasi
tamponad jantung yang dicurigai secara klinis.

supraventrikular dan takikardia ventrikular non sustained


dan
supraventrikular lebih sering terjadi pada pasien dengan
penyakit kutaneus difus daripada pasien dengan tipe
terbatas. Palpitasi terjadi pada 50 % pasien. Sinkop dapat
terjadi dan dikaitkan dengan blok AV derajat tinggi atau
aritmia ventrikular; j arang merupakan manifestasi pertama
skleroderma. Sinkop dapat juga terjadi pada pasien

juga sering dijumpai. Aritmia ventrikular

hipertensi pulmonal berat. Sekitar 40-70 % kematian jantung


pada pasien skleroderma yang mempunyai miopati skel-

etal aktif dan miokarditis mungkin tiba-tiba dan terkait


dengan aritmia ventrikular.

Diagnosis
Mayoritas pasien mempunyai EKG normal, yang
mempunyai prediksi tinggi fungsi ventrikel kiri normal.

Penatalaksanaan
Perikarditis simtomatik atau efusi perikard bermakna dapat

diterapi dengan obat antiinflamasi nonsteroid. Jika

dicurigai tamponad, perikardiosentesis atau


perikardiektomi biasanya bermanfaat. Steroid tidak efektif
pada pasien efusi perikard kronik yang berat.
PENYAKIT JANTUNG VALVULAR
Prevalensi sebenarnya tak diketahui, danjarang dijumpai
secara klinis. Prevalensi pada penelitian post mortem
dilaporkan sampai 18 Vo. P adapemeriksaan ekokardiografi,

frekuensi regurgitasi mitral pada pasien skleroderma

Adanya blok cabang berkas kiri dan kanan atau bifasikular

dilaporkan 67 Vo dibandingkan hanya 15 7o padakeTompok

umumnya berhubungan dengan disfungsi sistolik

kontrol. Dapat dijumpai penebalan nonspesifik pada katup


mitral dan aofta tanpa disertai regurgitasi bermakna.

ventrikel

kiri

saat istirahat atau yang diinduksi latihan.

Terdapat peningkatan frekuensi aritmia atrial dan vetrikular

atau abnormalitas konduksi pada pemeriksaan EKG dan


berhubungan dengan disfungsi ventrikel kiri.

Penatalaksanaan
Pacu jantung diindikasikan pada gangguan konduksi
derajat tinggi yang simtomatik dan terapi anriarirmia
diberikan pada aritmia simtomatik. Belum diketahui apakah
supresi aritmia menurunkan risiko mati mendadak pada
pasien skleroderma.

PENYAKIT JANTUNG SKLERODERMA SEKUNDER

Penyebab sekunder penyakit jantung skleroderma


dikaitkan dengan hipertensi sistemik dan pulmonal.
Fibrosis paru dapat terjadi sampai 80 7o dan hipertensi
pulmonal dengan kor pulmonal sampai 40-5OVo pasien.
Hipertensi pulmonal sekunder karena vaskulopati infl amasi
atau vasospasme pulmonal jarang terjadi dan lebih sering
dikaitkan dengan tipe kutaneus terbatas (limited cutaneus)

dan sindrom overlap. Hipertensi pulmonal dikaitkan


PER!KARDIT!S
Patogenesis penyakit perikardial skleroderma tak diketahui

dan biasanya secara klinis silent. Perikarditis akut


simtomatik jarang dijumpai, kontras dengan prevalensi
penyakit perikard yang tinggi pada pemeriksaan post
mortem. Perikarditis fibrinosa, perikarditis fibrosa kronik,
adhesi perikardial dan efusi perikardial adalah tipe
patologis yang dijumpai. Penyakit perikardial lebih sering
terjadi pada pasien dengan bentuk kutaneus terbatas.

dengan 50 Vo mortalitas dalam 8 tahun. Oksigen, antagonis

kalsium dan inhibitor ACE menunjukkan manfaat jangka

panjang. Hipertensi dan penyakit jantung hipertensi


biasanya dikaitkan dengan penyakit renovaskular.
Prognosis dikaitkan dengan beratnya penyakit jantung.

SPOND!LITIS ANK!LOSING
Spondilitis ankilosing merupakan penyakit inflamasi yang

1814

asalnya tak diketahui yang melibatkan predominan pada


vertebra dan sendi sakroiliaka. Manifestasinya sebagai
nyeri pinggang bawah dan hambatan gerakan bagian
belakang dan pengembangan dada. Jarang melibatkan
sendi perifer dan organ ekstrartikular seperti jantung.

Manifestasi kardiovaskular umumnya mengikuti


sindrom artritis setelah l0-20 tahun, kadang-kadang
mendahulai artritis. Manifestasi kardiovaskular terpenting

adalah aortitis dengan alau tanpa regurgitasi aorta.

gangguan konduksi, regurgitasi mitral, disfungsi


miokardial dan penyakit perikard. Prevalensi penyakit
kardiovaskular secara klinis bervariasi luas. Prevalensinya
lebih tinggi pada pasien dengan lama penyakit >20 tahun,
pasien dengan usia >50 tahun dan keterlibatan artikular

I(ARDIOI.OGI

anterior. Regurgitasi katup yang tampak pada hampir 50 Vo


pasien adalah sedang pada sepertiga kasus. Penyakit aorta

dan katup dikaitkan dengan lama penyakit spondilitis


ankilosing tapi tidak terhadap aktivitas penyakit, berat
penyakit dan terapi.

Penatalaksanaan
Belum ada data mengenai peran terapi medis dengan
antiinf'lamasi spesifik seperli kortikosteroid. Terapi dengan
diuretik dan vasodilator dapat digunakan pada regurgitasi
aorta yang bermakna. Profilaksis antibiotik pada
endokarditis infektif diindikasikan pada penyakit katup
aorta dengan regurgitasi.

perifer.

GANGGUAN KONDUKSI
AORTITIS DAN BEGUBGITASI AOBTA
Patogenesis aortitis belum diketahui. Meningkatnya
aktivitas agregasi trombosit dan plate let- deriv e d g rorvth
factor dipercayai sebagai faktor yang berperan pada
patogenesis. Proses inflamasi juga dimediasi oleh sel
plasma dan limfosit.

Manifestasi Klinis
Manifestasi penyakit jantung yang terkait spondilitis
ankilosing tersering adalah aortitis proksimal dengan atau
tanpa regurgitasi. Penyakit katup mitral yang terkait juga
sering dijumpai. Aortitis dan regurgitasi aorta umumnya
ringan sampai sedang, secara klinis silent dan kronik.
Jarang te{adi regurgitasi aorta berat berasal dari aortitis

kronik atau akut berat atau valvulitis atau komplikasi


endokarditis infektif. Penyakit katup aorta silent secara
klinis dengan atau tanpa regurgitasi aorta dapat terjadi
pada seperliga pasien sebelum manifestasi penyakit sendi.

Walaupun penyakit aofta dan regurgitasi katup dapat


ditemukan pada pemeriksaan ekokardiografi pada 60 7o
pasien, karena biasanya ringan sampai sedang, hanya
sedikit yang terdeteksi secara klinis.

Diagnosis
Pada pemeriksaan foto rontgen dada siluet jantung dan

pembuluh darah besar biasanya normal. Jika terdapat


penyakit aorta berat atau regurgitasi aorta, aorta asenden
dapat menunjukkan dilatasi atau elongasi dan pembesaran
atrium dan ventrikel kiri dapat ditemukan.
Pada pemeriksaan ekokardiografi transesofageal,

Gangguan konduksi merupakan penyakit jantung terkait

spondilitis ankilosing kedua tersering ditemukan

dan

pato-eenesisnya belum diketahui. Gangguan konduksi


dapat merupakan akibat proses fibrosis subaortik yang
meluas ke septum basilar. mengakibatkan destruksi atau
disfungsi nodus atrioventrikular, bagian proksimal berkas
His, cabang berkas dan fasikel.

Manifestasi Klinis
Prevalensi gangguan konduksi bervariasi sangat luas,
sekurang-kurangnya 20 7o. Blok atrioventrikular (derajat
satu, derajat dua dan jarang derajat tiga) tersering
ditemukan, diikuti disfungsi nodus sinus (aritmia sinus,
blok sinoatrial, henti sinus, dan sicft siias st'ndronte) dan
blok fasikular dan cabang berkas.

Pasien dengan gangguan konduksi umumnya


asimtomatik dan dapat dideteksi sebelum manifestasi
secara klinis pada kurang dari seperlima pasien. Prevalensi
penyakit aorta dan regurgitasi katup tinggi pada gangguan
konduksi. Jarang terjadi, gangguan konduksi berat yang
berhubungan dengan gejala pusing, prasinkop atau sinkop
dan membutuhkan pacu jantung mendahului diagnosis
spondilitis ankilosing.
Pada pemeriksaan fisis bradiaritmia berat dapat secara
klinis dideteksi jika pasien simtomatik. Gangguan konduksi
umumnya insidental dideteksi dengan EKG.

Diagnosis
EKG mencakup pemantauan ambulatori 21 jam, dapat
secara mudah mendeteksi adanya gangguan konduksi.

penebalan aorta, peningkatan kekakuan dan dilatasi


didapatkan masing-masin g 60 Vo, 60 Vo dan 25 7o pasien.

Penatalaksanaan

Penebalan katup aorta pada 40 70 pasien,manifestasi


predominan sebagai nodularitas katup aorta. Penebalan
katup mitral yang tampak pada 30 Vo pasien, manifestasi

Terapi antiinflamasi tidak menunjukkan manfaat pada


pasien dengan gangguan konduksi. Pacu jantung dapat
dilakukan dengan sukses dengan indikasi terbanyak
adalah blokjantung total dan sick sinus syndrome.

predominan sebagai penebalan basal katup mitral

PENYAKIT JANTUNG PADA

PETTTYAKIT

1815

JARINGAN IKAT

PENYAKIT KATUP MITRAL

terbanyak pada permukaan ekstensor, terutama punggung

Prevalensi penyakitkatup mrtral sekitar 307r, namun secara

keganasan, sepsis dan penyakit kardiovaskular. Indikator


prognosis yang buruk mencakup usia >45 tahun, penyakit
kardiopulmoner dan lesi nekrotik kutaneus.

tangan dan
umum tak bermakna dan sering tak diketahui. Penyakit
katup mitral umumnya asimtomatik dan sering secara
insidentil dideteksi dengan ekokardiografi. Patogenesisnya
dikaitkan dengan perluasan fibrosis aorta sampai bagian
basilar subaortik dari katup mitral anterior, mengaibatkan
subaortic bump.Regwgitasi mitral berasal dari mobilitas
katup anterior yang menurun yang disebabkan subaortic
bump basllr atau jarang akibat dilatasi ventrikel karena

regurgitasi aorta. Kecuali profilaksis antibiotik untuk


pencegahan endokarditis infektif pada pasien dengan
regurgitasi mitral, tak ada terapi lain yang
direkomendasikan.

jari. Penyebab utama mortalitas

adalah

Manifestasi Klinis
Penyakit jantung yang terkait polimiositis /dermatomiositis

tidak jarang dijumpai dan manifestasinya predominan


sebagai aritmia atau gangguan konduksi dan miokarditis.

Kardiomiopati dilatasi, perikarditis, vaskulitis koroner,


hipertensi pulmonal dengan kor pulmonal, prolaps katup
mitral dan sindrom jantung hiperkinetik pernah dilaporkan.

Penyakit jantung yang nyata secara klinis jarang


dibandingkan pada penemuan post mortem. Penyakit
jantung klinis lebih sering ditemukan pada polimiositis dan

sindrom overlap daripada dermatomiositis. Adanya


PENYAKIT MIOKARD, PENYAKIT PERIKARD DAN
ENDOKARDITIS BAKTERIALIS

penyakit jantung tidak berhubungan dengan usia, aktivitas


, berat atau lamanya penyakit dan tak berbeda antara pria
dan perempuan.

Penyakit miokard primer jarang dijumpai. Patogenesisnya


belum diketahui, diduga karena peningkatanjaringan ikat

interstisial miokardial yang difus dan serat retikulum.


Manifestasinya dapat berupa disfungsi sistolik dan dilatasi
ventrikel kiri sampai seperlima pasien. Fungsi diastolik

ARITMIA DAN GANGGUAN KONDUKSI

ventrikel kiri abnormal dengan

pemerikasaan
ekokardiografi Doppler dan ventrikulografi radionuklid

Abnormalitas gelombang T dan segmen ST non spesifik


ditemukan pada separuh pasien. Gangguan lain mencakup
blok cabang berkas kanan, blok fasikular anterior kiri, blok

dilaporkan sebanyak 50 7o pasien. Disfungsi diastolik tidak


terkait dengan usia, lama penyakit atau aktivitas penyakit.
Disfungsi miokard sekunder terkait dengan overloadyol-

bifasikular, perlambatan konduksi intraventrikular


nonspesifik, bok cabang berkas kiri, blok AV derajat satu
dan blok AV derajat tinggi. Gangguan konduksi jarang

ume kronik pada regurgitasi mitral dan aorta. Dapat

berkembang menjadi lebih berat, meskipun pada beberapa


kasus memerlukan pacu jantung permanen.
Aritmia yang tersering ditemukan adalah komplek atrial
dan ventrikel prematur. Takiaritmia supraventrikular dan
takikardia ventrikular jarang terjadi. Miokarditis aktif atau

didengar bunyijantung ketiga dan keempat dan ronki paru


jika terdapat disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri

yang bermakna. Ekokardiografi merupakan metode


diagnostik terbaik untuk melihat disfungsi ventrikel kiri
primer atau sekunder. Tak ada terapi spesifik untuk
penyakit miokardial pnmer.
Prevalensi penyakit perikardial tak diketahui, dan jarang

ditemukan pada spondilitis ankilosing. Patogenesisnya


belum diketahui dengan pasti. Umumnya asimtomatik dan
tak ada gangguan hepodinamik bermakna. Biasanya

secara insidental terdeteksi pada pemeriksaan


ekokardiografi berupa penebalan perikard atau efusi
perikard ringan. Tak ada terapi spesifik.

degenerasi miokardial dan fibrosis yang meluas ke


sinoatrial, nodus AV dan cabang berkas menjelaskan
adanya aritmia dan abnormalitas konduksi.

MIOKARDITIS
Pada penelitian, miokarditis ditemukan pada separuh
pasien, dengan manifestasi sama sebagai miokarditis aktif
atau fibrosis miokardial fokal. Sekitar 10-207o mengalami
kardiomiopati dilatasi. Terdapat korelasi kuat antara

POLI MIOSITIS/DERMATOM IOS!T!S

miokarditis dan miositis aktif. Miokarditis dapat


bermanifestasi secara klinis sebagai gagal jantung

Polimiositis atau dermatomiositis adalah miopati infl amasi


kronik, didapat yang penyebabnya tak diketahui dengan
manifestasi klinis kelelahan otot proksimal yang simetri

kongestif atau kardiomiopati dilatasi.

pada ekstremitas, tulang belakang dan leher.

ARTERITIS KORONER

Dermatomiositis berbeda dengan polimiositis dengan


adanya rash pada muka, leher, dada dan ekstremitas,

Prevalensi klinis tak diketahui. Salah satu penelitian posr

1816

KARDIOI.OGI

mortem menunjukkan adanya arteritis koroner pada30

Vo

pasien, manifestasi sebagai vaskulitis aktif dengan


proliferasi intima atau nekrosis medial dengan kalsifikasi.

PENYAKIT JANTUNG VALVULAR

Prevalensi prolaps katup mitral dilaporkan lebih dari


separuh pasien. Tidak ada penyakit katup spesifik
ditemukan. Penyebab prolaps katup mitral belum dapat
ditentukan.

Manifestasi klinis penyakit jantung primer, hipertensi


pulmonal dan kor pulmonal yang terkait MCTD tidak
berbeda dengan penyakitjaringan ikat lain.

Diagnosis
Metode yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit
jantung yang terkait MCTD sama dengan penyakit jaringan
ikat lain.

Penatalaksanaan
Data yang ada masih sedikit dalam hal penatalaksanaan

penyakit jantung yang terkait MCTD. Perikarditis


PERIKARDITIS
Perikarditis akut tanpa komplikasi dengan efusi perikard
ringan sampai sedang pernah dilaporkan. Perikarditis akut
dengan tamponad dan perikarditis konstriktif kronis jarang

umunmya memberikan respons baik dengan kofiikosteroid.


Nifedipin 30 mg/hari menunjukkan penurunan resistensi
vaskular pulmonal akut dan menetap pada pasien hipertensi

pulmonal.

drjumpai. Perikarditis melibatkan <20Vo pasien dewasa dan

sedikit lebih sering dari anak-anak. Ekokardiografi

REFERENSI

menunjukkan prevalensi efusi perikard biasanya sedikit pada


25 Vo pasien dewasa dan sampai 50 Vo pada anak-an ak.

Abdurahman N,

Alwi I. Hakim L, Ismail D, Soelistijo H. Association

of

disease activity and pericardial effusion on systemic lupus


erythemathosus patients. Med J Univ Indones 1998;7:89-93.

HIPERTENS! PULMONAL, KOR PULMONAL DAN


SINDROM JANTUNG H!PEBKINETIK
Dapat ditemukan hipertensi pulmonal sekunder sampai
penyakit paru interstisial dan vaskulopati paru primer yang
memyebabkan kor pulmonal.

Alwi I, Hakim L, Abdurahman N. Perikarditis dan efusi perikard


pada pasien lupus eritematosus sistemik Medika 199816:386-

95.
Ansari A, Larson PH, Bates HD. Cardiovascular manifestations of

systemic lupus erythematosus Prog Cardiovasc Dis


1985:27:421-34
Badui E, Garcia-Rubi D, Robles E. Cardiovascular manifestations in

systemic iupus erythematosus Prospestive study

of

100

patients. Prog Cardiovasc Dis 1985;27:421 -34.


Bahl VK, Vasan RS, Aradhye, Malaviya AN Prevalence of cardiac

MtxED

CO N N ECTTV E TTSSU E DTSEASE (MCTD)

abnormalities early in the course of systemic lupus eryt


Am J Cardiol 1991;68: 1540-1.
Boumpas DT, Austin II HA, Fessler BJ et al. Systemic lupus
hematosus.

Pasien dengan MCTD adalah pasien dengan manifestasi


klinis LES, artritis reumatoid, skleroderma dan polimiositis.
Keterlibatan jantung primer pada MCTD jarang dijumpai
dibandingkan penyakit jaringan ikat lain.

Manifestasi Klinis
perikardial dengan manifestasi perikarditis, efusi
perikard ringan atau penebalan perikard merupakan yang
tersering ditemukan. Perikarditis lebih sering pada anakanak, melibatkan hampir separuh pasien. Pada kasus yang
jarang, perikarditis dapat merupakan presentasi awal
penyakit. Dapat ditemukan penebalan vetucous dan
regurgitasi katup mitral dan tidak dapat dibedakan dengan
LES. Aritmia supraventrikular dan ventrikular dan
Peny akit

gangguan konduksi jarang ditemukan. Walaupun


hiperplasia intima pada arteri koroner, perivaskular dan
infiltrasi leukositik miokardial dilaporkan pada pemeriksaan
o stmortem, arleritis koroner klinis atau miokarditis j arang
dijumpai.

erythematosus: emerging concepts. Renal, neuropsychiatric,


cardiovascular, pulmonary, and hematologic disease. Ann

Intern Med 1995:122(Pt 1):940-50.


Cervera R, Font J, Pare C, et al. Cardiac diseases

in systemic lupus

erythematosus: prospective study of 70 patients Ann Rheum


Dis 1992:51:156-9.
Cohen MG Li EK Mortality in systemic lupus erythematosus:
active disease is the most important factor. Aust NZ J Med

1992t22:5-8.
Crozier IG, Li E, Milne MJ, Nicholls MG. Cardiac involvement in
systemic lupus erythematosus detected by echocardiography
Am J Cardiol 1990:65:1145-8.
Cujec B, Sibley 3, Haga M. Cardiac abnormalities in patients with
systemic lupus erythematosus. Can J Cardiol 1991;7(8):343-9.
Doherty III NE, Feldmdn G, Maurer G, Siegel U. Ekokardiografi

findings in systemic lupus erythematosus Am J Cardiol


1988;6 1:1 1 44.

Doherty NE, Siegel RJ. Cardiovascular manifestations of systemic


lupus erythematosus. Am Heart J 1985:1257-65.
Ehrenfeld M, Asman A, Shpilberg O. Pericarditis in SLE: a
retrospective analysis [abstract]. Lupus Avis International Journal; Jerusalem, Israell 1995 March 26-31; 1995.

1817

PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT JARINGAN IKAT

Enomoto K, Kaji Y Mayumi T, et al. Frequency of valvular regurgitation by color Doppier echocardiography in systemic lupus
erythematosus Am J Cardiol \991 61:209-17.
Galve E, Candell Riera J, Pigrau C, et al. Prevalence, morphologic
types, and evolution of cardiac valvular disease in systemic
lupus erythematosus. N Engl J Med 1988;319:817-23
Gleason CB, Stoddard MF, Wagner SG, Longaker RA, Pierangeli,
Harris EN A comparison of cardiac valvular involvement in
the primary antiphospholipid syndrome versus anticardiolipin-

negative systemic lupus erythen'ratosus. Am Heart

1993:125:1 123-9.

Hojnik M, George J, Ziporen L, Shoenfeld Y Heart valve

involvement (Libman-Sacks endocarditis) in

the

antiphosphoJipid syndrome. Circulation 1996;93:7519-81.


Ismail D, Alwi I, Hakim L, Soelistijo H, Abdurahman N. Cambaran
ekokardiografi pasien lupus eritematosus sistemik Maj Kedokt
Indon 1999:49:350-3.
Jouhikainen ! Pohjola SS, Stephanssou E. Lupus anticoagulant and
cardiac manifestations in systemic erythematosus Lupus
1994;3(3): t6T -72.
Kahl LE. The spectrum of pericardial tamponade in systemic lupus

erythematosus. Report

of ten patients.

Arthritis-Rheum

1992l.35:1343-9.
KlinkhofT AV, Thompson CR, Reid GD, Tomlinson CW. M-mode

and two dimensional echocardiography abnormalities in


sy s temic 1up us erythematos us. JAMA 198 5 :253 :321 3 -l
Khamashta MA, Cervera R, Asherson RA, et al. Association of
antibodies against phospholipids with heart valve disease in
systemic lupus erythematosus Lancet 1990;335:15211-4
Leung WH, Wong KL, Lau CP. Wong CK, Cheng CH. Cardiac
abnormalities in svstemic lupus erythematosus: a prospective
M-mode cross sectional and Doppler ekokardiografi study Int J

Cardiol I 990;21

(.3):267 -1 5

Levine JS, Branch DW, Raugh J. The antiphospholipid syndrome. N


Engl J Med 2002;346:152-63.
Leung WH, Wong KL. Lau CP, Wong CK, Liu HW Associarion
between antiphospholipid antibodies and cardiac abnormalities
in patients with systemic lupus erythematosus, Am J Med
1990;89:41 1-9

Lolli C, Foscoli M, Giofre R, Tarquinii M, Pasquali S, Toschi

GP

Cardiac anomalies in systemic lupus erythematosus: their


prevalence and relation to duration, disease activity and the
presence of antiphospholipid antibodies. G Ital Cardiol
1993;23(11):1 125-34.

Lorell BH, Bri,Lunwald E. Pericardial disease In: Braunwald, editor


Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine 4th ed.
Philadelphia: WB Saunders Co.; 1992. p.1465-1516.
Mandell BF. Cardiovascular involvement in systemic lupus
erythematosus. Semin Arthritis Rheum I 987;17'.126-41.
Nihoyannopoulos P, Gomez PM, Jostn J, Loizou S, Walport MJ,

Oakley CM. Cardiac abnormalities in systemic lupus


erythematosus. Circulation 1990181:369-75.

Ong ML, Veerapen K, Chambers JB, Lim MN, Manisavagar M,


Wang F Cardiac abnormalitles in systemic lupus erytbematosus: prevalence and relationship to disease activity Int J Cardiol
1992:34(l):69

-1 4

Qiusmorio FP. Systemic corticosteroid therapy in systemic lupus


erythematosus In: Wallace DJ, Hahn BH, Qiusmorio FP,
Klienberg JR, editors Dubois' Lupus Erythematosus. 4rh ed
Philadelphia: Lea & Febiger; 1993. p 574-8.
Quismorio Jr. FP cardiac abnormalities in systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois' Lupus Erythematosus. 4th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993. p.332-42
Roldan CA, Shively BK, Lau CC, Gurule Fr, Smith FA, Crzrwford
MH. Systemic Jupus erythematosus valve disease by

transesophageal echocardiography

and the role

of

antiphospholipid antibodies J Am Coll Cardiol 199220l.1121-

31.
Roldan CA, Shively BK, Crawfbrd MH, An echocardiography study
of valvular heart disease associated with systemic lupus erythe-

matosus N Engl J Med 1996;335:1424-30


Steven MB. Systemic lupus erythematosus and the cat'di.ovascular
system: the heart In: Lahita RG editor Systemic lupus Erytherratosus 2nd ed New York: Churchill Livingstone; 1992. p.70711

MM, Pyum E, Studenski S. Causes of death in systemic lupus


erythematosus Arthritis Rheum 1995;38:149-9

Ward

284
TUMOR JANTUNG
Idrus Alwi

TUMOR PRIMER

yang dapat disembuhkan dengan operasi, penting halnya


diagnosis ditegakkan secara dini bila ada kecurigaan.

Tumor jantung primer jarang dijumpai. Insidennya antara


0,0017-0,19 Vo pada pasien yang diautopsi. Kurang lebih
tiga perenlpatnya jinak secara histologis, dan sisanya.
yang hampir dalam seluruh kasus merupakan sarkoma,
adalah tumor ganas. Hampir separuh tumor jantung jinak

Manifestasi Klinis
Tumor jantung mungkin muncul dengan berbagai jenis
manifestasi kardiak dan nonkardiak. Lokasi dan ukuran
tumor merupakan penentu utama gejala-gejala dan tandatanda khusus. Sebagian besar muncul dalam manifestasi
penyakit jantung yang lebih umum, seperli nyeri dada,

adalah miksoma dan mayoritas sisanya adalah lipoma,


fibroelastoma papiler dan rabdomioma.
Sebelum tahun 1951, diagnosis tumor intrakardiak
dibuat hanya saat pemeriks aarr post mortem. Pada saat itu
diagnosis tumor atrium kiri dikonfirmasi dengan
pemeriksaan angiokardiografi. Penemuan ekokardiografi
memungkinkan diagnosis tumor jantung antemortem.
Metode pencitraan diagnostik tambahan mencakup

sinkop, gagal jantung, murrnur, aritmia, gangguan konduksi,


dan efusi perikard dengan atau tanpa tamponad.

MIKSOMA

computed tomography (CT) dan nuclear magnetic

Miksoma adalah tipe tumor jantung primer yang paling


sering dijumpai pada seluruh kelompok usia, terhitung

resonance imaging (MRD.

Karena seluruh tumor jantung memiliki potensi


komplikasi yang mengancam jiwa, dan sekarang banyak

Tpe

Jumlah

Jinak (Benigna)

199

EO

114
20
20

JJ,Z

Miksoma

Rabdomioma
Fibroma

Hemangioma
- Nodal atrioventrikular
- Sel granular

17
10

- Lipoma

2
2
2
2
2
4

- Paraganglioma
- Hamartoma miositik
- Kardiomiopati histiositoid
- Pseudotumor inflamasi
- Tumor jinak larn
Ganas (Maligna)
- Sarkoma
- Limfoma

sepertiga sampai setengah kasus pada pemeriksaan posfmortem dan sekitar tiga perempat tumor ditangani dengan
operasi. Dapat muncul di segala usia, paling sering pada
dekade ketiga sampai keenam, dengan predileksi pada
perempuan.
Miksoma biasanya muncul sporadis, namun sebagian
berhubungan dengan transmisi dominan autosomal atau

merupakan bagian dari sindrom yang melibatkan

5,8
5,8

sekelompok kelainan termasuk lentigines ata:u pigmented


nevi,penyakit korteks adrenal nodular primer dengan atau
tanpa sindrom Cushing's, fibroadenoma mammae
miksomatosa, tumor testikular, dan/atau adenoma pituitari

,o
1,2
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6

dengan gigantisme atau akromegali. Pasien-pasien dengan

kompleks Carney memiliki pigmentasi kulit yang tidak

merata, miksomas, overaktivitas endokrin, dan


schwannomas yang disebabkan oleh mutasi gen
encoding protein kinase A tipe I-d regulatory submit.
Berbagai penemuan tertentu dirujuk sebagai sindrom

1,2

144

42

137

39,9

2,1

IVAME (nevi, atrial myxoma, myxoid neurofibroma, and

1818

1819

TUMORJANTUNG

ephelides) atau sindrom

1"4

MB (lentigines, atrial myxomq

Pemeriksaan Penunjang

and blue nevi). Kurang lebih 7% miksoma jantung


berhubungan atau merupakan bagian dari sindrom

Ekokardiografi transtorakal atau transesofageal berguna


dalam menentukan diagnosis miksoma jantung dan

miksoma dengan sekelompok kelainan yang digambarkan

memungkinkan penentuan tempat menempelnya tumor dan

di

ukuran tumor, yang merupakan pertimbangan penting

atas.

Secara patologis, miksoma adalah neoplasma yang


berasal dari endokardial. Miksoma mempunyai struktur
gelatin yang terdiri dari sel-sel miksoma yang terletak pada

dalam perencanaan eksisi bedah. Computed tomography


(CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) khusus

stroma yang kaya akan glikosaminoglikan. Umumnya


polipoid, sering pedunculated pada .fibrovascular stalk
dan memiliki diameter berkisar antara 1-15 cm, sebagian
besar 5-6 cm. Sebagian besar soliter dan terletak pada

dengan ukuran, bentuk, komposisi, dan karakteristik


permukaan tumor. Karena miksoma mungkin familial,

atrium, khususnya bagian kiri, di mana mereka muncul dari


septum interatrial kurang lebih dari/oss a oyalis. Kebalikan

dari tumor-tumor sporadis, tumor familial atau tumor


sindrom miksoma cenderung muncul pada individu yang
lebih muda, multipel atau ventrikular, dan memiliki
kekambuhan yang lebih sering pasca operatif, mungkin
menunjukkan asal yang multisentrik. Miksoma jantung
biasanya berkembang di atrium. Sekitar J 5Vo berasal dari

mungkin memberikan informasi penting sehubungan

penapisan dengan ekokardiografi pada keturunan


generasi pertama penting, khususnya jika pasien masih
muda dan memiliki tumor berganda atau terdapat sindrom
miksoma. Meskipun kateterisasi jantung dan angiografi

sebelumnya telah dipraktekkan secara

rutin sebelum

operasi, kateterisasi ruang di mana tumor tersebut berasal

membawa risiko emboli tumor. Kateterisasi tidak lagi


dianggap pentingjika ada informasi noninvasifyang cukup

dan tidak difikirkan penyakit-penyakit jantung lain


(misalnya penyakit jantung koroner).

atrium kiri dan 7 5 -207o di atrium kanan.

Penatalaksanaan

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis miksoma ditentukan oleh lokasi, ukuran
dan mobilitas. Miksoma umumnya muncul dengan tanda-

tanda dan gejala yang obstruktif, embolik. atau


konstitusional. Manifestasi klinis yang paiing umum
menunjukkan penyakit katup mitral seperti stenosis karena
prolaps tumor ke dalam orifisium mitral, atau regurgitasi
karena trauma valvular yang disebabkan tumor. Miksoma
ventrikular mungkin menyebabkan penyumbatan aliran ke
ltar (outflow) yang mirip dengan stenosis subaorlik atau

Penatalaksanaan terpilih pada miksoma adalah operasi, dan


biasanya kuratif. Jika diagnosis sudah ditegakkan..operasi

harus segera dikerjakan, karena kemungkinan komplikasi


emboli atau mati mendadak. Pada sebagian besar kasus,
miksoma jantung dapat dibuang dengan mudah karena

pedunculated.

subpulmonik. Gejala-gejala dan tanda-tanda miksoma


mungkin karena on,\et mer.dadak atau posisional yang pada
dasarnya, merefleksikan perubahan dalam posisi tumor
karena gaya gravitasi. Penemuan auskultasi, disebut "/r.rmor plop", merupakan suara rendah yang khusus yang
mungkin terdengar selama diastol awal atau mid-diastol
dan dianggap karena berhentinya tumor secara mendadak

begitu tumor menabrak dinding ventrikular. Karena


sebagian miksoma berlokasi di atrium kiri, emboli sistemik
sering ditemukan. Miksoma juga mungkin muncul sebagai
emboli perifer atau emboli paru.
Gejala dan tanda-tanda konstitusional termasuk demam,

turunnya berat badan, kakeksia, malaise,mialgia, artralgia,


rasiz, hipergammaglobulinemia, Karena sebagian miksoma
berlokasi di atrium kiri, emboli sistemik sering ditemukan.
Anemia umumnya normokrom atau hipokrom, namun
anemia hemolitik mungkin juga ditemukan karena destruksi
mekanik eritrosit oleh tumor. Tanda lain yang lebih jarang
seperli leukositosis, trombositopeni a, sianosis, clwbbin g
dan fenomena Raynaud's. Miksoma seringkali salah

didiagnosis sebagai endokarditis, penyakit vaskular


kolagen, atau tumor nonkardiak.

Reynen N Engl J [.4ed 1995;333:1610-7

Gambar 1. Ekokardiograf
atrium kiri

mode M dan 2-D menunjukkan miksoma

TUMOR JINAK LAINNYA

Lipoma jantung meskipun relatif sering, biasanya


merupakan penemuan insidental pada pemeriksaan
po.\tmartem. Tumor ini mungkin tumbuh sampai sebesar
15 cm dan mungkin muncul dengan gejala karena
interferensi mekanik dengan fungsi jantung, aritmia, atau
gangguan konduksi, atau sebagai abnormalitas siluet
jantung pada periksaan foto rontgen dada.

t820

I(ARDIOI,.OGI

Fibroelastoma papiler, relatif merupakan penemuan


sering pada katup-katup jantung ata:u adjacent endothelium pada postmortem,namun jarang menyebabkan gejala-

gejala klinis. Terkadang, perkembangannya mungkin


menyebabkan interf'erensi mekanik dengan fungsi katup.

Rabdomioma dan fibroma, merupakan tumor-tumor


yang paling sering muncul pada bayi dan anak-anak, pal-

ing sering muncul pada ventrikel dan karena itu


menunjukkan tanda-tanda dan gejala obstruksi mekanik
yang mungkin mirip dengan stenosis valvular, gagal
jantung kongestif, kardiomiopati hipertrofik atau restriktif,
dan konstriksi perikard. Rabdomioma mungkin merupakan
pertumbuhan hamartomatous; multipel pada 90% kasus;
dan mungkin berhubungan dengan tuberous sclerosis,
adenoma sebaseum, dan tumor ginjal jinak pada kurang
lebih30Vo pasien. Adanya kalsifikasi tumor kardiak sangat
menyokong adanya fibroma, meskipun miksoma dan
sarkoma juga mungkin mengalami kalsifikasi.
Hemangioma dan mesotelioma umumnya adalah tumor
yang kecil, paling sering lokasinya intramiokardial, dan

mungkin menyebabkan gangguan konduksi


atrioventrikular dan bahkan kematian mendadak karena
kecenderungan muncul pada regio nodus AV.
Tumor jinak lain yang muncul dari jantung termasuk
[eratoma chemodectoma, neurilemom& mioblastoma sel
granular, dan kista bronkogenik.

Ieukemia dan limfoma. Dalam jumlah yang absolut, lokasi


asal utama yang paling sering pada metastasis jantung
adalah karsinoma payudara dan paru-paru, merefleksikan
angka kejadian kanker ini yang tinggi. Metastasis jantung
hampir selalu muncul pada penyakit primer yang menyebar,
dan seringkali penyakit primer atau penyakit metastasis

muncul di suatu tempat di rongga dada. Metastasis


jantung terkadang merupakan manifestasi awal tumor di
suatu tempat dalam tubuh.
Metastasis jantung mencapai jantung dari aliran darah,
limfa, atau invasi langsung. Umumnya metastasis ini adalah
nodul-nodul kecil dan padat. Infiltrasi difus juga mungkin

terjadi, terutama pada sarkoma atau neoplasma


hematologis. Perikardium seringkali terlibat, diikuti dengan
keterlibatan miokard dari ruang jantung, dan, j arang dengan
keterlibatan endokardium atau katup-katup jantung.

Metastasis jantung menyebabkan manifestasi klinis


hanya sekitar 107o dan jarang merupakan penyebab
kematian. Pada sebagian besar keadaan metastasis
bukanlah penyebab gambaran klinis yang nampak namun

muncul sebagai neoplasma ganas yang dikenal


sebelumnya. Meskipun metastasis jantung mungkin
muncul delgan sebagian besar tanda-tanda dan gejala
non-spesifik, yang paling umum adalah sesak, tanda=tanda

SABKOMA

perikarditis akut, tamponad jantung, peningkatan siluet


jantung mendadak pada pemeriksaan foto rontgen dada,
takiaritmia ektopik atau blok AV yang baru, dan gagal
jantung kongestif. Seperti tumor jantung primer lainnya,
presentasi klinisnya terkait dengan lokasi dan ukuran tu-

Hampir semua keganasan jantung primer adalah sarkoma,

mor dibandingkan dengan tipe histologis. Banyak tandatanda dan gejala-gejala juga muncul bersama rniokarditis,

yang mungkin terdiri dari beberapa tipe histologis.

perikarditis, atau kardiomiopati yang diakibatkan

Umumnya, tumor-tumor ini dicinkan dengan memburuknya


keadaan dengan cepat yang mengarah ke kematian pasien
dalam beberapa minggu atau bulan mulai dari presentasi
awal karena gangguan hemodinamik, invasi lokal, atau
metastasis jauh. Sarkoma umumnya melibatkan sisi kanan
jantung, dan karena pertumbuhan yang sangat cepat,
invasi ke ruang perikardial dan penyumbatanjantung atau
vena kava sering dijumpai. Sarkoma juga mungkin muncul

radioterapi atru kemoterupi.


Penemuan elektrokardiografi tidak spesifik. Pada foto
rontgen dada siluet jantung paling sering normal namun
mungkin menunjukkan efusi perikard atau kontur yang
aneh. Ekokardiografi berguna untuk diagnosis efusi perikard
dan visualisasi metastasis yang lebih besar. Computed
tomography (CT), MRI, dan penggambaran radionttclide
dengan galium atau talium mungkin memberikan informasi
anatomis yang berguna. Angiografi dapat menggambarkan
lesi-lesi yang jelas, dan perikardiosentesis memungkinkan

pada bagian

kiri jantung dan mungkin disalahartikan

sebagai miksoma.

diagnosis sitologis spesifik.

TUMOR METASTASIS PADA JANTUNG


REFERENSI

Tumor metastatis pada jantung jauh lebih sering


dibandingkan dengan tumor primer, dan rata-rata
kejadiannya kemungkinan meningkat karena harapan
hidup pasien dengan berbagai bentuk neoplasma ganas
diperpanjang dengan terapi yang lebih efektif. Meskipun
metastasis jantung muncul pada

sampai 20Vo dari seluruh


tipe tumor, rata-rata kej adianny a relatif tinggi terutama pada
melanoma ganas dan, dalam skala yang lebih kecil, pada

Blondeau P. Primary cardiac tumors -French studies ol -533 cases.


Thorac Cardiovasc Surg 1990:38:Supp1 2:192-5.
Cotucci WS, Price DT, Cardiac tumors, cardiac manifestations of
systemic diseases, and traumatic cardiac injury. In: Kasper DL,

Braunwald E, Fauci AS, et al. Eds Hatrison's Principles of


Internal Medicine l6 rh Ed. 2005.p.1420-5.
Di.o T, Cantelmo NL, Haudenschild CC, Watkins MT. Atrial myxoma
with remote metastasis: case report and review of the literature.
Surgery 1,992;1 1 l:352-6.

t82t

TUMORJAI\TUNG

Lane GE, Kapples EJ, Thompson RC, Grinton SF, Finck SJ.
Quiescent left atrial myxoma. Am Heart I 7994;127:1629-31.
Lie JT. The identity and histogenesis of cardiac myxomas: a
controversy put to rest. Arch Pathol Lab Med 1989;113:7246.

Pochis WT, Wingo MW, Cinquegrani MP, Sagar KB.


Echocardiographic demonstration of rapid growth

of a left atrial

myxoma. Am Heart I 7997;122:7181-4.


Reynen K. Cardiac myxomas. N Engl J Med 1995;333:1610-'7.
Sharma SC, Kulkarni A, Bhargava Y Modak A, Lashkare DV.

Myxoma of tricuspid valve. J Thorac Cardiovasc Surg


l99l;101:938-40.
Wada A, Kanda T, Hayashi R, Imai S, Suzuki I Murata K Cardiac
myxoma metastasized to the brain: potential role of
endogenous interleukin-6. Cardiology 1993;83:208-17.
Wrisley D, Rosenberg J, Giambartolomei A, Levy I, Turiello C,
Antonini T Left ventricular myxoma discovered incidentally

by echocardiography Am Heart J 1991 121:1554-5.

285
KEHAMILAN PADA PENYAKIT JANTUNG
Sally Aman Nasution, Ryan Ranitya

PENDAHULUAN

kehamilan sangat membantu penatalaksanaan pasien


dengan penyakit jantung tersebut. Beberapa penyakit

Kehamilan berhubungan dengan perubahan fisiologis

jantung yang sering ditemukan pada perempuan hamil baik

yang membutuhkan penyesuaian sistem kardiovaskular,


karena perubahan ini merupakan kejadian yang dramatis

yang sebelumnya telah diketahui menderita penyakit


jantung maupun yang baru terdiagnosis saat hamil antara
lain: penyakit jantung bawaan maupun yang didapat,
penyakit jantung koroner, kardiomiopati, endokarditis
infektif dan aritmia. Sedangkan hal lain yang tidak boleh

dan reversibel pada hemodinamik kardiovaskular. Jantung

yang normal akan dapat beradaptasi dengan perubahan


yang mendadak ini, tetapi pada jantung yang sakit
kehamilan dapat mengakibatkan perburukan pada kelainan

dilupakan apabila menghadapi pasien hamil dengan

atau gangguan yang ada. Masa kehamilan, persalinan,


melahirkan maupun masa pasca melahirkan merupakan
periode yang erat hubungannya dengan perubahan
sirkulasi kardiovaskular.

penyakit jantung adalah pemilihan obat-obatan

Perubahan hemodinamik yang perlu mendapat

PEBUBAHAN HEMODINAMIK SELAMA KEHAMILAN

perhatian pada seorang perempuan hamil yang telah atau


baru diketahui menderita masalah kardiovaskular adalah:
denyut jantung, tekanan darah sistolik, tekanan darah
diastolik, isi sekuncup, curah j antung, resistensi vaskular
sistemik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri jantung.

Cukup banyak perempuan dengan kelainan jantung


bawaan maupun yang didapat, mampu melalui masa-masa
reproduksi dengan baik. Para dokter yang mengetahui dan
merawatnya mempunyai peran penting untuk mewaspadai
kesulitan-kesulitan yang kemungkinan besar dapat mereka
hadapi selama kehamilan tersebut.

kardiovaskular termasuk antikoagulan.

Selama kehamilan sampai saat setelah melahirkan akan


terjadi perubahan fisiologis hemodinamik. Perubahan ini
akan dimulai pada awal minggu ke-5 sampai minggu ke-S
dan mencapai puncaknya pada akhir trimester kedua
kehamilan. Pada masa-masa ini perubahan hemodinamik
tersebut dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis
pada jantung yang telah sakit sebelumnya. Atau dapat
pula terjadi bahwa diagnosis kelainan atau penyakitjantung
baru diketahui saat kehamilan terjadi.

Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit


jantung merupakan komplikasi pada I-47o peremplan hamil

tanpa kelainan atau gangguan kardiovaskular


sebelumnya.4 Bila memungkinkan perempuan yang
diketahui memiliki kelainan atau gangguan kardiovaskular
terlebih dahulu berkonsultasi kepada ahlinya mengenai
segala hal termasuk risiko kehamilan terhadap dirinya dan

janin yang dikandungnya. Hal ini juga berhubungan


dengan konsultasi perkawinan, kehamilan, persalinan,
kontrasepsi dan bila diperlukan konsultasi genetika.
Pengetahuan yang baik mengenai fisiologi normal pada

VOLUME DARAH
Perubahan hormonal saat kehamilan yaitu aktivasi
estrogen oleh system renin aldosteron, di mana terjadi
relaksasi otot polos yang drikuti pembentukan plasenta
dan sirkulasi fetus, dan retensi air serta natrium akan
meningkatkan volume darah + 4}Voyangdimulai pada awal
minggu kelima dari kehamilan tersebut. Peningkatan ini

akan mencapai 50Vo sampai akhir masa kehamilan.


Peningkatan volume darah tersebut akan lebih besar pada

1822

t823

KEHAMILAI\ PADA PENYAKIT JANTUNG

kehamilan ganda dibandingkan kehamilan dengan janin


tunggal.
Pada kehamilan normal peningkatan volume darah
tersebut dapat mencap ai 20-100Vo dengan rata-rata 507o,
hal ini berarti terdapat 1200-1600 mL volume darah lebih

banyak dibandingkan dalam keadaan tidak hamil.


Peningkatan volume ini lebih besar dibandingkan
peningkatan massa sel darah merah, sehingga terjadi
penurunan konsentrasi hemoglobin. Mekanisme ini yang
mendasari terjadinya anemia pada kehamilan.

CURAHJANTUNG
Selama kehamilan curah jantung akan mengalami
peningkatan 30-50Vo dibandingkan sebelumnya dan
mencapai puncaknya pada minggu ke-24 kehamilan atau
akhir trimester kedua, kemudian menetap atau bahkan
mengalami penurunan sampai saat melahirkan.
Beberapa penyebab perubahan pada curahjantung ini
adalah:

1. Peningkalat preload akibat bertambahnya volume


darah

2.
3.

Penurunan afterload aklbat menurunnya resistensi


vaskular sistemik
Peningkatan denyut jantung ibu saat istirahat sampai
10-20 kali permenit.

Peningkatan curah jantung ini terutama dicapai dengan


peningkatan isi sekuncup. Apabila terjadi kegagalan untuk

mencapai keadaan ini akan terlihat dengan terjadinya


takikardia pada saat istirahat, hal ini menunjukkan
rendahnya kemampuan dalam pengisian ventrikel kiri.

pingsan relatifjarang ditemukan pada kehamilan, sehingga


harus dilakukan evaluasi kardiak.
Pertambahan volume plasma total akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan venajugularis dan edema
tungkai bawah pada > 807o perempuan dengan kehamilan
normal. Perkembangan ukuran uterus sesuai bertambahnya
masa kehamilan akan mengakibatkan pergerakan diafragma
lebih ke atas sehingga menurunkan volume paru. Elevasi

diafragma dan volume darah yang bertambah juga


menyebabkan bergesernya letak impuls ventrikel kearah
lateral pada inspeksi dan palpasi prekordium. Peningkatan
isi sekuncup menyebabkan mengerasnya suara saat
penutupan katup di aorta dan pulmonal, sehingga akan
terdengar murmtr early systolic yangfiingsional di daerah

pulmonal.
Secara umum, murmur diastolic dan irama gallop tidak
normal ditemukan selama kehamilan. Apabila ditemukan
kelainan tersebut harus dipikirkan adanya abnormalitas

kardiak secara struktur maupun fungsional yang


mendasarinya. Pada sekitar 157o perempuan, murmur
diastolik fisiologis sering ditemukan di batas sternalis kiri.
Murmurini terjadi akibat meningkatnya aliran darah melalui
afieri mamaria intema, di mana aliran tersebut menuju
payudara yang dipersiapkan selama kehamilan. Murmur
akan menetap pada saat laktasi. Tekanan nadi yang
meningkat sering ditemukan selama kehamilan, dapat pula
menimbulkan Quinke's slgn pada dasar kuku perifer, dan

sering membingungkan antara aliran mamaria dan


regurgitasi aorta. Pemeriksaan penunjang seperti
ekokardiografi kemungkinan dibutuhkan untuk
membedakan proses lisiologis dengan patologis tersebut.

Pemeriksaan Penuniang

Elektrokardiografi

terdapat beberapa gambaran EKG

ISISEKUNCUP

pada perempuan dengan kehamilan normal, di

Isi sekuncup akan meningkat 20-307o selama trimester

III (menghilang saat


inspirasi), perubahan pada segmen ST dan gelombang
T, sinus takikardia yang terus menerus, insidensi yang
tinggi terjadinya aritmia, peningkatan rasio R/S pada
lead V2 dan V1
Radiografi Dada: Beberapa perubahan yang dapat

antaranya: Deviasi axis QRS, gelombang Q, kecil dan

inversi gelombang P pada lead

pertama dan kedua di mana hal ini akan meningkatkan curah

jantung. Kemudian akan menurun pada trimester ketiga


akibat kompresi pada vena cava akibat uterus kehamilan.
Efek langsung kehamilan pada kontraktilitas jantung masih

kontroversial.

EVALUASI KABDIOVASKULAR SELAMA


KEHAMILAN

.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Evaluasi kardiak pada pasien hamil seringkali sukar karena

sulit membedakan antara proses fisiologis dengan


patologis. Kebanyakan perempuan hamil mengalami gejala
palpitasi, bengkak, sesak napas saat beraktivitas, atau lelah

walaupun tanpa diketahui menderita penyakit jantung.


Beberapa gejala seperti nyeri dada saat aktivitas atau

ditemukan selamakehamilan normal, di antaranya :Batas


atas jantung yang mendatar, posisi jantung lebih
mendatar,.corakan paru yang meningkat, efusi pleura
minimal pada awal periode post pafium
Ekokardiografi Doppler: Gambaran ekokardiografi dan
Doppler pada kehamilan normal, antara lain : Peningkatan
minimal dari dimensi ventrikel kiri saat sistolik dan
diastolik (bila pasien diperiksa dalam posisi lateral),
fungsi sistolik ventrikel kiri yang tidak berubah atau
sedikit mengalami perbaikan, peningkatan ukuran yang
moderate dari atrium kanan, ventrikel kanan dan atrium

kiri

kiri, dilatasi progresif dari

annulus katup-katup

t824

KARDIOI.OGI

pulmonar, trikuspid dan mitral, regurgitasi fungsional


dari pulmonar, trikuspid dan mitral, efusi perikardial
minimal

UjiLatih
Radiasi

MRI

pada saat konseling sebelum terjadinya kehamilan.


Pada studi kohort lain, di antara 64 perempuan dengan
penyakit katup jantung, kebanyakan efek buruk pada ibu,
seperti gagal jantung dan aritmia, terjadi pada pasien
dengan klinis bermakna stenosis mitral atau stenosis aorta
( luas katup < 1,5 cm2 ).

Kateteri sasi Arteri Pulmonal


Kateterisasi Jantung

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL


PENYAKIT KATUP JANTUNG DENGAN KEHAMILAN

Pasien dengan Risiko Tinggi

Penyakit katup jantung pada perempuan usia muda paling

Semua pasien yang mengalami gangguan kapasitas


fungsional jantung sesuai NYHA klas III atau IV selama
kehamilan merupakan risiko tinggi, tanpa tergantung

banyak disebabkan oleh penyakit jantung reumatik,


kelainan congenital atau riwayat endokarditis sebelumnya.

Kelainan ini dapat meningkatkan risiko ibu dan janin


sehubungan dengan kehamilan. Risiko ibu dan janin
tersebut berbeda-beda tergantung dari jenis dan berat
kelainan katupjantung yang diderita si ibu, dan hasil akhir
dari gangguan kapasitas fungsional, fungsi ventrikel kiri
dan tekanan pulmonal.
Beberapa lesi katup spesifik yang sering ditemukan
adalah : stenosis mitral, regurgitasi mitral, stenosis aorta,
regurgitasi aorta dan katup jantung protesa.
Walaupun prevalensi klinis kejadian penyakit jantung
pada perempuan hamil cukup rendah (.t < l7o'), tetapi hal

apapun penyebabnya. Beberapa keadaan yang merupakan

kehamilan dengan risiko tinggi adalah pasien dengan


kelainan:

berkembang dengan cepat pada saat menjelang

kelahiran dan setelah melahirkan, dan dapat

ini

dapat meningkatkan risiko morbiditas maupun


mortalitas pada ibu, janin dan neonatus yang akan
dilahirkan. Hal-hal buruk terhadap ibu yang tidak
diinginkan antara lain : edema paru, bradiaritmia yang

mengakibatkan kematian walaupun pada pasien dengan

keluhan minimal sebelumnya. Pada sindrom


Eisenmenger, pintas dari kanan ke kiri yang meningkat

selama kehamilan akibat vasodilatasi sistemik dan


beban berlebih di ventrikel kanan dengan meningkatnya

menetap atau takiaritmia yang membutuhkan terapi, strok,


henti jantung bahkan sampai kematian), dapatterjadi l37o
di antara kehamilan aterm. Kejadian tersebut lebih sering

mengenai perempuan dengan keadaan: fungsi sistolik

yang menurun (Fraksi Ejeksi < 407o),


obstruksi jantung kiri (stenosis aorta dengan luas area

ventrikel

kiri

kejadian sianosis serta penurunan aliran darah di

sindrom distres pernapasan, perdarahan intraventrikular

dan kematian. Petunjuk lain mengenai kemungkinan


terdapatnya efek buruk pada neonatus adalah:
penggunaan obat antikoagulan selama kehamilan,
merokok saat hamil dan kehamilan ganda. Dikatakan
bahwa mortalitas janrn 4Vo di antara perempuan hamil
dengan satu atau lebih factor risiko, dibandingkan dengan

di antaraperempuan hamil tanpa factor risiko. Risiko


pada janin ini juga lebih besar pada perempuan yang

pulmonal.

Obstruksi berat LVOT (left ventricular outJlow tract) :


resistensi pada jalur keluar dari jantung (terutamaAorta)
tidak akan mampu mengakomodasi peningkatan curah
jantung akibat meningkatnya volume plasma. Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung, dengan
peningkatan tekanan di ventrikel kiri dan pembuluh
kapiler paru, curah jantung menurun dan bendungan di

katup < I ,5 cm2 atau stenosis mitral dengan luas area katup

< 2,0 cm2), riwayat gangguan kardiovaskular (gagal


jantung, transient ischemic attack, atau strok) atau
penurunan kapasitas fungsional yang bermanifestasi
NYHA klas II atau di atasnya.
Prediktor komplikasi neonatus seperti kelahiran
prematur, IUGR (intrauterine growth retardation),

Hipefiensi Pulmonal : Penyakit vaskular pulmonal berat


apakah dengan (sindrom Eisenmenger) atau tanpa defek
septal telah dikenal mempunyai risiko yang sangat tinggi
terhadap kematian maternal(30-50Vo). Hal ini terutama
disebabkan oleh peningkatan resistensi vascular paru
akibat trombosis pulmonal atau nekrosis fibrinoid yang

paru.

Penyakit jantung sianotik : dari seluruh kematian

maternal akibat penyakit jantung sianotjk ini


diperkirakan + 27o detgatkomplikasi risrko tinggi (30%)
seperti endokarditis infektif, aritmia dan gagaljantung
kongestif. Prognosis padajanin juga tidak terlalu baik
dengan risiko tinggi terjadinya abortus spontan (.507o),
kelahiran premature (30-50Vo) dan bayi dengan berat

badan kurang akibat hipoksemia pada ibu yang


menghambat perlumbuhan dan perkembagan j aninnya.

27o

berusia lebih dari 35 tahun atau lebih muda dari 20 tahun,

dibandingkan dengan perempuan pada usia tersebut


tanpa faktor risiko. Perkiraan risiko ini dapat dipergunakan

Penatalaksanaan Pasien dengan Risiko Tinggi


Pada pasien yang termasuk dalam risiko tinggi, tidak
dianjurkan untuk hamil. Tetapi bila kehamilan telah terjadi,

182s

KEHAMILAN PADA PENYAKIT JANTUNG

sangat dianjurkan untuk dilakukan terminasi mengingat


risiko terhadap ibu yang masih tinggi (mortalitas 8-35%o,
morbiditas 50Vo). Dar. perlu diingat tindakan terminasi
kehamilan pun mengandung risiko tinggi terhadap ibu

kongenital perlu dilakukan evaluasi kardiak terhadap


janinnya. Evaluasi ini menjadi sangat penting karena pada
janin tersebut mempunyai risiko l-2%o urfiik menderita
penyakit jantung congenital.

karena akan terjadi vasodilatasi dan depresi dari


kontraktilitas miokard akibat tindakan pembiusan.
Pembatasan aktivitas fisik dan tirah baring di tempat
tidur sangat dianjurkan apabila timbul gejala-gejala.
Pemberian oksigen apabila terjadi hipoksemia. Pasien
dengan risiko tinggi tersebut dianjurkan untuk dirawat di
rumah sakit mulai dari akhir trimester kedua dan diberikan
LMWH (low molecularweight heparln) subkutan sebagai
pencegahan terjadinya tromboemboli terutama pada pasien
sianotik.

Pada kasus stenosis aorta, sangat penting untuk

dilakukan pemantauan tekanan sistemik

dan

elektrokardiografi, dan apabila terjadi perubahan


merupakan indikasi timbul atau memburuknya beban di
ventrikel kiri. Tindakan valvotomi dengan balon dapat
dipertimbangkan pada kasus yang berat bila keadaan katup

masih dapat dimanipulasi, misalnya tidak terlalu kaku.


Prosedur ini menjadi kontraindikasi apabila keadaan katup
sudah mengalami kalsifikasi atau terjadi regurgitasi yang

berat. Apabila memungkinkan tindakan

ini paling baik

dilakukan pada trimester kedua kehamilan di mana


embriogenesis telah sempurna dan mencegah efek negatif

Waktu dan Cara Melahirkan


Pada sebagian besar pasien, diindikasikan untuk
melahirkan secara spontan dengan mempergunakan
pembiusan epidural sehingga dapat menghindari stres
karena nyeri selama proses persalinan. Pasien dengan
risiko tinggi, sebaiknya dilakukan operasi Caesar yang
terencana, hal ini bertujuan agar keadaan hemodinamik
dapat dijaga tetap stabil.
Walaupun curah jantung meningkat baik pada
pembiusan umum maupun epidural, tetapi peningkatannya
masih di bawah(307o) kenaikan selama kelahiran spontan
(50%). Apabila pasien harus dilakukan operasi jantung,

maka tindakan operasi Caesar dapat dilakukan segera


sebelumnya. Selama proses persalinan harus dilakukan
pemantauan keadaan hemodinamik dan analisis gas darah.

Pasien hamil dengan penyakit jantung congenital


sebaiknya ditangani oleh tim dari berbagai disiplin ilmu,
seperti ahlijantung, ahli bedahjantung, ahli anestesi, ahU
kebidanan, ahli neonatology, untuk meminimalisasi risiko
yang mungkin terjadi pada ibu dan janin.

dari kontras ionic terhadap kelenjar tiroid janin bila


dilakukan pada akhir kehamilan.

Penyakit jantung sianotik yang berat, membutuhkan


pemantauan saturasi oksigen yang ketat. Kadar hematokrit
dan hemoglobin tidak dapat menjadi indicator yang sesuai
untuk keadaan hipoksemia oleh karena terjadi hemodilusi
pada kehamilan. Bila terjadi hipoksemia berat pada ibu,
dianjurkan untuk segera dilakukan terminasi kehamilan dan
diharapkan dapat mengurangi beberapa pintas yang terjadi
dan akan memperbaiki oksigenisasi.

Pasien dengan Risiko Rendah


Pasien dengan pintas yang kecil atau menengah tanpa
hipertensi pulmonal atau regurgitasi katup ringan dan
sedang biasanya akan mendapatkan keuntungan dari

menurunnya resistensi vascular sistemik yang terjadi


selama kehamilan. Pasien dengan obstruksi LYOT (left
ventricular outflow tract) ringan atau sedang biasanya
juga dapat mentoleransi kehamilan dengan baik.
Pada beberapa kasus gradien tekanan akan meningkat
sesuai dengan peningkatan isi sekuncup. Walaupun
biasanya pada obstruksi RVOT (right ventricular outflow
tract) yang berat seperti stenosis pulmonal juga dapat
mentoleransi kehamilan dengan baik dan sedikit sekali
yang membutuhkan tindakan intervensi selama kehamilan.

Evaluasi Fetus
Pada setiap perempuan hamil dengan penyakit jantung

PENYAKIT KATUP JANTUNG YANG DIDAPAT


Penyakit katup jantung reumatik merupakan masalah utama
di masyarakat terutama di Negara berkembang. Walaupun
di Negara Barat prevalensi demam reumatik sudah
menurun, tetapi penyakit jantung reumatik masih dapat
ditemukan, terutama di kalangan kaum imigran. Masalah

lain yang sering menimbulkan kesulitan

dalam

penanganannya terutama apabila perempuan tersebut


hamil adalah seseorang dengan protesa katup jantung,
berkaitan dengan pemberian antikoagulan yang harus
dikonsumsi seumur hidup.

Penyakit Katup Regurgitasi


Regurgitasi mitral atau aorta berat pada perempuan usia
muda biasanya disebabkan penyakit jantung reumatik.
Perempuan dengan prolaps katup mitral mempunyai
prognosis yang baik bila hamil, kecuali bila terdapat
regurgitasi berat. Peningkatan volume darah dan curah
jantung akan meningkatkan beban volume, demikian pula
halnya pada katup yang mengalami regurgitasi. Tetapi
penurunan resistensi vascular sistemik akan mengurangi
fraksi regurgitasi tersebut sehingga akan terjadi mekanisme
kompensasi.
Pada regurgitasi katup aorta pemendekan diastolik
akibat takikardia akan menurunkan volume regurgitan. Hal
ini dapat menjelaskan mengapa kehamilan seringkali dapat

1826

ditoleransi dengan baik bahkan pada keadaan regurgitasi


yang cukup berat. Gangguan toleransi hemodinamik
kadangkala terjadi pada kasus regurgitasi akut tanpa
disertai dilatasi ventrikel kiri.
Gagal jantung progresif pada pasien dengan regurgitasi
dapat saja terjadi, terutama pada trimester ketiga. Bila terjadi

gagaljantung, dibutuhkan diuretic dan vasodilator untuk


menurunkan after load walaupun tekanan darah pasien
tersebut rendah. Vasodilator yang dapat dipergunakan
pada kehamilan seperti golongan nitrat dan calcium
channel blocker dihidropiridin. Golongan angiotensin
receptor antagonist dan ACE Inhibitor merupakan
kontraindikasi untuk diberikan, sedangkan pada pemberian
golongan hidralazine terutama pada trimester pertama dan

kedua, sering terjadi efek withdrawal. Pembedahan


sebaiknya dihindari selama kehamilan karena mengandung

risiko terhadap janin dan tindakan ini

hanya
dipertimbangkan apabila terdapat gagal jantung yang

I(ARDIOI.OGI

pada kadar terapi mid-interval APTT atau anti faktor


Xa)

Akhir Trimester Pertama Kehamilan

Minggu ke-36 Kehamilan


. Warfarin dihentikan

Terapi warfarin, minggu 12-36 kehamilan


:

Ganti dengan heparin (titrasi dosis sampai kadar terapi

APTT atau anti faktor Xa)


Persalinan :
. Mulai kemtrali terapi heparin 4-6 jam setelahmelahirkan
bila tidak terdapat kontraindikasi

Berikan terapi warfarin pada malam hari setelah


melahirkan bila tidak terdapat kontraindikasi

Apabila persalinan dimulai saat perempuan sedang


mendapatkan terapi warfarin, antikoagulan ditunda
sementara dan dianjurkan persalinan dilakukan melalui
operasl sesar.

refrakter, walaupun hal ini jarang ditemukan pada kelainan

katup regurgitasi. Perbaikan katup mitral dapat


dipertimbangkan apabila memungkinkan untuk dilakukan,
tetapi perbaikan katup aortajarang yang berhasil (kecuali
pada Sindrom Marfan).

Penyakit Katup Stenotik


Peningkatan jumlah curah jantung akan melalui katup yang

mengalami stenotik, sehingga menimbulkan peningkatan


tajam dari gradient transvalvular. Hal ini akan menyebabkan
toleransi terhadap kehamilan menjadi buruk pada pasien
dengan stenosis katup mitral maupun aorta yang berat.
Kejadian perburukan fungsional seringkali terjadi selama
trimester kedua kehamilan.

Kehamilan pada Perempuan dengan Protese


Katup Jantung
Beberapa hal yang direkomendasikan harus dilakukan
untuk evaluasi dan tatalaksana pada perempuan usia
reproduksi dengan protesa katup jantung mekanik yang
mendapatkan terapi antikoagulan adalah :
Sebelum Konsepsi :
. Evaluasi klinis mengenai status fungsional jantung dan
riwayat gangguan kardiak yang pernah dialami

.
.

Pemeriksaan ekokardiografi untuk evaluasi fungsi


ventrikel, katup dan tekanan pulmonal
Diskusikan dengan pasien risiko yang berhubungan
dengan kehamilan
Diskusikan dengan pasien risiko dan manfaat yang
berhubungan dengan terapi antikoagulan
. Rencana mengenai pernikahan dan kehamilan

Masa Konsepsi

Terapi antikoagulan oral diganti menjadi suntikan sejak


saat diketahui telah terjadi kehamilan sampai minggu
ke-12 (dosis heparin disesuaikan dengan titrasi sampai

PENYAKIT JANTUNG KORONER


Walaupun kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner
pada perempuan hamil dapat meningkat karena semakin
tinggi usia perempuan hamil dan fertilisasi, tetapi angka
kejadian infark miokard masih dapat dikatakan jarang di
antara perempuan usia reproduksi, bahkan kejadian pada
periode peripartum.

Dari beberapa factor-faktor risiko yang terdapat


bersamaan, dikatakan bahwa kadar kolesterol total, kadar
kolesterol LDL dan kadar trigliserida akan meningkat secara
bermakna selama kehamilan. Dan sebagai prediktor paling
kuat untuk terjadinya infark miokard dikatakan adalah
kombinasi antara perokok berat atau hipertensi dengan
penggunaan kontrasepsi oral. Demikian pula perempuan
dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah atau kelahiran preterm dapat meningkatkan risiko
penyakit arleri koroner.
Infark miokard pada kehamilan dilaporkan terjadi pada
usia antara 16-45 tahun. Insidens tertinggi terjadi pada
trimester ketiga dan pada perempuan dengan usia lebih
dari 33 tahun. Drkatakan pula bahwa kejadian infark miokard
tersebut lebih sering terjadi pada multigravida dengan

lokasi infark yang tersering di dinding anterolateral.


Kebanyakan kematian matemal terjadi saat terjadinya infark
atau dalam waktu 2 minggu.
Penatalaksanaan infark miokard selama kehamilan
sebaiknya mempertimbangkan keselamatan ibu dan janin.

Beberapa obat-obatan seperti morfin sulfat sebagai


antinyeri tidak menyebabkan defek kongenital. Tetapi
karena obat tersebut melewati sawar plasenta, sehingga
dapat menyebabkan terjadinya depresi pernapasan pada
neonatus bila diberikan sebelum persalinan. Sedangkan
laporan pada pemberian trombolitik selama kehamilan

L82t

KEHAMILAI{ PADA PET,WAKIT JAI{TUNG

dikatakan tidak mempunyai efek teratogenik tetapi dari

yang diperkirakan selama ini, tetapi tidak satupun yang

hasil terapi beberapa kasus ditemukan kejadian perdarahan

dapat menjelaskan dengan pasti.


Beberapa keadaan yang diperkirakan dapat menjadi

pada ibu, terutama bila pemberian dilakukan pada saat


persalinan. Sehingga dengan pertimbangan beberapa hal
tersebut, pilihan terbaik pada saat kehamilan adalah dengan
pemberian obat golongan penghambat beta. Sedangkan

pemberian golongan aspirin dosis tinggi masih


diperdebatkan karena dapat menyebabkan perdarahan
pada neonatus dan ibu. Penggunaan aspirin dosis rendah
dikatakan aman selama kehamilan.
Untuk penatalaksanaan difokuskan untuk mengurangi

stres kardiovaskular selama kehamilan dan periode


peripartum. Terminasi kehamilan dianjurkan pada pasien
yang mengalami iskemia berat atau gagal jantung pada

penyebab ataupun mekanisme terjadinya kardiomiopati


peripartum, adalah:
l. Miokarditis : Melvin dkkpernah membuktikan adanya
miokarditis dari biopsy endomiokardial pada pasien
dengan kardiomiopati peripartum. Dikatakan bahwa
hipotesis menurunnya system imunitas selama hamil,
dapat meningkatkan replikasi virus dan kemungkinan
untuk terjadinya miokarditis akan meningkat.
2. Infeksi viral yang bersifat kardiotropik

3. Chimerism
4. Apoptosis dan inflamasi
5. Respon abnormal hemodinamik

pada kehamilan :
perubahan hemodinamik selama kehamilan dengan
meningkatnya volume darah dan curah jantung serta
menuri:rnnya afierload , sehitgga respons dari ventrikel

awal kehamilan.

KARD!OMIOPATI

kiri untuk

penyesuaian menyebabkan terjadinya


hipertrofi sesaat .

A. Kardiomiopati Peripartum
Epidemiologi. Kejadian gagal jantung pada kehamilan telah
dikenal sejak pertengahan abad ke-19, tetapi istilah
kardiomiopati disebut-sebut mulai sekitar tahun I 930-an.
Pada tahun 197 1 , Demakis dan kawan-kawan menemukan
pada27 pasien yang pada masa nifas menunjukkan gejala
kardiomegali, gambaran elektrokardiograh yang abnormal
dan gagal jantung kongestif, kemudian disebut sebagai

kardiomiopati peripartum.

Kesepakatan dari European Society of Cardiology


menetapkan definisi dari kardiomiopati periparlum tersebut

sebagai salah satu bentuk kardiomiopati dilatasi dengan


tanda-tanda gagal jantung pada bulan terakhir kehamilan
atau dalam 5 bulan pasca melahirkan.

Pasien dengan kardiomiopati peripartum biasanya


bermanifestasi gagal jantung dengan retensi cairan, aritmia
atau tromboemboli.
Pasien dengan gagal jantung ditatalaksana dengan
terapi standar gagal jantung dan evaluasi berkala fungsi
ventrikel. Terapi antikoagulan kadang-kadang diperlukan
karena risiko tromboemboli tinggi. Biasanya kondisi
jantung akan membaik dalam satu atau beberapa tahun
tapi ada pula yang mengalami perburukan.
Kardiomiopati peripartum ini relatifjarang tetapi dapat
pengancam jiwa. Di Negara maju seperti Amerika Serikat
saja, diketahui diperkirakan terdapat pada I dari setiap
2.289 kelahiran hidup. Dan keadaan ini lebih sering
mengenai w anita Afrika Amerika. Angka kej adian pastinya
sendiri sangat bervariasi, angka terlinggi dapat ditemukan
di Haiti, dengan kejadian 1 dari 300 kelahiran hidup, yang
mana 10 kali lebih tinggi dari Amerika Serikat.

6.

Faktor-faktor penyebab lain: efek tokolisis yang lama,


kardiomiopati dilatasi idiopatik, abnormalitas dari
relaxine, dehsiensi selenium dll.

Wanita yang berisiko. Sedangkan faktor-faktor risiko yang

dapat menyebabkan seorang wanita mengalami


kardiomiopati peripartum, di antaranya adalah:
a. Multiparitas
b. Usia maternal yang lanjut (walaupun penyakit ini dapat
mengenai semua usia, insidensi akan meningkat pada
wanita berusia > 30 tahun)
c. Kehamilanmultifetal

d. Pre-eklampsia
e. Hipertensi Gestasional

f.

RasAfrikaAmerika

Manifestasi klinis. Keadaan kardiorniopati peripartum


melibatkan disfungsi sistolik dari ventrikel kiri pada seorang
wanita hamil yang tidak memiliki riw ay at penyakit j an tung.
Diagnosis ini hanya dapat dibuat apabila penyebab lain
dari kardiomiopati tidak ditemukan.
Kriteria diagnostik dari kardiomiopati periparnrm adalah
(semua harus ditemukan) adalah:

1. Kriteriaklasfk:

Gagal jantung yang terjadi pada bulan terakhir

kehamilan atau dalam 5 bulan setelah melahirkan


Tidak ditemukan penyebab lain dari gagal jantung
Tidak diketahui adanya penyakitjantung sebelum
bulan terakhir kehamilan tersebut

2. Kriteriatambahan:

Gambaran ekokardiografi yang menunjukkan

disfungsi sistolik ventrikel

kiri

miokardial primer idiopatik yang

dengan fraction
shortening yang menurun atau nilai fraksi ejeksi
yang Juga menurun.

berhubungan dengan kehamilan. Meskipun beberapa


kemungkinan mekanisme etiologi dan penyakit tersebut

Gejala dari gagal jantung seperti sesak nafas, sakit


kepala, edema tungkai dan orthopnea dapat ditemukan

Etiologi. Kardiomiopati peripartum ini merupakan


satu bentuk dari penyakit

salah

1828

IGRDIOI.OGI

bahkan pada kehamrlan yang normal. Sehingga seringkali

seorang wanita dengan kardiomiopati peripartum


menganggap hal tersebut sebagai keadaan normal pada
kehamilan.
Keadaan lain yang seringkali ditemukan adalah :
Edema pulmonal: dikatakan sebagian besar, bahkan ada

yang mengatakan seluruh pasien menunjukkan gejala


edema pulmonal. Gejala klinis sebenarnya menyerupai
gagal jantung pada umumnya, tetapi lebih bervariasi.

medikamentosa yang maksimal, tetapi tidak


menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna,
seharusnya dilakukan transplantasi jantung untuk

sedangkan pada periode post partum didiagnosis


sekitar 837o kasus. Fungsi sistolik ventrikel kiri ratarata kembali normal pada sekitar 517o kasus yang hidup.

.
.

menyebabkan terj adinya kematian mendadak.


Pre-eklampsia: seharusnya dapat disingkirkan pada awal
diagnosis, karena tatalaksana akan berbeda.

Penegakan diagnosis yang terlambat akan


menyebabkan tingkat morbiditas penyakit yang
meningkat bahkan mengakibatkan kematian.

kelangsungan hidupnya dan memperbaiki kualitas hidup

.
.
.

Cardiac MRI (Magnetic Resonance Imaging):

Penatalaksanaan
. Tatalaksanaselamakehamilan:

Pentoksifilin
Immunoglobulinlntravena
Terapi imunosupresif
Bromocriptine

Obat-obat lain yang dapat dipergunakan

pengaruh terhadap prognosis pasien kardiomiopati


periparlum adalah:
. Kadar Troponin T : kadar yang tinggi pada2 mtnggu
post partum dapat menggambarkan fraksi ejeksi ventrikel

dapat menyebabkan defek pada janin, walaupun


obat-obat tersebut merupakan terapi standar pada
timbul pada trimester kedua dan ketiga.
Digoksin
Beta blockers

.
.

kiri pada

6 bulan.
Durasikompleks QRS padarekamanelektrokardiograh:
dapat menjadi predictor kematian mendadak, yaitu pada
durasi QRS yang memanjang > 120ms.
Dimensi ruang jantung dan nilai fraksi ejeksi

Risiko relaps. Pada beberapa studi terbukti bahwa,

Loop diuretic
Hydralazrne dan nitrat : obat-obatan yang dapat

menurunkan ay'e rload. Cukup aman untuk diberikan


selamakehamilan
Tatalaksana post pafium
- ACE dan ARB dapat diberikan post parlum, dosis

diberikan dengan target setengah dari dosis


antihipertensi

- Diuretika
. Spironolakton atau digoksin
- Beta blockers'. direkomendasikan

simtomatik
Obat-obat baru:

Prognosis. Beberapa faktor yang diketahui mempunyai

gagal jantung umumnya. Efek teratogenik umumnya

Implantable Cardioverter Defibrillator (CD) : dilakukan

Antagonis kalsium, monoclonal antibodies, interferon beta, terapi aferesis, statin

merupakan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis


kardiomiopati peripartum tersebut. Pada pemeriksaan
ini dapat dilakukan pengukuran kontraksi miokard
secara global dan segmental.

antara sebelum dilakukan transplantasi kardiak

membuat diagnosis awal, dan sebaiknya selalu dilakukan


pada kecurigaan kardiomiopati periparlum

dan dapat menjelaskan mekanisme terjadinya

mereka.

Ventricular assist device: dibutuhkan sebagai terapi

bila pada pasien ditemukan aritmia ventrikel yang

Pemeriksaan Penunjang
. Pemeriksaan ekokardiografi : sangat membantu dalam

kembalinormal.

Transplantasi Jantung: pasien dengan gagal jantung


yang berat bahkan terminal dan telah mendapatkan terapi

Pada periode antepartum didiagnosis sekitar 1 7% kasus,

. Tromboembolisme: dapat ditemukan pada keadaan ini.


. Aritmia: pada beberapa kasus malah dapat

Antikoagulan: karena kejadian tromboembolisme


akan meningkat pada kasus-kasus kardiomiopati
peripartum akibat: a. dilatasi dimensi ruang-ruang
jantung, b. gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri
dan c. seringkali diserlai fibrilasi atrial. Sehingga
pemberian antikoagulan sangat dianjurkan, yang
dilanjutkan sampai fungsi sistolik ventrikel kiri

untuk

walaupun seorang wanita yang mengalami kardiomiopati


periparlum, risiko untuk mengalami hal yang sama pada
kehamilan berikutnya tetap ada walaupun terjadi pemulihan
sempuma dari fungsi ventrikel kiri. Bahkan pada studi di
Haiti yang melibatkan 99 pasien kardiomiopati peripartum,
15 dari mereka menjalani kehamilan berikutnya, 8 dari 15
tersebut kembali mengalami gagal jantung yang lebih berat
daripada sebelumnya, dan disfungsi sistolik yang menetap.

B. Kardiomiopati Dilatasi
Kardiomiopati dilatasi jarang ditemukan pada saat

kardiomiopati peripartum, dikatakan dapat

sebelumkehamilan. Pada kebanyakan kasus, gejala

memperbaiki gejala klinis, fraksi ejeksi dan angka


kelangsungan hidup. Pilihan beta blockers yang
dianjurkan: carvedilol dan metoprolol.

ditemukan pada trimester pertama atau kedua kehamilan.


Pasien dengan kardiomiopati dilatasi harus dianjurkan

untuk tidak hamil karena risiko tinggi. Bila kehamilan

t829

KEI{AMILAN PADA PEITYAKIT JANTUNG

berlangsung, disarankan terminasi bila pada pemeriksaan


ekokardiografi fraksi e.jeksi < 50 7o dan dimensi ventrikel

E. PENYAKIT PERIKARDIUM

melebihi normal.

Pada trimester ketiga dapat ditemukan peningkatan cairan


perikard dan dilaporkan pada40o/o wanitahamil. Biasanya

Bila pasien menolak terminasi, harus dilakukan


pengawasan ketat fungsi ventrikel. Disarankan untuk
perawatan rumah sakit lebihdini karena obat-obatan gagal
jantung seperti ACE inhibitor pada kehamilan tidak dapat
diberikan sehingga pilihan terapi yang aman bagi janin
sangat ferbatas.

C. Kardiomiopati Hipertrofik
Pasien dengan kardiomiopati hpertrofik biasanya
mentoleransi kehamilan karena ventrikel jantung
beradaptasi

ara fisiologis. Kem ati an biasanya j aran g


terjadi. Terapi penyekat beta harus dilanjutkan dan dosis
kecil dieretik dapat mengurangi gejala. Pasien tanpa riwayat

hal ini tidak menimbulkan gejala dan disebabkan retensi


cairan dan penambahan berat badan yang biasa terjadi
pada kehamilan. Tidak diketahui hubungan yang jelas
antara kehamilan dengan kelainan perikard. Penyakit
autoimun seperti Lupus Eritematosus sistemik (SLE) lebih
sering ditemukan sebagai penyebab efusi perikard pada
kehamilan. Pada efusi perikard ringan dapat diatasi dengan
diuretik sedangkan untuk efusi perikard yang lebih berat
diperlukan pungsi atau bahkan perikardiektomi.

sec

keluarga kardiomiopati hipertrofi k atau kernatian mendadak


biasanya mempunyai risiko rendah dan dapat melanjutkan

kehamilan. Pasien dengan fungsi diastolik yang buruk


diszLrankan untuk prawatan rumah sakit.Kongesti

pulmonal

biasanya muncul pada trimester 3 dan pasien sebaiknya


direncanakan untuk dirarvat sebelum persalinan.

D. Endokarditis

lnfektif

Endokarditis infektif biasanya jarang pada kehamilan tapi


dapat menimbulkan kesulitan dalam tatalaksanya. Pemilihan

antibiotik harus hati-hati tanpa membahayakan janin tapi


tetap bermanfaat bagi ibu. Antibiotik profilaksis haru
diberikan untuk pencegahan bakteremia. Insidens
bakteremia pada persalinan normal 0-5%. Pasien dengan
katup protese atau riwayat endokarditis sebelumnyajuga
diindikasikan antibiotik profilaksis yang diberikan sebelum
persalinan atau tindakan operatif.

REFERENSI
Avila WS, Grinberg M, Snitcowsky R, Faccioli R, Da Luz PL, Bellotti
G, Pileggi F. Maternal and fetal outcomes in pPregnant women
with Eisenmenger's syndrome. Eur Heart I 1995;16 (4):460-4.

Baugman

KL The Heart and Pregnancy. In: Textbook of

Cardiovascular Medicine. Topol EJ (ed). Lippincott Williams


and Wilkins, 2nd ed,2002 : 733-51.
Bonow RO, Carabello B, De Leon AC Jr, Edmunds LH Jr, Fedderly
BJ, Freed MD, Gaasch WH, McKay CR, Nishimura RA, O'Gara
PT, O'Rourke RA, Rahimtoola SH. ACC/AHA guidelines for
the management of
patients with valvular heart disease : a report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines (Committee on Management of Patients
with Valvular Heart
Disease). J Am Coll Cardiol 1998; 32: 1486-588.
Cellarier G Laurent P, Bonal J. Jego C, Talard P, Bouchiat C. Low

molecular weight heparin : a guide to their optimum use in


pregnancy. Drugs 2000; 62 (9): 463-7'7.
Chan WS, Anand S, Ginsberg JS. Anticoagulation of pregnant women

with mechanical heart valves : a systematic review of the

E. Aritmia
Kecenderungan untuk terjadinya aritmia pada kehamilan
sebagian disebabkan oleh aktivasi humoral neuroendokrin
akibat gagal jantung. Irama ektopik atau aritmia menjadi
lebih sering ditemukan pada kehamilan. Aritmia dapat
merupakan manifestasi dari kardiomiopati peripartum. Pada
pasien dengan gangguan hemodinamik dapat ditemukan
berbagai macam garnbaran aritmia seperti fibrilasi atrial,
takikardia supraventrikular (SVT), atau bahkan takikardia
ventiikel (VT). Obat antiaritmia bisanya dapat melewati
sawar plasenta. Aritmia dengan gangguan hemodinamik
harus dilakukan kardioversi elektrik. Pemberian penyekat
beta adalah pilihan pertama untuk profilaksis. Amiodaron
dapat menyebabkan hipotiroidism pada janin.
Bila terapi farmakologis tetap gagal rnaka pemasangan
ICD dapat dipertimbangkan. Pemasangan ICD bukan
kontraindikasi untuk kehamilan berikutnya. Alat pacu
jantung untuk bradikardia simtomatik dapat di pasang

dengan tuntunan ekokardiografi pada usia kehamilan


berapa pun.

literature. Arch Intern Med 2000; 160: 191-6.


Elkayam U. Pregnancy and cardiovascular disease. In : Braunwald's
Heart Disease. A Textbook of Caldiovascular Medicine. Zipes
DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E (eds). Elsevier Saunders,
Philadelphia,Tth ed, 2005 : 1965-71.
Felker MG, Baughman KL. Approach to the pregnant patient with
heart disease. In : Kelley's Textbook of Intemal Medicine. Humes
HD (ed). Lippincott Williams and Wilkins, 4th ed; 2000 : 40615

Elkayam UR. Pregnancy through a prostbetic heart valve. J Am


Coll Cardiol 1999'. 33: 1642-5.
Elkayam UR. Anticoagulation in pregnant women with prosthetic
heart valves : a double jeopardy. J Am Coll

Cafitol

19961'27:

t7 04-6.

Elkayam UR, Tumala P, Rao K, Akhter MW, Karaalp IS, Wani OR,
Hanreed A. Gviazda I, Shotan A. Maternal and fetal outcomes of

subsequent pregnancies

in women with

peripartum

cardiomyopathy. N Engl J Med 2001; 344: 1567-71.


Martinez-rios MA, Tovar S, I-una J, Eid-Lidt G Percutaneous
Mitral Commissurotomy. Cardiol Review 1991;1: lA8-16.
Oakley C et a1. Expert Consensus Docurnent on Management of
Cardiovascular Diseases During Pregnancy. Eur Heart J 2003;

24:761-81

1830

Presbitero P, Somervile J, Stone S, Aruta E, Spiegelhalter D, Rabajoli


F. Pregnancy in cyanotic congenital heart disease : Outcome of

mother and fetus. Circulatior 1994'89 (6):2673-6.


Siu SC et al. Prospective multicenter study of pregnancy outcomes
in women with heart disease. Circulation 2001; 704: 515-21.
Teerlink JR, Foster E. Valvular heart disease in pregnancy. Cardiol
Clin 1998: 76:573-95.
Vitale N, De Feo M, De Santo LS, Pollice A, Tedesco N, Cotmfo M.
Dose-dependent fetal complications of warfarin in pregnant
women with mechanical heart valve prostheses. Heart 1999;
82: 23-6.
Wames CA. Congenital heart disease and pregnancy. In : Cardiac
Problems in Pregnancy, Elkayam U, Gleicher N (eds). John
Wiley and associates, New York, 1998.
Oakley C. Peripartum cardiomyopathy, other heart muscle
disorders and pericardial diseases. In: Oakley C, Warnes C
(eds). Heart disease in Pregnancy. 2007. 2rt edition. Blackwell
Publishing company. 186-200.

IGRDIOI.OGI

286
PENYAKIT AR.TERI PERIFER
Dono Antono, Dasnan Ismail

KELAINAN PADA ARTEBI PERIFER

arleri, tempat yang turbulensirya meningkat, kerusakan


tunika intima. Pembuluh darah distal lebih sering terjadi
pada pasien usia lanjut dan diabetes melitus.

Yang dimaksud dengan penyakit arteri perifer adalah semua


penyakit yang terjadi pada pembuluh darah setelah ke luar

dari jantung dan aortailiaka. Jadi penyakit arteri perif'er


meliputi ke empat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis,
arleri mesenterika dan semua percabangan setelah ke luar

GEJALA KLINIS

dari aortoiliaka.

Kurang dari 50 7o pasien dengan penyakit arteri perifer


bergejala, mulai dari cara berjalan yang lambat atau berat,
bahkan sering kali tidak terdiagnosis karena gejala tidak
khas. Gejala kJinis tersering adalah klaudikasio inteimiten
pada tungkai yang ditandai dengan rasa pegal, nyeri, kram

Penyakit arteri perifer dapat mengenai arteri besar,

sedang maupun

kecil, antara lain tromboangitis

obliterans, penyakit Buerger's, fibromuskular displasia,


oklusi arteri akut, penyakit Raynaud, arteritis Takayasu,
.frostbite dan lain lain
Penyebab terbanyak penyakit oklusi arteri pada usia
di atas 40 tahun adalah aterosklerosis. Insiden tertinggi
timbul pada dekade ke enam dan tujuh. Prevalensi penyakit
aterosklerosis perifer meningkat pada kasus diabetes mel-

otot, atau rasa lelah otot. Biasanya timbul sewaktu


melakukan aktivitas dan berkurang setelah istirahat
beberapa saat. Lokasi klaudikasio terjadi pada distal dari
tempat lesi penyempitan atau sumbatan. Pada penyakit
aortoiliaka (sindrom Leriche) memberikan gejala rasa tak
nyaman pada daerah bokong, pinggang, dan paha.
Klaudikasio pada daerah betis timbul pada pasien dengan
penyakit pada pembuluh darah daerah femoral dan
poplitea. Keluhan lebih sering terjadi pada tungkai bawah
dibandingkan tungkai atas. Insiden tertinggi penyakit ateri
obstruktif sering terjadi pada tungkai bawah, sering kali
menjadi berat sehingga timbul iskemia kritis tungkai bawah
(critical limb ischemia). Dengan gejala klinis nyeri pada
saat istirahat dan dingin pada kaki. Sering kali gejala
tersebut muncul malam hari ketika sedang tidur dan
membaik setelah posisi dirubah. Jika iskemia berat nyeri
dapat menetap walaupun sedang istirahat. Kira-kira257c

litus, hiperkolesterolemia, hipertensi, hiper homo


sisteinemia dan perokok.

PATOLOGI
Mekanisme terjadinya atherosklerosis sama seperti yang

terjadi pada arteri koronaria. Lesi segmental yang


menyebabkan stenosis atau oklusi biasanya terjadi pada

pembuluh darah berukuran besar atau sedang. Pada lesi


tersebut terjadi plak aterosklerotik dengan penumpukan
kalsium, penipisan tunika media, destruksi otot dan serat
elastis di sana-sini, fragmentasi lamina elastika interna,
dan dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit dan

fibrin. Lokasi yang terkena terutama pada

kasus iskemia akut disebabkan oleh emboli. Sumber


emboli biasanya dapat diketahui. Emboli paradoksikal
merupakan salah satu penyebab yang tidak dapat terlihat

aorta

abdominal dan arteri lliaka (307o dari pasien yang

dengan cara angiografi disebabkan karena lesi ulseratif


yang kecil atau karena defek septum atrial. Penyebab
terbanyak kedua penyakit arteri iskemia akut adalah

simtomatik), arteri femoralis dan poplitea (80 - gOEa),


termasuk arleri tibialis dan peroneal (40 - 50Vo). Proses
atherosklerosis lebih seling terjadi pada percabangan

trombus.

1831

1832

I(ARDIOI.CIGI

Pemeriksaan tisis yang terpenting pada penyakit arteri

Emboli yang berasal dari jantung menyumbat

perifer adalah penurunan atau hilangnya perabaan nadi


pada distal obstruksi, terdengar bruit pada daerah arteri
yang menyempit dan atrofi otot. Jika lebih berat dapat
terjadi bulu rontok, kuku menebal, kulit rnenjadi licin dan
mengkilap, suhu kulit menurun, pucat atau sianosis
merupakan penernuan fisik .vang tersering. Kemudian
dapat terjadi gangren dan ulkus. Jika tungkai diangkat/
elevasi dau dilipat, pada daerah betis dan telapak kaki,
akan menjadi pucat. Secara klinis penyakit arteri perifer

percabangan arteri besar, sehingga diameter lumen di

dibagi rnenjadi

1. Insufisiensi

2.

arteri akut.

lnsufisiensi arleri kronik.

INSUFISIENSI ARTERI AKUT

Iskemia arterial akut disebabkan oleh emboli atau


trombosis akut mengikuti obstruksi parsial kronik.
Emboli dapat berasal dari jantung atau bukan jantung.
Penyebab oklusi arteriai akut yang disebabkan karena
jantung adalah fibrilasi atrium, penyakit jantung katup
(penyakit jantung reumatik atau endokarditis), infark
miokard (dengan atau tanpa aneurism ventrikei), katup

jantung prostetik yang tidak minum antikoagulan,


miksooma pada atrium kiri, emboli paradoksik,
kardiomiopati kongestif, kardiomiopati hipertropik,
kalsifikasi auulus katup mitral, prolaps katup mitral.
Emboli yang berasal dari pembuluh darah afieri perifer
adalah lesi ulkus ateroskerosis, aneurisma (aorta, iliaka,

femoral, poplitea. subclavia. aksilaris), komplikasi


kateterisasi arteri. Penyebab lain adalah trombosis ptda

arteri pada segmen aterosklerosis yang menjepit,


perdarahan di dalam plak. penyalahgunaan obat.

bagian distal mengecil mendadak. Biasanya diameter arteri


tersebut lebih dari 5 mm. Ateroemboli yang berasal dari
debris dzri lesi ateromatous proksimal arteri, biasanya lebih
kecil dan menyumbat pembuluh darah diameter kurang dari
5 rnm. Berdasarkan ukuran arteri yang tersumbat dapat
diketahui asal emboli, berasal darijantung atau dari aofta
atau dari arteri iliaka komunis. Sebagai contoh emboli yang
menyangkut pada arteri femoralis biasanya berasal dari
jantung. Emboli yang menyebabkan infark pada daerah
tumit biasanya berasal dari daerah distal aorta atau arteri

iliakakomunis.

Embolus yang menyangkut pada arteti akan


membentuk trombus yang menyumbat aliran darah, distal
dari sumbatan menjadi spasme. Terbentuk bekuan darah
pada proksimal sumbatan. Hal ini terjadi tergantung dari
adekuat atau tidaknya kolateral. Pada bagian distal yang
spasme dalam 8.iam akan terbentuk bekuan darah menjalar
ke bawah menyumbat seluruh kolateral yang ada,

memperburuk iskemia, akhirnya kulit menjadi biru, kaku


dan licin.

Otot skeletal dan sarafperifer dapat bertahan dalam

jam iskemia tanpa kerusakan permanen. Kulit dapat


bertahan dengan iskemia berat selama 24 jam. Kerusakan

jaringan tergantung dari sirkulasi kolateral yang adekuat,


keadaan fungsi jantung, viskositas darah, kadar oksigen
darah, menjalarnyabekuan darah sampai ke mikrovaskular,
dan efektivitas dan ketepatan pengobatan. Jika iskemia
pada otot berkembang menjadi nekrosis, otot menjadi
pzralisis, mengeras dan konsistensi kaku. Pada sarafperifer
terjadi penurunan fungsi dan menjadi anestesia. Kulit

menjadi sianosis, pucat dengan ditekan, dan terjadi


gangren.
Reperfusi pada daerah ekstremitas yang iskemia, harus

diikuti dengan evaluasi organ Iain pada seluruh tubuh


karena metabolisme anaerob menghasilkan asam , sel mati
Emboli
Fibrilasi atrium
Penyakit katup lantung (penyakit jantung rematik atau
endokarditis)
lnfark miokard (dengan atau tanpa aneurisma ventrikel)
Katup jantung prosthetik
Miksoma atrium kiri
Enrbolus paradoksik
Kardiomiopati kongestif
Kardiomiopati hiperlropik
Kalsifikasi annulus katup mitral
Perifer
Lesi ulkus arteriosklerosis
Aneurisma (Aorta, iliaka, femoralis, poplitea, subclavia,
axillaris)
Kornplikasi kateterisasi atrial
Trombosis
Aterosklerosis pada segmen penyempitan (dengan atau
tanpa gangguan aliran)
Perdarahan intraplak
Penyalahgunaan obat

mengeluarkan kalium dan mioglobin, pembentukan


mikrotrombus pada area yang stasis dan asidosis. Terjadi
akumulasi produk inflamasi, prokoagulan dan agregasi
trombosit. Dengan adanya reperfusi faktor-faktor toksik
tersebut akan masuk ke sirkulasi sistemik dan dapat terjadi
kegagalan fungsi organ seperti paru, ginjal, jantung dan
status mental pasien. Tetapi hal tersebut tergantung dari
derajat nekrosis, cepat atau lambatnya revaskularisasi yang

adekuat dan kondisi dasar organ-organ tersebut.


Manifestasi klinis insufisiensi arterial akut disebabkan
karena emboli kardiak dapat mengenai tempat lain, antara
lain iskemia ekstremitas atas, iskemia serebral dan iskemia
viseral. Prinsip terapi iskemia ekstremitas atas sama
dengan iskemia ekstremitas bawah. Kolateral biasanya
lebih baik dibandingkan ekstremitas bawah. Dengan terapi
heparin dosis tinggi sering kali efektif. Emboli serebral
merupakan 20 - 3A7o penyebab infark serebral. Insiden

1833

PENYAKIT ARTERI PERIFER

Sinval Doppler
Deskripsi/ Prognosis

Kategori

Viable

tidak terancam segera

Terancam

Marginal

dapat diselamatkan jk
diobati segera

segera

dapat diselamatkan jk
revaskularisasi cito

lreversibel

Lemah

Sensorik

Vena

Otot

normai
ujung jari
kaki

tak

ada

tak

ada

auCible

Audible

lnaudible
(sering)

audible

lnaudible
(selalu)
inaudible

Audible

minimal

kematianjaringan

anestesia

umum, kerusakan saraf


permanen
Ket : SVS/ISCVS

'.

Paralisis
(rigor)

inaudible

Society for Vascular Surgery I lnternational Society for Cardiovascular Surgery

strok meningkat 5 kali lipat jika ada fibrilasi atrial. Iskemia


viseral akut sering mengenai arteri mesenterika superior.

berwarna putih merupakan tanda yang khas spasme

tersumbat oleh embolus atau trombosis. Mortalitas


mencapai 807o dan terapi biasanya reseksi dibanding

Bercak-bercak sianosis yang tidak memudar dengan

revaskularisasi,

subkutikular dan terjadi nekrosis kulit.


Dari pemeriksaan fisis dicari kelainan jantung yang
dapat menyebabkan sumber emboli. Tanda-tanda iskernia

INSUFISIENSI ARTERI KRONIK

kronik pada ekstremitas bawah adalah kuku yang

pembuluh darah dan masih ada arteriola yang mengaliri.

penekanan menandakan trombosis pada kapiler

hipertrofi, atrofi kulit, dan bulu kaki rontok. Tanda dari


insufisiensi arteri akut biasanya perubahan terirperatur

Manifestasi klinis yang paling sering adalah klaudikasio,


dengan deflnisi serangan nyeri otot dan kelemahan karena
iskemia berulang. Klaudikasio biasanya timbul setelah
aktivitas fisik dan berkurang atau menghilang setelah
istirahat beberapa saat. Timbulnya nyeri berhubungan
dengan aliran darah yang tidak adekuat. Klaudikasio
intermiten adalah tanda insufisiensi arteri. Penumpukan asaln

laktat dan metabolisme lain pada otot yang iskemia


menyebabkan nyeri kram pada otot. Lokasi yang paling
sering terkena adalah daerah betis, tetapi bisa juga pada
daerah paha jika terjadi obstruksi pada arteri iliaka ekstema
atau arteri femoralis komunis, atau pada daerah bokong
karena ada penyempitan pada aorta atau arteri iliaka komunis.
Gejala klaudikasio atipikal bisa muncul yaitu berupa nyeri
pada telapak kaki atau rasa terbakar. Gejala tersebut sering
kali membingungkan klinisi dalam mendiagnosis.

DIAGNOSIS

Geiala Klinis lnsufisiensi Arteri Akut


Ditandai dengan perubahan suhu yang mencolok pada
distal ektremitas yang tersumbat. Jika telapak kaki masih
dapat bergerak dorsofleksi dan plantarfleksi menandakan
otot-otot masih hidup. Jika telapak kaki tak dapat bergerak

menandakan adanya ancaman nekrosis paling tidak pada

beberapa bagian otot. Timbulnya kekakuan pada otot,


mengeras, dibanding sisi yang normal menandakan otot
nekrosis luas. Parastesi dan anestesi pada ekstremitas
menandakan iskemia pada persarafan. I4raor ( berlilin ), kulit

'

yang mencolok pada distal obstruksi. Ketidak mampuan


telapak kaki untuk bergerak dorsifleksi dan plantar{leksi
menandakan aliran darah ke daerah betis terganggu dan
terjadi ancaman nekrosis dari otot tersebut. Jika betis
menjadi mengeras, otot spasme dibandingkan dengan
sebelahnya yang normal, menandakan nekrosis lanjut
pada otot. Parastesia dan anestesia menandakan keadaan
iskemi pada saraf. Kulit seperti berlilin, kulit menjadi putih

Evaluasi Vaskular

Evaluasi Jantung
lnfark miokard

Anarnnesis

Aritmia - sinkop
Angina
Palpitasi
Medikarnentosa
Gagal jantung
kongestif
Operasi ganti katup
iantuno

Transient lschemic
attack
Amaurosis fugax
Klaudikasi
lmpotensi
Angina intestinal
Riwayat operasi

Pemeriksaan
Fisis
Nadi dan irama
Murmur dan gallop
Tekanan darah
Kardiomegali
Edema tungkai
Peningkatan
tekanan vena
jugularis

Tidak ada pulsasi


Aneurisma pembuluh
darah
Bruit
Iskemia akut
lskemia kronik
Dehidrasi

1834

IqRDIOI.OGI

Pemeriksaan anggota tubuh (dibandiirgkan dengan


sebelahnya), antara lain
Bulu rontok
Pertumbuhan kuku terganggu
Kulit kering, licin, atrofi
Rubor
o Kaki menjadi pucat setelah diangkat elevasi setinggi 60
derajat selama 1 menit, (warna kembali normal dalam
10
15 detik Jika kembali normal dalam waktu lebih
dari 40 detik, menandakan iskemik berat)
Ulkus pada jaringan iskemik. (terkelupas, nyeri,
perdarahan sedikit), gangren.
:

.
.
.
.

Derajat

Klinis

Kategori

Asimtomatik
klaudikasio
nngan

mmHg

Tapi > 25 mmHg


lebih rendah dari

Tidak ada atau mengecil pulsasi a. Femoralis atau a.

.
.

dorsalis pedis (terutama Setelah jalan-jalan)


Bruit arterial
Pemeriksaan tambahan dengan palpasi dan auskultasi
untuk mencari kelainan aorta (aneurisma atau bruit)

lskemia akut
Ekstremitas pucat pada posisi istirahat.
Perubahan temperatur dengan garis batas yang sangat

jelas
Nyeri dan parastesia
Sensasi menurun
Sianotik dengan batas tegas dan jika ditekan menjadi
pucat.

Sianotik dengan batas tegas dan jika ditekan tidak pucat.


Parese sampai paralisis
Muskulus spastik dan keras.
lskemia kronik
Muskulatur atrofi
Bulu kaki rontok
Kuku hipertrofi dan pertumbuhan lambat
Nadi lemah
Temperatur
Vena superfisial menciut
Pengisian kapiler lambat
Pucat lebih lama dengan elevasi
Rubor

Derajat
I

lla
ilb
ill
IV

Gejala
Asimtomatik
Klaudikasio intermiten
Tak ada nyeri, klaudikasio jika jalan > 200 m
Nyeri istirahat dan nokturnal.
Nekrosis, gangren

merupakan tanda dari spasme dan dapat dilihat ada


arteriola yang mengalir ke kulit. Sianosis pada kulit yang
tidak berubah warna jika ditekan menandakan trombosis
kapiler pada daerah subkutis dan terjadi nekrosis kulit.

Kriteria objektif
treadmilll sfress test
normal
treadmill komplit,
tekanan ankle
setelahnya < 50

brachial

klaudikasio

antara kategori 1 dan

sedang

klaudikasio
berat

nyeri iskemik
saat istirahat

kematian

jaringan minor,
ulkus tak
sembuh,
gangren

Treadmill tak selesai


dan tekanan engkel
setelahnya
< 50 mmHg
tekanan engkel saat
istirahat < 60 mmHg;
nadi engkel dan
metatarsal datar atau
sangat lemah
tekanan engkel saat
istirahat < 40 mmHg;
nadi engkel dan
metatarsal datar atau
sangat lemah

dengan iskemi
pedal difus.
kematian
Janngan

menjalar
ke atas

transmetatarsal,
fungsi kaki tak
dapat
diselamatkan

Pemeriksaan ultrasonograh Doppler dengan menghitung

ankle brachial index (ABI) sangat berguna untuk


mengetahui adanya penyakit arteri perifer. Sering kali PAP
tidak ada keluhan klasik klaudikasio. Hal tersebut bisa terjadi
karena penyempitan terbentuk perlahan-lahan dan sudah
terbentuk kolateral dan untuk mengetahuinya diperlukan
pemeriksaan sistem vaskular perifer, pengukuran tekanan

darah segmental (pada setiap ekstremitas), diperiksa


ultrasonografi Doppler vaskular dan diperiksa.ABI pada
setiap pasien yang berisiko PAP Selain itu juga dapat
diperiksa rekaman volume nadi secara digital, oximetri
transkutan, tes stres dengan mengguankan
treadmill, dan tes hiperemia reaktif. Jika pada pemeriksaan
tersebut ditemukan tanda PAD, aliran atau volume darah

akan berkurang ke kaki, sehingga gambaran velocity


Doppler merrjadi mendatar, pada ultrasonograh duplex dapat
ditemukan lesi penyempitan pada arleri atau grafi bypass.
Tekanan arteri dapat direkam di sepanjang tungkai

dengan memakai manset spygmomanometrik dan


PEMERIKSAAN NONINVASIF

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisis, untuk


mendiagnosis PAD diperlukan pemeriksaan objektif.

menggumakan alat Doppler untuk auskultasi atau merekam


aliran darah. Normal tekanan sistolik di semua ekstremitas
sama. Tekanan pada pergelangan kaki sedikit lebih tinggi
dibandingkan tangan. Jika terjadi stenosis yang signifikan,

1835

PENYAKIT ARTERI PERIFER

bahan sintetis yang berventilasi. Hindari penggunaan


bebat elastik karena mengurangi aliran darah ke kulit.
Pengobatan terhadap semua faktor yang dapat
menyebabkan aterosklerosis harus diberikan, berhenti
merokok, merubah gaya hidup, mengontrol hipertensi
tetapi jangan sampai terjadi hipotensi.

LATIHAN FISIS
Latihan fisik (exer,sise), merupakan pengobatan yang
paling efektif. Hal tersebut telah dibuktikan pada lebih dari
20 penelitian. Latihan fisik meningkatkan jarak tempuh
sampai terjadinya gejala klaudikasio. Setiap latihan fisik
berupa jalan kaki kira-kira selama 30 sampai 45 menif atau
sampai terasa hampir mendekat nyeri maksimal. Program
ini dilakukan selama 6 - 12 bulan. Hal ini disebabkan karena
Gambar 1. Pengukuran Ankle - Brachial /ndex (ABl). Tekanan
darah sistolik diukur dengan manometer air raksa atau USG
Doppler pada setiap lengan dan arteri dorsalis pedis (DP) dan
posterior tibial (PT) pada setiap engkel.

tekanan darah sistolik di kaki akan menurun. Jika


dibandingkan rasio tekanan arteri pergelangan kaki dan
tangan, yang populer dengan nama ankle: brachial
index (ABl),pada keadaan normal ABI > 1 . dengan kelainan
PAD ABI < 1, dan dengan iskemia berat ABI < 0,4.

Tes treadmill dapat menilai kemampuan fungsional


secara objektif. Penurunan rasio anklebrachial segera
setelah latihan mendukung untuk diagnosis untuk PAD,
tentunya diserlai dengan keluhan klinis yang sebanding.
Pemeriksaan laboratorium dievaluasi kondisi hidrasi,
kadar oksigen darah, fungsi ginjal, fungsi jantung dan

peningkatan aliran darah kolateral, perbaikan fungsi


vasodilator endotel, respons inflamasi, metabolisme
mukuloskeletal dan oksigenasi jaringan lebih baik dengan
perbaikan viskositas darah.

Hematokrit, PT, APTT, trombosit.


Elektrolit, ureum, kreatinin, gula darah
Analisa urine, tes untuk mioglobin.
CPK dengan isoenzim
Foto dada
Elektroka rdiog rafi
2 D ekokardiografi

Duplex ultrasonografi
Tes stres dengan treadmill
Arteriogram
Magnetic resonance angiograPhY

kerusakan otot. Diperiksa foto toraks untuk melihat


kardiomegali, hematokrit untuk melihat polisitemia, analisa

urine untuk melihat protein dan pigmen untuk melihat


mioglobin di urine. Kreatinin fosfokinase untuk menilai
nekrosis otot. Elektrokardiograh untuk menilai aritmia atau
kemungkinan infark lama. Ekokardiografi 2 dimensi untuk
menilai ukuran ruang jantung, fraksi ejeksi, kelainan katup,
evaluasi gerak dinding ventrikel, mencari trombus atau tumor, defek septum atrial. Ultrasonografi abdomen untuk
mencari aneurisma aorta abdominal. Arteriografi dapat
mengetahui dengan jelas tempat sumbatan dan

TERAPI FARMAKOLOGIS
Terapi farmakologis , dapat diberikan aspirin, klopidogrel,
pentoksifilin, cilostazol, dan tiklopidin. Obat-obat tersebut

dalam penelitian dapat memperbaiki jarak berjalan dan


mengurangi penyempitan.

Mengelola faktor risiko, menghilangkan kebiasaan


merokok, mengatasi diabetes melitus, hiperlipidemia,
hipertensi, hiperhomosisteinemia dengan baik.

penyempltan.

INSUFISIENSI ARTERI AKUT


TERAPI

Macam-macam terapi terdiri dari terapi suportif,


farmakologis, intervensi non operasi, dan operasi. Terapi
suportif meliputi perawatan kaki dengan menjaga tetap
bersih dan lembab dengan memberikan krem pelembab.
Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas dan dari

Obat terpilih adalah heparin, sebab bekerja cepat dan cepat


dimetabolisme. Dosis 100 - 200 unit / kilogram berat badem
bolus, diikuti 15 - 30 unit / kilogram berat badan / jam , jika

perlu 300 unit/ kilogram berat badan bolus, diikuti 60 - 70


unit / kilograrn berat badan / jam dengan infus kontinu'
Dengan pemantauan APTT 1,5 - 2,5 kontrol atau waktu
pembekuan darah. Penggunaan dosis tinggi dengan tujuan

1836

KARDIOI.OGI

supaya distal penyumbatan pada daerah iskemia dan


kolateral tidak terjadi pembekuan darah yang meluas.
Jika iskemia baru terjadi 4 sampai 6 jam dan masih vital
yang ditandai dengan nyeri, paralisis atau parastesia,

merupakan indikasi untuk tindakan intervensi


revaskularisasi. Jika iskemi lebih dari 8 jam tidak dilakukan
revaskularisasi karena sudah terjadi nekrosis otot. Hal ini

tergantung dari kolateral arteri distal dari obstruksi.


Intervensi revaskularisasi dapat dilakukan dengan cara:

.
.
.

Operasi.

Angioplasti transluminal perkutan.


Trombolitik.

Operasi dilakukan dengan teknik embolektomi dengan


balon Fogarty dengan anestesi lokal atau regional. Untuk
penyakit aortoiliaka dan femoral-poplitea ditentukan oleh
lokasi dan lamanya sumbatan dan kondisi pasien. Operasi
tersebut dengan byp as s aortobif emoral lryp a.ss, axillofemoral
bypas s, femoraT-femoral fop as s dan aortoiliak endarterektomi.
Keberhasilan operasi ditentukan dari yang diperoleh pada

angiograh dan saat operasi. Paling sedikit 24 jam pefiama


setelah operasi harus dirawat di ruang rawat intensif agar
sirkulasi distal, waspada terhadap gangguan paru, janrung

dan ginjal dapat diawasi. Jika ditemukan tanda-tanda


retrombosis dan emboli berulang harus dilakukan operasi
segera. Heparin diberikan sampai 48 - 72 jarn dengan dosis
tinggi yang direkomendasikan, kemudian dosis diturunkan
sesuai kondisi pasien selama 7 hari dan dilanjutkan dengan
antikoagulan oral atau heparin dosis rendah suntik subkutan.
Jika masih vital setelah lebih dari 48 jam sejak gejala
timbul, diperlakukan sebagai penyakit obstruksi kronik
berat. Hal ini karena ekstremitas survive karena terbentuk
aliran kolateral. Diberikan antikoagulan oral warfarin atau
heparin suntik subkutan jangka panjang.
Alternatif lain selain operasi dan konservatif adalah
terapi trombolitik dengan kateter arterial selektif perkutan

pada trombus yang menyumbat. Ini akan mengurangi


komplikasi perdarahan dibandingkan diberikan intra vena.
Dapat diberikan tissue plasminogen activator dosis rendah
atau streptokinase dosis rendah intra arteri 5000 - 10.000
IU/ jam selama l2 - 48 jam dengan monitor efek terapi baik
secara klinis atau serial arteriografi. Dapatjuga diberikan
urokinase 240.000IU/jam selama4jam, diikuti 120.000 ru/
jam sampai maksimum 48 jam, atau rekombinan tPAdiinfus I
mg/jam atau 0,05 mg/kg per jam. Dilanjutkan antikoagulan
intravena heparin dan diikuti warfarin per oral.
Terapi angioplasti transluminal perkutan segera
mengikuti terapi trombolitik intra arteri al,pemasangan stent
dan aterektomi, memberikan hasil yang baik terhadap
patensi arteri yang tersumbat.

perempuan dan biasanya mengenai arteri renalis dan


karotis, tetapi dapat juga terjadi pada arleri ekstremitas
seperti arteri iliaka dan subklavia. Kelainan histologi terjadi
displasia pada tunika intima, media dan periadventitia. Tipe
yang terbanyak adalah tipe media displasia yang khas
ditandai dengan atau tanpa fibrosis pada membran elastika.

Secara angiografi ditandai dengan gambaran seperti


benang karena penebalan lapisan fibromuskular. Jika
mengenai arteri ekstremitas gejalanya dapat menyerupai
seperti aterosklerosis, termasuk klaudikasio dan nyeri pada
saat istirahat. Jika gejalanya berat dan iskemia tungkai
mengancam, terapi dapat dengan perkutaneus transluminal
angioplasti atau operasi.

Perdarahan
Trombosis
Emboli rekuren
Emboli paru
kroem bo i a c ute re s p i ratorT dlsfress sy n d ro m e.
Edema ekstremitas
Gagal ginjal akut
Disfungsi jantung - infark miokard, aritmia
lnfark mesenterik.
M

TROMBOANGITIS OBLITERANS

ini disebut juga penyakit Buerger's, yang


merupakan kelainan vaskular berupa inflamasi dan
Penyakit

penyumbatan. Yang mengenai pembuluh darah ukuran


sedang dan kecil dan juga vena distal pada ekstremitas
atas dan bawah. Dapat juga mengenai pembuluh darah
otak, viseral dan koroner. Lebih sering terjadi pada lakilaki di bawah umur 40 tahun. Prevalensinya lebih tinggi
pada orang asia dan eropa timur. Penyebabnya belum
diketahui , tetapi berhubungan dengan kebiasaan merokok.
Pada tahap awal lekosit polimorfonuklear menginfiltrasi
dinding pembuluh darah arteri dan vena. Lapisan elastika

interna terkena dan terbentuk trombus pada lumen


pembuluh darah. Pada tahap lanjut neutrophil akan
digantikan oleh sel mononuklir, fibroblast dan sel giant.
Ditandai dengan adanya fibrosis perivaskular dan
rekanalisasi

DIAGNOSIS
Gambaran klinis tromboangitis obliterans sering kali berupa
trias klaudikasiooo yang melibatkan ekstremitas, fenomena

Raynaud, dan tromboplebitis vena superfisial yang


berpindah-pindah. Klaudikasiooo biasanya terjadi pada
FIBROMUSKULAR DISPLASIA

betis dan kaki atau pada lengan bawah dan taugan, karena
memang terutama mengenai pembuluh darah daerah

ini mengakibatkan hiperplasi pada arteri

distal. Kelainan yang ditemukan dapat berupa iskemi

berukuran sedang dan kecil. Lebih sering terjadi pada

digital yang berat, perubahan kuku, ulkus yang nyeri dan

Kelainan

1837

PENYAKIT ARTERI PERIFER

TERAPI
Obat
Aspirin

Dosis
81 -325
mg/hari

Direkomendasi oleh Ame rican


College Of Chest Physicians

untuk PAP
Klopidogrel

75 mg/hari
po

Pentoxifylline

1,2 grlhari
po

Cilostazol

Tiklopidin

Terapi
eksperimen

100 mg 2
x/hari

500 mq/hari

Efek samping lebih ringan


dibandingkan Aspirin pada
CAPRIE trial, resiko TTP
lebih sedikit dibanding
tiklopidin
Efek terhadap kemampuan
berjalan lebih kecil
Hati-hati pada pasien gagal
jantung; dosis dikurangi 50
mg2xl harijika minum obat
calsium channel blockersi
menyebabkan diare dan
gangguan lambung
Harus diawasi risiko TTP

Dosis

antikoagulan dan glukokortikoid tidak ada gunanya. Jika


semua usaha gagal, pilihan terakhir adalah amputasi.

VASKULITIS
Vaskulitis adalah proses klinikopatologi yang ditandai
dengan peradangan dan kerusakan pembuluh darah.
Vaskulitis dapat disebabkan karena kelainan primer dari
suatu penyakit atau merupakan komponen sekunder dari

Eropa

kardiovaskular. Gambaran utama sindrom vaskulitis dapat

bukti tidak signifikan

dibagi menjadi sindrom vaskukitis primer atau sekunder.


Penyakit-penyakit yang dapat menyerupai vaskulitis
sitemik adalah sepsis, khususnya endokarditis. Keracunan
obat, koagulopati/angiopati trombotik (sindrom antibodi
antifosfolipid dan thrombotic thrombositopenic purpura),

Propionyl
levocarnitine
Prostaglandin
(beraprost,
iloprost
prostaglandin

2 grlhari
120
mcg/hari po
atau 60
mcg/hari
parenteral

Hasil tidak menetap pada


penelitian terakhir

Efektif, tetapi metodologi


penelitian dipertanyakan.
Hasil menjanjikan

grovvth

Factor
Oksigen
hiperbarik

beratnya iskemia. Antibiotika mungkin berguna,

penyakit primer. Vaskulitis dapat mengenai satu organ,


seperti kulit atau dapat melibatkan beberapa sistem organ.
Vaskulitis umumnya lebih sering terjadi pada penyakitpenyakit rematik yang kemudian mengenai sistem

600 mg/hari

Er)

merokok. Prognosis memburuk jika tidak berhenti merokok.


Operasi pintas arteri dari pembuluh darah yang lebih besar
mungkin ada gunanya pada keadaan terlentu. Demikian
juga dengan debridemen lokal , tergantung dari gejala dan

Antagonis serotonin;
meningkatkan jarak tempuh
berjalan pada beberapa
penelitian, pemakaian masih
kontroversi; digunakan di

Nafridrofuryl

ekstrak ginko
biloba
Geneinduced
Angiogenesis
dengan
Endothelial

Tidak ada pengobatan yang spesifik, kecuali berhenti

keganasan, miksoma kardiak, sarkoidosis, sindrom


Goodpasture, amiyloidosis, migren dan emboli multifokal
dari aneurisma pembuluh darah besar.
Diagnosis pasti tergantung dari lesi vaskulitis yang
timbul dengan biopsi pada lokasi kulit yang abnormal. Jika
kelainan vaskulitis mengenai organ-organ visceral atau
pembuluh darah besar, yang terbaik adalah angiografi.

Mahal, hasil equivocal

ARTERITISTAKAYASU

gangren dapat timbul pada ujung jari atau tumit.

Pada pemeriksaan klinis nadi arteri brakialis dan


poplitea normal, tetapi nadi dapat berkurang atau hilang
pada arteri radialis, ulnaris dan tibialis. Pemeriksaan
ultrasoncigrafi dulplex dan arteriografi sangat membantu
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran perubahan lesi
segmental pembuluh darah dari yang normal bertahap
menjadi halus pada pembuluh darah distal merupakan
gambaran yang khas, dan terdapat pembuluh darah

Arteritis Takayasu (AT) adalah vaskulitis pada pembuluh


darah besar yang penyebabnya idiopatik dan terjadi pada
usia muda. Dapat mengenai aorta dan cabang-cabang
utamanya. Secara histologis AT khas berupa infiltrasi
lekosit mononuklir dan sel raksasa (Giant cell). Lebih
sering mengenai perempuan , l0 kali dibanding laki-laki.
Kematian biasanya karena stenosis arteri dan iskemi
organ. Terjadi aneurisma khususnya pada pembuluh darah

aorta yang dapat terjadi regurgitasi aorta. Penyebab


kematian tersering karena hiperlensi atau jantung, ginjal
dan mengenai sistem pembuluh darah otak.

kolateral disamping pembuluh darah yang tersumbat. Pada

Gejala dari abnormalnya pembuluh darah besar adalah

pembuluh darah proksimal biasanya tidak ditemukan

hipeftensi, khususnya bila dijumpai pada usia muda harus


diperiksa secara teliti pada nadi dan tekanan darah seluruh
ektremitas dan dicari apakah ada bruit pada pembuluh

arterosklerosis. Diagnosis pasti dapat ditentukan dengan


biopsi eksisi dan pemeriksaan histopatologi.

1838

KARDIOLOGI

Penatalaksanaan Penyakit Arteri Perifer

Evaluasi : hemoglobin, serum kreatinin,


Merokok, profil lipid, hipertensi,
Hemostasis, kadar homosistein, LDL

Diabetes, (A'p.7 %), berhenti merokok,


hipertensi, LDL kolesterol < 100 mg/dl,
terapi antitrombosit
Duplex scanning,
lokalisasi hemodinamik,
MRA, angiografi

Gambar 2. Algoritme evaluasi dan penatalaksanaan pasien dengan penyakit arteri perifer

darah. Tanda jika penyakit tersebut masih aktif adalah


perburukkan iskemia pada ekstremitas atau pada organ
viseral, malaise, mialgia, arlralgia, keringat malam, dan
demam. Pada darah dapat dijumpai peningkatan laju endap
darah. Diagnosis dapat dengan pemeriksaan angiografi
atau dengan teknik MRI (magnetic resonance imaging).

remisi. Stenosis arteri subklavia sering terjadi dengan


insiden mencapai 90o/o dari kasus. Jika pembuluh darah
aorta terlibat dapat teryadi insufisiensi katup, angina dan
gagal jantung pada 20% kasus. Penatalaksanaantya
dengan operasi reparasi atau ganti katup aorta.

Sekuele pada jantung biasanya karena pengobatan yang

tidak adekuat dari hipertensi, regurgitasi aorta, dan

SINDROM KOMPRESI TORAKS OUTLET

arteritis yang mengenai pembuluh darah koroner.


Gejala ini merupakan akibat kompresi dari pembungkus
neurovaskular (arteri,vena dan saraf) padajalan keluar dari
thrak melalui leher dan bahu. Pada iga servikal, kelainan
Sindrom Vaskulitis

Primer

Granulomatosis Wegenels
Sindrom Churg-Strauss
Poliarteritis nodosa
Poliangiitis mikroskopik
Giant cell afteritis
Arteritis Takayasu
Purpura Henoch- Schonlein
Vaskulitis cutaneus idiopatik
Cryoglobulinemia esensial
campuran
Sindrom Behcet't
Sindrom Cogan
Penyakit Kawasaki

Sindrom Vaskulitis Sekunder


Drug induced vasculitis
Serum sickness
Vaskulitis yang berhubungan
dengan
penyakit primer
lnfeksi
Keganasan
Penyakit reumatik

otot skalenus antikus proksimal dari klavikula dan iga


pefiama, atau insersi abnormal dari otot pektoralis minor
dapat menekan arteri subklavia dan pleksus brakialis sesuai
dengan jalur dari thorak ke tangan. Gejala yang timbul dapat
berupa nyeri bahu dan tangan, kelemahan, parastesia,
klaudikasio, fenomena Raynaud, dan dapat juga terjadi
kematianjaringan karena iskemia dan gangren. Pemeriksaan
fisik biasanya normal, sehingga diperlukan pemeriksaan

provokasi. Pada keadaan tertentu dapat ditemukan


penurunan atau hilangnya denyut nadi sampai terjadi
iskemia dan sianosis jari-jari. Dapat ditemukan nyeri tekan

pada fossa supraklavikula. Gejala dapat timbul dengan


menggerakan abduksi tangan 900 dan rotasi ekstemal bahu.
Pemeriksaan yang lain dengan cara manuver scalene. yaitu

Kira-kira 60% pasien dengan AT respons terhadap

terapi kortikosteroid prednison

mglkglhari, dan

penatalaksanaan temuan kelainan pembuluh darah pada


angiografi. Jika tidak respons dengan kortikosteroid dapat
diberikan siklofosfamid 2 mgkg atau dapat diberikan methotrexate sampai dosis 20 mg per minggu. Kira-kira 407lo
terapi dengan obat sitotoksik dan kortikosteroid dapat

ekstensi leher dan rotasi kepala ke daerah yang sakit,

gerakan kostoklavikular (rotasi posterior bahu) dan


gerakan hiperabduksi (menaikkan tangan 1800), akan
menyebabkan bruit pada arteri subklavia dan hilangnya
nadi tangan. Pemeriksaan foto dada dapat melihat
keberadaan iga servikal. Bila pleksus brakialis terkena
elektromiografi dapat menunj ukan kelainan.

1839

PEI{YAKIT ARTERI PERIFER

Penatalaksanaan lebih sering konservatif, hanya


dianjurkan menghindari posisi tertentu yang dapat
menimbulkan gejala. Latihan rotasi melingkar pada daerah
bahu dapat mengurangi gejala. Jika gejalanya berat dapat
dengan tindakan operasi mengangkat iga ke satu atau
reseksi otot antikus skalenus.

dengan bahan hemostatik seperti gelatin spon atau silikon,

digunakan untuk mengerutkan fistula. Fistula arteriovena


yang didapat biasanya mudah untuk diobati dengan cara
operasi eksisi pada fistula. Kadang-kadang diperlukan graft
autogenik atau sintetis untuk menyambung arteri dan
vena.

FISTULA ARTERIVENA

FENOMENARAYNAUD

Hubungan abnormal antara arteri dan vena, tanpa melalui


pembuluh kapiler dapat disebabkan karenakongenital atau

Fenomena Raynaud ditandai dengan episode iskemia akral

didapat. Fistula arteriovena kongenital merupakan


pembuluh darah embrionik persisten yang gagal

jari-jari tangan dan kaki setelah terpapar dengan dingin

berdiferensiasi menjadi arteri dan vena. Kelainan seperti


ini dapat ditemukan pada bayi yang sering disebut tanda
lahir. Dapat timbul pada seluruh organ tubuh dan sering
timbul pada ekstremitas. Fistula arterivena didapat , seperti
pada akses pembuluh darah (cimino ) pada pasien
hemodialisis, pada luka tembak atau luka tusuk , komplikasi
kateterisasi artei, atat diseksi pada operasi. Kasus yang
lebih jarang adalah rupturnya aneurisma arteri ke vena
menjadi fistula arterivena. Gambaran klinis tergantung dari
lokasi dan ukuran dari fistula. Sering kali terdapat masa
yang berdenyutjika diraba dan dapat ditemukan thrill dan
bruit terasa pada saat sistolik dan diastolik pada fistula.
Pada fistula yang sudah berlangsung lama, manifestasi
klinisnya seperti insufisiensi vena kronik, yaitu edema

fenomena Raynaud. Perubahan warna biasanya mudah


terlihat padajari tangan dan kaki. Yang khas adalah satu
atau lebih jari tampak putih sewaktu terkena udara dingin
atau menyentuh benda dingin. Pucat menandakan fase
iskemia dari fenomena tersebut, akibat spasma arteri jari.

perifer, varises vena yang besar dan tourtous , dan

merupakan tanda yang khas dari fenomena Raynaud.

pigmentasi stasis muncul karena tekanan vena yang tinggi.


Iskemi dapat timbul pada distal ekstremitas. Suhu kulit
pada fistula arteriovena lebih tinggi.

Kadang-kadang beberapa pasien hanya timbul pucat dan


sianosis, atau sianosis saja.

dengan manifestasi klinis pucat, sianosis, dan rubor pada


dan penghangatan. Stres emosi juga dapat mempresipitasi

Selama fase iskemi kapiler dan venula dilatasi, dan sianosis


akibat dari darah yang miskin oksigen. Rasa dingin, baal

dan semutan jari-jari biasanya timbul bersamaan pada

keadaan pucat dan sianosis. Dengan penghangatan


mengurangi spasme pembuluh darah dan aliran darah akan
meningkat dengan dramatis ke arteriola dan kapiler yang
dilatasi. Hiperemia reaktif ini memperlihatkan wama merah
terang pada jari-jari. Pada waktu fase hiperemia biasanya
timbul nyeri yang berdenyut. Respons warna trifasik ini

PATOFISIOLOGI
DIAGNOSIS
Diagnosis lebih sering didapatkan dari pemeriksaan fisik.

Kompresi pada fistula arteriovena yang besar dapat


menyebabkan reflex memperlambat denyut jantung, yang
disebut tanda Nicoladoni-Branham. Arteriografi dapat
membuktikan diagnosis dan menentukan besarnya fistula
arteriovena.

Episode iskemia digital karena rangsangan dingin adalah


sekunder dari reaksi vasokonstriksi refleks simpatis. Teori
ini didukung oleh obat penyekat adrenergik ajika diberikan

akan menurunkan frekuensi simpatis dan beratnya


fenomena Raynaud pada beberapa pasien. Fenomena
Raynaud dibagi menjadi dua kategori, yaitu idiopatik yang

disebut penyakit Raynaud dan sekunder yang


berhubungan dengan penyakit lain atau penyebab yang
dapat menyebabkan vasospasme.

TERAPI
Penatalaksanaan fistula arteriovena dapat dengan operasi.
radioterapi, atau embolisasi. Fistula arteriovena kongenital
sulit untuk diobati karena banyak dan saling berhubungan
satu sama lain, sering kali terbentuk satu yang baru setelah
dilakukan ligasi. Terapi terbaik adalah konsevatif dengan
memberikan perban elastis . Untuk mengempiskan fistula
arteriovena dapat dengan cara embolisasi, dengan bahan
dari tubuh sendiri, contohnya seperli lemak dan otot, atau

PENYAKITRAYNAUD
Istilah ini digunakan jika penyebab sekunder fenomena
Raynaud sudah disingkirkan. Lebih dari 50 7o pasien
dengan fenomena Raynaud adalah penyakit Raynaud.
Mengenai lima kali lebih banyak pada perempuan
dibanding dengan laki-laki. Timbul pada umur 20 - 40
tahun. Jari tangan lebih sering terkena dibandingjari kaki.

1840

KARDIOI.OGI

Awalnya hanya mengenai satu sampai dua ruas jari,


kemudian dapat menjalar menjadi satu jari, bahkan dapat
seluruh jari. Walaupun jarang, daun telinga dan ujung
hidung dapat terkena. Fenomena Raynaud sering timbul

oklusi akut pembuluh arteri besar atau sedang karena


trombus atau emboli. Jika emboli berupa debris dapat
menyebabkan distal iskemia dari jari-jari. Dapat timbul juga
pada hipertensi pulmonal primer.

pada pasien dengan sakit kepala karena migren atau varian

angina. Kelainan

ini berhubungan

dengan spasme

pembuluh darah.
Pada pemeriksaan

AKROSIANOSIS
fisik biasanya normal tak ditemukan

kelainan nadi radial, tlnar dan pedis. Pada waktu serangan,


jari tangan dan kaki menjadi dingin. Pada 10 7o kasus dapat
timbul penebalan dan pemadatan jaringan subkutan jarijari, yang disebut sklerodaktili. Pemeriksaan angiografi

Pada keadaan ini terjadi vasokonstriksi arteri dilatasi


sekunder kapiler dan venula dan mengakibatkan sianosis
persisten pada tangan, dan kadang-kadang pada kaki.

untuk diagnostik tidak dianjurkan. Pada umumnya pasien


dengan penyakit Raynaud klinisnya ringan. Kurang dari
lEo pasier, kehilangan j arinya.

Perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki dan timbul

Primer atau fenomena Raynaud idiopatik:


Penyakit Raynaud

Fenomena Raynaud sekunder

Penyakit vaskular kolagen: skleroderma, sistemik lupus


eritematosus, artritis reumatoid, dermatomiositis,
polimiositis
Penyakit arterial oklusi: aterosclerosis ekstremitas,
tromboangitis obliterans, oklusi arterial akut, sindrom
thoracic outlet
Hipertensi pulmonal
Gangguan neurologist: penyakitdiscus intervedebralis,
siringomielia, tumor medulla spinalis, strok, poliomielitis,
sindrom tunnel carpal.
Kelainan darah: cold agglutinin, kriglobulinemia,
kriofibrinogenemia gangguan mieloproliferatif,

.
.
.
.
o
.

m akrog lobu lin em ia

Trauma: luka vibrasi, sindrom hammer hand, syok


elektrik, sengatan dingin, mengetik, main piano.
Obalobatan: derivat ergot, metisergid, reseptor penyekat
B - adrenergik, bleomisin, vinblastin, cisplatin.

Sianosis terjadi

jika terpapar dengan udara dingin.

pada usia kurang dari 30 tahun. Umumnya tanpa gejala,


tapi karena ada perubahan warna jari- jari menjadi sianosis
pasien pergi memeriksakan diri. Pada pemeriksaan klinis
biasanya nadi normal, ditemukan sianosis perifer dan

ini harus
dibedakan dengan fenomena Raynaud karena persisten
dan perubahan warna mulai dari proksimal jari-jari. Tidak
ditemukan sianosis sentral dan penurunan saturasi O,
telapak tangan menjadi lembab. Kelainan

arteri. Dianjurkan untuk memakai baju hangat dan


menghindari udara dingin. Terapi farmakologis tidak perlu
diberikan.

LIVEDO RETIKULARIS
Pada lokasi tertentu pada ekstremitas timbul gambaran
bercak jarring-j aring berwama kemerahan sampai kebiruan.

Bercak tersebut bertambah jika terkena udara dingin.


Penyebabnya idiopatik, laki-laki dan perempuan
insidennya sama, lebih sering timbul pada umur dekade ke
3. Biasanya takbergejala, sering dikeluhkan karena alasan

kosmetik. Livedo retikularis dapat timbul setelah


PENYEBAB SEKUNDER FENOMENA RAYNAUD
Fenomena Raynaud timbul pada 80 - 90 Eo pasier, dengan
skleroderma dan yang bergej ala30 Vo. Kelainan pembuluh
darah jari-jari pada kasus ini akan menyebabkan timbulnya
fenomena Raynaud. Dapat terjadi ulkus di ujung jari-jari

karena iskemia dan dapat terjadi gangren dan auto


amputasi. Kira-kira 20 7o pas\en dengan SLE (sistemik
lupus eritematosus) terdapat fenomena Raynaud. Kadangkadang dapat terjadi iskemiajari-jari persisten dan dapat

terjadi ulkus dan gangren. Fenomena Raynaud dapat


timbul pada dermatomiositis, polimiositis, dan arthritis
rematoid.

Athrosklerosis pada ekstremitas sering menjadi


penyebab terjadinya fenomena Raynaud pada laki-laki
diatas umur lebih dari 50 tahun. Tromboangitis obliterans
jarang terjadi fenomena Raynaud, pada usia muda dapat
terjadi terutama jika perokok. Dapat juga karena mengikuti

ateroemboli, jarang timbul ulkus. Dianjurkan menghindari


udara dingin. Terapi farmakologis tak diperlukan.

REFERENSI
Beckman JA, Creager MA, Libby

P Diabetes and atherosclerosis,

epidemiology, pathophysiology, and management. JAMA


2002;287 2570 - 81.
Creager MA, Dzau VJ. Vascular diseases of extremities, In Harrison's
principles of internal medicine. 16'h ed. Kasper DL et al (ed) ;

NY: McGraw-Hill; 2005.p.1486-94.


MA, Libby P Peripheral arterial

diseases, In Heart Disease


a Textbook of Cardiovascular Medicine. 6'h ed. Braunwald,
Zipes, Libby (ed); WB Saunders Company; 2001.p. 1457-78
Gaylis H. Diagnosis and treatment of peripheral arterial disease.
JAMA 2002; 28'l; 313 - 16.
Gey DC, Lesho EP, Manngold J. Management of peripheral arterial
disease. American Family Physician 20o4;Feb;l-12.
Holcroft JW. Blaisdell FW. Acute arterial insuffisiency In : Vascular
Surgery Principles and Practice, 2'd ed, Veith FJ et al (ed). NY,
McGraw-Hill, 1994; 381-87.

Creager

1841

PEITYAKIT ARTERI PERIFER

Hiatt WR. Medical treatment of peripheral arterial disease and


claudication. N Engl J Med.2}0l;344;1608-21.
Jackson MR. Clagett P, Antithrombotic therapy in peripheral
arterial occlusive disease. CHEST 2007; ll9;283 - 99.
Mandell BF, Hoffman GS. Rheumatic diseases and the cardiovascular system, In Heart Disease a Textbook of Cardiovascular
Medicine. 6h ed. Braunwald, Zipes, Libby (ed); WB Saunders
Company; 2001.p 2199 - 208.
Ouriel K. Detection of peripheral arterial disease in primary care.

JAMA 20011 286: 1380

1.

Rosenfield K, Vale PR, Isner JM, Disease of peripheral vessels, In


Textbook of cardiovascular medicine. 2"d ed. Topol EJ et al
(ed); Philadelphia: Lippincott Williams R Wilkins; 2002.p.21095t.
Sneller MC, Langford CA, Fauci AS. The vasculitis syndrome. In
Harrison's principles of internal medicine. 16n ed. Kasper DL
et al (ed). NY: McGraw-Hill; 2005 .p.20O2 - lO.

287
KOR PULMONAL KRONIK
Sjaharuddin Harun, Ika Prasetya Wflaya

PENDAHULUAN
Kor pulmonal adalah hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan
akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit
parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak
berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Istilah
hipertrofi yang bermakna patologis menurut Weitzenblum
sebaiknya diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi
ventrikel kanan. Untuk menetapkan adanya kor pulmonal
secara klinis pada pasien gagal napas diperlukan tanda
pada pemeriksaan fisis yakni edema. Hipertensi pulmonal
"sine qua non" dengan kor pulmonal maka definisi kor
pulmonal yang terbaik adalah: hipertensi pulmonal yang
disebabkan penyakit yang mengenai struktur dan atau
pembuluh darah paru; hipertensi pulmonal menghasilkan
pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan atau dilatasi)
dan berlanjut dengan berjalannya waktu menjadi gagal
jantung kanan. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik
dan kor pulmonal, diperkirakan 80 - 907o kasus.
Kor pulmonal akut adalah peregangan atau
pembebanan akibat hipertensi pulmonal akut, sering

disebabkan oleh emboli paru masif, sedangkan kor


pulmonal kronis adalah hipertrofi dan dilatasi ventrikel
kanan akibat hipertensi pulmonal yang berhubungan
dengan penyakit paru obstruktif atau restriktif. Pada
PPOK, progresivitas hipertensi pulmonal berlangsung

dinding dada; (4) Penyakit yang mengenai aliran udara


paru, alveoli, termasuk PPOK. Penyakit paru lain adalah
penyakit paru interstisial dan gangguan pernapasan saat
tidur.

PATOF!SIOLOGI

Penyakit paru kronis akan mengakibatkan: (1)


berkurangnya "vascular bed'paru, dapat disebabkan oleh
semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang
mengembang atau kerusakan part; (2) asidosis dan
hiperkapnia; (3) hipoksia alveolar, yang akan merangsang
vasokonstriksi pembuluh paru; (4) polisitemia dan

hiperviskositas darah. Keempat kelainan ini akan


menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal (perjalanan

lambat). Dalam jangka panjang akan mengakibatkan


hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan kemudian akan
berlanjut menjadi gagal jantung kanan.

GEJALA KLINIS
Tingkat klinis kor pulmonal dimulai PPOK kemudian
PPOK dengan hipertensi pulmonal dan akhirnya menjadi

PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal jantung


kanan.

lambat.

DIAGNOSIS
ETIOLOGI
Diagnosis kor pulmonal pada PPOK ditegakkan dengan

menemukan tanda PPOK; asidosis dan hiperkapnia,

Etiologi kor pulmonal dapat digolongkan dalam 4 kelompok:


(1) Penyakit pembuluh darah p*o; (2) Tekanan darah pada

arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma,

hipoksia, polisitemia dan hiperviskositas darah; hipertensi


pulmonal, hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan dan gagal

granuloma atau fibrosis; (3) Penyakit neuro muskular dan

jantung kanan.

t842

1843

KORPULMONALKRONIK

PPOK

Adanya PPOK dapat diduga

ditegakkan dengan

pemeriksaan klinis (anamnesis dan pemeriksaan jasmani),


laboratorium, foto torak, tes faal paru.

volume paru turun mendadak akibat reseksi paru demikian


pula pada restriksi paru ketika pembuluh darah mengalami
kompresi dan berubah bentuk. Afterload meningkat pada

ventrikel kanan juga dapat ditimbulkan

pada

vasokonstriksi paru dengan hipoksia atau asidosis.

ASIDOSIS, HIPERKAPNIA, HtPOKS|A, POLt-

Perubahan hemodinamik kor pulmonal pada PPOK dari


normal menjadi hipertensi pulmonal, kor pulmonal, dan
akhirnya menjadi kor pulmonal yang diikuti dengan gagal

SITEMIA DAN HIPERVISKOSITAS DARAH

Jantung.

Kelainan ini dapat dikenal terutama dengan pemeriksaan


laboratorium dan pemeriksaan klinis.

TATALAKSANA

HIPERTENSI PULMONAL

Tujuan pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari


aspek jantung sama dengan pengobatan kor pulmonal

Tanda hipertensi pulmonal bisa didapatkan dari


pemeriksaan klinis, elektrokardiografi dengan P pulmonal

dengan deviasi aksis ke kanan dan hipertrofi ventrikel


kanan, foto toraks terdapat pelebaran daerah cabang paru

di hilus, ekokardiografi dengan ditemukan hipertrofi


ventrikel kanan (RV) dan kateterisasi jantung.

HIPERTROFI DAN DILATASI VENTRIKEL KANAN

pada umumnya untuk: (1) Mengoptimalkan efisiensi


pertukaran gas; (2) Menurunkan hipertensi pulmonal; (3)
Meningkatkan kelangsungan hidup; (4) Pengobatan
penyakit dasar dan komplikasinya.
Pengobatan kor pulmonal dari aspekjantung bertujuan
untuk menurunkan hipertensi pulmonal, pengobatan gagal

jantung kanan dan meningkatkan kelangsungan hidup.


Untuk tujuan tersebut pengobatan yang dapat
dilaksanakan diawali dengan menghentikan merokok serta
tatalaksana lanjut adalah sebagai berikut:

Dengan pemeriksaan foto toraks, elektrokardiografi (EKG),

ekokardiografi,, Radionuc lide v enticulo graphy, thalium


Imaging: CT scan danmagnetic resonance imaging (tr4F.I)

TERAPIOKSIGEN
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat meningkatkan

kelangsungan hidup belum diketahui. Ditemukan 2

GAGALJANTUNG KANAN
Ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, biasanya dengan
adanya peningkatan tekanan venajugularis, hepatomegali,
asites maupun edema tungkai.

PERJALANAN PENYAKIT HIPERTENSI PULMONAL


PADA PPOK
Curah jantung dari ventrikel kanan seperti pula di kiri
disesuaikan dengur p reloa$ kontraktilitas dan aft e rlo ad.
Meski dinding ventrikel kanan tipis, namun masih dapat
memenuhi kebutuhan saat terjadi aliran balik vena yang
meningkat mendadak (seperti saat menarik napas).
Peningkatutafi erloadakatmenyebabkanpembesaran
ventrikel kanan yang berlebihan. Hal ini terjadi karena
tahanan di pembuluh darah paru sebagai akibat gangguan
di pembuluh sendiri maupun akibat kerusakan parenkim
paru. Peningkatan afterload ventrikel kanan dapat terjadi
karena hiperinflasi paru akibat PPOK, sebagai akibat
kompresi kapiler alveolar dan pemanjangan pembuluh
darah dalam paru. Peningkatan ini juga dapat terjadi ketika

hipotesis: (1) Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi


dan menurunkan resistensi vaskular paru yang kemudian
meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan; (2) Terapi
oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan
meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak dan organ vital lain.
Pemakaian oksigen secarakontinyu selama 12 jarn(National Institute of HealthlNlH, Amerika); 15 jam (British
Medical Research Council / MRC dan24jam (NIH)
meningkatkan kelangsungan hidup dibandingkan dengan
pasien tanpa terapi oksigen.
Indikasi terapi oksigen (di rumah) adalah: (a) PaO2 < 55
mmHg atau SaO2 <88%o; (b) PaO2 55-59 mmHg disertai
salah satu dari: (b.1.) Edema disebabkan gagal jantung

kanan; (b.2) P pulmonal pada EKG; (b.3) Ertrositosis


hematokrit> 567o).

VASOD!LATOR
Vasodilator (nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis
alfa adrenergik, inhibitor ACE, dan postaglandin sampai
saat ini belum direkomendasikan pemakaiannya secara

t844

IqRDIOI.OGI

rutin. Rubin menemukan pedoman untuk menggunakan


vasodilator bila didapatkan 4 respons hemodinamik
sebagai berikut: (a) resistensi vaskular paru diturunkan
minimal 20Vo; (b) curah jantung meningkatkan atau tidak
berubah; (c) tekanan arteri pulmonal menurunkan atau
tidak berubah; (d) tekanan darah sistemik tidak berubah
secara signifikan. Kemudian harus dievaluasi setelah 4 atau
5 bulan untuk menilai apakah keuntungan hemodinamik di
atas masih menetap atau tidak. Pemakaian sildenafil untuk

Di samping terapi di atas pasien kor pulmonal pada


PPOK harus mendapat terapi standar untuk PPOK,
komplikasi dan penyakit penyerta.

PENUTUP
Terapi optimal kor pulmonal karena PPOK harus di mulai

melebarkan pembuluh darah paru pada Primary


Pulmonary Hypertensior, sedang ditunggu hasil

dengan terapi optimal PPOK untuk mencegah atau


memperlambat timbulnya hipertensi pulmonal. Terapi
tambahan baru diberikan bila timbul tanda-tanda gagal

penelitian untuk kor pulmonal lengkap.

jantung kanan.

DIGITALIS

REFERENSI

Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila


disertai gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti
meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor

Benisty Jacques I. Pulmonary hypertension. Circulation

pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri normal, hanya pada


pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang
menurunkan digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel

kanan.

Di

samping

itu pengobatan dengan digitalis

menunjukkan peningkatkan terjadinya komplikasi aritmia.

2002;106:192-4
Braunwald E, Hearl failure and cor pulmonale, dalam Kasper DL et

al (editor) Harrison's Principles Internal Medicine, edisi

Lenfant C, Khaltaev N, Global Strategy for the Dignosis,


Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease: NHLBI / WHO Workshop. National
Institutes of Healt and National Heart, Lung and Blood
Institute, Publication Number 2701 April 2001.
Macnee. W, Pathophysiology

DIURETIKA

Diuretika diberikan Uita aaa gagal jantung kanan.


Pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan

alkolosis metabolik yang bisa memicu peningkatan


hiperkapnia. Di samping itu dengan terapi diuretik dapat
terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload
ventrikel kanan dan curah jantung menurun.

FLEBOTOMI
Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan
hematokrit yang tinggi untuk menurunkan hematokrit
sampai dengan nllai 59Vo hanya merupakan terapi
tambahan pada pasien kor pulmonal dengan gagaljantung
kanan akut.

ANTIKOAGULAN
Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal didasarkan

atas kemungkinan terjadinya tromboemboli akibat


pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan dan adanya
laktor imobilisasi pada pasien.

16,

New York, McGraw-Hill, 2005.p.: 1311-89.

of cor pulmonale in

chronic

obstructive pulmonary disease: bagian pertama ke Am J. Respir


Crit Care med 1994: 833-52

Macnee. W, Pathophysiology

of cor pulmonale in

chronic

obstructive pulmonary disease: part two. Am J. Respir Crit Care

Med 1994; 150:1158-68


Matthay RA, Niederman MS and Weiderman HP. Cardiovascularpulmonary disease with special reference to the pathogenesis
and management of cor pulmonale. Med Clin North Am. 1990;

74: 571-618
MC Laughin W, Rich S. cor pulmonale dalam Braunwald E., editor.
Heart Disease: A text book of cardiovascular medicine. 6h ed
Philadelphia; WB Saunders, 20O1.p.1936-54.
I, Tapson Victor F. Pulmonary hipertension and cor
pulmonale in Topol Eric J, eds. Text book of Cardiovascular
Medicine 2'd ed Philadelphia: Lippincott William & Wilkins

Restrepo Clara

2002:649-65.
Rich S et al, Pulmonary hypertension, dalam Braunwald E, Heart
Disease: A Text book of Cardiovascular Medicine. edisi ke-7.
Philadelphia, Elsevier Saunders, 2005. p. 1807-42.
Weitzenblum E. Chronic cor pulmonale Heart 2003; 89:225-30.

2ffi8
HIPERTENSI

PUt ONAR PRIMER

Muhammad Diah, Ali Ghanie

PENDAHULUAN

diameter antara 40 sampai 100 mm dan arteriol. Evolusi


vaskular pada PPI I ini tcrgantung proglesivitas penipisan
arteri pulmon&lis. yilno Secara gradual meningkatkan
re,sistensi pulmonal yang pada akhirnya menyebabkan
stctin dan gagal ventrikel kanan.

Hipertensi pulmonal primer (HPP) atau idiopatik adalah


suatu penyakit yangjarang didapat namun progresif oleh
karena peningkatan resistensi vaskular pulmonal, yang
menyebabkan menurunnya fungsi ventrikel kanan oleh
karena peni ngkatan afterl oud ventrikel kan an. HPP sering
didapatkan pada usia muda dan Lrsia pertengahan. lebih

.l=

sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan


2 ; 1, angka kejadian pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta
penduduk. dengan meart surtit:ctl dari awitan penl,akit
sampai timbulnya gejala sekitar 2-3 tahun.
Kriteria diagnosis untuk hiperlensi pulmonal merujuk
pada National Institute of Health (NIH); bila tekanan
sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau mean
tekanan arteri pulmonalis lebih besar dari 25 mmHg pada
saat istirahat atau lebih 30 mnrHg pada aktivitas, dan tidak
didapatkan adanya kelainan valvular pada.iantung kiri,

Gambar 1. Karakteristik patologi pada hipertensi pulmonal

penyakit miokardium, penyakit jantung kongenital, dan


tidak adanya kelainan paru, penyakit jaringan ikat atau
penyakit tromboemboli kronik, sehinga HPP juga disebut
sebagai unexp I aine d pulmo nata hyp e rte nsi o tt.

Kiri Muskulus arteri pulmonaris pada pasien HPP: hipertrofi media (panah
putrh) dan penyepitan lurnen oleh karena proliferasi intima (panah hitam)
dan prolilerasi adventisia (X)
Kiri Lesi plexiform yang karakteristik, obsiruksi muskulus papillaris (panah)

PATOLOGI

Pada stadium awal HPP, peningkatan tekanan arteri


pulmonalis menyetrabkan peningkatan kerja ventrikel
kanan, dan terjadi trombotik arteriopati pulmonal.
Karakteristik trombotik arteriopati pulmonal ini adalah
trombus irtsitu pada muscularis arteri dari vaskulatur

Arteri pulmonal normal merupakan suatu struktur complai.nt dengan sedikit serat otot. yang mernungkinkan
fingsi pulntonar\ yasc:ular bed sebagai sirkuit yang lov,
pre,tsure dar high.flow. Ganrbaran patalogi vaskular pada

HPP tidak patognolxonis untuk kelainan

pulmonal. Pada stadium lanjut, di mana tekanan pulmonal


meningkat secara terlrs nlenerus dan progresif, lesi

ini,

karena
menyerupai garnbaran arteriopati pada hi pertensi pulmonal
dari berbagai macarn sebab, kelainan vaskular di sini

berkembang menjadi bentuk arteriopati fleksogenik


pulmonal yang ditzindai dengan hipertrofi media, fibrosis
laminaris intima konsentrik, yang menggantikan struktur

termasuk hiperplasia otot polos vaskular, hiperpiasia


intima, dan trombosis insitu. Kelainan yang terjadi pada
HPP ini mengenai ateri-arteri pulmonalis kecil dengan

endotelial pulmonal normal (Gambar 1). Secara patologis


HPP dapat di kelompokkan secara 3 sub-tipe:

184

t846

I(ARDIOI.OGI

Primary Arteriopati Fleksogenik (30-60% dari

Etiologi dan Patogenesis

HPP)

Penyebab HPP belum diketahui dengan pasti. Beberapa

Secara patologis lesi fleksogenik adalah disorganisasi

konsep patogenesis mempertimbangkan kepekaan


inidividu dan rangsangan pemicu sebagai faktor pemula

kapiler pulmonal. Beberapa keadaan lesi mengandung


proleferasi nronoklonal sel-sel endotelial. Lesi fleksiform
merupakan suatu bentuk hipertensi pulmonal berat,
dengan insiden l-2ljuta penduduk perbandingan pria dan
perempuan 1,7:l dan usia saat diagnostik tipe ini antara
20-50 tahun. Kelainan ini tampaknya mempunyai komponen
genetik, dimanalTo kasus adalah tamilial.

terhadap kerusakan dan perbaikan vaskular pulmonal.


Hanya sebagian kecil kelompok dengan risiko tinggi
(seperti obat penekan nafsu makan dan pasien HIV- 1) yang
menjadi hipertensi pulmonal. Kejadian HPP dalam satu
keluarga menunjukkan kepekaan genetik. Bentuk kelainan

bawanan adalah autosomal dominan dengan rasio


perempuan dan pria 2 banding

Tromboembolik Arteriopati (45-50% dari HPP)


Secara patologis subtipe ini ditandai dengan fibrosis
eksentrik tunika intinra dan gambaran rekanalisasi
trombosis insitu fiaringan dan septum dalam lumen
arterial). Subtipe tromboembolik hipertensi pulmonal
terdapat 2 bentuk: bentuk makrotromboembolik, yang

biasanya didapatkan pada tipe hipertensi pulmonal


skunder dan berisi gumpalan besar di tengah lumen, dan
kedua bentuk mikrotromboembolik dengan trombus
didistal yang menyumbat pembuluh-pembuluh darah kecil.

Bentuk makro biasa biasanya respons terhadap


tromboenarterektomi. Sementara bentuk mikro
berhubungan dengan trombosis insitu dan secara klinis
tumpang tindih dengan arteriopati fleksognik primer.

l.

Meskipun melibatkan

gen dalam HPP familial belum dapat diidentifikasi,


kemungkinan lokasi pada tangan panjang (long arm) dari
kromosom 2 (q3I ). Lokasi ini mengandung 7 juta base dan
suatu pendekatan telah dicoba untuk mengidentifikasi gen

potensial dengan vasoaktif, proliferatif atau aktivitas


trombotik, namun tidak didapatkan kandidat gen sampai
saat

1n1.

Stimulus yang dapat merangsang HPP adalah: bahanbahan yang dapat dicerna, seperti oabat penekan nafsu
makan, ekstrak monokrotalie, bahan pelarut inhaler,
metamfelamin, kokain, L-tryptophan; inf'eksi, terutama HIVI ; and penyakit inflamasi (seperti HPP yang dihubungkan
dengan penyakit tiroid autoimun dan antinuclear anti-Ku
antibod,tt. Walaupun bentuk rangsangan berbeda, namun
bentuk kerusakan dan perbaikannya sama.
Vasokonstriksi dan hipertrofi media terjadi pada awal

Oklusif Vena Pulmonal

HPP. Keadaan ini adalah sekunder terhadap kerusakan sel

Bentuk yang jarang didapat, disebabkan oleh penipisan

endotelial, yang dapat menyebabkan berkurangnya

tunika intima vena pulmonal


HPP secara patologis dapat digradasikan dalam 6 poin
berdasarkan severitas penyakit: dimulai dari hipertropi
medial (grade 1) sampai dan di grade 6 nekrosis arteritis.
namun tidak ada korelasi antara gradasi patologis dengan
tekanan pulmonalis. Rasio ketebalan tunika media dan
intima terhadap total cross-sectional area dihubungkan
dengan respons terhadap vasodilator, semenara arlropati
fleksogenik dihubungkan dengan survival time yang
pendek. (Gambar2)

produksi endothelium-derived vasodilator atau


meningkatkan vasokonstriktor. (Gambar 3).

lpelepasan : TB, PGl, ET-1


,Pelepasan: NO, Kerusakan sal K*

Tpelepasan : PDGF, VEGF, TGF-8

Campurannormal

tma

Arteritis

dan abnormal

Gambar 2. Lesi vaskular pada hipertensi pulmonal primer Lesi


fleksiform, merupakan petanda histologi hiperlensi pulmonal primer

Gambar 3. Patog6nesis hipertensi pulmonal


Pasien dengan predisposisi genetik, kerusakan endotel dapat
menimbulkan siklus ganas perkembangan hipeftensi pulmonal.
Pedama: kerusakan endotel menyebabkan imbalans mediatot
vasoaktif vasokonstriksi. Kemudian terjadi pelepasan growth factoryang menyebabkan penipisan diding pembuluh darah (remodeling). Hal ini merangsang fibrinolisis dan gangguan koagulasi

yang mempresipitasi trombosis insitu TB=tromboxan,


PQ=prostaglandin, ET= endothelin, NO=nitric oxide,

PDGF=platelet-derived growth factor, VEGF=vascular endothelial growth factor, TGF=transforming growth factor

1847

HIPERTENSI PULMONAR PRIMER

Penelitian imunohistokimia, menunjukkan ekspresi endothelial NO synthetase (eNOS;NOS IID menurun pada
arteri pulmonalis pasien dengan HPP, dan sekesi metabolit
prostakiklin melalui urin juga rendah. Kosentrasi endotelin
1 (suatu vasokonstriktor pulmonal poten) darah meningkat
baik pada hipertensi pulmonal primer ataupun sekunder,

yang pada pengecatan dengan imunohistokimia


memperlihatkan peningkatan ekspresi endotelin pada arteri
pulmonalis pada pasien ini.
Mediator vasoaktif sirkulasi lain juga berperan pada
HPP. Kadar plasma serotonin meningkat pada pasien
dengan HPP, dan tetap meningkat setelah transplantasi
jantung. Obat penekan nafsu makan: fenfluramin dan
deksfenfluramin yang menghambat reuptake seretonin,
dapat mencetuskan HPP pada individu yang peka melalui
peningkatan kosentrasi platelet-deriv ed s e rotonin (slatu
vasokonstriktor pulmonal, yang merangsang pertumbuhan

vaskular).

.
.

yang menentukan konsentrasi kalsium bebas sitoplasma

pulmonalprimer.

(VEGF), suatu mitogen sel endothelial spesifik yang


dihasilkan oleh makrofag dan otot polos vaskular. suatu
mitogen spesifik sel endotelial yang dihasilkan oleh
makrofag dan sel otot polos, berperan dalam remodeling

.
.
.
.
.
.

.
.

Hemangiomatosiskapilerpulmonal

Hipedensi pulmonal dengan penyakit jantung kiri


Penyakit atrium atau ventrikel kiri jantung
Penyakit katup jantung kiri
Hipedensi pulmonal yang dihubungkan dengan penyakit
paru adan atau hipoksia
Penyakit paru obstruksi kronik
Penyakit jaringan paru
Gangguan napas saat tidus
Kelainan hipoventilasi alveolar
Tinggal lama di tempat yang tinggi

.
.

.
.
.
.
.
.

Perkembanganabnormal

Hipertensi pulmonal oleh karena penyakit emboli d"an


trombotik kronik
Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis proksimal
Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis distal
Emboli pulmonal non trombotik (tumor, parasit, benda
asing)
Lain-lain
Sarcoidosis, histiositosis-X, limfangiomatosis, penekanan
pembuluh darah paru (adenopati, tumor, fibrosis
mediasiinitis)

,
.
.

Vasokonstriksi diikuti oleh proliferasi dan fibrosis


intima, trombosis insitu, dan perubahan plexogenik.
Peningkatan ekspresi vascular endothelial growth factor

.
.
.

Kerusakan saluran ion pada sel otot polos arteri


pulmonal juga dapat menambah vasokonstriksi. Kalsium
intra selular berperan penting dalam regulator kontraksi
dan dan proliferasi otot polos vaskular, dan kanal kalium

mungkin terganggu pada pasien dengan hipertensi

Hipertensi arteri pulmonal


ldiopatik atau prrmer
Familial
Hipertensi yang berhubungan dengan:
Penyakit kolagen pada pembuluh darah
Shunt kongenital sistemik ke pulmonal
Hipertensi portal
lnfeksi HIV
Toksin dan obatobatan
Penyakit lain (kelainan tiroid, kelainan penyimpanan
glikogen, penyakit Gaucher, hemoragik
telangiektasis herediter, hemoglobinopati, kelainan
mieloproliferatif, splenektomi
Yang berhubungan dengan kederlibatan vena atau
kapiler
Penyakit oklusi vena pulmonal

'

vaskular.

Klasifikasi Klinik dan Fungsional Hipertensi


Pulmonal
Selama beberapa tahun hipertensi pulmonal
diklasifikasikan sebagai hipertensi pulmonal primer
(idiopatik) dan hipertensi pulmonal sekunder. Pada tahun
2043, pada Word Symposium III mengenai hipertensi
pulmonal di Venice, dilakukan revisi klasifikasi klinik, di
mana hipertensi pulmonal di kelompokkan dalam 5
kelompok, dan hipertensi pulmonal primer atau hipertensi
pulmonal idiopatik dimasukkan dalam kelompok hipertensi
arteri pulmonal. (Tabel 1).

WHO juga mengusulkan klasifikasi fungsional


hipertensi pulmonal dengan memodifikasi klasifikasi
fungsional dari New York Heart Association (NYHA)
system (Tabel 2).

GAMBARAN KLINIS
Hipertensi pulmonal sering tidak menuniukkan gejala yang

Kelas

Kelas

ll

Kelas

lll

Kelas

lV

Pasien dengan hipertensi pulmonal tanpa


keterbatasan dalam melakukan aktivitas seharihari

Pasien dengan hipertensi pulmonal, dengan


sedikit keterbatasan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari
Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang bila
melakukan aktivitas ringan akan merasakan sesak
dan rasa lelah yang hilan bila istirahat
Pasien dengan hipedensi pulmonal, yang tidak
mampu melakukan aktifitas apapun (aktivitas
ringan akan merasakan sesak), dengan tanda dan
gejala gagal jantung kanan

sepesifik. Gejala-gejala tersebut sering sulit dibedakan


dengan HPP sekunder atau oleh karena kelainanjantung.
kesulitan utama adalah gejala umumnya berkembang
secara gradual. Gejala yang paling sering adalah : dispnu
saat aktivitas, fatique dan sinkop, refleksi ketidak mampuan
menaikkan curah jantung selama aktivitas. Angina tipikal
juga dapat terjadi meskipun arteri koroner normal, tetapi

1848

KARDIOLOGI

nyeri dada disebabkan oleh karena stretchirtg arteri

tersebut termasuk pembesaran atrium dan ventrikel kanan,

pulmonal atau iskemia ventrikel kanan.

dan septum yang cernbung atau rata. Adanl,a efusi


perikard menunjukkan beratnya penyakit dan prognosis
yang kurang baik.

Hemoptisis oleh karena pecahnya pembuluh darah paru


yang mengalami distensi jarang terjadi, namun hemoptisis
pada pasien dengan HPP suatu keadaan yang berbahaya.

Fenomena Raynaud's terjadi kira-kira 2Vo datt pasien


dengan'HPP tetapi sering terjadi pada hiperlensi pulmonal
yang berhubungan dengan penyakitjaringan ikat. Gejalagejala yang lebih spesifik dapat oleh karena penyakit yang
nrendasari hipertensi pulmonal.
Pada pemeriksaan fisik relatif tidak sensitif untuk

Elektrokardiograrn (EKG) juga harus dilakukan pada pasien


yang dicurigai HPP, meskipun tidak spesifik untuk HPP.
Gambaran tipikal pada EKG berupa.r/ruln ventrikel kanan.
hipertrofi ventrikel kanan dan pergeseran aksis ke kanan

menegakkan diagnosis hipenensi pulmonal primer, namun


dapat rnembantu meniadakan berbagai penyebab lain dari

pulmonal (Gambar

Elektrokardiograf

dapat nrenrbantu menegakkan diagnosis hipertensi


-<)

hipertensi pulmonal (hipertensi pulmonal sekunder).


Pemeriksaan auskultasi paru pasien HPP umumnya bersih.
Bila ditemukan w,heezing dan ronki, kemungkinan kelainan
oleh karena penyakit paru yang lain seperti: asma bronkial,
bronkitis atau fibrosis. Ronki basah seperti pada gagal

jantung kongestif menunjukkan penyakit jantung kiri,


bukan hipertensi arteri pulmonal. Bunyi jantung II pada
claerah pulmonal kadang dapat ditemui padahampir 90%
pasien dengan hipertensi pulmonal, pada stadiunt lanjut
di mana telah terjadi gagaljantung kanan. gejala dan tanda

seperti gallop ventrikel kanan (S4 kanan), distensi vena


jugularis. pembesaran hapar at.au lirnpa, asites atau edema
perifer dapat ditemui (Tabel3).
Gambar 4. Foto toraks pasien dengan hipertensi pulmonal
memperlihatkan pelebaran arleri pulmonal sentral bilateral

Gejala
Dispnu saat aktivitas
Fatique
Sinkop
Nyeri dada angina
Hemoptisis

Fenomena Raynaud's

Distensi vena jugularis


lrnpuls ventrikel kanan dorninan
Komponen katup paru menguat
53 jantung kanan
Murmur trikuspid
Hepatomegali
Edema oerifer

(P2)

TES DIAGNOSIS

Ekokardiograf

Pada pasien yang secaraklinis dicurigai hiperlensi pulmonal,

untuk diagnosis sebaiknya dilakukan ekokardiograli.


Ekokardiografi tidak hanya membantu menetapkan
diagnosis, namun juga dapat menilai etiologi dan

Gambar 5. Gambaran EKG pasien hipertensi pulmonal


menunjukkan deviasi aksis ke kanan dan hiperlrofi ventrikel kanan

prognosis. Ekokardiografi dapat mendeteksi kelaian katup,


disfungsi ventrikel kiri, shuirljantung. Untuk menilai tekanan
sistolik ventrikel kanan dengan ekokardiografi harus ada
regurgitasi trikuspid (TR). (Gambar 4)
Bila pada pasien dengan hipertensi pulmona.l tidak ada
regurgitasi trikuspid untuk menilai tekanan ventrikel kanan
secara kuantitatif, dapat dipakai nilai kualitatif pada
pemeriksaan ekokardiografi dapat mernbantu mene-qakkan

Gambnran has palenkirr-r paru pada hipertensi pulrnonal


primer bersih. Foto toraks dapat membantu diagnosis, iltau
nrernbantu nrenentukan penyakit paru lain 1,ang mendasari

diagnosis hipertensi pulmonai. Tanda-tanda kualitatif

pada hipertensi pulmonal diternukan pen.rbesaran hilar,

Radiologi

hipertensi pr-rlmonal (membedakarn hipertensi primer


dengan hipertensi sekunder'). Gatnbaran khas ltrto thoraks

1849

HIPERTENSI PULMONAR PRIMER

bayangan arteri pulmonalis dan pada foto toraks lateral


terdapat pembesaran ventrikel kanan (Gambar 4).

Pemeriksaan Angiografi
Kateterisasi jantung merupakan baku emas untuk
diagnosis hipertensi ateri pulmonal. Kateterisasi
membantu diagnosis dengan menyingkirkan etiologi lain

seperti penyakit jantung kiri dan memberikan informasi


penting untuk dr,rgaan prognostik pada pasien dengan
hipertensi pulmonal. Tes vasodilator dengan obat kerja

singkat (seperti: adenosin. inhalasi nitric oxide

ataLr

epoprostenol) dapat di Iakukan selama kateteri sasi. respons


vasodilati positif bila didapatkan penurunan tekanan arteri
pulmonalis dan resistensi vaskular paru sedikitnya 2O7o
dari tekanan awal.

Konsensus European Societl, o.f Card.iology,

aktivitas yang berlebihan. Penggunaan digoksin saat ini


masih kontroversial, karena belum ada data terhadap
keuntungan atau kerugian penggunaan digoksin pada

hipertensi pulrnonal. Penggunaan diretika untuk


rnengLrrangi sesak dan edema pada pereifer, dapat
bermanfaat untuk rnengurargi kelebihan cairan terutama

bila ada regurgitasi trikuspid. Saat ini banyak penelitian


untuk pengobatan hipertensi pulmonal telah dilakukan;
golon gan vasodilator. prostanoid, nitric oxi de, pen ghambat

fosfodiesterase, antagonis reseptor endotelin dan


antikoagulan

a. Terapi Vasodilator
Penggunaan penghambat kalsium telah banyak diteliti dan

digunakan sebagai terapi pada hipertensi pulmonal,


perbaikan terjadi pada klra-kira25-307c kasus terutama pada

positif dengan vasodilator akut pada pemeriksaan


kateterisasi , survivalnya akan meningkat dengan

pasien yang tes vasodilator akut positif, pada kelompok


ini dapat dipenimbangkan penggunaannya dalam jangka
iarna, dan penggunaan golongan otrat ini pada pasien
hipertensi putrrnonal sebaiknya dibatasi terutama pada
pasien dengan gagal jantung kanan.
Nifedipin 120-240 mg/hari atau diltiazem 540-900 mg/
hari merupakan obat yang sering digunakan, sementara
verapamil memperlihatkan efek inotropik negatif. Namun

pengobatan blokade saluran kalsium jangka lama. Dengan

obat-obat tersebut menyebabkan efek samping yang

kateterisasi jantung juga dapat memberikan intormasi

bermakna, seperti hipotensi yang mengancamhidup pasien


dengan compromised fungsi ventrikel kanan yang berat,

mendefinisikan respons vasodilatasi akut positif bila terjadi


penurunan "ntean" tekanan arted pulrnonalis paling sedikit
l0 mmHg sampai < 40 rnmHg dengan peningkatan cunah

jantLrng atau tidak ada perubahan pada curirlr .lantung


dibandingkan dengan nilai seperti sebelupdilakukan tes.
Pasien dengan hipertensi alteri pulmonal yang berespons

mengenai saturasi oksigen pada vena sentral, artrium dan


ventrikel kanan, dan arteri pulmonal yang berguna dalam
menilai prognosti k hipertensi pulmonal.

untuk ini diperlukan monitoring ketat terhadap


hemodinamik pasien.
Vasodilator lain yang telah dievaluasi adalah peranan

angiotensin converting enz))me pada patofisiologi


hipertensi pulmonal, namun enzim ini tidak bermanfaat
secara signifikan, di samping belum ada studi yang luas
yang telah dilakukan.

b.'Prostanoid
Epoprostenol. Epoprostenol IV perlama kali disetujui oleh
FDA untuk terapai hipertensi pulmonal pada tahun 1995.
Pemakaian epopostrenol jangka panjang memperbaiki
hemodinamik, toleransi latihan, klas fungsional NYHA, dan
survival rcfie penderiahipertensi pulmonal. Namun karena

Gambar 6. Gambaran ekokardiografi pasien hipertensi pulmonal

waktu paruh singkat diperlukan bentuk infus IV yang


konstau melalui kateter dengan portabl.e pump,
penggunaannya rumit sehingga diperlukan rujukan ke
rumah sakit atau klinik yang canggih. Karena rumitnya
pemakaian epoprostenol, dikembangkan, produk

TATALAKSANA HIPERTENSI PULMONAL PRIMER

prostasiklin yang lain. dan yang saat ini juga sudh diakui
oleh FDA sebagai obat untuk hipertensi pulmonal adalah:
treprostinil dan inhalasi iloprost.

Medikamentosa

Treprostinil. Treprostinii memiliki waktu paruh yang lebih

Resisten vaskular pulmonal secara dramatis meningkat


pada saat latihan atau aktivitas pada pasien hipertensi.

laura dan dapat digunakan subkutan. Pada penelitian povital


dengan treprostinil dengan 470 pasien selama 12 minggu
(randomized placebo controlled trictl), pada 587o

dan pasien sebaiknya harus memperhatikan dan membatasi

18s0

hiperlensi pulmon al primer, 27 7o lipertensi pulmonal dengan


ikat, dan 25 Vo hipertensi pulmonal dengan

KARDIOI-OGI

Efek inhalasi NO pada pasien hipertensi pulmonal

pen yakit j aringan

primer memperlihat perbaikan dalam parameter

penyakit jantung kongenital, dan dengan keparahan


penyakir: NYHA II (127o) NYHA tII(8t%) dan NyHA IV
(1Vo). Didapatkan perbaikan indek hemodinamik dan
kapasitas latihan yang diukur dengan katetarisasi dan

hemodinamik, efek jangka panjang belum diteliti namun


beberapa pasien tampak menunjukkan manfaat dengan
terapi tersebut untuk jangka lama.

latihan berjalan 6 menit. Tidak ada pengaruh treprostinil


pada kelompok penyakit jantung bawaan, mungkin kerena

singkatnya penelitian. Treprostinil subkutan juga


menyebabkan rasa nyeri pada tempat suntukan yang juga
membatasi penggunan obat ini pada pasien terlentu.

Iloprost inhalasi. Iloprost adalah prostasiklin dengan


bentuk kimia stabil yang tersedia dalam bentuk intravena,
oral, dan aerosol, dengan waktu paruh 20 sampai 25 menit.

Bentuk inhalasi dalam pengobatan hipertensi pulmonal


adalah konsep yang baik praktis dalam pengunaan klinik.
Pada idiopatik hipertensi pulmonal iloprost inhalasi

memberikan efek vasodilatasi yang lebih efektif


dibandingkan dengan inhalasi NO . Untuk penggunaan
jangka panjang karena waktu paruh pendek dapat
digunakan 6 sampai 9 kali inhalasi per hari.

Penelitian terbuka selama 3 bulan pada 19 pasien


dengan berbagai bentuk hipertensi pulmonal, dengan
inhalasi iloprost dengan dosis 50-200 prg 6 sampai l2
inhalasi per hari, memperbaiki klas fungsional, kapasitas
latihan dan hemodinamik paru. Pada penelitian lain selama
I tahun juga penelitian terbuka tanpa kelompok kontrol,
pada24 pasien dengan dosis 100 - 150 pg 6 sampai 8 kali
inhalasi perhari memberikan hasil yang sama. Dan secara
umum pengobatan ditoleransi dengan baik kecuali pada
beberapa pasien mengalami batuk ringan, sakit kepala
ringan dan nyeri rahang.
Penelitian randomized, double-blfud, placebo-controlled Europeanmulticenter, dengan dosis iloprost 2.5
pg atau 5 pg 6 sampai 9 kali perhari (dosis maksim 45 pg/
hari; dosis median ,30 pg/hari). terhadap 203 pasien dengan
hipertensi pulmonal primer (50,5Eo), hipertensi pulmonal

dengan tromboemboli kronik (337o) dan hipertensi


pulmonal dengan penyakit jaringan lkat (137o) dengan
59Vo dar NYHAIV 4lVo , didapatkan perbaikan
kapasitas latihan (waktu berjalan 6 menit meningkat 36 m
pada kelompok iloprost), perbaikan klas NYHA, perbaikan
klinis dan kualitas hidup yang bermakna pada kelompok
ilopros dibanding kelompok plasebo.
Secara umllm pengobatan dengan iloprost ditoleransi
dengan baik kecuali pada beberapa pasien mengalami batuk
ringan, flushing, sakit kepala dan nyeri rahang dan
berlangsung singkat dan ringan.

NHYAII

c. Nitrik Oksid
Merupakan suatu vasodilator pulmonal selektif, diberikan

secara inhalasi dengan waktu paruh singkat, hal ini


bermanfaat sebagai screening vasodilator pada
pengobatan hipertensi pulmonal.

d. Penghambat Fosfodiesterase
Mekanisme yang memodulasi cyclic guanosine 3'-5'
monophosphate (:GMP) didalam otot polos berperan
dalam meregulasi tonus, pertumbuhan dan struktur

vaskular. E,fek vasodilator NO tergantung pada


kemampuannya meningkatkan isi cGMP di dalam otot
polos vaskular. Sekali diproduksi NO langsung
mengaktifkan soluble guanylate cyclase yang
meningkatkan produksi cGMP, kemudian cGMP
mengaktilkan cGMP kinase, membuka kanal potasium dan
menyebabkan vasorelaksasi. Efek cGMP intraselular
bertahan singkat, menyebabkan degradasi cepat cGMP

oleh fosfodiesterase.

Fosfodiesterase merupakan famili enzim yang


menghidrolisa cyclic nwcleotide, cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan cGMP, dan membatasi sifat sinyal
intraseluler mereka dengan menghasilkan produk inaktif (5 'adeno sine monophosphate dan 5' - guano sine monopln s phate). Sedangkan penghambatan cAMP spesific phosphodiesterase (type 3) berperan dalam pengobatan asma
(mis : teofilin) dan disfungsi miokardial (mis : milrinon dan
amrinon), obat-obat yang secara spesifik menghambat
cAMP-spesific phosphodiesterase memTllki efek yang lemah

terhadap sirkulasi pulmonal. Sebaliknya obat-obat yang


menghambat secara selektif cGMP-spesifik fosfodiesterase
(p ho spho di e s t e ras e typ e 5 inhibito r) meningkatkan respons
vaskular terhadap NO inhalasi dan endogen pada hipertensi
pulmonal. Fosfodiesterase tipe 5 mempengaruhi paru dengan
kuat dan phosphodiesterase type 5 gene expression dan
aktivitasnya meningkat pada hipertensi pulmonal kronik.

5 inhibitor, termasuk
dipiridamol, zaprinast, dan lainnya, menyebabkan

Beberapa fosfodiesterase type

vasodilatasi pulmonal kuat pada paru hewan percobaan


yang menderita hipertensi pulmonal akut dan kronik.

Dipiridamol. Dipiridamol dapat menurunkan resistensi


yaskular paru, vasokontriksi pulmonal hipoksik,
menurunkan hipertensi pulmonal dan meningkatkan atau
memperpanjang efek inhalasi NO pada anak dengan

hipertensi pulmonal. Beberapa pasien yang gagal


merespons NO inhalasi membaik dengan terapi kombinasi
NO inhalasi + dipiridamol. Ini menunjukkan bahwaphosphodiesterase type 5 inhibitor merupakan strategi klinis
yang efektif dalam mengobati hipertensi arteri pulmonal,
tetapi masih terbatas karena potensi dan selektivitasnya

masih kurang dan efek samping sistemiknya besar.


Sildenafi l. Sildenafil merupakan pho sphodie steras e type
5 inhibitor yang potensial dan sangat spesifik. Studi klinis
yang meneliti efekhemodinamik akut sildenaf,rl dan perannya

1851

HIPERTENSI PULMONAR PRIMER

pada pengobatan jangka panjang pada pasien hipefiensi


arteri pulmonal oleh Michelakis dkk, pada 13 pasien
didapatkan penurunan mean tekanan arteri pulmonal dan
resistensi vaskular pulmonal, dengan peningkatan cardiac
index. Dtbardngkan dengan NO inhalasi, sildenafil memiliki
efek yang sama dalam mereduksi mean tekanan arteri
pulmonalis, berbeda dengan NO, sildenafil juga memiliki
efekhemodinamik.

dengan hipertensi arteri pulmonal didapatkan peningkatan

Bila dikombinasikan dengan NO, sildenafil

kontroversi apakah lebih baik diblok keduanya ETo dan


ETu atau hanya terhadap ETo saja. Namun bosentan oral

meningkatkan dan memperpanjang efek NO inhalasi.


Sildenafil dengan NO inhalasi menurunkan tekanan arteri

pulmonari dan meningkatkan cardiac index, dan


menurunkan resistensi vaskular pulmonal lebih besar dari

pada satu obat masing-masing. Sildenafil mencegah


vasoconstriksi pulmonal yang berulang setelah gagal
dengan inhalasi NO.
Pada penelitian vasore activ ity, sildenafil dikombinasikan

dengan inhalasi NO, efek terpisah dan kombinasi dari


sildenafil dan iloprost dilaporkan penurunan lebih besar

mean tekanan arteri pulmonari. Iloprost aerosol


menyebabkan penurunan mencolok pada mean tekanan

arteri pulmonal dan resistensi vaskular paru daripada


sildenafil, tetapi terapi kombinasi menyebabkan penurunan

lebih besar dan lebih lama dari pada preparat tunggal.


Bharani dkk mengobati l0 pasien dengan sildenafil dan
10 pasien dengan plasebo selama 2 minggu. Setelah 2

minggu pengobatan, pasien mengalami perbaikan


bermakna pada tes berjalan 6 menit dan indeks dispnea,
dengan penurunan tekanan arteri pulmoanal sistolik secara
ekokardiografik. Pada penelitian lain 29 pasien diterapi

dengan sildenafil (25-100 mg) selama 5-20 bulan,


didapatlkan perbaikan klas fungsional NYHA, tes berjalan
menit dan dispnea index dan menurunnya tekanan sistolik
arteri pulmonalis.

Banyak penelitian menunjukkan efektivitas terapi


dengan sildenafil pada penatalaksanaan jangka panjang
pasien dengan hipertensi arteri pulmonal kronik. Terapi
sildenafil dilaporkan dapat menurunkan mean tekanan arleri
pulmonalis l5Vo dan resistensi vaskular pulmonal 30% ,
meningkatkan kardiak index 17 Vo dan meningkatkan jarak
berjalan 6 menit. Tak ada efek samping yang berarti yang

dilaporkan, hanya sakit kepala, kongesti nasal, nausea,


dan gangguan penglihatan ringan

e. Antagonis Reseptor Endotelin


Pada penelitian terakhir menunjukan antagonist reseptor

endotelin (ERAs) efektif dalam mengobati hipertensi


pulmonal. Antagonist reseptor endotelin (ERAs) tampaknya
berperan dalam pengobatan karena meningkatnya bukti

peranan endotelin-1 dalam patogenik pada hipertnsi


pulmonal. Endotelin- 1 adalah suatu vasokonstriktor poten
dan mitogen otot polos yang berperan dalam meningkatkan

tonus vaskular dan hipertrofi vaskular paru yang


dihubungkan dengan hipertensi pulmonal. Pada pasien

endotelin-l dan produknya dalam plasma, dan kadar ini


berhubungan dengan severitas penyakit.
Reseptor endotelin telah diidentifikasi mempunyai 2
bentuk isoform: ETo dan ET, Aktivasi reseptor ETo

menyebabkan vasokonstriksi dan proliferasi otot polos


vaskular, sebaliknya aktivasi reseptor ETu menyebabkan

vasodilatasi dan pelepasan NO. Ini menimbulkan


suatu antagonis nonpeptida terhadap dua subtipe
endotelin (ETo and ETB) aktif, dapat mencegah dan
memperbaiki perkembangan hipertensi pulmonal, remode/irzg vaskular paru hipertrofi ventrikel kanan, yang tidak
terikat dengan mekanisme yang mencetuskannya.
Bosentan. Penelitian pertama randomized, do uble -blind,
placebo - controlled, mslrisenter dengan bosentan dosis 62,5
mg 2 kali sehari selama 4 minggu pertarna, dilanjutkan sampai
dosis 1 25 mg 2 kali sehari. Pasien pada penelitian ini adalah
hipertensi pulmonal berat idiopatik, atau hipertensi pulmonal
dengan skleroderma dengan NYHAklas Itr atau fV, meskipun
telah diobati sebelumnya vasodil ator, antikoagulan, diuretik,
glikosida jantung, atau suplemen oksigen. Pada penelitian
ini memperlihatkan bosentan memperbaiki c ardia?. index,

hemodinamik kardiopulmonal dan klas fungsional,


menurunkan resistensi vaskular pulmonal,

ean tekanan ute

pulmonalis, pulmonary capillary wedge pressure, datmean


tekanan atrium kanan. Selama 12 minggu tidak didapatkan
efek samping yang bermakna, namun didapatkan kenaikan
aminotransferase hati yang asimtomatik pada 2 pasien dan
normal kembali tanpa perubahan dosis. Jadi sebaiknya

sebelum terapi dengan bosentan dimulai dilakukan


pemeriksaan fungsi hati. Banyak penelitia lain juga
menunjukkan hasil yang sama.

Sitaxentan. Penelitian dengan sitaxentan dengan dosis 100


- 300 mg oral 3 kali sehari pada pasien dengan hipertensi

mg

arleri pulmonal fungsional klas NYHA II, m, IV selama 12


minggu memperbaiki klas fungsional, kapasitas latihan
(memperjarak jalan pada uji 6 menit jalan), menurunkan
resistensi vaskular paru secara bermakna, memperbaiki
cardiax index, dan memperbaiki hemodinamik. Insiden
abnormalitas fungsi hati selama l2 minggu pengobatan
hanya didapatkan l07o pada pengunaan dosis 300 mg di
mana didapatkan peningkatan aminotransferase 3 kali lipat
dari normal dan dilaporkan hepatitis fatal dapat terjadi pada

pengunaan sitaxsentan dengan dosis yang lebih tinggi.


Gangguan laboratorium lain yang sering terjadi adalah
peningkatan INR atau waktu protrombin (dihubungkan
dengan efek sitaxentan teehdapad inhibisi enzyme CYP2C9
P450, sustu enzim hepar yang berperan dalam metabolisme
warfarin).

Efek samping yang sering didapatakan

pada

pengobatan dengan sitaxentan adalah sakit kepala, edema


perifer, nausea, kongesti nasal, dan dizziness

1852

KARDIOI.OGI

Ambrisentan. Ambrisentan suatu antagonis endotheiin ke


tiga, saat ini masih dalarn fase III penelitian klinik dengan
hipertensi arleri pulmonal. Antagonis ETo-selektif ini sedikit
berbeda secara biokimia.

mempunyai suatu kapasitas yang besar dalam perbaikan

keadaan disfungsi yang berat sekalipun, afterload


membaik oleh karena membaiknya keadaan abnormal
pembuluh darah paru.

pada pen gobatan hiperlensi puimon al sehubungan den gan

Transplantasi tunggal paru dilakukan pada pasien


parenkim paru, kecuali mereka dengan penyakit suppuratif

meningkatnya risiko trombosis insitu. Suatu uji klinik


nonrandomisasi prospektif memperlihatkan peingkatan
ketahanan hidup penederita hipertensi pulmonal yang

pusat-pusat pelayanan lebih menyukai melakukan

Antikoagulan. Pemakaian antikoaguian direkomendasikan

mendapatkan terapi antikoagulan, obat antikoagulan y,ang

dianjurkan pada hipertensi pulmonal adalah u,arfarin,


meskipun heparin memperlihatkan efek inhibisi pada
proleferasi otot polos vaskular pada binatang percobaan.

seperti fibrosis kistik, di mana pada kasus tersebut


transplantasi bilateral lebih dianjurkan. Sebagian besar
tindakan transplantasi paru bilateral pada pasien dengan
hipertensi pulmonal primer karena hasilnya lebih baik.
Terdapatnya penurunan fungsi ventrikel kanan yang

sangat mencolok bukan suatu kontraindikasi untuk


dilukukan transplantasi paru tunggal ataupun bilateral oleh
karena fungsi ventrikel kanan akan segera membaik setelah

TERAPT TNTERVENST (BEDAH)

dilakukan transplantasi. Bentuk ventrikel kanan juga


terlihat menjadi normal setelah dilakukan transplantasi

Atrial Septosotomi
tslade ballon. atrial septosroruy dilakukan pada pasien
dengan tekanan RV yang berat dan yohune overload yang
refrakter dengan terapai medikamentioasa yang maksimal.

Tujuan atau goal prosedur ini adalah dekompresi overload jantungkanan dan perb aikan output sistemik ventrikel

kiri. Terdapat perbaikan fungsi latihan dan tanda disfungsi


jantung kanan berat seperti asites dan sinkop. Septastomi

atrial harus dilakukan di fasilitas yang memadai dan

tunggal paru ataupun transplantasi bilateral.


Kemampuan hidup tahun pertarna bagi pasien rata-rata

mendekati 80Vo pada pasien dengan transplantasi paru.


Bronkiolitis obliterasi (kronik rejeksi) merupakan kornplikasi
jangka panjang bagi pasien yang mendapat transplantasi.
Terdapat kekambuhan dari gangguan primer paru-paru
pada pasien transplantasi dapat terjadi pada beberapa
keadaan akan tetapi belum pernah dilaporkan pada pasien
dengan hipertensi pulmonal primer.

operator yang berpengalaman.


REFERENSI
Th rom

boena rte recto my pu I monary

pilihan pengobatan pada


pasien hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan
penyakit tromboembolik kronik. Pulmonary t hrornbo endarterectomy dilakukan rnelalui medjan stemotomi pada cardiopulmonary bypass. Secara keseluruhan angka kematian
terus membaik dan hingga kini kurang dari 5Vo. Respons
terhadap terapi tersebut cukup mengesankan dengan
perbaikan yang dramatis pada disfungsi ventrikel kanan.
T hrombo endarte re ctomy menj adi

Badesch DB, Abman SH, Ahearn, GS at al. Medical therapy for


pulmonary arterial hypertension ACCP Evidence-Based Clinical Plactice Guidelines, Chest. 2004;126:355-625
Fuster V Alexander RW O'Rourke RA. The Heart, l0s ed, McGrawHill. New York 2001: 1616- 21.
Gaine SP, Rubin LJ. Primary pulmonary hypertension Lancet 1998:

352:119-25
Hofmann LV. Lee DS Gupta A, Arepally A, Sood S. Safety and
hemodynamic effects of pulmonary angiography in patients

with puhronary hypertension: i0-year single-center expeil-

Transplantasi Paru
Transplantasi paru dan transplantasi jantung-paru
digunakan sebagai terapi bedah pada pasien dengan
penyakit perenkim paru dan gangguan pembuluh darah
paru. Pasien dipertimbangkan untuk transplantasi jika
berada pada kelas NYHA III atau kelas IV.
Pasien hipertensi pulmonal prirner atau hipertensi arteri

pulmonal yang disebabkan penyakit scleroderma hams


menjalani terapi prostasiklin yang diberikan secara infus

yang terus-menerus sebelum dilakukan tindakan


transplantasi paru karena obat tersebut telah menunjukkan

keberhasilan (efektivitas) pada keadaan tersebut. Baik

transplantasi paru bilateral atau single, dan juga


transplantasi j antung paru, pemilihan prosedur dilakukan

dengan melihat kemampuan organ. Ventrikel kanan

ence, Arn J Roentgenol 2004; 183(3):779-85


Hofmann LY Pulmonary angiography in patients with pulmonary
hypertension. Am J Roentgenol 2004; 183(3):779-85
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS. Harrison's principles of internal
medicine, l6'h ed, McGraw-Hill, New York. 2005: 1403-6.
Kerstein D, Levy PS, F{su DT, at al, Blade balloon atdal septostomy
in patients with severe primary pulmonarl' hypertension. Clrculati on. 1 995:91 :2028-35
Kothari SS, Yusuf A, Juneja R, Yadav R, Nalk N. Graded balloon
atrial septostomy in severe pulruonary hypertension. Indian
Heart J 2002: 54: 164 9
Lee SH, Channick RN. Endothelin antagonism in pulmonary arte-

rial Hypertension Semin Respir Crit Care

NIed.

2005;26(.4):402-8
Rich S. MD, Rubin L, Walker AM, at al. Atorexigens and pulmonary
hypertension in the United States, CHEST. 2000;117(3):870-4
Rubin LJ. Primary pulmonarl, hypertension N Engl J Med t997;336:

l1l-17.

289
PENYAKIT JANTUNG DAN
OPERASI NON JANTUNG
Sjaharuddin Harun, Abdul Majid

PENDAHULUAN

Obat anestesi opiat pada dosis tinggi dihubungkan


dengan ventilasi pasca-bedah, penurunan denyut jantung

dan tekanan darah (TD). Suksinilkolin menyebabkan


takikardia ataupun bradikardia, tetapi lebih sering timbul
respons bradikardia (sinus bradikardia berat, ritme nodal

Tindakan operasi nonjantung cukup sering dilakukan pada


pasien yang menderita penyakit jantung ataupun pasien
dengan risiko penyakitjantung. Komplikasi kardiovaskular

dapat terjadi pada perioperatif, yaitu infark miokard non


fatal, angina tidak stabil, iskemia miokard, gagal jantung

kematian mendadak karena jantung dan hipertensi. Pada


pasien yang mempunyai penyakit kardiovaskular kejadian
tersebut lebih tinggi dibandingkan orang sehat, misalnya
insidens penyakit jantung koroner (PJK) meningkat lebih
kurang tiga kali lipat dibandingkan orang sehat. Oleh

dan bahkan asistol).


Obat anestesi inhalasi (halotan, enfuran, isofluran) dapat
menyebabkan depresi kontraksi miokard, mergvangi afterload. Obat-obat baru seperti desfluramin dan sevofluran
belum terbukti keamanannya terhadap sistem kardiovaskular.
Anestesi spinal/epidural dapat menyebabkan hipotensi
dan bradikardia. Belum ada satu pun teknik maupun obatobat anestesi yang benar-benar dapat melindungijantung.

karena itu penilaian risiko kardiovaskular penting dilakukan


pada pasien yang menjalani operasi non jantung.

intraoperatif diserahkan pada tim anestesi.

kongestif (congestive heart failure/CHF), disritmia,

Oleh karena itu pilihan anestesi dan pemantauan

Dalam melaksanakan evaluasi kardiologi prabedah


perlu diperhatikan jenis penyakit jantung yang diderita
pasien, kapasitas fungsional pasien, jenis operasi yang
akan dilakukan, dan penyakit penyerta yang dapat

EVALUASI KLINIS PRABEDAH


Dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai atau telah
terbukti mempunyai kelainan kardiovaskular, perlu

memperberat risiko kardiovaskular.

diperhatikan hal-hal berikut:

HUBUNGAN PENYAKlT KARDIOVASKULAR


Pada Tindakan Bedah Emergensi

DENGAN ANESTESI DAN PEMBEDAHAN

Pada tindakan bedah emergensi (pada kasus yang dapat

Tindakan pembedahan maupun pascabedah dapat

menyebabkan kematian bila operasi ditunda), misal:


aneurisma aorta robek, perforasi usus, pendarahan yang

mengakibatkan beban iskemia dan dapat mengancam


pasien, baik yang diduga ataupun yang tidak diduga
mempunyai penyakit kardiovaskular. Pada pembedahan
dapat terjadi perdarahan yang tidak terduga, asidosis,

prabedah dilakukan secara cepat untuk menilai tanda-tanda

gangguan ventilasi, hiperkapnia, resistensi sistemik

vital kardiovaskular, status hidrasi/volume intravaskular

menurun, kontraksi dan konduktivitas jantung menurun,


aritmia, dan hipotensi (dengan atau tanpa perdarahan).
Hal itu akan mengganggu fungsi jantung.

dan EKG. Pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukart setelah


pembedahan. Usaha yang harus dilakukan adalah untuk
memperbaiki kondisi pasien semaksimal mungkin.

mengancam

jiwa, ileus, dan lain-lain, dan

dapat

menyebabkan kematian bila operasi ditunda, evaluasi

185

1854

KARDIOI.OGI

Pada Tindakan Bedah yang Non Emergensi


Evaluasi prabedah harus dilakukan seoptimal mungkin,
sehingga dari hasil evaluasi akan dapat ditentukan apakah
tindakan bedah dapat dilakukan, ditunda atau dibatalkan.
Eval uasi prabedah meliputi:

Jenis penyakit kardiovaskular, kapasitas fungsional,


faktor yang mempengaruhi kemampuan jantung dan
risiko operasi.
- Anamnesis lengkap, pemeriksaan fisis, dan EKG

(elektrokardiografi).
Pemeriksaan penunjang: laboratorium, foto dada,
pemeriksaan noninvasif, dan invasif sesuai indikasi.

OihatIV)
Tetapkan kapasitas fungsional pasien (dengan

anamnesis/exercis e stress test).


Faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kemampuan

jantung dan risiko operasi, seperti : demam,


hematokrit <30Vo, gangguan elektrolit, hipoksia,
hiperkardia, hipervolemia, merokok, DM (diabetes
melitus), kelainan paru, gangguan fungsi ginjal,

.
.

kelainan hati, dan lain-lain.


Jenis operasi yang akan dilakukan: operasi besar,
sedang atau kecil.
Risikojantung perioperatif ditentukan dari hasil analisis
dan pemeriksaan di atas.

EVALUASI PRAOPERATIF LANJUTAN

Nonexercise (Pharmacologic) S/ress Testing.


Pemeriksaan ini untuk menentukan risiko jantung pada
bedah non jantung, terutama pada pasien yang tidak dapat
melakukan exercise ECG stress testing,kelainan pada EKG
istirahat (l eft v entricular hyp ertrophy ll,YH, left bundl e

branch block /LBBB). Jenis pemeriksaan yaitu :


dypiridamole-thallium dan dobutamine s/ress
echocardiography.

Monitor EKGAmbulatoar. Pemeriksaan ini terutama untuk


pasien dengan risiko tinggi yang mungkin diperlukan
tindakan intervensi sebelum bedah non jantung. Pasien
dengan sinkop yang tidak diketahui penyebabnya, nyeri
dada, palpitasi, dan lain-lain.

Ekokardiografi. Dengan ekokardiografi dapat diketahui


penyebab dari gagal jantung dan fungsi ventrikel kiri.
Penilaian ejection fraction (EF) ventrikel kiri penting
dilakukan oleh karena adanya hubungan yang positif antara

penurunan EF prabedah dan mortalitas-morbiditas


pascabedah. Risiko komplikasi terbesar pada pasien dengan
EF<357o.
Rekomendasi ACC/AHA untuk penilaian fungsi sistolik
ventrikel kiri sebelum tindakan operasi nonjantung adalah:
Pemeriksaan eko disepakati dilakukan pada pasien CIIF

yang baru atau kontrol yangjelek.

Untuk pasien dengan riwayat CHF, sesak yang


penyebabnya tidak diketahui masih terdapat perbedaan
pendapat.
Sedangkan untuk pemeriksaan rutin penilaian fungsi
ventrikel kiri tidak diindikasikan untuk pasien tanpa

Rekomendasi untuk melakukan evaluasi praoperatif

riwayatCIIF.

lanjutan melihat pada keadaan dan kondisi pasien.

Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan noninvasif dilakukan untuk menetapkan
diagnosis ataupun memperkirakan prognosis ataupun
memperkirakan prognosis terutama pada pasien dengan

Pemeriksaan invasif
Secara umum dapat dikatakan bahwa indikasi angiografi
koroner prabedah adalah sama seperti pasien non operasi

(Tabel 1)

risiko tinggi danlatat yang mempunyai kapasitas


fungsional yang buruk.
Berbagai jenis pemeriksaan antara lain :
Exercise stress testing. Untuk mendeteksi iskemia miokard

dan menentukan kapasitas fungsional. Pemeriksaan ini


tidak dianjurkan untuk dikerjakan secara rutin sebelum

operasi. Untuk prediksi kelainan kardiovaskular


perioperatif, penggunaan Exercise ECG stress testing
(rekomendasi ACC/AHA) yang telah disepakati adalah
sebagai berikut:

Membantu untuk diagnosis PJK pada laki-laki

dengan nyeri dada atipikal.


Menentukan kapasitas fungsional dan membantu

dalam menentukan prognosis pasien PJK.


Evaluasi prognosis dan kapasitas fungsional pasien
dengan PJK segera setelah infark miokard tanpa
komplikasi.

Kelas I (kondisi di mana telah terbukti memberikan manfaat


dan sudah merupakan kesepakatan): Pasien dengan dugaan
atau terbukti PJK
risiko tinggi (hasil tes non invasif)
angina pektoris yang tidak respons dengan pengobatan
medis adekuat
angina pektoris tidak stabil (unstable angina pectoris)
terutama pada bedah non kardiak risiko sedang dan tinggi
pada pasien yang akan dilakukan tindakan bedah non
kardiak risiko tinggi di mana tes non invasif tidak diagnostik
pada pasien risiko tinggi

.
.
.
.

PENENTUAN RIS!KO JANTUNG PERIOPERATIF


Untuk memprediksi risiko perioperatif dapat digunakan
berbagai cara antara lain:

1855

PEITYAKIT JANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG

Indeks risiko jantung multifaktorial Goldman, Detsky


dan Larsen melahrkan modifrkasi kriteria Goldman (lihat
lampiran 1).

. AHAiACC joint

task force on guidelines for


perioperatif cardioyaskular evaluation for noncardiac surgery 2002.

Risiko jantung perioperatif menurut AHA/ACC guide lines, diterrtukan oleh : petanda klinis, kapasitas fungsional,
dan risiko pembedahan spesifik.

Kapasitas Fungsiona!
Kapasitas fungsional merupakan prediktor dalam penilaian

risiko jantung. Pengukuran kapasitas fungsional bisa


dengan exercise test ataupun dapat ditaksir dari aktivitas
sehari-hari (secara anamnesis, lihat Tabel 3). Kapasitas
fungsional dinyatakan dalam metabolik ekuivalen (MET).
Klasif,ftasi kapasitas fungsional: 4 METs: buruk; 4-7 METs:
sedang; > 7 METs: baik. Pada pasien yang tidak dapat

mencapai 4 MET, risiko jantung perioperatif menjadi


meningkat. Hal ini penting untuk evaluasi risiko jantung
secara keseluruhan dan perencanaan pemeriksaan prabedah.

Petanda klinis
Data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan

EKG sudah dapat mengestimasi risiko jantung. Pada


Tabel 2 dapat dilihat prediktor klinik yang dapat
meningkatkan risiko IMA, CHF dan kematian berdasarkan
analisis multivarian dari berbagai penelitian. Dari tabel
dapat dilihat 3 kategori prediktor yaitu

1 METs

Apakah dapat mengurus diri sendiri? Makan,


berpakaian, ke toilet? Brjalan dari rumah? Berjalan 'l
atau 2 blok pada jalan dalar 3,2-4,8 km/jam. Dapat
mengerjakan pekerjaan rumah seperti membersihkan
debu atau mencuci oirino

Prediktor mayor; bila

ada, perlu penanganan yang intensif


dan operasi dapat ditunda atau dibatalkan, kecuali dalam
keadaan emergensi.

Prediktor intermediate : dapat meningkatkan risiko


perioperatifdan perlu penilaian keadaan status pasien yang
terakhir.

Prediktor minor.' pertanda yang telah dikenal untuk


penyakit kardiovaskular dan belum terbukti meningkatkan
risiko perioperatif.

4 METs
Naik 1 trap anak tangga atau jalan mendaki? Jalan
datar 6,4 kmljam? Lari jarak pendek? Mengerjakan
pekerjaan berat seperti menyikat lantai,
mengangkaUmenggeser perabot yang berat?
Mengikuti aktivitas seperti golf, bowling, menar[,'tenis
qanda, melemoar base ball atau bola kaki?
> 10 METs
Olahraga renang, tenis tunggal, bola kaki, bola basket
atau main ski?

Risiko Pembedahan Spesifik


Jenis operasi yang akan dilakukan dapat mempengaruhi/

menambah risiko bagi pasien yang menderita kelainan


Mayor

sindrom koroner tak stabil


IMA baru (>7 hari dan <30 hari) dan adanya risiko
iskemik secara simtom klinis ataupun pemeriksaan
non invasif
o Unstable angina atau angina pektoris berat
(Canadian C/ass /// atau lV)
gagal jantung kongestif stadium dekompensasi
aritmia signifikan
o blok AV derajat tinggi
o aritmia ventrikular simtomatik yang didasari kelainan
jantung
o aritmia supraventrikular yang tidak terkontrol
o penyakit katup yang berat

.
.

lntermediate

.
.
.
.

angina pektoris ringan (Canadian C/ass I alau ll)


riwayat infark miokard atau gelombang e-patologis
gagal jantung stadium kompensasi
diabetes melitus

Minor

.
.
.
.
.
.

usia lanjut
EKG abnormal (LVH, LBBB, ST-T abnormal)
Ritme bukan sinus (misal fibrilasi atrial)
Kapasitas fungsional rendah (misal tidak sanggup naik
satu trap anak tangga dengan beban)
Riwayat strok
Hipertensi sistemik yang tidak terkontrol

Jantung.
Operasi emergensi mempunyai risiko jantung 2-5 kali
dibanding operasi elektif. Stratifikasi risiko dari berbagai
jenis tindakan bedah non jantung dapat dilihat pada

Thbel4.

Tinggi (risiko kardiak > 5%)


operasi emergensi, major terutama pada usia tua
aorta dan vaskular major lainnya
vaskular perifer
tindakan bedah yang lama dan terjadi pergeseran
cairan dan/atau darah hilang yang banyak

Sedang (risiko kardiak < 5%)


carotid end arterectomy
kepala dan leher
intra peritoneal dan intratorak
ortopedi
prostat

Rendah (risiko kardiak < 1%)


prosedur endoskopi
preosedur superficial
katarak
payudara

1856

I(ARDIOI.OGI

ALGORITME EVALUASI KARDIOVASKULAR

Algoritme lll

PRABEDAH

Langkah 6. Pasien dengan risiko prediktor klinis intermediate dan kapasitas fungsional baik atau sedang,
kemungkinan terjadinya kematian atau infark miokard
adalah kecil bila dilakukan operasi (risiko sedang).

Algoritma evaluasi kardiovaskular yang akan dibicarakan


di bawah ini, diambil dariThe AHNACC joint taskforce
on Guidelines for Perioperatiye Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery 2002. Pada algoritma ini
ditekankan pentingnya untuk mengidentifikasi prediktor
klinis risiko perioperatif, terutama untuk pasien yang

tampaknya mempunyai kelainan koroner yang lanjut


ataupun kelainanan jantung lainnya. Tujuannya adalah

untuk mengenal pasien dengan kelainan koroner


tersembunyi ataupun yangjelas dan melakukan cara untuk

Sebaliknya pemeriksaan noninvasif dipertimbangkan pada

pasien dengan kapasitas fungsional buruk atau sedang


tetapi risiko operasi lebih tinggi dan terutama untuk pasien
yang mempunyai dua atau lebih prediktor klirns intermediate.

Algoritme lV

perlu dilakukan pemeriksaan kardiovaskular. Perlu

Langkah 7. Operasi non jantung umumnya aman pada


pasien tanpa risiko prediktor klinis mayor atau intermediate dan kapasitas fungsional baik atau sedang (4 METs
atau lebih). Pemeriksaan lanjut dipertimbangkan pada pasien
dengan kapasitas fungsional buruk yang akan dilakukan
tindakan operasi tinggi, terutama bila didapati beberapa

dipertimbangkan berbagai interaksi variabel sehingga

risiko prediktor klinis minor dan pasien yang akan

diberikan bobot yang sesuai.

mengalami operasi vaskular.

Algoritme

Langkah 8. Hasil pemeriksaan noninvasif akan menentukan


penatalaksanaan prabedah selanjutnya. Penatalaks.anan
antara lain adalah pengobatan intensif atau pertimbangan
kateterisasi jantung (algoritma III dan IV).

mengurangi risiko jantung perioperatif maupun risiko

jangka panjang. Dengan demikian pemeriksaanpemeriksaan yang dilakukan benar-benar rasional


sehingga dapat menekan biaya.
Pada gambar dapat dilihat pasien-pasien mana yang

Langkah

1. Tentukan apakah tindakan bedah

nonjantung

ini sifatnya elektif, urgensi atau emergensi. Pada operasi


emergensi tidak dapat dilakukan evaluasi jantung
prabedah mengingat waktu yang mendesak. Bagi pasien
yang sebelumnya tidak pernah mengalami pemeriksaan
kardiovaskular, dilakukan stratifikasi risiko pasca operasi.

Langkah 2. Pada operasi elektif, pasien yang telah

PENGOBATAN RISIKO KARDIOVASKULAR


PRABEDAH

biasanya tidak perlu tes ulang. Pemeriksaan ulang

.
.
.
.
.
.
.
.

dilakukan bila ada keluhan iskemia koroner yang baru.


Bila evaluasi koroner belum pernah dilakukan atau hasilnya
buruk, maka evaluasi selanjutnya tergantung kepada
prediktor klinis.

RIWAYAT JANTUNG KORON ER

dilakukan revakularisasi koroner dalam 5 tahun yang lalu


dan secara klinis tetap stabil tanpa serangan ulang keluhan
maupun tanda iskemia, pemeriksaan lanjut biasanya tidak

diperlukan.

Langkah 3. Pasien yang telah dilakukan evaluasi koroner


2 tahun

terakhir, dan penilaian risiko koroner hasilnya baik,

Algoritma l!
Langkah 4. Pasien dengan prediktor klinis mayor (CHF
dekompensasi, aritmia simtomatik dan/atau penyakit katup
jantung yang berat) maka biasanya operasi dapat ditunda
atau dibatalkan sampai keadaan ini dapat diidentifikasi dan
diobati. Bila tidak stabil, maka dapat dipertimbangkan
rev

akularisasi koroner.

Langkah 5. Untuk pasien dengan prediktor klinis


intermediate dan minor, maka tentukan kapasitas fungsional
pasien. Pemeriksaan noninvasif lanjutan dilakukan dengan
melihat kapasitas fungsional dan risiko bedah spesifik.

Penyakitjantungkoroner(PJK)
Gagal jantung kongestif (CHF)

Aritmia dan gangguan konduksi


Penyakitkatupjantung
Pasien dengan pacu jantung
Pencegahar/pengobatan tromboemboli vena

Pencegahanendokarditisbakterial
Hipertensi

Menghadapi pasien dengan PJK (dengan diagnosis klinis


angina, riwayat infark miokard, atau angiografi koroner
positif) sikap yang diambil sebagai berikut:
1. PJK tidak diketahui, status fungsional jantung baik
(kelas I atau awal kelas II - dapat menaiki satu trap anak
tangga membawa beban 1 5 sampai 30 kg tanpa simtom
jantung).

prosedur diagnosis khusus prabedah tidak

dilakukan
pengobatan khusus tidak diperlukan

2. Pasien
kelas

PJK stabil, status fungsional baik (kelas I atau


II). Prosedur diagnosis khusus prabedah tidak

1857

PENYAKIT JANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG

Argoritma
Stratifikasi pasca
operasi dan
pengurangan
faktor risiko

@
@

Revaskularisasi
koroner dalam
5 tahun?

Keluhan atau
tanda kambuh kem

Angiogram koroner
atau tes stress
terakhir

Argoritma ll

(Tahap

a)

Prediktor klinis mayor Prediktor klinis intermediate

Operasi non-kardiak
ditunda atau dibatalkan

t
I

Pertimbangan
angiografi koroner

Lanjut

algoritma
ilt

Lanjut algoritma

tv

I
I

Prediktor klinis major:

Tatalaksana medis dan Pengawasan selanjutnya.


modifikasi faktor risiko atas dasar hasil temuan dan
pengobatan

- Sindrom koroner koroner tidak stabil

- CHF dekompensasi
- Aritmia signifikan

- Penyakit katup jantung

Gambar 1. Algoritme tahapan evaluasi kardiologi prabedah

dilakukan. Pengobatan konservatif obat untuk jantung


diteruskan pada masa perioperatif.
Rekomendasi:

EKGharipertamapascaoperatifdan pada saatkeluar


dari rumah sakit

. Teliti apakah terjadi IMA bila ada hal yang


mencurigakan.
Pasien PJKjelas, status fungsional tidakjelas. Prosedur

diagnosis khusus prabedah: monitor iskemia


ambulatoar, ekokardiografi, s/ress echocardio graphy,

exercise thallium testing, dan dypiridamol


thalium. Rekomendasi:
. bila tes negatif; pengobatan konservatif
. bila tes positif: pengobatan medis agresif.
- Obat PJK prabedah diberikan, cari faktor risiko
non PJK (antara lain usia 70 tahun, DM, CHF,
aritmia ventrikular/ atrial yang penting, penyakit
vaskular atau tindakan bedah abdomen dan

4.

dada), dan pertimbangan tes non invasif ulang


(bila tes negatif: pengobatan konservatif; bila
tes positif: lanjut ke b dan c.
- Pemantauan intensif perioperatif untuk kontrol
tekanan darah dan denyut jantung atau
- Angiografi koroner dan revaskularisasi sesuai
indikasi.
Pasien IMA + tindakan operasi emergensi. Sikap :
- Kerjasama tim dengan ahli anestesi dan ahli bedah
untuk meminimalkan risiko. Hindari hal-hal yang
dapat meningkatkan kebutuhan O, maupun masalah

ritmejantung.
Monitor hemodinamik secara menyeluruh. Obat anti
iskemia diteruskan baik sebelum, sewaktu atau

Pemantauan ritme secara teliti dan segera obati bila

sesudah operasi.

ada aritmia. Pasien dengan gangguan sistem


konduksi yang dapat berlanjut menjadi blokjantung

1858

Ii{RDIOI.OGI

komplit dilakukan pemasangan pacu jantung

Kelas I: penyekat beta digunakan untuk kontrol keluhan


aritmia simtomatik dan

sementara (TPM).
Riwayat infark miokard atau gelombang Q patologis,

hipertensi.

termasuk predrktor intermediate.IMA baru (7 hari dan

Kelas

kurang dari 30 hari), termasuk prediktol mayor dan


tindakan bedah ditunda. Pembagian interval infark

hipcrtensi yang tidak diobati. adanya PJK. atau faktor

miokard 3 atau 6 bulan tidak digunakan lagi. Pada IMA


bila tes stres tidak menunjukkan risiko miokardium
residu, kemungkinan untuk timbtrlnya reinfark pada
pembedahan non jantung adalah rendah. Dianjurkan
tindakan pembedahan dilakukan ,1-6 ming-eu pasca

Berbagai ienis penyekat beta seperti metoptolol,


labctalol. atenolol. bennanfaat dalam mengurangi

an-gina ataupun pasien den-9an

kejadian iskemia perioperatif. Pada satu studi, pemberian

atenolol pada 200 pasien dapat mengurangi angka


morteilitas dan komplikasi kardiovaskular perioperatif
pada pasien dengan PJK ataupun mempunyai risiko
untuk P.lK (sekurang-kurangnya dua dari lima kriteria:
r,rsia > 65 tahun, hipertensi, perokok, serum kolesterol

Indikasi revaskularisasi prabedah.

Bedah pintas koroner (CABG)

Pasien dengan operasi elektif yang mempunyai


risiko tinggi dan akan dilakukan tindakan operirsi
non jantung risiko tinggi dan intermecliate, m'aka
CABG dilakukan sebelum tindakan bedah.
Indikasi untuk CABG (sesuai rekomendasi,4CO

AHA task force)

lefi rnain stenosis dan miokard cukLrp baik


three vessel CAD dengan disfungsi ventrikel
kiri
ttro vessel disease termasuk obstruksi berat
dari le.ft cLrtericLl clescending orter\ proxin.al

- iskemia koroner intractuble


.

walaupun

pengobatan medis sudah maksimal.


Intervensi koroner perkutan (PCI)
Indikasi PCI padaprabedah sesuai dengan guitlelites ACCI
AHA untuk PCI. Kapan sebaiknya dilakLrkan tindakan
bedah pasca- PCI?

Belum ada ketentuan berapa lama jarak antara

pasca-PCl dengan bedah nonkardiak.


Dianjurkan tindakan bedah ditunda sekurangkurangnya I minggu pasca angioplasti balon.

pada penilaian prabedah diidentifikasi

mayol PJK.

IMA.
6.

II:

>2210

mg/dl dan DM) yang dilakukan operasi non

Jantullg.

GAGAL JANTUNG KONGESTIF


Pasien -ra-ual .jantung yang harus dilakukan opelasi non
jantun-u menrpunyai pro-unosis yan-e burr-rk. Pasien dengan
ga-9al jantun-u kon-uestif yang harus dilakukan operasi
emergensi mempunyai risiko tinggi morbiditas dan
mortalitas tanpa memandang etiologi gagal jantung. Risiko
jantung, edema paru, aritmia dan
yang ter.jadi adalah
-ea-gal

kematian. Risiko komplikasi menin-ekat bila NYHA


berlambah buruk. Pada CHF NYHA IY kentatian mencapai
70ck.

Gagal jantung harus diobati secara adekuat sebelum

dilakukan tindakan operasi, sebaiknya setelah kondisi


pasien stabil palin-s sedikit satu ntin,ggu sebelum
pernbedahan dan diupayakan agarjangan terjadi intoksikasi

digitalis dan hipokalemia akibat diuretika.

untuk memungkinkan penyembuhan luka

Persiapan Prabedah

pembuluh darah.

Pascapemasangan stenkoroner, tindakan bedah


ditunda sekurang-kurangnya 2 minggu dan

.
.

sebaiknya 4-6 minggu agar pengobatan anti

trombosit optimal dan terjadi reendotelisasi stert.


Bagi pasien pasca-PCl 6 bulan sampai 5 tahun
dan asimtomatis dan aktif, diharapkan masih

mendapat perlindungan terhadap komplikasi


iskemia perioperatif, mengingat pasca-PCl lebih
dari 6 bulan jarang terjadi restenosis.
Penggunaan obat perioperatif
Penyekat beta, antagoni

cari penyebab gagal jantung


atasi faktor predisposisi yang dapat mencetuskan gagal
jantung seperti demam. anemia. gangguan elektrolit,

gangguan asam-basa. hipoksia, hiperkarbia,

hipovolemia, hipertensi dan aritmia jantung.


Penggunaan obat-obatan

menyebabkan hipovolemia dan pengaruh anestesi


(general dan spinal) dapat mengakibatkan hipotensi
intraoperatif. Dosi s di uretik (fu rosemid) disesuaikan
berdasarkan status klinis dan fungsi ginjal. Diuretik
biasanya tidak diberikan pada pagi hari operasi dan
penilaian klinis dilakukan pascaoperasi.

kalsi um tidak perl u dihentikan

prabedah. Regimen pengobatan yang agresif yaitu


penggunaan penyekat beta dan nitrat dapat mengurangi

kejadian iskemia pada pasien dengan iskemia


perioperatif asimtomatik. ACC/AHA merekomendasi kan
pengobatan perioperatif dengan penyekat beta sebagai
berikut:

diuretik: pemberian diuretik yang agresif dapat

Digitalis (digoksin)
- Pasien gagnl jantung yang telah mendapat
digoksin diteruskan pemberiannya. Biasanya
digoksin tidak diberikan pada pagi hari operasi

1859

PENYAKIT JAIYTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG

untuk mengurangi risiko toksisitas.

ARITMIA DAN GANGGUAN KONDUKSI

Bila digitalis diperlukan pada pasien gagal


jantung prabedah, diberikan digitalisasi

Aritmia dan gangguan konduksi jantung selalu dijunpai


pada masa perioperatif ferutama pada pasien usia tua.
Adanya aritmia supraventrikular maupun ventrikular harus

beberapa hari sebel um operasi. Profr I aksis digi talis tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan

dicari penyakit yang mendasarinya yaitu penyakit


kardiopulmonal, intoksikasi obat, ataupun kelainan

aritmia pasca operatif.


Vasodilator: penggunaan ACE (.cLngioten.sin
conve rting enzyme) inhibitor diteruskan sampai

pada hari operasi dan selanjutnya. Bila


diperlukan dapat diberi nitroprussid i.v.,

metabolik. Pada pasien dengan gangguan hemodinamik


dan/ataupun aritmia simtomatik diperlukan pemantauan
EKG ambulatoar ataupun studi elektrofisiologi jantung

hidralazin i.v.

dengan penggunaan obat-obat yang munculnya kembali

Argoritma lll

Prediktor klinis mayor

Kapasitas
fungsional

Prediktor klinis(-)/minor

Prediktor klinis intermediate

Sedang atau baik


(> 4 METs)

(< 4 METs)
Risiko
operasr

Risiko operasi

tinggi

Risiko operasi
sedang

Risiko operasi
rendah

Risiko rendah

Stratifikasi risiko
pasca bedah dan

Risiko tinggi

dasar temuan dan hasil pengo

Prediktor klinis intermediate:


-Angina pektoris ringan
-Riwayat infark miokard
-CHF kompensasi
-DM

Argoritma lV

Prediktor klinis
/:--:-------f.

I lahaD /

Kapasitas
fungsional

> 4 METs)

Stratifikasi risiko
pasca bedah dan
mengurangi faktor risiko
Pertimbangkan angiografi koroner
Pemeriksaan invasif
Pengawasan selanjutnya atas
dasar temuan dan hasil pengobatan

Gambar 2. Lanjutan tahapan evaluasi kardiologi prabedah

Prediktor klinis minor:


- Usia lanjut
- EKG abnormal
- Ritme selain sinus
- Kapasitas fungsional rendah
- Riwayat strok
- Hipertensi tak terkontrol

1860

KARDIOLOGI

aritmia. Pengobatan aritmia sama dengan pasien yang tidak


mengalami operrsi non jantung.

Aritmia Supraventrikular

Bila simtom (+)/gangguan hemodinamik, dilakukan


kardioversi secara elektris atau farmakologis. Bila
kardioversi tidak memungkinkan, beri obat oral

atar'l

digitalis intravena, penyekat beta, atau penghambat


saluran kalsium. Pasien fibrilasi atrial disertai CHF pilihan
adalah digitalis atau amiodaron. Bila pasien fibrilasi atrial

memakai antikoagulan maka antikoagulan dihentikan


beberapa hari sebelum operasi. Bila waktu mendesak dan
pasien harusnya tidak memakai antikoagulan, maka efek
warfarin dapat diatasi dengan vitamin K parenteral atau
plasma beku segar (.fresh frozen pLasma).

Aritmia Ventrikular

ekstrasistol ventrikular, VES kompJeks, atau takikardi


ventrikular Qrcn sustained) biasanya tidak memerlukan
pengobatan, kecuali bila ditemukan iskemia miokard dan
disfungsi ventrikel kiri.
TakikeLrdia ventrikular simtomatik ataupun menetap harus

mendapat terapi prabedah dengan lidokain i.v. atau


amiodaron (terutamabila disertai CIIF) atau prokainamid.

Gangguan Konduksi

Pasien dengan intraventrictLlctr conduction deLal'


(IVCD) segera EKG dan jika tanpa simtom atau bukti
blok jantung lanjut secara elektris, tampaknya tidak
berisiko untuk berlanjut menjadi blok jantung yang
komplit pada masa perioperatif. Pasien dengan IVCD,
blok bifasikular (right bwtdle branch block dengan
Left anterior atat posterior hemiblctck), atau left bundle
branch block, dengan atau tanpa first degree
antriov entricular block tidak memerlukan implantasi
temporat) pace maker bila tidak ada sinkop atau blok

pada masa perioperatif.

Pasien regurgitasi aorta sensitif terhadap bradikardia


(interval diastolik ber-tambah dan meni ngkatkan vol ume
regurgitasi).
Pengobatan : perlu pemantauan status volume pasien.
obat untuk mengurangi c{ier locrd seperti: penghambat
ACE (ACE inhibintr),penghambat saluran kalsium atau
nitrogliserin dan hi dralazin.

Stenosis Mitral
Pasien dengan stenosis rnitral ringan atau sedang :
. Kontrol denyut jantung selatrna masa perioperatif kar-ena
peningkatan denyut jantung men-uakibatkan masa
diastol menjadi lebih singkat pada siklus jantung. Hal
ini mengakibatkan timbulnya kongesti pulmonal yang
dipresipitasi oleh takikardia (kebalikan dari regurgitasi

aorta yang sensitif terhadap bradikardia).


Hindari obat yang meningkatkan denyutjantung.
Pasien dengar.r stenosis mitral berat dan opetusi non

jantung risiko tinggi dilakukan percutoneous hullon


rnit rctl vcrlt' ulotorttt', surgi caL conltl1is Ltrotolnl' atau
penggantian katup nritr-ai.

Regurgitasi Mitral
Berbagai penyebab regurgitasi mitral (MR) antara lain
disfungsi muskulus papilaris, prolaps katup mitral (MVP)'
penyakit jantung iskemia, penyakit jantung kongenital,
endokarditis dan lain-lain. Pasien regurgitasi mitral dapat
menyebabkan t,olwne overlc,ud dan kongesti pulmonal
secara signifikan.
Pengobatan:

atrioventrikular lanjut.
Bila timbul blok konduksi derajat tinggi, diatasi dengan

Regurgitasi mitral: untuk mengutangi after load,


diberikan diuretika sebelum operasi. Bila perlu pasien
dirawat di unit intensif (ICU) untuk pemantauan tekanan
arteri pulmonalis dengan menggunakan kateter.
Pasien dengan katup prostesis, diperlukan profilaksis
antibiotika (lihat lampiran 3) dan penyesuaian terapi
antikoagulan.

pemasangan pacu Jantung sementara.

PASIEN DENGAN PACU JANTUNG


PENYAKIT KATUP JANTUNG

Pacu Jantung Permanen


Stenosis Aorta
Stenosis aorta berat mempunyai risiko sangat tinggi sehingga

tindakan bedah efektif haruslah ditunda atau dibatalkan.


Pengobatan dilakukan dengan penggantian katup aorta atau

percutaneous bqllon aortic valvuloplasty.

Regurgitasi Aorta

Pasien-pasien dengan regurgitasi aorta signifikan


mempunyai kecenderungan terjadi volume overload

Hal-hal yang perlu dievaluasi, yaitu:


. Pada prabedah diteliti apakah alat pacu berfungsi

dengan baik.
Bila pada pembedahan digunakan alat kauter elektris,
alat kauter diletakkan sejauh mungkin dari alat pacu
(untuk mengurangi gangguan elektromagnetik). Harus
tersedia magnit di kamar bedah untuk merubah alat pacu
dari demand menjadi fixed rate.Kautetisasi juga dapat
mengganggu monitor EKG. Sebaiknya kauterisasi tidak

dilakukan secara kontinu.

1861

PENYAKIT JANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG

Pacu Jantung Sementara


Indikasi pemasangan

pacLr

HIPERTENSI

jantung temporer profilaksis

prabedah:

.
.
.

Bradikardia simtomatik pada kondisi berikut : sick sinus svndronre. tibrilasi atau fluter atrial dengan blok AV
derajat tinggi, dan blok AV total.
Takikardia simtomatik: takikardia ventrikul ar intc-rmi ten
dan fibri lasi ventrikular i ntermiten.
Malfungsi pacu jantung permanen
Sinkop sinus karotis

Hipertensi (HT) tanpa disertai penyakit koroner atau


disfungsi miokard yang nyata, tidak menambah risiko
kardiovaskular yang berarti pada bedah non jantung.
Demikian juga HT tanpa kornplikasi, walaupun disertai
h ipertrofi ventrikel kiri (LVH), dapat mentol erir pembedahan
tanpa meningkatkan mortalitas yang nyata bila tidak ada
tanda-tanda PJK, CHF dan bila fungsi ginjal normal.
Namun di sisi lain dilaporkan bahwa adanya tiwayat
hipertensi prabedah dapat meningkatkan mortalitas
perioperatif dan pemberian obat anti HT dapat mengurangi

risiko. Pasien hipertensi pada prabedah

PENCEGAHAN TROMBOEMBOLI

Tindakan operasi dapat merupakan predisposisi


tirnbulnya deep vein thrombosis (DVT) pada ekstremitas
bawah dan emboli paru (PE) sekunder. Dari berbagai hasil
penelitian di Eropa dan USA, dilaporkan bahwa insiden
DVT berkisar l-25Vo pada pasien usia di atas 40 tahun
yang dilakukan operasi abdomen mayor. Pencegahan DVT

sesudah operasi dapat mengurangi angka kejadian


sebesar 19-867o.

Prabedah direncanakan pada pasien-pasien yang


kemungkinar.r dapat terjadi risiko tromboemboli pasca
bedah. antara lain imobilitas lanra. usia tua. paralisis.

riwayat tromboemboli vena. proses

ke-qanasan.
operasi mayor (terutama abdomen. pelvis, ekstremitas
bawah). obesitas, vena varikosa. CHF, infark miokard,
strok, fraktur pelvis. pinggul atau kaki, gangguan

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pasien dengan riwayat


hipertensi:

.
.
.

pneumatik intermiten. dan heparin berat molekul

Pasien dengan kelainan katup ataupun katup jantung


buatan perlu diberikan profilaksis antibiotika bila dilakukan
tindakan operasi.

Antibiotika y ang dianj urkan

.
.
.

.
.
.
.

Obat anti hiperlensi yang digunakan pasien sebelumnya


dapar diteruskan pada perioperatif.
Tekanan darah dipertahankan mendekati nilai tekanan

miokard.
Bedah elektifpada hipertensi berat (tekanan darah >1 80/

ll0): kontrol tekanan darah sebelum pembedahan


(efektivitas regimen pengobatan dapat dicapai dalam
beberapa hari s/d beberapa minggu). Bedah urgensi
pada hipertensi berat: obati dengan anti hipertensi kerja
cepat (dalam beberapa menit sampai beberapa jam.
misalnya penyekat beta intravena.

Perhatian khusus untuk pasien hipertensi dengan

tindakan bedah vaskular karena pada keadaan ini selalu


terjadi hipertensi pasca operasi.
Hindari penghentian obat penyekat beta dan klonidin
secara tiba-tiba (karena rebound phenomena).
Pengobatan : pada umumnya sama dengan hipertensi

rendah.

PENCEGAHAN ENDOKARDITIS INFEKTIF

Tindakan bedah tidak perlu ditunda atau dibatalkan


pada pasien deugan hipertensi ringan atau sedang
tanpa komplikasi.

darah prabedah untuk mengurangi risiko iskemia

koagulasi dan penggunaan dosis tinggi estrogen.


Pencegahan DVT didukung antara lain dengan kompresi
stoking elastis, heparin subkutan dosis rendah, kompresi

cenderun-e

mempunyai fluktuasi tekanan darah yang signilikan pada


intraoperatif dan mengalami iskemia miokard.

pada nonbedah; pilihan pertama lebih diutamakan


penyekat beta kardioselektif.

KESIMPULAN

Standar: Amoksisilin 2,0 gr oral l jam sebelum tindakan


Bila oral tidak bisa : Ampisilin 2,0 gr IM atau IV

Alergi penisilin: Klindamisin atau 600 mg oral 1 jam


sebelum tindakan.

Sepaleksin atau sefadroksil ata:u 2,0 gr oral 1 jam


sebelum tindakan.

Azitromisin atau klaritromisin 500 mg oral l jam sebelum

Risiko jantung perioperatif pada pasien jantung yang


mengalami operasi nonjantung berhubungan dengan
kelainan jantung, kapasitas fungsional pasien, penyakit
penyerta, jenis operasi dan jenis anestesi.
Dalam upaya mengurangi risiko jantung perioperatif
ini diperlukan evaluasi yang tepat oleh dokter klinisi

tindakan.

(spesialis penyakit dalam/jantung) untuk menetapkan jenis

Alergi penisilin: Klindamisin atau 600 mg IV 30 menit

kelainan jantung, kapasitas fungsional, prevensi dan

sebelum tindakan

pengobatan yang diperlukan prabedah.

dan tidak bisa oral : Sefazolin I ,0 gr

tindakan

IM

30 menit sebelum

Informasi yang diberikan oleh dokter klinisi dapat


digunakan/diperlukan oleh spesialis anestesi dan spesialis

1862

I(ARDIOI.OGI

Lampiran

Faktor Risiko

Poin

lnterprestasi

5
10

Klas I : 0-5 poin = risiko rendah


Klas ll :6-'12 poin = risiko sedang
.13-25 poin
Klas lll :

Goldman dkk
Usia > 70 tahun
IMA dalam 6 bulan terakhir
Gallop 53 atau distensi vena jugular
Stenosis aoda
lrama selain sinus atau kompleks atriol prematur pada EKG

11

Risiko
tinggi

terakhir praoperatif
Kompleks ventrikel prematur 5/menit ditemukan pada
setiap saat sebelum operasi
PO2 < 60 atau PaOz > 50 mmHg; K* < 3 atau HCO3 < 20
mEq/L; BUN > 50 atau CR > 3 mg/dl; AST abnormal, tanda
penyakit hati kronis,
-atauOperasi intraperitoneal, intra toraks, atau aofta.
Operasi darurat

7
3

Detsky dkk
IMA dalam 6 bulan terakhir
lma > 6 bulan
Angina Canadian Cardiovaskular Society
Klas lll
Klas lV
Angina tidak stabil dalam 6 bulan terakhir
Edema paru alveolar dalam '1 minggu

Klas lV : > 26 poin

10

< 15 poin = risiko rendah


> 15 poin = risiko tinggi

10

20
10
10

Ever
Dicurigai stenosis aorta kritis
lrama selain sinus atau sinus dengan kompleks atrial premature
pada EKG terakhir praoperatif
Kompleks ventrikel premature pada saat sebelum operasi
Status medis umum buruk
Usia > 70 tahun
Operasi darurat

20
A

t
A

5
10

< 15 poin = risiko rendah

Larsen dkk
Gagal jantung kongestif
Kongesti paru persisten
Riwayat edema paru
Riwayat gagal jantung
Penyakit jantung iskemi
IMA dala 3 bulan terakhir
lnfark lama atau angina pektoris
Diabetes melitus
Kreatinin serum > 1,6 mg/dl
Operasi darurat
Prosedur bedah mayor
Operasi aorta
Operasi intraperitoneal atau intraleura lain

12

5-8 poin = risiko sedang


> 8 poin = risiko tinggi

4
11
J
c

J
6
2

Key : AST = aspartate aminotransferase; BUN = blood urea nitrogen; Cr = creatinine;


ECG = electrocardiogram; K+ = potassium; Ml = myocardial infarction;
PAC = premature atrial contraction; PVC = premature ventricular contraction

1863

PENYAKIT JANTUNG DAN OPERASI NON JANTUNG

bedah dalam melaksanakan tindakan operasi. Kerjasanru

yang harmonis dan professional antara spesialis klinis


dengan spesialis anestesi serta spesialis bedah sangat
diperlukan pasien untuk mencapai hasil yang optimal.

REFERENSI
ACC/AHA Task Force On Pracrice Ciuidelines: Guidelines for
perioperative cardiovaskulal evaluation for non crrdiac
surgery Circulation. 2002; 105: l2-57.
ACC/AHA task ftrrce report: _uuidelines fbr coronary angio-traphy
Circulation I999: 99: 23,1-5--57
ACC/AHA task force report: guidelines lor thc clinical tpplication

of echocardiography.

2003-

ACC/AHA task fbrce report: guidelines fbr inrplantaLion of carcliac


pacemakers and antiarrytlrmia deviccs JACC l99l: liil: l-13.
AHA Scientific statemcn[: Prcvention ol baliLerial endocarditis.
recommendations by the American Heart Asstrcintion.
Circulation 1997; 96: 358-66
Barrels C. Bechtel M. Hossmann V. Horsch S: Cardiac ri\ strxtitlextion fbr high risk vaskular surgery. Circulation. 1997: 9-5: 2.i73-

15.
Clagett GP, Anderson FA, Levine MN. et al: PreYention o1'rcnous
thromboembolism. Chest 1992'. 107: 4. 391S-402S
Eagle KA, Rihal CS. Michel MC, et al: Cardi:rc risk of nott curcliac
surgery influence of coronary disease and tvpe ol rurgerr in
3368 operations Circulation. 1997: 96: lE8l-7
Falcone RA, Ziegelstein RC: Cardiovaskular disease dnd hvpertension in: Richards JG. Grecorv MC Eds Karrmerer and Gross'

Medical Consultation The internist on surgical, Obstelric and


Psychiatric Services 3 d ed. Williams & Wilkins, 19981 149-70.
Foxwell M, Meyerson M: Cardiovascular assessmenl and
management. In: Wolfsthal'S a Lange Clinical Manual's
Medical Perioper-ative Management 89/90, 1989: 84-90
Froehlich JB, Karavite D, Erdrurlr N, et al: ImpJementation of ACC/
AHA guidelines fbr preoperative cardiac risk assessment before
aortic surgery: Lrplications fbr resource utilization. J Am Coll
Cardiol. 1991l. 29: 392 (abstract.l
Goldman L: Generrl anesthesia and non-cardiztc surgery in patients
with heart disease in Braunwald's Heart Disease. A textbook of
cardiovaskular medicine, 7'| ed, 2005t 2021-2038.

Joint National Committee on Detection. Evaluarion

and

Treatment of High Blood Pressure The sixth report of the


Joint National Committee on Detection. Evaluation and Treatment of high hlood pressure (JNC VI). Arch lntern Med 1997;
t51
Kaplan NM: Clinical Hypertension, 8'h edition. 2002: 311
Magallanes M: Cardiac concerns. In : Perioperative pocket manual
.

2005, 3'd edition.


Mangano DT, Layug EL, Wallace

A, Tareo I: Efl-ects of atenolol on

mortality and cardiovaskular morbidity after non-cardiac surgery. The nrulticenter study of perioperatif ischemic research
group. N Engl J Med 1996; 335: 1'713-20.
Mangano DT: Perioperative cardiac morbidity. Anestesiology, 1990;

72: I 53-84
Palda AV, Detsky AS: Clinical guidelines part lI, pelioperntive
assessme[t and management of risk from coronary artery
disease. Ann lntern Med, 1997; 121: 313-28
Smith WT, Kelly RA, Stevenson, Braunwald E: Management of
heart lailure in Braunwald's heart disease. A Teaxtbook ol
Cardior rrculrr Medicine. 7r crlition. 2005.

Você também pode gostar