Você está na página 1de 22

ARISAN HAJI

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Masailul Fiqhiyah

UNSURI

Dosen Pengampu
Drs. H M. Bisri M.Ag
Disusun oleh
Sriatun
Sri Muryani

FAKULTAS TARBIYAH PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI 04A)


INSTITUTE AGAMA ISLAM SUNAN GIRI
PONOROGO
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayahNya.

Sholawat

serta

salam

junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

semoga

tetap

terlimpah

pada

Pada kesempatan ini kami telah menyelesaikan makalah pada mata kuliah
Masailul Fiqhiyah dengan judul Arisan Haji. Dalam makalah ini akan di
jelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan arisan haji.
Kritik

dan

saran

kami

harapkan

untuk

perbaikan

makalah

kami

selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun


dan umumnya bagi pembaca sekalian.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Ponorogo,
Maret 2011
Penyu
sun

DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I: PENDAHULUAN
A.
B.

Latar Belakang
Rumusan Masalah

BAB II: PEMBAHASAN


A.

Hukum Arisan Haji Dalam Islam

BAB III: PENUTUP


Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Ibadah haji merupakan rukun islam ke lima yang wajib di

laksanakan oleh umat islam yang mampu sekali seumur hidup. oleh
karena itu umat islam yang belum mampu secara finansial baik
pembiayaan,kesehatan,keamanan maupun yang lain belum berkewajiban
melaksanakan

ibadah

haji.

Semangat

yang

menggebu-gebu

telah

mendorong umat islam untuk berusaha semaksimal mungkin untuk


mendapatkan uang yang kemungkinan untuk biaya haji. Di antara salah
satu usaha oleh sebagian umat islam adalah di adakannya arisan haji, hal
ini merupakan suatu konsep baru dalam hukum islam yang belum pernah
terjadi pada masa Rasullulah. Bagaimana hukumnya akan kami bahas
dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman Hukum Arisan Haji ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian dan hukum arisan haji

Arisan haji yaitu suatu akad yang di lakukanoleh beberapa umat islam
secara suka rela untuk bersama-sama menabung uang dalam jumlah
yang telah disepakati guna membayar Ongkos Naik Haji (ONH) atau Biaya
Perjalanan Naik Haji (BPIH) dengan perjanjian kurang lebih sebagai
berikut:
a.

Setiap anggota arisan harus menabung (membayar) uang dalam

jumlah yang telah disepakati bersama pada setiap bulannya hingga


mencapai jumlah yang cukup untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah
Haji (BPIH) yang ditetapkan oleh pemerintah.
b.

Setiap tahun pada saat pendaftaran calon jamaah haji mulai dibuka,

para anggota arisan berkumpul guna menghitung jumlah uang yang telah
berhasil dikumpulkan.. Setelah diketahui bahwa uang yang berhasil
dikumpulkan

oleh

anggota

arisan

cukup

untuk

membayar

Biaya

Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) sekian orang anggota arisan, maka


dilakukan undian untuk mengetahui siapa saja anggota arisan yang
berhak menunaikan ibadah haji di tahun itu dengan biaya yang telah
dikumpulkan dari arisan tersebut.
c.

Anggota arisan yang telah berhasil memenangkan undian yang

dilakukan secara terbuka sesuai dengan cara yang lazim dilakukan dalam
undian arisan yang telah disepakati bersama, berhak menunaikan ibadah
haji pada tahun itu dari biaya yang telah dikumpulkan tersebut, sekalipun
pada hakikatnya uang simpanan si pemenang undian tersebut belum
mencapai BPIH yang di tetapkan pemerintah.

d.

Selisih jumlah uang yang diterima oleh pemenang undian untuk

membayar BPIH dengan jumlah uang tabungan yang disimpannya pada


arisan merupakan hutang yang harus dibayarnya secara berangsur-angsur
melalui tabungan tiap bulan sampai jumlah hutangnya terlunasi.
e.

Selanjutnya pada tahun berikutnya atau pada waktu yang telah

disepakati bersama, dilakukan pula undian untuk memberangkatkan


anggota berikutnya, sampai secara berangsur angsur seluruh anggota
arisan diberangkatkan ke tanah suci guna melaksanakan ibadah haji[1].
Sehubungan dengan maraknya arisan haji, masyarakat mengajukan
pertanyaan pada Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang
hukum arisan haji, seperti disebutkan diatas, maka komisi fatwa MUI
menfatwakan sebagai berikut :
1.

Ibadah haji hanya diwajibkan bagi umat islam yang benar-benar

memiliki kemampuan (istathoah) khususnya kemampuan finansial untuk


membayar BPIH, biaya hidup selama di tanah suci serta biaya keluarga
yang di tinggal selama ibadah haji. Oleh karena itu seorang yang belum
memiliki

kemampuan

tidak

boleh

memaksakan

diri

sebagaimana

difirmankan dalam surat Al-Imran ayat 97.

Artinya:Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu


(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah, barang
siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya
(tidak membutuhkan sesuatu) dari semesta alam[2].
Untuk mempertegas makna istathoah para pakar ulama telah
bersepakat

jika

belum

mempunyai

kemampuan

(istathoah)

untuk

melaksanakan ibadah haji, walaupun ditawari hadiah BPIH, maka tidak


wajib menerima hadiah tersebut. Selain itu, Imam Syafii berpendapat
bahwa konsep istathoah itu termasuk ke dalam 2 aspek:

a.

Kemampuan fisik

Dilihat dari kondisi dan perilaku ibadah sendiri dalam optimalisasi fisik
dalam melaksanakan ibadah haji. Perbedaan iklim dan jauhnya perjalanan
serta tenaga yang ekstra dalam melaksanakan ibadah haji.

b.

Kemampuan finansial

Dimaksudkan

adalah

dari

segi

kebutuhan

biaya

primer

sebelum

perjalanan, ketika di Makkah dan ketika kembali ke tanah suci, serta


keluarga yang ditinggalkan selama melaksanakan ibadah haji[3].
2. Arisan haji untuk membayar BPIH dengan tata cara sebagaimana di
sebutkan diatas atau yang serupa adalah di larang oleh agama islam,
dengan alasan sebagai berikut :
a.

Arisan haji dengan pola sebagaimana disebutkan diatas atau

sesamanya adalah sama dan tidak berbeda dengan berhutang kepada


orang lain sehingga memberatkan diri sendiri untuk atau keluarga yang
ditinggalkan jika ia wafat. Padahal Rasulullah SAW melarang seseorang
berhutang atau meminjam uang kepada orang lain untuk membayar BPIH,
sebagaimana sabda Beliau yang artinya Sahabat Thariq berkata: Saya
telah mendengar sahabat yang yang bernama Abdullah Ibn Abi Aufa
bertanya kepada Rasulullah SAW tentang seseorang yang tidak sanggup
naik haji, apakah dia boleh meminjam uang untuk ibadah haji? Nabi
menjawab: Tidak!(HR. Baihaqi).
b.

Arisan haji dengan pola sebagaiman di sebutkan di atas atau yang

serupa mengandung unsur gharar (kesamaran dan ketidakjelasan) karena


tidak ada jaminan setelah naik haji mampu membayar lunas sisa arisan
yang menjadi tanggungannya, selain itu bagaimana jika orang yang telah
mendapatkan undian arisan haji tertimpa musibah seperti meninggal
dunia, atau usahanya bangkrut sehingga tidak mampu membayar sisa
arisan haji, apabila dibebaskan, maka akan merugikan pihak lain yang
belum memperoleh kesempatan memenangkan undian, atau dibebankan

pada keluarga sehingga menimbulkan madharat bagi anggota keluarga


yang tidak mengerti tentang arisan haji.
c.

Pada hakikatnya, seseorang yang telah berhasil memenangkan

undian arisan haji adalah berhutang uang pada anggota yang lainnya.
Pinjaman tersebut harus di bayar lunas meskipun secara berangsur
angsur sesuai dengan aturan aturan dalam arisan. Jika ia meninggal
dunia, maka ia memikul beban yang sangat berat.
3.

Seseorang yang menunaikan ibadah haji harur membayar BPIH,

memiliki biaya yang cukup selama berada di tanah suci, serta biaya bagi
keluarga yang ditinggalkan. Sehingga biaya juga perlu diprioritaskan
dalam anggaran haji.
Salah satu falsafah yang dapat diambil dari ibadah haji adalah
adanya keharusan untuk menjadikan ibadah haji sebagai manifestasi
loyalitas manusia kepada Allah sebelum ia berangkat ke tanah suci
Makkah, ketika ia menjalankan ibadah haji dan ketika ia sudah kembali
dari tanah Makkah. Di samping itu, di ulang ulangnya kata lillah seperti
dalam surat Al Imron ayat 97 dan surat Al Baqoroh ayat 197 juga
memberikan isyarat bahwa ibadah haji akan di dominasi oleh motivasi
motivasi lain selain lillah, oleh karena itu, Allah sejak dini mungkin
memperingatkan pada manusia agar menjalankan haji karena lillah[4].
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa melaksanakan
ibadah haji dengan BPIH/ONH yang dihasilkan dari arisan haji sebaiknya
tidak dilaksanakan karena konsep istathoah yang termaktub dalam Al
Quran meliputi mampu dalam hal fisik dan mampu dalam hal finansial/
materiil.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Bahwa melaksanakan ibadah kaji dengan BPIH/ONH yang dihasilkan dari
arisan haji sebaiknya tidak dilaksanakan karena konsep istathoah yang
termaktub dalam Al Quran meliputi mampu dalam hal fisik dan mampu
dalam hal finansial/ materiil.

DAFTAR PUSTAKA
Rasyid, Hamdan. 2003. Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-fatwa Aktual.
Jakarta: PT. Al mawardi prima
Yaqub, Mustofa, Ali. 2001. Islam Masa Kini. Jakarta: pustaka firdausi
Asyari, Imam. 2003. Paradigma Fiqh Masail. Kediri: MHM lirboyo kediri
Departemen Agama RI. 2007. Al Quran dan Terjemahnya. Bandung: CV
penerbit diponegoro

[1] Dr. K. H. M. Hamdan Rasyid, M. A. Fiqih Indonesia Himpunan Fakta


Fakta Aktual (Jakarta: PT. Al Mawardi Prima, 2003) hal. 123
[2] Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya (Bandung : CV
Penerbit Diponegoro, 2007) hal 49
[3] Imam Asy,ari, Paradigma Fiqh Masail (Kediri : MHM Lirboyo, 2005) hal
84
[4] Prof. K. H. Ali Mustofa Yaqub, MA. Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka
Firdaus. 2001) hal 270

Bagi banyak orang, ibadah haji bukan sekedar masalah kewajiban. Haji
sudah menjadi cita-cita umat Islam pada umumnya. Maka, akhirnya
banyak yang ingin menjalankan ibadah haji meski dengan segala risiko
dan dengan menempuh cara apapun. Soalnya ibadah yang dilakukan di
tanah suci sangat utama dibanding di tempat-tempat lainnya. Kerinduann
untuk datang ke sana tidak tergantikan oleh apapun. Ya, karena ibadah
haji mempunyai nilai spiritual dan kemanusiaan yang luar biasa.
Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan sistem arisan. Sekelompok
orang, misalnya, mengumpulkan sejumlah uang tertentu secara rutin
setiap

bulannya.

Lalu,

pada

setiap

tanhunnya,

uang

yang

telah

dikumpulkan diberikan kepada salah seorang dari kelompok itu untuk


berhaji, kemudian pada tahun berikutnya giliran yang lainnya. Bagaimana
kedudukan haji seperti ini? Lalu bagaimana jika Ongkos naik haji (ONH)
berubah-ubah dan masing-masing orang diberangkatkan haji dengan
biaya yang berbeda pula?
Masalah pertama yang diangkat disini adalah soal persyaratan adanya
istithoah atau kemampuan dalam menjalankan ibadah haji. Bahwa
orang Islam yang diwajibkan untuk menjalankan ibadah haji atau syarat
wajib haji adalah hanya ketika seseorang telah berkemampuan. Lalu
bagaimana

dengan

haji

yang

dilakukan

oleh

mereka

yang

tidak

berkemampuan?
Bahtsul masail diniyah waqiiyyah pada Muktamarke-28 Nahdlatul Ulama di
Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta pada 26-29 Rabiul

Akhir 1410 H / 25 28 November 1989 M lalu menyatakan bahwa haji


yang dilakukan oleh orang yang belum memenuhi syarat istithoah tetap
sah hukumnya.
















Barangsiapa yang belum memenuhi syarat istitoah maka tidak wajib
baginya

berhaji,

namun

jika

dia

melakukannya

maka

itu

tetap

diperbolehkan, sebagaimana dalam kitab Asy Syarqowi I, hal. 460.


Orang yang fakir sekalipun tetap sah melakukan ibadah haji, apabila dia
termasuk mukallaf. Hal ini bisa dikiaskan dengan kebolehan orang yang
sakit untuk tetap melakukan shalat Jumat, padahal sebenarnya ia tidak
wajib melaksanakannya.



Sah haji orang fakir dan semua orang yang tidak mampu selama ia
termasuk orang merdeka dan mukallaf (muslim, berakal dan baligh)
sebagaimana sah orang yang sakit memaksakan diri untuk melakukan
shalat Jumat. Demikian seperti dikutip dari kitab Nihayatul Muhtaj III, hal.
233.
Soal haji arisan, musyawirin dalam muktamar itu sempat menyorot praktik
yang sama seperti digambarkan dalam kitab Al Quyubi II hal. 208. Ada
kelompok wanita di Irak yang masing-masing mengeluarkan sejumlah
uang tertentu dan memberikannya kepada salah seorang dari mereka
secara bergantian sampai giliran yang terakhir. Maka, maka yang
demikian itu diperbolehkan oleh penguasa Irak waktu itu.
Lalu, bagaimana dengan persoalan ongkos haji yang selalu berubah-ubah
dan cenderung naik, bagaimana setorannya?
Musyawirin memperhitungkan ongkos naik haji (ONH) yang dipergunakan
oleh anggota arisan sebagai pinjaman barang (al-iqradl). Akda pinjammeminjam secara syari adalah memberikan hak milik sesuatu dengan
menggembalikan
dipinjamnya.

penggantinya

yang

persis

sama

dengan

yang

Maka jika suatu saat ONH mengalami kenaikan, bisa jadi setoran arisan
dinaikkan sesuai kesepakatan anggota. Atau bisa jadi setoran haji tetap
seperti

semula

namun

pemberangkatan

salah

seorang

anggota

menunggu sampai uang arisan haji yang terkumpul sudah mencukupi.


Dengan begitu uang yang dikeluarkan untuk memberangkatkan masingmasing anggota bisa berbeda satu sama lain. Lalu, jika ONH dihitung
sebagai pinjaman dan jika salah seorang dari anggota (yang telah berhaji)
meninggal dunia, maka setoran haji menjadi tanggungan ahli warisnya,
sampai semua kelompok arisan bisa diberangkatkan haji. (A Khoirul
Anam)

1. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap arisan haji?>> Bagaimana


status hukum melaksanakan haji bagi anggota arisan haji?
2. Apakah wajib melaksanakan haji atau tidak?
3. Apakah sah haji jika yang digunakan itu diperoleh dari uang arisan haji?
Jawaban
1. Pandangan hukum Islam terhadap arisan haji adalah sebagai muamalah
yang diperbolehkan, meskipun ONHnya berubah-ubah, sehingga setoran
yang harus diberikan oleh peserta arisan juga harus berubah-ubah. Sebab
arisan itu menggunakan qiradl (hutang piutang), sehingga perbedaan
jumlah setoran tidak mempengaruhi keabsahan aqad tersebut.2. Jika yang
mendapat arisan haji itu orang yang masih harus melunasi setoran
berikutnya, maka dia tidak wajib melakukan ibadah haji karena sebagian
dari uang yang diterima adalah uang pinjaman. Kecuali apabila dia
memiliki kelebihan yang cukup untuk membayat hutangnya, atau dia
menerima giliran terakhir, sehingga dia tidak lagi menanggung hutang,
maka dia wajib haji.3. Adapun ibadah haji yang dilakukan oleh orang yang
mendapat arisan haji baik yang menerima giliran pertama atau terakhir
hukumnya tetap sah.

Dasar pengambilan :
1. Kitab Qolyubi juz 2 halaman 258:





(
)



















.




Kerukunan yang sudah terkenal di antara para wanita, dengan jalan salah
seorang wanita mengambil dari para jamaah mereka sejumlah uang
tertentu pada setiap hari Jumat atau setiap bulan, kemudian wanita
tersebut memberikan jumlah yang terkumpul kepada seseorang sesudah
wanita yang lain sampai yang terakhir dari mereka, adalah boleh,
sebagaimana pendapat al Wali al Iraqi.
2. Al Mahali juz 2 halaman 287:



.

Akad hutang piutang itu adalah pemberian milik terhadap sesuatu dengan
dasar akan dikembalikan penggantinya.
3. Kitab Nihayatul Muhtaj juz 3 halaman 233:


.

Mencukupi haji dari orang fakir dan setiap orang yang tidak mampu ketika
berkumpul padanya kemerdekaan dan sifat mukallaf, sebagaimana
andaikata orang yang sakit memaksakan diri menghadiri Jumat.
1.1 Hukum Haji dalam Islam
Ibadah Haji merupakan ibadah yang ingin dilakukan oleh semua umat
Islam yang bertakwa kepada Allah. Meskipun umat mempunyai biaya

untuk pergi haji, belum tentu mereka ingin melakukan ibadah haji. Bahkan
sebaliknya ada umat yang secara keuangan biasa saja bahkan kurang
namun ingin sekali pergi ke Baitullah.Biasanya mereka yang sudah
mampu secara keuangan untuk pergi haji tapi tidak mau pergi haji, ada
1001 alasan bagi mereka-mereka yang tidak mau memenuhi panggilan
Allah. Salah satunya belum ada panggilan, mereka tidak pernah sadar
(atau

tidak

mau

sadar)

bahwa

dengan

dicukupkan

rezekinya

itu

merupakan panggilan haji dari Allah.


Kalau saja umat Islam mengetahui hukum haji, pasti jamaah haji
Indonesia lebih banyak dari saat ini. Hukum Haji adalah fardhu (wajib),
sebagaimana ijma kaum muslimin. Maksudnya, berdasarkan Al-Quran,
hadits dan ijma (konsensus) kaum muslimin; ia merupakan salah satu
rukun Islam. Allah Subhannahu wa Taala berfirman,Padanya terdapat
tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam. (QS Ali Imran 3:97)
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka
akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang
kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh (QS Al Hajj 22:27)
Mengenai Hukum Ibadah Haji asal hukumnya adalah wajib ain bagi yang
mampu. Melaksanakan haji waji, yaitu karena memenuhi rukun Islam dan
apabila kita nazar yaitu seorang yang bernazar untuk haji, maka wajib
melaksanakannya, kemudian

untuk haji sunat, yaitu dikerjakan pada

kesempatan selanjutnya, setelah pernah melakukan haji wajib.


Setiap orang hanya diwajibkan mengerjaka ibadah haji satu kali dalam
seumur hidupnya, tetapi tidak ada larangan untuk mengerjakan kebih dari
satu kali.
Syarat-Syarat diwajibkannya Haji.

Islam

Baligh

Berakal

Merdeka

Kuasa (mampu)
Rukun Haji.

Ihram yaitu berpakaian ihram, dan niat ihram dan haji


Wukuf di arafah pada tanggal 9 Dzulhijah, yakni hadirnya seseorang

yang berihram untuk haji , sesudah tergelincirnya matahari yaitu pada


hari ke-9 Dzulhijah.
o Thawaf yaitu thawaf untuk haji (tawaf ifadhah)
o Sai yaitu lari-lari kecil antara shafa dan marwah 7 kali.
Wajib Haji.
Yaitu sesuatu yang perlu dikerjakan ,tapi sahnya haji tidak tergantung
atasnya , karena boleh diganti dengan dam (denda) yaitu menyembelih
binatang.
Sunat Haji.

Ifrad, yaitu mendahulukan urusan haji terlebih dahulu baru

mengerjakan atas umrah

Membaca Talbiyah yaitu: Labbaika Allahumma Labbaika Laa

Syarikalaka Labbaika Innalhamda Wanni mata Laka Walmulka Laa Syarika


Laka

Tawaf Qudum, yaitu tawaf yang dilakukan ketika permulaan datang

di tanah ihram, dikerjakan sebelum wuquf di Arafah.

Shalat sunat ihram 2 rakaat sesudah wukuf, utamanya dikerjakan

dibelakang makam Nabi Ibrahim.

Bermalam di Mina pada tanggal 10 Dzulhijah.


Hikmah Melaksanakan Haji.

Setiap perbuatan dalam ibadah haji sebenarnya mengandung

rahasia, contoh seperti ihrom sebagai upacara pertama kali maksudnya


adalah bahwa manusia harus melepaskan diri dari hawa nafsu dan hanya
menghadap diri kepada Allah Yang Maha Agung.

Memperteguh iman dan taqwa kepada Allah SWT karena ibadah

tersebut diliputi dengan penuh kekusyuan.

Ibadah haji menambahkan jiwa tauhid yang tinggi.


Dengan melaksanakan ibadah haji bisa dimanfaatkan untuk

membina persatuan dan kesatuan umat Islam Sedunia.


2.2 Konsep Haji Dengan Sistem Arisan
Bagi banyak orang, ibadah haji bukan sekedar masalah kewajiban. Hji
sudah menjadi cita-cita umat Islam pada umunya. Maka, akhirnya banyak
yang ingin menjalankan ibadah haji meski dengan segala resiko dan
dengan menempuh cara apapun. Soalnya ibadah yang dilakukan di tanah
suci sangat utama dibanding di temapat-tempat lainnya. Kerinduan untuk
datang ke sana tidak tergantikan oleh apapun.Masalah pertama yang
diangkat disini adalah soal persyaratan adanya Istithoah, Karena
ibadah haji mempunyai nilai spiritual dan kemanusiaan yang luar biasa.
Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan sistem arisan. Sekelompok
orang, misalnya, mengumpulkan sejumlah uang tertentu secara rutin
setiap

bulannya.

Lalu,

pada

setiap

tahunnya,

uang

yang

telah

dikumpulkan diberikan kepada salah seorang dari kelompok itu untuk


berhaji, kemudian pada tahun bergiliran yang lainnya, Bagaimana
kedudukan haji seperti ini? Llau bagaimana jika Ongkos naik haji ( ONH )
berubah-ubah dan masing-masing orang diberangkatkan haji dengan
biaya yang berbeda-berbeda atau kemampuan dalam menjalankan ibadah
haji. Bahwa orang Islam yang diwajibkan untuk menjalankan ibadah haji
atau

Syarat

Wajib

Haji

adalah

hanya

ketika

seseorang

telah

berkemampuan. Lalu bagaimana dengan haji yang dilakukan oleh mereka


yang tidak berkemampuan? Bahtsul Masail Diniyyah Waqiyyah pada
Muktamarke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantrn Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta pada 26-29 Rabiul Akhir 1410 H / 25-28 November 1989 M ,
lalu menyatakan bahwa haji yang dilakukan oleh orang yang belum
memenuhi syarat Istihoah.
Orang yang fakir sekalipun tetap sah melakukan ibadah haji, apabila dia
termasuk mukallaf. Hal ini bisa dikiaskan dengan kebolehan orang yang
sakit untuk tetap melakukan shalat Jumat, padahal sebenarnya ia tidak
wajib melaksanakannya.

Sah haji orang fakir dan semua orang yang tidak mampu selama ia
termasuk orang merdeka dan mukallaf (muslim, baligh, dan berakal )
sebagaimana sah orang yang sakit memaksakan diri untuk melakukan
shalat jumat. Demikian seperti diikutu dari kitab Nihyatul Muhtaj III, hal
233.
Soal arisan, musyawirin dalam muktamar itu sempat menyorot praktik
yang sama seperti digambarkan dalam kitab Al Quyubi II hal.208.

Ada

kelompok wanita Irak yang masing-masing mengeluarkan sejumlah uang


tertentu dam memberikannya kepada salah seorang dari mereka secara
bergantian sampai giliran yang terakhir. Maka, yang demikian itu
diperbolehkan oleh penguasa Irak waktu itu.
Lalu bagaiman dengan persoalan ongkos haji yang selalu berubah-ubah
dan cenderung naik, bagaimana setorannya ?
Musyawirin
kenaikan,

memperhitungkan
bisa

jadi

setoran

ongkos
haji

naik

tetap

haji

seperti

(ONH)

mengalami

semula

namun

pemberangkatan salah seorang anngota menunggu sampai uang arisan


haji yang terkumpul sudah mencukupi.
Dengan begitu uang yang dikeluarkan untuk memberangkatkan masingmasing anggota bisa berbeda satu sama lain. Lalu, jika ONH dihitung
sebagai pinjaman dan jika salah seorang dari anngota (yang telah
berhaji ) meninggal

dunia, maka setoran haji menjadi tanggungan ahli

warisnya, sampai semua kelompok arisan bisa diberangkatkan haji.


2.3 Hukum Islam tentang Arisan Haji
2.3.1. Hukum yang Memperbolehkan
Pengertian Arisan Di dalam beberapa kamus disebutkan bahwa Arisan
adalah pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama
beberapa

orang,

lalu

diundi

diantara

mereka.

Undian

oleh

tersebut

dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya.


Hukum Arisan Secara Umum, termasuk muamalat yang belum pernah
disinggung di dalam Al Quran dan as Sunnah secara langsung, maka
hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah, yaitu dibolehkan.
Berkata Ibnu Taimiyah di dalam Majmu al Fatawa: Tidak boleh
mengharamkan muamalah yang dibutuhkan manusia sekarang, kecuali

kalau ada dalil dari al Quran dan Sunnah tentang pengharamannya Para
ulama tersebut berdalil dengan al Quran dan Sunnah sebagai berikut :








Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya




Allah

telah

memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang
ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya
yang nampak maupun yang tidak nampak. ( Qs Luqman : 20)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah swt memberikan semua yang ada
di muka bumi ini untuk kepentingan manusia, para ulama menyebutnya
dengan istilah ( pemberian ). Oleh karenanya, segala sesuatu yang
berhubungan dengan muamalat pada asalnya hukumnya adalah mubah
kecuali ada dalil yang menyebutkan tentang keharamannya. Dalam
masalah arisan tidak kita dapatkan dalil baik dari al Quran maupun
dari as Sunnah yang melarangnya, berarti hukumnya mubah atau boleh.
Hadist di atas secara jelas menyebutkan bahwa sesuatu ( dalam
muamalah ) yang belum pernah disinggung oleh Al Quran dan Sunnah
hukumnya adalah ( pemberian ) dari Allah atau sesuatu yang boleh.
Firman Allah swt :




Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa,

dan

jangan

tolong-menolong

dalam

berbuat

dosa

dan

pelanggaran. (Qs Al-Maidah:2)


Ayat di atas memerintahkan kita untuk saling tolong menolong di dalam
kebaikan, sedang tujuan arisan itu sendiri adalah menolong orang yang
membutuhkan dengan cara iuran secara rutin dan bergiliran untuk
mendapatkannya, maka termasuk dalam katagori tolong menolong yang
diperintahkan Allah swt.Hadist Aisyah ra, ia berkata :











"Rasullulah SAW apabila pergi, beliau mengadakan undian di antara istriistrinya, lalu jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafsah, maka kami pun
bersama beliau." ( HR Muslim)

Hadist di atas menunjukkan kebolehan untuk melakukan undian, tentunya


yang tidak mengandung perjudian dan riba. Di dalam arisan juga terdapat
undian yang tidak mengandung perjudian dan riba, maka hukumnya
boleh.
Pendapat para ulama tentang arisan, diantaranya adalah pendapat Syaikh
Ibnu Utsaimin dan Syek Ibnu Jibrin serta mayoritas ulama-ulama senior
Saudi Arabia.

Syekh Ibnu Utsaimin berkata: Arisan hukumnya adalah

boleh, tidak terlarang. Barangsiapa mengira bahwa arisan termasuk


kategori

memberikan

pinjaman

dengan

mengambil

manfaat

maka

anggapan tersebut adalah keliru, sebab semua anggota arisan akan


mendapatkan bagiannya sesuai dengan gilirannya masing-masing.
Pada dasarnya arisan dibenarkan, sedang arisan haji karena berubah-ubah
ONHnya maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, tentsang
hajinya tetap sah, musyawirin dalam muktamar itu sempat menyorot
praktik yang sama seperti digambarkan dalam kitab Hasyiah al-Qulyubi :
II/38 dijelaskan.
Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta. Di antara usaha-usaha yang
dilakukan oleh sebagian umat Islam untuk mendapatkan uang yang
memungkinkan mereka melaksanakan ibadah haji ke Baitullah adalah
dengan cara menyelenggarakan atau mengikuti Arisan Haji, yaitu suatu
akad yang dilakukan oleh beberapa orang Islam secara suka rela untuk
bersama-sama menabung uang dalarn jumlah yang telah disepakati guna
membayar Ongkos Naik Haji (ONH) atau Biaya Perjalanan Ibadah Haji
(BPIH), dengan perjanjian lebih kurang sebagai berikut:
Setiap anggota Arisan harus menabung (membayar) uang dalam
jumlah oleh pemerintah.yang telah disepakati bersama pada setiap
bulannya hingga mencapai jumlah yang cukup untuk membayar Biaya
Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) yang ditetapkan oleh pemerintah. Setiap
tahun pada saat pendaftaran calon jamaah haji mulai dibuka, para
anggota Arisan berkumpul guna menghitung jumlah uang yang berhasil
dikumpulkan. Setelah diketahui, bahwa uang yang berhasil dikumpulkan
oleh anggota Arisan cukup untuk membayar Biaya Perjalana Haji ( BPIH )
sekian orang anggota Arisan, maka dilakukan undian untuk mengetahui

siapa saja anggota Arisan yang berhak menunaikan ibadah haji pada
tahun itu dengan biaya yang telah dikumpulkan dari Arisan tersebut.
Anggota Arisan yang berhasil memenangkan undian yang dilakukan
secara terbuka sesuai dengan cara-cara yang lazim dilakukan dalam
undian arisan yang telah disepakati bersama, berhak menunaikan ibadah
haji pada tahun itu dengan biaya yang telah dikumpulkan dari Arisan
tersebut, sekalipun pada hakikatnya uang simpanan si pemenang undian
tersebut belum mencapai BPIH yang ditetapkan pemerintah.
Selisih jumlah uang yang diterima oleh pemenang undian untuk
membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dengan jumlah uang
tabungan yang disimpannya pada arisan, merupakan hutang (pinjaman)
kepada para anggota arisan yang harus dibayarnya secara berangsurangsur melalui tabungan tiap bulan sampai jumlah hutangnya terlunasi.
Selanjutnya pada tahun berikutnya atau pada waktu yang telah
disepakati bersama, dilakukan pula undian untuk memberangkatkan
anggota berikutnya, sampai secara berangsur-angsur seluruh anggota
Arisan diberangkatkan ke tanah suci guna melaksana-kan ibadah haji.
Hukum yang Tidak Memperbolehkan
Untuk mempertegas makna istitha'ah, para pakar hukum Islam (fuqaha')
telah menerangkan di dalam kitab-kitab fiqih, bahwa jika seseorang yang
belum memiliki kemampuan (istitha'ah) untuk melaksanakan ibadah haji
ditawari hadiah Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) oleh lain, maka dia
tidak wajib menerima hadiah tersebut.
Arisan Haji untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dengan
tata cara sebagaimana disebutkan di atas atau yang serupa adalah
dilarang oleh agama Islam, karena alasan-alasan sebagai berikut:
Arisan Haji dengan pola sebagaimana disebutkan di atas atau
sesamanya adalah sama dan tidak berbeda dengan berhutang kepada
orang lain. sehingga memberatkan diri sendiri atau keluarga yang
ditinggalkan jika ia wafat. Padahal Rasulullah SAW telah melarang
seseorang berhutang atau meminjam uang kepada orang lain untuk
membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Sebagaimana disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi:








,





( )
"Sahabat Thariq berkata: Saya telah mendengar sahabat yang bernama
Abdullah ibn Abi Aufa bertanya kepada Rasulullah SAW tentang seseorang
yang tidak sanggup naik haji apakah dia boleh meminjam uang untuk
menunaikan ibadah haji? Nabi menjawab:Tidak boleh. (HR Baihaqi)
Menurut Kitab Al-Muhadzdzab bahwa seseorang yang berharta lalu kuasa
berhaji maka ia harus berhaji. Tapi orang yang berharta tetapi mempunyai
hutang yang harus segera dibayar, maka baginya harus membayar
hutangnya, dan tidak wajib berhaji. Berhaji seharusnya dan wajib
dilaksanakan

dengan

perasaaan

senang,

dengan

ketentuan

mendahulukan membayar hutang daripada melaksanakan hajinya.


Arisan Haji dengan pola sebagaimana disebutkan di atas atau yang
serupa mengandung unsur gharar (kesamaran dan ketidak-jelasan)
karena tidak ada jaminan bahwa orang-orang yang telah memenangkan
undian Arisan Haji mampu membayar lunas sisa arisan yang menjadi
tanggungannya. Bagaimana jika orang-orang yang telah me-menangkan
undian Arisan Haji tertimpa musibah seperti meninggal dunia atau
bangkrut sehingga tidak mampu membayar sisa Arisan Haji yang menjadi
tanggungannya? Apakah dapat dibebaskan sehingga mengakibatkan
kerugian bagi

anggota

lain

yang

belum

memperoleh

kesempatan

memenangkan undian? Atau dibebankan kepada keluarganya sehingga


menimbulkan mudlarat bagi anggota keluarga yang tidak tahu menahu
soal Arisan Haji?
Sehubungan dengan hal itu, Rasulullaoh SAW bersabda :
















)

"Dari 'Amr bin Yahya al-Mazini dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW
bersabda: (Seseorang) tidak boleh melakukan tindakan yang merugikan
diri sendiri atau merugikan orang lain",

Pada hakikatnya, seseorang yang telah berhasil memenangkan


undian Arisan Haji,sehingga berhak menunaikan ibadah haji dengan biaya
yang diperoleh dari uang arisan adalah berhutang uang kepada para
anggota arisan lainnya. Pinjaman tersebut harus dibayar lunas, meskipun
secara berangsur-angsur sesuai dengan aturan-aturan dalam arisan. Jika
ia meninggal dunia atau jatuh bangkrut sebelum membayar lunas uang
arisan, maka ia akan memikul beban hutang yang sangat berat. Karena
hutang yang belum terbayar akan menjadi beban hingga di akhirat.
.

Seseorang yang akan menunaikan ibadah haji harus membayar Biaya

Perjalanan Ibadah Haji (BPIH); mempunyai biaya hidup yang cukup selama
berada di tanah suci; serta biaya keluarga yang ditinggalkan di tanah air
dengan uang yang diperoleh secara halal, suci dan bersih dari segala
sesuatu yang mengotorinya. Sebab jika uang tersebut diperoleh dari
sumber yang tidak halal atau tidak suci dan tidak bersih, maka tidak akan
diterima oleh Allah swt sehingga tidak akan meraih haji mabrur.
Dari uraian diatas, jelas bahwa kewajiban haji itu, hanya berlaku bagi
orang yang sanggup membayar BPIH. Maka seorang muslim yang
memaksakan dirinya untuk menunaikan ibadah haji, padahal ia tidak
mampu, misalnya dengan cara mengikuti arisan haji dan ia mendapatkan
uang arisan pada putaranputaran awal, maka hukumnya minimal makruh
bahkan bisa juga haram, karena ongkos hajinya itu berasal dari uang yang
dipinjamkan oleh anggota arisan lainnya. Jadi ia berangkat haji dengan
berhutang. Sementara ia sendiri belum terkena khitab wajib haji.
Banyak orang berhaji dijadikan sebagai cita-cita dalam hidupnya karena
keadaannya yang sederhana sehingga seolah-olah berhaji adalah sebuah
mimpi. kenyataanya banyak orang yang hidupnya biasa-biasa saja,
nyatanya bisa ber haji. pedagang kaki lima, juga banyak yang sudah
berhaji.

Ini

karena

niat

yang

kuat

dan

usaha

keras

untuk

bisa

mewujudkannya.Sebaliknya, banyak orang juga secara lahiriyah sudah


mampu untuk berhaji, namun belum juga dia menjalankan kewajiban
hajinya.Barangkali, lebih tepat dikatakan bahwa berhaji adalah sebuah
kesadaran dan merasa belum pantas bagi mereka yang banyak harta
tetapi belum mau menjalankannya. Padahal berhaji sekali lagi wajib bagi

yang sudah mampu. ukuran mampu, mungkin bisa di lihat dari


kemampuan membayar biaya perjalanan haji.
Ada-adasaja, orang/kelompok yang sangatgigihberniatuntuk haji.belum
lama inisayamendengarada arisan haji. Siapa yang dapatduluan, dia
yang berangkatberhaji.anggotanyatidakbanyak, hanya 6 orang saja.
dilakukansatutahunsekali.Saya tidak begitu paham dengan bagaimana
hukum dari berhaji dengan arisan tesrebut. sama halnya dengan ketidak
tahuan saya terhadap bagaimana dia dalam mendaftar, kursi haji. karena
akhir-akhir ini terdengar bahwa bila mendaftar haji bisa sampai 2-3 tahun
baru dapat kursinya.Tetapi, saya melihat arisan haji sebagai suatu yang
positif saja. karena, mereka sebetulnya adalah orang yang mampu.
bayangkan untuk uang iurannya saja 5 jutaan. hanya saja untuk
menyediakan uang kontan satu kali perjalanan haji ia belum bisa atau
masih dirasa berat. arisan adalah salah satu siasatnya. Tentu, bagimereka
yang mampusecarakontan, sangattidaklucubilamengikutiarisantersebut.
Hal positif lainnya adalah, mereka termotivasi betul, yang sudah menjadi
niat dan tekad untuk menjalankan ibadah haji. hanya persoalan waktu
saja mereka berangkatnya setelah mendapat giliran.Belakangan, berhaji
dengan model arisan juga menjadi kontroversi. ini karena arisan di pahami
sebagai hal yang kurang baik. tetapi banyak juga yang memakluminya,
karena ini ibadah mulia yang butuh sebuah tekad dalam menabung,
mengumpulkan biaya berhaji.Semoga mereka menjadi haji yang mabrur
dan mabrurah.

Você também pode gostar