Você está na página 1de 4

Indonesia Siap Produksi Vaksin Hepatitis B Generasi Kedua

Sabtu, 29/08/2015 11:49 WIB

Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Iskandar (dari kiri), Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
Roy A. Sparringa, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati, Peneliti dan Kepala Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia (AIPI) Sangkot Marzuki, dan Komisaris Bio Farma Heridadi saat membuka Forum Riset Vaksin Nasional
(FRVN) 2015 di Jakarta, Rabu (26/8).

Perjalanan cukup panjang Forum Riset Vaksin Nasional (FRV) sejak 2011 lalu membuahkan
hasil menggembirakan.
Kerja keras dan semangat kebersamaan dari semua konsorsium dan working group terus
berjalan. Salah satu kabar yang menggembirakan datang dari Konsorsium Hepatitis B.
Seiring dengan tahapan dari rencana kerja FRVN, Konsorsium Hepatitis B sudah memasuki
tahap akhir dari FRVN, yakni hilirisasi produk vaksin.
Sampai tahun 2014, konsorsium Hepatitis B sudah membuat prototipe vaksin Hepatitis B
generasi ke-2, berdasarkan antigen small HBsAg.
Proses optimasi kultivasi dan purifikasi masih dilakukan oleh konsorsium mengingat yield masih
10%-20% dari teknologi komersial yang sudah ada.
Neni Nurainy, peneliti dari PT Bio Farma (Persero) sekaligus anggota konsorsium Hepatisis B
mengemukakan proses untuk optimasi sampai uji preklinis dan klinis perlu 3 tahun-5 tahun.

Meskipun demikian, pada rentang waktu tahun 2015 hingg 2017, konsorsium bahkan
dijadwalkan sudah memulai riset baru dengan mengembangkan vaksin Hepatitis generasi ke-3
(L-HBsAg) dan vaksin Hepatitis B untuk tujuan terapeutik.
Kelanjutan riset kultivasi dan purifikasi dilakukan secara mandiri oleh Bio Farma dan dilakukan
oleh ITB dengan skema pendanaan yang berbeda dengan Insentif Riset Nasional (Insinas).
Neni menuturkan konsorsium Hepatitis B terbentuk setelah ide FRVN pertama kali pada 2011.
Kami beserta rekan-rekan yang sama-sama punya perhatian terhadap masalah Hepatitis B
bersepakat untuk membuat proposal penelitian untuk tahun 2012,ucapnya.
Anggota konsorsium berasal dari Eijkman, UAI dan BPPT. Legalitas konsorsium dimulai Januari
2012 yang ditandatangani MoU antar 16 institusi termasuk universitas, Kemenristek, Kemenkes,
Lembaga penelitian dan dua industri yakni Bio farma serta Indofarma untuk pengembangan
vaksin dan obat-obatan.
Pada tahun 2012, proposal Insentif Riset Nasional Hepatitis B dibiayai oleh Kemenristek & Dikti
untuk 2012-2014, atau selama 3 tahun dengan evaluasi yang dilakukan per tahun untuk
perpanjangan dana.
Pada Februari 2012, perjanjian kerjasama antar-institusi di Konsorsium Hepatisis B
ditandatangani, dan ITB mulai bergabung.
Neni mengatakan anggota Konsorsium Hepatitis B ini terdiri dari Bio Farma 4 orang, ITB 5-7
orang (dinamis tergantung target tahun berjalan), BPPT 4-5 orang, dan Universitas Al Azhar
Indonesia 2-3 orang.
Neni menuturkan perjalanan penelitian vaksin hepatisis B dimulai dengan meneliti virus
Hepatitis B dengan genotipe virus yang dominan.
Lembaga Eijkman melakukan penelitian genotipe Hepatitis B virus (HBV) pada archive sampel.
Kemudian konstruksi vaksin rekombinan dilakukan oleh Universitas Al Azhar Indonesia (UAI).
Lebih lanjut, transformasi ke host inang (yeast) yang dilakukan oleh ITB termasuk seleksi klone
dan optimasi ekspresi.
Untuk optimasi purifikasi dillakukan oleh BPPT, untuk optimasi kultivasi oleh Bio Farma.
Menurutnya, riset dilakukan di beberapa lembaga. Akan tetapi, Bio Farma menjadi koordinator
dan sebagai laboratorium untuk semua institusi apabila di institusi yang bersangkutan peralatan
atau bahan riset tidak ada.

Pada penelitian ini juga dipakai bahan-bahan masih impor, terutama untuk Medium, reagentreagent, vektor dan sel inang (Pichia pastoris dan Hansenula polymorpha).
Neni mengemukakan penelitian yang dibiayai Insinas ini bersifat terbuka untuk semua institusi
sehingga merupakan usulan penelitian yang bersifat kompetitif. Adapun yang melakukan
penilaian adalah tim dari Kemenristek.
Penilaian itu berdasarkan tujuan penelitian, road map konsorsium yang jelas untuk mencapai
produk, dampak terhadap Indonesia, dan kapasitas lembagalembaga yang ikut serta dalam
penelitian serta adanya dana in kind dari industri/lembaga koordinator.
Riset ini tidak hanya menjadi dokumen penelitian akan tetapi menjadi produk yang manfaatnya
dapat dirasakan banyak orang, ujarnya.
Terkait dengan hak paten, pihak konsorsium sudah menyusun paten bersama sesuai peran
masing-masing anggota Konsorsium dalam suatu invensi.
Kedaulatan Vaksin
Keberhasilan kerja konsorsium ini tentu menjadi angin segar untuk kedaulatan vaksin nasional.
Saat ini, Indonesia memang belum berdaulat penuh dalam keseluruhan proses produksi vaksin
hepatitis B.
Meskipun Bio Farma sudah mampu membuat produk akhirnya dalam hal formulasi, fill dan
finish. Akan tetapi, Active Pharmaceutical Ingredient (API) atau zat aktifnya masih harus
diimpor. Vaksin dari Bio Farma, akan tetapi API dari Korea, katanya.
Neni menilai jika Indonesia sudah sepenuhnya mampu memproduksi vaksin ini akan menjadi
kebanggaan besar. Itu semua akan terjadi bila ada dukungan atau keberpihakan terhadap hasil
penelitian anak bangsa.
Neni mengatakan bahwa Hepatitis B sebetulnya tidak terlalu signifikan mengingat karena life
cycle produk tidak di puncak, sudah captive market, harganya sudah murah, terutama adanya
produsen dari India, yang didukung oleh kekuatan industri dasar/reagent yang kuat di negaranya.
Akan tetapi, yang terpenting adalah kemandirian bangsa untuk menghasilkan vaksin rekombinan
Hepatitis B, tidak tergantung dari luar dan harga dapat dipertahankan.
Di Indonesia sendiri, katanya, vaksin Hepatitis B masih diperlukan karena merupakan cara
efektif untuk mencegah penyakit Hepatitis B.

Walaupun kecenderungan prevalensi Hepatitis B di Indonesia menurun tetapi masih ada generasi
yang belum divaksin Hepatitis B, seperti warga yang lahir sebelum tahun 1997 di mana Hepatitis
B sudah masuk program imunisasi nasional.
Masyarakat yang lahir sebelum tahun 1997 itu, katanya, potensial terkena Hepatitis B karena
dapat menjadi carrier, dan bisa menularkan secara vertikal (ibu ke anak) maupun secara
horizontal. Jadi selain kebutuhan vaksin untuk bayi juga untuk catch up vaccination pada anak
dan untuk dewasa. tuturnya.
Wakil Ketua Forum Riset Vaksin Nasional 2015 Novilia S. Bahtiar mengatakan pencapaian
konsorsium Hepatitis B sangat menggembirakan sebagai wujud kemajuan dari perjalanan forum
riset vaksin.
Prosesnya mulai dari persediaan awal disiapkan oleh teman-teman di konsorsium. Benar-benar
mengandalkan kerja sama di konsorsium tersebut. Jadi benar-benar mandiri, katanya.
Dia menuturkan selain Hepatitis B, kemajuan yang cepat juga ditunjukkan konsorsium
Eritropoetin (EPO), produk bio similar untuk terapi anemia, penderita penyakit gagal ginjal
kronis, dan stem cell.
Cakupan penelitian dari forum ini, kami perluas menjadi tidak hanya di vaksin saja, melainkan
merambah ke produk yang sifatnya life science yang meliputi vaksin, stem cell, dan bio similar
yaitu produk biologi yang bisa dimanfaatkan untuk pengobatan, tuturnya.
Novi menambahkan hasil pencapaian yang lain adalah di konsorsium HIV yang sedang
menggarap produk rapid test untuk HIV.
Menurutnya, konsorsium sedang membuat sebuah alat yang cepat untuk melakukan pengetesan
tetapi memiliki validitas dalam pengukurannya.
Alat ini tentunya dikembangkan oleh Anak Bangsa. Alat ini simpel atau praktis seperti tinggal
diteteskan, nanti kan ketahuan negatif atau positif. Harapan kami seperti itu. Jadi dalam waktu
dekat bisa keluar hasilnya, katanya.
Editor : Yanto Rachmat Iskandar

Você também pode gostar