Adaptasi Mahasiswa di Yogyakarta Oleh : Alifaturrohmah, Gadis Intan, Fiahsani Taqwim/Alifah Fajariah
Sudah bukan rahasia, julukan kota pelajar
bagi Yogyakarta alias Jogja tidak terlepas dari banyaknya jumlah tempat belajar baik formal maupun non formal. Salah satunya, perguruan tinggi yang tiap tahun menyerap banyak mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Demi menimba ilmu, jauh dari sanak keluarga pun dilakoni meski
Mengenal budaya Jogja
Melakukan adaptasi memang tidak mudah dilakukan bagi sebagian orang, namun urgensi adaptasi perlu disuburkan sehingga memotivasi untuk terus dilakukan. Kebudayaan adalah aspek khusus yang terangkum dalam adaptasi. Hal ini karena kebudayaan adalah aspek mendasar yang membawa ciri khas personal sehingga seringkali membutuhkan waktu adaptasi cukup lama. Menurut Agus Indiyanto S.Sos M.Si selaku Dosen Antropologi UGM, ada dua hal penting di dalam kebudaayan masyarakat Jogja. Pertama, mengenal code of conduct yaitu panduan dalam berinteraksi
22
sehari-hari yang sering disebut sebagai unggah-ungguh. Kedua, orientasi
kultur kepada pengendalian diri untuk mencapai harmoni. Maksudnya adalah orang Jogja biasanya tidak menyampaikan sesuatu secara terus terang. Saya pikir dua hal ini yang harus dipahami bagi siapa saja ketika mau hidup di Jogja, tutur bapak yang akrab disapa Indi. Oleh karena itu, pendatang baru setidaknya harus peka secara sosial, khususnya dalam konteks interaksi sosial. Mahasiwa yang berasal dari luar Jogja memang harus beradaptasi dengan budaya setempat, namun tidak berarti wajib membiasakan diri dan mengikuti kebudayannya. Partisipasi dalam kebudayaan bersifat opsional sehingga mahasiswa boleh memilih untuk tidak bergaul dengan tetangga atau masyarakat sekitar. Indi merujuk pada fakta bahwa mahasiswa lebih mengenal nama jalan utama misalnya Jalan Kaliurang ketimbang nama daerah seperti Jetis. Mahasiswa dirasa lebih banyak menghabiskan waktu di kost atau kafe-kafe modern yang banyak bertebaran di Jogja.Tren seperti ini menunjukkan bahwa mahasiswa mulai terasing dengan lingkungan karena interaksi yang terbatas dengan masyarakat sekitar, ujar Indi. Hidup merantau di Jogja tentu bukan sekedar aspek kognitif saja, tetapi juga belajar mengasah kepekaan sosial dan kearifan lokal. Menurut Indi bila pendatang baru tidak mau berbaur dengan masyarakat maka masyarakat juga tidak akan peduli dengan pendatang tersebut. Misalnya saja terjadi perampokan disebuah kost namun masyarakat memilih diam karena tidak kenal dengan penghuni kos. Hal inilah yang harus dipahami oleh mahasiswa, bahwa keterampilan dalam berinteraksi diperlukan dimana pun kita berada.