Você está na página 1de 3

AGAMA DALAM IDENTITAS

(M. Chairul Basrun Umanailo)


chairulbasrun@gmail.com

Bangsa Indonesia kembali dikejutkan dengan kolom, kolom dalam baris Kartu
Tanda Penduduk yang mengisyaratkan agama bagi setiap pemiliknya. perdebatan terus
berlanjut dan tidak bisa dihentikan atas nama perdamaian. Sebab musabab dari
perdebatan yang panjang adalah ketika Menteri Dalam Negeri (Cahyo Kumolo)
melemparkan wacana penghapusan kolom agama dalam KTP sebagai keberpihakan
pada kaum minoritas di Indoensia.
Dalam tulisan ini pun saya tidak membela pada siapa yang benar, semurni logika
saya berpikir bahwa agama merupakan identitas kultural dan sangat sensitif ketika
pemaknaan terhadap agama itu sendiri harus bertentangan. Pada waktu negara ini di
bangun, sadar atau tidak agama lah yang kemudian menjadi katalisator, identitas para
pendahulu kita bahkan Founding Father selalu terdepan dalam berkecampuk dengan
berbagai situasi penguasaan kalonialisasi. Sebut Saja Agus Salim, dengan percaya
dirinya hingga ke Negeri Belanda tetap menggunakan sarung sebagai identitas
Islamnya yang kuat dan itupun tidak menjadi masalah dalam berdiplomasi atau
bernegara pada saat itu.
Dalam beberapa kutipan yang coba saya rangkum, seraya ingin memahami apa
itu konsep agama? kembali kita mempertanyakan agama pada titik awal dimana
kesadaran anda maupun saya masih berada pada tataran mencari. Seorang filosof
berkembangsaan Pakistan, Sir DR Mohammad Iqbal, menulis bahwa sebenarnya
agama itu merupakan suatu pernyataan utuh dari manusia (Damani 2002). Menurut
hendro puspito agama adalah suatu jenis sistem sosial yang di buat oleh penganutpenganut nya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non empiris yang di percayainya
dan di daya gunakan nya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat
luas umum nya (B.R Wilson). Lain lagi ketika Emile Durkheim seorang Sosiolog yang
menyatakan bahwa agama merupakan proyeksi pengalaman sosial.

Agama merupakan bentuk kesadaran manusia yang termanifestasi pada suatu


kultur

dimana

manusia

awalnya

terpasung

karena

keturunan

dan

membuat

kemungkinan untuk berubah seiring pembentukan kesadarannya. Kesadaran terbentuk


oleh dan dari dirinya sendiri. Menurut Berger, manusia secara ontogenetis dilahirkan
dalam bentuk kedirian yang belum selesai. Keberadaannya di-dunia, dengan demikian,
merupakan proses untuk menjadi manusia. Manusia, dalam konteks tersebut, secara
terus-menerus melakukan proses eksternalisasi diri. Ia selama proses tersebut
mencurahkan makna-makna ke dalam realitas (Irfan Noor, M.Hum). Maka Agama
menjadi sebuah cerminan bagi setiap individu dalam keseharian yang berhadapan
dengan realitas sosial. Apa yang saya anggap sebagai terpasung merupakan bagian
keberhinggaan yang sering di temukan dalam kajiannya Peter L Berger.
Maka ketika seseorang tidak mampu mengurai keterpasungannya dalam realitas
sosial sulit baginya untuk hidup selayaknya individu yang mampu melepaskan
keterpasungannya itu. Hal ini terkait dengan identitas yang ketika dalam pertukaran
simbolik menjadi modal utama dalam berinteraksi. Kultur budaya kita memiliki unsur
pemaksa, anda akan sulit bereksistensi ketika harus berhadapan dengan kelompok yang
secara Sosiologis memiliki homogenitas. Dan hasil dari situasi seperti ini adala anomaly.
Agama merupakan instrument penyusun keteraturan sosial, agama mempolarisasi
masyarakat pada tiap-tiap diferensiasi dengan berbagai aturan serta norma yang
ditetapkan.
Agama dalam identitas merupakan penanda bahwa eksistensi agama sebagai
katalisator kehidupan manusia itu jelas sangat berarti. Seluruh agama memiliki aturan
jelas serta orientasi dan perilaku dalam menjalankan agama pun sudah ditetapkan.
Artinya agama mempolarisasikan individu sesuai tujuan agama itu sendiri. Dan ketika
seseorang memilih untuk memeluk salah satu agama tentunya memiliki argument yang
kuat, seperti misalnya rasa nyaman, jati diri serta perlindungan.
Kembali saya singgung kolom KTP tentang agama, sebab bukan sekedar tulisan
Islam, Kristen, Hindu, Budha serta Konghucu melainkan tersirat identitas kita yang
sangat kuat sebagai individu yang memiliki proyeksi kehidupan, apa jadinya ketika
seseorang tidak memiliki proyeksi tentang kehiduapnnya sendiri. Lagi-lagi keteraturan
sosial kita akan terusik. Saya bisa bayangkan ketika KTP tanpa kolom agama maka

kebebasan itu akan menjadi liar saat seseorang akan keluar masuk tempat ibadah, tanpa
pernah merasa dia bagian dari ibadah tersebut, dan akan seenaknya mengaburkan
agama-agama yang ada dengan ajaran intepretasinya.
Seingat saya, Max Weber mampu mengurai kapitalisme dari bagian yang
menceritakan etos kerja berdasarkan agama,
Jadi ketika usulan Pemerintah untuk menghapus kolom agama dalam KTP berarti
pemerintah

sendiri

yang

menghancurkan

identitas

rakyatnya,

menghancurkan

diferensiasi dan meleburkan tata nilai yang berhasil mengakomodir kehidupan sosial
kita. Rakyat masih butuh identitas, Rakyat masih butuh keteraturan, ingat Bangsa
Indonesia bisa hancur hanya karena 3 hal; 1, Agama di pasung, Ekonomi di kebiri,
pemimpin berOnani. Semoga kesadaran itu bisa tumbuh.
Pustaka
Saefudin A.M. et al. 1991. Desekularisasi Pemikiran, Landasan Islamisasi. Mizan. Bandung
Damani, Muhammad, 2002. Makna Agama Dalam mayarakat Jawa. LESFI. Yogyakarta
Ismail, Dr Arifudin. 2012. Agama Nelayan, Pegumulan Islam dan Budaya Lokal. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta
Ganie, Fathudin Abdul. Sekali Lagi Sosiologi Agama
Noor, Irfan M.Hum. Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah-Empiris (Kajian Filsafat
Ilmu atas Pemikiran Peter L. Berger)

Você também pode gostar