Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Sementara Tempo memuat kutipannya sebagai berikut: Sebagai ketum, sebenarnya kalau
mau milih pemimpin seharusnya orang yang akan didukung rakyat. Orang ini punya rasa
kebangsaan, nasionalisme.PDIP ideologinya adalah pancasila, segingga tidak ada lagi
perbedaan.Bhinneka tunggal ika.Kami ingin mencari seseorang pemimpin daerah tanpa
menimbulkan adanya Sara, (Tempo, Rabu, 21 September, 2016).
Ada satu kata yang paling menarik untuk kita cermati dalam alasan penunjukkan Ahok oleh
Mega di atas, kata tersebut adalah kata SARA.
Sesorang yang menentukan pemimpin atas agama tidak seharusnya dikategorikan dalam
isu SARA. Seseorang bebas memilih siapa yang ia yakini. Justru kriminalisasi dan tindakan
memata-matai para tokoh agama dalam orasi dan nasehatnya tentang konsep pemimpin
yang diyakini adalah satu tindakan SARA yang sesungguhnya, dan sangat melawan UUD dan
jelas menciderai semangat Pancasila.
Sungguh Ironis, di saat para muballigh dilarang menyampaikan nasehat politiknya di masjid,
tapi tidak ada satu orangpun para pembela dan pengusung Anti SARA ini yang kemudian
bersuara ketika tokoh partai beragama Kristen yang masuk kemasjid dengan baju dan
atribut partai yang ia kenakan. Semuanya seolah bungkam diam seribu bahasa.
Mungkin ini lebih pada alergi dan sentimensemata, atau justru sebenarnya mereka sedang
mempertontonkan contoh terbaik dari tindakan SARA yang sebenarnya. Padahal ketika
seseorang menyuarakan memilih pemimpin sesuai agamanya, tidak harus serta merta
dipahami mengejek atau menghina agama lain. Ini lebih soal keyakinan. Apakah kemudian
orang kristian atau pemeluk agama lainjuga tidak menyeru kepada pemimpin yang
seagama, apakah gereja benar-benar steril dari politik? Atau ini hanya dagangan usang
sekularisme yang ingin memisahkan agama dari panggung politik, lalu akhirnya malah ingin
membunuh Tuhan bak Friedrich Nietzsche.
Sederhananya, kita perlu mendudukkan istilah SARA ini kembali, siapa yang sebenarnya
merumuskan istilah ini, dan apa tujuan di sebalik pengistilahan ini. apakah benar-benar
membela kemanusian dan minoritas, atau malah startegi untuk mentamukan tuah rumah
dinegeri sendiri. Dan menjadikan mayoritas sebagai minoritas yang harus selalu mengalah
dan kalah. Wallahu Alam.*
Pertanyaannya, bagaimana bisa seseorang yang memilih pemimpinnya berdasarkan
keyakinan dan agama yang ia yakini dianggap kesalahan dan menjurus ke SARA?
Alumni International Islamic University of Malaysia