Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULAN
I.
Latar Belakang
Gagal ginjal kronik (GGK) mengambarkan suatu keadaan ginjal yang
abnormal baik secara struktural maupun fungsinya yang terjadi secara progresif
dan menahun, umumnya bersifat ireversibel. Sering kali berakhir dengan penyakit
ginjal terminal yang menyebabkan penderita harus menjalani dialisis atau bahkan
transplantasi ginjal.1 Penyakit ini sering terjadi, seringkali tanpa disadari dan
bahkan dapat timbul bersamaan dengan berbagai kondisi (penyakit kardiovaskular
dan diabetes). Di Indonesia, dari data yang didapatkan berdasarkan serum
kreatinin yang abnormal, diperkirakan pasien dengan GGK ialah sekitar 2000/juta
penduduk.2 GGK atau sering disebut juga penyakit ginjal kronik (Chronic kidney
disease) memiliki prevalensi yang sama baik pria maupun wanita dan sangat
jarang ditemukan pada anak-anak, kecuali dengan kelainan genetic, seperti
misalnya pada Sindroma Alport ataupun penyakit ginjal polikistik autosomal
resesif.3,4
Terdapat perubahan paradigma dalam pengelolaan GGK karena adanya
data-data epidemiologi yang menunjukan bahwa pasien dengan gangguan fungsi
ginjal ringan sampai sedang lebih banyak daripada mereka yang dengan stadium
lanjut, sehingga upaya penatalaksanaan lebih ditekankan kearah diagnosis dini
dan upaya preventif. Selain itu ditemukan juga bukti-bukti bahwa intervensi atau
pengobatan pada stadium dini dapat mengubah prognosa dari penyakit tersebut.
Terlambatnya penanganan pada penyakit gagal ginjal kronik berhubungan dengan
adanya cadangan fungsi ginjal yang bisa mencapai 20% diatas nilai normal,
sehingga tidak akan menimbulkan gejala sampai terjadi penurunan fungsi ginjal
menjadi 30% dari nilai normal.2 GGK sering berhubungan dengan anemia.
Anemia pada GGK muncuk ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40
ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh. Anemia akan menjadi lebih berat lagi
apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah
1
mencapai stadium akhir, anemia akan secara relatif menetap. Anemia pada GGK
terutama diakibatkan oleh berkurangnya eritropoietin. Anemia merupakan kendala
yang cukup besar bagi upaya mempertahankan kualitas hidup pasien GGK.
II.
Tujuan
Mengetahui diagnosis dan tata laksana inisial pada gagal ginjal kronis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan
LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2 , tidak termasuk kriteria
penyakit ginjal kronik.
II.
Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk kacang yang terletak di kedua
sisi koloumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri
karena tertekan ke bawaholeh liver. Kutub atas ginjal kanan setinggi iga ke 12,
sedangkan kutub ginjal kiri setinggi iga ke 11. Permukaan anterior dan
posterior kutub atas, bawah, dan tepi lateral ginjal berbentuk cembung,
sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa
struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus diantaranya adalah
arteri dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter.
Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis ( setinggi vertebra
lumbalis II). Aorta terletak disebelah kiri garis tengah, sehingga arteri renalis
kanan lebih panjang dari arteri renalis kiri. Setiap arteri renalis bercabang
sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal. Vena renalis menyalurkan darah dari
masing-masing ginjal ke dalam vena kava inferior yang terletak di sebalah
kanan dari garis tengah. Vena renalis kiri kira-kira dua kali panjang dari vena
renalis kanan. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang
menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya
membentuk percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramidpiramid tersebut. Arteri arkuata lalu akan membentuk arteriol interlobularis
yang tersusun pararel dalam korteks. Arteriol interlobularis ini selanjutnya
membentuk arteriol aferen. Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai ke
rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerolus (jamak : glomeruli).
Kapiler glomeruli bersatu membentuk arterior eferen yang kemudian
bercabang-cabang membentuk sistem jaringan portal yang mengelilingi tubulus
dan kadang disebut kapiler peritubular. Medula terbagi-bagi menjadi baji
segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh korteks
yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak
karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron.
Papilla (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bellini yang
terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap
duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk
seperti cawan yang disebut kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu
membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu sehingga membentuk
pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul
ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria. Ureter
berasal dari bagian bawah pelvis renalis pada ureteropelvic junction lalu turun
ke bawah sepanjang kurang lebih 28 34 cm menuju kandung kemih. Dinding
dari kaliks, pelvis dan urter mengandung otot polos yang berkontraksi secara
teratur untuk mendorong urine menuju kandung kemih
Struktur mikroskopik ginjal:
a. Nefron
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan
fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman, yang
mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung
henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus
pengumpul.
b. Korpuskular ginjal
Korpuskular ginjal terdiri dari kapsula bowman dan rumbai kapiler
glomerulus. Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus
proksimal. Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler
dan sel-sel kapsula bowman, dan ruang yang mengandung urine ini dikenal
dengan ruang Bowman atau ruang kapsular Kapsula Bowman dilapisi oleh
sel-sel epitel. Sel epitel parietalis berbentuk gepeng dan membentuk bagian
terluar dari kapsula; sel epitel visceralis jauh lebih besar dan membentuk
bagian dalam kapsula dan juga bagian luar dari rumbai kapiler. Sel
visceralis membentuk tonjolan yang disebut podosit, yang bersinggungan
dengan membrana basalis pada jarak tertentu sehingga terdapat daerah yang
bebas dari kontak antar sel epitel Membrana basalis membentuk lapisan
tengah dinding kapiler, terjepit diantara sel-sel epitel pada satu sisi dan sel-
sel endotel pada sisi yang lain. Membrana basalis membentuk lapisan
tengah dinding kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari
gel hidrasi yang menjalin serat kolagen. Sel-sel endotel membentuk bagian
terdalam dari rumbai kapiler. Sel endotel langsung berkontak dengan
membrana basalis. Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel
visceralis merupakan 3 lapisan yang membentuk membrane filtrasi
glomerulus. Membran filtrasi glomerulus memungkinkan ultrafiltrasi darah
melalui pemisahan unsur-unsur darah dan molekul protein besar. Membrana
basalis glomerulus merupakan struktur yang membatasi lewatnya zat
terlarut ke dalam ruang urine berdasarkan seleksi ukuran molekul.
Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri
dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk
jaringan yang berlanjut antara lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga
berfungsi sebagai kerangka jaringan penyokong.
c. Aparatus Jukstaglomerulus
Aparatus jukstaglomelurus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang
letaknya dekat dengan kutub vascular masing-masing glomelurus yang
berperan penting dalam mengatur pelepasan rennin dan mengontrol volume
cairan ekstraselular (ECF) dan tekanan darah. JGA terdiri dari 3 macam sel:
1. Juksta glomelurus (JG) atau sel glanular (yang memproduksi dan
menyimpan renin) pada dinding arteriol averen. 2. Makula densa tubulus
distal. 3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis. Makula densa adalah
sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan
khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG
yang menyekresi lenin. Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor
ekstrarenal dan intrarenal. Dua mekanisme penting untuk mengontrol
sekresi renin adalah sel JG dan makula densa. Setiap penurunan tegangan
dinding arteriol aferen atau penurunan pengiriman Na ke makula densa
dalam tubulus distal akan merangsang sel JG untuk melepaskan renin dari
granula tempat renin tersebut disimpan didalam sel. Sel JG, yang sel
mioepitelialnya
secara
khusus
mengikat
arteriol
aferen,
juga
III.
Fungsi Ginjal
Ginjal mengekresi bahan-bahan kimia asing tertentu, seperti obatobatan, hormon, dan metabolit lain, tetapi fungsi ginjal paling utama adalah
mempertahankan volume dan komposisi ECF dalam batas normal. Tentu saja
ini dapat terlaksana dengan mengubah ekskresi air dan zat terlarut, kecepatan
filtrasi yang tinggi memungkinkan pelaksanaan fungsi ini dengan ketepatan
yang tinggi. Pembentukan renin dan eritropoietin serta metabolism vitamin D
merupakan fungsi nonekskreator yang penting. Sekresi renin berlebihan yang
mungkin penting pada etiologi beberapa bentuk hipertensi. Defisiensi
eritropoietin dan pengaktifan vitamin D yang dianggap penting sebagai
penyebab anemia dan penyakit tulang pada uremia.
Ginjal juga berperan penting dalam degradasi insulin dan pembentukan
sekelompok senyawa yang mempunyai makna endokrin yang berarti, yaitu
prostaglandin. Sekitar 20% insulin yang dibentuk oleh pancreas didegradasi
oleh sel-sel tubulus ginjal. Akibatnya, penderita diabetes yang menderita payah
ginjal mungkin membutuhkan insulin yang jumlahnya lebih sedikit.
Prostaglandin merupakan hormone asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam
banyak jaringan tubuh. Medula ginjal membentuk PGI dan PGE2 yang
merupakan vasodilator potensial. Prostaglandin mungkin berperan penting
dalam pengaturan aliran darah ginjal, pengeluaran renin, dan reabsorbsi Na+ .
Kekurangan prostaglandin mungkin juga turut berperan dalam beberapa bentuk
hipertensi ginjal sekunder, meskipun bukti-bukti yang ada sekarang ini masih
kurang memadai.
Fungsi Utama Ginjal :
1. Fungsi ekskresi.
a. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan
mengubah ekskresi air.
b. Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubahubah ekresi Na+ .
c. Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu
dalam rentang normal.
Epidemiologi
Insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta
V.
Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satunegara
dengan negara lain. Tabel 4 menunjukan penyebab utama dan insiden penyakit
ginal kronik di Amerika Serikat. Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis di Indonesia. Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya,
nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor
ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.
10
VI.
Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
kontribusi
tehadap
terjadinya
hiperfiltrasi
sclerosis
dan
11
pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar ureadan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tetapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah
30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi
saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit, antara lain Na+ dan K+ . Pada LFG di bawah 15%,
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain
dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai
pada stadium gagal ginjal.
Azotemia
adalah
Retensi
dari
produk
sisa
nitrogen
sebagai
perkembangan insufisiensi ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari
progresivitas insufisiensi ginjal dimana berbagai sistem organ telah terganggu.
Meskipun uremia bukan penyebab utama, urea dapat menimbulkan gejala
klinis seperti anoreksia , malaise, muntah dan sakit kepala. Produk nitrogen
lainnya seperti komponen guanido, urat dan hipurat , hasil akhir metabolisme
asam nukleat, poliamin, mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat tertahan
dalam tubuh pada penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat
meningkatkan
angka
kematian
pada
uremia.
Uremia
tidak
hanya
12
gagal ginjal, bukan hanya karena gangguan katabolisme ginjal tetapi juga
karena meningkatkan sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi
sekunder dari ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Dilain sisi ,
produksi eritropoetin (EPO) dan 1,25- dihidroksikolekalsiferol ginjal
terganggu.Jadi patofisiologi dari sindrom uremia dapat dibagi menjadi dua
bagian. Yang pertama merupakan akumulasi dari produk metabolisme protein ,
yang kedua merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi ginjal seperti
keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormon.
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel
darah merah , kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit)
per 100 ml darah. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan
perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis
yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium. Anemia
merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada penyakit
ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2
dari permukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian
memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada pasien
penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai hematokrit dan klirens kreatinin memiliki
hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat kreatinin
klirens menurun sampai kurang dari 30 35 ml/menit. Anemia pada gagal
ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang
memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini
bersifat hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi
menjadi normal, tidak adekuat.
Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia
pada gagal ginjal, yaitu: Hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
dan penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin.
Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi seperti intoksikasi aluminium.
1. Hemolisis.
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien
hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr
13
menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi ratarata waktu hidup berkurang 25-30%. Penyebab hemolisis terjadi di
ekstraseluler karena sel darah merah normal yang ditransfusikan kepada
pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah
merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang
sehat memiliki waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung
pada uremic plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa
phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan mekanisme yang
menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat
shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena
itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses
hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari
luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar
hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga
menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak
PTH yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan
osmotik dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena
peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan
produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek
langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah
banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua, efek
langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang
terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan
adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien
dengan uremia. Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan
rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah
penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang
berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular
adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat
timbul akibat kompliksaidari prosedur dialisis atau dari interinsik
imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk
14
pemendekan
waktu
hidup
eritrosit.
Hipersplenism
penyebabnya
adalah
terganggunya
keseimbangan
pencernaan
menyebabkan
penambahan
natrium
yang
16
17
hormon
kalsitriol
(1,25(OH)2D3).
Penatalaksanaan
3. Kelainan kardiovaskuler.
a. Penyakit Jantung Iskemik.
Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan akibat dari
faktor resiko tradisional (klasik), yaitu hipertensi, hipervolemia, dislipidemi,
overaktivitas simpatis, dan hiperhomosisteinemia. Dan faktor resiko
nontradisional, yaitu anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, dan
derajat mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap derajat penyakit
ginjal kronik. Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase akut, seperti
18
19
5. Kelainan neuromuskular
Neuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan komposisi dan
fungsi otot, merupakan komplikasi yang sering pada penyakit ginjal kronik.
Gejala awal pada sistem saraf pusat, seperti gangguan ingatan sedang,
gangguan konsentrasi, dan gangguan tidur; iritabilitas neuromuskular, seperti
hiccups, keram, fasikulasi atau twiching otot. Pada uremia terminal,
didapatkan mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejang dan koma.
Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari saraf motorik,
ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian distal lebih dari bagian
proximal.
6. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor ,sensasi pengecapan
seperti metal, gastritis, peptic disease, ulserasi mukosa pada saluran
pencernaan yang dapat menyababkan nyeri perut, mual, muntah, dan
kehilangan darah,peningkatan insiden terjadinyadivertikulosis, pada pasien
dengan penyakit ginjal polikistik, meningkatkan terjadinya pankreatitis.
7. Kelainan dermatologi.
Pada penyakit ginjal kronik terjadi gatal dan ekskoriasiakibat deposisi pigmen
metabolik dan urokrom, serta uremic frost akibat kadar urea itu sendiri.
VII.
Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar
derajat penyakit dan diagnostik etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit
dibuat atas satu dari dua persamaan berdasarkan konsntrasi kreatinin plasma,
umur, jenis kelamin, etnik. Pertama, persamaan dari penelitian modifikasi diet
pada penyakit ginjal yaitu:
LFG (ml/menit/1,73m2 ) = 1,86 x ( P cr) - 1,154 x (umur) - 0,023
20
(140umur )x BB
72 x kreatinin plasma(mg/dl)
Keterangan: wanita x 0,85
21
VIII.
Pemeriksaan penunjang
Gambaran laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
Sesuai dengan penyakit yang mendasari (diabetes militus,
hipertensi, dll).
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan
rumus kockcroft-gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa
kadar
hiper
asam
atau
urat,
hiper
atau
hipokloremia,
hipokalemia,
hiperfosfatemia,
Gambaran radiologi
Pemeriksaan radiologi Penyakit ginjal kronik meliputi:
Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque.
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah
mengalami kerusakkan.
Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.
USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi. Indikasi USG (NICE 2008):
o Progresif GGK (LFG turun > 5 ml.min.1,73m2 dalam 5
tahun).
o Adanya hematuria
o Ada gejala obstruksi saluran kencing
o Ada riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik dan berusia
lebih dari 20 tahun.
o GGK stadium 4 dan 5.
o Memerlukan biopsi ginjal.
22
IX.
Diagnosis
Diagnosis GGK ditegakan apabila LFG < 60 ml/min/1,73m2 selama
lebih dari 3 bulan, atau adanya bukti gagal ginjal (gambaran patologi yang
abnormal atau adanya tanda kerusakan, termasuk abnormalitas dari
pemeriksaan darah dan urin atau gambaran radiologi). Bila dari hasil
pemeriksaan yang sudah dilakukan belum dapat menegakkan diagnosis, maka
dapat dilakukan biopsy ginjal terutama pada pasien dengan ukuran ginjal
mendekati normal. Tetapi prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang
kecil bilateral, penyakit ginjal polikistik, hipertensi tidak terkontrol, infeksi
traktur urinarius, kelainan perdarahan, gangguan pernapasan dan morbid
obesity
X.
Tatalaksana
Farmakoterapi (menurut NICE guidelines 15september2008)11
A. Kontrol tekanan darah
Pada orang dengan GGK, harus mengkontrol tekanan sistolik <
140 mmHg (dengan kisaran target 120 139 mm Hg) dan tekanan
23
NSAIDs.
Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau
dosis harus diturunkan dan alterlatif antihipertensi lain bisa
digunakan.
C. Komplikasi lainnya
Metabolisme tulang dan osteoporosis
o Melakukan pengukurang rutin untuk kalsium, fosfat,
paratiroid hormone (PTH) dan level vitamin D pada
orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B, tidak
direkomendasikan.
24
dihydroxycholecalciferol (calcitrol).
Monitor konsentrasi serum kalsium dan fosfat pada orang yang
mendapatkan terapi diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol
(alfacalcidol) atau 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitrol).
D. Anemia8
Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb < 11
1. Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan
recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi
terapi. Seperti yang telah di demonstrasikan dengan plasma kambing
uremia yang kaya eritropoetin, human recombinant eritropoetin
diberikan intravena kepada pasien hemodialisa ,telah dibuktikan
menyebabkan
peningkatan
eritropoetin
yang
drastis.
Hal
ini
tinggi
karena
ke
zat
arah
terlarut
konsentrasi
berpindah
yang
dari
rendah
28
emulsion 10-20% sebanyak 500 mL. Diet rendah garam, dalam bentuk
protein sekitar 0,6 0,75% g/kgBB/hari,dengan protein yang memiliki
nilai biologic tinggi, sebesar 0,35 g/kgBB/hari tergantung dari
beratnya gangguan fungsi ginjal. Pasien dengan gagal ginjal krooni
harus mengurangi asupan proeinnya karena protein berlebih akan
menyebabkan terjadinya penumpukan nitrogen dan ion inorganic yang
akan mengakibatkan gangguan metabolic yang disebut uremia. Dua
penelitian meta-analisis membuktikan efek dari restriksi protein
memperlambat progresivitas penyakit ginjal diabetik dan nondiabetik. Asupan kalori yang cukup sekitar 35 kkal/kgBB.
Restriksi Protein Pada Pasien CKD
XI.
Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
29
GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai
mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala, sehingga penanganannya
seringkali terlambat.
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. S
Umur
: 59 Tahun
Jenis kelamin
: Wanita
Alamat
: Pasekan
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Status perkawinan
: Sudah Menikah
Pekerjaan
Tanggal masuk RS
: 25 Mei 2016
No. CM
: 063XXX-2016
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Sesak
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak, sesak dirasakan sejak 1 hari
SMRS setelah makan buah pepaya. Sesak dirasakan terus menerus. Sesak
tidak membaik dengan istirahat maupun dengan posisi duduk. Sesak tidak
disertai dengan suara ngik-ngik dan tidak diperberat dengan cuaca ataupun
30
aktivitas. Tidur dengan satu bantal, dan tidak terbangun karena sesak saat
malam hari. Pasien juga tidak mengeluhkan keluhan batuk.
Pasien juga merasa sering merasa lemas, lemas dirasakan terus
menerus, lemas tidak membaik setelah istirahat dan makan. Lemas tidak
disertai dengan suara berdenging di telinga dan pasien terkadang merasa
berdebar-debar hilang timbul namun tidak disertai dengan nyeri dada.
Keluhan sesak juga disertai dengan rasa nyeri di ulu hati, terasa
perih. Nyeri terutama dirasakan sebelum makan. Nyeri membaik setelah
makan.
Pasien juga merasa kelopak mata bengkak, bengkak dirasakan
sejak 1 hari SMRS, bengkak dirasakan terus menerus dan memberat
setelah pagi hari. Pasien juga merasa kedua kaki pasien terasa bengkak,
bengkak dirasakan terus menerus terutama setelah berjalan dan berdiri,
bengkak tidak disertai rasa nyeri dan kemerahan.
Semasa muda pasien memiliki kebiasaan riwayat minum jamu,
pasien meminum jamu hampir setiap hari agar badan pasien merasa
enakan. Pasien memiliki riwayat gagal ginjal sejak 2 tahun SMRS dan
rutin menjalani hemodialisa
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1) Riwayat sakit darah tinggi
: disangkal
: disangkal
: disangkal
5) Riwayat CKD
rutin hemodialisa
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1) Riwayat sakit darah tinggi
: disangkal
31
: disangkal
: disangkal
E. Riwayat Kebiasaan
1)
2)
3)
4)
F. ANAMNESIS SISTEM
1) Kepala
pusing
(-),
kepala
pendengaran
32
8) Sistem respirasi
(-),
: sering
berdebar-debar
(-),
: mual
(+),
nafsu
makan
33
1.
Keadaan Umum
2.
Status gizi
Tanda Vital
GCS : E4 V5 M6
Tampak kurus, gizi kesan kurang
Tensi : 240/110 mmHg
Nadi : 84x/ menit, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Respirasi : 36x/menit
Suhu : 36,60C
3.
4.
5.
Kulit
Kepala
Mata
6.
Mulut
7.
Leher
8.
Thorax
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
sinistra
Iktus kordis teraba di SIC V 1 cm ke arah medial
Perkusi
linea midclavicularis
Batas
jantung
kiri
bawah:
SIC
Vlinea
34
Pulmo :
Inspeksi
Statis
Dinamis
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Kanan
Kiri
Kanan
kiri
Sonor
Sonor
Suara dasar vesikuler (+), wheezing (-), ronchi basah
Kiri
halus (-)
Suara dasar vesikuler (+), wheezing (-), ronchi basah
9.Punggung
10. Abdomen
Inspeksi
Auscultasi
Perkusi
Palpasi
11
12
.
Normochest, simetris
Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tidak
Genitourinaria
Ekstremitas
Superior dekstra
halus (-)
kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-)
Dinding
perut
sejajardinding
thorak,caput
medusae (-)
Bising usus (+) normal
Tympani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Supel,Nyeri tekan epigastrium (+), Murphy sign
(-), hepar dan lien tidak teraba
sekret (-), radang (-)
Pitting Edema (+),spoon nail (-),kuku pucat
(-),clubing finger (-), palmar eritema (-), palmar
Superior sinistra
ikterik (-)
Pitting Edema (+)spoon nail (-), kuku pucat
(-),clubing finger (-), palmar eritema (-), palmar
Inferior dekstra
ikterik (-)
Pitting edema(+/+),spoon nail (-) kuku pucat (-),
clubing finger (-), nyeri genu (-), oedem genu (-),
Inferior Sinistra
nail
(-)
kuku
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. EKG (Tanggal 25 Mei 2016)
26/01/16
Hematologi Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
8.4
25.4
6.3
g/dl
%
Ribu/ul
12.0-15.6
33-45
4.5-11.0
36
Trombosit
Eritrosit
HbsAg
Indeks Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
HITUNG JENIS
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
KIMIA KLINIK
Kreatinin
Ureum
Glukosa Sewaktu
Asam Urat
236
2.56
Non reaktif
Ribu/ul
Juta/ul
-
150-450
4.10-5.10
Non reaktif
99.2
32.8
33.1
14.9
7.4
/um
Pg
Gr/dl
%
Fl
80.0 96.0
28.0 33.0
33.0 36.0
11.6 14.6
7.2 11.1
0.3
0.0
4.5
1.5
0.0
%
%
%
%
%
0.00 4.00
0.00 2.00
55.00 80.00
22.00 44.00
0.00 7.00
10.59
230.6
77
6.64
mg/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dL
0.6-1.1
10 50
74-106
2-7
H. DIAGNOSIS BANDING
1. CKD stadium V
2. AKI
3. CHF
I. DIAGNOSIS KERJA
CKD stadium V
J. DIAGNOSIS TAMBAHAN
Hipertensi Emergency
Dyspepsia
K. PENATALAKSANAAN
a. Initial terapi
i. Non medikamentosa
37
-Bedrest total
-Diet Rendah Garam Rendah Protein
Medikamentosa
-
b. Initial planning
i. Pemeriksaan darah rutin, ureum, creatinin, GDS
ii. Pro Hemodialisa
c. Initial monitoring
i. Keadaan umum dan vital sign
d. Initial edukasi
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit, komplikasi,
serta prognosis pasien.
L. PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanam
: ad malam
Ad fungsionam
: ad malam
38
M. FOLLOW UP
Tanggal
25/6/ 2016
Subjektif
Sesak
Objektif
KU :Tampak sesak
Tensi : 240/110
mmHg
Nadi : 84x/ menit, isi
dan tegangan cukup
Frekuensi Respirasi :
36x/menit
Suhu : 36,60C
SpO2 : 94% dengan
O2 2 lpm
Mata: CA(+/+),
Oedem palpebra (+/
jam IV
Usalfat 3x1C
Candesartan 16mg/24 jam
vesikuler (+/+), ronkhi CaCO3 3x1
Asam Folat 1x1
(-/-)
Abdomen : distensi (-)
Planning: Hemodialisa
, BU (+) N
Extremitas: edema
+)
Dada : Suara dasar
(+/+)
39
26/1/2016
Ass :
CKD stg V
Hipertensi Emergency
Dyspepsia
Tx:
O2 2 lpm
Infus RL12 tpm
Amlodipin 10mg/24 jam
Inj. Omeprazole 1 amp/24
jam IV
Usalfat 3x1C
Candesartan 16mg/24 jam
CaCO3 3x1
Asam Folat 1x1
Ekstra:
Inj. Ondansetron 4mg
Nifedipin SL 5mg
BLPL
Terapi:
Candesartan 1x16mg
Oedem palpebra (-/-)
Amlodipin 1x10mg
Dada : Suara dasar
Ranitidin 2x1 tab
vesikuler (+/+), ronkhi Ondansetron 2x1 tab
CaCO3 3x1
(-/-)
Asam Folat 1x1
Extremitas: edema
(-/-)
BAB IV
ANALISA KASUS
Diagnosis gagal ginjal kronis pada pasien ini dapat dilihat dari gejala
dan tanda fisik yang didapatkan pada pasien seperti sesak, anemia, hipertensi,
oedem palpebra. Diagnosis ini juga didukung oleh temuan laboratorium
40
41
bertahan
didalam
ruang
vaskular.
Turunnya
kadar
albumin
BAB V
KESIMPULAN
Gagal ginjal kronis merupakan penyakit yang diakibatkan oleh
menurunnya fungsi ginjal akibat rusaknya nephron sebagai unit terkecil
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Ardaya. Manajemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik, tatalaksana
Gagal ginjal Kronik, 2003. Palembang:Perhimpunan Nefrologi Indonesia,
2003:13-22
43
44