Você está na página 1de 44

BAB I

PENDAHULAN
I.

Latar Belakang
Gagal ginjal kronik (GGK) mengambarkan suatu keadaan ginjal yang

abnormal baik secara struktural maupun fungsinya yang terjadi secara progresif
dan menahun, umumnya bersifat ireversibel. Sering kali berakhir dengan penyakit
ginjal terminal yang menyebabkan penderita harus menjalani dialisis atau bahkan
transplantasi ginjal.1 Penyakit ini sering terjadi, seringkali tanpa disadari dan
bahkan dapat timbul bersamaan dengan berbagai kondisi (penyakit kardiovaskular
dan diabetes). Di Indonesia, dari data yang didapatkan berdasarkan serum
kreatinin yang abnormal, diperkirakan pasien dengan GGK ialah sekitar 2000/juta
penduduk.2 GGK atau sering disebut juga penyakit ginjal kronik (Chronic kidney
disease) memiliki prevalensi yang sama baik pria maupun wanita dan sangat
jarang ditemukan pada anak-anak, kecuali dengan kelainan genetic, seperti
misalnya pada Sindroma Alport ataupun penyakit ginjal polikistik autosomal
resesif.3,4
Terdapat perubahan paradigma dalam pengelolaan GGK karena adanya
data-data epidemiologi yang menunjukan bahwa pasien dengan gangguan fungsi
ginjal ringan sampai sedang lebih banyak daripada mereka yang dengan stadium
lanjut, sehingga upaya penatalaksanaan lebih ditekankan kearah diagnosis dini
dan upaya preventif. Selain itu ditemukan juga bukti-bukti bahwa intervensi atau
pengobatan pada stadium dini dapat mengubah prognosa dari penyakit tersebut.
Terlambatnya penanganan pada penyakit gagal ginjal kronik berhubungan dengan
adanya cadangan fungsi ginjal yang bisa mencapai 20% diatas nilai normal,
sehingga tidak akan menimbulkan gejala sampai terjadi penurunan fungsi ginjal
menjadi 30% dari nilai normal.2 GGK sering berhubungan dengan anemia.
Anemia pada GGK muncuk ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40
ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh. Anemia akan menjadi lebih berat lagi
apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah
1

mencapai stadium akhir, anemia akan secara relatif menetap. Anemia pada GGK
terutama diakibatkan oleh berkurangnya eritropoietin. Anemia merupakan kendala
yang cukup besar bagi upaya mempertahankan kualitas hidup pasien GGK.
II.

Tujuan
Mengetahui diagnosis dan tata laksana inisial pada gagal ginjal kronis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan

etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang


progresif dan umunya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal
adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis maupun transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom
klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi
ginjal pada penyakit gagal ginjal kronik.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan
LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2 , tidak termasuk kriteria
penyakit ginjal kronik.

II.

Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk kacang yang terletak di kedua

sisi koloumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri
karena tertekan ke bawaholeh liver. Kutub atas ginjal kanan setinggi iga ke 12,
sedangkan kutub ginjal kiri setinggi iga ke 11. Permukaan anterior dan
posterior kutub atas, bawah, dan tepi lateral ginjal berbentuk cembung,
sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa
struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus diantaranya adalah
arteri dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter.
Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis ( setinggi vertebra
lumbalis II). Aorta terletak disebelah kiri garis tengah, sehingga arteri renalis
kanan lebih panjang dari arteri renalis kiri. Setiap arteri renalis bercabang
sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal. Vena renalis menyalurkan darah dari
masing-masing ginjal ke dalam vena kava inferior yang terletak di sebalah
kanan dari garis tengah. Vena renalis kiri kira-kira dua kali panjang dari vena
renalis kanan. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang
menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya
membentuk percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramidpiramid tersebut. Arteri arkuata lalu akan membentuk arteriol interlobularis
yang tersusun pararel dalam korteks. Arteriol interlobularis ini selanjutnya
membentuk arteriol aferen. Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai ke
rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerolus (jamak : glomeruli).
Kapiler glomeruli bersatu membentuk arterior eferen yang kemudian
bercabang-cabang membentuk sistem jaringan portal yang mengelilingi tubulus
dan kadang disebut kapiler peritubular. Medula terbagi-bagi menjadi baji
segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh korteks
yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak
karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron.
Papilla (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bellini yang
terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap

duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk
seperti cawan yang disebut kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu
membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu sehingga membentuk
pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul
ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria. Ureter
berasal dari bagian bawah pelvis renalis pada ureteropelvic junction lalu turun
ke bawah sepanjang kurang lebih 28 34 cm menuju kandung kemih. Dinding
dari kaliks, pelvis dan urter mengandung otot polos yang berkontraksi secara
teratur untuk mendorong urine menuju kandung kemih
Struktur mikroskopik ginjal:
a. Nefron
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan
fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman, yang
mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung
henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus
pengumpul.
b. Korpuskular ginjal
Korpuskular ginjal terdiri dari kapsula bowman dan rumbai kapiler
glomerulus. Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus
proksimal. Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler
dan sel-sel kapsula bowman, dan ruang yang mengandung urine ini dikenal
dengan ruang Bowman atau ruang kapsular Kapsula Bowman dilapisi oleh
sel-sel epitel. Sel epitel parietalis berbentuk gepeng dan membentuk bagian
terluar dari kapsula; sel epitel visceralis jauh lebih besar dan membentuk
bagian dalam kapsula dan juga bagian luar dari rumbai kapiler. Sel
visceralis membentuk tonjolan yang disebut podosit, yang bersinggungan
dengan membrana basalis pada jarak tertentu sehingga terdapat daerah yang
bebas dari kontak antar sel epitel Membrana basalis membentuk lapisan
tengah dinding kapiler, terjepit diantara sel-sel epitel pada satu sisi dan sel-

sel endotel pada sisi yang lain. Membrana basalis membentuk lapisan
tengah dinding kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari
gel hidrasi yang menjalin serat kolagen. Sel-sel endotel membentuk bagian
terdalam dari rumbai kapiler. Sel endotel langsung berkontak dengan
membrana basalis. Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel
visceralis merupakan 3 lapisan yang membentuk membrane filtrasi
glomerulus. Membran filtrasi glomerulus memungkinkan ultrafiltrasi darah
melalui pemisahan unsur-unsur darah dan molekul protein besar. Membrana
basalis glomerulus merupakan struktur yang membatasi lewatnya zat
terlarut ke dalam ruang urine berdasarkan seleksi ukuran molekul.
Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri
dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk
jaringan yang berlanjut antara lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga
berfungsi sebagai kerangka jaringan penyokong.
c. Aparatus Jukstaglomerulus
Aparatus jukstaglomelurus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang
letaknya dekat dengan kutub vascular masing-masing glomelurus yang
berperan penting dalam mengatur pelepasan rennin dan mengontrol volume
cairan ekstraselular (ECF) dan tekanan darah. JGA terdiri dari 3 macam sel:
1. Juksta glomelurus (JG) atau sel glanular (yang memproduksi dan
menyimpan renin) pada dinding arteriol averen. 2. Makula densa tubulus
distal. 3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis. Makula densa adalah
sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan
khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG
yang menyekresi lenin. Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor
ekstrarenal dan intrarenal. Dua mekanisme penting untuk mengontrol
sekresi renin adalah sel JG dan makula densa. Setiap penurunan tegangan
dinding arteriol aferen atau penurunan pengiriman Na ke makula densa
dalam tubulus distal akan merangsang sel JG untuk melepaskan renin dari
granula tempat renin tersebut disimpan didalam sel. Sel JG, yang sel

mioepitelialnya

secara

khusus

mengikat

arteriol

aferen,

juga

bertindaksebagai transducer tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau


volume sirkulasi efektif (ECV) yang sangat menurun menyebabkan
menurunnya tekanan perfusi ginjal, yang sirasakan sebagai penurunan
regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian melepaskan renin ke dalam
sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan mekanisme reninangiotensinaldosteron. Mekanisme kontrol kedua untuk pelepasan berpusat didalam sel
makula densa, yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi
beban klorida yang terdapat pada tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi
volume, sedikit natrium klorida (NaCl) dialirkan ke tubulus distal (karena
banyak yang di absorbsi ke dalam tubulus proximal) kemudian timbal balik
dari sel makula densa ke sel JG menyebabkan peningkatan renin.
Mekanisme sinyal klorida yang diartikan menjadi perubahan sekresi renin
ini belum diketahui dengan pasti. Suatu peningkatan volume ECF yang
menyebabkan peningkatan tekanan perfusi ginjal dan meningkatkan
pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek yang berlawanan dari
contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECFyaitu menekan sekresi
renin. Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis
ginjal, yang merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta1-adrenergik
dalam JGA, angiotensin II yang menghambat pelepasan renin. Banyak
faktor sirkulasi lain yang juga mengubah sekresi renin, termasuk elektrolit
plasma (kalsium dan natrim) dan berbagai hormon, yaitu hormonenatriuretik
atrial, dopamin, hormone antidiuretik (ADH), hormon adrenokortikotropik
(ACTH), dan nitrit oksida (dahulu dikenal sebagai faktor relaksasi yang
berasal dari endothelium [EDRF] ), dan prostaglandin. Hal ini terjadi
mungkin karena JGA adalah tempat integrasi berbagai input dan sekresi
renin itu mencerminkan interaksi dari semua faktor.

III.

Fungsi Ginjal

Ginjal mengekresi bahan-bahan kimia asing tertentu, seperti obatobatan, hormon, dan metabolit lain, tetapi fungsi ginjal paling utama adalah
mempertahankan volume dan komposisi ECF dalam batas normal. Tentu saja
ini dapat terlaksana dengan mengubah ekskresi air dan zat terlarut, kecepatan
filtrasi yang tinggi memungkinkan pelaksanaan fungsi ini dengan ketepatan
yang tinggi. Pembentukan renin dan eritropoietin serta metabolism vitamin D
merupakan fungsi nonekskreator yang penting. Sekresi renin berlebihan yang
mungkin penting pada etiologi beberapa bentuk hipertensi. Defisiensi
eritropoietin dan pengaktifan vitamin D yang dianggap penting sebagai
penyebab anemia dan penyakit tulang pada uremia.
Ginjal juga berperan penting dalam degradasi insulin dan pembentukan
sekelompok senyawa yang mempunyai makna endokrin yang berarti, yaitu
prostaglandin. Sekitar 20% insulin yang dibentuk oleh pancreas didegradasi
oleh sel-sel tubulus ginjal. Akibatnya, penderita diabetes yang menderita payah
ginjal mungkin membutuhkan insulin yang jumlahnya lebih sedikit.
Prostaglandin merupakan hormone asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam
banyak jaringan tubuh. Medula ginjal membentuk PGI dan PGE2 yang
merupakan vasodilator potensial. Prostaglandin mungkin berperan penting
dalam pengaturan aliran darah ginjal, pengeluaran renin, dan reabsorbsi Na+ .
Kekurangan prostaglandin mungkin juga turut berperan dalam beberapa bentuk
hipertensi ginjal sekunder, meskipun bukti-bukti yang ada sekarang ini masih
kurang memadai.
Fungsi Utama Ginjal :
1. Fungsi ekskresi.
a. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan
mengubah ekskresi air.
b. Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubahubah ekresi Na+ .
c. Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu
dalam rentang normal.

d. Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan


kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3 - .
e. Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein
(terutama urea, asam urat, dan kreatinin).
f. Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat
2. Fungsi non-ekskresi.
a. Mensintesis dan mengaktifkan hormon.
b. Renin: penting dalam pengaturan tekanan darah.
c. Eritropoetin: merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang.
d. 1,25 dihidroksivitamin D3: hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi
bentuk paling kuat.
e. Prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal,
dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal.
f. Degradasi hormon polipeptida. Insulin, glukagon, parathormon,
prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal
(gastrin,polipeptida intestinal vasoaktif [VIP])
IV.

Epidemiologi
Insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta

penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di


Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal
ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya,insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.

V.

Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satunegara

dengan negara lain. Tabel 4 menunjukan penyebab utama dan insiden penyakit
ginal kronik di Amerika Serikat. Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis di Indonesia. Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya,
nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor
ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.

10

VI.

Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada

penyakit awal yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya


proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan
hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini
diperantarai oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan

kontribusi

tehadap

terjadinya

hiperfiltrasi

sclerosis

dan

progresifitas penyakit tersebut.


Aktivasi jangka panjang Aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian
diperantarai oleh Growth Factor, seperti Transforming Growth Factor (TGF). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit
ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia .
Terdapat variabilitas inter individual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyakit gagal
ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana
basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi

11

pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar ureadan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tetapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah
30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi
saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit, antara lain Na+ dan K+ . Pada LFG di bawah 15%,
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain
dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai
pada stadium gagal ginjal.
Azotemia

adalah

Retensi

dari

produk

sisa

nitrogen

sebagai

perkembangan insufisiensi ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari
progresivitas insufisiensi ginjal dimana berbagai sistem organ telah terganggu.
Meskipun uremia bukan penyebab utama, urea dapat menimbulkan gejala
klinis seperti anoreksia , malaise, muntah dan sakit kepala. Produk nitrogen
lainnya seperti komponen guanido, urat dan hipurat , hasil akhir metabolisme
asam nukleat, poliamin, mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat tertahan
dalam tubuh pada penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat
meningkatkan

angka

kematian

pada

uremia.

Uremia

tidak

hanya

mempengaruhi kegagalan ekskresi renal saja tetapi dapat juga menyebabkan


gangguan pada fungsi metabolik dan endokrin yang dapat menyebabkan
anemia malnutrisi, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein,
gangguan penggunaan energi, dan penyakit tulang metabolik. Lebih jauh lagi
kadar plasma berbagai hormon polipeptida seperti paratiroid hormon (PTH),
insulin, glukagon, luteinizing hormon, dan prolaktin akan meningkat pada

12

gagal ginjal, bukan hanya karena gangguan katabolisme ginjal tetapi juga
karena meningkatkan sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi
sekunder dari ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Dilain sisi ,
produksi eritropoetin (EPO) dan 1,25- dihidroksikolekalsiferol ginjal
terganggu.Jadi patofisiologi dari sindrom uremia dapat dibagi menjadi dua
bagian. Yang pertama merupakan akumulasi dari produk metabolisme protein ,
yang kedua merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi ginjal seperti
keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormon.
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel
darah merah , kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit)
per 100 ml darah. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan
perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis
yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium. Anemia
merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada penyakit
ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2
dari permukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian
memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada pasien
penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai hematokrit dan klirens kreatinin memiliki
hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat kreatinin
klirens menurun sampai kurang dari 30 35 ml/menit. Anemia pada gagal
ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang
memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini
bersifat hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi
menjadi normal, tidak adekuat.
Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia
pada gagal ginjal, yaitu: Hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
dan penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin.
Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi seperti intoksikasi aluminium.
1. Hemolisis.
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien
hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr

13

menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi ratarata waktu hidup berkurang 25-30%. Penyebab hemolisis terjadi di
ekstraseluler karena sel darah merah normal yang ditransfusikan kepada
pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah
merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang
sehat memiliki waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung
pada uremic plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa
phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan mekanisme yang
menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat
shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena
itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses
hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari
luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar
hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga
menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak
PTH yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan
osmotik dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena
peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan
produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek
langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah
banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua, efek
langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang
terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan
adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien
dengan uremia. Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan
rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah
penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang
berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular
adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat
timbul akibat kompliksaidari prosedur dialisis atau dari interinsik
imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk

14

menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat


menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis.
Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan
ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi
hemoglobin, pemhambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis
kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh
copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan kelainan biokomia dapat
menyebabkan

pemendekan

waktu

hidup

eritrosit.

Hipersplenism

merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan


antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati
kronis dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada
pasien dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya
yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi
pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih.
Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena
proses patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati yang
berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi maligna.
2. Defisiensi Eritropoetin.
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor
lain yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon
eritropoesis mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal
terganggu. Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan
produksi eritropoetin pada pasien dengan gagal ginjal yang berat. Produksi
eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang progresif
dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Peran penting defisiensi
eritropoetin pada patogenesis anemia pada gagal ginjal dilihat dari
semakin beratnya derajat anemia. Selanjutnya pada penelitian terdahulu
menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan
dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan
penyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin
yang tidak adekuat. Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah
merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi erotropoetin. Proses
15

inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan pielonefritis


kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien
dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif.
3. Penghambatan eritropoesis.
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel
prekursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari
eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin
uremia yang menekan proses ertropoesis yang dapat dilihat pada proses
hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler
dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur
dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar
eritropetin serum.
Manifestasi GGK dan Uremia:
1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa
a. Homeostasis Natrium dan Air.
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil
kandungan Natrium dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara
perlahan

penyebabnya

adalah

terganggunya

keseimbangan

glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium dari


proses

pencernaan

menyebabkan

penambahan

natrium

yang

menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana


ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan
kerusakkan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik
yang belum di dialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, pemberian
loop diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat
digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga
memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan
H2O. Ketika penyebab ekstra renal pada kehilangan cairan terjadi
seperti muntah, diare, berkeringat, demam, pasien akan mengalami
kekurangan CES.
b. Homeostasis Kalium.

16

Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai


dengan penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun demikian
hiperkalemia dapat terjadi dengan gejala klinis berupa konstipasi,
katabolisme protein, hemolisis, pendarahan , transfusion of stored
redblood cells, augmented dietary intake, metabolik asidosis dan
beberapa obat dapat menghambat kalium masuk ke dalam sel atau
menghambat sekresi kalium di distal nefron. Hipokalemia jarang
terdapat pada penyakit ginjal kronik. Biasanya merupakan tanda
kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi diuretik atau
kehilangan dari gastro intestinal.
c. Metabolik Asidosis.
Dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari hari
dan produksi penyangga jatuh dibawah kadar yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan eksternal ion-ion hidrogen. Asidosis
metabolik ialah akibat yang tidak dapt dihindarkan. Pada kebanyakan
pasien dengan insufisiensi ginjal yang stabil, pemberian 20-30
mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki
asidosis. Namun dalam respons terhadap tantangan asam yang
mendadak (apakah dari sumber endogen atau eksogen), pasien gagal
ginjal kronik, rentan terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali
yang besar utuk koreksi. Pemberian natrium harus dilaksanakan
dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.
2. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat.
Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat
diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau
low bone turnover dengan rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi dari
penyakit tulang akibat sekunder hiperparatiroidism berhubungan dengan
metabolisme mineral yang abnormal yaitu :
(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO4
3- ) dan menimbulkan retensi PO4 3- .
(2). Tertahannya PO4 3- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan
masa sel kelenjar para tiroid.

17

(3) Tertahannya PO4 3- juga menyebabkan terjadinya produksi yang


berlebihan dan sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2 + dan dengan supresi
produksi kalsitriol (1,25 dihidroksi oleh kalsiferol).
(4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis
akibat pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol
yang rendah, pada akhirnya, menimbulkan hiperparatiroidism melalui
mekanisme langsung dan tidak langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek
supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan kalsitriol
pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu
pengurangan kalsitriol menimbulkan gangguan absorbsi Ca2+ dari traktus
gasrto interstinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang
selanjutnya meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol, semuanya
menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari paratiroid sel, yang
menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Osteodistrofi renal merupakan
komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksaan
osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian

hormon

kalsitriol

(1,25(OH)2D3).

Penatalaksanaan

hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat


fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialisis
yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam
mengatasi hiperfosfatemia.

3. Kelainan kardiovaskuler.
a. Penyakit Jantung Iskemik.
Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan akibat dari
faktor resiko tradisional (klasik), yaitu hipertensi, hipervolemia, dislipidemi,
overaktivitas simpatis, dan hiperhomosisteinemia. Dan faktor resiko
nontradisional, yaitu anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, dan
derajat mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap derajat penyakit
ginjal kronik. Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase akut, seperti

18

interleukin 6 dan Creaktif protein, yang menyebabkan proses penyumbatan


koroner dan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Nitride oksida
merupakan mediator yang penting dalam pada dilatasi vaskular. Keberadaan
nitrit oksida, pada penyakit ginjal kronik menurun sebab terjadi peningkatan
konsentrasi asimetris dimetil-1-arginin.
b. Gagal jantung kongestif.
Kelainan fungsi jantung, seperti myocardial ischemic disease dan atau left
ventricular hypertrophy, bersamaan dengan retensi air dan garam pada
uremia, kadang menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.
c. Hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.
Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang paling sering.
Hipertensi yang berkepanjangan menyebabkan terjaadinya hipertrofi
ventrikel.
4. Kelainan hematologi.
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80 90 % pasien penyakit ginjal kronik terutama
disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan
saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi
uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Anemia yang tidak diterapi
akan berhubungan dengan beberapa kelainan fisiologis, seperti penurunan
pengantaran dan penggunaan oksigen ke jaringan, meningkatkan cardiac
output, pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel, angina, gagal jantung
kongestif, penurunan fungsi mental dan kognitif, gangguan siklus menstruasi,
gangguan host untuk melawan infeksi. Selain itu anemia dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan pada anak dengan penyakit ginjal kronik. Evaluasi
terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g % atau hematokrit
30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum
iron,kapasitas ikat besi total/total iron binding capacity, feritin serum),
mencari sumber paerdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan lain sebagainya.

19

5. Kelainan neuromuskular
Neuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan komposisi dan
fungsi otot, merupakan komplikasi yang sering pada penyakit ginjal kronik.
Gejala awal pada sistem saraf pusat, seperti gangguan ingatan sedang,
gangguan konsentrasi, dan gangguan tidur; iritabilitas neuromuskular, seperti
hiccups, keram, fasikulasi atau twiching otot. Pada uremia terminal,
didapatkan mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejang dan koma.
Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari saraf motorik,
ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian distal lebih dari bagian
proximal.
6. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor ,sensasi pengecapan
seperti metal, gastritis, peptic disease, ulserasi mukosa pada saluran
pencernaan yang dapat menyababkan nyeri perut, mual, muntah, dan
kehilangan darah,peningkatan insiden terjadinyadivertikulosis, pada pasien
dengan penyakit ginjal polikistik, meningkatkan terjadinya pankreatitis.
7. Kelainan dermatologi.
Pada penyakit ginjal kronik terjadi gatal dan ekskoriasiakibat deposisi pigmen
metabolik dan urokrom, serta uremic frost akibat kadar urea itu sendiri.

VII.

Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar

derajat penyakit dan diagnostik etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit
dibuat atas satu dari dua persamaan berdasarkan konsntrasi kreatinin plasma,
umur, jenis kelamin, etnik. Pertama, persamaan dari penelitian modifikasi diet
pada penyakit ginjal yaitu:
LFG (ml/menit/1,73m2 ) = 1,86 x ( P cr) - 1,154 x (umur) - 0,023

20

Keterangan: wanita x 0,742


Kedua, persamaan dari Kockcroft-Gault sebagai berikut :

Creatinin Clearance Test (ml/mnt) =

(140umur )x BB
72 x kreatinin plasma(mg/dl)
Keterangan: wanita x 0,85

Klasifikasi menurut NICE 2008


1. Memeriksa adanya proteinuria saat menentukan stadium dari GGK
2. Proteinuria:
Urin ACR (albumin clearance ratio) 30mg/mmol atau lebih
Urin PCR 50 mg/mmol atau lebih. (dengan perkiraan urinary
protein excreation 0,5 g/24jam atau lebih)
3. Stadium 3 dari GGK harus dibagi menjadi 2 subkategori:
LFG 45 59 ml/min/1,73 m2 (stadium 3A)
LFG 30 44 ml/min/1,73 m2 (stadium 3B)
Penanganan pada GGK tidak boleh dipengaruhi oleh usia. Pada orang
dengan usia > 70 tahun dengan LFG 45 59 ml/min/1,73 m2 , apabila keadaan
tersebut stabil seiring dengan waktu tanda ada kemungkinan dari gagal ginjal,
biasanya hal tersebut tidak berhubungan dengan komplikasi dari GGK.

21

VIII.

Pemeriksaan penunjang
Gambaran laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
Sesuai dengan penyakit yang mendasari (diabetes militus,

hipertensi, dll).
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan
rumus kockcroft-gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa

dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.


Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan
hiponatremia,

kadar
hiper

asam
atau

urat,

hiper

atau

hipokloremia,

hipokalemia,

hiperfosfatemia,

hipokalsemia, asidosis metabolik.


Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria,
cast, isosisteinuria.

Gambaran radiologi
Pemeriksaan radiologi Penyakit ginjal kronik meliputi:
Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque.
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah

mengalami kerusakkan.
Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.
USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi. Indikasi USG (NICE 2008):
o Progresif GGK (LFG turun > 5 ml.min.1,73m2 dalam 5
tahun).
o Adanya hematuria
o Ada gejala obstruksi saluran kencing
o Ada riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik dan berusia
lebih dari 20 tahun.
o GGK stadium 4 dan 5.
o Memerlukan biopsi ginjal.

22

Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renogarfi dikerjakan bila ada


indikasi.

IX.

Diagnosis
Diagnosis GGK ditegakan apabila LFG < 60 ml/min/1,73m2 selama

lebih dari 3 bulan, atau adanya bukti gagal ginjal (gambaran patologi yang
abnormal atau adanya tanda kerusakan, termasuk abnormalitas dari
pemeriksaan darah dan urin atau gambaran radiologi). Bila dari hasil
pemeriksaan yang sudah dilakukan belum dapat menegakkan diagnosis, maka
dapat dilakukan biopsy ginjal terutama pada pasien dengan ukuran ginjal
mendekati normal. Tetapi prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang
kecil bilateral, penyakit ginjal polikistik, hipertensi tidak terkontrol, infeksi
traktur urinarius, kelainan perdarahan, gangguan pernapasan dan morbid
obesity
X.

Tatalaksana
Farmakoterapi (menurut NICE guidelines 15september2008)11
A. Kontrol tekanan darah
Pada orang dengan GGK, harus mengkontrol tekanan sistolik <
140 mmHg (dengan kisaran target 120 139 mm Hg) dan tekanan

diastolic < 90 mmHg.


Pada orang dengan GGK dan Diabetes dan juga orang dengan ACR
70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100
mg/mmol atau lebih, atau proteinuria 1 gr/24jam atau lebih),
diharuskan untuk menjaga tekanan sistolik < 130 mmHg (dengan
kisaran target 120-129 mmHg) dan tekanan diastolik < 80 mmHg.

B. Pemilihan agen antihipertensi 1 st line:


ACEInhibitor/ARBs (apabila ACEInhibitor tidak dapat mentolerir).
ACE Inhibitor/ARBs merupakan 1st line terapi hipertensi pada GGK:
Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs:

23

o Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum


potassium dan perkiraan LFG sebelum memulai terapi ACE
Inhibitor/ARBs. Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai 2
minggu setelah penggunaan obat, dan setelah peningkatan dosis.
o Terapi ACE Inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila
konsentrasi serum potassium secara signifikan > 5,0 mmol/L.
o Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut,
karena menurut hasil penelitian terapi tersebut dapat mencetuskan
hiperkalemia. o Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE
Inhibitor/ARBs yang dapat juga mencetuskan hiperkalemia,
bukan kontraindikasi penggunaan terapi tersebut, tapi harus
menjaga konsentrasi serum potassium.
o Stop terapi tersebut, bila konsentrasi serum potassium meningkat
> 6,0 mmol/L atau lebih dan obat lain yang diketahui dapat
meningkatkan hiperkalemia sudah tidak digunakan.
o Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat sebelum
terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma meningkat dari
batas awal kurang dari 30%.
o Apabila perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan kreatinin
plasma 30% atau lebih:
Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan

NSAIDs.
Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau
dosis harus diturunkan dan alterlatif antihipertensi lain bisa
digunakan.

C. Komplikasi lainnya
Metabolisme tulang dan osteoporosis
o Melakukan pengukurang rutin untuk kalsium, fosfat,
paratiroid hormone (PTH) dan level vitamin D pada
orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B, tidak
direkomendasikan.
24

o Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi


PTH pada orang dengan GGK stadium 4 dan 5 (LFG <
30 ml/min/1,73m2 ).
o Memberikan bisphosphonate, apabila ada indikasi
untuk mencegah dan mengobati osteoporosis pada
orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B.
o Pemberian suplemen vitamin D: o GGK stadium 1, 2,
3A/3B diberikan cholecalciferol atau ergocalciferol.
GGK stadium 4 dan 5 diberikan 1-alphahydroxycholecalciferol (alfacalcidol) atau 1,25

dihydroxycholecalciferol (calcitrol).
Monitor konsentrasi serum kalsium dan fosfat pada orang yang
mendapatkan terapi diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol
(alfacalcidol) atau 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitrol).

D. Anemia8
Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb < 11

g/dl (atau 10 g/dl pada usia < 2 tahun).


Menentukan apakah anemia disebabkan oleh GGK atau bukan.
Dengan memperhatikan LFG < 60 ml/min/1.73m2 .
Anemia defisiensi zat besi, biasanya pada:
o Orang dengan GGK stadium 5 dengan level ferritin <
100 mikrogram/L.
o Orang dengan GGK stadium 3 dan 4, dengan level
ferritin < 100 mikrogram/L.

1. Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan
recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi
terapi. Seperti yang telah di demonstrasikan dengan plasma kambing
uremia yang kaya eritropoetin, human recombinant eritropoetin
diberikan intravena kepada pasien hemodialisa ,telah dibuktikan
menyebabkan

peningkatan

eritropoetin

yang

drastis.

Hal

ini

memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah


25

transfusi darah berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang


membutuhkan transfusi reguler. Efek samping utamanya adalah
meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis Heparin yang
tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial
selama dialisis.
Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO:
1) Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan
penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
a. Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi
transferin > 20%.
b. Tidak ada infeksi yang berat.
2) Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap EPO.
3) Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada
keadaan:
a. Hipertensi tidak terkontrol.
b. Hiperkoagulasi.
c. Beban cairan berlebihan / fluid overload.
2. Suplementasi besi. Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi
dengan absorpsi besi pada usus. Monitoring penyimpanan besi tubuh
dengan determinasi ferritin serum satu atau dua kali pertahun
merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia,
suplementasi besi oral lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika
terapi oral gagal untuk memperbaiki defisiensi besi, penggantian besi
secara parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron
dextran atau interferon.
3. Transfusi darah. Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus.
Indikasi transfusi darah adalah:
a. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
b. Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7 g /dL c. Hb < 8
g/dL dengan gangguan hemodinamik
d. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO
ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat,
sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan transfusi
darah dengan hati-hati
26

e. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak


sama dengan target Hb pada terapi EPO)
Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya
overhidrasi, hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis
menunjukkan bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12
g/dL berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti
bermanfaat, walaupun pada pasien dengan penyakut jantung. Pada
kelompok pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian
transfusi darah sedapat mungkin dihindari.
E. Terapi Pengganti Ginjal dan Hemodialisa
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt.Terapi pengganti tersebut
dapat berupa hemodialisis, peritonealdialisis atau transplantasi ginjal.
(PGK). Pada stadium ini terdapat akumulasi toksin uremia dalam
darah yang dapat membahayakan kelangsungan hidup pasien. Pada
umumnya faal ginjal yang masih tersisa, yang diukur dengan klirens
kreatinin (KKr), tidak lebih dari 5 mL/menit/l,73 m 2. Pasien GGK, apa
pun etiologi penyakit ginjalnya, memerlukan pengobatan khusus yang
disebut pengobatan atau terapi pengganti (TP).
Pada GGK, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkandarah ke
dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yangterdiri dari dua
kompartemen yang terpisah. Darah pasiendipompa dan dialirkan ke
kompartemen darah yang dibatasioleh selaput semipermeabel buatan
(artifisial) dengankompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri
cairandialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengankomposisi
elektrolit mirip serum normal dan tidakmengandung sisa metabolisme
nitrogen. Cairan dialisis dandarah yang terpisah akan mengalami
perubahankonsentrasi
konsentrasiyang

tinggi

karena
ke

zat
arah

terlarut
konsentrasi

berpindah
yang

dari
rendah

sampaikonsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen(difusi).


Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah darikompartemen darah
ke kompartemen cairan dialisat dengancara menaikkan tekanan
27

hidrostatik negatif padakompartemen cairan dialisat. Perpindahan air


ini disebutultrafiltrasi.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yangterjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yangsering terjadi di antaranya
adalah hipotensi, kram otot,mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada,
sakit punggung,gatal, demam, clan menggigil. Komplikasi yang
jarang terjadimisalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser;
aritmia,tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,hemolisis,
emboli udara, neutropenia, serta aktivasikomplemen akibat dialisis
dan hipoksemia.
Dialisis dianggap baru perlu dimulai bila di jumpai sarah satu dari ha1
tersebutdi bawah :
Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
K serum >6 mEqL
Ureum darah > 200 mg/dL
pH darah < 7,l
Anuria berkepanjangan ( > 5 hari)
Fluid overloaded
F. Nutrisi
Pemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan energi dan nutrient sekaligus mengurangi gejala-gejala
uremia dan menunda percepatan penurunan fungsi ginjal atau
memperlambatnya. Status nutrisi memiliki kaitan erat dengan angka
mortalitas pada pasien dengan GGK. Dianjurkan kecukupan energy >
35 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia > 60 tahun diberikan 30
kkal/kgBB/hari. Asupan kalori harus cukup untuk mencegah
terjadinya proses katabolik. Bila asupan peroral tidak memadai untuk
memenuhi kebutuhan nutrisis sehari-hari sesuai dengan status gizi
seseorang, dapat ditambahkan nutrisi parenteral. Perbandingan kalori
yang bersumber dari lemak dan karbohidrat sebesar 25% : 75%.
Selain itu diberikan kombinasi dari asam amino esensial dan non
esensial. Jumlah maksimal pemberian karbohidrat adalah 5 g/kgBB.
Sedangkan lipid diberikan maksimal 1 g/kgBB dalam bentuk fat

28

emulsion 10-20% sebanyak 500 mL. Diet rendah garam, dalam bentuk
protein sekitar 0,6 0,75% g/kgBB/hari,dengan protein yang memiliki
nilai biologic tinggi, sebesar 0,35 g/kgBB/hari tergantung dari
beratnya gangguan fungsi ginjal. Pasien dengan gagal ginjal krooni
harus mengurangi asupan proeinnya karena protein berlebih akan
menyebabkan terjadinya penumpukan nitrogen dan ion inorganic yang
akan mengakibatkan gangguan metabolic yang disebut uremia. Dua
penelitian meta-analisis membuktikan efek dari restriksi protein
memperlambat progresivitas penyakit ginjal diabetik dan nondiabetik. Asupan kalori yang cukup sekitar 35 kkal/kgBB.
Restriksi Protein Pada Pasien CKD

XI.

Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka

panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan


yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progesivitas dari

29

GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai
mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala, sehingga penanganannya
seringkali terlambat.

BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. S

Umur

: 59 Tahun

Jenis kelamin

: Wanita

Alamat

: Pasekan

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Status perkawinan

: Sudah Menikah

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Tanggal masuk RS

: 25 Mei 2016

No. CM

: 063XXX-2016

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Sesak
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak, sesak dirasakan sejak 1 hari
SMRS setelah makan buah pepaya. Sesak dirasakan terus menerus. Sesak
tidak membaik dengan istirahat maupun dengan posisi duduk. Sesak tidak
disertai dengan suara ngik-ngik dan tidak diperberat dengan cuaca ataupun

30

aktivitas. Tidur dengan satu bantal, dan tidak terbangun karena sesak saat
malam hari. Pasien juga tidak mengeluhkan keluhan batuk.
Pasien juga merasa sering merasa lemas, lemas dirasakan terus
menerus, lemas tidak membaik setelah istirahat dan makan. Lemas tidak
disertai dengan suara berdenging di telinga dan pasien terkadang merasa
berdebar-debar hilang timbul namun tidak disertai dengan nyeri dada.
Keluhan sesak juga disertai dengan rasa nyeri di ulu hati, terasa
perih. Nyeri terutama dirasakan sebelum makan. Nyeri membaik setelah
makan.
Pasien juga merasa kelopak mata bengkak, bengkak dirasakan
sejak 1 hari SMRS, bengkak dirasakan terus menerus dan memberat
setelah pagi hari. Pasien juga merasa kedua kaki pasien terasa bengkak,
bengkak dirasakan terus menerus terutama setelah berjalan dan berdiri,
bengkak tidak disertai rasa nyeri dan kemerahan.
Semasa muda pasien memiliki kebiasaan riwayat minum jamu,
pasien meminum jamu hampir setiap hari agar badan pasien merasa
enakan. Pasien memiliki riwayat gagal ginjal sejak 2 tahun SMRS dan
rutin menjalani hemodialisa
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1) Riwayat sakit darah tinggi

: (+) sejak 1 tahun yang lalu

dan rutin kontrol


2) Riwayat sakit kencing manis

: disangkal

3) Riwayat sakit jantung

: disangkal

4) Riwayat sakit asma

: disangkal

5) Riwayat CKD

: (+)sejak 2 tahun yang lalu

rutin hemodialisa
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1) Riwayat sakit darah tinggi

: (+) kedua orang tua pasien

2) Riwayat sakit kencing manis

: disangkal

31

3) Riwayat sakit jantung

: disangkal

4) Riwayat sakit serupa

: disangkal

E. Riwayat Kebiasaan
1)
2)
3)
4)

Riwayat konsumsi obat jangka lama


Riwayat merokok
Riwayat minum alkohol
Olahraga

: (+) minum jamu


: disangkal
: disangkal
: Tidak Pernah

F. ANAMNESIS SISTEM
1) Kepala

pusing

(-),

kepala

terasa berat (-), rambut mudah rontok (-)


2) Mata
: mata berkunang-kunang
(-/-), kabur (-/-), gatal (-/-), mata kuning
(-/-), bengkak (-/-), bola mata menonjol
(-/-)kelopak mata bengkak (+/+)
3) Leher
: kaku tengkuk (-), cengeng
(-)
4) Hidung

tersumbat (-), keluar

darah (-), keluar lendir atau air berlebihan


(-), gatal (-)
5) Telinga
:

pendengaran

berkurang (-/-), keluar cairan atau darah


(-/-), pendengaran berdenging (-/-)
6) Mulut
:
sukar
membuka mulut (-), bibir kering (-), gusi
mudah berdarah (-), papil lidah atrofi (-)
7) Tenggorokan
:
rasa
kering dan gatal (-),sakit tenggorokan (-),
suara serak (-), sukar menelan (-)

32

8) Sistem respirasi

: sesak (-),batuk (-),

dahak (-), darah (-), nyeri dada (-), mengi


(-)
9) Sistem kardiovaskuler
pingsan

(-),

: sering

berdebar-debar

(-),

keringat dingin (-), ulu hati terasa


panas (-), denyut jantung meningkat
(-)
10) Sistem gastrointestinal

: mual

(-), muntah (-), sebah (+),cepat


kenyang

(+),

nafsu

makan

menurun (+), nyeri ulu hati (+),


diare (-), sulit BAB (-), BAB
berdarah (-), perut nyeri setelah
makan (-), BAB warna seperti
dempul (-), BAB warna hitam (-).
11) Sistem muskuloskeletal
: kaku
sendi (-), nyeri sendi lutut (-),
bengkak sendi (-), nyeri otot (-)
12) Sistem genitourinaria: nyeri saat
BAK (-), panas saat BAK (-),BAK
sedikit (-), BAK jarang (-), sering
buang air kecil (-), air kencing
warna seperti teh (-),BAK darah (-)
13) Ekstremitas
Atas

: luka (-/-), kesemutan (-/-), bergetar (-/-), ujung jari


terasa dingin (-/-), bengkak (+/+), lemah (-/-).

Bawah : luka (-/-), kesemutan (-/-), bergetar (-/-), ujung jari


terasa dingin (-/-), bengkak (+/+), lemah (-/-).
14) Sistem neuropsikiatri
: gelisah (-),
mengigau (-)
H.PEMERIKSAAN FISIK

33

1.

Keadaan Umum

Sakit sedang,compos mentis

2.

Status gizi
Tanda Vital

GCS : E4 V5 M6
Tampak kurus, gizi kesan kurang
Tensi : 240/110 mmHg
Nadi : 84x/ menit, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Respirasi : 36x/menit
Suhu : 36,60C

3.
4.
5.

Kulit
Kepala
Mata

SpO2 : 94% dengan O2 2 lpm


Warna sawo matang, ikterik (-)
Bentuk mesocephal, rambut warna hitam
Konjunctiva pucat (+/+),sklera ikterik(-/-),pupil
isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya

6.

Mulut

(+/+), oedem palpebra (+/+)


sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-) pucat (+),
lidah tifoid (-), papil lidah atrofi (-) stomatitis (-),

7.

Leher

luka pada sudut bibir (-)


JVP (R+2), trakea di tengah, simetris, pembesaran

8.

Thorax

tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-)


Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostal (-),
spider nevi (-), pernafasan torakoabdominal, sela iga
melebar (-), pembesaran KGB axilla (-/-)

Jantung :
Inspeksi

Iktus kordis tampak di SIC V linea midclavicularis

Palpasi

sinistra
Iktus kordis teraba di SIC V 1 cm ke arah medial

Perkusi

linea midclavicularis
Batas
jantung
kiri

bawah:

SIC

Vlinea

medioklavicularis sinistra 1 jari ke medial


Batas jantung kiri atas : SIC II linea sternalis sinistra
Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis
dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC V linea sternalis
dekstra
Auskultasi

konfigurasi jantung dalam batas normal


HR : 84 kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II murni,

34

intensitas normalreguler, bising (-), gallop (-).

Pulmo :
Inspeksi

Statis
Dinamis

melebar, retraksi intercostal (-)


Pergerakan dada kanan = kiri, fremitus raba kanan =

Palpasi
Perkusi
Auskultasi

Kanan
Kiri
Kanan

kiri
Sonor
Sonor
Suara dasar vesikuler (+), wheezing (-), ronchi basah

Kiri

halus (-)
Suara dasar vesikuler (+), wheezing (-), ronchi basah

9.Punggung
10. Abdomen
Inspeksi
Auscultasi
Perkusi
Palpasi
11
12
.

Normochest, simetris
Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tidak

Genitourinaria
Ekstremitas
Superior dekstra

halus (-)
kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-)
Dinding

perut

sejajardinding

thorak,caput

medusae (-)
Bising usus (+) normal
Tympani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Supel,Nyeri tekan epigastrium (+), Murphy sign
(-), hepar dan lien tidak teraba
sekret (-), radang (-)
Pitting Edema (+),spoon nail (-),kuku pucat
(-),clubing finger (-), palmar eritema (-), palmar

Superior sinistra

ikterik (-)
Pitting Edema (+)spoon nail (-), kuku pucat
(-),clubing finger (-), palmar eritema (-), palmar

Inferior dekstra

ikterik (-)
Pitting edema(+/+),spoon nail (-) kuku pucat (-),
clubing finger (-), nyeri genu (-), oedem genu (-),

Inferior Sinistra

plantar pedis ikterik (-)


Pitting
edema(+/+),Spoon

nail

(-)

kuku

pucat(-),clubing finger (-) ,nyeri genu (-), oedem


genu (-), plantar pedis ikterik (-)
35

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. EKG (Tanggal 25 Mei 2016)

Normo sinus rhytm


b. Laboratorium Darah
Pemeriksaan

26/01/16

Satuan Nilai Rujukan

Hematologi Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit

8.4
25.4
6.3

g/dl
%
Ribu/ul

12.0-15.6
33-45
4.5-11.0

36

Trombosit
Eritrosit
HbsAg
Indeks Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
HITUNG JENIS
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
KIMIA KLINIK
Kreatinin
Ureum
Glukosa Sewaktu
Asam Urat

236
2.56
Non reaktif

Ribu/ul
Juta/ul
-

150-450
4.10-5.10
Non reaktif

99.2
32.8
33.1
14.9
7.4

/um
Pg
Gr/dl
%
Fl

80.0 96.0
28.0 33.0
33.0 36.0
11.6 14.6
7.2 11.1

0.3
0.0
4.5
1.5
0.0

%
%
%
%
%

0.00 4.00
0.00 2.00
55.00 80.00
22.00 44.00
0.00 7.00

10.59
230.6
77
6.64

mg/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dL

0.6-1.1
10 50
74-106
2-7

H. DIAGNOSIS BANDING
1. CKD stadium V
2. AKI
3. CHF

I. DIAGNOSIS KERJA
CKD stadium V
J. DIAGNOSIS TAMBAHAN
Hipertensi Emergency
Dyspepsia
K. PENATALAKSANAAN
a. Initial terapi
i. Non medikamentosa
37

-Bedrest total
-Diet Rendah Garam Rendah Protein
Medikamentosa
-

Extra: Inj. Omeprazole 1 amp IV


: Usalfat 1C
: Nifedipin 10mg SL
O2 2 lpm
Infus RL12 tpm
Amlodipin 10mg/24 jam
Inj. Omeprazole 1 amp/24 jam IV
Usalfat 3x1C
Candesartan 16mg/24 jam
CaCO33x1
Asam Folat 1x1

b. Initial planning
i. Pemeriksaan darah rutin, ureum, creatinin, GDS
ii. Pro Hemodialisa
c. Initial monitoring
i. Keadaan umum dan vital sign
d. Initial edukasi
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit, komplikasi,
serta prognosis pasien.
L. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanam

: ad malam

Ad fungsionam

: ad malam

38

M. FOLLOW UP
Tanggal
25/6/ 2016

Subjektif
Sesak

Objektif
KU :Tampak sesak
Tensi : 240/110
mmHg
Nadi : 84x/ menit, isi
dan tegangan cukup
Frekuensi Respirasi :
36x/menit
Suhu : 36,60C
SpO2 : 94% dengan
O2 2 lpm
Mata: CA(+/+),
Oedem palpebra (+/

Assesment and Planning


Ass :
CKD stg V
Hipertensi Emergency
Dyspepsia
Tx:
Ekstra (IGD):
Inj. Omeprazole
Usalfat
Nifedipin 10mg SL
O2 2 lpm
Infus RL12 tpm
Amlodipin 10mg/24 jam
Inj. Omeprazole 1 amp/24

jam IV
Usalfat 3x1C
Candesartan 16mg/24 jam
vesikuler (+/+), ronkhi CaCO3 3x1
Asam Folat 1x1
(-/-)
Abdomen : distensi (-)
Planning: Hemodialisa
, BU (+) N
Extremitas: edema
+)
Dada : Suara dasar

(+/+)

39

26/1/2016

Mual dan sesak

Ku: Compos Mentis


VS : TD: 242/114
N : 86 x/`
RR : 32/
T : 36,3C
Mata: CA(+/+),
Oedem palpebra (+)
Dada : Suara dasar
vesikuler (+/+), ronkhi
(-/-)
Abdomen : distensi
(-), BU (+) Normal
Extremitas: edema
(+/+)
Post Hemodialisa
KU: Mual
TD: 200/110
N: 83x/menit
RR: 20x/menit
T: 36.6oC
Mata: CA(+/+),

Ass :
CKD stg V
Hipertensi Emergency
Dyspepsia
Tx:
O2 2 lpm
Infus RL12 tpm
Amlodipin 10mg/24 jam
Inj. Omeprazole 1 amp/24
jam IV
Usalfat 3x1C
Candesartan 16mg/24 jam
CaCO3 3x1
Asam Folat 1x1
Ekstra:
Inj. Ondansetron 4mg
Nifedipin SL 5mg

BLPL

Terapi:
Candesartan 1x16mg
Oedem palpebra (-/-)
Amlodipin 1x10mg
Dada : Suara dasar
Ranitidin 2x1 tab
vesikuler (+/+), ronkhi Ondansetron 2x1 tab
CaCO3 3x1
(-/-)
Asam Folat 1x1
Extremitas: edema
(-/-)

BAB IV
ANALISA KASUS
Diagnosis gagal ginjal kronis pada pasien ini dapat dilihat dari gejala
dan tanda fisik yang didapatkan pada pasien seperti sesak, anemia, hipertensi,
oedem palpebra. Diagnosis ini juga didukung oleh temuan laboratorium
40

dimana terjadi peningkatan ureum dan creatinin (Azotemia) pada pasien.


Azotemia adalah Retensi dari produk sisa nitrogen sebagai perkembangan
insufisiensi ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari progresivitas
insufisiensi ginjal dimana berbagai sistem organ telah terganggu. Gagal ginjal
yang dialami pasien mungkin disebabkan oleh kecenderungan pasien untuk
mengkonsumsi jamu-jamuan.
Pasien datang dengan keluhan sesak napas, sesak napas tidak diserta
suara ngik-ngik dan tidak dipengaruhi cuaca, maka dapat disimpulkan bahwa
sesak napas yang dialami pasien bukan disebabkan oleh gangguan paru. Sesk
napas yang dialami pasien juga tidak diperberat dengan aktivitas dan posisi
berbaring, sesak napas dirasakan terus menerus dan pasien tidak bangun tibatiba karena sesak. Hal ini juga menyingkirkan kemungkinan sesak napas
pasien yang disebabkan oleh oedem pulmonum akibat gagal jantung yang
mungkin merupakan manifestasi dari gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik
dapat menjadi faktor yang mendasari munculnya gagal jantung pada pasien
karena gagal ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi yang jangka
panjangnya bisa berakhir menjadi gagal jantung. Hal ini disebabkan akibat
terganggunya fungsi ginjal sebagai pengatur tekanan darah akibat
terganggunya sistem renin-angiostensin. Tekanan darah yang meningkat
memungkinkan progesifitas lebih lanjut menjadi hypertension heart disease
yang dapat berakhir menjadi congestive heart failure. Sesak napas pada
pasien gagal ginjal kronis juga dapat disebabkan akibat terganggunya fungsi
ginjal sebagai pengatur kesetimbangan asam basa. Pasien gagal ginjal kronis
memiliki kecenderungan untuk mengalami alkalosis metabolik yang akan
dikompensasi dengan peningkatan respiratory rate yang diikuti dengan
peningkatan PCO2. Kompensasi yang dilakukan oleh sistem respirasi ini kan
menyebabkan pasien merasa sesak.
Dari pemeriksaan fisik pasien juga didapatkan adanya konjungtiva
anemis yang didukung oleh temuan lab yaitu nilai hemoglobin sebesar 8.4.
dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami anemia. Temuan lab juga
menunjukkan bahwa MCV dan MCH pasien memiliki nilai normal, sehingga

41

dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami anemia normositik normositer.


Pasien gagal ginjal kronis memiliki gejala tersebut akibat terganggunya
fungsi ginjal sebagai penghasil eritropoietin. Turunnya kadar eritropoietin
akan mengganggu produksi eritrosit yang menyebabkan penurunan kuantitas
namun tidak mempengaruhi volume dan saturasi hemoglobin dari eritrosit
tersebut.
Pasien juga mengalami oedem palpebra dan ekstremitas. Oedem yang
dialami oleh gagal ginjal kronis disebabkan oleh penurunan kadar albumin.
Hal ini disebabkan akibat hiperfiltrasi dari glomerolus yang rusak sehingga
albumin ikut keluar bersama urin. Albumin yang memiliki molekul besar
bersifat koloid yang mempertahankan tekanan onkotik darah sehingga plasma
tetap

bertahan

didalam

ruang

vaskular.

Turunnya

kadar

albumin

menyebabkan perembesan plasma keluar dari ruang vaskular ke ruang


interstitial sehinggal terjadi penumpukan cairan di jaringan. Sehingga terjadi
oedem yang muncul terutama di jaringan-jaringan yang tipis seperti palpebra.
Hal ini juga membedakan oedem yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronis
dengan oedem yang terjadi akibat gagal jantung.

BAB V
KESIMPULAN
Gagal ginjal kronis merupakan penyakit yang diakibatkan oleh
menurunnya fungsi ginjal akibat rusaknya nephron sebagai unit terkecil

42

ginjal. Kerusakan tersebut bersifat ireversibel sehingga meningkatkan


mortalitas dan morbiditas pasien mengingat banyaknya komplikasi yang
dapat terjadi pada pasien gagal ginjal kronis seperti azotemia, anemia,
alkalosis metabolik, hipertensi, dll. Diperlukan penanganan secara holistik
baik terapi farmakologis hingga pemberian nutrisi pasien mengingat
gangguan metabolik yang diakibatkan kerusakan ginjal.
Gagal ginjal kronis yang tidak ditangani secara holistik dapat
berakibat morbiditas pasien hingga kematian akibat gangguan metabolik,
gangguan elektrolit, cairan, dan kesetimbangan asam basa, serta hipertensi
maligna. Sehingga diperlukan penanganan yang hati-hati dan kepatuhan
pasien mengenai diet dan pola hidup serta pada kondisi apa pasien harus
diberikan penanganan segera.
Walaupun dewasa ini transplantasi ginjal menjadi terapi utama gagal
ginjal kronis, namun akibat keterbatasan, hemodialisa tetap menjadi terapi
utama gagal ginjal kronis sebagai usaha rehabilitatif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ardaya. Manajemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik, tatalaksana
Gagal ginjal Kronik, 2003. Palembang:Perhimpunan Nefrologi Indonesia,
2003:13-22

43

2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Gagal


ginjal kronik. Dalam Kapita selekta kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta:
Media Aesculapius FKUI,2001:531-534.
3. Skorecki K, Green J, Brenner BM. Chronic Renal Failure. Dalam
Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, et al (eds):
Harissons Principles od Internal Medicine, 16rd ed. New York, McGraw
Hill, 2005:1653-1663.
4. Gold, NS. Chronic Renal Failure. http://www.5mcc.com/content.html.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Dalam Ilmu
Penyakit Dalam Vol.1, ed.4. Jakarta: FKUI, 2007:570
6. Nasution MY, Prodjosudjadi W. pemeriksaan penunjang pada penyakit
ginjal. Dalam Noer S. Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ketiga.
Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2001:299-306
7. Baigent C, Landry M (2003) Study of heart and renal protection. Kidney
International 63: S207-S210.
8. National institutes for health and clinical excellences guidelines 39.
Anemia management in people with chronic kidney disease.Develop by the
national collaborating centre for chronic condition. 2006,September.
9. Perhimpunan Nefrologi Indonesia dalam: Konsensus Manajemen Anemia
Pada pasien Gagal Ginjal Kronik: 2001
10. Ali Z. Nutrisi parenteral pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Dalam
Nefrologi Klinik, Tatalaksana Gagal ginjal Kronik, 2003. Palembang:
perhimpunan nefrologi Indonesia, 2003: 39-34.
11. National institutes for health and clinical excellences guidelines 73.Early
identification and management of chronic kidney disease in adult in
primary and secondary care.Develop by the national collaborating centre
for chronic condition. 2008,September.

44

Você também pode gostar