Você está na página 1de 8

ANALISIS MASALAH B

a. Bagaimana anatomi, fisiologi dan histologi pada kulit ?


Anatomi dan histologi kulit :
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu :
1. Lapisan epidermis atau kutikel
2. Lapisan dermis (korium kutis vera, true skin)
3. Lapisan subkutis(hipodermis)
Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis,subkutis ditandai dengan
adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak.
1) Lapisan epidermis terdiri atas : stratum korneum, stratum lusidum stratum granulosum,

stratum spinosum dan starum basale.


Stratum korneum (lapisan tanduk)adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri
atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah
berubah menjadi keratin (zat tanduk)
Stratum lusidum terdapat langsung dibawah lapisan korneum, merupakan lapisan selsel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut
eleidin.lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki.
Staratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng
dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri
atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak punya lapisan ini. Stratum granuloum juga tampak
jelas di telapak tangan dan kaki.
Stratum spinosum (staratum malphigi) atau disebut pula prickle cell layer (lapisan
akanta) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda
karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen,
dan inti terletak ditengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat dengan permukaan makin gepeng
bentuknya. diantara sel-sel spinosum terdapat jembatan-jembatan antar sel yang terdiri atas
protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antar jembatan-jembatan ini membentuk
penebalan bulat kecil yang disebut nodulus bizzozero. Diantara sel-sel spinosum terdapat
pula sel langerhans. Sel-sel stratum spinosum mengandung banyak glikogen.
Staratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun
vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Lapisan ini
merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini mengadakan mitosis dan
berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu:

a.

Sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan
besar, dihubungkan satu dengan yang lain oleh jembatan antar sel.

b.

Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell merupakan sel-sel berwarna
muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen
(melanosomes).

2.

Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis.
Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan
folikel rambut.secara garis besar dibagi dalam dua bagian yaitu:
a. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan
pembuluh darah.
b. Pars retikulare, yaitu bagian dibawahnya yang menonjol kearah subkutan, bagian ini
terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin dan retikulin.
Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin
sulfat, dibagian ini terdat pula fibroblas, membentuk ikatan (bundel) yang mengandung
hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda serabut bersifat lentur dengan
bertambah umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen
muda. serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah
mengembang serta lebih elastis.

3.

Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel
lemak didalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar dengan inti terdesak ke pinggit
sitoplasma lemak yang bertambah.
Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh
trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut penikulus adiposa, berfungsi sebagai
cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan
getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung pada lokalisasinya. Di
abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, Di daerah kelopak mata dan penis sangar sedikit.
Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan.
Vaskularisasi dikulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di bagian atas
dermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda). Pleksus yang
di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus yang disubkutis dan
di pars retikulare juga mengadakan anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran
lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah bening.

Fisiologi kulit

1. Fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis,
misalnya tekanan, gesekan, tarikan; gangguan kimiawi, misalnya zat-zat kimia terutama
yang bersifat iritan, contohnya lisol, karbol, asam, dan alkali kuat lainnya; gangguan yang
bersifat panas, misalnya radiasi, sengatan sinar ultraviolet; gangguan infeksi luar terutama
kuman/bakteri maupun jamur.
Hal di atas dimungkinkan karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabutserabut jaringan penunjang yang berperanan sebagau pelindung terhadap gangguan fisis.
Melanosit turut berperanan dalam melindungi kulit terhadap pajanan sinar matahari dengan
mengadakan tanning. Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat stratum korneum
yang impermeabel terhadap pelbagai zat kimia dan air, di samping itu terdapat lapisan
keasaman kulit yang melindungi kontak zat-zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman kulit
ini mungkin terbentuk dari hasil ekskresi keringat dan sebum, keasaman kulit menyebabkan
pH kulit berkisar pada pH 5 6,5 sehingga merupakan perlindungan kimiawi terhadap
infeksi bakteri maupun jamur. Proses keratinisasi juga berperanan sebagai sawar (barrier)
mekanis karena sel sel mati melepaskan diri secara teratur.
2. Fungsi absorpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi
cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak.
Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil
bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya
kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat berlangsung
melalui celah antara sel, menembus sel sel epidermis atau melalui muara saluran kelenjar;
tetapi lebih banyak yang melalui sel sel epidermis daripada yang melalui muara kelenjar.
3. Fungsi ekskresi, kelenjar kelenjar kulit mengeluarkan zat zat yang tidak berguna lagi
atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia. Kelenjar
lemak pada fetus atau pengaruh hormon androgen dari ibunya memproduksi sebum untuk
melindungi kulitnya terhadap cairan amnion, pada waktu lahir dijumpai sebagai verni
caseosa. Sebum yang diproduksi melindung kulit karena lapisan sebum ini selain
meminyaki kulit juga menahan evaporasi air yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi
kering. Produk kelenjar lemak dan keringat di kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5
6,5.
4. Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.
Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan badan Ruffini di dermis dan subkutis.
Terhadap dingin diperankan oleh badan badan Krause yang terletak di dermis. Badan taktil
Meissner terletak di papilla dermis berperan terhadap rabaan, demikian pula badan Merkel
Ranvier yang terletak di epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan

Paccini di epidermis. Saraf saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di daerah
erotik.
5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), kulit melakukan peranan ini dengan cara
mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Kulit
kaya akan pembuluh darah sehingga memungkinkan kulit mendapat nutrisi yang cukup baik.
Tonus vaskular dipengaruhi oleh saraf simpatis (asetilkolin). Pada bayi biasanya dinsing
pembuluh darah belum terbentuk sempurna, sehingga terjadi ekstravasasi cairan, karena itu
kulit bayi tampak lebih edematosa karena lebih banyak mengandung air dan Na.
6. Fungsi pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak di lapisan basal
dan sel ini berasal dari rigi saraf. Perbandingan jumlah sel basal : melanosit adalah 10 : 1.
Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan
warma kulit ras maupun individu. Pada pulasan H. E. sel ini jernih berbentuk bulat dan
merupakan sel dendrit, disebut pula sebagai clear cell. Melanosom dibentuk oleh alat golgi
dengan bantuan enzim tirosinase, ion Cu dan O2. Pajanan terhadap sinar matahari
mempengaruhi produksi melanososm. Pigmen disebar ke epidermis melalui tangan tangan
dendrit sedangkan ke lapisan kulit di bawahnya dibawa oleh sel melanofag (melanofor).
Warna kulit tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pigmen kulit, melainkan juga oleh tebal
tipisnya kulit, reduksi Hb, oksi Hb, dan karoten.
7. Fungsi keratinisasi, lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel utama yaitu
keratinosit, sel Langerhans, melanosit. Keratinosit dimulai dari sel basal mengadakan
pembelahan, sel basal yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel
spinosum, makin ke atas sel menjadi makin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum.
Makin lama inti menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini
berlangsung terus menerus seumur hidup, dan sampai sekarang belum sepenuhnya
dimengerti. Matoltsy berpendapat mungkin keratinosit melalui proses sintesis degradasi
menjadi lapisan tanduk. Proses ini berlangsung normal selama kira-kira 14 21 hari, dan
memberi perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik.
8. Fungsi pembentukan vitamin D, dimungkinkan dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol
dengan pertolongan sinar matahari. Tetapi kebutuhan tubuh akan vitamin D tidak cukup
hanya dari hal tersebut, sehingga pemberian vitamin D sistemik masih tetap diperlukan.
Pada manusia kulit dapat pula mengekspresikan emosi karena adanya pembuluh darah, kelenjar
keringat, dan otot otot di bawah kulit.
Sumber :

Linuwih, Sri, dkk. 2015.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi ke-7.Jakarta : Badan

Penerbit FKUI.
http://digilib.unila.ac.id/5688/11/BAB%20II%20-%20Angga.pdf

b. Bagaimana effloresensi bercak putih pada kasus ?


Macula hipopigmentasi.
c. Bagaimana proses penyebaran bercak putih dan mati rasa menyebar pada badan dan
punggung ?
d. Pemeriksaan saraf tepi :
-Ada gangguan fungsi sensorik rasa raba,nyeri dan suhu pada palmar manus dan
plantar pedis dextra et sinistra.
Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada kasus ?
Berdasarkan van Brakel (2007), kerusakan saraf pada kasus MH dapat terjadi melalui tiga
mekanisme, yaitu:
1. Kerusakan saraf secara langsung oleh M. leprae
Kerusakan saraf secara langsung oleh M. leprae dapat terjadi akibat mekanisme
kerusakan neurofilamen yang melibatkan sel schwann sehingga menimbulkan proses
demielinisasi (Van-Brakel, 2007). M. leprae memiliki afinitas terhadap sel Schwann.
Berbagai studi telah menunjukkan adanya suatu protein alpha-Distroglycan yang
terdapat pada lamina basal sel Schwann yang berfungsi sebagai reseptor terhadap
protein pada permukaan M. leprae. Setelah berhasil menginvasi sel Schwann, M.
leprae akan melakukan multiplikasi di dalam sel Schwann. Pada MH tipe
lepromatosa, multiplikasi M. leprae secara bertahap akan merusak sel Schwann, dan
menimbulkan fibrosis. Pada MH tipe tuberkuloid, antigen M. leprae akan
menimbulkan reaksi granulomatosa yang akan merusak saraf secara irreversible dan
menyebabkan proses fibrosis pada saraf yang terlibat (Job dkk., 2001).
2. Kerusakan akibat proses imun dan inflamasi
Mekanisme kerusakan saraf yang dimediasi oleh proses reaksi imun dan inflamasi
dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu melalui proses berikatannya antibodi
dengan neurofilamen, sitotoksisitas, perubahan status fosforilasi pada protein saraf,
berikatannya sel T aktif dengan mielin, dan proses mimikri molekuler, atau autoimun
(Haanpaa dkk., 2004).
3. Kerusakan akibat proses mekanik dan edema
Segmen saraf yang diinfeksi oleh M.leprae biasanya adalah segmen yang proksimal
terhadap kanal fibro-osseus atau sendi pada ekstremitas. Saraf yang mengalami
inflamasi akan membesar, sehingga sangat mudah untuk mengalami cedera saat
adanya gerakan sendi. Kejadian cedera ini akan menimbulkan inflamasi dan
mengganggu permeabilitas pembuluh darah (Job dkk., 2001).

(Sumber

http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-1107-1513938041-dr.

%20candra.pdf)
e. Apa definisi dari diagnosis pada kasus?
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae
yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat.
(Sumber : Linuwih, Sri, dkk. 2015.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi ke-7.Jakarta :
Badan Penerbit FKUI.)
f. Apa saja gejala klinis dari diagnosis pada kasus?
SIFAT

LEPROMATOSA

BORDERLINE

MID BORDERLINE

(LL)

LEPROMATOSA

(BB)

(BL)
Lesi
-

Bentuk

Makula
Plakat
Papul

Plakat
Dome-shaped
Punched - out

Jumlah

Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung, tidak

Sukar dihitung, masih

Dapat dihitung, kulit

Distribusi
Permukaan

ada kulit sehat


Simetris
Halus berkilat

ada kulit sehat


Hampir simetris
Halus berkilat

sehat jelas ada


Asimetris
Agak kasar, agak

Batas
Anestesia

Tidak jelas
Tidak ada sampai

Agak jelas
Tak jelas

berkilat
Agak jelas
Lebih jelas

tidak jelas
BTA
- Lesi kulit
- Sekret hidung
Tes lepromin
Gambaran klinis

Banyak (ada globus)


Banyak
Agak banyak
Banyak (ada globus)
Biasanya negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Biasanya negatif
penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan tingkat kekebalan

selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah
klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini
juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai
berikut :
1.

Tipe tuberkoloid (TT)


Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa

makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau

cemntral healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata.Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak
adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman
kusta.
2.

Tipe borderline tubercoloid (BT)


Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai

lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat
tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf
perifer yang menebal.
3.

Tipe mid borderline (BB)


Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta.

Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula
infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi
tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun
distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4.

Tipe borderline lepromatosa (BL)


Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan

dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya.
Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir
simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah
tampak normal dengan pinggir dalaminfiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir
luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf
berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut
lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada
tempat predileksi.
5.

Tipe lepromatosa (LL)


Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebiheritematosa, berkilap, berbatas

tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas,
yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang dibadan mengenai bagian
badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada
stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi
kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratis. Lebih
lanjut

lagi

dapat

terjadideformitas pada

hidung.

Dapat

dijumpai

pembesaran

kelenjar

limfe,orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan
gejala stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan
papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut
saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan
otot tangan dan kaki.

Sumber :
Linuwih, Sri, dkk. 2015.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi ke-7.Jakarta : Badan

Penerbit FKUI.
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-1107-1513938041-dr.%20candra.pdf
http://kangran.blogspot.co.id/2013/01/referat-morbus-hansen.html

Você também pode gostar