Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Pendahuluan
Al-Qur`an sebagai sumber dasar agama Islam memuat banyak makna,
seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab dari Abdullah Darras:
Ayat-ayat al-Qur`an bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan
cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut lainnya. Dan
tidak mustahil jika kita mempersilakan orang lain memandangnya dari
sudut lainnya, maka dia akan melihat lebih dibanding dengan apa yang
kita lihat.1
Kekayaan makna itulah yang mendorong Nabi Muhammad SAW
memerintahkan Muadz bin Jabal menggunakan ijtihad dalam memutuskan
sesuatu yang tidak terdapat secara harfiah di dalam al-Qur`an dan Hadis. Tidak
hanya itu, tindakan berijtihadnya saja diberi imbalan pahala, lebih-lebih jika
ijtihadnya benar. Sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib
menyatakan, Manusialah yang bertugas mengungkap pesan al-Qur`an agar ia
berfungsi sebagai petunjuk. Karena itu, makna-makna itu tidak akan
membuahkan hasil apa-apa jika ia tidak digali.2
Dalam mengungkap makna pesan Tuhan di dalam al-Qur`an ada dua
pendekatan yang dipakai oleh para ulama, yaitu: Tafsir dan Takwil.3 Tafsir
1
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an (Jakarta:
Lentera Hati, 2000), vol. 1, h. xv.
2
Nasr Hamid Abu Zayd, al-Khitab wa at-Tawil (Beirut: Markaz as-Saqafi al-Arabi,
2000), h. 174.
3
Tafsir secara bahasa bermakna menyingkap (al-Kasyf), menjelaskan (al-Ibanah) dan
menampakkan (al-Idhah). Jika dilihat dari segi istilah, tafsir berarti suatu ilmu yang dapat
mengungkap pesan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sehingga dapat
menjelaskan makna-makna dan hukum-hukumnya. Sedangkan tawil dari sisi bahasa bermakna
mengembalikan, menuju kepada titik akhir dan menjelaskan implikasinya. Dari segi istilahnya
berarti mengembalikan sesuatu kepada tujuan semula baik secara ilmiah maupun praksis atau
memalingkan makna hakikat pada makna majazi sebagaimana dalam teori Ibnu Rusyd. Mana
Qatan juga menyebutkan definisi tafsir yang diadopsi dari perkataannya Abu Hayyan adalah
Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur`an, indikator-indikatornya,
masalah hukum-hukumnya baik yang independen mapun yang berkaitan dengan yang lain, serta
tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapinya.
Sedangkan Tawil adalah pentafsiran yang dikembalikan kepada makna aslinya yang merupakan
esensi yang dimaksud. (Sholeh Abdul Fatah al-Khamidi, at-Tafsir wa at-Tawil fi al-Qur`an
[Urdun: Dar an-Nafa Islam, 1996], h. 23-31; Muhamad Salim Abu Asiy, Maqalatani fi atTawil, Maalim fi al-Minhaj wa Rasydun li al-Inhiraf [Kairo: Dar al-Basair, 2003], h. 13-31;
Mana Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur`an [Riyadh: Maktabah Maarif, 1996], h. 334-338;
Muhammad Abdul Adhim az-Zarqani, Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Qur`an [Beirut: Dar al-
sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dari kandungan alQur`an telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil
karya manusia, terjadinya keanekaragaman penafsiran dan pemahaman tak dapat
dihindarkan. Ada berbagai faktor yang memengaruhi munculnya perbedaan
keanekaragaman tersebut, diantaranya perbedaan kecenderungan (interesting)
dan motivasi dari individual penafsir (individual psicology), perbedaan misi
yang diembannya (political mission), perbedaan kedalaman dan ragam ilmu
yang dimiliki (personal interesting of knowledge), perbedaan umat dan
lingkungan yang mengitarinya (sociology), perbedaan sejarah situasi dan kondisi
yang dihadapinya (sosio-history) dan lain sebagainya. Semua ini menimbulkan
berbagai macam corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran
tafsir yang berbeda-beda.4 Sehingga tidak dinafikkan lagi dari berbagai macam
latar belakang dan metode-metode yang dipakai oleh para ulama dalam
menafsirkan al-Qur`an demi kemaslahatan individual, kelompok maupun
masyarakat Islam secara luas, lahirlah konsep permasalahan yang ada dalam
penafsiran al-Qur`an itu sendiri, yaitu ad-Dakhil fi Tafsir al-Qur`an.5
B. Definisi
Secara etimologis, kata ad-Dakhil dalam bahasa Arab memiliki banyak
arti. Menurut para ahli bahasa ad-Dakhil adalah setiap kalimat yang masuk
dalam pembicaraan Arab dan dia bukan dari Arab, secara materi dia dapat
diterima akan tetapi secara makna dia tertolak rusak, cacat, tidak dapat
dipercaya, menipu, dll.6
Kitab al-Arabi, 1996], vol. II, h. 6; dalam Imam Labib Hibaurrohman, Ad-Dakhil: Implikasinya
terhadap al-Qur`an, h. 1.
4
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memaknai Kembali
Pesan Al-Qur`an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 31; Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah:
Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, Volume. 1, h. xv; dalam Imam Labib Hibaurrohman,
Ad-Dakhil: Implikasinya terhadap al-Qur`an, h. 1.
5
Imam Labib Hibaurrohman, Ad-Dakhil: Implikasinya terhadap al-Qur`an, h. 1.
6
Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij alTatbiqiyah (Kairo: al-Azhar Press, 2006), h. 15.
Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij alTatbiqiyah, h. 15.
8
Ar-Rgib al-Asfahn, Al-Mufradt f GaribAl-Qurn (Mesir: Musafa Al-Bab AlJalis, 1381H/1961M), h. 166. Lihat juga Mujam Miqys Al-Lugh, juz II, h. 3; Tahdzb AlLugh, juz VII, h. 271.
9
Abdul Wahhb Fayyd, Ad-Dakhl ft-Tafsr al-Qur`n al-Karm (Mesir: Mabaah
Hasan, 1978), h. 13.
dan yang didalam juga tidak mencakup yang diluar itu, seperti seseorang yang
berada diluar pintu, dia tidak berkaitan dengan apa yang ada didalamnya, karena
dia mempunyai bidah tertentu yang menyebabkannya terhalangi dari sifat
keterkaitan.10
Sedangkan secara istilahnya ad-Dakhil menurut Dr. Ibrahim Khalifah
adalah penafsiran al-Qur`an yang tidak memiliki sumber yang jelas dalam Islam,
baik itu tafsir yang menggunakan riwayat-riwayat dari hadis dhaif (lemah) dan
palsu, ataupun menafsirkannya dengan tafsiran yang sesat dari sang penafsir itu
sendiri dikarenakan karena lalai atau ada unsur kesengajaan. Dr. Abdul Wahhb
Fayyd memaknai ad-Dakhil sebagai menafsirkan al-Qur`an dengan metode dan
atau dengan cara yang bukan dari Islam. Sedangkan Jumah Ali Abdul Qadir
mendefinisikan ad-Dakhil menurut ulama tafsir adalah penafsiran yang tidak
memiliki orisinalitas agama dari sisi pemaknaan karena ada unsur kecacatan
dalam penafsiran al-Qur`an yang ditafsiri secara tiba-tiba (kesengajaan), lalai
atau kontemporisasi penafsiran yang disesuaikan dengan situasi kondisi kejadian
setelah wafatnya Rasulullah.11
Maka dalam terminologisnya, ad-Dakhil adalah tafsir atau penafsiran yang
tidak memiliki dasar sedikitpun dalam agama, yang dilakukan dengan tujuan
merusak makna dan kandungan al-Qur`an karena kesalahan atau kelalaian pada
sebuah zaman tertentu dimana didalamnya termasuk katagori penafsiran yang
muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.12
C. Faktor Kemunculan
Dalam upaya untuk memahami aspek-aspek kebenaran al-Qur`an, umat
Islam sebenarnya sejak lama telah mengalami pergulatan intelektual yang cukup
serius meskipun bisa dikatakan pergulatan tersebut muncul pada dataran
10
16
akal pikiran. Corak penafsiran tersebut kemudian dikenal dengan istilah tafsir bi
Rayi.18
D. Macam-macam ad-Dakhil
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan variatifnya penafsiran al-Qur`an,
para ulama tafsir membagi ad-Dakhil dalam dua kategori:
1. Dakhil bi Atsar atau bi Manqul19
a. Menafsirkan al-Qur`an dengan menggunakan hadis-hadis yang
sangat lemah (dhaif) atau palsu kemudian mengatasnamakan bahwa
ini berasal dari Rasulullah atau dari sahabatnya.
b. Tafsir al-Qur`an dengan menggunakan Isriliyyt (riwayat-riwayat
yang berasal ahlu kitab dan umat terdahulu sebelum Islam) yang
sangat bertentangan dengan apa yang ada dalam al-Qur`an dan
hadis-hadis yang shahih.
18
Imam Suyuthi mengutip pendapat Zarkasyi dalam kitab al-Burhan mengenai syaratsyarat pokok yang harus dimiliki seseorang agar ia boleh menafsirkan al-Qur`an berdasarkan
Rayu, antara lain: Pertama, berpegang teguh pada hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah
dengan ketentuan dia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif (lemah) dan maudhu (palsu);
Kedua, berpegang pada ucapan para sahabat Nabi Muhammad SAW karena apa yang mereka
katakan menurut peristilahan hadis hukumnya mutlak marfu (shahih atau hasan), khususnya
yang berkaitan dengan asbabun nuzul dan hal-hal yang tidak dapat dicampuri pendapat (qati);
Ketiga, berpegang pada kaidah bahasa Arab yang benar dan harus tetap berhati-hati dalam
menafsirkannya; Keempat, penafsirannya harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan
hukum syara. (Jalaludin Abdurrahman as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur`an [Beirut: Dar
Fikri], vol. II, h. 304; Ibn Abdullah az-Zarkasyi, al-Burhan Fi Ulum al-Qur`an [Beirut: Dar alMarifah, 1391H], vol. II, h. 156-161).
19
Dakhil dalam riwayat ini mempunyai beberapa bentuk: hadis maudu; hadis dhaif;
Atsar sahabat yang diketahui bahwa itu diambil dari riwayat isriliyyt dan bersimpangan
dengan al-Qur`an dan as-Sunnah; Atsar sahabat yang diperselisihkan dan tidak ditemukan
keyakinan tentang kebenarannya; Riwayat dari tabiin, namun maudu, dhaif, dan bagian dari
isriliyyt; Dalil-dalil yang taarud secara hakiki, sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan
al-jamu. Namun kebanyakan dalam kitab-kitab yang membahas masalah ad-Dakhil ini yang
terdapat dalam kitab-kitab tafsr yaitu berupa riwayat isriliyyt, hadis-hadis dhaif dan maudu.
Ibrahim Abdurrahman Khalifah, ad-Dakhl fi at-Tafsr (Mesir: Dar Al-Kutub, t.th.), h. 33.
2. Dakhil bi Rayi20
Menafsirkan al-Qur`an dengan akal pikiran yang menyesatkan dan
menyandarkan pikirannya pada hal-hal yang bersifat logis akan tetapi
bertentangan dengan makna sesungguhnya. Jumah Ali Abdul Qadir
menyebutkan kaedah munculnya Dakhil bi Rayi sebagai, adanya
hukum bersandar pada akal pikiran dan bukanlah adanya hukum untuk
berfikir.21 Oleh karena itu, masuknya ad-Dakhil lebih banyak pada
permasalahan agama secara umum dan pada tafsir al-Qur`an secara
khusus demi kepentingan dan tujuan manusia. Penafsiran al-Qur`an
yang merujuk pada akal pikiran sudah mulai merambah pada
metodologi-metodologi hermeneutika,22 suatu teori yang dipakai barat
dalam menafsirkan bible.
20
Menurut Abu Anas Hamid Ahmad at-Thohir al-Basyuni mengatakan bahwa Dakhil bi
Rayi adalah memasukkan pemikiran dalam pembahasan syariah dan ketetapannya yang
didasari dengan berbagai macam syarat diterima atau tidaknya pemikiran tersebut. Jika
pemikiran tersebut tidak dilandasi oleh hawa nafsu dan tidak bertentangan dengan sumber
hukum maka pemikiran tersebut dapat diterima akan tetapi jika bertentangan dengan sumber
hukum dan disertai dengan keinginan, tujuan serta hawa nafsu individual maka pemikiran
tersebut tidak dapat diterima atau ditolak. (Abu Anas hamid Ahmad at-Thohir al-Basyuni, alIsriliyyt wa al-Mauduat wa Bidai al-Tafsir Qadiman wa Haditsan [Daar Attaqwa, 2004], h.
97).
21
Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij alTatbiqiyah, h. 16-17.
22
Hasan Hanafi dalam tulisannya Religious Dialogue and Revolution menyatakan bahwa
hermeneutika tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman akan tetapi ia juga berarti
sebagai ilmu yang menjelaskan tentang penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai
ke tingkat dunia. Ilmu tentang proses munculnya wahyu dari mulai huruf sampai pada
kenyataan, dari logos sampai kepada praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan
kepada kehidupan manusia. Roger Trigg mengungkapkan sebagaimana dikutip oleh Komarudin
Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama: The Paradigm for Hermeneutics is the
Interpretation of a Traditional Text, Where the problem must always be how we can come to
understand in our own context something which was written in a radically different situation.
(Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi [Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994], h. 1; Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama [Jakarta: Paramadina, 1996], h. 161; Fakhruddin Faiz,
Hermeneutika Qurani Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, h. 11). Berkenaan dengan
metodologi ini, Abdul Mustaqim mengadopsi perkataan Gadamer: That is Why understanding is
not merely a reproductive, but always a productive attitude as well (Kita tidak mungkin
membaca teks tanpa praduga (prejudice) dan kita juga tidak mungkin memahaminya jika kita
tidak menambah makna terhadap makna yang sudah ada. (Hans-Georg Gadamer, Truth and
Method [New York: The Seabury Press, 1975], h. 264; Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir
Kontemporer [Yogyakarta: LKIS Group, 2012], h. 176).
maksud
firman-firman
Allah
sesuai
kemampuan
manusia.
Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij alTatbiqiyah, h. 123-124.
24
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memaknai Kembali
Pesan Al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 1-2.
yang kemudian ditulis dalam kitab-kitab tafsir, baik secara lengkap 30 juz
mapun yang hanya sebagian saja dari ayat al-Qur`an. Sedangkan tafsir sebagai
proses (interpretation as process) adalah aktivitas berfikir yang terus menerus
dilakukan untuk mendialogkan teks al-Qur`an dengan realitas yang berkembang.
Dialog komunikatif antara teks al-Qur`an yang terbatas dengan konteks yang tak
terbatas25 selalu dilakukan oleh mufasir sehingga tafsir merupakan sebuah
proses yang tidak pernah selesai, artinya; tafsir dalam pengertian ini bersifat
dinamis karena senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan
manusia itu sendiri serta dimaksudkan untuk menghidupkan teks dalam konteks
yang selalu terus berkembang dan berubah.26
Ad-dakhil dalam sejarah pertumbuhannya banyak sekali dari para ahli
tafsir masa tabiin yang memasukkan hal-hal baru dalam penafsiran al-Qur`an
disesuaikan dengan kondisi sosio,histori, politic dan antropolo lingkungan pada
waktu itu, baik dari sisi periwayatan Isriliyyt maupun periwayatanperiwayatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena berlandaskan pada
pemikiran akal (ijtihad) mufasir sendiri.
Para mufasir yang berorientasi tekstual memaknai terma Islam sebagai
doktrin baku, formal dan melembaga serta harus diterima apa adanya (taken for
granted). Sedang tafsir yang berorientasi kepada kontekstual atau kontemporer
memahami terma-terma Islam sebagai sebuah instrumen agama dengan
seperangkat doktrin yang bersifat universal dan progresif, dinamis, terbuka dan
tidak kaku sesuai dengan fitrah Islam itu sendiri yaitu sebagai agama yang
integral (kaffah), sempurna untuk semuanya (rahmatan lil alamiin).
25
Nashruddin Baidan mengutip ungkapan Ibnu Taimiyah yang dinukil oleh al-Dzahabi
dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, dikatakan; tafsir yang berlandaskan pemikiran semata tanpa
adanya batasan dan mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku dalam penafsiri alQur`an serta tidak sesuai dengan makna al-Qur`an yang sebenarnya maka penafsiran semacam
itu hukumnya haram. (Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun [Kairo: Daar al-Kutub alHaditsah, 1961], Vol. 1., h. 255-256., Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur`an Kajian
Kritis Terhadap Ayat-ayat Yang Beredaksi Mirip (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 47).
26
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS Group, 2012),
h. 32.
10
Al-Qur`an sebagai shalih li kulli zaman dan makan tidak hanya sebagai
tong kosong nyaring bunyinya akan tetapi bisa menjadi hudan (petunjuk)
terhadap manusia. Muhammad Abduh menilai bahwa kitab-kitab tafsir pada
masanya dan masa sebelumnya tidak lebih dari sekedar pemaparan atas berbagai
macam pendapat para ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya
menjauhkan dari tujuan diturunkannya al-Qur`an.27
Secara normatif, al-Qur`an diyakini memiliki kebenaran mutlak namun
kebenaran produk penafsiran al-Qur`an bersifat relatif dan tentatif, sebab tafsir
merupakan respon mufasir ketika memahami teks kitab suci, situasi dan problem
sosial yang dihadapinya. Oleh karena itu, tidak ada penafsiran yang benar-benar
objektif karena seorang mufasir sudah memiliki prior text yang menyebabkan
kandungan teks itu menjadi ter-reduksi dan terdistorsi maknanya. Setiap
penafsiran terhadap teks, termasuk teks kitab suci al-Qur`an juga sangat
dipengaruhi oleh latar belakang kultural serta anggapan-anggapan yang
melatarbelakangi penafsirannya.28
Sementara itu, orientasi penafsiran menurut Syahrur adalah; Pertama,
penafsiran al-Qur`an harus berorientasi ke depan (future minded), bukan ke
belakang (past minded); dalam artian bahwa penafsiran harus ditujukan pada
upaya pencarian makna baru (new meaning) yang sejalan dengan nalar keilmuan
modern-kontemporer. Al-Qur`an yang bersifat shalih likulli zaman wa makan
tentu saja dapat dipahami sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang kita
hadapi sekarang ini. Bagi Syahrur, produk penafsiran masa lalu cukup kita
hormati, namun tidak boleh kita kultuskan karena hal semacam itu dapat
dipandang sebagai syirik khafi. Kedua, orientasi penafsiran al-Qur`an adalah
untuk membuktikan kebenaran kandungan al-Qur`an secara empiris dan ilmiah
karena al-Qur`an sesungguhnya tidak bertentangan dengan akal dan realitas.
Oleh karena itu, dalam menafsirkan al-Qur`an seorang mufasir harus
27
11
29
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur`an: Qiraah Muashirah (Damaskus: alAhali li an-Nasr wa al-Tawzi, 1992), h. 44.
30
Ibnu Khaldun mengatakan dalam memasukkan konsep ad-dakhil dalam peanfsiran alQur`an dari periwayatan-periwayatan Isriliyyt maka menurut beliau periwayatan yang
diterima dari ahlu kitab (Yahudi-Nasrani) hanyalah seputar sosial kemasyarakatan dan
agamanya yang tidak bertentangan dengan terma ajaran Islam dari al-Qur`an dan hadis. (Lihat:
Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah,
h. 29).
31
Dalam Firman allah Surah al-Baqarah ayat 269:
:
Dia memberikan hikmah kepada siapa saja yang dia kehendaki, barang siapa yang
diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang
dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang memiliki akal sehat
12
32
Imam Thabari nama lengkapnya Abu Jafar Muhammad bin Jarir bin Yazid at-Thabari
lahir pada tahun 224H dan meninggal pada tahun 310H. beliau telah melakukan perjalanan
untuk mencari ilmu dimulai ketika beliau berumur 12 tahun ke negeri Mesir, Syam dan Iraq.
33
Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij alTatbiqiyah, h. 168.
13
1. Penafsiran
al-Qur`an
dengan
hadis
yang
tidak
shahih,
atau
yang sulit
dikompromikan.
8. Menafsirkan al-Qur`an dengan salah satu dari tiga bentuk Ashil alNaqli
yang terakhir,
tetapi
terdapat
pertentangan
yang sulit
dikompromikan.
9. Menafsirkan al-Qur`an dengan salah satu dari bentuk Ashil al-Naqli,
tetapi terdapat pertentangan yang sulit dikompromikan dengan bentuk
Ashil al-Naqli yang lebih kuat.35
34
Kisah isriliyyt adalah berita-berita yang diceritakan Ahli kitab yang masuk Islam.
Lihat Al-Manna al-Khallil Qaththn, Membahas Ilmu al-Qur`an, terj. Muzdakir AS. (Bogor:
Lintera Antar Nusa. 1992), h. 487.
35
Ibrahim Abdur Rahman Kholifah, Addakhil fi al Tafsir, juz 1, Qahirah, h. 34.
14
36
15
Contoh:
,
Perkataan ini berasal dari Imam Ali bin Abi Thalib, bukan hadis
Rasulullah SAW. 39
2. Hadis Dhaif
Menurut bahasa dhaif berarti aziz, yaitu yang lemah sebagai
lawan dari qawiyyu yang artinya kuat. Sedangkan menurut istilah, Ibnu
Shalah memberikan definisi :
Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan.40
Contoh: sebuah hadis yang mengatakan, barangsiapa yang
sholat 6 rakaat setelah shalat Maghrib dan tidak berbicara sedikitpun di
antara sholat tersebut maka, baginya sebanding dengan pahala ibadah
selama 12 tahun (diriwayatkan oleh Umar bin Rasyid dari Yahya bin Abi
Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah). Imam Ahmad dan Yahya bin
Main dan Al-Daruqutni mengatakan bahwa Umar ini adalah dhaif. Imam
Ahmad juga berkata hadisnya tidak bernilai sama sekali. Bukhari berkata,
hadis yang munkar dan dhaif jiddan. Ibnu Hibban berkata, tidak
halal menyebut hadis ini kecuali untuk maksud mencatatnya, karena
dia (Umar) memalsukan hadis atas nama Malik dan Ibnu Abi Dzib dan
selain keduanya dari orang-orang yang tsiqah (terpercaya).
39
40
16
)(
4. Isriliyyt
Muhammad
Husayn
al-Dzahabi
menyatakan
bahwa
lafal
17
18
Janganlah kamu membenarkan (keterangan) Ahli Kitab dan
jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, Kami beriman
kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami.
(HR. Bukhari)
, ,
(
Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Dan
ceritakanlah dari Bani Israil karena yang demikian tidak di
larang. Tetapi barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja,
bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka. (HR. Bukhari)
Kaidah tafsir terkait dakhil yang kedua adalah Tafsir bi al-Rayi.
yakni tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran
mufasir yang telah menguasai bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum
yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab al-nuzul,
nasikh mansukh, dan sebagainya. Al-Farmawi mendefinisikan tafsir bil
rayi sebagai penafsiran al-Qur`an dengan ijtihad setelah mufasir tersebut
mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara
dan ia pun mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya.
Pada masa periode awal Islam, Ilmu Tafsir merupakan bagian dari
Hadis, seiring berlalunya waktu serta bahasan di bidang Hadis yang
semakin meluas, maka pada masa setelah Tabiin pembahasan Ilmu Tafsir
terpisah dari bahasan Hadis, ketika masa inilah mulai banyak lahir para
mufasir yang lebih mengendepankan akalnya dalam menafsirkan AlQur`an ketimbang menggunakan riwayat seperti halnya meriwayatkan
Hadis, atau yang biasa dikenal dengan Tafsir bi Ar-Rayi. Dari sinilah
kemudian secara perlahan masuknya Dakhil ke dalam Tafsir Al-Qur`an,
bisa jadi ini disebabkan juga karena banyaknya kelompok-kelompok
pecahan dalam Islam yang masing-masing mencari bukti, baik itu
19
menggunakan
Al-Kitab
maupun
As-Sunnah
demi
membenarkan
kelompoknya masing-masing.45
Ada tujuh bentuk al Dakhil al-Rayi sesuai penyebabnya, yaitu:
1. Al-Dakhil karena kesalahpahaman akibat kurang terpenuhinya syaratsyarat ijtihad meskipun penafsirannya ini didasari oleh niat yang baik.
2. Al-Dakhil karena mengabaikan riwayat yang shahih dan mengabaikan
makna dzahir ayat.
3. Al-Dakhil secara tekstual, karena terlalu berpegang pada dzahir ayat
dan mengabaikan tuntutan nalar, padahal dzahir ayat tersebut
bertentangan dengan nalar dan menuntut upaya takwil.
4. Al-Dakhil karena faktor ekstrimitas pengungkapan makna-makna
filosofis yang mendalam.
5. Al-Dakhil karena faktor ekstrimitas pengungkapan kepelikan bahasa
dan irab.
6. Al-Dakhil karena faktor ekstrimitas pembuktian kemukjizatan alQur`an dalam berbagai disiplin ilmu sehingga mengungkapkan hal-hal
baru seperti penemuan ilmiah yang tidak terkait dengan tujuan
diturunkannya al-Qur`an.
7. Al-Dakhil karena pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah dan upaya
untuk merusak Islam, seperti penafsiran sesuai hawa nafsu dan
kepentingan untuk mempertahankan faham golongan dan akidah yang
sesat.
G. Kesimpulan
Dapat penulis simpulkan bahwa pada dasarnya al-Dahkil fi Tafsir alQur`an merupakan suatu kecacatan, kekeliruan dan kesalahan yang terdapat
dalam tafsir al-Qur`an. Jika dipetakan, kesalahan tersebut dikarenakan:
penggunaan hadis dhaif, periwayatan yang didasarkan pada Isriliyyt, serta
45
Diakses
dari
http://kajian-islah.blogspot.co.id/2009/04/dakhil-dalam-tafsir-alquran.html oleh Imam Sururi, pada tanggal 08 Mei 2016
20
21
DAFTAR PUSTAKA
Buku
al-Asfahn, Ar-Rgib. Al-Mufradt f GaribAl-Qurn. Mesir: Musafa AlBab Al-Jalis, 1381H/1961M.
Asiy, Muhamad Salim Abu. Maqalatani fi at-Tawil, Maalim fi al-Minhaj wa
Rasydun li al-Inhiraf. Kairo: Dar al-Basair, 2003.
al-Basyuni, Abu Anas hamid Ahmad at-Thohir. Al-Isriliyyt wa al-Mauduat
wa Bidai al-Tafsir Qadiman wa Haditsan. Daar Attaqwa, 2004.
Faiz,
Fakhruddin.
Hermeneutika
Qur`ani
Antara
Teks,
Konteks
dan
22
Qadir, Jumah Ali Abdul. Ad-Dakhil fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa alNamadij al-Tatbiqiyah. Kairo: al-Azhar Press, 2006.
Qattan, Mana. Mabahis Fi Ulum al-Qur`an. Riyadh: Maktabah Maarif, 1996.
as-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur`an. Jakarta:Pustaka Firdaus,
1995.
Shihab, Quraish. Metode Penyusunan Tafsir Yang Berorientasi Pada Sastra,
Budaya Dan Kemsyarakatan. Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1984.
______________. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an.
Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Sobirin, Mohamad. Makalah: Tradisi Kritik Tafisr: Studi ad-Dakhil.
Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2013.
as-Suyuthi, Jalaludin Abdurrahman. Al-Itqan fi Ulum al-Qur`an. Beirut: Dar
Fikri.
Syafrudin. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memaknai
Kembali Pesan Al-Qur`an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
az-Zarkasyi, Ibn Abdullah. Al-Burhan Fi Ulum al-Qur`an. Beirut: Dar alMarifah, 1391H.
az-Zarqani, Muhammad Abdul Adhim. Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Qur`an.
Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1996.
Zayd, Nasr Hamid Abu. Al-Khitab wa at-Tawil. Beirut: Markaz as-Saqafi alArabi, 2000.
Internet
http://kajian-islah.blogspot.co.id/2009/04/dakhil-dalam-tafsir-al-quran.html
dalam artikel yang ditulis oleh Imam Sururi yang diakses pada tanggal
08 Mei 2016
23