Você está na página 1de 23

A.

Pendahuluan
Al-Qur`an sebagai sumber dasar agama Islam memuat banyak makna,
seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab dari Abdullah Darras:
Ayat-ayat al-Qur`an bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan
cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut lainnya. Dan
tidak mustahil jika kita mempersilakan orang lain memandangnya dari
sudut lainnya, maka dia akan melihat lebih dibanding dengan apa yang
kita lihat.1
Kekayaan makna itulah yang mendorong Nabi Muhammad SAW
memerintahkan Muadz bin Jabal menggunakan ijtihad dalam memutuskan
sesuatu yang tidak terdapat secara harfiah di dalam al-Qur`an dan Hadis. Tidak
hanya itu, tindakan berijtihadnya saja diberi imbalan pahala, lebih-lebih jika
ijtihadnya benar. Sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib
menyatakan, Manusialah yang bertugas mengungkap pesan al-Qur`an agar ia
berfungsi sebagai petunjuk. Karena itu, makna-makna itu tidak akan
membuahkan hasil apa-apa jika ia tidak digali.2
Dalam mengungkap makna pesan Tuhan di dalam al-Qur`an ada dua
pendekatan yang dipakai oleh para ulama, yaitu: Tafsir dan Takwil.3 Tafsir
1

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an (Jakarta:
Lentera Hati, 2000), vol. 1, h. xv.
2
Nasr Hamid Abu Zayd, al-Khitab wa at-Tawil (Beirut: Markaz as-Saqafi al-Arabi,
2000), h. 174.
3
Tafsir secara bahasa bermakna menyingkap (al-Kasyf), menjelaskan (al-Ibanah) dan
menampakkan (al-Idhah). Jika dilihat dari segi istilah, tafsir berarti suatu ilmu yang dapat
mengungkap pesan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sehingga dapat
menjelaskan makna-makna dan hukum-hukumnya. Sedangkan tawil dari sisi bahasa bermakna
mengembalikan, menuju kepada titik akhir dan menjelaskan implikasinya. Dari segi istilahnya
berarti mengembalikan sesuatu kepada tujuan semula baik secara ilmiah maupun praksis atau
memalingkan makna hakikat pada makna majazi sebagaimana dalam teori Ibnu Rusyd. Mana
Qatan juga menyebutkan definisi tafsir yang diadopsi dari perkataannya Abu Hayyan adalah
Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur`an, indikator-indikatornya,
masalah hukum-hukumnya baik yang independen mapun yang berkaitan dengan yang lain, serta
tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapinya.
Sedangkan Tawil adalah pentafsiran yang dikembalikan kepada makna aslinya yang merupakan
esensi yang dimaksud. (Sholeh Abdul Fatah al-Khamidi, at-Tafsir wa at-Tawil fi al-Qur`an
[Urdun: Dar an-Nafa Islam, 1996], h. 23-31; Muhamad Salim Abu Asiy, Maqalatani fi atTawil, Maalim fi al-Minhaj wa Rasydun li al-Inhiraf [Kairo: Dar al-Basair, 2003], h. 13-31;
Mana Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur`an [Riyadh: Maktabah Maarif, 1996], h. 334-338;
Muhammad Abdul Adhim az-Zarqani, Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Qur`an [Beirut: Dar al-

sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dari kandungan alQur`an telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil
karya manusia, terjadinya keanekaragaman penafsiran dan pemahaman tak dapat
dihindarkan. Ada berbagai faktor yang memengaruhi munculnya perbedaan
keanekaragaman tersebut, diantaranya perbedaan kecenderungan (interesting)
dan motivasi dari individual penafsir (individual psicology), perbedaan misi
yang diembannya (political mission), perbedaan kedalaman dan ragam ilmu
yang dimiliki (personal interesting of knowledge), perbedaan umat dan
lingkungan yang mengitarinya (sociology), perbedaan sejarah situasi dan kondisi
yang dihadapinya (sosio-history) dan lain sebagainya. Semua ini menimbulkan
berbagai macam corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran
tafsir yang berbeda-beda.4 Sehingga tidak dinafikkan lagi dari berbagai macam
latar belakang dan metode-metode yang dipakai oleh para ulama dalam
menafsirkan al-Qur`an demi kemaslahatan individual, kelompok maupun
masyarakat Islam secara luas, lahirlah konsep permasalahan yang ada dalam
penafsiran al-Qur`an itu sendiri, yaitu ad-Dakhil fi Tafsir al-Qur`an.5

B. Definisi
Secara etimologis, kata ad-Dakhil dalam bahasa Arab memiliki banyak
arti. Menurut para ahli bahasa ad-Dakhil adalah setiap kalimat yang masuk
dalam pembicaraan Arab dan dia bukan dari Arab, secara materi dia dapat
diterima akan tetapi secara makna dia tertolak rusak, cacat, tidak dapat
dipercaya, menipu, dll.6

Kitab al-Arabi, 1996], vol. II, h. 6; dalam Imam Labib Hibaurrohman, Ad-Dakhil: Implikasinya
terhadap al-Qur`an, h. 1.
4
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memaknai Kembali
Pesan Al-Qur`an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 31; Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah:
Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, Volume. 1, h. xv; dalam Imam Labib Hibaurrohman,
Ad-Dakhil: Implikasinya terhadap al-Qur`an, h. 1.
5
Imam Labib Hibaurrohman, Ad-Dakhil: Implikasinya terhadap al-Qur`an, h. 1.
6
Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij alTatbiqiyah (Kairo: al-Azhar Press, 2006), h. 15.

Fairuz Abadi dalam kitab kamusnya al-Muhit mengartikan kata dakhil


sebagai sesuatu yang masuk ke dalam tubuh manusia ataupun akalnya,
berbentuk penyakit atau sesuatu yang jelek. Menurut Zamkhasyari, ad-Dakhil
merupakan sebuah penyakit atau aib yang masuk ke dalam tubuh atau ke dalam
makanan sehingga merusaknya. Sedangkan masyarakat Arab memaknainya
sebagai suatu kata atau bahasa asing yang masuk dan bercampur kedalam
bahasa Arab. Jumah Ali Abdul Qadir mengatakan makna ad-Dakhil secara
bahasa adalah sesuatu yang sangat berbahaya dan menyelinap kepada lainnya
dan tidak dapat disetujui pula jika ia datang secara tiba-tiba.7
Dalam kitab yang berjudul al-Mufradt f Garib al-Qur`n, oleh arRgib al-Asfahn, ad-Dakhil (yang berasal dari ad-Dakhlu) adalah burung
yang masuk di dalam pepohonan yang rimbun, yang dililitkan, dan dikumpulkan
jadi satu. Yaitu sebuah ungkapan untuk menggambarkan kerusakan pada
materi yang dimasukinya, dapat juga diartikan sebagai perselisihan atau ketidaksinkronan antara dua unsur.8 Sementara itu, Dr. Abdul Wahhb Fayyd
mendefinisikan ad-Dakhil sebagai pendatang baru yang menyusup masuk dari
luar, dan keberadaanya tidak memiliki dasar atau unsur utama dari sesuatu
yang dimasukinya. Hal ini terkadang digunakan untuk mengungkapkan
keberadaan seseorang dalam berkata-kata dan memaknai sesuatu, misalnya
fulan/seseorang telah menyusup ke dalam satu kaum/kelompok masyarakat,
kalimat itu mempunyai arti bahwa si fulan itu tidak berasal dari kaum tersebut
secara nasab atau garis keturunan, namun dia berada dan tinggal diantara kaum
itu.9
Berangkat dari pengertian diatas, ad-Dakhil (juga) diartikan sebagai
bagian luar yang menyimpang, tidak ada keterkaitan dengan yang ada didalam,
7

Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij alTatbiqiyah, h. 15.
8
Ar-Rgib al-Asfahn, Al-Mufradt f GaribAl-Qurn (Mesir: Musafa Al-Bab AlJalis, 1381H/1961M), h. 166. Lihat juga Mujam Miqys Al-Lugh, juz II, h. 3; Tahdzb AlLugh, juz VII, h. 271.
9
Abdul Wahhb Fayyd, Ad-Dakhl ft-Tafsr al-Qur`n al-Karm (Mesir: Mabaah
Hasan, 1978), h. 13.

dan yang didalam juga tidak mencakup yang diluar itu, seperti seseorang yang
berada diluar pintu, dia tidak berkaitan dengan apa yang ada didalamnya, karena
dia mempunyai bidah tertentu yang menyebabkannya terhalangi dari sifat
keterkaitan.10
Sedangkan secara istilahnya ad-Dakhil menurut Dr. Ibrahim Khalifah
adalah penafsiran al-Qur`an yang tidak memiliki sumber yang jelas dalam Islam,
baik itu tafsir yang menggunakan riwayat-riwayat dari hadis dhaif (lemah) dan
palsu, ataupun menafsirkannya dengan tafsiran yang sesat dari sang penafsir itu
sendiri dikarenakan karena lalai atau ada unsur kesengajaan. Dr. Abdul Wahhb
Fayyd memaknai ad-Dakhil sebagai menafsirkan al-Qur`an dengan metode dan
atau dengan cara yang bukan dari Islam. Sedangkan Jumah Ali Abdul Qadir
mendefinisikan ad-Dakhil menurut ulama tafsir adalah penafsiran yang tidak
memiliki orisinalitas agama dari sisi pemaknaan karena ada unsur kecacatan
dalam penafsiran al-Qur`an yang ditafsiri secara tiba-tiba (kesengajaan), lalai
atau kontemporisasi penafsiran yang disesuaikan dengan situasi kondisi kejadian
setelah wafatnya Rasulullah.11
Maka dalam terminologisnya, ad-Dakhil adalah tafsir atau penafsiran yang
tidak memiliki dasar sedikitpun dalam agama, yang dilakukan dengan tujuan
merusak makna dan kandungan al-Qur`an karena kesalahan atau kelalaian pada
sebuah zaman tertentu dimana didalamnya termasuk katagori penafsiran yang
muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.12

C. Faktor Kemunculan
Dalam upaya untuk memahami aspek-aspek kebenaran al-Qur`an, umat
Islam sebenarnya sejak lama telah mengalami pergulatan intelektual yang cukup
serius meskipun bisa dikatakan pergulatan tersebut muncul pada dataran
10

Abdul Wahhb Fayyd, Ad-Dakhl ft-Tafsr al-Qur`n al-Karm, h. 13.


Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij alTatbiqiyah, h. 16.
12
Mohamad Sobirin, Tradisi Kritik Tafisr: Studi ad-Dakhil (Yogyakarta: Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, 2013), h. 1-2.
11

persepsi atau pada aspek metodologis pemahaman serta hasil pemahamannya,


bukan pada kesangsian akan kebenaran al-Qur`an itu sendiri. Pada dasarnya
ilmu tafsir al-Qur`an hanyalah sebagai usaha untuk memahami dan
menerangkan maksud ayat-ayat suci al-Qur`an yang telah melahirkan berbagai
macam corak produk penafsiran.13
Tafsir secara historis telah melewati beberapa fase penafsiran dan
pembukuan yang memiliki warna dan corak tertentu. Ketika Nabi Muhammad
hidup tidak ada dari para sahabat yang berani menafsirkan ayat al-Qur`an hingga
wafatnya.14 Kemudian muncullah ahli tafsir dari kalangan sahabat, antara lain
yang masyhur adalah: Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn
Masud, Ubay ibn Kaab, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al-Asyari dan Abdullah
Ibn Zubair.15
Pada abad kedua hijriyah, penafsiran ayat-ayat Qur`aniyah masih tersebar
dan bercampur di beberapa kitab hadis. Tafsir pada masa itu belum dibukukan
dalam bentuk satu kitab seperti yang ada sekarang ini, seperti; Musnad Syu`bah
ibn al-Hajjaj (w. 160 H), Musnad Waqi` Ibn Jarah (w. 197), dan Musnad Sufyan
ibn `Uainah (w. 198 H) adalah musnad hadis yang banyak meriwayatkan
penafsiran al-Qur`an. Kemudian, pada fase berikutnya, kitab tafsir mulai
disusun dalam satu kitab dan independen (terpisah) dari kitab hadis. Akan tetapi,
kemasan dan penulisannya masih sangat sederhana hanya berupa periwayatanperiwayatan hadis, baik yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, sahabat
atau tabiin, dan tidak disertai dengan syarat-syarat dari ke-shahih-an riwayat.
Dalam perkembangan selanjutnya muncullah Yahya ibn Salam (w. 200 H) dan
At-Thabari (w. 310 H) dalam karangan monumentalnya: kitab tafsir Jamiul
Bayan fi Tafsiri Qur`an, kitab ini dinilai oleh mayoritas ulama sebagai kitab
tafsir bil ma`tsur yang paling lengkap. Ia tidak hanya memuat riwayat-riwayat
13

Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur`ani Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi


(Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), hlm. 5.
14
Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islami (Kairo: Maktabah al-Sunnah alMuhammadiyah, 1955), h. 73-80.
15
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur`an (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1995), h.
385.

yang shahih, tetapi juga mencantumkan perbedaan-perbeadan ulama, baik dari


segi bacaan, irab, tarjihu ar-rayi (pembenaran pendapat), bahkan terkadang
dalam tafsir at-Thabari juga menggunakan riwayat-riwayat yang berkenaan
dengan Isriliyyt.16 Fase ini merupakan pintu awal masuknya dakhil dan
isriliyyt dalam tafsir al-Quran.
Puncaknya, dakhil dan riwayat isriliyyt telah menjalar dibeberapa kitab
tafsir, ketika para mufasir kurang jeli meriwayatkan hadis. Ironisnya, ketika
mereka meriwayatkan hadis tanpa mencantumkan para perawinyakecuali rawi
yang a`la (perawi yang menerima langsung dari Nabi)maka bercampur baurlah
antara riwayat shahih dan dhaif, ashil dan dakhil dalam tafsir.17
Paradigma tafsir yang dulunya hanya berlandaskan riwayat (bil ma`tsur),
sekarang berubah bersamaan dengan berkembangnya peradaban manusia yang
sangat kompleks, sehingga mengakibatkan munculnya penafsiran al-Qur`an
yang sesuai dengan bidang ilmu yang digeluti si penafsir atau sesuai dengan
akal pikirannya. Az-Zamkhasyari (467-538 H), ahli dalam bidang lughah dan
kalam, beliau menulis kitab tafsir al-Kasyaf dengan latar belakang kepentingan
individual dan kelompoknya mutazilah. Fakhruddin ar-Razi (544-606 H),
sebagai seorang pemikir Islam, beliau memiliki karangan kitab yang berjudul
mafatihul ghaib. Para mufasir menyebutnya sebagai kitab tafsir yang masyhur bi
rayi dan memenuhi syarat sebagai kitab tafsir al-Qur`an yang menggunakan

16

Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur`an, h. 385.


Isriliyyt adalah segala sesuatu yang bersumber dari kebudayaan Yahudi atau
Nasrani, baik yang termaktub di dalam Taurat, Injil dan penafsiran-penafsirannya, maupun
pendapat-pendapat orang-orang Yahudi atau Nasrani mengenai ajaran mereka. (Quraish Shihab,
Metode Penyusunan Tafsir Yang Berorientasi Pada Sastra, Budaya Dan Kemsyarakatan [Ujung
Pandang: IAIN Alaudin, 1984], h. 64); Jumah Ali Abdul Qadir mendefinisikan isriliyyt
dalam pandangan ulama tafsir adalah kumpulan cerita-cerita dan pengkabaran yang
berhubungan dengan peradaban Islam dengan jalannya ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani.
Biasanya isriliyyt berkenaan dengan orang-orang terdahulu yang terjadi pada masa nabi dan
utusan yang mana tidak terlepas dari kebohongan, pengurangan, pembelotan karena
bersandarkan pada Taurat dan Injil yang telah mereka belokkan dan ganti sesuai kinginan serta
hawa nafsu mereka. (Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa alNamadij al-Tatbiqiyah, h. 21).
17

akal pikiran. Corak penafsiran tersebut kemudian dikenal dengan istilah tafsir bi
Rayi.18

D. Macam-macam ad-Dakhil
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan variatifnya penafsiran al-Qur`an,
para ulama tafsir membagi ad-Dakhil dalam dua kategori:
1. Dakhil bi Atsar atau bi Manqul19
a. Menafsirkan al-Qur`an dengan menggunakan hadis-hadis yang
sangat lemah (dhaif) atau palsu kemudian mengatasnamakan bahwa
ini berasal dari Rasulullah atau dari sahabatnya.
b. Tafsir al-Qur`an dengan menggunakan Isriliyyt (riwayat-riwayat
yang berasal ahlu kitab dan umat terdahulu sebelum Islam) yang
sangat bertentangan dengan apa yang ada dalam al-Qur`an dan
hadis-hadis yang shahih.

18

Imam Suyuthi mengutip pendapat Zarkasyi dalam kitab al-Burhan mengenai syaratsyarat pokok yang harus dimiliki seseorang agar ia boleh menafsirkan al-Qur`an berdasarkan
Rayu, antara lain: Pertama, berpegang teguh pada hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah
dengan ketentuan dia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif (lemah) dan maudhu (palsu);
Kedua, berpegang pada ucapan para sahabat Nabi Muhammad SAW karena apa yang mereka
katakan menurut peristilahan hadis hukumnya mutlak marfu (shahih atau hasan), khususnya
yang berkaitan dengan asbabun nuzul dan hal-hal yang tidak dapat dicampuri pendapat (qati);
Ketiga, berpegang pada kaidah bahasa Arab yang benar dan harus tetap berhati-hati dalam
menafsirkannya; Keempat, penafsirannya harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan
hukum syara. (Jalaludin Abdurrahman as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur`an [Beirut: Dar
Fikri], vol. II, h. 304; Ibn Abdullah az-Zarkasyi, al-Burhan Fi Ulum al-Qur`an [Beirut: Dar alMarifah, 1391H], vol. II, h. 156-161).
19
Dakhil dalam riwayat ini mempunyai beberapa bentuk: hadis maudu; hadis dhaif;
Atsar sahabat yang diketahui bahwa itu diambil dari riwayat isriliyyt dan bersimpangan
dengan al-Qur`an dan as-Sunnah; Atsar sahabat yang diperselisihkan dan tidak ditemukan
keyakinan tentang kebenarannya; Riwayat dari tabiin, namun maudu, dhaif, dan bagian dari
isriliyyt; Dalil-dalil yang taarud secara hakiki, sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan
al-jamu. Namun kebanyakan dalam kitab-kitab yang membahas masalah ad-Dakhil ini yang
terdapat dalam kitab-kitab tafsr yaitu berupa riwayat isriliyyt, hadis-hadis dhaif dan maudu.
Ibrahim Abdurrahman Khalifah, ad-Dakhl fi at-Tafsr (Mesir: Dar Al-Kutub, t.th.), h. 33.

2. Dakhil bi Rayi20
Menafsirkan al-Qur`an dengan akal pikiran yang menyesatkan dan
menyandarkan pikirannya pada hal-hal yang bersifat logis akan tetapi
bertentangan dengan makna sesungguhnya. Jumah Ali Abdul Qadir
menyebutkan kaedah munculnya Dakhil bi Rayi sebagai, adanya
hukum bersandar pada akal pikiran dan bukanlah adanya hukum untuk
berfikir.21 Oleh karena itu, masuknya ad-Dakhil lebih banyak pada
permasalahan agama secara umum dan pada tafsir al-Qur`an secara
khusus demi kepentingan dan tujuan manusia. Penafsiran al-Qur`an
yang merujuk pada akal pikiran sudah mulai merambah pada
metodologi-metodologi hermeneutika,22 suatu teori yang dipakai barat
dalam menafsirkan bible.

20

Menurut Abu Anas Hamid Ahmad at-Thohir al-Basyuni mengatakan bahwa Dakhil bi
Rayi adalah memasukkan pemikiran dalam pembahasan syariah dan ketetapannya yang
didasari dengan berbagai macam syarat diterima atau tidaknya pemikiran tersebut. Jika
pemikiran tersebut tidak dilandasi oleh hawa nafsu dan tidak bertentangan dengan sumber
hukum maka pemikiran tersebut dapat diterima akan tetapi jika bertentangan dengan sumber
hukum dan disertai dengan keinginan, tujuan serta hawa nafsu individual maka pemikiran
tersebut tidak dapat diterima atau ditolak. (Abu Anas hamid Ahmad at-Thohir al-Basyuni, alIsriliyyt wa al-Mauduat wa Bidai al-Tafsir Qadiman wa Haditsan [Daar Attaqwa, 2004], h.
97).
21
Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij alTatbiqiyah, h. 16-17.
22
Hasan Hanafi dalam tulisannya Religious Dialogue and Revolution menyatakan bahwa
hermeneutika tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman akan tetapi ia juga berarti
sebagai ilmu yang menjelaskan tentang penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai
ke tingkat dunia. Ilmu tentang proses munculnya wahyu dari mulai huruf sampai pada
kenyataan, dari logos sampai kepada praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan
kepada kehidupan manusia. Roger Trigg mengungkapkan sebagaimana dikutip oleh Komarudin
Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama: The Paradigm for Hermeneutics is the
Interpretation of a Traditional Text, Where the problem must always be how we can come to
understand in our own context something which was written in a radically different situation.
(Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi [Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994], h. 1; Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama [Jakarta: Paramadina, 1996], h. 161; Fakhruddin Faiz,
Hermeneutika Qurani Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, h. 11). Berkenaan dengan
metodologi ini, Abdul Mustaqim mengadopsi perkataan Gadamer: That is Why understanding is
not merely a reproductive, but always a productive attitude as well (Kita tidak mungkin
membaca teks tanpa praduga (prejudice) dan kita juga tidak mungkin memahaminya jika kita
tidak menambah makna terhadap makna yang sudah ada. (Hans-Georg Gadamer, Truth and
Method [New York: The Seabury Press, 1975], h. 264; Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir
Kontemporer [Yogyakarta: LKIS Group, 2012], h. 176).

Jumah Ali menyebutkan bahwasanya tafsir yang banyak kemasukan


hal-hal yang sifatnya Isriliyyt adalah tafsir bil matsur disebabkan
model atau metode penafsiran ini lebih banyak menggunakan
periwayatan dimana para sahabat, tabiin senantiasa mendengarkan
kabar-kabar yang muncul dari ahlu kitab baik dari Yahudi maupun
Nasrani, meskipun tidak menutup kemungkinan model penafsiran
lainnya juga bisa kemasukan Isriliyyt dan atau pemikiran yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan akan realitas kebenarannya, seperti
dalam tafsir bi rayi ataupun dalam tafsir isyari, akan tetapi ad-dakhil
dalam penafsiran tersebut tidak sebanyak dari tafsir bil matsur.23

E. Implikasi Ad-Dakhil dalam Tafsir


Al-Qur`an yang diturunkan dengan bahasa Arab merupakan fenomena
linguistik, dimana setiap ahli tafsir diwajibkan menguasai ilmu bahasa Arab.
Oleh karena itu, bahasa juga menjadi salah satu fenomena kajian yang sarat
dengan multi-interpretasi. Quraish Shihab menyatakan bahwa tafsir merupakan
penjelasan

maksud

firman-firman

Allah

sesuai

kemampuan

manusia.

Dikarenakan kemampuan manusia bertingkat-tingkat dan kecenderunganya


berbeda-beda, maka kualitas dan pesan yang ditemukan dari al-Qur`an juga
berbeda-beda. Perbedaan pencapaian makna dari al-Qur`an juga disebabkam
oleh perbedaan budaya yang telah mengakar dan melingkupi mufasir.
Karenanya, semakin seringnya mufasir membaca al-Qur`an maka semakin
banyak pula pesan yang ia dapatkan.24
Abdul Mustaqim mengatakan tafsir sesungguhnya dapat dipetakan
menjadi dua pengertian, yakni tafsir sebagai produk dan tafsir sebagai proses.
Tafsir sebagai produk (interpretation as product) adalah tafsir yang merupakan
hasil dialektika seorang mufasir dengan teks dan konteks yang melingkupinya
23

Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij alTatbiqiyah, h. 123-124.
24
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memaknai Kembali
Pesan Al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 1-2.

yang kemudian ditulis dalam kitab-kitab tafsir, baik secara lengkap 30 juz
mapun yang hanya sebagian saja dari ayat al-Qur`an. Sedangkan tafsir sebagai
proses (interpretation as process) adalah aktivitas berfikir yang terus menerus
dilakukan untuk mendialogkan teks al-Qur`an dengan realitas yang berkembang.
Dialog komunikatif antara teks al-Qur`an yang terbatas dengan konteks yang tak
terbatas25 selalu dilakukan oleh mufasir sehingga tafsir merupakan sebuah
proses yang tidak pernah selesai, artinya; tafsir dalam pengertian ini bersifat
dinamis karena senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan
manusia itu sendiri serta dimaksudkan untuk menghidupkan teks dalam konteks
yang selalu terus berkembang dan berubah.26
Ad-dakhil dalam sejarah pertumbuhannya banyak sekali dari para ahli
tafsir masa tabiin yang memasukkan hal-hal baru dalam penafsiran al-Qur`an
disesuaikan dengan kondisi sosio,histori, politic dan antropolo lingkungan pada
waktu itu, baik dari sisi periwayatan Isriliyyt maupun periwayatanperiwayatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena berlandaskan pada
pemikiran akal (ijtihad) mufasir sendiri.
Para mufasir yang berorientasi tekstual memaknai terma Islam sebagai
doktrin baku, formal dan melembaga serta harus diterima apa adanya (taken for
granted). Sedang tafsir yang berorientasi kepada kontekstual atau kontemporer
memahami terma-terma Islam sebagai sebuah instrumen agama dengan
seperangkat doktrin yang bersifat universal dan progresif, dinamis, terbuka dan
tidak kaku sesuai dengan fitrah Islam itu sendiri yaitu sebagai agama yang
integral (kaffah), sempurna untuk semuanya (rahmatan lil alamiin).

25

Nashruddin Baidan mengutip ungkapan Ibnu Taimiyah yang dinukil oleh al-Dzahabi
dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, dikatakan; tafsir yang berlandaskan pemikiran semata tanpa
adanya batasan dan mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku dalam penafsiri alQur`an serta tidak sesuai dengan makna al-Qur`an yang sebenarnya maka penafsiran semacam
itu hukumnya haram. (Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun [Kairo: Daar al-Kutub alHaditsah, 1961], Vol. 1., h. 255-256., Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur`an Kajian
Kritis Terhadap Ayat-ayat Yang Beredaksi Mirip (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 47).
26
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS Group, 2012),
h. 32.

10

Al-Qur`an sebagai shalih li kulli zaman dan makan tidak hanya sebagai
tong kosong nyaring bunyinya akan tetapi bisa menjadi hudan (petunjuk)
terhadap manusia. Muhammad Abduh menilai bahwa kitab-kitab tafsir pada
masanya dan masa sebelumnya tidak lebih dari sekedar pemaparan atas berbagai
macam pendapat para ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya
menjauhkan dari tujuan diturunkannya al-Qur`an.27
Secara normatif, al-Qur`an diyakini memiliki kebenaran mutlak namun
kebenaran produk penafsiran al-Qur`an bersifat relatif dan tentatif, sebab tafsir
merupakan respon mufasir ketika memahami teks kitab suci, situasi dan problem
sosial yang dihadapinya. Oleh karena itu, tidak ada penafsiran yang benar-benar
objektif karena seorang mufasir sudah memiliki prior text yang menyebabkan
kandungan teks itu menjadi ter-reduksi dan terdistorsi maknanya. Setiap
penafsiran terhadap teks, termasuk teks kitab suci al-Qur`an juga sangat
dipengaruhi oleh latar belakang kultural serta anggapan-anggapan yang
melatarbelakangi penafsirannya.28
Sementara itu, orientasi penafsiran menurut Syahrur adalah; Pertama,
penafsiran al-Qur`an harus berorientasi ke depan (future minded), bukan ke
belakang (past minded); dalam artian bahwa penafsiran harus ditujukan pada
upaya pencarian makna baru (new meaning) yang sejalan dengan nalar keilmuan
modern-kontemporer. Al-Qur`an yang bersifat shalih likulli zaman wa makan
tentu saja dapat dipahami sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang kita
hadapi sekarang ini. Bagi Syahrur, produk penafsiran masa lalu cukup kita
hormati, namun tidak boleh kita kultuskan karena hal semacam itu dapat
dipandang sebagai syirik khafi. Kedua, orientasi penafsiran al-Qur`an adalah
untuk membuktikan kebenaran kandungan al-Qur`an secara empiris dan ilmiah
karena al-Qur`an sesungguhnya tidak bertentangan dengan akal dan realitas.
Oleh karena itu, dalam menafsirkan al-Qur`an seorang mufasir harus
27

Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, h. 59.


Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam (New York: Oxford University Press, 1998),
hlm. 127., Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, h. 57.
28

11

menggunakan perangkat keilmuan modern sehingga al-Qur`an benar-benar


relevan untuk setiap zaman dan tempat sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan.29
Orientasi penafsiran yang diungkapkan Syahrur diatas bisa dijadikan
sebagai landasan teori nalar kritis penafsiran al-Qur`an untuk memasukkan
konsep ad-dakhil30 dalam ranah penafsiran al-Qur`an baik secara periwayatan
atau pemikiran akal selama metode penafsiran dan pemaknaanya sesuai dengan
al-Qur`anHadis31 dan konsep penafsirannya menuju kepada future minded serta
pada pembuktian kebenaran al-Qur`an empiristik dan ilmiah. Dalam pandangan
ini, penulis kira ini merupakan salah satu bentuk perubahan paradigma
pemikiran dalam tafsir al-Qur`an (change minded) dari penafsiran yang sifatnya
klasikal (old minded) kepada penafsiran yang multi opened (kontemporer).
Apalagi sekarang banyak penafsiran-penafsiran al-Qur`an dengan wajah baru
(tafsir new edition) seperti dalam penafsiran al-Qur`an yang ditinjau dari sisi
ilmu pengetahuan (sciene) seperti kitab al-Tafsir Fi al-Ijaz al-Qur`an karangan
Zaghlun Najar, Al-Qur`an dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan)
dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI kerjasama dengan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), dll.

29

Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur`an: Qiraah Muashirah (Damaskus: alAhali li an-Nasr wa al-Tawzi, 1992), h. 44.
30
Ibnu Khaldun mengatakan dalam memasukkan konsep ad-dakhil dalam peanfsiran alQur`an dari periwayatan-periwayatan Isriliyyt maka menurut beliau periwayatan yang
diterima dari ahlu kitab (Yahudi-Nasrani) hanyalah seputar sosial kemasyarakatan dan
agamanya yang tidak bertentangan dengan terma ajaran Islam dari al-Qur`an dan hadis. (Lihat:
Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah,
h. 29).
31
Dalam Firman allah Surah al-Baqarah ayat 269:
:
Dia memberikan hikmah kepada siapa saja yang dia kehendaki, barang siapa yang
diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang
dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang memiliki akal sehat

12

Imam Thabari32 yang banyak meriwayatkan Isriliyyt dalam kitab tafsir


bil matsur-nya jamiu al-bayan fi tafsir al-Qur`an menyatakan bahwa
meriwayatkan Isriliyyt dalam tafsir al-Qur`an bukan sebagai bentuk
penyelewengan akan tetapi hanya sebagai justifikasi keilmuan dan agar
memperoleh penafsiran yang sempurna bersamaan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan serta mengetahui betapa dalamnya rahasia-rahasia yang terkandung
dalam al-Qur`an.33
Periwayatan dalam ad-dakhil baik yang diterima ataupun ditolak telah
membuka kesadaran baru dikalangan umat Islam. Kesadaran baru yang
dimaksud terutama yang berkenaan dengan pemahaman secara normative dan
historis yang terlibat dalam pemikiran dan perilaku keberagaman dan keberagama-an. Disatu sisi lahirnya kesadaran baru telah memberikan berbagai
kontribusi positif bagi dinamika dan kematangan perilaku dan pemikiran umat
Islam, namun disisi lain kesadaran ini pada akhirnya juga memunculkan
berbagai anomaly ketika banyak kalangan terpelajar yang tergelitik untuk
mempertanyakan kembali berbagai doktrin lama yang diyakini sebagai pasti
benar padahal kebenaran hanyalah mutlak milik Sang Benar dan kebenaran
menurut manusia sifatnya relatif, darimana dia memandang dan landasan apa
yang dia pakai.

F. Kaidah Tafsir Terkait Dakhil


Kaidah tafsir yang terkait dengan dakhil ini terbagi menjadi dua, yaitu
Dakhil al-Naqli dan Dakhil bi al-Rayi. Menurut Ibrahim Khalifah, ada
sembilan bentuk penafsiran yang termasuk ke dalam jenis al-Dakhil al-Naqli,
yaitu:

32

Imam Thabari nama lengkapnya Abu Jafar Muhammad bin Jarir bin Yazid at-Thabari
lahir pada tahun 224H dan meninggal pada tahun 310H. beliau telah melakukan perjalanan
untuk mencari ilmu dimulai ketika beliau berumur 12 tahun ke negeri Mesir, Syam dan Iraq.
33
Jumah Ali Abdul Qadir, Ad-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij alTatbiqiyah, h. 168.

13

1. Penafsiran

al-Qur`an

dengan

hadis

yang

tidak

shahih,

atau

menggunakan hadis maudhu dan palsu.


2. Penafsiran al-Qur`an dengan pendapat sahabat yang tidak shahih, atau
menggunakan hadis mauquf dan palsu.
3. Penafsiran yang bersumber dari sahabat. Sedangkan sahabat tersebut
mengambil sumber-sumber Isriliyyt.34 Jika sumber Isriliyyt
tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan hadis, maka pendapat
tersebut dapat diterima. Tetapi jika pendapat tersebut bertentangan,
maka ia termasuk dalam Dakhil f Tafsir.
4. Penafsiran al-Qur`an yang sumbernya berasal dari pendapat para
sahabat, sedangkan pendapat tersebut saling bertentangan dan sulit
dicari pembenarannya.
5. Penafsiran al-Qur`an yang sumbernya berasal dari pendapat para tabiin,
sedangkan sanad pendapat tersebut lemah.
6. Penafsiran al-Qur`an yang sumbernya kisah Isriliyyt yang mursal.
Meski sesuai dengan al-Qur`an dan hadis, tetapi jika derajatnya tidak
sampai pada hasan li ghairihi, maka tetap saja sebagai Dakhil f Tafsir.
7. Menafsirkan al-Qur`an dengan salah satu dari tiga bentuk Ashil alNaqli

yang pertama, tetapi terdapat pertentangan

yang sulit

dikompromikan.
8. Menafsirkan al-Qur`an dengan salah satu dari tiga bentuk Ashil alNaqli

yang terakhir,

tetapi

terdapat

pertentangan

yang sulit

dikompromikan.
9. Menafsirkan al-Qur`an dengan salah satu dari bentuk Ashil al-Naqli,
tetapi terdapat pertentangan yang sulit dikompromikan dengan bentuk
Ashil al-Naqli yang lebih kuat.35

34

Kisah isriliyyt adalah berita-berita yang diceritakan Ahli kitab yang masuk Islam.
Lihat Al-Manna al-Khallil Qaththn, Membahas Ilmu al-Qur`an, terj. Muzdakir AS. (Bogor:
Lintera Antar Nusa. 1992), h. 487.
35
Ibrahim Abdur Rahman Kholifah, Addakhil fi al Tafsir, juz 1, Qahirah, h. 34.

14

Dari kesembilan bentuk Al-Ashil al-Naqli di atas, kami merincinya


menjadi 4 klasifikasi. Klasifikasi inilah yang menjadi instrumen al-Dakhil
dalam tafsir bi al-Matsur.
1. Hadis Maudhu
Hadis Maudhu adalah hadis yang apabila sebab kecacatan pada
perawi itu disebabkan oleh kedustaan terhadap Rasulullah SAW, maka
hadis tersebut disebut Hadis Maudhu. Maudhu menurut bahasa artinya
sesuatu yang diletakkan, sedangkan menurut istilah hadis maudhu adalah
sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada
Rasulullaah SAW secara dusta.36
Secara etimologis merupakan bentuk isim Maful dari
Dalam bahasa arab kata

memiliki beberapa makna. Antara lain

menggugurkan, mengada-ada, dan membuat-buat. Sedangkan menurut


istilah, Imam Nawawi mengatakan:

Hadis maudhu (palsu) adalah hadis yang yang direkayasa,


dibuat-buat, dan hadis dhaif yang paling buruk. Meriwayatkannya
adalah haram ketika mengetahui kepalsuannya untuk keperluan
apapun kecuali disertai dengan penjelasan.37
Ada dua bentuk hadis maudhu yaitu pertama, perkataan itu berasal
dari pemalsu kemudian disandarkan kepada Rasulullah SAW, sahabat
maupun tabiin. Kedua, pemalsu mengambil perkataan itu dari sebagian
sahabat, tabiin, sufi, ahli hikmah, orang zuhud atau Isriliyyt dan
kemudian disandarkan kepada Rasulullah SAW.38

36

Manna al-Qaththan, terj. Mifdhol Abdurrahman Lc. Ulum al-hadith, cetakan-1


(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 149.
37
Imam Nawawi, at-Taqrib, juz 1, h. 6.
38
Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, Al-Isriliyyt wa Al-maudhuat fi kutub
Tafsir (Maktabah As-sunnah, 1426 H).

15

Contoh:

,
Perkataan ini berasal dari Imam Ali bin Abi Thalib, bukan hadis
Rasulullah SAW. 39
2. Hadis Dhaif
Menurut bahasa dhaif berarti aziz, yaitu yang lemah sebagai
lawan dari qawiyyu yang artinya kuat. Sedangkan menurut istilah, Ibnu
Shalah memberikan definisi :


Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan.40
Contoh: sebuah hadis yang mengatakan, barangsiapa yang
sholat 6 rakaat setelah shalat Maghrib dan tidak berbicara sedikitpun di
antara sholat tersebut maka, baginya sebanding dengan pahala ibadah
selama 12 tahun (diriwayatkan oleh Umar bin Rasyid dari Yahya bin Abi
Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah). Imam Ahmad dan Yahya bin
Main dan Al-Daruqutni mengatakan bahwa Umar ini adalah dhaif. Imam
Ahmad juga berkata hadisnya tidak bernilai sama sekali. Bukhari berkata,
hadis yang munkar dan dhaif jiddan. Ibnu Hibban berkata, tidak
halal menyebut hadis ini kecuali untuk maksud mencatatnya, karena
dia (Umar) memalsukan hadis atas nama Malik dan Ibnu Abi Dzib dan
selain keduanya dari orang-orang yang tsiqah (terpercaya).

39
40

Imam Bukhari, Adab al Mufrad.


Ibn Sholah, Ulumul Hadist libni Sholah, h.37.

16

3. Penisbatan yang Tidak Jelas kepada Sahabat ataupun Tabiin


Penisbatan yang tidak jelas ini dijelaskan oleh Ibnu Saud dalam
penafsiran ayat:

)(

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:


Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?
Tuhan berfirman: Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
Malaikat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah malaikat
dunia. Abu Saud mengatakan sebagaimana diriwayatkan dari Dhohhak,
dari Ibn Abbas ra bahwa: mereka adalah mahluk yang terpilih bersama
iblis ketika diutus oleh Allah SWT untuk memerangi jin sebagai penghuni
bumi yang menumpahkan darah. Kemudian malaikat ini membunuh
sebagian jin-jin ini dan sebagian lagi ada yang dikeluarkan dari bumi,
yang kemudian mereka membuat komunitas dan bertempat tinggal
dipulau-pulau dan gunung-gunung. Iblis sendiri diberikan oleh Allah SWT
sebuah kerajaan di langit dan bumi, yang terkadang mereka beribadah di
langit, bumi dan surga.41 Periwayatan ini merupakan sebuah periwayatan
penafsiran yang dinisbatkan kepada salah sahabat yang tidak terbukti
kebenarannya.

4. Isriliyyt
Muhammad

Husayn

al-Dzahabi

menyatakan

bahwa

lafal

Isriliyyt secara tekstual menunjukkan kepada cerita atau berita-berita


yang berasal dari Yahudi atau Bani Israil, meskipun demikian lafal
41

Tafsir abu Saud, Juz 1, h. 65.

17

Isriliyyt digunakan pula penyebutannya kepada berita-berita dan cerita


zaman dahulu yang berasal dari selain Yahudi baik itu Nasrani, Majusi,
dan selainnya.42
Beliau juga mengemukakan dua pengertian Isriliyyt, yaitu kisah
dan dongeng kuno yang menyusup ke dalam tafsir dan hadis, yang asal
periwayatannya kembali kepada sumber Yahudi, Nasrani, atau yang lain;
dan sebagian ahli tafsir dan hadis memperluas lagi pengertian Isriliyyt
ini sehingga mencakup pula cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh
musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadis, yang sama sekali tidak
dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.43
Menurut Amin Al-Khulli, kisah-kisah Isriliyyt itu merupakan
pembauran dari berbagai agama dan kepercayaan yang merembes masuk
ke jazirah Arabia Islam karena memang sebagian kisah-kisah itu dibawa
oleh orang-orang Yahudi yang sudah sejak dahulu kala berkelana ke arah
timur menuju Babilonia dan sekitarnya serta ke arah barat menuju Mesir.
Setelah kembali ke negeri asal, mereka membawa pulang bermacammacam berita keagamaan yang dijumpai di negeri-negeri yang mereka
singgahi.44 Ketika para Ahli Kitab ini masuk Islam, mereka membawa
pengetahuan keagamaan mereka dan memaparkan rincian kisah-kisah
dalam kitab-kitab mereka ketika mendapati kisah-kisah kuno dalam AlQur`an.
Para sahabat yang mencari referensi mutasyabihat seperti kisahkisah Nabi dalam Al-Qur`an melalui pemaparan dari para Ahli Kitab ini
tidak serta merta menerima penjelasan tersebut. Ada penjelasan yang
mereka terima juga tetapi, juga ada yang mereka tidak terima dan tidak
mendustakannya. Mereka berpedoman pada hadis Rasulullah SAW:
42

Muhammad Husayn al-Dhahabi, Al-Isriliyyt Fi Al-Tafsir Wa Al-Hadith, juz I


cetakan ke-III (Kairo, Maktabah Wahbah, 1986), h. 13.
43
Husain Al-Zahabi, Al-Isriliyyt Fi Al-Tafsir Wa Al-Hadits (Kairo: Majma Al-Buhus
Al-Islamiyah, 1971).
44
Ahmad Al-Khuli, Manahij Al-Tajdid (Cairo: Dar Marifah, 1961), h. 277.

18


Janganlah kamu membenarkan (keterangan) Ahli Kitab dan
jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, Kami beriman
kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami.
(HR. Bukhari)

, ,
(
Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Dan
ceritakanlah dari Bani Israil karena yang demikian tidak di
larang. Tetapi barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja,
bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka. (HR. Bukhari)
Kaidah tafsir terkait dakhil yang kedua adalah Tafsir bi al-Rayi.
yakni tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran
mufasir yang telah menguasai bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum
yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab al-nuzul,
nasikh mansukh, dan sebagainya. Al-Farmawi mendefinisikan tafsir bil
rayi sebagai penafsiran al-Qur`an dengan ijtihad setelah mufasir tersebut
mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara
dan ia pun mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya.
Pada masa periode awal Islam, Ilmu Tafsir merupakan bagian dari
Hadis, seiring berlalunya waktu serta bahasan di bidang Hadis yang
semakin meluas, maka pada masa setelah Tabiin pembahasan Ilmu Tafsir
terpisah dari bahasan Hadis, ketika masa inilah mulai banyak lahir para
mufasir yang lebih mengendepankan akalnya dalam menafsirkan AlQur`an ketimbang menggunakan riwayat seperti halnya meriwayatkan
Hadis, atau yang biasa dikenal dengan Tafsir bi Ar-Rayi. Dari sinilah
kemudian secara perlahan masuknya Dakhil ke dalam Tafsir Al-Qur`an,
bisa jadi ini disebabkan juga karena banyaknya kelompok-kelompok
pecahan dalam Islam yang masing-masing mencari bukti, baik itu
19

menggunakan

Al-Kitab

maupun

As-Sunnah

demi

membenarkan

kelompoknya masing-masing.45
Ada tujuh bentuk al Dakhil al-Rayi sesuai penyebabnya, yaitu:
1. Al-Dakhil karena kesalahpahaman akibat kurang terpenuhinya syaratsyarat ijtihad meskipun penafsirannya ini didasari oleh niat yang baik.
2. Al-Dakhil karena mengabaikan riwayat yang shahih dan mengabaikan
makna dzahir ayat.
3. Al-Dakhil secara tekstual, karena terlalu berpegang pada dzahir ayat
dan mengabaikan tuntutan nalar, padahal dzahir ayat tersebut
bertentangan dengan nalar dan menuntut upaya takwil.
4. Al-Dakhil karena faktor ekstrimitas pengungkapan makna-makna
filosofis yang mendalam.
5. Al-Dakhil karena faktor ekstrimitas pengungkapan kepelikan bahasa
dan irab.
6. Al-Dakhil karena faktor ekstrimitas pembuktian kemukjizatan alQur`an dalam berbagai disiplin ilmu sehingga mengungkapkan hal-hal
baru seperti penemuan ilmiah yang tidak terkait dengan tujuan
diturunkannya al-Qur`an.
7. Al-Dakhil karena pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah dan upaya
untuk merusak Islam, seperti penafsiran sesuai hawa nafsu dan
kepentingan untuk mempertahankan faham golongan dan akidah yang
sesat.
G. Kesimpulan
Dapat penulis simpulkan bahwa pada dasarnya al-Dahkil fi Tafsir alQur`an merupakan suatu kecacatan, kekeliruan dan kesalahan yang terdapat
dalam tafsir al-Qur`an. Jika dipetakan, kesalahan tersebut dikarenakan:
penggunaan hadis dhaif, periwayatan yang didasarkan pada Isriliyyt, serta
45

Diakses
dari
http://kajian-islah.blogspot.co.id/2009/04/dakhil-dalam-tafsir-alquran.html oleh Imam Sururi, pada tanggal 08 Mei 2016

20

subyektifitas mufasir yang mendorongnya menafsirkan al-Qur`an atas


kehendaknya. Sedangkan macam-macam al-Dakhil ada dua yaitu: al-Dakhl
Naqli dan Aqli. Namun demikian, penulis menggaris-bawahi bahwa, penafsiran
yang subjektif mengundang penilaian yang subjektif pula. Mungkin dalam
penulisan makalah yang sangat sederhana ini masih banyak kekurangan. Maka
dari itu kami dari pemakalah mengharapkan kritik dan saran agar supaya
kedepannya lebih baik lagi.

21

DAFTAR PUSTAKA

Buku
al-Asfahn, Ar-Rgib. Al-Mufradt f GaribAl-Qurn. Mesir: Musafa AlBab Al-Jalis, 1381H/1961M.
Asiy, Muhamad Salim Abu. Maqalatani fi at-Tawil, Maalim fi al-Minhaj wa
Rasydun li al-Inhiraf. Kairo: Dar al-Basair, 2003.
al-Basyuni, Abu Anas hamid Ahmad at-Thohir. Al-Isriliyyt wa al-Mauduat
wa Bidai al-Tafsir Qadiman wa Haditsan. Daar Attaqwa, 2004.
Faiz,

Fakhruddin.

Hermeneutika

Qur`ani

Antara

Teks,

Konteks

dan

Kontekstualisasi. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003.


Fayyd, Abdul Wahhb. Ad-Dakhl ft-Tafsr al-Qur`n al-Karm. Mesir:
Mabaah Hasan, 1978.
Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method. New York: The Seabury Press, 1975.
Goldziher, Ignaz. Madzahib al-Tafsir al-Islami. Kairo: Maktabah al-Sunnah alMuhammadiyah, 1955.
Hanafi, Hasan. Dialog Agama dan Revolusi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Hibaurrohman, Imam Labib. Ad-Dakhil: Implikasinya terhadap al-Qur`an.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996.
Khalifah, Ibrahim Abdurrahman. Ad-Dakhl fi at-Tafsr. Mesir: Dar Al-Kutub,
t.th.
al-Khamidi, Sholeh Abdul Fatah. At-Tafsir wa at-Tawil fi al-Qur`an. Urdun:
Dar an-Nafa Islam, 1996.
Mustaqim, Abdul. Epistimologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKIS Group,
2012.

22

Qadir, Jumah Ali Abdul. Ad-Dakhil fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa alNamadij al-Tatbiqiyah. Kairo: al-Azhar Press, 2006.
Qattan, Mana. Mabahis Fi Ulum al-Qur`an. Riyadh: Maktabah Maarif, 1996.
as-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur`an. Jakarta:Pustaka Firdaus,
1995.
Shihab, Quraish. Metode Penyusunan Tafsir Yang Berorientasi Pada Sastra,
Budaya Dan Kemsyarakatan. Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1984.
______________. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an.
Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Sobirin, Mohamad. Makalah: Tradisi Kritik Tafisr: Studi ad-Dakhil.
Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2013.
as-Suyuthi, Jalaludin Abdurrahman. Al-Itqan fi Ulum al-Qur`an. Beirut: Dar
Fikri.
Syafrudin. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memaknai
Kembali Pesan Al-Qur`an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
az-Zarkasyi, Ibn Abdullah. Al-Burhan Fi Ulum al-Qur`an. Beirut: Dar alMarifah, 1391H.
az-Zarqani, Muhammad Abdul Adhim. Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Qur`an.
Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1996.
Zayd, Nasr Hamid Abu. Al-Khitab wa at-Tawil. Beirut: Markaz as-Saqafi alArabi, 2000.

Internet
http://kajian-islah.blogspot.co.id/2009/04/dakhil-dalam-tafsir-al-quran.html
dalam artikel yang ditulis oleh Imam Sururi yang diakses pada tanggal
08 Mei 2016

23

Você também pode gostar