Você está na página 1de 3

Artikel tentang bagaimana Ibrahim menemukan tuhannya?

Memang dalam al Quran banyak dibahas masalah akidah, tentang keimanan dan
panjang lebar diuraikan contoh proses keimanan yang dilakukan nabi Ibrahim
as .
Oleh sebab itu nabi Ibrahim as dikenal sebagai nabi aqidah, karena dalam
perjalanan spiritualnya Ibrahim mengalami proses yang sangat dinamis dan juga
sangat mendasar.
Seperti dijelaskan dalam surat Al Anbiyaa ayat 50-70. Dalam ayat itu
dikisahkan proses nabi Ibrahim membangun kesadaran masyarakatnya bahwa patung
(berhala) bukan Tuhan yang sesungguhnya, karena patung itu tidak bisa
memberikan pertolongan, bahkan Ibrahim menunjukkan eksperimennya, dia
hancurkan
patung-patung itu untuk membuktikan bahwa patung itu memang bukan Tuhan .
Kemudian dalam surat Al Anam ayat 74-79. Di ayat itu diterangkan
bagaimana
Ibrahim mencari Tuhan dengan pendekatan yang jujur dan rasional, sehingga
datang gelap malam tak ada satu pun manusia yang berkutik, tidak ada yang
memiliki kekuasaan lagi, semua kehidupan terhenti ketika datang gelap malam.
Kesimpulannya manusia dan alam semesta ini ditaklukkan oleh gelap malam dan
pada saat gelap itu nabi Ibrahim melihat sebuah bintang dan dia berkata inilah
Tuhanku, tetapi bintang yang dipertuhankan itu lama kelamaan sirna.
Dan Ibrahim melihat alternatif lain, ada bulan, inilah Tuhanku tapi bulan
juga sirna .
Apa yang terjadi pada nabi Ibrahim? Ternyata dia gagal mencari Tuhannya.
Dia gagal mencapai Tuhannya, dia tidak bisa meraih Tuhannya dengan indranya
dengan matanya, telinganya, tangannya bahkan dengan fikirannyapun dia mencoba
membayangkan macam apa wujud Tuhan, Ibrahim gagal.
Rupanya memang Allah itu Al Ghaib, suatu yang misterius dan Ibrahim memang
gagal mencapai Tuhannya dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Tetapi untuk
mengatakan bahwa Tuhan itu tak ada, justru pengalaman Ibrahim selama ini
mengarahkan pada kesimpulan, mesti ada sesuatu yang mengendalikan alam ini,
Tuhan itu mesti ada. Tapi yang mana? Akhirnya nabi Ibrahim bersikap
sebagaimana terungkap dalam Q S. 6 : 79.
Tapi dari situ Ibrahim hanya bisa mengetahui bahwa Dia, Tuhan itu tetap
Gaib.
Oleh sebab itu siapa Dia, sebagai zat dalam al quran juga tidak dikenal.
Istilah istilah keTuhanan dalam alquran , hanya nama- nama yang menjelaskan
sifatnya saja, zatnya tidak diperkenalkan (Asmaul Husna 99).
Kemudian ada lagi 2 nama yang

menjelaskan tentang Dia, tapi menjelaskan

tentang kedudukannya saja, Rabbun dan Ilaahun. Rabbun artinya pemilik dan
penguasa, pendidik, pemelihara, pengendali, yang menjelaskan kedudukan dan
Ilahun berasal dari kata Laha dan Ilaha yang berarti sesuatu yang abdi, yang
dicintai, yang dikejar, yang diingini, yang didamba, yang diharap.
Jadi zat itu sendiri apa disebutnya? Memang ada satu istilah yang dalam
Al-Quran yang banyak dipakai yaitu Allah sebagai nama zat. Allah itu selain
sebagai Tuhan alam semesta, dalam Al-Quran dijelaskan pula sebagai sifat dan
kedudukanNya, sebagian lagi ada ulama yang menjelaskan, ada lagi nama yang
menjelaskan sebagai isim yaitu Allah. Tapi soal ini sebagian ulama ada
perbedaan pendapat.
Pertama dari sejarah, kalau dilihat kamus lisanul Arab, istilah Allah itu
berasal dari Ilah, yang dicintai, yang diagungkan, yang dijadikan tempat
bergantung. Jika demikian apapun bisa menjadi Ilah; yang dicintai, yang
dikejar, yang didamba, segala yang diingin dan diharap itu namanya Ilah.
Tetapi apakah yang segala diharap itu menjadi Tuhan alam semesta? Ya tentu
tidak.
Jadi ada Ilah subyektif, manusia yang menginginkan, manusia yang
mendambakan,manusia yang mengejar, maka sesuatu yang dikejar oleh manusia itu
jadi Ilah bagi manusia itu sendiri. Tapi apakah arti Ilah dalam arti
sesungguhnya? Belum tentu secara obyektif.
Oleh sebab itu Ilah itu bisa menjadi banyak,jamanya adalah Alihah, dia
bisa berupa benda-benda, orang atau ambisi jadi Ilah. Sehingga di kalangan
bangsa Arab ada Ilah yang dikejar oleh manusia tapi fiktif, sekedar sesuatu
yang diinginkan manusia saja, dicintai, dikejar,didamba manusia. Tapi ada Ilah
yang sesungguhnya, memang Dialah yang diinginkan dan dikejar oleh manusia dan
penguasa alam semesta. Ilah dalam arti sesungguhnya itu dalam bahasa Arab
mendapat awalan alif lam, jadi Al-Ilah itu Allahu (dalam pengucapan) lam
diidghomkan.
Tapi ada juga yang mengatakan bahwa Ilah itu isim jamad, nama dari zat
Tuhan alam semesta ini. Tapi sebagian lagi mengatakan bahwa Allah ini bukan
nama zat Tuhan, karena Allah berasal dari kata Ilah, sedangkan Ilah dan Robb
hanya menjelaskan kedudukan.
Jadi arti Allah itu sesuatu yang sebenar-benarnya dicintai, dikejar,
didamba.
jika itu yang dipakai, nama sifatnyau ada, nama kedudukannya ada, Ilah dan
Robb, lalu terbentuk kata Allah (Tuhan). Lalu nama zat mana?
Sebagian ulama mengatakan nama zat tidak ada. Kenapa? Karena penamaan sesuatu
berarti pembatasan.

Sebuah pena akan menjadi pena ditangan saya, jika bentuknya begitu dan
fungsinya begitu, tapi pena sudah tergiling mesin giling, hancur, dia sudah
tidak disebut pena, sudah berubah bentuk, warna dan zat. Sedangkan zat Allah
Maha Tidak terbatas. Zat Allah tidak ada yang pernah mengenali, sesuatu yang
tidak terhenti, terbatasi. Mana bisa dinamai, jika dinamakan berarti
membatasi.

Dalam ilmu Keimanan, maka Dia Yang Maha Kuasa, Tuhan


alam semesta hanya bisa kita kenal:
1. Sifat-sifatnya saja
2. Kedudukannya saja, statusnya sebagai ilah dan robb
3. Soal nama zat, sebagian ulama mengatakan tidak ada nama zat, sehingga dalam
mengenali Dia, ada sebuah istilah dinamakan Huwa, Dia, Hu.
Istilah Allah sebenarnya sudah digunakan orang Arab sebelum turunnya
Al-Quran. Ayah Nabi Muhammad namanya Abdullah (artinya hamba Allah). Jadi
orang Arab Quraisy itu sudah mengenal istilah Allah.Tapi Allah itu bagaimana
menurut orang Quraisy? Allah itu artinya ilah,sebenar-benar ilah. Tuhan alam
semesta, yang Dia adalah bapak dari 3 orang dewa wanita (perempuan) yang
disimbolkan dalam bentuk patung Latta, Uzza, Manna yang disembah itu. Lalu
turunlah ajaran Islam dengan surat Al-Ikhlas. Surat itu bukan untuk
mengcounter Trinitasnya Kristen, tapi untuk mengcounter konsep Trinitasnya
Quraisy.
Kelebihan manusia itu mampu memilih. Kesadaran intelektualnya, kesadaran
moralnya meyebabkan manusia bisa memilih. Dengan naluri ber-Tuhan itu
kadang-kadang diarahkan pada bukan Tuhan yang sesungguhnya, belum lagi selain
itu ada unsur hawa (kecenderungan-kecenderungan, keinginan-keinginan).
Keinginan-keinginan itu bisa membentuk manusia sehingga tidak ber-Tuhan kepada
yang sebenar-benarnya Tuhan. Tetapi Tuhan yang secara adhoc (secara
singkat)nampak memberikan pertolongan, memberi manfaat.
Misalnya pertolongan Tuhan tidak terlihat secara langsung. Sementara jika
punya uang, pertolongan uang itu bisa jelas dan langsung kelihatan, maka orang
sering terpeleset lalu memper-ilah uang, memper-ilah materi, memper-ilah
pejabat yang punya kekuasaan. namun secara hakekat, secara substansial apakah
betul uang itu memberikan daya tolong yang efektif? Sebenarnya tidak.
Ternyata naluri ber-Tuhan terkalahkan oleh kecenderungan-kecenderungan
rendahnya yang sesaat, kepentingan sesaat.

Você também pode gostar