Você está na página 1de 4

Analisis Dampak Desentralisasi Pajak Bumi Bangunan

dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan


Terhadap Penerimaan Daerah Dalam Anggaran
Penerimaan dan Pendapatan Daerah Kota Gorontalo
Posted on Juni 20, 2011 by enda01
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia pada akhir masa pemerintahan orde
baru telah membuka jalan bagi munculnya reformasi diseluruh aspek kehidupan bangsa
Indonesia. Salah satu aspek penting yang merupakan tuntutan reformasi adalah perlunya
pemberian otonomi bagi daerah-daerah, dimana sebagai jawaban atas tuntutan reformasi
tersebut maka ditetapkanlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Konsekuensi lebih lanjut dari adanya undang-undang tersebut adalah perlu diatur pula
tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana sebagai
perwujudan dari hal tersebut maka ditetapkanlah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintah Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004.
Kehadiran kedua undang-undang ini, telah membawa perubahan mendasar dalam tata
pemerintahan dan pengelolaan keuangan daerah. Di mana dalam pelaksanaan otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam melaksanakan
pembangunan termasuk sistem pembiayaannya. Persoalan kemandirian keuangan pemerintah
daerah ini menjadi tantangan yang tidak ringan bagi daerah disebabkan oleh masalah makin
membengkaknya biaya yang dibutuhkan pemerintah daerah untuk pelayanan publik (fiscal
need), sementara laju pertumbuhan penerimaan daerah (fiscal capacity) tidak mencukupi,
sehingga terjadi kesenjangan fiskal (fiscal gap). Oleh karena itu pemerintah daerah harus
melakukan upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) untuk mengurangi
ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat dalam rangka mengatasi kesenjangan fiskal.
Peningkatan kapasitas fiskal daerah ini pada dasarnya adalah optimalisasi sumbersumber
penerimaan daerah yang merupakan indikator bagi pengukuran tingkat kemampuan keuangan
daerah itu sendiri.
Tingkat kemampuan keuangan daerah Kota Gorontalo selama periode pengamatan yakni dari
tahun 2006 s/d tahun 2010 menunjukkan adanya kenaikan. Namun demikian, besarnya
kenaikan tersebut masih merupakan angka yang sangat rendah. Hal ini ditunjukkan oleh
besarnya proporsi sumbangan dan bantuan Pemerintah Pusat terhadap APBD Kota Gorontalo
selama periode pengamatan yang mencapai angka rata-rata 77.44 persen (BPKAD, 2010),
sehingga dapat dikatakan pemerintah Kota Gorontalo masih sangat tergantung pada
pemerintah pusat.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa ciri utama kemandirian suatu daerah adalah terletak
pada kemampuan pemerintah daerah dalam menggunakan kewenangan yang dimilikinya
untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri.

Adapun sumber-sumber keuangan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah


berdasarkan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan undangundang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah terdiri atas: Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah dan
lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan penerimaan
yang berasal dari daerah sendiri yang terdiri dari : (1) hasil pajak daerah; (2) hasil retribusi
daerah; (3) hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan; (4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Selajutnya disebutkan bahwa dana
perimbangan merupakan dana yang bersumber dari pemerintah pusat yang terdiri dari Dana
Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Penerimaan daerah yang
bersumber dari Dana Bagi Hasil dalam struktur APBD terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), BPHTB dan pajak penghasilan yang digolongkan sebagai dana bagi hasil pajak serta
bagian dari sumber daya alam, pertambangan umum, kehutanan, perikanan dan pemberian
hak atas tanah Negara yang digolongkan sebagai dana bagi hasil bukan pajak. Dari
penerimaan dana bagi hasil tersebut, PBB merupakan penerimaan yang memberikan
kontribusi terbesar baik terhadap total penerimaan dana bagi hasil maupun total penerimaan
daerah selama periode pengamatan yaitu untuk total penerimaan dana bagi hasil rata-rata
sebesar 2,14% persen sedangkan untuk total penerimaan daerah rata-rata sebesar 1,97%
sedangkan sisanya disumbangkan oleh dana bagi hasil pajak/bukan pajak lainnya.
Dengan ditetapkannya undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah merupakan hal yang sangat mendasar dan strategi dibidang desentralisasi
fiskal karena terdapat perubahan kebijakan yang fundamental dalam penataan kembali
hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya untuk Pajak Bumi dan
Bangunan yang mengalami perubahan dari pajak pusat menjadi pajak daerah, diharapkan
akan berdampak pada peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini sangat
penting mengingat kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah dalam APBD selama ini
di Kota Gorontalo masih relatif kecil sehingga belum mampu menciptakan kemandirian
keuangan daerah, dimana kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah dalam APBD
Kota Gorontalo untuk tahun 2006 sebesar 9,47 persen, tahun 2007 sebesar 10,77 persen,
tahun 2008 sebesar 11,82 persen, tahun 2009 sebesar 12,83 persen dan tahun 2010 sebesar
24,41 persen. Rata-rata kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah dalam APBD
selama periode pengamatan sebesar 13,86 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
ketergantungan pemerintah Kota Gorontalo terhadap pemerintah pusat masih relatif cukup
tinggi. Insukindro dkk (1999:1) dalam hubungan ini mengemukakan bahwa Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dapat dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur
ketergantungan suatu daerah kepada pemerintah pusat yang pada prinsipnya adalah semakin
besar sumbangan PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat. Sejalan dengan
hal tersebut, Koswara (2000:5) mengemukakan bahwa daerah otonom harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri,
mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus dapat
diminimalisisir, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang
didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar
dalam sistem pemerintahan negara kesatuan.
Isyarat bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi daerah
menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan dan
kemandirian daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi yang luas, nyata dan
bertanggungjawab. Dalam hubungan ini Santoso (1995:20) mengemukakan bahwa PAD
merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi

daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun


PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD
terhadap total penerimaan daerah merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu
pemerintah daerah. Dengan demikian pengalihan Pajak Bumi Bangunan dan BPHTB dari
pajak pusat menjadi pajak daerah diharapkan akan berdampak pada peningkatan penerimaan
pendapatan asli daerah sehingga akan mendorong derajat kemandirian keuangan pemerintah
daerah serta mengurangi tingkat ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Pengalihan PBB dan BPHTB sebagai pajak pusat menjadi pajak daerah tentunya tidak hanya
berdampak pada PAD tetapi juga akan berdampak pada penerimaan Dana Bagi Hasil. Hal ini
disebabkan terjadinya pemindahan pos penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor
perdesaan dan perkotaan serta BPHTB yang sebelumnya berada pada pos Dana Bagi Hasil
Pajak, berpindah ke pos Pendapatan Asli Daerah. Selanjutnya berdasarkan undang-undang
nomor 33 tahun 2004 disebutkan bahwa penentuan kapasitas fiskal untuk DAU dipengaruhi
oleh PAD dan DBH dengan persamaan matematisnya DAU= f (PAD, DBH), artinya jika PAD
dan DBH naik maka DAU turun atau sebaliknya. Dengan demikian desentralisasi PBB dan
BPHTB tidak saja berdampak terhadap PAD dan DBH tetapi juga akan berdampak terhadap
DAU.
Bertitk tolak dari uraian di atas penulis ingin malakukan studi melalui suatu kajian penelitian
dengan mengangkat masalah yang diformulasikan dalam judul Analisis Dampak
Desentralisasi Pajak Bumi Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Terhadap Penerimaan Daerah Dalam Anggaran Penerimaan dan Pendapatan Daerah Kota
Gorontalo.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian sebagaimana tersebut diatas maka dapat dikemukakan
rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana dampak desentralisasi PBB terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) di Kota Gorontalo.
2. Seberapa besar kontribusi Pendapatan Asli Daerah akibat desentalisasi PBB terhadap
penerimaan daerah dalam APBD Kota Gorontalo.
3. Bagaimana dampak desentalisasi PBB terhadap Dana Bagi Hasil dalam APBD Kota
Gorontalo.
4. Sejauhmana dampak desentralisasi PBB terhadap Dana Alokasi Umum dalam APBD Kota
Gorontalo.
3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana tersebut di atas maka dapat dikemukakan tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Menganalisis dampak desentraslisasi PBB terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Kota Gorontalo;
2. Menghitung seberapa besar kontribusi PAD akibat desentalisasi PBB terhadap penerimaan
daerah dalam APBD Kota Gorontalo;
3. Mengetahui dampak desentalisasi PBB terhadap Dana Bagi Hasil dalam APBD Kota
Gorontalo;
4. Mengetahui dampak desentalisasi PBB terhadap Dana Alokasi Umum dalam APBD Kota
Gorontalo.
4. Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini yaitu:
1. Dapat memberikan gambaran yang jelas tentang dampak desentralisasi PBB terhadap

penerimaan daerah di Kota Gorontalo;


2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kota Gorontalo khususnya Badan Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan terkait dengan
penerapan desentralisasi PBB di Kota Gorontalo;
3. Dapat memberikan kontribusi pemikiran ilmiah dalam menambah khasanah pengetahuan
di bidang ilmu ekonomi khususnya kajian keuangan daerah;
4. Sebagai bahan informasi awal bagi penelitian lebih lanjut.

Você também pode gostar