Você está na página 1de 90

PENGANTAR

Orang beragama sering kali gelisah tentang pertanyaan ateistis, apakah Tuhan
ada atau tidak? Tetapi sangat jarang terdengar pertanyaan kegelisahan tentang realitas
sehari-hari, apakah orang yang beragama itu ada atau tidak? Pertanyaan pertama
berkaitan dengan Tuhan. Pertanyaan kedua langsung berhubungan dengan realitas
hidup manusia. Humanisme memiliki pijakan dari sini, dari aktivitas menyoal
kedalaman hidup manusia.
Humanisme menyeruak dari kecemasan. Cemas oleh peradaban dishumanis
yang tiba-tiba hadir dalam simbol-simbol peristiwa memilukan, seperti poso, ambon, aceh, ketapang, sambas, sampit, . Dalam kegelisahan, mereka
bukan lagi nama kota-kota yang indah mempesona, melainkan telah mendadak
berubah menjadi simbol-simbol peradaban dishumanis. Juga simbol-simbol
kebiadaban. Pemeluk beragama yang semestinya dialogal karena wahyu Allah
memiliki karakter menyapa manusia, berubah sama sekali menjadi predatorial karena
kehadirannya membinasakan sesamanya. Apakah artinya suatu agama dengan
seperangkat kebenaran tentang Tuhan, kalau itu tidak UNTUK melestarikan hidup
bersama antarmanusia dalam keseharian mereka?
Prof. Sri Wismoady Wahono PhD, salah satu teolog Kristen terdepan Indonesia yang sepanjang hidupnya memiliki keprihatinan mendalam terhadap realitas
predatorial cara hidup sebagian pemeluk beragama (beliau wafat tanggal 28 September 2002 dalam tugas), menggagas pemaknaan baru mengenai apa yang disebut
dengan paradigma pro-eksistensi. Tulisan yang semula berbentuk sketsa ini diperluas
oleh penyunting dengan diskusi teologi pluralisme. Mantan pemimpin jemaat GKJW
(Gereja Kristen Jawi Wetan) juga mantan dosen teologi reformasi di STFT Widya
Sasana Malang ini mewariskan suatu elaborasi model cara beragama baru, proeksistensi, yang pas untuk realitas plural hidup manusia di Indonesia, di dunia. Publikasi tulisan Prof. Wismoady dalam Studia nomor ini memiliki nuansa rendering
tribute atas ide-idenya yang konstruktif untuk teologi dialog di Indonesia.
Didahului oleh sebuah diskusi tentang hidup beragama dalam perspektif
teologis dialogal-pluralistis, Studia philosophica et theologica kali ini menampilkan
wacana interdisipliner filosofis teologis yang kaya: filsafat etika politik, epistemologi,
pendidikan, dan teologi hukum Gereja serta studi kitab suci tentang Mazmur dan
aplikasinya dalam pendidikan para calon imam. Refleksi Studia memiliki karakter
elaboratif filosofis teologis. Selamat merefleksikan dan mendalaminya.

Ketua penyunting

Studia Philosophica et Theologica


ISSN 1412-0674
Vol. 2 No. 1 Maret 2002
Hal. 1 - 88
DAFTAR ISI
Pengantar ...................................................................................................................

Agama : Dari Isolasi ke Pro-Eksistensi


Refleksi Teologis - Dialogal Hidup Beriman
Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto ....................................................

1 - 22

Rights, Duties and The Problem of Humility


Paul W. McNellis ........................................................................................... 23 - 43
Mazmur dan Pembinaan Integral Pelayan Firman
Berthold Anton Pareira ................................................................................. 44 - 53
Perpindahan Imam Diosesan Dalam Rangka Kerjasama Antarkeuskupan
(Kan. 271 1-2)
Alf. Catur Raharso ........................................................................................ 54 - 66
Revolusi Kopernikus : Nilai & Pengaruhnya Dalam Epistemologi Obyektivistis
Valentinus ...................................................................................................... 67 - 74
Pendidikan Ketrampilan Hidup
Telaah Filosofis atas Life Skill Curriculum
Anita Lie ........................................................................................................ 75 - 84

TELAAH BUKU
Ideologi-ideologi Pendidikan
Yohanes Agus Setyono ................................................................................... 85 - 86

ii

AGAMA: DARI ISOLASI KE PRO-EKSISTENSI


Refleksi Teologis-Dialogal Hidup Beriman

Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto


Institut Teologi Balewiyata & STFT Widya Sasana, Malang
Abstract:
What is the true sense of religion today? Prof. Wismoady Wahono PhD, one of the Indonesian
leading theologians who just passed away to Gods embracing hands a few days before this publication, traces succinctly the sense of religion. He also suggests what would be the proper meaning of
religion that should be cultivated in the current situation of Indonesia. Religion should not be a formal
emblem of a person living in a society. It should lead him to cope any challenge of peaceful religious
pro-existence especially in Indonesia. Armada Riyanto goes further to discuss the topic dealt with in
the context of theology of pluralism. Is there a basic Christian consensus theology today in spite of
all our differences? This is a typically question put forward by some theologians of pluralism. The
sense of religious pro-existence is identical with that of living dialogically the Christian faith. This
article consists of two main parts: tracing the meaning of living religion from isolation to pro-existence
(in context of the Indonesian plurality) and theological discussion concerning pro-existence as not
just living together peacefully but living the Christian faith embracing dialogically the differences (in
context of the theological opinions of pluralism).
Keywords: Agama, pro-eksistensi, pluralisme, dialog, beriman dialogal.

Dari waktu ke waktu masyarakat Indonesia disibukkan oleh kegiatan-kegiatan


keagamaan, baik yang berskala lokal, wilayah, nasional maupun internasional. Bentuk
dan penampilan kegiatan itu ada yang semarak dengan dihadiri oleh para petinggi
masyarakat mulai dari tingkat RT sampai dengan tingkat pusat (Jakarta), ada yang
agak berbau hura-hura seperti pesta iman, pesta sakral, pesta rohani, konsultasi dan
lain-lain, lengkap dengan gebyar-gebyarnya, dan ada juga yang khidmat dan khusuk.
Isinya pun bermacam-macam. Mulai dari yang paling eksklusif untuk kepentingan
penganut agama itu sendiri sampai dengan yang agak terbuka bagi keikutsertaan
pemeluk agama lain, seperti diskusi terbatas, sarasehan, seminar dan dialog.
Kehidupan keagamaan kita, katanya memang pernah menunjukkan kepositifan seperti
yang dicerminkan oleh sebutan-sebutan makin semarak, makin mantap dan makin
apa lagi. Namun cukup menarik bahwa gejala seperti itu tidak sepi dari sisi-sisi yang
agak sulit diterangkan, seperti adanya sikap-sikap antarpemeluk agama yang terlalu
formal, kurang substansial, terselubung, superior, inferior, mau menang sendiri
(predatorial) dan yang belakangan ini sangat memprihatinkan, konflik. Ada yang
mengatakan bahwa sisi-sisi yang sulit diterangkan itu memang bawaan agama itu
dari sono-nya, yang harus diterima dan diberlakukan begitu saja oleh para pemeluknya.
Tapi ada juga yang mengatakan bahwa sisi-sisi yang sulit itu justru utamanya bersumber
dari para pemeluknya dan bukan dari agama-agama itu sendiri.

Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto, Agama: Dari Isolasi ke Pro-Eksistensi

1. Tahap Isolasi, Toleransi ke Pro-eksistensi


Ketika para pemeluk agama-agama itu masih hidup terisolasi mereka tidak
merasakan adanya sisi-sisi yang sulit itu. Tetapi ketika mobilitas mereka meninggi, di
mana mereka bertemu dengan pemeluk-pemeluk agama yang lain, maka sisi-sisi
sulit itu mulai muncul. Ada yang melihat ke depan, dengan mengatakan bahwa
meskipun agama-agama itu lahir tanpa bersepakat lebih dahulu, namun karena
perkembangan memaksa para pemeluknya selain bertemu, bahkan tinggal dan hidup
serumah, se-RT, sekampung, sedesa dan seterusnya, mereka perlu membuka diri
terhadap kenyataan baru tsb.
Ada juga yang melihatnya dalam lingkup yang luas dan global serta mengatakan
bahwa agama-agama itu sekarang sudah menjadi milik dunia dan tidak lagi mengenal
batas-batas etnis, bahasa, geografis, politis, nasional, ekonomi dan lain-lain. Karena
itu para pemeluknya tidak bisa bersikap eksklusif lagi, melainkan harus memperhitungkan kenyataan baru itu dan mengembangkan sikap yang lain. Sebaliknya
ada yang mengatakan bahwa para pemeluk agama-agama itu belum 100% sanggup
menghadapi kenyataan baru tersebut. Masih banyak di antara mereka yang lebih
mengacu kepada masa lampau ketimbang ke masa kini, apalagi ke masa depan.
Keadaan itu bisa digambarkan seperti seseorang yang berjalan ke depan tapi
mukanya menghadap ke belakang. Ia menyongsong masa depan tapi mukanya terikat
pada masa lampau. Ia kurang peduli terhadap apa yang di depan karena lebih setia
kepada apa yang di belakang atau di masa lampau. Barangkali inilah salah satu ciri
para pemeluk agama, yang nampak berbeda dengan mereka yang bergulat dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka yang bergulat dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi justru ingin menggapai masa depan, dengan tidak segan-segan
meninggalkan yang di belakang dan yang lampau itu. Lihat umpamanya, bagaimana
suatu generasi komputer yang di dalam waktu singkat meninggalkan generasi
sebelumnya. Sedangkan para pemeluk agama, nampak lebih lekat kepada yang
lampau dan selalu dengan hati-hati, kalau tidak was-was, menghadap dan melangkah
ke depan.
Tapi dengan adanya berbagai kegiatan keagamaan seperti yang disebutkan
di atas, kesan yang terakhir tadi tampak sedikit terkoreksi. Artinya, khusus di Indonesia tidak sedikit para pemeluk agama-agama yang tidak lagi hanya mau lekat kepada
yang lampau, tetapi juga berusaha keras untuk menggapai yang akan datang. Hal itu
tampak bukan hanya dari isi kegiatan keagamaan mereka, tetapi juga dari semangat
mereka masing-masing yang mulai membuka diri satu terhadap yang lain. Para pemeluk
agama-agama mulai tahu bahwa sikap saling bersitegang satu terhadap yang lain
bukanlah masa yang baik bagi semuanya. Sikap seperti itu jauh lebih merugikan
ketimbang menguntungkan semua pihak. Mereka juga mulai tahu bahwa masa kini
dan masa depan adalah tanggungjawab bersama. Mereka mulai tahu bahwa di dalam
diri agama mereka tersimpan benih-benih ajaran yang menunjang perkembangan
pemikiran baru yang berwawasan lebih terbuka, yang tidak lagi memandang para
pemeluk agama lain sebagai lawan atau musuh. Mereka juga tahu bahwa di dalam
khasanah ajaran mereka tersimpan benih-benih ajaran yang sangat positif dan kreatif
2

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

bagi kepribadian terhadap nasib dunia dengan segala isinya secara bersama, baik
untuk masa kini maupun untuk masa depan. Mereka juga berpengalaman untuk saling
bertemu dan dialog. Bahkan mereka mulai sadar bahwa mereka terpanggil untuk
memperbaiki kehidupan bersama ini mulai dari skala yang paling kecil, yang ada di
depan mata kepala sendiri, sampai dengan yang berskala global.
Pengetahuan dan kesadaran seperti itu, terlebih yang prihatin terhadap
masalah-masalah bersama, makin lama makin mendalam dan makin mempertemukan
para pemeluk agama yang berbeda-beda ke dalam wawasan dan suasana baru yang
lebih kondusif. Pengetahuan dan kesadaran itu berkembang, mulai dari tingkat yang
formal dan paling periferi sampai ke tingkat yang substansial. Meskipun dalam
kenyataannya perkembangan itu memerlukan waktu yang cukup lama, tetapi tetap
menggembirakan. Mengapa? Karena justru di situlah para pemeluk agama-agama
mulai memberlakukan potensi agamanya untuk menjadi landasan etis, moral dan
rohani dalam mengarungi kehidupan masa kini dan masa depan bersama. Para
pemeluk agama-agama kini membuka diri dan mulai keluar dari isolasinya.
Tentu timbul pertanyaan: sampai di mana dan mau ke mana proses membuka
diri itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, secara garis besar dapat dikatakan bahwa
tahap keterbukaan itu adalah tahap mutakhir dari suatu proses yang sudah berjalan
jauh dan mendalam, dengan berbagai tahapnya. Tahap yang tampak agak awal dari
proses itu ialah tahap ignorant artinya tahap di mana masing-masing pemeluk agama
berjalan sendiri-sendiri tanpa menyebut-nyebut agama lain dan pemeluknya. Tahap
selanjutnya adalah tahap yang mungkin bisa disebut dengan istilah eksklusif artinya
tahap di mana masing-masing pemeluk agama tahu bahwa ada agama lain dan
pemeluknya, tetapi hanya sibuk dengan dirinya sendiri saja. Pemeluk agama yang
satu tidak mau tahu tentang agama lain dan pemeluknya. Tahap berikutnya ialah
tahap apologetis. Dalam tahap ini masing-masing pemeluk agama mengetahui adanya
agama lain dan pemeluknya. Mereka saling bertemu, tetapi tetap lebih banyak
berusaha menonjolkan agama dan diri mereka sendiri dengan menekankan perbedaan
atau kelebihan agama dan diri mereka dibanding dengan agama lain dan pemeluknya.
Ada diantara mereka yang bersikap fanatik, memutlakkan agama mereka sendiri,
bahkan berusaha melawan dan membinasakan agama lain dan pemeluknya. Tahap
ini adalah tahap yang dirasa paling sarat dengan kekerasan, akrab dengan konflik
dan memakan banyak korban jiwa, harta, kebudayaan lingkungan hidup bahkan
bangsa dan negara. Tahap yang berikutnya adalah tahap toleransi dan koeksistensi,
di mana para pemeluk agama-agama itu bisa menerima kehadiran agama lain dan
pemeluknya di samping diri mereka. Penerimaan itu memang tidak mencegah
terjadinya pergaulan antarpemeluk agama tersebut, tapi utamanya hanya mengacu
kepada eksistensi dan kelestariaan mereka masing-masing. Untuk memberikan
suasana yang baik, dalam tahap ini berkembanglah gagasan dan penghayatan tentang
(tri)-kerukunan dalam pergaulan. Bahwa dalam tahap toleransi dan ko-eksistensi itu
para pemeluk agama hanya mau hidup sendiri-sendiri dan tidak saling mengganggu,
nampak juga dari kenyataan bahwa gagasan tentang (tri)-kerukunan itu tidak muncul
dari mereka melainkan justru dari pemerintah.
Namun tahap toleransi dan ko-eksistensi itu ternyata bukan merupakan tahap
akhir dari seluruh proses yang dimaksud. Proses tersebut bergulir terus, dan banyaknya

Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto, Agama: Dari Isolasi ke Pro-Eksistensi

kegiatan keagamaan yang lebih mengacu kepada kebersamaan, seperti yang


disebutkan pada permulaan tulisan ini, merupakan bagian dari perkembangan itu.
Pada tahap yang berikutnya itu para pemeluk agama-agama tidak sekedar hanya
mau sama-sama hidup dan menunaikan tugas agamanya masing-masing tetapi juga
secara sadar bergumul dengan masalah: sama-sama hidup untuk apa? Seumpama
suatu keluarga besar yang tinggal dalam satu rumah,masing-masing pemeluk agama
sadar bahwa mereka bukan hanya sama-sama hidup dan hanya mengurusi kamarnya
sendiri-sendiri saja, melainkan juga harus mengurusi rumah bersama tempat tinggal
keluarga besar itu. Mereka sadar bahwa hidup dan kelestarian mereka tidak ditentukan
oleh baik tidaknya kamar tinggal mereka masing-masing melainkan oleh baik tidaknya
rumah bersama mereka itu. Mereka ada bukan hanya untuk ada, melainkan untuk
ada bersama-sama sebagai satu kesatuan dan keutuhan yang harus lestari. Tahap
inilah yang di dalam suatu pertemuan internasional di Malang bulan Mei 1991 kami
sebut dengan tahap pro-eksistensi.1 Artinya tahap ini adalah tahap di mana para
pemeluk agama masing-masing mengakui bahwa mereka dan agama mereka ada
bukan hanya untuk diri masing-masing mereka sendiri atau untuk saling ada, melainkan
untuk keberadaan dan kehidupan bersama. Tahap ini muncul juga karena kenyataan
dan keyakinan bahwa dalam era globalisasi ini tidak ada satu pihak pun, termasuk
pemeluk agama tertentu, yang bisa hidup sendiri, apalagi menyelesaikan semua masalah
sendiri. Semua pihak saling bergantung dan keberadaan/kehidupan bersama sangat
ditentukan oleh saling ketergantungan itu. Oleh karena itu mereka mulai
memperkembangkan penghayatan dan pemahaman tentang kesaling-ketergantungan
itu demi keberadaan bersama, kehidupan bersama dan kelestariannya. Agama-agama
dan para pemeluknya ada dan berkiprah demi pro-eksistensi. Kalau tidak, semua
pihak akan berhenti ada dan cepat atau lambat mati, entah secara sendiri-sendiri dan
atau bersama-sama. Kelestariaan kehidupan makin menjadi pokok utama yang
dipertanggungjawabkan bersama.
Memang semua tahap yang disebutkan di atas tampaknya masih berlaku
sekarang ini, secara silih berganti dan/atau secara campuran. Tahap yang satu belum
100% hilang, tahap yang lain belum 100% memasyarakat. Namun secara progresif
seiring dengan perkembangan zaman dan globalisasi, tahap pro-eksistensi itu tampak
paling memberikan janji masa depan bagi semua pihak. Seperti dikatakan di atas,
tahap itu tidak muncul demikian saja. Tahap itu muncul sebagai kehendak dan
pengharapan zaman yang makin penuh dinamika.
Di masyarakat kita sekarang soal kehendak dan pengharapan zaman itu
mungkin belum terasa. Tetapi pertemuan internasional tentang Lingkungan Hidup
yang diorganisir oleh PBB di Rio de Janeiro bulan Juni tahun 1992 menyadarkan
semua pihak akan penting dan urgennya masalah ini. Kita mengetahui bahwa di tempat
yang sama pada waktu itu juga berlangsung suatu pertemuan internasional yang

Pertemuan itu adalah pertemuan konsultasi dari gereja-gereja yang bekerjasama dengan Vereinigte
Evangelische Mission (VEM), Jerman, tentang hubungan dan kerjasama antara Islam-Kristen dengan tema
Building Up Creative and Peaceful Religious Pro-Existence, tanggal 8-15 Mei 1991 di Malang.

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

diorganisir oleh berbagai pimpinan umat beragama yang menyuarakan keprihatinan


seperti keprihatinan pertemuan PBB itu. Pertemuan internasional berbagai pemeluk
agama seperti itu juga secara teratur diadakan oleh suatu organisasi yang bernama
World Conference on Religion and Peace, yang sejak tahun 2000 ini ada
cabangnyadi Indonesia. Namun jauh sebelumnya itu pada tahun 1984, dewan
gereja-gereja sedunia dalam sidang Rayanya di Vancouver telah mencanangkan apa
yang disebut gerakan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (KPKC) atau
Justice, Peace and Integrity of Creation (atau JPIC).2 Pertemuan-pertemuan itu samasama menekankan bahwa setiap hal yang menentukan kelestarian kehidupan bersama,
baik itu lokal, regional maupun global adalah juga masalah bersama. Masalah itu
tidak bisa lagi dilemparkan kepada pihak-pihak tertentu di luar kita. Lestari tidaknya
kehidupan global tidak lagi ditentukan oleh satu atau dua pihak, melainkan oleh semua
pihak secara bersama-sama. Dan itulah yang disebut tahap pro-eksistensi. Ke
sanalah diharapkan arah perkembangan pemahaman serta penghayatan
keberagamaan kita. Makin luas dan realis wawasan kita, makin relalah kita keluar
dari isolasi serta masuk ke dalam tahap pro-eksistensi.
Kata kunci dalam pro-eksistensi adalah hidup dan semua derivatnya.
Hidup dan kehidupan itu adalah given dan bukan suatu yang diraih apalagi diciptakan
oleh manusia atau bagian dari ciptaan. Untuk itu maka semua tindakan yang melawan
hidup dan kehidupan adalah tindakan yang melawan pemberi hidup dan kehidupan
itu. Sebagai umat yang beragama dan beriman, kita mengatakan bahwa pemberi
hidup dan kehidupan adalah TUHAN. Jadi pro-eksistensi adalah keadaan dan
kegiatan yang menyambut pemberian TUHAN dengan penghargaan yang sama nilainya
dengan hidup dan kehidupan itu sendiri. Dalam pro-eksistensi semua kemampuan
manusia dan alam diberlakukan untuk hidup dan kehidupan serta pelestariannya.
Hal itu juga relevan untuk kebersamaan, kesatuan dan keutuhan semua kelompok
dan golongan di Indonesia.

2. Beberapa Paradigma Pro-eksistensi


Selanjutnya baiklah kalau kita juga sedikit memperluas wawasan tentang
kebersamaan, kesatuan dan keutuhan itu dengan melihat tiga dari sekian banyak
paradigma teoretis yang kita anggap sangat kuat pengaruhnya dalam pertemuan
berbagai kelompok masyarakat termasuk kelompok agama-agama.
A. Paradigma biblis Perjanjian Lama: yang dimaksudkan dengan paradigma
biblis Perjanjian Lama adalah paradigma yang sangat dominan dalam kehidupan
umat TUHAN zaman Perjanjian Lama. Dari seluruh kitab suci Perjanjian Lama
2

KPKC atau JPIC ini makin digalakkan sekarang ini berkaitan dengan adanya globalisasi dan makin saling
bergantungan semua pihak, baik kelompok-kelompok manusia maupun seluruh ciptaan. Salah satu penekanannya adalah pelestarian lingkungan hidup di mana diakui bahwa yang mempunyai hak asasi bukan hanya
manusia tetapi juga semua bagian dari ciptaan, bahkan ciptaan itu sendiri secara keseluruhan dan utuh.

Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto, Agama: Dari Isolasi ke Pro-Eksistensi

ternyata ada paradigma yang dominan untuk memahami semua kenyataan kehidupan
ini. Paradigma itu sangat kental dengan kesatuan dan keutuhan. Seluruh ciptaan adalah
satu kesatuan dan keutuhan ciptaan Allah. Tidak ada bagian ciptaan yang dianggap
berdiri sendiri, apalagi berada di atas atau di bawah bagian ciptaan lain. Manusia
adalah hanya salah satu bagian saja dari seluruh ciptaan, sama dengan bagian-bagian
yang lain. Kelestarian kehidupan manusia berkaitan erat dengan kelestarian kehidupan
bagian ciptaan yang lain. Kalau manusia rusak maka seluruh ciptaan juga rusak, dan
demikian juga sebaliknya. Bahkan manusia sendiri pun tidak terbagi atas badan,
jiwa dan roh. Manusia adalah satu kesatuan yang utuh sebagai manusia. Tidak ada
bagian dari manusia yang lebih tinggi atau lebih rendah dari bagian lainnya. Kalaupun
ada yang disebut badan, jiwa dan roh, maka ketiganya adalah sama dan bersamasama merupakan satu kesatuan yang utuh. Ketiganya sama-sama hidup dan samasama mati, bersama dengan bagian ciptaan yang lain. Saling ketergantungan semua
bagian ciptaan adalah mutlak, dan karena itu tidak ada gagasan di mana yang satu
bisa memenangkan bagian yang lain. Satu hidup semua hidup, satu mati semua mati.
Dengan perkataan lain paradigma biblis Perjanjian Lama ini menekankan kesatuan
dan keutuhan satu ciptaan, meskipun ciptaan itu terdiri atas berbagai-bagai bagian.
Tidak ada bagian yang bisa hidup sendiri dengan lestari. Setiap bagian tidak bisa
berbuat lain kecuali menerima dan merangkul bagian-bagian yang lain dalam
kesamaan, kebersamaan, keutuhan dan kelestarian satu ciptaan Tuhan. Kalau ada
bagian yang berusaha menguasai bagian lain, sok berkuasa apalagi menjadi sama
dengan Tuhan sang pencipta maka hancurlah seluruh ciptaan itu.
B. Paradigma Yunani. Yang dimaksudkan dengan paradigma Yunani adalah
paradigma yang dominan dalam kehidupan dan alam pikiran Yunani kuno. Dalam
kehidupan dan alam pikiran Yunani kuno ada pembedaan dan pemisahan yang jelas
antara yang baik dan yang buruk, yang terang dan yang gelap, dan yang spiritual dan
yang material, yang imanen dan yang transenden, yang alami dan supra-alami dan
seterusnya. Di situ ada dualisme yang sangat kental dengan potensi konflik, di mana
ada pihak yang unggul atau tinggi dan ada pihak yang kurang unggul atau rendah.
Salah satu tujuan dari konflik itu adalah menentukan siapa/apa yang unggul, menang
atau siapa/apa yang kalah, bahkan binasa. Paradigma Yunani yang mulai dominan
sejak abad ke-4 SM ini mempunyai pengaruh yang hebat dan global sampai sekarang
ini. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi modern tidak bisa dipisahkan
dari berlakunya paradigma Yunani ini. Hal itu tampak bukan hanya dalam ilmu eksata,
tetapi justru sangat menonjol dalam ilmu-ilmu sosial. Secara khusus di sini kami ingin
menyebut bahwa teori konflik yang belakangan ini marak dalam ilmu sosial sangat
akrab dengan paradigma ini. Dalam perkembangan hubungan antara umat beragama,
paradigma Yunani ini sangat nampak pada tahap-tahap apologia. Gereja awal sangat
akrab dengan paradigma ini, antara lain karena sejak pertumbuhan awalnya sudah
diasuh olehnya. Hal yang terakhir ini sekarang masih nampak antara lain dalam sikap
Gereja yang cenderung memihak pada salah satu dari pihak-pihak yang berkonflik.
C. Paradigma Jawa. Kami memasukkan paradigma Jawa di sini bukan karena
tidak ada paradigma lain. Paradigma lain mungkin ada, tetapi karena keterbatasan
kami maka kami pilih paradigma ini. Yang dimaksud paradigma Jawa adalah

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

pemahaman dan sikap hidup yang mendominasi masyarakat jawa sejak dahulu sampai
sekarang. Pemahaman dan sikap orang Jawa terhadap seluruh kenyataan atau ciptaan
ditentukan olehsangkan-paraning dumadi atau asal-usul, arah dan akhir dari seluruh
kenyataan yang ada. Paradigma ini mengatakan bahwa kenyataan atau dumadi itu
merupakan satu kesatuan yang utuh, yang terdiri atas jagad gedhe ( atau makro
kosmos) dan jagad cilik (atau mikro kosmos). Hubungan kedua jagad ini bukan
hubungan konflik yang dipenuhi oleh semangat saling mengalahkan dan/atau saling
memenangkan, melainkan oleh semangat keseimbangan atau harmoni. Jagad gedhe
dan jagad cilik bukan hanya hidup dalam keseimbangan antara bumi dengan langit,
bintang, bulan, matahari, binatang dan bagian-bagian lain, tetapi juga antara ,manusia
dengan non manusia, bahkan ada di dalam diri manusia itu sendiri. Keseimbangan
atau harmoni itulah yang menjamin kelestarian kehidupan semua bagian dumadi,
jagad gedhe dan jagad cilik secara bersama-sama. Karena itu hubungan keduanya
tidak bisa hanya berakhir dengan konflik yang penuh dengan semangat saling
memenangkan dan /atau mengalahkan. Hubungan keduanya ingin sama-sama hidup
dan lestari. Konflik memang ada dan bisa terjadi, tetapi bukan merupakan sesuatu
yang tanpa jalan keluar atau penyelesaian. Konflik bukanlah hal yang terakhir. Hal
terakhir harus selalu diupayakan adalah harmoni atau keseimbangan. Bukan sekedar
penyelesaian, melainkan harmoni atau keseimbangan. Harmoni atau keseimbangan
jauh lebih luas dan dalam ketimbang penyelesaian. Harmoni atau keseimbangan berarti
saling menerima, saling mengakui, saling bergantung secara dinamis, meskipun berbeda
satu sama lain, demi keberbedaan, kehidupan dan kelestarian bersama. Dalam harmoni
memang ada potensi ketegangan atau konflik, tetapi tidak ada yang disebut saling
memenangkan atau saling mengalahkan, sebab kalau ada yang kalah atau menang,
maka keseimbangan akan terganggu dan semua pihak akan hancur, entah sendirisendiri atau bersama-sama.3
Kalau kita simak konflik-konflik yang belakangan ini marak, baik secara
teori maupun kenyataan lapangan, kita tahu bahwa ada kelompok orang yang hanya
berpikir semua ini sekedar konflik untuk kepentingan yang pertanggungjawabannya
patut dipertanyakan. Sepanjang sudah terjadi konflik, mereka mengira tujuan mereka
sudah tercapai, dan selesailah program rekayasa mereka. Tidak banyak yang melihat
bahwa konflik memerlukan pemahaman dan penanganan yang tidak sederhana.
Terlebih lagi kalau dilihat bahwa konflik itu sangat akrab dengan paradigma Yunani,
maka untuk sebagian besar kelompok masyarakat Asia, yang non-Yunani, konflik
model Yunani sebenarnya merupakan beban asing yang hampir aneh. Konflik yang
direkayasa ke dalam kelompok dan masyarakat Asia itu hampir merupakan
pemaksaan berlakunya paradigma Yunani kepada kelompok dan masyarakat yang
paradigmanya lain. Untuk kelompok dan masyarakat yang sangat didominasi oleh
paradigma Yunani, seperti masyarakat Eropa pada umumnya, barangkali konflik
merupakan hal yang indah dan enjoyable. Tapi untuk kelompok dan masyarakat
yang paradigmanya lain, konflik Yunani merupakan dan penyelesaiannya kalau

Barang kali paradigma ini bisa dipakai untuk memberi isi baru kepada apa yang disebut demokrasi. Sampai
sekarang pemahaman tentang demokrasi itu masih juga bermacam-macam dan belum jelas.

Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto, Agama: Dari Isolasi ke Pro-Eksistensi

ada merupakan hal asing yang sangat tidak indah dan sangat tidak enjoyable.
Tidaklah heran kalau belakangan ini kelompok-kelompok yang dikonflikkan itu mulai
protes dan mengungkapkan kejenuhannya terhadap konflik dan upaya penyelesaiannya. Reaksi kelompok-kelompok itu sedikit banyak memaksa para perekayasa
konflik mulai berpikir ulang. Salah satu pertanyaan pokok yang muncul adalah: untuk
apa konflik, siapa yang menanggung, siapa yang menang, siapa yang kalah, siapa
dan apa yang jadi korban, dan hasilnya apa?4 Kalau toh konflik itu harus terjadi,
khususnya di dalam masyarakat Indonesia, maka pemahaman, pengelolaan dan cara
penyelesaiannya haruslah memakai paradigma yang dominan berlaku dalam kelompok
dan masyarakat yang yang dikonflikkan itu. Dalam hal ini mungkin paradigma Jawa
lebih kena, ketimbang Yunani. Paradigma Biblis Perjanjian Lama juga bisa dipakai,
tetapi untuk kelompok dan masyarakat kita kurang strategis.
Dari semua yang disebutkan di atas kiranya jelas bahwa konflik itu jauh lebih
luas ketimbang hanya sebagai masalah agama dan politik. Agama dan politik hanya
sebagian saja dari banyak hal yang bisa dipakai dan dikaitkan dengan konflik. Apakah
agama dan politik terkait atau tidak, keduanya secara sendiri-sendiri maupun bersamasama bisa memicu dan/atau memacu konflik. Sejarah, khususnya sejarah agama
kristen, gereja dan pemeluknya, mengajarkan kita bahwa manakala agama dan politik
berangkulan dalam ikatan paradigma Yunani, maka hasilnya adalah malapetaka. Itulah
sebabnya selama bebarapa abad belakangan ini dalam kalangan gereja ada pemilahan
dan pemisahan yang cukup jelas antara agama/iman dan politik. Demikian juga di
kalangan Islam tertentu mulai ada yang melihat kemungkinan itu. Mereka yang
menganggap politik dan agama harus dipilah dan dipisahkan karena merasa lebih
bebas bergerak secara konstruktif dalam manghayati kenyataan berbagai kelompok
dan masyarakat majemuk serta kebersamaannya. Mereka sama-sama memasuki
tahap pro-eksistensi yang menerobos batas-batas kelompok menuju ke keadaan
yang berperspektif lestari bersama.
Sekarang marilah kita coba melihat hal-hal nyata dalam kehidupan pro-eksistensi
itu.
1. Pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia, yaitu sandang, pangan, papan
dan pelestarian lingkungan hidup. Sandang, pangan, papan dan pelestarian lingkungan
hidup adalah kebutuhan dasar semua makhluk hidup, termasuk manusia yang beriman
atau yang tidak beriman, yang beragama atau tidak beragama. Begitu mendasarnya
kebutuhan ini sehingga setiap orang, golongan maupun kelompok, bahkan bangsa,
menganggapnya sebagai salah satu alasan dasar bagi semua wawasan dan kiprahnya.
Namun perlu dicatat bahwa dalam memberlakukan wawasan dan kiprahnya itu tidak
semua orang dan/atau golongan yang menganggap orang, golongan dan kelompok
lain juga berhak memperoleh pemenuhan kebutuhan dasar ini. Masalahnya di sini
bagaimana agar orang dan/atau golongan itu menganggap dan menempatkan dirinya
sama dengan orang lain, sehingga dalam segala upaya itu semua orang dan/atau

Barangkali teori these-antithese-synthese juga sangat didominasi paradigma Yunani. Teori ini pun hanya
bertahan kurang dari satu abad, dan tidak mencapai synthese seperti yang dihipothesekan.

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

golongan itu sama-sama mendapat pemenuhan kebutuhan dasarnya. Pro-eksistensi


adalah jawabannya.
2. Dengan asumsi bahwa kebutuhan dasar itu terpenuhi, maka hal kedua
yang dibutuhkan semua orang dan/atau golongan adalah pemenuhan pemberlakuan
norma dan nilai, yang antara lain mencakup nilai-nilai dasar umum, harga manusia,
hak alam, hak asasi manusia dan keadilan bagi semua. Pemenuhan ini diperlukan
baik untuk kepentingan pribadi/individu maupun untuk kepentingan bersama/kolektif.
Tentu saja di sini akan ada tarik menarik antara pemenuhan yang bersifat pribadi
dengan yang bersifat bersama/kolektif. Justru di dalam keadaan seperti orientasi
sempit harus diimbangi dengan orientasi yang lebih luas, sehingga dinamika yang
terjadi tidak mengarah kepada saling menghancurkan (atau predatorial), melainkan
kepada saling menghidupkan. Dalam rangka kebersamaan itu nilai atau norma apapun
yang dipakai untuk kepentingan pribadi harus bisa diberlakukan juga untuk
kepentingan orang lain. Demikian juga dengan nilai atau norma yang dipakai oleh
suatu golongan atau kelompok harus bisa diberlakukan juga untuk golongan atau
kelompok lain. Nilai atau norma yang hanya berlaku untuk kalangan tertentu tetapi
tidak (bisa) berlaku untuk kalangan lain seyogyanya tidak diberlakukan untuk
siapapun. Apalagi kalau nilai atau norma itu hanya mendukung hidup dan kehidupan
kalangan tertentu saja. Hal ini tidak pro-eksistensi.
3. Di Indonesia kita mempunyai landasan bersama untuk pro-eksistensi, yaitu
Pancasila. Masalah utama dengan Pancasila ialah bahwa pemberlakuannya cenderung
fragmentaris dan kasuistis. Ada orang dan atau golongan yang hanya menekankan
pemberlakuan satu-satu sila saja tanpa mampu mengkaitkannya dengan pemberlakuan sila-sila lain. Mereka yang gandrung dengan demokrasi belum mampu
mengkaitkan kengandrungannya itu dengan pemberlakuan sila pertama dan
sebaliknya. Mereka yang gandrung dengan sila pertama sering juga belum mampu
mengkaitkannya dengan pemberlakuan sila keempat dan/atau sila-sila lainnya. Padahal
kelima sila itu merupakan satu kesatuan yang utuh, dan hanya pemberlakuannya
secara utuh itu saja yang akan membawa seluruh warga negara ini masuk ke dalam
pro-eksistensi.
4. Semua agama rasanya bertujuan untuk kebahagiaan hidup dan kehidupan,
paling tidak untuk para pemeluknya sendiri. Perkembangan dan perjalanan
menunjukkan bahwa tidak ada lagi kelompok pemeluk satu agama yang hidup secara
soliter lepas dari pergaulan dengan pemeluk agama-agama lain. Dalam kenyataan
seperti itu, di mana kebersamaan merupakan kenyataan yang mewujud, proeksistensi adalah sikap dan penghayatan yang memberikan ruang gerak yang paling baik. Untuk itu maka upaya menggali ajaran agama yang mengacu kepada
kehidupan bersama perlu lebih dipacu. Sikap dan penghayatan yang fragmentaris,
sektarian dan ekskluasif perlu diimbangi dengan sikap dan penghayatan yang inklusif.
Inklusifisme jelas lebih dekat dengan maksud ajaran TUHAN ketimbang
eksklusifisme. Kalau ajaran TUHAN yang inklusif itu bisa lebih dimunculkan dalamagama-agama, maka pro-eksistensi bukanlah suatu yang sulit. Sebab siapakah
diantara umat beragama yang tidak akan menaati maksud TUHAN.

Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto, Agama: Dari Isolasi ke Pro-Eksistensi

5. Dengan pro-eksistensi setiap dan semua umat beragama menemukan


dasar dan motivasi yang kokoh untuk saling mendekatkan diri satu dengan yang lain,
bahkan juga membangun persaudaraan yang sejati. Di dalam persaudaraan sejati itu
visi dan misi bersama bisa dijabarkan dalam bentuk kegiatan bersama dan/atau
kerjasama. Kebersamaan yang akrab ini sangat mendesak, antara lain karena dalam
perjalanan sejarah kerenggangan hubungan antarumat beragama telah memberikan
ruang gerak yang leluasa bagi kekuatan lain untuk memanipulasi hubungan antarumat
beragama bagi kepentingan di luar kepentingan agama-agama tersebut. Ruang-ruang
kosong itu terbentuk karena para pemeluk agama-agama merasa alergi, belum siap
atau tidak mau bertemu untuk membicarakan banyak hal, termasuk hal-hal yang
bisa mempertemukan mereka maupun hal-hal yang dianggap memisahkan mereka.
Kebersamaan antarumat beragama akan mempersempit atau bahkan meniadakan
ruang-ruang kosong itu karena di situ mereka bertemu. Ruang-ruang itu selanjutnya
perlu diisi, dan isi yang paling menunjang mereka semua secara inklusif adalah proeksistensi. Tetapi perlu segera dicatat, bahwa pro-eksistensi yang hanya tertuju
bagi kepentingan para pemeluk agama-agama akan merupakan eksklusifisme baru.
Hal itu tentu bertentangan dengan pro-eksistensi sendiri. Pro-eksistensi yang
dimaksud ialah yang membawa kebersamaan itu sedikitnya kepada dua arah, yaitu
ke dalam diri pemeluk agama-agama itu sendiri dan keluar ke maksud yang lebih
menyeluruh dari adanya agama-agama itu. Arah yang ke dalam kiranya sudah cukup
disinggung dalam uraian ini. Karena itu baiklah kalau arah yang keluar kita beri perhatian
lebih lanjut.
Arah keluar dari kebersamaan umat beragama itu sedikitnya menampakkan
dua sisi yaitu sisi negatif dan sisi positif. Sisi negatifnya adalah bahwa dengan
kebersamaan itu maka kekuatan-kekuatan luar tidak lagi menemukan ruang gerak
untuk memanipulasi agama-agama. Sisi positifnya adalah bahwa kebersamaan itu
ternyata mengandung potensi yang bisa sangat luar biasa, yaitu potensi sosial agama
yang pasti akan ikut menentukan baik buruknya seluruh masyarakat, bangsa, negara
bahkan dunia dengan seluruh isinya. Selama pemeluk agama-agama itu berjalan
sendiri-sendiri maka potensi ini tidak pernah ada. Tapi ketika mereka berjalan
bergandengan tangan bersama, maka potensi ini muncul di dalamnya. Sebagai
kekuatan kebersamaan yang disemangati oleh pro-eksistensi maka isi kekuatan ini
pun adalah pro-eksistensi. Dengan isi seperti itu kekuatan sosial agama ini akan
bertemu dengan kekuatan-kekuatan lain, baik yang berskala lokal, regional, nasional
bahkan internasional yang selama ini dianggap sebagai penentu hidup-matinya manusia,
dunia dan segala isinya. Kekuatan-kekuatan itu adalah kekuatan sosial politik, sosial
ekonomi, militer dan ideologi. Kekuatan-kekuatan itu nampak begitu perkasa dan
sangat menjanjikan, sehingga seluruh kecamuk dunia ini tidak pernah dipisahkan
dari mereka. Mereka juga berhasil menyusup ke dalam umat beragama, agama
apapun!, dan berhasil memanfaatkannya untuk kepentingan mereka sendiri. Namun
sejarah membuktikan bahwa di mana-mana tidak ada kekuatan ekonomi, kekuatan
militer, kekuatan politik dan kekuatan ideologi yang menunjukkan keberhasilan global. Oleh karena itu kalau kekuatan kebersamaan sosial agama yang berproeksistensi bisa diwujudkan, maka kekuatan baru ini bisa menjadi penyeimbang,

10

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

atau bahkan alternatif, yang bisa diberlakukan untuk kepentingan hidup dan kehidupan
yang lebih baik, kehidupan sebagai satu keluarga yang tinggal dalam satu rumah
besar bersama, saling bergantung dan saling bertanggung jawab bersama untuk
kelestarian bersama.
Milenium pertama banyak terisi oleh kehidupan (termasuk kehidupan
keagamaan) yang didominasi sikap ignorant. Milenium kedua terisi oleh kehidupan
(termasuk kehidupan keagamaan) yang didominasi sikap apologetik predatorial.
Maka kiranya milenium ketiga akan kita isi dengan kehidupan yang didominasi oleh
pro-eksistensi yang mudah-mudahan diprakarsai oleh kehidupan kebersamaan
keagamaan.

3. Pro-eksistensi atau Beriman Dialogal: Perspektif Teologi Pluralisme5


Beriman dialogal meminta kesadaran-kesadaran baru. Tentang realitas.
Tentang dunia. Tentang pengalaman eksistensial manusia. Tentang keseharian hidup
bersama. Karenanya filsafat memiliki andil yang signifikan dalam menggagas hidup
beriman dialogal. Kesadaran-kesadaran tersebut banyak digali dalam peradaban
filosofis. Menjelang Konsili Vatikan II peradaban filsafat banyak didominasi oleh
fenomenologi dan eksistensialisme.6 Postmodernisme7 sementara itu menguasai
diskusi-diskusi intelektual, sastra, etika, politik dewasa ini. Peradaban hidup manusia
banyak dipengaruhi oleh tema-tema postmodern. Diskusi teologi pun bergeser pada
perkara-perkara seputar tema postmodern seperti pluralitas, multikulturalitas,
emansipasi, feminisme, dan seterusnya. Sementara pamor Neoskolastik8 mulai

Pembahasan bagian ini dan selanjutnya memiliki konteks langsung pada diskusi teologis dalam lingkup
Gereja Katolik dengan rujukan pada dokumen-dokumen Konsili dan beberapa gagasan para teolog pluralis.
Agama disimak tidak dalam makna general sebagai atribut manusia dalam tatanan hidup bersama, tetapi
menunjuk pada suatu gambaran penghayatan hidup beriman. Dengan demikian, apa yang dimaksud proeksistensi dalam pembahasan ini identik dengan hidup beriman dialogal.
Fenomenologi merupakan aliran filsafat yang bergumul dengan fenomen-fenomen. Tetapi, fenomenologi
bukanlah ilmu tentang penampakkan-penampakkan. Dalam Husserl, fenomenologi berarti ilmu tentang esensi.
Fenomenologi memaksudkan filsafat yang mendesak pencarian esensi dalam apa yang disebut sebagai
fenomen-fenomen. Eksistensialisme sementara itu merupakan aliran filsafat yang mengajukan manusia sebagai
yang bereksistensi. Manusia adalah manusia yang tampil, hadir, menyejarah dan mengalami keseharian
hidupnya. Penemuan tentang manusia diraih dari pengalamannya. Eksistensialisme diawali oleh Soren
Kierkegaard. Nietzsche juga termasuk dalam bilangan promotor eksistensialisme. Heidegger, salah satu
filosof yang amat berpengaruh pada Karl Rahner SJ (salah satu teolog ahli untuk Konsili Vatikan II) juga
merupakan salah satu genius dalam wilayah filsafat ini.
Postmodernisme merupakan salah satu aliran filsafat yang aktual di Prancis mulai dekade enam/tujuh puluhan
dan menyebar di mana-mana, terutama di lingkungan negara-negara Barat. Aliran ini sama dengan
poststrukturalisme. Postmodernisme bukan terminologi sekedar mengatakan sesudah modernisme.
Postmodernisme banyak menyoal tema-tema tentang pluralitas, imanensi, multikulturalitas, manusia dengan
selves (dan bukan self). Dan seterusnya.
Neoskolastik adalah terminologi untuk menyebut filsafat resmi Gereja yang mengalir dari peradaban Abad
Pertengahan, terutama dari Santo Thomas Aquinas meskipun banyak filosof lain sebelumnya masih bisa
disebut. Teologi neosklastik artinya teologi yang mengedepankan rumusan-rumusan dogmatis filosofis
sedemikian rupa sehingga refleksi iman menampilkan suatu bahasa yang valid.

Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto, Agama: Dari Isolasi ke Pro-Eksistensi

11

mengendor dalam peradaban kesadaran manusia, paling sedikit dalam rentang waktu
pertengahan hingga akhir abad ke-20.

3.1.

Pluralitas dunia hidup manusia

Ciri dialogal hidup Gereja Katolik paling konkret tampak dalam kehidupan
sehari-harinya di tengah-tengah masyarakat. Gereja, karena hadir dan mengakar
dalam masyarakat, tak mungkin melepaskan diri dari ciri ini. Teologi dialog atau
beriman dialogal berusaha merefleksikan kebenaran-kebenaran yang bercorak
transformatif dialogal. Dengan corak transformatif dialogal dimaksudkan refleksi iman
akan peristiwa Yesus tampil sebagai suatu gerak yang mengubah. Membebaskan.
Menyelamatkan. Menyatukan. Menciptakan perdamaian. Mentransformasikan
kehidupan.
Dengan ciri transformatif dialogal semacam ini, teologi dialog membongkar
teologi tradisional yang bercirikan eksplanatoris (menjelaskan rumusan-rumusan
kebenaran iman), verifikatif (membuktikan kebenarannya), apologetis (membela dan
melindungi rumusannya), dan eksklusif (menyisihkan aneka kemungkinan perumusan
lain). Dalam teologi tradisional dikenal bahasa teologi resmi, yang kerap diidentikkan
dengan Neoskolastik. Sementara dalam teologi dialog, keanekaragaman bahasa
pencetusan sangat dihormati. Bahasa transformatif dialogal merupakan sebuah
pencarian.
Agak sukar untuk menentukan kapan persisnya desakan beriman dialogal
tampil ke permukaan. Edward J. Gratsch, Karl Rahner, Hans Kng sepakat bahwa
inspirasi definitif saat kapan munculnya teologi dialog menemukan titik awalnya sejak
Konsili Vatikan II (1962-1965). Sebab Konsili Vatikan II menegaskan pentingnya
refleksi teologis dengan beranjak dari kenyataan konkret. Dari pengalaman. Dari
pengalaman keseharian dengan segala duka dan kecemasan, kegembiraan dan
harapan, kepastian dan kemungkinan-kemungkinanan. Kenyataan konkret
sebagaimana disadari dewasa ini juga realitas plural hidup manusia.
Dapat dikatakan dialog menjadi salah satu kata kunci utama Konsili Vatikan
II. Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes mengungkapkan dengan gamblang
bagaimana Gereja masuk dalam dialog dengan dunia. Karena berdialog dengan dunia,
Gereja memiliki suatu pesan untuk diungkapkan, dibagikan, didialogkan. Alasan
Gereja membuka diri untuk menjalin dialog juga diresapi oleh semangat Ensiklik
Ecclesiam Suam (21 November 1964). Dalam Ensiklik itu, Gereja diminta untuk
menjalin dialog keselamatan tanpa batas dan tidak menunggu terlebih dahulu untuk
diundang (bagian III).
Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium melukiskan dengan jelas bahwa semua
manusia dipanggil menjadi umat Allah yang baru (LG. 13), akan tetapi sekaligus
diakui bahwa tidak semua tergabung dalam cara yang sama (LG. 14-16). Dengan
demikian Gereja tidak menyangkal keanekaragaman atau pluralitas pencetusan umat
Allah yang baru. Maka, secara implisit kita menyimak Gereja dalam Konstitusi
Dogmatik Lumen Gentium ini yang sungguh mengajak umat beragama lain untuk
12

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

bersama-sama membangun suatu dialog keselamatan. Dikatakan secara implisit, sebab


penjelasan yang lebih gamblang dan eksplisit diungkapkan dalam Dekrit Nostra
Aetate (28 Oktober 1965). Dekrit ini secara tegas menegaskan perlunya segera
mengusahakan dialog.
Dalam konteks Asia, kebutuhan untuk menggalang dialog amat mendesak.
Sebab Gereja Asia berhadapan langsung dengan tantangan pluralisme di segala bidang
kehidupan. Juga teramat menyolok dalam pluralisme agama dan kultur. Sidang para
Uskup Asia (FABC V) di Lembang Bandung 17-27 Juli 1990 menyadari itu semua.
Sidang yang mengambil tema Menanggapi Tantangan Gereja Asia: menyongsong
Milenium ketiga ini menaruh perhatian pada kondisi pluralisme Asia dan mencoba
mengajukan pandangan-pandangan pastoral bagaimana sebaiknya Gereja Asia hadir
dan menanggapinya.9
Dalam pengamatan Gratsch, sejak Vatikan II teologi berkembang dari titik
tolak sejarah ke pangakuan dan penghargaan akan pluralisme.10 Jadi konteks
pembicaraan tentang teologi dialog ialah pluralisme dalam teologi. Dengan pluralisme
teologi dimaksudkan titik tolak, bahasa, metode, arah, dan lingkungan sosial teologis
yang berbeda-beda. Perbedaannya begitu rupa sehingga tidak ada satu bahasa teologis
filosofis pun yang dapat merangkumnya.
Karl Rahner menengarai, untuk mencegah kesimpangsiuran kebenaran perlu
dikembangkan sikap-sikap toleransi timbal balik, kesediaan untuk saling mempengaruhi dan dipengaruhi, dan memupuk sikap-sikap kritis satu sama lain di antara
para teolog dan Vatikan. Sikap-sikap menutup diri dari kritik, menawarkan kebenaran
sebagai harga mati, mengutuk perbedaan-perbedaan, dan yang semacamnya adalah
sikap-sikap yang tidak menguntungkan dalam arus pluralistik teologi yang demikian
deras dewasa ini. Sebab perbedaan-perbedaan pendekatan dalam teologi muncul
sebagai yang tak terhindarkan.11
Sedangkan David Tracy mengusulkan model baru hermeneutika yang dapat
disharingkan di tengah-tengah perbedaan dan pertentangan.12 Dalam pengamatan
Tracy, pluralisme selain telah membangkitkan perubahan paradigma dalam teologi,
juga menciptakan krisis-krisis baru. Krisis baru ini pada prinsipnya bertumpu pada
problem hermeneutika tentang hubungan antara tradisi dan situasi dewasa ini.
Keanekaragaman penafsiran tentang tradisi dan situasi, menurut banyak pengamat,
sebagaimana dikatakan Tracy dalam simposium di Universitas Tubingen Jerman

9.

Lih. Michael Amaladoss SJ., The Church And Pluralism in The Asia of The 1990s (Fifth Plenary Assembly:
Workshop Discussion Guide) dalam FABC Papers, no. 57e, hlm. 1-19. Juga dapat disimak R. Hardawiryana
SJ., The Church Before The Changing Asian Societies Of The 1990s, dalam FABC Papers, no.57a, hlm. 4-5.
10. Edward J. Gratsch, Principles of Catholic Theology (New York: Alba House, 1981), hlm. 20.
11. Ibid. hlm. 240.
12. David Tracy, Some Concluding Reflections on the conference: Unity amidst Diversity and Conflict? dan
Hermeneutical Reflections in The New Paradigm, dalam Hans Kng and David Tracy (eds.), Paradigm
Change in Theology. A Symposium For The Future (Edinburgh: T.&T. Clark Ltd., 1989), hlm. 34-62 & 461471.

Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto, Agama: Dari Isolasi ke Pro-Eksistensi

13

(dengan tema Is There A Basic Christian Concensus Theology Today In Spite


Of All Our Differences?), telah menimbulkan kekacauan dalam teologi.13 Karena
kesimpangsiuran dalam interpretasi tradisi dan situasi dewasa ini diamati sebagai
problem yang mendasar dalam pluralisme teologi, Tracy melontarkan suatu model
hermeneutika baru yang dapat disharingkan di tengah perbedaan dan pertentangan
teologis.14
Mengapa teologi Neoskolastik kehilangan pamor? Tentulah itu merupakan
konsekuensi-konsekuensi yang mengalir dari semangat pembaharuan Vatikan II.
Dekrit tentang kebebasan Agama (Nostra Aetate) jelas langsung menunjukkan
penghargaan Gereja terhadap keanekaragaman agama. Di mana-mana dikembangkan toleransi terhadap perbedaan-perbedaan iman. Dalam situasi baru semacam ini,
Neoskolastik dipandang tak sanggup lagi menjawab aneka tantangan baru.
Neoskolastik yang dalam uraian teologisnya banyak menguraikan kebenarankebenaran (yang sering diajukan sebagai kebenaran mutlak) dianggap telah
ketinggalan jaman. Dalam kondisi yang berubah, plural, dan kompleks semacam ini,
refleksi iman membutuhkan sumbangan-sumbangan aneka disiplin ilmu dan membuka
diri terhadap keanekaragaman. Pemutlakan kebenaran umumnya dipandang sia-sia.
Setelah Konsili Vatikan II, sebab-sebab lain yang dilihat ikut menumbangkan
hegemoni teologi Neoskolastik ialah runtuhnya pola-pola kekuasaan Kristen di bidangbidang sekular. Johann Baptist Metz15 menyimak bagaimana perubahan-perubahan
di bidang politik telah membentuk paradigma baru di bidang teologi. Sementara
Landon Gilkey dan John Cobb malah dengan tegas mengemukakan bahwa runtuhnya
hegemoni politik, militer, ekonomi, dan budaya Kristen telah ikut pula menyebabkan
tumbangnya dominasi teologi Kristen yang kerap mengklaim diri sebagai yang memiliki
kebenaran satu-satunya. Tumbangnya superioritas di bidang-bidang sekular telah
pula menghancurkan superioritas agama Kristen. Dan untuk pertama kalinya sejak
itu, agama Kristen dalam mewartakan Kerajaan Allah merasa bahwa agama-agama
lain juga memiliki misi yang serupa dengan misinya, yakni membangun kesejahteraan,

13. Tentang hubungan tradisi dan situasi dewasa ini, menurut Tracy paling sedikit ada tiga macam penafsiran.
Hubungan pertama berupa konfrontasi (dipandang sebagi dua hal yang terpisah, berbeda dan bahkan
bertentangan). Hubungan kedua sering kali disebut analogi (mencoba menemukan keserupaan dalam
perbedaan); dan ketiga, tradisi dan situasi dilihat sebagai identik.
14. Gagasan Tracy ini menemukan penjabarannya dalam dua bukunya Blessed Rage for Order. The New Pluralism in Theology, (San Fransisco: Harper & Row, 1988) untuk teologi fundamental; dan The Analogical
Imagination. Christian Theology and Culture of Pluralism (New York: Crossroad, 19890 untuk teologi
sistematis.
15. Lih. Johann Baptist Metz, Theology in the New Paradigm: Political Theology dalam Paradigm Change in
Theology. A Symposium For The Future (Edinburgh: T.&T. Clark Ltd., 1989), hlm. 355-366. Metz menyebut
tiga era krisis bidang politik yang kemudian ikut membentuk paradigma baru dalam teologi: 1) Era modern.
Dengan era modern dimaksudkan akhir dari pandangan-pandangan yang bersifat religius dan metafisis
tentang dunia; 2) Kamp konsentrasi Auschwitz yang dipandangnya telah mengakhiri abad idealisme dan
sistem-sistem makna yang tak mengindahkan subyek-subyek manusia; 3) Runtuhnya era monosentrisme
dalam tubuh Gereja. Metz menegaskan bahwa dewasa ini telah bangkit paham-paham pluralistik, desentralisasi,
polisentrisme dalam teologi.

14

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

memperjuangkan perdamaian, keadilan, dan cinta kasih.16 Dan mulailah babak-babak


baru dalam dialog diupayakan. Aneka perbedaan diakui dan disadari tetapi tidak
dipandang sebagai kendala untuk menjalin kerjasama dalam dialog. Paradigmaparadigma baru dalam beriman dan berteologi mulai ditelusuri dan dicari.
Berhadapan dengan pluralisme, Hans Kng mengusulkan suatu konsensus
fundamental dalam teologi Katolik. Konsensus fundamental ini ditawarkannya sebagai
yang akan menunjukkan jalan bagi teologi Katolik menuju teologi ekumenis, dialog
dengan agama-agama.17 Menurut Kng, tiadanya bahasa teologis resmi dalam arus
pluralisme dewasa berarti tumbangnya teologi Neo-skolastik, yang merupakan teologi
resmi Gereja selama ini. Karena itu saat ini dibutuhkan suatu konsensus teologis
untuk menjadi semacam standar penilaian sahih tidaknya suatu refleksi teologis di
satu pihak, dan menjaga penghargaan keanekaragaman di lain pihak.18
Konsensus fundamental ini, menurut Kng, berada dalam dua kutub sumber.
Sumber pertama ialah pengalaman tradisional umat Kristen awali yang didalamnya
dijumpai bagaimana Wahyu Allah menjadi konkret dalam hidup Yesus dan sejarah
bangsa Yahudi. Sumber kedua merupakan pengalaman umat Kristen dewasa ini dan
dalam pergaulannya dengan umat bukan Kristen. Bila dalam sumber kedua dicakup
pula pengalaman umat bukan Kristen, itu memaksudkan dengan tegas bahwa
konsensus teologis memang diperuntukkan juga bagi suatu teologi dialog dengan
agama-agama. Diakui pula oleh Kng bahwa pengalaman umat Kristen dewasa ini
sangat plural. Pluralitas pengalaman umat Kristen tidak mungkin dirangkum dalam
satu bahasa penafsiran teologis. Suatu interpretasi teologis haruslah menyimak
keanekaragaman pengalaman manusia, mendengarkan kerinduan-kerinduannya yang
terdalam, belajar dan menaruh perhatian pada masalah-masalah konkret dalam
masyarakat. Dengan merujuk pada gagasan Edward Schillebeeckx dalam buku Jesus,
an Experiment in Christology, (1979), Hans Kng bahkan menegaskan bahwa
eksegese Kitab Suci dan penafsiran hidup Yesus haruslah memperhitungkan dimensi
horisontal pengalaman konkret manusia. Penjelasan tentang wahyu Sabda Allah,
misalnya, harus dikatakan bahwa Sabda Allah bukan hanya sekedar tindakan Allah

16. Lih. Landon Gilkey, The Paradigm Shift in Theology dan John Cobb, Response to J.B. Metz and Landon
Gilkey, keduanya dalam Ibid., hlm. 367-388.
17. Usulan Hans Kng ini untuk pertama kalinya dilontarkan pada bulan Juli 1979 dalam suatu diskusi tentang
konsensus dalam teologi dengan Edward Schillebeeckx, David Tracy, Leonard Swidler, dll. Lih. Journal of
Ecumenical Studies, 17:1, Winter (1980). Jadi enam bulan sebelum Hans Kng dilarang mengajar oleh Vatikan
(18 Desember 1979) karena dipandang telah menyimpang dari kebenaran-kebenaran integral iman Katolik.
Sebenarnya ketika Hans Kng menerbitkan bukunya On Being a Christian (1973), Vatikan sudah menyatakan
keberatan-keberatannya terutama yang menyangkut problem otoritas dalam Gereja. Dan bahkan CDF (The
Congregation for the Doctrine of the Faith) pada tahun itu juga sudah menerbitkan suatu deklarasi membela
ajaran Katolik yang benar tentang Gereja. Tetapi tahun 1979 merupakan puncaknya, Profesor Hans Kng
secara tegas dilarang mengajar. Vonis tak boleh mengajar ini membangkitkan reaksi-reaksi dari banyak pihak.
Jubir WCC (World Council of Churches) yang berkedudukan di Geneva bahkan mengatakan bahwa vonis
terhadap Profesor Kng ini merupakan duri dalam upaya-upaya ekumenis yang sedang digalakkan.
18. Hans Kng, Toward A New Concensus In Catholic (and Ecumenical) Theology, dalam Journal of Ecumenical Studies, 17:1, Winter (1980), 1-17.

Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto, Agama: Dari Isolasi ke Pro-Eksistensi

15

yang menjelma, melainkan sungguh-sungguh penyataan Pribadi Allah yang menyentuh dan menyapa sejarah pengalaman hidup manusia. Atau, dengan demikian konsekuensinya, tidak ada wahyu bila tidak menyentuh pengalaman konkret manusia.
Pendek kata suatu konsensus teologi hanya mungkin dijalankan dengan analisis atas
pengalaman konkret manusia dewasa ini (pertama), panggalian pengalaman umat
Kristen awali dalam Kitab Suci dan dalam kesatuannya dengan Tradisi Kristen
(kedua), dan menggarap apa yang disebutnya sebagai konfrontasi timbal balik
dari sumber pertama dan kedua (ketiga).
Gagasan Hans Kng tentang konsensus teologi memiliki beberapa implikasi
bagi pengembangan teologi Katolik. Implikasi ini bahkan dikatakannya sebagai
prinsip-prinsip yang membimbing teologi kontemporer dewasa ini:19
1. Teologi tak boleh menjadi ilmu iman yang hanya diperuntukkan bagi umatnya,
melainkan harus pula dapat dipahami oleh bukan umatnya dan bahkan orang
yang tak beriman sekalipun. Teologi harus dapat menjangkau dan menyentuh
segala lapisan manusia dengan aneka pengalaman agamanya.
2. Teologi tak boleh melulu mengangkat persoalan-persoalan iman atau sekadar
mempertahankan sistem gerejani yang mapan, melainkan harus sungguh berusaha
mencari kebenaran. Dan untuk itu teologi harus terbuka untuk diskusi-diskusi
ilmiah.
3. Pandangan-pandangan teologis yang bertentangan dengan ajaran resmi Gereja
tak perlu dielakkan, apalagi langsung divonis sesat atau heretik. Pandanganpandangan itu harus diuji dalam suatu diskusi yang terbuka dan dalam semangat
toleransi.
4. Para teolog tak boleh hanya sekedar mempromosikan pendekatan-pendekatan
interdisipliner dalam analisisnya, melainkan harus sungguh-sungguh
melaksanakannya. Para teolog harus terbuka dan banyak menjalin dialog.
5. Dengan ini dimaksudkan bahwa kita lebih membutuhkan dialog yang saling
mengembangkan (antarberbagai disiplin ilmu dan antaragama) daripada
bersitegang dalam sikap-sikap konfrontatif mengenai rumusan kebenaran iman.
6. Persoalan-persoalan masa lampau harus tak boleh mengalahkan perhatian kita
terhadap aneka peristiwa dewasa ini di sini dalam masyarakat kita.
7. Kriteria kebenaran kita tak boleh diletakkan pada tradisi teologis atau pandangan
institusi gerejani, melainkan pada Injil yang ditafsir dengan metode historis kritis.
8. Injil tak boleh diproklamasikan dalam arkhaisme biblis yang kaku atau juga
tidak dalam dogma-dogma skolastik filosofis metafisis. Injil harus diwartakan
dalam ungkapan-ungkapan bahasa manusia dewasa ini, bahasa yang menyentuh
pengalaman hidup sehari-hari.
9. Harus dihindarkan pemisahan-pemisahan antara teori dan praksis, antara
dogmatika dan etika, antara pietas personal dan karya institusi.

19. Hans Kng, Toward A New Concensus In Catholic (and Ecumenical) Theology, hlm.13.

16

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

10. Kita harus mengelakkan mentalitas gheto atau kecenderungan mengurung diri
dalam kelompok yang eksklusif. Kita mesti berusaha membuka diri dan
memupuk visi-visi ekumenis dan dialogal dengan sesama yang tidak seiman.
David Tracy menggali tema pluralisme teologi. Dalam bukunya mengenai
kriteria umum untuk teologi fundamental, Blessed Rage for Order: The New Pluralism in Theology, Tracy mengajukan lima tesis model teologi revisionis. Revisi
ini dikatakannya sebagai model hermeneutika baru yang dapat disharingkan di tengahtengah perbedaan. Revisi ini membantu mencegah kekacauan teologis di satu pihak
dan menghindarkan diri dari kecenderungan untuk membatasi keanekaragaman dalam
berteologi di lain pihak. Dikatakan revisionis, sebab aneka perubahan baru yang
terjadi dewasa ini - sebagaimana diterangkan sebelumnya - meminta pembenahanpembenahan baru. Revisi ini meliputi bidang pengalaman dan bahasa manusia (pertama)
dan interpretasi Kitab Suci dan Tradisi Kristen (kedua). Kedua bidang yang
dicakupnya dalam pengertian teologi fundamental ini dijabarkannya dalam lima tesis:20
Tesis pertama: Dua sumber utama teologi ialah Kitab Suci dan Tradisi Kristen
(pertama), dan pengalaman serta bahasa manusia (kedua).
Tesis kedua: Tugas teologi ialah menggarap hubungan kritis (korelasi kritis) kedua
sumber itu.
Tesis ketiga: Metode penyelidikan tentang pengalaman dan bahasa manusia
dapat dilukiskan sebagai fenomenologi dimensi religius dalam bahasa dan
pengalaman manusia, baik pengalaman yang bersifat biasa sehari-hari maupun
pengalaman ilmiah saat ini.
Tesis keempat: Metode penyelidikan tentang tradisi-tradisi Kristen dapat
dilukiskan sebagai penyelidikan historis dan hermeneutik mengenai teks-teks
Kristen klasik.
Tesis kelima: Untuk menentukan status kebenaran hasil-hasil penyelidikan tentang
arti kedua sumber (Tradisi dan pengalaman serta bahasa manusia pada
umumnya), digunakan suatu model refleksi transendental dan metafisis.21

3.2.

Kesadaran akan fenomena perjumpaan antarumat beragama

Fenomena pluralisme agama tidaklah baru. Tetapi kesadaran akan pluralisme


agama semakin diperteguh dengan gejala baru, pertemuan agama-agama. Dalam
kerangka konteks perubahan paradigma berteologi, pertemuan agama-agama semakin
mendesakkan perlunya teologi dialog. Beriman dialogal menjadi tuntutan konkret
dan mendesak.

20. David Tracy, Blessed Rage for Order. The New Pluralism in Theology (San Fransisco: Harper & Row, 1988),
hlm. 43-56.
21. Untuk menyimak apa yang dimaksud Tracy dengan refleksi transendental metafisis, lih. Ibid. hlm. 91-170
(part.II).

Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto, Agama: Dari Isolasi ke Pro-Eksistensi

17

Pertemuan agama-agama telah menandai bangkitnya teologi dialog. Banyak


agama dewasa ini menampakkan tanda-tanda gerakan yang lebih positif. Mereka
meninjau ulang kecenderungan-kecenderungan terselubung atau terang-terangan untuk
menyatakan diri sebagai satu-satunya agama yang benar. Sebagai satu-satunya agama
yang menawarkan Wahyu yang paling benar. Sebagai satu-satunya yang mengantar
kepada pembebasan dan keselamatan. Dan, sebagai satu-satunya pemegang hak
paten kebenaran. Mereka cenderung untuk beralih dari cara berpikir salah benar
kepada apa yang dapat disumbangkan untuk membangun dunia. Bila ada suatu agama
yang berkutat dalam pandangan lama, ia telah ketinggalan jaman. Dunia telah mengakui
pluralisme agama. Bila ada suatu agama yang memandang dirinya paling benar dan
pada saat yang sama memvonis yang lain sebagai kafir atau sesat, agama tersebut
telah jatuh pada kesempitan.
Dekade delapan puluhan adalah saat di mana dunia mengalami sesuatu yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Pada waktu itu terjadi hancurnya batas-batas
budaya, rasial, bahasa, dan geografis. Tembok Berlin telah runtuh. Sementara itu
peradaban filsafat dan budaya telah menghasilkan produk-produk polarisasi kultur.
Muncul istilah-istilah seperti globalisasi, multikulturalisme, pluralisme, dan seterusnya.
Dunia telah mengalami perubahan ke arah komunitas dunia. Baik dunia Barat maupun
Timur kini tak bisa lagi menutup diri. Dunia Barat tak dapat menganggap diri lagi
sebagai pusat budaya dan pemilik agama yang benar dengan peribadatan yang absah.
Dewasa ini setiap orang adalah tetangga dekat bagi yang lainnya. Tetangga dalam
arti sebagai komponen masyarakat sekaligus dalam arti sebagai tetangga rohani.
Dengan kata lain, setiap agama sebagaimana juga setiap orang, merupakan suatu
kemungkinan eksistensial yang ditawarkan kepada setiap orang. Agama-agama asing
sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.22 Bahkan karenanya, dewasa ini
pola-pola asing atau tidak asing dalam hal beragama, hampir tidak dijumpai lagi.
Raimundo Panikkar menyebut ada tiga kemungkinan sikap yang ditampilkan
suatu agama bila mengalami pertemuan dengan agama lain. Sikap pertama ialah
eksklusif. Sikap eksklusif berarti sikap yang menutup diri, menolak segala sesuatu
yang bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya, dan mengklaim diri sebagai
pemilik kebenaran satu-satunya. Eksklusivisme tidak memberi tempat kepada
toleransi. Sikap kedua berupa sikap inklusif. Sikap kedua ini dapat dikatakan
kebalikan sepenuhnya dari sikap eksklusif. Suatu agama dengan sikap inklusif memberi
tempat bagi toleransi. Inklusivisme agama menghindarkan diri dari kecenderungan
untuk menegaskan diri sebagai pemilik kebenaran universal. Sikap inklusif
menampilkan suatu agama untuk bertindak bagaikan suatu payung yang menaungi,
mengakui, menghargai aneka perbedaan ajaran iman di bawahnya. Sikap ketiga
merupakan paralelisme. Panikkar menjelaskan bahwa sikap paralelisme menjaga
batas-batas yang jelas di satu pihak dan menampilkan pembaharuan-pembaharuan
yang konstan dari suatu agama di lain pihak.23 Sikap paralelisme tampak nyata dalam
22. Harold Coward, Pluralisme. Tantangan Bagi Agama-Agama (terj. Bosco Carvallo) (Yogyakarta: Kanisius,
1989), hlm. 6.
23. Raimundo Panikkar, The Intrareligious Dialogue (New York: Paulist Press, 1978), hlm. xiii-xix.

18

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

kecenderungan suatu agama untuk mencari titik-titik padanan atau titik-titik pertemuan
dengan agama-agama lainnya. Sikap demikian dapat mengantar kepada suatu sikap
yang dialogal terhadap agama-agama lain.24
Agama Kristen demikian juga. Ia tak mungkin mengelak dari perjumpaan
dengan agama-agama lain. Harold Coward dalam bukunya Pluralism (1985)
melukiskan perjalanan agama Kristen sejak awalnya hingga perkembangan-perkembangan mutakhir.25 Dijumpai bahwa sesungguhnya pertemuan agama-agama
tidaklah baru disadari. Namun sejak awalnya sudah ditegaskan semangat misioner
eksklusif dalam perjumpaan dengan agama-agama lain. Banyak orang Kristen
berpendapat bahwa kehadiran para misionaris dalam jumlah yang memadai di seluruh
dunia akan menghasilkan pertobatan semua orang kepada Kristus. Dewasa ini orangorang Kristen menyadari bahwa agama-agama Yahudi, Islam, Hindu, dan Budha
sama sekali tidak musnah, malah sebaliknya tetap berkembang dengan pesat
meskipun upaya-upaya misi Kristen menggebu. Menurut Coward, pesatnya
perkembangan kepustakaan akibat perjumpaan dengan agama-agama lain membuat
para teolog Kristen menarik kesimpulan bahwa teologi Kristen tidak dapat terus
dirumuskan terpisah dari agama-agama lain. Dan perkembangan teologi Kristen di
masa yang akan datang akan merupakan hasil langsung dari dialog yang serius dengan
agama-agama lain.26
Pertemuan agama-agama dunia tidak dapat disangkal telah merobek tabir
eksklusivisme agama. Agama-agama mulai mengembangkan sikap keterbukaan.
Mereka mulai menampilkan diri sebagai institusi yang bersedia mendengarkan sapaan
keanekaragaman. Mereka berusaha hidup berdampingan dan menjalin kerjasama.
Puncak sekaligus awal yang menandai masa depan hidup keterjalinan agama-agama

24. Mengenai pertemuan agama-agama, Panikkar menyebut ada tiga macam. Model pertama disebutnya sebagai
model fisik atau model pelangi. Dikatakan model pelangi, sebab pertemuan agama-agama itu membentuk
formasi pelangi, berjejer satu dengan yang lain, indah. Model kedua disebut model geometris atau invarian
topologis. Pada pertemuan model kedua ini agama-agama berinteraksi, saling mempengaruhi. Model ketiga
disebutnya sebagai model antropologis dalam bahasa-bahasa. Maksudnya pertemuan itu terwujud dalam
pertemuan manusia-manusia yang berkomunikasi satu sama lain. Lih. Ibid., hlm. xix - xvii. Panikkar juga
menjelaskan apa yang dimaksud sesungguhnya dengan pertemuan agama-agama. Menurutnya pertemuan
agama-agama yang sesungguhnya ialah 1) harus terhindar dari sikap-sikap apologetis baik itu yang sifatnya
khusus maupun umum, 2) para partisipan mesti terbuka terhadap aneka tantangan pertobatan, 3) menegaskan
dimensi historis perlu, tapi tidak cukup, 4) tak boleh sekedar merupakan simposium filsafat atau teologi, 5) tak
hanya merupakan upaya sepihak, misalnya dari Gereja, 6) MELAINKAN harus merupakan suatu pertemuan
religius dalam iman dan harapan serta cinta kasih. Lih. Ibid. hlm. 31-51.
25. Harold Coward, Op. Cit., hlm. 31-51.
26. Sinyalemen Coward ini didasarkan pada gagasan para teolog baik protestan maupun katolik, seperti Paul
Tillich, The Future of Religions (New York: Harper & Row, 1966); Klaus Klostermaier, A Hindu Christian
Dialogue on Truth, dalam Journal of Ecumenical Studies, 12 (1975), hlm. 157-173; Hans Kng, On Being A
Christian (New York: Doubleday, 1976); Karl Rahner, Anonymous and Explicit Faith, vol. 16 dari Theological Investigations (New York: Seabury Press, 1979); Raimundo Panikkar, The Trinity and Religious Experience of Man (London: Darton, Longman, and Todd, 1973); dapat pula ditambahkan Leonard Swidler (ed.),
Toward a Universal Theology of Religion (New York: Orbis Books, 19870); Eugene Hillman, Many Paths. A
Catholic Approach to Religious Pluralism (QC. Philippines: Claritian Publications, 1991).

Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto, Agama: Dari Isolasi ke Pro-Eksistensi

19

besar dunia dapat dikatakan terjadi pada waktu diselenggarakan Pertemuan dan
Doa Bersama Para Pemimpin Agama-Agama dunia di Asisi, Oktober 1986.
Pertemuan yang disponsori oleh Paus Yohanes Paulus II itu ditandai dengan melakukan
doa bersama dan menyerukan satu kata, damai. Gereja Katolik memasuki era baru,
mencoba dalam setiap kesempatan dialog atau mengadakan pertemuan dengan
agama-agama, menjabarkan semangat Asisi 1986. Ketika memperingati 25 Tahun
Hari Perdamaian Sedunia (1 Januari 1992), Yohanes Paulus II sekali lagi menegaskan
penting dan perlunya mempertahankan serta menjabarkan semangat Asisi 1986 dalam
upaya menggalang perdamaian di dunia. Tiada perdamaian di dunia tanpa perdamaian
antar agama-agama.27 Maka pentingnya menggalang dialog agama-agama tidak bisa
ditunda lagi. Pada gilirannya pada Januari 2002, para pemimpin agama dunia
mendeklarasikan perdamaian.28 Yohanes Paulus II menegaskan dengan lantang:
Violence never again!
War never again!
Terrorism never again!
In the name of God, may every religion bring upon the earth
justice and peace,
forgiveness and life, love!

27. Lih. Yohanes Paulus II, Believer United in Building Peace, dalam Catholic International, 3:3, 1-14 Februari
1992, hlm. 102-105.
28 Final Declaration of Religious Leaders. ASSISI, Italy, JAN. 25, 2002 (Zenit.org).- Following is the final
declaration adopted by more than 250 religious leaders who participated on Thursday in the Day of Prayer
for Peace. Listed are the names of the representatives who read each of the passages. Ecumenical Patriarch Bartholomew I of Constantinople: Gathered here in Assisi, we have reflected together on peace, a gift
of God and a common good of all mankind. Although we belong to different religious traditions, we affirm
that building peace requires loving ones neighbour in obedience to the Golden Rule: Do to others what you
would have them do to you. With this conviction, we will work tirelessly in the great enterprise of building
peace. Reverend Konrad Raiser (World Council of Churches): We commit ourselves to proclaiming our
firm conviction that violence and terrorism are incompatible with the authentic Spirit of religion, and, as we
condemn every recourse to violence and war in the name of God or religion, we commit ourselves to doing
everything possible to eliminate the root causes of terrorism. Bhai Sahibji Mohinder Singh (Sikh): We
commit ourselves to educating people to mutual respect and esteem, in order to help bring about a peaceful
and fraternal coexistence between people of different ethnic groups, cultures, and religions. Sheikh Abdel
Salam Abushukhadaem (Muslim): We commit ourselves to frank and patient dialogue, refusing to consider
our differences as an insurmountable barrier, but recognizing instead that to encounter the diversity of
others can become an opportunity for greater reciprocal understanding. Mr. Chang-Gyou Choi (Confucian): We commit ourselves to taking the side of the poor and the helpless, to speaking out for those who
have no voice and to working effectively to change these situations, out of the conviction that no one can
be happy alone. Reverend Nichiko Niwano (Buddhist): We commit ourselves to encouraging all efforts to
promote friendship between peoples, for we are convinced that, in the absence of solidarity and understanding between peoples, technological progress exposes the word to a growing risk of destruction and death.
Rabbi Samuel-Ren Sirat (Judaism): We commit ourselves to urging the leaders of nations to make every
effort to create and consolidate, on the national and international levels, a world of solidarity and peace
based on justice.

20

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

4. Penutup
Pluralisme agama tidaklah baru disadari oleh Gereja Asia. Hal ini tampak
jelas dalam pertemuan pertama para Uskup Asia (ABM I / Asian Bishops Meeting) di Manila 29 Nopember 1970. Pada waktu itu diserukan tekad bersama para
Uskup Asia untuk menggalang dialog dan kerja sama dengan agama-agama. Para
Uskup Asia menyadari bahwa dalam inkulturasi kebudayaan dan pewartaan Injil di
Asia telah terdapat banyak keraguan dan kesalahan di masa lampau. Dari sebab itu,
sejak awalnya para Uskup Asia sudah merasakan dialog agama-agama merupakan
kebutuhan yang perlu dan mendesak:
Kami bangga menjadi warga Asia. Sebagai komunitas umat Katolik Asia,
kami menginginkan untuk makin lama makin dapat mengintegrasikan diri ke dalam
komunitas yang lebih besar di sekeliling kami. Dan juga secara kultural menjadi bagian
dari Asia. Hal ini telah dimulai sejak saat ini. Kendati perlahan, namun arah cita-cita
ke sana sudah meraih kepastian sekarang. Kami berusaha mulai dari sekarang untuk
menjalin dialog yang lebih terbuka, jujur, dan terus-menerus dengan saudara-saudara
kami dari agama-agama lain. Agar dengan demikian kami dapat belajar satu sama
lain untuk menimba kekayaan spiritual dan untuk menggalang kerja sama sebaik
mungkin dalam tugas-tugas yang sama, mengupayakan perkembangan-perkembangan
yang lebih manusiawi.29

BIBLIOGRAFI
Amaladoss, Michael, SJ., The Church And Pluralism in The Asia of The 1990s
(Fifth Plenary Assembly: Workshop Discussion Guide), dalam FABC Papers No. 57e.
, The Pluralism Religions and the Significance of Christ, dalam East Asian
Pastoral Review, XXVI:3&4, 1989, hlm. 276-293.
Antonio B. Lambino, Dialogue, Discernment, Deeds: An Approach to Asian Challenges Today, dalam FABC Papers no. 56, 1990.
Coward, Harold, Pluralism. Challenge to World Religions (New York: Orbis
Books, 1985).
Gratsch, Edward J., Principles of Catholic Theology (New York: Alba House,
1981).
Hick, John and Brian H. (eds.), Christianity and Other Religions (Glasgow: Funt,
1980).

29. Antonio B. Lambino, Dialogue, Discernment, Deeds: An Approach to Asian Challenges Today, dalam
FABC Papers no. 56, 1990, hlm.2-3.

Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto, Agama: Dari Isolasi ke Pro-Eksistensi

21

Hillman, Eugene, Many Paths. A Catholic Approach to Religious Pluralism (Q.C.


Philippines: Claretian Publications, 1991).
Jacobs, Tom, SJ., Gereja Menurut Vatikan II (Yogyakarta: Kanisius, 1987).
Kng, Hans and David Tracy (eds.), Paradigm Change in Theology. A Symposium For The Future (Edinburgh: T.&T. Clark Ltd., 1989).
Kng, Hans, Toward A New Concensus in Catholic (and Ecumenical) Theology,
dalam Journal of Ecumenical Studies, 17:1, Winter, 1980, hlm. 1-17.
, Introduction: The Debate on the World Religions, dalam Concilium, 183
(1/1986).
Latourelle, Ren, SJ., (ed.), Vatican II: Assessment and Perspectives (1962-1987)
Vol. Two and Three (New York: Paulist Press, 1989).
Panikkar, Raimundo, The Intrareligious Dialogue (New York: Paulist Press, 1978).
, The Trinity and The Religious Experience of Man (London: Darton,
Longman, and Todd, 1973).
Rahner, Karl, Anonymous and Explicit Faith, dalam Theological Investigation
XVI (New York: Seabury Press, 1979).
, Christianity and The Non-Christian Religions, dalam Theological Investigation V (London: Darton, Longman & Todd, 1966).
Richard, Lucient, What Are They Saying About Christ and World Religions?
(New York: Paulist Press, 1981).
Samartha, Stanley Joseph, Courage for Dialogue (Maryknoll, N.Y.: Orbis Books,
1981).
Smith, Wilfred Cantwell, Toward A World Theology: Faith and The Comparative History of Religion (Philadelphia: Basingtoke and the Westminster Press,
1981).
Swidler, Leonard (ed.), Toward A Universal Theology Of Religion (New York:
Orbis Books, 1987).
Tracy, David, The Analogical Imagination. Christian Theology and The Culture
of Pluralism (New York: Crossroad, 1989).
, Blessed Rage For Order. The New Pluralism in Theology (San Fransisco:
Harper & Row, 1988).
Tillich, Paul, Christianity and Encounter of The World Religions (New York:
Columbia U-niversity Press., 1964).

22

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

RIGHTS, DUTIES
AND THE PROBLEM OF HUMILITY

Paul W. McNellis
Boston College, USA
Abstract:
Tema humilitas dalam etika politik terbilang baru. Sejak Machiavelli tak pernah kerendahan hati
menjadi suatu elaborasi filsafat etika politik. Sebab karakter kerinduan opini penguasa atau yang
bertanggung jawab atas tata hidup bersama selalu dalam bingkai jalan pikiran kesuksesan. Setiap
kegagalan adalah kenaifan. Pengakuan atas kegagalan harus dijalankan dengan suatu strategi yang
tidak boleh memalukan. Artikel ini menganalisis tema-tema yang sangat penting dalam lapangan
filsafat etika politik: hak, kewajiban, dan kerendahan hati. Pembahasannya merujuk kepada kontribusi
filosofis dan social teaching of the Church, buah refleksi Romo Ernest Fortin (seorang assumpsionist)
yang mengajar filsafat dan teologi selama kurang lebih empat puluhan tahun di Assumption College
dan Theological Department dari Boston College, USA. Artikel ini sedianya dimaksudkan untuk
buku Gladly to Learn and Gladly to Teach: Essays on Religion and Political Philosophy in
Honor of Ernest Fortin, A.A., edited by Michael P. Foley and Douglas Kries, Lexington Books,
2002. Penerbit memberikan ijin resmi untuk dipublikasikan di Studia ini. Problem humilitas dalam
etika politik sangat krusial. Jika problem humilitas dipandang sepele, aktivitas politik akan mudah
terjerat pada pengedepanan self-interest penguasa dan pembelakangan kepentingan umum warga.
Keywords: Rights, duties, humiliy, human nature, Ernest Fortin

It was in Rome, about eight years ago, that I first heard Ernest Fortins name
used as an adjective. In a discussion without reference to him up to that point, I
obliquely suggested that there might be a difference between natural law and
human rights. Whereupon my interlocutor said, I dont know. This is beginning to
sound very Fortinesque. Though said in good humor and without rancor, it was
intended as a criticism. Such critics deny Fortins claim that:
The passage from natural law to natural rights and later (once nature
had fallen into disrepute) to human rights represents a major shift,
indeed, the paradigm shift in our understanding of justice and moral
phenomena generally.1

1.

Ernest L. Fortin, Human Rights and the Common Good, in Human Rights, Virtue, and the Common Good:
Untimely Meditations on Religion and Politics, vol.III of Ernest L. Fortin: Collected Essays, ed. Brian Benestad
(Lanham: Rowman and Littlefield, 1996), p. 20.

Paul W. McNellis, The Problem of Humility

23

Of course it is widely denied that such a paradigm shift has occurred. For
many today, human rights are so selfevidently true and indispensable to all moral
discourse, that to question them seems counterintuitive. As it becomes increasingly
difficult even to conceive of a moral discussion not presented in terms of rights, it is
presumed that all previous moral thinkers must have been thinking of rights regardless of what they actually said. Emblematic of this trend is a recent Human Rights
Reader offering selections from The Bible to the Present. In the editors view even
the decalogue is implicitly making rights claims despite the fact that it is cast in the
language of duties.2 By contrast, Ernest Fortin says that natural rights are totally
foreign to the literature of the premodern period, and thus one looks in vain for any
mention of rights in the Bible.3 If Fortin is correct, and a major paradigm shift has
occurred, then the differences between the two views on either side of the shift
cannot be understood if one assumes that rights language is merely the modern idiom
of an earlier discussion about duties and natural law.
Though I am convinced that many of Fortins critics have either misunderstood or misinterpreted his views on human rights and the common good, I offer
here neither a summary nor a defense of his position. Rather, I offer some reasons
why appeals to human rights are attractive and why critiques such as Fortins are
received with skepticism. I then discuss the relation between duties, humility, and
gratitude. I do not claim to resolve any of the underlying issues, but it is hoped that
the questions raised will encourage some to read Ernest Fortins work for the first
time and encourage others to reread his work more unarmed than in the past.

1. Rights
A hallmark of modern political theory and discourse is its ubiquitous appeal
to natural or human rights. To take only three prominent examples, the foundational
documents of the American and French revolutions, and of the United Nations, all
appeal to natural or human rights. The United States Declaration of Independence
(1776) claims that all men are endowed by their creator with certain unalienable
rights. The French Declaration of the Rights of Man and the Citizen (1789), influ-

2.

Micheline R. Ishay, ed., The Human Rights Reader: Major Political Essays, Speeches, and Documents from
the Bible to the Present, (New York: Routledge, 1997). In an introduction (p. xv) Ishay writes: The Bible
contains a variety of injunctions (formulated in terms of duties) which correspond to secular conceptions of
rights for others. For example, thou shalt not kill implicitly refers to the right to secure ones life, just as
thou shalt not steal implies a right to property. With this approach one could claim that almost any moral
statement in the history of humanity was implicitly a rights claim.
3. Fortin, Sacred and Inviolable: Rerum Novarum and Natural Rights, in Human Rights, Virtue, and the
Common Good: Untimely Meditations on Religion and Politics, vol. III of Ernest L. Fortin: Collected Essays,
p. 202. This essay is Fortins most comprehensive treatment of the difference between natural law and human
rights.

24

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

enced by the American Declaration, appeals to the natural, unalienable, and sacred
rights of man. In the wake of World War II the United Nations, explicitly intending
to codify the lessons of the Nuremberg and Tokyo war crimes tribunals, approved a
Universal Declaration of Human Rights (1948) that appealed to the equal and inalienable rights of all members of the human family. Only when such rights were
universally recognized, it was argued, could we prevent a repetition of the genocide
that had resulted from their denial. The suave power of such rights claims is derived
in part from the assertion that the mere fact that one is a human being is sufficient to
warrant recognition as a bearer of rights. Because such rights are conditioned on
nothing other than membership in the human species, they have been called human
rights; because the species is prior to and transcends particular circumstances, they
have been called universal. Thus the logic of a universal declaration is that such
rights are not modified in light of particular circumstances; rather the particular circumstances must be modified to respect the universal rights in question. Furthermore, by recognizing such rights the sovereign governments represented in the United
Nations were simultaneously recognizing the existence of a unique kind of claim that
relativized or limited their own claims of sovereignty. The recognition of such rights
and the hope of their eventual codification in positive law were seen by many at the
time as the promising culmination of a process begun two centuries before. Since the
founding of the United Nations, the term human rights has gradually replaced the
earlier natural rights, though most consider this change more terminological and
rhetorical than theoretical.4 Although there are important differences between natural rights and human rights, they are not crucial to the argument advanced here.
Regardless of the term used, both human and natural rights are understood
by their defenders as absolute, inalienable, ultimate, and universal claims. When understood as natural rights, they are seen as prepolitical and grounded by an appeal
to a state of nature; when understood as human rights, they are seen as transpolitical and grounded by an appeal to human dignity. When political liberalism was still a
new and dangerous theory, natural rights were defended as conclusions to which
one argued. Today, for better or worse, we are all to some extent political liberals,
even the most conservative among us. As a result human rights now tend to be
posited as selfevident first principles from which one argues. In both cases, however, rights are considered as fundamental and duties as derivative.5 It was the latter

4.

5.

John Finnis holds this position. Fortin and others see an important theoretical shift when rights (plural)
replaces natural law or natural right (singular). It is interesting to note that of these three foundational
documents, only the most recent, the UN Declaration of Human Rights, explicitly invokes equality and
makes no justificatory reference to nature. As close as the Universal Declaration of Human Rights comes to
appealing to nature is in Article 16, sec. 3: The family is the natural and fundamental group unit of society
and is entitled to protection by society and the State. As for justifying an appeal to rights, the Declaration
repeats in its preamble the claim from the UN Charter (1945), that faith in fundamental human rights is being
reaffirmed.
See Leo Strauss, Progress or Return? The Contemporary Crisis in Western Civilization, in An Introduction
to Political Philosophy: Ten Essay by Leo Strauss, ed. Hilail Gildin (Detroit: Wayne State University Press,
1989), pp. 27071.

Paul W. McNellis, The Problem of Humility

25

form of the rights doctrine, a development of postKantian political liberalism, that


was finally accepted by the Catholic Church, though not without some important
qualifications.6
Perhaps nothing better represents the coming of age of natural or human
rights theories than their qualified incorporation into modern Catholic social teaching.7 No less an authority than the German Jesuit Oswald von NellBreuning argued
that human rights claims were fundamentally the same as natural law claims.8 This
represents a remarkable change. The Catholic Church had long been virtually the
only institutional defender of natural law or natural right in the modern world.9 After
Vatican Council II, both the appeal to natural law and the neoscholasticism that had
justified such an appeal disappeared almost overnight.10 The sheer speed of the
change demands an explanation of some kind, though I will not attempt it here.

6.

Modern Catholic moral and social teaching emphasizes the correlative, reciprocal nature of rights and duties,
and as a foundation appeals to the dignity of man based on his having been created in the image and
likeness of God. This appeal is especially prominent in the Vatican Council II document Guadium et Spes.
Created in the image and likeness of God is indeed a strong basis for recognizing human dignity, though
it is a theological premise not available to natural reason. On the theoretical level, this is perhaps the most
significant difference in how Catholicism and political liberalism differ in their use of rights discourse. For a
further discussion see Fortin, Human Rights and the Common Good, in Human Rights, Virtue, and the
Common Good: Untimely Meditations on Religion and Politics, vol. III of Ernest L. Fortin: Collected Essays,
ed. Brian Benestad (Lanham: Rowman and Littlefield, 1996), pp. 22329.
7. See Fortin, The New Rights Theory and Natural Law, Review of Politics 44 (1982), pp. 590612; Augustine, Thomas Aquinas, and the Problem of Natural Law, Mediaevalia 4 (1978): pp. 179208; The Trouble
with Catholic Social Thought, pp. 30313; Sacred and Inviolable: Rerum Novarum and Natural Rights,pp.
191222; From Rerum Novarum to Centesimus Annus: Continuity or Discontinuity?, pp. 22329, in Human Rights, Virtue, and The Common Good: Untimely Meditations on Religion and Politics, vol. III of
Collected Essays, ed. Brian Benestad.
8. Oswald von NellBreuning, Katholische Soziallehre, in Staatslexikon, 7th ed.,(GrresGesellschaft. Freiburg:
Herder, 198589), speaks of Catholic Churchs tendency, in using the natural law approach, to remain stuck
in abstractions or to attempt to deduce more from abstract norms than one can, and notes: Seit Pp. Johannes
XXIII. und dem II. Vatikanischen Konzil ist man sehr bemht, diese Fehler zu vermeiden, gibt darum
soziologischen Ausfuhrungen mehr Raum und Gewicht und beruft sich nur selten ausdrcklich auf das
Naturrecht, um so hufiger allerdings auf die Menschenrechte. Im Grunde genommen ist die Argumentation
aber nach wie vor die gleiche, weil man anders als aus der Sache heraus gar nicht sachlich argumentieren
kann. Was anderes sind denn die neuesten, so viel berufenen Menschenrechte als reinste, ursprnglichstes
Naturrecht? (In the last sentence, my emphasis.) The Austrian social philosopher Johannes Messner and
Jacques Maritain were of the same opinion concerning natural law and human rights. It would be hard to
overestimate Maritains influence in promoting this view, especially among Catholics. See his The Rights of
Man and Natural Law (London: Geoffrey Bles, 1944, 1958).
9. Though natural law was term long preferred by Catholic thinkers, there is a tradition that can speak of
natural law, natural justice, and natural right (singular) that depends upon a teleological view of
nature. Natural rights (plural), on the other hand, from at least Hobbes on, appeals to a state of nature.
Catholic thinking, and official teaching, has not always been as clear on this distinction as one might have
hoped. See Fortins work on Rerum Novarum, Centesiumus Annus, natural rights, natural law, and human
rights and the common good in vol. III of Ernest L. Fortin: Collected Essays, and the works previously cited.
10. The turn against natural law has for many moral theologians a specific date: 1968 and the publication of the
papal encyclical Humanae Vitae. The American Roman Catholic theologian, Richard McCormick, is said to
have had a pre and postHumanae Vitae development in his thought. See Bernard Hoose, Proportionalism:
The American Debate and its European Roots (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 1987), p. 37,

26

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

The majority view today would concede that there is something distinctly
modern about rights claims, whether qualified as natural or human, though they
would argue that the roots of such rights doctrines are to be found in premodern
thought. Leo Strauss, Ernest Fortin, Pierre Manent, Philippe Bnton, and Alisdair
MacIntyre, in claiming that the modern doctrine of rights was a radical break with
premodern thought, represent a distinguished and growing minority.11 Nonetheless, there is a certain plausibility to the majority view. Both traditional natural law
and modern natural rights doctrine are presented as a standard by which positive
law can be judged. Thus either theory affords some refuge to the kings subjects or
the republics citizens when faced with tyranny. Despite this similarity there are substantial differences. Classical natural law or natural right understood nature teleologically and saw man as political by nature; modern natural rights theory understands
nature nonteleologically and sees man as political by convention. For the ancients,
nature was understood as the end of a process of fulfillment, consummation, or
perfection. The modern view, when it refers to nature at all, posits a state of nature as
a minimal origin.12 These are significant differences, part of the paradigm shift to
which Fortin has directed our attention.
Though the modern approach as embodied in political liberalism is now taken
for granted (it is the regnant tradition), there is also a growing sense that all is not
well within the house of political liberalism. There is talk of a crisis of liberalism, and
one hears ever more misgivings about the radical individualism that seems inherent to
liberal democracy. As the number of rights claims explodes, basic communitiesin
particular religious and familialare disintegrating. It seems that there is no claim, no
matter how extravagant, that cannot be advanced as a rights claim of some kind. The
very ubiquity of rights claims becomes an inflation that exacts a price in the perceived
dignity of any individual claim. If ultimate claims are advanced daily, they eventually become so ordinary they are no longer taken seriously. The various communitarian,
civil society, and virtue ethics approaches are in agreement that rights claims must be
limited in some way if a communal life based on a shared common good is to be

citing W.B. Smith, The Revision of Moral Theology in Richard A. McCormick, Homiletic and Pastoral
Review 91 (1081): p. 9. The encyclical remains official Roman Catholic teaching. For a defense, see Dietrich
von Hildebrand, The Encyclical Humanae Vitae, A Sign of Contradiction: An Essay on Birth Control and
Catholic Conscience, trans. Damian Fedoryka and John Crosby (Chicago: Franciscan Herald Press, 1969);
Germain Grisez, Contraception and Natural Law (Milwaukee: Bruce Publishing Co., 1964); Janet Smith,
Humanae Vitae: A Generation Later (Washington, DC: Catholic University Press of America, 1991); Germain
Grisez, Joseph Boyle, John Finnis, and William May, Every Marital Act Ought to be Open to New Life:
Toward a New Understanding, Thomist 52 (1988), pp. 365426; and Kevin L. Flannery, Philosophical
Arguments Against and For Humanae Vitae, Anthropotes 2 (December, 1994), pp. 189204.
11. There are important differences among these thinkers. Alasdair MacIntyre, in After Virtue, 2nd ed. (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1984) claims that natural or human rights, like utility, are fictions. (p.
38) Since they cannot be rationally defended, they are simply asserted. Belief in rights is one with belief in
witches and unicorns. (p. 69) See the extended discussion at pp. 6278.
12. On the classical view, consider Aristotles Politics, Bk I, 2: [T]he nature of things consists in their end or
consummation; for what each thing is when its growth is completed we call the nature of that thing. Aristotle,
The Politics, trans. Ernest Barker, revised with an Introduction and notes by R. F. Stalley (New York: Oxford
University Press, 1995), p. 10. Paradigmatic for the modern view, is chap. XIII of Hobbess Leviathan.

Paul W. McNellis, The Problem of Humility

27

possible.13 But on what countervailing authority does one limit a right whose own
moral authority derives from its claim to be inalienable, universal, and absolute? If a
human right is the ultimate moral counter, and if it is advanced in the name of the
humanity of the one making the claim, how can conflicting rights claims be resolved
without appearing to deny or limit the humanity of one party to the dispute? There is
no shortage of suggestions as to where we should turn for help: empathy, sympathy,
solidarity, duties to others, virtue, gender equity, transgenerational justice, and enlightened selfinterest, to name just a few. Particularly favored among those doing
Christian ethics is the attempt to pair off every rights claim with a corresponding
duty. Nonetheless, the situation does seem at an impasse, there is no agreed upon
way of resolving conflicting rights claims, and the moral discussion is no less interminable than when Alasdair MacIntyre wrote After Virtue in 1981. It is here that the
work of Leo Strauss, and its development by Ernest Fortin and others, offers us
some help. There are times when a dead end suggests not more of the same, but a
new beginning. Strauss singlehandedly rehabilitated ancient political philosophy.
Thanks to Strauss and Fortin a pervasive modern prejudice is at least being challenged, if not overcome. It is becoming ever more widely recognized that the ancient
philosophers need to be studied not only to learn about them, but more importantly
because we can learn from them. And since the ancients did not take rights as their
starting point when discussing moral and political matters, we stand to learn from
them if we begin by not assuming that their views were a mere prolepsis to the
modern rights doctrine.

2. Duties
A good place to enter the discussion is the difference between the modern
doctrine of rights and the ancient view of duties. We owe to Fortin one of the most
succinct formulations of this difference:
What once presented itself as first and foremost a doctrine of duties and hence
of virtue or dedication to the common good of ones society now takes its
bearings, not from what human beings owe their fellow human beings, but
from what they can claim for themselves.14

13.

See Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities, and the Communitarian Agenda (New
York: Crown, 1993); Etzioni, ed., New Communitarian Thinking: Persons, Virtues, Institutions, and Communities (Charlottesville and London: University Press of Virginia, 1995); Etzioni, ed., The Essential Communitarian
Reader (Lanham: Rowman and Littlefield, 1998); Charles Taylor, CrossPurposes: The LiberalCommunitarian
Debate, in Liberalism and Moral Life, ed. Nancy Rosenblum (Cambridge: Harvard University Press, 1989),
pp.15982; Roger Crisp and Michael Slote, eds., Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1997);
Daniel Statman, ed., Virtue Ethics (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 1997); David Rasmussen,
ed., Universalism vs. Communitarianism.(Cambridge: MIT Press, 1990); Jean L. Cohen and Andrew Arato,
Civil Society and Political Theory (Cambridge: MIT Press, 1992); and Adam B. Seligman, The Idea of Civil
Society (New York: Free Press, 1992).
14. Fortin, The Trouble with Catholic Social Thought, in Human Rights, Virtue, and the Common Good:

28

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

Fortin is at one with the conclusions drawn by Leo Strauss, especially in


Natural Right and History and Three Waves of Modernity.15 Though both Strauss
and Fortin have made what strikes many as an unassailable case for the modern
provenance of rights claims, their position is not widely accepted. One reason it has
not gained acceptance is that in the formulation just cited, Fortin implies that there an
inherent egoistic element to rights claims. Such a view would tend to be rejected
today by many who are convinced that they are most altruistic precisely when advancing a rights claim, especially when the claim is advanced on someone elses
behalf: that womans right to choose, that unborn childs right to life, the rights of
those animals or trees. It can be granted that the autonomous moral subject does not
accept any obligations of which it is not the source (it is increasingly appropriate
for this concept of the self), yet neither does it make any rights claims for itself it is
not willing to grant to others. Thus the universality of the claim would seem to save it
from selfish egoism. In its strongest, noblest form, as I legislate for myself I also
legislate for humanity. Thus shared egoism, if regulated intelligently, will unintentionally produce a minimal common good: What the invisible hand does for the market,
enlightened selfinterest will do for the common good.
There are many aspects of this argument that Christians have no trouble
accepting. Due to the fact of pluralism, one could argue, something like a Rawlsian
approach to the common good is necessary, even though my own, private motivation as a Christian will be based not on selfinterest but on a recognition, usually via
empathy, of the dignity of my neighbor. Even if one were to put aside the question of
whether any Rawlsian approach is compatible with Christian anthropology, there are
other questions. How is it that apparently selfevident, absolute, rights claims contradict each other and seem to claim diametrically opposed basic goods? As
MacIntrye has pointed out, the result is a moral discussion that is interminable, not
in that sense that opposing rights claims de facto go on and on; rather, in principle
they are incapable of being resolved, for the arguments, though logical, are based on
opposing incommensurable premises. As a result, protest, indignation, and mock
rationality are the key features of clashing rights claims.16
One can acknowledge the benefits of living within a liberal democracy with
its attendant regime of rights, and still wonder if the advantages have not come at a
price. Eventually the underlying question of what we are by nature, as Hobbes and
Rousseau saw more clearly than did their successors, must be faced. Do we want to

Untimely Meditations on Religion and Politics (Lanham, MD: Rowman and Littlefield, 1996), p. 304.
15. Strauss, Natural Right and History (Chicago: University of Chicago Press, 1950), Three Waves of Modernity, in Introduction to Political Philosophy: Ten Essays, ed. Hilail Gildin (Detroit: Wayne State University,
1989).
16. See MacIntyre, After Virtue, pp. 635, 7072. Since at least 1987 Americans have witnessed an interminable
discussion between the right to choose vs. the right to life whenever a nomination for the United
States Supreme Court is sent to the Senate. There is never really any discussion or agreement. The issue is
resolved by the strength of the majority.

Paul W. McNellis, The Problem of Humility

29

be comfortable consumers, customers, and clients, or dignified human beings?17


Will a lowestcommondenominator pluralism at the service of the new architectonic science, economics, give us a life for which we would be willing to risk our own
lives to ensure its survival for those who come after us? During the Gulf War there
was a newspaper picture of a college student holding a sign in protest of American
involvement which read: Nothing is worth dying for. One had the impression at the
time that the response was one of uneasy shock: uneasiness that the claim might be
true, shock that anyone would say it so boldly. Have we found what is most worth
living for if we can no longer name anything for which we would be willing to give our
lives? In other words, does modern, liberal, democratic man look up to anything?
Is he capable of seeing himself in relation to anything higher than himself? What
evokes his awe and humbles him?

3. The Problem of Humility


Leo Strauss points out that societies identify themselves not merely by what
insures their survival, but by what evokes their admiration. Strauss writes:
Ordinarily a political man must at least pretend to look up to something to
which at least the preponderant part of his society looks up. That to which at
least everyone who counts politically is supposed to look up, that which is
politically the highest, gives a society its character; it constitutes and justifies the regime of the society in question. The highest is that through
which a society is a whole, a distinct whole with a character of its own, just
as for common sense the world is a whole by being overarched by heaven
of which one cannot be aware except by looking up.18

Among the ancients looking up also involved looking back. Strauss says
that the whole moral development of mankind finds its roots in a primeval equation of the good with the ancestral.19 According to the Greek myth, Mnemosyne,
memory, is the mother of the muses and therefore the mother of wisdom as well. In
other words, says Strauss, primarily the good, the true, however you might call it,

17. Hobbes thought that lowering the goal of human life was a gain; Rousseau was convinced that much had
been lost. In his First Discourse Rousseau criticizes the Civilized peoples of his time as happy slaves of
urbane morals,and notes that The ancient political Thinkers spoke of morals and of virtue; ours speak
only of commerce and of money. See JeanJacques Rousseau, The Fist and Second Discourses, Together
with the Replies to Critics and Essay on the Origin of Languages, Victor Gourevitch, ed. and trans. (New
York: Harper and Row, 1986), pp. 5, 16. Rousseau would not be surprised to hear that in the United States one
increasingly hears government agencies and civil servants refer to those they serve, not as fellow citizens,
but as our clients.
18. Strauss, An Epilogue, in H. Gildin, An Introduction to Political Philosophy: Ten Essays by Leo Strauss, p.
24142.
19. Strauss, Progress or Return? in Gildin, p. 291.

30

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

can be known only as the old because prior to the emergence of wisdom memory
occupied the place of wisdom.20 Strauss argues that the roots of both faith and
philosophy find a common origin in this look both back in time and up in dignity.21 Although the philosopher considers the whole in a way that transcends the
particular claims of the city, the love of truth demands that he look up to those
superior to him in virtue. Aristotles treatment of friendship in the Nicomachean
Ethics remains unintelligible if this is not the case. One must have had the experience
of friends superior to oneself before one can appreciate questions about what makes
friendship possible. If I look up to no one, then I will fail to recognize the presence of
a superior teacher, one who can point me in a direction that may lead out of the cave.
Until I can identify someone superior to myself, I remain unteachable. Such insight
will always require an act of memory.
By contrast, one could extend the metaphor by saying that modern man, in
the name of a dignity based on autonomy, seeks to liberate himself as much from the
memory of the past as from the necessity of nature. Modern man looks forward
without looking over his shoulder. He is more concerned with horizontal questions
concerning horizon than with looking up. Yet even if one accepts Hobbess claim
that there is no finis ultimus or summum bonum, this does not mean that modern
man stands in awe of nothing. The source and object of his awe is himself. Consider
Rousseaus question: What is so ridiculous about believing that everything is made
for me, if I am the only one who is able to relate everything to himself?22 Though
Rousseau acknowledges that he is not the author of his own existence, this is nonetheless a far cry from Psalm 8: What is man that you should care for him . . . you
have made him little less than a God. If Rousseau were writing a gloss on Psalm 8
we would expect something like, What a great piece of work am I. The ancient
injunctions against hubris, the command to know thyself as well as the Biblical
demands that one fear the Lord, have an aspect of humility in common.23
All this having been granted, one cannot simply suggest that modern man,
whether as a citizen in a liberal democracy or as a moral subject, merely humble

20. Strauss, Progress or Return? in Gildin, p. 294.


21. Strauss, Progress or Return? in Gildin, passim. Of course Strauss was also convinced that there is a
radical opposition between Bible and philosophy, and that as long as there will be a Western civilization
there will be theologians who will suspect the philosophers and philosophers who will be annoyed or feel
annoyed by the theologians. Gildin, p. 295.
22. J. Rousseau, Emile, IV, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1979), p. 277. The speaker is the Savoyard
Vicar.
23. Strauss claims that this common humility which begins in a comprehensive obedience to law, leads to
radically different conclusions for the man of faith and for the philosopher. He also notes that Biblical
humility excludes magnanimity in the Greek sense.See Progress or Return?, p. 277. Aristotles
megalopsychos as the polar opposite of Christian humility is the guiding insight of A. MacIntyres, Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the Virtues (London: Duckworth, 1999). Nonetheless,
Thomas Aquinas thought magnanimity and humility were complimentary virtues helping us avoid immoderation and despair. See Summa Theologiae , IIII, 161, 1. (Hereafter, S.T.) The man of faith is not the only one
who bows. The philosopher ultimately bows before the truth. Teresa of Avilas statement that humility is
truth, is not unknown to the philosopher.

Paul W. McNellis, The Problem of Humility

31

himself by looking up. How do we verify our progress in humility? How do we


know when we have been sufficiently humble, and can we take any pride in the
accomplishment? Furthermore, what about the loss of equality, autonomy, and liberty that might result by from placing ourselves below others? This might be
suitable advice for private religious life, but does it really have any relevance for
ethical and political life? I will concede most of these objections, but nonetheless
argue that there is a way open toward resolving some of the questions surrounding
the relation between rights and duties. It is less a matter of choosing between them or
of pairing them off, than of finding some common, fundamental element prior to both
rights and duties. If such a moment can be found which is empirically verifiable in
ones own experience, and which is also the condition of possibility of moral action,
then we will also have found a rational basisLuc Ferrys concerns notwithstandingfor making metaphysical and ontological claims about human nature.24
Indeed, we cannot avoid making such claims. No doubt other approaches could be
taken, but one possible answer to the problem of humility is to be found in an analysis of the experience of gratitude.

4. The Analogy of Gratitude


One of the earliest expressions we learn within the family is thank you, and
through the example of parents and siblings we also learn that when it is a true
statement, it is an expression of gratitude. This is not a definition. Gratitude is so
fundamental that it escapes definition. Like such basic terms as space, time,
straight, and friendship, it would have to be presupposed in any attempt to define it. We could, however, call it a moral a priori recoverable through reflexive
thought. Thus we could say that gratitude is what is expressed when thank you is a
true statement.
Gratitude, like the thank you that expresses it, is analogous. The same
expression, thank you, is used in situations that are both similar and different. Thank
you can be mere formal etiquette, insincere and manipulative, or the expression of
the highest form of religious devotion. In each case, a distinction can be made between benefit, beneficiary, and benefactor. Even the insincere or manipulative expression of gratitude follows this pattern.
Though we may express gratitude with degrees of sincerity and intensity that
vary with our mood, circumstances, and acquired virtue, it is hard to imagine forms
of familial, political, ethical, and religious life where no one said thank you and

24. On Ferry, see his 3 volume work on political philosophy, vol. I, RightsThe New Quarrel between the
Ancients and the Moderns (Chicago: University of Chicago Press, 1990), vol. II, The System of Philosophies
of History (Chicago: 1992), vol. III, From the Rights of Man to the Republican Idea (Chicago: 1992), trans.
Franklin Philip.

32

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

sometimes meant it. Even the insincere thanks, like lying, would cease to be effective
if it became the norm. Thank you is one of the earliest additions to a childs vocabulary,
and as we become old, infirm, and once again ever more dependent upon others, it
may be one of the last phrases we utter. If gratitude and its expressionbirthdays,
anniversaries, giftgiving, politeness, saying thanks, prayingso pervades our lives
from beginning to end, it is surprising that it has received so little attention from
psychologists, philosophers, and theologians. When we do find such a discussion,
there are significant differences between the ancients and the moderns.
The context for the ancient discussion of gratitude is justice and friendship;
for the moderns, autonomy, affectivity, selfesteem, authenticity, respect, rights, and
duties. For the ancients, justice and friendship are preeminently political terms, and
thus a discussion of gratitude is at least implicitly a political discussion as well. By
contrast, the terms associated with the modern discussion represent less a context
than a list of concerns, primarily individual in nature.
One of the problems with almost all recent accounts of gratitude, is that
they, like Kant, see it primarily as a problem of justifying the debt or obligation of
gratitude.25 Modern accounts of gratitude show:
1)
2)
3)
4)

a tendency to see gratitude primarily as an affective state with limited cognitive


content;
an emphasis on duty, which in turn raises the questions of how one can be
obligated to have a particular affective state;
a lack of clarity about the intentionality of gratitude; and
a concern about limiting gratitude so as to avoid its pathological or misplaced
forms.

Much of the confusion here results from a modern inability to conceive of


gratitude as something more than an affective state. Once gratitude is understood as
a virtue a number of these difficulties are resolved. However, I will return to this issue
later.
For Kant there is also a problem in that gratitude threatens the autonomy
necessary to democratic equality. For Kant, one has a duty not to accept favors
which would bring with them a debt of gratitude.
If I accept favors, I contract debts which I can never repay, for I can never get
on equal terms with him who has conferred the favors upon me; he has stolen
a march upon me, and if I do him a favor I am only returning a quid pro quo; I
shall always owe him a debt of gratitude, and who will accept such a debt? For

25. Indicative of modern accounts of gratitude are Fred Berger, Gratitude. Ethics 85 (July 1975): 298309, and
Claudia Card, Gratitude and Obligation. American Philosophical Quarterly 25 (April 1988): 11527. Bergers
account exemplifies most of the shortcomings of the inability to see gratitude as a genuine virtue. Cards
essay is one of the most insightful philosophical treatments I have been able to find.

Paul W. McNellis, The Problem of Humility

33

to be indebted is to be subject to an unending constraint. I must forever be


courteous and flattering towards my benefactor, and if I fail to do so he will
very soon make me conscious of my failure; I may even be forced to using
subterfuge so as to avoid meeting him. But he who pays promptly for everything is under no constraint; he is free to act as he please; none will hinder
him.26

This is not as farfetched as it might sound. Have we not met people who
seem at all costs to avoid saying thank you? Some almost choke on it. What about
our own reluctance to accept compliments?
Kant speaks of the duty of not needing and asking for others beneficence,
since this puts one under obligation to them, but rather preferring to bear the hardships of life oneself than to burden others with them and so incur indebtedness (obligation).27 Thus friendship consists in knowing that when you are in need you know
you could call on your friend, but you never will. The best friendship is the one that is
least beneficial.28
The difference can be seen in the contrast between the ancient view of pietas
and its complete absence in moderns such as Kant. Whereas the ancients could not
imagine a community in which pietas was not a factor, the moderns cannot imagine
individual freedom and autonomy in a community burdened by obligations of gratitude. Modern analyses of gratitude share this Kantian difficulty, for they all tend to
ask how we can be obligated in gratitude, and then go on to the difficulty of how the
emotion of gratitude can be made obligatory. This misses the nature of gratitude as
a virtue. One who has the habit of being grateful spontaneously makes a judgment
about benefit, beneficiary, and benefactor so quickly that it seems not to take
place. It has become second nature.
Let us consider a special case. What about when the benefit is our own
existence? It is a problem which virtually all modern treatments ignore. The good of
our own existence receives little attention, for the concern with autonomy induces a
form of amnesia about origins. For the ancients, in contrast, gratitude is fundamentally concerned with memory and recollection.
There is a modern tendency to assume that gratitude, like justice, has an
opposing vice that, linguistically, is the negation of the virtue in question. However,

26. Kant, Lectures on Ethics, tr. by Louis Infield, Foreword by Lewis White Beck (Indianapolis: Hacket, 1963),
pp. 11819. Hobbes in some ways anticipates this. See Leviathan, Part I, chap. xi, in the Edwin Curley edition
(Indianapolis: Hackett, 1994), p. 59.
27. Kant, Doctrine of Virtue, in Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University
Press, 1991), 36, p. 252.
28. Although Aristotle, in his discussion of friendship in the Ethics, Bk IX, 11, says that manly natures take
scrupulous care not to let their friends share their pain ... [for] he cannot bear the pain which <sympathy for
him> gives his friends, this is still a far cry from Kants position. Aristotle also says that the best friends are
the most useful and necessary, just as the friendship of virtue includes all the benefits of the friendships
based on utility and pleasure. Aristotle, Ethics trans. with an Introduction by Martin Ostwald (Englewood
Cliffs, NJ: The Library of Liberal Arts, Prentice Hall, 1962), p. 270.

34

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

the contrary vice of gratitude is not so much ingratitude as it is forgetfulness. Aquinas


treats gratitude as a virtue, along with religion, piety, and observance.29 This treatment grows out of a consideration of justice, and is made necessary by the fact that
the good received surpasses any relation of equality. That is, what we have received
from God, parents, and country is, and will always remain, in excess of what we can
return. For Aquinas, gratitude is primarily a process of remembering. Ingratitude,
then, is a forgetfulness, a taking for granted. Can we be morally blamed for this? Yes,
according to Seneca:
The man is ungrateful who denies that he has received a benefit, which he has in
fact received; he is ungrateful who pretends he has not received one; he, too, is
ungrateful who fails to return one; but the most ungrateful of all is the man who
has forgotten a benefit . . . . [for] there is no possibility of a mans ever becoming
grateful, if he has lost all memory of a benefit.30

Too much attention to future projects impedes gratitude. As Seneca says,


How can a man who is wholly absorbed in the present and the future, who skips
over all his past life, ever be grateful for benefits? It is memory that makes him
grateful; the more time one gives to hope, the less one has for memory.31 The debt
Aquinas refers to is something quite different from the modern concept of duty.
Aquinass debt is based primarily on what we have received, and the basis of all that
we have received is God. Ingratitude, in turn, is forgetfulness regarding a favor or
benefit.
Why such perduring debts are not onerous, as compared with Kant, is shown
by Aquinass response to the question of whether our return in gratitude should
exceed the favor received. It would seem that it should not, for then the debt of
gratitude would continue to increase in an infinite regress. Aquinas answers that
since the debt of gratitude is based on love, it is not unreasonable that gratitude
should have no limit.32 Gratitude refers not so much to debts to be paid off, as to
perduring relations which constitute us. To forget or deny such relations is to forget
or deny who we are. Such relations are not merely legal, moral, or psychological,
but ontological.33 What is most fundamentally ontological, my own existence, is most
apt to be overlooked because I have never been without it.

29. S.T., IIII, 58, 80, 101, 102, 106.


30. De Beneficiis, III, 1, trans. John W. Basore, Loeb Classical Library (Cambridge: Harvard University Press,
1935), pp. 1289. My linking Senecas and Aquinass thought is hardly arbitrary. In S.T., IIII, 106, Aquinas
cites Seneca some 15 times.
31. De Ben. III, 3, p. 133.
32. S.T., IIII, 106, 6, ad 2.
33. For a further development of what I can only suggest here, see the superb treatment by W. Norris Clarke, To
Be Is To Be SubstanceInRelation, Metaphysics as Foundation: Essays in Honor of Ivor Leclerc, eds. P.
Bogaard and G. Treash (Albany: SUNY Press, 1993), pp. 16481, and Person and Being, The Aquinas
Lecture, 1993 (Milwaukee: Marquette University Press, 1993). Both works have important implications for
natural theology.

Paul W. McNellis, The Problem of Humility

35

Modern deontological ethics and liberal political theory prescind from what
the ancient tradition considered fundamental and irreducible in the relation between
children and their parents. The one benefit we receive from our parents, about which
we were never consulted and without which no other benefits are possible, is life
itself. The ancients recognized that due to the disparity between what we receive
from our parents (existence) and what we can return, the relation could not be adequately analyzed in terms of justice. What was true of us in relation to our parents
was also true in relation to our country. Since the equality necessary to even a proportionate consideration of justice did not obtain in either case, this relation was
governed by the special virtue of pietas. Modern authors, on the other hand, rarely
mention the gratuitous, utterly contingent nature of our existence. There is a tendency
to take life, existence itself, the ultimate condition of possibility, either for granted
or to prescind from it in the search for universal a priori principles. The autonomous self seeks logical consistency in the present as it plans for the future, but has
no memory, or at least a very short one. If the past is seen as a hindrance to autonomy, then cultivating a short memory has a liberating effect. Debts of gratitude
that I cannot remember, no longer burden me with any obligation. But it is not only
the past from which the modern moral subject is cut off.
The abstract nature of modern ethical theories accepts an anthropological
split between the noumenal man and the phenomenal man that forces the moral
subject to live in two worlds. Such twoworld theories result in a gulf between the
world of facts and values, is and ought, the kingdom of causes and the kingdom of
ends. The result is something that can be conceived but not lived. It is a self without
gender, citizenship, or memory. To borrow a phrase from John Rawls, we could say
that this self must stand between two veils of ignorance: behind one, and in front of
another which obscures the past. One way to address this split between the modern
moral subject and his world is through what we could call a transcendental pragmatic.34 It is transcendental in the Kantian sense in that it regards conditions of
possibility. It is pragmatic insofar as the conditions, when fulfilled, involve not what
can be thought, but what can be done. And that, in turn, implies the existence of a
doer. I cannot say yes to my own existence before I am. But others can: The
condition of possibility of our own existence depends upon a community we have
not chosen, which has nonetheless chosen us by saying yes to our existence.

34. So far as I am aware, KarlOtto Apel, Diskurs und Verantwortung: Das Problem des bergangs zur
postkonventionellen Moral (Frankfurt: Suhrkamp, 1990) originated the term transcendental pragmatic,and
I gratefully acknowledge the debt while also admitting I am using it in a different sense than did he. My use
of the term owes much to conversations with Robert Spaemann.

36

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

5. Gratitude and Memory


Ontologically, the necessary condition for receiving a benefit is the existence
of the beneficiary. But this condition does not obtain when the benefit is existence
itself. I cannot receive anything before I am. In what sense, then, can I speak of my
life as a gift for which I am grateful? Epistemologically, the consciousness and knowledge of our own beginnings is not direct, but mediated. As Robert Spaemann says,
each of us has an origin in a time beyond memory.35 The origin of my own existence is beyond the power of my own memory to recall. And what is true of my
memory in relation to my own origin is also true of my parents memory in relation to
their origin. But the same cannot be said of their memory of my origin. They can
remember having said yes to my existence, and what they remember involves not
only a present memory of their past action, but also a present memory of past remembering. In assuming the duties of parenthood parents cannot help but be reminded that someone once did this for me. Thus they were beneficiaries long before they themselves could become benefactors. That they can assume duties at all is
the result of having benefitted from someone else having once fulfilled duties toward
them. No doubt this way of way of referring to duties may strike many as odd. The
modern ear associates duty more with a limitation of liberty than with an expression of freedom. But a duty willingly assumed is not experienced as a limitation of the
will. For those motivated by love and friendshipwhen you do what you ought to
because you want tothe word duty comes into play only when it is ignored or
neglected. Whether one prefers duty or responsibility, a fundamental fact remains: recognizing a duty involves memory and gratitude in a way that claiming a
right does not. At least this would seem to be the case when our ultimate condition of
possibilityour own existenceis at stake. This way of understanding what is
involved in saying yes to life is more amenable to those who do recognize a duty
toward such life. There are others, however, who argue that in this area, as in many
others, rights are more fundamental than duties.
One hears the claim that no one ought to be obligated to bring an unwanted
child into the world. Why not? Because, we are told, every child has a right to be
wanted. This is a strange kind of claim. It cannot be consistently thought through,
and anyone making it ought to at least be given pause by this fact: None of us knows
whether our own existence could have survived such a test. None of us knows
directly whether the news that we were, and if nurtured would continue to be, was
received by our parents with joy, love, and benevolence, or by dread, fear, and
anxiety. This our parents can remember, for our conception and everything that followed upon it did not occur in a time beyond their memory. What we know of our
own beginnings is based on an inductive process resulting in mediated knowledge.
Starting from what we can remember, we make reasonable inferences about what is

35. See Robert Spaemann, Glck und Wohlwollen: Versuch ber Ethik, 2nd ed. (Stuttgart: KlettCotta, 1990), pp.
1523.

Paul W. McNellis, The Problem of Humility

37

beyond our memory. Beyond that, we are dependent upon what we are told by
those who are responsible for making our remembering possible.36 We can raise
questions about our own origin only because, regardless of the circumstances under
which we came to be, parents or their surrogates continued to support and nourish
our existence. To speak of my life as a gift for which I am grateful is a metaphorical
way of referring to the utterly contingent, gratuitous nature of my existence. I need
not have been; there is nothing necessary about my existence. When what need not
have been is recognized as a good, the natural, intentional response is gratitude. It
could be objected that this metaphorgratitude for my own existenceis nothing
more than a metaphor, a conventional illusion, an unreflective way of speaking. This
is not the case. A closer examination shows that gratitude does have an ontological
basis.
The argument I have been trying to present is that political philosophy must
address the conditions of its own existence. Agnes Hellers question, good persons
exist, how are they possible?37 can be restated in a form both more political and
more personal: What has made me and the community of which I am a member
possible? Such an orientation to the past need not be a denial of the necessary
moral responsibility in the present, oriented toward the future. Parents do not raise
their children merely by remembering what their own parents did. But neither do
they raise them well in complete oblivion to how they themselves were raised. We all
do take some implicit approach to our own personal, communal, and political past,
and it affects us regardless of whether we are aware of it. Indeed, its effect is greater
to the extent we remain unaware of it. We can no more avoid taking a stance toward
the past than we can to the present or the future. Since the quality of our free choices
in the present, oriented toward the future, will be affected by what we have not
chosen, the best guarantee of true freedom is a discerning memory. Thus gratitude is
the presence of true remembering, and this is no less true in political than in personal
life. It is because memory functions individually and collectively, that repressed, distorted or false memories are just as harmful to the political community as to the
individual.38
A question can now be posed about the relation between rights and duties.
At some point in almost any political discussion, we can ask our interlocutor, for
what are you grateful? The answer to this question will help discern whether our
projects and proposals advanced in the name of freedom, justice, or equality are
what they claim to be or are really covers for resentment, envy, or revenge. The
healthiest integration of our past and the best guide for responsible decisions in the

36. If one adds natural faith to what has been said here, then we have the basic structure of much of Augustines
Confessions. The entire work is an act of discerning memory in the key of gratitude.
37. Agnes Heller, General Ethics (Oxford: Blackwell, 1988), p. 7.
38. See Jane Kramer, The Politics of Memory: Looking for Germany in the New Germany (New York: Random
House, 1996), and Catherine Merridale, Night of Stone: Death and Memory in Russia (London: Granta
Books, 2000).

38

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

present with future consequences, will be a discerning, reflective integration of the


past through gratitude. If I am unable to name anything for which I am grateful, what
does that say about my own selfknowledge? Being grateful is not a way of avoiding
responsibility. On the contrary, it is one of its most intense forms. The charge can be
made, of course, that this emphasis on the past, on recollection and memory, is not
worth the risk it poses for autonomy and human freedom. German philosophers
such as Jrgen Habermas, unable to forget the disastrous twelveyear experiment of
the communitarianism of their youth, are deeply suspicious about such appeals to
community based on memory. They point out the lack of universality, as they see it,
in any appeals that are particular, religious, and metaphysical. We live, they argue, in
a postmetaphysical world. These are serious objections, and they deserve at least
a preliminary response.
That gratitude can be used as a manipulative appeal to the past cannot be
denied. Liberal democracy, despite its inherent individualism, is particularly attractive to Germans old enough to remember the Nazi phrase of their youth: Du bist
nichts. Dein Volk ist alles. Unfortunately, this authoritarian and dictatorial appeal to
community did not end after World War II for those living in the Democratic Republic of Germany (DDR). Any good German dictionary from this period shows a new
vocabulary used only in the communist DDR. The communal took such precedence
over the personal that a German theologian living in East Germany at the time reported that government censors never allowed him to use the word person in any
of his writings. Given this background, who would not be suspicious of appeals to
community? But the antidote for the abuse of memory is not amnesia. Dangerous
memories are not rendered safe by being forgotten. It is precisely because memory
concerns more than the past that it can become dangerous. It was pointed out earlier
that gratitude refers not so much to debts to be paid off as to perduring relations
which constitute us. To forget or deny such relations is to forget or deny who we are.
Though I may remember the past, both the act of memory and the effect of remembering are perduring, present realities. Thus memory is constitutive of selfconsciousness. Perhaps the new false consciousness of liberal democratic man is a truncated
memory.
Turning from the political to the personal, and granting all the dangers of false
memory, we must ask is we can afford to ignore something as central to human life as
gratitude just because it can be abused. What is most important in lifelove, friendship, family, citizenship, faithis not only able to be abused, it is most apt to be so
used. What we cannot live without will cause us the most harm when it is abused.
True gratitude takes note not just of the good we have received, but of injustice as
well. We not only do, we are done unto. The healthy, morally responsible integration
of the past takes place through a dialectic of forgiveness and gratitude. Again, parenthood is the paradigmatic example. It is in raising their own children that parents
see most clearly what they owe their parents in gratitude, and what they must forgive
them. No one can do this for me. Others can remind me of what I ought not to
forget, but no one else can do my remembering for me. In this case I alone am
morally responsible. With gratitude, as with forgiveness and mercy, there are no
surrogates.

Paul W. McNellis, The Problem of Humility

39

The argument I have been suggesting all along is quite simple. A life in which
someone never expressed gratitude would be less than human. Since we cannot
remain human and avoid expressions of gratitude, what is at stake when we do so?
We can identify real benefits which actually exist, real benefactors for whom we are
truly grateful, and real differences in our lives due to having received such benefits.
None of this can be recognized without acts of memory and gratitude, and it cannot
be adequately discussed without making ontological claims of some kind. To address issues about the structure of gratitude and the role of memory does not immediately resolve the many questions that trouble contemporary political liberalism. But
it does suggest that there are more concrete ways of conceiving and discussing moral
and political life than those that yield the postenlightenment abstract, autonomous
subject of pure reason. One cannot be grateful in general or universally. I cannot
say thanks without identifying concretely that for which (and to whom) I am grateful. Identifying the object and the reason for my gratitude requires a discerning act of
memory. The example of gratitude for ones own existense was intended to show
some of the limitations of an autonomy based on a lack of memory and understood
exclusively in terms of rights. Recognizing the good of ones own bestowed but
unsolicited existence involves a humility better expressed in the language of duties
and gratitude than of rights. If this is true in the case of my own existence, perhaps it
is true in other cases as well. In other words, maybe Ernest Fortin was on to something in directing our attention to the paradigm shift in our understanding of justice
and moral phenomena, the shift from duties to natural rights. He spent many years
seeking to understand the causes and the consequences of that shift. Though not
alone in addressing such questions, he was virtually alone in how he addressed them.
In a metaphorical expression in use since Tertullian and revived by Leo
Strauss, the question of the relation between reason and reason has been referred to
as the relation between Athens and Jerusalem. It is also raises questions about the
only sciences that claim to deliver knowledge of the whole of human existence: theology and philosophy.
Most universities, in how they organize their faculties, seem dedicated to the
proposition that in the tension between Athens and Jerusalem one stands at a fork in
the road and must choose: the quest of reason, or the loving obedience of faith.
Once you have chosen you will be assigned, as either a philosopher or a theologian,
to your field. And as a good farmer respectful of the property rights of others, you
will never leave footprints in the furrows of someone elses field. Even when it is
conceded that the tension between Athens and Jerusalem might be fruitful for a
culture at large, it is often denied that such a tension may be fruitfully lived out in a
single individual. But there are a few, very few, who do live out this tension. Ernest
Fortin is an example of one of those with dual citizenship, a life of fides quarens
intellectum. Such a life that is contemplative and theoretical will always be for many
insufficiently pragmatic to be attractive. There was a public example of this recently
in Boston.
A renowned philosopher, whose work Ernest Fortin greatly admires, had
just finished delivering a wellreceived lecture. In response to a question he said,
40

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

The modern state and the modern economy are like the weather. There is nothing
you can do about them. Upon hearing of this later Fr. Fortin said, Its not true that
theres nothing you can do. You can try to understand.
To have found a colleague, teacher, and friend who believes this, has given
some of us reasons not only for gratitude, but for hope.

BIBLIOGRAPHY
A. MacIntyres, Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the
Virtues, London: Duckworth, 1999.
_____, After Virtue, 2nd ed., Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984.
Adam B. Seligman, The Idea of Civil Society, New York: Free Press, 1992.
Agnes Heller, General Ethics, Oxford: Blackwell, 1988.
Aristotle, The Politics, trans. Ernest Barker, revised with an Introduction and notes
by R. F. Stalley, New York: Oxford University Press, 1995.
Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities, and the
Communitarian Agenda, New York: Crown, 1993.
Bernard Hoose, Proportionalism: The American Debate and its European Roots,
Washington, D.C.: Georgetown University Press, 1987.
Catherine Merridale, Night of Stone: Death and Memory in Russia, London: Granta
Books, 2000.
Charles Taylor, CrossPurposes: The LiberalCommunitarian Debate, in Liberalism and Moral Life, ed. Nancy Rosenblum, Cambridge: Harvard University Press, 1989.
Claudia Card, Gratitude and Obligation. American Philosophical Quarterly 25
(April 1988).
Daniel Statman, ed., Virtue Ethics, Washington, D.C.: Georgetown University Press,
1997.
David Rasmussen, ed., Universalism vs. Communitarianism, Cambridge: MIT
Press, 1990.
Dietrich von Hildebrand, The Encyclical Humanae Vitae, A Sign of Contradiction: An Essay on Birth Control and Catholic Conscience, trans. Damian
Fedoryka and John Crosby, Chicago: Franciscan Herald Press, 1969.
Ernest L. Fortin, Human Rights, Virtue, and the Common Good: Untimely Meditations on Religion and Politics, vol. III of Ernest L. Fortin: Collected
Essays, ed. Brian Benestad, Lanham: Rowman and Littlefield, 1996.
_____, The New Rights Theory and Natural Law, Review of Politics 44 (1982).
_____, Augustine, Thomas Aquinas, and the Problem of Natural Law, Mediaevalia
4 (1978).

Paul W. McNellis, The Problem of Humility

41

Etzioni, ed., New Communitarian Thinking: Persons, Virtues, Institutions, and


Communities, Charlottesville and London: University Press of Virginia, 1995.
_____, ed., The Essential Communitarian Reader, Lanham: Rowman and Littlefield,
1998.
Fred Berger, Gratitude. Ethics 85 (July 1975).
Germain Grisez, Contraception and Natural Law, Milwaukee: Bruce Publishing
Co., 1964.
Germain Grisez, Joseph Boyle, John Finnis, and William May, Every Marital Act
Ought to be Open to New Life: Toward a New Understanding, Thomist
52 (1988).
Jane Kramer, The Politics of Memory: Looking for Germany in the New Germany, New York: Random House, 1996.
Jacques Maritain, The Rights of Man and Natural Law, London: Geoffrey Bles,
1944, 1958.
Janet Smith, Humanae Vitae: A Generation Later, Washington, DC: Catholic
University Press of America, 1991.
Jean L. Cohen and Andrew Arato, Civil Society and Political Theory, Cambridge:
MIT Press, 1992.
JeanJacques Rousseau, The Fist and Second Discourses, Together with the
Replies to Critics and Essay on the Origin of Languages, Victor
Gourevitch, ed. and trans., New York: Harper and Row, 1986.
Kant, Lectures on Ethics, trans. by Louis Infield, Foreword by Lewis White Beck,
Indianapolis: Hacket, 1963.
KarlOtto Apel, Diskurs und Verantwortung: Das Problem des bergangs zur
postkonventionellen Moral, Frankfurt: Suhrkamp, 1990.
Kevin L. Flannery, Philosophical Arguments Against and For Humanae Vitae,
Anthropotes 2 (December, 1994).
Leo Strauss, Progress or Return? The Contemporary Crisis in Western Civilization, in An Introduction to Political Philosophy: Ten Essay by Leo Strauss,
ed. Hilail Gildin, Detroit: Wayne State University Press, 1989.
Micheline R. Ishay, ed., The Human Rights Reader: Major Political Essays,
Speeches, and Documents from the Bible to the Present, New York:
Routledge, 1997.
Oswald von NellBreuning, Katholische Soziallehre, in Staatslexikon, 7th ed.,
GrresGesellschaft, Freiburg: Herder, 198589.
Robert Spaemann, Glck und Wohlwollen: Versuch ber Ethik, 2nd ed., Stuttgart:
KlettCotta, 1990.
Roger Crisp and Michael Slote, eds., Virtue Ethics, Oxford: Oxford University
Press, 1997.
Strauss, Natural Right and History, Chicago: University of Chicago Press, 1950.
______, Three Waves of Modernity, in Introduction to Political Philosophy:
Ten Essays, ed. Hilail Gildin, Detroit: Wayne State University, 1989.
42

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

W.B. Smith, The Revision of Moral Theology in Richard A. McCormick, Homiletic and Pastoral Review 91 (1981).
W. Norris Clarke, To Be Is To Be SubstanceInRelation, Metaphysics as Foundation: Essays in Honor of Ivor Leclerc, eds. P. Bogaard and G. Treash,
Albany: SUNY Press, 1993.

Paul W. McNellis, The Problem of Humility

43

MAZMUR DAN PEMBINAAN INTEGRAL


PELAYAN FIRMAN

Berthold Anton Pareira


STFT Widya Sasana, Malang
Abstract:
There is a general sad observation that the formation of our priestly students is too intellectual to the
detriment of its affective element. The students loose the capacity to perceive the things of beauty.
How can this situation be remedied? The author of this article is of the opinion that one of the ways
out is the study of the Bible as literature and the use of psalms in the atmosphere of beauty. As
poetry of christian worship music, chant, oracle, wisdom, prayer, joyful praise and thanks, silence,
dance, play, action and architecture are all main elements that make the psalms and therefore should
integrated and manifested in their use. Only by then can the students be imbued by their feelings and
emotions and be captivated by their beauty. The psalms are a school of integral formation.
Keywords: Puisi, pendidikan integral, mazmur, nyanyian, keindahan.

Persoalan hubungan antara seni (khususnya sastra dan lebih khusus lagi puisi)
dengan pembinaan integral manusia bukanlah hal yang baru. Para filsuf dan orang
bijak seperti Plato dan Konfusius sudah membicarakan hal ini1 . Kami tidak akan
membicarakan pendapat kedua tokoh besar itu di sini2 . Lalu mengapa persoalan itu
masih dipertanyakan di sini? Mungkin karena kurang harmonisnya pendidikan kita
yang terlalu menekankan dimensi kebenaran (intelektual) dan kebaikan (moral),
sehingga melupakan dimensi keindahan (afeksi) dari pendidikan itu sendiri. Kita lebih
memperhatikan isi daripada melihat bagaimana isi disampaikan. Orang mengira bahwa
kebenaran itu hanya punya isi dan harus disampaikan secara metodis, logis dan
sistematis. Itulah satu-satunya keindahan yang harus dikuasai. Mahasiswa yang
keluar dari pendidikan semacam itu akhirnya hanya tahu menyampaikan isi, tetapi
tidak tahu bagaimana suatu kebenaran itu bisa disampaikan secara kuat dan
bermakna.
Pendidikan afeksi dan keindahan ini masih sangat lemah dalam dunia
pendidikan kita. Buku-buku yang ditulis para filsuf dan teolog juga pada umumnya

1
2

44

Bdk Zhong-qi Cai, 317-345.


Baik bagi Plato maupun bagi Konfusius puisi termasuk bagian integral dari sistem pendidikan untuk
menghasilkan pemimpin-pemimpin (pemerintahan) yang paling baik, bijak dan berwatak. Sedang Plato
menekankan harmoni intelektual, Konfusius harmoni moral. Akan tetapi, kedua-duanya berpendapat bahwa
pendidikan kaum muda harus dimulai dengan musik dan sastra (Plato) atau dengan puisi (Konfusius).

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

sama sekali tidak mendukung pendidikan tersebut. Gayanya saja sudah menjauhkan
orang dari perhatian kepada apa yang indah dan bagaimana suatu kebenaran itu bisa
disampaikan. Untunglah bahwa kita masih mempunyai Alkitab. Akan tetapi, sayang
bahwa buku sastra yang tinggi ini juga sudah lama salah didekati bahkan oleh para
ekseget sendiri. Perhatian lebih ditujukan pada mencari dan mendalami kebenaran
iman daripada bagaimana kebenaran itu disampaikan. Dampaknya ialah bahwa kerap
teks-teks tidak sepenuhnya dimengerti dan kadang-kadang disalahtafsirkan. Perhatian
juga lebih diarahkan pada menangkap isi daripada percaya kepada Dia yang
bersabda3 . Untunglah bahwa dalam dua tiga dasawarsa terakhir ini perhatian pada
Alkitab sebagai karya sastra bangkit kembali dan berkembang secara cukup pesat
dan menggembirakan. Dimensi sastra Alkitab mendapat tempat lagi dalam eksegese.

1. Studi Alkitab dan dimensi keindahan


Studi Alkitab harus membina orang untuk mengagumi keindahan dan memiliki
kemampuan untuk menyampaikan suatu kebenaran secara kuat, bermakna dan
menyentuh. Lalu bagaimana hal itu harus dilaksanakan?
Pertama, tentu saja melalui perkuliahan di mana dimensi sastra dari Alkitab
atau teks yang ditafsirkan harus mendapat tempat yang wajar sebanding dengan
perhatian pada dimensi sejarah dan imannya. Karl Rahner rupanya sudah melihat
pula pentingnya memahami dimensi sastra dalam membaca Alkitab karena beliau
berkata: kemampuan dan praktek menangkap kata-kata puisi adalah pengandaian
untuk mendengarkan firman Allah. Kata yang berkekuatan puisi dan telinga yang
peka akan puisi adalah bagian dari manusia sehingga apabila kemampuan yang
mendasar ini hilang dari hati, manusia tidak dapat lagi mendengar firman Allah dalam
kata-kata manusia. Pada intinya yang paling dalam sesuatu yang bersifat puisi
merupakan persyaratan dari kekristenan.4
Kedua, melalui perayaan di mana keindahan yang dilihat, dialami dan dikagumi
dalam dan dari Alkitab itu menjadi penghayatan.
Seluruh Alkitab dapat menjadi pendidikan pada keindahan, tetapi pada
kesempatan ini kami mau memberikan perhatian pada Mazmur yang telah menjadi
puisi ibadat Gereja5 . Tidak ada buku di luar Injil yang begitu banyak digunakan

Pengaruhnya kelihatan pula Tata Bacaan Ekaristi kita. Cerita tentang persembahan Abraham misalnya (Kej
22:1-14,19) disunat sedemikian rupa sampai alurnya yang menegangkan itu hilang sama sekali. Perhatian
diberikan pada ay.15-18 (kata-kata Tuhan) yang adalah suatu tambahan kemudian hari dan yang sudah
berada di luar cerita itu sendiri!
Terjemahan menurut maknanya dari tulisannya yang berjudul Kepuisian dalam orang kristen. Dikutip
dalam Mount Carmel 50,1(2002), 24, pada bagian kumpulan kata-kata bijak yang berjudul Springs of Living
Water.
Banyak puisi mazmur menggunakan bahasa konvensional, tetapi ini tidaklah berarti bahwa mutu puisinya
menjadi kurang tinggi.

Berthold Anton Pareira, Mazmur dan Pembinaan Integral Pelayan Firman

45

oleh Gereja dalam ibadatnya dan oleh banyak umat dalam doa kelompok6 dan doa
pribadinya selain Mazmur. Dari sebab itu, Mazmur dapat dan harus menjadi bahan
pembinaan integral seorang kristen dan menjadikan ibadat kita lebih indah dan anggun.
Tulisan ini mau membicarakan hal itu.

2. Beribadat dengan puisi


Berabad-abad Gereja telah merayakan imannya dengan puisi mulai dari ruang
malam Perjamuan Terakhir (Mat 26:30) sampai ke dalam gereja-gereja kita, mulai
dari ruang yang paling tengah dari penjara Filipi di tengah malam yang gelap (Kis
16:24-25) sampai ke perkemahan rohani muda-mudi kita di alam terbuka di sekitar
api unggun. Puisi Mazmur selalu menyertai ibadat Gereja khususnya Ibadat Harian
dan Perayaan Ekaristi. Mengapa Gereja tetap menggunakan Mazmur untuk
mengungkapkan jawaban imannya kepada Tuhan?
Ada beberapa alasan7 dan salah satunya yang utama ialah karena Mazmur
adalah puisi. Kekuatannya untuk membuat manusia merasakan hal-hal yang ilahi dan
mengangkat hati orang yang menggunakannya kepada Tuhan tidak dapat ditandingi
oleh doa-doa yang bukan puisi. Mazmur sendiri sebagai puisi bukan doa yang sudah
jadi, tetapi merupakan bahan doa. Sejumlah besar mazmur hanyalah puisi iman dan
bukan doa. Justru karena puisinya itulah mazmur menjadi bahan doa yang tidak
terikat atau tergantung pada latar belakang orang yang menggunakannya8 . Justru
karena puisinya itulah mazmur yang sama bisa digunakan pada kesempatan yang
sangat berbeda-beda9 . Mengapa puisi (mazmur) bisa mengerjakan hal itu?
Karena puisi (mazmur) adalah bahasa dalam bahasa atau seni kata yang
bekerja dengan kata untuk mengatakan sesuatu secara kuat dan bermakna10 . Puisi
(mazmur) berakar secara kuat dalam pengalaman dan mau mengungkapkan
pengalaman itu secara kuat pula agar pendengar atau pembaca ikut ambil bagian
dalam pengalaman itu serta melihat, menemukan dan mendalami pengalamannya
sendiri. Puisi (mazmur) membuka mata kita untuk melihat, telinga kita untuk
mendengar dan hati kita untuk merasakan. Tepatlah apa yang dikatakan seorang
penyair Afrika, Leopold Sedhar Sengor, tentang puisi sebagai berikut:

6
7
8

9
10

46

Penggunaan dalam doa kelompok ini sudah dilakukan oleh jemaah di Yerusalem yakni ketika mereka menyambut
Petrus dan Yohanes yang dilepaskan dari penahanan dan pemeriksaan mahkamah agama Yahudi (Kis 4:23-31).
Khususnya karena Mazmur dianggap karangan Daud, diterima sebagai gubahan yang diilhami oleh Roh
Kudus, memiliki unsur profetis dan mesianis (bdk Paul Bradshaw, 73-74.
Lain halnya dengan doa dalam bentuk prosa yang dikarang untuk berbagai kebutuhan misalnya bagi suamiistri. Doa semacam ini tentu saja tidak dapat didoakan oleh seorang pastor yang selibat atau oleh seorang
yang belum kawin.
Misalnya Mzm 2 bisa digunakan pada hari raya Natal, Jumat Agung dan masih pada kesempatan-kesempatan
yang lain.
Bukan maksud kami untuk memberikan suatu batasan yang memang sulit diberikan.

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

Puisi adalah ungkapan yang paling sempurna dari manusia integral. Dia
mengungkapkan simbiosis antara roh dan jiwa, ya bukan hanya antara roh dan jiwa,
melainkan pula badan. Puisi adalah suatu seni menyeluruh yang menyatukan musik
instrumental, nyanyian dan tarian. Kata-katanya menyegarkan hati dan telinga. Penyair
memiliki rasa yang besar sekali. Yang kami maksudkan dengan rasa ialah kemampuan
untuk melihat perubahan dan gerakan yang terjadi dalam lingkungan di sekitar kita
dan di dalam batin kita.11 .
Tentu saja kata-kata ini tidak mengatakan segala sesuatu tentang puisi, tetapi
menurut hemat saya cukup kuat menggambarkan kejadian dan kekuatan puisi itu.
Yang paling menarik bagi saya ialah pernyataannya tentang ungkapan yang paling
sempurna dari manusia integral. Jika puisi memang benar ungkapan dari manusia
integral, maka dia juga tentu saja mau dan dapat membina orang menjadi manusia
integral. Mazmur memiliki seluruh kekuatan ini dan karena itu harus benar-benar
dihayati sebagai puisi.

3. Mendaraskan dan menghafalkan mazmur


Ada banyak cara menghayati mazmur sesuai dengan jenis dan bentuknya,
tetapi yang pertama-tama harus diperhatikan ialah bahwa mazmur harus diperlakukan
sebagai puisi. Apa artinya hal itu?
Pertama, orang harus berani berkata bersama pemazmur. Orang harus
belajar membiarkan diri dibawa oleh pengalaman pemazmur. Orang tidak boleh
menjadi penonton, tetapi peserta. Dia harus berani mengucapkannya dengan penuh
cinta dan bebas. Goethe, seorang penyair besar Jerman, berkata tentang pergaulan
dengan puisi(mazmur) sebagai berikut: Hendaknya saudara berani membiarkan diri
untuk disukacitakan, dikejutkan, digerakkan dan diilahikan oleh puisi (mazmur) tanpa
selalu menanyakan gagasannya.12 Setiap orang dapat melakukan hal ini.
Kedua, orang harus mendaraskan mazmur dengan berirama. Puisi mazmur
sebagaimana setiap puisi Ibrani mengenal bentuk paralelisme. Yang paling menonjol
ialah paralelisme semantik yang bisa mengenal beberapa bentuk. Paralelisme adalah
suatu seni berkata secara kuat dan mendalam. Penyair mengulang apa yang dia
katakan, tetapi sekaligus menegaskan pernyataannya itu dengan cara berkata baru
agar kita melihat apa yang baru dikatakannya sekali lagi dan meresapkannya dalam
hati kita. Penegasan itu tidak hanya terjadi melalui paralelisme, tetapi bisa juga melalui
struktur puisinya Paralelisme adalah suatu gaya berkata meditatif dan kontemplatif.
Apa artinya hal ini untuk pendarasan mazmur? Itu berarti kita harus mendaraskannya
dengan berirama, dengan lafal yang jelas, mengalir dan teratur serta mengadakan
perhentian sejenak di antara baris. Mendaraskan mazmur dengan gaya berlari seolah-

11
12

L. Sedhar Sengor, 24.


Dikutip dalam N.Fglister, 54.

Berthold Anton Pareira, Mazmur dan Pembinaan Integral Pelayan Firman

47

olah untuk menyelesaikannya jelas tidak akan membawa orang kepada pengalaman
rohani.
Ketiga, dibacakan untuk didengarkan sebagaimana orang membacakan
suatu puisi. Kita harus membiarkan diri dibangunkan oleh rasa dan nadanya, oleh
kelembutan dan geloranya. Pembacaan sebagai puisi untuk mazmur-mazmur pilihan
ini dapat dilakukan pada saat-saat kuat artinya saat-saat yang mengandung makna
lebih besar untuk hidup kita seperti rekoleksi, masa-masa khusus tahun Gereja atau
hari-hari khusus lainnya. Pengalaman membuktikan bahwa mazmur yang dibacakan
dengan memperhatikan unsur keindahannya dan dalam suasana yang sepadan
memberi kesan yang lebih mendalam daripada di mana hal itu kurang diindahkan13
Apakah ada gunanya menghafalkan salah satu mazmur? Jelas ada! Puisi yang
dihafalkan menjadi bagian dari hidup kita sendiri. Dia bisa membangunkan kita di
saat-saat yang tak terduga. Dia mengangkat batin kita dan membuat kita mengenal
diri kita sendiri lebih baik.

4. Mazmur, nyanyian dan musik


Mazmur dapat menjadi sarana atau sekolah pembinaan integral karena
mazmur adalah juga nyanyian. Mazmur memang tidak terpisahkan dari nyanyian.
Mazmur, nyanyian dan musik merupakan satu kesatuan. Bagaimana hal ini bisa
dijelaskan? Karena mazmur mempunyai musik kata, mengandung getaran hati dan
mempunyai irama Ada macam-macam cara membawakan mazmur entah secara
langsung14 , responsorial15 , antifonal16 atau bersahut-sahutan. Dari sudut siapa yang
membawakan mazmur itu ada cara solis sebagai cara yang paling tua, tetapi bisa
pula melalui kor atau juga oleh jemaah seluruhnya17 .
Lalu apa artinya menyanyikan mazmur? Bernyanyi membentuk persatuan
yang lebih besar antara anggota jemaah. Orang menjadi sehati dan sejiwa dalam
memuji Allah karena orang dididik untuk saling mendengarkan. Bernyanyi bukan
hanya menambah kemeriahan yang lebih besar pada ibadat. Bernyanyi memper-

13

14
15
16

17

48

Bdk J.Leclercq, , 34: Experience have shown that a text read in an atmosphere of beauty can have a deeper
impression than one read with less emphasis on artistic effect. We should let ourselves be captivitated by
the game, the charm and tha grace of Gods wisdom. As Saint Bernard said, sola quae cantat audit, et cui
cantatur. In other words, we have to sing, if we are to hear and to be heard.
Artinya seluruh mazmur dinyanyikan dari awal sampai akhir tanpa ada jawaban dan antifon.
Artinya menjawab nyanyian mazmur setelah setiap ayat atau bisa pula bait dengan salah satu larik atau ayat
dari mazmur yang bersangkutan. Jawaban ini dinyanyikan oleh jemaat.
Artinya lagu yang membuka dan menutup pendarasan atau nyanyian suatu mazmur. Kata-kata lagu ini bisa
diambil dari mazmur yang bersangkutan, tetapi bisa pula dari PB atau ungkapan iman yang lain sesuai
dengan perayaannya. Dalam kasus yang terakhir ini isi kata-katanya bisa berbeda sama sekali dengan isi dan
nada mazmur yang bersangkutan. Antifon ini bisa pendek, tetapi bisa pula cukup panjang.
Bdk Philip Harnoncourt, 219-240.

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

satukan jiwa dan badan kita dalam berdoa dan memuji Tuhan. Bernyanyi menandakan
bahwa kita adalah satu jemaah yang harus bisa saling mendengarkan dan menjawab.
Bernyanyi dengan diiringi musik dan dengan segala kekuatan jiwa sama dengan
bernubuat (bdk 1 Taw 25:1-3).
Menyanyi bisa diiringi dengan alat-alat musik, bisa pula tidak. Lalu apakah
musik itu? Apa hubungannya dengan pembinaan integral manusia? Mungkin baik
kami kutip di sini kata-kata seorang peneliti musik, Shin Nikigawa, yang menurut
hemat saya pantas dicatat: Musik adalah suatu ekspresi seni yang berpangkal
pada tubuh. Musik terdiri atas suatu peredaran dan umpan atau arus balik dari
membunyikan, mendengarkan dan membunyikan kembali. Membuat musik sama
artinya berdialog dengan tubuh. Jika kita belajar musik, kita menjadi sadar bahwa
gerakan tubuh kita itu bukanlah gerakan tubuh kita sehari-hari.
Bagaimana untuk kasus menyanyi yang pada saat itu kita tidak membunyikan
instrumen? Pada saat itu (menyanyi) tubuh dijadikan sebagai instrumen. Ini merupakan
ide yang paling alamiah, akan tetapi terbatas kemampuannya, dan kita ingin keluar
dari batas-batas tersebut. Ketika kita menggunakan instrumen, instrumen merupakan
perpanjangan dari tubuh manusia dan untuk mendapatkan suara bagus yang tidak
kita peroleh apabila kita hanya menggunakan tubuh kita. Dalam kasus ini tubuh
menghubungkan kita dengan dunia atau sebagai perantara pertemuan yang akrab
antara tubuh kita dan dunia.18

5. Nyanyian kontemplatif
Menyanyikan mazmur dengan lagu gregorians mempunyai kekhususan berikut:
a) ayat-ayat mazmur dinyanyikan secara bersahut-sahutan antara dua kor.
b) masing-masing menyanyikan suatu lagu yang panjang dan lamanya kurang lebih
sama, tidak peduli pembagian menurut isi atau baitnya.
c) dinyanyikan dengan ketinggian nada yang sama dengan sedikit perpindahan
nada pada akhir larik.
d) nada yang sama ini dipertahankan sampai mazmur itu selesai dinyanyikan.
Kesederhanaan lagunya sangat menonjol sehingga terkesan monoton. Tak
ada penafsiran dalam lagu kecuali dalam antifonnya. Lagunya dapat dikatakan hanya
bersifat mengatakan mazmur dengan bernyanyi sehingga kata-katanya terdengar dalam
telinga dan menggema dalam hati. Secara keseluruhan lagu yang sederhana ini memberi
rasa ketenangan.
Lalu apa maknanya bernyanyi bersahut-sahutan dengan cara yang begitu
sederhana ini? Cara semacam ini memupuk sikap kontemplatif dan membersihkan

18

Shin Nakagawa, 42-43. Yang dicetak miring berasal dari kami.

Berthold Anton Pareira, Mazmur dan Pembinaan Integral Pelayan Firman

49

hati. Ada yang membandingkan cara bernyanyi semacam ini dengan gelombang lautan
yang datang silih berganti, mengempas ke pantai, mengalir tenang, menyapu segala
yang kotor lalu meninggalkan pantai yang menjadi bersih19
Bernyanyi membuka hati kita yang mungkin sesak dan melapangkan dada
kita. Sukacita, harapan, kerinduan dan kasih dibangkitkan dalam diri kita. Menurut
St. Agustinus hanya orang yang memiliki cinta menyanyi (cantare amantis est).
Orang itu berada di hadapan Dia yang dicintai dan rindu kepada-Nya..
Bernyanyi dengan nada yang sama dan sederhana memupuk sikap kontemplatif dan membuat kita yang banyak menjadi satu. Hati kita menjadi berjaga dan
selalu siap untuk mendengarkan. Jedah di dalam menyanyikan larik-larik mazmur
menjadi penting. Orang membiarkan sabda Allah bergema dalam dirinya. Bernafas
menjadi menghirup roh yang berada di balik kata-kata pemazmur.

6. Mazmur dan seni bangunan


Suatu midrasy kuno mengatakan: Ada 10 bagian keindahan yang diberikan
Pencipta kepada dunia dan Yerusalem menerima 9 bagian. Ada 10 pengetahuan
yang diberikan kepada dunia dan Yerusalem menerima 9 bagian. Ada 10 penderitaan
yang diberikan Tuhan kepada dunia dan Yerusalem menerima 9 bagian.
Yerusalem dibangun sebagai suatu kota yang kuat. Rumah-rumahnya dibangun
dengan sangat terpadu, puri-purinya megah dan menjadi sangat indah karena terletak
di atas bukit. Yerusalem menjadi lebih indah lagi karena di sanalah Tuhan bersemayam.
Dialah Allah yang bersemayam di Sion (74:2; 135:21; Yes 8:18). Berbahagialah
orang berdiam di rumah-Nya, yang terus menerus memuji-muji Dia (Mzm 84:5;
65:5)20 . Dari sebab itu, siapakah yang tidak rindu untuk berziarah ke Sion dan
siapakah yang tidak bersukacita kalau sudah berada di pintu-pintu gerbangnya? (Mzm
84 dan 122). Jika sudah berada di sana , siapakah yang akan alpa mengedari kota
itu untuk mengagumi puri-purinya dan lebih lagi untuk menjadi sadar bahwa Tuhan
memimpin umat-Nya? (Mzm 48).
Jika seni bangunan adalah untuk melayani suatu gaya hidup dan membentuk
gaya hidup itu sendiri, maka seni bangun kota Yerusalem ialah untuk melayani ibadat21 .
Seni ini bukan pertama-tama melayani kebutuhan-kebutuhan fisik yang paling
mendasar, melainkan untuk gerak dan perhentian, untuk perarakan dan sujud, drama
dan kurban22 . Bukan hanya itu saja. Seni ini dipikirkan untuk keheningan di mana
orang merasakan kebaikan dan kehadiran Allah yang menjadi pusat dan kerinduan

19
20
21
22

50

Bdk Anselm Grn, 47-48.


Bdk selanjutnya Mzm 27:4-6; 36:6-10; 63:2-6.
Bdk lukisan penahbisan tembok Yerusalem pada Neh 12:27-43.
Ada pelataran dengan meja kurban.

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

hati manusia23 . Akhirnya seni bangunan Yerusalem ini dirancang pula untuk melayani
manusia, membentuk komunitas dan menyegarkan jiwa seperti halnya seni rumah
tempat tinggal. Seni bangunan itu memang serupa puisi. Dia punya bentuk dan
proporsi, punya irama, perulangan dan pengelompokan, punya kontras, keseimbangan dan penekanan. Sebagaimana puisi, seni bangunan juga menjawab alam- tanah
dan wadas, kontur dan luasnya pandangan, cuaca, sinar matahari dan air, panas dan
dingin, bunga dan pepohonan.24

7. Merayakan Mazmur
Sebagai puisi ibadat sejumlah mazmur juga meninggalkan bekas-bekas suatu
perayaan. Ada undangan untuk beribadat, berarak25 , menyanyi, memainkan musik26 ,
menari27 , bersorak-sorai dan bertepuk tangan28 . Kadang-kadang kita mendengar
nyanyian yang berbalas-balasan29 , refren30 , aklamasi31 dan suara yang membahana
dari jemaah yang menyanyikan amin, ya amin32 . Lain kali kita mendengar suara
Tuhan atau suara seorang nabi yang menegur dan memperingatkan jemaah33 .Ada
peran-peran dalam sejumlah mazmur34 . Mazmur memang meninggalkan bekas-bekas
suatu perayaan. Mazmur tak terpisahkan dari peragaan atau drama. Hal ini memang
mudah dijelaskan karena sebagian mazmur sudah sejak awalnya adalah puisi-puisi
ibadat35
Kita juga dapat merayakan mazmur dan bahkan mendramakannya.
Merayakan mazmur berarti memerankan mazmur serta menyertai perayaan itu dengan
ritus-ritus seperti berlutut, membungkuk dan bersujud; bertepuk,bergandengan atau
menadahkan tangan, berarak, menari; membakar dupa, menyalakan lilin atau
menggunakan lambang-lambang lain yang sesuai dengan kebudayaan setempat. Tentu
saja ritus-ritus ini haruslah sesuai dengan isi mazmur yang bersangkutan dan
disesuaikan dengan kebiasaan setempat serta daya penghayatan peserta. Perayaan

23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

Bdk John H.Eaton, 151.


ibid., 150. Tentang arti sebuah karya seni arsitektur, bdk selanjutnya F.X.Rudiyanto S., 40-53.
Mzm 24; 68; 95; 100; 118.
Mzm 33.
Mzm 149; 150.
Mzm 47.
Mzm 118,
Mzm 136 yang bahkan menjadi suatu litani.
Mzm 8.
Keempat doksologi pada akhir jilid I-IV.
Mzm 50; 81.
Mzm 2; 118; 134.
Bdk John H. Eaton, 116-144.

Berthold Anton Pareira, Mazmur dan Pembinaan Integral Pelayan Firman

51

mazmur yang dipersiapkan dengan baik pasti akan memberi kesan yang mendalam
dan membuat orang merasakan manisnya bermazmur bagi Tuhan. Perayaan mazmur
juga dapat mendidik orang untuk menjadi lebih peka terhadap persoalan-persoalan
hidup karena mazmur dan hidup tidak terpisahkan satu sama lain.

8. Penutup
Setiap hari Gereja bergaul dengan puisi, setiap hari Gereja mengambil puisi
mazmur sebagai bahan jawaban imannya kepada Tuhan. Apakah kita memahami
sungguh-sungguh makna penggunaan ini? Apakah kita telah bergaul dengan mazmur
secara tepat? Sekiranya kita telah memahami dan bergaul dengan mazmur secara
tepat, saya kira mazmur telah membina bukan hanya kemampuan kita untuk
mengagumi keindahan, melainkan pula untuk menjadi lebih peka terhadap kehidupan
dan hidup dengan lebih berjaga. Jika kita yang dipanggil untuk menjadi pelayan firman
ini tidak dapat menjadi suci, paling kurang kita harus memiliki jiwa seorang penyair.
Kita harus tahu melihat, mendengarkan dan merasakan dari lubuk hati kita getarangetaran yang terdalam dari apa yang kelihatan agar kita dapat memperoleh katakata yang disampaikan dari keabadian36 . Mazmur merupakan sekolah yang paling
dekat untuk memiliki kemampuan itu.

BIBLIOGRAFI
Bradshaw Paul, Two Ways of Praying: Introducing Liturgical Spirituality, London:
SPCK,1995.
Eaton John H., The Psalms Come Alive, London: Mowberry, 1984.
Fglister N., Das Psalmengebet, Mnchen: Ksel, 1965.
Grn Anselm, Chorgebet und Kontemplation, Munsterschwarzacher Kleinschriften
50; Munsterschwarzach :Vier-Turme-Verlag, 1989.
Harnoncourt Philip, Mglichkeiten zum Vollzug der Psalmen, dlm Martin KlckenerHeinrich Rennings, Lebendiges Stundengebet: Vertiefung und Hilfe,
Freiburg/ Basel/Wien: Herder, 1989.
Leclercq J., The Divine Office and Lectio Divina, Concilium 159, 9/1982, 34
Nakagawa Shin, Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomuskologi,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.

36

52

Bdk J. Philip Wogaman, 4, yang membicarakan tugas seorang nabi dengan mengutip suatu bait dari puisi
James Russel Lowell yang berjudul Columbus yang berbunyi sebagai berikut: For I believe the poets; it is
they/who uttered the wisdom from the central deep/And, listening to the inner flow of things,/Speak to the
age out of eternity.

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

Rudiyanto S. F.X., Transformasi Arti Sebagai Buah Karya Seni: Percikan Filsafat
Arsitektur, Melintas no. 38 (1996).
Sedhar Sengor, La posie de sainte Therese dAvila, Carmelus 31(1984).
Wogaman J.Philip, Speaking the Truth in Love: Prophetic Preaching in a
Broken World, Louisville: WJK, 1998.
Zhong-qi Cai, In Quest of Harmony: Plato and Confucius on Poetry, Philosophy
East & West 49,3(1999).

Berthold Anton Pareira, Mazmur dan Pembinaan Integral Pelayan Firman

53

PERPINDAHAN IMAM DIOSESAN


DALAM RANGKA KERJASAMA ANTARKEUSKUPAN
(KAN. 271 1-2)

Alf. Catur Raharso


STFT Widya Sasana, Malang
Abstract:
Can. 271 1-2 of the 1983 Code speaks about temporary transmigration of diocesan priests. It is
a new norm in the Code of Canon Law. The same matter was also regulated by the 1917 Code and
subsequent norms, but in a restrictive and cautious way in order to get rid of the absolute priestly
ordination and to promote the ecclesiastical discipline among priests. Can. 271 1-2 has its origin
from the teaching of the Second Vatican Council. The Church now promotes the temporary transmigration of priests from a diocese to another, from a region to another, on the one hand to respond to
the new, more dynamic pastoral needs of the Church, which need the ministry of priests, and on the
other to resolve the shortage of priests in the Catholic world. This canon provides a juridical means
for the Church to have a more proportional distribution of priests, both in the world and among the
particular Churches. It also expresses communion and cooperation between priests and bishops,
and among particular Churches.
Keywords: Ekskardinasi, inkardinasi, perpindahan sementara, komunio dan kerjasama.

Menurut Annuarium Statisticum Ecclesiae 2000 jumlah imam diosesan di


seluruh dunia ada 265.781. Dari jumlah itu 51,5 % berada di benua Eropa, 30 % di
benua Amerika, 10,8 % berada di Asia, 6,7 % di benua Afrika dan 1,2 % di kawasan
Oceania1 . Dari data ini bisa dilihat betapa tidak meratanya panggilan imamat dan
penugasan imam di dunia. Persoalan distribusi imam yang lebih merata lalu menjadi
sangat mendesak sekarang ini. Kawasan Asia, di mana terdapat separuh dari total
penduduk dunia, sangat membutuhkan tenaga pastoral dan tenaga imam, meskipun
di Asia jumlah panggilan imam meningkat secara konsisten. Saat ini karya misioner
diarahkan dan dititikberatkan di kawasan Asia. Benua Eropa harus mengirimkan
lagi banyak imamnya ke kawasan Asia? Sekilas agaknya ini pemecahannya. Namun,
mereka sendiri membutuhkan tenaga imam untuk mengevangelisasi kembali daratan
Eropa yang mulai luntur karakter kristianinya. Lalu kriteria dan sarana apa yang bisa
dipakai untuk mendistribusikan secara lebih merata imam-imam diosesan? Cukupkah
distribusi geografis atas dasar data-data statistik?

54

Dalam LOsservatore Romano, n. 20, 15 Mei 2002, hlm. 8-10.

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

1. Jabatan dan fungsi imamat menurut Konsili Vatikan II


Konsili Trente (1545-1563) mengkonsep sakramen imamat semata-mata
berdasar pada dan dalam perspektif kurban Ekaristi, sehingga visi dan misi imamat
sangat bersifat kultus-sakrifikal: dari kurban Ekaristi demi/untuk kurban Ekaristi2 .
Tanpa menentang atau menghapus ajaran Konsili Trente, Konsili Vatikan II
menampilkan ajaran tentang imamat dalam doktrin kristologis dan eklesiologis yang
lebih luas, yakni dalam perspektif dan prospek visi dan misi Gereja sebagai sakramen
universal keselamatan, yang diutus ke seluruh dunia untuk mewartakan Injil Yesus
Kristus (LG 1, AG 1). Dengan demikian, hakikat dan pelayanan imam tidak lagi
dipahami dalam relasi ekslusif dengan Kristus dan secara sempit dalam kuasa kultussakrifikalnya, melainkan dengan berangkat dari misi seluruh umat beriman kristiani
(judul bab II PO: Presbyteratus in missione Ecclesiae). Dengan demikian, konsep
mengenai imam lebih integral, kristologis dan eklesiologis sekaligus: di satu pihak
pelayanan imam (imamat ministerial) merupakan partisipasi khusus pada perutusan
Yesus Kristus yang diwariskan kepada para Rasul dan para pengganti mereka. Di
lain pihak, pelayanan itu diintegrasikan dengan misi seluruh persekutuan Umat beriman
kristiani (imamat umum), yang juga menerima mandat misioner dari Kristus.
Konsili Trente tidak atau belum membahas hubungan organik-sakramental
antara Ordo presbyteratus dan Ordo episcoporum, sebagaimana diajarkan oleh
Konsili Vatikan II (bdk. PO 2b, LG 23, CD 4)3 . Dengan mengajarkan bahwa jabatan
dan fungsi Uskup adalah sakramen, bahkan kepenuhan dari sakramen imamat (LG
21), Konsili Vatikan II mendefinisikan jabatan dan fungsi imamat dalam kaitan dan
dalam terang sakramentalitas tahbisan Uskup. Melalui tahbisan Uskup diterimakan
kepenuhan sakramen imamat, sehingga para Uskup secara mulia dan kelihatan
mengemban fungsi Kristus sebagai Guru, Gembala dan Imam Agung, dan bertindak
atas namaNya (LG, 21). Sedangkan, para imam, yang tidak menerima kepenuhan
imamat, dalam melaksanakan kuasa tahbisan bergantung pada para Uskup.
Selanjutnya, dengan menekankan Ordo episcoporum sebagai sebuah
kolegium, Konsili Vatikan II melihat fungsi Uskup tidak secara individual melainkan
sebagai anggota kolegium itu, dalam kesamaan, kebersamaan dan persekutuan dengan

Lih. selanjutnya E. Castellucci, A trentanni dal decreto Presbyterorum ordinis: la discussione teologica
postconciliare sul ministero presbiterale, in La Scuola Cattolica 124 (1996) 3-68, 195-261; H. Denis, La
teologia del presbiterato da Trento al Vaticano II, dalam Y. Congar dan J. Frisque, I preti: formazione,
ministero e vita, Ed. A. V. E., Roma, 1970, hlm. 105-154; T. I. Jimnez Urresti, Teologa conciliar del presbiterado,
Propaganda Popular Catolica, Madrid, 1968.
Dalam konsili Trente martabat dan fungsi uskup didefinisikan dengan cara berangkat dari martabat dan
fungsi imam. Hakikat imamat terletak dalam kuasa mempersembahkan kurban Ekaristi (kuasa atas Corpus
Christi verum). Dari sudut pandang ini tidak ada perbedaan hakiki antara imam dan Uskup. Uskup memiliki
perbedaan atau superioritas atas imam hanya dalam potestas governandi, yang diterima lewat jalur ekstrasakramental, yang dibutuhkan untuk memimpin dan menggembalakan umat (kuasa atas corpus Christi
mysticum). Para Uskup dipandang sebagai pengganti para Rasul, namun tidak lebih dari imam biasa dalam
rahmat sakramental.

Alf. Catur Raharso, Perpindahan Iman Diosesan

55

semua Uskup dan Gereja partikular lain di seluruh dunia. Demikian juga, dengan
menekankan presbyteratus sebagai sebuah Ordo (= tatanan) dalam kaitan dengan
Dewan para Uskup tugas pelayanan imam tidak dilihat secara individual dalam relasi
formal-yuridis dengan masing-masing Uskupnya dalam batas-batas teritorial Gereja
partikularnya sendiri, melainkan dalam kesatuan dengan seluruh Ordo episcoporum,
sehingga para imam diosesan bukan saja menjadi rekan kerja bagi Uskupnya masingmasing melainkan rekan kerja dari semua anggota kolegium para Uskup, dalam
pelaksanaan tugas perutusan yang diterima bersama-sama (in solidum) oleh para
Uskup sebagai satu Corpus episcoporum. Jadi, dari Ordo episcoporum sebagai
satu persekutuan jabatan dan fungsi imamat mengalir kepada para imam sebagai
sebuah komunio (Ordo presbyteratus).

2. Konsep inkardinasi dalam perspektif Konsili Vatikan II dan hukum kanonik


Sebagaimana imamat ministerial merupakan partisipasi khusus pada misi Yesus
Kristus sendiri, maka tugas dan pelayanan imam juga ikut memiliki jangkauan luas
dan universal dari perutusan yang satu dan sama, yang dipercayakan oleh Kristus
kepada para Rasul dan para penggantinya (PO 10).
Menurut hukum lama (KHK 1917) perlu-tidaknya seorang Uskup
menahbiskan imam ditentukan oleh kebutuhan nyata keuskupannya sendiri4 . Norma
ini muncul dengan maksud utama untuk membasmi praktek penahbisan absolut, yakni
yang dilakukan tanpa memberikan tugas atau jabatan gerejawi yang jelas kepada si
tertahbis, sehingga imam tersebut bebas berkeliaran ke mana-mana. Maksud dan
tujuan norma ini sangat baik, yaitu untuk menegakkan disiplin hidup dan karya dalam
diri para imam. Namun, norma itu menjerumuskan ke dalam mentalitas partikularisme,
karena setiap Uskup hanya memperhatikan kebutuhan gerejanya sendiri, baik parokial
maupun non-parokial yang belum ada imamnya. Kalau semua gereja sudah ada
imamnya, maka tidak perlu merekrut atau menahbiskan imam baru. Tentu saja seorang
Uskup tidak dilarang untuk menahbiskan imam yang sebenarnya tidak dibutuhkan
oleh keuskupannya, asalkan sudah jelas baginya bahwa ada keuskupan atau Uskup
lain yang membutuhkannya dan akan menerimanya sebagai klerikusnya. Namun
sebelum tahbisan diberikan perlu dilakukan prosedur ekskardinasi dan inkardinasi
bagi imam yang bersangkutan (KHK 1917, kan. 969 2). Tetapi hukum lama ini
menggunakan istilah non prohibetur (tidak dilarang). Istilah ini masih mengandung
nada kekuatiran mengenai dampak negatif penahbisan absolut atas disiplin para imam
dan atas kesejahteraan jiwa dari umat; jadi, tidak dilarang tapi dengan syarat. Dari
sini bisa disimpulkan bahwa menolong keuskupan lain yang membutuhkan imam
sama sekali bukanlah suatu kewajiban, apalagi sebuah anjuran. Dengan kata lain

56

CIC 1917, kan. 969 1 Nemo ex saecularibus ordinetur, qui iudicio proprii Episcopi non sit necessarius
vel utilis ecclesiis dioecesis.

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

perhatian kepada keuskupan lain baru dilakukan kalau ada surplus imam di keuskupan
sendiri.
Dalam hukum yang berlaku sekarang ini (KHK 1983) prospek dan
semangatnya sudah lain. Tidak lagi dipakai istilah dioecesis (Keuskupan) melainkan
Ecclesia (Gereja) dalam arti umum dan luas5 . Jadi, perlu-tidaknya menahbiskan
imam ditentukan oleh kebutuhan pastoral Gereja pada umumnya, baik di wilayah
keuskupan sendiri maupun di Gereja-gereja partikular lainnya. Sangat ditekankan di
sini universalitas pelayanan para imam dan sollicitudo omnium ecclesiarum (perhatian
kepada semua gereja-gereja) yang menjadi tugas para Uskup dan para imam
berdasarkan komunio (= persekutuan, paguyuban) hirarkis antar mereka.
Mengingat destinasi universal perutusan tersebut, seorang imam pertamatama adalah milik seluruh Gereja. Meskipun ia terinkardinasi (= terdaftar sebagai
anggota dan pelayan penuh) pada sebuah keuskupan tertentu dan menjadi rekan
kerja yang setia bagi Uskupnya, ia adalah imam Gereja universal6 . Menjadi imam
seluruh Gereja katolik dan diutus ke seluruh dunia, itulah yang diciptakan pertama
kali oleh rahmat penahbisan. Sedangkan menjadi imam bagi keuskupan tertentu, itu
adalah konsekuensi dari struktur organisatoris Gereja sebagai communio
Ecclesiarum particularium. Inkardinasi hanyalah konkretisasi dan lokalisasi formal-yuridis dari pelayanan imam, yang pada prinsipnya berdimensi universal. Menjadi
rekan kerja seluruh Dewan para Uskup menuntut bahwa imam tertentu secara konkret
diikatkan pada salah satu dari anggota Dewan itu dan menjadi pembantunya yang
setia.
Dalam KHK 1917 inkardinasi menentukan ikatan ketaatan seorang imam
pada seorang Uskup tertentu. Ikatan ini bersifat tunggal (singular), permanen
(perpetua) dan absolut. Perpindahan ke keuskupan lain dimungkinkan hanya lewat
ekskardinasi dan inkardinasi, dan inipun bersifat permanen dan absolut.
KHK 1983 menekankan stabilitas inkardinasi, sedangkan perpetuitas atau
singularitas ditinggalkan. Namun, stabilitas ikatan ini tidak diterapkan secara kaku
atau mutlak, melainkan fleksibel, relatif dan tersubordinasi pada kebutuhan-kebutuhan
pastoral yang menyangkut kesejahteraan seluruh Gereja. Dengan demikian,
perpindahan dari keuskupan yang satu kepada keuskupan yang lain lebih dipermudah
demi alasan pastoral atau misioner. Meskipun demikian tidak dimungkinkan adanya

5
6

CIC 1983, kan. 1025 2 Insuper requiritur ut, iudicio eiusdem legitimi Superioris, ad Ecclesiae ministerium
utilis habeatur.
Ada sebuah analogi yang bisa dipakai untuk menerangkan dua dimensi keanggotaan partikular dan universal ini. Melalui iman dan pembaptisan setiap orang katolik menjadi anggota langsung dari Gereja yang
satu, kudus, katolik dan apostolik. Keanggotaan ini tidak terjadi melalui keanggotaan pada Gereja partikular,
melainkan secara langsung dan spontan, meskipun masuknya menjadi anggota Gereja universal itu
terjadi melalui sebuah komunitas gerejani yang konkret dan lokal (stasi, paroki, keuskupan). Bdk. Kongregasi
untuk Ajaran Iman, Litt. Communionis notio, 28 Mei 1992, n. 10. Demikianlah juga seorang imam. Sebagai
pribadi yang diutus oleh Bapa surgawi melalui Yesus Kristus, seorang imam adalah milik langsung Gereja
universal, yang mengemban tugas mewartakan Kabar Gembira sampai ke ujung-ujung dunia (bdk. Kis 1: 8).
Bdk. Kongregasi untuk Klerus, Direct. Dives Ecclesiae, 31 Maret 1994, n. 14.

Alf. Catur Raharso, Perpindahan Iman Diosesan

57

suatu multiinkardinasi (= imam yang terinkardinasi pada dua atau lebih keuskupan
sekaligus).
Seruan Apostolik Pastores dabo vobis memberi pengertian inkardinasi yang
lebih komuniter dan pastoral, dengan menggunakan istilah inkorporasi. Inkardinasi
tidak mengikat seorang imam secara formal-yuridis pada suatu teritori atau diosis
tertentu, melainkan meng-inkorporasi-kannya dalam sebuah Gereja partikular dan
presbiteriumnya, dengan Uskup sebagai kepalanya (PDV, 12). Gereja partikular itu
sendiri ada dan hidup dalam imanensi timbal balik dengan Gereja universal dan
terpanggil untuk menghadirkan sesempurna mungkin Gereja universal, yakni dengan
menjadi subyek utama yang harus mewartakan Injil ke seluruh dunia dan yang memiliki
sollicitudo pro universa Ecclesia. Dengan demikian, inkorporasi ke dalam tubuh
organik dan komuniter Gereja partikular mau tak mau mengarahkan keprihatinan
pastoral seorang imam diosesan kepada Gereja-gereja partikular lain di seluruh dunia,
khususnya yang dianiaya, miskin dan menderita kekurangan imam.

3. Kan. 271 1-2: perpindahan sementara tanpa ekskardinasi dan inkardinasi


KHK 1983, kan. 271 1-2 berbicara tentang dua tipe perpindahan
sementara imam diosesan7 dari keuskupannya sendiri ke keuskupan lain, tanpa
ekskardinasi dan inkardinasi (transmigratio sine incardinatione). Tanpa menyebut
periode kepindahan, paragraf 1 berbicara tentang pelayanan untuk waktu yang relatif
lama dan tidak ditentukan, untuk membantu daerah-daerah yang menderita
kekurangan imam, teristimewa di daerah misi. Sedangkan paragraf 2 mengatur secara
eksplisit perpindahan imam ke Gereja partikular lain untuk periode tertentu, yang
dapat diperbaharui atau diperpanjang lewat perjanjian tertulis. Paragraf 2 berbicara
tentang kerjasama antar keuskupan, di dalam atau di luar lingkup propinsi gerejani
yang sama, di dalam negara yang sama atau antar regional. Dalam praktek seharihari, dua norma ini dipakai bersama-sama atau dalam kombinasi, dalam arti pelayanan
misioner yang membutuhkan waktu yang relatif lama dilaksanakan lewat kontrak
yang diperbaharui berkali-kali.
Perpindahan sementara ini dibedakan dari ekskardinasi yang bersifat stabil
dan radikal, yang sering dipakai sebagai solusi atas masalah yang dihadapi oleh imam
yang bersangkutan, baik masalah kesehatan, masalah relasi pribadi dengan umat
atau problem pelayanan. Sedangkan perpindahan sementara bersifat sangat fleksibel

58

Dari sudut inkardinasi, imam dikelompokkan dalam tiga kelompok: (1) imam biarawan, yang terinkardinasi
dalam Tarekat Hidup Bakti; (2) imam sekulir, yang terinkardinasi dalam serikat klerikal hidup kerasulan, dalam
prelatur personal, dan dalam struktur yurisdiksi khusus; (3) imam diosesan, yang terinkardinasi dan
membaktikan diri sepenuhnya pada suatu keuskupan (bdk. kan. 265, 266 1). Selanjutnya, imam diosesan
mendapatkan inkardinasinya dengan beberapa cara: (a) inkardinasi pertama lewat tahbisan diakon (kan. 266
1), atau (b) inkardinasi kedua atau ketiga melalui reksrip (kan. 267, 269, 270) atau (c) karena telah lewat 5
tahun setelah seorang klerikus berpindah secara legitim ke keuskupan lain (kan. 268).

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

dan mudah menjawab kebutuhan pastoral yang sering juga sangat fleksibel dan mobil.
Hal ini dibedakan juga dari perpindahan sementara, yang dimaksudkan sebagai masa
percobaan bagi mereka yang mau inkardinasi di keuskupan lain (praktek di Amerika
Serikat). Perpindahan sementara yang diatur oleh kan. 271 1-2 juga dibedakan
dari perpindahan-perpindahan sementara lain lewat ijin yang sekurang-kurangnya
diandaikan, untuk tujuan berlibur atau belajar, untuk tujuan pastoral atau pribadi
(bdk. kan. 283 1-2, 271 3), atau untuk tujuan mengungsi. Jadi, motivasi untuk
melayani keuskupan lain dengan tetap mempertahankan inkardinasi di keuskupannya
sendiri merupakan ciri khas dari transmigrasi klerikus.
Seperti inkardinasi dan ekskardinasi, demikian juga perpindahan sementara
berlaku bagi diakon, baik diakon permanen (single, menikah, atau duda) maupun
diakon calon imam. Hanya saja, tugas-tugas diakon agak terbatas dibandingkan
dengan fungsi dan pelayanan mereka yang sudah ditahbiskan imam. Meskipun diakon
ditahbiskan demi kebutuhan keuskupannya sendiri, dia tetap harus memiliki jiwa
misioner dan terbuka terhadap kebutuhan keuskupan-keuskupan lain, khususnya
keuskupan yang telah menyuburkan kembali fungsi dan pelayanan diakon permanen
dan kebetulan di situ dibutuhkan banyak tenaga diakon untuk karya pastoral atau
misioner. Oleh karena itu, dia juga harus siap dan bersedia untuk diutus ke tanah misi
(missio ad gentes), kalau hal itu bisa diselaraskan dengan kewajiban-kewajiban
keluarga dan pekerjaan (jika dia berkeluarga dan bekerja), entah dengan ekskardinasi/
inkardinasi atau dengan perpindahan sementara.
Mengenai diakon calon imam, sebaiknya perpindahan ke keuskupan lain
dilaksanakan setelah ia ditahbiskan imam8 . Namun kalau tenaganya sungguh sangat
dibutuhkan, maka iapun bisa langsung dikontrakkan untuk sementara waktu ke
keuskupan lain tersebut. Uskup yang dituju bisa menahbiskannya menjadi imam
dengan surat dimisoria dari Uskup si calon (kan. 1015 1, 1016, 1022), dengan
tetap berlaku norma-norma lain yang mengatur penahbisan yang sah dan halal.
Penahbisan imamat di keuskupan lain tersebut tidak mengubah inkardinasinya di
keuskupan asal, yang sudah diefektifkan lewat tahbisan diakon, kecuali jika calon
tersebut kemudian menyatakan ingin terinkardinasi di keuskupan setempat (melalui
prosedur normal ekskardinasi dan inkardinasi). Setelah penahbisan, imam tersebut
dapat melanjutkan pelayanannya sesuai dengan kontrak. Beberapa hak dan
kewajiban perlu dimodifikasi dalam kontrak berhubung ada perubahan status dari
diakon ke imam.
Kan. 271 semestinya tidak boleh diterapkan untuk imam-imam yang
bermasalah. Kanon ini menyebut secara tegas dan jelas motivasi perpindahan
sementara, yakni menjalankan pelayanan rohani di keuskupan lain. Agar pelayanan
rohani itu efektif, maka harus dikirim imam yang terbaik. Kiranya tidak etis membantu
keuskupan lain dengan mengirimkan seseorang yang mungkin malahan akan menjadi
beban dan masalah tersendiri bagi keuskupan itu. Memang bisa dibayangkan adanya
kemungkinan bahwa seorang imam yang bermasalah bisa disembuhkan dengan

Kan. 1031 1 menetapkan tenggang waktu minimal 6 bulan antara diakonat dan presbiterat.

Alf. Catur Raharso, Perpindahan Iman Diosesan

59

memindahkan sementara ke keuskupan lain, khususnya bila di tempat yang baru ada
relasi yang baik dan sehat antara imam dan Uskup, antar para imam sendiri dan
antara imam dengan umat, selain program bina lanjut imam yang sudah tergarap
dengan baik.

4. Tugas dan tanggung jawab imam diosesan


Berbeda dengan ekskardinasi, perpindahan sementara ini sangat dianjurkan,
bahkan harus menjadi cita-cita setiap imam diosesan, khususnya para Uskup
diosesan9 . Dalam kan. 271 imam/diakon ditampilkan sebagai pengambil inisiatif.
Kalau jaman dulu tugas memperhatikan kebutuhan semua gereja-gereja (sollicitudo
omnium ecclesiarum) direservasi bagi para Paus dan para Uskup, sejak Konsili
Vatikan II tugas itu dilimpahkan juga kepada para imam selaku rekan kerja yang
setia dari Ordo para Uskup (PO 10). Dengan demikian, inisiatif dan keputusan pribadi
untuk berpindah, atau memenuhi undangan Uskup untuk berpindah sementara ke
keuskupan lain, merupakan perwujudan nyata tugas perhatian itu, tidak dengan afeksi
yang bersifat umum melainkan dengan persembahan diri sendiri. Di situ seorang imam
mewujudkan universalitas rahmat tahbisan dan fungsi imamatnya.
Perpindahan sementara merupakan hak dan kewajiban setiap imam dan
diakon diosesan, yang bersumber pada dimensi misioner dan komunio dari rahmat
tahbisan. Namun hak dan kewajiban itu dilaksanakan dalam kesatuan dengan tugas
dan misi Uskup diosesan, bahkan dalam kesatuan dengan seluruh kolegium para
Uskup10 . Maka dari itu, ia membutuhkan konsensus dari Uskupnya sendiri dan juga
dari Uskup yang dituju. Selain itu keinginan berpindah harus diselaraskan dengan
kebutuhan pastoral yang nyata dan mendesak di keuskupan sendiri dan di keuskupan
lain.

5. Kerjasama antar keuskupan


Kan. 271 1 menyebut dua alasan bagi seorang Uskup untuk menolak
imamnya yang ingin berpindah sementara: (a) adanya kebutuhan khusus di
keuskupannya sendiri. Ini merupakan alasan penolakan yang langsung; (b) tidak
adanya kesediaan atau kelayakan dalam diri imam yang bersangkutan. Ini merupakan
alasan yang tidak langsung. Kebutuhan Gereja partikular sendiri tidak boleh dilihat

9
10

60

Yohanes Paulus II, Alloc. ad eos qui plenario coetui Congregationis pro Gentium Evangelizatione
interfuerunt coram admissos, 28 April 1995, dalam AAS 87 (1995) 1108.
Seruan Apostolik Pastores dabo vobis, n. 28 mengatakan: Tidak dapat ada pelayanan imam yang sejati di
luar persekutuan dengan Paus dan Dewan para Uskup, khususnya dengan Uskup setempat, yang sudah
selayaknya dihormati sebagai bapa dan dipatuhi, seperti dijanjikan dalam upacara tahbisan.

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

secara sepihak, melainkan dalam konteks dan melalui studi banding dengan kebutuhan
Gereja partikular lain yang barangkali lebih mendesak. Jadi, kebutuhan keuskupannya
sendiri tak pernah bersifat mutlak, melainkan proporsional dan relatif.
Setiap keuskupan harus terbuka: terbuka untuk menerima imam dari
keuskupan lain dan murah hati untuk membantu keuskupan lain, juga dalam
kemiskinannya. Terlalu memikirkan kebutuhan sendiri dan terobsesi untuk mencukupi
diri sendiri lebih dulu justru mematikan dinamisme misioner Gereja partikular yang
bersangkutan. Cinta kasih tumbuh dan berkembang justru waktu diberikan kepada
orang lain. Dengan kata lain, keuskupan yang hanya bersikap receptif dan
menggantungkan diri pada bantuan dari luar (uang atau tenaga imam) justru mematikan
pertumbuhan gereja setempat menuju kemandirian dan mematikan jiwa misionernya.
Kebutuhan ini bukanlah perasaan umum yang tidak jelas, melainkan
kebutuhan yang spesifik dan nyata; bukan kebutuhan akan imam pada umumnya,
melainkan akan imam yang meminta ijin untuk berpindah sementara.
Untuk bisa memiliki imam yang kiranya dapat diutus untuk bermisi di
keuskupan lain, setiap keuskupan harus lebih dahulu melakukan distribusi imam yang
merata di dalam lingkup keuskupannya, baik imam diosesan maupun non-diosesan
yang diperbantukan pada keuskupan. Hal ini mengandaikan bahwa setiap keuskupan
membuat semacam program pastoral yang menyeluruh dan terpadu, kemudian
menempatkan imam-imamnya pada unit-unit karya sesuai program pastoral tersebut,
yang benar-benar membutuhkan tenaga imam (= tak bisa digantikan oleh awam).
Dengan demikian, keuskupan akan mudah menemukan tenaga-tenaga yang bisa
dipersembahkan untuk membantu keuskupan lain, dengan catatan keuskupan lain
tersebut juga telah membuat perencanaan pastoral dan distribusi tenaga imam yang
sama. Dengan demikian keuskupan juga dipermudah untuk minta tolong ke keuskupan
lain berdasarkan program pastoralnya11 .
Perpindahan sementara menjadi sarana untuk memeratakan tenaga imam,
baik pada level dunia maupun pada level regional dan nasional. Namun, distribusi
imam ini tidak bisa diwujudkan hanya dengan mengandalkan sensibilitas misioner
masing-masing imam dan Uskup, melainkan dengan mendayagunakan organ-organ
kerjasama yang sudah ada atau dengan membentuk organ-organ baru dengan tugas
spesifik, yakni menjadi sarana kolaborasi dan mediasi antar keuskupan atau bahkan
antar bangsa. Pada tingkat dunia, Tahta Apostolik telah membentuk Komisi permanen
antar Kongregasi untuk distribusi imam di dunia (sejak 1991). Komisi ini menjadi
organ mediasi yang mempertemukan permintaan dan penawaran imam antar
keuskupan-keuskupan di dunia, yang biasanya tidak saling mengenal kebutuhan dan
kekayaan masing-masing. Pada tingkat nasional, perlu dikembangkan kinerja Komisi
Kerjasama antar Keuskupan dari Konferensi para Uskup. Banyak hal yang bisa
dilakukan oleh Komisi ini atau Konferensi Waligereja itu sendiri dalam pelaksanaan
kan. 271 1-2, antara lain: (a) pembuatan format perjanjian tertulis yang bisa

11

Lih. R. Etchegaray, Lglise locale est la manifestation et lexpression vitale de lglise universelle, dalam
Il mondo la mia parrocchia. The world is my parish, Citt della Pamon, Roma, 1971, hlm. 72-73.

Alf. Catur Raharso, Perpindahan Iman Diosesan

61

dipakai secara seragam oleh para Uskup yang tergabung dalam Konferensi; (b)
menyelenggarakan kursus persiapan bagi imam yang akan dikirim dan juga
mengorganisir pengiriman imam, setelah melakukan kontak dengan keuskupankeuskupan yang membutuhkan tenaga imam; (c) memberi insentif finansial bagi
keuskupan-keuskupan asal/tujuan pengiriman, yang tidak mampu membayar balas
karya bagi imam-imam kontrakan. Pada level regional-internasional, misalnya FABC,
untuk tukar-menukar imam demi pewartaan Injil di kawasan Asia.

6. Aspek positif dan negatif perpindahan sementara


Perpindahan sementara sangat cocok dengan kebutuhan pastoral dan karya
misioner jaman sekarang. Karena mobilitas umat dan masyarakat sangat tinggi
bersamaan dengan urbanisasi, transmigrasi, dan pengungsian, maka kebutuhan pastoral juga berpindah-pindah dari kota/regio/keuskupan/pulau yang satu ke kota/regio/
keuskupan/pulau yang lain. Kebutuhan pastoral atau prospek misioner bisa tiba-tiba
meningkat tajam di suatu daerah tertentu, yang justru tenaga imam atau pastoral
lainnya sangat terbatas. Sebaliknya, di suatu daerah tertentu imam tidak terlalu banyak
dibutuhkan karena umat sudah mandiri, atau umat dan penduduk di situ sudah
berpindah ke daerah lain. Untuk mensuplai tenaga imam bagi kebutuhan-kebutuhan
pastoral yang dinamis dan berpindah-pindah ini diperlukan tingkat mobilitas tenaga
imam yang memadai. Dalam hal ini ekskardinasi tidak cocok, melainkan perpindahan
sementara. Kontrak kerja bisa diperpanjang beberapa kali sesuai dengan kebutuhan
setempat. Juga sekalipun suatu kebutuhan diperkirakan akan berlangsung sangat
lama, perpindahan sementara memungkinkan sebanyak mungkin imam diosesan untuk
terlibat membantu melalui pergantian tenaga yang berkesinambungan. Dengan
perpindahan sementara seorang imam yang diperbantukan tidak menggantikan tenaga
keuskupan atau mendominasi karya tertentu di keuskupan, melainkan tetap menjaga
agar keuskupan berkembang secara natural dengan dana dan SDM-nya sendiri.
Selain itu bisa terjadi bahwa keuskupannya sendiri membutuhkan secara mendesak
imam yang bersangkutan dan memintanya untuk segera kembali. Hal ini bisa dilakukan
pada saat kontrak habis atau imam tersebut bisa segera kembali ke keuskupan,
asalkan Uskup yang memanggil mematuhi ketentuan-ketentuan kontrak; lebih baik
lagi jika ia mengirimkan tenaga pengganti. Dengan ekskardinasi seorang imam tidak
bisa dipanggil pulang ke keuskupannya.
Di lain pihak, perpindahan sementara mengandung beberapa hal negatif.
Sifatnya yang hanya sementara menghalangi integrasi spiritual, kultural dan pastoral
dari imam yang bersangkutan terhadap program pastoral keuskupan, khususnya
terhadap umat yang dilayani. Karena merasa diperbantukan untuk sementara saja,
imam yang bersangkutan menjadi kurang bebas dan leluasa (dalam hal waktu) untuk
berkreasi atau membuat perencanaan pastoral yang terpadu dan berkesinambungan.
Apalagi kalau seorang imam diutus berkarya di daerah yang memiliki bahasa, budaya
dan mentalitas yang sama sekali berbeda. Untuk beradaptasi secara fisik saja ia

62

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

membutuhkan beberapa tahun, apalagi untuk berintegrasi dan berkarya sungguhsungguh. Bagaimana seorang imam bisa mewartakan Injil dengan berakar dalam
mentalitas dan kultur masyarakat setempat kalau ia tidak mengenal dan mencintai
sungguh-sungguh masyarakat itu dan budayanya? Untunglah, kelemahan ini bisa diatasi
dengan perpanjangan kontrak menurut kebutuhan dan kesepakatan kedua Uskup
terkait, atau dengan pergantian tenaga yang berkesinambungan. Aspek negatif lain
dari perpindahan sementara ialah bahwa imam dari keuskupan lain dipakai untuk
sekedar tambal sulam kebutuhan tenaga di keuskupan.

7. Distribusi imam diosesan di Indonesia


Distribusi panggilan imamat dan imam sangatlah tidak merata antara
keuskupan yang satu dengan keuskupan yang lain di Indonesia. Hal ini bisa kita lihat
dalam Buku Petunjuk Gereja Katolik Indonesia 200112 . Tidak semua keuskupan
memiliki Seminari, sehingga ada beberapa keuskupan yang sungguh-sungguh
bergantung pada keuskupan lain untuk mendapatkan imam dan calon imam diosesan.
Memang, tingkat kebutuhan tenaga imam di setiap keuskupan harus diukur
berdasarkan ratio antara jumlah imam yang ada dengan jumlah umat yang harus
dilayani, dengan jumlah penduduk secara keseluruhan, dan dengan luasnya wilayah
geografis dan demografis keuskupan itu. Ditinjau dari sudut ini keuskupan-keuskupan
di Jawa memang bisa menganggap diri selalu membutuhkan tenaga imam, karena
memang di Jawalah terdapat konsentrasi kuantitatif tertinggi umat katolik dan
penduduk Indonesia. Dan memang kenyataan menunjukkan bahwa konsentrasi
tertinggi jumlah imam masih terdapat di P. Jawa.
Namun, kiranya perlu diperhatikan bahwa cita-cita memeratakan pembagian
imam diosesan secara lebih proporsional tidaklah didasarkan pada kebutuhan untuk
memelihara kelangsungan struktur atau karya pastoral yang ada, melainkan dengan
melihat tantangan pastoral dan prospek misioner ke depan dari setiap keuskupan.
Keuskupan-keuskupan di Jawa pada umumnya memiliki struktur dan karya pastoral yang mapan, lengkap dan dinamis, yang pada gilirannya menuntut tenaga imam
untuk bisa lestari dan berkembang. Keuskupan-keuskupan di Jawa bisa mengatakan
bahwa yang di luar Jawa tidak terlalu membutuhkan tenaga imam, karena struktur
dan karya pastoralnya masih sedikit, statis dan kurang lengkap. Tetapi, tidakkah
orang perlu berpikir bahwa struktur dan karya pastoral yang sedikit itu disebabkan
karena kurangnya tenaga imam di sana? Jadi, tantangan pastoral dan prospek
misionerlah yang kiranya menjadi kriteria utama pemerataan tenaga imam. Kemudian
setiap keuskupan menyumbangkan bantuan dari kemiskinan dan kekurangannya.

12

Diterbitkan oleh Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, 2001. Sebuah ilustrasi yang sangat
kasar bisa dibuat berdasarkan Buku Petunjuk tersebut. K. A. Semarang memiliki 152 imam diosesan untuk
420.997 umat, K. A. Ende memiliki 138 imam diosesan untuk 654.914. Sebaliknya K. Banjarmasin memiliki 3
imam diosesan yang harus melayani 16.100 umat, sedangkan K. Agats Asmat memiliki hanya 1 imam diosesan
untuk melayani 48.310 umat.

Alf. Catur Raharso, Perpindahan Iman Diosesan

63

Namun, perpindahan imam dari satu keuskupan ke keuskupan lain di Indonesia bukanlah hal yang mudah dewasa ini, khususnya bila perpindahan itu terjadi
secara lintas pulau atau lintas suku. Kebencian dan konflik antar golongan etnis yang
merebak di masyarakat luas jelas ikut menghambat perpindahan imam dari sukusuku tertentu ke tempat-tempat di mana sukunya dimusuhi oleh masyarakat setempat.
Sentimen suku tidak boleh terjadi di dalam Gereja, karena hal itu akan melawan
katolisitasnya sendiri. Tetapi seorang imam diutus bukan hanya untuk melayani umatnya
sendiri, melainkan juga harus menjadi pelayan masyarakat non-katolik setempat.
Persoalannya ialah bahwa bisa jadi seorang imam dari suku yang berbeda diterima
oleh umat katolik, namun ditolak oleh masyarakat setempat karena sentimen suku.
Namun, kita percaya bahwa rahmat Allah bisa membuat seorang imam
meninggalkan segala sesuatu, termasuk kesukuan dan mentalitas sukunya, untuk
sungguh-sungguh mencintai dan menghargai penduduk dari suku dan budaya lain,
kemudian mewartakan Injil setelah mengenal dan mencintai budaya itu. Imam-imam
yang berjiwa misioner sejati inilah (selain usia masih muda, sehat, daya adaptasi
tinggi, punya kemampuan cukup untuk belajar bahasa asing) yang bisa diutus ke
manapun dan bisa diterima di manapun. Selain itu, dengan sikapnya yang mencintai
penduduk dan budaya setempat imam tersebut mengikis pelan-pelan bahaya sukuisme
dan primordialisme di tengah-tengah umat dan masyarakat yang dilayaninya. Ia menjadi
tanda dan sarana komunio antar keuskupan dan antar presbyterium, sekaligus tanda
persaudaraan, kasih dan solidaritas dari Gereja bagi masyarakat.

8. Penutup
Komunio Gereja partikular akan diperkaya dan dikukuhkan kalau presbyterium keuskupan bersifat terbuka, artinya tidak hanya terdiri dari imam diosesan
yang berasal dari wilayah keuskupan itu sendiri dan terinkardinasi di dalamnya (tentu
saja ditambah dengan imam anggota tarekat yang diperbantukan di keuskupan),
melainkan juga menyambut imam diosesan dari keuskupan/daerah lain yang
diperbantukan untuk sementara waktu lewat sebuah kontrak. Dengan demikian, di
dalam presbyteriumlah orang sudah bisa menyaksikan dan menghayati komunio antar
Gereja partikular dan antar para imamnya, dalam kesatuan misi dengan para Uskup.
Dalam presbyterium yang terbuka dan kaya seperti itu semangat katolik dan misioner
Gereja lokal juga ditumbuhkan, karena di tengah-tengah presbyterium dan umat ada
beberapa imam diosesan yang sedang memberi kesaksian tentang semangat misioner
dengan meninggalkan untuk sementara waktu keuskupannya sendiri dan sekarang
membantu keuskupan setempat. Atau dengan kata lain, presbiterium dan umat bangga
bahwa ada beberapa imamnya yang sedang memenuhi panggilan misionernya dengan
membantu daerah lain. Semangat komunio, misioner dan katolik ini akan mengalir
dan menular dengan sendirinya ke bawah, yaitu kepada umat di lapisan bawah.
Perpindahan sementara dengan prospek misioner dan dalam rangka kerjasama antar
keuskupan membuka keterbatasan ekskardinasi dan inkardinasi, yang sudah
merupakan tradisi hukum Gereja yang sangat tua.
64

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

BIBLIOGRAFI
Dokumen:
Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi dogmatis Lumen Gentium, 21 November
1964, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Obor-Dokpen KWI, Jakarta,
19984, hlm. 65-165.
_______, Dekrit Christus Dominus, 28 Oktober 1965, dalam Dokumen Konsili
Vatikan II, hlm. 209-246.
_______, Dekrit Presbyterorum Ordinis; 7 Desember 1965, dalam Dokumen
Konsili Vatikan II, hlm. 459-508.
Codex Iuris Canonici, Pii X Pontificis Maximi iussu digestus Benedicti Papae XV
auctoritate promulgatus, in AAS 9 (1917) pars II.
Codex Iuris Canonici, auctoritate Ioannis Pauli Papae II promulgatus, in AAS 75
(1983) pars II. Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Kitab Hukum Kanonik
(Codex Iuris Canonici), Sekretariat KWI-Obor, Jakarta, 1993.
Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Redemptoris Missio, 7 Desember 1990, dalam
AAS 83 (1991) 249-340.
_______, Seruan Apostolik Pastores dabo vobis, 25 Maret 1992, dalam AAS 84
(1992) 657-804.
_______, Allocutio ad eos qui plenario coetui Congregationis pro Gentium
Evangelizatione interfuerunt coram admissos, 28 April 1995, dalam AAS
87 (1995) 1105-1110.
Sekretariat Negara Vatikan, Reskrip In octavo coetu, 31 Juli 1991, dalam AAS 83
(1991) 767.
Buku & Artikel:
Betti, Umberto, La dottrina sullepiscopato nel capitolo III della Costituzione
dogmatica Lumen Gentium, Citt Nuova, Roma, 1968.
Cattaneo, Arturo, Il presbiterio della Chiesa particolare. Questioni canonistiche
ed ecclesiologiche nei documenti del magistero e nel dibattito
postconciliare, Giuffr, Milano, 1993.
Connors, Peter J., Perpectives for incardination in the light of the Second Vatican
Council, Roma, 1972.
Denis, Henri, La teologia del presbiterato da Trento al Vaticano II, dalam Y. Congar
dan J. Frisque, I preti: formazione, ministero e vita, Ed. A.V.E., Roma,
1970, hlm. 105-154.
De Paolis, Velasio, I ministri sacri o chierici, dalam A. Longhitano et al., Il fedele
cristiano. La condizione giuridica dei battezzati, EDB, Bologna, 1989,
hlm. 103-173.
_______, Stati di vita delle persone nella Chiesa, secondo il Codice, dalam E.
Cappellini, Episcopato presbiterato diaconato. Teologia e Diritto
Canonico, Ed. Paoline, Milano, 1988, hlm. 75-144.
Alf. Catur Raharso, Perpindahan Iman Diosesan

65

Esquerda Bifet, Juan, La distribucin del clero. Teologa, pastoral, derecho,


Ediciones Aldecoa, Burgos, 1972.
Herranz, Julin, Incardinatio y transmigratio de los clrigos seculares, dalam Vitam impendere magisterio. Profilo intellettuale e scritti in onore dei
professori R. M. Pizzorni e G. Di Mattia, PUL Editrice, Citt del Vaticano,
1993, hlm. 57-69.
Le Tourneau, Dominique, Comentario a los canones 265-272, dalam Comentario
exegtico al Cdigo de Derecho Cannico, vol. II, EUNSA, Pamplona,
1996, hlm. 297-317.
Schneider, Francis J., Commentary on the cc. 265-272, dalam John P. Beal, James
A. Coriden, Thomas J. Green (ed.), New Commentary on the Code of
Canon Law, Paulist Press, New York-Mahwah, 2000, hlm. 329-342.

66

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

Revolusi Kopernikus:
Nilai & Pengaruhnya Dalam Epistemologi Obyektivistis

Valentinus
STFT Widya Sasana, Malang
Abstract:
Delving into epistemology, one must recognize the scientists behind the revolutionary philosophical perspective of modern science. One of the most well known scientists was Copernicus.
He could not indeed be categorized as epistemologist in the strict sense, rather he was a scientist. Yet what he discovered has changed the paradigm of not mere scientific perspective that
the helios is the true center of the universe, not the earth, but also of human comprehensive
point of philosophical view. When it was the earth that had been believed so long time as the
center of the universe, the human being remained the pivotal point of thinking; but once the
empiric science of Copernicus observed that it was not the earth, the new paradigm came out.
The human being is only a particle of the very huge and sophisticated system of the universe.
What would be the center is not as clear as before. The universe itself seems to be the center.
This article studys the impact of the Copernican revolution of science to epistemology which in
turn changes the human beings philosophical perspective toward his/her life world.
Keywords: Kopernikus, epistemogi obyektif, heliosentrisme

Sejarah dunia dan pemikiran manusia telah mematrikan dan mengakui


bahwa Kopernikus (1473-1543) adalah pemikir yang telah mengadakan revolusi
berpikir. Ia telah mengubah cara pandang dan cara pikir kita terhadap dunia
alam semesta secara radikal dengan memindahkan pusatnya dari bumi ke
matahari. Karena itu, bisa dikatakan bahwa Kopernikus adalah promotor dan
pembaharu dalam dunia ilmu pengetahuan modern, terutama bidang ilmu pasti
dan astronomi. Namun demikian, kita bisa bertanya: apakah pikiran Kopernikus
sungguh layak disebut revolusi berpikir dan mengapa? Nilai ilmiah manakah
yang telah ditunjukkan dan diwariskan kepada umat manusia? Apakah pengaruh
pemikirannya bagi pola pikir dan pendekatan manusia modern kontemporer
terhadap dunia dan alam semesta?

Valentinus, Revolusi Kopernikus

67

1. Persoalan tentang revolusi Kopernikus


Ada banyak sanggahan yang bisa dilakukan bila pikiran Kopernikus dianggap
sebagai revolusi.1 Apa yang menjadi dasar sebutan revolusi Kopernikus? Mengapa
dia dianggap juga sebagai promotor perkembangan dunia modern? Dikatakan bahwa
masa depan adalah rujukan atau hakim bagi seluruh aktivitas pemikiran. Artinya,
kebenaran dan keabsahan dari sebuah pemikiran dinilai, dibuktikan dan diterima
oleh masyarakat dalam perjalanan waktu dan sejarah di kemudian hari. Nah, sejauh
menyangkut keakuratan dan kebenaran pemikiran Kopernikus, secara teknis
sejarah ilmu pengetahuan ilmiah telah membuktikan bahwa banyak hal dalam buah
pikirannya ditolak atau diabaikan sama sekali oleh para pemikir berikutnya seperti
Galileo, Kepler, Newton, Einstein, dll., karena ada banyak kekeliruan dalam
observasinya. Yang tertinggal hanyalah sistim heliosentris (matahari sebagai pusat
alam semesta) semata. Jadi dalam arti tertentu, sebagian besar buah pikirannya sudah
tidak memiliki nilai benar dan absah dihadapan hasil pengetahuan modern
kontemporer.
Karena banyak kekeliruan yang telah terbukti, banyak orang berpendapat
bahwa sistim heliosentris dari Kopernikus tidak lebih dari sebuah teori semata. Cara
berpikir Kopernikus sudah tidak memiliki suatu makna dan pengaruh yang cukup
berarti bagi aktivitas pengetahuan manusia. Pola pikirnya berguna hanya untuk
memuaskan akal budi manusia yang tidak pernah ada puasnya. Bagi mereka, hidup
manusia tidak berubah sama sekali; hidup tetap dalam keadaan seperti sebelumnya,
kalender dan waktu masih tetap menggunakan sistim lama. Dengan kata lain, revolusi
Kopernikus adalah nama yang diberikan tanpa arti yang sesungguhnya oleh orangorang yang melawan status quo dunia intelektual masa itu. Pikiran Kopernikus bersifat
opsional facultatif dan hanya masalah kebiasaan dan emosi atau keyakinan pribadi
semata.

2. Nilai Ilmiah Pemikiran Kopernikus


Apakah benar tidak ada nilai dan pengaruh pemikiran Kopernikus bagi
peradaban umat manusia? Apakah pemikirannya juga tidak layak disebut sebagai
sebuah revolusi? Pertama-tama, kita harus mengakui bahwa pemikiran Kopernikus
adalah sebuah revolusi dalam sejarah peradaban umat manusia.2 Sanggahan-sanggahan yang mau menyangkal validitas dan kebesaran pemikiran Kopernikus kiranya

68

Pendahuluan dari De Revolutionibus Orbium Caelestium, karya Kopernikus, merelativir makna revolusi
dengan mengatakan bahwa toeri heliosentris hanya hipotesis semata. Walau pendahuluan itu bukan ditulis
oleh Kopernikus sendiri, melainkan oleh Andreas Osiander. Tapi hal tersebut tetap menimbulkan kesulitan
tersendiri. Bdk, David Oldroyd, Storia della Filosofia della Scienza da Platone a Popper e oltre, Saggiatore,
Milano 1989, hlm. 65.
Jean M.Aubert, Cosmologia, Paideia, Brescia 1968, hlm.131.

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

tidak mempertimbangkan konteks sejarah masa itu dan menerapkan standar kekinian
pada pemikirannya. Ditinjau dari sudut manapun, nama revolusi Kopernikus adalah
layak dan sepantasnya karena makna dan relevansinya sangatlah dalam dan luas.
Nilai dan pesan yang terkandung dalam revolusi Kopernikus itu tidak hanya terbatas
pada bidang ilmu pengetahuan semata, tetapi terutama cara pandang umat manusia
terhadap diri dan alam semesta yang melingkupinya. Revolusi Kopernikus adalah
transformasi mentalitas manusia.3
Di satu sisi memang ada kekurangan atau kekeliruan dalam observasi yang
dilakukannya dan secara teknis tingkat ketepatan dan hasil yang dicapai masih jauh
dari sempurna. Tetapi di sisi yang lain, upaya yang dilakukan, cara kerja dan
pendekatan yang digunakan, serta keberaniannya menerobos kemapanan atau status quo dunia intelektual masa itu (yang didominasi sistim geosentris Aristoteles dan
Ptolemaicus) merupakan sebuah harta yang tak ternilai.
Selain itu, yang tak kalah bernilainya adalah sistim heliosentris. Dengan
memindahkan pusat alam semesta dari bumi ke matahari, secara radikal dan
menentukan Kopernikus mengubah cara dan sekaligus membuka sebuah cakrawala
baru dalam tatanan berpikir. Artinya, manusia tidak lagi menjadi pusat dari segala
sesuatu, melainkan hanya sebuah bagian kecil dari alam semesta yang maha luas ini.
Bersama dengan perubahan ini, lenyap juga mitos-mitos yang selama ini menyelimuti
hubungan manusia dengan dunia. Oleh karena itu, manusia harus memeriksa ulang
dan merumuskan kembali hubungannya dengan semua yang ada. Ya, era baru sedang
dimulai oleh Kopernikus.
Dari sudut filsafat, Kopernikus adalah seorang filosof sejati, kekasih
pengetahuan dan pencari kebenaran. Dia tidak merasa puas hanya dengan apa yang
dikatakan oleh orang lain. Sebaliknya, pendapat orang lain menjadi pemicu dan
pemacu baginya untuk membaktikan diri bagi terungkap dan tercapainya sebuah
kebenaran. Lebih dari itu semua, tekad bulat dan keyakinan pribadi yang diikuti
Kopernikus bukanlah sebuah keyakinan subyektif buta, melainkan keyakinan personal yang bisa dibuktikan secara obyektif, ilmiah dan rasional.
Kopernikus adalah seorang pemikir sejati dan bukan seorang kompromis.
Ia terjun langsung untuk mencari dan memahami kebenaran, walaupun terpaksa harus
melawan arus pemikiran yang sudah mapan. Teori heliosentris yang dikemukakannya
bukan hanya bertentangan dengan pendapat umum dan para pemikir aristotelian dan
ptolemaican kala itu, melainkan juga dengan tradisi gereja4 khususnya dalam
interpretasi Kitab Suci. Menurut Aristoteles dan Ptolemaicus, bumi adalah pusat
semesta dan bumi berada dalam posisi tidak bergerak. Yang bergerak mengelilingi
bumi adalah planet-planet yang lain, termasuk matahari. Teori tersebut kemudian
diterima dan digunakan oleh para teolog dalam menafsirkan Kitab Suci. Karena itu,
pemikiran Kopernikus mengancam status quo dan iman kristen itu sendiri.

3.
4.

Ibid.,hlm. 131..
Bdk. F. Copleston, A History of Philosophy vol. III, Doubleday, New York 1993, hlm. 282-283.

Valentinus, Revolusi Kopernikus

69

Konsistensi Kopernikus dalam mempertahankan teori heliosentris di hadapan pemuka agama bukanlah sebuah bentuk penyangkalan terhadap imannya akan
Allah sebagai Sang sumber segala kebenaran. Sebaliknya seluruh pencaharian dan
penelitian ilmiah yang dilakukannya atas teori heliosentris adalah sebuah studi yang
bertanggung jawab dari seorang beriman yang mengembangkan secara maksimal
kemampuan akal budinya untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Cara
berpikir Kopernikus ini membawa konsekuensi yang sangat besar, karena secara
implisit terkandung distingsi antara wilayah agama dan wilayah ilmu pengetahuan.
Kedua realitas ini berada dalam tingkatan yang berbeda dan sebab itu tidak bisa
dicampur-adukkan. Dengan demikian dimulailah sebuah era baru di mana ilmu
pengetahuan mulai meminta tempat atau status otonom dari otoritas agama.
Pertanyaan utama adalah bagaimana Kopernikus menemukan sistim solaris
dan dari mana muncul pemikiran ini? Teori heliosentris muncul dari kesulitan-kesulitan
teori Aristoteles dan Ptolemaicus dalam menjelaskan kenyataan-kenyataan berikut:
mengapa pada suatu periode tertentu sebuah planet tampak jauh dan atau di lain
waktu dekat?; mengapa planet-planet superior (Saturnus, Jupiter, dan Mars)
mempunyai periode rotasi lebih lama dibandingkan dengan planet-planet inferior
(Venus dan Mercurius)?; mengapa planet-planet inferior selalu berada dekat matahari?
Kopernikus berpendapat bahwa teori bumi sebagai sentrum alam semesta tidak
bisa menjelaskan fenomena ini. Oleh karena itu harus ditemukan sebuah penjelasan
atau sistim yang lain.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa teori heliosentris muncul dari kontak
Kopernikus dengan kaum neoplatonis. Kopernikus terinspirasi oleh penjelasan Plato
tentang hubungan badan dan jiwa, antara dunia ide dan dunia indrawi yang
dibandingkan dengan matahari yang menerangi dunia indrawi ini. Dari situlah
Kopernikus yakin bahwa perbandingan itu adalah jawaban atas kesulitan-kesulitan
di atas yang tak dapat dipecahkan oleh sistim Aristoteles dan Ptolemaicus. Ya,
matahari adalah pusat alam semesta dan sumber cahaya yang menyinari alam semesta
termasuk bumi. Keyakinan pribadi tersebut mendorong Kopernikus untuk melakukan
penelitian dan pengamatan ilmiah atas fenomen benda-benda langit.
Untuk membuktikan keyakinannya, Kopernikus mengajukan tujuh dalil yang
dapat ditemukan dalam buku De Commentariolus.5 Secara ringkas ketujuh dalil
tersebut adalah a) Bukan hanya ada satu pusat bagi lingkaran-lingkaran atau bendabenda langit. b) Pusat bumi bukanlah pusat dunia, tapi hanya pusat gravitasi dan
bulan. c) Semua benda langit mengitari matahari, matahari berada di tengah. Karena
itu matahari adalah pusat alam semesta. d) Hubungan dari jarak antara matahari dan
bumi dengan ketinggian cakrawala lebih kecil dibandingkan dengan radius dan jarak
bumi dari matahari; radius dan jarak bumi dari matahari tidak dapat dilihat e) Gerak
apa saja yang tampak pada cakrawala termasuk pada bumi dan bukan pada matahari
f) Gerak yang tampak pada matahari adalah semu semata dan bumilah yang bergerak

5.

70

F. Barone, Abbozzo Sommario, ad Opera di Nicol Copernico..., dalam Opere di Copernico vol. 1, Torino
1979, hlm. 109-110.

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

mengelilingi matahari seperti planet-planet lainnya; g) Suatu gerak mundur dan gerak
maju yang tampak pada planet-palnet, dalam realitasnya tergantung pada bumi dan
bukan pada planet-planet.
Dalil-dalil ini kemudian didalami oleh Kopernikus dengan mengadakan
pengamatan empiris atas fenomena-fenomena langit dan dengan pembuktian matematis
yang sangat teliti dan ketat. Berkaitan dengan pembuktian matematis, Kopernikus
terinspirasi oleh sistim lingkaran. Ia mengadakan sebuah observasi yang serius
mengenai lingkaran dan sistim ini diterapkannya pada fenomena-fenomena langit.
Observasi, demonstrasi dan argumentasi ini bisa ditemukan dalam buku De
Rivolutionibus dan semuanya adalah rasional dan ilmiah. Kopernikuslah yang
memulai sebuah cara berpikir baru dengan mengkombinasikan pengamatan lapangan,
akurasi teori, perumusan dan penghitungan.6
Bertolak dari observasi dan pembuktian matematis yang sedemikian ketat
dan teliti Kopernikus menarik kesimpulan berikut ini. Pertama-tama haruslah diakui
adanya relativitas penglihatan. Gerak matahari tidak lain adalah ilusi penglihatan atau
hanya penampakan semu dari seorang pengamat di bumi, karena ada jarak tak terkira
antara bumi dan matahari. Sebenarnya, yang sedang bergerak adalah bumi dan bukan
matahari. Sementara, dekat atau jauh sebuah pianet dilihat dari bumi tergantung pada
posisi bumi itu sendiri yang sedang bergerak. Periode orbit setiap planet tergantung
pada jaraknya dengan matahari. Planet-planet inferior dan bumi yang dekat dengan
matahari miliki masa orbit lebih singkat (Mercurius tiap 3 bulan, venus 9 bulan dan
bumi 1 tahun) sedangkan masa orbit planet-planet superior jauh lebih lama (Mars
tiap 2 tahun, Jupiter 12 tahun dan Saturnus 30 tahun).7 Dengan kata lain, unsurunsur solaris dari planet-planet inferior lebih kuat dari pada planet-planet superior
dan hal tersebut juga menjadi alasan mengapa planet inferior selalu berada dekat
matahari. Untuk menutup argumentasi, observasi dan pembuktiannya dalam De
Commentariolus, Kopernikus berkata dengan cara ini cukuplah 34 lingkaran (circulus) untuk menjelaskan keseluruhan struktur alam semesta, seperti halnya tarian
planet-planet.8
Kiranya perlulah ditekankan bahwa pemikiran Kopernikus adalah revolusi,
sebab di dalamnya terkandung nilai-nilai ilmiah yang hingga saat ini kita terima dan
gunakan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Nilai-nilai ilmiah itu terletak dalam
keseluruhan proses pembuktian secara rasional dan obyektif terhadap keyakinan
pribadi atas sebuah kebenaran yang tersembunyi. Dengan demikian ia merangkum
dua aspek tak terpisahkan dalam pencaharian kebenaran, yaitu aspek subyektif dari
pengenal dan aspek obyektif dari realitas dan menjadikannya tiang penyangga sebuah
pengetahuan yang universal. Kebesaran pemikiran Copernikus terbukti dalam sejarah
peradaban umat manusia dan hal ini diwujudnyatakan oleh para pemikir-penemu
berikutnya. Pemikiran dan penemuan mereka memiliki pijakannya justru dalam
pemikiran Copernikus.

6.
7.
8.

Ibid.., hlm. 116-126.


Ibid., hlm. 111.
Ibid., hlm. 126.

Valentinus, Revolusi Kopernikus

71

3. Pengaruhnya dalam Epistemologi Obyektivistik


Apa pengaruh yang kita warisi dari Kopernikus? Pertama-tama bisa dikatakan
bahwa revolusi Kopernikus adalah suatu permulaan dari Nova Scientia modern.
Sebuah era ilmiah, khususnya dalam pendekatan terhadap alam - dunia sedang dimulai.
Ia telah meninggalkan kepada kita warisan yang tak ternilai, yaitu perilaku yang
bertanggung jawab, cara kerja yang teliti, akurat, disiplin, formulasi yang ketat, sikap
obyektif, dan keberanian melawan arus kemapanan, dan kemandirian sebagai seorang
ilmuan dalam usaha mengungkapkan sebuah kebenaran, serta menyibakkan sekian
banyak mitos dan tabu yang menyelimuti alam semesta. Singkat kata, Kopernikus
telah membuka sebuah jalan menuju tanah terjanji bagi petualang ilmiah kita.
Revolusi Kopernikus berpengaruh besar juga dalam bidang epistemologi pada
periode berikut, khususnya visi yang obyektivistik, mekanistik dan formalistik tentang
alam semesta. Dunia bukan lagi sebuah tempat sakral tak tersentuh, penuh misteri
untuk dipuja dan dihormati, melainkan sebagai suatu kumpulan materi dengan tatanan
dan hukum yang sudah pasti.9 Dunia menjadi sebuah mesin raksasa, tersusun atas
berbagai unsur yang dapat dibongkar-pasang menurut prinsip dan hukum yang sudah
ada, sehingga setiap peristiwa atau setiap hal yang terjadi dulu, kini, dan sekarang
dapat diamat-ulang, dianalisa, dikalkulasi dan diantisipasi dengan tingkat kepastian
dan ketepatan yang mengagumkan.
Menurut obyektivisme, dunia adalah sebuah realitas obyektif, otonom dan
inklusif di dalam dirinya sendiri. Artinya realitas sudah memiliki struktur, bentuk,
prinsip atau hukum dan alasan berada yang tertentu. Dalam cara pandang dan
pendekatan yang demikian ini sangat diutamakan suatu pengetahuan yang pasti dan
akurat tentang struktur, hukum-hukum maupun prinsip-prinsip yang mengatur mesin
raksasa ini. Hal itulah yang menjadi maksud utama dalam ilmu pengetahuan.1 0
Bagi epistemologi obyektivistik, kriteria utama setiap pengetahuan ilmiah
adalah obyektivitas.1 1 Hanya obyektivitas saja yang dapat menjadi fundasi yang sah
dan kokoh bagi ilmu pengetahuan dan hal ini merupakan syarat utama yang memungkin
orang untuk mempelajari, menganalisa, dan memahami realitas secara tepat dan
otonom. Sebab, obyektivitas bukan kondisi atau malahan pengalaman langsung atas
suatu obyek, melainkan karakter khas dari obyek itu sendiri dan ada dalam dirinya
secara real.
Dalam konteks ini, hal-hal yang berkaitan dengan segi subyektif dianggap
sebagai sesuatu yang asing bahkan suatu ancaman yang dapat mencemarkan
kemurnian sebuah pengetahuan ilmiah. Sebuah pengetahuan obyektif haruslah bebas

9.

Errol E Harris, Objective Knowledge and Objective Value, dalam International Philosophical Quarterly XV,
Fordham University, New York 1975, hlm. 36.
10. Bdk. Michael Polanyi, Conoscenza Personale Verso Una Filosofia Post-Critica, Rusconi, Milano 1990, hlm.
94.
11. Lih. Karl Popper, Conoscenza Oggetiva Un Punto di Vista Evoluzionistico, Armando, Roma 1994, hlm. 149
dst.

72

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

atau steril, baik dari keyakinan, disposisi, emosi, rasa senang, ketertarikan maupun
si penahu itu sendiri. Salah seorang pemikir terkenal kontemporer, Karl Popper
bahkan dengan gamblang mengatakan, saya tidak menyesal tidak termasuk seorang
filosof aliran kepercayaan: saya tertarik terutama pada ide-ide dan teori-teori dan
bukan soal apakah seseorang percaya atau tidak pada ide dan teori tersebut.1 2
Kepercayaan berkaitan erat dengan insting-insting bawaan dan dengan demikian
adalah irasional.
Karena itu Popper mengatakan bahwa proyek epistemologisnya adalah
menyingkirkan unsur-unsur subyektif dari pengetahuan dan menggantikannya dengan
teori pengetahuan obyektivistik yang impersonal. Pengetahuan atau pemikiran
obyektif terlepas secara total dari persetujuan atau tuntutan pribadi manapun, dari
opini, dan dari disposisi pribadi untuk menyetujui, menegaskan maupun bertindak.
Pengetahuan yang sesungguhnya adalah pengetahuan tanpa subyek pengenal.1 3 Jadi,
semakin impersonal sebuah pengetahuan, semakin obyektif juga muatannya.
Epistemologi obyektivistik ini membawa konsekuensi yang besar sekali dalam
metode penelitian. Penekanan bukan hanya pada akurasi dalam observasi empiris
semata, tetapi terutama akurasi perumusan teori. Dengan kata lain, alam semesta ini
bersama dengan hukum, struktur dan prinsip-prinsipnya dipindahkan pada secarik
kertas yang dipenuhi dengan berbagai macam rumusan teori. Apabila terjadi sesuatu
kekeliruan atau kejadian, sang pemikir tidak perlu berkontak langsung dengannya.
Untuk mengetahui apa yang terjadi ia cukup membuat pengamatan dan pemeriksaan
pada secarik kertas itu.1 4 Dengan demikian, metode yang digunakan menjadi semakin
rigoristik dan formalistik dan pengoperasiannya bisa dilakukan baik oleh manusia
maupun sebuah mesin pintar.
Terlepas dari berbagai persoalan serius yang akan muncul, khususnya dalam
bidang etis - humanis dan religius bila epistemologi ini diterapkan secara kaku dalam
kehidupan manusia, epistemologi obyektivistik-impersonal sungguh-sungguh telah
mewujudkan semangat Kopernikus untuk mencari dan menemukan kebenaran.
Karena itu bisa dikatakan bahwa Kopernikus masih tetap hidup melalui pemikirannya
yang terus dikembangkan oleh setiap pemikir berikutnya.

4. Penutup
Pada umumnya banyak penemuan dan karya cipta merupakan produk dari
sebuah rasa ingin tahu atau keyakinan personal. Sistim heliosentris Kopernikus adalah
salah satu contoh dari buah keyakinan personal tersebut. Namun ia tidak berhenti
pada keyakinan subyektif itu. Keyakinan itu haruslah dibuktikan secara ilmiah-rasional

12. Ibid., hlm. 47.


13. Ibid., hlm. 153.
14. Bdk. Mariano Artigas & Juan Jos Sanguineti, Filosofia della Natura, Le Monnier, Firenze 1989, hlm. 290.

Valentinus, Revolusi Kopernikus

73

di mana setiap orang bisa berksperimen, mengecek ulang mengamati, menilai, dan
menemukan kebenaran. Kopernikus telah mewariskan harta tak ternilai ini: pencarian
terhadap kebenaran secara rasional dan ilmiah dalam tingkah laku yang bertanggung
jawab dan hal ini akan tetap aktual sepanjang jaman.
Sejarah peradaban dan khususnya pemikiran filosofis dan ilmu pengetahuan
telah berhutang besar pada Kopernikus. Penemuan-penemuan besar yang terjadi di
kemudian hari dan kemajuan ilmu pengetahuan yang sedemikian pesat di masa kini
adalah buah dari revolusi Kopernikus. Karena itu, kita bisa berkata bahwa seandainya
tidak terjadi revolusi Kopernikus, dunia kita mungkin tidak akan mencapai status
aktual seperti saat ini.

BIBLIOGRAFI
Aubert, Jean M., Cosmologia, Paedeia, Brescia 1968.
Artigas, Mariano & Sanguineti, J. Jos., Filosofia della Natura, Le Monnier, Firenze
1989.
Barone, F., Opere di Copernico, vol. I, Torino 1979.
Copleston, F., A History of Philosophy, vol. III, Doubleday, New York 1993.
David, Oldroyd., Storia della Filosofia della Scienza da Popper e Oltre,
Saggiatore, Milano 1989.
Polanyi, Michael., Conoscenza Personale Verso Una Filosofia Post-Critica,
Rusconi, Milano 1990.
Popper, Karl., Conoscenza Oggettiva Un Punto di Vista Evoluzionistico,
Armando, Roma 1994.
Errol E Harris, Objective Knowledge and Objective Value, in International Philosophical Quarterly XV (1975).

74

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

PENDIDIKAN KETRAMPILAN HIDUP


Telaah Filosofis atas Life Skill Curriculum

Anita Lie
Universitas Widya Mandala, Edu Business Consulting, Surabaya
Abstract:
What is life skill education? Why is its curriculum needed? How can life skill education be implemented into practical strategy of learning in our school? These are the fundamental questions that
guide the developing thought of this article. To the extent of practical strategy that system of education should bring up students to be masters of their life, life skill education might be worth. Indonesia
needs such a model of education. Yet, as one may guess easily, the mentality of Indonesian society is
probably the huge challenge to cope when implementing this model. Life skill model of education
needs a new perspective of life, not just that of skill. The article deals with philosophically some
systems of life skill curriculum and its actual challenges. In order to transform such a model of education into an apt program in the context of Indonesia, we should be aware of the very close relationship between being skillful and life context in our system of education.
Keywords: pendidikan, keterampilan hidup, kurikulum, pembelajaran.

Akhir-akhir ini pendidikan ketrampilan hidup marak dibicarakan baik dalam


wacana para pendidik dan pembuat kebijakan pendidikan maupun di media massa.
Makalah ini akan membahas apa itu pendidikan ketrampilan hidup, mengapa kurikulum
ketrampilan hidup dibutuhkan, dan bagaimana strategi pembelajaran yang disarankan.
Selanjutnya, makalah ini akan meninjau kurikulum ketrampilan hidup dalam kerangka
teoritis aliran-aliran kurikulum seperti yang pernah dibuat oleh Allan Glatthorn.

1. Apa dan Mengapa?


Ketrampilan hidup sangat berpengaruh pada kesuksesan seseorang dalam
pekerjaan dan hidup. Ketrampilan hidup mencakup pengetahuan dan kemampuan
yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi secara mandiri (Brolin, 1989). Ketika
seseorang mempertimbangkan ketrampilan untuk mempertahankan pekerjaan,
ketrampilan hidup sama pentingnya dengan ketrampilan kerja. Sebelum berangkat
bekerja, orang harus mengenakan pakaian, makan pagi, dan memastikan transportasi
apa yang dipakai. Di tempat pekerjaan, dia butuh berinteraksi dengan tepat dengan
rekan-rekan kerja dan atasan, mengatasi permasalahan dengan benar, dan
sebagainya. Di kantor-kantor modern, gaji dan imbalan tidak lagi diberikan dalam

Anita Lie, Pendidikan Ketrampilan Hidup

75

bentuk tunai melainkan lewat cek, BG atau transfer bank sehingga dia juga harus
memahami urusan keuangan dalam konteks ini. Kemudian dia juga perlu ketrampilan
mengelola keuangannya dengan bijak termasuk penggunaan kartu kredit dan debet.
Kekurangan serius dalam ketrampilan ini bisa berakibat pada kehilangan pekerjaan
atau kalau di luar negeri, bisa dimasukkannya pelanggar pada pusat rehabilitasi
masyarakat. Tanpa sumber daya untuk mengajarkan ketrampilan hidup, pelatihanpelatihan pekerjaan akan merupakan usaha yang sia-sia.
Untuk membantu orang berfungsi dengan baik dalam kehidupan, beberapa
institusi sudah mengembangkan kurikulum ketrampilan hidup. Konsep ini sebenarnya
bukanlah hal yang baru. Pada mulanya, pendidikan ketrampilan hidup ini disusun
untuk membantu orang-orang yang mempunyai kesulitan-kesulitan belajar atau masuk
dalam kategori ketergantungan pada obat-obatan, retardasi mental dan kelainan fisik.
Agar bisa hidup dan berfungsi dengan mandiri dalam masyarakat, orang-orang ini
perlu mendapatkan pelatihan dan pendidikan khusus seperti misalnya belajar
mengemudi, mendapatkan surat ijin mengemudi, melakukan urusan-urusan di bank
dan kantor pajak, mencari tempat penitipan anak yang cocok. Kemudian selanjutnya,
pendidikan ketrampilan hidup dikembangkan lagi untuk populasi umum karena
perubahan zaman yang begitu cepat dan drastis dianggap telah menciptakan berbagai
tantangan dan permasalahan hidup sehingga orang-orang pada umumnya pun perlu
belajar bagaimana bisa hidup sehari-sehari dengan baik. Kurikulum ketrampilan hidup
ini kadang-kadang juga dikenal sebagai pendidikan berdasarkan kompetensi.
Biasanya kurikulum ketrampilan hidup mencakup area ketrampilan sosial, manajemen
keuangan, pekerjaan dan kesehatan. Dalam kurikulum ketrampilan hidup ini,
pembelajar belajar bukan saja pengetahuan umum melainkan ketrampilan yang bisa
dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, misalnya membuka rekening di bank.
Brolin, D. E. (1989) dalam bukunya Life Centered Career Education: A
Competency Based Approach (3rd ed.) membagi ketrampilan hidup menjadi
ketrampilan sosialisasi, pengambilan keputusan, pekerjaan, manajemen keuangan,
transportasi, kesehatan, tanggung jawab keluarga, pemahaman hukum, dan
bertelepon. Kemudian beberapa pakar lain lebih lanjut menambahkan ketrampilan
melaksanakan suatu perjalanan (traveling skills), bertahan hidup di tempat asing (survival skills), belajar seumur hidup (life-long learning skills), menggunakan internet
(internet skills).
Ketrampilan sosialisasi mencakup ketrampilan berkomunikasi, manajemen
emosi, dan resolusi konflik. Sebagai tambahan, pelajaran-pelajaran didesain untuk
membantu pembelajar menjadi orang yang kompeten secara sosial. Ketrampilan
membuat keputusan singkat tapi penting. Ketrampilan menyelesaikan masalah dan
membuat keputusan adalah ketrampilan paling penting yang harus dikembangkan
seseorang. Mempunyai ketrampilan ini akan bisa membantu mengatasi kekurangankekurangan di bidang lain. Contoh sederhana, seseorang mungkin tidak tahu bagaimana
dia bisa sampai di suatu tempat di luar kota, tetapi kemampuan menyelesaikan masalah
akan membantu dia mencari tahu siapa yang bisa dia tanyai dan mintai informasi.
Ketrampilan pekerjaan mencakup banyak macam ketrampilan teknis. Secara
umum, ketrampilan untuk mengatur waktu dengan bijak, memahami prosedur standar
76

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

dan norma-norma selama hari-hari pertama di tempat pekerjaan akan sangat


membantu. Selain itu, harapan-harapan umum pemilik perusahaan dalam hal
keamanan, produktivitas, sikap, dan perilaku juga perlu diketahui pegawai baru.
Akhirnya, ketrampilan untuk beradaptasi menghadapi perubahan-perubahan juga
sangat penting bagi keberhasilan seseorang dalam pekerjaan.
Pengelolaan keuangan memerlukan ketrampilan yang sedikit lebih kompleks.
Manajemen keuangan secara standar meliputi pemahaman keuntungan pekerjaan,
anggaran, menggunakan jasa bank dan kredit, menghindari atau memanfaatkan hutang.
Ketrampilan ini menjadi lebih relevan pada jaman ini karena perubahan yang begitu
pesat telah melanda dunia perekonomian dan teknologi informasi. Jika beberapa
tahun lalu, mengelola uang cukup sederhana dengan kegiatan mengatur pemasukan
dan pengeluaran serta tabungan, kini kegiatan keuangan menjadi lebih rumit dan
kompleks dengan adanya sarana internet dan fund-management.
Transportasi meliputi banyak ketrampilan praktis mulai dari mencari kendaraan
umum yang dibutuhkan sampai dengan membeli dan merawat kendaraan. Pengelolaan
kesehatan memberikan pelatihan dalam menjaga gaya hidup yang sehat. Ada banyak
informasi mengenai hidup sehat. Topik-topik meliputi kebugaran, gizi, obat dan alcohol yang berhubungan dengan pekerjaan, mengakses dan menggunakan pelayanan
kesehatan dengan tepat. Tanggung jawab keluarga adalah ketrampilan menggunakan
informasi untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti pengasuhan anak, keseimbangan antara kerja keluarga, dan perawatan anggota keluarga yang tua, sakit
atau cacat. Pemahaman hukum adalah ketrampilan yang mencakup informasi bahwa
banyak siswa perlu tahu bagaimana agar tidak terperosok dalam kasus-kasus
pelanggaran hukum dalam pekerjaan dan masyarakat. Siswa juga perlu belajar
mengenai upaya-upaya advokasi hukum dan pelayanan penasehat hukum.
Ketrampilan menggunakan telpon meliputi mencari nomor telpon yang dibutuhkan,
mencari informasi lewat telpon, tata krama pembicaraan melalui telpon. Ketrampilan
ini juga menyangkut melakukan hubungan telpon jarak jauh. Sehubungan dengan
pemakaian internet yang makin merambah, siswa juga perlu mempunyai ketrampilan
mencari informasi lewat internet dan aturan main yang mendasar di dunia internet.

2. Strategi Pembelajaran dalam Pendidikan Ketrampilan Hidup


Dalam kurikulum yang disusun untuk mengajarkan ketrampilan hidup, pelatih
atau guru seharusnya menggunakan prinsip-prinsip dasar pelatihan perilaku untuk
mengajarkan ketrampilan. Pertama-tama, pelatih memberikan instruksi. Selama
pemberian instruksi ini, pelatih memberikan informasi, memberitahu bagaimana
melakukan sesuatu dan menyediakan contoh-contoh.
Kemudian, pelatih melakukan sendiri ketrampilan tersebut sebagai contoh.
Ini bisa dilakukan dengan main peran. Main peran adalah dramatisasi dimana
pembelajar melatih perilaku tertentu di bawah kondisi yang semirip mungkin dengan
kondisi di dunia nyata. Contohnya mungkin dua orang diminta untuk duduk dan berAnita Lie, Pendidikan Ketrampilan Hidup

77

bicara sementara seorang yang lain melatih ketrampilan mendengarkan. Atau mungkin
seseorang menilpun stasiun bis untuk mendapatkan informasi jadual bis atau main
peran seseorang yang berlatih menarik napas panjang ketika seseorang sedang
memarahinya.
Langkah ketiga adalah pembelajar mengulang ketrampilan tersebut seperti
yang sudah dicontohkan oleh pelatih. Pengulangan ini paling sulit karena kebanyakan
orang merasa tidak nyaman berbicara di depan orang banyak. Karena, langkah ini
sangat penting untuk mengembangkan rasa percaya diri sebagai bekal untuk menghadapi situasi sebenarnya. Makanya, pelatih perlu menunjukkan entusiasme dan upaya
untuk membuat main peran ini menyenangkan. Pada tahap ini, pelatih bisa memberi
masukan yang konstruktif atas proses main peran tersebut.
Selanjutnya, pembelajar perlu dibawa pada situasi yang sebenarnya untuk
melatih ketrampilan yang baru ini. Seperti kata John Dewey, kurikulum yang paling
efektif adalah learning by doing. Misalnya, pembelajar perlu diberi kesempatan
untuk membuka buku tabungan sendiri di bank, melakukan transfer dana (tunai atau
cek) dsb. Metode yang paling cocok digunakan untuk pengajaran ketrampilan hidup
adalah main peran, modelling dan cooperative learning (Metode dan Teknik-teknik
Cooperative Learning bisa dibaca di buku Cooperative Learning, Anita Lie,
Gramedia Widiasarana, 2002).

3. Tantangan-tantangan dalam Pendidikan Ketrampilan Hidup


Tantangan dalam implementasi pendidikan ketrampilan hidup adalah konteks
sosiokultural Indonesia yang mungkin berbeda dengan negara asal yang melahirkan
kurikulum ketrampilan hidup yang mungkin diadopsi atau diambil sebagiannya.
Sebagai contoh, beberapa topik yang dipakai Brolin dalam kurikulum ketrampilan
hidupnya seperti pengelolaan keuangan, kesehatan, dan transportasi tidak akan sesuai
dengan konteks Indonesia karena sistim perbankan, pelayanan kesehatan dan
transportasi yang berbeda. Sementara itu ketrampilan mencari informasi tentunya
melalui proses yang berbeda dalam konteks budaya di Indonesia yang masih kental
dengan tradisi lisan dan belum mantap dengan tradisi baca-tulis dibanding di Amerika
Serikat atau beberapa negara lain.
Tantangan lain bisa kita soroti dalam konteks aliran-aliran kurikulum. Alan
Glatthorn (1987)1 membagi aliran dan arah kurikulum menjadi 6: keilmuan akademis, fungsionalisme progresif, konformisme developmentalis, strukturalisme ilmiah,
radikalisme romantis, dan konservatisme privatistik. Glatthorn mengemukakan
demarkasi aliran kurikulum ini berdasarkan analisisnya terhadap 100 tahun

78

Kerangka Glatthorn dipakai dalam tulisan ini untuk memahami ritme dan arah perubahan suatu masyarakat
(terutama sektor pendidikannya) serta menganalisis dan mengkritisi pendidikan ketrampilan hidup yang
akhir-akhir ini marak dibicarakan.

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

perkembangan kurikulum di Amerika Serikat mulai dari 1890 sampai dengan masa
pemerintahan Ronald Reagan. Keenam aliran kurikulum itu memang telah
mempengaruhi pendidikan Amerika dan demarkasi ini dimaksudkan hanya sebagai
suatu cara memahami teori dan praktik kurikulum dalam satu abad terakhir di Amerika
Serikat. Kurikulum yang menekankan keilmuan-akademis meletakkan pengembangan kegiatan-kegiatan mental (berpikir) berdasarkan disiplin ilmu sebagai fungsi
utama sekolah. Dengan kata lain, fokus kurikulum adalah ilmu pengetahuan. Ideologi
keilmuan-akademis ini mendominasi pendidikan di Amerika Serikat pasca Perang
Saudara Utara-Selatan ketika bangsa Amerika mulai menyadari peranan sekolah
sebagai agen reformasi sosial.2
Pada masa ini, Presiden Harvard University Charles Eliot mengajukan
rekomendasi-rekomendasi spesifik untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi
yang sebagian masih banyak dipakai hingga saat ini. Diantaranya adalah pengurangan
porsi aritmatika untuk pengenalan geometri, aljabar dan bahasa asing pada jenjang
yang lebih rendah. Pada era ini pula, Stanley Hall (1894) mengetengahkan paradigma
pendidikan yang berfokus pada anak. Anak didik merupakan subyek yang utama
dalam pendidikan dan tidak seharusnya diperlakukan sebagai obyek didik yang terus
disuapi dengan makanan pengetahuan yang telah diolah dan dimasak oleh guru.
Namun gagasan-gagasan Hall ini tidak tertuang dalam praktik-praktik pendidikan
era keilmuan-akademis karena Hall sendiri sebagai seorang Darwinis sosial lebih
mempercayai perubahan sosial yang evolusioner daripada transformasi radikal. Tugas
utama sekolah menurut Hall adalah mendukung perubahan gradual ini melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran untuk anak-anak berbakat.
Fungsionalisme progresif banyak dipengaruhi oleh dua pandangan yang
sangat berseberangan yakni: orientasi progresif pada anak didik sebagai pusat
pembelajaran oleh John Dewey dan pengikutnya dan orientasi fungsional oleh para
pakar kurikulum. Kedua pandangan yang sangat berbeda ini mendominasi pendidikan
di Amerika Serikat pada dekade 1920 sampai 40. Masa permulaan era modern ini
diwarnai dengan relativitas (yang dipopulerkan oleh Albert Einstein). Jika pada jenis
kurikulum sebelumnya faktor penentu kurikulum adalah disiplin akademis, fokus aliran
progresifisme adalah anak. Dasar pemikiran aliran ini adalah bahwa anak mempunyai
rasa ingin tahu, kebutuhan untuk ekspresi diri, dan dorongan belajar yang alamiah
dan besar. Maka, perumus kurikulum akan memulai dari minat anak-anak dan
memastikan isi kurikulum sudah sesuai dengan minat tersebut. Dalam implementasi

Bangsa Amerika juga sedang dalam masa pengukuhan jati diri mereka sebagai bangsa yang mandiri dan
merdeka. Satu abad setelah kemerdekaan, bangsa Amerika masih berjuang melepaskan pengaruh Eropa
dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, termasuk dalam sektor pendidikan. Masih nampak adanya
sikap ambivalensi terhadap pengaruh budaya Eropa. Universitas yang sekarang terkemuka seperti Harvard
dan Yale pada saat itu masih merasa diri inferior terhadap Oxford, Sorbonne dan yang lainnya sehingga
dalam bidang keilmuan Amerika masih banyak mengadopsi sistim Eropa dan pada saat bersamaan juga
berusaha menata sistim mereka sendiri. Di lain pihak beberapa tokoh pemikir seperti Ralph Waldo Emerson,
Henry Thoreau, dan Walt Whitman berupaya meningkatkan rasa kebangsaan Amerika dalam tulisan-tulisan
mereka walaupun juga masih dipengaruhi oleh penyair dan penulis Inggris, Jerman, dan Prancis.

Anita Lie, Pendidikan Ketrampilan Hidup

79

ekstrimnya, aliran ini tidak mengenal kurikulum yang sudah dibakukan/distandarkan


karena kurikulum yang efektif harus sesuai dengan minat dan kebutuhan anak yang
bisa bervariasi dari hari ke hari. Pelajaran seni mendapat porsi cukup besar karena
menumbuhkan kreativitas anak dianggap sangat penting. Sebaliknya, matematika
dan tata bahasa cenderung dikurangi porsinya. Berseberangan dengan progresifisme,
fungsionalisme memulai kurikulum dari analisis mengenai fungsi-fungsi penting
kehidupan sehari-hari seorang dewasa yang kemudian diterjemahkan dalam tugastugas pembelajaran. Kurikulum ini sejalan dengan teori manajemen scientitik Frederick
Taylor dan didukung oleh teori stimulus-response Edward Thorndike.
Pasca Perang Dunia II, atau dalam pendidikan dikenal sebagai masa transisi,
menggunakan kurikulum yang konformisme developmentalis. Dalam aliran ini,
kurikulum bertujuan untuk mendukung status quo dengan menekankan pada
pengetahuan dan ketrampilan praktis yang akan berguna secara langsung bagi siswa.
Pakar yang berpengaruh pada pembentukan kurikulum ini adalah Ralph Tyler dan
Havighurst. Dalam versi Havighurst, kurikulum disusun berdasarkan kewajibankewajiban yang harus dilakukan seorang warga negara dalam kehidupan seharihari.
Selanjutnya, kurikulum strukturalisme ilmiah menempati masa yang singkat
namun sangat menarik dalam sejarah (1957-1967). Masa ini ditandai dengan gerakan
perjuangan hak-hak sipil, feminism, dan lingkungan hidup. Kurikulum yang
dilaksanakan dalam masa ini banyak dipengaruhi oleh Jerome Bruner dan mengacu
pada struktur disiplin ilmu. Dalam bentuk-bentuk kurikulum mandiri (teacher-proof
curricula), siswa mempelajari prinsip-prinsip yang berdasarkan pada masing-masing
disiplin ilmu, konsep-konsep dan proses pencarian tahu (inquiry learning).
Radikalisme romantis mewarnai masa-masa yang juga dicatat dalam
sejarah sebagai penuh kekerasan. Pembunuhan Martin Luther King dan Robert
Kennedy serta perang Vietnam menyertai masa yang dalam dunia pendidikan dikenal
sebagai masa eksperimentasi dalam pengembangan sekolah dan program yang
berpusat pada anak. Radikalisme romantis merupakan gerakan protes terhadap
kurikulum terstruktur yang dianggap kurang manusiawi dan mengabaikan kepentingan
anak didik. Pada masa ini banyak bermunculan sekolah-sekolah alternatif. Para
pendidik dan pengikut aliran radikalisme romantis banyak dipengaruhi oleh ide-ide
Carl Rogers, seorang konselor yang mengemukakan model pembelajaran empati
dan pendampingan. Sementara di belahan dunia yang lain, gagasan-gagasan Paulo
Freire dan Ivan Illich menimbulkan gaung dan sambutan cukup besar. Freire3

80

Pendidik asal Brasil ini menjadi profesor di Harvard ketika diasingkan dari negaranya sendiri. Dalam
bukunya Pedagogy of the Oppressed, dia membandingkan dua sistim pembelajaran. Yang pertama dia
ibaratkan seperti mendepositokan uang di bank. Sistim yang satu arah ini mengabaikan peranan siswa
sebagai partisipan aktif dalam proses pembelajaran. Sistim yang kedua adalah proses membangun makna
yang dilakukan sendiri oleh siswa dengan pendampingan/fasilitasi guru. Secara garis besar dan sederhana,
kedua sistim ini sebenarnya berdasarkan pada dua kelompok teori yang saling bertentangan mengenai
proses belajar. Kelompok teori behaviorisme/empiris/nurturis (Aristoteles, Thorndike, Watson, Pavlov, dll)
mengganggap siswa sebagai kertas putih yang kosong (John Locke: tabula rasa) dan sangat ditentukan oleh

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

menegaskan bahwa pembelajar harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dan


pemikiran-pemikiran siswalah yang harus menjadi acuan dalam perumusan kurikulum.
Pada saat orang Amerika mulai jenuh dengan kekerasan dan eksperimentasi,
gerakan yang juga disponsori oleh Ronald Reaganback to basicsmenelurkan
kurikulum yang lebih tradisional dan ketat. Gerakan back to basics ini merupakan
reaksi dari rasa ketertinggalan bangsa Amerika dari bangsa-bangsa lain dalam
penguasaan ketrampilan-ketrampilan dasar (aritmatika, membaca, dan menulis).
Aliran konservatisme privatistik ini juga disertai dengan naik daunnya kelompokkelompok fundamentalis agama dalam arena politik.
Dalam kerangka teoritis yang dikemukakan Allan Glatthorn ketika menyoroti
sejarah dan perkembangan kurikulum di Amerika Serikat seperti yang sudah
dijabarkan sebelumnya, pendidikan ketrampilan hidup termasuk dalam aliran
konformisme developmentalisme. Tidak ada satupun dari keenam aliran kurikulum
dalam kerangka Glatthorn yang bisa dianggap sempurna. Masing-masing aliran muncul sebagai hasil interaksi manusia dengan jamannya. Menarik untuk disimak bahwa
aliran konformisme developmentalisme muncul pada era sesudah Perang Dunia II
atau masa transisi sedangkan kurikulum ketrampilan hidup ini muncul menjelang akhir
abad 20 dan makin marak pada awal abad 21 ini. Belum ada yang berani mencuatkan
istilah Perang Dunia III namun tahun-tahun terakhir abad 20 dan awal tahun 21 jelas
dipenuhi dengan pertumpahan darah dan berbagai macam kekerasan dalam skala
besar.
Ketika Indonesia akan atau mulai memasukkan kurikulum ketrampilan hidup
ini dalam sistim pendidikan nasional, kita perlu menyambut baik niat positif untuk
menyiapkan siswa agar bisa berfungsi dengan mandiri dalam masyarakat. Namun
mengadopsi kurikulum tanpa syarat juga bukan tindakan yang bijaksana. Kita perlu
melihat gambaran besar sistim pendidikan nasional di Indonesia. Secara implisit
maupun eksplisit, pelaksanaan program-program pendidikan nasional sangat
dipengaruhi oleh tujuan untuk menyesuaikan diri dalam sistim. Dalam kurikulum
pendidikan dasar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, misalnya, tujuan
instruksional umum (TIU) yang berbunyi siswa mampu mengikuti/mencontoh berbagai
perbuatan yang ada dalam kehidupan di lingkungannya (keluarga, sekolah, dan
masyarakat) diterjemahkan menjadi pokok bahasan mengenal perilaku baik dan
buruk serta akibatnya sesuai dengan aturan yang berlaku dalam kehidupan seharihari (Implementasi Kurikulum Pendidikan Dasar Tahun 1994). Selanjutnya,
tujuan instruksional umum dan pokok bahasan tersebut akan dijabarkan di ruangruang kelas dan dikondisikan sepanjang masa sekolah oleh guru dengan contohcontoh perilaku baik dan buruk serta aturan-aturan main yang tidak boleh dilanggar
menurut tafsir guru yang biasanya juga sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh status

lingkungan dan pengalaman empiris. Sebaliknya para konstruktivis/naturis (di antaranya Plato, Descartes,
Piaget, Chomsky, dll) mempercayai adanya kemampuan alamiah yang lebih menentukan proses
pembelajarannya daripada lingkungan.

Anita Lie, Pendidikan Ketrampilan Hidup

81

quo (misalnya, mengenai ritual upacara bendera, seragam sekolah, dan sebagainya).
Untuk pokok-pokok bahasan yang lain pun, tujuan-tujuan yang ditetapkan dalam
kurikulum biasanya memakai kata-kata mengetahui perlunya, menyebutkan,
membiasakan, menyesuaikan, mengenal perilaku yang benar, dan mengikuti/
mencontoh. Tidak ada tujuan-tujuan yang berbunyi memikirkan, mendiskusikan,
mengembangkan, menilai, apalagi mempertanyakan, memperbaharui, dan
menemukan.
Dalam kurikulum ketrampilan hidup, tujuan-tujuan yang ditetapkan mungkin
sudah satu dua tingkat lebih tinggi dari tujuan-tujuan paling rendah yang pernah
ditetapkan dalam pendidikan nasional kita. Dalam pendidikan ketrampilan hidup,
siswa diharapkan untuk melakukan dan berfungsi dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Sementara tujuan-tujuan ini sudah cukup baik dan memang dibutuhkan untuk
banyak siswa, kita perlu mengingat agar tujuan-tujuan ini ditetapkan sebagai suatu
pencapaian minimal dan bukannya malah menjadi plafon kaca yang membatasi siswasiswa yang cerdas, kreatif, dan inovatif untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih
tinggi. Kurikulum pendidikan nasional juga perlu menentukan tujuan-tujuan yang lebih
menantang seperti misalnya mengembangkan, mempertanyakan, menilai, atau
bahkan mencipta. Jika kita tidak menetapkan tujuan yang setinggi ini sekarang,
Indonesia tidak akan pernah melahirkan pemenang hadiah Nobel dari antara siswasiswa yang patuh pada sistem.
Pola-pola pemikiran yang mengarahkan siswa untuk menyesuaikan diri dengan
sistim dan makin memantapkan status quo ini juga berlanjut terus pada pelaksanaan
kurikulum pendidikan menengah dan tinggi. Paradigma developmentalisme makin
mengkristal pada tingkat pendidikan tinggi dengan konsep kesepadanan dan
keterpautan (link and match) antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Menyepadankan dunia pendidikan dan dunia kerja dan mengharapkan para lulusan
perguruan tinggi akan menjadi tenaga siap pakai seakan-akan menyederhanakan
permasalahan pendidikan dan kebudayaan dan mereduksi hakikat pendidikan itu
sendiri dan manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Konsep link and match
yang dikemukakan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Wardiman
Djojonegoro memang mengarah pada kebutuhan urgen dan realita sesaat, terutama
di dunia industri. Namun upaya untuk mewujudkan kesejahteraan lebih tinggi melalui
jalur pendidikan ini meninggalkan berbagai persoalan mendasar dalam bidang
pendidikan yang masih perlu dipecahkan untuk mewujudkan pesan-pesan yang
tercantum dalam UUD 1945 ( mengupayakan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa) yang masih belum tersentuh kebijakankebijakan di bidang pendidikan.
Dominasi konformisme developmentalis dalam perumusan dan pelaksanaan
kurikulum Pendidikan Nasional menunjukkan hubungan sebab akibat yang timbal
balik dengan ketidak-berdayaan masyarakat sipil di Indonesia. Melalui prosesproses pembelajaran bertahun-tahun yang mengarahkan siswa untuk mengikuti,
mencontoh, membiasakan, dan menyesuaikan dengan norma-norma yang sudah
ditetapkan, penguasa berhasil memproduksi tenaga-tenaga siap pakai/jadi
pelengkap pembangunan dan menciptakan konstruksi-kontruksi sosial yang makin
82

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

memantapkan status quo. Sebagai akibatnya, kebanyakan penduduk Indonesia


ternyata bisa membiasakan dan menyesuaikan dengan kesewenang-wenangan dan
penindasan yang berlangsung sampai dengan tiga dekade. Kebanyakan penduduk
Indonesia juga bisa membiasakan dan menerima kerusuhan sosial dalam skala massal
yang menimpa saudara-saudara mereka di banyak bagian di negara ini.
Sebaliknya, ketidak-berdayaan ini juga menjadi salah satu sebab utama kurang
efektifnya banyak upaya reformasi di bidang pendidikan. Gejala apatisme nampaknya
sudah melanda para stakeholders dunia pendidikansiswa, orang tua, masyarakat,
guru, dan administrators. Sebagai contoh, kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
mendapat acungan jempol ketika diujicobakan dalam proyek percontohan karena
memang memuat banyak gagasan menarik mengenai partisipasi siswa dalam proses
pembelajaran. Secara konseptual, kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif memang
diharapkan bisa meningkatkan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual, dan
emosional untuk memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara kognitif,
afektif, dan psikomotor. Namun kemudian ketika diadopsi sebagai kurikulum nasional
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), pekerja kurikulum di lapangan
tidak mampu atau sudah enggan menerjemahkan dan merealisasikan konsep-konsep
tersebut. Memang ada banyak variabel yang perlu kajian lebih lanjut dalam menilai
efektifitas kurikulum CBSA. Sebagai salah satu variabel, ketidakmampuan dan
keengganan para pekerja kurikulum juga merupakan cerminan dari sikap apatisme
dan konformisme masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, sebagain besar para
pekerja kurikulum ini juga merupakan produk sistim pembelajaran yang memperlakukan siswa sebagai obyek didik yang seolah-olah dapat dibentuk sekehendak
pendidik dan dianggap mempunyai kemampuan yang sama dan secara lebih luas
mereka juga merupakan bagian dari masyarakat yang sudah terlanjur konformis
sehingga sangat sulit bagi mereka untuk mengubah paradigma dan melakukan
transformasi pembelajaran sesuai dengan gagasan-gagasan dalam kurikulum CBSA.
Banyak survey dan penelitian menunjukkan kebanyakan guru tidak bisa atau paling
tidak sulit sekali melepaskan diri dari model pembelajaran yang pernah mereka sendiri
terima dari guru mereka dulu.4
Pendidikan nasional suatu bangsa terjadi dalam suatu konteks dan proses
yang kompleks. Ideologi yang mendasari suatu aliran kurikulum tertentu akan sangat
menentukan perilaku masyarakatnya dan arah kemajuan (atau kemunduran) bangsa
tersebut. Tapi aliran-aliran yang nampak dalam suatu bentuk kurikulum tertentu bisa
juga merupakan akibat dari berbagai proses sosial yang terkait satu sama lain.
Sebenarnya sah-sah saja memasukkan aspek-aspek fungsionalisme dan developmentalisme dalam perencanaan dan pelaksanaan kurikulum karena toh para lulusan
pendidikan juga harus memikirkan dan melakukan kontribusi terhadap masyarakat.

Evy Ridwan, Willy Renandya dan Anita Lie. Reflective Teaching: A Survey of EFL Teachers in Indonesia.
Makalah dipresentasikan di SEAMEO RELC, Singapura, 22-24 April 1996; Lieberman, A. April 1995. Practices that support teacher development: Transforming conceptions of professional learning. Phi Delta
Kappan, 76,8: 591-695; Stephens, D. dan K.M Reimer. (1995). Explorations in reflective practice. Ed. Leslie
Patterson. Teachers are researchers: reflection and action. Newark: International Reading Association.

Anita Lie, Pendidikan Ketrampilan Hidup

83

Banyak tokoh masyarakat dan juga pendidik mengemukakan pentingnya relevansi


pendidikan dengan dunia kerja.5 Hanya saja gagasan relevansi ini jangan sampai
melunturkan hakikat pendidikan yang sebenarnya dan mereduksi kreativitas potensial
anak didik menjadi konformisme ala robot.

BIBLIOGRAFI
Brolin, D. E., Life Centered Career Education: A Competency Based Approach
(3rd ed.). Reston, VA: The Council for Exceptional Children, 1989.
Eisner, E.W. dan E. Vallance, Changing Conceptions of Curriculum. Berkeley,
CA: McCutchan, 1974.
Glatthorn, Alan, Curriculum Leadership. Glenview, Il: Scott, Foresman and Co.,
1987.
Havighurst, R.J., Developmental Tasks and Education (edisi ke 3). New York:
McKay, 1972.
Lie, A., Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang
Kelas. Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2002.
Lieberman, A., Practices that support teacher development: Transforming conceptions of professional learning. Phi Delta Kappan, 76, 8: 591-695
(1995).
Pongtuluran, A. dan A. Lie., Indonesia: Review of Educational Events in 19951996, Asia Pacific Journal of Education, 18(1), 79-84, (1997).
Ridwan, Evy, Willy Renandya dan Anita Lie., Reflective Teaching: A Survey of
EFL Teachers in Indonesia. Makalah dipresentasikan di SEAMEO RELC,
Singapura, 22-24 April 1996.
Stephens, D. dan K.M Reimer, Explorations in reflective practice. Ed. Leslie
Patterson, Teachers are researchers: reflection and action, Newark: International Reading Association, 1995.

84

Panji, 1999, ..http://www.dikti.org

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

Telaah Buku
Judul Buku
Penulis
Penerbit
Tebal

:
:
:
:

Ideologi-ideologi Pendidikan
William F. ONeill
Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 2001
xlv + 724 halaman

Wacana dan delik-delik dunia pendidikan merupakan persoalan yang senantiasa menarik
untuk disimak dan direfleksikan. Terutama karena pendidikan merupakan bagian sentral dari hidup
dan hakekat manusia. Bahkan lebih dari sekedar bagian sentral pendidikan merupakan itu yang
menunjuk pada hakekat manusia. Karena bersentuhan dengan hakekat manusia, maka dengan
sendirinya pendidikan merupakan hak setiap manusia. Sampai pada titik ini persoalan yang berkaitan
dengan pendidikan sering kali muncul. Para praktisi pendidikan seperti yang dikatakan oleh Dr.
Mansour Fakih dalam bagian pengantar buku ini sering terjebak dalam pemanfaatan pendidikan
sebagai arena pergumulan politik dan ideologi. Jelas. Ini bukan tujuan yang hendak diraih oleh sebuah
pendidikan. Oleh karena itu apa yang dikatakan Paulo Freire dan Illich dapat dibenarkan. Antara
lain mereka mengatakan bahwa pendidikan yang selama ini dianggap sakral dan penuh kebajikan
ternyata mengandung juga penindasan.
Dengan judul Educational Ideologies: Contemporary Expressions of Educational Philosophies (terj: Ideologi-ideologi Pendidikan), hendak dipaparkan bahwa pendidikan dalam hal
ini adalah pendidikan di Amerika Serikat telah menjadi arena yang sarat dengan nuansa politik dan
ideologi. Mulai dari politik dan ideologi konservatif sampai politik dan ideologi liberal. Dan itu berarti
bahwa pendidikan tidak lagi bergerak dalam skema perjalanan yang netral. Tidak netral antara lain
karena pendidikan telah dimanfaatkan sebagai sarana untuk melanggengkan pelbagai keyakinan aliranaliran itu. Dengan kata lain dalam konteks pendidikan, manusia tidak lagi dilihat sebagai subjek,
melainkan diberlakukan sebagai objek. Manusia tidak dilihat sebagai pelaku pendidikan, melainkan
sebagai tempat untuk mentransfer aneka prinsip dan ideologi. Singkatnya, masuknya pelbagai ideologi
dalam arena pendidikan merupakan indikasi pembelokan skema dan arah dasar dari hekakat
pendidikan. Yaitu penumbuh-kembangan dimensi-dimensi kepribadian manusia dalam kerangka yang
holistik. Atau dalam kaca mata psiko dinamika disebut dengan penumbuh-kembangan aspek biopsiko-sosio-spiritual manusia.
Secara umum buku yang terbagi dalam empat bagian ini berbicara secara analitis mengenai
pelbagai ideologi yang memboncengi pendidikan itu. Bagian pertama merupakan pendahuluan. Isinya
adalah pemaparan secara garis besar perihal filsafat dan ideologi-ideologi pendidikan. Dalam bagian
kedua penulis berkutat dengan pelbagai macam aliran konservatif dalam pendidikan. Misalnya
fundamentalisme pendidikan, intelektualisme pendidikan dan konservatisme pendidikan. Bagian ketiga
memberi gambaran mengenai pandangan aliran liberalisme dalam pendidikan. Tiga aliran yang
termasuk dalam konteks ini adalah aliran liberalisme, liberasionisme, dan anarkisme. Selanjutnya
dalam bagian ke empat kita akan diajak untuk menyimak sebuah sintesa atau perbandingan atas
pelbagai ideologi itu.

Telaah Buku

85

Sebagai sebuah wacana buku ini merupakan sarana yang baik bagi para pemerhati dunia
pendidikan. Mengapa? Karena buku ini memberikan sketsa dan analisa yang kurang lebih lengkap
mengenai pelbagai ideologi dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini uraian dan penekanan dalam soal
koservatisme dan fundamentalisme mendapat porsi yang lebih banyak. Mengapa konservatisme dan
fundamentalime? Karena keduanya sering diabaikan oleh kepustakaan tentang pendidikan. Meskipun
demikian pembaca akan tetap memperoleh gambaran yang memadahi tentang aliran-aliran yang lain.
Jelas. Dengan membaca buku ini para pembaca akan memperoleh skema dan cakrawala pandang
yang kurang lebih lengkap mengenai aneka aliran atau ideologi yang telah menyatu dengan dunia
pendidikan.
Selain paparan analitis, buku ini juga dilengkapi dengan alat diagnosis. Yaitu rentetan panduan
yang akan membimbing orang dalam menemukan karakter ideologi pendidikan. Dengan ini
dimaksudkan supaya para pembaca memperoleh manfaat praktis. Apa itu? Perubahan. Dalam arti
keterbukaan hati untuk menganalisa ideologinya dan keniscayaan untuk mencari format ideologi
yang lebih sesuai.
Meskipun dilengkapi dengan sebuah pedoman praktis, panduan tes misalnya, buku ini tetap
mengandung kelemahan. Pertama karena buku ini kurang memiliki fokus pembahasan yang jelas.
Pelbagai macam aliran ideologi diuraikan secara sejajar begitu saja dengan yang lain. Akibatnya
pembaca akan terbawa dalam arena kesulitan dalam menemukan ide dasar dari buku ini. Kelemahan
yang kedua adalah karena penggarapan dan pemaparan aneka ideologi dicampur-adukkan begitu
saja. Misalnya pembahasan tentang konservatisme agama digandengkan begitu saja dengan
pembahasan tentang konservatisme politik, tanpa jalan pikiran yang terpolakan secara runtut.
Lepas dari soal kekuatan dan kelemahan, dalam konteks pengembangan pendidikan di Indonesia buku ini tetap dapat diperhitungkan sebagai referensi. Dapat dikatakan bahwa Indonesia
adalah negara yang sedang bergulat, mencari dan mengidealkan sebuah format dan sistem pendidikan
yang pas. Untuk itu tidak ada cara lain kecuali harus membuka wacana terhadap aneka persoalan
yang menjadi akar bobroknya sistem pendidikan itu. Dalam kaca mata ini, penelusuran pelbagai
ideologi dalam pendidikan merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh. Untuk kemudian
menggagas sebuah sistem pendidikan yang ideal. Yaitu sistem pendidikan yang meniscayakan sebuah
proses tumbuh kembang manusia secara utuh.

Yohanes Agus Setyono CM

86

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

BIODATA CONTRIBUTOR

Alf. Catur Raharso, Pr


Doktor Hukum Gereja dari Universitas Urbaniana, Roma; mengajar mata kuliah
hukum Gereja di STFT Widya Sasana, Malang.
Anita Lie
Doktor ilmu pendidikan dari Baylor University, Texas, USA dengan spesialisasi
kurikulum dan instruksi pengajaran; pemenang Jasper Fellowship Award untuk
kurikulum pengajaran bahasa Inggris; memimpin suatu lembaga Edu-Buisness Consulting; konsultan kurikulum beberapa sekolah di Surabaya; mengajar di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya sebagai adjunct lecturer; mantan dekan
fakultas pendidikan Univ. Petra Surabaya; dan menjadi dosen terbang untuk beberapa
universitas di Asia.
Armada Riyanto, CM
Doktor filsafat dengan spesialisasi etika politik dari Universitas Gregoriana Roma;
mengajar pengantar filsafat, filsafat politik, etika dan metafisika di STFT Widya Sasana
Malang.
Berthold Anton Pareira, O.Carm
Doktor teologi Kitab Suci dengan spesialisasi Perjanjian Lama dari Universitas
Gregoriana, Roma; mengajar beberapa mata kuliah Perjanjian Lama di STFT Widya
Sasana, Malang.
Paul W. McNellis, SJ
Studi filsafat dijalaninya di Cornell University, Fordham University, and Gregorian
University (Roma), dan doktor Filsafat dari Boston College, USA, dengan disertasi
The Crisis of the family and the analogy of gratitude, elaborasi Johanes Messner
dan Robert Spaeman; menjadi ketua asosiasi para filosof Amerika, mantan pemimpin
departemen filsafat etika politik Universitas Gregoriana, Roma, Italia; salah satu editor jurnal International Philosophical Quarterly; saat ini profesor filsafat etika
politik di Boston College.
Sri Wismoady Wahono
Philosophical Doctor-nya dari Edinburgh, England untuk bidang Teologi Kitab Suci
Perjanjian Lama; profesor teologi di Institut Balewiyata, Malang sekaligus dosen
tidak tetap teologi reformasi di STFT Widya Sasana, Malang; mantan pemimpin
jemaat Kristen Jawi Wetan (GKJW); teolog Kristen dengan minat besar pada upaya-

Biodata Contributor

87

upaya kontekstualisasi teologi dan teologi dialog; beliau wafat dalam tugas ke Jerman
dan Belanda tanggal 28 September 2002.
Valentinus CP
Licentiatus (MA) filsafat dari Universitas Santo Thomas Aquinas, Roma; mengajar
epistemologi dan logika di STFT Widya Sasana, Malang.
Yohanes Agus Setiyono
Mahasiswa program pasca-sarjana STFT Widya Sasana, Malang.

88

Vol. 2 No. 1 Maret 2002

Você também pode gostar