Você está na página 1de 6

Penyebab penyakit akibat kerja

Dalam ruang atau di tempat kerja biasanya terdapat faktor-faktor yang menjadi penyebab
penyakit akibat kerja sebagai berikut:
1. Faktor fisis meliputi keadaan fisik seperi bangunan gedung atau volume udara per kapita
atau luas luas lantai kerja maupun hal-hal yang bersifat fisis seperti penerangan, suhu
udara, kelembapan udara, tekanan udara, kecepatan aliran udara, kebisingan, vibrasi
mekanis, radiasi gelombang elektromagnetis,
Faktor fisis, seperti:
a. Suara yang dapat mengakibatkan tuli akibat kerja;
b. Radiasi sinar rontgen atau sinar radioaktif, yang menyebabkan antara lain penyakit
susunan darah dan kelainank ulit. Radiasi sinat infra merah dapat mengakibatkan
katarak kepada lensa mata, sedangkan sinar ultra violet menjadi sebab konjungtivitis
fotoelektrika;
c. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan heat stroke, kejang panas, atau hiperpireksia,
sedangkan suhu terlalu rendah antara lain menimbulkan frostbite;
d. Tekanan udara tinggi menyebabkan penyakit kaison;
e. Penerangan lampu yang buruk dapat menyebabkan kelainan kepada indera
penglihatan atau kesilauan yang memudahkan terjadinya kecelakaan.
2. Faktor kimiawi yaitu semua zat kimia anorganis dan organis yang mungkin wujud
fisiknya merupakan salah satu atau lebih dari bentuk gas, uap, debu, kabut, fume (uap
logam), asap, awan, cairan, dan atau zat padat.
Faktor kimiawi, yaitu antara lain:
a. Debu yang menyebabkan pnemokoniosis, di antaranya silicosis, asbestosis dan
lainnya;
b. Uap yang di antaranya menyebabkan demam uap logam, dermatosis akibat kerja, atau
keracunan oleh zat toksis uap formaldehida;
c. Gas, misalnya keracunan oleh CO, H2S dan lainnya;
d. Larutan zat kimia yang misalnya menyebabkan iritasi kepada kulit;

e. Awan atau kabut, misalnya racun serangga (insektisida), racun jamur dan lainnya
yang menimbulkan keracunan.
3. Faktor biologis, yaitu semua makhluk hidup baik dari golongan tumbuhan maupun
hewam, dari yang paling sederhana bersel tunggal sampai dengan yang paling tinggi
tingkatannya.
Faktor biologis, misalnya bibit penyakit antraks atau brisella yang menyebabkan penyakit
akibat kerja pada pekerja penyamak kulit;
4. Faktor fisiologis/ergonomis, yatu interaksi antara faal kerja manusia dengan pekerjaan
dan lingkungan kerjanya seperti konstruksi mesin yang disesuaikan dengan fungsi indera
manusia, postur, dan cara kerja yang mempertimbangkan aspek antropometris dan
fisiologis manusia.
Faktor fisiologis/ergonomis, yaitu antara lain kesalahan konstruksi mesin, sikap badan
yang tidak benar dalam melakukan pekerjaan dan lain-lain yang kesemuannya
menimbulkan kelelahan fisik dan gangguan kesehatan bahkan lambat laun dapat terjadi
perubahan fisik tubuh pekerja atau kecacatan;
5. Faktor mental dan psikologis, yaitu reaksi mental dan kejiwaan terhadap suasana kerja,
hubungan antara pengusaha dan tenaga kerja, struktur dan prosedur organisasi
pelaksanaan kerja dan lain-lain.
Faktor mental-psikologis yang terlihat misalnya pada hubungan kerja atau hubungan
industrial yang tidak baik, dengan akibat timbulnya misalnya depresi atau penyakit
psikosomatis.
Diagnosis penyakit akibat kerja
Diagnosis penyakit akibat kerja adalah landasan terpenting bagi manajemen penyakit tersebut
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative. Diagnosis penyakit akibat kerja juga
merupakan penentu bagi dimiliki atau tidak dimilikinya hak atas manfaat jaminan penyakit
akibat kerja yang tercakup dalam program jaminan kecelakaan kerja. Hanya dokter yang
berwenang menetapkan suatu penyakit adalah penyakit akibat kerja.
Cara menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja mempunyai kekhususan apabila
dibandingkan terhadap diagnosis penyakit pada umumnya. Untuk diagnosis penyakit akibat
kerja, anamnesis dan pemeriksaan klinis serta laboratoris yang biasa digunakan bagi
diagnosis penyakit pada umumnya belum cukup, melainkan harus pula dikumpulkan data dan

dilakukan pemerikaan terhadap tempat kerja, aktivitas pekerjaan dan lingkungan kerja guna
memastikan bahwa pekerjaan, atau lingkungan kerja adalah penyebab penyakit akibat kerja
yang bersangkutan.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEPTS.333/MEN/1989 Pasal 3, ayat (1) dan (2)
mengatakan bahwa diagnosis penyakit akibat kerja ditegakkan melalui serangkaian
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan kondisi pekerjaan serta lingkungannya untuk
membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara penyakit dan pekerjaannya; jika terdapat
keragu-raguan dalam menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja oleh dokter pemeriksa
kesehatan dapat dikonsultasikan kepada dokter penasehat tenaga kerja dan bila diperlukan
dikonsultasikan kepada dokter ahli yang bersangkutan.
Pencegahan penyakit akibat kerja
Pencegahan terhadap penyakit akibat kerja seawal mungkin adalah kebijakan paling utama.
Sebagimana pencegahan terhadap kecelakaan kerja, maka bagi pencegahan kaibat kerja
diperlukan peraturan perundang-udangan, standarisasi, penyawasan, penelitiam, pendidikan,
pelatihan, penyuluhan, pelaksanaan asuransi dan upaya di tempat kerja terutapa di perusaahn
pada semua sector kehidupan.pencegahan mempunyai 2 aspek yaitu administrative dan
teknis; administrative dalam arti kebijakan khususnya aspek manajerial dan teknis, yaitu
penerapan secara nyata di lapangan pada tenaga kerja, pekerjaan dan lingkungan kerja.
Secara teknis aktivitas pencegahan adalah pengenalan risiko bahaya pekerjaan dan
lingkungan kerja terhadap kesehatan beserta pengukuran, evaluasi, dan upaya
pengendaliannya; pemerikaan kesehatan sebelum kerja, pra-penempatan, berkala dan khusus;
substitusi bahan dengna yang kurang pengaruh negatifnya kepada tenaga kerja; isolasi
operasi atau proses produksi yang berbahaya; dan pemakaian alat proteksi diri.

Abrasi dari epitel kornea dapat disebabkan oleh trauma mekanik superfisial (penggunaan
kontak lens yang lama), ada benda asing, atau terpapar radiasi ultraviolet, kimiai, aerosol,
debu, asap dan iritian lainnya.
Photokeratoconjunctivitis (welders flash) adalah trauma ocular yang spesifik yang
disebabkan oleh tidak terlindungnya dari radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang
kurang dari 300nm. Radiasi ini berasal dari alat las dan merusak korena yang terekspose dan
epitel konjungtiva. Trauma terjadi pada orang yang melihat langsung ke lasnya dan orang
yang disekitarnya yang biasanya tidak memakai alat pelindung.
Dalam jam- jam pertama setelah terekspos, mungkin hanya terasa tidak nyaman dan
konjungtiva yang merah. Beberapa jam kemudian, bahkan setelah 6-8jam, epitel yang trauma
mengelupas, yang mengakibatkan severe pain yang akut kadang dibilang seperti seseorang
melempar pasir panas ke mata saya. Biasanya ditandai dengan keluarnya air mata, fotofobia,
dan blepharospasm (kelopak mata yang hampir tertutup).
Pemeriksaan dibutuhkan anestesi topical, dilakukan pada mata yang hampir tertutup dengan
cara diteteskan di tepi kelopak mata. Ketika mata terbuka, cairan anastesi akan lebih banyak
masuk bersamaan dengan fluorescein dari kertas paper strip steril. Fluorescein akan berdifusi
ke kornea yang epitelnya telah mengelupas, pewarnaan hijau terang paling baik di observasi
dengan cahaya biru. Epitel yang hilang hanya terbatas pada daerah yang terekspos pada
pembukaan kelopak mata.
Terapi dengan menggunakan antibiotic ointment dan penutup mata untuk menghindari
pergerakan kelopak mata atau mengedip. Epitel tidak akan sembuh secara cepat dan dalam
beberapa kasus di ganggu dengan mengedip. Proses penyembuhan epitel membutuhkan 1224 jam; dalam beberapa kasus mungkin dapat beberapa hari. Matanya harus diperiksa setiap
hari. Lanjutkan penutup mata antibiotic ointment hingga proses pemulihan berlangsung.
Epitel korneal sembuh tanpa meninggalkan bekas luka. Antibiotic solution atau ointment
yang ditambah kortikosteroid kadang-kadang direkomendasikan untuk terapi welders flash
burns. Steroid dapat mempercepat penghilangan hyperemia, edem, tetapi dapat meningkatkan
insiden infeksi sekunder bakteri, virus dan jamur. Jika memakai steroid harus dilakukan
pemerikaan berkala (12-24 jam) untuk mendeteksi gejala awal dari infeksi sampai pemulihan
terjadi. Penggunaan steroid jangka panjang (10-14 hari) meskipun dosis rendah dapat
meningkatkan resiko peningkatan tekanan intraokuler.

Pasien tidak boleh diberikan anastesi drops atau ointment untuk dipakai dirumah. Anastesi
dapat memperlambat atau bahkan menghalangi penyembuhan epitel.
Trauma ini dapat dicegah dengan menggunakan protektif filter muka yang adekuat untuk
orang yang memegang las dan kaca mata google atau kacamata filter ultraviolet bagi orang
yang disekitarnya yang dapat terlihat cahaya lasnya.

Abrasi dan benda asing di kornea menyebabkan nyeri dan iritasi yang dapat dirasakan
sewaktu mata dan palpebral digerakkan; defek epitel kornea dapat menimbulkan sensasi yang
serupa. Fluresein akan mewarnai membrane basal epitel yang defek dan dapat memperjelas
kebocoran aqueous akibat luka tembus. Pola tanda goresan vertical di kornea mengisyaratkan
adanya benda asing terbenam di permukaan konjungtiva tarsalis palpebral superior.
Pada pengeluaran benda asing, dapat diberikan anastesi topical dan digunakan sebuah spud
(alat pengorek) atau jarum berukuran kecil untuk mengeluarkan benda asing sewaktu
pemeriksaan slitlamp. Jangan menggunakan aplikator berujung kapas karena alat ini
menggosok permukaan epitel secara luas, sering tanpa mengeluarkan benda asingnya. Lalu
dilanjutkan dengan terapi epitel yang abrasi
Augsburger J, Asbury T. Trauma mata & orbita. Dalam: Vaugan, Asbury. Oftalmologi umum.
Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2009. h. 374-5
Epitel yang abrasi diterapi dengan menggunakan antibiotic ointment yang efektif untuk gram
positif maupun gram negative (ex. Gentamicin, tobramycin, neomycin) dan matanya ditutup
dengan penutup mata agar kelopak mata dalam keadaan tertutup. Epitel kornea biasanya
sembuh dengan tepat jika kornea diistirahatkan tanpa berkedip. Mata harus diperiksa dalam
12=24 jam untuk melihat proses penyembuhannya, biasanya ditandai adanya putih atau
abu=abu pada daerah sekitar luka. Kalau tidak terjadi penyembuhan secara sempurna, berikan
ointment lagi dan penutup mata selama 12-24 jam. Lakukan terus hingga terjadi
penyembuhan. Bekas luka biasanya tidak terjadi, dan penglihatan kembali normal.
Pada saat penyembuhan epitel mungkin akan terasa sakit, dilarang memberikan anastesi tetes
atau ointment karena dapat menghambat penyembuhan epitel dan akan menambah resiko
terjadinya infeksi kornea yang berat dan bisa menimbulkan bekas luka. Antibiotik yang

ditambahkan dengan kortikosteroid juga ditidak boleh diberikan karena dapat mengurangi
proteksi dari infeksi bakteri, dan meningkatkan pertumbuhan virus dan jamur.
Flach AJ. Eye injuries. In: Joseph L. Current occupational & environmental medicine. 4th ed.
USA: The McGraw-Hill Companies; 2007.pg. 88-90

Você também pode gostar

  • Bab 1,2,3
    Bab 1,2,3
    Documento42 páginas
    Bab 1,2,3
    Ratna Puspa Rahayu
    Ainda não há avaliações
  • Case Ujian
    Case Ujian
    Documento15 páginas
    Case Ujian
    Agnestya Raule
    Ainda não há avaliações
  • Diare
    Diare
    Documento10 páginas
    Diare
    Agnestya Raule
    Ainda não há avaliações
  • Case Ujian
    Case Ujian
    Documento15 páginas
    Case Ujian
    Agnestya Raule
    Ainda não há avaliações
  • Cts
    Cts
    Documento6 páginas
    Cts
    Agnestya Raule
    Ainda não há avaliações
  • Diare
    Diare
    Documento10 páginas
    Diare
    Agnestya Raule
    Ainda não há avaliações
  • Lembar Fu Ipd
    Lembar Fu Ipd
    Documento1 página
    Lembar Fu Ipd
    Agnestya Raule
    Ainda não há avaliações
  • Cover 2
    Cover 2
    Documento2 páginas
    Cover 2
    Agnestya Raule
    Ainda não há avaliações
  • Sidang
    Sidang
    Documento1 página
    Sidang
    Agnestya Raule
    Ainda não há avaliações
  • DSD 2
    DSD 2
    Documento1 página
    DSD 2
    Agnestya Raule
    0% (1)
  • Referat Infeksi Intrakranial
    Referat Infeksi Intrakranial
    Documento50 páginas
    Referat Infeksi Intrakranial
    Agnestya Raule
    Ainda não há avaliações
  • PBL Agnes Blok 27
    PBL Agnes Blok 27
    Documento4 páginas
    PBL Agnes Blok 27
    Agnestya Raule
    Ainda não há avaliações
  • Anamnesa
    Anamnesa
    Documento2 páginas
    Anamnesa
    Agnestya Raule
    Ainda não há avaliações
  • Anamnesa
    Anamnesa
    Documento2 páginas
    Anamnesa
    Agnestya Raule
    Ainda não há avaliações