Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
ANGGARAN
PEMERINTAH
PAPER
AKUNTANSI
MANAJEMEN
SEKTOR
PEMERINTAH
KELOMPOK
5
Adinda
Widyastari
Defita
Sari
Hasibuan
Nauval
Hafiluddin
Nia
Esti
Wulansari
Niczen
Henry
Lolowang
PENDAHULUAN
Penganggaran
merupakan
salah
satu
komponen
penting
dalam
penyusunan
langkah-langkah
dan
kebijakan-kebijakan
finansial
suatu
organisasi
dalam
periode
satu
tahun
ke
depan.
Dengan
penganggaran
yang
baik,
rencana
dan
tujuan
organisasi
dapat
terukur
dengan
jelas
dan
pasti.
Demikian
pula
yang
terjadi
di
sektor
pemerintahan.
Penganggaran
mutlak
diperlukan
dalam
melaksanakan
kegiatan
sehari-hari
pemerintahan.
Anggaran
digunakan
sebagai
perencanaan
keuangan
di
masa
yang
akan
datang
sekaligus
pula
sebagai
kontrol
atas
nilai
uang
yang
dapat
dibelanjakan
untuk
menjalankan
tugas
pokok
dan
fungsi
di
instansi
pemerintah.
Sehingga
dalam
penerapannya,
proses
penganggaran
harus
mempertimbangkan
prinsip
ekonomis,
efisiensi,
dan
efektivitas.
Hal
ini
penting
agar
realisasi
rencana
kerja
pemerintah
dapat
menghasilkan
output
dan
outcome
yang
optimal.
Dalam
pembahasan
kali
ini,
kami
mencoba
melakukan
analisis
terhadap
penganggaran
yang
dilakukan
oleh
pemerintah.
Analisis
yang
kami
lakukan
meliputi
analisis
vertikal
dan
horizontal
komponen-komponen
dalam
laporan
penganggaran
pemerintah
selama
beberapa
periode
terakhir.
Kami
juga
melakukan
analisis
terhadap
pertumbuhan
anggaran
serta
analisis
kemampuan
anggaran
dalam
melaksanakan
program
dan
kegiatannya.
Di
samping
itu,
kami
juga
menganalisis
sebab
dan
akibat
dari
kemungkinan
adanya
keterlambatan
penyusunan
anggaran
pemerintah.
Dari
hasil
analisis
yang
kami
lakukan
tersebut,
di
akhir
pembahasan
kami
mencoba
memberikan
saran
dan
rekomendasi
yang
dapat
digunakan
sebagai
bahan
perbaikan
penganggaran
pemerintah.
Harapan
kami,
di
samping
semakin
mendalami
perihal
penganggaran
di
sektor
pemerintah,
kami
juga
dapat
memberikan
sumbangsih
kepada
khayalak
luas
melalui
pembahasan
dan
saran
perbaikan
anggaran
pemerintah
ini.
A. ANALISIS
VERTIKAL
Analisis
vertikal
dilakukan
dengan
cara
membandingkan
pos-pos
laporan
keuangan
dalam
suatu
periode
yang
sama.
Terdapat
dua
metode
yang
dapat
digunakan
sebagai
teknik
analisis
vertikal:
1. Analisis
persentase
per
komponen
Melalui
analisis
ini
dapat
diketahui
berapa
persentasi
masing-masing
pos
dalam
laporan
keuangan
dengan
jumlah
total
seluruh
pos,
sehingga
dapat
terlihat
pos
yang
memiliki
peran
signifikan
terhadap
keseluruhan
elemen
laporan
keuangan.
Analisis
persentase
per
komponen
merupakan
teknik
yang
biasa
digunakan
dalam
analisis
vertikal
karena
kemudahannya
dan
fleksibilitas
penyesuaiannya
terhadap
berbagai
laporan.
2. Analisis
rasio
Analisis
ini
digunakan
untuk
mengetahui
hubungan
antara
satu
pos
dengan
pos
yang
lainnya.
Teknik
analisis
rasio
biasa
digunakan
untuk
menganalisis
laporan
keuangan
dan
memerlukan
patokan
ukuran
rasio
yang
jelas
sebagai
bahan
analisis.
Dalam
pembahasan
kali
ini,
kami
melakukan
analisis
vertikal
terhadap
laporan
penganggaran
Indonesia.
Data
sumber
yang
kami
gunakan
adalah
APBN
periode
tahun
anggaran
2014.
Kami
melakukan
analisis
terhadap
komponen
pos-pos
pendapatan
dan
pos-pos
belanja
dalam
APBN.
1. Anggaran
Pendapatan
Negara
Dalam
APBN
2014,
Pendapatan
Negara
ditargetkan
mencapai
Rp1.667
triliun.
Dari
jumlah
tersebut,
sebesar
76,80%
di
antaranya
berupa
penerimaan
dari
sektor
perpajakan
serta
23,12%
dari
Penerimaan
Negara
Bukan
Pajak.
Sisanya,
penerimaan
negara
diperoleh
dari
hibah
yang
hanya
menyumbang
0,08%
dari
total
pendapatan.
Dapat
kita
lihat
bahwa
penerimaan
Pajak
masih
menjadi
tumpuan
utama
sumber
penerimaan
negara.
Dari
total
penerimaan
perpajakan
sebesar
Rp1.280
triliun,
95,79%
di
antaranya
berasal
dari
pendapatan
pajak
dalam
negeri.
Sisanya
sebesar
4,21%
merupakan
kontribusi
dari
bea
masuk
dan
bea
keluar
hasil
perdagangan
internasional.
Lebih
jauh
lagi,
komponen
pajak
yang
menyumbangkan
kontribusi
terbesar
terhadap
penerimaan
adalah
komponen
pendapatan
pajak
penghasilan.
Pendapatan
pajak
penghasilan
ini
meliputi
yang
berasal
dari
PPH
Migas
maupun
Non
Migas.
Jika
diperbandingkan
antar
pos,
maka
persentase
pendapatan
PPH
Non
Migas
merupakan
komponen
penerimaan
terbesar
bagi
APBN
dengan
jumlah
mencapai
Rp510
triliun.
Jumlah
ini
setara
dengan
41,6%
dari
pendapatan
pajak
dalam
negeri,
atau
setara
negeri
30%
penerimaan
negara
secara
total.
Untuk
mendukung
target
capaian
penerimaan
negara
dari
sektor
pajak
ini,
tentu
saja
pemerintah
perlu
menerapkan
kebijakan-kebijakan.
Kebijakan
yang
diterapkan
di
antaranya
adalah
penyempurnaan
peraturan
perpajakan,
penyempurnaan
sistem
administrasi
perpajakan
termasuk
di
dalamnya
penyempurnaan
penggunaan
e-filling
dan
e-inventory,
serta
kebijakan
ekstensifikasi
dan
intensifikasi
perpajakan
yang
didukung
dengan
pemberian
berbagai
kebijakan
insentif
pajak.
Dari
komponen
Penerimaan
Negara
Bukan
Pajak
(PNBP),
lebih
dari
setengahnya
disumbangkan
oleh
penerimaan
dari
sektor
Sumber
Daya
Alam.
Penerimaan
SDA
memberikan
kontribusi
sebesar
Rp.226
triliun
atau
setara
dengan
58,63%
dari
total
PNBP.
Sisanya
merupakan
penerimaan
PNBP
yang
berasal
dari
bagian
laba
BUMN
(10,38%),
pendapatan
BLU
(6,58%),
serta
PNBP
lainnya
(24,41%).
2
Penerimaan
PNBP
dari
sektor
SDA
sediri
terbagi
menjadi
dua
komponen
utama,
yaitu
penerimaan
SDA
Migas
dan
penerimaan
SDA
Non
Migas.
Dari
keduanya,
penerimaan
SDA
dari
sektor
migas
memberikan
kontribusi
mencapai
86,97%
dihitung
dari
total
penerimaan
SDA,
sementara
penerimaan
SDA
dari
sektor
non
migas
hanya
menyumbangkan
13,03%.
PENDAPATAN
miliar rupiah
%
Total
Pendapatan
%
Per
Jenis
Pendapatan
(Pajak/PNBP)
%
Per
komponen
(Signifikan)
1.665.780,7
99,92%
PENERIMAAN PERPAJAKAN
1.280.389,0
76,80%
1.226.474,2
73,57%
95,79%
100,00%
586.306,5
35,17%
45,79%
47,80%
100,00%
76.073,6
4,56%
5,94%
6,20%
510.232,8
30,61%
39,85%
41,60%
492.950,9
29,57%
38,50%
40,19%
25.441,9
1,53%
1,99%
2,07%
Pendaptan BPHTB
0,00%
0,00%
0,00%
Pendapatan Cukai
116.284,0
6,98%
9,08%
9,48%
5.491,0
0,33%
0,43%
0,45%
53.914,8
3,23%
4,21%
33.936,6
2,04%
2,65%
19.978,2
1,20%
1,56%
385.391,7
23,12%
100,00%
Penerimaan SDA
225.954,7
13,55%
58,63%
100,00%
196.508,3
11,79%
50,99%
86,97%
142.943,1
8,57%
37,09%
63,26%
53.565,2
3,21%
13,90%
23,71%
29.446,4
1,77%
7,64%
13,03%
23.599,7
1,42%
6,12%
10,44%
5.017,0
0,30%
1,30%
2,22%
579,7
0,03%
0,15%
0,26%
40.000,0
2,40%
10,38%
PNBP Lainnya
94.087,6
5,64%
24,41%
Pendapatan BLU
25.349,4
1,52%
6,58%
PENERIMAAN HIBAH
1.360,1
0,08%
1.667.140,8
100,00%
Pendapatan Lainnya
PENDAPATAN NEGARA
Dari
hasil
analisis
vertikal
tersebut,
dapat
kita
simpulkan
bahwa
anggaran
penerimaan
yang
disusun
oleh
pemerintah
memiliki
beberapa
catatan
yang
perlu
diperhatikan:
Anggaran
pendapatan
negara
sebagian
besar
berasal
dari
penerimaan
perpajakan,
terutama
dari
sektor
PPH
Non
Migas.
Untuk
merealisasikan
target
capaian
ini,
dibutuhkan
usaha
yang
cukup
besar.
Ini
dikarenakan
mayoritas
penilaian
dan
pelaporan
komponen
pajak
ini
menggunakan
basis
self
assessment.
Atas
dasar
itu,
pemerintah
perlu
menyiapkan
beberapa
kebijakan
dalam
rangka
mendukung
penyerapan
pendapatan
negara
yang
optimal
dari
sektor
ini.
3
Pendapatan
Negara
Bukan
Pajak
masih
didominasi
oleh
pendapatan
hasil
penjualan
Sumber
Daya
Alam
dari
sektor
migas.
Hal
ini
menjadi
riskan
karena
capaian
target
penerimaan
dari
sektor
migas
akan
banyak
dipengaruhi
oleh
faktor-faktor
eksternal
yang
berasal
dari
asumsi
ekonomi
makro.
Faktor-faktor
ini
di
antaranya
yaitu
harga
ICP,
nilai
tukar
rupiah
terhadap
dollar,
dan
lifting
minyak
bumi.
Keakuratan
proyeksi
asumsi
ekonomi
makro
akan
memberikan
dampak
yang
sangat
besar
dalam
realisasi
capaian
penerimaan
negara
dari
sektor
ini.
2. Anggaran
Belanja
Negara
Anggaran
belanja
negara
yang
direncanakan
oleh
pemerintah
dalam
APBN
adalah
Rp1.842,5
triliun.
Dari
jumlah
ini,
belanja
pemerintah
pusat
mencapai
Rp1.250
triliun
sementara
sisanya
sebesar
Rp592,5
triliun
digunakan
sebagai
transfer
ke
pemerintah
daerah.
Pada
pembahasan
anggaran
belanja
negara
ini,
kami
membagi
analisis
vertikal
kami
berdasarkan
klasifikasi
belanja
pemerintah
pusat:
menurut
jenisnya,
menurut
fungsinya,
dan
berdasarkan
Belanja
Kementerian/Lembaga.
a. Belanja
Menurut
Jenisnya
Berdasarkan
jenisnya,
anggaran
belanja
pemerintah
pusat
dapat
dibagi
menjadi
delapan
komponen
utama.
Komponen
ini
yaitu
belanja
pegawai,
belanja
barang,
belanja
modal,
belanja
pembayaran
bunga
utang,
belanja
subsidi,
belanja
hibah,
belanja
bantuan
sosial,
serta
belanja
lain-lain.
Grafik
Komposisi
Belanja
Berdasar
Jenis:
APBN
2014
400.000,0
350.000,0
300.000,0
250.000,0
200.000,0
150.000,0
100.000,0
50.000,0
-
Tabel
Komposisi
Belanja
Berdasarkan
Jenis:
APBN
2014
MENURUT
JENIS
BELANJA
miliar rupiah
%
Jumlah
Belanja
Belanja Pegawai
262.978,3
21,04%
Belanja Barang
188.858,2
15,11%
Belanja Modal
229.530,6
18,36%
121.285,5
9,70%
109.101,6
8,73%
12.183,9
0,97%
333.682,6
26,70%
282.100,3
22,57%
Non Energi
51.582,3
4,13%
Belanja Hibah
3.542,7
0,28%
Bantuan Sosial
73.161,2
5,85%
Belanja Lain-lain
36.904,0
2,95%
1.249.943,0
100,00%
JUMLAH
Dari
data
yang
disajikan
dalam
APBN
2014,
dapat
terlihat
bahwa
komponen
belanja
yang
terbesar
adalah
belanja
subsidi,
diikuti
oleh
belanja
pegawai.
Belanja
subsidi
yang
dianggarkan
pemerintah
sebesar
Rp333,7
triliun
rupiah
setara
dengan
26,7%
dari
keseluruhan
anggaran
belanja
pemerintah
pusat.
Dari
jumlah
ini,
besaran
subsidi
untuk
sektor
energi
mengambil
porsi
terbesar
(Rp282,1
triliun)
dibandingkan
dengan
subsidi
untuk
sektor
non
energi
(Rp51,6
triliun).
Adapun
belanja
untuk
subsidi
energi
meliputi
subsidi
Bahan
Bakar:
BBM,
BBN,
LPG
tabung
3
kg,
dan
LGV
yang
mencapai
Rp210,7
triliun
serta
subsidi
listrik
sebesar
Rp71,4
triliun.
Sedangkan
belanja
subsidi
untuk
non
energi
meliputi:
(1)
subsidi
pangan
sebesar
Rp18,8
triliun;
(2)
subsidi
pupuk
sebesar
Rp21,0
triliun;
(3)
subsidi
benih
sebesar
Rp1,6
triliun;
(4)
subsidi
PSO
sebesar
Rp2,2
triliun;
(5)
subsidi
bunga
kredit
program
sebesar
Rp3,2
triliun;
dan
(6)
subsidi
pajak
sebesar
Rp4,7
triliun.
Dari
analisis
di
atas,
secara
umum
dapat
terlihat
bahwa
besaran
belanja
pemerintah
pusat
masih
terbebani
komponen
subsidi
bahan
bakar.
Hal
ini
disebabkan
kebijakan
pemerintah
untuk
menyediakan
bahan
bakar
yang
terjangkau
tidak
diimbangi
oleh
membaiknya
parameter
eksternal
yang
mempengaruhi
besaran
harga
bahan
bakar.
Melemahnya
rupiah
terhadap
dollar,
menurunnya
harga
ICP,
serta
proyeksi
meningkatnya
konsumsi
bahan
bakar
oleh
masyarakat
menyebabkan
kebijakan
penyediaan
BBM
terjangkau
akan
semakin
membebani
APBN.
Kenyataan
ini
menjadi
ironis
mengingat
sebagian
besar
subsidi
bahan
bakar
sebenarnya
justru
dinikmati
oleh
golongan
orang-orang
mampu.
b. Belanja
Menurut
Fungsinya
Belanja
diklasifikasikan
menjadi
11
fungsi
yang
menggambarkan
tugas
pemerintah
dalam
mencapai
tujuan
pembangunan
nasional.
Komposisi
fungsi-fungsi
tersebut
dijabarkan
dalam
tabel
dan
grafik
berikut.
Tabel
Komposisi
Belanja
Berdasarkan
Fungsi:
APBN
2014
MENURUT FUNGSI
miliar rupiah
Pelayanan Umum
%
Jumlah
Belanja
794.772,4
63,58%
Pertahanan
86.306,8
6,90%
37.952,6
3,04%
Ekonomi
128.274,3
10,26%
Lingkungan Hidup
12.178,9
0,97%
31.487,2
2,52%
Kesehatan
13.077,7
1,05%
2.052,8
0,16%
Agama
4.463,5
0,36%
131.313,6
10,51%
8.063,1
0,65%
1.249.943,0
100,00%
Pendidikan
Perlindungan
Sosial
JUMLAH
Grafik
Komposisi
Belanja
Berdasarkan
Fungsi:
APBN
2014
Pariwisata
dan
Perlindungan
Agama
Kesehatan
Budaya
Sosial
0%
1%
0%
1%
Perumahan
dan
Fasilitas
Umum
Pendidikan
3%
10%
Lingkungan
Hidup
1%
Ekonomi
10%
Ketertiban
dan
Keamanan
3%
Pelayanan
Umum
64%
Pertahanan
7%
Anggaran
belanja
dalam
APBN
2014
menunjukkan
bahwa
fungsi
pelayanan
umum
merupakan
fungsi
yang
mendapat
alokasi
tertinggi
anggaran
belanja
pemerintah
pusat,
diikuti
kemudian
oleh
fungsi
pendidikan
dan
ekonomi.
Fungsi
pelayanan
umum
mendapat
anggaran
sebesar
Rp794,8
triliun
atau
setara
dengan
64%
dari
total
jumlah
belanja
pemerintah
pusat.
Jumlah
tersebut
dialokasikan
lagi
dalam
subfungsi-subfungsi
yang
lebih
rinci:
(1)
subfungsi
lembaga
eksekutif
dan
legislatif,
keuangan
dan
fiskal,
serta
urusan
luar
negeri
sebesar
Rp157,7triliun
(19,8%
terhadap
fungsi
pelayanan
umum);
(2)
subfungsi
pelayanan
umum
sebesar
Rp10,5
triliun
(1,3%
terhadap
fungsi
pelayanan
umum);
(3)
subfungsi
penelitian
dasar
dan
pengembangan
Iptek
sebesar
Rp2,6
triliun
(0,3%
terhadap
6
fungsi
pelayanan
umum);
(4)
subfungsi
pinjaman
pemerintah
sebesar
Rp121,3
triliun
(15,3%
terhadap
fungsi
pelayanan
umum);
(5)
subfungsi
pembangunan
daerah
sebesar
Rp3,4
triliun
(0,4%
terhadap
fungsi
pelayanan
umum);
(6)
subfungsi
Litbang
pelayanan
umum
sebesar
Rp389,5
miliar
(0,1%
terhadap
fungsi
pelayanan
umum);
dan
(7)
subfungsi
pelayanan
umum
lainnya
sebesar
Rp498,8
triliun
(62,8%
terhadap
fungsi
pelayanan
umum).
Subfungsi
yang
terakhir,
pelayanan
umum
lainnya,
menerima
alokasi
yang
paling
besar
dikarenakan
pembayaran
subsidi
dan
transfer
lainnya
termasuk
di
dalam
klasifikasi
ini.
Dari
hasil
analisis
dapat
disimpulkan
bahwa
besarnya
proporsi
fungsi
pelayanan
umum
sesungguhnya
disebabkan
oleh
besarnya
anggaran
belanja
yang
disediakan
pemerintah
untuk
penyaluran
subsidi.
Hal
ini
mengisyaratkan
bahwa
arah
prioritas
kebijakan
yang
diterapkan
pemerintah
pada
2014
adalah
menggiatkan
kemampuan
ekonomi
masyarakat.
Terlebih
mengingat
pemerintah
telah
menetapkan
tema
pembangunan
RKP
tahun
2014
yaitu
Memantapkan
Perekonomian
Nasional
bagi
Peningkatan
Kesejahteraan
Rakyat
yang
Lebih
Berkeadilan.
Inilah
yang
menyebabkan
adanya
gap
anggaran
yang
besar
dengan
fungsi-fungsi
yang
lain.
c. Belanja
Kementerian/Lembaga
Dalam
APBN
2014,
dari
Rp1.250
triliun
anggaran
belanja
pemerintah
pusat,
sebesar
Rp637,8
triliun
di
antaranya
dialokasikan
untuk
belanja
Kementerian/Lembaga.
Dari
sebanyak
87
Kementerian/Lembaga
yang
ada,
kami
mencoba
membuat
daftar
Kementerian/Lembaga
mana
saja
yang
memperoleh
alokasi
anggaran
belanja
terbesar.
Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
dari
anggaran
belanja
untuk
seluruh
Kementerian/Lembaga,
sebesar
80
persennya
dialokasikan
hanya
kepada
12
Kementerian/Lembaga
prioritas
saja.
Sisanya
sebesar
20%
terbagi
untuk
75
Kementerian/Lembaga
lainnya.
MENURUT
KEMENTERIAN/
LEMBAGA
(diambil
12
besar)
miliar rupiah
%
Alokasi
K/L
Total
Kementerian Pertahanan
86.376,7
13,54%
84.148,1
13,19%
80.661,0
12,65%
Kementerian Agama
49.402,2
7,75%
Kementerian Kesehatan
46.459,0
7,28%
44.975,6
7,05%
Kementerian Perhubungan
40.370,5
6,33%
Kementerian Keuangan
18.711,7
2,93%
Kementerian ESDM
16.263,2
2,55%
Kementerian Pertanian
15.470,6
2,43%
15.410,4
2,42%
14.903,1
2,34%
Total 12 Kementerian/Lembaga
513.152,1
80,45%
637.841,0
100,00%
faktor
yang
menyebabkan
perubahan
tersebut
terjadi.
Selain
itu
juga,
dapat
terlihat
kecenderungan
dari
suatu
pos
apakah
cenderung
meningkat
atau
menurun.
Adapun,
analisis
horizontal
yang
dilakukan
pada
pos-pos
APBN
dari
tahun
2011
sampai
dengan
tahun
2014
adalah
sebagai
berikut:
1. Penerimaan
Perpajakan
Penerimaan
perpajakan
masih
menjadi
primadona
bagi
pendapatan
negara.
Lebih
dari
72%
penerimaan
negara
berasal
dari
sektor
perpajakan.
Pada
tahun
2011
pendapatan
dari
sektor
perpajakan
adalah
sebesar
72%
dari
total
pendapatan
negara,
tahun
2012
naik
menjadi
sebesar
75%
dari
total
pendapatan
negara,
tahun
2013
sebesar
78%
dari
total
pendapatan
negara,
dan
tahun
2014
menjadi
87%
dari
total
pendapatan
negara.
Pertumbuhan
Penerimaan
Perpajakan
(triliun
rupiah)
1400
1200
Pajak Lainnya
1000
PBB
800
600
PPN
400
Penerimaan Pajak
Cukai
PPH
200
0
2011
2012
2013
2014
Sebagian
besar
penerimaan
dari
sektor
perpajakan
mengalami
tren
pertumbuhan
positif
dalam
rentang
tahun
2011
sampai
dengan
2014.
Jumlah
penerimaan
pajak
pada
tahun
2011
adalah
873,9
triliun
dan
jumlah
ini
terus
meningkat
dengan
rata-rata
pertumbuhan
sebesar
14%.
Pada
tahun
2014
penerimaan
perpajakan
diharapkan
dapat
mencapai
1.310,2
triliun.
Penerimaan
perpajakan
terbesar
dihasilkan
dari
Pajak
Penghasilan
dan
Pajak
Pertambahan
Nilai.
Pertumbuhan
kedua
jenis
pajak
tersebut
akan
memberikan
pengaruh
yang
sangat
signifikan
terhadap
total
penerimaan
pajak.
Persentase
Pajak
Penghasilan
terhadap
total
penerimaan
perpajakan
rata-rata
sebesar
47%
dari
total
penerimaan
perpajakan.
Sementara
itu,
kontribusi
Pajak
Pertambahan
Nilai
rata-rata
sebesar
36%
terhadap
total
penerimaan
perpajakan.
Pada
umumnya
jumlah
penerimaan
perpajakan
tiap
tahun
sangat
dipengaruhi
oleh
kondisi
perekonomian
makro
pada
tahun
tersebut.
Jika
pertumbuhan
ekonomi
positif
maka
biasanya
penerimaan
pajak
akan
ikut
naik.
Selain
itu,
faktor
kebijakan
di
bidang
perpajakan,
seperti
penetapan
tarif,
Sensus
Pajak
Nasional,
dan
Sunset
Policy,
juga
turut
mempengaruhi
peningkatan
penerimaan
perpajakan.
2. Penerimaan
Negara
Bukan
Pajak
Penerimaan
Negara
Bukan
Pajak
meliputi
penerimaan
sumber
daya
alam,
bagian
laba
BUMN,
PNBP
lainnya,
dan
Pendapatan
BLU.
Penerimaan
sumber
daya
alam
terdiri
dari
penerimaan
migas
dan
non
migas.
Penerimaan
migas
disumbang
oleh
penerimaan
minyak
bumi
dan
gas
alam.
Penerimaan
migas
mengalami
tren
yang
naik
turun,
tetapi
relatif
stabil
dengan
9
penerimaan
migas
terbesar
dialami
oleh
tahun
2012
sebesar
205,8
triliun
dan
terus
menurun
hingga
171,3
triliun
pada
tahun
2014.
Hal
ini
disebabkan
oleh
sulitnya
menaikkan
jumlah
produksi
migas
pertahun.
Penerimaan
non
migas
meliputi
penerimaan
pertambangan
umum,
kehutanan,
perikanan,
dan
pertambahan
panas
bumi.
Penerimaan
non
migas
memberikan
kontribusi
terkecil
terhadap
total
pendapatan
negara.
Namun
demikian,
tren
penerimaan
non
migas
relatif
meningkat
rata-rata
15%
pertahun.
Penerimaan
Negara
Bukan
Pajak
(triliun
rupiah)
250
Penerimaan SDA
200
150
PNBP Lainnya
100
Pendapatan BLU
50
0
2011
2012
2013
2014
Bagian
laba
BUMN
memiliki
tren
yang
meningkat.
Pada
tahun
2011
jumlah
bagian
laba
BUMN
adalah
sebesar
28,2
triliun.
Kemudian
menjadi
30,8
triliun
pada
tahun
2012,
36,5
triliun
pada
tahun
2013,
dan
akhirnya
menjadi
37
triliun
pada
tahun
2014.
Peningkatan
bagian
laba
BUMN
dipengaruhi
oleh
kinerja
BUMN
yang
semakin
baik.
PNBP
lainnya
berasal
dari
jasa
pelayanan
yang
diberikan
oleh
kementerian
negara/lembaga
(K/L)
sesuai
dengan
tugas
pokok
dan
fungsi
dari
masing-masing
K/L.
Secara
garis
besar,
PNBP
lainnya
terbagi
dalam
beberapa
jenis
pendapatan,
yaitu
pendapatan
dari
pengelolaan
barang
milik
negara
(BMN)
serta
pendapatan
dari
penjualan,
pendapatan
jasa,
pendapatan
bunga,
pendapatan
kejaksaan
dan
peradilan,
pendapatan
pendidikan,
pendapatan
gratifikasi
dan
uang
sitaan
hasil
korupsi,
pendapatan
iuran
dan
denda,
dan
pendapatan
lain-lain.
Penerimaan
Negara
dari
PNBP
lainnya
rata-rata
meningkat
sebesar
9%
pertahun.
Pendapatan
BLU
walaupun
bernilai
kecil,
tetapi
mengalami
tren
yang
terus
meningkat.
Rata-
rata
peningkatan
pendapatan
BLU
sebesar
7%
pertahun.
Peningkatan
ini
dipengaruhi
oleh
semakin
banyaknya
unit
pelayanan
pemerintah
yang
menjadi
BLU
dan
semakin
baiknya
kinerja
unit
pelayanan
tersebut
ketika
menjadi
BLU.
3. Hibah
Hibah
merupakan
penerimaan
yang
diperoleh
pemerintah
dari
pemberi
hibah
tanpa
perlu
dibayar
kembali.
Sifatnya
tidak
tentu
dari
tahun
ke
tahun
karena
sifatnya
yang
insidental
dan
bergantung
pada
pemberi
hibah,
kecuali
untuk
hibah
yang
sudah
dijanjikan
dan
menunggu
realisasi.
10
3
2
1
0
2011
2012
2013
2014
Pada
tahun
2011
pemerintah
menerima
hibah
5,3
triliun,
kemudian
berturut
pada
tahun
2012,
2013,
dan
2014
pemerintah
menerima
hibah
sebesar
5,8
triliun,
4,5
triliun,
dan
1,4
triliun.
Namun
demikian,
karena
sifatnya
yang
tidak
pasti
serta
nilainya
yang
relatif
kecil,
pemerintah
tidak
mengandalkan
hibah
sebagai
sumber
penerimaan
utama.
4. Belanja
Pegawai
Belanja
pegawai
merupakan
belanja
yang
memiliki
jumlah
kedua
paling
besar
dari
semua
jenis
belanja
setelah
subsidi.
Peningkatan
belanja
ini
memiliki
rata-rata
peningkatan
sebesar
16,4%
pertahun.
Pertumbuhan
Belanja
Pegawai
(triliun
rupiah)
300
250
200
Belanja Pegawai
150
100
50
0
2011
2012
2013
2014
Pada
tahun
2011
besaran
belanja
ini
sejumlah
175,7
triliun
dan
terus
meningkat
hingga
sebesar
276,7
triliun
pada
tahun
2014.
Peningkatan
belanja
pegawai
dipengaruhi
oleh
kebijakan
pemerintah
untuk
memperbaiki
taraf
hidup
PNS.
5. Belanja
Barang
Belanja
Barang
adalah
pengeluaran
untuk
pembelian
barang
atau
jasa
yang
habis
pakai
untuk
memproduksi
barang
atau
jasa
yang
dimaksudkan
untuk
dijual
atau
diserahkan
kepada
masyarakat.
Belanja
ini
mengalami
kenaikan
yang
cukup
signifikan
pada
tahun
2013
yaitu
sebesar
47%.
Akan
tetapi,
pada
tahun
2014
mengalami
penurunan
sebesar
1%
dari
tahun
2013.
Pada
tahun
2011
belanja
ini
memiliki
besaran
124,6
triliun
kemudian
naik
menjadi
140,9
triliun
pada
tahun
2012,
menjadi
206,5
triliun
pada
tahun
2013,
dan
akhirnya
turun
menjadi
203,7
triliun
pada
tahun
2014.
Peningkatan
belanja
ini
sejalan
dengan
upaya
pemerintah
untuk
meningkatkan
pelayanan
kepada
masyarakat,
seperti
perbaikan
mutu
sarana
dan
prasarana.
11
Belanja Barang
150
100
50
0
2011
2012
2013
2014
6. Belanja Modal
Belanja
modal
adalah
belanja
dalam
rangka
memperoleh
aset
tetap/inventaris
yang
memiliki
masa
manfaat
lebih
dari
satu
tahun.
Belanja
modal
memiliki
tren
positif
dengan
rata-rata
pertumbuhan
21%
pertahun.
Peningkatan
Belanja
modal
difokuskan
untuk
pembangunan
infrastruktur
untuk
mendukung
pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan
Belanja
Modal
(triliun
rupiah)
250
200
Belanja Modal
150
100
50
0
2011
2012
2013
2014
Pembayaran
bunga
utang
muncul
sebagai
konsekuensi
atas
utang
yang
dimiliki
pemerintah.
Pembayaran
bunga
utang
meliputi
dua
jenis
utang,
yaitu
utang
dalam
negeri
dan
utang
luar
negeri.
Pembayaran
bunga
utang
memiliki
tren
yang
relatif
stabil.
12
120
100
80
Bunga
Utang
Dalam
Negeri
60
Pembayaran
Bunga
Utang
40
20
0
2011
2012
2013
2014
Pembayaran
utang
dalam
negeri
cenderung
meningkat,
sementara
pembayaran
utang
luar
negeri
cenderung
menurun.Hal
ini
disebabkan
oleh
dua
hal,
yaitu
bunga
utang
dalam
negeri
lebih
besar
dibandingkan
dengan
bunga
utang
luar
negeri
dan
kebijakan
pemerintah
yang
mulai
menggeser
porsi
utang
luar
negeri
dengan
utang
dalam
negeri.
8. Subsidi
Subsidi
terdiri
atas
dua,
yaitu
subsidi
energi
dan
subsidi
non
energi.
Subsidi
mengalami
tren
yang
cenderung
meningkat
dari
tahun
2011
ke
tahun
2014,
dengan
sedikit
penurunan
di
tahun
2013.
Tren
pergerakan
nilai
subsidi
sangat
dipengaruhi
subsidi
energi
ketimbang
subsidi
non
energi.
Hal
ini
karena
subsidi
energi
yang
sifatnya
lebih
variabel
dibandingkan
dengan
subsidi
non
energi.
Naik
turunnya
subsidi
sangat
dipengaruhi
oleh
perubahan
asumsi
ekonomi
makro,
seperti
harga
minyak
mentah
Indonesia,
dan
berbagai
kebijakan
pemerintah,
seperti
kebijakan
penyesuaian
harga
jual
eceran
BBM
dalam
negeri
dan
tarif
tenaga
listrik.
Mengingat
tren
perkembangan
subsidi
energi
yang
cenderung
naik
karena
faktor
yang
berada
diluar
kendali
pemerintah
maka
dirasa
perlu
agar
pemerintah
dapat
menggeser
besaran
nilai
subsidi
energi
untuk
dialokasikan
ke
subsidi
non
energi.
Dengan
melakukan
kebijakan
untuk
menggeser
besaran
subsidi
tersebut
maka
pemerintah
lebih
dapat
mengendalikan
besaran
subsidi
karena
sifat
subsidi
non
energi
yang
lebih
dapat
dikontrol
melalui
kebijakan.
Selain
itu,
pemerintah
harus
menjaga
besaran
subsidi
agar
tidak
membebani
APBN.
13
400
300
Non
Energi
200
100
0
9. Belanja
Hibah
2011
2012
2013
2014
Belanja
hibah
merupakan
pengeluaran
yang
sifatnya
bertujuan
untuk
membantu
pemerintah
daerah.
Pertumbuhan
belanja
hibah
sangat
signifikan
pada
tahun
2013,
yaitu
dari
0,1
triliun
menjadi
2,3
triliun.
Kemudian
meningkat
lagi
menjadi
3,5
triliun
pada
tahun
2014.
Terkait
dengan
peningkatan
belanja
ini
yang
signifikan,
pemerintah
perlu
lebih
meningkatkan
pengawasan
terhadap
kegiatan
penggunaan
alokasi
belanja
ini
oleh
pemerintah
daerah.
Pertumbuhan
Belanja
Hibah
(triliun
rupiah)
3,5
3
2,5
Belanja
Hibah
2
1,5
1
0,5
0
2011
2012
2013
2014
Belanja
ini
dilakukan
untuk
melindungi
masyarakat
dari
risiko
sosial
dan
meningkatkan
kemampuan
ekonomi
serta
kesejahteraan
masyarakat.
Belanja
untuk
bantuan
sosial
meliputi
penanggulangan
bencana
dan
bantuan
yang
diberikan
oleh
K/L.
Belanja
untuk
penanggulangan
bencana
memiliki
tren
yang
relatif
stabil,
tetapi
cenderung
menurun.
Penurunan
pada
bantuan
yang
diberikan
oleh
K/L
disebabkan
oleh
perubahan
kaidah
pencatatan
yang
semula
dicatat
di
akun
bantuan
sosial
menjadi
dicatat
di
akun
belanja
barang.
14
100
80
Penanggulangan
Bencana
60
Bantuan
yang
diberikan
oleh
K/L
40
Bantuan Sosial
20
0
2011
2012
2013
2014
Belanja
lain-lain
besarnya
variatif
dari
tahun
ke
tahun.
Akan
tetapi,
pada
tahun
2013
terjadi
peningkatan
yang
cukup
signifikan,
yaitu
dari
4,1
triliun
menjadi
19,3
triliun.
Kemudian
meningkat
lagi
di
tahun
2014
menjadi
28,9
triliun.
Karena
sifat
belanja
ini
yang
sulit
untuk
didefinisikan,
pemerintah
perlu
melakukan
pengawasan
lebih
agar
tidak
terjadi
penyalahgunaan.
Belanja Lain-lain
15
10
5
0
2011
2012
2013
2014
C. ANALISIS
PERTUMBUHAN
Analisis
pertumbuhan
anggaran
ini
diukur
dengan
menggunakan
rasio
pertumbuhan
yang
berguna
untuk
mengukur
seberapa
besar
tingkat
pertumbuhan
anggaran
pemerintah
dalam
mempertahankan
dan
meningkatkan
keberhasilan
yang
telah
dicapainya
dari
periode
satu
ke
periode
berikutnya.
Analisis
petumbuhan
anggaran
ini
dipisahkan
menjadi
dua
rasio
yaitu
pertumbuhan
anggaran
pendapatan
dan
pertumbuhan
anggaran
belanja,
yang
sebelumnya
diberikan
gambaran
mengenai
pertumbuhan
anggaran
pendapatan
dan
belanja
secara
keseluruhan
untuk
tiga
tahun
terakhir
yaitu
dari
tahun
2012
sampai
dengan
tahun
2014.
Dalam
paper
ini,
kami
menganalisis
pertumbuhan
anggaran
belanja
yang
dijabarkan
ke
belanja
berdasarkan
jenis
dan
fungsi.
Rasio
pertumbuhan
anggaran
dihitung
dengan
rumus
berikut
15
X 100%
Dimana
Xn
=
Anggaran
tahun
ini
Xn-1
=
Anggaran
tahun
sebelumnya
Dengan
rumus
tersebut
didapat
rasio
sebagai
berikut:
1. Rasio
pertumbuhan
anggaran
secara
global
URAIAN
PENDAPATAN
NEGARA
BELANJA
NEGARA
2011
1,104.9
1,229.6
2012
1,311.4
1,435.4
2013
1,529.7
1,683.0
2014
1,667.1
1,842.5
18.7%
16.7%
16.6%
17.2%
9.0%
9.5%
5,3%
4.9%
5.5%
PERTUMBUHAN
PENDAPATAN
PERTUMBUHAN
BELANJA
INFLASI
(ASUMSI
MAKRO)
2. Rasio
pertumbuhan
anggaran
pendapatan
Uraian
2011
2012
2013
2014
APBN
APBN
APBN
APBN
Tingkat
Pertumbuhan
2012
2013
2014
1. Penerimaan Perpajakan
839.5
1,032.6
1,192.9
1,310.20
0.23
0.16
0.10
816.4
989.6
1,134.2
1,256.30
0.21
0.15
0.11
i. Pajak Penghasilan
414.5
520.0
584.9
591.60
0.25
0.12
0.01
1.
PPh
Migas
2.
PPh
Nonmigas
ii.
Pajak
Pertambahan
Nilai
54.2
360.3
309.3
60.9
459.0
352.9
71.4
513.5
423.7
68.40
523.30
518.90
0.12
0.27
0.14
0.17
0.12
0.20
(0.04)
0.02
0.22
27.7
-
60.7
35.6
-
75.4
27.3
-
92.0
25.50
-
114.30
0.29
-
0.24
(0.23)
-
0.22
(0.07)
-
0.24
4.2
5.6
6.3
6.00
0.33
0.13
(0.05)
23.1
42.9
58.7
53.90
0.86
0.37
(0.08)
18.0
23.7
27.0
33.90
0.32
0.14
0.26
5.1
19.1
31.7
20.00
2.72
0.66
(0.37)
243.1
278.0
332.2
350.90
0.14
0.19
0.06
a. Penerimaan SDA
158.2
177.2
197.2
198.10
0.12
0.11
0.00
i. Migas
145.3
159.5
174.8
171.30
0.10
0.10
(0.02)
1. Minyak bumi
104.7
113.7
120.9
127.20
0.09
0.06
0.05
2. Gas alam
40.5
46.0
53.9
44.10
0.14
0.17
(0.18)
12.9
17.8
22.3
26.70
0.38
0.25
0.20
1. Pertambangan umum
9.9
14.4
17.6
21.30
0.45
0.22
0.21
2. Kehutanan
2.5
3.0
4.2
4.70
0.18
0.38
0.13
3. Perikanan
0.1
0.1
0.2
0.30
1.00
0.50
0.4
0.2
0.4
0.50
(0.50)
1.00
0.25
26.6
28.0
33.5
37.00
0.05
0.20
0.10
16
c. PNBP Lainnya
43.4
53.5
78.0
91.10
0.23
0.46
0.17
d. Pendapatan BLU
14.9
19.2
23.4
24.80
0.29
0.22
0.06
0.8
4.5
1.40
4.60
(0.69)
3. Hibah
3. Rasio
Pertumbuhan
Belanja
Pemerintah
a. Menurut
Jenis
Belanja
1.
Belanja
Pegawai
2.
Belanja
Barang
3.
Belanja
Modal
4.
Pembayaran
Bunga
Utang
a.
Utang
Dalam
Negeri
b.
Utang
Luar
Negeri
5.
Subsidi
a.
Energi
b.
Non
Energi
6.
Belanja
Hibah
7.
Bantuan
Sosial
a.
Dana
Penanggulangan
Bencana
Alam
b.
Bantuan
Melalui
K/L
8.
Belanja
Lain-Lain
Tingkat
Pertumbuhan
2012
2013
2014
0.20
0.12
0.09
0.43
0.07
(0.06)
0.25
0.21
0.24
0.05
(0.07)
0.07
0.10
(0.09)
0.35
(0.06)
(0.03)
(0.63)
0.13
0.52
0.05
0.26
0.63
0.03
(0.21)
0.05
0.21
1.33
1.02
(0.03)
(0.22)
0.54
(0.24)
2011
2012
2013
2014
180.6
131.5
121.7
116.4
80.3
36.0
184.8
133.8
51.0
0.8
61.5
215.9
188.0
151.9
122.2
88.5
33.7
208.9
168.6
40.3
1.8
47.8
241.6
200.7
184.4
113.2
80.7
32.5
317.2
274.7
42.5
3.6
73.6
263.0
188.9
229.5
121.3
109.1
12.2
333.7
282.1
51.6
3.5
55.9
4.0
4.0
4.0
3.0
(0.25)
57.5
26.3
43.8
28.5
69.6
20.0
52.9
36.9
(0.24)
0.09
0.59
(0.30)
(0.24)
0.85
2011
2012
2013
2014
APBN
APBN
APBN
APBN
b. Menurut
fungsi
Fungsi
Pelayanan
umum
Pertahanan
Tingkat
Pertumbuhan
2012
2013
2014
525.4
45.2
590.8
72.5
720.1
81.8
794.8
86.3
0.12
0.60
0.22
0.13
0.10
0.06
Ketertiban keamanan
19.7
30.2
36.5
38.0
0.53
0.21
0.04
Ekonomi
Lingkungan
hidup
Perumahan
dan
fasilitas
umum
Kesehatan
95.6
11.1
102.7
11.5
122.9
12.4
128.3
12.2
0.07
0.03
0.20
0.08
0.04
(0.02)
23.4
26.5
30.7
31.5
0.13
0.16
0.03
12.8
15.6
17.5
13.1
0.21
0.12
(0.25)
2.3
2.5
2.5
2.1
0.08
0.02
(0.16)
1.6
82.0
3.6
103.7
4.1
118.5
4.5
131.3
1.17
0.26
0.15
0.14
0.10
0.11
4.4
5.6
7.4
8.1
0.26
0.33
0.09
Pariwisata
budaya
Agama
Pendidikan
Perlindungan
Sosial
Berdasarkan
tabel-tabel
di
atas
dapat
disimpulkan
sebagai
berikut:
1) Walaupun
secara
nominal
anggaran
pendapatan
terus
mengalami
peningkatan
dari
tahun
ke
tahun,
namun
tingkat
peningkatannya
justru
mengalami
penurunan.
Anggaran
untuk
belanja
juga
secara
nominal
mengalami
peningkatan
dari
tahun
ke
tahun,
namun
peningkatannya
mengalami
penurunan
dari
tahun
2013
ke
tahun
2014.
Tingkat
pertumbuhan
anggaran
pendapatan
tertinggi
terjadi
pada
tahun
2012
dan
terendah
pada
tahun
2014,
sedangkan
17
tingkat
pertumbuhan
anggaran
belanja
tertinggi
terjadi
pada
tahun
2013
dan
terendah
pada
tahun
2014.
2) Anggaran
pendapatan
secara
keseluruhan
mengalami
pertumbuhan
dari
tahun
ke
tahun,
namun
pada
tahun
2012
terdapat
penurunan
pada
komponen
penyumbang
penerimaan
negara
dari
PNBP
yaitu
Pertambangan
Panas
Bumi
sebesar
50%,
walaupun
jumlah
ini
tidak
secara
signifikan
memberikan
pengaruh
terhadap
proyeksi
pendapatan
secara
keseluruhan.
Pada
tahun
2013
juga
walaupun
secara
keseluruhan
terjadi
peningkatan
anggaran
pendapatan,
namun
terdapat
satu
komponen
yang
dianggarkan
mengalami
penurunan
yaitu
panerimaan
pajak
lewat
PBB
sebesar
23%.
Pada
tahun
anggaran
2014
terdapat
beberapa
komponen
yang
dianggarkan
mengalami
penurunan
di
masing-masing
penerimaan
baik
pajak
maupun
bukan
pajak
dan
juga
hibah.
3) Anggaran
belanja
pemerintah
pusat
secara
nominal
memang
mengalami
pertumbuhan,
namun
di
beberapa
pos
pengeluaran
di
tahun
2012
terjadi
penurunan,
antara
lain
pembayaran
bunga
utang
luar
negeri,
subsidi
non
energy
dan
bantuan
sosial
melalu
Kementrian/Lembaga.
Hal
serupa
juga
terjadi
di
tahun
2013
yaitu
untuk
pos
belanja
pembayaran
bunga
utang
baik
dalam
neberi
maupun
luar
negeri
dan
untuk
pos
pengeluaran
belanja
lain-lain.
Pada
tahun
2014
terjadi
perunan
pertumbuhan
untuk
anggaran
belanja
barang,
pembayaran
bunga
utang
luar
negeri,
belanja
hibah
dan
bantuan
sosial.
4) Anggaran
belanja
pemerintah
pusat
jika
dilihat
dari
fungsinya
mengalami
peningkatan
untuk
setiap
komponennya
dari
di
tahun
2012
dan
2103,
kecuali
pada
tahun
2014
terdapat
penurunan
pertumbuhan
untuk
belanja
lingkungan
hidup,
kesehatan,
dan
pariwisata
budaya.
D. ANALISIS
KEMAMPUAN
ANGGARAN
Kemampuan
anggaran
suatu
pemerintah
dapat
dilihat
dari
ketersediaan
sumber
keuangan
pemerintah
yang
dapat
digunakan
untuk
mendanai
aktivitas
belanja
pemerintah
selama
periode
tertentu.
Sumber
keuangan
pemerintah
terdiri
dari
pendapatan
negara
dan
pembiayaan,
jika
dilihat
dari
struktur
APBN
Tahun
2014
(Tabel
Ringkasan
APBN
Tahun
2008-2014),
pendapatan
dianggarkan
sebesar
Rp
1.667.140,8
Milyar,
sedangkan
pembiayaan
sebesar
Rp
175.354,5
M.
Dari
sumber
keuangan
tersebut
diharapkan
dapat
membiayai
belanja
pemerintah
sebesar
Rp
1.842.495,3
Milyar.
APBN
dikatakan
berkesinambungan
apabila
ia
memiliki
kemampuan
untuk
membiayai
seluruh
belanjanya
selama
jangka
waktu
yang
tidak
terbatas
(Langenus,
2006;
Yeyati
dan
Sturzenegger,
2007).
Selanjutnya,
upaya
menjaga
kesinambungan
fiskal
dilakukan
melalui
3
(tiga)
langkah
utama,
yaitu
(1)
pengendalian
defisit
dalam
batas
aman;
(2)
mengendalikan
keseimbangan
primer
melalui
optimalisasi
penerimaan
negara
dan
perbaikan
struktur
belanja
negara
agar
lebih
efisien
dan
produktif;
serta
(3)
peningkatan
efisiensi
dan
efektivitas
pengelolaan
utang.
Ringkasan
APBN
Tahun
2008-2014
(Miliar
Rupiah)
18
anggaran
dalam
APBN
2014
ditetapkan
sebesar
1,69
persen
terhadap
PDB.
Besaran
defisit
anggaran
ini
sesuai
dengan
amanat
Peraturan
Pemerintah
Nomor
23
Tahun
2003
tentang
Pengendalian
Jumlah
Kumulatif
Defisit
APBN
dan
APBD,
Serta
Jumlah
Kumulatif
Pinjaman
Pemerintah
Pusat
dan
Pemerintah
Daerah,
dimana
jumlah
kumulatif
defisit
APBN
dan
APBD
dibatasi
tidak
melebihi
3%
(tiga
persen)
dari
PDB
tahun
bersangkutan.
Target
defisit
anggaran
tahun
2014
menurun
jika
dibandingkan
target
defisit
APBNP
2013
yang
mencapai
2,38
persen
terhadap
PDB.
Penurunan
defisit
anggaran
ini
dilakukan
dalam
rangka
pengetatan
fiskal
sebagai
upaya
untuk
memberikan
ruang
gerak
yang
cukup
dalam
mempertahankan
stabilitas
dan
fundamental
perekonomian
nasional.
2. Utang
Luar
Negeri
Hal
ini
dianggap
sebagai
ukuran
baik
karena
ketahanan
negara
dengan
tingkat
tinggi
utang
eksternal
mungkin
merasa
lebih
sulit
untuk
memobilisasi
sumber
daya
untuk
mengatasi
dampak
guncangan
eksternal.
Variabel
ini
juga
"menunjukkan
ketahanan
yang
bersifat
menangkal"
(Briguglio
et
al.
2008).
Rasio
utang
pemerintah
pada
tahun
2014
diperkirakan
sebesar
23%,
menurun
dari
rasio
utang
terhadap
PDB
dalam
APBNP
2013
yang
diperkirakan
mencapai
23,4%
terhadap
PDB.
Besaran
rasio
utang
ini
sesuai
dengan
amanat
Peraturan
Pemerintah
Nomor
23
Tahun
2003
dimana
jumlah
kumulatif
pinjaman
Pemerintah
Pusat
dan
Pemerintah
Daerah
dibatasi
tidak
melebihi
60%
(enam
puluh
persen)
dari
PDB
tahun
bersangkutan.
Berdasarkan
analisa
atas
besaran
defisit
anggaran
dan
rasio
utang
terhadap
PDB
di
atas,
struktur
APBN
tahun
2014
dapat
dikatakan
wajar.
Selama
tiga
tahun
terakhir,
portofolio
utang
Pemerintah
semakin
didominasi
oleh
instrumen
SBN
terutama
SBN
domestik.
Kebijakan
ini
diambil
untuk
mengurangi
porsi
utang
luar
negeri,
karena
utang
luar
negeri
dinilai
lebih
beresiko
jika
dibandingkan
dengan
utang
dalam
negeri.
Resiko
tersebut
antara
lain:
a. Mengurangi
ketergantungan
terhadap
pihak
asing.
Ketergantungan
terhadap
pihak
asing
cenderung
menimbulkan
intervensi
pihak
asing.
Dengan
mengurangi
porsi
utang
luar
negeri
diharapkan
Indonesia
bisa
lebih
leluasa
mengelola
sumber
keuangannya
khususnya
yang
diperoleh
dari
pinjaman.
b. Utang
luar
negeri
sangat
dipengaruhi
oleh
nilai
tukar
rupiah
terhadap
mata
uang
asing.
Hal
ini
akan
sangat
beresiko
jika
nilai
tukar
rupiah
melemah
yang
akan
mengakibatkan
nilai
utang
yang
harus
dibayar
meningkat,
seperti
yang
terjadi
pada
krisis
ekonomi
tahun
1997-1998.
c. Porsi
utang
luar
negeri
yang
tinggi
akan
mengakibatkan
beban
anggaran
yang
besar
di
masa
yang
akan
datang,
berupa
pembayaran
pokok
dan
bunga
utang
yang
juga
tinggi.
Dengan
kebijakan
utang
yang
lebih
memprioritaskan
utang
dalam
negeri,
diharapkan
resiko
di
atas
dapat
dikurangi
dan
pembiayaan
negara
bisa
lebih
mandiri
sehingga
tidak
tergantung
pada
pihak
asing.
3. Saldo
Rekening
Transaksi
Berjalan
Saldo
transaksi
berjalan
adalah
jumlah
dari
neraca
perdagangan
(laba
bersih
ekspor
dikurangi
pembayaran
untuk
impor),
faktor
pendapatan
(laba
atas
investasi
asing
dikurangi
pembayaran
20
yang
dilakukan
kepada
investor
asing)
dan
transfer
tunai.
Ini
adalah
indikator
penting
dari
kapasitas
fiskal
karena
setiap
arus
akun
defisit
(defisit
perdagangan)
akan
perlu
dibiayai.
Dengan
demikian
akan
menempatkan
batasan
pada
seberapa
banyak
tambahan
utang
negara
bisa
berasumsi,
sehingga
membatasi
kapasitas
negara
untuk
memperkenalkan
langkah-langkah
countercyclical.
4. Tingkat
Tabungan
Tingkat
tabungan
merupakan
indikator
yang
berguna
kapasitas
fiskal
suatu
negara.
Hal
ini
karena
tingkat
tabungan
yang
tinggi
dapat
meningkatkan
dana
dalam
negeri
yang
tersedia
dan
menyediakan
negara
dengan
sumber
daya
internal
yang
cukup
untuk
terlibat
dalam
pengeluaran
countercyclical.
5. Cadangan
Devisa
Cadangan
devisa
(termasuk
devisa
dan
emas
dan
posisi
cadangan
IMF)
adalah
aset
dari
bank
sentral
dan
diadakan
di
cadangan
berbeda
mata
uang,
terutama
dolar
AS,
dan,
pada
tingkat
lebih
rendah,
mata
uang
lainnya.
Cadangan
ini
digunakan
untuk
mendukung
kewajiban
dari
pemerintah
atau
lembaga
keuangan.
Dengan
demikian,
cadangan
devisa
merupakan
indikator
penting
kemampuan
untuk
membayar
kembali
utang
luar
negeri
dan
digunakan
untuk
mempertahankan
mata
uang
dan
untuk
menentukan
peringkat
kredit
dari
bangsa;
pada
saat
yang
sama,
meskipun,
dana
pemerintah
lainnya
yang
dihitung
sebagai
aset
cair
juga
bisa
menjadi
diterapkan
pada
kewajiban
dalam
masa
krisis
(seperti
dana
stabilisasi,
juga
dikenal
sebagai
dana
sovereign
wealth).
Sesuai
dengan
UU
Nomor
17
Tahun
2003
tentang
Keuangan
Negara,
pendapatan
negara
terdiri
atas
penerimaan
perpajakan,
penerimaan
negara
bukan
pajak
(PNBP),
dan
penerimaan
hibah.
Penerimaan
dari
sektor
perpajakan
masih
menjadi
andalan
pemerintah
untuk
mendanai
belanjanya.
Hal
ini
terlihat
dari
persentase
penerimaan
pajak
yang
tinggi
dari
total
penerimaan
yaitu
senilai
76,8%
dengan
rasio
pajak
terhadap
PDB
senilai
12,3%.
Tingginya
ketergantungan
pemerintah
terhadap
penerimaan
dari
sektor
perpajakan
menyebabkan
APBN
tidak
memiliki
ruang
fiskal
yang
cukup
longgar
untuk
membiayai
belanja-belanja
tidak
terikat
dan
belanja
lain-
lain
karena
penerimaan
dari
sektor
perpajakan
tidak
dapat
dengan
mudah
ditingkatkan
mengingat
pajak
sangat
berkorelasi
dengan
perekonomian
nasional.
Ruang
fiskal
(fiskal
space)
dalam
Nota
Keuangan
2014
diartikan
sebagai
ketersediaan
sumberdaya
keuangan
bagi
pemerintah
untuk
membiayai
kebijakan
yang
diinginkan
melalui
anggaran.
Kapasitas
fiskal
selama
ini
masih
terbatas,
disebabkan
oleh
anggaran
belanja
negara
yang
setiap
tahunnya
lebih
besar
digunakan
untuk
membiayai
belanja
terikat
(mandatory
spending)
yaitu
pengeluaran
negara
pada
program-program
tertentu
yang
dimandatkan
atau
diwajibkan
oleh
ketentuan
peraturan
perundangan
yang
berlaku.
Belanja
negara
dapat
dibedakan
menjadi
belanja
mengikat
atau
pengeluaran-pengeluaran
yang
bersifat
wajib
(nondiscretionary
expenditures)
dan
belanja
tidak
mengikat
atau
discretionary
expenditures.
Mandatory
spending
termasuk
pengeluaran
yang
bersifat
wajib,
antara
lain:
1. kewajiban
penyediaan
anggaran
pendidikan
sebesar
20
persen
dari
APBN/APBD;
21
2. kewajiban
penyediaan
Dana
Alokasi
Umum
(DAU)
minimal
26
persen
dari
penerimaan
dalam
negeri
neto,
dan
Dana
Bagi
Hasil
(DBH);
3. penyediaan
alokasi
anggaran
kesehatan
sebesar
5
persen
dari
APBN;
4. penyediaan
dana
otonomi
khusus
sesuai
dengan
Undang-Undang
Otonomi
Khusus
provinsi
Aceh
dan
Papua
masing-masing
sebesar
2
persen
dari
DAU
Nasional.
Struktur
Belanja
Pemerintah
Pusat
dan
Transfer
ke
Daerah
Tahun
2014
Uraian
Tahun
2014
Total
Belanja
Negara
1.842.495,3
Total
Belanja
Terikat
(Nondiscretionary
spending)
1.310.498,7
a.
Belanja
Pegawai
262.978,3
b.
Belanja
Pembayaran
Bunga
121.285,5
c.
Belanja
Subsidi
333.682,6
d.
Transfer
ke
Daerah
592.552,3
Total
Belanja
Negara-Total
Belanja
Tidak
Terikat
531.996,7
Rasio
Belanja
Terikat
terhadap
Total
Belanja
Negara
71%
Rasio
Belanja
Tidak
Terikat
terhadap
Total
Belanja
Negara
29%
Sumber:
Data
diaolah
dari
Nota
Keuangan
Tahun
2014
Jika
dilihat
dari
struktur
Belanja
Pemerintah
Tahun
2014,
porsi
belanja
yang
bersifat
wajib
(nondiscretionary
expenditures)
jauh
lebih
besar
yaitu
71%
dari
total
belanja
dibandingkan
belanja
yang
tidak
terikat
yaitu
29%.
Hal
ini
mengakibatkan
rendahnya
fiscal
space
yang
dapat
digunakan
pemerintah
untuk
pembangunan
proyek-proyek
infrastruktur.
Beberapa
hal
yang
dapat
dilakukan
pemerintah
untuk
meningkatkan
fiscal
space
antara
lain:
1. Meningkatkan
penerimaan.
Dalam
konteks
pemerintah,
dapat
melakukannya
melalui
instrumen
pajak.
Apakah
itu
memperluas
basis
pajak,
peningkatan
tarif
pajak
atau
reformasi
sistem
perpajakan
agar
lebih
efisien;
2. Meminjam/berhutang.
Pemerintah
dapat
melakukan
pinjaman
dari
DN
&
LN,
baik
berupa
pinjaman
langsung
antar
negara
atau
lembaga
donor
lainnya
atau
penerbitan
obligasi
negara.
Namun,
ada
yang
perlu
diperhatikan
dalam
meminjam
ini,
yaitu
memperhatikan
kemampuan
untuk
membayarnya
sehingga
utang
dilakukan
dalam
rangka
investasi
bukan
konsumsi;
3. Mereview
pengeluaran
yang
ada.
Di
sisi
pemerintah
dapat
membuat
skala
prioritas,
merealokasikan
belanja
yang
tidak
atau
sedikit
benefitnya
kepada
belanja
yang
lebih
produktif;
4. Hal
keempat
ini
hanya
dapat
dilakukan
oleh
pemerintah
suatu
negara,
yaitu
dengan
pencetakan
uang.
Namun,
hal
ini
jarang
dilakukan
karena
kuatir
terhadap
dampak
inflasi
yang
ditimbulkan.
E. ANALISIS
SEBAB
AKIBAT
KETERLAMBATAN
PENYUSUNAN
Penyusunan
anggaran
merupakan
tahap
pertama
dari
siklus
APBN.
Pihak
yang
terlibat
dalam
proses
penyusunan
APBN
yaitu
Kementerian
Keuangan,
Bappenas,
Kementerian/Lembaga
dan
DPR.
Alur
proses
penganggaran
APBN
terlihat
pada
gambar
di
bawah
ini.
22
Aturan
yang
dibuat
oleh
Pemerintah
sebagai
landasan
hukum
dalam
penyusunan
APBD
adalah
Permendagri
Nomor
13
Tahun
2006.
Berdasarkan
Permendagri
Nomor
13
Tahun
2006
sebagaimana
telah
diubah
dua
kali
terakhir
dengan
Permendagri
Nomor
21
Tahun
2011
tentang
Perubahan
Kedua
Atas
Peraturan
Menteri
Dalam
Negeri
Nomor
13
Tahun
2006
tentang
Pedoman
Pengelolaan
Keuangan
Daerah,
proses
penyusunan
dan
penetapan
APBD
diuraikan
pada
tabel
di
bawah
ini.
Penyusunan
dan
Penetapan
APBD
No
Uraian
Waktu
Keterangan
1.
Penyusunan
RKPD
Akhir
bulan
Mei
2.
Penyampaian
Rancangan
KUA
dan
Minggu
I
bulan
Juni
1
minggu
Rancangan
PPAS
oleh
Ketua
TAPD
kepada
KDH
3.
Penyampaian
Rancangan
KUA
dan
Pertengahan
bulan
Juni
6
minggu
Rancangan
PPAS
oleh
KDH
kepada
DPRD
4.
Rancangan
KUA
dan
Rancangan
PPAS
Akhir
bulan
Juli
disepakati
antara
KDH
&
DPRD
5.
SE
KDH
perihal
Pedoman
RKA-SKPD
Awal
bulan
Agustus
1
minggu
dan
RKA-PPKD
6.
Penyusunan
dan
Pembahasan
RKA-
Awal
Agustus
s/d
Akhir
7
minggu
23
7.
8.
9.
10.
September
Minggu
pertama
bulan
Oktober
Paling
lama
1
(satu)
bulan
sebelum
tahun
anggaran
yang
bersangkutan
(bulan
November)
15
hari
kerja
(bulan
Desember)
Paling
lambat
akhir
Desember
(31
Desember)
2 bulan
1. Sebab
Penyusunan
Anggaran
Terlambat
Keterlambatan
penyusunan
anggaran
menjadi
hal
yang
lazim
di
Indonesia.
Pada
tahun
2014
ada
empat
provinsi
yang
belum
mengesahkan
anggaran
yaitu
Sumatera
Utara,
Sumatera
Barat,
DKI
Jakarta
dan
Papua
Barat
(Tempo,
22
Januari
2014).
Proses
penyusunan
anggaran
tidak
selamanya
berjalan
lancar.
Berbagai
kendala
muncul
sehingga
proses
penyusunan
anggaran
menjadi
terhambat.
Selanjutnya
akan
kami
paparkan
berbagai
macam
faktor
yang
menyebabkan
keterlambatan
penyusunan
anggaran.
a. Penentuan
Asumsi
Dasar
Anggaran
Tahap
penyusunan
APBN
diawali
dengan
persiapan
rancangan
APBN
oleh
Pemerintah,
antara
lain
meliputi
penentuan
asumsi
dasar
APBN,perkiraan
pendapatan
negara
dan
hibah,
belanja
negara
pembiayaan
defisit,
skala
prioritas
dan
penyusunan
budget
exercise.
Pada
tahapan
pembahasan
pendahuluan
dengan
komisi
XI
dan
Badan
Anggaran
DPR
sering
terjadi
perbedaan
pendapat
dalam
menetukan
asumsi
makro
terkait
Produk
Domestik
Bruto
(PDB)
dalam
rupiah,
Pertumbuhan
ekonomi
tahunan
(%),
Inflasi
(%),
Nilai
tukar
rupiah
per
USD,
Suku
bunga
SBI
3
bulan
(%),
Harga
minyak
indonesia
(USD/barel),
Produksi
minyak
Indonesia
(barel/hari).
Pemerintah
menggunakan
model-model
ekonomi
makro
sebagai
alat
analisa
yang
berguna
untuk
mendukung
penentuan
asumsi
dasar.
Dalam
pembahasan
RUU
APBN
oleh
DPR
sering
kali
terjadi
ketidaksepakatan
terkait
dengan
asumsi
makro.
Hal
terjadi
karena
banyak
faktor
yang
tidak
dapat
diprediksi
secara
andal.
Seperti
dalam
penentuan
nilai
tukar
rupiah
per
USD,
pemerintah
mengakui
bahwa
belum
ada
metodologi
yang
dapat
memperkirakan
besaran
nilai
tukar
secara
presisi.
Hal
tersebut
terjadi
mengingat
pergerakan
nilai
tukar
sangat
dipengaruhi
oleh
mekanisme
pasar,
dimana
banyak
terdapat
faktor
di
luar
kendali
pemerintah.
Faktor
inilah
yang
kemudian
menimbulkan
perbedaan
pendapat
antara
DPR
dengan
pemerintah
yang
disebabkan
oleh
perbedaan
analisis.
b. Hubungan
Eksekutif
dan
Legislatif
Salah
satu
bentuk
hubungan
yang
berpengaruh
pada
penyusunan
APBD
adalah
hubungan
keagenan.
Hubungan
keagenan
memperlihatkan
adanya
prinsipal
dan
agen
serta
terjadinya
pendelegasian
wewenang.
Legislatif
sebagai
prinsipal
mempunyai
kewenangan
untuk
mengesahkan
anggaran
yang
dibuat
oleh
eksekutif
sebagai
agen.
Jika
hubungan
eksekutif
dan
legislatif
tidak
selaras
dan
lebih
mengarah
pada
keagenan
maka
terjadi
keterlambatan
dalam
proses
penyusunan
APBD.
24
Kompetensi
dan
keahlian
SDM
harus
menjadi
perhatian
utama
bagi
pemeritah
daerah
dalam
penyusunan
APBD
dan
dalam
kegiatan
lainnya.
Penempatan
pegawai
hendaknya
didasarkan
pada
pertimbangan
bahwa
pihak
yang
bertugas
tersebut
memiliki
keahlian
dan
kompetensi
terkait
dengan
tugas
dan
kegiatan
yang
harus
dilakukan
tersebut
dengan
tujuan
pelaksanaan
yang
efektif
dan
efisien.
Selain
itu,
pendidikan
informal
yang
berhubungan
dengan
pelaksanaan
penganggaran
daerah
perlu
ditingkatkan.
Salah
satu
bentuk
peningkatan
peran
pendidikan
informal
adalah
pemerintah
daerah
dapat
secara
mandiri
menyelenggarakan
pendidikan
dan
pelatihan
yang
terkait
dengan
penganggaran
keuangan
daerah.
Hal
tersebut
dapat
menambah
kompetensi
dan
keahlian
pihak
yang
telah
berlatar
pendidikan
terkait
penganggaran
keuangan
daerah
serta
memberikan
tambahan
ilmu
baru
bagi
pihak
yang
belum
berkompeten
dalam
hal
tersebut.
5. Sinergi
Eksekutif
dan
Legislatif
Membina
hubungan
yang
harmonis
dan
bersinergi
antara
eksekutif
maupun
legislatif
perlu
dilakukan
secara
mendalam
dan
menyeluruh.
Kedua
belah
pihak
tersebut
harus
memahami
tujuan
dari
penyusunan
APBD
bagi
pelaksanaan
pemerintahan.
Menempatkan
kepentingan
masyarakat
diatas
kepentingan
partai,
golongan
dan
pribadi.
Masyarakat
mampu
menilai
kinerja
pemerintah,
sehingga
ketika
kinerja
tidak
seperti
yang
diharapkan
maka
kepercayaan
masyarakat
terhadap
lembaga
eksekutif
dan
legislatif
menurun.
6. Meningkatkan
komitmen
pemerintah
daerah
dan
DPRD
untuk
benar-benar
mentaati
amanat
aturan
yang
berkaitan
dengan
tahapan
penyusunan
APBD.
27
DAFTAR
PUSTAKA
Pemerintah
Negara
Republik
Indonesia.
Nota
Keuangan
dan
APBN
2014.
Peraturan
Pemerintah
Nomor
23
Tahun
2003
tentang
Pengendalian
Jumlah
Kumulatif
Defisit
APBN
dan
APBD,
Serta
Jumlah
Kumulatif
Pinjaman
Pemerintah
Pusat
dan
Pemerintah
Daerah.
Kuncoro,
Haryo.
2011.
Ketangguhan
APBN
Dalam
Pembayaran
Utang.
Jakarta:
Buletin
Ekonomi
Moneter
dan
Perbankan,
April
2011.
SindoNews.com.
2013.
Kementerian/Lembaga
yang
Memperoleh
Anggaran
Terbesar
APBN
2014.
Diakses
dari
http://ekbis.sindonews.com/read/2013/12/10/33/815213/ini-k-l-yang-peroleh-
anggaran-terbesar-apbn-2014
pada
28
Januari
2014.
Kompasiana.com.
2012.
FiscalSpace.
Diakses
dari
http://ekonomi.kompasiana.com/
moneter/2012/03/07/fiscal-space-444936.html
pada
tanggal
28
Januari
2014.
http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Master-22528-082188630077%20-%20BAB%20II.pdf
28