Você está na página 1de 29

ANALISIS

ANGGARAN PEMERINTAH
PAPER
AKUNTANSI MANAJEMEN SEKTOR PEMERINTAH


KELOMPOK 5
Adinda Widyastari
Defita Sari Hasibuan
Nauval Hafiluddin
Nia Esti Wulansari
Niczen Henry Lolowang

PENDAHULUAN


Penganggaran merupakan salah satu komponen penting dalam penyusunan langkah-langkah dan
kebijakan-kebijakan finansial suatu organisasi dalam periode satu tahun ke depan. Dengan
penganggaran yang baik, rencana dan tujuan organisasi dapat terukur dengan jelas dan pasti.

Demikian pula yang terjadi di sektor pemerintahan. Penganggaran mutlak diperlukan dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari pemerintahan. Anggaran digunakan sebagai perencanaan
keuangan di masa yang akan datang sekaligus pula sebagai kontrol atas nilai uang yang dapat
dibelanjakan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi di instansi pemerintah. Sehingga dalam
penerapannya, proses penganggaran harus mempertimbangkan prinsip ekonomis, efisiensi, dan
efektivitas. Hal ini penting agar realisasi rencana kerja pemerintah dapat menghasilkan output
dan outcome yang optimal.

Dalam pembahasan kali ini, kami mencoba melakukan analisis terhadap penganggaran yang
dilakukan oleh pemerintah. Analisis yang kami lakukan meliputi analisis vertikal dan horizontal
komponen-komponen dalam laporan penganggaran pemerintah selama beberapa periode
terakhir. Kami juga melakukan analisis terhadap pertumbuhan anggaran serta analisis
kemampuan anggaran dalam melaksanakan program dan kegiatannya. Di samping itu, kami juga
menganalisis sebab dan akibat dari kemungkinan adanya keterlambatan penyusunan anggaran
pemerintah.

Dari hasil analisis yang kami lakukan tersebut, di akhir pembahasan kami mencoba memberikan
saran dan rekomendasi yang dapat digunakan sebagai bahan perbaikan penganggaran
pemerintah. Harapan kami, di samping semakin mendalami perihal penganggaran di sektor
pemerintah, kami juga dapat memberikan sumbangsih kepada khayalak luas melalui pembahasan
dan saran perbaikan anggaran pemerintah ini.


A. ANALISIS VERTIKAL
Analisis vertikal dilakukan dengan cara membandingkan pos-pos laporan keuangan dalam suatu
periode yang sama. Terdapat dua metode yang dapat digunakan sebagai teknik analisis vertikal:
1. Analisis persentase per komponen
Melalui analisis ini dapat diketahui berapa persentasi masing-masing pos dalam laporan
keuangan dengan jumlah total seluruh pos, sehingga dapat terlihat pos yang memiliki peran
signifikan terhadap keseluruhan elemen laporan keuangan. Analisis persentase per komponen
merupakan teknik yang biasa digunakan dalam analisis vertikal karena kemudahannya dan
fleksibilitas penyesuaiannya terhadap berbagai laporan.
2. Analisis rasio
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara satu pos dengan pos yang lainnya.
Teknik analisis rasio biasa digunakan untuk menganalisis laporan keuangan dan memerlukan
patokan ukuran rasio yang jelas sebagai bahan analisis.
Dalam pembahasan kali ini, kami melakukan analisis vertikal terhadap laporan penganggaran
Indonesia. Data sumber yang kami gunakan adalah APBN periode tahun anggaran 2014. Kami
melakukan analisis terhadap komponen pos-pos pendapatan dan pos-pos belanja dalam APBN.

1. Anggaran Pendapatan Negara
Dalam APBN 2014, Pendapatan Negara ditargetkan mencapai Rp1.667 triliun. Dari jumlah
tersebut, sebesar 76,80% di antaranya berupa penerimaan dari sektor perpajakan serta
23,12% dari Penerimaan Negara Bukan Pajak. Sisanya, penerimaan negara diperoleh dari
hibah yang hanya menyumbang 0,08% dari total pendapatan.
Dapat kita lihat bahwa penerimaan Pajak masih menjadi tumpuan utama sumber penerimaan
negara. Dari total penerimaan perpajakan sebesar Rp1.280 triliun, 95,79% di antaranya
berasal dari pendapatan pajak dalam negeri. Sisanya sebesar 4,21% merupakan kontribusi
dari bea masuk dan bea keluar hasil perdagangan internasional.
Lebih jauh lagi, komponen pajak yang menyumbangkan kontribusi terbesar terhadap
penerimaan adalah komponen pendapatan pajak penghasilan. Pendapatan pajak penghasilan
ini meliputi yang berasal dari PPH Migas maupun Non Migas. Jika diperbandingkan antar pos,
maka persentase pendapatan PPH Non Migas merupakan komponen penerimaan terbesar
bagi APBN dengan jumlah mencapai Rp510 triliun. Jumlah ini setara dengan 41,6% dari
pendapatan pajak dalam negeri, atau setara negeri 30% penerimaan negara secara total.
Untuk mendukung target capaian penerimaan negara dari sektor pajak ini, tentu saja
pemerintah perlu menerapkan kebijakan-kebijakan. Kebijakan yang diterapkan di antaranya
adalah penyempurnaan peraturan perpajakan, penyempurnaan sistem administrasi
perpajakan termasuk di dalamnya penyempurnaan penggunaan e-filling dan e-inventory,
serta kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan yang didukung dengan pemberian
berbagai kebijakan insentif pajak.
Dari komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), lebih dari setengahnya
disumbangkan oleh penerimaan dari sektor Sumber Daya Alam. Penerimaan SDA memberikan
kontribusi sebesar Rp.226 triliun atau setara dengan 58,63% dari total PNBP. Sisanya
merupakan penerimaan PNBP yang berasal dari bagian laba BUMN (10,38%), pendapatan BLU
(6,58%), serta PNBP lainnya (24,41%).
2

Penerimaan PNBP dari sektor SDA sediri terbagi menjadi dua komponen utama, yaitu
penerimaan SDA Migas dan penerimaan SDA Non Migas. Dari keduanya, penerimaan SDA dari
sektor migas memberikan kontribusi mencapai 86,97% dihitung dari total penerimaan SDA,
sementara penerimaan SDA dari sektor non migas hanya menyumbangkan 13,03%.

PENDAPATAN

miliar rupiah

% Total
Pendapatan

% Per Jenis
Pendapatan
(Pajak/PNBP)

% Per
komponen
(Signifikan)

PENERIMAAN DALAM NEGERI

1.665.780,7

99,92%

PENERIMAAN PERPAJAKAN

1.280.389,0

76,80%

Pendapatan Pajak Dalam Negeri

1.226.474,2

73,57%

95,79%

100,00%

586.306,5

35,17%

45,79%

47,80%

Pendapatan Pajak Penghasilan


Pendapatan PPH Migas


100,00%

76.073,6

4,56%

5,94%

6,20%

510.232,8

30,61%

39,85%

41,60%

492.950,9

29,57%

38,50%

40,19%

25.441,9

1,53%

1,99%

2,07%

Pendaptan BPHTB

0,00%

0,00%

0,00%

Pendapatan Cukai

116.284,0

6,98%

9,08%

9,48%

5.491,0

0,33%

0,43%

0,45%

Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional

53.914,8

3,23%

4,21%

Pendapatan Bea Masuk

33.936,6

2,04%

2,65%

Pendapatan Bea Keluar

19.978,2

1,20%

1,56%

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

385.391,7

23,12%

100,00%

Penerimaan SDA

225.954,7

13,55%

58,63%

100,00%

Penerimaan SDA Migas

196.508,3

11,79%

50,99%

86,97%

142.943,1

8,57%

37,09%

63,26%

53.565,2

3,21%

13,90%

23,71%

29.446,4

1,77%

7,64%

13,03%

23.599,7

1,42%

6,12%

10,44%

5.017,0

0,30%

1,30%

2,22%

579,7

0,03%

0,15%

0,26%

Pendapatan Bagian Laba BUMN

40.000,0

2,40%

10,38%

PNBP Lainnya

94.087,6

5,64%

24,41%

Pendapatan BLU

25.349,4

1,52%

6,58%

PENERIMAAN HIBAH

1.360,1

0,08%

1.667.140,8

100,00%

Pendapatan PPH Non Migas


Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai
Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan

Pendapatan Lainnya

Pendapatan Minyak Bumi


Pendapatan Gas Alam
Penerimaan SDA Non Migas
Pendapatan Pertambangan Mineral dan
Batubara
Pendapatan Kehutanan
Pendapatan Panas Bumi

PENDAPATAN NEGARA


Dari hasil analisis vertikal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa anggaran penerimaan yang
disusun oleh pemerintah memiliki beberapa catatan yang perlu diperhatikan:
Anggaran pendapatan negara sebagian besar berasal dari penerimaan perpajakan,
terutama dari sektor PPH Non Migas. Untuk merealisasikan target capaian ini, dibutuhkan
usaha yang cukup besar. Ini dikarenakan mayoritas penilaian dan pelaporan komponen
pajak ini menggunakan basis self assessment. Atas dasar itu, pemerintah perlu
menyiapkan beberapa kebijakan dalam rangka mendukung penyerapan pendapatan
negara yang optimal dari sektor ini.
3

Pendapatan Negara Bukan Pajak masih didominasi oleh pendapatan hasil penjualan
Sumber Daya Alam dari sektor migas. Hal ini menjadi riskan karena capaian target
penerimaan dari sektor migas akan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang
berasal dari asumsi ekonomi makro. Faktor-faktor ini di antaranya yaitu harga ICP, nilai
tukar rupiah terhadap dollar, dan lifting minyak bumi. Keakuratan proyeksi asumsi
ekonomi makro akan memberikan dampak yang sangat besar dalam realisasi capaian
penerimaan negara dari sektor ini.


2. Anggaran Belanja Negara
Anggaran belanja negara yang direncanakan oleh pemerintah dalam APBN adalah Rp1.842,5
triliun. Dari jumlah ini, belanja pemerintah pusat mencapai Rp1.250 triliun sementara sisanya
sebesar Rp592,5 triliun digunakan sebagai transfer ke pemerintah daerah. Pada pembahasan
anggaran belanja negara ini, kami membagi analisis vertikal kami berdasarkan klasifikasi
belanja pemerintah pusat: menurut jenisnya, menurut fungsinya, dan berdasarkan Belanja
Kementerian/Lembaga.
a. Belanja Menurut Jenisnya
Berdasarkan jenisnya, anggaran belanja pemerintah pusat dapat dibagi menjadi delapan
komponen utama. Komponen ini yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja modal,
belanja pembayaran bunga utang, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial,
serta belanja lain-lain.

Grafik Komposisi Belanja Berdasar Jenis: APBN 2014
400.000,0
350.000,0
300.000,0
250.000,0
200.000,0
150.000,0
100.000,0
50.000,0
-


Tabel Komposisi Belanja Berdasarkan Jenis: APBN 2014
MENURUT JENIS BELANJA

miliar rupiah

% Jumlah
Belanja

Belanja Pegawai

262.978,3

21,04%

Belanja Barang

188.858,2

15,11%

Belanja Modal

229.530,6

18,36%

Pembayaran Bunga Utang

121.285,5

9,70%

109.101,6

8,73%

12.183,9

0,97%

333.682,6

26,70%

282.100,3

22,57%

Non Energi

51.582,3

4,13%

Belanja Hibah

3.542,7

0,28%

Bantuan Sosial

73.161,2

5,85%

Belanja Lain-lain

36.904,0

2,95%

1.249.943,0

100,00%

Utang Dalam Negeri


Utang Luar Negeri
Subsidi
Energi

JUMLAH


Dari data yang disajikan dalam APBN 2014, dapat terlihat bahwa komponen belanja yang
terbesar adalah belanja subsidi, diikuti oleh belanja pegawai. Belanja subsidi yang
dianggarkan pemerintah sebesar Rp333,7 triliun rupiah setara dengan 26,7% dari
keseluruhan anggaran belanja pemerintah pusat. Dari jumlah ini, besaran subsidi untuk
sektor energi mengambil porsi terbesar (Rp282,1 triliun) dibandingkan dengan subsidi
untuk sektor non energi (Rp51,6 triliun). Adapun belanja untuk subsidi energi meliputi
subsidi Bahan Bakar: BBM, BBN, LPG tabung 3 kg, dan LGV yang mencapai Rp210,7 triliun
serta subsidi listrik sebesar Rp71,4 triliun. Sedangkan belanja subsidi untuk non energi
meliputi: (1) subsidi pangan sebesar Rp18,8 triliun; (2) subsidi pupuk sebesar Rp21,0
triliun; (3) subsidi benih sebesar Rp1,6 triliun; (4) subsidi PSO sebesar Rp2,2 triliun; (5)
subsidi bunga kredit program sebesar Rp3,2 triliun; dan (6) subsidi pajak sebesar Rp4,7
triliun.
Dari analisis di atas, secara umum dapat terlihat bahwa besaran belanja pemerintah pusat
masih terbebani komponen subsidi bahan bakar. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah
untuk menyediakan bahan bakar yang terjangkau tidak diimbangi oleh membaiknya
parameter eksternal yang mempengaruhi besaran harga bahan bakar. Melemahnya
rupiah terhadap dollar, menurunnya harga ICP, serta proyeksi meningkatnya konsumsi
bahan bakar oleh masyarakat menyebabkan kebijakan penyediaan BBM terjangkau akan
semakin membebani APBN. Kenyataan ini menjadi ironis mengingat sebagian besar
subsidi bahan bakar sebenarnya justru dinikmati oleh golongan orang-orang mampu.

b. Belanja Menurut Fungsinya
Belanja diklasifikasikan menjadi 11 fungsi yang menggambarkan tugas pemerintah dalam
mencapai tujuan pembangunan nasional. Komposisi fungsi-fungsi tersebut dijabarkan
dalam tabel dan grafik berikut.
Tabel Komposisi Belanja Berdasarkan Fungsi: APBN 2014

MENURUT FUNGSI

miliar rupiah

Pelayanan Umum

% Jumlah
Belanja

794.772,4

63,58%

Pertahanan

86.306,8

6,90%

Ketertiban dan Keamanan

37.952,6

3,04%

Ekonomi

128.274,3

10,26%

Lingkungan Hidup

12.178,9

0,97%

Perumahan dan Fasilitas Umum

31.487,2

2,52%

Kesehatan

13.077,7

1,05%

Pariwisata dan Budaya

2.052,8

0,16%

Agama

4.463,5

0,36%

131.313,6

10,51%

8.063,1

0,65%

1.249.943,0

100,00%

Pendidikan
Perlindungan Sosial
JUMLAH


Grafik Komposisi Belanja Berdasarkan Fungsi: APBN 2014
Pariwisata dan
Perlindungan
Agama
Kesehatan
Budaya
Sosial
0%
1%
0%
1%
Perumahan dan
Fasilitas Umum
Pendidikan
3%
10%
Lingkungan
Hidup
1%
Ekonomi
10%
Ketertiban dan
Keamanan
3%

Pelayanan
Umum
64%

Pertahanan
7%

Anggaran belanja dalam APBN 2014 menunjukkan bahwa fungsi pelayanan umum
merupakan fungsi yang mendapat alokasi tertinggi anggaran belanja pemerintah pusat,
diikuti kemudian oleh fungsi pendidikan dan ekonomi. Fungsi pelayanan umum mendapat
anggaran sebesar Rp794,8 triliun atau setara dengan 64% dari total jumlah belanja
pemerintah pusat. Jumlah tersebut dialokasikan lagi dalam subfungsi-subfungsi yang lebih
rinci: (1) subfungsi lembaga eksekutif dan legislatif, keuangan dan fiskal, serta urusan luar
negeri sebesar Rp157,7triliun (19,8% terhadap fungsi pelayanan umum); (2) subfungsi
pelayanan umum sebesar Rp10,5 triliun (1,3% terhadap fungsi pelayanan umum); (3)
subfungsi penelitian dasar dan pengembangan Iptek sebesar Rp2,6 triliun (0,3% terhadap
6

fungsi pelayanan umum); (4) subfungsi pinjaman pemerintah sebesar Rp121,3 triliun
(15,3% terhadap fungsi pelayanan umum); (5) subfungsi pembangunan daerah sebesar
Rp3,4 triliun (0,4% terhadap fungsi pelayanan umum); (6) subfungsi Litbang pelayanan
umum sebesar Rp389,5 miliar (0,1% terhadap fungsi pelayanan umum); dan (7) subfungsi
pelayanan umum lainnya sebesar Rp498,8 triliun (62,8% terhadap fungsi pelayanan
umum). Subfungsi yang terakhir, pelayanan umum lainnya, menerima alokasi yang paling
besar dikarenakan pembayaran subsidi dan transfer lainnya termasuk di dalam klasifikasi
ini.
Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa besarnya proporsi fungsi pelayanan umum
sesungguhnya disebabkan oleh besarnya anggaran belanja yang disediakan pemerintah
untuk penyaluran subsidi. Hal ini mengisyaratkan bahwa arah prioritas kebijakan yang
diterapkan pemerintah pada 2014 adalah menggiatkan kemampuan ekonomi masyarakat.
Terlebih mengingat pemerintah telah menetapkan tema pembangunan RKP tahun 2014
yaitu Memantapkan Perekonomian Nasional bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
yang Lebih Berkeadilan. Inilah yang menyebabkan adanya gap anggaran yang besar
dengan fungsi-fungsi yang lain.

c. Belanja Kementerian/Lembaga
Dalam APBN 2014, dari Rp1.250 triliun anggaran belanja pemerintah pusat, sebesar
Rp637,8 triliun di antaranya dialokasikan untuk belanja Kementerian/Lembaga. Dari
sebanyak 87 Kementerian/Lembaga yang ada, kami mencoba membuat daftar
Kementerian/Lembaga mana saja yang memperoleh alokasi anggaran belanja terbesar.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari anggaran belanja untuk seluruh
Kementerian/Lembaga, sebesar 80 persennya dialokasikan hanya kepada 12
Kementerian/Lembaga prioritas saja. Sisanya sebesar 20% terbagi untuk 75
Kementerian/Lembaga lainnya.

MENURUT KEMENTERIAN/ LEMBAGA (diambil
12 besar)

miliar rupiah

% Alokasi K/L
Total

Kementerian Pertahanan

86.376,7

13,54%

Kementerian Pekerjaan Umum

84.148,1

13,19%

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

80.661,0

12,65%

Kementerian Agama

49.402,2

7,75%

Kementerian Kesehatan

46.459,0

7,28%

Kepolisian Negara Republik Indonesia

44.975,6

7,05%

Kementerian Perhubungan

40.370,5

6,33%

Kementerian Keuangan

18.711,7

2,93%

Kementerian ESDM

16.263,2

2,55%

Kementerian Pertanian

15.470,6

2,43%

Komisi Pemilihan Umum

15.410,4

2,42%

Kementerian Dalam Negeri

14.903,1

2,34%

Total 12 Kementerian/Lembaga

513.152,1

80,45%

ALOKASI KEMENTERIAN LEMBAGA

637.841,0

100,00%

Besarnya pengalokasian kepada beberapa Kementerian/Lembaga ini merupakan dampak


dari diterapkannya strategi pembangunan nasional Indonesia yang mengambil tema
Memantapkan Perekonomian Nasional bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat yang
Lebih Berkeadilan. Turunan dari strategi tersebut dijabarkan dalam 15 isu strategis yang
dirangkum menjadi 3 unsur pokok:
Pembangunan Infrastruktur Pendorong Pertumbuhan Ekonomi
Termasuk di dalamnya: pembangunan untuk infrastruktur perhubungan
(Kementerian Perhubungan dan Kementerian PU); infrastruktur energi
(Kementerian ESDM); serta infrastruktur perumahan (Kementerian PU dan
Kementerian Perumahan Rakyat).
Peningkatan Perlindungan Sosial dan Kesejahteraan Rakyat
Termasuk di dalamnya: penyediaan pendidikan murah, terjangkau, dan
berkualitas (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan
K/L lainnya); pengentasan kemiskinan (Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Sosial); kesehatan murah untuk masyarakat (Kementerian
Kesehatan); dan ketahanan pangan (Kementerian Pertanian).
Pemeliharaan Stabilitas Sosial dan Politik
Termasuk di dalamnya: mendukung pelaksanaan pemilu 2014 yang lancar dan
aman (Komisi Pemilihan Umum); peningkatan kemampuan pertahanan dalam
menegakkan kedaulatan bangsa (Kementerian Pertahanan); pemantapan
keamanan dalam negeri (Kepolisian Negara Republik Indonesia).

Dari analisis vertikal komponen belanja pemerintah pusat dalam APBN 2014, dapat
disimpulkan bahwa prioritas belanja negara dialokasikan sesuai dengan arah kebijakan dan
strategi pemerintah di tahun ini. Adapun strategi tersebut secara garis besar terbagi menjadi
tiga komponen utama: pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan stabilitas nasional.
Atas dasar itu, maka alokasi penganggaran yang direncanakan oleh pemerintah melalui APBN
2014 banyak menekankan pada pentingnya pertumbuhan ekonomi masyarakat. Karena itulah
mengapa anggaran belanja subsidi di tahun ini masih dialokasikan cukup besar dibandingkan
anggaran di pos belanja yang lain.


B. ANALISIS HORIZONTAL
Analisis Horizontal dilakukan dengan cara membandingkan data keuangan selama lebih dari satu
periode pelaporan sehingga nampak perubahan atas pos-pos dari suatu periode pelaporan
tersebut. Analisis Horizontal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Comparative Financial Statement, yaitu analisis dengan membandingkan laporan keuangan
selama dua atau lebih periode pelaporan dengan laporan keuangan lain yang comparable
untuk melihat kenaikkan maupun penurunan pos-pos pada laporan keuangan tersebut.
2. Trend Analysis, yaitu analisis dengan membandingkan data pos-pos dalam suatu laporan
keuangan selama beberapa tahun. Jika dinyatakan dalam persentase, satu periode dipilih
sebagai periode dasar (100%).
Tujuan dari dilakukannya analisis horizontal dalam analisis anggaran adalah untuk mengetahui
kenaikkan maupun penurunan pos-pos APBN sehingga lebih jauh lagi dapat diketahui faktor-
8

faktor yang menyebabkan perubahan tersebut terjadi. Selain itu juga, dapat terlihat
kecenderungan dari suatu pos apakah cenderung meningkat atau menurun.
Adapun, analisis horizontal yang dilakukan pada pos-pos APBN dari tahun 2011 sampai dengan
tahun 2014 adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan Perpajakan
Penerimaan perpajakan masih menjadi primadona bagi pendapatan negara. Lebih dari 72%
penerimaan negara berasal dari sektor perpajakan. Pada tahun 2011 pendapatan dari sektor
perpajakan adalah sebesar 72% dari total pendapatan negara, tahun 2012 naik menjadi
sebesar 75% dari total pendapatan negara, tahun 2013 sebesar 78% dari total pendapatan
negara, dan tahun 2014 menjadi 87% dari total pendapatan negara.
Pertumbuhan Penerimaan Perpajakan (triliun rupiah)
1400
1200

Pajak Lainnya

1000

PBB

800

Pajak Perdagangan Internasional

600

PPN

400

Penerimaan Pajak

Cukai
PPH

200
0
2011

2012

2013

2014


Sebagian besar penerimaan dari sektor perpajakan mengalami tren pertumbuhan positif
dalam rentang tahun 2011 sampai dengan 2014. Jumlah penerimaan pajak pada tahun 2011
adalah 873,9 triliun dan jumlah ini terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar
14%. Pada tahun 2014 penerimaan perpajakan diharapkan dapat mencapai 1.310,2 triliun.
Penerimaan perpajakan terbesar dihasilkan dari Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan
Nilai. Pertumbuhan kedua jenis pajak tersebut akan memberikan pengaruh yang sangat
signifikan terhadap total penerimaan pajak. Persentase Pajak Penghasilan terhadap total
penerimaan perpajakan rata-rata sebesar 47% dari total penerimaan perpajakan. Sementara
itu, kontribusi Pajak Pertambahan Nilai rata-rata sebesar 36% terhadap total penerimaan
perpajakan. Pada umumnya jumlah penerimaan perpajakan tiap tahun sangat dipengaruhi
oleh kondisi perekonomian makro pada tahun tersebut. Jika pertumbuhan ekonomi positif
maka biasanya penerimaan pajak akan ikut naik. Selain itu, faktor kebijakan di bidang
perpajakan, seperti penetapan tarif, Sensus Pajak Nasional, dan Sunset Policy, juga turut
mempengaruhi peningkatan penerimaan perpajakan.


2. Penerimaan Negara Bukan Pajak

Penerimaan Negara Bukan Pajak meliputi penerimaan sumber daya alam, bagian laba BUMN,
PNBP lainnya, dan Pendapatan BLU. Penerimaan sumber daya alam terdiri dari penerimaan
migas dan non migas. Penerimaan migas disumbang oleh penerimaan minyak bumi dan gas
alam. Penerimaan migas mengalami tren yang naik turun, tetapi relatif stabil dengan
9

penerimaan migas terbesar dialami oleh tahun 2012 sebesar 205,8 triliun dan terus menurun
hingga 171,3 triliun pada tahun 2014. Hal ini disebabkan oleh sulitnya menaikkan jumlah
produksi migas pertahun. Penerimaan non migas meliputi penerimaan pertambangan umum,
kehutanan, perikanan, dan pertambahan panas bumi. Penerimaan non migas memberikan
kontribusi terkecil terhadap total pendapatan negara. Namun demikian, tren penerimaan non
migas relatif meningkat rata-rata 15% pertahun.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (triliun rupiah)
250

Penerimaan SDA

200

Bagian Laba BUMN

150

PNBP Lainnya

100

Pendapatan BLU

50
0
2011

2012

2013

2014


Bagian laba BUMN memiliki tren yang meningkat. Pada tahun 2011 jumlah bagian laba BUMN
adalah sebesar 28,2 triliun. Kemudian menjadi 30,8 triliun pada tahun 2012, 36,5 triliun pada
tahun 2013, dan akhirnya menjadi 37 triliun pada tahun 2014. Peningkatan bagian laba BUMN
dipengaruhi oleh kinerja BUMN yang semakin baik.
PNBP lainnya berasal dari jasa pelayanan yang diberikan oleh kementerian negara/lembaga
(K/L) sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing K/L. Secara garis besar, PNBP
lainnya terbagi dalam beberapa jenis pendapatan, yaitu pendapatan dari pengelolaan barang
milik negara (BMN) serta pendapatan dari penjualan, pendapatan jasa, pendapatan bunga,
pendapatan kejaksaan dan peradilan, pendapatan pendidikan, pendapatan gratifikasi dan
uang sitaan hasil korupsi, pendapatan iuran dan denda, dan pendapatan lain-lain. Penerimaan
Negara dari PNBP lainnya rata-rata meningkat sebesar 9% pertahun.

Pendapatan BLU walaupun bernilai kecil, tetapi mengalami tren yang terus meningkat. Rata-
rata peningkatan pendapatan BLU sebesar 7% pertahun. Peningkatan ini dipengaruhi oleh
semakin banyaknya unit pelayanan pemerintah yang menjadi BLU dan semakin baiknya
kinerja unit pelayanan tersebut ketika menjadi BLU.
3. Hibah
Hibah merupakan penerimaan yang diperoleh pemerintah dari pemberi hibah tanpa perlu
dibayar kembali. Sifatnya tidak tentu dari tahun ke tahun karena sifatnya yang insidental dan
bergantung pada pemberi hibah, kecuali untuk hibah yang sudah dijanjikan dan menunggu
realisasi.

10

Penerimaan Hibah (triliun rupiah)


6
5
4
Hibah

3
2
1
0
2011

2012

2013

2014


Pada tahun 2011 pemerintah menerima hibah 5,3 triliun, kemudian berturut pada tahun
2012, 2013, dan 2014 pemerintah menerima hibah sebesar 5,8 triliun, 4,5 triliun, dan 1,4
triliun. Namun demikian, karena sifatnya yang tidak pasti serta nilainya yang relatif kecil,
pemerintah tidak mengandalkan hibah sebagai sumber penerimaan utama.

4. Belanja Pegawai
Belanja pegawai merupakan belanja yang memiliki jumlah kedua paling besar dari semua jenis
belanja setelah subsidi. Peningkatan belanja ini memiliki rata-rata peningkatan sebesar 16,4%
pertahun.
Pertumbuhan Belanja Pegawai (triliun rupiah)
300
250
200

Belanja Pegawai

150
100
50
0
2011

2012

2013

2014


Pada tahun 2011 besaran belanja ini sejumlah 175,7 triliun dan terus meningkat hingga
sebesar 276,7 triliun pada tahun 2014. Peningkatan belanja pegawai dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah untuk memperbaiki taraf hidup PNS.

5. Belanja Barang
Belanja Barang adalah pengeluaran untuk pembelian barang atau jasa yang habis pakai untuk
memproduksi barang atau jasa yang dimaksudkan untuk dijual atau diserahkan kepada
masyarakat. Belanja ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada tahun 2013 yaitu
sebesar 47%. Akan tetapi, pada tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 1% dari tahun
2013. Pada tahun 2011 belanja ini memiliki besaran 124,6 triliun kemudian naik menjadi 140,9
triliun pada tahun 2012, menjadi 206,5 triliun pada tahun 2013, dan akhirnya turun menjadi
203,7 triliun pada tahun 2014. Peningkatan belanja ini sejalan dengan upaya pemerintah
untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, seperti perbaikan mutu sarana dan
prasarana.

11

Pertumbuhan Belanja Barang (triliun rupiah)


250
200

Belanja Barang

150
100
50
0
2011

2012

2013

2014

6. Belanja Modal

Belanja modal adalah belanja dalam rangka memperoleh aset tetap/inventaris yang memiliki
masa manfaat lebih dari satu tahun. Belanja modal memiliki tren positif dengan rata-rata
pertumbuhan 21% pertahun. Peningkatan Belanja modal difokuskan untuk pembangunan
infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan Belanja Modal (triliun rupiah)
250
200

Belanja Modal

150
100
50
0
2011

2012

2013

2014

7. Pembayaran Bunga Utang

Pembayaran bunga utang muncul sebagai konsekuensi atas utang yang dimiliki pemerintah.
Pembayaran bunga utang meliputi dua jenis utang, yaitu utang dalam negeri dan utang luar
negeri. Pembayaran bunga utang memiliki tren yang relatif stabil.

12

Pembayaran Bunga Utang (triliun rupiah)

120
100

Bunga Utang Luar Negeri

80
Bunga Utang Dalam Negeri

60
Pembayaran Bunga Utang

40
20
0
2011

2012

2013

2014


Pembayaran utang dalam negeri cenderung meningkat, sementara pembayaran utang luar
negeri cenderung menurun.Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu bunga utang dalam negeri
lebih besar dibandingkan dengan bunga utang luar negeri dan kebijakan pemerintah yang
mulai menggeser porsi utang luar negeri dengan utang dalam negeri.

8. Subsidi
Subsidi terdiri atas dua, yaitu subsidi energi dan subsidi non energi. Subsidi mengalami tren
yang cenderung meningkat dari tahun 2011 ke tahun 2014, dengan sedikit penurunan di
tahun 2013. Tren pergerakan nilai subsidi sangat dipengaruhi subsidi energi ketimbang subsidi
non energi. Hal ini karena subsidi energi yang sifatnya lebih variabel dibandingkan dengan
subsidi non energi.
Naik turunnya subsidi sangat dipengaruhi oleh perubahan asumsi ekonomi makro, seperti
harga minyak mentah Indonesia, dan berbagai kebijakan pemerintah, seperti kebijakan
penyesuaian harga jual eceran BBM dalam negeri dan tarif tenaga listrik.
Mengingat tren perkembangan subsidi energi yang cenderung naik karena faktor yang berada
diluar kendali pemerintah maka dirasa perlu agar pemerintah dapat menggeser besaran nilai
subsidi energi untuk dialokasikan ke subsidi non energi. Dengan melakukan kebijakan untuk
menggeser besaran subsidi tersebut maka pemerintah lebih dapat mengendalikan besaran
subsidi karena sifat subsidi non energi yang lebih dapat dikontrol melalui kebijakan. Selain itu,
pemerintah harus menjaga besaran subsidi agar tidak membebani APBN.

13

Subsidi (triliun rupiah)

400
300
Non
Energi

200
100
0

9. Belanja Hibah

2011

2012

2013

2014

Belanja hibah merupakan pengeluaran yang sifatnya bertujuan untuk membantu pemerintah
daerah. Pertumbuhan belanja hibah sangat signifikan pada tahun 2013, yaitu dari 0,1 triliun
menjadi 2,3 triliun. Kemudian meningkat lagi menjadi 3,5 triliun pada tahun 2014. Terkait
dengan peningkatan belanja ini yang signifikan, pemerintah perlu lebih meningkatkan
pengawasan terhadap kegiatan penggunaan alokasi belanja ini oleh pemerintah daerah.
Pertumbuhan Belanja Hibah (triliun rupiah)
3,5
3
2,5
Belanja Hibah

2
1,5
1
0,5
0
2011

2012

2013

2014

10. Bantuan Sosial

Belanja ini dilakukan untuk melindungi masyarakat dari risiko sosial dan meningkatkan
kemampuan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat. Belanja untuk bantuan sosial meliputi
penanggulangan bencana dan bantuan yang diberikan oleh K/L. Belanja untuk
penanggulangan bencana memiliki tren yang relatif stabil, tetapi cenderung menurun.
Penurunan pada bantuan yang diberikan oleh K/L disebabkan oleh perubahan kaidah
pencatatan yang semula dicatat di akun bantuan sosial menjadi dicatat di akun belanja
barang.

14

Bantuan Sosial (triliun rupiah)

100
80

Penanggulangan
Bencana

60

Bantuan yang
diberikan oleh K/L

40

Bantuan Sosial

20
0
2011

2012

2013

2014

11. Belanja Lain-lain

Belanja lain-lain besarnya variatif dari tahun ke tahun. Akan tetapi, pada tahun 2013 terjadi
peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari 4,1 triliun menjadi 19,3 triliun. Kemudian
meningkat lagi di tahun 2014 menjadi 28,9 triliun. Karena sifat belanja ini yang sulit untuk
didefinisikan, pemerintah perlu melakukan pengawasan lebih agar tidak terjadi
penyalahgunaan.

Pertumbuhan Belanja Lain-lain (triliun rupiah)


30
25
20

Belanja Lain-lain

15
10
5
0
2011

2012

2013

2014



C. ANALISIS PERTUMBUHAN
Analisis pertumbuhan anggaran ini diukur dengan menggunakan rasio pertumbuhan yang
berguna untuk mengukur seberapa besar tingkat pertumbuhan anggaran pemerintah dalam
mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapainya dari periode satu ke
periode berikutnya. Analisis petumbuhan anggaran ini dipisahkan menjadi dua rasio yaitu
pertumbuhan anggaran pendapatan dan pertumbuhan anggaran belanja, yang sebelumnya
diberikan gambaran mengenai pertumbuhan anggaran pendapatan dan belanja secara
keseluruhan untuk tiga tahun terakhir yaitu dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014. Dalam
paper ini, kami menganalisis pertumbuhan anggaran belanja yang dijabarkan ke belanja
berdasarkan jenis dan fungsi.
Rasio pertumbuhan anggaran dihitung dengan rumus berikut
15

Rasio pertumbuhan = Xn Xn-1


Xn

X 100%


Dimana
Xn = Anggaran tahun ini
Xn-1 = Anggaran tahun sebelumnya
Dengan rumus tersebut didapat rasio sebagai berikut:
1. Rasio pertumbuhan anggaran secara global
URAIAN
PENDAPATAN NEGARA
BELANJA NEGARA

2011
1,104.9
1,229.6

2012
1,311.4
1,435.4

2013
1,529.7
1,683.0

2014
1,667.1
1,842.5


18.7%
16.7%


16.6%
17.2%


9.0%
9.5%


5,3%


4.9%


5.5%


PERTUMBUHAN PENDAPATAN
PERTUMBUHAN BELANJA

INFLASI (ASUMSI MAKRO)


2. Rasio pertumbuhan anggaran pendapatan
Uraian

2011

2012

2013

2014

APBN

APBN

APBN

APBN

Tingkat Pertumbuhan
2012

2013

2014

1. Penerimaan Perpajakan

839.5

1,032.6

1,192.9

1,310.20

0.23

0.16

0.10

a. Pajak dalam Negeri

816.4

989.6

1,134.2

1,256.30

0.21

0.15

0.11

i. Pajak Penghasilan

414.5

520.0

584.9

591.60

0.25

0.12

0.01

1. PPh Migas
2. PPh Nonmigas
ii. Pajak Pertambahan Nilai

54.2
360.3
309.3

60.9
459.0
352.9

71.4
513.5
423.7

68.40
523.30
518.90

0.12
0.27
0.14

0.17
0.12
0.20

(0.04)
0.02
0.22

27.7
-
60.7

35.6
-
75.4

27.3
-
92.0

25.50
-
114.30

0.29
-
0.24

(0.23)
-
0.22

(0.07)
-
0.24

4.2

5.6

6.3

6.00

0.33

0.13

(0.05)

23.1

42.9

58.7

53.90

0.86

0.37

(0.08)

18.0

23.7

27.0

33.90

0.32

0.14

0.26

5.1

19.1

31.7

20.00

2.72

0.66

(0.37)

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak

243.1

278.0

332.2

350.90

0.14

0.19

0.06

a. Penerimaan SDA

158.2

177.2

197.2

198.10

0.12

0.11

0.00

i. Migas

145.3

159.5

174.8

171.30

0.10

0.10

(0.02)

1. Minyak bumi

104.7

113.7

120.9

127.20

0.09

0.06

0.05

2. Gas alam

40.5

46.0

53.9

44.10

0.14

0.17

(0.18)

ii. Non Migas

12.9

17.8

22.3

26.70

0.38

0.25

0.20

1. Pertambangan umum

9.9

14.4

17.6

21.30

0.45

0.22

0.21

2. Kehutanan

2.5

3.0

4.2

4.70

0.18

0.38

0.13

3. Perikanan

0.1

0.1

0.2

0.30

1.00

0.50

4. Pertambangan Panas Bumi

0.4

0.2

0.4

0.50

(0.50)

1.00

0.25

26.6

28.0

33.5

37.00

0.05

0.20

0.10

iii. Pajak Bumi dan Bangunan


iv. BPHTB
v. Cukai
vi. Pajak Lainnya
b. Pajak Perdagangan
Internasional
i. Bea Masuk
ii. Bea Keluar

b. Bagian Laba BUMN

16

c. PNBP Lainnya

43.4

53.5

78.0

91.10

0.23

0.46

0.17

d. Pendapatan BLU

14.9

19.2

23.4

24.80

0.29

0.22

0.06

0.8

4.5

1.40

4.60

(0.69)

3. Hibah


3. Rasio Pertumbuhan Belanja Pemerintah
a. Menurut Jenis Belanja

1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
3. Belanja Modal
4. Pembayaran Bunga Utang
a. Utang Dalam Negeri
b. Utang Luar Negeri
5. Subsidi
a. Energi
b. Non Energi
6. Belanja Hibah
7. Bantuan Sosial
a. Dana Penanggulangan
Bencana Alam
b. Bantuan Melalui K/L
8. Belanja Lain-Lain

Tingkat Pertumbuhan
2012
2013
2014
0.20
0.12
0.09
0.43
0.07
(0.06)
0.25
0.21
0.24
0.05
(0.07)
0.07
0.10
(0.09)
0.35
(0.06)
(0.03)
(0.63)
0.13
0.52
0.05
0.26
0.63
0.03
(0.21)
0.05
0.21
1.33
1.02
(0.03)
(0.22)
0.54
(0.24)

2011

2012

2013

2014

180.6
131.5
121.7
116.4
80.3
36.0
184.8
133.8
51.0
0.8
61.5

215.9
188.0
151.9
122.2
88.5
33.7
208.9
168.6
40.3
1.8
47.8

241.6
200.7
184.4
113.2
80.7
32.5
317.2
274.7
42.5
3.6
73.6

263.0
188.9
229.5
121.3
109.1
12.2
333.7
282.1
51.6
3.5
55.9

4.0

4.0

4.0

3.0

(0.25)

57.5
26.3

43.8
28.5

69.6
20.0

52.9
36.9

(0.24)
0.09

0.59
(0.30)

(0.24)
0.85

2011

2012

2013

2014

APBN

APBN

APBN

APBN


b. Menurut fungsi
Fungsi
Pelayanan umum
Pertahanan

Tingkat Pertumbuhan
2012

2013

2014

525.4
45.2

590.8
72.5

720.1
81.8

794.8
86.3

0.12
0.60

0.22
0.13

0.10
0.06

Ketertiban keamanan

19.7

30.2

36.5

38.0

0.53

0.21

0.04

Ekonomi
Lingkungan hidup
Perumahan dan fasilitas
umum
Kesehatan

95.6
11.1

102.7
11.5

122.9
12.4

128.3
12.2

0.07
0.03

0.20
0.08

0.04
(0.02)

23.4

26.5

30.7

31.5

0.13

0.16

0.03

12.8

15.6

17.5

13.1

0.21

0.12

(0.25)

2.3

2.5

2.5

2.1

0.08

0.02

(0.16)

1.6
82.0

3.6
103.7

4.1
118.5

4.5
131.3

1.17
0.26

0.15
0.14

0.10
0.11

4.4

5.6

7.4

8.1

0.26

0.33

0.09

Pariwisata budaya
Agama
Pendidikan
Perlindungan Sosial


Berdasarkan tabel-tabel di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Walaupun secara nominal anggaran pendapatan terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun, namun tingkat peningkatannya justru mengalami penurunan. Anggaran untuk belanja
juga secara nominal mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun peningkatannya
mengalami penurunan dari tahun 2013 ke tahun 2014. Tingkat pertumbuhan anggaran
pendapatan tertinggi terjadi pada tahun 2012 dan terendah pada tahun 2014, sedangkan
17

tingkat pertumbuhan anggaran belanja tertinggi terjadi pada tahun 2013 dan terendah pada
tahun 2014.
2) Anggaran pendapatan secara keseluruhan mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun,
namun pada tahun 2012 terdapat penurunan pada komponen penyumbang penerimaan
negara dari PNBP yaitu Pertambangan Panas Bumi sebesar 50%, walaupun jumlah ini tidak
secara signifikan memberikan pengaruh terhadap proyeksi pendapatan secara keseluruhan.
Pada tahun 2013 juga walaupun secara keseluruhan terjadi peningkatan anggaran
pendapatan, namun terdapat satu komponen yang dianggarkan mengalami penurunan yaitu
panerimaan pajak lewat PBB sebesar 23%. Pada tahun anggaran 2014 terdapat beberapa
komponen yang dianggarkan mengalami penurunan di masing-masing penerimaan baik pajak
maupun bukan pajak dan juga hibah.
3) Anggaran belanja pemerintah pusat secara nominal memang mengalami pertumbuhan,
namun di beberapa pos pengeluaran di tahun 2012 terjadi penurunan, antara lain
pembayaran bunga utang luar negeri, subsidi non energy dan bantuan sosial melalu
Kementrian/Lembaga. Hal serupa juga terjadi di tahun 2013 yaitu untuk pos belanja
pembayaran bunga utang baik dalam neberi maupun luar negeri dan untuk pos pengeluaran
belanja lain-lain. Pada tahun 2014 terjadi perunan pertumbuhan untuk anggaran belanja
barang, pembayaran bunga utang luar negeri, belanja hibah dan bantuan sosial.
4) Anggaran belanja pemerintah pusat jika dilihat dari fungsinya mengalami peningkatan untuk
setiap komponennya dari di tahun 2012 dan 2103, kecuali pada tahun 2014 terdapat
penurunan pertumbuhan untuk belanja lingkungan hidup, kesehatan, dan pariwisata budaya.


D. ANALISIS KEMAMPUAN ANGGARAN
Kemampuan anggaran suatu pemerintah dapat dilihat dari ketersediaan sumber keuangan
pemerintah yang dapat digunakan untuk mendanai aktivitas belanja pemerintah selama periode
tertentu. Sumber keuangan pemerintah terdiri dari pendapatan negara dan pembiayaan, jika
dilihat dari struktur APBN Tahun 2014 (Tabel Ringkasan APBN Tahun 2008-2014), pendapatan
dianggarkan sebesar Rp 1.667.140,8 Milyar, sedangkan pembiayaan sebesar Rp 175.354,5 M. Dari
sumber keuangan tersebut diharapkan dapat membiayai belanja pemerintah sebesar Rp
1.842.495,3 Milyar. APBN dikatakan berkesinambungan apabila ia memiliki kemampuan untuk
membiayai seluruh belanjanya selama jangka waktu yang tidak terbatas (Langenus, 2006; Yeyati
dan Sturzenegger, 2007). Selanjutnya, upaya menjaga kesinambungan fiskal dilakukan melalui 3
(tiga) langkah utama, yaitu (1) pengendalian defisit dalam batas aman; (2) mengendalikan
keseimbangan primer melalui optimalisasi penerimaan negara dan perbaikan struktur belanja
negara agar lebih efisien dan produktif; serta (3) peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
utang.

Ringkasan APBN Tahun 2008-2014
(Miliar Rupiah)

18

Sumber: Nota Keuangan Tahun 2014



Analisa kemampuan anggaran dapat dilakukan terhadap pendapatan dan belanja negara.
Pendapatan negara merupakan komponen yang sangat penting dan strategis dalam struktur
APBN mengingat peranannya sebagai sumber dari kapasitas fiskal Pemerintah, menekan defisit
anggaran, dan pembiayaan belanja negara. Pengertian kapasitas fiskal adalah sejumlah
pendapatan yang dapat dihasilkan oleh suatu negara/daerah. Kapasitas fiskal bisa pula disebut
sebagai potensi penerimaan. Potensi penerimaan ini menurut Simanjuntak (2002) terdiri dari,
potensi industri, potensi sumber daya alam (SDA), dan potensi sumber daya manusia (SDM).
Menurut Sirait (2009), kapasitas fiskal daerah merupakan kemampuan pemerintah daerah untuk
menghimpun pendapatan berdasarkan potensi yang dimilikinya. Berdasarkan laporan UNDP
(2009), kapasitas fiskal menggunakan sejumlah indikator untuk menilai apakah suatu negara
mampu untuk dikenakan defisit yang lebih tinggi tanpa membahayakan stabilitas makro-ekonomi
atau keberlanjutan utang. Indikator-indikator ini meliputi:

1. Perimbangan Keuangan
Posisi anggaran pemerintah adalah cocok untuk dimasukkan karena mencerminkan
ketahanan dalam menangkal dari kejutan. Negara dengan defisit fiskal tinggi akan
mengalami kesulitan dalam melaksanakan langkah-langkah countercyclical (kebijakan pro-
aktif pemerintah guna mengatasi pergerakan siklus ekonomi yang ekstrim, bisa berupa
booming maupun resesi), sementara negara dengan posisi fiskal yang kuat bisa menggunakan
pengeluaran diskresioner atau pajak pemotongan untuk mengurangi krisis (UNESCAP 2009).
Dalam kerangka APBN 2014, Pemerintah menempuh kebijakan defisit anggaran dalam rangka
menjaga momentum pertumbuhan ekonomi melalui pemberian stimulus fiskal secara
terukur, dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal. Dalam kerangka tersebut, target defisit
19

anggaran dalam APBN 2014 ditetapkan sebesar 1,69 persen terhadap PDB. Besaran defisit
anggaran ini sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dimana jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD
dibatasi tidak melebihi 3% (tiga persen) dari PDB tahun bersangkutan. Target defisit anggaran
tahun 2014 menurun jika dibandingkan target defisit APBNP 2013 yang mencapai 2,38 persen
terhadap PDB. Penurunan defisit anggaran ini dilakukan dalam rangka pengetatan fiskal
sebagai upaya untuk memberikan ruang gerak yang cukup dalam mempertahankan stabilitas
dan fundamental perekonomian nasional.

2. Utang Luar Negeri
Hal ini dianggap sebagai ukuran baik karena ketahanan negara dengan tingkat tinggi utang
eksternal mungkin merasa lebih sulit untuk memobilisasi sumber daya untuk mengatasi
dampak guncangan eksternal. Variabel ini juga "menunjukkan ketahanan yang bersifat
menangkal" (Briguglio et al. 2008).
Rasio utang pemerintah pada tahun 2014 diperkirakan sebesar 23%, menurun dari rasio utang
terhadap PDB dalam APBNP 2013 yang diperkirakan mencapai 23,4% terhadap PDB. Besaran
rasio utang ini sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 dimana
jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dibatasi tidak melebihi
60% (enam puluh persen) dari PDB tahun bersangkutan. Berdasarkan analisa atas besaran
defisit anggaran dan rasio utang terhadap PDB di atas, struktur APBN tahun 2014 dapat
dikatakan wajar.
Selama tiga tahun terakhir, portofolio utang Pemerintah semakin didominasi oleh instrumen
SBN terutama SBN domestik. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi porsi utang luar negeri,
karena utang luar negeri dinilai lebih beresiko jika dibandingkan dengan utang dalam negeri.
Resiko tersebut antara lain:
a. Mengurangi ketergantungan terhadap pihak asing. Ketergantungan terhadap pihak asing
cenderung menimbulkan intervensi pihak asing. Dengan mengurangi porsi utang luar
negeri diharapkan Indonesia bisa lebih leluasa mengelola sumber keuangannya
khususnya yang diperoleh dari pinjaman.
b. Utang luar negeri sangat dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
Hal ini akan sangat beresiko jika nilai tukar rupiah melemah yang akan mengakibatkan
nilai utang yang harus dibayar meningkat, seperti yang terjadi pada krisis ekonomi tahun
1997-1998.
c. Porsi utang luar negeri yang tinggi akan mengakibatkan beban anggaran yang besar di
masa yang akan datang, berupa pembayaran pokok dan bunga utang yang juga tinggi.
Dengan kebijakan utang yang lebih memprioritaskan utang dalam negeri, diharapkan resiko di
atas dapat dikurangi dan pembiayaan negara bisa lebih mandiri sehingga tidak tergantung
pada pihak asing.

3. Saldo Rekening Transaksi Berjalan
Saldo transaksi berjalan adalah jumlah dari neraca perdagangan (laba bersih ekspor dikurangi
pembayaran untuk impor), faktor pendapatan (laba atas investasi asing dikurangi pembayaran
20

yang dilakukan kepada investor asing) dan transfer tunai. Ini adalah indikator penting dari
kapasitas fiskal
karena setiap arus akun defisit (defisit perdagangan) akan perlu dibiayai. Dengan demikian
akan menempatkan batasan pada seberapa banyak tambahan utang negara bisa berasumsi,
sehingga membatasi kapasitas negara untuk memperkenalkan langkah-langkah
countercyclical.

4. Tingkat Tabungan
Tingkat tabungan merupakan indikator yang berguna kapasitas fiskal suatu negara. Hal ini
karena tingkat tabungan yang tinggi dapat meningkatkan dana dalam negeri yang tersedia
dan menyediakan negara dengan sumber daya internal yang cukup untuk terlibat dalam
pengeluaran countercyclical.

5. Cadangan Devisa
Cadangan devisa (termasuk devisa dan emas dan posisi cadangan IMF) adalah aset dari bank
sentral dan diadakan di cadangan berbeda mata uang, terutama dolar AS, dan, pada tingkat
lebih rendah, mata uang lainnya. Cadangan ini digunakan untuk mendukung kewajiban dari
pemerintah atau lembaga keuangan. Dengan demikian, cadangan devisa merupakan indikator
penting kemampuan untuk membayar kembali utang luar negeri dan digunakan untuk
mempertahankan mata uang dan untuk menentukan peringkat kredit dari bangsa; pada saat
yang sama, meskipun, dana pemerintah lainnya yang dihitung sebagai aset cair juga bisa
menjadi diterapkan pada kewajiban dalam masa krisis (seperti dana stabilisasi, juga dikenal
sebagai dana sovereign wealth).

Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pendapatan negara terdiri
atas penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan penerimaan hibah.
Penerimaan dari sektor perpajakan masih menjadi andalan pemerintah untuk mendanai
belanjanya. Hal ini terlihat dari persentase penerimaan pajak yang tinggi dari total penerimaan
yaitu senilai 76,8% dengan rasio pajak terhadap PDB senilai 12,3%. Tingginya ketergantungan
pemerintah terhadap penerimaan dari sektor perpajakan menyebabkan APBN tidak memiliki
ruang fiskal yang cukup longgar untuk membiayai belanja-belanja tidak terikat dan belanja lain-
lain karena penerimaan dari sektor perpajakan tidak dapat dengan mudah ditingkatkan mengingat
pajak sangat berkorelasi dengan perekonomian nasional.
Ruang fiskal (fiskal space) dalam Nota Keuangan 2014 diartikan sebagai ketersediaan sumberdaya
keuangan bagi pemerintah untuk membiayai kebijakan yang diinginkan melalui anggaran.
Kapasitas fiskal selama ini masih terbatas, disebabkan oleh anggaran belanja negara yang setiap
tahunnya lebih besar digunakan untuk membiayai belanja terikat (mandatory spending) yaitu
pengeluaran negara pada program-program tertentu yang dimandatkan atau diwajibkan oleh
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Belanja negara dapat dibedakan menjadi belanja
mengikat atau pengeluaran-pengeluaran yang bersifat wajib (nondiscretionary expenditures) dan
belanja tidak mengikat atau discretionary expenditures. Mandatory spending termasuk
pengeluaran yang bersifat wajib, antara lain:
1. kewajiban penyediaan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD;
21

2. kewajiban penyediaan Dana Alokasi Umum (DAU) minimal 26 persen dari penerimaan dalam
negeri neto, dan Dana Bagi Hasil (DBH);
3. penyediaan alokasi anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN;
4. penyediaan dana otonomi khusus sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus provinsi
Aceh dan Papua masing-masing sebesar 2 persen dari DAU Nasional.

Struktur Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah Tahun 2014
Uraian
Tahun 2014
Total Belanja Negara
1.842.495,3
Total Belanja Terikat (Nondiscretionary spending)
1.310.498,7
a. Belanja Pegawai
262.978,3
b. Belanja Pembayaran Bunga
121.285,5
c. Belanja Subsidi
333.682,6
d. Transfer ke Daerah
592.552,3
Total Belanja Negara-Total Belanja Tidak Terikat
531.996,7
Rasio Belanja Terikat terhadap Total Belanja Negara
71%
Rasio Belanja Tidak Terikat terhadap Total Belanja Negara
29%
Sumber: Data diaolah dari Nota Keuangan Tahun 2014


Jika dilihat dari struktur Belanja Pemerintah Tahun 2014, porsi belanja yang bersifat wajib
(nondiscretionary expenditures) jauh lebih besar yaitu 71% dari total belanja dibandingkan
belanja yang tidak terikat yaitu 29%. Hal ini mengakibatkan rendahnya fiscal space yang dapat
digunakan pemerintah untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Beberapa hal yang
dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan fiscal space antara lain:
1. Meningkatkan penerimaan. Dalam konteks pemerintah, dapat melakukannya melalui
instrumen pajak. Apakah itu memperluas basis pajak, peningkatan tarif pajak atau reformasi
sistem perpajakan agar lebih efisien;
2. Meminjam/berhutang. Pemerintah dapat melakukan pinjaman dari DN & LN, baik berupa
pinjaman langsung antar negara atau lembaga donor lainnya atau penerbitan obligasi negara.
Namun, ada yang perlu diperhatikan dalam meminjam ini, yaitu memperhatikan kemampuan
untuk membayarnya sehingga utang dilakukan dalam rangka investasi bukan konsumsi;
3. Mereview pengeluaran yang ada. Di sisi pemerintah dapat membuat skala prioritas,
merealokasikan belanja yang tidak atau sedikit benefitnya kepada belanja yang lebih
produktif;
4. Hal keempat ini hanya dapat dilakukan oleh pemerintah suatu negara, yaitu dengan
pencetakan uang. Namun, hal ini jarang dilakukan karena kuatir terhadap dampak inflasi yang
ditimbulkan.


E. ANALISIS SEBAB AKIBAT KETERLAMBATAN PENYUSUNAN
Penyusunan anggaran merupakan tahap pertama dari siklus APBN. Pihak yang terlibat dalam
proses penyusunan APBN yaitu Kementerian Keuangan, Bappenas, Kementerian/Lembaga dan
DPR. Alur proses penganggaran APBN terlihat pada gambar di bawah ini.

22

Penyusunan dan Penetapan APBN


Aturan yang dibuat oleh Pemerintah sebagai landasan hukum dalam penyusunan APBD adalah
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006
sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, proses penyusunan dan penetapan APBD diuraikan pada tabel di
bawah ini.
Penyusunan dan Penetapan APBD
No Uraian
Waktu
Keterangan
1.
Penyusunan RKPD
Akhir bulan Mei

2.
Penyampaian Rancangan KUA dan
Minggu I bulan Juni
1 minggu
Rancangan PPAS oleh Ketua TAPD
kepada KDH
3.
Penyampaian Rancangan KUA dan
Pertengahan bulan Juni
6 minggu
Rancangan PPAS oleh KDH kepada
DPRD
4.
Rancangan KUA dan Rancangan PPAS Akhir bulan Juli
disepakati antara KDH & DPRD
5.
SE KDH perihal Pedoman RKA-SKPD
Awal bulan Agustus
1 minggu
dan RKA-PPKD
6.
Penyusunan dan Pembahasan RKA-
Awal Agustus s/d Akhir
7 minggu
23

7.
8.

9.
10.

SKPD dan RKA-PPKD serta


Penyusunan RAPBD
Penyampaian RAPBD kepada DPRD
Pengambilan Persetujuan Bersama
(DPRD dan KDH)

September
Minggu pertama bulan Oktober
Paling lama 1 (satu) bulan
sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan (bulan
November)
15 hari kerja (bulan Desember)
Paling lambat akhir Desember
(31 Desember)

Hasil evaluasi RAPBD


Penetapan Perda tentang APBD dan
Perkada tentang Penjabaran APBD
sesuai dengan hasil evaluasi

2 bulan


1. Sebab Penyusunan Anggaran Terlambat
Keterlambatan penyusunan anggaran menjadi hal yang lazim di Indonesia. Pada tahun 2014
ada empat provinsi yang belum mengesahkan anggaran yaitu Sumatera Utara, Sumatera
Barat, DKI Jakarta dan Papua Barat (Tempo, 22 Januari 2014). Proses penyusunan anggaran
tidak selamanya berjalan lancar. Berbagai kendala muncul sehingga proses penyusunan
anggaran menjadi terhambat. Selanjutnya akan kami paparkan berbagai macam faktor yang
menyebabkan keterlambatan penyusunan anggaran.
a. Penentuan Asumsi Dasar Anggaran
Tahap penyusunan APBN diawali dengan persiapan rancangan APBN oleh Pemerintah,
antara lain meliputi penentuan asumsi dasar APBN,perkiraan pendapatan negara dan
hibah, belanja negara pembiayaan defisit, skala prioritas dan penyusunan budget exercise.
Pada tahapan pembahasan pendahuluan dengan komisi XI dan Badan Anggaran DPR
sering terjadi perbedaan pendapat dalam menetukan asumsi makro terkait Produk
Domestik Bruto (PDB) dalam rupiah, Pertumbuhan ekonomi tahunan (%), Inflasi (%), Nilai
tukar rupiah per USD, Suku bunga SBI 3 bulan (%), Harga minyak indonesia (USD/barel),
Produksi minyak Indonesia (barel/hari). Pemerintah menggunakan model-model ekonomi
makro sebagai alat analisa yang berguna untuk mendukung penentuan asumsi dasar.
Dalam pembahasan RUU APBN oleh DPR sering kali terjadi ketidaksepakatan terkait
dengan asumsi makro. Hal terjadi karena banyak faktor yang tidak dapat diprediksi secara
andal. Seperti dalam penentuan nilai tukar rupiah per USD, pemerintah mengakui bahwa
belum ada metodologi yang dapat memperkirakan besaran nilai tukar secara presisi. Hal
tersebut terjadi mengingat pergerakan nilai tukar sangat dipengaruhi oleh mekanisme
pasar, dimana banyak terdapat faktor di luar kendali pemerintah. Faktor inilah yang
kemudian menimbulkan perbedaan pendapat antara DPR dengan pemerintah yang
disebabkan oleh perbedaan analisis.
b. Hubungan Eksekutif dan Legislatif
Salah satu bentuk hubungan yang berpengaruh pada penyusunan APBD adalah hubungan
keagenan. Hubungan keagenan memperlihatkan adanya prinsipal dan agen serta
terjadinya pendelegasian wewenang. Legislatif sebagai prinsipal mempunyai kewenangan
untuk mengesahkan anggaran yang dibuat oleh eksekutif sebagai agen. Jika hubungan
eksekutif dan legislatif tidak selaras dan lebih mengarah pada keagenan maka terjadi
keterlambatan dalam proses penyusunan APBD.
24

c. Kepentingan politik di lembaga legislatif


Kedisiplinan anggota legislatif yang lebih mengedepankan kepentingan partai, kelompok
atau golongan daripada kepentingan masyarakat di daerahnya. Alasan politik, yakni
adanya pertentangan politis antara sebagian anggota DPRD dengan Kepala Daerah. Hal ini
terkadang sama sekali tidak berhubungan dengan proses penyusunan APBD, namun
dipaksanakan untuk menjadi penghambat untuk pengesahan APBD. Tercermin dari proses
pengesahan RAPBD DKI Jakarta yang masih tertunda hingga penghujung ketiga Januari
2014 meskipun pada awalnya akan disahkan pada 30 November 2013.
d. Hambatan moral (komitmen)
Komitmen merupakan kesepakatan yang dibuat oleh pihak-pihak terkait dalam
menjalankan tugas dan fungsinya dalam rangka mewujudkan visi, misi, sasaran dan tujuan
organisasi. Adanya komitmen ini menjadi motivasi bagi pihak-pihak terkait dalam proses
penyusunan anggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan banyaknya kasus keterlambatan penyusunan anggaran membuktikan bahwa
kurang atau bahkan tidak ada komitmen eksekutif dan legislatif untuk menyusun anggaran
secara tepat waktu.
e. Persoalan teknis
Kemampuan eksekutif di daerah dalam menyiapkan rancangan APBD terkendala dalam
upaya pemenuhan standar anggaran. Terlebih lagi dalam penerapan anggaran berbasis
kinerja. Hambatan yang sering terjadi adalah
1) kekurangan infomasi dalam penetapan indikator kinerja pada setiap level;
2) kesulitan menerjemahkan Indikator kinerja dalam APBD; dan
3) belum adanya parameter kinerja dalam penyusunan APBD yaitu Standar Pelayanan
Minimal (SPM) dan Standar Analisa Belanja (SAB).
f. Sumber Daya Manusia
Bidang ilmu yang dikuasai oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD
hendaknya sejalan dengan kegiatan penganggaran. Tetapi pada kenyataannya, anggota
yang terlibat dalam proses penyusunan APBD seperti Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD), Badan Anggaran (Banggar) DPRD dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD)
kurang memiliki dasar ilmu yang berkaitan dengan sistem penyusunan anggaran. Sumber
daya manusia di bidang penyusunan anggaran yang tidak memiliki kompetensi dan
keterampilan yang cukup menjadi kendala tercapainya penyusunan anggaran tepat waktu.

2. Akibat Penyusunan Anggaran Terlambat
Keterlambatan dalam proses penyusunan anggaran tentu mempunyai dampak yang
merugikan. Berbagai akibat yang terjadi saat penyusunan anggaran terlambat yaitu:
a. Bagi pemerintah daerah yang terlambat mengesahkan APBD maka akan terkena sanksi.
Berdasarkan amanah PP 65 Tahun 2010 tentang Perubahan PP 56 Tahun 2005 sanksi
berupa penangguhan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar DAU 25 persen. DAU bagi
pemerintah daerah ini biasanya digunakan untuk membayar pensiun serta gaji pegawai
negeri sehingga pembayaran tidak bisa terlaksana tepat waktu.
b. Keterlambatan pengesahan APBD berarti belum ada anggaran yang bisa digunakan dalam
menjalankan program-program pemerintah. Hal ini tentu mengganggu kegiatan
pemerintah seperti:
25

1) Tagihan/kewajiban pemerintah yang pembayarannya menggunakan dana APBD


terlambat dibayarkan;
2) Proyek pemerintah terlambat dimulai. Penundaan proses lelang berarti
mempersingkat waktu pelaksanaan suatu proyek. Hal ini memungkinkan proyek belum
selesai tetapi tahun anggaran telah berakhir; dan
3) Pembayaran yang sudah jatuh tempo tidak dapat diselesaikan pemerintah daerah.
Program pemerintah yang tertunda pelaksanaannya menjadi sebab tidak tercapainya
program dan kegiatan yang sudah direncanakan serta program tersebut menjadi tidak
tepat sasaran.
c. Ketika APBD terlambat ditetapkan melebihi 31 Desember, maka di masa APBD belum
disahkan maka aliran dana dari sektor pemerintah akan terhambat dan itu memberikan
pengaruh pada aliran uang atau transaksi di daerah dan pada akhirnya perekonomian
daerah turut merasakan dampak dengan adanya kelesuan ekonomi.
d. Keterlambatan penyusunan APBD jelas merugikan masyarakat. Masyarakat yang
semestinya sudah menerima anggaran pembangunan atau pelayanan publik terpaksa
harus tertunda sampai APBD telah ditetapkan. Terlambatnya pelaksanaan program
pemerintah daerah yang umumnya sebagian besar pendanaan program tersebut berasal
dari APBD. Program yang terlambat dilaksanakan dapat berpengaruh pada pelayanan
publik terhadap masyarakat.

F. SARAN PERBAIKAN
Dari analisis yang telah kami lakukan, terdapat beberapa saran yang dapat kami berikan untuk
perbaikan penganggaran Indonesia. Saran tersebut antara lain adalah perlunya percepatan
penerapan kebijakan pemerintah untuk mengurangi membengkaknya belanja-belanja negara dari
sektor subsidi, utamanya subsidi bahan bakar. Hal ini dikarenakan pos untuk belanja subsidi
bahan bakar merupakan pos yang signifikan namun penyampaiannya masih dirasa kurang tepat
sasaran. Kebijakan-kebijakan yang telah disusun oleh pemerintah hendaknya lebih dapat
bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat secara luas.
Di samping itu, untuk mencegah terjadinya keterlambatan penyusunan anggaran, saran
perbaikan yang kami usulkan sebagai berikut:
1. Melengkapi berbagai aspek dalam pelaksanaan anggaran berbasis kinerja yang efektif seperti
menyiapkan SPM dan SAB Nasional.
2. Menyusun peraturan reward and punishment
Pemberian sanksi atas keterlambatan penyusunan anggaran yang lebih berat selain
penundaan pencairan DAU sehingga memberi efek jera bagi pemerintah daerah. Serta
pemberian insentif kepada pemerintah daerah yang mampu menyusun anggaran tepat waktu
sebagai motivasi untuk selalu menyelesaikan tahap penyusunan anggaran sesuai aturan.
3. Transparansi penyusunan anggaran.
Masyarakat mampu memainkan fungsi kontrol terhadap proses penyusunan anggaran yang
dilakukan secara transparan. Dengan keterbukaan ini maka dapat diketahui masalah yang
terjadi sehingga proses penyelesaian dapat diawasi oleh masyarakat. Pihak legislatif yang ikut
andil dalam menghambat proses pengesahan anggaran dapat diidentifikasi sehingga
masyarakat
4. Meningkatkan kemampuan SDM yang terlibat dalam penyusunan APBD
26

Kompetensi dan keahlian SDM harus menjadi perhatian utama bagi pemeritah daerah dalam
penyusunan APBD dan dalam kegiatan lainnya. Penempatan pegawai hendaknya didasarkan
pada pertimbangan bahwa pihak yang bertugas tersebut memiliki keahlian dan kompetensi
terkait dengan tugas dan kegiatan yang harus dilakukan tersebut dengan tujuan pelaksanaan
yang efektif dan efisien. Selain itu, pendidikan informal yang berhubungan dengan
pelaksanaan penganggaran daerah perlu ditingkatkan. Salah satu bentuk peningkatan peran
pendidikan informal adalah pemerintah daerah dapat secara mandiri menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan penganggaran keuangan daerah. Hal tersebut
dapat menambah kompetensi dan keahlian pihak yang telah berlatar pendidikan terkait
penganggaran keuangan daerah serta memberikan tambahan ilmu baru bagi pihak yang
belum berkompeten dalam hal tersebut.
5. Sinergi Eksekutif dan Legislatif
Membina hubungan yang harmonis dan bersinergi antara eksekutif maupun legislatif perlu
dilakukan secara mendalam dan menyeluruh. Kedua belah pihak tersebut harus memahami
tujuan dari penyusunan APBD bagi pelaksanaan pemerintahan. Menempatkan kepentingan
masyarakat diatas kepentingan partai, golongan dan pribadi. Masyarakat mampu menilai
kinerja pemerintah, sehingga ketika kinerja tidak seperti yang diharapkan maka kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga eksekutif dan legislatif menurun.
6. Meningkatkan komitmen pemerintah daerah dan DPRD untuk benar-benar mentaati amanat
aturan yang berkaitan dengan tahapan penyusunan APBD.

27


DAFTAR PUSTAKA



Pemerintah Negara Republik Indonesia. Nota Keuangan dan APBN 2014.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN
dan APBD, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Kuncoro, Haryo. 2011. Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang. Jakarta: Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, April 2011.

SindoNews.com. 2013. Kementerian/Lembaga yang Memperoleh Anggaran Terbesar APBN 2014.
Diakses dari http://ekbis.sindonews.com/read/2013/12/10/33/815213/ini-k-l-yang-peroleh-
anggaran-terbesar-apbn-2014 pada 28 Januari 2014.

Kompasiana.com. 2012. FiscalSpace. Diakses dari http://ekonomi.kompasiana.com/
moneter/2012/03/07/fiscal-space-444936.html pada tanggal 28 Januari 2014.

http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Master-22528-082188630077%20-%20BAB%20II.pdf

28

Você também pode gostar