Você está na página 1de 18

A.

Pengertian Gender
Gender adalah kosakata yang berasal dari bahasa
Inggris yang bermakan jenis kelamin, dalam glosarium
disebut sebagai seks dan gender. Gender sendiri diartikan
sebagai suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun
perempuan yang dikontruksi secara social. Kultural atau
hubungan social yang terkontruksi antara perempuan dan
laki-laki yang bervariasi dan sangat bergantung pada
factor-faktor budaya, agama, sejarah dan ekonomi.
Kosakata

gender

bagi

masyarakat

Barat,

khususnya Amerika sudah digunakan sejak era tahun


1960-an sebagai bentuk perjuangan secara radikal,
koservatif, sekuler maupun agama. Dengan tujuan untuk
menyuarakan eksistensi perempuan yang kemudian
melahirkan kesadaran gender, pada era tersebut diwarnai
dan ditandai dengan tuntutan kebebasan dan persamaan
hak agar perempuan dapat menyamai laki-laki dalam
ranah social, ekonomi, politik dan bidang public yang
lainnya.
Di

Indonesia,

kata

gender

bagi

sebagian

masyarakat masih diasumsikan sebagai segala yang


identic dengan perempuan. Bahkan seringkali tidak
adanya pembatasan istilah kata gender dengan seks.
1

Kesalahan di dalam memahami kedua istilah tersebut


dapat menimbulkan multi tafsir, sehingga pemahaman
konsep gender menjadi bias.
Gender

secara

umum

yang

lazim

dikenal

masyarakat digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan


laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi
(perbedaan komposisi kimia, hormone, dalam tubuh,
anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik lainnya). Atas
dasar itulah maka studi gender lebih menekankan kepada
perkembangan aspek maskulinitas atau feminimitas
seseorang. Dengan kata lain mendefinisikan laki-laki dan
perempuan dari sudut non biologis.
Sedangkan konsep lainnya terkait dengan gender
adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki atau
perempuan yang dikontruksi secara social maupun
kultural. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut,
cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari itu
sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah
lembut, keibuan, sementara itu juga ada perempuan yang
kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat itu dapat
terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat
2

yang lainnya. Segala sesuatu yang dapat dipertukarkan


antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah
dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat
lainnya adalah merupakan konsep gender.
Menurut pandangan kaum feminis bahwa gender
adalah suatu gerakan yang memperjuangkan persamaan
antara dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan.
Tujuan mereka adalh menuntut keadilan dan pembebasan
perempuan dari kungkungan agama, budaya, dan struktur
kehidupan lainnya.
B. Gender dalam Islam
Konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam
Islam sesungguhnya telah menjadi bagian substantive
nilai-nilai universal Islam melalui pewahyuan (Al-Quran
dan Al-Hadits) dari Allah Yang Maha Adil dan Maha
Pengasih. Laki-laki dan perempuan ditempatkan pada
posisi yang setara untuk kepentingan dan kebahagiaan
mereka di dunia maupun di akhirat. Karena itu, laki-laki
dan permpuan mempunyai hak-hak dasar dan kewajiban
yang sama sebagai hamba Allah, yang membedakan
hanyalah ketaqwaan di hadapan-Nya.
3

Berbicara mengenai perempuan, mengantarkan


kita agar terlebih dahulu mendudukkan pandangan AlQuran. Dlam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat
dalam firman Allah SWT yang berbunyi: Wahai seluruh
manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu
(terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan
kamu berbangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara
kamu adalah yang paling bertaqwa.
Ayat tersebut menjelaskan tentang asal kejadian
manusia dari seorang laki-laki dan perempuan sekaligus
berbicara tentang kemuliaan manusia, baik sebagai lakilaki ataupu perempuan. Yang didasarkan kemuliaannya
bukan keturunan, suku atau jenis kelamin, akan tetapi
ketaqwaannya kepada Allah SWT. Hal ini senada dengan
pernyataan mantan Syekh al-Azhar, Syekh Mahmud
Syaltut di dalam bukunya Min Tajwihad Al-Islam
tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan
hampir dapat dikatakan sama, Allah SWT telah
menganugerahkannya kepada perempuan sebagaimana
menganugerahkannya kepada laki-laki potensi dan
kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab
4

dan menjadikan keduanya dapat melakukan kegiatan


maupun aktivitas yang bersifat umum maupun khusus.
Secara

epistimologis,

proses

pembentukan

kesetaraan gender yang dilakukan Rasulullah saw tidak


hanya dalam wilayah domestic saja, akan tetapi hampir
menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat. Seluruh
aspek itu meliputi perempuan sebagai ibu, istri, anak,
nenek dan maupun sebagai anggota masyarakat, dan
sekaligus juga untuk memberikan jaminan keamanan
serta

perlindungan

hak-hak

dasar

yang

telah

dianugerahkan oleh Allah.


Dengan demikian maka Rasulullah saw telah
memulai tradisi baru dalam pandangan perempuan,
diantaranya adalah:
Pertama, beliau melakukan perombakan besarbesaran terhadap cara pandang (world view) masyarkat
Arab yang pada waktu itu di dominasi oleh cara pandang
masyarakat ear Firaun. Di mana latar historis yang
menyertai konstruk masyarakat ketika itu adalah
bernuansa misoginis. Salah satu contohnya adalah
kebiasaan Rasulullah saw yang dipandang spektakuler
pada waktu itu adalah seringnya Rasulullah saw
menggendong puterinya (Fatimah az-Zahra) didepan
5

umum. Kebiasaan Rasulullah pada waktu itu dinilai tabu


oleh tradisi masyarakat Arab, apa yang telah dilakukan
Rasulullah saw tersebut ini adalah merupakan proses
pembentukan wacana bahwa laki-laki dan perempuan
tidak boleh dibeda-bedakan (sama).
Kedua, Rasulullah saw memberikan teladan
yang

baik

(Muasyarah

bi

al-Makruf)

terhadap

perempuan di sepanjang hidupnya, yakni beliau tidak


pernah sedikitpun melakukan kekerasan terhadap istriistrinya sekalipun satu sama lainnya berpeluang untuk
cemburu. Di dalam menkonstruk masyarakat Islam,
Rasulullah melakukan upaya-upaya yang mengangkat
harkat dan martabat perempuan, melalui perbaikan
(revisi) terhadap tradisi jahiliyah. Hal inilah adalah
merupakan proses pembentukan konsep dan kesetaraan
gender dalam hokum Islam.
Hal tersebut diantaranya adalah: perlindungan
hak perempuan melalui hokum, perbaikan hokum
keluarga

(hak

menentukan

jodoh,

mahar,

waris,

pengajuan talak, dsb.), diperbolehkannya mengakses


peran-peran public, mempunyai hak mentasaruf-kan
hartanya sebagai symbol kemerdekaan dan kehormatan
bagi

setiap

orang,

perombakan

aturan

tersebut
6

menujukkan

bahwa

penghargaan

Islam

terhadap

perempuan telah dilakukan pada masa Rasulullah SAW


masih hidup, di saat citra Islam dalam tradisi Arab
jahiliyah masih sangat rendah.
Di samping itu pula Islam juga mengatur
tentang kesetaraan gender, bahwa Allah SWT telah
menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan
dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang
paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan
memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk.
Oleh karena itu Al-Quran tidak mengenal
pembedaan antara laki-laki dan perempuan karena
dihadapan

Allah

SWT,

laki-laki

dan

perempuan

mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Demikian


pandangan Islam menempatkan wanita pada posisi yang
terhormat. Sehingga, apapun peranannya baik sebagai
anak, remaja, dewasa, ibu rumah tangga, kaum
profesional, dan lain-lain mereka itu terhormat sejak
kecil hingga usia lanjut.
Dari sinilah dapat kita pahami bagaiman Islam
muncul pada situasi seperti ini, di mana pribadi pembawa
risalahnya pun hanya mempunyai satu anak perempuan
(yang hidup), padahal kita ketahuimempunyai anak
7

perempuan pada masa itu adalah keterhinaan, kalau kiat


kaji lebih dalam lagi, pasti ada rahasia di balik semua itu,
yakni untuk mengangkat derajat kaum perempuan dan
merubah kultur, dari kultur jahiliyah menjadi kultur
Islami. Islam menggabungkan antara teori dan praktek,
sekaligus. Islam mengajarkan bagaimana memandang
dan memperlakukan perempuan. Kemudian Rasulullah
mempraktekkannya, sehingga terwujud keutuhan dan
keselarasan di antara keduanya.
C. Perempuan Islam dan Politik

1. Kedudukan Hak-Hak Politik Perempuan


Yang dimaksud dengan hak-hak politik adalah
hak-hak yang ditetapkan dan diakui undang undang atau
konstitusi berdasarkan keanggotaan sebagai warga
Negara. Pada umumnya, konstitusi mengaitkan antara
pemenuhan hak-hak ini dan syarat kewarganegaraan.
8

Artinya hak-hak ini tidak berlaku kecuali bagi warga


Negara setempat, bukan warga Negara asing. Mislanya
teks butir I dari undang-undang yang mengatur hak-hak
politik di Mesir Nomor 73 Tahun 1957 yang berbunyi,
Setiap warga Negara Mesir, baik laki-laki maupun
perempuan yang sudah berusia sepuluh tahun masehi
dengan sendirinya langsung mendapatkan hak-hak
politik. Hal senada juga tercantum pada butir 5 undangundang Parlemen Nomor 38 tahun 1972 yang diperbarui
dengan Undang Undang Nomor 109 tahun 1980 dan butir
75 undang undang hokum setempat nomor 43 tahun 1979
yang mensyratkan pencalonan atau penunjukkan anggota
di majlis-majlis ini harus individu warga Negara asal
Mesir. Sebagaimana tercantum dalam undang undang
yang berlaku sekarang pada butir 75 bahw disyaratkan
bagi orang yang dipilih menjadi presiden harus orang
yang

lahir

dari

kedua

orang

tua

yang

berkewarganegaraan Mesir.
Dalam hak-hak politik terhimpun antara konsep
hak dan kewajiban sekaligus. Sebab hak-hak politik
paada tingkat tertentu menjadi hak bagi individu karena
hak-hak itu menjadi wajib bagi mereka. Hal itu
disebabkan hak mutlak-sebagaimana yang diterima9

membolehkan seseorang menggunakannya atau tidak


menggunakannya tanpa ikatan apapun kecuali dalam
menggunakannya menurut konstitusi.
Adapun jika hak-hak politik itu tidak digunakandalam banyak pembuatan unndang undang-, hal itu
mengancam dijatuhkannya sanksi, terutama karena hakhak politik itu tidak berlaku kecuali bagi orang yang
memenuhi

syarat-syarat

tertentu

disamping

syarat

kewarganegaraan.
Hak-hak politik ini menyiratkan partisipasi individu
dalam pembentukan pendapat umum, baik dalam
pemilihan wakil-wakil mereka di majelis-majelis dan
berbagai lembaga perwakilan atau pencalonan diri
mereka untuk menjadi anggota majelis atau lembaga
perwakilan tersebut.
Hak-hak politik ini mencakup:
a. Hak dalam mengungkapkan pendapat dalam pemilihan
referendum dengan berbagai cara.
b. Hak dalam pencalonan menjadi anggota lembaga
perwakilan dan lembaga setempat.
c. Hak dalam pencalonan menjadi presiden, dan hal-hal
lain yang mengandung dan penyampaian pendapat yang
berkaitan dengan politik.
10

Berkaitan

dengan

posisi

perempuan

dalam

memperoleh hak-hak politik dalam system dan konsep


Islam telah banyak pendapat diungkapkan. Ada yang
berpendapat bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik
bagi perempuan. Ada yang memandang sama perempuan
dan laki-laki dalam masalah ini. Ada pula yang
berpendapat bahwa Islam menetapkan dan mengakui
hak-hak

politik

bagi

perempuan

kecuali

menjadi

pemimpin Negara. Sementara ada pendapat lain yang


mengatakan bahawa masalah ini bukan masalh agama,
fikih, atau konstitusi, melainkan masalah social dan
politik. Oleh karena itu, masalh ini diserahkan pada
kondisi social, politik, dan ekonomi masing-masing
Negara.
2. Tentang Hak-Hak Politik
Pendapat ini mengatakan bahwa Islam tidak
menetapkan persamaan antara perempuan dan laki-laki
khususnya dalam memperoleh hak-hak politik. Pendapat
ini di sokong kuat dengan salh satu fatwa Lajnah
Fatwaal-Azhar. Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali
mengatakan bahwa kepemimpinan (imamah) tidak
dipercayakan pada perempuan walaupun memiliki
11

berbagai kesempurnaan dan kemandirian. Bagaimana


perempuan tidak memiliki hak pengadilan dan kesaksian
dalam banyak hokum. Sebagaimana hal ini dikemukakan
al-Qalqasyandi,

Pemimpin

(iman)

memerlukan

pergaulan dengan orang-orang bermusyawarah dengan


berbagai urusan. Perempuan dilarang dari hal tersebut.
Sebab, perempuan memiliki hak menetapkan pernikahan
dan tidak bisa menjadi pemimpin terhadap orang lain.
Maslah hak perempuan dalam pencalonan
memiliki dua dimensi lain, yaitu
Pertama,

perempuan

menjadi

anggota

di

parlemen.
Kedua, ikut serta dalam pemilihan anggota
parlemen.
Untuk mengetahui ketentuan dalam kedua
masalah ini, yang pertama mengandung kewenangan
dalam urusan-urusan umum, maka harus dijelaskan
bahwa kewenangan itu ada dua, yaitu kewenangan umum
dan kewenangan khusus.
Kewenangan umum adalah kekuasaan dalam
urusan-urusan masyarkat, seperti kewenangan pembuatan
undang-undang,

keputusan

proses

pengadilan,
12

implementasi hokum, dan control terhadap para penegak


hokum.
Kewenangan

khusus

adalah

kekuasaan

mengatur masalah tertentu, seperti wasiat kepada anak


yang masih kecil, kewenangan terhadap harta, dan
pengaturan wakaf.
Syariat

memberikan

kesempatan

kepada

perempuan dalam kewenangan kedua di atas. Dalam hal


itu, ia mmiliki kekuasan seperti laki-laki, sebagaimana
memiliki kekuasaan dalam memngatur kepentingankepentingan khusus dirinya. Ia pun memiliki hak dalam
menggunakan hartanya dalam jual beli, hibah, gadai,
persewaan, dan sebagainya. Suaminyan dan siapapun
tidak mempunyai hak mencampuri urusan itu. Syariat
menguasakan

semua

itu

kepadanya

dengan

membimbingnya agar memelihara kehormatan dan


kedudukannya.
c. Dalil tentang Wanita Berpolitik
1) al-Quran
Allah telah berfirman di dalam al-Quran:





13

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum


wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. (QS al-Nisa: 34)


Dan

para

wanita

mempunyai

hak

yang

seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang


ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS al-Baqoroh: 228)
Maksud dari ayat-ayat ini adalah bahwasannya
laki-laki memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari pada
perempuan dalam hal tanggung jawab, dan sebagainya,
termasuk dalam hal pemerintahan. Oleh karena itu, lakilaki memiliki kelebihan dari pada perempuan dalam
mengatur kepentingan-kepentingan umum, termasuk
berpolitik.
Para pihak yang berpendapat bahwa seorang
perempuan tidak boleh berpolitik menggunakan ayat ini
sebagai penguat argumentasinya. Namun demikian,
14

kelompok lain berpendapat bahwa ayat di atas bukan


berkenaan

tentang

kepemimpinan

wanita

dalam

pemerintahan. Menurut mereka, jika dirunut dari asbabu


al-nuzulnya, ayat yang pertama adalah tentang tanggung
jawab seorang suami untuk mendidik istrinya dalam
kasus nusyuz. Jadi, pernyataan bahwa kaum laki-laki
adalah pemimpin bagi kaum perempuan dalam ayat ini
adalah kepemimpinan seorang laki-laki dalam hal
mendidik istrinya dalam kasus nusyuz.
Sedangkan ayat kedua, yang menyatakan bahwa
seorang suami memiliki satu derajad lebih dari pada
seorang istri, adalah konteksnya dalam hal keluarga.
Suami adalah pemimpin yang memiliki tanggung jawab
lebih terhadap istri dan anaknya. Jadi ayat ini bukan
dalam konteks politik atau pemerintahan, tetapi dalam
hal tanggung jawab dalam keluarga.


dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu. (QS al-Ahzab: 33)
Ayat ini menjelaskan bahwa perempuan tidak
boleh berkeliaran di luar rumah. Mereka harus selalu
15

berada di dalam rumah. Seorang perempuan harus selalu


berada di dalam rumah dan harus mendapatkan izin dari
suaminya setiap akan keluar rumah. Selain itu, seorang
wanita tidak boleh menghias diri kecuali jika ada di
dalam rumah.
Ketentuan ini membuat wanita menjadi terbatas
dalam bertindak. Jika seseorang berkecimpung di dalam
politik, otomatis orang tersebut harus sering keluar
rumah, dan ini bertentangan dengan ayat di atas, yang
mangatakan bahwa seorang wanita tidak boleh keluar
rumah.
Sedangkan

menurut

kelompok

lain,

yang

mengatakan bahwa wanita boleh berkecimpung di dalam


dunia politik berargumen bahwa ayat ini khusus
diturunkan untuk istri-istri Nabi Muhammad. Terbukti
jika dirunut berdasarkan segi munasabah ayatnya. Ayatayat sebelum ayat ini menjelaskan tentang ketentuanketentuan bagi istri Nabi. Dengan kata lain, ayat ini tidak
digunakan untuk membatasi wanita untuk berpolitik.
2) al-Sunnah
Tidak

akan

berjaya

suatu

kaum

yang

menyerahkan urusan kepada perempuan.


16

Hadis ini menunjukkan bahwa jika seorang


mengurusi urusan suatu kaum atau golongan, maka kaum
tersebut tidak dapat mendapatkan kejayaannya. Dalil
inilah yang digunakan oleh kelompok yang mengatakan
bahwa seorang perempuan tidak dapat menjadi pemimpin
bagi kaumnya. Namun demikian, kelompok yang
mengatakan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin
berargumen bahwa hadis ini dikhususkan bagi kaum
Persia. Selain itu, hadis ini juga termasuk hadis ahad,
yang mana hadis ahad ini tidak mendatangkan keyakinan.
Kaum perempuan itu memiliki kekurangan
dalam akal (pengetahuan) dan agama.
Hadis ini mengindikasikan bahwa Nabi berpendapat
bahwa perempuan itu memiliki sisi negative, yaitu
mereka lemah dalam hal akal atau ilmu pengetahuan dan
dalam hal agama. Oleh sebab itu, hadis ini dijadikan
sebagai landasan untuk melarang wanita menjadi seorang
pemimpin. Tetapi kelompok lain berpendapat bahwa
hadis ini berdasarkan konteks keadaan perempuan di
masa Nabi, yang mana perempuan di masa Nabi masih
banyak yang terbelakang. Namun pada zaman ini, tidak
sedikit wanita yang lebih luas keilmuannya dibadingkan
17

laki-laki. Jadi, pada masa modern ini, yang mana banyak


wanita yang lebih paham akan ilmu pengetahuan dan
agama,

maka

seorang

perempuan

boleh

menjadi

pemimpin.

18

Você também pode gostar