Você está na página 1de 15

Pendahuluan

Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi. Namun pada kondisi tertentu
bayi

tidak dapat memperoleh ASI sehingga diperlukan susu formula. Pada beberapa tahun

terakhir ini terdapat peningkatan prevalens alergi susu sapi pada bayi dan anak dengan manifestasi
klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat. Di lain pihak produk- produk susu formula
semakin banyak dipasaran. Melihat kondisi tersebut maka IDAI bermaksud untuk memberi
penjelasan tentang diagnosis serta tata laksana alergi susu sapi dengan membuatsuatu rekomendasi
yang didasari bukti terbaru yang ada saat ini dan akan direvisi sesuai dengan literatur yang terbaru.
Rekomendasi ini adalah hasil diskusi dan kesepakatan antara UKK Alergi Imunologi, UKK
Gastrohepatologi, dan UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik. Dengan adanya rekomendasi ini,
diharapkan para dokter spesialis anak dapat melakukan diagnosis dan tata laksana alergi susu sapi
dengan benar dan seragam.(1)
Alergi merupakan masalah penting yang harus diperhatikan karena terdapat pada semua
lapisan masyarakat dan insidennya meningkat pada tiga periode terakhir. Pada usia tahun pertama
kehidupan, sistim imun seorang anak relatif masih imatur dan sangat rentan. Bila ia mempunyai
bakat atopik akan mudah tersensitisasi dan berkembang menjadi penyakit alergi terhadap alergen
tertentu misalnya makanan dan inhalan.(2)
Susu sapi adalah protein asing utama yang diberikan kepada seorang bayi, penyakit alergi
susu sapi (ASS) sering merupakan penyakit atopik pertama pada seorang anak. Harus dibedakan
antara ASS suatu reaksi imunologis dan reaksi intoleransi yang bukan berdasarkan kelainan
imunologis seperti efek toksik daribakteri stafilokok, defek metabolik akibat kekurangan enzim
laktase dan reaksi idiosinkrasi(2).
Diperkirakan insiden ASS 2-3% bayi, sedangkan diantara bayi umur 1tahun dengan
dermatitis atopik 30-45% disebabkan ASS. Di samping gejala pada kulit, ASS dapat menunjukkan
1

gejala paru dan gejala saluran cerna tipe segera bahkan gejala sistemik berupa reaksi anafilaksis.
Diperkirakan ASS dapat juga memberikan gejala reaksi tipe lambat yang timbul setelah 24 jam
berupa sindromkolik pada usia bayi ( infantile colic syndrome) .(2)

I. DEFINISI
Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu penyakit yang berdasarkan reaksi imunologis yang
timbul sebagai akibat pemberian susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi dan reaksi
ini dapat terjadi segera atau lambat. (1)

II. EPIDEMIOLOGI
Prevalens alergi susu sapi sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi masih
mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian besar reaksi alergi
susu sapi diperantarai oleh IgE dengan prevalens 1.5%, sedangkan sisanya adalah Rekomendasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia tipe non-IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalah gejala klinis
yang ringan sampai sedang, hanya sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis berat.(1,2)
Alergi susu sapi merupakan kelainan yang sering ditemukan. Susu sapi merupakan salah
satu dari the big-8 alergen yang terdiri dari telur, kedelai, gandum, kacang-kacangan, kenari,
ikan, dan kerang. Susu sapi merupakan alergen yang paling sering menimbulkan alergi pada masa
bayi. Hal ini dikarenakan sistem imun yang masih imatur. Insidens alergi susu sapi (ASS)
bervariasi menurut usia, angka kejadian ASS pada anak usia berusia di bawah 3 tahun sekitar 23%. Pada bayi yang mendapat ASI eksklusif ditemukan sekitar 0,5% menunjukan gejala ASS
ringan sampai sedang. ASS biasanya bersifat sementara dan toleransi dilaporkan hampir 80%
terjadi pada usia 2 tahun. (1,2)

III. ETIOLOGI
Protein susu sapi merupakan allergen tersering pada berbagai reaksi hipersensitivitas pada
anak. Susu sapi terdiri dari 2 fraksi yaitu casein dan whey. Fraksi casein yang membuat susu
berbentuk kental (milky) dan merupakan 76% sampai 86% dari protein susu sapi. Fraksi casein
dapat diprepitasi dengan zat asam pada pH 4, yang menghasilkan5 casein dasar yaitu , , k, dan
.
Beberapa protein whey mengalami denaturasi dengan pemanasan ekstensif (albumin serum
bovin, gamaglobulin bovin, - laktalbumin). Akan tetapi dengan penetrasi rutin tidak cukup untuk
denaturasi protein ini, tetapi malah meningkatkan sifat alergenitas beberapa protein susu, seperti
- laktogobulin. (2)

IV. PATOGENESIS
Alergi susu sapi merupakan respon imun spesifik alergen susu sapi yang secara
predominan diperantarai IgE dan atau tidak diperantarai IgE atau seluler. Komposisi susu sapi dan
susu ibu (ASI) selain mempunyai beberapapersamaan terdapat pula perbedaan yang nyata dalam
tipe protein dan homolognya yang memberi kemungkinan bagi sebagian besar protein susu untuk
dikenali sebagai asing oleh sitem imun manusia. Pada sebagian besar individu,sistem imun dapat
mengenali dan bertoleransi dengan protein susu sapi. Namun pada individu yang mempunyai
bakat alergi. Sistem imun akan tersensitisasi dan bereaksi terhadap protein susu sapi sehingga
menyebabkan respon imun yang merugikan. .(1)

Tabel komposisi protein utama ASI dan susu sapi


Protein
- lakta lbumin

ASI (mg/mL)
2,2

Susu sapi (mg/mL)


1,2

- s1 kasein

11,6

- s2 kasein

3,0

- kasein

2,2

9,6

k- kasein

0,4

3,6

- kasein

1,6

imunoglobulin

0,8

0,6

laktoferin

1,4

0,3

- laktoglobulin

3,0

lisozim

0,5

Trace

serum albumin

0,4

0,4

lain-lain

0,8

0,6

Reaksi diperantari IgE merupakan mekanisme alergi imonologi yang diidentifikasikan


serta dapat didiagnosa dengan lebih mudah berbanding dengantidak diperantarai IgE. Disebabkan
gejalanya cepat muncul (dalam beberapa menitsampai beberapa jam setelah kontak dengan
allergen), maka mekanisme ini disebut sebagai Hipersensitive cepat. (2,3)

Protein alergi susu sapi diperantarai IgE terdapat 2 tahap pertama dari sensitisasi terbentuk
ketika kekebalan sistem tubuh diprogram dengan cara yang menyimpang sehingga IgE antibodi
terhadap protein susu sapi disekskresi.Antibodi tersebut mengikat pada permukaan sel mast dan
basofil, dan pada kontak berikutnya protein susu sapi yang memicu aktivasi ketika IgE
bergabung dengan sel mast mengikat epitop alergi terdapat pada protein susu dan di lepaskan
mediator inflamasi dengan cepat yang berperan dalam reaksi alergi. Allergen tersebut dipinositosis
dan diekspresikan oleh antgen presenting sel (APC) . (3)
6

Pengetahuan tentang mekanisme imunologi yang tidak diperantarai IgE pada alergi susu
sapi masih kurang. Terdapat beberapa mekanisme telah sisuggasted termasuk reaksi diperantarai
TH 1 terbentuk dari kompleks imun yang mengaktivasi komplemen, atau sel T/ sel mast/ interaksi
neuron termasuk perubahan fungsi dalam otot polos dan motaliti usus. Makrofag diaktifkan oleh
allergen protein susu sapi oleh sitokin, mampu mensekresi pada mediator vasoaktif (PAF,
leukotrin) dan sitokin (IL-1, pIL-6, IL-8, GM-CSF, TNF- ) yang mampu meningkatkan
fagositosis seluler. Ini melibatkan sel epitel, yang melepaskan sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, IL-11,
GM-CSF) kemokin (RANTES, MCP-3, MCP-4, eotaxin) dan mediator lain (leukotrin, PGs, 15HETE, endotelin-1). Mekanisme ini menghasilkan peradangan seluler kronis (pada sistem
gastrointestinal) , kulit, dan pernafasan). Ketika proses inflamasi terlokalisir ditingkat GI,
fagositosis imun dapat mengkontribusi untuk menjaga hipermeabilitasepitel dan berpotensi untuk
meningkatkan paparan antigen protein susu sapi. Ini melibatkan TNF- dan IFN- , antagonis
TGF- dan IL-10 dalam mediasitoleransi oral.

Klasifikasi
Alergi susu sapi dapat dibagi menjadi:
a. IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE. Gejalaklinis timbul
dalam waktu 30 menit sampai 1 jam (sangat jarang > 2 jam)mengkonsumsi protein susu
sapi. Manifestasi klinis: urtikaria,angioedema, ruam kulit, dermatitis atopik, muntah, nyeri
perut, diare,rinokonjungtivitis, bronkospasme, dan anafilaksis. Dapat dibuktikandengan
kadar IgE susu sapi yang positif (uji tusuk kulit atau uji RAST).
b. Non-IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE, tetapi
diperantarai oleh IgG dan IgM. Gejala klinis timbul lebih lambat (1-3 jam) setelah
mengkonsumsi

protein

susu

sapi.

Manifestasi

klinis:

allergic

eosinophilic

gastroenteropathy, kolik, enterokolitis,proktokolitis, anemia.

V. MANIFESTASI KLINIS
Gejala ASS pada umumnya dimulai pada usia 6 bulan pertama kehidupan. Dua puluh
delapan persen timbul setelah 3 hari minum susu sapi, 41% setelah 7 hari dan 68% setelah 1 bulan.
Berbagai manifestasi klinis dapat timbul. Pada bayi terdapat 3 sistem organ tubuh yang paling
sering terkena yaitu kulit, sistemsaluran napas, dan saluran cerna.
Gejala klinis yang dapat terjadi pada ketiga sistem tersebut adalah :

Kulit: urtikaria, kemerahan kulit, pruritus, dermatitis atopik


Saluran napas: hidung tersumbat, rinitis, batuk berulang dan asma
Saluran cerna: muntah, kolik, konstipasi, diare, buang air besar berdarah
Gejala sistemik: syok
Penyakit ASS akan menghilang (toleran) sebelum usia 3 tahun pada 85%kasus. Sebagian

besar ASS pada bayi adalah tipe cepat yang diperan oleh IgE dan gejala utama adalah ras kulit,
eritema perioral, angioedema, urtikaria dananafilaksis, sedangkan bila gejala lambat dan mengenai
saluran cerna berupa kolik, muntah dan diare biasanya bukan diperan oleh IgE. (1)

VI. PENEGAKAN DIAGNOSIS


Diagnosis alergi susu sapi (ASS) ditegakkan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Jangka waktu timbulnya gejala setelah minum susu sapi/ makananyang

mengandung susu sapi


Jumlah susu yang diminum/makanan mengandung susu sapi
Penyakit atopi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopik,urtikaria, alergi
makanan, dan alergi obat pada keluarga (orang tua,saudara, kakek, nenek dari

orang tua), dan pasien sendiri.


Gejala klinis pada kulit seperti urtikaria, dermatitis atopik.
Saluran napas: batuk berulang terutama pada malam hari, setelahlatihan asma,

rinitis alergi
Saluran cerna, muntah, diare, kolik dan obstipasi.
8

b. Pemeriksaaan Fisik
Pada kulit tampak kekeringan kulit, urtikaria,dermatitis atopikallergic shiners, Siemen
grease geographic tongue, mukosa hidungpucat, dan mengi. Evaluasi penderita dengan
kemungkinan alergi susu sapi dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang lengkap
dengan mempertimbangkan berbagai diagnosis banding antara alergi susu sapi dengan penyakit
lain pada saluran pencernaan termasuk intoleransi susu sapi (efek toksik atau kelainanmetabolik),
infeksi (virus, bakteri, dan parasit) , inflammatory bowel diseases, iskemia usus, gangguan pada
kandung kemih.

(2)

Dalam anamnesis perhatian difokuskan pada reaksi alergi yang terjadi dan

kaitannya dengan makanan yang dimakan. Setelah berbagai bahan makanan yang dicurigai
menjadi penyebab alergi diperoleh. Diagnosa dikonfirmasi dengan pemeriksaan berupa uji
eliminasi dan uji provokasi. (1,3)
Prinsip uji eliminasi adalah menghindarkan bahan makanan yang menjadi tersangka dalam
hal ini adalah protein susu sapi , selama 2 minggu. dalam kurun waktu ini diobservasi apakah
gejala alergi yang ada berkurang atau tidak. Bila gejala berkurang dapat dilanjutkan uji provokasi
untuk mengkonfirmasinya lagi yaitu dengan pemberian kembali bahan makanan tersebut, dan
dicatat reaksi yang terjadi. Jika makanan tersangkan memang penyebab alergi, maka gejala akan
berkurang saat makanan dieliminasi dan muncul kembali lagi saat diprovokasi. Disamping
penggunaan cara tersebut, cara pemeriksaan yang dapat dipakai juga adalah dengan pemeriksaan
kadar IgE dan uji kulit. Kadar IgE yang meninggi dalam darah dapat dipergunakan sebagai
petunjuk status alergi pada pasien. Dan memang kadar Ige ini seringkali meningkat pada pasien
alergi susu sapi . Berdasarkan observasi yang dilakukan Hidgevi dkk. Diduga kadar lokal IgE
serumdan IgE anti- kasein memiliki nilai prognostik, yaitu bila didapatkan
peningkatan pada awal penyakit, toleransi terhadap susu sapi akan dicapai lebihlambat atau
bahkan dapat pula sifat alergi yang terjadi bersifat menetap. (1,3)

Uji kulit yang dilakukan disebut Skin Prick Test. Namun demikian perludiketahui bahwa
uji kulit ini memiliki nilai prediktif positif yang rendah, karena tingginya hasil positif palsu.
Interpretasi ini perlu diperhatikan sebab bila tatalaksana dilakukan berdasarkan hasil positif ini,
maka dapat saja terjadi penghindaran makanan yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Disisi
lain tesini juga memiliki nilai prediktif negatif yang tinggi , dengan demikian bila didapatkan
hasil yang negatif maka diagnosa alergi makanan dapat dianggap kecil kemungkinannya .(1)
Walau demikian dalam praktek klinisnya sehari-hari diagnos lebih sering ditegakkan
berdasarkan gejala dan respons klinis dari uji eliminasi dan provokasi. Pemeriksaan secara
laboratoris hanya bersifat pelengkap , sedangkan penggunaan uji kulit pada anak. Selain karena
masalah akurasinya yang kurang perlu juga dipertimbangkan faktor ketidak nyamanan yang akan
timbul mengingat penderita umunya berusia 2-3 tahun. (1.2)
Pada beberapa keadaan diagnosis dapat menjadi sulit dan membingungkan. Hal ini terjadi
misalnya karena adanya reaktivasi dari makanan lain. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
protein susu sapi dapat menimbulkan alergi baik dalam bentuk murni, atau bisa juga dalam bentuk
lain seperti es krim, keju, dan kue yang menggunakan susu sapi sebagai bahan dasarrya.
c. Pemeriksaan Penunjang
IgE spesifik
a. Uji tusuk kulit (Skin prick test)
Pasien tidak boleh mengkonsumsi antihistamin minimal 3 hari untuk antihistamin

generasi 1 dan minimal 1 minggu untuk antihistamin generasi 2.


Uji tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagianpunggung (jika
didapatkan lesi kulit luas di lengan bawah ataulengan terlalu kecil). Batasan usia

terendah untuk uji tusuk kulitadalah 4 bulan.


Bila uji kulit positif, kemungkinan alergi susu sapi sebesar < 50%(nilai duga positif
< 50%), sedangkan bila uji kulit negatif berartialergi susu sapi yang diperantarai

IgE dapat disingkirkan karenanilai duga negatif sebesar > 95%.


b. Uji IgE RAST (Radio Allerogo Sorbent Test )
10

positif mempunyai korelasi yang baik dengan ujikulit, tidak didapatkan perbedaan

bermakna sensitivitas danspesifitas antara uji tusuk kulit dengan uji IgE RAST
Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukanantara lain karena
adanya lesi adanya lesi kulit yang luas di daerahpemeriksaan dan bila penderita

tidak bisa lepas minum obat antihistamin.


Bila hasil pemeriksaan kadar serum IgE spesifik untuk susu sapi >5 kIU/L pada
anak usia 2 tahun atau > 15 kIU/L pada anak usia >2 tahun maka hasil ini
mempunyai nilai duga positif 53%, nilaiduga negatif 95%, sensitivitas 57%, dan

spesifisitas 94%.
c. Uji eliminasi Dan provokasi
Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC) merupakanuji baku emas
untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini dilakukan berdasarkan riwayat alergi
makanan, dan hasil positif uji tusuk kulit atau uji RAST. Uji ini memerlukan waktu dan biaya. Jika
gejala alergi menghilang setelah dilakukan iet eliminasi selama 2-4 minggu, maka dilanjutkan
dengan uji provokasi yaitu memberikan formula dengan bahan dasar susu sapi. Uji provokasi
dilakukan di bawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas resusitasi
yang lengkap. Uji tusuk kulit dan uji RAST negatif akan mengurangi reaksi akut berat pada saat
uji provokasi. (3)
Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi munculkembali, maka
diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi dinyatakan negatif bila tidak timbul
gejala alergi susu sapi pada saat uji provokasi dan satu minggu kemudian, maka bayi tersebut
diperbolehkan minum formula susu sapi. Meskipun demikian, orang tua dianjurkan untuk tetap
mengawasi kemungkinan terjadinya reaksi tipe lambat yang bisa terjadi beberapa hari setelah uji
provokasi. (3)
d. Pemeriksaan darah pada tinja

11

Pada keadaan buang air besar dengan darah yang tidak nyata kadang sulit untuk dinilai
secara klinis, sehingga perlu pemeriksaan penunjang. Pemeriksaanseperti chromiun-51 labelled
erythrocites pada feses dan reaksi orthotolidin mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih
baik dibanding uji guaiac/benzidin. Uji guaiac hasilnya dipengaruhi oleh berbagai substrat nonhemoglobin sehingga memberikan sensitivitas yang rendah (30-70%), spesifisitas(88-98%)
dengan nilai duga positif palsu yang tinggi. .(3)

VII. PENATALAKSANAAN
1. Nutrisi
a. Prinsip utama terapi untuk alergi susu sapi adalah menghindari segala bentuk produk
susu sapi tetapi harus memberikan nutrisi yang seimbang dan sesuai untuk tumbuh
kembang bayi/anak. (1)
b. Untuk bayi dengan ASI eksklusif yang alergi susu sapi, ibu dapat melanjutkan
pemberian ASI dengan menghindari protein susu sapi dan produk makanan yang
mengandung susu sapi pada diet ibu. ASI tetap merupakan pilihan terbaik pada bayi
dengan alergi susu sapi. Suplementasi kalsium perlu dipertimbangkan pada ibu
menyusui yang membatasi protein susu sapi dan produk makanan yang mengandung
susu sapi. (1)
c. Untuk bayi yang mengkonsumsi susu formula:
Pilihan utama susu formula pada bayi dengan alergi susu sapi adalah susu
hipoalergenik. Susu hipoalergenik adalah susu yang tidak menimbulkan reaksi
alergi pada 90% bayi/anakdengan diagnosis alergi susu sapi bila dilakukan uji
klinis tersamar ganda dengan interval kepercayaan 95%. Susutersebut
mempunyai peptida dengan berat molekul < 1500 kDa. Susu yang memenuhi
kriteria tersebut ialah susu terhidrolisat ekstensif dan susu formula asam amino.
Sedangkan susu terhidrolisat parsial tidak termasuk dalam kelompok ini dan
bukan merupakan pilihan untuk terapi alergi susu sapi.
12

Formula susu terhidrolisat ekstensif merupakan susu yangdianjurkan pada


alergi susu sapi dengan gejala klinis ringan atau sedang. Pada alergi susu sapi
berat yang tidak membaik dengan susu formula terhidrolisat ekstensif maka

perlu diberikan susu formula asam amino. (3)


Eliminasi diet menggunakan formula susu terhidrolisat ekstensif atau formula
asam amino diberikan sampai usia bayi 9 atau 12 bulan, atau paling tidak
selama 6 bulan. Setelah itu uji provokasi diulang kembali, bila gejala tidak
timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan
kembali. Bila gejala timbul kembali maka eliminasi diet dilanjutkan kembali

d.

selama 6 bulan dan seterusnya. (3)


Pada bayi dengan alergi susu sapi, pemberian makanan padat perlu menghindari

adanya protein susu sapi dalam makanan pendampingASI (MP-ASI). (3)


e. Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala biaya,
maka pada bayi di atas 6 bulan dapat diberikan formula kedelai dengan penjelasan
kepada orangtua mengenai kemungkinan reaksi silang alergi terhadap protein kedelai.
Angka kejadian alergi kedelai pada pasien dengan alergi susu sapi berkisar 10-35%
(tipe IgE 12-18%, tipe non IgE 30-60%). Susu mamalia lain selain sapi bukan
merupakan alternatif karena berisiko terjadinya reaksi silang. Selain itu, susu kambing,
susu domba dan sebagainya tidak boleh diberikan pada bayi di bawah usia 1 tahun
kecuali telah dibuat menjadi susu formula bayi. Saat ini belum tersedia susu formula
berbahan dasar susu mamalia selain sapi di Indonesia. Selain itu perlu diingat pula
adanya risiko terjadinya reaksi silang. (3)
2. Medikamentosa
Gejala yang ditimbulkan alergi susu sapi diobati sesuai gejala yang terjadi. Jika didapatkan
riwayat reaksi alergi cepat, anafilaksis, asma, atau dengan alergi makanan yang berhubungan
dengan reaksi alergi yang berat, epinefrin harus dipersiapkan. (1)

13

VIII. PENCEGAHAN
Seperti juga tindakan pencegahan alergi secara umum, maka tindakan pencegahan ASS ini
dilakukan dalam 3 tahap yaitu,
1. Pencegahan primer
Dilakukan sebelum terjadi sensitisasi. Saat penghindaran dilakukan sejak pranatal
pada janin dari keluarga yang mempunyai bakat atopik. Penghindaran susu sapi berupa pemberian
susu sapi hipoalergenik, yaitu susu sapi yang dihidrolisis secara parsial, supaya dapat merangsang
timbulnya toleransi susu sapi di kemudian hari karena masih mengandung sedikit partikel susu
sapi, misalnya dengan merangsang timbulnya IgG blocking agent. Tindakan pencegahan ini juga
dilakukan terhadap makanan hiperalergenik lain serta penghindaran asap rokok. (2)
2.

Pencegahan sekunder
Dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi belum timbul manifestasi penyakit

alergi. Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik dalam serum atau
darah tali pusat, atau dengan uji kulit. Saat tindakan yang optimal adalah usia 0 sampai 3 tahun.
Penghindaran susu sapi dengan cara pemberian susu sapi non alergenik, yaitu susu sapi yang
dihidrolisis sempurna,atau pengganti susu sapi misalnya susu kedele supaya tidak terjadi
sensitisasi lebih lanjut hingga terjadi manifestasi penyakit alergi. Selain itu juga disertai tindakan
lain misalnya imunomodulator, Th1- immunoajuvants, probiotik serta penghindaran asap rokok.
Tindakan ini bertujuan mengurangi dominasi sellimfosit Th2, diharapkan dapat terjadi dalam
waktu 6 bulan. (3)
3.

Pencegahan tersier
Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan

manifestasi penyakit alergi yang masih dini misalnya dermatitis atopik atau rinitis tetapi belum
menunjukkan gejala alergi yang lebih berat misalnya asma. Saat tindakan yang optimal adalah
pada usia 6 bulan sampai 4 tahun. Penghindaran juga dengan pemberian susu sapi yang
14

dihidrolisis sempurna atau pengganti susu sapi, serta tindakan lain pemberian obat pencegahan
misalnya setirizin, imunoterapi, imunodulator serta penghindaran asap rokok. (3)

IX. PROGNOSIS
Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka remisi 45-55% pada
tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua dan 90% padatahun ketiga. Namun, terjadinya alergi
terhadap makanan lain juga meningkat hingga 50% terutama pada jenis: telur, kedelai, kacang,
sitrus, ikan dan sereal serta alergi inhalan meningkat 50-80% sebelum pubertas. (1)

DAFTAR PUSTAKA

1.

Sjawitri P Siregar, Munasir Zakiudin. Pentingnya Pencegahan Dini dan Tata laksana

2.

Alergi Susu Sapi. Sari pediatri No 7 vol 4 Maret 2006.page


IDAI. Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Susu Sapi. Jakarta ; Penerbit BukuIDAI. 2010. Pp

287-293
3. Anang Endaryanto, Seminar TATA LAKSANA ALERGI SUSU SAPI, Semarang, 14 Mei
2011

15

Você também pode gostar