Você está na página 1de 29

AKLIMATISASI PLANLET HASIL PERBANYAKAN SECARA KULTUR

JARINGAN
PENDAHULUAN
Pucuk-pucuk dan planlet dari in vitro yang diregenerasikan di dalam lingkungan dengan
kelembaban yang tinggi dan bersifat heterotroph, harus berubah menjadi autotroph bila
dipindahkan ke tanah atau lapangan. Proses pemindakan merupakan langkah akhir dari
prosedur mikropropagasi dan diistilahkan sebagai tahap aklimatisasi. Menurut Yusnita
(2003), aklimatisasi yaitu suatu upaya mengkondisikan planlet atau tunas mikro hasil
perbanyakan melalui kultur invitro ke lingkungan in vivo yang aseptik. Aklimatisasi
merupakan proses yang penting dalam rangkaian aplikasi kultur jaringan untuk mendukung
pengenmbangan pertanian.

(Sumber : http://atsiri.ub.ac.id/page/3/)
Masa aklimatisasi merupakan masa yang kritis karena pucuk atau planlet yang
diregenerasikan dari kultur in vitro menunjukkan beberapa sifat yang kurang menguntungkan
seperti lapisan lilin (kutikula) tidak berkembang dengan baik, kurangnya lignifikasi batang,
jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang berkembang dan stomata sering sekali tidak
berfungsi (tidak menutup ketika penguapan tinggi). keadaan ini menyebabkan pucuk-pucuk
in vitro sangat peka terhadap transpirasi, serangan candawan dan bakteri, cahaya dengan
intensitas yang tinggi dan suhu yang tinggi. oleh karena itu, aklimatisasi pucuk-pucuk in vitro
memerlukan penanganan yang khusus, bahkan diperlukan modifikasi terhadap kondisi
kondisi lingkungan terutama dalam kaitannya dengan suhu, kelembaban dan intensitas
cahaya. Di samping itu, medium tumbuh pun memiliki peranan yang cukup penting,
khususnya bila pucuk-pucuk mikro yang diaklimatisasikan belum membentuk sistem
perakaran
yang
baik
(Zulkarnain,
2009).
Penyesuaian bibit kultur terhadap lingkungan luar merupakan salah satu tahapan yang harus
dilalui dalam kegiatan yang melibatkan kultur in vitro. Menurut Ziv, 1986 dalam Pierik,
1987, aklimatisasi adalah masa adaptasi planlet dari kultur heterotrofik menjadi autotrofik,
yang merupakan tahap akhir dari kegiatan kultur in vitro. Aklimatisasi merupakan adaptasi

planlet dari lingkungan yang terkendali (in vitro) ke lingkungan in vivo sebelum ditanam di
lapangan (Husni et al. 2004).
Karakteristik planlet kultur In vitro
Tanaman yang berasal dari kultur in vitro sangat berbeda bila dibandingkan dengan tanaman
yang hidup pada kondisi in vivo. Beberapa karakteristik khas tanaman hasil perbanyakan in
vitro
diuraikan
sebagai
berikut
(Zulkarnain,
2009):
Daun
Tanaman yang berasal dari kultur in vitro sering memperlihatkan lapisan lilin (kutikula) yang
kurang berkembang sebagai akibat tingginya kelembapan di dalam wadah kultur (90-100%).
Hal ini menyebabkan tanaman kehilangan air dalam jumlah yang cukup besar melalui
evaporasi kutikula pada saat tanaman dipindahkan ke tanah karena kelembapan udara pada
kondisi in vivo jauh lebih rendah dibandingkian dengan kondisi in vitro. Planlet kadangkadang memiliki daun yang tipis, lunak, tidak aktif berfotosintesis, dan tidak adaptif terhadap
kondisi in vivo. Sel- sel palisade lebih kecil dan lebih sedikit jumlahnya sehingga tidak dapat
menerima cahaya secara efisien dengan rongga udara mesofil yang lebih besar dibandingkan
tanaman normal. Stomata tidak berfungsi dengan sempurna dan tidak menutup sehingga
menyebabkan terjadinya cekaman air pada beberapa jam pertama aklimatisasi.
Jaringan
angkut
Pada planlet hasil kultur jaringan, sistem pumbuluh angkut antara pucuk dan akar sering tidak
terhubung dengan sempurna sehingga menyebabkan berkurangnya transport air dan unsur
hara. Harus diingat bahwa dalam keadaan in vitro tanaman bersifat heterotroph sedangkan
pada keadaan in vivo tanaman dituntut untuk menjadi autotroph, kebutuhan karbohidratnya
harus disuplai melalui fotosintesis yang salah satu bahan bakunya adalah air.
Sistem perakaran pada planlet yang berasal dari kultur jaringan cenderung mudah rusak dan
tidak berfungsi dengan sempurna pada keadaan in vivo, misalnya akar yang terbentuk sedikit
atau tidak ada sama sekali. Akar yang tidak berkembang dengan sempurna akan membuat
pertumbuhanm tanaman pada kondisi in vivo sangat tertekan, terutama pada evaporasi tinggi.
Untuk mengatasi masalah perkembangan system perakaran pada tahap aklimatisasi, dapat
diterapkan langkah-langkah sebagai berikut :
Upayakan tanaman yang masih berada pada lingkungan in vitro membentuk
primordial akar yang akan tumbuh mnjadi akar fungsional pada kondisi in vivo,
Ciptakan kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya perkembangan akar in vitro,
misalnya menggunakan medium cair kemudian akar-akar tersebur akan berfungsi
secara normal pada saat planlet dipindahkan ke tanah.

Aklimatisasikan planlet ke tanah setelah tahap perakaran. Pada saat memasuki tahap
perakaran, rendam bagian pangkal planlet dalam larutan auksin untuk merangsang
pembentukan akar.

Kemampuan
bersimbiosis
Planlet dari tanaman yang pada kondisi pertumbuhan normal bersimbiosis dengan bakteri dan

mikoriza akan memiliki kemampuan bersimbiosis yang sangat terbatas pada saat dipindahkan
dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tahap aklimatisasi
Keberhasilan aklimatisasi kedelai ditentukan oleh berbagai faktor. Secara umum, faktorfaktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan aklimatisasi tanaman kedelai adalah kondisi
planlet (ukuran bibit, perakaran), kondisi lingkungan (ketepatan media tumbuh yang
digunakan dan kelembapan udara), ketepatan perlakuan pra dan pasca transplantasi dari
media invitro ke media tanah, dan sanitasi lingkungan dari infeksi penyakit (Zulkarnain,
2009).
Ukuran
Bibit
Ukuran bibit kultur memengaruhi keberhasilan tahap aklimatisasi tanaman. Penggunaan bibit
kultur yang kurang vigor menyebabkan tanaman banyak yang mati (Pardal et al. 2005).
Misalnya pada tanaman pepaya yang dilaporkan oleh Damayanti et al. (2007) pada
aklimatisasi tanaman pepaya. Bibit yang besar berpeluang tumbuh dengan baik dan sehat.
Vigor kuantitatif bibit kultur kedelai yang berhasil diaklimatisasi adalah tinggi bibit 56 cm,
jumlah tunas 23 buah, dan jumlah akar 24 buah (Slamet et al. 2005). Namun, pada
tanaman lain, vigor kuantitatif yang meliputi tinggi tanaman, jumlah akar, dan jumlah daun
dalam kaitannya dengan persentase tanaman hidup hingga kini masih sulit didapatkan sumber
informasinya.
Akar
Salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan aklimatisasi adalah perakaran. Akar
yang makin banyak dan panjang akan meningkatkan bidang serapan hara (Lestari et al.
1999). Jangkauan akar yang luas dapat memenuhi kebutuhan air secara cepat yang hilang
akibat laju respirasi yang tinggi. Laju respirasi bibit kultur umumnya sangat tinggi akibat
kurang sempurnanya jaringan dan sistem pembuluh tanaman. Hal ini juga dipengaruhi oleh
perubahan suhu dan kelembapan dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo yang
berbeda.
Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi tahap aklimatisasi yaitu (Zulkarnain, 2009):
Suhu
Udara
Selama dalam lingkungan in vitro, planlet memperoleh suhu yang relative sama, yaitu 25
1C. saat dipindahkan ke kondisi in vivo maka suhu udara akan mengalami variasi yang
terkadang cukup besar. Suhu lingkungan in vivo dapat mencapai 18C pada malam hari atau
32C pada siang hari. Kondisi suhu yang ekstrim, terutama suhu tunggi akan mengakibatkan
pertumbuhan planlet tertekan, bahkan dapat berakibat pada kegagalan aklimatisasi. Oleh
karena itu, suhu di areal aklimatisasi harus diatur sedemikian ruipa agar mendekati suhu in
vitro, kemudian secara bertahap dapat dinaikkan seiring dengan semakin kuatnya
pertumbuhan
tanaman.
Kelembaban
udara
Planlet hasil mikropropagasi terbiasa hidup di lingkungan dengan kelembapan tinggi,
berkisar 90-100%. Kondisi tersebut menyebabkan planlet tidak mengembangkan system
pertahanan yang baik dalam menghadapi cekaman kekeringan. Oleh karena itu, aklimatisasi
hendaknya dilakukan dengan menurunkan kelembaban udara secara bertahap. Pada tahap
awal, planlet dapat di tempatkan di bawah sungkup plastik secara individual, kemudian
sungkup tersebut dibuka dan planlet dipelihara di bawah naungan massal sebelum akhirnya

dipindahkan
ke
lapangan.
Intensitas
cahaya
Intensitas cahaya memiliki hubungan yang erat dengan suhu dan kelembapan. Biasanya
dengan intensitas cahaya yang tinggi dapat menginduksi terciptanya suhu lingkungan yang
tinggi pula disertai dengan rendahnya kelembapan udara, dan sebaliknya. Oleh karena itu,
intensitas cahaya di areal aklimatisasi harus diperhatikan agar suhu dan kelembapan dapat
dipertahankan pada tingkat yang tidak membahayakan planlet. Pemberian naungan
merupakan cara yang baik untuk menurunkan intensitas cahaya dan suhu dengan
mempertahankan
kelembapan
agar
tetap
tinggi.
Infeksi
penyakit
Kematian bibit kultur sering disebabkan oleh serangan hama atau penyakit. Kondisi
lingkungan tumbuh yang kurang steril dapat menyebabkan akar atau batang bibit terserang
hama. Luka akibat serangan hama dapat menjadi tempat infeksi penyakit. Serangan penyakit
yang umum dijumpai adalah karena jamur dan bakteri (Gunawan 1988). Menurut Lestari et
al. (2001), serangan jamur dapat dipicu oleh pencucian bibit kultur yang kurang bersih dari
media in vitro sebelum ditanam pada media berikutnya. Bakteri yang sering merusak
tanaman penting adalah Pseudomonas sp. (Machmud 1986). Patogen layu bakteri ini dikenal
memiliki kisaran inang dan daerah sebaran yang luas (Suryadi dan Machmud 2002).
Faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk keberhasilan aklimatisasi
Untuk meningkatkan laju keberhasilan pada tahap aklimatisasi, Pierik (1997) memberikan
anjuran sebagai berikut :
Untuk menghindari infeksi dari cendawan atau bakteri maka sisa-sisa medium (agaragar) hendaknya dicuci sampai bersih dan gunakan tanah steril sebagai substrat
aklimatisasi.
Musnahkan semua hama atau pathogen, seperti serangga, siput, cendawan, dan bakteri
karena kondisi planlet masih lamah sehingga sangat rentan terhadap serangan hama
dan pathogen. Lakukan pemyemprotan pestisida secara teratur.

Untuk menghindari kerusakan akar, sebaiknya lakukan penanaman planlet pada tanah
yang diayak (strukturnya seragam).

Gunakan medium dengan kadar garam yang rendah pada tahap perakaran. Misalnya
komposisi medium MS

Terkadang diperlukan perlakuan suhu rendah (5C) selama 4-8 minggu pertama untuk
mematahkan dormansi, terutama terhadap umbi-umbi in vitro.

Bagan faktor-faktor yang mempengaruhi tahap aklimatisasi (Slamet et al.,. 2011).


Aktimalisasi Tanaman
Tujuan

Percobaan

Tujuan praktikum Aklimatisasi Planlet ini yaitu mampu melaksanakan teknik aklimatisasi
planlet yang sudah memiliki perakaran dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
adaptasi tanaman dari kondisi lingkungan in vitro ke kondisi in vivo dari planlet yang
memiliki akar.
METODOLOGI PERCOBAAN

Alat

dan

Bahan

Alat yang digunakan yaitu gelas plastik transparan, sendok plastik dan alat tulis menulis.
Sedangkan, Bahan yang digunakan yaitu bibit kenaf dan krisan yang berumur 8-12 minggu,
arang sekam, bak air steril, bakterisida dan fungisida (Agrpt 2 g/l dan Dithane M-45 4 g/L).
Metode

percobaan

Prosedur kerja yang dilakukan yaitu pastikan planletnya sudah berakar dan planlet
dikeluarkan dari botol dengan hati- hati agar akarnya tidak putus. Planlet kemudian di cuci
bersih dengan air yang sudah disterilkan secara perlahan-lahan dan dipastikan semua agaragar sudah tidak ada di akar planlet. Bibit yang sudah bersih kemudian direndam pada larutan
Dithane 1 g/L + agrept 1 g/L selama 10 menit. Siapkan media tanam dengan memasukkan
arang sekam di gelas plastik dan diberikan sedikir air steril. Planlet kemudian siap ditanam di
gelas plastik transparan. Gelas plastik yang telah berisi planlet tersebut kemudian disemprot
sedikit dengan air steril dan di tutup dengan menggunakan gelas planstik. Selanjutnya, di
simpan di ruang kultur. Langkah selanjutnya, planlet disiram dengan cara dispray setiap 2-3
hari untuk menjaga kelambapan. Jika medianya kering tetapi jika media tersebut tampak
basah sebaiknya penyiraman tidak dilakukan karena dengan kondisi demikian akan
menyebabkan
timbulnya
jamur.
Pengamatan yang dilakukan pada praktikum ini adalah jumlah planlet yang hidup selama 3
minggu, jumlah planlet mati dan penyebab kematian planlet. Data dianalisis secara deskriptif.
Gambar Tahapan perbanyakan secara In Vitro

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Tabel 1. Hasil Aklimatisasi pada tanaman krisan
Jumlah
Jumlah
tanaman
tanaman
Kelompok
Jumlah
Tanaman
(ulangan)
botol
di awal
di akhir
pengamatan
pengamatan
Krisan
1
3
12
12
3
3
6
6
5
4
4
4
Total
10
22
22
Persentase tanaman hidup

Jumlah
tanaman mati
0
0
0
0
100%

Tabel 2. Hasil Aklimatisasi Pada Tanaman Kenaf


Tanaman

Kelompok
(ulangan)

Jumlah
botol

Jumlah
tanaman
Jumlah tanaman
Jumlah
tanaman mati
di awal
di akhir
pengamatan
pengamatan

Kenaf

2
3
4
3
6
4
7
4
8
3
Total
17
Persentase tanaman hidup

9
9
8
16
9
51

9
9
4
12
9
43

0
0
4
4
0
8
84,31%

Pembahasan
Dari kedua jenis planlet yang digunakan dalam praktikum ini, planlet krisan merupakan
planlet yang memiliki persentase tanaman hidup terbaik yaitu 100% yang tidak berbeda
dengan kondisi planlet awal. Dengan demikian, perlakuan penyiapan, pemilihan planlet,
penanaman, dan penggunaan plastik gelas dan pemeliharaan planlet yang baik dapat
memperbaiki kondisi planlet saat aklimatisasi.selain itu, penggunaan fungisida dan
bakterisida bertujuan untuk mengeliminasi pertumbuhan serta perkembangan sumber
kontaminasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Untari et al (2007) yang menyatakan bahwa
salah satu penentu keberhasilan tahap aklimatisasi adalah pemilihan planlet yang tidak
tercampur jamur atau bakteri. Sehingga diperlukan perendaman menggunakan dithane dan
agrept yang berfungsi membunuh cendawan dan bakteri. Selain itu, pengaruh lingkungan
dapat diatasi dengan penggunaan gelas plastik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
aklimatisasi pada tanaman anyelir oleh Rohayati dan Marlina (2009) menunjukkan bahwa
penggunaan wadah plastik transparan pada 7 hari pertama berpengaruh terhadap keberhasilan
aklimatisasi. Wadah ini menyebabkan planlet tetap segar dan mampu beradaptasi dengan
baik.
Berbeda halnya aklimatisasi pada tanaman kenaf yang memiliki persentase hidup rendah
yaitu 84,31% jika dibandingkan dengan persentase tanaman krisan. Rendahnya persentase
aklimatisasi tanaman kenaf disebabkan daun tanaman ini lebar, lapisan lilin tidak
berkembang baik, dan perakaran yang pendek. Sesuai dengan pendapat Zurkarnain (2009)
bahwa daun dengan permukaan yang lebar dapat meningkatkan evaporasi sehingga air yang
tersedia untuk tanaman menjadi lebih sedikit, planlet yang memiliki lapisan lilin (kutikula)
yang tidak berkembang baik akibatnya tanah mudah kelebihan air dalam jumlah besar dan
sistem perakaran pada planlet cenderung mudah rusak dan tidak berfungsi dengan sempurna
yang menyebabkan tanaman pada kondisi in vivo menjadi tertekan terutama pada kondisi
evaporasi
yan
tinggi.
Dalam percobaan ini, kedua planlet ini diaklimatisasikan dalam kondisi yang sama dalam
ruang kultur yang memiliki kelambapan yang tinggi dan diberi penyungkupan dengan bahan
plastik transparan. Menurut hasil penelitian Ritchie (1991) menghasilkan eksplan krisan yang
ditumbuhkan pada kelembapan di bawah 100% menyebabkan terjadinya peningkatan lapisan
epikutikula, perbaikan fungsi stomata, dan penurunan dehidrasi daun. Penurunan tingkat
kelembapan juga meningkatkan kerapatan trikoma krisan. Namun, kelembapan terbaik untuk
tanaman krisan untuk aklimatisasi hanya sampai 81% tetapi jika di bawah 81% dapat
menghambat pertumbuhan planlet. Vigor kenaf yang tampak lemah menyebabkan
pertumbuhan planlet ini lambat. Keterlambatan penyiraman menyebabkan planlet kenaf
menjadi
layu
dan
kemudian
mati.
Guna mendukung tingkat keberhasilan aklimatisasi yang tinggi, maka media tanam untuk

aklimatisasi disterilkan terlebih dahulu minimal selama 4 jam sehingga serangga, mikroba
serta biji-bijian gulma akan mati, peranan media tanam yang paling utama adalah sebagai
tempat bertumpunya tanaman, dimana akar akan menyerap air dan unsur hara untuk
pertumbuhannya. Media aklimatisasi terbaik untuk tanaman induk anyelir menurut Rohayati
dan Marlina (2009) adalah campuran kompos dan humus bamboo yang menghasilkan
persentase tanaman hidup 70,81%. Sedangkan menurut Susanti (2005), media kompos
merupakan media paling sesuai untuk aklimatisasi tebu.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan:
1. Planlet krisan memiliki persentase hidup yang tinggi yaitu 100% sedangkan untuk
planlet kenaf memiliki persentase yg rendah yaitu 84,31%.
2. Keberhasilan tahap aklimatisasi ini dipengaruhi oleh faktor morfologi dari tanaman
itu sendiri seperti daun, jaringan angkut dan sistem perakaran. Selain itu tahap
aklimatisasi juga di pengaruhi oleh adanya faktor lingkungan yang menjadi faktor
utama. Adapun faktor lingkungannya meliputi suhu udara, kelembapan udara, dan
intensitas cahaya.
DAFTAR PUSTAKA
Husni, A., S. Hutami, M. Kosmiatin, dan I. Mariska. 2004. Seleksi in vitro tanaman kedelai untuk
meningkatkan sifat ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Laporan Tahunan Penelitian TA
2003. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian, Bogor. 16 hlm.
Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus N.J. Hoff Publ., London. 344 pp.
Ritchie GA, KC Short, MR Davey. 1991. In Vitro Acclimatization of Crisanthemum and sugar beat
plantlets by treatment with paclobutrazol and exposure to reduced humidity. J of Exp Bot. 42
(12) : 1557-1563.
Rohayati E, Marlina N. 2009. Teknik aklimatisasi planlet anyelir (Dianthus caryophyllus L.) untuk
tanaman induk. Bull Teknik Pert. 14(2 : 72-75).
Slamet et al. 2011. Perkembangan Teknik Aklimatisasi Tanaman Kedelai Hasil Regenerasi Kultur In
Vitro. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011.
Susanti D. 2005. Pengujian berbagai media aklimatisasi untuk planlet tebu kultivar PA 117 dan PA
198. Skripsi. Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB.
Untari R, Sandra, DM Puspitaningtyas. 2007. Aklimatisasi bibit anggrek hitam (Coelogyne
pandurata Lindl.). Bul Kebun Raya Indo. 10 (1) : 13-19.
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efesien. Agro Media Pustaka.
Jakarta.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan. Solusi Perbanyakan Tanaman Budidaya. Bumi Aksara. Jakarta.
250 halaman.

http://thophick.blogspot.com/2012/06/aklimatisasi-planlet-hasilperbanyakan.html

Subkultur dan Aklimatisasi


1.
1.1

TINJAUAN PUSTAKA

PENGERTIAN SUBKULTUR

Subculture is After a period of time, it becomes necessary, chiefly due to nutrient depletion
and medium drying, to transfer organs and tissues to fresh media.

Subculture is the process by which the tissue or explant is first subdivide, then transferred
into fresh culture medium.

Subkultur adalah memindahkan eksplan ke media multiplikasi (tujuan perbanyakan atau


pengakaran) (Andri, 2008).

1.2

ALASAN DILAKUKAN SUBKULTUR

Unsur hara dalammedia sudah banyak berkurang.

Nutrisi dalam media menguap karena kering, akibatnya media mengandung garam dan gula
tinggi.

Pertumbuhan tanaman sudah memenuhi botol atau tabung sehingga berdesakan.

Sudah saatnya dipindah untuk diperbanyak atau diakarkan.

Terjadi pencoklatan pada media sehingga bila dibiarkan akan mematikan jaringan.

Eksplant memerlukan komposisi media baru untuk membentuk organ atau struktur baru.

Media berubah, menjadi cair karena penurunan pH oleh tanaman.


(Wardiyati,1998)

1.3

TAHAPAN SUBKULTUR
Tahapan subkultur meliputi :
1. Regenerasi
2. Multiplikasi
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk memperoleh dan memperbanyak tunas.
3. Pengakaran
Tunas atau plantlet yang dihasilkan dari tahapan ke 2 tersebut umumnya masih sangat
kecil atau tunas yang belum dilengkapi dengan akar sehingga belum mampu untuk
mendukung pertumbuhannya dalam kondisi in-vivo. Oleh karena itu, dalam tahap ini masing-

masing plantlet yang dihasilkan ditumbuhkan untuk pembesaran, pengakaran dan


perangsangan aktifitas fotosintesisnya.
Media MS tersebut di tambah dengan Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin (MS+BA 0,52ppm). Setelah pembuatan media multiplikasi, eksplan dipindah ke media pengakaran (MS +
Auksin + arang aktif). Tahap selanjutnya adalah inisiasi eksplan.(Andri, 2008)
Pada tahapan ini, tunas yang dihasilkan dipotong-potong dengan teknik single-node/
multiple node culture maupun dengan mengambil pucuknya sebagai eksplan untuk
perbanyakan. Bahan tersebut kemudian ditanam pada media baru yang umumnya
mengandung sitokinin pada konsentrasi yang lebih tinggi dari auksin. Pada tahap ini dapat
digunakan media cair (media tanpa agar), semi padat maupun media padat. Dengan
modifikasi media yang sesuai, tunas-tunas baru akan tumbuh dari potongan eksplan. Tahapan
ini umumnya dilakukan sebanyak 8 10 kali sehingga akan dapat dihasilkan sejumlah besar
tunas (ribuan tunas) dari satu eksplan pada tahapan inisiasi. Tunas tersebut selanjutnya
dibesarkan atau diakarkan pada tahap mikropropagasi berikutnya.(Anonymous, 2009a)
1.4

PENGERTIAN AKLIMATISASI DAN TAHAP-TAHAPNYA


Aklimatisasi ialah Proses penyesuaian palnlet dari kondisi mikro dalam botol (heterotrof) ke
kondisi lingkungan luar (autotrof) (Dinas pertanian, 2002) Proses penyesuaian dengan

lingkungan baru di luar laboratorium. (Radarlamsel, 2009)


Acclimatization is kind of activity to move exsplat from aceptic room to the field.
Aklimatisasi ialah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke

bedengan.
(Anonymous,2010b)
Acclimatization is plant adaptation from metter medium in vitro to the medium in vivo.
Aklimatisasi ialah adaptasi tanaman pada media hara in vitro ke media tanam in
vivo.

(Anonymous,2010c)

Tahap tahap dari aklimatisasi ialah

Hardening
Merupakan perlakuan yang diberikan kepada planlet dengan cara pengabutan (fog,
semprotan air halus) lalu ditutup dengan kerudung plastik.
Fogging
Merupakan pengkabutan planlet atau tanaman muda untuk memenuhi kebutuhan air
dan kelembaban (suhu mikro) tanaman. Fogging dilakukan dengan cara menyemprotkan air
pada plastic yang menutupi tempat penanaman dengan ukuran lubang penyemprotan yang
paling kecil.

(Katuuk,1989)

Menurut Wardiyati, 1998 tahap kegiatan aklimatisasi yang dilakukan dalam


mempersiapkan tanaman sebelum ditanam d lapang ialah : aklimatisasi selama 2-4 minggu.
Pembesaran 1 bulan dari pemanasan 1 bulan. Aklimatisasi yang dimaksudkan di sini ialah
memindahkan tanaman dari botol ke dalam kondisi in vitro tetapi dengan kelembaban tinggi,
1.5

cahaya rendah, suhu rendah.


SYARAT PLANLET YANG DIGUNAKAN UNTUK AKLIMATISASI
Planlet sebelum di aklimatisasi perlu diperhatikan ada tidakanya akar, yang
baik adalah jika sudah ada akar pada planlet yang akan diaklimatisasi atau paling sedikit
sudah ada primordia akar yang nantinya akan tumbuh normal di media tanam. Untuk
mempercepat tumbuhnya akar di tanah, batang dapat dicelup dalam larutan auksin sebelum
ditanam di tanah.

1.6

(Wardiyati,1998)
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN PLANLET PADA TAHAP
AKLIMATISASI
Kelembaban
Dalam keadaan in vitro kelembaban udara 95% dan pada keadaan in vivo kelembaban udara
80% sehingga agar planlet dapat tumbuh ketika aklimatisasi maka secara bertahap udara
diturunkan deri 95% in vitro menjadi 70-80% pada kondisi in vivo. Dengan ini lapisan

kutikula terbentuk dan stomata mulai berfungsi


.(Wardiyati,1998)
Suhu
Dalam keadaan in vitro suhu optimal 21-25c dan suhu pada keadaan in vivo yaitu 30c.
sehingga agar planlet tidak mati maka ketika aklimatisasi, suhu di tempat aklimatisasi harus
dijaga agar tanaman atau planlet dapat beradaptasi dengan suhu pada keadaan in

vivo.
(Yusnita,2004)
Cahaya
Dalam keadaan in vitro intensitas cahaya sebesar 1000-3000 lux dan pada keadaan in vivo
yaitu 4000 lux, sehingga ketika sklimstisasi berlangsung intensitas cahaya yang masuk
berkisar antara 20-40%.
(Wardiyati,1998)
Kemudian cahaya diataur dari intensitas rendah dan meningkat secara bertahap.

(Yusnita,2004)
Media yang digunakan

Media yang digunakan merupakan campuran antara tanah, pasir, dan bahan organic (pupuk
kandang, humus, sabut kelapa, sekam, serbuk gergaji, azola,dll). Setelah dicampur dengan
komposisi yang disesuaikan dengan sifat tanaman.\ kemudian media tersebut diayak dan
disesuaikan dengan sifat tanaman kemudian media tersebut diayak dan disterilkan dengan
uap airnya yang lamanya tergantung volume media. Media tersebut dileyakkan di dalam bakbak plastic atau bedengan dan ditutup dengan plastic selama 3 hari baru kemudian bisa
ditanam.
1.7

(Wardiyati,1998)

PEMELIHARAAN TANAMAN DALAM KONDISI AKLIMATISASI


Salah satu metode yang digunakan pada proses aklimatisasi tanaman botol ke

tanaman pot menurut lc nursery adalah sbb:


Bibit yang masih ada didalam botol dikeluarkan dengan hati-hati menggunakan kawat atau

dengan memecahkan botol setelah dibungkus dengan kertas.


Bibit kemudian dibilas diatas tray plastik berlubang sebelum disemprot dengan air mengalir

untuk membersihkan sisa media agar.


Tiriskan bibit yang sudah bersih diatas kertas koran.
Tanam bibit secara berkelompok tanpa media tanam, kemudian tempatkan ditempat teduh

yang memiliki sirkulasi udara yang baik.


Tanaman disemprot setiap hari menggunakan hand sprayer.
Setelah kompot berumur 1-1.5 bulan, bibit dapat ditanam dalam individual potmenggunakan
media pakis atau sabut kelapa.
(Anonymousd, 2010)
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke
bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan
sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama
penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan
udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara
bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama
dengan pemeliharaan bibit generative.
(Anonymousd, 2010)
Andri, 2008. Kultur Jaringan Anthurium. http://www.eshaflora.com/kultur jaringan/

Anonymous a. 2010. http://arifinbits.files.wordpress.com/2008/02/mengenalkuljar.pdf.


Anonymousb, 2010.Kuljar.Http://www.e-learning.unram.ac.id/kuljar/bab2/

Anonymousc, 2010. Mikroporopagasi. Http:// SitusHijau.co.id/mikropropagasi/


Anonymousd, 2010. Teknik Pembibitan Tanaman Dan Produksi Benih.
http://www.scribd.com/doc/13044231/kelas-11teknik-pembibitan-tanaman-dan-produksibenihparistiyanti/
Hardini, Y. 2009. Kultur Jaringan Tanaman.http://dinhardini.blogspot.com/2007/02/bahankuliah.html. Diakses tanggal 23 Mei 2009.
Hendaryono, D.P.S.1994. Teknik kultur jaringan. Kanisius. Yogyakarta.
Katuuk, R. P. J. 1989. Teknik kultur dalam mikropropagasi tanaman. Depdikbud Dirjen PT Proyek
Pembangunan Lembaga Pendidikan Tinggi
Wardiyati, Tatik. 1998. Kultur Jaringan Tanaman Hortikultura. FP UB. Malang.
Yusnita. 2004. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
http://khasindonesia-asliindonesia.blogspot.com/2012/05/subkultur-danaklimatisasi.html

a. Pemilihan dan Penyiapan Tanaman Induk Sumber Eksplan

Sebelum melakukan kultur jaringan untuk suatu


tanaman, kegiatan yang pertama harus dilakukan adalah memilih bahan induk yang akan
diperbanyak. Tanaman tersebut harus jelas jenis, spesies, dan varietasnya serta harus sehat
dan bebas dari hama dan penyakit. Tanaman indukan sumber eksplan tersebut harus
dikondisikan dan dipersiapkan secara khusus di rumah kaca atau greenhouse agar eksplan
yang akan dikulturkan sehat dan dapat tumbuh baik serta bebas dari sumber kontaminan pada

waktu

dikulturkan

secara

in-vitro.

Lingkungan tanaman induk yang lebih higienis dan bersih dapat meningkatkan kualitas
eksplan. Pemeliharaan rutin yang harus dilakukan meliputi: pemangkasan, pemupukan, dan
penyemprotan dengan pestisida (fungisida, bakterisida, dan insektisida), sehingga tunas baru
yang tumbuh menjadi lebih sehat dan dan bersih dari kontaminan. Selain itu pengubahan
status fisiologi tanaman induk sumber eksplan kadang-kadang perlu dilakukan seperti
memanipulasi parameter cahaya, suhu, dan zat pengatur tumbuh. Manipulasi tersebut bisa
dilakukan dengan mengondisikan tanaman induk dengan fotoperiodisitas dan temperatur
tertentu untuk mengatasi dormansi serta penambahan ZPT seperti sitokinin untuk merangsang
tumbuhnya mata tunas baru dan untuk meningkatkan reaktivitas eksplan pada tahap inisiasi
kultur
(Yusnita,
2003).

b.
Inisiasi
Kultur
Tujuan utama dari propagasi secara in-vitro tahap ini adalah pembuatan kultur dari eksplan
yang bebas mikroorganisme serta inisiasi pertumbuhan baru (Wetherell, 1976). Ditambahkan
pula menurut Yusnita, 2004, bahwa pada tahap ini mengusahakan kultur yang aseptik atau
aksenik. Aseptik berarti bebas dari mikroorganisme, sedangkan aksenik berarti bebas dari
mikroorganisme yang tidak diinginkan. Dalam tahap ini juga diharapkan bahwa eksplan yang
dikulturkan akan menginisiasi pertumbuhan baru, sehingga akan memungkinkan
dilakukannya pemilihan bagian tanaman yang tumbuhnya paling kuat,untuk perbanyakan
(multiplikasi)
pada
kultur
tahap
selanjutnya
(Wetherell,
1976).
Untuk mendapakan kultur yang bebas dari kontaminasi, eksplan harus disterilisasi. Sterilisasi
merupakan upaya untuk menghilangkan kontaminan mikroorganisme yang menempel di
permukaan eksplan. beberapa bahan kimia yang dapat digunakan untuk mensterilkan
permukaan
eksplan
adalah
NaOCl,
CaOCl2,
etanol,
dan
HgCl2.
Kesesuaian bagian tanaman untuk dijadikan eksplan, dipengaruhi oleh banyak faktor.
Tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan dekat pun, belum tentu menunjukkan rspon
in-vitro yang sama (Wetherell, 1976). Penggunaan eksplan yan tepat merupakan hal penting
yang juga harus diperhatikan pada tahap ini. Umur fisiologis dan ontogenetik tanaman induk,
serta ukuran eksplan bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan, merupakan faktor
penting dalam tahap ini. Bagi kebanyakan tanaman, eksplan yang sering digunakan adalah
tunas pucuk (tunas apikal) atau mata tunas lateral pada potongan batang berbuku. Namun
belakangan ini, eksplan potongan daun yang dulunya hanya digunakan untuk tanamantanaman herba, seperti violces, begonia, petunia dan tomat, ternyata dapat digunakan juga
untuk tanaman-tanaman berkayu seperti Ficus lyrata, Annona squamosa, dan melinjo.

Eksplan yang dapat digunakan untuk memperbanyak tanaman Anthurium sendiri diantaranya
adalah tunas pucuk, daun, tangkai daun muda, tangkai bunga, spate, spandik, biji, ruas batang
dan
anther.
Umur fisiologis dan umur ontogenetik jaringan tanaman yang dijadikan eksplan juga
berpengaruh terhadap potensi morfogenetiknya. Umumnya, eksplan yang berasal dari
tanaman juvenile mempunyai daya regenerasi tinggi untuk membentuk tunas lebih cepat
dibandingakan dengan eksplan yang berasal dari tanaman yang sudah dewasa.
Masalah yang sering dihadapi pada kultur tahap ini adalah terjadinya pencokelatan atau
penghitaman bagian eksplan (browning). Hal ini disebabkan oleh senyawa fenol yang timbul
akibat stress mekanik yang timbul akibat pelukaan pada waktu proses isolasi eksplan dari
tanaman induk. Senyawa fenol tersebut bersifat toksik, menghambat pertumbuhan atau
bahkan
dapat
mematikan
jaringan
eksplan.

c. Multiplikasi atau P
erbanyakan
Propagul
Tahap ini bertujuan untuk menggandakan propagul atau bahan tanaman yang diperbanyak
seperti tunas atau embrio, serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga sewaktuwaktu bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya (Yusnita, 2004). Pada tahap ini, perbanyakan
dapat dilakukan dengan cara merangsang terjadinya pertumbuhan tunas cabang dan
percabangan aksiler atau merangsang terbentuknya tunas pucuk tanaman secara adventif,
baik secara langsung maupun melalui induksi kalus terlebih dahulu. Seperti halnya dalam
kultur fase inisiasi, di dalam media harus terkandung mineral, gula, vitamin, dan hormon
dengan perbandingan yang dibutuhkan secara tepat (Wetherell, 1976). Hormon yang
digunakan untuk merangsang pembentukan tunas tersebut berasal dari golongan sitokinin
seperti
BAP,
2-iP,
kinetin,
atau
thidiadzuron
(TDZ).
Kemampuan memperbanyak diri yang sesungguhnya dari suatu perbanyakan secara in-vitro
terletak pada mudah tidaknya suatu materi ditanam ulang selama multiplikasi (Wetherell,
1976). Eksplan yang dalam kondisi bagus dan tidak terkontaminasi dari tahap inisiasi kultur
dipindahkan atau disubkulturkan ke media yang mengandung sitokinin. Subkultur dapat
dilakukan berulang-ulang kali sampai jumlah tunas yang kita harapkan, namun subkultur
yang terlalu banyak dapat menurunkan mutu dari tunas yang dihasilkan, seperti terjadinya
penyimpangan genetik (aberasi), menimbulkan suatu gejala ketidak normalan (vitrifikasi) dan
frekuensi
terjadinya
tanaman
off-type
sangat
besar.
d.

Pemanjangan

Tunas,

Induksi,

dan

Perkembangan

kar
Tujuan dari tahap ini adalah untuk membentuk akar dan pucuk tanaman yang cukup kuat
untuk dapat bertahan hidup sampai saat dipindahkan dari lingkungan in-vitro ke lingkungan
luar. Dalam tahap ini, kultur tanaman akan memperoleh ketahanannya terhadap pengaruh
lingkungan, sehingga siap untuk diaklimatisasikan (Wetherell, 1976). Tunas-tunas yang
dihasilkan pada tahap multiplikasi di pindahkan ke media lain untuk pemanjangan tunas.
Media untuk pemanjangan tunas mengandung sitokinin sangat rendah atau tanpa sitokinin.
Tunas tersebut dapat dipindahkan secara individu atau berkelompok. Pemanjangan tunas
secara berkelompok lebih ekonomis daripada secara individu. Setelah tumbuh cukup panjang,
tunas tersebut dapat diakarkan. Pemanjangan tunas dan pengakarannya dapat dilakukan
sekaligus atau secara bertahap, yaitu setelah dipanjangkan baru diakarkan. Pengakaran tunas
in-vitro dapat dilakukan dengan memindahkan tunas ke media pengakaran yang umumnya
memerlukan auksin seperti NAA atau IBA. Keberhasilan tahap ini tergantung pada tingginya
mutu tunas yang dihasilkan pada tahap sebelumnya. Disamping itu, beberapa perlakuan yang
disebut hardening in vitro telah dilaporkan dapat meningkatkan mutu tunas sehingga planlet
atau tunas mikro tersebut dapat diaklimatisasikan dengan persentase yang lebih tinggi.
Beberapa perlakuan yang bisa dilakukan sebagai berikut:
1. Mengondiskan kultur di tempat yang pencahaannya berintensitas lebih tinggi
(contohnya 10000 lux) dan suhunya lebih tinggi.
2. Pemanjangan dan pemanjangan tnas mikro dilakukan dalam media kultur dengan hara
mineral dan sukrosa lebih rendah dan konsentrasi agar-agar lebih tinggi (Yusnita,
2004).

e.
Aklimatisa
si
Dalam proses perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, tahap aklimatisasi planlet
merupakan salah satu tahap kritis yang sering menjadi kendala dalam produksi bibit secara
masal. Pada tahap ini, planlet atau tunas mikro dipindahkan ke lingkungan di luar botol
seperti rumah kaca , rumah plastik, atau screen house (rumah kaca kedap serangga). Proses
ini disebut aklimatisasi. Aklimatisasi adalah proses pengkondisian planlet atau tunas mikro
(jika pengakaran dilakukan secara ex-vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol,
dengan media tanah, atau pakis sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi bibit yang
siap ditanam di lapangan. Prosedur pembiakan dengan kultur jaringan baru bisa dikatakan
berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke kondisi eksternal dengan keberhasilan yang
tinggi.
Tahap ini merupakan tahap kritis karena kondisi iklim mikro di rumah kaca, rumah plastik,
rumah bibit, dan lapangan sangatlah jauh berbeda dengan kondisi iklim mikro di dalam botol.
Kondisi di luar botol bekelembaban nisbi jauh lebih rendah, tidak aseptik, dan tingkat
intensitas cahayanya jauh lebih tinggi daripada kondisi dalam botol. Planlet atau tunas mikro
lebih bersifat heterotrofik karena sudah terbiasa tumbuh dalam kondisi berkelembaban sangat
tinggi, aseptik, serta suplai hara mineral dan sumber energi berkecukupan.
Disamping itu tanaman tersebut memperlihatkan beberapa gejala ketidak normalan, seperti
bersifat sukulen, lapisan kutikula tipis, dan jaringan vaskulernya tidak berkembang sempurna,
morfologi daun abnormal dengan tidak berfungsinya stomata sebagai mana mestinya. Strutur
mesofil berubah, dan aktifitas fotosintesis sangat rendah. Dengan karakteristik seperti itu,
palanlet atau tunas mikro mudah menjadi layu atau kering jika dipindahkan ke kondisi
eksternl secara tiba-tiba. Karena itu, planlet atau tunas mikro tersebut diadaptasikan ke
kondisi lngkungan yang baru yang lebih keras. Dengan kata lain planlet atau tunas mikro
perlu diaklimatisasikan

Minggu, 04 Mei 2014

TUGAS KKPI SMT VIII

Perkembangan Penelitian Kultur Jaringan (In Vitro) pada


Tanaman Industri, Pangan, dan Hortikultura
PENDAHULUAN
Usaha di bidang pertanian yang semakin berkembang menyebabkan kebutuhan
akan bibit semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan bibit yang sangat
banyak dengan waktu yang relatif cepat sangat sulit dan lama jika melalui
prbanyakan secara konvensional. Dengan demikian, teknologi kultur jaringan
telah terbukti dapat digunakan sebagai teknologi pilihan yang sangat
menjanjikan untuk pemenuhan kebutuhan bibit tanaman.
Kultur jaringan merupakan salah satu aplikasi dari perkembangan bioteknologi.
Kultur jaringan tanaman merupakan teknik menumbuh kembangkan bagian
tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in
vitro. Teknik kultur jaringan dicirikan dengan kondisi yang aseptik atau steril dari
segala macam bentuk kontaminan, menggunakan media kultur yang memiliki
kandungan nutrisi yang lengkap dan menggunakan ZPT (zat pengatur tumbuh),
serta kondisi ruang tempat pelaksanaan kultur jaringan diatur suhu dan
pencahayaannya (Yusnita, 2003).
Teknologi kultur jaringan ini memiliki faktor tertentu yang harus diantisipasi,
yaitu penyimpangan genetik yang dapat mungkin terjadi. Untuk itu, perlu
dimengerti mekanisme fisiologi apa yang terjadi, faktor apa saja yang
menyebabkannya sehingga mutasi dapat dihindarkan. Banyak hal yang harus
dipelajari dan dikuasai seperti mekanisme fisiologi, daya aktivitas, laju
transportasi, sifat persistensi, daya aktivitas dari berbagai komponen organik
dan anorganik penyusun media tumbuh serta faktor lain yang berpengaruh
terhadap keberhasilan kultur in vitro.
ISI
Perbanyakan Tanaman Melalui Kultur Jaringan
Teknik kultur jaringan memanfaatkan prinsip perbanyakan tumbuhan
secara vegetatif. Berbeda dari teknik perbanyakan tumbuhan secara
konvensional, teknik kultur jaringan dilakukan dalam kondisi aseptik di dalam
botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu. Karena itu teknik ini sering kali
disebut kultur in vitro. Dikatakan in vitro (Bahasa Latin), berarti di dalam kaca
karena jaringan tersebut dibiakkan di dalam botol kultur dengan medium dan
kondisi tertentu (Hameed, 2006).
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak
tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara
generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat
diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan
tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu
yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit
lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional (Yusnita, 2003).
Teori dasar dari kultur in vitro ini adalah totipotensi. Teori ini mempercayai bahwa
setiap bagian tanaman dapat berkembang biak karena seluruh bagian tanaman

terdiri atas jaringan-jaringan hidup. Oleh karena itu, semua organisme baru yang
berhasil ditumbuhkan akan memiliki sifat yang sama persis dengan induknya
(Khan, 1988).
1. Tanaman obat langka puar (Elettaria sumatrana). Secara visual
tanaman tersebut mirip jahe dan secara konvensional mudah diperbanyak.
Dengan kondisi tersebut timbul anggapan bahwa tanaman tersebut mudah
diperbanyak melalui kultur jaringan. Tetapi setelah dicoba, sistem regenerasinya
sangat lambat dan terdapat masa-lah pelayuan yang cepat. Apabila tumbuh
sedikit, tunasnya cepat mati, keadaan yang sama ditemukan pada garut
(Maranta arundinacea). Masalah oksidasi fenol yang sering dijumpai pada
tanaman lain tidak ditemukan pada tanaman tersebut. Diduga masalah ini terjadi
karena ada metabolik sekunder yang dikeluarkan oleh jaringan tanaman dan
masalah semakin meningkat dengan kondisi formulasi media yang kaya akan
garam-garam mineral yang dapat menimbulkan tekanan osmosa tinggi (Lestari,
2004).
2. Perakaran jambu mente (Anacardium occidentale). Jambu mente
termasuk tanaman tahunan berkayu yang sangat lambat daya regenerasinya
dan kesulitan meningkat apabila tunas in vitro diakarkan. Setelah dicoba lebih
dari 200 formulasi media, akar dapat diinduksi pada media dasar dengan
kandungan total ion yang rendah, diberi NAA dan asam amino tertentu.
Formulasi media tidak terlalu kompleks tetapi memerlukan kesabaran untuk
mendapatkan yang terbaik. Formulasi media terdiri dari garam-garam makro dan
mikro sebanyak 14 unsur, vitamin umumnya 5 macam, zat pengatur tumbuh
sebanyak 2 macam, dan anti oksidan. Apabila salah satu unsur dihilangkan akan
memberikan hasil yang berbeda, selain kondisi fisiologi pohon induk, jenis
eksplan, musim pengambilan eksplan serta faktor lain juga harus
diperhitungkan. Semakin banyak unsur yang terkandung dalam media tumbuh
maka semakin banyak kombinasi perlakuan yang harus diberikan. Pengalaman,
pengetahuan mengenai fisiologi, peranan setiap komponen organik maupun
anorganik, pengaruh faktor fisik, serta daya in-tuisi yang kuat sangat diperlukan
untuk keberhasilan sistem regenerasi.
3. Perbanyakan vegetatif pepaya hasil persilangan pepaya Hawai
dengan pepaya Bangkok. Beberapa tahun yang lalu, penelitian perbanyakan
pepaya hasil persilangan antara pepaya Hawai dan pepaya Bangkok dilakukan
dengan hasil yang kurang memuaskan. Masalah yang dihadapi adalah tunas
tidak dapat tumbuh memanjang, rosette, daun cepat menguning, dan akhirnya
gugur. Sebanyak 86 formulasi media telah dicoba mulai dari media MS (1,, ),
Anderson (1, ), DKW (1,, ), WPM (1, ) kombinasi dengan sitokinin (zeatin,
2iP, BA, kine-tin), dan GA3 pada beberapa konsentrasi, penggunaan berbagai
asam amino tetapi belum memberikan hasil yang baik. Biakan cenderung
melakukan proliferasi tunas walaupun tidak diberi sitokinin dan tunasnya tetap
pendek, cepat mengering serta selalu membentuk kalus bagian dasarnya.
Setelah dicoba penggunaan media dasar yang kaya mineral, penambahan
sitokinin konsentrasi rendah, beberapa asam amino, serta anti auksin, tunas

dapat memanjang dan tidak menguning


Perbaikan Tanaman Melalui Kultur In Vitro
Beberapa metode penelitian kultur jaringan telah dilakukan untuk meningkatkan
keragaman genetik tanaman yaitu melalui metode keragaman somaklonal,
seleksi in vitro, kultur anter, penyelamatan embrio, dan fusi protoplas
(Mariska, 1998). Penelitian perbaikan tanaman melalui kultur in vitro sering
dipertanyakan dan ditanggapi, sebagai penelitian yang mudah dan tidak
berbobot, bahkan mulai ditinggalkan. Tetapi penelitian ini tetap dilakukan
terutama pada spesies tanaman yang selalu diperbanyak secara vegetatif serta
pada tanaman yang tidak berbunga. Apabila setiap regeneran baru tetap diteliti
terus menerus (berkelanjutan) sampai di lapang, maka pada akhirnya akan
diperoleh nomor-nomor harapan dengan sifat yang diharapkan.
1. Keragaman Somaklonal
Keragaman somaklonal didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman
yang dihasilkan melalui kultur sel, baik sel somatik seperti sel daun, akar, dan
batang, maupun sel gamet. Keragaman somaklonal yang terjadi dalam kultur
jaringan merupakan hasil kumulatif dari mutasi genetik pada eksplan dan yang
diinduksi pada kondisi in vitro. Keragaman somaklonal merupakan perubahan
genetik yang bukan disebabkan oleh segregasi atau rekombinasi gen, seperti
yang biasa terjadi akibat proses persilangan (Maralappanavaret al., 2000).
Keragaman somaklonal dalam kultur jaringan terjadi akibat penggunaan zat
pengatur tumbuh dan tingkat konsentrasinya, lama fase pertumbuhan kalus, tipe
kultur yang digunakan (sel, protoplasma, kalus jaringan), serta digunakan atau
tidaknya media seleksi dalam kultur in vitro (Hameed, 2006).
Dapat dikatakan bahwa variasi somaklonal telah berhasil memperbaiki sifat
produksi beberapa tanaman seperti tomat, tebu, seledri, jagung, padi, dan
sorgum Tetapi juga harus dikatakan tentang ketidaksuksesan beberapa
percobaan dengan pendekatan ini, misalnya pada tanaman gandum, jagung, dan
barley meskipun diusahakan dengan skala yang besar dan ekstensif
(Maralappanavar et al., 2000).
Panili. Keragamaan somaklonal merupakan keragaman genetik yang
terjadi secara spontan hasil regenerasi sel somatik. Perubahan sifat genetik dan
sel somatik telah dilaporkan sejak tahun 1961. Metode tersebut telah diterapkan
pada tanaman panili kombinasi dengan mutagen fisik (radiasi sinar gamma).
Pengembangan panili mengalami masalah penyakit busuk batang yang
disebabkan Fusarium oxysporum. Dari beratus-ratus somaklon yang akhirnya
menjadi nomor baru telah diuji di rumah kaca dan lapang (di 2 lokasi yang sudah
terkontaminasi penyakit F. oxysporum). Dari percobaan lapang di Sukabumi
diperoleh sekitar 12 nomor yang tidak terserang. Nomor-nomor tersebut saat ini
sudah ditanam di Bali (salah satu sentra produksi panili) yang sudah tercemar
penyakit, bekerjasama dengan Dinas Pertanian setempat.
Nilam. Nilam merupakan penghasil minyak atsiri yang potensial
dikembangkan dan Indonesia merupakan pemasok utama di pasar dunia.
Peningkatan kadar minyak nilam melalui teknik konvensional sulit dilakukan
karena tanaman tersebut tidak berbunga. Peningkatan keragaman genetik

dilakukan pada tunas in vitro yang telah mengalami periode kultur in vitro
selama 2 tahun dan subkultur 12 kali. Kalus yang berasal dari jaringan daun
yang diisolasi dari biakan tersebut kemudian dikaluskan dan dibuat suspensi sel
kemudian massa selnya ditaburkan di atas kertas filter. Sel tersebut di-radiasi
dengan sinar gamma 0-3 krad. Sekitar 411 somaklonal yang diperoleh diuji di 2
lokasi (Bogor dan Bandung) selama 2 tahun ber-turut-turut. Dari sekitar 411
soma-klonal diperoleh 5 somaklon yang kadar minyaknya tinggi dan di antaranya terdapat 1 somaklon yang kadar minyaknya mencapai 4% dan selalu stabil
pada setiap panen de-ngan musim yang berbeda. Pada tahun ketiga dicoba
kembali di Bogor, kadar minyaknya tetap stabil, demikian pula pada tahun
keempat.
Jahe. Masalah penyakit yang disebabkan bakteri Pseudomonas
solanaceae pada jahe merupakan masalah yang sulit dipecahkan. Untuk
meningkatkan keragaman genetik dicoba melalui keragaman somaklonal pada
kalus dan tunas adventif yang telah mengalami periode kultur in vitro yang
lama. Diperoleh sekitar 4 somaklon yang tidak menunjukkan gejala sakit setelah
ditanam pada lokasi yang telah tercemar penyakit (Bogor) dan satu somaklon KJ
40 tumbuhnya lebih tegar dibandingkan dengan somaklon lainnya.
2. Seleksi In Vitro
Penggunaan metode seleksi in vitro pada perbaikan tanaman telah banyak
digunakan untuk meningkatkan sifat ketahanan baik terhadap faktor biotik
maupun abiotik. Seleksi in vitro lebih efesien dan hasilnya dapat dipertanggung
jawabkan, karena melalui seleksi in vitro jutaan sel dapat diseleksi dengan hanya
menggunakan beberapa botol kultur atau petridis, sedangkan seleksi di lapang
harus menggunakan beratus ratus tanaman yang diuji pada areal yang lebih
luas, selain itu seleksi in vitro tidak terlalu dipengaruhi oleh lingkungan serta
memungkinkan melakukan seleksi pada tingkat sel (Biswas et al., 2002).
Teknik in vitro melalui variasi somaklonal dan perlakuan mutasi fisik seperti
iradiasi sinar gamma pada jaringan atau sekelompok sel (kalus) merupakan
alternatif untuk mendapatkan varian yang diinginkan. Melalui seleksi in vitro
varian tersebut dapat diseleksi untuk mendapatkan varian tanaman yang toleran
terhadap kekeringan (Sutjahjo, et. al., 2007).
Seleksi in vitro untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan yang dihasilkan
dari kultur in vitro dapat memberikan kesempatan untuk mengembangkan
metode seleksi in vitro sehingga dapat bermanfaat dalam program pemuliaan
tanaman (Mattjik, 2005).
Untuk mendapatkan varian somaklonal yang diinginkan biasanya dilakukan
dengan menggunakan teknik seleksi in vitro. Dalam hal ini kondisi selektif
tertentu dapat digabungkan dalam media kultur in vitro dan dipakai untuk
menumbuhkan varian-varian somaklon yang telah diperoleh. Tanaman hasil
regenerasi dari jaringan yang dapat mengatasi kondisi selektif tersebut, besar
kemungkinannya juga akan mempunyai fenotipe toleran terhadap kondisi
selektif. Hal ini sangat menguntungkan karena proses seleksi yang dilakukan in
vitro akan sangat efisien mengingat tempat yang dibutuhkan relatif sedikit,
kondisi selektif dapat dibuat homogen, dan efektifitas seleksi akan sangat tinggi.
Menurut Barwale (1990), kombinasi antara induksi keragaman somaklonal dan

seleksi in vitro merupakan salah satu kesempatan yang menawarkan kemudahan


dalam menghasilkan individu dengan karakter yang spesifik.
Metode seleksi in vitro sangat cocok digunakan untuk mendapatkan tanaman
yang toleran terhadap kekeringan, karena dapat dilakukan penapisan atau
penyaringan pada sekelompok populasi (sekelompok sel) pada kondisi yang
seragam pada lingkungan yang terbatas. Dalam hal ini, ada 3 hal penting yang
perlu diperhatikan dalam seleksi in vitro. Pertama, sistem regenerasi pada sel
atau kalus yang resisten hasil seleksi. Kedua, kemampuan sel/kalus untuk
memelihara integritas genetik ketahanan pada material yang diseleksi. Ketiga,
perubahan genetik pada proses seleksi tidak hanya sekedar adaptasi fisiologis
saja (Chopra et al., 1989). Salah satu metode untuk seleksi cekaman kekeringan
secara in vitro yang digunakan adalah penggunaan senyawa osmotic stress
seperti polyethylen glycol (PEG).
Tersedianya agen selektif untuk simulasi kekeringan yaitu PEG serta tersedianya
sistem regenerasi kalus dan tunas menjadi planlet, memungkinkan seleksi in
vitro dapat dilakukan untuk mendapatkan tanaman jeruk resisten terhadap
kekeringan. Seleksi in vitro merupakan salah satu metode dari keragaman
somaklonal tetapi lebih efektif dan efisien karena perubahan genetik lebih
diarahkan pada sifat yang diinginkan. Metode seleksi in vitro diterapkan pada
tanaman panili, lada, dan kedelai.
Lada. Untuk memecahkan masalah penyakit Phytopthora capsici, massa sel
diinduksi dari jaringan daun dan diseleksi dengan filtrat P. capsici. Saat ini telah
dihasilkan sekitar 8 somaklon yang akan diaklimatisasi di rumah kaca.
Kedelai. Pada tahap awal penelitian kedelai dicoba 10 varietas, 7 jenis
eksplan, dan 18 formulasi media untuk produksi kalus embriogenik, serta 25
formulasi media untuk pendewasaan dan perkecambahan. Dari hasil kegiatan
awal, dicoba kembali formulasi media, sumber eksplan, dan kondisi fisiologi
pohon induk yang memberikan hasil yang baik dan ternyata metode yang diperoleh dapat diulang dengan keberhasilan yang relatif sama. Setelah diperoleh
metode regenerasi melalui jalur embriogenesis somatik yang dapat diulang,
maka dicoba menyeleksi massa sel pada media dengan kemasaman rendah
(sekitar 4) dengan menggunakan AIC13. 6H20 sebagai komponen seleksi.
Tanaman hasil seleksi in vitro telah ditanam sampai generasi ke-6 di lahan
masam Gajrug (Banten) dan Jasinga (Kabupaten Bogor). Dari generasi ke-6, telah
diperoleh galur-galur baru dengan produksi polong lebih tinggi dibandingkan
dengan varietas Sindoro yang telah dilepas sebagai varietas tahan lahan masam.
Panili. Seleksi pada tanaman panili dilakukan pada struktur globular
ukuran (1 mm) yang diseleksi dengan asam fusarat dan filtrat F. oxysporum.
Seleksi dilakukan bertahap, tunas hasil regenerasi diseleksi silang dengan
komponen seleksi lainnya. Hasil sementara menunjukkan bahwa tunas hasil
regenerasi struktur globular yang tidak diseleksi apabila diinokulasi menjadi mati
(screening in vitro) tetapi untuk tunas hasil seleksi tetap hidup. Terdapat
perbedaan morfologi yang nyata, biakan dari asam fusarat lebih tipis akarnya
sedangkan biakan dari filtrat F. Oxysporum daunnya lebih hijau dan lebih tebal.
3. Kultur Anter
Pada program pemuliaan tembakau terdapat satu kegiatan, yaitu kultur anter

varietas Burley. Dari hasil penelitian telah diperoleh metode regenerasi melalui
jalur embriogenesis somatik dengan menggunakan media MS + 0,30 mg/l GA3 +
750 mg/l glutamin. Benih somatik yang diperoleh dan anter mempunyai
penampakan yang lebih kecil dari pohon induknya.
4. Embrio Rescue (Penyelamatan Embrio)
Pemuliaan tanaman terjadi melalui hibridisasi dan seleksi. Dengan menyilangkan
tanaman, pemulia berusaha untuk menggabungkan karakter terbaik dari 2
tanaman yang berbeda. Melalui seleksi, pemulia mencoba untuk menyeleksi
anakan yang memiliki kombinasi kualitas yang optimal dari kedua tanaman
induk. Proses ini tentu saja sangat tergantung pada produksi benih viable. Jika
benih viabel tidak terbentuk, tidak akan ada keturunan yang akan diseleksi.
Tidak ada anakan tidak berarti fertilisasi tidak terjadi setelah polinasi.
Kemungkinan terjadi keguguran embryo pada fase dini perkembangan biji, akibat
penyebab yang tidak diketahui. Dengan teknik kultur jaringan, embryo yang
belum matang ini dapat diselamatkan (embrio rescue) (Smith, 2000)
Teknik penyelamatan embrio (embryo rescue) mulai dikembangkan tahun 1900an yang memungkinkan benih yang belum matang atau embrio diselamatkan
untuk membentuk tanaman baru. Ini biasanya dilakukan untuk benih benih
yang memiliki masa dormansi yang panjang. Belakangan ini juga berkembang
teknik penyelamatan bakal biji yang telah terserbuki tapi tidak pernah
menghasilkan benih viable. Penyelamatan embryo banyak dilakukan untuk
memperoleh hibrida interspesifik dan intergenerik. Misalnya pada kentang dan
berbagai tanaman hias.
5. Fusi Protoplas
Fusi protoplas adalah salah satu metode persilangan atau hibridisasi
tanaman denga memanfaatkan rekayasa genetika konvensional (Maaike, 2004).
Protoplas adalah sel tanaman tanpa bagian dinding sel (Cliff, 2001). Teknik fusi
protoplas dapat digunakan untuk mencampur sifat genetis dari spesies tanaman
yang sama ataupun dari spesies yang berbeda. Selain itu, teknik ini
menguntungkan untuk diterapkan dalam persilangan tanaman steril ataupun
tanaman dengan siklus hidup yang panjang. Untuk menginduksi atau
mendukung terjadinya fusi protoplas dapat dilakukan dengan pemakaian
senyawa kimia seperti polietilen glikol (PEG) ataupun penggunaan arus
listrik untuk membantu fusi (elektrofusi) (Nejat, 1993).
Ketika dua protoplas bersatu, dapat terjadi pemisahan atau penggabungan dua
inti sel (nukleus) sehingga menghasilkan tanaman dengan sifat baru hasil
pencampuran kedua tetua. Apabila salah satu inti sel hilang selama terjadinya
fusi maka akan dihasilkan sel baru yang disebut sitoplasmik hibrid (cybrid)
(Rajiv, 2005).
Penelitian produksi bahan tanaman dan pemuliaan tanaman terung (Solanum
melongena) terhadap penyakit tular tanah melalui fusi protoplas dengan dana
dari Masyarakat Ekonomi Eropa telah dilakukan. Penelitian tersebut merupakan
kerja sama antara peneliti Perancis, India, Italia, dan Indonesia. Masing-masing
melakukan penelitian yang sama dengan spesies tanaman yang berasal dari
negara-nya masingmasing. Teknik terbaru untuk isolasi dan fusi protoplas telah
dicoba dan berhasil memfusikan S. melongena de-ngan S. torvum atau S.

aethiopicum. Hasil fusi yang dihasilkan oleh se-mua negara yang terlibat telah
ditanam di Inlitbio Pacet. Selain itu, tanaman hibrida somatik hasil fusi telah
dilakukan kultur anter untuk mendapatkan tanaman dihaploid dan tanaman
tersebut kemudian disilang balik dengan S. melongena dan tanaman F1-nya
menunjukkan sifat ketahanan yang sama dengan S. aethiopicum dan buah
menyerupai S. melongena
Penyimpanan Tanaman Obat Langka Melalui Kultur Jaringan
Dari spesies tumbuhan obat yang ada di Indonesia, sekitar 31 telah
dikategorikan langka. Untuk itu, penyelamatan tumbuhan obat langka ini perlu
dilakukan dan salah satunya dengan menyimpan sebagai koleksi in vitro. Sampai
saat ini, tumbuhan obat langka yang telah diselamatkan disajikan pada Tabel 3.
Metode yang digunakan antara lain melalui pertumbuhan minimal.
5. CONTOH GAMBAR

PENUTUP
Kesimpulan
1. Kultur jaringan dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk perbanyakan tetapi
juga untuk perbaikan tanaman dan penyimpanan plasma nutfah.
2. Untuk dapat merakit varietas baru, penelitian tidak hanya dilakukan di
laboratorium tetapi harus dilanjutkan sampai lapang dan sangat diperlukan kerja
sama dengan para pemulia konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
Barwale, U.B dan J.M. Widholm. 1990. Soybean: PlantRegeneration and
Somaclonal Variation. Dalam Y.P.S. Bajaj (Ed). Biotechnology in Agricultural and
Forestry. Vol 10. Legumes & Oil Seed Crop 1. Springer-Verlag Heidelberg. Berlin.
Biswas, J., B. Chowdhurry, A. Bhattacharya, and B. Mandal. 2002. In vitro
screening for increases drought tolerance in rice. In Vitro Cell. Dev Biol-Plant
38:525-530.
Chopra, et.al. 1989. Selection In Vitro. Educa Book. Australia.
Hameed N, Shabbir A, Ali A, Bajwa R. 2006. In vitro micropropagation of disease
free rose (Rosa indica L.). Mycopath 4:35-38.
Khan IA, Shaw JJ. 1988. Biotechnology in Agriculture. Punjab. Agric. Res.
Coordination Board Faisalabad, Pakistan. pp. 2.
Lestari, E.G., I. Mariska, dan D. Seswita. 2004. Aplikasi kultur jaringan untuk
perbanyakan klonal tanaman kencur. Warta Tumbuhan II(3):11-14.
Maaike Raaijmakers (Juni 2004). Protoplast fusion and organic farming. liff L.
Hedley (2001). Carbohydrates in Grain Legume Seeds: Improving Nutritional
Quality and Agronomic Characteristics. CABI. ISBN 978-0-85199-467-3.Page.156.
Maralappanavar, M. S., M. S. Kuruvinashefti dan C. C. Harti. 2000. Regeneration,
establishment and evaluation of somaclones in Sorghum bicolor (L.) Moench.
Euphytica115: 173-180.
Mariska, I. dan Hobir. 1998b. Peningkatan keragaman genetik tanaman melalui
metode in vitro. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XVII(4):115-121.
Mattjik, N.A. 2005. Peranan Kultur Jaringan dalam Perbaikan Tanaman. Orasi
Ilmiah Guru Besar Tetap Kultur Jaringan. Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor, 24 September 2005. 102 hlm. Smith, R.H. 2000. Plant Tissue Culture:
Techniques and Experiments. Academic press, London.
Nejat Dzgne (1993). Membrane fusion techniques. Academic Press. ISBN 9780-12-182122-7.Page.379-388.
Rajiv Tyagi, P.R. 2005. Yadav. Biotechnology of Plant Tissue. Educa Books. ISBN
978-81-8356-073-3.Page.94-95.
Sutjahjo SH, Abdul K dan Ika M. 2007. Efektifitas polietilena glikol sebagai bahan
penyeleksi kalus nilam yang diradiasi sinar gamma untuk toleransi terhadap

cekaman kekeringan. Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 9. No. 1, 2007. Hlm 4857.
Yusnita, 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien.
Agromedia Pustaka, Jakarta.
http://eriscalarasati.blogspot.com/2014/05/tugas-kkpi-smt-viii.html

Perbanyakan vegetatif tanaman nilam melalui teknik


kultur jaringan
Posted on September 15, 2011 by admin

Nilam (Pogestemon cablin Benth.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sebagai penghasil devisa negara dan sebagai sumber
pendapatan petani. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendemen dan mutu minyak nilam
adalah penggunaan bibit tanaman nilam yang tidak terjamin standarisasinya. Bibit biasanya
dibeli dari daerah sentra produksi nilam lain. Selama ini penggunaan bibit nilam tidak
memperhatikan keunggulan tanaman, besarnya rendemen minyak, ketahanannya terhadap
hama dan penyakit. Sehingga kadar pachoully alkohol yang diperoleh rata-rata rendah
kurang dari 30%.
Penggunaan bibit unggul yang sehat dan dapat disediakan terus menerus diperlukan untuk
budidaya nilam yang berkelanjutan. Saat ini ada 3 klon nilam dari wilayah Aceh (Sidikalang,
Lhokseumawe dan Tapak Tuan) memiliki kadar minyak dan mutu yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan klon lain dengan rendemen berkisar antara 2-4% dan kadar PA berkisar
antara 32-33%. Namun demikian, upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman,
rendemen dan mutu minyak nilam melalui pengembangan bibit unggul yang sehat perlu
dilakukan.
Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas bahan baku nilam dapat dilakukan melalui teknik
kultur jaringan. Teknik kultur jaringan selain dapat digunakan untuk perbanyakan vegetatif
tanaman nilam secara in vitro untuk menghasilkan klon-klon yang sehat dalam jumlah yang
besar dalam waktu yang relatif singkat, serta dapat digunakan untuk menghasilkan tanaman
dengan sifat baru. Saat ini Jurusan Biologi FMIPA UB telah mengembangkan metode baku
perbanyakan nilam melalui teknik kultur jaringan. Pengembangan metode regenerasi tanaman
secara in vitro ini merupakan prasyarat untuk dapat melakukan berbagai pengembangan
tanaman dengan sifat baru melalui teknik kultur jaringan.
Perbanyakan vegetatif nilam dengan teknik kultur jaringan dilakukan melalui tahapan:
induksi tunas, pemanjangan tunas dan induksi perakaran serta aklimatisasi plantlet pada
media tanah (Gambar 1). Induksi tunas nilam in vitro dilakukan dengan menggunakan
eksplan daun (Gambar 1A) yang dikultur pada medium MS dengan penambahan zat pengatur
tumbuh NAA dan BAP. Tunas mulai terbentuk dari eksplan setelah 2 minggu kultur (Gambar
1B). Pemanjangan tunas dilakukan dengan mengkultur tunas yang terbentuk umur 6 minggu
(Gambar 1C) pada media MS dengan penambahan hormon GA3. Pada media yang
mengandung GA3 ini, selain tunas mengalami pemanjangan, akar juga mulai terbentuk dari
tunas-tunas nilam (Gambar 1D). Setelah 4 minggu dalam media ini, plantlet diaklimatisasi
(Gambar 1E dan F). Dua minggu setelah aklimatisasi plantlet dipindah ke polibag dan siap
dipindah dalam penanaman dalam bentuk demplot.

kultur jaringan
http://atsiri.ub.ac.id/perbanyakan-vegetatif-tanaman-nilam-melalui-teknik-kulturjaringan/

Telah
dilakukan
magang/pelatihan
alih
teknologi
perkebunan tentang teknologi somatik embryogenesis untuk komoditas tebu. Pelatihan
dilaksanakan mulai 14-16 November 2011 Bertempat di Balai Penelitian Bioteknologi
Perkebunan Indonesia Bogor
(Laboratorium Biak Sel dan Mikropropagasi Tanaman).
Guna mewujudkan swasembada gula tahun 2014 perlu dilakukan peningkatan produksi gula
nasional melalui perluasan areal pertanaman tebu dengan menggunakan varietas-varietas
yang toleran terhadap kekeringan dan tingkat produksi yang tinggi.

Jumlah bibit yang dibutuhkan untuk menunjang program swasembada tersebut sangat
besar. Hal tersebut sangat sulit untuk dipenuhi jika masih mengandalkan perbanyakan
tanaman secara konvensional malalui stek batang atau bagal. Masalah tersebut dapat
diatasi dengan antara lain dengan perbanyakan tebu melalui kultur jaringan (kultur
invitro).
Perkembangbiakan atau regenerasi dalam kultur in-vitro dapat dilakukan melalui jalur
organogenesis dan embriogenesis somatik, baik secara langsung maupun tidak langsung
malalui tahap kalus. Selain itu untuk medapatkan jumlah bibit yang banyak dapat juga
dilakukan dengan cara memodifikasi system kultur seperti system perendaman sesaat (SPS)
dan yang lainnya.
Regenerasi melalui embriogenesis somatik memberikan banyak keuntungan, antara lain:
(1) waktu perbanyakan lebih cepat; (2) pencapaian hasil dalam mendukung program
perbaikan tanaman lebih cepat; dan (3) jumlah bibit yang dihasilkan tidak terbatas
jumlahnya.
Kultur Jaringan Tebu
1. Kelebihan dibandingkan dengan perbanyakan secara konvensional
- Laju multiplikasi lebih cepat (50.000 kali dalam 6 bulan disbanding dengan konvensional
yang hanya mencapai 8-12 kali)
- Bibit bebas penyakit
- Kemurnian bibit lebih terjamin
Prosedur Kultur Jaringan Tebu
1. Persiapan eksplan
- Eksplan: meristem atau daun muda yang masih menggulung
- Sterilisasi dengan cara dibakar dengan alcohol sebanyak 3 kali
2. Medium inisiasi kalus dengan menggunakan media MS dengan penambahan hormone 2,4-D
dan air kelapa.
3. Sub kultur dilakukan setiap 3-4 minggu pada medium yang sama untuk proliferasi kalus
4. Tempat kultur: ruang gelap, suhu 26-28 oC
5. Pembentukan dan pembesaran tunas
- Medium MS dengan penambahan IAA dan air kelapa.
- Kultur diletakkan pada ruang kultur terang dengan intensitas cahaya 20 mol
foton/m2/detik, fotoperiode 12 jam dengan suhu 26-28 oC.
6. Pembentukan akar
- Medium cair MS 2 cair pada tabung besar di ruang terang.
7. Aklimatisasi
- Medium: tanah, pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1:1
- Diletakkan dalam sungkup plastic, setelah 4 minggu dipindah ke polibag.
Alur Kerja dalam Kultur Jaringan Untuk Somatic Embryogenesis pada Tebu

Mengenai Petunjuk teknis pembuatan Bibit menggunakan kultur jaringan by P3GI Pasuruan,
silahkan
download
dengan
mengklik
link
berikut
ini
http://www.ziddu.com/download/17832166/JuknisTebu_EkaS_P3GI.pdf.html

Sumber : http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/
http://litbang-pradjekan.blogspot.com/2011/12/pelatihan-teknologi-somatic.html

Você também pode gostar