Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Antara
Golongan
Tua
Dan
Muda
Yang
Melahirkan
Peristiwa
Rengasdengklok,
Setelah mengetahui bahwa Jepang telah menyerah terhadap sekutu, maka
golongan pemuda segera menemui Bung Karno dan Bung Hatta di Jln.Pegangsaan
Timur 56 Jakarta.Dengan juru bicara Sutan Syahrir, para pemuda meminta agar
Bung Karno dan Bung Hatta segera memperoklamasikan kemerdekaan saat itu juga
BOM ATOM JEPANG
Serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki adalah serangan nuklir selama
Perang Dunia II terhadap kekaisaran Jepang oleh Amerika Serikat atas perintah
Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman.
JEPANG MENYERAH TANPA SYARAT
Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai akhir Perang Dunia II.
Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak ada sejak Agustus
1945, sementara invasi Sekutu ke Jepang hanya tinggal waktu
TERJADI BANYAK PERTEMPURAN, seperti :
Presiden sebagai kepala pemerintahan dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sebuah
dewan menteri yang disebut kabinet. Berkenaan dengan hal itu presiden Soekarno menugaskan
sebuah panitia kecil yang terdiri dari Achmad Subarjo (ketua), Sutarto Kartohadikusumo, dan
Kasman Singodimedjo untuk membentuk susunan kementrian rancangan susunan kementrian
selanjutnya disampaikan dalam rapat pleno PPKI.
1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Kabinet Natsir adalah kabinet koalisi yang berintikan Partai Masyumi dengan Perdana Menteri
Muhammad Natsir. Tokoh pendukung kabinet ini adalah Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.
Assaat, Ir. Djuanda, dan Prof. Sumitro Joyohadikusumo.
Program kerja Kabinet Natsir sebagai berikut :
a. Meningkatkan keamanan dan ketertiban.
b. Menguatkan konsolidasi, penyempurnaan susunan pemerintahan.
c. Penyempurnaan angkatan perang.
d. Memusatkan perhatian pada ekonomi rakyat sebagai fondasi ekonomi sosial.
Kabinet Natsir mulai goyah sejak kegagalan dalam perundingan dengan Belanda mengenai Irian
Barat. Kabinet ini jatuh setelah Hadikusuma dari PNI mengajukan mosi tidak percaya
menyangkut pencabutan PP No. 39/1950 tentang DPRS dan DPRDS. Akhirnya pada tanggal 21
Maret 1951, Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 - 3 April 1952)
Kabinet Sukiman merupakan koalisi antara PNI dan Masyumi dengan Perdana Menterinya
Sukiman Wiryosanjoyo. Program kerja Kabinet Sukiman sebagai berikut :
a. Penerapan tindakan tegas untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
b. Memperjuangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan memperbarui hukum agrarian
untuk kesejahteraan rakyat.
c. Mempersiapkan segala usaha untuk pemilu.
d. Memperjuangkan Irian Barat dalam wilayah Indonesia.
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama karena banyak hal yang ditentang oleh parlemen
termasuk dari Masyumi dan PNI. Penyebab utama jatuhnya Kabinet Sukiman adalah pertukaran
nota antara Menlu Subarjo dengan Duta Besar Amerika, Merle Cochran.
Nota tersebut berisi tentang pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika
kepada pemerintah Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Kabinet ini
dianggap telah menyelewengkan Indonesia dari politik luar negeri bebas aktif. Kabinet Sukiman
jatuh setelah PNI dan Masyumi menarik dukungannya.
3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953)
Kabinet Wilopo disebut juga zaken kabinet, karena terdiri atas para pakar di bidangnya. Kabinet
Wilopo dipimpin oleh Mr. Wilopo dengan program kerjanya sebagai berikut :
a. Mempersiapkan dan menyelenggarakan kemakmuran, pendidikan dan keamanan rakyat.
c. Berusaha menyelesaikan masalah Irian Barat, memperbaiki hubungan dengan Belanda dan
konsisten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif.
2
Tantangan yang dihadapi Kabinet Wilopo selain kondisi ekonomi yang kritis juga munculnya
gerakan separatisme di sejumlah daerah. Ujian terberat Kabinet ini adalah "Peristiwa 17 Oktober
1952" dan "Peristiwa Tanjung Morawa".
Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat menekan Presiden
Soekarno agar membubarkan kabinet. Sedangkan Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Utara
merupakan bentrokan antara aparat kepolisian dan para petani liar.
Peristiwa ini mendapatkan sorotan tajam, baik dari pers maupun dari parlemen. Sidik Kertapati
dari Serikat Tani Indonesia (Sakti) mengajukan mosi tidak percaya terhadap Kabinet Wilopo.
Dan pada tanggal 2 Juni 1953 Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955)
Kabinet Ali Sastroamijoyo I dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamijoyo dan merupakan koalisi antara
PNI dan NU. Program kerjanya sebagai berikut :
a. Mempersiapkan penyelenggaraan pemilu yang rencananya diadakan pada pertengahan tahun
1955.
b. Mengatasi gangguan keamanan dan pemberontakan di daerah.
c. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dan turut berperan dalam menciptakan
perdamaian dunia.
Masalah lain yang dihadapi Kabinet Ali Sastroamijoyo adalah pada tanggal 20 Juli 1955 NU
memutuskan untuk menarik kembali menteri-menterinya yang kemudian diikuti oleh partaipartai lain. Keretakan dalam kabinet ini memaksa Ali Sastroamijoyo mengembalikan mandatnya
kepada Presiden.
Cabinet jatuh bangun adalah cabinet yang dibentuk oleh beberapa kelompok dan memiliki
program kerja demi kesejahteraan rakyat namun terjadi jatuh bangun karena easa ketidakpuasan
dari masyarakat akan cara kerja mereka sehingga koalisi harus menyerahkan mandate pada
presiden.
PERJANJIAN LINGGARJATI (15 November 1946 - 25 Maret 1947) :
1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa,
Sumatera dan Madura.
2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari
1949.
3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth
/Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda
sebagai kepala uni. Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia
Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan
masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi,
PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata.
Setelah melalui empat kali rapat, pihak delegasi Belanda dan Indonesia dapat menyimpulkan
bahwa bahwa perundingan ini sudah berhasil mewujudkan suatu naskah persetujuan antara
pihak Belanda dan Indonesia, sekalipun ada masalah-masalah yang perlu dirundingkan lebih
lanjut. Maka, pada tanggal 15 November 1946 diadakan rapat yang dihadiri Indonesia dan
Belanda dan yang bertindak sebagai pemimpin rapat adalah Soetan Sjahrir. Soetan Sjahrir
mengajukan pembentukan badan banding atas pembicaraan di Linggarjati. Oleh Dr. Van
Mook diusulkan untuk menambah pada pasal ini suatu ayat tentang adanya badan bersama
yang akan bertugas untuk mewujudkan dan melaksanakan kerja sama antara pemerintah
Belanda dan Indonesia di masa depan. Saran Van Mook disetujui rapat. Rumusan mengenai
masalah tersebut akan dimuat sebagai 17 pasal dalam Perjanjian Linggarjati.
PERJANJIAN RENVILLE (8 Desember 1947 - 17 Januari 1948) :
1. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai
bagian wilayah Republik Indonesia.
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia
dan daerah pendudukan Belanda.
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah
pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta.
Dini hari tanggal 17 Agustus 1945 kelompok tersebut mengadakan rapat
rahasia di Kepu (Kemayoran), kemudian pindah ke Defensielijn van den
Bosch (sekarang Jalan Bungur Besar) untuk mengatur cara penyiaran
proklamasi.
Para pemuda memanfaatkan semua media komunikasi yang ada untuk
menyebarluaskan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Kegiatan Pegawai Kantor Berita Domei
Menjelang sore hari, tanggal 17 Agustus 1945, wartawan kantor
berita Domei yang bernama Syahruddin menyampaikan fotokopi teks
proklamasi kepada Waidan B. Palenewen kepala bagian radio.Segera ia
memerintahkan kepada markonis (petugas telekomunikasi) F. Wuz untuk
menyiarkan berita proklamasi sebanyak 3 kali berturut-turut.
RAPAT RAKSASA DI DI LAPANGAN IKADA
Seiring dengan berkumandangnya proklamasi kemerdekaan Indonesia,
pertempuran dan bentrokan antara pemuda Indonesia dan penguasa militer
Jepang tidak terhindarkan. Masing-masing mempunyai kepentingan yang
berlawanan. Para pemuda berkepentingan menegakkan kedaulatan
Indonesia yang baru merdeka. Penguasa militer Jepang berkepentingan
memelihara status quo, sesuai dengan perintah sekutu.