Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pertumbuhan dan perkembangan gigi
Tahap perkembangan dari gigi sulung dimulai antara minggu ke lima dan ke
enam pada periode embriogenesis selama perkembangan prenatal. Perkembangan
ini dimulai dengan pembentukan dental lamina yang merupakan suatu pita pipih
yang terjadi karena penebalan jaringan epitel rongga mulut yang meluas
sepanjang batas occlusal dari rahang atas dan rahang bawah. Dental lamina ini
berada pada tempat gigi-geligi akan muncul kemudian. Perkembangan awal
terjadi pada daerah anterior rahang bawah, kemudian diikuti perkembangan pada
daerah rahang atas dan berlanjut ke arah posterior kedua rahang (Hashanur, 1991).
Gigi-geligi dalam rongga mulut akan mengalami erupsi menurut urutan waktu
erupsi masing-masing jenis gigi, mulai dari fase gigi sulung sampai fase
pergantian gigi menjadi fase gigi permanen. Proses erupsi masing-masing gigi
pada setiap fase terjadi secara fisiologis. Erupsi gigi permanen ke dalam rongga
mulut terletak pada posisi lingual dari akar gigi sulung. Pengecualian pada gigi
incisivus rahang atas, pergerakannya lebih banyak pada posisi facial ketika erupsi
ke dalam rongga mulut (Balogh & Fehrenbach, 1997).
Penelitian mengenai urutan waktu erupsi gigi molar pertama, sering
dilakukan dalam sejumlah penelitian paleoantropologi. Tujuannya adalah untuk
merekonstruksi sejarah kehidupan fosil primata dan hominin (Dean, et al., 2001;
Kelley & Smith, 2003). Teknik baru untuk pemetaan pertumbuhan gigi geligi
individu dapat diterapkan pada fosil, yang dapat melengkapi dan bahkan
memperjelas kronologi dari penelitian erupsi gigi, berat badan, dan dimensi tulang
(Dean, et al., 2001; Schwartz, Samonds, Godfrey, Jungers, & Simons, 2002).
8
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
10
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
11
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
12
yang kontak dengan pre-dentin, terjadi proses mineralisasi dari membran dasar
yang hancur, serta membentuk dentino enamel junction, batas antara dentin dan
enamel. Kalsifikasi atau maturasi dari setiap tipe matriks timbul kemudian, dan
merupakan proses yang berbeda antara enamel dan dentin. Badan sel dari
ameloblas berpengaruh dalam proses erupsi dan mineralisasi, tetapi akan hilang
setelah erupsi (Balogh & Fehrenbach, 1997).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
13
Hypodontia sebagian adalah yang paling umum dan paling sering terjadi pada gigi
incisivus lateral rahang atas, molar ketiga, dan pada premolar kedua rahang
bawah. Hypodontia dapat dikaitkan dengan sindrom displasia ektodermal, karena
banyaknya bagian gigi yang secara langsung maupun tak langsung berasal dari
ektodermal. Etiologi hypodontia terkait dengan faktor genetik dan lingkungan
(faktor hormonal, penyakit sistemik, terpapar radiasi) (Lamour, Mossey, Thin,
Forgie, & Strirrups, 2005).
Proliferasi yang abnormal dapat menyebabkan satu gigi atau seluruh gigi
menjadi lebih besar atau lebih kecil dari ukuran normalnya. Ke abnormalan gigi
dengan ukuran yang lebih besar disebut makrodontia, sedang yang lebih kecil
disebut mikrodontia. Gigi yang pada umumnya mengalami parsial mikrodontia
adalah gigi incisivus lateral pemanen rahang atas dan molar ketiga permanen.
Makrodontia seluruhnya jarang terjadi dan biasanya berhubungan dengan
disfungsi dari kelenjar pituitari/hipofisis. Pada tahap proliferasi, enamel organ
secara abnormal melakukan invaginasi ke dalam papilla dental yang
mengakibatkan terjadinya dens in dente atau dens invaginatus. Gigi yang paling
banyak terkena adalah incisivus permanen rahang atas, khususnya incisivus
lateral. Pada dens in dente, terlihat gigi dengan pit tunggal pada area terjadi
invaginasi, dan akan terlihat bentukan seperti gigi di dalam gigi pada pemeriksaan
radiologi. Pit tunggal ini akan menyebabkan kegagalan pulpa, kondisi patologis,
dan dibutuhkan terapi endodontik. Oleh karena itu, deteksi awal sangatlah
penting, dan faktor herediter mungkin terlibat dalam kasus mikrodontia,
makrodontia, maupun dens in dente (Balogh & Fehrenbach, 1997).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
14
pada
kasus
displasia
enamel,
yang
merupakan
keabnormalan
perkembangan enamel. Displasia enamel lokal dihasilkan oleh trauma atau infeksi
kelompok kecil ameloblas. Displasia sistemik melibatkan ameloblas dalam jumlah
yang besar dan dihasilkan dari trauma saat kelahiran, infeksi sistemik, defisiensi
nutrisi, atau fluorosis. Displasia enamel dapat menyebabkan hipoplasia enamel
dan hipokalsifikasi enamel. Hipoplasia enamel diakibatkan oleh reduksi kuantitas
matrik enamel, sehingga pada permukaan enamel gigi akan tampak pit dan
groove. Dapat dijumpai pada Hutchinsons incisors dan Mulberry molars, yang
disebabkan oleh faktor teratogenik dari congenital syphilis. Dari pandangan sisi
labial, Hutchinsons incisors mempunyai mahkota dengan bentuk seperti obeng
yang melebar di bagian servikal dan menyempit di bagian incisal. Pada Mulberry
molars terdapat tubercle di bagian permukaan enamel. Hipokalsifikasi enamel
menyebabkan kurangnya kualitas dari maturasi enamel, gigi tampak opaque, lebih
kuning, atau mungkin lebih coklat, tergantung pewarnaan enamel dari dalam.
Hipoplasia dan hipokalsifikasi enamel mungkin terjadi bersama, hal ini sering
dijumpai pada fluorosis (Balogh & Fehrenbach, 1997).
Tipe tertentu dari displasia enamel, yaitu amelogenesis imperfecta adalah
kelainan pembentukan enamel yang dipengaruhi oleh faktor genetik, pewarisan
secara autosomal dominant atau autosomal resesif.
dapat terjadi
Amelogenesis imperfecta
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
15
atrisi yang sangat ekstrim dengan kehilangan material gigi saat mastikasi
(Crawford, Aldred, & Zupan, 2007).
Salah satu tipe displasia dentin adalah dentinogenesis imperfecta juga dikenal
sebagai opalescent dentin, yang mengakibatkan gigi berwarna biru ke abu-abuan
atau coklat buram. Dentinogenesis imperfecta
maupun gigi permanen, dipengaruhi oleh faktor genetik dan pewarisan secara
autosomal dominant atau autosomal recessive. Komposisi dari enamel normal,
tetapi mudah terkelupas oleh karena kurangnya pertahanan dari dentinnya yang
abnormal. Akibatnya adalah atrisi karena dentin kurang termineralisasi secara
keseluruhan. Hal ini diakibatkan maturasi yang tidak berjalan dengan semestinya
(Barron, McDonnell, McKieand, & Dixon, 2008).
2.2 Faktor pertumbuhan gigi
Gigi merupakan materi yang kuat yang dapat digunakan untuk penelitian di
bidang anthropologi ragawi, genetik odontologi dan forensik, baik pada populasi
yang hidup maupun populasi yang sudah mati (Kaushal, Patnik, Sood, &
Agnihotri, 2004).
Morfologi, ukuran dan jumlah gigi mempunyai komponen genetis yang
sangat kuat. Semua gigi sebagai penentu pewarisan, adalah penting ketika variasi
morfologi gigi (karakteristik gigi) mulai diwujudkan. Selain faktor genetik yang
kuat, dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan seperti budaya, termasuk kebiasaan
manusia. Adanya perbedaan karakteristik gigi pada individu dapat menjadi ciri
khas suatu populasi; dan observasi karakteristik gigi dilakukan berdasarkan letak
geografisnya (Kieser, 1990; Scott & Turner, 2000).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
16
Garn, Lewis, & Kerewsky (1965) menyatakan bahwa gen, hormon, dan kalori
memainkan peranan penting dalam pertumbuhan gigi, namun belum jelas efeknya
terhadap bentuk gigi. Menurut Harris & Couch (2006), perbedaan jenis kelamin
yang dilihat melalui bentuk gigi dipengaruhi oleh faktor hormonal terutama
sebelum masa remaja. Menurut Duraiswany (2009) bentuk gigi dipengaruhi oleh
faktor genetik dan lingkungan (misalnya ras, dan budaya). Agnihotri dan Sikri
(2010) juga berpendapat bahwa bentuk gigi dipengaruhi oleh faktor genetis dan
lingkungan, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memperjelas
hal ini.
2.2.1 Faktor genetik
Karakteristik gigi diturunkan secara genetis, sehingga menimbulkan keunikan
bagi setiap individu. Pengetahuan mengenai besarnya faktor genetis dalam
mempengaruhi karakteristik gigi, sangat berguna dalam beberapa hal antara lain,
penentuan ras, hereditas, determinasi umur, dimorfisme seksual dan penentuan
parentage atau asal usul. Adanya perbedaan karakteristik gigi pada kumpulan
individu memungkinkan dilakukan pengelompokan antar ras geografis dan dapat
menjadi ciri khas suatu populasi, sehingga dapat diselidiki seberapa dekat afinitas
antar kelompok populasi (Artaria, 2009).
Banyak peneliti yang melaporkan, bahwa terdapat bukti yang cukup kuat
mengenai pengaruh faktor genetik terhadap ukuran gigi. Salah satu penelitian
yang telah dilakukan pada hewan coba adalah dengan mengukur gigi tikus rumah
dan melihat hubungan kekeluargaannya. Sejumlah studi pada manusia juga
menunjukkan ada hubungan ukuran dimensi mahkota gigi dengan faktor genetis.
Hubungan antar anggota keluarga yang dekat seperti orang tua dan anak, saudara
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
17
kandung, dan antar sepupu untuk menunjukkan hubungan yang signifikan pada
ukuran mahkota giginya (Rizk, Amugongo, Mahaney, & Hulzko, 2008).
Beberapa kecurigaan yang mengarah pada dugaan adanya faktor genetik
sebagai penyebab suatu kelainan dan sifat yang diwariskan. Pertama adalah
adanya agregasi familial (pengelompokan dalam keluarga/kerabat penderita) yaitu
frekuensi kelainan dan sifat yang diwariskan tersebut lebih tinggi pada kerabat
derajat satu (orang tua, anak dan saudara kandung), bila dibandingkan dengan
frekuensinya pada populasi umum. Kedua, dijumpai adanya perbedaan frekuensi
etnis yang berbeda. Agregasi familial dan variasi etnis belum merupakan bukti
definitif adanya faktor genetik yang mendasari suatu kelainan dan sifat yang
diwariskan, mengingat keluarga dalam lingkup yang lebih besar yaitu kelompok
etnis tertentu, mempunyai faktor genetik dan faktor lingkungan yang sama seperti
diit, geografi, pemamparan bahan infeksius tertentu (Thompson, McInnes, &
Willard, 1991).
2.2.2 Faktor lingkungan
Teori plastisitas terhadap morfologi gigi, adalah faktor lingkungan seperti
stress, ketinggian tempat tinggal (geografi), pola makan (status gizi) dan radiasi,
mampu memberikan dampak terhadap pembentukan morfologi gigi pada suatu
populasi, sekalipun struktur gigi sangat keras dan tidak mudah berubah bentuk.
Kondisi lingkungan yang berbeda mampu menghasilkan morfologi gigi yang
berbeda, karena sifat alami manusia yang berdaptasi dengan lingkungannya (Scott
& Turner, 2000).
Kandungan mineral dalam gizi suatu populasi juga termasuk efek lingkungan.
Meskipun banyak mineral yang berhubungan, kandungan fluorin dalam suatu
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
18
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
19
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
20
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
21
wanita, lebih kecil dibanding kelompok berpola makan lunak. Oleh karena itu
pada kasus kelompok berpola makan keras permukaan gigi mengalami atrisi berat,
dan gigi molar mengalami atrisi lebih banyak dibanding gigi incisivus.
Penelitian Yuniati (1982) bertujuan untuk mendapat informasi tentang pola
makan dan kebiasaan makan masyarakat Tengger dan bukan Tengger di
Kecamatan Sukapura. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan dari segi
kehidupan di kedua kelompok. Keadaan usaha tani yaitu tanah yang dimiliki oleh
masyarakat Tengger lebih luas, sehingga pendapatan lebih tinggi dan keadaan
lingkungan lebih baik dibandingkan kelompok bukan Tengger. Konsumsi energi
dan protein masyarakat Tengger sudah berada di atas ambang kecukupan, yaitu
pada tingkat 101.8% dan 107.9 %, sedangkan garam besi dan vitamin A masih di
bawah angka kecukupan, yaitu 77.4% dan 29%. Pada kelompok bukan Tengger
konsumsi energi, protein, garam besi dan vitamin A masih berada di bawah angka
kecukupan, masing-masing pada tingkat 89.0%, 95.3%, 74.0% dan 55.2%.
2.3 Pewarisan
Derajat pewarisan (heritability) adalah istilah yang digunakan untuk
menyatakan
tertentu yang disebabkan oleh perbedaan genetik dalam populasi tertentu dan
dalam waktu tertentu (Lewis, 2007).
Genetika pada dasarnya adalah ilmu yang mempelajari tentang pewarisan
sifat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam dunia biologis dikenal
sebagai teori pewarisan mengenai genotip dan fenotip, yaitu perbedaan yang jelas
antara faktor genetik yang mendasari (genotip) dan penampilan fisik yang
dihasilkan (fenotip ) (Kieser, 1990).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
22
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
23
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
24
demikian disebut
homozigot normal atau homozigot sakit; b) Berbeda, yaitu yang satu normal dan
yang lain mutan (abnormal) maka keadaan demikian disebut heterozigot, dan
karena gen (alel) mutan dominan terhadap gen (alel) normal, maka individu
demikian disebut heterozigot sakit (Emery & Rimoin, 1990; Thompson, McInnes,
& Willard, 1991).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
25
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
26
rata-rata antara anak normal dan anak yang mewarisi kelainan atau sifat pada
perkawinan kedua individu heterozigot adalah 3:1; e) Adanya perkawinan
keluarga antara orang tua (perkawinan sedarah, konsanguin, inbreeding) (Emery
& Rimoin, 1990; Thompson, McInnes, & Willard, 1991) (gambar 2.5).
autosomal recessive
sempurna),
amelogenesis
imperfecta
dan
osteogenesis
imperfecta
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
27
Keterangan:
(perempuan), setiap generasi ada yang mewarisi suatu kelainan atau
sifat; Setiap anak (laki-laki/perempuan) mempunyai resiko mewarisi
50% kelainan atau sifat dari ibu; Semua anak perempuan mewarisi
kelainan atau sifat dari ayah, anak
(laki-laki) tidak.
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
28
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
29
Keterangan:
Kebanyakan
(laki-laki) yang mewarisi suatu kelainan atau sifat
Pewarisan terjadi secara sporadis pada setiap generasi
Anak laki-laki mempunyai resiko mewarisi 50% suatu kelainan atau
sifat bila (ibu) carrier.
Contoh kelainan atau sifat pewarisan X-linked recessive adalah: buta warna,
hemofilia (darah sulit membeku saat perdarahan atau luka), sindrom displasia
ektodermal: displasia ektoderm anhidrotik (sulit berkeringat karena kelenjar
keringat abnormal), hypodontia atau anodontia (gigi tidak tumbuh sebagian atau
seluruhnya (Emery & Rimoin, 1990).
2.4.1.5 Pewarisan Y-linked
Pewarisan Y-linked (terangkai Y) disebut juga pewarisan holandrik yang
berarti fenotip yang ada hanya diwariskan oleh seorang ayah kepada anak lakilakinya, dan kemudian ke cucu laki-laki dan seterusnya kesemua keturunan lakilakinya. Dalam pewarisan terangkai Y tidak ada istilah dominan dan resesif,
karena kromosom Y hanya terdapat pada laki-laki, dan laki-laki normal hanya
mengandung satu kromosom Y. Pewarisan terangkai Y, contohnya pada kelainan
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
30
yang mengenai masalah keraguan kelamin (sex ambigua). Selain itu di India,
daun telinga berambut juga diwariskan secara terangkai Y (Emery & Rimoin,
1990; Lewis, 2007).
2.4.2 Faktor yang mempersulit analisis pedigree dan yang menyimpang dari
Hukum Mendel
Frekuensi kelainan kecil (small family size atau isolated case):
Penderita hanya satu-satunya yang mempunyai kelainan dalam keluarga
(analisis pedigree). Frekuensi kebanyakan kelainan genetik adalah berkisar 1 per
10.000 kelahiran sampai 1 per 50.000 kelahiran, bahkan ada yang lebih kecil lagi.
Beberapa kelainan sering pada etnis tertentu, misalnya: thalasemia alfa di Asia,
anemia sel sabit (sickle cell anemia) pada orang negro Afrika, Tay Sachs pada
orang Jahudi Askenazik, dan fibrosis kistika pada orang kulit putih (Lewis, 2007).
Manfestasi kelainan pada umur tua (late age of onset):
Khorea Huntington, yaitu kelainan yang ditandai oleh kemunduran otak,
biasanya baru muncul setelah pembawa gen berumur 50 tahun. Dengan demikian
sering anak dan penderita kelainan ini belum menampakkan gejala, sehingga sulit
untuk diagnosis kliniknya (Lewis, 2007).
Penetrasi atau non penetrasi (penetrance atau reduce penetrance):
Gen dikatakan dengan penetrasinya sempurna (completely penetrance atau
degree of penetrance 100%) bila setiap gen (genotip) yang sakit juga
menampakkan gejala klinik (fenotip). Gen dikatakan mempunyai penetrasi tidak
sempurna/penetrasinya
berkurang
(reduce
penetrance
atau
incompletely
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
31
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
32
Mosaik (mosaicism):
Keadaan mosaik adalah keadaan di mana seseorang mempunyai lebih dari
satu populasi sel (cell lines) di dalam tubuhnya yang secara genetis berbeda, tetapi
berasal dari satu zygota. Pada umumnya bila seseorang mempunyai kelainan
kromosom, kelainan ini biasanya terdapat diseluruh sel tubuhnya. Tetapi kadangkadang, dua atau lebih komplemen kromosom yang berbeda bisa terdapat pada sel
tubuh seseorang. Hal ini yang mendasari terjadinya keadaan mosaik (Lewis,
2007).
Uniparental disomi (iso atau hetero):
Mempunyai dua kromosom tertentu yang diwariskan dari satu orang tua atau
dua kromosom dari ayah atau ibu saja (Lewis, 2007).
Hipotesis Lyon (Lyonization)
Pada perempuan kromosom sexnya adalah XX dan pada laki-laki XY.
Kromosom X membawa gen yang vital disamping gen untuk sifat kewanitaan,
sedangkan kromosom Y hanya mengandung gen untuk ke laki-lakian, sehingga
gena kromosom X pada wanita terdapat kelebihan bahan genetik. Oleh karena itu
terdapat mekanisme untuk menyeimbangkan (kompensasi) bahan genetik antara
laki-laki dan perempuan untuk gen yang terdapat pada kromosom X, yang
diajukan oleh Lyon, yang dikenal sebagai inaktivasi kromosom X atau hipotesis
Lyon, yaitu: a) Salah satu dan dua kromosom X pada sel somatik perempuan
normal diinaktifkan secara genetik; b) Kromosom X yang diinaktifkan bisa
berasal dari maternal (X m) atau paternal (Xp) pada sel yang berbeda; c) Inaktivasi
kromosom X terjadi pada awal perkembangan embrio, dan sekali terjadi
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
33
inaktivasi, maka kromosom X tersebut akan tetap inaktif pada sel turunannya
(Thompson, McInnes, & Willard, 1991; Lewis, 2007).
Selanjutnya bila mengandung lebih dari dua kromosom X, maka hanya satu
kromosom X yang tetap aktif, sisanya mengalami inaktivasi (kondensasi),
membentuk bangunan yang disebut kromatin X atau kromatin kelamin (barr
body) di dalam inti sel. Barr body ini mudah ditunjukkan pada biakan sel
fibroblas, sel mukosa pipi, sel mukosa vagina, pada lekosit polimorfonuklear.
Banyaknya barr body adalah sebagai berikut: perempuan normal (XX)
mengandung 1 barr body, laki-laki normal (XY) dan perempuan Turner (XO)
tidak mengandung barr body, laki-laki Klinefelter (XXY) mengandung 1 barr
body, dan perempuan XXX mengandung 2 barr body (Thompson, McInnes, &
Willard, 1991; Lewis, 2007).
2.5 Pewarisan poligenik atau pewarisan polifaktorial
Pewarisan poligenik adalah suatu kelainan atau sifat yang ditentukan oleh
interaksi sejumlah gena (poligenik) pada lokus berbeda. Apabila faktor
lingkungan juga ikut berpengaruh untuk timbulnya suatu sifat, maka pewarisan
demikian disebut pewarisan polifaktorial/multifaktorial. Sifat multifaktor bisa: a)
kontinyu (continuous multifactorial traits), yaitu perbedaan fenotip terjadi secara
graduil atau tidak berbatas jelas misalnya: tinggi badan, berat badan, intelegensia,
tekanan darah, warna kulit dan sebagainya atau b) diskontinyu (discontinuous
multifactorial traits), yaitu dengan fenotip jelas berbeda. Sifat diskontinyu secara
umum dibedakan atas dua macam, yaitu malformasi kongenital
misalnya:
sumbing bibir atau palatum (cleft lip atau cleft palate), defek tuba neuralis,
stenosis pylorus, penyakit jantung bawaan dan penyakit umum pada orang dewasa
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
34
chamber) sedangkan pulpa pada bagian akar disebut saluran akar (pulp canal atau
pulp cavity). Enamel, dentin, sementum, dan pulpa merupakan bagian dari
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
35
jaringan gigi. Enamel, dentin, dan sementum merupakan jaringan keras gigi,
sedangkan pulpa adalah jaringan lunak gigi. Pada pulpa terdapat pembuluh darah,
saraf dan kelenjar limfe (Kumar, 2004).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
36
bentuk iritasi baik iritasi mekanik, iritasi termal, iritasi kimia, maupun iritasi oleh
bakteri di alam (Balogh & Fehrenbach, 1997; Ash & Nelson, 2003).
Fungsi utama gigi adalah untuk mengunyah makanan agar mudah ditelan dan
untuk memfasilitasi pencernaan. Gigi memiliki fungsi yang berbeda-beda sesuai
dengan bentuknya, misalnya gigi seri (incisivus) untuk memotong dan estetika,
gigi taring (caninus) untuk mengoyak dan estetika, gigi premolar dan gigi molar
untuk menggiling dan mempertahankan dimensi vertikal wajah (Kumar, 2004).
Gigi juga berfungsi untuk mempertahankan jaringan penyangga gigi agar tetap
dalam kondisi yang baik dan berada di dalam lengkung gigi, dan juga membantu
memproduksi suara (Harshanur, 1991).
2.7 Morfologi gigi
Para pakar morfologi gigi mempelajari struktur dan morfologi gigi, melalui
dua pendekatan yang berbeda pada morfologi mahkota dan akar. Pada manusia
terdapat 20 gigi di usia anak-anak yang disebut sebagai gigi sulung atau gigi
primer (milk teeth atau primary dentition) dan 32 gigi di usia dewasa yang disebut
gigi permanen (permanen dentition) (Balogh & Fehrenbach, 1997; Ash & Nelson,
2003).
Pada gigi sulung terdapat tiga jenis gigi, yaitu gigi seri (incisivus), gigi taring
(caninus) dan gigi molar. Pada gigi permanen terdapat empat jenis gigi, yaitu gigi
incisivus, gigi caninus, gigi premolar dan gigi molar. Pada rongga mulut, gigi
berada pada rahang atas dan rahang bawah dengan jumlah yang secara fisiologis
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
37
sama, yaitu masing-masing lima di tiap kwadrannya untuk gigi sulung dan
delapan di tiap kwadrannya untuk gigi permanen (Ash & Nelson 2003; Kumar,
2004).
Gigi yang berlawanan dalam kedua rahang menunjukkan perbedaan ukuran
dan bentuk. Incisivus berbentuk seperti sekop (shovel shape), caninus berbentuk
cuspid tunggal dan seperti kerucut, premolar berbentuk bicuspid, dan gigi molar
berbentuk multicuspid. Ciri lain yang dapat dilihat adalah incisivus dan caninus
berakar tunggal, sementara molar rahang atas berakar tiga dan molar rahang
bawah berakar dua. Premolar pada umumnya memiliki akar tunggal, walaupun
jumlah akar premolar pertama rahang atas kadang-kadang dua, adalah ciri khas
dan ciri normal gigi dan merupakan salah satu variasi dari struktur morfologi gigi
(Harshanur, 1991).
2.7.1 Gigi sulung
Gigi sulung terdiri dari empat kwadran, di mana di tiap kwadran normalnya
terdiri dari dua gigi incisivus, satu gigi caninus, dan dua gigi molar.
Gigi
incisivus sulung rahang atas mempunyai permukaan labial yang halus dan
penebalan di tepi enamel kearah cingulum. Gigi incisivus sulung rahang atas pada
pandangan mesial atau distal tampak lebih cembung daripada gigi incisivus
permanen rahang atas. Gigi incisivus sulung rahang bawah memiliki mahkota
yang sama dengan gigi incisivus sulung rahang atas. Bagian distal dari gigi
incisivus lateralnya bulat dan groove yang tidak begitu dalam seperti pada gigi
incisivus permanen. Gigi caninus mempunyai mahkota gigi yang pendek dan
lebar, permukaan labial cembung dengan ukuran labiolingual lebih besar daripada
ukuran mesiodistal (Balogh & Fehrenbach, 1997; Ash & Nelson, 2003).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
38
Gigi molar sulung memiliki bentuk yang berbeda dengan gigi molar
permanen. Gigi molar pertama sulung rahang atas (m1 RA) mempunyai variasi
bentuk premolar dan molar. Pada permukaan mesiopalatal mahkota gigi terdapat
tonjolan kecil yang menjadi tuberculum molare. Pada gigi molar kedua sulung
rahang atas (m2 RA) terdapat lebih banyak anomali dari cusp carabelli
dibandingkan dengan gigi m1 RA. Gigi m2 RA memiliki ukuran lebih kecil dari
m1 RA, namun lebih besar daripada gigi premolar permanen. Gigi molar pertama
sulung rahang bawah (m1 RB) memiliki empat cusp dengan cusp lingual yang
agak tajam dibandingkan cusp buccal. Gigi molar kedua sulung rahang bawah (m2
RB) memiliki bentuk seperti gigi m1 RB, namun ukurannya lebih kecil dan
mempunyai lima cusp (Balogh & Fehrenbach, 1997; Ash & Nelson, 2003).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
39
mahkota dengan tepi incisal yang tajam dan permukaan labial yang cembung.
Permukaan lingualnya divergen ke arah occlusal dari tonjolan cingulum pada
leher gigi. Terdapat tiga lobus pada gigi ini yang ditandai dengan tiga mamelon
pada sepanjang tepi incisalnya. Pada gigi permanen maupun gigi sulung, mahkota
gigi incisivus pertama rahang atas selalu lebih besar dari mahkota gigi incisivus
kedua rahang atas, sedangkan untuk ke dua gigi incisivus rahang bawah
ukurannya hampir sama (Hillson, 1996).
Gigi ketiga dari garis median adalah gigi caninus, diberi nama caninus karena
tumbuh dengan baik pada binatang carnivore. Gigi caninus mempunyai akar
terpanjang dan terbesar, sehingga menjadikan gigi ini paling kuat. Mahkota gigi
caninus panjang dan memiliki bentuk yang tahan terhadap tekanan pengunyahan.
Gigi caninus tanggal paling akhir dan seringkali digunakan untuk penyangga gigi
tiruan dan merupakan gigi yang penting dalam membentuk karakter wajah,
estetika dan memberikan kekuatan (Harshanur, 1991).
Gigi premolar rahang atas memiliki dua cusp yaitu cusp buccal dan cusp
palatal, cusp buccal lebih besar dan lebih tinggi dibandingkan dengan cusp palatal.
Gigi premolar rahang bawah biasanya terdapat dua atau tiga cusp, dengan cusp
yang dominan pada sebelah buccal, dan cusp lain di sebelah lingual (Hillson,
1996).
Gigi molar permanen rahang atas memiliki empat cusp utama, tiga yang
terbesar pada mesiopalatal, mesiobuccal, dan distobuccal. Cusp yang ke empat
yaitu cusp distopalatal kurang menunjol dibandingkan cusp yang lain. Gigi molar
permanen rahang bawah memiliki bentuk mahkota segi empat pada Homosapiens
dan Australopithecus, namun lebih oval pada Paranthropus. Empat cuspnya
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
40
terdapat pada sudut segi empat dari mahkota gigi dan memiliki kesamaan pada
tingginya. Pada Homosapiens biasanya ada tiga, empat, atau bahkan lima cusp.
Namun tidak jarang juga terdapat terdapat variasi cusp keenam dan cusp ketujuh
(Hillson, 1996).
Gigi permanen lebih menjadi pusat perhatian para peneliti daripada gigi
sulung, karena variasi gigi permanen lebih banyak daripada gigi sulung. Usia 12
tahun sampai 16 tahun, setelah semua gigi sulung tanggal merupakan usia
morfologi mahkota gigi dari semua gigi permanen (Scott & Turner, 2000).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
41
Salah satu cabang spesifik Antropologi yang mempelajari mengenai gigigeligi manusia adalah Antropologi dental. Antropologi dental merupakan studi
terapan yang dapat melacak evolusi periode primata dan menentukan karakteristik
ras dari sisi morfologi giginya (Matsumura & Husdson, 2004). Banyak studi di
bidang Antropologi dental yang merunut sejarah persebaran populasi di suatu area
tertentu, dengan memperbandingkan karakteristik giginya sehingga dapat
diselidiki seberapa dekat afinitas antara kelompok populasi satu dengan lain (Scott
& Turner, 2000).
Dalam buku Races, Types and Etnic Groups Molnar (1975) cit. Scott &
Turner (2000), membuat beberapa referensi tentang variasi morfologi gigi atau
disebut karakterisik gigi. Beberapa morfologi gigi menunjukkan peran yang
besar dalam variasi gigi dan dalam beberapa kasus, telah dikelompokkan menurut
ras. Hanya ada satu variasi dalam frekuensi yang terjadi pada sifat tertentu pada
suatu populasi manusia menunjukkan dalam satu tingkatan, untuk itu pentingnya
penelitian mengenai afinitas populasi. Variasi populasi manusia lebih bersifat
kuantitatif daripada kualitatif, dan sangat penting untuk mempertimbangkan
sebanyak mungkin variabel dalam penelitian sejarah dan mikro evolusi.
2.8.1 Karakteristik metris gigi
Karakteristik metris gigi adalah variasi dalam ukuran gigi, yaitu karakteristik
gigi yang diperoleh dengan mengukur gigi secara langsung, yaitu pengukuran
diameter mesiodistal, labiolingual dan buccolingual pada mahkota gigi, dan tidak
ada karakteristik gigi yang menjelaskan pada ukuran gigi, kecuali mesiodistal,
labiolingual dan buccolingual ( Scott & Turner, 2000).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
Ukuran
42
posterior) yang diukur dari arah mesial ke distal, ukuran labiolingual adalah
ukuran lebar mahkota gigi (anterior) yang diukur dari arah labial ke lingual, dan
ukuran buccolingual adalah ukuran lebar mahkota gigi (posterior) yang diukur
dari arah buccal ke lingual. Bagian mesial gigi adalah sisi yang berhadapan
dengan garis median, sedangkan bagian distal gigi adalah sisi yang menjauhi
dengan garis median. Bagian labial gigi adalah sisi yang berhadapan dengan
labium (bibir), bagian buccal gigi adalah sisi yang berhadapan dengan buccae
(pipi), dan, sedangkan bagian lingual gigi adalah sisi yang berhadapan dengan
linguae (lidah) (Ash & Nelson, 2003).
Gambar 2.11 Terminologi gigi (permukaan occlusal) (Ash & Nelson, 2003 p.10).
2.8.1.1 Ukuran mesiodistal mahkota gigi
Ukuran mesiodistal gigi adalah ukuran yang diukur pada dimensi mesiodistal
mahkota gigi, yaitu jarak terbesar antara permukaan mesial dan permukaan distal
dari mahkota gigi sejajar dengan permukaan occlusal gigi (Fitzgerald & Hillson,
2008). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan dental caliper digital dengan
kepekaan 0,01 mm, dan hasil pengukuran dalam mm.
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
43
Bila ukuran mesiodistal mahkota gigi tersebut besar, maka lebar lengkung
rahang akan besar pula. Ukuran mesiodistal dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan dan antara satu ras dengan ras lainnya berbeda pula. Penelitian antara
ras berkulit putih, berkulit kuning dan ras berkulit hitam yang dilakukan oleh
Lavelle (1972) dan Smith, Buschang, & Watanabe (2000), hasilnya menunjukkan
ada perbedaan, yaitu ukuran mesiodistal mahkota gigi ras berkulit hitam lebih
besar daripada berkulit kuning lebih besar daripada berkulit putih. Pengaruh
genetik sangat kuat, yaitu dengan estimasi untuk gambaran morfologis mahkota
sebesar 90%.
Penelitian Swasono, Sylvia, & Susilowati (2004) mengenai variasi normal
Lebar Mesiodistal Gigi (LMG) pada orang Bugis dan Toraja menyimpulkan
bahwa, LMG laki-laki Toraja lebih besar daripada wanita Toraja, demikian juga
LMG pria Bugis juga lebih besar daripada wanita Bugis. Lebar mesiodistal baik
laki-laki maupun wanita Toraja lebih besar daripada laki-laki dan wanita Bugis.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian Budirahardjo & Pradopo (2002), yang
menyatakan bahwa ukuran mesiodistal laki-laki Madura dan Jawa lebih besar
daripada wanita Madura dan Jawa.
Penelitian Fidya (2011) pada tengkorak Jawa, menunjukkan bahwa seluruh
rata-rata diameter mesiodistal mahkota gigi mulai dari insisivus pertama rahang
atas sampai molar ketiga rahang atas dan rahang bawah lebih besar pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan, sesuai dengan penelitian Adeyemi & Isiekwe
(2003) yang menyatakan bahwa diameter mesiodistal seluruh mahkota gigi lakilaki secara konsisten lebih besar dibandingkan perempuan.
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
44
dan
menerangkan suatu keadaan tertentu atau sebuah rasio proporsional yang dapat
disimpulkan dari sederetan observasi yang terus menerus. Penrose shape
menegaskan bahwa bentuk (shape) gigi adalah lebih dapat dipercaya (reliable)
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
45
incisivus pertama permanen rahang atas (I1 RA) yang diperoleh dari
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
46
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
Menurut Arizona
47
terdapat tujuh kelas untuk membedakan derajat shovel shape. Kelas pertama
sampai keenam dapat ditemukan baik pada gigi I1 RA dan gigi I2 RA, sedangkan
kelas ketujuh hanya ditemukan pada I2 RA. Berikut adalah kelas dalam pembagian
derajat shovel shape (Hillson, 1996):
0 : none (tidak terdapat shovel shape) - permukaan palatal atau lingual datar.
1 : faint - mulai tampak dan terasa adanya peninggian pada daerah mesial dan
distal.
2 : trace - peninggian sudah terlihat jelas oleh sebagian besar pengamat.
3 : semi-shovel.
4 : semi shovel ridge tambahan cenderung saling kontak di cingulum.
5 : shovel ridge tambahan tampak hampir saling kontak di cingulum.
6 : marked shovel tampak adanya kontak antar ridge tambahan di cingulum.
7 : barrel gigi I2 sudah tidak tampak seperti shovel (sekop), tetapi lebih
tampak seperti barrel atau tong kayu.
Gambar 2.12 Shovel shape I1 RA (tanda panah) (Scott & Turner, 2000 p.26).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
48
Amerika Utara dan Selatan. Kelompok Sundadont menetap atau hidup di sekitar
daratan Cina. Shovel shape tampak jelas pada orang Eskimo atau Amerika Utara
sekitar 4000 tahun yang lalu, melalui jembatan antar benua pada zaman Es
terakhir (Scott & Turner, 2000).
Penelitian Wahyuningsih & Prameswari (2007), mengenai perbedaan
karakteristik shovel shape incisivus sentral permanen rahang atas pada beberapa
populasi di Jawa Timur menyimpulkan bahwa, populasi Tengger menunjukkan
kecenderungan derajat yang tinggi yaitu dengan skor 2 (shovel shape kecil)
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
49
makanan
yang
secara
langsung
pengunyahan dan tulang yang berhubungan dengan fungsi tersebut, dan shoveling
pada dasarnya erat hubungannya dengan kekuatan menggigit (Hayek, 2009;
(Nakbunlung & Wathanawareekool, 2009).
2.8.2.2 Carabellis cusp
Carabellis cusp atau carabelli traits adalah bentukan berupa cusp tambahan
(accessory cusp) pada bagian mesiopalatal gigi molar rahang atas, seringkali
ditemukan pada gigi molar pertama permanen rahang atas (M1 RA), gigi molar
kedua sulung rahang atas (m1 RA), dan kadang-kadang pada gigi molar kedua
permanen rahang atas (M2 RA). Carabellis cusp ditemukan oleh Georg von
Carabelli pada tahun 1842, adalah seorang dokter gigi yang dipekerjakan oleh
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
50
Kaisar Franz di Austria. Carabellis cusp mungkin adalah yang paling dikenal
oleh dokter gigi kulit putih (Eropa, Amerika serikat, Australia) (Hillson, 1996;
Scott & Turner, 2000).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
51
proses
pertumbuhan
dan
perkembangan
gigi
(Alvesalo,
Tammisalo, & Townsend, 1991; Agnihotri & Sikri, 2010; Mavrodisz, 2007).
Pemenuhan nutrisi yang berbeda pada setiap individu dapat mempegaruhi proses
pembentukan carabellis cusp, sedangkan hormon pertumbuhan berperan dalam
mengendalikan pertumbuhan serta mempengaruhi kecepatan pertumbuhan.
Apabila pemenuhan nutrisi dan produksi hormon kurang, maka akan menghambat
pertumbuhan dan perkembangan gigi dan akan berpengaruh terhadap variasi tipe
bentuk carabellis cusp (Djoharnas, 2000).
Persebaran populasi yang paling banyak terdapat carabellis cusp adalah pada
populasi Eropa. Penelitian menunjukkan bahwa ada tidaknya carabellis cusp
lebih banyak disebabkan oleh faktor genetik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dari suatu populasi. Faktor genetik juga mempengaruhi ada tidaknya
carabellis cusp pada gigi sulung. Seseorang yang awalnya memiliki carabellis
cusp pada gigi sulung mungkin bisa tidak memilikinya pada gigi permanen,
begitu juga sebaliknya namun kasus lebih sedikit. Carabellis cusp dapat menjadi
pembantu dalam kedokteran gigi forensik, karena dapat ditentukan etnis atau
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
52
populasi dari ada atau tidaknya carabellis cusp tersebut (Bang & Hasund, 2005;
Harris, 2007).
2.8.3 Kegunaan karakteristik gigi
Gigi merupakan bagian terkeras dari tubuh, karena enamel yang melapisi
mahkota gigi mengandung komponen inorganik bahan utama hidroksiapatit atau
Ca10 (PO4)6 (OH)2 (Junqueira, Carnairo, & Kelly, 1997). Komponen inorganik ini
sangat tahan lama, dimana pada tempat yang terdapat fosil dan situs arkeologi,
gigi merupakan komponen terbaik yang masih tersisa atau dapat ditemukan (Scott
& Turner, 2000).
Gigi secara keseluruhan merupakan sistem terintegrasi yang berkembang
dibawah kontrol genetik. Hal ini berlaku tidak hanya untuk pembentukan mahkota
dan akar, tetapi juga untuk variasi morfologi gigi atau karakteristik gigi. Dahlberg
(1971) mencatat bahwa setiap manusia mempunyai morfologi gigi dan kondisi
gigi yang sama. Perbedaan antar setiap individu adalah seberapa besar
karakteristik gigi yang dipengaruhi oleh faktor genetik yang berbeda dari setiap
individu, dan ada perbedaan karakteristik gigi pada setiap populasi.
Gigi menyediakan banyak informasi yang relevan untuk berbagai macam
masalah biologis. Mahkota gigi manusia merupakan struktur yang komplek,
dimana
dimensi
mahkota
gigi
banyak
didokumentasikan
sebagai
ciri
experimental, dimensi mahkota gigi berfungsi sebagai test pada prosedur dento-
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
53
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
54
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
55
dan untuk orang tua dengan keturunan pada nilai gigi caninus, ada
perbedaan signifikan dengan nilai teori. Sebagian besar penulis sepakat bahwa
ukuran gigi terutama ditentukan secara genetik. Penelitian pada hewan coba
menunjukkan bahwa faktor lingkungan juga mempengaruhi ukuran gigi.
Holloway 1961 cit. Goose 1967 menunjukkan bahwa tikus dengan protein diet
rendah memiliki keturunan gigi lebih kecil. Demikian juga untuk faktor diet,
Painter & Grainger (1956) cit. Goose (1967) menunjukkan bahwa pada tikus,
pengurangan ukuran gigi dikaitkan kekurangan vitamin A atau kelebihan fluorida
atau fosfat.
Untuk mengetahui sejauh mana faktor genetik mempengaruhi karakteristik
gigi, dapat dilakukan studi kembar pada kembar identik atau kembar monozygot.
Kemungkinan munculnya sifat yang diturunkan tersebut bisa berasal dari salah
satu orang tua atau dari keduanya, dan hasilnya mungkin harmonis atau bisa juga
disharmonis. Tidak diketahui secara pasti kombinasi dan rekombinasi gen yang
diturunkan dan berapa perbandingannya, tetapi benar ada sifat yang diturunkan
(Mossey, 1999). Hal itu didukung dengan pendapat Salzmann (1974) dan Harris
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
56
& Smith (1994) yang mengatakan tidak ada individu yang mempunyai genotip
sama kecuali kembar identik atau kembar monozygot. Moyers (1988),
menyatakan bahwa dalam sebuah keluarga sering terlihat kemiripan satu dengan
lain, meskipun belum diketahui secara pasti pola transmisi ataupun peranan gen.
Konsep gigi secara berurutan berulang dari stuktur meristik, dan dipandang
sebagi satu unit, bervariasi dan berkembang secara keseluruhan (Bateson, 1894
cit. Scott & Turner, 2000). Berdasarkan data spesifik suatu ciri khas populasi,
menunjukkan bahwa terdapat tiga jenis penelitian yang meneliti pada kembar dari
tiga populasi yang berbeda mengenai ada tidaknya carabellis cusp. Scott &
Potter (1984) dan Townsend & Martin (1992) mengkalkulasi sifat keturunan
carabellis cusp adalah 0.46, 0.38 dan 0.144 (Mean kiri dan kanan UMI), berturutturut untuk keturunan carabellis cusp di Jepang, Amerika (kulit putih), kembar
Australia (kulit putih). Hasil serupa didapatkan pada sifat keturunan shoveling,
dimana Hanihara, Masuda, & Tanaka (1975), Blanco & Chakraborty (1976) cit.
Scott & Turner (2000) menemukan jarak hereditas dari 0.68 sampai 0.76
berdasarkan pada korelasi antar keluarga.
Kieser (1990) dan Lauweryns, Carels, & Vlietink (1993) melakukan
penelitian pada diameter mesiodistal dan buccolingual pada 75 pasang kembar,
untuk membuktikan: (1) adanya kontrol genetik yang kuat pada diameter mahkota
individu; (2) keberadaan kelompok gen berkontribusi terhadap diameter
mesiodistal dan buccolingual dan (3) penentuan gen dari gigi maxilla dan
mandibula. Sesuai dengan pendapat Alvesalo & Tigersteds (1974) dan Garn
(1977), sebagian besar bukti mengarah bahwa diameter mesiodistal dan
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
57
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
58
D, dan musim hujan berlangsung pada bulan Oktober sampai dengan Maret. Suhu
rata-rata berkisar 7-18 derajat Celcius. Disamping untuk tujuan pariwisata, Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru berfungsi pula untuk penelitian, pengembangan
ilmu pengetahuan, pendidikan, konservasi dan pembinaan cinta alam (Kabupaten
Probolinggo, 2012)
2.11.1 Populasi Tengger
Populasi Tengger adalah populasi yang tinggal di kawasan Bromo, yang
merupakan bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah suku asli
yang mayoritas beragama Hindu. Masyarakat Tengger mempunyai sejarah yang
unik. Menurut pengakuan para pewaris aktif tradisi lisan terutama para dukun
Tengger, masyarakat Tengger adalah keturunan pengungsi dari kerajaan
Majapahit. Dipertegas melalui kisah Rara Anteng dan Jaka Seger yang sampai
sekarang tetap diyakini sebagai sejarah asal usul masyarakat Tengger. Penemuan
prasasti yang terbuat dari batu berangka tahun 851 S (929M) di desa Walandhit
dan kemudian disusul dengan penemuan prasasti terbuat
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
59
pada tahun 1980-an, upaya orang Tengger untuk mendefinisikan kembali warisan
leluhurnya dalam kaitannya dengan masyarakat Jawa hanya bersandar pada
sumber budaya setempatnya (Sutarto, 2006).
Anggapan yang berkembang akhir-akhir ini, terutama yang muncul dalam
tulisan, brosur, dan penelitian tentang Tengger, yang dimasukkan ke dalam desa
Tengger adalah desa dalam wilayah 4 kabupaten yang mayoritas penduduknya
beragama Hindu dan masih memegang teguh adat-istiadat Tengger. Desa yang
dimaksud adalah Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari (Kecamatan
Sukapura, Kabupaten Probolinggo), Ledokombo, Pandansari, dan Wonokerso
(Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo), Tosari, Wonokitri, Sedaeng,
Ngadiwono, Podokoyo (Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan), Keduwung
(Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan), Ngadas (Kecamatan Poncokusumo,
Kabupaten Malang), dan Argosari serta Ranu Pani (Kecamatan Senduro,
Kabupaten Lumajang) (Sutarto, 2006).
Masyarakat Tengger dikenal sebagai petani tradisional yang tangguh,
bertempat tinggal berkelompok di bukit yang tidak jauh dari lahan pertanian
mereka. Suhu udara yang dingin membuat mereka betah bekerja di ladang sejak
pagi hingga sore hari. Prosentase penduduk yang bermata pencaharian sebagai
petani sangat besar, yakni 95%, sedangkan sebagian kecil dari mereka (5%) hidup
sebagai pegawai negeri, pedagang, buruh, dan usaha jasa. Bidang jasa yang
mereka tekuni antara lain menyewakan kuda tunggang untuk para wisatawan, baik
dalam maupun luar negeri, menjadi sopir jeep (biasanya miliknya sendiri), dan
menyewakan kamar untuk para wisatawan. Hasil pertanian yang utama adalah
sayur mayur, seperti kobis, kentang, wortel, bawang putih, dan bawang prei.
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
60
Lahan mereka juga cocok untuk tanaman jagung. Pada awalnya jagung adalah
makanan pokok orang Tengger. Pada saat ini mereka kurang suka menanam
jagung karena nilai ekonominya rendah dan menggantinya dengan sayur-sayuran
yang nilai ekonominya tinggi. Meskipun begitu, sebagian lahan pertanian mereka
masih ditanami jagung karena tidak semua orang Tengger mengganti makanan
pokoknya dengan beras. Hanya saja, untuk memanen jagung, orang Tengger harus
menunggu cukup lama, hampir satu tahun. Sampai sekarang nasi aron Tengger
(nasi jagung) masih tercatat sebagai makanan tradisional dalam khazanah kuliner
Nusantara (Sutarto, 2006).
Kehidupan dan pola berkebudayaan masyarakat Tengger di tengah begitu
derasnya arus perubahan zaman, merupakan sebuah pembelajaran dan perhelatan
sebuah keharmonisan dan keselarasan hidup. Mereka begitu teguh memegang
adat-istiadat dan itu dijadikan sebagai sebuah perekat sosial sehingga timbul
sebuah integrasi sosial yang sangat kohesif dan mampu menetralisasi dan
membendung segala apa yang dibawa dari luar. Bahkan jika seandainya ada
budaya luar yang masuk, maka masyarakat Tengger akan dengan begitu cerdas
memanfaatkan budaya luar tersebut sebagai jalan untuk merekatkan dan
memberdayakan masyarakatnya untuk tetap melestarikan tradisi dan adat-istiadat
asli mereka. Masyarakat Tengger sangat toleran dengan masyarakat luar dan bisa
menghormati dan menghargai, namun bila yang berkaitan dengan hak atas daerah
maupun perkembangan budaya serta lestarinya adat-istiadat di daerah mereka,
orang luar tidak boleh mengganggunya. Keeksklusifan mereka memang sangat
terjaga dan itu diperkuat dengan pewarisan adat-istiadat yang berkelanjutan dari
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
61
generasi ke generasi sehingga nilai-nilai budaya mereka bisa lestari dan tetap
eksklusif (Santoso, 2007).
2.11.2 Model perkawinan masyarakat Tengger
Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan keagamaan dan adat
istiadat yang diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun menurun. Dukun
Tengger berperan penting dalam pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan,
kematian ataupun kegiatan lainnya. Sistem perkawinan masyarakat Tengger
memiliki kekhasan tersendiri dengan nilai luhur yang terkandung di dalamnya,
pada umumnya mempunyai pendirian yang cukup bermoral dalam perkawinan.
Di tengah arus pariwasata dan unsur modernitas yang berkembang pesat di sana,
masyarakat Tengger mampu mempertahankan dan memegang teguh warisan
budayanya tersebut. Menurut kepercayaan masyarakat Tengger perkawinan tidak
hanya menyangkut dua orang dan dua keluarga, tetapi diikuti juga oleh arwah para
leluhur kedua belah pihak. Keluarga meminta nasihat dukun mengenai kapan
sebaiknya perkawinan dilaksanakan, dan sebelum upacara perkawinan dimulai
maka didahului dengan acara nelasih atau ziarah kubur dan memberikan
tetamping atau sesaji (Yasinta, Chairisma, Siti, & Noviani, 2012).
Perkawinan dalam masyarakat Tengger umumnya masih terjadi antara
kalangan mereka sendiri (endogami). Endogami masyarakat Tengger tergolong
dalam endogami lokal yaitu perkawinan antar desa di wilayah Tengger sendiri, di
mana tingkat endogami dalam masyarakat Tengger sebesar 62,86%. Sedangkan
yang dimaksud dengan eksogami masyarakat Tengger adalah perkawinan antara
masyarakat Tengger dan masyarakat non Tengger yaitu sebesar 25,71% (Novita,
2012). Lebih lanjut Novita (2012) menyatakan bahwa,
DISERTASI
model perkawinan
SUSY KRISTIANI
62
endogami ini terjadi secara turun temurun dalam kehidupan masyarakat Tengger
yang disebabkan isolasi biologis yang terjadi sejak jaman nenek moyang mereka
dan kuatnya pengaruh adat Tengger dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Walaupun orang tua mengijinkan anaknya untuk menikah dengan orang yang
berbeda agama, tetapi karena ajaran agama dan adat yang telah mereka anut sejak
kecil membuat mereka enggan untuk menikah dengan orang selain orang Tengger.
Faktor geografis dan transportasi juga memungkinkan tingginya endogami
lokal masyarakat Tengger. Sebelum terbukanya trasnportasi seperti saat ini,
mereka tinggal di lereng gunung Tengger yang terkadang harus berjalan kaki
(Hefner, 1999). Keadaan ini membuat mereka sulit untuk bersosialisasi dengan
kelompok di luar Tengger, sehingga pencarian jodoh hanya terjadi di dalam rerata
Mean Matrimonial Radius (MMR) sebesar 1,68-6.5 km (Novita, 2012).
Faktor warisan juga menjadi alasan masyarakat Tengger untuk menganut
sistim perkawinan endogami oleh karena faktor kepercayaan dan faktor
kepemilikan harta. Perkawinan merupakan peristiwa penting di mana orang tua
akan memberikan harta bendanya sebagai warisan bagi anaknya (Fauzi, 2012).
Dalam masyarakat Tengger warisan terbesar adalah tanah yang tidak akan
berhenti menghasilkan hasil bumi yang berguna bagi umat manusia. Masyarakat
Tengger tidak akan pindah walaupun gunung Bromo meletus, dan mereka akan
tetap melaksanakan upacara adat dan tetap tinggal di wilayah tersebut. Bagi
masyarakat Tengger, gunung Bromo senantiasa memberikan kebaikan bagi
mereka, yang secara ilmiah terbukti bahwa abu dari letusan gunung Bromo akan
menyuburkan lahan pertanian mereka (Mudjono cit. Novita, 2012).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
63
dari
Utara
ke
Selatan,
maka
populasi
asli
yang
berciri
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
64
Populasi Jawa pada awalnya bukanlah perantau, tapi sejak masa penjajahan
Belanda, banyak orang Jawa yang dipindahkan sebagai buruh yang ditempatkan di
beberapa daerah, seperti pertama kali di Sumatra Utara, sebagai buruh kontrak di
perkebunan, yang dilanjutkan ke daerah lain di Indonesia. Populasi orang Jawa
yang begitu besar, membuat banyak orang Jawa yang berada di bawah garis
kemiskinan. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sekolompok orang Jawa
pernah dibawa ke Suriname di Amerika Selatan, sebagai buruh pekerja paksa,
yang akhirnya tetap menetap di negara tersebut hingga saat ini, dan membentuk
suatu komunitas tersendiri di Suriname sebagai etnis Jawa, yang tetap
mempertahankan adat-istiadat serta budaya Jawa (Suku Jawa, 2009 ).
Orang Jawa terkenal karena keramahan dan sopan santun apabila berbicara
dengan orang lain. Mereka juga tidak mudah tersinggung dalam menghadapi
orang lain, mereka juga suka bercanda dan periang, serta bisa menempatkan diri
di hadapan kelompok etnis lain. Karena sifat dan karakter seperti ini lah yang
membuat mereka bisa hidup dan berbaur dengan populasi dari mana saja. Orang
Jawa berbicara dalam bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari, tapi mereka juga
bisa berbicara dalam bahasa Indonesia dengan dialek yang kental, untuk
berkomunikasi. Populasi Jawa yang telah bermukim di luar pulau Jawa, seperti di
Sumatra Utara dan yang terdapat di daerah Tondano provinsi Sulawesi Utara, para
generasi mudanya kebanyakan sudah tidak bisa berbahasa Jawa lagi, mereka
cenderung menggunakan bahasa dan dialek setempat (Suku Jawa, 2009).
2.12.1 Populasi Jawa di Surabaya
Surabaya terletak di tepi pantai utara provinsi Jawa Timur. Wilayahnya
berbatasan dengan Selat Madura di Utara dan Timur, Kabupaten Sidoarjo di
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
65
Selatan, serta Kabupaten Gresik di Barat. Surabaya berada pada dataran rendah,
ketinggian antara 3 - 6 m di atas permukaan laut kecuali di bagian Selatan terdapat
2 bukit landai yaitu di daerah Lidah dan Gayungan ketinggiannya antara 25 - 50 m
di atas permukaan laut dan di bagian barat sedikit bergelombang. Surabaya
terdapat muara Kali Mas, yakni satu dari dua pecahan Sungai Brantas. Menurut
Sensus Penduduk Tahun 2010, Kota Surabaya memiliki jumlah penduduk
sebanyak 2.765.908 jiwa, dengan wilayah seluas 333,063 km maka kepadatan
penduduk Kota Surabaya adalah sebesar 8.304 jiwa per km (Surabaya, 2009).
Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur dan merupakan kota metropolis
terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Surabaya merupakan pusat bisnis,
perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Indonesia timur. Surabaya
terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat
diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari
penjajah. Surabaya dulunya merupakan gerbang Kerajaan Majapahit, yakni di
muara Kali Mas. Bahkan hari jadi Kota Surabaya ditetapkan sebagai tanggal 31
Mei 1293. Hari itu sebenarnya merupakan hari kemenangan pasukan Majapahit
yang dipimpin Raden Wijaya terhadap pasukan kerajaan Mongol utusan Kubilai
Khan. Pasukan Mongol yang datang dari laut digambarkan sebagai ikan SURO
(ikan hiu/berani) dan pasukan Raden Wijaya yang datang dari darat digambarkan
sebagai BOYO (buaya atau bahaya), jadi secara harfiah diartikan berani
menghadapi bahaya yang datang mengancam. Maka hari kemenangan itu
diperingati sebagai hari jadi Surabaya (Surabaya, 2009).
Populasi Jawa adalah populasi
mayoritas di Surabaya
(83,68%), tetapi
DISERTASI
SUSY KRISTIANI
termasuk populasi
66
sisanya merupakan suku bangsa lain seperti Bali, Batak, Bugis, Manado,
Minangkabau, Dayak, Toraja, Ambon, dan Aceh atau warga asing. Dibanding
dengan masyarakat Jawa pada umumnya, populasi Jawa di Surabaya memiliki
temperamen yang sedikit lebih keras dan egaliter. Salah satu penyebabnya adalah
jauhnya Surabaya dari kraton yang dipandang sebagai pusat budaya Jawa
(Surabaya, 2009).
Surabaya memiliki Bahasa Jawa dengan dialek khas yang dikenal dengan
Boso Suroboyoan. Dialek ini dituturkan di daerah Surabaya dan sekitarnya, dan
memiliki pengaruh di bagian timur Provinsi Jawa Timur. Dialek ini dikenal
egaliter, blak-blakan, dan tidak mengenal ragam tingkatan bahasa seperti Bahasa
Jawa standar pada umumnya. Masyarakat Surabaya dikenal cukup fanatik dan
bangga terhadap bahasanya, tetapi oleh peradaban yang sudah maju dan
banyaknya pendatang yang datang ke Surabaya yang telah mencampuradukkan
bahasa Suroboyo, Jawa Ngoko dan Madura, bahasa asli Suroboyo jarang
digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Contoh Boso Suroboyoan Njegog:
Belok, Ndherok: Berhenti, Gog: Paklek atau Om, Maklik: Bulek atau tante
( Surabaya, 2009).
DISERTASI
SUSY KRISTIANI