Você está na página 1de 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Sindrom Down
1. Definisi Sindrom Down
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai
trisomi, karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki
kelebihan satu kromosom. Mereka mempunyai tiga kromosom 21 dimana
orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini akan
mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan
karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam
fungsi fisiologi tubuh
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler,
translokasi dan mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler.
Kesemua sel dalam tubuh akan mempunyai tiga kromosom 21.
Sembilan puluh empat persen dari semua kasus sindrom Down
adalah dari tipe ini
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21
akan berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu
orang tua yang menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak
menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan
4% dari total kasus
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang
tertentu saja yang mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen
adalah penderita tipe mosaik ini dan biasanya kondisi si penderita lebih
ringan
2. Faktor Risiko
Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan
meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi

wanita yang hamil pada usia di atas 35 tahun. Walaubagaimanapun,


wanita yang hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat
bayi dengan sindrom Down.
Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan
sindrom Down adalah lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah
mendapat bayi dengan sindrom Down, atau jika adanya anggota keluarga
yang

terdekat

yang

pernah

mendapat

kondisi

yang

sama.

Walaubagaimanapun kebanyakan kasus yang ditemukan didapatkan ibu


dan bapaknya normal.
Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down
berdasarkan umur ibu yang hamil:
- 20 tahun: 1 per 1,500
- 25 tahun: 1 per 1,300
- 30 tahun: 1 per 900
- 35 tahun: 1 per 350
- 40 tahun: 1 per 100
- 45 tahun: 1 per 30
3. Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi
sindrom Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood
test dan/atau sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat
memberi hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom
Down atau tidak.
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah
Nuchal Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 14
kehamilan. Apa yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada
belakang leher janin. Tujuh daripada sepulah bayi dengan sindrom Down
dapat dikenal pasti dengan tehnik ini.

Hasil ujian sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada


darah ibu hamil yang disuspek bayinya sindrom Down, apa yang
diperhatikan adalah plasma protein-A dan hormon human chorionic
gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa
mungkin adanya kelainan pada bayi yang dikandung.
Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk
mendeteksi sindrom Down. Amniocentesis dilakukan dengan mengambil
sampel air ketuban yang kemudiannya diuji untuk menganalisa
kromosom janin. Kaedah ini dilakukan pada kehamilan di atas 15
minggu. Risiko keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
Chorionic villus sampling (CVS) dilakukan dengan mengambil
sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk melihat
kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu
kesembilan hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) adalah tehnik di
mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat kromosom
janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini
dilakukan sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang
jelas. Resiko keguguran adalah lebih tinggi.
4. Patofisiologi
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem
organ dan menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini
dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan
proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan
menurunkan survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan
postnatal. Anak anak yang terkena biasanya mengalami keterlambatan
pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi
yang lambat.

Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan


tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang
khas, anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital.
Hasil analisis molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada
kromosom 21 bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung
kongenital pada penderita sindrom Down. Sementara gen yang baru
dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2,
adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab
utama retardasi mental dan defek jantung.
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme
thiroid dan malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan
akibat dari respons sistem imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi
terjadi kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit
Hashimoto.
Penderita

dengan

sindrom

Down

sering

kali

menderita

hipersensitivitas terhadap proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas


terhadap pilocarpine dan respons lain yang abnormal. Sebagai contoh,
anak anak dengan sindrom Down yang menderita leukemia sangat
sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolik
menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya
resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus
Diabetes Mellitus pada penderita Sindrom Down.
Anak anak yang menderita sindrom Down lebih rentan
menderita leukemia, seperti Transient Myeloproliferative Disorder dan
Acute Megakaryocytic Leukemia. Hampir keseluruhan anak yang
menderita sindrom Down yang mendapat leukemia terjadi akibat mutasi
hematopoietic transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada
anak anak dengan sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21,
mutasi GATA1, dan mutasi ketiga yang berupa proses perubahan genetik
yang belum diketahui pasti.

5. Mortalitas/Morbiditas
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan
bertahan. Sekitar 85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50%
dapat hidup sehingga berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit jantung kongenital
sering menjadi faktor yang menentukan usia penderita sindrom Down. Selain
itu,

penyakit

seperti

Atresia

Esofagus

dengan

atau

tanpa

fistula

transesofageal, Hi rschsp rung disease, atresia duodenal dan leukemia akan


meningkatkan mortalitas.
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas
yang tinggi karena mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi
seperti tonsil yang membesar dan adenoids, lingual tonsils, choanal stenosis,
atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi pada saluran nafas atas.
Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis Media, Alveolar
Hypoventilation, Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi
Arteri Pulmonal yang disertai dengan cor pulmonale dan gagal jantung.
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital
yang tidak stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang
irreversibel. Gangguan pendengaran, visus, retardasi mental dan defek yang
lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak anak dengan sindrom
Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan menghadapi
masalah dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya berbahasa, dan
kemampuan interpersonal.
6. Efek Pada Fisik Dan Sistem Tubuh
Temuan Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang
pendek. Mereka sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang
rangka tubuh penderita sindrom Down mempunyai ciri ciri yang khas.
Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi clinodactyly pada jari

kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu lipatan (20%), sendi jari
yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua yang terlalu
jauh, dan dislokasi tulang pinggul (6%).
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan
xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis garis transversal pada
telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima, elastosis serpiginosa,
alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan infeksi pada kulit yang rekuren.
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent
quatio (IQ) mereka sering berada antara 20 85 dengan rata-rata 50.
Hipotonia yang diderita akan meningkat apabila umur meningkat. Mereka
sering mendapat gangguan artikulasi.
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan,
sikap ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka akan
menunjukkan perlakuan yang nakal dengan rasa ingin tahu yang tinggi
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada
anak anak sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering
didapatkan pada yang dewasa.
Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur,
hipogonadism, katarak, kurang pendengaran, hal yang berhubungan dengan
hipothroidism yang disebabkan faktor usia yang meningkat, kejang,
neoplasma, penyakit vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam melakukan
sesuatu, pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada
penderita sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada
orang orang lanjut usia.
Penderita

sindrom

Down

sering

menderita

Brachycephaly,

microcephaly, dahi yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang besar
dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat, sutura metopik, tidak
mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada sinus maksilaris.
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (upslanting) karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan

epicanthal, titik titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga 50%,


strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%), conjunctivitis, ruptur
kanal nasolacrimal, katarak kongenital, pseudopapil edema, spasma nutans
dan keratoconus.
Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan
hipoplasi tulang hidung dan jembatan hidung yang rata.
Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah yang
kecil dan mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan air
liur, bibir bawah yang merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi yang
tidak terbentuk dengan sempurna, pertumbuhan gigi yang lambat,
mikrodontia pada gigi primer dan sekunder, maloklusi gigi serta kerusakan
periodontal yang jelas.
Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang
berlipat. Otitis media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering
ditemukan. Kira kira 6080% anak penderita sindrom Down mengalami
kemerosotan 15 20 dB pada satu telinga.
Hematologi
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat
Leukemia, termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Myeloid.
Diperkirakan 10% bayi yang lahir dengan sindrom Down akan mendapat klon
preleukemic, yang berasal dari progenitor myeloid pada hati yang mempunyai
karekter mutasi pada GATA1, yang terlokalisir pada kromosom X. Mutasi
pada faktor transkripsi ini dirujuk sebagai Transient Leukemia, Transient
Myeloproliferative Disease (TMD), atau Transient Abnormal Myelopoiesis
(TAM)

Penyakit Jantung Kongenital


Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom
Down dengan prevelensi 40-50%. Walaubagaimanapun kasus lebih sering
ditemukan pada penderita yang dirawat di RS (62%) dan penyebab kematian
yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua tahun pertama kehidupan.
Antara penyakit jantung kongenital yang ditemukan Atrioventricular
Septal Defects (AVD) atau dikenal juga sebagai Endocardial Cushion Defect
(43%), Ventricular Septal Defect (32%), Secundum Atrial Septal Defect
(ASD) (10%), Tetralogy of Fallot (6%), dan Isolated Patent Ductus Arteriosus
(4%). Lesi yang paling sering ditemukan adalah Patent Ductus Arteriosus
(16%) dan Pulmonic Stenosis (9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion
defects adalah terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita
yang dirawat, kira kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada
jantung mereka.
Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana
terjadinya kelainan anatomis akibat perkembangan endocardial cushions yang
tidak sempurna sewaktu tahap embrio. Kelainan yang sering di hubungkan
dengan AVD adalah patent ductus arteriosus, coarctation of the aorta, atrial
septal defects, absent atrial septum, dan anomalous pulmonary venous return.
Kelainan pada katup mitral juga sering terjadi.
Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi asimtomatik pada
dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula timbul pada dekade kedua
dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula mengalami pengurangan pulmonary
venous return, yang akhirnya akan menjadi left-to-right shunt pada atrium dan
ventrikel. Akhirnya nanti akan terjadi gagal jantung kongestif yang ditandai
dengan antara lain takipnu dan penurunan berat badan.
AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan pada
salah satu, atau kedua dua katup atrioventikuler. Pada penderita dengan
penyakit ini, jaringan jantung pada bagian superior dan inferior tidak menutup

dengan sempurna. Akibatnya, terjadi komunikasi intratrial melalui septum


atrial. Kondisi ini kita kenal sebagai defek ostium primum. Akan terjadi letak
katup atrioventikuler yang abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta.
Perfusi jaringan endokardial yang tidak sempurna juga mangakibatkan
lemahnya struktur pada leaflet katup mitral.
Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting.
Apabila penderita mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering terjadi
melalui ostium primum pada septum. Kalau penderita mendapat defek yang
komplit, maka dapat terjadi defek pada septum ventrikel dan juga insufisiensi
valvular. Kemudian akan terjadi volume overloading pada ventrikel kiri dan
kanan yang akhirnya diikuti dengan gagal jantung pada awal usia. Sekiranya
terjadi overload pulmonari, dapat terjadi penyakit vaskuler pulmonari yang
diikuti dengan gagal jantung kongestif.
Ventricular Septal defect (VSD)
Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada
kondisi dimana adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel. Kondisi
ini boleh terjadi sebagai anomali primer, dengan atau tanpa defek kardiak
yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan seperti Tetralogy of Fallot
(TOF), complete atrioventricular (AV) canal defects, transposition of great
arteries, dan corrected transpositions
Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau
jalur yang menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri, atau
sebaliknya, melalui septum interatrial. Apabila tejadinya defek pada
septum ini, darah arterial dan darah venous akan bercampur, yang bisa
atau tidak menimbulkan sebarang gejala klinis. Percampuran darah ini juga
disebut sebagai shunt. Secara medis, right-to-left-shunt adalah lebih
berbahaya .
Tetralogy of Fallot (TOF)

Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada


anak yang sering ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah yang
kaya oksigen dengan darah yang kurang oksigen. Terdapat empat
abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of fallot. Pertama adalah
hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau tahanan pada katup
pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan katup terbuka kearah luar dari
ventrikel kanan. Ini akan menimbulkan restriksi pada aliran darah akan
memaksa ventrikel untuk bekerja lebih kuat yang akhirnya akan
menimbulkan hipertrofi pada ventrikel.
Kedua adalah ventricular septal defect. Pada kondisi ini, adanya
lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan menyebabkan
darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen bercampur.
Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar ke seluruh tubuh dan
menimbulkan gejala klinis berupa sianosis.
Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah pulmonary
valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis yang minimal terjadi
karena darah masih lagi bisa sampai ke paru. Tetapi jika stenosisnya sedang
atau berat, darah yang sampai ke paru adalah lebih sedikit maka sianosis akan
menjadi lebih berat.
Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si anak
gagal menutup dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya terjadi
bising jantung. Simptom yang terjadi antara lain adalah nafas yang pendek
dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal jantung kongestif.
Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan penderita

Immunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi
dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka

mempunyai respons sistem imun yang rendah. Contohnya mereka sangat


rentan mendapat pneumonia.

Sistem Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down
yang dapat ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hi rschsp rung disease
(<1%), TE fistula, Meckel divertikulum, anus imperforata dan juga
omphalocele.
Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan Amerika didapatkan
prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down adalah sekitar
5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik pada human
leukocyte antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga DQ8. Dilaporkan juga
terdapat kaitan yang kuat antara hipersensitivitas dan spesifikasi yang jelek.

Sistem Endokrin
Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah
gangguan pada sistem endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya
sering pada usia awal sekolah, sekitar 8 hingga 10 tahun. Insidens
ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat. Prevelensi
mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital, hipertiroid primer,
autoimun

tiroiditis,

dan

compensated

hypothyroidism

atau

hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54% pada penderita sindrom Down,


dengan persentase yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya
umur.

Gangguan Psikologis
Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan
psikiatri atau prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai risiko
mendapat gangguan psikis. Beberapa kelainan yang bisa didapat adalah
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Oppositional Defiant
Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik dan gangguan spektrum
Autisme.

Trisomi 21 mosaik
Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala gejala
sindrom Down yang sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi kriteria
diagnosis awal bagi penyakit Alzheimer. Fenotip individu yang mendapat
trisomi 21 mosaik manggambarkan persentase sel sel trisomik yang terdapat
dalam jaringan yang berbeda di dalam tubuh.
7. Perawatan Medis
Walaupun berbagai usaha sudah dijalankan untuk mengatasi retardasi
mental pada penderita sindrom Down, masih belum ada yang mampu
mengatasi kondisi ini. Walau demikian usaha pengobatan terhadap kelainan
yang didapat oleh penderita sindrom Down akan dapat memperbaiki kualitas
hidup penderita dan dapat memperpanjang usianya.
Pemeriksaan Kesehatan Reguler pada Anak Penderita Sindrom Down
Beberapa pemeriksaan secara reguler dapat dilakukan untuk
memantau perkembangan tingkat kesehatan penderita sindrom Down, baik
anak ataupun dewasa. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
audiologi, pemeriksaan optalmologi secara berkala sebagai pencegah
keratokonus, opasitas kornea atau katarak. Untuk kelainan kulit seperti
follikulitis, xerosis, dermatitis atopi, dermatitis seboroik, infeksi jamur,
vitiligo dan alopesia perlu dirawat segera. Masalah kegemukan pada penderita

sindrom Down dapat diatasai dengan pengurangan komsumsi kalori dan


meningkatkan aktivitas fisik.
Skrining terhadap penyakit Celiac juga harus dilakukan, yang ditandai
dengan kondisi seperti konstipasi, diare, bloating, tumbuh kembang yang
lambat dan penurunan berat badan. Selain itu, kesulitan untuk menelan
makanan harus juga diperhatikan, dipikirkan kemungkinan terjadi sumbatan
pada jalan nafas.
Perhatian khusus harus diberikan terhadap proses operasi dikarenakan
tidak stabilnya atlantoaxial dan masalah yang mungkin terjadi pada sistem
respirasi. Selain itu, jangan lupa untuk melakukan skrining untuk
kemungkinan tejadinya penyakit Hipothiroidism dan Diabetes Mellitus.
Jangan dilupakan untuk memberi perhatian terhadap kebersihan yang
berkaitan dengan menstrual, seksual, kehamilan dan sindrom premenstruasi.
Kelainan neurologis dapat menyebabkan retardasi mental, hipotonia,
kejang dan stroke. Pastikan juga perbaikan kemampuan berkomunikasi dan
terapi bicara diteruskan, dengan memberi perhatian pada aplikasi bahasa
nonverbal dan kecerdasan otak.
Bagi pasien sindrom Down, baik anak atau dewasa harus sentiasa
dipantau dan dievaluasi gangguan prilaku, seperti fobia, ketidakmampuan
mengatasi masalah, prilaku streotipik, autisme, masalah makanan dan lain
lain. Tatalaksana terhadap kondisi mental yang timbul pada penderita sindrom
Down harus dilakukan.
Selain dari aspek medis, harus diperhatikan juga aspek sosial dan
pergaulan. Yaitu dengan memberi perhatian terhadap fase peralihan dari masa
anak ke dewasa. Penting untuk memberi pendidikan dasar juga harus
diberikan perhatian seperti dimana anak itu akan bersekolah dan sebagainya.
Hal hal berkaitan dengan kelangsungan hidup juga perlu diperhatikan,
contohnya bagaimana mereka akan meneruskan kehidupan dalam komunitas.

15

8. Komplikasi Pada Jantung dan Sistem Vaskular


Walapupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai
murmur, anak penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat
defek pada jantung.
Apabila

resistensi

pada

vaskular

pulmonari

dapat

dideteksi,

kemungkinan terjadinya shunt dari kiri ke kanan dapat dikurangi, sehingga


dapat mencegah terjadinya gagal jantung awal. Apabila tidak dapat dideteksi,
keadaan ini akan menyebabkan hipertensi pulmonal yang persisten dengan
perubahan pada vaskular yang ireversibel.
Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada jantung
dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan terhadap
operasi yang dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi dilakukan
apabila anak sudah berusia 6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi sudah lebih baik
dan anak yang dioperasi mampu hidup lebih lama.
Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal
atrioventrikuler, simptom biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai dengan
shunting sistemik-pulmonari, aliran darah pulmonari yang tinggi, disertai
dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi arteri pulmonal. Resistensi
pulmonal yang meningkat dapat memicu terjadinya kebalikan dari shunting
sistemik-pulmonal yang diikuti dengan sianosis.
Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
menderita hipertensi arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal. Hal
ini disebabkan berkurangnya jumlah alveolus, dinding arteriol pulmonal yang
lebih tipis dan fungsi endotelial yang terganggu.
Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat mencegah
terjadinya kerusakan vaskuler pulmonal yang permanen pada paru - paru.
Apalagi dengan pengobatan yang terkini (prostacyclin,endothelin, antagonis
reseptor dan phosphodiesterase-5-inhibitor) didapatkan mampu memperbaiki
status klinis dan jangka hidup bagi penderita hipertensi arteri pulmonal.

Universitas Sumatera Utara

16

Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah pada


penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan patologi
dimana didapatkan rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis pada
penderita sindrom Down.

B. Global Delay Development


1. Definisi
Global developmental delay (GDD) atau Keterlambatan Perkembangan
Global (KPG) adalah suatu keadaan dimana ditemukannya keterlambatan
yang signifikan pada dua atau lebih domain perkembangan anak,
diantaranya: motorik kasar, halus, bahasa, bicara, kognitif, personal atau
sosial aktivitas hidup sehari-hari. Istilah KPG dipakai pada anak berumur
kurang dari 5 tahun, sedangkan pada anak berumur lebih dari 5 tahun saat
tes IQ sudah dapat dilakukan dengan hasil yang akurat maka istilah yang
dipergunakan adalah retardasi mental. Anak dengan KPG tidak selalu
menderita retardasi mental sebab berbagai kondisi dapat menyebabkan
seorang anak mengalami KPG seperti penyakit neuromuskular, palsi
serebral, deprivasi psikososial meskipun aspek kognitif berfungsi baik.
Global Delay development merupakan keadaan yang terjadi pada masa
perkembangan dalam kehidupan anak (lahir hingga usia 18 bulan). Ciri khas
GDD biasanya adalah fungsi intelektual yang lebih rendah daripada anak
seusianya disertai hambatan dalam berkomunikasi yang cukup berarti,
keterbatasan kepedulian terhadap diri sendiri, keterbatasan kemampuan dalam
pekerjaan, akademik, kesehatan dan keamanan dirinya.
2. Epidemiologi

Universitas Sumatera Utara

17

Sekitar 8 persen dari seluruh anak usia lahir hingga 6 tahun di dunia
memiliki masalah perkembangan dan keterlambatan pada satu atau lebih area
perkembangan.2 Sekitar 1-3 % anak usia 0-5 tahun di dunia mengalami GDD.5
Sementara di Indonesia khususnya di Jakarta, telah dilakukan
Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak (SSDIDTK).
Hasilnya, dari 476 anak yang diberi pelayanan SDIDTK, ditemukan 57
(11,9%) anak dengan kelainan tumbuh kembang. Adapun lima jenis kelainan
tumbuh kembang yang paling banyak dijumpai adalah, Delayed Development
(tumbuh kembang yang terlambat) sebanyak 22 anak, Global Delayed
Development sebanyak 4 anak, gizi kurang sebayak 10 anak, Mikrochepali
sebanyak 7 anak dan anak yang tidak mengalami kenaikan berat badan dalam
beberapa bulan terakhir sebanyak 7 anak.4
Prevalensi KPG sekitar 5-10% pada anak di seluruh dunia, sedangkan di
Amerika Serikat angka kejadian KPG diperkirakan 1%-3% dari anak-anak
berumur<5 tahun. Penelitian oleh Suwarba dkk. di RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta mendapatkan prevalensi KPG adalah 2,3 %. Etiologi KPG sangat
bervariasi, sekitar 80% akibat sindrom genetik atau abnormalitas kromosom,
asfiksia perinatal, disgenesis serebral dan deprivasi psikososial sedangkan
20% nya belum diketahui. Sekitar 42% dari etiologi keterlambatan
perkembangan global dapat dicegah seperti paparan toksin, deprivasi
psikososial dan infeksi intra uterin, serta asfiksia perinatal.
3. Etiologi
Perkembangan

terlambat

terjadi

karena

faktor-faktor

yang

mempengaruhi dan menghambat proses tumbuh kembang terjadi pada :


1. Masa sebelum lahir (antenatal) : Adanya kelainan genetik (Sindroma
Down, Turner), gizi ibu hamil yang tidak adekuat kekurangan
makronutrien dan atau mikronutrien, dan infeksi TORCH (Toxoplasmosis,
Rubella, Cytomegalovirus, Herpes)
2. Masa persalinan (natal) : Asfiksia yang terjadi karena gangguan pada
plasenta dan tali pusat, kesukaran persalinan, infeksi, trauma lahir, dan
tindakan pada persalinan patologik.

Universitas Sumatera Utara

18

3. Masa pasca persalinan (post natal) : Pola asuh yang salah dan infeksi,
gangguan syaraf dan perilaku karena pengaruh lingkungan yang tidak
optimal.
Terdapat beberapa penyebab yang mungkin menyebabkan Global
Delayed Development dan beberapa penyebab dapat diterapi. Oleh karena itu,
pengenalan dini dan diagnosis dini merupakan hal yang penting. Penyebab
yang paling sering adalah abnormalitas kromosom dan malformasi otak. Hal
lain yang dapat berhubungan dengan penyebab GDD adalah keadaan ketika
perkembangan janin dalam kandungan. Beberapa penyebab lain adalah infeksi
dan kelahiran prematur.4
Tabel 1. Penyebab KPG menurut Forsyth dan Newton, 2007 (dikutip dari
Walters AV, 2010)
Kategori
Komentar
Genetik atau Sindromik
Sindrom yang mudah diidentifikasi,
Teridentifikasi dalam 20% dari
misalnya Sindrom Down
mereka yang tanpa tanda-tanda Penyebab genetik yang tidak terlalu
neurologis, kelainan dismorfik,
jelas pada awal masa kanak-kanak,
atau riwayat keluarga
misalnya Sindrom Fragile X,
Sindrom Velo-cardio-facial (delesi
22q11),Sindrom Angelman,
Sindrom Soto, Sindrom Rett,
fenilketonuria maternal,
mukopolisakaridosis, distrofi
muskularis tipe Duchenne, tuberus
sklerosis, neurofibromatosis tipe 1,
dan delesi subtelomerik.
Metabolik
Skrining universal secara nasional
Teridentifikasi dalam 1% dari
neonatus untuk fenilketonuria
mereka yang tanpa tanda-tanda
(PKU) dan defisiensi acyl-Co A
neurologis, kelainan dismorfik,
Dehidrogenase rantai sedang.
atau riwayat keluarga
Misalnya, kelainan siklus/daur urea
Endokrin
Terdapat skrining universal neonatus
untuk hipotiroidisme kongenital
Traumatik
Cedera otak yang didapat
Penyebab dari lingkungan
Anak-anak memerlukan kebutuhan
dasarnya seperti makanan, pakaian,
kehangatan, cinta, dan stimulasi
untuk dapat berkembang secara

Universitas Sumatera Utara

19

Malformasi serebral
Palsi Serebral dan Kelainan
Perkembangan Koordinasi
(Dispraksia)
Infeksi

Toksin

normal
Anak-anak tanpa perhatian, diasuh
dengan kekerasan, penuh
ketakutan, dibawah stimulasi
lingkungan mungkin tidak
menunjukkan perkembangan yang
normal
Ini mungkin merupakan faktor yang
berkontribusi dan ada bersamaan
dengan patologi lain dan
merupakan kondisi yaitu ketika
kebutuhan anak diluar kapasitas
orangtua untuk dapat
menyediakan/memenuhinya
Misalnya, kelainan migrasi neuron
Kelainan motorik dapat mengganggu
perkembangan secara umum
Perinatal, misalnya Rubella, CMV,
HIV
Meningitis neonatal
Fetus: Alkohol maternal atau obatobatan saat masa kehamilan
Anak: Keracunan timbal

Perkembangan Anak dengan Global Developmental Delay


Aspek-aspek Perkembangan yang Dipantau
Aspek-aspek perkembangan yang dipantau meliputi:
1. Motorik kasar, adalah aspek yang berhubungan dnegna kemampuan anak
melakukan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan otot-otot besar
seperti duduk, berdiri, dan sebagainya.
2. Motorik halus, adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak
untuk melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu
dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang
cermat seperti mengamati sesuatu, menjimpit, menulis, dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

20

3. Kemampuan bicara dan bahasa, adalah aspek yang berhubungan dengan


kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, berbicara,
berkomunikasi, mengikuti perintah, dan sebagainya.
4. Sosialisasi dan kemandirian, adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan mandiri anak (makan sendiri, membereskan mainan selesai
bermain), berpisah dengan ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya, dan sebagainya.

Deteksi Dini
Deteksi dini merupakan suatu upaya yang dilaksanakan secara
komprehensif untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang dan
mengetahui serta mengenal faktor resiko pada anak usia dini. Melalui deteksi
dini dapat diketahui penyimpangan tumbuh kembang anak secara dini,
sehingga upaya pencegahan, stimulasi, penyembuhan serta pemulihan dapat
diberikan dengan indikasi yang jelas pada masa proses tumbuh kembang.
Penilaian pertumbuhan dan perkembangan meliputi dua hal pokok, yaitu
penilaian pertumbuhan fisik dan penilaian perkembangan.
Secara umum, keterlambatan perkembangan umum pada anak dapat dilihat
dari beberapa tanda bahaya (red flags) perkembangan anak sederhana seperti
yang tercantum di bawah:
Tanda bahaya perkembangan motorik kasar
1.

Gerakan yang asimetris atau tidak seimbang misalnya antara anggota


tubuh bagian kiri dan kanan.

2.

Menetapnya refleks primitif (refleks yang muncul saat bayi) hingga


lebih dari usia 6 bulan

3.

Hiper / hipotonia atau gangguan tonus otot

4.

Hiper / hiporefleksia atau gangguan refleks tubuh

5.

Adanya gerakan yang tidak terkontrol

Tanda bahaya gangguan motorik halus


1. Bayi masih menggenggam setelah usia 4 bulan

Universitas Sumatera Utara

21

2. Adanya dominasi satu tangan (handedness) sebelum usia 1 tahun


3. Eksplorasi oral (seperti memasukkan mainan ke dalam mulut) masih sangat
dominan setelah usia 14 bulan
4. Perhatian penglihatan yang inkonsisten
Tanda bahaya bicara dan bahasa (ekspresif)
1.

Kurangnya kemampuan menunjuk untuk memperlihatkan ketertarikan


terhadap suatu benda pada usia 20 bulan

2.

Ketidakmampuan membuat frase yang bermakna setelah 24 bulan

3.

Orang tua masih tidak mengerti perkataan anak pada usia 30 bulan
Tanda bahaya bicara dan bahasa (reseptif)

1.

Perhatian atau respons yang tidak konsisten terhadap suara atau bunyi,
misalnya saat dipanggil tidak selalu member respons

2.

Kurangnya join

attention atau

kemampuan

berbagi

perhatian

atau

ketertarikan dengan orang lain pada usia 20 bulan


3.

Sering mengulang ucapan orang lain (membeo) setelah usia 30 bulan


Tanda bahaya gangguan sosio-emosional
1. 6 bulan: jarang senyum atau ekspresi kesenangan lain
2. 9 bulan: kurang bersuara dan menunjukkan ekspresi wajah
3. 12 bulan: tidak merespon panggilan namanya
4. 15 bulan: belum ada kata
5. 18 bulan: tidak bisa bermain pura-pura
6. 24 bulan: belum ada gabungan 2 kata yang berarti
7. Segala usia: tidak adanya babbling, bicara dan kemampuan bersosialisasi/
interaksi
Tanda bahaya gangguan kognitif
1. 2 bulan: kurangnya fixation
2. 4 bulan: kurangnya kemampuan mata mengikuti gerak benda
3. 6 bulan: belum berespons atau mencari sumber suara
4. 9 bulan: belum babbling seperti mama, baba
5. 24 bulan: belum ada kata berarti
6. 36 bulan: belum dapat merangkai 3 kata

Universitas Sumatera Utara

22

Berbagai metode skrining yang lebih mutakhir dan global untuk deteksi dini
gangguan bicara juga dikembangkan dengan menggunakan alat bantu atau
panduan

skala

khusus,

misalnya:

menggunakan

DDST

(Denver

Developmental Screening Test II), Child Development Inventory untuk


menilai kemampuan motorik kasar dan motorik halus, Ages and Stages
Questionnaire, Parents Evaluations of Developmental Status.Serta dapat
menggunakan alat-alat skrining yang lebih Spesifik dan khusus yaitu ELMS
(Early Language Milestone Scale) dan CLAMS (Clinical Linguistic and
Milestone Scale) yang dipakai untuk menilai kemampuan bahasa ekspresif,
reseptif, dan visual untuk anak di bawah 3 tahun.
4. Gejala Klinis
Sebagian besar pemeriksaan pada anak dengan delay development
difokuskan pada keterlambatan perkembangan kemampuan motorik halus,
motorik kasar, atau bahasa. Gejala yang terdapat biasanya4:
a. Keterlambatan perkembangan sesuai tahap perkembangan pada usianya:
b.
c.
d.
e.

anak terlambat untuk bias duduk, berdiri, berjalan.


Keterlambatan kemampuan motorik halus/kasar
Rendahnya kemampuan sosial
Perilaku agresif
Masalah dalam berkomunikasi
Mengetahui adanya KPG memerlukan usaha karena memerlukan perhatian

dalam beberapa hal. Padahal beberapa pasien seringkali merasa tidak nyaman
bila di perhatikan. Akhirnya membuat orang tua sekaligus dokter untuk agar
lebih jeli dalam melihat gejala dan hal yang dilakukan oleh pasien tersebut.
Skrining prosedur yang dilakukan dokter, dapat membantu menggali gejala
dan akan berbeda jika skrining dilakukan dalam sekali kunjungan dengan
skrining dengan beberapa kali kunjungan karena data mengenai panjang
badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas dan berat badan. Mengacu pada
pengertian KPG yang berpatokan pada kegagalan perkembangan dua atau
lebih domain motorik kasar, motorik halus, bicara, bahasa, kognitif, sosial,
personal dan kebiasaan sehari-hari dimana belum diketahui penyebab dari

Universitas Sumatera Utara

23

kegagalan perkembangan ini. Terdapat hal spesifik yang dapat mengarahkan


kepada

diagnosa

klinik

KPG

terkait

ketidakmampuan

anak

dalam

perkembangan milestones yang seharusnya, yaitu:


a. Anak tidak dapat duduk di lantai tanpa bantuan pada umur 8 bulan
b. Anak tidak dapat merangkak pada 12 bulan
c. Anak memiliki kemampuan bersosial yang buruk
d. Anak tidak dapat berguling pada umur 6 bulan
e. Anak memiliki masalah komunikasi
f. Anak memiliki masalah pada perkembangan motorik kasar dan halus

5. Cara Pemeriksaan
a. Anamnesis
1) Riwayat prenatal dan perinatal, penyakit-penyakit ibu, infeksi
yang pernah diderita.
2) Retardasi mental, kesukaran belajar, pertumbuhan, status gizi,
masalah-masalah sosial. Penyakit-penyakit bawaan (jantung,
CNS, ginjal), kejang-kejang, adanya kemunduran perkembangan.
3) Kepedulian orang tua terhadap anaknya.
b. Pemeriksaan
1) Menetapkan umur anak
2) Pengukuran anthropometri (BB, PB, TB, LK)
3) Penilaian pertumbuhan dan status gizi.
4) Pemeriksaan fisik : bentuk muka, badan, kelainan neurologik, kulit
(cafe au lait kulit, neuro fibromatosis).
5) Pemeriksaan genitalia (gonad, infertility dsb)
c. Patokan tanda-tanda perkembangan terdapat dalam :
1) Buku KIA dan KMS (Kartu Menuju Sehat) : Perkembangan anak
tidak sesuai(terlambat) dengan gambar perkembangan pada usianya.

Universitas Sumatera Utara

24

2) Buku DDTK 2006 : Pengisian formulirKuesioner Pra Skrining :


Perkembangan (KPSP) untuk usia 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 30, 36,
42, 48, 54, 60, 66 dan 72 bulan.
3) Denver II. Untuk usia 1 bulan - 6 tahun (formulir terlampir)
4) Penunjang : Laboratorik apabila diperlukan (infeksi), TORCH, CT
Scan atas indikasi apabila didapatkan microcephaly, Hydrocephalus.
5) Rujukan : THT, Mata, Psikiatri/Psikologi, Rehabilitasi Medik,
Bedah, Orthopedi.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan sitogenik
2. Pemeriksaan fragile X molecular genetic.
3. Pemeriksaan metabolic
4. Pemeriksaan neurologis: EEG, MRI

H. Diagnosis Banding
Etiologi dan penyebab dari KPG saat ini belum bisa memprediksi secara
spesifik, gangguan mana saja yang akan terlibat dalam penegakan KPG ini,
terdapat beberapa penyakit atau gangguan dengan gambaran serupa GDD,
namun memiliki beberapa perbedaan yaitu retardasi mental, palsi serebral,
Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan Autism Spectrum
Disorder (ASD).
1. Retardasi Mental
Suatu keadaan yang dimulai saat masa anak-anak yang ditandai dengan
keterbatasan dalam intelegensi dan kemampuan adaptasi. Menurut kriteria
DSM-IV, retardasi mental adalah fungsi intelektual yang di bawah rata-rata,
terdapat gangguan fungsi adaptasi, onset sebelum umur 18 tahun. Untuk
mengetahui adanya gangguan fungsi intelegensi, digunakan tes IQ (akurat
diatas umur 5 tahun), dengan klasifikasi hasil:
a. Ringan , yaitu IQ 50-70
b. Sedang, yaitu IQ 40-50
c. Berat, yaitu IQ 20-40

Universitas Sumatera Utara

25

d. Sangat berat, yaitu IQ <20


2. Palsi Serebral atau Cerebral palsy (CP)
Membedakan antara CP dengan KPG, pada CP, ada tiga faktor resiko
awal yaitu bayi lahir prematur (semakin kecil usia, semakin tinggi faktor
risiko), bayi lahir dengan ensefalopati sedang hingga berat (semakin berat
keluhan semakin berat risiko), dan bayi yang lahir dengan faktor risiko
paling ringan. Dua faktor risiko awal tersebut harus ditunjang dengan MRI
untuk melihat gambaran otak. Bila terdapat gangguan bahasa, penglihatan,
pendengaran dan epilepsi, dapat dicurigai hal tersebut adalah suatu
gambaran CP. Selain itu, diagnosis palsi serebral dapat dilakukan
berdasarkan kriteria Levine, yaitu pola gerak dan postur; pola gerak oral;
strabismus; tonus otot; evolusi reaksi postural dan kelainannya yang mudah
dikenal; refleks tendon, primitif dan plantar.
3. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
ADHD merupakan suatu gangguan yang terjadi sangat awal dari
kelahiran bayi, yang dinamis, serta tergantung dengan perkembangan
korteks. Tanda ADHD yaitu development delay, nilai akademik yang rendah,
serta permasalahan sosial. Penggunaan milestones pada tahun ke-3 mudah
mengarahkan diagnosis ADHD.
4. Autism Spectrum Disorder (ASD)
Tanda awal untuk membedakan antara ASD dengan KPG. Beberapa kata
kunci adalah gangguan bersosial. Pada tahun pertama akan sulit
membedakan antara ASD dengan KPG, yaitu ciri tidak berespon ketika
nama dipanggil, afek kurang, berkurangnya interaksi sosial, dan sulit untuk
tersenyum. Pada tahun kedua dan ketiga, bahasa tubuh yamg tidak lazim dan
sangat ekspresif. Perilaku lain yakni motorik, sensorik dan beberapa domain
lain.
I. Penatalaksanaan
Pengobatan bagi anak-anak dengan KPG hingga saat ini masih belum
ditemukan. Hal itu disebabkan oleh karakter anak-anak yang unik, dimana
anak-anak belajar dan berkembang dengan cara mereka sendiri berdasarkan

Universitas Sumatera Utara

26

kemampuan dan kelemahan masing-masing. Sehingga penanganan KPG


dilakukan sebagai suatu intervensi awal disertai penanganan pada faktor-faktor
yang beresiko menyebabkannya. Intervensi yang dilakukan, antara lain:
1. Speech and Language Therapy
Speech and Language Therapy dilakukan pada anak-anak dengan kondisi
CP, autism, kehilangan pendengaran, dan KPG. Terapi ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan berbicara, berbahasa dan oral motoric abilities.
Metode yang dilakukan bervariasi tergantung dengan kondisi dari anak
tersebut. Salah satunya, metode menggunakan jari, siulan, sedotan atau
barang yang dapat membantu anak-anak untuk belajar mengendalikan otot
pada mulut, lidah dan tenggorokan. Metode tersebut digunakan pada anakanak

dengan

gangguan

pengucapan.

Dalam

terapi

ini,

terapis

menggunakan alat-alat yang membuat anak-anak tertarik untuk terus


belajar dan mengikuti terapi tersebut.
2. Occupational Therapy
Terapi ini bertujuan untuk membantu anak-anak untuk menjadi lebih
mandiri dalam menghadapi permasalahan tugasnya. Pada anak-anak, tugas
mereka antara bermain, belajar dan melakukan kegiatan sehari-hari seperti
mandi, memakai pakaian, makan, dan lain-lain. Sehingga anak-anak yang
mengalami kemunduran pada kemampuan kognitif, terapi ini dapat
membantu mereka meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi
permasalahannya.
3. Physical Therapy
Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar dan
halus, keseimbangan dan koordinasinya, kekuatan dan daya tahannya.
Kemampuan motorik kasar yakni kemampuan untuk menggunakan otot
yang besar seperti berguling, merangkak, berjalan, berlari, atau melompat.
Kemampuan motorik halus yakni menggunakan otot yang lebih kecil
seperti kemampuan mengambil barang. Dalam terapi, terapis akan
memantau perkembangan dari anak dilihat dari fungsi, kekuatan, daya
tahan otot dan sendi, dan kemampuan motorik oralnya. Pada

Universitas Sumatera Utara

27

pelaksanaannya, terapi ini dilakukan oleh terapi dan orang-orang yang


berada dekat dengan anak tersebut. Sehingga terapi ini dapat mencapai
tujuan yang diinginkan.
4. Behavioral Therapies
Anak-anak dengan delay development akan mengalami stress pada dirinya
dan memiliki efek kepada keluarganya. Anak-anak akan bersikap agresif
atau buruk seperti melempar barang-barang, menggigit, menarik rambut,
dan lain-lain. Behavioral therapy merupakan psikoterapi yang berfokus
untuk mengurangi masalah sikap dan meningkatkan kemampuan untuk
beradaptasi. Terapi ini dapat dikombinasikan dengan terapi yang lain
dalam pelaksanaanya. Namun, terapi ini bertolak belakang dengan terapi
kognitif. Hal itu terlihat pada terapi kognitif yang lebih fokus terhadap
pikiran dan emosional yang mempengaruhi sikap tertentu, sedangkan
behavioural therapy dilakukan dengan mengubah dan mengurangi sikapsikap yang tidak diinginkan. Beberapa terapis mengkombinasikan kedua
terapi tersebut, yang disebut cognitive-behavioural therapy.
J. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak-anak dengan KPG, yakni
kemunduran perkembangan pada anak-anak yang makin memberat. Jika tidak
tertangani dengan baik, dapat mempengaruhi kemampuan yang lain,
khususnya aspek psikologi dari anak itu sendiri. Salah satunya, anak akan
mengalami depresi akibat ketidakmampuan dirinya dalam menghadapi
permasalahannya. Sehingga anak itu dapat bersikap negatif atau agresif.
K. Prognosis
Prognosis KPG pada anak-anak dipengaruhi oleh pemberian terapi dan
penegakkan diagnosis lebih dini (early identification and treatment). Dengan
pemberian terapi yang tepat, sebagian besar anak-anak memberikan respon yang
baik terhadap perkembangannya. Walau beberapa anak tetap menjalani terapi
hingga dewasa. Hal tersebut karena kemampuan anak itu sendiri dalam

Universitas Sumatera Utara

28

menanggapi terapinya. Beberapa anak yang mengalami kondisi yang progresif


(faktor-faktor yang dapat merusak sistem saraf seiring berjalannya waktu), akan
menunjukkan perkembangan yang tidak berubah dari sebelumnya atau mengalami
kemunduran. Sehingga terapi yang dilakukan yakni meningkatkan kemampuan
dari anak tersebut untuk menjalani kesehariannya.

Universitas Sumatera Utara

29

C. Mikrosefali
Definisi
Mikrosefali adalah cacat pertumbuhan otak secara menyeluruh akibat
abnormalitas perkembangan dan proses destruksi otak selama masa janin dan awal
masa bayi. Ukuran kepala lebih dari 3 standart deviasi di bawah rata-rata.
Mikrosefali adalah kasus malformasi kongenital otak yang paling sering
dijumpai. Ukuran otak pada kasus ini relatif amat kecil, dan karena
pertumbuhannya terhenti maka ukuran tengkorak sebagai wadahnya pun juga
kecil (sebenarnya nama yang lebih tepat adalah mikroensefalus). Perbandingan
berat otak terhadap badan yang normal adalah 1 : 30, sedangkan pada kasus
mikrosefalus, perbandingannya dapat menjadi 1 : 100. Bila kasus bisa hidup
sampai usia dewasa, biasanya berat otaknya hanya kurang dari 900 gram (bahkan
ada yang hanya 300 gram).
Otak mikrosefalik selalu lebih ringan, dapat serendah 25 % otak normal.
Jumlah dan kompleksitas girus korteks mungkin berkurang. Lobus frontalis adalah
yang

paling

parah,

serebelum

sering

kali

membesar

tak

seimbang.

Pada mikrosefali akibat penyakit perinatal dan postnatal dapat terjadi kehilangan
neuron dan gliosis korteks serebri.
Mikrosefali yang paling parah cenderung terjadi pada bentuk yang
diwariskan resesif. Penderita anak memperlihatkan dahi yang landai ke belakang
dan telinga yang besar tak sebanding. Perkembangan motorik sering kali baik,
tetapi retardasi mental secara progresif makin nyata dan sering kali berat.
Etiologi
Berbagai kondisi dalam tabel 1 harus dipertimbangan dalam diagnosis
banding bayi atau anak mikrosefali. Dahi yang landai ke belekang, telinga
yangbesar,

dan

pertalian

darah

pada

orang

tua,

mengarah

pada

diagnosis mikrosefali herediter. Kemungkinan mikrosefali akibat fenilkeonuria


maternal harus selalu diteliti dengan pemeriksaan kemih ibu yang tepat.
Radiogram

kranium,

pungsi

lumbal,

tes

serologis

berguna

dalam

Universitas Sumatera Utara

30

diagnosis mikrosefali akibat infeksi intrauterin. Kalsifikasi serebrum difus sering


kali ditemukan pada toksoplasma kongenital, kalsifikasi periventrikular lebih
sering pada penyakit virus sitomegalo. Sindroma alkohol janin harus
dipertimbangkan pada anak mikrosefalik dari ibu dengan riwayat alkoholisme.
Yang membedakan etiologi mikro-sefali sebagai berikut :
1. Genetik
2. Didapat, yaitu disebabkan :
3. Antenatal pada morbili, penyinaran, sifilis, toksoplasmosis,
kelainan sirkulasi darah janin atau tidak diketahui penyebabnya.
4. Intranatal akibat perdarahan atau anoksia.
5. Pascanatal dan setelah ensefalitis, trauma kepala dan sebagainya.
Patogenesis
Bakal serebrum mulai terlihat sebagai struktur yang dapat dikenali pada
embrio kehamilan 28 hari, saat ujung anterior tuba neuralis mengalami suatu
ekspansi globular, prosensefalon. Dalam beberapa hari berikutnya, prosensefalon
membelah menjadi 2 perluasan lateral yang merupakan asal hemisferium serebri
dan ventrikel lateralis. Dinding ventrikel pada stadium ini dibentuk oleh lapisan
benih neuroblas yang aktif membelah. Neuroblas yang baru terbentuk bermigrasi
dari dinding ventrikel ke permukaan hemisferium primitif, berakumulasi dan
membentuk korteks serebri. Pendatang pertama membentuk lapisan bawah
korteks, dan pendatang selanjutnya melewati lapisan ini, membentuk lapisanlapisan atas. Diferensiasi neuroblas membentuk neuron ekstensi sel yang
bertambah panjang dan akhirnya membentuk akson dengan lumen ventrikel
melalui ekstensi sel yang bertambah panjang dan akhirnya membentuk akson
substansi alba subkortikal. Akson yang menyeberang dari 1 hemisferium ke
hemisferium lainnya untuk membentuk korpus kalosum, pertama kali aterlihat
pada kehamilan bulan ketiga, korpus kalosum terbentu lengkap pada bulan ke-5.
Pada saat inilah permukaan akorteks mulai memperlihatkan identasi yang
terbentuk progresif selama trimester terakhir, sehingga pada aterm, sulkus dan
girus utama telah berbatas tegas.

Universitas Sumatera Utara

31

Otak bayi aterm memiliki seluruh komplemen neuron dewasa, tetapi


beratnya hanya sekitar sepertiga otak dewasa. Peningkatan berat postnatal adalah
akibat mielinisasi substansia alba subkortikal, perkembangan penuh prosesus
saraf, baik dendrit maupun akson serta peningkatan selb glia.
Secara umum pengaruh abnormal sebelum kehamilan bulan ke-6
cenderung

mempengaruhi

pertumbuhan

struktur

makroskopik

otak

dan

mengurangi jumlah neuron total. Pengaruh perubahan patologik pada periode


perinatal cenderung lebih ringan, seperti keterlambatan mielinisasi dan
berkurangnya pembentukan dendrit. Hilangnya substansi otak akibat lesi
destruktif dapat terjadi pada akhir masa janin dan awal masa bayi, baik secara
terpisah ataupun bersama cacat perkembangan lain.
Patologi
Secara patologis terdapat kelainan seperti hipoplasia serebri, pakigiria,
mikrogiria, porensefali, atrofi serebri. 6 Biasanya ditemukan penutupan fontanel
dan sutura-sutura tengkorak sebelum waktunya (premature closure). Anak dengan
microgyria dapat hidup sampai dewasa. 1,8 Yang berukuran kecil biasanya tidak
menutupi serebelum dan corak girus-girus kortikalnya abnormal. Arsitektur
korteks menunjukkan sel-sel primitif. Sistem ventrikel biasanya membesar serta
biasanya dibarengi oleh porensefalus, lissensefalus, tidak adanya korpus kalosum
sertaheterotropia.
Manifestasi Klinis
Kepala lebih kecil dari pada normal, sekunder akibat jaringan otak yang
tidak tumbuh. Kadang-kadang ubun-ubun besar terbuka dan kecil. Didapatkan
retardasi mental. Mungkin didapatkan pula gejala motorik berupa diplegia spastik,
hemiplegia dan sebagainya. Terlambat bicara dan kadang-kadang didapatkan
kejang.
Tampilan kasus mikrosefallus yang khas adalah tulang frontal dan fosa
anterior yang kecil.

Universitas Sumatera Utara

32

Diagnosis Banding
Mikrosefali harus dibedakan dari ukuran kepala yang kecil sekunder
dari sinostosissutura sagitalis dan koronarius.
Sinostosis biasanya terjadi pranatal dan diketahui setelah dilahirkan.
Perubahan bentuk tengkorak disebabkan ekspansi jaringan otak yang tumbuh
terhalang oleh penutupan sutura. Pada stadium permulaan perubahan bentuk
tengkorak merupakan kompensasi untuk mencegah tekanan intrakranial yang
meninggi.
berlangsung

Padabrakisefali dan skafosefali keadaan


lama

sampai

berbulan-bulan,

namun

kompensasi

ini

bisa

pada oksisefali tekanan

intrakranial sudah meninggi dalam minggu pertama sesudah lahir. Akibat tekanan
intrakranial yang meninggi akan terlihat iritabilitas, muntah, eksoftalmus akibat
tekanan pada orbita, retardasi mental dan motorik, kejang. Gangguan visus dapat
terjadi akibat tertariknya N II atau sebagai akibat papil N II karena tekanan
intrakranial yang meninggi.
Terapi
Tak satupun bentuk mikrosefali dapat diobati,1 pengobatan yang dilakukan
yaitu simptomatik. Untuk kejang diberi antikonvulsan. Selanjutnya dilakukan
fisioterapi, speech therapy dan sebagainya.

Prognosis
Bayi yang dilahirkan dengan mikrosefali biasanya tidak bisa hidup lama,
beberapa langsung meninggal setelah lahir, 1 dan kebanyakan dari mereka yang
masih bisa hidup mengalami retardasi mental dan kelainan motorik seperti
hemiplegia, diplegia spastik. Mikrosefalibiasanya disertai dengan kelainankelainan lain sebagai suatu sindrom.

Pencegahan

Universitas Sumatera Utara

33

Mikrosefali tidak dapat diobati, sehingga pencegahan sangat penting.


Pencegahan meliputi bimbingan dan penyuluhan genetika, pencegahan bahaya
infeksi terutama selama kehamilan, obat-obatan.
Terapi.
Terapi bersifat simptomatik yaitu antikonvulsan, fisio terapi, speech terapi.
Prognosa.
Ada yang langsung meninggal, sedangkan yang hidup biasanya mengalami
retardasi mental, kelainan motorik dan kelainan-kelainan sebagai suatu sindrom.
Pencegahan sangat penting.
Meliputi bimbingan dan penyuluhan genetika, mencegah penyakit infeksi
selama kehamilan, obat-obatan dan radiasi.
KESIMPULAN
Mikrosefali adalah cacat pertumbuhan otak secara menyeluruh akibat
abnormalitas perkembangan dan proses destraksi otak selama masa janin dan awal
masa bayi. Ukuran kepala lebih dari 3 standar deviasi di bawah rata-rata.
Etiologi mikrosefali yaitu cacat perkembangan otak, infeksi intrauteri,
anoxia intrauterin atau neonatal, malnutrisi berat pada awal masa bayi, infeksi
virus herpes neonatal.
Patologi didapatkan mikrogiria, pakigiria, porensefali, atrofi serebri.
Biasanya ditemukan premature closure, corak giras-giras kortikalnya. Abnormal.
Arsitektur kortek menunjukkan sel-sel yang besar dan didominasi oleh sel-sel
primitif. Sistem ventrikel biasanya membesar, serta biasanya dibarengi
oleh porensefalus, lissencefalus, tidak adanya corpus collosum serta heterotropia.
Diagnosis berdasarkan manifestasi klinis dan radiologis. Manifestasi klinis
kepala lebih kecil dari normal, premature closure. Ubun-ubun besar terbuka dan
kecil, retardasi mental, hemiplegia, diplegia, terlambat bicara dan kejang.
Diagnosis bandingnya yaitu kraniosinostosis.
DAFTAR PUSTAKA

Universitas Sumatera Utara

34

Shevell MI. The evaluation of the child with a global developmental delay.
Seminar Pediatric Neurology. 1998;5:2126.
Fenichel GM. Psychomotor retardation and regression. Dalam: Clinical Pediatric
Neurology: A signs and symptoms approach. Edisi ke-4.Philadelphia: WB
Saunders; 2001.h.11747.
Shevell M, Ashwal S, Donley D, Flint J, Gingold M, Hirzt D, dkk. Practice
parameter: Evaluation of the quality standards subcommittee of the
American Academy of Neurology and the practice committee of the child
neurology society. Neurology 2003;60:67-80.
Suwarba IGN, Widodo DP, Handryastuti RAS. Profil klinis dan etiologi pasien
keterlambatan perkembangan global di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Sari Pediatri 2008;10:255-61.
Melati D, Windiani IGAT, Soetjiningsih. Karakteristik Klinis Keterlambatan
Perkembangan Global Pada Pasien di Poliklinik Anak RSUP Sanglah
Denpasar. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana Bali
Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang
Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Departemen Kesehatan RI.
2005.
Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Dalam: RanuhIGN, penyunting. Tumbuh
kembang anak. Jakarta: EGC; 1995. h. 1-32.
Walters AV. Development Delay: Causes and Identification. ACNR 2010;
10(2);32-4.
Mengenal Keterlambatan Perkembangan Umum pada Anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Indonesia. [Available from]: URL: http //idai.or.id/publicarticles/seputar-kesehatan-anak/mengenal-keterlambatan-perkembanganumum-pada-anak.html.
First LR, Palrey JS. Current Concepts: The Infant or Young Child with
Developmental Delay. The New England Journal of Medicine 1994; 7478483.
Srour M, Mazer B, Shevell MI. Analysis of clinical features predicting etiologic
yield in the Assessment of global development delay. Pediatrics
2006;118:139-45.

Universitas Sumatera Utara

35

Menkes JH. Textbook of Child Neurology. 4th. ed. Philadelphia: Lea & Febiger
1990
1998-2011 Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) Am
J Med Genet 1998 Nov 16;80(3):213-7, Department of Genetics, Emory
University, Atlanta, Georgia, USA. Down Syndrome Abstract of the Month:
Dec 1998, viewed on 3 April 2009
Am J Obstet Gynecol. 1987 Sep;157(3):648-55. Fetal echocardiographic
screening for congenital heart disease: the importance of the four-chamber
view. Copel JA, Pilu G, Green J, Hobbins JC, Kleinman CS.
Andriolo RB et al: Aerobic exercise training programmes for improving physical
and psychosocial health in adults with Down syndrome. Cochrane
Database System Rev 2005;(5):CD005 176. [PMID: 16034968]
Baliff JP et al: New developments in prenatal screening for Down syndrome. Am J
Clin Pathol 2003;120(Suppl):S14. [PMID: 15298140]
British Heart Journal, British Heart Journalheart.bmj.com Br Heart J 1976;38:32-38
doi: 10.1 136/hrt.38. 1.32 Research Article, Congenital heart disease in
Down's syndrome by H B Laursen
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Down Syndrome. Created
3/11/09
Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006, Heart-Related Syndromes
Down Syndrome (Trisomy 21), viewed on 11 April 2009
Current Diagnosis & Treatment in Orthopedics 3rd edition: by Harry Skinner (Editor)
Publisher: Appleton & Lange (June 20, 2003)
Current Medical Diagnosis & Treatment 2007, Forty-Sixth Edition
Current Pediatric Diagnosis & Treatment 16th Ed: William W. Hay Jr, et al By
McGraw-Hill Education - Europe 2002
Encyclopedia of Public Health, Edited By Lester Breslow, Volume III, L R, 2002
Freeman SB, Taft LF, Dooley KJ, Allran K, Sherman SL, Hassold TJ, Khoury MJ,
Saker DM (1998), Population-based study of congenital heart defects in
Down syndrome

Universitas Sumatera Utara

Fritz Hefti Pediatric Orthopedics in Practice Co-Authors: Reinald Brunner, Carol


C. Hasler, Gernot Jundt, Freehand drawings: Franz Freuler, Schematic
drawings by the author
Fritz Hefti Pediatric Orthopedics in Practice, Reinald Brunner, Carol C. Hasler,
Gernot Jundt, Springer -Verlag Berlin Heidelberg 2007
Galley R: Medical management of the adult patient with Down syndrome. JAAPA
2005;18:45. [PMID: 15859488]
Kallen B, et al: Major congenital malformations in Down syndrome. Am J Med
Genet 65:160, 1996.
Lange BJ, Kobrinsky N, et al. Distinctive demography, biology, and outcome
of acute myeloid leukemia, and myelodysplastic syndrome in children with
Down syndrome: Childrens Cancer Group Studies 2861 and 2891. Blood
1998;91:60815.
Langmans Medical Embryology (http://connection.LWW.com/go/sadler) - T. W.
Sadler
Manual of Pediatric Hematology and Oncology, Philip Lanzkowsky, M.B., Ch.B.,
M.D.,2005
Mao R, et al: Global up-regulation of chromosome 21 gene expression in the
developing Down syndrome brain. Genomics 81:457, 2003.
Mayo Clinic Internal Medicine Review, Amit K. Ghosh, MD, 2008
Merritt's Neurology 10th Edition (June 2000): by H. Houston Textbook of
Neurology Merritt (Editor), Lewis P. Rowland (Editor), Randy Rowland By
Lippincott Williams & Wilkins Publishers.
American Academy of Pediatrics Committee on Genetics. Health Supervision for
Children with Down Syndrome. Pediatrics, volume 107, number 2,
February 2001, pages 442-449 (reaffirmed 9/1/07)
Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition (May 2003): by Richard E., Md.
Behrman (Editor), Robert M., Md. Kliegman (Editor), Hal B., Md. Jenson
(Editor) By W B Saunders

Pueschel, Siegfried M. A Parents Guide to Down Syndrome: Toward a Brighter


Future. Revised ed. New York: Paul H. Brookes Publishing Co., 2000.
Research Article Prenatal screening for congenital heart disease.BMJ 1986; 292
doi: 10.1136/bmj.292.6537.1717 (Published 28 June 1986)
Cite this as: BMJ 1986;292: L D Allan, D C Crawford, S K Chita,
M J Tynan
Robbins and Cotran PATHOLOGIC BASIS OF DISEASE Seventh Edition,
Copyright 2005, Elsevier Inc.
Roizen NJ: Down's syndrome. Lancet 2003;12:1281. [PMID: 12699967]
Routine Prenatal Screening For Congenital Heart Disease The Lancet, Volume
348, Issue 9031, 28 September 1996, Page 836, Sabine Kleinert
Schlote, Pocket Atlas of Ophthalmology 2006 Thieme, Torsten Schlote, MD, Joerg
Mielke, MD, Matthias Grueb, MD, Jens Martin Rohrbach, MD
Screening For Congenital Heart Disease Prenatally. Results of a 21/2-year study in
the South East Thames Region GURLEEN K. SHARLAND, LINDSEY
D. ALLAN Article first published online: 19 AUG 2005 DOI:
10.1111/j.1471-0528.1992.tb14503.x
Selikowitz, Mark. Down Syndrome: The Facts. 2nd ed. London: Oxford University
Press, 1997.
Skeletal Injury in the Child Third Edition, John A. Ogden, MD, 2000 SpringerVerlag New York, Inc. ISBN 0-387-98510-7 Springer-Verlag New York
Berlin Heidelberg SPIN 10674738
Stray-Gunderson, K. Babies with Down Syndrome: A New Parents Guide.
Kensington: Woodbine House, 1986.
The

Gale Encyclopedia of Genetic Disorders, Stacey L. Blachford,


Copyright2002 Gale Group 27500, Drake Road, Farmington Hills,
MI 4833 1-3535, ISBN 0-7876-5612-7 (set), 0-7876-5613-5 (Vol.
1), 0-7876-5614-3 (Vol. 2) The Gale Encyclopedia of Genetic Disorders,
Volume I,2002.

Tolmie JL: Down syndrome and other autosomal trisomies. In: Emery and
Rimoin's Principles and Practice of Medical Genetics, 5th ed. Rimoin
DL et al (editors). Churchill Livingstone, 2006.

Tyler C et al: Down syndrome, Turner syndrome, and Klinefelter syndrome:


primary care throughout the life span. Prim Care 2004;3 1:627
[PMID: 15331252]

Você também pode gostar