Você está na página 1de 6

6.

2 Aplikasi Terapi Inhalan Pada Anak


6.2.1 Asma
Tatalaksan Asma harus dibedakan menjadi dua, yakni tatalaksana serangan dan
tatalaksana jangka panjang. Seorang anak yang telah didiagnosis asma harus ditentukan
klasifikasinya. Berdasarkan Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA), klasifikasi asma
yaitu asma episodik jarang, episodik sering, dan asma persisten. Asma episodik jarang
tidak memerlukan obat pengendali (controller) untuk tatalaksana jangka panjang.,
sedangkan pada asma episodik sering dan asma persisten harus diberikan obat
pengendali. Obat pengendali dari golongan anti-inflamasi yang sering digunakan adalah
golongan kortikosteroid seperti budesonid, beklometason dipropionat, dan flutikason.
Bila terjadi serangan asma, maka digunakan obat pereda (reliever). Obat pereda yang
sering digunakan adalah golongan bronkodilator seperti metilsantin (teofilin), 2-agonis
dan ipratropium bromida. Obat-obat ini dapat digunakan secara oral, parenteral, dan
inhalasi, tetapi untuk obat metilsantin dipilih pemberian secara oral dan intravena
daripada inhalasi, karena obat ini menyebabkan iritasi saluran respiratori.
Telah diketahui secara luas bahwa obat anti-inflamasi yang sering digunakan adalah
golongan steroid. Sebagai dasar pada asma adalah terjadinya reaksi inflamasi sehingga
pengendalian dengan obat anti-inflamasi sangat dianjurkan pada asma episodik sering
dan asma persisten. Akan tetapi, harus disadari bahwapenggunaan kortikosteroid jangka
panjang, bila diberikan secara oral atau parenteral , dapat mengganggu tumbuh kembang
anak secara keseluruhan, selain efek samping lain yang mungkin timbul seperti hipertensi
dan moon-face. Oleh karena itu, pemberian kortikosteroid per inhalasi sangat dianjurkan.
Jenis terapi inhalasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan usia pasien dan patokan ini
tidak berlaku secara kaku. Acuan untuk pemilihan terapi inhalasi dapat dilihat pada tabel.

Tabel Pemilihan alat inhalasi


Usia (tahun)
0-3

Pereda (reliever)
pMDI/dengan spacer

Pengendali (controller)
pMDI/dengan spacer

3-5

nebulizer
pMDI/dengan spacer

nebulizer
pMDI/dengan spacer

nebulizer

nebulizer
DPI (bisa digunakan pada
anak tertentu yang sudah

>5

pMDI/dengan spacer

kooperatif)
pMDI/dengan spacer

DPI

DPI

Nebulizer
Peran terapi inhalasi pada asma anak dapat diterangkan sebagai berikut.
1. Saat serangan
Obat yang digunakan pada saat serangan adalah obat golongan bronkodilator,
yang tersering adalah 2-agonis yang dapat diberikan tersendiri atau bersama-sama
dengan ipratropium bromida. Pada serangan asma ringan, obat inhalasi yang
diberikan hanya 2-agonis, meskipun ada juga yang menambahkan ipratropium
bromida. Schuch dkk. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan menggunakan
2-agonis saja sudah dapat meningkatkan force expiration volume 1 (FEV 1) dan
menghilangkan gejala serangannya, sedangkan penambahan ipratropium bromida
akan meningkatkan FEV 1 yang lebih tinggi lagi. PNAA menganjurkan pemberian
2-agonis saja pada serangan asma ringan, sedangkan pada asma berat diberikan
bersama-sama dengan ipratropium bromida.
Pemberian nebulizer pada usia 18 bulan - 4tahun dianjurkan menggunakan
mouthpiece daripada masker muka untuk menghindari deposisi obat di muka dan
mata. Apabila dengan pemberian inhalasi obat tersebut serangan asma serangan asma
tidak teratasi/sedikit perbaikan, maka dapat diberikan steroid sistemik. Pemberian
steroid sitemik oerlu diperhatikan padda anak dengan serangan asma sering, karena
anak ini beresiko mengalami efek samping akiba pemberian steroid sistemik

berulang kali, misalnya supresi adrenal, gangguan pertumbuhan tulang, dan


osteoporosi. Untuk mengurangi pemberian steroid oral yang bekali-kali, maka untuk
anak yang serangan asmanya tidak teratasi dengan 2-agonis di rumah dan
belum/tidak memerlukan perawatan di rumah sakit., sebgai alternatif dapat diberikan
inhalasi budesonid dosis tinggi (1600g perhari). Akan tetapi, pemberian steroid per
inhalasi untuk mengatasi seranagn asma masih kontroversial.
Penggunaan obat pereda per inhalasi pada serangan asma sangat bermanfaat dan
justru sangat dianjurkan dari pada pemberian per oral maupun per injeksi. Hal ini
sejalan dengan prinsip terapi inhalasi, yaitu dengan dosis minimal dan onset kerja
cepat dapat menghilangkan atau mengurangi bronkokonstriksi. Meskipun demikian,
penggunaannya masih belum banyak diketahui, harga obat masih mahal, dengan
presepsi yang salah dari sebagian dokter dan pasien. Hal ini berlaku bukan hanya di
Indonesia tetapi juga di negara maju. Penggunaannya pada dewasa lebih banyak dari
pada anak.
Pada serangan asma, selain pemilihan jenis obat dan usia, harus pula di
perhatikan jenis alat inhalasi yang digunakan. Pada serangan asma ringan dan
sedang, pengguanaan MDI dengan spacer, DPI, dan nebulizer sama baiknya,
sedangkan pada serangan berat, pemberian dengan nebulizer sangat dianjurkan
karena lebih unggul. Hal ini dapat dimengerti, karena pada saat serangan berat pasien
sulit untuk inspirasi secara aktif yang sangat dibutuhkan pada penggunaan MDI dan
DPI, sedangkan dengan nebulizer pasien cukup bersikap pasif.
2. Di luar serangan
Penggunaan obat inhalasi di luar serangan asma hanya diberikan bila
memerlukan obat pengendali, yaitu pada asma serangan serin dan asma persisten.
Obat pengendali yang biasa digunakan adalah natrium kromoglikat dan golongan
steroid. Menurut PNAA, kromoglikat tidak digunakan lagi karena berdasarkan
penelitian efektifitasnya rendah, selain itu obat ini juga sulit didapat.
Penggunaan steroid pada asma anak harus hati-hati dan memerlukan
pengetahuan secara benar mengingat efek samping yang mungkin timbul. Beberapa
peneliti telah memebuktikan bahwa dengan penggunaan yang tepat dengan dosis,
cara, dan jenis yang sesuai, maka efek samping dapat dikurangi. Penggunaan obat

inhalasi yang salah akan meningkatkan efek samping seperti jamur/kandidiasis di


daerah mulut, suara serak dan efek lainnya. Sebagian obat juga akan beredar ke
seluruh tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan selanjutnya akan dieliminasi
melalui hati, sehingga kadarnya berkurang dalam peredaran sistemik. Obat ynag baik
adalah obat yang dapat dieliminasi tubuh dengan baik., artinya kadar obat didalam
sirkulasi menjadi kecil.
Penggunaan steroid inhalasi pada asma episodik sering da asma persisten
memerlukan waktu yang lama dan dosis yang mungkin bervariasi. Pada awal
pengobatan diberikan kortiko steroid dosis rendah (setara dengan 100g budesonid
atau 50g flutikason). Apabila dengan dosis ini selaa 6-8 minggu asma masih belum
stabil, maka dapat diberikan beberapa alterntif, seperti meningkatkan steroid menjadi
dosis medium (200-400g budesonid atau 100 flutikason), memberikan dosis
steroid rendah ditambah long acting beta agonis (LABA), menambahkan dengan
theophylline slow release (TSR), atau menambahkan dengan anti leukotrine reseptor
(ALTR). Apabila 6-8 minggu dengan dosis ini masih belum stabil maka dapat
ditingkatkan menjadi steroid dosis tinggi (400 g budesonid atau >100 g
flutikason), atau dosis medium ditambahkan LABA, TSR, atau ALTR. Apabila
selama 6-8 minggu dengan cara inipun belum berhasil, barulah digunakan steroid
oral sebagai alternatif terakhir penanganan jangka panjang asma pada anak. Dalam
menggunakan obat ini, harus dilakukan pemantauan gejala klinis dan bila mungkin
uji fungsi paru. Apabila terdapat perbaikan, dosis dapat diturunkan secra bertahap
dan oerlahan-laha menjadi dosis yang lebih kecil hingga menjadi dosis optimal, dan
ada akhirnya bila mungkintidak menggunakan steroid sama sekali.
Penggunaan obat di atas dapat diberikan secra MDI dengan spacer atau dengan
DPI. Pemggunaan dalam waktu lama (sekitar 2-3 tahun) dengan dosis 400g per hari
tidak mengganggu proses tumbuh kembang anak. Untuk bayi dan anak berusia
dibawah 4 tahun yang memerlukan steroid inhalasi, selain dengan MDI dan spacer ,
dapat diberikan secara nebulisasi. Jadi, penggunaan steroid inhalasi dapat lebih man
apabila diketahui cara penggunaannya.
6.2.2 Bronkiolitis akut dan mengi pasca bronkiolitis

Studi kontrol terhadap budesonid tidak dapat membuktikan keuntungan pemberian


budesonid pada bronkiolitis akut maupun pencegahan mengi pasca bronkiolitis.
Penelitian ini mengevaluasi efek jangka pendek dan jangka panjang inhalasi suspensi
budesonid dibandingkan plasebo, pada 201 bayi berusia 4-41 minggu. Bayi-bayi tersebut
di randomisasi, satu kelompok diinhalasi plasebo tiap 12 jam selama 6 minggu ,
sedangkan kelompok yang lain dengan budesonid 1mg tiap 12 jam selama 5 hari.,
dilanjutkan dengan budesonid 0,5 mg tiap 12 jam hingga 6 minggu. Hasil yang
didapatkan adalah tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok bidesonid dan
kelompok plasebo dalam hal klinis setelah terapi inisial, mauoun masa rawat rumah
sakit . Dalam pengamatan lanjutan setelah 6 bulan dan 12 bulan, ternyata tidak ada
perbedaan bermakna dalam prevalensi wheezing, gejala klinis, ataupun penggunaan
bronkodilator 2-agonis antara kelompok budesonid dan kelompok plasebo.
Selain steroid inheler, penggunaan bronkodilator juga menjadi perdebatan. Sebagian
berpendapat bahwa peran bronkodilator cukup bermanfaat, sedangkan sebagian lagi
berpendapat tidak . Alasan yang kurang mendukung pemberian bronkodilator adalah
karena bayi peran bronkodilator kurang jelas. Pada keadaaan bronkiolitis, yang dominan
adalah inflamasinya, bukan bronkokonstriksinya , sehingga pemberian bronkodilator
kurang bermanfaat.
6.2.3 Croup
Nebulisasi steroid ternyata juga dapat mempercepat hilangnya gejala pada anak
dengan croup berat, dan mengurangi kemungkinan anak dirawat. Dalam mengurangi
gejala croup pada anak, unhalasi budesonid suspensi 2 mg atau 4mg lebih efektif
daripada palsebo, sama efektifnya dengan nebulisasi epinefrin dan deksametason oral,
tetapi sedikit kurang efektif dengan deksametason intramuskular. Gejala croup
menghilang 2-3 jam setelah nebulisasi budesonid, hal ini merupakan implikasi untuk
mengurangi masa rawat. Nebulisasi adrenalin (0,4-0,5 ml/kgbb cairan 1: 1000 dosis
maksimal 5ml) bermanfaat dalam perbaikan skor croup dan menurunkan kemungkinan
dirawat inap. Namun tidak jelas manfaatnya untuk mencegah intubasi. Efek nebulisasi
masih bertahan hingga 2-3 jam.
6.2.4 Prematuritas dan Cronic Lung disease

Peran

budesonid

dalam

terapi

bayi

prematur

dengan

resiko

timbulnya

bronchopulmonary dysplasia (BDP) masih dalam penelitian. Studi terbaru menyatakan


bahwa nebulisasi budesonid merupakan alterntif yang efektif selain deksametason
parenteral , mengurangi lamanya penggunaan ventilasi mekanis dan menurunkan
kebutuhan kosrtiko steroid sistemik.

Você também pode gostar