Você está na página 1de 24

ANALISIS MASALAH

1. Ny. ATW, 30 tahun, ibu rumah tangga, masuk ke UGD RSJ Ernaldi Bahar Palembang
karena mencoba bunuh diri. Ny.ATW selalu sedih dan selalu menangis tanpa sebab.
a. Apa saja faktor yang menyebabkan seseorang ingin bunuh diri?
Faktor-faktor yang memengaruhi risiko bunuh diri antara lain:
1. Gangguan Jiwa Gangguan jiwa seringkali terjadi pada seseorang saat melakukan
bunuh diri dengan angka kejadian berkisar antara 27% hingga lebih dari 90%.
Orang yang pernah dirawat di rumah sakit jiwa memiliki risiko melakukan
tindakan bunuh diri yang berhasil sebesar 8.6% selama hidupnya. Sebagian dari
orang yang meninggal karena bunuh diri bisa jadi memiliki gangguan depresi
mayor. Orang yang mengidap gangguan depresi mayor atau salah satu dari
gangguan keadaan jiwa seperti gangguan bipolar memiliki risiko lebih tinggi,
hingga mencapai 20 kali lipat, untuk melakukan bunuh diri. Kondisi lain yang turut
terlibat adalah schizophrenia (14%), gangguan kepribadian (14%),gangguan
bipolar, dan gangguan stres pasca-trauma. Sekitar 5% pengidap schizophrenia mati
karena bunuh diri. Gangguan makan juga merupakan kondisi berisiko tinggi
lainnya. Riwayat percobaan bunuh diri di masa lalu merupakan alat prediksi terbaik
terjadinya tindakan bunuh diri yang akhirnya berhasil. Kira-kira 20% bunuh diri
menunjukkan adanya riwayat percobaan di masa lampau. Lalu, dari sekian yang
pernah mencoba melakukan bunuh diri memiliki peluang sebesar 1% untuk
melakukan bunuh diri yang berhasil dalam tempo satu tahun kemudian dan lebih
dari 5% melakukan bunuh diri setelah 10 tahun. Meskipun tindakan melukai diri
sendiri bukan merupakan percobaan bunuh diri, namun adanya perilaku suka
melukai diri sendiri tersebut meningkatkan risiko bunuh diri. Dari kasus bunuh diri
yang berhasil, sekitar 80% individu yang melakukannya telah menemui dokter
selama setahun sebelum kematian, termasuk 45% di antaranya yang menemui
dokter dalam satu bulan sebelum kematian. Sekitar 2540% orang yang berhasil
melakukan bunuh diri pernah menghubungi layanan kesehatan jiwa pada tahun
sebelumnya.

2. Penggunaan obat Penyalahgunaan obat adalah faktor risiko bunuh diri paling
umum kedua setelah depresi mayor dan gangguan bipolar. Baik penyalahgunaan
obat kronis maupun kecanduan akut saling berhubungan satu sama lain. Bila
digabungkan dengan kesedihan diri, misalnya ditinggalkan seseorang yang
meninggal, risiko tersebut semakin meningkat. Selain itu, penyalahgunaan obat
berkaitan dengan gangguan kesehatan jiwa. Saat melakukan bunuh diri,
kebanyakan orang berada dalam pengaruh obat yang bersifat sedatif-hipnotis
(misalnya alkohol atau benzodiazepine) dengan adanya alkoholisme pada sekitar
15% sampai 61% kasus. Negara-negara dengan angka penggunaan alkohol tinggi
dan memiliki jumlah bar lebih banyak secara umum juga memiliki risiko terjadinya
bunuh diri lebih tinggi yang keterkaitannya terutama berhubungan dengan
penggunaan minuman beralkohol hasil distilasi ketimbang jumlah total alkohol
yang digunakan. Sekitar 2.23.4% dari mereka yang pernah dirawat karena
menderita alkoholisme pada suatu waktu dalam kehidupan mereka meninggal
dengan cara bunuh diri. Pecandu alkohol yang melakukan percobaan bunuh diri
biasanya pria, dalam usia tua, dan pernah melakukan percobaan bunuh diri di masa
lampau. Antara 3 hingga 35% kematian pada kelompok pemakai heroin
diakibatkan oleh bunuh diri (kira-kira 14 kali lipat lebih besar dibandingkan
kelompok

yang

tidak

memakai

heroin).

Penyalahgunaan

kokain

dan

methamphetamine memiliki korelasi besar terhadap bunuh diri. Mereka yang


menggunakan kokain memiliki risiko terbesar saat berada dalam fase sakaw.
Mereka yang menggunakan inhalansia juga memiliki risiko besar dengan sekitar
20% di antaranya mencoba melakukan bunuh diri pada suatu waktu dan lebih dari
65% pernah berpikir untuk melakukannya. Merokok memiliki keterkaitan dengan
risiko bunuh diri. Tidak ada bukti yang cukup kuat mengapa ada keterkaitan
tersebut;

namun

hipotesis

menyatakan

bahwa

mereka

yang

memiliki

kecenderungan merokok juga memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh


diri, bahwa merokok menyebabkan masalah kesehatan sehingga mendorong
seseorang untuk mengakhiri hidupnya, dan bahwa merokok mempengaruhi kimia
otak hingga menyebabkan kecenderungan bunuh diri. Meski demikian,
Ganja/Cannabis sepertinya tidak secara tunggal menyebabkan peningkatan risiko.

3. Masalah Perjudian Masalah perjudian pada seseorang dikaitkan dengan


meningkatnya keinginan bunuh diri dan upaya-upaya melakukan tindak bunuh diri
dibandingkan dengan populasi umum. Antara 12 dan 24% pejudi patologis
berusaha bunuh diri. Angka bunuh diri di kalangan istri-istri mereka tiga kali lebih
besar daripada populasi umum. Faktor lain yang meningkatkan risiko pada mereka
dengan masalah perjudian meliputi penyakit mental, alkohol dan penyalahgunaan
narkoba.
4. Kondisi Medis Terdapat hubungan antara bunuh diri dan masalah kesehatan fisik,
mencakup: sakit kronis, cedera otak traumatis, kanker, mereka yang menjalani
hemodialisis, HIV, lupus eritematosus sistemik, dan beberapa lainnya. Diagnosis
kanker membuat risiko bunuh diri menjadi kira-kira dua kali lipat. Angka kejadian
bunuh diri yang meningkat tetap tinggi setelah disesuaikan dengan penyakit depresi
dan penyalahgunaan alkohol. Pada orang yang memiliki lebih dari satu kondisi
medis, risiko tersebut sangat tinggi. Di Jepang, masalah kesehatan termasuk dalam
daftar utama diperbolehkannya bunuh diri.
5. Gangguan tidur Gangguan tidur seperti insomnia dan apnea tidur merupakan
faktor risiko mengalami depresi dan melakukan bunuh diri. Pada beberapa kasus,
gangguan tidur mungkin menjadi faktor risiko independen timbulnya depresi.
Sejumlah kondisi medis lainnya mungkin disertai gejala yang mirip dengan
gangguan suasana hati, termasuk: hipotiroid, Alzheimer, tumor otak, lupus
eritematosus sistemik, dan efek samping dari sejumlah obat (seperti beta blocker
dan steroid).
6. Stres kehidupan Stres kehidupan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir
seperti kehilangan anggota keluarga atau teman, kehilangan pekerjaan, atau isolasi
sosial (seperti hidup sendiri) meningkatkan risiko tersebut. Orang yang tidak
pernah menikah juga berisiko lebih besar. Bersikap religius dapat mengurangi
risiko seseorang untuk melakukan bunuh diri. Hal ini dikaitkan dengan pandangan
negatif sebagian besar agama yang menentang perbuatan bunuh diri dan dengan
lebih besarnya rasa keterikatan yang bisa diberikan oleh agama. Muslim, di antara
umat beragama, tampaknya memiliki tingkat yang lebih rendah.

7. Pelecehan Seksual Sejumlah orang mungkin ingin bunuh diri untuk melarikan diri
dari intimidasi atau tuduhan. Riwayat pelecehan seksual pada masa kecil dan dan
saat menjadi anak asuh juga merupakan faktor risiko. Pelecehan seksual diyakini
memberi kontribusi sekitar 20% dari keseluruhan risiko. evolusioner menjelaskan
bahwa persoalan bunuh diri bisa meningkatkan kemampuan inklusif. Hal ini dapat
terjadi jika orang yang ingin bunuh diri tidak dapat lagi memiliki anak dan
mengangkat anak dari kerabatnya dengan tetap bertahan hidup. Hal yang tidak
dapat disetujui adalah bahwa kematian pada remaja yang sehat tidak menyebabkan
terjadinya kemampuan inklusif. Proses adaptasi terhadap lingkungan adat nenek
moyang yang sangat berbeda mungkin menjadi proses yang maladaptif dalam
kondisi saat ini.
8. Kemiskinan Kemiskinan dikaitkan dengan risiko bunuh diri. Meningkatnya
kemiskinan relatif seseorang yang dibandingkan dengan orang yang ada di
sekitarnya dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Lebih dari 200.000 petani di
India telah melakukan bunuh diri sejak tahun 1997, yang sebagian karena persoalan
utang. Di Cina, kemungkinan peristiwa bunuh diri terjadi tiga kali lipat di daerah
pedesaan di pinggiran kota, yang diyakini akibat kesulitan keuangan di area ini di
negara tersebut.
9. Media Masa Media Media, termasuk internet, memainkan peranan penting.
Caranya menyajikan gambaran bunuh diri mungkin saja memiliki efek negatif
dengan banyaknya tayangan yang mencolok dan berulang yang mengagungkan
atau meromantiskan tindakan bunuh diri dan memberikan dampak terbesar. Bila
digambarkan secara rinci tentang cara melakukan bunuh diri dengan menggunakan
cara tertentu, metode bunuh diri mungkin saja meningkat dalam populasi secara
keseluruhan. Pemicu penularan bunuh diri atau peniruan bunuh diri ini dikenal
sebagai efek Werther, yang diberi nama berdasarkan tokoh protagonist dalam karya
Goethe yang berjudul The Sorrows of Young Werther yang melakukan bunuh diri.
Risiko ini lebih besar pada remaja yang mungkin meromantiskan kematian.
Sementara media massa memiliki pengaruh yang signifikan, efek dari media
hiburan masih tampak samar-samar. Kebalikan dari efek Werther adalah
pengusulan efek Papageno, yaitu cakupan yang baik mengenai mekanisme cara

mengatasi masalah secara efektif, mungkin memiliki efek perlindungan. Istilah ini
didasarkan pada karakter dalam opera Mozart yang berjudul The Magic Flute yang
akan melakukan bunuh diri karena takut kehilangan orang yang dicintainya sampai
teman-temannya menyelamatkannya. Bila media mengikuti pedoman pelaporan
yang sesuai, risiko bunuh diri dapat diturunkan. Namun, kepatuhan dari industri
tersebut bisa saja sulit didapatkan terutama dalam jangka panjang
10. Perokok Merokok tidak hanya merusak kesehatan fisik, tetapi juga mental. Peneliti
dari Washington University School of Medicine menemukan, peningkatan pajak
harga rokok berhubungan dengan penurunan kasus bunuh diri di suatu daerah.
Mereka menyimpulkan, merokok berhubungan dengan tindakan nekat tersebut.
Diperkirakan dampak merokok terhadap bunuh diri berhubungan dengan sifat
adiksi yang diberikan rokok.
11. Remaja dengan gegar otak Cidera otak karena trauma dapat merusak kesehatan
saraf remaja yang masih bertumbuh. Sebuah studi baru-baru ini menemukan, gegar
otak juga berhubungan dengan kematian dini, yang paling sering adalah akibat
bunuh diri. Remaja yang mengalami gegar otak tiga kali lebih mungkin untuk
bunuh diri.
12. Pemusik Steve Sack, direktur di Center for Suicide Research dan profesor di
Wayne State Uniersity menjelaskan, laju bunuh diri di antara pemusik tiga kali
lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional. Ini karena pekerja seni,
termasuk penulis, aktor, atau pelukis, lebih rentan terpapar depresi dan pikiranpikiran bunuh diri.
13. Dewasa dengan asperger Sindrom asperger merupakan salah satu gangguan
spektrum autis. Kondisi ini dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan
berkomunikasi dan gangguan perilaku. Sebuah studi baru-baru ini pada populasi di
Inggris menunjukkan, orang dengan asperger sembilan kali lebih mungkin untuk
memikirkan bunuh diri di beberapa titik dalam hidupnya. Ini mungkin dikarenakan
mereka cenderung merasa depresi akibat isolasi sosial, kesepian, tidak berprestasi,
dan pengangguran.
14. Remaja yang diadopsi Banyak remaja yang diadopsi yang menunjukkan tandatanda gangguan psikotik sekaligus penyalahgunaan narkoba. Sebuah studi baru-

baru ini yang melibatkan remaja asal Minnesota mengungkapkan, 47 dari 56 kasus
bunuh diri dilakukan oleh remaja yang diadopsi. Ini biasanya dipicu oleh
perselisihan keluarga, stres akademis, perilaku lingkungan, dan mood negatif.
15. Diet Makanan Pada penderita Alergi ditemukan hasil mengejutkan saat diteliti,
diungkapkan Benton David bahwa penderita alergi bila makanan beresiko dihindari
maka akan mengurangi perilaku antisosial, perbuatan kriminal dan perbuatan
bunuh diri. Bentin dalam menelitiannya telah mengungkapkan bahwa intervensi
dan penghindaran diet tertentu dapat berprngaruh pada perilaku antisosial,
perbuatan bunuh diri dan perbuatan kriminal.
2. 2 tahun yang lalu terdapat perubahan perilaku yaitu adanya kegembiraaan yang
berlebihan, banyak bicara dan beraktivitas, sering keluyuran serta kurang tidur.
a. Bagaimana mekanisme gejala-gejala yang terjadi 2 tahun lalu?
Adanya riwayat gangguan afektif dalam keluarga (genetik) + stressor sebagai faktor
pemicu peningkatan hormone kortisol, neurotransmiter norepineprin, dopamine
respon neurotransmiter tersebut ke sistem limbik (hipotalamus, amigdala, dan
hipokampus) terganggu gejala episode manik euforia dan perubahan prilaku
(keluyuran, tidak mau tidur)
KELUYURAN
Keluyuran dalam hal ini berkaitan dengan hiperaktivitas pada episode manik. Hal
ini dikarenakan aktivitas dopamine meningkat pada mania. Sedangkan perubahan
kadar serotonin diduga mengacaukan menyebabkan instabilitas system katekolamin,
sehingga memicu episode mania pada gangguan bipolar. Dikatakan bahwa deficit
asetil kolin menyebabkan munculnya mania sehingga keluhan gejala pada kasus ini
timbul.
TIDAK MAU TIDUR
Masalah tidur-insomnia inisial dan terminal, sering terbangun, hipersomniaadalah gejala yang lazim dan klasik pada depresi, dan penurunan kebutuhan untuk
tidur merupakan gejala klasik mania. Para peneliti telah lama mengenali bahwa
elektroensefalogram tidur (EEG) pada banyak orang dengan depresi menunjukkan
kelainan. Kelainan yang lazim adalah awitan tidur yang tertunda, pemendekan latensi

rapid eye movement (REM) (waktu antara jatuh tertidur dan periode REM pertama),
peningkatan lama periode REM pertama, serta tidur delta abnormal.
3. 1 tahun yang lalu ia mengeluh selalu mendengar suara seperti ada orang yang mengobrol
dan kadang menyalahkan dirinya, serta adanya keyakinan yang kuat bahwa dirinya
banyak kesalahan dan dosa. Ia mulai mengisolasi diri dan kurang berinteraksi.
Kemudian kemunduran makin hebat, kurang bisa mengurus diri, tak dapat mengerjakan
pekerjaan sehari-hari, bicara terbatas ucapan sepata dua patah, tetapi bisa dapat
dimengerti.
Selama setahun terakhir ini pasien masih cenderung normal selama beberapa bulan.
Menurut keluarga ada stressor yang memicu perubahan perilaku ini, yaitu masalah
dengan keluarga suami.
a. bagaimana hubungan stressor terhadap gejala?
Stres merupakan peristiwa kehidupan yang dapat memicu gangguan bipolar pada
seseorang dengan kerentanan genetik. Pada kasus Ny. ATW memiliki riwayat
gangguan afektif dalam keluarga maka dengan adanya stressor berupa masalah
dengan keluarga suami akan memicu terjadinya gangguan bipolar.
b. Apa makna klinis pasien masih cenderung normal selama beberapa
bulan(dalam tahu terakhir)?
Pada gangguan bipolar terdapat 2 kutub yaitu, pertama mania atau depresi dan
kemudian pada saat berikutnya terjadi hal yang sebaliknya. Periode diantara kedua
kutub itu cenderung normal, yang merupakan karakteristik dari penyakit bipolar
tersebut.

4. Pada autoanamnesis pasien terlihat diam dan tak banyak gerak, kadang menangis dan
sulit untuk menjawab pertanyaan. Jawaban hanya sepatah duakata saja, kadang menolak
untuk bicara sama sekali. Tanda-tanda autism jelas ada.
5. Informasi tambahan
Terdapat riwayat perkawinan yang baik, ada riwayat gangguan afektif dalam keluarga
dan premorbib mengarah kesuatu gangguan kepribadian dengan ciri pasif, sering merasa
bersalah, sangat tergantung dengan orang lain, merasa tak berdaya bila sendirian dan
kondisi ini sudah berdampak negative, ada stressor dalam satu tahun terakhir terkait
masalah keluarga yaitu bentrok dengan keluarga suami.
a. apa hubungan gangguan kepribadian premorbid dengan kasus dan prognosis?
Orang dengan kepribadian emosional tidak stabil hampir selalu berada dalam keadaan
krisis. Suasana hati yang mudah berubah umum terjadi. Pasien dapat menjadi
argumentatif pada satu saat, depresif berikutnya, dan kemudian mengeluh tidak
memiliki perasaan.
Orang dengan kepribadian emosional tidak stabil biasanya bergantung dengan orang
lain. Karena merasa baik bergantung dan bermusuhan, orang dengan gangguan ini
memiliki hubungan interpersonal yang penuh gejolak. Mereka dapat bergantung pada
orang-orang dengan siapa mereka dekat dan, jika mersa frustasi, bias mengungkapkan

kemarahan besar terhadap teman intim mereka. Pasien dengan emosional tidak stabil
tidak bias mentolerir sendirian, dan mereka lebih suka mencari persahabatan secara
terburu-buru, tidak peduli seberapa memuaskan, untuk menemani mereka.
Kepribadian yang tidak stabil memicu Ny. ATW bentrok dengan keluarga suami.
Berikut cirri-ciri kepribadian tidak stabil
1. Upaya penuh keglisahan untuk menghindari keadaan ditinggalkan yang nyata
maupun hanya dibayangkan
2. Pola hubungan interpersonal yang erat namun tidak stabil
3. Gangguan identitas : citra diri yang secara nyata dan terus menerus
4. Impulsive setidaknya dua wilayah yang berpotensi merusak diri (misalnya,
pengeluaran, seks, penyalahgunaan zat, mengemudi sembrono, makan pesta).
5. Prilaku bunuh diri berulang dsb.
6. GAF scale sekitar 40-31/saat pemeriksaan (saat ada upaya bunuh diri GAF scale menurun
sampai 10-0). Terdapat waham mengarah merasa bersalah dan berdosa. Pemeriksaan
spesifik tak ada.
a. Bagaimana interpretasi dari GAF Scale?
Nilai normal: 91 100 berfungsi Unggul dalam berbagai kegiatan, masalah hidup
sepertinya tidak pernah keluar dari tangan, dicari oleh orang lain karena-nya atau
banyak kualitas nya positif. Tidak ada gejala.
Interpretasi:
Kerusakan beberapa fungsi dalam pengujian realitas atau komunikasi (misalnya,
bicara pada waktu yang tidak logis, jelas, atau tidak relevan) ATAU penurunan besar
di beberapa daerah, seperti pekerjaan atau sekolah, hubungan keluarga, penilaian,
berpikir, atau suasana hati (misalnya, depresi menghindari teman pria, mengabaikan
keluarga, dan tidak mampu bekerja; anak sering memukuli anak-anak muda, adalah
pemberontak di rumah, dan gagal di sekolah).
Aksis V: Penilaian fungsi secara global
Penilaian Fungsi Secara Global (Global Assesment of Functioning = GAF Scale)
100-91 gejala tidak ada, fungsi max, tidak ada masalah yang tidak tertanggulangi
90-81 gejala min, fungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalh harian biasa

80-71 gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam social
70-61 beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara
umum baik
60-51 gejala dan disabilitas sedang
50-41 gejala dan disabilitas berat
40-31 beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita dan komunikasi,
disabilitas berat dalam beberapa fungsi
30-21 disabilitas berat dalam komunikasi dan daya nilai, tidak mampu berfungsi
dalam hampir semua bidang
20-11 bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam
komunikasi dan mengurus diri
10-01 persisten dan lebih serius
0

informasi tidak adekuat

7. Kesimpulan Pemeriksaan Psikiatrik:


Ditemukan adanya bayak psikopatologi antar lain adanya discriminative insight yang
sangat terganggu, jelas terdapat gangguan asosiasi berupa hemmung sperrung, dan ada
autism serta depresi taraf berat, dengan demikian konklusinya adalah RTA sangat
terganggu.
a. Bagaimana klasifikasi depresi?
Menurut DSM IV Gangguan depresi terbagi dalam 3 kategori (Wenar & Kerig, 2000),
yaitu:
1. Gangguan depresi berat (Mayor depressive disorder). Mensyaratkan kehadiran 5
atau lebih simptom depresi menurut kriteria DSM-IV selama 2 minggu. Kriteria
terebut adalah:
a. Suasana perasaan depresif hampir sepanjang hari yang diakui sendiri oleh
subjek ataupun observasi orang lain. Pada anak-anak dan remaja perilaku
yang biasa muncul adalah mudah terpancing amarahnya.
b. Kehilangan interes atau perasaan senang yang sangat signifikan dalam
menjalani sebagian besar aktivitas sehari-hari.
c. Berat badan turun secara siginifkan tanpa ada progran diet atau justru ada
kenaikan berat badan yang drastis.

d. Insomnia atau hipersomnia berkelanjutan.


e. Agitasi atau retadasi psikomotorik.
f. Letih atau kehilangan energi.
g. Perasaan tak berharga atau perasaan bersalah yang eksesif.
h. Kemampuan berpikir atau konsentrasi yang menurun.
i. Pikiran-pikiran mengenai mati, bunuh diri, atau usaha bunuh diri yang
muncul berulang kali.
j. Distres dan hendaya yang signifikan secara klinis.
k. Tidak berhubugan dengan belasungkawa karena kehilangan seseorang.
2. Gangguan distimik (Dysthymic disorder) Suatu bentuk depresi yang lebih kronis
tanpa ada bukti suatu episode depresi berat. Dahulu disebut depresi neurosis.
Kriteria DSM-IV untuk gangguan distimik:
a. Perasaan depresi seama beberapa hari, paling sedikit selama 2 tahun (atau
1 tahun pada anak-anak dan remaja)
b. Selama depresi, paling tidak ada dua hal berikut yang hadir: tidak nafsu
makan atau makan berlebihan, insomnia atau hipersomnia, lemah atau
keletihan, self esteem rendah, daya konsentrasi rendah, atau sulit membuat
keputusan, perasaan putus asa.
c. Selama 2 tahun atau lebih mengalami gangguan, orang itu tanpa gejalagejala selama 2 bulan.
d. Tidak ada episode manik yang terjadi dan kriteria gangguan siklotimia
tidak ditemukan.
e. Gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh efek psikologis langsung darib
kondisi obat atau medis.
f. Signifikansi klinis distress (hendaya) atau ketidaksempurnaan dalam
fungsi.
3. Gangguan afektif bipolar atau siklotimik (Bipolar affective illness or cyclothymic
disorder). Kriteria menurut DSM-IV:
a. Kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) sebuah sebuah
episode depresi berat atau lebih.

b. Kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) paling tidak satu


episode hipomania.
c. Tidak ada riwayat episode manik penuh atau episode campuran.
d. Gejala-gejala suasan perasaan bukan karena skizofrenia atau menjadi
gejala yang menutupi gangguan lain seprti skizofrenia.
e. Gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh efek-efek fisiologis dari substansi
tertentu atau kondisi medis secara umum.
f. Distres atau hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis.
Menurut PPDGJ klasifikasi depresi adalah sebagai berikut:
1. Episode depresif ringan

Minimal harus ada dua dari tiga gejala utama depresi seperti kriteria
PPDGJ

Ditambah sekurang- kurangnya dua gejala sampingan (yang tidak boleh


ada gejala berat diantaranya)

Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2


minggu

Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.

2. Episode depresif sedang

Minimal harus ada dua dari 3 gejala utama

Ditambah sekurang- kurangnya 3 (dan sebaiknya empat) dari gejala


lainnya

Seluruh episode berlangsung minimal 2 minggu

Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan


dan urusan rumah tangga.

Tanpa gejala somatik atau dengan gejala somatik.

3. Episode depresif berat tanpa gejala psikotik

Semua gejala utama harus ada

ditambah minimal 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus


berintensitas berat

episode depresi terjadi minimal 2 minggu, namun dibenarkan dalam


kurung waktu yang lebih singkat apabila gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.

Sangat tidak mungkin pasien untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan,


atau urusan rumah tangga kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

4. Episode depresif berat dengan gejala psikotik

memenuhi seluruh kriteria episode depresif berat tanpa gejala psikotik

disertai waham, halusinasi, atau stupor depresif

8. Aspek klinis
a. Diagnosis kerja
Gangguan afektif bipolar episode kini depresi dengan gejala psikotik
b. Etiologi
Dalam usaha memahami etiologi gangguan bipolar, para peneliti terus melakukan
penelitian untuk mencari hubungan antara manifestasi penyakit yang sangat kompleks
dengan dasar biologinya. Gangguan bipolar dihubungkan dengan berbagai gangguan
otak seperti gangguan struktur, fungsi, kimia, neurokimia, neuroendokrin, dan
transduksi sinyal otak.9 Stres yang terjadi dalam peristiwa kehidupan sering
mengawali terjadinya episode pertama gangguan mood. Peristiwa-peristiwa seperti
itu dapat menyebabkan perubahan neuronal permanen yang menjadi predisposisi pada
seseorang bagi terjadinya rentetan episode gangguan mood.
c. Epidemiologi
Gangguan bipolar merupakan gangguan jiwa berat yang prevalensinya cukup
tinggi. Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa risiko untuk terjadinya
gangguan bipolar sepanjang kehidupan adalah sekitar 1-2%. Studi Epidemiologic
Catchment Area (ECA) menemukan bahwa prevalensi sekali seumur hidup gangguan
bipolar adalah antara 0,6%-1,1% (antara 0,8%-1,1% pada pria dan 0,5%-1,3% pada
wanita). Studi-studi yang dilakukan di Eropa menunjukkan bahwa angka prevalensi

gangguan bipolar mungkin mencapai 5%. Angka prevalensi dari keseluruhan


spektrum gangguan bipolar pada seumur hidup adalah 2,6- 7,8%.

Walaupun dalam buku-buku teks tradisional disebutkan bahwa gangguan bipolar


memiliki awitan pada usia yang relatif tua, namun buktibukti pada saat sekarang
menunjukkan puncak terjadinya gangguan bipolar adalah pada usia 20 hingga 25
tahun. Beberapa survei menunjukkan gejala-gejala premorbid bahkan bisa dimulai
lebih awal, pada masa remaja. Jarang awitan di atas usia 60 tahun.
Berbeda dengan depresi unipolar, gangguan bipolar terjadi pada laki-laki dan
perempuan dengan prevalensi yang seimbang, kira-kira 1:1 (tidak seperti depresi, di
mana kejadian pada perempuan diperkirakan dua kali lebih sering dibandingkan lakilaki).
Gangguan depresif mayor dan gangguan bipolar frekuensinya lebih tinggi pada
kejadian perceraian, perpisahan dan pada janda.
d. Patofisiologi

Gangguan kepribadiaan emosional tak stabil (faktor kepribadian) + gangguan afektif


dalam keluarga (genetik) + masalah dengan adik kandung (stressor) Neuroanatomi
& Neurotransmitter berlebihan gangguan afektif bipolar dengan gejala psikotik
terbagi menjadi 3 stadium ( 2 tahun yg lalu (depresif), 1,5 tahun yang lalu (normal), 1
tahun yang lalu (manik) RTA terganggu dan GAF scale 40-31 (bicara banyak tapi
tidak berhubungan) gangguan afektif bipolar episode manik dengan gejala psikotik.

e. Manifestasi klinis
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV, gangguan bipolar
dibedakan menjadi 2 yaitu gangguan bipolar I dan II. Perbedaannya adalah pada
gangguan bipolar I memiliki episode manik sedangkan pada gangguan bipolar II
mempunyai episode hipomanik. Beberapa ahli menambahkan adanya bipolar III dan
bipolar IV namun sementara ini yang 2 terakhir belum dijelaskan.
Gangguan bipolar I dibagi lagi menjadi beberapa bagian menurut perjalanan
longitudinal gangguannya. Namun hal yang pokok adalah paling tidak terdapat 1
episode manik di sana. Walaupun hanya terdapat 1 episode manik tanpa episode
depresi lengkap maka tetap dikatakan gangguan bipolar I. Adapun episode-episode
yang lain dapat berupa episode depresi lengkap maupun episode campuran, dan
episode tersebut bisa mendahului ataupun didahului oleh episode manik.
Gangguan bipolar II mempunyai ciri adanya episode hipomanik. Gangguan
bipolar II dibagi menjadi 2 yaitu tipe hipomanik, bila sebelumnya didahului oleh
episode depresi mayor dan disebut tipe depresi bila sebelum episode depresi tersebut
didahului oleh episode hipomanik.
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III,
gangguan ini bersifat episode berulang yang menunjukkan suasana perasaan pasien
dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, dan gangguan ini pada waktu tertentu terdiri
dari peninggian suasana perasaan serta peningkatan energi dan aktivitas (mania atau
hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan suasana perasaan serta
pengurangan energi dan aktivitas (depresi). Yang khas adalah terdapat penyembuhan
sempurna antar episode. Episode manik biasanya mulai dengan tiba-tiba dan

berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan, sedangkan depresi cenderung


berlangsung lebih lama.
Episode pertama bisa timbul pada setiap usia dari masa kanak-kanak sampai tua.
Kebanyakan kasus terjadi pada dewasa muda berusia 20-30 tahun. Semakin dini
seseorang menderita bipolar maka risiko penyakit akan lebih berat, kronik bahkan
refrakter.
Episode manik dibagi menjadi 3 menurut derajat keparahannya yaitu hipomanik,
manik tanpa gejala psikotik, dan manik dengan gejala psikotik. Hipomanik dapat
diidentikkan dengan seorang perempuan yang sedang dalam masa ovulasi (estrus)
atau seorang laki-laki yang dimabuk cinta. Perasaan senang, sangat bersemangat
untuk beraktivitas, dan dorongan seksual yang meningkat adalah beberapa contoh
gejala hipomanik. Derajat hipomanik lebih ringan daripada manik karena gejalagejala tersebut tidak mengakibatkan disfungsi sosial.
Pada manik, gejala-gejalanya sudah cukup berat hingga mengacaukan hampir
seluruh pekerjaan dan aktivitas sosial. Harga diri membumbung tinggi dan terlalu
optimis. Perasaan mudah tersinggung dan curiga lebih banyak daripada elasi. Tanda
manik lainnya dapat berupa hiperaktifitas motorik berupa kerja yang tak kenal lelah
melebihi batas wajar dan cenderung non-produktif, euphoria hingga logorrhea
(banyak berbicara, dari yang isi bicara wajar hingga menceracau dengan 'word salad'),
dan biasanya disertai dengan waham kebesaran, waham kebesaran ini bisa sistematik
dalam artian berperilaku sesuai wahamnya, atau tidak sistematik, berperilaku tidak
sesuai dengan wahamnya. Bila gejala tersebut sudah berkembang menjadi waham
maka diagnosis mania dengan gejala psikotik perlu ditegakkan.
f. Tatalaksana dan follow up
Penatalaksanaan

a. Farmakoterapi
Fluoxetin (prozac) telah digunakan dengan suatu keberhasilan pada remaja
dengan gangguan depresif barat. Karena beberapa anak dan remaja yang menderita
depresif akan mengalami gangguan bipolar, klinisi harus mencatat gejala hipomanik
yang mungkin terjadi selama pemakaian fluoxetin dan anti depresan lain. Pada kasus
tersebut medikasi harus dihentikan untuk menentukan apakah episode hipomanik
selanjutnya menghilang. Tetapi, respon hipomanik terhadap antidepresan tidak selalu
meramalkan bahwa gangguan bipolar telah terjadi.8 Gangguan bipolar pada masa
anak-anak dan remaja adalah diobati dengan lithium (Eskalith) dengan hasil yang
baik. Tetapi, anak-anak yang memiliki gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas) dan

selanjutnya mengalami gangguan bipolar pada awal masa remaja adalah lebih kecil
kemungkinannya untuk berespon baik terhadap lithium dibandingkan mereka yang
tanpa gangguan perilaku.
Pasien dengan gangguan bipolar membutuhkan dorongan untuk mencari dan
mempertahankan pengobatan dan tindak lanjutnya dengan segala keterbatasannya
lithium merupakan pengobatan untuk gangguan bipolar yang telah lama digunakan
meskipun banyak obat-obat generasi baru yang ditemukan, namun efektifitas
pencegahan bunuh diri masih belum jelas.
Garam Lithium (carbonate) merupakan antidepresan yang dianjurkan untuk
gangguan depresi bipolar (terdapatnya episode depresi dan mania) dan penderita
gangguan depresi. Lithium tidak bersifat sedative, depresan ataupun eforian, inilah
yang membedakannya dari antidepresan lain.
Mekanis aksi lithium mengendalikan alam perasaan belum diketahui, diduga
akibat efeknya sebagai membrana biologi. Sifat khas ion lithium dengan ukuran yang
amat kecil tersebar melalui membrana biologik, berbeda dari ion Na dan K. Ion
lithium menggantikan ion Na mendukung aksi potensial tunggal di sel saraf dan
melestarikan membrana potensial itu. Masih belum jelas betul makna interaksi antara
lithium (dengan konsentrasi 1 mEq per liter) dan transportasi monovalent atau
divalent kation oleh sel saraf.2 Aksi lithium disusunan saraf pusat dispekulasikan
merobah distribusi ion didalamsel susunan saraf pusat, perhatian terpusat pada efek
konsentrasi ionnya yang rendah dalam metabolisme biogenik amin yang berperanan
utama dalam patofisiologi gangguan alam perasaan.
Sudah lebih dari 50 tahun lithium digunakan sebagai terapi gangguan bipolar.
Keefektivitasannya telah terbukti dalam mengobati 60-80% pasien. Pamornya
semakin berkibar karena dapat menekan ongkos perawatan dan angka kematian akibat
bunuh diri.
Tapi bukan berarti lithium tanpa cela. Terdapat orang-orang yang kurang memberi
respon terhadap lithium di antaranya penderita dengan riwayat cedera kepala, mania
derajat berat (dengan gejala psikotik), dan yang disertai dengan komorbid. Bila
penggunaanya dihentikan tiba-tiba, penderita cepat mengalami relaps. Selain itu,
indeks terapinya sempit dan perlu monitor ketat kadar lithium dalam darah. Gangguan

ginjal menjadi kontraindikasi penggunaan lithium karena akan menghambat proses


eliminasi sehingga menghasilkan kadar toksik. Di samping itu, pernah juga
dilaporkan lithium dapat merusak ginjal bila digunakan dalam jangka lama. Karena
keterbatasan itulah, penggunaan lithium mulai ditinggalkan.2 Antipsikotik mulai
digunakan sebagai antimanik sejak tahun 1950.
Antipsikotik lebih baik daripada lithium pada penderita bipolar dengan agitasi
psikomotor. Perhatian ekstra harus dilakukan bila hendak merencanakan pemberian
antipsikotik jangka panjang terutama generasi pertama (golongan tipikal) sebab dapat
menimbulkan beberapa efek samping seperti ekstrapiramidal, neuroleptic malignant
syndrome, dan tardive dyskinesia.
Valproat menjadi pilihan ketika penderita bipolar tidak memberi respon terhadap
lithium. Bahkan valproat mulai menggeser dominasi lithium sebagai regimen lini
pertama. Salah satu kelebihan valproat adalah memberikan respon yang baik pada
kelompok rapid cycler. Penderita bipolar digolongkan rapid cycler bila dalam 1 tahun
mengalami 4 atau lebih episode manik atau depresi. Efek terapeutik tercapai pada
kadar optimal dalam darah yaitu 60-90 mg/L. Efek samping dapat timbul ketika kadar
melebihi 125 mg/L, di antaranya mual, berat badan meningkat, gangguan fungsi hati,
tremor, sedasi, dan rambut rontok. Dosis akselerasi valproat yang dianjurkan adalah
loading dose 30 mg/kg pada 2 hari pertama dilanjutkan dengan 20 mg/kg pada 7 hari
selanjutnya. Pencarian obat alternatif terus diupayakan. Salah satunya adalah
lamotrigine.
Lamotrigine merupakan antikonvulsan yang digunakan untuk mengobati epilepsi.
Beberapa studi acak, buta ganda telah menyimpulkan, lamotrigine efektif sebagai
terapi akut pada gangguan bipolar episode kini depresi dan kelompok rapid cycler.
Sayangnya, lamotrigine kurang baik pada episode manik.

1) Litium
Indikasi:
Episode mania akut, depresi, mencegah bunuh diri, dan bermanfaat sebagai
terapi rumatan GB.
Dosis:
Respons litium terhadap mania akut dapat dimaksimalkan dengan menitrasi
dosis hingga mencapai dosis terapeutik yang berkisar antara 1,0-1,4 mEq/L.
Perbaikan terjadi dalam 7-14 hari.Dosis awal yaitu 20 mg/kg/hari. Dosis untuk
mengatasi keadaan akut lebih tinggi bila dibandingkan dengan untuk terapi
rumatan. Untuk terapi rumatan, dosis berkisar antara 0,4-0,8 mEql/L. Dosis
kecil dari 0,4 mEq/L, tidak efektif sebagai terapi rumatan. Sebaliknya, gejala
toksisitas litium dapat terjadi bila dosis 1,5 mEq/L.
2) Valproat.
Dosis:
Dosis terapeutik untuk mania dicapai bila konsentrasi valproat dalam serum
berkisar antara 45 -125 ug/mL. Untuk GB II dan siklotimia diperlukan
divalproat dengan konsentrasi plasma 50 ug/mL. Dosis awal untuk mania
dimulai dengan 15-20 mg/kg/hari atau 250 500 mg/hari dan dinaikkan
setiap 3 hari hingga mencapai konsentrasi serum 45- 125 ug/mL. Efek

samping, misalnya sedasi, peningkatan nafsu makan, dan penurunan leukosit


serta trombosit dapat terjadi bila konsentrasi serum 100 ug/mL. Untuk terapi
rumatan, konsentrasi valproat dalam plasma yang dianjurkan adalah antara 75100 ug/mL.
Indikasi:
Valproat efektif untuk mania akut, campuran akut, depresi mayor akut, terapi
rumatan GB, mania sekunder, GB yang tidak berespons dengan litium, siklus
cepat, GB pada anak dan remaja, serta GB pada lanjut usia.
3) Lamotrigin
Indikasi:
Efektif untuk mengobati episode depresi, GB I dan GB II, baik akut maupun
rumatan. Lamotrigin juga efektif untuk GB, siklus cepat.
Dosis:
Berkisar antara 50-200 mg/hari.
Antipsikotika Atipik
1) Risperidon
Dosis:
Untuk preparat oral, risperidon tersedia dalam dua bentuk sediaan yaitu tablet
dan cairan. Dosis awal yang dianjurkan adalah 2 mg/hari dan besoknya dapat
dinaikkan hingga mencapai dosis 4 mg/hari. Sebagian besar pasien
membutuhkan 4-6 mg/hari. Risperidon injeksi jangka panjang (RIJP) dapat
pula digunakan untuk terapi rumatan GB. Dosis yang dianjurkan untuk orang
dewasa atau orang tua adalah 25 mg setiap dua minggu. Bila tidak berespons
dengan 25 mg, dosis dapat dinaikkan menjadi 37,5 mg - 50 mg per dua
minggu.
Indikasi:
Risperidon bermanfaat pada mania akut dan efektif pula untuk terapi rumatan
2) Olanzapin
Indikasi:
Olanzapin mendapat persetujuan dari FDA untuk bipolar episode akut mania
dan campuran. Selain itu, olanzapin juga efektif untuk terapi rumatan GB.

Dosis:
Kisaran dosis olanzapin adalah antara 5-30 mg/hari.
3) Quetiapin.
Dosis:
Kisaran dosis pada gangguan bipolar dewasa yaitu 200-800 mg/hari. Tersedia
dalam bentuk tablet IR (immediate release) dengan dosis 25 mg, 100 mg, 200
mg, dan 300 mg, dengan pemberian dua kali per hari. Selain itu, juga tersedia
quetiapin-XR dengan dosis 300 mg, satu kali per hari.
Indikasi:
Quetiapin efektif untuk GB I dan II, episdoe manik, depresi, campuran, siklus
cepat, baik dalam keadaan akut maupun rumatan.
4) Aripiprazol
Dosis:
Aripiprazol tersedia dalam bentuk tablet 5,10,15,20, dan 30 mg. Kisaran dosis
efektifnya per hari yaitu antara 10-30 mg. Dosis awal yang direkomendasikan
yaitu antara 10 - 15 mg dan diberikan sekali sehari. Apabila ada rasa mual,
insomnia, dan akatisia, dianjurkan untuk menurunkan dosis. Beberapa
klinikus mengatakan bahwa dosis awal 5 mg dapat meningkatkan tolerabilitas.
Indikasi:
Aripiprazol efektif pada GB, episode mania dan episode campuran akut. Ia
juga efektif untuk terapi rumatan GB. Aripiprazol juga efektif sebagai terapi
tambahan pada GB I, episode depresi.
Antidepresan
Antidepresan efektif untuk mengobati GB, episode depresi. Penggunaannya
harus dalam jangka pendek. Penggunaan jangka panjang berpotensi meginduksi
hipomania atau mania. Untuk menghindari terjadinya hipomania dan mania,
antidepresan hendaklah dikombinasi dengan stabilisator mood atau dengan
antipsikotika atipik
Intervensi Psikososial
Intervensi psikososial meliputi berbagai pendekatan misalnya, cognitive
behavioral therapy (CBT), terapi keluarga, terapi interpersonal, terapi kelompok,

psikoedukasi, dan berbagai bentuk terapi psikologi atau psikososial lainnya.


Intervensi psiksosial sangat perlu untuk mempertahankan keadaan remisi.
b. Psikoterapi
Sedikit data yang menguatkan keunggulan salah satu pendekatan psikoterapi
dibandingkan yang lain dalam terapi gangguan mood masa anak-anak dan remaja. Tetapi,
terapi keluarga adalah diperlukan untuk mengajarkan keluarga tentang gangguan mood
serius yang dapat terjadi pada anak-anak saat terjadinya stres keluarga yang berat.
Pendekatan psikoterapetik bagi anak terdepresi adalah pendekatan kognitif dan
pendekatan yang lebih terarah dan lebih terstruktur dibandingkan yang biasanya
digunakan pada orang dewasa. Karena fungsi psikososial anak yang terdepresi mungkin
tetap terganggu untuk periode yang lama, walaupun setelah episode depresif telah
menghilang, intervensi keterampilan sosial jangka panjang adalah diperlukan. Pada
beberapa program terapi, modeling dan permainan peran dapat membantu menegakkan
keterampilan memecahkan masalah yang baik. Psikoterapi adalah pilihan utama dalam
pengobatan depresi.
g. Skdi
3A
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan (psikiater) yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.

DAFTAR PUSTAKA
Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III
dan DSM -5. Jakarta: PT. Nuh Jaya
Saddock, Benjamin & Virginia Saddock. 2004. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi Kedua.
Jakarta:EGC
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 1. Penerbit Media Aesculapsius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2008. Hal 913-915.

Você também pode gostar