Oleh: Ayu Nugraini Soekoer (1206206751) Ilmu Ekonomi, FEUI
2012 Di regional Asia Pasifik, dewasa ini negara-negara ASEAN sedang berada di tengah-tengah dua perundingan perdagangan multilateral, di antaranya yaitu Trans Pacific Partnership (TPP) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). TPP merupakan sebuah perjanjian perdagangan abad 21 yang ambisius dan berstandar tinggi, yang dimotori oleh Amerika Serikat, dan melibatkan 11 negara lain dari regional Asia Pasifik. Hanya 4 negara ASEAN yang menjadi anggota di TPP, di antaranya adalah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Sementara negara lain yang juga terlibat yaitu Amerika Serikat, Peru, Meksiko, Chili, Australia, Selandia Baru, dan Jepang. Di samping itu, RCEP merupakan prakarsa penghubungan seluruh 10 negara di ASEAN dan 6 negara industri maju lainnya (Australia, Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan dan Selandia Baru) yang bertujuan untuk menyelaraskan berbagai standar, komitmen, dan syarat-syarat perdagangan yang berbeda di setiap Free Trade Agreement yang dibuat ASEAN dengan masing-masing negara tersebut. Pada RCEP ini ASEAN cenderung memimpin karena RCEP merupakan kombinasi dari dua proposal Free Trade Agreement yaitu East Asia Free Trade Area (yang dipimpin Tiongkok) dan Comprehensive Economic Partnership in East Asia (yang dipimpin Jepang). Kehadiran RCEP di tingkat global ini disinyalir menjadi rival bagi negosiasi TPP. Terendus persoalan geopolitik karena tiga negara
besar, yaitu Tiongkok, India, dan Indonesia tidak diikut sertakan
dalam keanggotaan TPP. Meruak isu bahwa TPP digunakan sebagai strategi Amerika Serikat mengimbangi geliat sang naga China untuk mempengaruhi ekonomi Asia. Sebaliknya ada juga isu yang mengatakan bahwa RCEP dianggap sebagai upaya tandingan Tiongkok terhadap Amerika Serikat untuk lebih berpengaruh dalam membuat kesepakatan perdagangan bebas dengan ASEAN. Namun isu-isu ini tentunya harus ditangani hatihati agar tidak memunculkan persoalan baru. Jika kita buat komparasi antara TPP dan RCEP, TPP lebih terfokus pada liberalisasi investasi, perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dan juga Liberaliasasi Pertanian dan Keuangan, sementara RCEP tidak seambisius TPP, karena hanya menekankan pada perdagangan produk, kemungkinan penurunan bea-masuk, serta komitmen terhadap harmonisasi aturan-aturan perdagangan bebas. Secara geografis lingkup RCEP lebih terbatas daripada TPP serta tidak menyentuh isu sensitif HKI dan Pertanian. Dalam hal ini Tim ASEAN Research Centre melihat RCEP lebih realistis untuk dijalankan. Di lain hal, TPP mulai memperlihatkan keuntungan dimana akhirnya Jepang memutuskan untuk bergabung dan Korea Selatan juga sudah menyatakan minatnya. Namun keuntungan tersebut juga dinilai masih tidak pasti. Buktinya muncul keluhan dari negara ASEAN peserta TPP, salah satunya Malaysia, yang mengaku tidak mendapatkan manfaat dari perundingan ini. Sehingga dalam hal ini pola yang terbaca adalah RCEP akan menempatkan ASEAN sebagai pusat kesepakatan dagang, sementara TPP cenderung meninggalkan ASEAN sebagai pusat perjanjian. Sejauh ini Indonesia belum memutuskan untuk bergabung dalam TPP. Mantan Menteri Perdagangan Indonesia, Gita Wirjawan, mengatakan bahwa pola kerja sama TPP belum menjadi prioritas
bagi Indonesia (Republika.co.id, 2013). Observasi dan pengkajian
masih terus dilakukan untuk mengetahui apakah TPP akan membawa keuntungan bagi negara kita. Meskipun faktanya banyak lobi dari Amerika Serikat dan negara anggota TPP lain yang kerap berusaha membujuk Indonesia untuk turut tergabung dalam keanggotaan TPP, misalnya saat dilangsungkannya pertemuan antara mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dengan Evan Greenberg, Kepala Dewan Bisnis Amerika Serikat-ASEAN pada Juli 2012 lalu dan juga ajakan blak-blakan di depan umum oleh Presiden Chili, Sebastian Pinera, di samping Mantan Menteri Keuangan RI, Chatib Basri, yang sedang turut menjadi pembicara dalam dialog APEC CEO Summit 2013 lalu (Jurnas.com, 2013). Pada KTT APEC 2014 yang diselenggarakan di Beijing, Presiden RI, Joko Widodo, menegaskan bahwa Indonesia tidak mau sekedar menjadi pasar bagi tarik-menarik kepentingan ekonomi negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok dalam integrasi ekonomi regional. Beliau tidak menghendaki apabila Indonesia diminta untuk membuka pasar untuk dibanjiri produk-produk asing, sementara produk-produk domestik yang banyak dihasilkan rakyat sulit masuk ke pasar negara-negara besar tersebut (Bisnis.com, 2014). Dengan diapit dua perundingan multilateral ini, seolah-olah kawasan ASEAN layaknya primadona yang sedang diperebutkan antara Amerika Serikat dengan Tiongkok. Terlihat bahwa sepertinya ASEAN semakin menggiurkan bagi para mitra dagang untuk meningkatkan aktivitas perdagangannya. Dengan daya tarik ASEAN yang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin ASEAN dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dun