Você está na página 1de 3

ASEAN Bak Primadona : Antara TPP

dan RCEP
10 DESEMBER 2014 ~ AYUNUGRAINI

Oleh: Ayu Nugraini Soekoer (1206206751) Ilmu Ekonomi, FEUI


2012
Di regional Asia Pasifik, dewasa ini negara-negara ASEAN sedang
berada di tengah-tengah dua perundingan perdagangan
multilateral, di antaranya yaitu Trans Pacific Partnership (TPP) dan
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
TPP merupakan sebuah perjanjian perdagangan abad 21 yang
ambisius dan berstandar tinggi, yang dimotori oleh Amerika
Serikat, dan melibatkan 11 negara lain dari regional Asia Pasifik.
Hanya 4 negara ASEAN yang menjadi anggota di TPP, di
antaranya adalah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan
Vietnam. Sementara negara lain yang juga terlibat yaitu Amerika
Serikat, Peru, Meksiko, Chili, Australia, Selandia Baru, dan Jepang.
Di samping itu, RCEP merupakan prakarsa penghubungan seluruh
10 negara di ASEAN dan 6 negara industri maju lainnya (Australia,
Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan dan Selandia Baru) yang
bertujuan untuk menyelaraskan berbagai standar, komitmen, dan
syarat-syarat perdagangan yang berbeda di setiap Free Trade
Agreement yang dibuat ASEAN dengan masing-masing negara
tersebut. Pada RCEP ini ASEAN cenderung memimpin karena RCEP
merupakan kombinasi dari dua proposal Free Trade Agreement
yaitu East Asia Free Trade Area (yang dipimpin Tiongkok) dan
Comprehensive Economic Partnership in East Asia (yang dipimpin
Jepang).
Kehadiran RCEP di tingkat global ini disinyalir menjadi rival bagi
negosiasi TPP. Terendus persoalan geopolitik karena tiga negara

besar, yaitu Tiongkok, India, dan Indonesia tidak diikut sertakan


dalam keanggotaan TPP. Meruak isu bahwa TPP digunakan
sebagai strategi Amerika Serikat mengimbangi geliat sang naga
China untuk mempengaruhi ekonomi Asia. Sebaliknya ada juga
isu yang mengatakan bahwa RCEP dianggap sebagai upaya
tandingan Tiongkok terhadap Amerika Serikat untuk lebih
berpengaruh dalam membuat kesepakatan perdagangan bebas
dengan ASEAN. Namun isu-isu ini tentunya harus ditangani hatihati agar tidak memunculkan persoalan baru.
Jika kita buat komparasi antara TPP dan RCEP, TPP lebih terfokus
pada liberalisasi investasi, perlindungan Hak Kekayaan Intelektual
(HKI), dan juga Liberaliasasi Pertanian dan Keuangan, sementara
RCEP tidak seambisius TPP, karena hanya menekankan pada
perdagangan produk, kemungkinan penurunan bea-masuk, serta
komitmen terhadap harmonisasi aturan-aturan perdagangan
bebas. Secara geografis lingkup RCEP lebih terbatas daripada TPP
serta tidak menyentuh isu sensitif HKI dan Pertanian. Dalam hal
ini Tim ASEAN Research Centre melihat RCEP lebih realistis untuk
dijalankan.
Di lain hal, TPP mulai memperlihatkan keuntungan dimana
akhirnya Jepang memutuskan untuk bergabung dan Korea Selatan
juga sudah menyatakan minatnya. Namun keuntungan tersebut
juga dinilai masih tidak pasti. Buktinya muncul keluhan dari
negara ASEAN peserta TPP, salah satunya Malaysia, yang
mengaku tidak mendapatkan manfaat dari perundingan ini.
Sehingga dalam hal ini pola yang terbaca adalah RCEP akan
menempatkan ASEAN sebagai pusat kesepakatan dagang,
sementara TPP cenderung meninggalkan ASEAN sebagai pusat
perjanjian.
Sejauh ini Indonesia belum memutuskan untuk bergabung dalam
TPP. Mantan Menteri Perdagangan Indonesia, Gita Wirjawan,
mengatakan bahwa pola kerja sama TPP belum menjadi prioritas

bagi Indonesia (Republika.co.id, 2013). Observasi dan pengkajian


masih terus dilakukan untuk mengetahui apakah TPP akan
membawa keuntungan bagi negara kita. Meskipun faktanya
banyak lobi dari Amerika Serikat dan negara anggota TPP lain
yang kerap berusaha membujuk Indonesia untuk turut tergabung
dalam keanggotaan TPP, misalnya saat dilangsungkannya
pertemuan antara mantan Presiden RI, Susilo Bambang
Yudhoyono dengan Evan Greenberg, Kepala Dewan Bisnis Amerika
Serikat-ASEAN pada Juli 2012 lalu dan juga ajakan blak-blakan di
depan umum oleh Presiden Chili, Sebastian Pinera, di samping
Mantan Menteri Keuangan RI, Chatib Basri, yang sedang turut
menjadi pembicara dalam dialog APEC CEO Summit 2013 lalu
(Jurnas.com, 2013). Pada KTT APEC 2014 yang diselenggarakan di
Beijing, Presiden RI, Joko Widodo, menegaskan bahwa Indonesia
tidak mau sekedar menjadi pasar bagi tarik-menarik kepentingan
ekonomi negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan
Tiongkok dalam integrasi ekonomi regional. Beliau tidak
menghendaki apabila Indonesia diminta untuk membuka pasar
untuk dibanjiri produk-produk asing, sementara produk-produk
domestik yang banyak dihasilkan rakyat sulit masuk ke pasar
negara-negara besar tersebut (Bisnis.com, 2014).
Dengan diapit dua perundingan multilateral ini, seolah-olah
kawasan ASEAN layaknya primadona yang sedang diperebutkan
antara Amerika Serikat dengan Tiongkok. Terlihat bahwa
sepertinya ASEAN semakin menggiurkan bagi para mitra dagang
untuk meningkatkan aktivitas perdagangannya. Dengan daya
tarik ASEAN yang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin ASEAN
dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dun

Você também pode gostar