Você está na página 1de 34

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE

DALAM PEMAKAIAN BAHASA


INDONESIA PADA AKTIVITAS DISKUSI
SISWA DI SMP NEGERI 2 CIBALIUNG
KABUPATEN PANDEGLANG
Posted by TUGAS KULIAH on Friday, December 4, 2015
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu kebutuhan manusia adalah berinteraksi dengan sekitar, baik
dengan

sesama

manusia

ataupun

dengan

lingkungannya.

Interaksi

yang

dilakukannya bertujuan untuk kelangsungan hidupnya. Salah satu alat yang


digunakan

manusia

untuk

berinteraksi

adalah

bahasa.

Dengan

bahasa

seseorang dapat mengungkapkan pikiran, ide, perasaan, dan kemauannya


kepada orang lain. Menurut Anwar (1984: 20) bahasa dan masyarakat tidak
dapat

dipisahkan,

keduanya

memiliki

hubungan

erat,

keduanya

saling

mendukung, oleh karenanya keberadaan bahasa tidak dapat dilepaskan dari


masyarakat pemakainya.
Sejak lahir manusia sudah diajarkan untuk berbahasa sebagai sarana
berkomunikasi dengan orang-orang di lingkungannya. Pelajaran bahasa secara
formal didapatkan

oleh

anak-anak

mulai

dari

taman

kanak-kanak

sampai

perguruan tinggi. Salah satu pelajaran bahasa yang ada yaitu pelajaran bahasa
Indonesia yang diajarkan melalui

sebuah

proses

belajar

mengajar.

Dalam

interaksi belajar mengajar ada dua pelaku utama yaitu guru dan siswa. Dalam
proses pembelajaran yang baik yaitu siswa yang

harus aktif dalam proses

pembelajaran, tidak seperti proses pembelajaran konvensional di mana siswa


hanya menjadi pendengar saat guru menerangkan materi, tetapi siswa yang lebih
banyak bicara tentang materi, seperti dalam diskusi kelompok, siswa diarahkan
oleh guru agar siswa mau bertukar pikiran dengan teman-teman sekelasnya.

Media yang digunakan dalam proses diskusi tersebut adalah melalui komunikasi
lisan.
Pemakaian bahasa Indonesia pada siswa dari perkotaan berbeda dengan
siswa kawasan

pedesaan.

Kegiatan

belajar

mengajar

pada

siswa

yang

bersekolah di kawasan perkotaan mayoritas menggunakan bahasa Indonesia,


karena bahasa ibu yang digunakan oleh siswa adalah bahasa Indonesia.
Berbeda dengan siswa yang bersekolah di kawasan pedesaan mereka lebih
sering berkomunikasi lisan menggunakan bahasa daerah. Hal tersebut yang
menjadi masalah saat pelajaran bahasa Indonesia berlangsung. Di sekolah
kawasan pedesaan guru harus lebih berkerja keras dalam mendekatkan siswa
pada bahasa Indonesia, bagi siswa yang terbiasa menggunakan bahasa daerah
contohnya siswa yang berasal dari daerah Sunda maka mereka saat pelajaran
bahasa Indonesia berlangsung pun siswa akan kesulitan menyesuaikan diri
dengan harus berkomunikasi lisan dengan menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar. Di sekolah menengah pertama, pelajaran Bahasa
Indonesia menjadi salah satu pelajaran wajib. Seharusnya siswa sudah mampu
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam situasi formal
seperti saat kegiatan pembelajaran berlangsung atau saat siswa melakukan aktivitas
diskusi kelompok,

bagi siswa

yang

berasal dari kawasan pedesaan

akan

kesulitan karena mereka tidak terbiasa menggunakan bahasa tersebut.


Salah satu sekolah menengah pertama yang terletak di kawasan pedesaan
adalah

SMP

Negeri 2

CIBALIUNG, di kecamatan CIBALIUNG, Kabupaten

Pandeglang. Siswa yang bersekolah di SMP terserbut umumnya berasal dari desadesa di sekitar sekolah, seperti Desa Mekarwangi, Sodong, Ciandur. Lokasi
sekolah berjarak 20 km dari selatan kota Pandeglang. Siswa di SMP Negeri 2
CIBALIUNG mempunyai latar bahasa yang berbeda-beda, namun sebagian besar
mereka berasal dari keluarga petani yang kesehariannya menggunakan bahasa
Sunda sebagai bahasa sehari-hari, bahkan beberapa dari mereka ada yang masih
canggung

menggunakan

bahasa

Indonesia

dalam percakapan saat belajar

mengajar berlangsung seperti saat berdiskusi kelompok. Beberapa fakta yang


dijelaskan di atas menimbulkan masalah yang tidak ditemui pada siswa-siswa
di sekolah kawasan perkotaan yang sudah biasa menggunakan bahasa Indonesia

sebagai bahasa

sehari-hari,

atau

paling

tidak

mereka

tidak

canggung

berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.


Siswa-siswa yang bersekolah di SMP kawasan pedesaan seperti SMP Negeri
2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang tentunya berbeda dengan siswa dari
perkotaan yang sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia.. Studi kasus ini
dilakukan untuk memperoleh data empirik yang terkait dengan pemunculan alih
kode dan campur kode dalam proses diskusi kelompok bahasa Indonesia di kelas VIIA, VII-B, VIII-A, VIII-B,VIIIC IX-A, IX-B, IXC SMP Negeri CIBALIUNG, seperti
persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode yang terjadi pada
siswa, jenis-jenis atau bentuk alih kode dan campur kode, dan faktor penyebab
munculnya

alih

kode dan

campur

kode. Penelitian

ini

dilakukan

untuk

mengetahui permasalahan yang muncul pada pembelajaran bahasa Indonesia


(aktivitas diskusi) pada sekolah menengah pertama di kawasan pedesaan agar
menjadi perhatian khusus bagi guru-guru yang mengajar di sekolah kawasan
pedesaan.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan fokus
penelitian dalam penelitian ini adalah Bagaimana Alih Kode dan Campur Kode
dalam Pemakaian Bahasa Indonesia Pada Aktivitas Diskusi Siswa di SMP 2
CIBALIUNG?

C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.

Bagaimanakah persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode
dalam aktivitas diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP
Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang?

2.

Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses
diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 CIBALIUNG,
Kabupaten Pandeglang?

3.

Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam
proses diskusi kelompok pada pelajaran Bahasa Indonesia di kelas SMP Negeri
2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menjelaskan
hal-hal di bawah ini.
1. Persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode dalam aktivitas
diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 CIBALIUNG,
Kabupaten Pandeglang.
2.

Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi
kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 CIBALIUNG,
Kabupaten Pandeglang.

3. Faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam proses
diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di kelas SMP Negeri 2
CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang.
E. Kegunaan Penelitian
1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan hasil penelitian
tentang persepsi guru, bentuk , dan faktor penyebab terjadinya alih kode dan
campur kode dalam proses diskusi kelompok Bahasa Indonesia di kelas VIII
SMP Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang.
2.

Bagi guru, penelitian ini dapat menjadi masukan untuk memakai bahasa yang tepat
dalam mengajarkan materi sehingga materi dapat tersampaikan kepada peserta
didik (siswa) dengan jelas dan peserta didik dapat menangkap materi dengan
baik.

3.
4.

Bagi siswa, dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Bagi

sekolah,

hasil

penelitian

ini

dapat

dijadikan

acuan

dalam

upaya

mengadakan inovasi pembelajaran bagi para guru bahasa Indonesia yang lain, dan
meninggalkan strategi pembelajaran yang monoton (konvensional), selain itu sekolah
akan mendapatkan siswa yang mempunyai kemampuan berbahasa yang baik.
BAB II LANDASAN TEORI

A. Deskripsi Konseptual
1. Hakikat Bahasa
Bahasa menurut teori struktural dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda
arbitrer yang konvensional (Soeparno, 2002: 1). Anderson (dalam Tarigan, 1989:
4) mengemukakan adanya delapan prinsip dasar mengenai hakikat bahasa: yaitu
sebagai berikut, (1) bahasa adalah suatu sistem, (2) bahasa adalah vokal (bunyi
ujaran), (3) Bahasa tersusun dari lambang-lambang arbitrer, (4) setiap bahasa
bersifat unik (khas), (5) bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan, (6) bahasa
adalah alat komunikasi, (7) bahasa berhubungan erat dengan budaya tempat
berada, dan (8) bahasa selalu berubah-ubah.
Douglas (dalam Tarigan, 1989: 5-6), setelah menelaah batasan bahasa
dari enam sumber, membuat rangkuman sebagai berikut.
a. Bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barangkali juga oleh sistem
generatif.
b. Bahasa adalah seperangkat lambang-lambang manasuka atau simbol-simbol
arbitrer.
c. Lambang tersebut terutama sekali bersifat vokal tetapi mungkin juga bersifat
visual.
d.

Lambang-lambang

atau

simbol-simbol

tersebut

mengandung

makna

konvensional.
e. Bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi atau sarana pergaulan sesama
insan manusia.
f.

Bahasa beroperasi dalam suatu masyarakat bahasa (a speech community)


atau budaya.

g. Bahasa pada hakikatnya bersifat manusiawi, walaupun mungkin tidak terbatas pada
manusia saja.
h. Bahasa diperoleh semua orang atau bangsa dengan cara yang hampir atau
banyak

bersamaan;

bahasa

dan

pembelajaran

bahasa

mempunyai

ciri-ciri

kesemestaan.
Bahasa juga dapat diartikan sebagai sarana komunikasi manusia yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyampaikan informasi kepada orang
lain.

2. Ragam Bahasa
Bahasa mempunyai beberapa ragam, Joos (dalam Nababan, 1993: 22)
membagi gaya atau ragam bahasa menjadi lima, yaitu sebagai berikut.
a. Ragam Baku
Ragam baku ialah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan dalam
situasi-situasi yang khidmat dan upacara resmi. Dalam bentuk tertulis ragam
beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah seperti undang-undang dasar
dan dokumen penting lainnya.
b. Ragam Resmi
Ragam resmi ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi,
rapat dinas, atau rapat resmi pimpinan suatu badan.
c. Ragam Usaha
Ragam usaha adalah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraanpembicaraan

biasa

di

sekolah,

perusahaan,

dan

rapat-rapat

usaha

yang

berorientasi kepada hasil atau produksi; dengan kata lain, ragam ini berada
pada tingkat yang paling operasional.
d. Ragam Santai
Ragam

bahasa

santai

antarteman dalam

berbincang-bincang,

rekreasi,

berolah raga, dan sebagainya.


e. Ragam Akrab
Ragam akrab adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam
keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan
artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan ucapan pendek. Hal ini disebabkan oleh
adanya saling pengertian dan pengetahuan satu sama lain. Dalam tingkat inilah
banyak dipergunakan bentuk-bentuk dan istilah-istilah (kata-kata) khas bagi suatu
keluarga atau kelompok.
3. Kontak Bahasa
Bahasa tidak akan pernah lepas dari manusia dan kehidupan manusia. Bahasa
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang terbuka
di mana tiap-tiap individu dapat menerima kehadiran individu lain maka akan
terjadi kontak bahasa. Crystal (dalam Ponulele, 1994: 24) menyatakan bahwa kontak
bahasa adalah istilah yang digunakan dalam sosiolinguistik untuk mengacu

pada situasi kontinuitas geografis atau kekerabatan antarbahasa atau antar


dialek

(jadi

masyarakat

ada

saling berpengaruh). Menurut

yang

datang

akan mempengaruhi

Chaer
bahasa

(1994:

65)

bahasa

masyarakat

yang

dimasuki. Hal yang sangat menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak
bahasa ini

adalah

terjadinya

bilingualisme

dan multilingualisme,

dengan

berbagai macam kasusnya, seperti interferensi, integrasi, alih kode, dan campur
kode.
Mackey (dalam Rusyana, 1989: 4) menyatakan bahwa kontak bahasa
adalah pengaruh suatu bahasa kepada bahasa lainnya yang menimibulkan
perubahan dalam langue, dan menjadi milik tetap bukan saja dwibahasawan
melainkan juga ekabahasawan. Kontak bahasa itu berlangsung bukan hanya
dalam diri perorangan melainkan dalam situasi kemasyarakatan, yaitu tempat
seseorang mempelajari bahasa kedua itu. Oleh karena itu kontak bahasa
dianggap merupakan bagian dari kontak yang lebih luas, yaitu kontak budaya.
Kontak bahasa terjadi dalam diri penutur secara individual. Kontak bahasa itu
terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi saat seseorang belajar bahasa
kedua di dalam masyarakatnya (Suwito, 1985: 39).
Dari beberapa pendapat pakar bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa kontak
bahasa manusia itu dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai sosial. Jadi dalam
sosiolinguistik pengkajian bahasa harus disesuaikan dengan kehidupan manusia
dan sekitarnya, baik sosial maupun budaya.
4. Bilingualisme
Bilingualisme

dalam

bahasa

Indonesia

sering

disamakan

dengan

kedwibahasaan. Bilingualisme menurut Mackey dan Fishman (dalam Chaer,


1995: 112) diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seseorang penutur
dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Senada dengan pendapat Mackey dan Fishman, Kridalaksana (1974: 25)
menyatakan bahwa bilingualisme ialah penggunaan dua bahasa secara bergantiganti oleh satu orang atau satu kelompok. Ketika seseorang menggunakan dua
bahasa dalam pergaulannya dengan orang lain, ia berdwibahasa dalam arti dia
melaksanakan kedwibahasaan yang disebut dengan bilingualisme (Dako, 2004: 269).

Dalam KUBI ( 1996: 185) bilingualisme didefinisikan sebagai hal penguasaan


atas dua bahasa oleh penutur bahasa di suatu masyarakat bahasa, sedangkan
bilingual berarti

mengenal

dua

bahasa

dengan

baik:

bangsa

Indonesia

kebanyakan mengenal bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Haugen (dalam


Muharam, 2011: 199) berpendapat kedwibahasawan adalah tahu dua bahasa.
Jika diuraikan secara lebih umum maka pengertian kedwibahasawan adalah
pemakaian

dua

bahasa

secara bergantian

baik

secara

produktif

maupun

reseptif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.Kedwibahasawan dengan


tahu dua bahasa, cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau aktif.
Nababan (1984: 32) menyebut bilingualisme dengan bilingualitas yang
berarti kemampuan dalam dalam dua bahasa. Menurut Nababan, bilingualitas
dapat dibagi menjadi dua seperti berikut.
a. Bilingualitas sejajar yaitu hubungan antara kemampuan dalam kedua bahasa pada
orang yang berdwibahasa secara penuh dan seimbang, kemampuan dan tindak laku
kedua bahasa itu adalah terpisah dan bekerja sendiri-sendiri.
b. Bilingualitas majemuk terjadi ketika dalam keadaan belajar bahasa kedua
setelah menguasai satu bahasa (bahasa pertama atau utama) dengan baik,
khususnya dalam belajar bahasa kedua atau asing di sekolah.
Rahardi (2001: 15) menegaskan bahwa kedwibahasaan adalah peguasaan atas
paling tidak dua bahasa yakni bahasa pertama dan bahasa kedua. Ahli lain, Nababan
berpendapat kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa daam
interaksi dengan orang lain (1984: 27). Menurut Mackey (dalam Kunjana
Rahardi, 2001: 14) memberikan gambaran tentang kedwibahasaan sebagai
gejala tuturan. Kedwibahasaan dianggapnya sebagai karakteristik pemakaian
bahasa, yakni praktik pemakaian bahasa secara bergantian yang dilakukan
oleh penutur. Pergantian dalam pemakaian bahasa tersebut dilatarbelakangi dan
ditentukan leh situasi dan kondisi yang dihadapi oleh penutur itu dalam tindakan
bertutur.
Kridalaksana (dalam Paul Ohoiwutun, 2002: 67) membagi kedwibahasaan dalam
tiga kategori.
a. Bilingualisme koordinat, dalam gejala ini penggunaan bahasa dengan dua atau lebih
sistem bahasa yang terpisah. Seorang bilingual koordinat, ketika menggunakan

satu bahasa tidak menampakkan unsur-unsur bahasa dari bahsa lain. Pada waktu
beralih ke bahasa lainnya tidak terjadi pencampuran sistem.
b. Bilingualisme majemuk sering mengacaukan unsur-unsur dari kedua bahasa yang
dikuasainya.

Kadang-kadang

bekerja sebagai buruh

kita

menyaksikan

orang-orang

Indonesia yang

Malaysia melakuakan kekacauandimaksud (linguistic

interference).
c.

Kedwibahasaan

sub-ordinat.

Fenomena

ini

terjadi

pada

seseorang

atau

masyarakat yang menggunakan dua sistem bahasa atau lebih secara terpisah.
Biasanya masih terdapat proses penerjemahan. Seseorang yang bilingual subordinate masih cederung mencampur-adukkan konsep-konsep bahasa pertama ke
dalam bahasa kedua atau bahasa asing yang dipelajari.
Menurut Ponulele (1994: 25) di dalam bilingualism terdapat para penutur
yang menguasai dua bahasa atau lebih dan mereka disebut bilingual. Istilah ini
bersifat relatif sekali, dalam arti belum diperoleh kesatuan pendapat dari para
ahli bahasa tentang batas-batas kemampuan penguasaan bahasa seseorang
untuk

dapat

Ponulele,

dikatakan

sebagai

seorang

bilingual.

Bloomfield

(dalam

1994: 24) merumuskan bilingual sebagai native like of two language,

dengan pengertian bahwa bilingual adalah seorang penutur yang mampu


menggunakan dua bahasa yang sama baiknya. Jadi menurut Bloomfield seseorang
baru dapat menyandang gelar bilingual apabila dia mampu menggunakan secara
aktif kedua hahasa sebagaimana kemampuan saat ia menggunakan bahasa
ibunya.
Crystal (dalam Ponulele, 1994:24) berpendapat yang mendukung pendapat
Bloomfied dengan mengatakan bahwa seseorang dikatakan bilingual bilamana
dia mampu menguasai beberapa bahasa dengan fasih dan lancar, akan tetapi
dijelaskan lagi bahwa rumusan ini mengacu pada kriteria yang terlalu ekstrim, orang
yang meguasai dua bahasa secara sempurna memang ada, namun hal ini
merupakan kecualian bukanlah keharusan. Sebagian besar bilingual sebenarnya
didak mampu menguasai dua bahasa dengan kadar kualitas yang sama. Biasanya
penguasaan bahasa ibu lebih fasih daripada penguasaan bahasa kedua. Sebagai
contoh saat seseorang dilahirkan di Jawa Tengah, dan setelah dewasa ia bekerja
dan menetap di Jakarta, walaupun dia sudah mahir berkomunikasi dengan bahasa
Indonesia karena saat bersekolah di Jawa tengah pun ia mendapakan pelajaran

bahasa Indonesia namun ia akan lebih menguasai bahasa daerahnya, dan saat ia
bertemu dengan orang dari asal daerahnya dia akan memilih berkomunikasi dengan
bahasa daerah (Jawa).
Bilingualisme yang sering terjadi di Indonesia adalah bilingualisme bahasa
daerah dengan bahasa Indonesia. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut
dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan adalah penguasaan dua bahasa yang
dilakukan secara bergantian dan berdasarkan situasi yang ada. Jadi, seseorang
secara bergantian menggunakan dua bahasa yang berbeda berdasarkan situasi
dan kondisi di mana penutur melakukan tindak tutur.
5. Pengertian Kode
Kode

ialah

suatu

sistem

tutur

yang

penerapan

unsur

bahasanya

mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur
dengan lawan bicara, dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk
varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota-anggota
masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo, 1976: 3).
Suwito (1985: 67) menyatakan bahwa kode adalah salah satu varian di dalam
hierarkhi kebahasaan yang dipakai dalam komunikasi. Suwito juga menyatakan
bahwa alat komunikasi yang merupakan varian dari bahasa dikenal dengan
istilah kode. Dengan demikian, maka dalam bahasa terkandung beberapa macam
kode.
Menurut Richards (dalam Ponulele, 1994: 26) menyatakan bahwa kode adalah
istilah yang digunakan sebagai pengganti bahasa, ragam tutur, atau dialek.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa kode adalah istilah
untuk menyebut bahasa atau ragam bahasa, dalam pebicaraan sesorang tentu
mengirimkan kode-kode tertentu kepada lawan bicaranya, dengan kode-kode
tersebut maka penutur dan lawan tutur dapat berkomunikasi dengan lancar.
Ponulele (1994:21) merumuskan hubungan hierarki antara kontak bahasa,
bilingualisme, alih kode, dan campur kode dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1. Hubungan antara Bahasa, Bilingualisme, Alih Kode, dan Campur Kode.
Jadi adanya bilingualisme disebabkan terjadinya kontak bahasa, dan akan
mengakibatkan munculnya gejala kebahasaan yaitu alih kode dan campur kode.
6. Alih Kode
a. Pengertian Alih Kode
Dalam

keadaaan

kedwibahasaan

(bilingualisme),

akan

sering

terdapat

orang mengganti bahasa atau ragam bahasa, hal ini tergantung pada keadaan
atau keperluan berbahasa itu. Kejadian itu disebut alih kode. Konsep alih kode
ini mencakup juga kejadian beralihnya satu ragam bahasa (umpamanya ragam
santai) ke ragam lain (umpamanya ragam formal), atau dari satu dialek ke
dialek lain dan sebagainya (Nababan, 1993: 31-32).
Pengartian alih kode menurut Kamal (2012) adalah Alih kode pada hakikatnya
merupakan

pergantian

pemakaian

bahasa

atau

dialek.

Rujukannya

adalah

komunitas bahasa atau dialek.


Appel (dalam Chaer, 1995: 141) mendefinisikan alih kode sebagai gejala
peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.. Gumperz (dalam, Gulzar
2010:

26)

code-switching

is: "the

juxtaposition

within

the same

speech

exchange of passages of speech belonging to two different grammatical


systems or sub-systems. yaitu, alih kode adalah penjajaran dalam pertukaran
bahasa yang sama dari bagian-bagian dari bahasa yang termasuk dua sistem
tata bahasa yang berbeda atau sub-sistem.
Hymes (dalam Chaer, 1995: 142) menyatakan alih kode itu bukan hanya
terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-

gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Menurut Wardaugh (dalam Dako, 2004: 271)
ada dua jenis alih kode, yaitu alih kode situasional dan metaforis.
Alih kode situasional terjadi pada saat perubahan bahasa menurut kebutuhan
situasi yang dikenal oleh penutur itu sendiri, dimana dalam sebuah situasi
mereka

berbicara

dengan

sebuah

bahasa

dan

pada

situasi

lain

mereka

berbicara dengan bahasa lain. Alih kode metaforis memiliki dimensi afektif
dimana kita menegaskan kembali kode dengan perubahan, baik dari situasi
formal ke stuasi informal, resmi ke keadan santai, serius ke keadaan humor,
dan lain sebagainya.
Alih kode yaitu beralih dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain pada waktu ia
berbicara atau menulis (Rusyana, 1989: 24). Menurut Suwito (1985: 68) alih kode
adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Namun, di
dalam suatu kode terdapat berbagai kemungkinan varian (baik varian regional,
varian kelas sosial, ragam, gaya, ataupun register) sehingga peristiwa alih kode
mungkin berwujud alih varian, alih ragam, dan alih gaya atau alih register. Peralihan
demikian dapat diamati baik lewat tingkat-tingkat tata bunyi, tata kata, tata kalimat,
maupun wacananya.
Crystal (dalam Skiba, 1997) berpendapat suggests that code, or language,
switching occurs when an individual who is bilingual alternates between two
languages during his/her speech with another bilingual person. A person who is
bilingual may be said to be one who is able to communicate, to varying extents, in a
second language.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengalihan kode atau bahasa, sering terjadi
ketika seseorang yang memiliki kemampuan menguasai lebih dari satu bahasa
mengganti bahasanya pada saat berbicara dengan orang lain yang memiliki
dua bahasa bisa dikatakan menjadi salah satu yang bisa berkomunikasi, pada
tingkat yang bervariasi dalam bahasa kedua.
Poedjosoedarmo (1976: 20) mengemukakan bahwa peristiwa alih kode
melibatkan peralihan kalimat. Dari berbagai pendapat di atas alih kode dapat
didefinisikan sebagai peristiwa peralihan pemakaian bahasa dari satu bahasa ke
bahasa lain atau dari satu ragam bahasa ke ragam bahasa lain. Dalam gejala
kebahasaan (campur kode) ini faktor paling menetukan adalah penutur, saat
seorang

penurut

sedang

melakukan

campur

kode,

maka

harus

diketahui

identitasnya, seperti tingkat pendidikannya, agama, ras, latar belakang sosial, dan
lainnya. Setelah itu baru unsur kebahasaan yang menetukan terjadinya alih
kode. dengan makin banyak bahasa yang dikausai oleh seorang penutur dari
latar belakang pendidikannya, makin luas kemungkinan untuk bercampur kode. dari
penjabaran tersebut, ada dua tipe yang menjadi latar belakang terjadinya alih
kode, yaitu; latar belakang sikap dan latar belakang kebahasaan.
b. Ciri- ciri Alih Kode
Ciri-ciri alih kode menurut Suwito (1985: 69) adalah sebagai berikut.
a. Masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan
konteksnya.
b. Fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan
perubahan konteks.
c. Macam-macam Alih Kode
Suwito (1985: 69) membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu
sebagai berikut.
a. Alih kode intern
Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian bahasa yang
terjadi antardialek, antarragam, atau antargaya dalam lingkup satu bahasa.
b. Alih kode ekstern
Alih kode ekstern adalah perpindahan pemakaian bahasa dari satu bahasa ke
bahasa lain yang berbeda. Perpindahan tersebut dapat berupa perpindahan
dari satu bahasa daerah ke bahasa daerah lain, perpindahan dari bahasa
daerah ke bahasa nasional, perpindahan dari bahasa daerah ke bahasa asing,
dan perpindahan dari bahasa nasional ke bahasa asing.
Alih kode intern yang biasanya terjadi dalam pembelajaran di sekolah
yaitu alih kode ragam resmi dan ragam santai, alih kode ragam resmi dan ragam
usaha, alih kode ragam resmi dan ragam beku, serta alih kode ragam santai dan
ragam usaha. Sedangkan alih kode ekstern yang sering terjadi yaitu alih kode bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa, serta alih kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Poedjosoedarmo (1976: 14-20) membagi alih kode menjadi dua macam yaitu sebagai
berikut.
a)

Alih kode sementara


Alih kode sementara yaitu pergantian kode bahasa yang dipakai oleh seorang
penutur berlangsung sebentar. Pergantian itu bisa hanya berlangsung pada
satu kalimat lalu pembicaraan kembali lagi ke kode biasanya.

b)

Alih kode permanen


Alih kode permanen adalah alih kode yang sifatnya permanen. Alih kode
permanen terjadi apabila penutur secara tetap mengganti kode bicaranya lawan
tutur. Tidak mudah bagi seseorang untuk mengganti kode bicaranya terhadap
seseorang lawan bicara secara permanen, sebab pergantian ini biasanya berarti
adanya pergantian sikap relasi terhadap lawan bicara secara sadar.
d. Faktor Penyebab Alih Kode
Chaer (1995: 143) menyebutkan yang menjadi penyebab alih kode yaitu:
(1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan
situasi hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau
sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan.
Beberapa faktor penyebab alih kode menurut Suwito (1985: 72-74) sebagai
berikut.

a) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud tertentu.
Seorang penutur atau pembicara terkadang melakukan alih kode terhadap mitra
tuturnya karena ada maksud dan tujuan tertentu.Misalnya, seorang mahasiswa
setelah

beberapa

saat

berbicara

dengan dosennya

mengenai

nilai

mata

kuliahnya yang belum tuntas dan dia baru tahu bahwa dosennya itu berasal dari
daerah yang sama dan juga mempunyai bahasa ibu yang sama pula. Agar
urusannya cepat selesai, maka mahasiswa tersebut melakukan alih kode dari
bahasa indonesia ke bahasa daerahnya agar semuanya bisa berjalan lancar
dalam mengurus nilainya.
b) Lawan tutur. Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih
kode karena sipenutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan bicaranya.
Misalnya,

penutur

bugis

berusaha

mengimbangi

lawan bicaranya

kebetulan orang mandar dengan menggunakan bahasa mandar pula.

yang

c)

Hadirnya

penutur

ketiga,

misalnya

alih

kode

menetralisasi situasi dan sekaligus menghormati.

tersebut

dilakukan

Perubahan

situasi

untuk
karena

hadirnya orang ketiga Kehadiran orang ketiga yang tidak berlatar belakang
bahasa yang sama dengan yang di gunakan oleh penutur dan lawan bicara
yang sedang berbicara. Misalnya, si A dan si B sementara bercakap bugis,
kemudian si C tiba-tiba datang dan tidak menguasai bahasa bugis. Dengan
demikian si A dan si B beralih kode dari bahasa bugis ke bahasa indonesia.
d) Pokok pembicaraan (topik). Topik pembicaraan merupakan hal dominan yang
menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal
biasanya diungkapakan dengan ragam baku dengan gaya netral dan serius.
Sedangkan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan
bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
e) Untuk membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana. Dalam sebuah
pembicaraan biasanya orang akan melakukan alih kode guna membangkitkan
rasa humor dalam pembicaraan, agar suasana yang taginya serius dan tegang
dapat mencair dan lebih santai.
f) Untuk sekedar bergengsi. Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan
faktor situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadinya alih kode,
sehingga tampak adanya pemaksaan dan cenderung tidak komunikatif.
Beberapa alasan beralih kode yang dikemukakan oleh Kammarudin (1989:
60-62) seperti berikut.
1) Karena sulit membicarakan topik tertentu pada bahasa tertentu.
2) Guna dasar pengalihan bahasa ke bahasa lain.
3) Untuk menegaskan sesuatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang sedang
terjadi di kalangan pembicara.
4) Untuk mengeksklusifkan seseorang dari suatu situasi percakapan.
5) Mengutip ucapan orang lain.
6) Menekankan solidaritas kelompok.
7) Mengistimewakan yang disapa.
8) Menjelaskan hal yang telah disebutkan.
9) Membicarakan peristiwa yang telah lalu.
10) Untuk

meningkatkan

seseorang.

status

atau

gengsi

atau

kekuasaan

atau

keahlian

Dari ketiga pendapat tentang faktor penyebab alih kode yang telah
dikemukakan di atas, dapat disimpulkan faktor-faktor penyebab alih kode adalah
sebagai berikut.
1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud tertentu.
2) Lawan tutur, alasan lawan tutur seperti untuk mengimbangi bahasa yang digunakan
oleh lawan tuturnya.
3) Perubahan situasi hadirnya orang ketiga.
4) Perubahan topik pembicaraan.
5) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya.
6) Untuk membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana.
7) Untuk sekedar bergengsi.
8) Untuk menegaskan sesuatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang
sedang terjadi di kalangan pembicara.
9) Mengutip ucapan orang lain.
10) Menekankan solidaritas kelompok.
11) Membicarakan peristiwa yang telah lalu.
12) Guna dasar pengalihan bahasa ke bahasa lain.
e. Fungsi Alih Kode
Fungsi alih kode merujuk pada apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan
peralihan kode tersebut. Fungsi alih kode dan fungsi campur kode hampir
sama.

Di

bawah

ini

adalah

fungsi

alih

kode

yang

dikemukakan

oleh

Kammarudin (dalam Wulandari, 2002: 21).


1)

Untuk menegaskan suatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang sedang
terjadi antara penuturnya.

2)

Untuk mengakrabkan atau menekankan solidaritas kelompok.

3)

Untuk mengutamakan yang disapa atau untuk menghormati.

4)

Untuk meningkatkan status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian berbahasa.

5)

Untuk mengutip ucapan orang lain, misalnya ingin mengutip ucapan orang lain
dengan bahasa lain.
Jadi, alih kode yang dilakukan oleh seorang penutur pasti mempunyai
fungsi tertentu sesuai dengan alasan penutur tersebut beralih kode. Dari faktor
penyebab atau alasan penutur beralih kode, dapat disimpulkan bahwa fungsi

alih kode antara lain untuk menyantaikan, menegaskan, membujuk, menghormati,


menyegarkan, dan menerangkan. Alih kode berguna sebagai strategi komunikasi
untuk menyampaikan informasi.
7. Campur Kode
a. Pengertian Campur Kode
Di
dijumpai

antara

sesama

sebagai

penutur

suatu

yang

kekacauan

bilingual

atau

atau

interferensi

multi

lingual,

bahasa

sering

(performance

interference). Fanomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa


tertentu dalam satu kalimat atau wacana bahasa lain.

Gejala tersebut dinamai

campur kode (code mixing) (Paul Ohoiwutun, 2002: 69). Menurut Nababan (1993:
32) campur kode adalah suatu tindak bahasa bilamana orang yang mencampur
dua (lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act
atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut
pencampuran

bahasa.

Nababan

(dalam

Paul Ohoiwutun,

2002:

69)

juga

menyatakan bahwa campur kode adalah penggunaan lebih dari satu bahasa
atau kode dalam satu wacana menurut pola-pola yang masih belum jelas. Di
Indonesia gejala campur kode tersebut sering disebut dengan gado-gadoyang
diibaratkan dengan sajian gado-gado,

yakni campuran dari bermacam-macam

sayuran. Realita yang terjadi di Indonesia yaitu pencampuran pengguaan bahasa


Indonesia dengan bahasa daerah tertentu.
Weinreich (dalam Paul Ohoiwutun, 2002: 69) menamai campur kode
sebagai mixed grammer.

Campur kode didefinisikan sebagai pemakaian satuan

bahasa dari bahasa satu ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam
bahasa termasuk di dalamnya pemakaian kata atau sapaan.
b. Ciri-ciri Campur Kode
Suwito (1985: 75-76) mengemukakan dalam campur kode terdapat ciri-ciri
khusus antara lain sebagai berikut.
1) Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak
lagi mempunyai fungsi tersendiri, unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa
yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi.

2)

Dalam

kondisi

kebahasaan,
masing

yang

maksimal,

unsur-unsurnya

telah

meninggalkan

campur

kode

merupakan

dari

beberapa

bahasa

berasal

fungsi-fungsi

dan

mendukung

konvergensi

yang

masing-

bahasa

yang

disisipinya
3) Unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam campur kode terbatas pada tingkat frase
saja.
Selain itu, juga masih ada ciri lain campur kode yaitu hubungan timbal balik
antar peran dengan fungsi kebahasaan. Peran adalah siapa yang bercampur
kode, fungsi kebahasaan adalah apa yang hendak dicapai oleh penutur dalam
tuturannya.
c. Macam-macam Campur Kode
Suwito (1985: 78-79) menyebutkan beberapa macam campur kode yang
berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya yaitu sebagai
berikut.
1) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata.
Kata-kata sebagai sebuah kode yang disisipkan di dalam kode utama atau kode
dasar dari bahasa lain merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya campur
kode dalam peristiwa berbahasa. Menurut Oka dan Suparno (1994: 25), kata
adalah serapan satuan bahasa yang terbentuk dari satu morfem atau lebih. Contoh :
seorang pemimpin harus mengayomi rakyat lahir dan batin

seorang pemimpin

harus dapat melindungi rakyat lahir batin.


2) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa.
Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak
melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 1987: 151). Frase dari bahasa lain
yang disisipkan oleh penutur dwibahasawan ke dalam kode dasar menimibulkan
adanya

campur

kode

dalam

tindak tutur masyarakat. Chaer

(1998:

301)

berpendapat bahwa frasa merupakan gabungan dua buah kata atau lebih yang
merupakan satu kesatuan, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat
(subjek, predikat, objek, keterangan). Contoh : anak korban tabrak lari itu sudah
dibawa ke rumah sakit. anak korban tabrak lari itu sudah dibawa ke balai
pengobatan.
3) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster.

Bentuk baster yaitu suatu bentuk bahasa akibat adanya penggabungan kata
dasar (asal bahasa Indonesia) dengan kata tambahan (asal bahasa Inggris)
misalnya kata dasar hutan + imbuhan isasi menjadi hutanisasi. Bentuk ini juga
mengakibatkan

adanya campur kode dalam masyarakat bilingual. Menurut

Thelender (dalam Suwito, 1985: 75), baster merupakan klausa-klausa yang


berisi campuran dari beberaa variasi yang berbeda. Contoh : semua data yang
ada di komputer itu jangan lupa dibackup sebelum diinstal ulang. semua data
yang ada di komputer itu jangan lupa disimpan ulang di folder yang berbeda
sebelum computer diinstal ulang.
4) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata.
Unsur berupa pengulangan kata yang diambil dari bahasa lain yang disisipkan
ke dalam kode dasar menyebabkan campur kode dalam interaksi

sosial.

Pengulangan

dasar,

tersebut

dapat

berupa

pengulangan

seluruh

kata

pengulangan sebagian dari dasar, dan pengulangan yang berkombinasi dengan


proses pembubuhan afiks. Contoh : dana itu turun bebarengan dengan kenaikan
harga sembako. dana itu turun bersamaan dengan kenaikan harga sembako.
5) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.
Unsur-unsur ungkapan dari bahasa lain dimasukkan ke dalam kode dasar akan
membentuk campur kode dalam peristiwa tutur. Menurut Kridalaksana, 1985: 80)
ungkapan atau idiom adalah kontruksi yang

maknanya tidak sama dengan

gabungan makna anggota-anggotanya.


6) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
Klausa

dijelaskan

sebagai

satuan

gramatikal

yang

terdiri

dari subjek dan

predikat, baik disertai objek, pelengkap, keterangan atau tidak. Klausa dari bahasa
lain yang dimasukkan ke dalam kode dasar akan menyebabakan campur kode
dalam peristiwa tutur. Oka dan Suparno, (1994:

26) klausa merupakan satuan

gramatikal unsur pembentuk kalimat yang bersifat predikatif. Contoh : pemimpin


yang bijaksana akan selalu bertindak ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun
karsa, tut wuri handayani. pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak di depan
emberi teladan, di tengah mendorong semangat, di belakang mengawasi.
d. Faktor Penyebab Campur Kode

Suwito (1985: 77) mengemukakan latar belakang terjadinya campur kode pada
dasarnya

dapat

dikategorikan

menjadi

dua

tipe

yaitu

tipe

yang

berlatar

belakang pada sikap dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan. Alasan atau
penyebab lain yang mendorong terjadinya campur kode adalah sebagai berikut.
1). Identifikasi peranan.
Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional.
2). Identifikasi ragam.
Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa di mana seorang penutur melakukan
campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarkhi status sosialnya.
3) Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak karena ca mpur kode
juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan
hubungan orang lain terhadapnya.
Suwito (1985: 78) juga menyatakan campur kode terjadi karena ada
timbal balik antara peranan atau siapa yang memakai bahasa itu dan fungsi
kebahasaan atau apa yang ingin dicapai penutur dalam tuturannya. Artinya,
penutur mempunyai latar belakang sosial tertentu cenderung memilih bentuk
campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu.
Campur kode dilakukan oleh penutur baik secara sadar maupun tidak
sadar. Campur kode yang dilakukan secara sadar apabila penutur mempunyai
tujuan tertentu, menunjuk ke suatu hal yang tidak dapat diungkapkan dengan
bahasa utama yang digunakannya.
Nababan (1993: 32) menyatakan campur kode terjadi karena tidak adanya
ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai penutur. Faktor-faktor yang
mempengaruhi campur kode adalah penutur, petutur, dan topik pembicaraan.
Penutur yang multibahasawan mempunyai banyak kesempatan untuk melaku
campur kode. Keheterogenan latar belakang petutur seperti usia, status sosial,
dan tingkat pendidikan menuntut kepandaian penutur dalam memilih bahasa
yang tepat. Namun demikian, dalam hal ini yang paling penting adalah penutur
harus mengetahui bahwa petuturnya juga merupakan multibahasawan. Topik
pembicaraan memungkinkan terjadinya campur kode, karena ada beberapa topik
yang cenderung menuntut pemakaian kode bahasa tersendiri.

e. Tujuan Pemakaian Campur Kode


Menurut Suwito (1985: 78) tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh penutur
dalam

tuturannya

sangat

menentukan

pilihan

bahasanya.

Suwito

juga

mengemukakan tujuan pemakaian campur kode ada beberapa macam, antara lain
penutur ingin menunjukkan keterpelajarannya, ketaatan dalam beribadah, dan
kekhasan daerahnya.
Menurut Nababan

(1993:

32)

campur

kode

dipakai

penutur

untuk

memamerkan keterpelajarannya atau kedudukannya, selain itu untuk mencapai


ketepatan makna ungkapan.
f. Fungsi Campur Kode
Fungsi campur kode hampir sama dengan fungsi alih kode sebagai berikut ini.
1) Untuk menegaskan suatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang sedang
terjadi antara penuturnya.
2) Untuk mengakrabkan atau menekankan solidaritas kelompok.
3) Untuk mengutamakan yang disapa atau untuk menghormati.
4) Untuk meningkatkan status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian berbahasa.
5) Untuk mengutip ucapan orang lain, misalnya ingin mengutip ucapan orang lain
dengan bahasa lain.
g. Persamaan Alih Kode dan Campur Kode
Menurut Chaer (2004: 114) persamaannya adalah digunakannya dua atau lebih
varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Dalam alih kode
setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi otonomi
masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab
tertentu. Dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang
digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya sedangkan kode-kode lain
yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan
(speces), tanpa fungsi keotonomian sebagai sebuah kode. berdasarkan pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa persamaan alih kode dan campur kode adalah
sama-sama digunakannya dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang
dilakukan dengan sadar dan disengaja karena sebab-sebab tertentu.

8. Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode


Alih kode dan campur kode adalah dua hal yang berbeda. Hal pokok yang
membedakan antara alih kode dan campur kode yang dikemukakan oleh
Thelander (dalam Suwito, 1985: 76) sebagai berikut.
1)

Di dalam alih kode, terjadi peralihan dari klausa bahasa yang satu ke klausa
bahasa yang lain dalam suatu tuturan dan masing-masing klausa masih
mendukung fungsi tersendiri.

2) Di dalam campur kode, klausa maupun frasa-frasanya terdiri dari klausa dan frasa
baster dan masing-masing klausa maupun frasanya tidak lagi mendukung fungsi
tersendiri.
9. Diskusi Sebagai Ragam Tuturan dalam Proses Belajar Mengajar
Interaksi

belajar

mengajar

merupakan

peristiwa

komunikasi

yang

berlangsung dalam situasi formal (Zamzani, 2007: 1). Peristiwa tutur di dalam proses
belajar mengajar seperti proses belajar mengajar Bahasa Indonesia merupakan
peristiwa tutur formal, sehingga ragam bahasa yang digunakan adalah ragam formal.
Selain ragam bahasa formal, dalam proses belajar mengajar Bahasa
Indonesia

juga menggunakan

ragam

bahasa

usaha

(consultative).

Tempat

berlangsungnya proses belajar mengajar Bahasa Indonesia yang pada umumnya


dilakukan di dalam ruangan, walaupun tidak menutup kemungkinan dilakukan di luar
ruangan juga mempengaruhi penggunaan ragam bahasanya.
Ditinjau dari etimoligis , kata diskusi berasal dari kata kerja to discus yang
berarti berunding atau membincangkan. Menurut pendapat Suharyanti, (2011:39)
diskusi adalah suatu bentuk kegiatan yang terdiri dari beberapa orang (yang bertatap
muka secara langsung) dalam bertukar pikiran atau oendapat dan pandangan
terhadap masalah untuk mencari pemahaman.
Menurut Winarso dan Arief (2001: 68) bahwa diskusi merupakan sesuatu
kegiatan kerjasama atau atau aktivitas koordinatif yang mengandung langkahlangkah dasar tertentu yang harus dipatuhi oleh seluruh kelompok.
Aktivitas berdiskusi mempunyai tujuan yaitu memperoleh hasil musyawarah
dari anggota-anggota keompok agar dapat memecahkan masalah yang akan
diselesaikan. Suharyanti (2011: 39-40) menjelaskan bahwa diskusi
tujuan umum dan khusus, yang dijelaskan sebagai berikut.

mempunyai

a. Tujuan umum
1) Melatih siswa atau peserta diskusi untuk berpikir secara praktis
2) Melatih mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain.
3) Menumbuhkan dan mengembangkan sifat senang bekerja sama dengan orang
lain.
4) Melatih siswa atau mahasiswa untuk berperan serta secara akatif dan berperan
kostruktif terhadap suatu masalah.
5) Untuk mengembangkan ide siswa/mahasiswa dalam memecahkan masalah yang
memerlukan musyawarah.
b. Tujuan khusus
1) Untuk mengatasi masalah yang dihadapi individu atau kelompok yang berhubungan
dengan mata pelajaran atau kurikulum.
2) Untuk menyeesaikan masalah yang bersifat sosial dan yang ada hubungannya
dengan tingkah laku baik dari diri siswa/mahasiswa atau masyarakat.
3)

Untuk menetukan atau menemukan kesatuan pendapat dan sikap dalam


memecahkan masalah.
Jenis-jenis diskusi juga ada beberapa macam salah satunya adalah iskusi
kelompok yang merupakan suatu pembicaraaan yang terdiri dari ekelompok
peserta guna

memecahkan

mempertimbangkan

baik

suatu

dan

masalah

buruk,

secara

dan

bersama-sama dengan

sekaligus

menetapkan

cara

melaksanakan pemecahan yang baik (Suharyanti, 2011: 41).


Diskusi kelompok di dalam kelas termasuk pada kelompok tak resmi, eperti
pendapat

Wanger

dan

Arnold

(dalam

Wiranso

dan

Arief,

200:

70)

menggolongkan diskusi kelompok yang tidak resmi adalah sebagai (1) kelompok
studi, (2) kelompok pembentuk kebijakasaan, dan (3) Komite
Menurut Vygotsky (dalam Huda, 2011: 24) salah satu landasan teoritis ertama
tentang

belajar

kelompok

Menurut Vygotsky

mental

ini

berasal

siswa

dari

pertama

pandangan
kali

konstruktivis sosial.

berkembang

pada

level

interpersonal dan mereka belajar menginternalisasikan dan mentrasformasikan


interaksi interpersonal mereka dengan orang lain, lalu pada level intrapersonal
dimana mereka mulai memperoleh pemahaman

dan keterampilan baru dari

hasil interaksi ini. Dengan demikian sangat baik bagi siswa sejak dini diajarkan
untuk belajar berinteraksi

dengan sekitarnya baik itu dengan teman sebaya

atau yang lebih dewasa, agar mereka bisa mendapatkan informasi-informasi


yang

belum

mereka

ketahui

atau

bertukar

pikiran

agar mereka bisa

menyelesaikan tugas-tugas yang tidak mampu mereka selesaikan sendiri, dengan


musyawarah bersama teman-teman yang mempunyai pemikiran yang berbedabeda mereka akan lebih mudah menyelesaikan masalah mereka.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan diskusi kelompok adalah suatu
percakapan ilmiah oleh beberapa orang yang tergabung dalam suatu kelompok
untuk saling

bertukar

pendapat

suatu masalah atau bersama-sama mencari

pemecahan mendapatkan jawaban atau kebenaran atas suatu masalah.


Proses diskusi kelompok ini dapat dilakukan melalui forum diskusi diikuti
oleh semua siswa di dalam kelas dapat pula dibentuk kelompok-kelompok lebih
kecil.
Dalam diskusi kelompok yang perlu diperhatikan ialah para siswa dapat
melibatkan dirinya untuk ikut berpartisipasi secara aktif di dalam forum diskusi
kelompok, jadi metode diskusi kelompok adalah suatu cara penyajian bahan
pelajaran dimana seorang guru memberi kesempatan kepada siswa (kelompok
siswa) untuk mengadakan percakapan guna mengumpulkan pendapat, membuat
kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan atas masalah.
Teknik metode diskusi kelompok sebagai proses belajar mengajar lebih
cocok dilakukan jika guru memiliki tujuan antara lain.
1) Memanfaatkan berbagai kemampuan yang ada atau yang dimiliki oleh para
siswa.
2)

Memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menyalurkan pendapatnya


masing-masing.

3) Memperoleh umpan balik dari para siswa tentang tujuan yang telah dirumuskan
telah tercapai.
4) Membantu para siswa menyadari dan mampu merumuskan berbagai masalah yang
dilihat baik dari pengalaman sendiri maupun dari pelajaran sekolah.
5) Mengembangkan motivasi untuk belajar lebih lanjut.
Untuk dapat mengoperasikan metode diskusi kelompok ini ada beberapa
langkah yang perlu diperhatikan bagi guru antar lain.
1)

Guru

menggunakan

pengarahan

seperlunya

masalah
mengenai

yang

ada

cara-cara

didiskusikan

dan

pemecahannya,

memberikan
hal terpenting

adalah permasalahan yang dirumuskan sejelas-jelasnya agar dapat dipahami baikbaik oleh setiap siswa.
2) Para siswa berdiskusi di dalam kelompok dan setiap anggota kelompok ikut
berpartisipasi secara aktif.
3) Setiap kelompok melaporkan hasil diskusinya, hasil-hasil yang dilaporkan itu
ditanggapi oleh semua siswa (kelompok lain).
4)

Akhir

diskusi

para

siswa

mencatat

hasil-hasil

diskusinya

dan

guru

belajar

yang

mengumpulkan hasil diskusi dari tiap-tiap kelompok.


Diskusi

kelompok

merupakan

salah

satu

pengalaman

diterapkan di semua bidang studi dalam batasan-batasan tertentu, pengalaman


diskusi kelompok memberikan keuntungan bagi para siswa sebagai berikut :
(1) siswa dapat berbagi berbagai informasi dalam menjalani gagasan baru atau
memecahkan masalah, (2) dapat meningkatkan pemahaman atas masalah-masalah
penting,

(3)

dapat

berkomunikasi, (4)

mengembangkan

dapat

meningkatkan

kemampuan
ketertiban

untuk

dalam

berfikir

perencanaan

dan
dan

pengambilan keputusan dan (5) dapat membina semangat kerjasama dan


bertanggung jawab.
Diskusi

kelompok

memiliki

kelemahan-kelemahan

yang

dapat

menimbulkan kegagalan dalam arti tidak tercapai tujuan yang diinginkan.


Wardani (Dalam Puger, 1997:9) dinyatakan bahwa kelemahan-kelemahan
dalam diskusi kelompok antara lain : (1) diskusi kelompok memerlukan waktu yang
lebih banyak daripada cara belajar yang biasa, (2) dapat memboroskan waktu
terutama bila terjadi hal-hal yang negatif seperti pengarahan yang kurang tepat,
(3) anggota yang kurang agresif (pendiam, pemalu) sering tidak mendapatkan
kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau ide-idenya sehingga terjadi
frustasi atau penarikan diri, dan (4) adakala hanya didominasi oleh orang-orang
tertentu saja.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan
oleh Dian Astutik Wulandari yang berjudul Campur Kode dalam Tuturan Latihan
Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo. Ada perbedaan masalah yang diteliti dalam
penelitian di atas dengan penelitian ini yaitu dalam penelitian Dian Astutik Wulandari

masalah yang diteliti adalah masalah campur kode, sedangkan masalah yang
diteliti dalam penelitian ini adalah masalah alih kode dan campur kode. Selain
itu, ada hal yang juga membedakan antara penelitian ini dan penelitian Dian
Astutik Wulandari yaitu subjek dan objek penelitian. Dalam penelitian ini yang
menjadi

subjek penelitian

adalah

siswa,

objek

penelitian

adalah

semua

pembicaraan yang terjadi dalam proses diskusi siswa, pendapat duru hanya
digunakan untuk mendapatkan jawaban tentang persepsi guru mengenai peristiwa
alih kode dan campur kode dahasa dalam diskusi siswa. Sedangkan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Dian Astutik Wulandari subjek penelitiannya
adalah pembina dan peserta pramuka, objek penelitiannya adalah semua
pembicaraan yang terjadi dalam proses latihan kepramukaan
Hasil penelitian Dian Astutik Wulandari yang berjudul Campur Kode dalam
Tuturan Latihan Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo sebagai berikut: (1) adanya
variasi campur kode dalam penelitian tersebut yaitu campur kode bahasa
(bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan bahasa
Inggris), campur kode ragam (ragam beku dengan ragam resmi, ragam beku dengan
ragam santai, dan ragam resmi dengan ragam santai), (2) campur kode wujud unsur
kebahasaan dalam latihan kepramukaan yaitu campur kode wujud kata dan
campur kode wujud frase, dan (3) fungsi pemakaian campur kode adalah
untuk mempertegas, meminta ketegasan, memberi semangat, dan menunjukkan
makna yang tepat.
Penelitian yang relevan kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Lina
Puspita Sari dengan judul penelitian

Alih Kode dan Campur Kode dalam

Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas II SD Negeri Selopukang Kecamatan


Wonogiri Kabupaten Wonogiri. Dalam penelitian Lina Puspita Sari yang menjadi
subjek penelitian adalah guru dan siswa, objek penelitian adalah semua
pembicaraan yang terjadi dalam proses belajar mengajar.
Hasil penelitian Lina Puspita Sari

yang berjudul Alih Kode dan Campur

Kode dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas II SD Negeri Selopukang


Kecamatan Wonogiri Kaibupaten Wonogiri sebagai berikut.
a. Bentuk alih kode yang terjadi dalam pembelajaran bahasa indonesia kelas II
SD Negeri Selopukangberupa alih kode intern , yaitu peralihan dari bahasa
Indonesia ke bahasa Jawa; bentuk campur kode yang terjadi berupa campur

kode kata, campur kode frasa, campur kode klausa , dan campur kode
pengulangan kata.
b. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode yang terjadi yaitu untuk
mengimbangi

kemampuan

berbahasa

siswa,

kebiasaan

guru

dengan

mengunakan bahasa Jawa, untuk menarik perhatian siswa, faktor penyebab


terjadinya campur kode yaitu rendahnya penguasaan kosakata bahasa Indonesia
siswa, dan adanya unsure tanpa disadari oleh guru.
Penelitian relevan yang ketiga adalah hasi penelitian dari Rima Fatimah
yang berjudul Kajian Penggunaan Bahasa dalam Proses Belajar Mengajar
Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Magelang dalam penelitian Rima Fatimah yang
menjadi subjek

penelitian

adalah

guru

dan

siswa

sedangkan

objek

penelitiannya adalah semua pembicaraan siswa dan guru selama pelajaran


berlangsung. dalam penelitian tersebut ada sembilan kelas yang menjadi subjek
penelitian yaitu dari kelas Xa sampai Xi. Hasil dari penelitian tersebut antara lain.
Macam-macam alih kode yang terjadi dalam proses belajar mengajar
bahasa Indonesia di kelas X SMA Negeri 1 Magelang adalah alih kode intern
dan ekstern. Faktor penyebab alih kode yang terjadi dalam proses belajar
mengajar bahasa Indonesia di kelas X SMA Negeri 1 Magelang sebagai berikut: (1)
penutur dan lawan tutur; (2) perubahan situasi hadirnya orang ketiga; (3) perubahan
topik pembicaraan; (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; dan (5)
untuk membangkitkan rasa humor.
Penelitian yang relevan yang keempat adalah thesis yang ditulis oleh
Malik Ajmal Gulzar berjudul Code-switching: Awareness about Its Utility in
Bilingual Classrooms yang dalam bahasa Indonesia berarti alih kode: kesadaran
tentang penggunaan alih kode dalam kelas bilingual (dwi bahasa). Hasil penelitian
dalam thesis ini adalah sebagai berikut.
Penelitian

tersebut

telah

memberikan

hasil

yang

signifikan

untuk

menggarisbawahi bahwa para guru tidak tahu tentang batas-batas penggunaan


alih kode dan fungsi yang mereka bisa/ harus alih kode untuk memenuhi
kebutuhan siswa. Peneliti menemukan hasil yang sedikit berbeda dengan penelitian
ini, dimana guru tidak menganggap bahwa peristiwa alih kode yang digunakan
siswa selama pelajran berlangsung adalah sebuah kesalahan, guru memaklumi
keterbatasan siswa-siswanya. Hasil wawancara dengan guru mata pelajaran

bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 kepil, guru menganggap peristiwa alih kode
yang dilakukan siswa adalah sikap yang salah dan harus dibenahi.
Peneitian

yang

relevan

kelima

adalah

tesis

yang

ditulis

oleh

Yulia

Mutmainnah, mahasiswa S2 Universitas Diponegoro Semarang yang berjudul


Pemilihan Kode dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik pada
Masyarakat Jawa di Kota Bontang Kalimantan Timur. Objek penelitian dalam thesis
tersebut berbeda dengan penelitian ini, dalam tesis tersebut objeknya adalah
masyarakat jawa yang berada di Kota Bontang Kalimantan Timur, sedangkan dalam
penelitian ini objek penelitiannya adalah siswa yang berdiskusi di dalam kelas,
namun mempunyai prsamaan yaitu menganalisis alih kode yang digunakan
atau dipilih dalam komunkasi. Hasil dari thesis ini adalah sebagai berikut. Kode yang
ditemukan pada masyarakat tutur Jawa di kota Bontang adalah kode berupa
Bahasa Indonesia (BI), Bahasa Jawa (BJ), Bahasa daerah lain (BL), dan Bahasa
asing (BA), dengan faktor-faktor penentu berupa (1) ranah, (2) peserta tutur, dan (3)
norma. Pada alih kode dengan kode dasar BI, muncul variasi alih kode BJ dan BA.
Pada alih kode dengan kode dasar BJ, muncul variasi alih kode BI. Campur kode
pada masyarakat tutur Jawa memunculkan campur kode dengan kode BI, BJ, BA dan
BL. Didasarkan pada jenis situational code-switching, perubahan bahasa terjadi
karena (1) perubahan situasi tutur, (2) kehadiran orang ketiga, dan (3)
peralihan pokok
perubahan

pembicaraan,

bahasa terjadi

sedangkan

karena

penutur

pada metaphorical
ingin

menekankan

codeswitching
apa

yang

diinginkannya. Campur kode terjadi karena (1) keterbatasan penggunaan kode,


dan (2) penggunaan istilah yang lebih populer.
Penelitian relevan yang keenam adalah penelitian yang dilakukan oleh
Rizal Muharam, dengan judul Alih Kode, Campur Kode, dan interferensi yang
Terjadi dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Ternate (Tinjauan Deskriptif
terhadap Anak-anak Multikultural Usia 6-8 Tahun di Kelas II SD Negeri Kenari Tinggi
1 Kota Madia Ternate). Dalam penelitian ini objek penelitiannya adalah percakapan
siswa dan subjeknya adalah siswa kelas II SD Negeri Kenari Tinggi 1 Kota Madia
Ternate.
C. Kerangka Berpikir

Dalam kegiatan belajar mengajar bahasa adalah satu-satunya alat komunikasi


yang menghubungkan satu orang dengan orang lain, baik itu antara guru
dengan siswa atau siswa dengan siswa lainnya saat berkomunikasi. Tidak
dapat dipungkiri bahwa bahasa sangat berperan penting bagi dunia pendidikan,
begitu pula dalam pelajaran bahasa Indonesia, bahasa tidak akan terlepas dari
kegiatan tersebut. Seharusnya dalam pelajaran bahasa Indonesia siswa dan
guru harus menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, namun
terkadang sekolah kawasan pedesaan seperti SMP Negeri 2 CIBALIUNG,
kabupaten Pandeglang hal tersebut sulit dijalankan dengan baik, karena siswasiswa belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian mereka,
terlebih saat diskusi kelompok berlangsung, percakapan diskusi yang seharusnya
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar

berubah

menjadi

percakapan yang menggunakan dwibahasa yaitu bahasa Indonesia bercampur


dengan bahasa Sunda.
Keterbatasan siswa dalam menguasai bahasa Indonesia membuat guru
tidak bisa memaksakan siswa untuk memakai bahasa Indonesia dengan baik dan
benar saat kegiatan
menggunakan

belajar

mengajar

bahasa bahasa

berlangsung,

Indonesia

secara

kalau

siswa

keseluruhan

dipaksa

maka

akan

menyulitkan siswa terlebih saat diskusi kelompok. Siswa akan terhambat dalam
menyampaikan ide yang mereka punya, maka dari itu guru memperbolehkan
siswa menggunakan alih kode dan campur kode dalam kegiatan diskusi
tersebut. Dengan penggunaan alih kode dan campur kode bahasa Indonesia
dengan bahasa Sunda maka siswa akan lebih mudah mengungkapkan ide yang
mereka miliki, juga lebih mudah menerima ilmu dari guru maupun siswa yang lain.
Untuk mengatahui persepsi guru, wujud dan macam, faktor penyebab
terjadinya

campur

pelajaran bahasa

kode

dan

Indonesia

alih
di

kode

SMP

dalam aktivitas diskusi

Negeri

CIBALIUNG

kelompok
kabupaten

Pandeglang peneliti melakukan penelitian studi kasus.


BAB III METODELOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian akan dilakukan di SMP Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten
pandeglang, yang terletak di Jl. Desa Mekarwangi, kecamatan CIBALIUNG,

kabupaten Pandeglang. Waktu pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan


penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari 2015 sampai dengan bulan Mei
2015. Penelitian ini dilakukan pada saat proses diskusi siswa SMP Negeri 2
CIBALIUNG berlangsung.
B. Metode dan Pendekatan Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah

kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriprif

menurut Moleong (2001: 3) yang mengutip pendapat Bogdan dan Taylor adalah
sebagai berikut:Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku
yang diamati. Lebih lanjut Sutopo (1991:35) menjelaskan data yang dikumpulkan
berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar
angka atau frekuensi. Penelitian menekankan catatan yang menggambarkan
situasi yang sebenarnya guna mendukung penyajian data.
Jenis penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah studi kasus

terpancang. Disebut terpancang karena permasalahan yang dibahas hanya


mengangkat permasalahan yang terjadi di SMP kawasan pedesaan dalam
masalah pemakaian bahasa Indonesia pada kegiatan belajar siswa khususnya
kagiatan diskusi. Sesuai

dengan

tujuan

penelitian,

penelitian

ini

berusaha

mendiskripsikan terjadinya alih kode dan campur kode dalam diskusi siswa
SMP

Negeri 2 CIBALIUNG, kabuoaten Pandeglang.

kesulitan

menggunakan

Dimana

siswa

masih

bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam

menyampaikan ide saat berdiskusi.


C. Sumber Data
Sumber
Indonesia

data
dan

dalam

penelitian

ini

adalah

informan oleh siswa SMP

peristiwa penggunaan

Negeri

Bahasa

2 CIBALIUNG Kabupaten

Pandeglang dalam proses diskusi kelompok. Objek penelitian ini adalah campur
kode dan alih kode dalam proses diskusi kelompok siswa di SMP Negeri 2
CIBALIUNG. Selain itu sumber data juga diperoleh dari informan, yaitu guru
mata pelajaran Bahasa Indonesia dan siswa.
D. Sampel dan Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling
dimana pengambilan sampel dari peristiwa kegiatan pembelajaran di kelas,
wawancara dengan informan, yaitu guru bahasa Indonesia kelas VII, VIII dan,
IX dan siswa yang melakukan alih kode dan campur kode dalam diskusi,
bertujuan agar peneliti dapat mengetahui seberapa sering penggunaan alih kode
yang digunakan saat pembelajaran Bahasa Indonesia.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
a) Observasi
Teknik observasi atau pengamatan dilakukan dengan penelti sebagai observator
partisipan

pasif

terhadap

peristiwa

atau

kegiatan diskusi

kelompok

mata

pelajaran Bahasa Indonesia untuk memperoleh data tentang pemakaian alih kode
dan campur kode yang dilakukan siswa saat berdiskusi.
b) Wawancara
Teknik wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan guru mata pelajaran
bahasa Indonesia kelas VII, VIII dan, IX serta beberapa siswa dari kelas VII,VIII
dan, IX. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi lebih dari pengamatan atau
observasi yang dilakukan, setelah melakukan observasi langsung diskusi siswa
saat

pembelajaran Bahasa Indonesia, peneliti

melakukan

wawancara

untuk

mengetahui persepsi guru terhadap penggunaan alih kode dan campur kode
bahasa yang dilakukan siswa saat berdiskusi

dan

mengetahui

faktor-faktor

penyebab terjadinya alih kode dan campur kode.


F. Uji Validitas Data
Menurut Denzim (dalam Mahsun, 2005: 237) menyatakan bahwa ada empat
triangulasi untuk menguji validitas data yaitu: (1) triangulasi data, (2) triangulasi
peneliti, (3) triangulasi teori, dan (4) triangulasi metode. Uji validitas data yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Triangulasi metode
Triangulasi metode dilakukan dengan cara mengumpulkan data sejenis dengan
metode yang berbeda, yaitu observasi dan wawancara. Metode ini dilakukan

untuk mengecek alasan terjadinya alih kode dan campur kode yang dikalukan
siswa saat berdiskusi kelompok.
2. Triangulsi sumber data
Triangulasi sumber data, yakni dengan membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat
yang berbeda. Dalam hal ini membandingkan data tentang alih kode dan
campur kode bahasa yang dilakukan siswa melalui data yang diperoleh dari guru
dicek pada siswa atau siswa satu dicek pada siswa yang lain.
3. Review informan
Review informan dilakukan untuk mengecek kembali data dan informasi. Data
diperoleh dari guru dan siswa.

G. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis
interaktif.
komponen,

Analisis
yaitu:

model

interaktif

pengumpulan

data,

ini

merupakan

reduksi

data,

interaksi
penyajian

dari
data,

empat
dan

penarikan simpulan. Pada saat melakukan tahap pengumpulan data sekaligus


sesuai dengan kemunculan data yang diperlukan. Adapun langkah-langkah analisis
interaktif adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan cara analisis
dokumen, observasi, dan wawancara. peneliti mengumpulkan data sebanyakbanyaknya yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan
penggunaan bahasa yang gunakan siswa dalam pelaksanaan diskusi Bahasa
Indonesia di SMP Negeri 2 CIBALIUNG.
b. Reduksi Data
Teknik ini mengambil langkah yang berupa pencatatan data yang diperoleh dari
hasil observasi. Dalam pencatatan tersebut dilakukan seleksi, pemfokusan dan
penyederhanaan data, data mana yang akan diambil. Hal tersebut bertujuan
untuk lebih memudahkan dalam mengambil data-data yang dianggap penting,
yakni tentang penggunaan bahasa yang gunakan siswa dalam pelaksanaan

diskusi Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 CIBALIUNG. Proses reduksi terus


berlangsung sampai laporan akhir penelitian selesai ditulis.
c. Display Data
Melalui sajian data, data yang telah terkumpul dikelompokan dalam beberapa
bagian dengan jenis permasalahannya supaya mudah dilihat dan dimengerti,
sehingga mudah untuk dianalisis. Penyajian data penelitian yang diperoleh
melalui analisis dokumen ataupun pada saat proses diskusi berlangsung di kelas
maupun diperoleh melalui wawancara dengan informan. Hal tersebut meliputi:
(1) data hasil observasi yang diperoleh peneliti pada saat diskusi berlangsung,
(2) hasil wawancara dengan guru Bahasa Indonesia kelas VII dan VII, dan (3)
beberapa siswa kelas VII dan VIII yang menggunakan alih kode dan campur kode
saat melakukan diskusi dengan teman sekelompoknya.
d. Penarikan Simpulan
Berdasarkan dari hasil analisis terhadap ujaran dan pembicaraan antara guru
dengan peserta didik yang terjadi pada proses pembelajaran dan pada saat
diwawancarai, kemudian ditarik simpulan. Simpulan-simpulan tersebut diverifikasi
selama

penelitian

berlangsung.

Pada

penelitian

ini

data

yang diverifikasi

meliputi: (1) persepsi guru, (2) bentuk-bentuk alih, dan (3)faktor-faktor penyebab
terjadinya alih kode dan campur kode dalam diskusi siswa.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model
interaktif Milles dan Huberman (Sutopo, 2002: 187). Analisis interaktif adalah
analisis yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
penarikan simpulan/verifikasi.
H. Prosedur Penelitian
a. Tahap persiapan
a) Pengajuan judul proposal
b) Pembuatan proposal
c) Sidang proposal
b. Tahap pelaksanaan
a) Perizinan penelitian
b) Pengumpulan data

c) Analisis data. Tahap ini meliputi pengkajian yang mendalam serta mengarah
pada tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, pengumpulan data, dan analisis data.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pengumpulan data dari hasil
wawancara mendalam dan observasi kegiatan belajar siswa yang diubah dari
data lisan menjadi data tulis.
c. Tahap akhir
Penyusunan

laporan. Tahap

ini

meliputi

konsultasi

dengan pembimbing,

mengadakan perbaikan, dan memperbanyak laporan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Bagong Suyanto, et.al., (Eds.), 2007. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among. Five
Tradition. London: SAGE Publications
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika.
Nana Sudjana, et.al., 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan, Bandung: Sinar Baru dan
Pusat Pengajaran-Pembidangan Ilmu Lembaga Penelitian IKIP Bandung.
Noeng Muhajir. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta
Yin, Robert K. 2012. Studi Kasus Desai dan Metode.. Jakarta : PT Raja Grafndo Persada

Você também pode gostar