Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
sesama
manusia
ataupun
dengan
lingkungannya.
Interaksi
yang
manusia
untuk
berinteraksi
adalah
bahasa.
Dengan
bahasa
dipisahkan,
keduanya
memiliki
hubungan
erat,
keduanya
saling
oleh
anak-anak
mulai
dari
taman
kanak-kanak
sampai
perguruan tinggi. Salah satu pelajaran bahasa yang ada yaitu pelajaran bahasa
Indonesia yang diajarkan melalui
sebuah
proses
belajar
mengajar.
Dalam
interaksi belajar mengajar ada dua pelaku utama yaitu guru dan siswa. Dalam
proses pembelajaran yang baik yaitu siswa yang
Media yang digunakan dalam proses diskusi tersebut adalah melalui komunikasi
lisan.
Pemakaian bahasa Indonesia pada siswa dari perkotaan berbeda dengan
siswa kawasan
pedesaan.
Kegiatan
belajar
mengajar
pada
siswa
yang
bagi siswa
yang
akan
SMP
Negeri 2
Pandeglang. Siswa yang bersekolah di SMP terserbut umumnya berasal dari desadesa di sekitar sekolah, seperti Desa Mekarwangi, Sodong, Ciandur. Lokasi
sekolah berjarak 20 km dari selatan kota Pandeglang. Siswa di SMP Negeri 2
CIBALIUNG mempunyai latar bahasa yang berbeda-beda, namun sebagian besar
mereka berasal dari keluarga petani yang kesehariannya menggunakan bahasa
Sunda sebagai bahasa sehari-hari, bahkan beberapa dari mereka ada yang masih
canggung
menggunakan
bahasa
Indonesia
sebagai bahasa
sehari-hari,
atau
paling
tidak
mereka
tidak
canggung
alih
kode dan
campur
kode. Penelitian
ini
dilakukan
untuk
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Bagaimanakah persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode
dalam aktivitas diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP
Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang?
2.
Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses
diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 CIBALIUNG,
Kabupaten Pandeglang?
3.
Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam
proses diskusi kelompok pada pelajaran Bahasa Indonesia di kelas SMP Negeri
2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menjelaskan
hal-hal di bawah ini.
1. Persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode dalam aktivitas
diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 CIBALIUNG,
Kabupaten Pandeglang.
2.
Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi
kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 CIBALIUNG,
Kabupaten Pandeglang.
3. Faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam proses
diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di kelas SMP Negeri 2
CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang.
E. Kegunaan Penelitian
1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan hasil penelitian
tentang persepsi guru, bentuk , dan faktor penyebab terjadinya alih kode dan
campur kode dalam proses diskusi kelompok Bahasa Indonesia di kelas VIII
SMP Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang.
2.
Bagi guru, penelitian ini dapat menjadi masukan untuk memakai bahasa yang tepat
dalam mengajarkan materi sehingga materi dapat tersampaikan kepada peserta
didik (siswa) dengan jelas dan peserta didik dapat menangkap materi dengan
baik.
3.
4.
Bagi siswa, dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Bagi
sekolah,
hasil
penelitian
ini
dapat
dijadikan
acuan
dalam
upaya
mengadakan inovasi pembelajaran bagi para guru bahasa Indonesia yang lain, dan
meninggalkan strategi pembelajaran yang monoton (konvensional), selain itu sekolah
akan mendapatkan siswa yang mempunyai kemampuan berbahasa yang baik.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Deskripsi Konseptual
1. Hakikat Bahasa
Bahasa menurut teori struktural dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda
arbitrer yang konvensional (Soeparno, 2002: 1). Anderson (dalam Tarigan, 1989:
4) mengemukakan adanya delapan prinsip dasar mengenai hakikat bahasa: yaitu
sebagai berikut, (1) bahasa adalah suatu sistem, (2) bahasa adalah vokal (bunyi
ujaran), (3) Bahasa tersusun dari lambang-lambang arbitrer, (4) setiap bahasa
bersifat unik (khas), (5) bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan, (6) bahasa
adalah alat komunikasi, (7) bahasa berhubungan erat dengan budaya tempat
berada, dan (8) bahasa selalu berubah-ubah.
Douglas (dalam Tarigan, 1989: 5-6), setelah menelaah batasan bahasa
dari enam sumber, membuat rangkuman sebagai berikut.
a. Bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barangkali juga oleh sistem
generatif.
b. Bahasa adalah seperangkat lambang-lambang manasuka atau simbol-simbol
arbitrer.
c. Lambang tersebut terutama sekali bersifat vokal tetapi mungkin juga bersifat
visual.
d.
Lambang-lambang
atau
simbol-simbol
tersebut
mengandung
makna
konvensional.
e. Bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi atau sarana pergaulan sesama
insan manusia.
f.
g. Bahasa pada hakikatnya bersifat manusiawi, walaupun mungkin tidak terbatas pada
manusia saja.
h. Bahasa diperoleh semua orang atau bangsa dengan cara yang hampir atau
banyak
bersamaan;
bahasa
dan
pembelajaran
bahasa
mempunyai
ciri-ciri
kesemestaan.
Bahasa juga dapat diartikan sebagai sarana komunikasi manusia yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyampaikan informasi kepada orang
lain.
2. Ragam Bahasa
Bahasa mempunyai beberapa ragam, Joos (dalam Nababan, 1993: 22)
membagi gaya atau ragam bahasa menjadi lima, yaitu sebagai berikut.
a. Ragam Baku
Ragam baku ialah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan dalam
situasi-situasi yang khidmat dan upacara resmi. Dalam bentuk tertulis ragam
beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah seperti undang-undang dasar
dan dokumen penting lainnya.
b. Ragam Resmi
Ragam resmi ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi,
rapat dinas, atau rapat resmi pimpinan suatu badan.
c. Ragam Usaha
Ragam usaha adalah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraanpembicaraan
biasa
di
sekolah,
perusahaan,
dan
rapat-rapat
usaha
yang
berorientasi kepada hasil atau produksi; dengan kata lain, ragam ini berada
pada tingkat yang paling operasional.
d. Ragam Santai
Ragam
bahasa
santai
antarteman dalam
berbincang-bincang,
rekreasi,
(jadi
masyarakat
ada
yang
datang
akan mempengaruhi
Chaer
bahasa
(1994:
65)
bahasa
masyarakat
yang
dimasuki. Hal yang sangat menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak
bahasa ini
adalah
terjadinya
bilingualisme
dan multilingualisme,
dengan
berbagai macam kasusnya, seperti interferensi, integrasi, alih kode, dan campur
kode.
Mackey (dalam Rusyana, 1989: 4) menyatakan bahwa kontak bahasa
adalah pengaruh suatu bahasa kepada bahasa lainnya yang menimibulkan
perubahan dalam langue, dan menjadi milik tetap bukan saja dwibahasawan
melainkan juga ekabahasawan. Kontak bahasa itu berlangsung bukan hanya
dalam diri perorangan melainkan dalam situasi kemasyarakatan, yaitu tempat
seseorang mempelajari bahasa kedua itu. Oleh karena itu kontak bahasa
dianggap merupakan bagian dari kontak yang lebih luas, yaitu kontak budaya.
Kontak bahasa terjadi dalam diri penutur secara individual. Kontak bahasa itu
terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi saat seseorang belajar bahasa
kedua di dalam masyarakatnya (Suwito, 1985: 39).
Dari beberapa pendapat pakar bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa kontak
bahasa manusia itu dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai sosial. Jadi dalam
sosiolinguistik pengkajian bahasa harus disesuaikan dengan kehidupan manusia
dan sekitarnya, baik sosial maupun budaya.
4. Bilingualisme
Bilingualisme
dalam
bahasa
Indonesia
sering
disamakan
dengan
mengenal
dua
bahasa
dengan
baik:
bangsa
Indonesia
dua
bahasa
secara bergantian
baik
secara
produktif
maupun
satu bahasa tidak menampakkan unsur-unsur bahasa dari bahsa lain. Pada waktu
beralih ke bahasa lainnya tidak terjadi pencampuran sistem.
b. Bilingualisme majemuk sering mengacaukan unsur-unsur dari kedua bahasa yang
dikuasainya.
Kadang-kadang
kita
menyaksikan
orang-orang
Indonesia yang
interference).
c.
Kedwibahasaan
sub-ordinat.
Fenomena
ini
terjadi
pada
seseorang
atau
masyarakat yang menggunakan dua sistem bahasa atau lebih secara terpisah.
Biasanya masih terdapat proses penerjemahan. Seseorang yang bilingual subordinate masih cederung mencampur-adukkan konsep-konsep bahasa pertama ke
dalam bahasa kedua atau bahasa asing yang dipelajari.
Menurut Ponulele (1994: 25) di dalam bilingualism terdapat para penutur
yang menguasai dua bahasa atau lebih dan mereka disebut bilingual. Istilah ini
bersifat relatif sekali, dalam arti belum diperoleh kesatuan pendapat dari para
ahli bahasa tentang batas-batas kemampuan penguasaan bahasa seseorang
untuk
dapat
Ponulele,
dikatakan
sebagai
seorang
bilingual.
Bloomfield
(dalam
bahasa Indonesia namun ia akan lebih menguasai bahasa daerahnya, dan saat ia
bertemu dengan orang dari asal daerahnya dia akan memilih berkomunikasi dengan
bahasa daerah (Jawa).
Bilingualisme yang sering terjadi di Indonesia adalah bilingualisme bahasa
daerah dengan bahasa Indonesia. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut
dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan adalah penguasaan dua bahasa yang
dilakukan secara bergantian dan berdasarkan situasi yang ada. Jadi, seseorang
secara bergantian menggunakan dua bahasa yang berbeda berdasarkan situasi
dan kondisi di mana penutur melakukan tindak tutur.
5. Pengertian Kode
Kode
ialah
suatu
sistem
tutur
yang
penerapan
unsur
bahasanya
mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur
dengan lawan bicara, dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk
varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota-anggota
masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo, 1976: 3).
Suwito (1985: 67) menyatakan bahwa kode adalah salah satu varian di dalam
hierarkhi kebahasaan yang dipakai dalam komunikasi. Suwito juga menyatakan
bahwa alat komunikasi yang merupakan varian dari bahasa dikenal dengan
istilah kode. Dengan demikian, maka dalam bahasa terkandung beberapa macam
kode.
Menurut Richards (dalam Ponulele, 1994: 26) menyatakan bahwa kode adalah
istilah yang digunakan sebagai pengganti bahasa, ragam tutur, atau dialek.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa kode adalah istilah
untuk menyebut bahasa atau ragam bahasa, dalam pebicaraan sesorang tentu
mengirimkan kode-kode tertentu kepada lawan bicaranya, dengan kode-kode
tersebut maka penutur dan lawan tutur dapat berkomunikasi dengan lancar.
Ponulele (1994:21) merumuskan hubungan hierarki antara kontak bahasa,
bilingualisme, alih kode, dan campur kode dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Hubungan antara Bahasa, Bilingualisme, Alih Kode, dan Campur Kode.
Jadi adanya bilingualisme disebabkan terjadinya kontak bahasa, dan akan
mengakibatkan munculnya gejala kebahasaan yaitu alih kode dan campur kode.
6. Alih Kode
a. Pengertian Alih Kode
Dalam
keadaaan
kedwibahasaan
(bilingualisme),
akan
sering
terdapat
orang mengganti bahasa atau ragam bahasa, hal ini tergantung pada keadaan
atau keperluan berbahasa itu. Kejadian itu disebut alih kode. Konsep alih kode
ini mencakup juga kejadian beralihnya satu ragam bahasa (umpamanya ragam
santai) ke ragam lain (umpamanya ragam formal), atau dari satu dialek ke
dialek lain dan sebagainya (Nababan, 1993: 31-32).
Pengartian alih kode menurut Kamal (2012) adalah Alih kode pada hakikatnya
merupakan
pergantian
pemakaian
bahasa
atau
dialek.
Rujukannya
adalah
26)
code-switching
is: "the
juxtaposition
within
the same
speech
gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Menurut Wardaugh (dalam Dako, 2004: 271)
ada dua jenis alih kode, yaitu alih kode situasional dan metaforis.
Alih kode situasional terjadi pada saat perubahan bahasa menurut kebutuhan
situasi yang dikenal oleh penutur itu sendiri, dimana dalam sebuah situasi
mereka
berbicara
dengan
sebuah
bahasa
dan
pada
situasi
lain
mereka
berbicara dengan bahasa lain. Alih kode metaforis memiliki dimensi afektif
dimana kita menegaskan kembali kode dengan perubahan, baik dari situasi
formal ke stuasi informal, resmi ke keadan santai, serius ke keadaan humor,
dan lain sebagainya.
Alih kode yaitu beralih dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain pada waktu ia
berbicara atau menulis (Rusyana, 1989: 24). Menurut Suwito (1985: 68) alih kode
adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Namun, di
dalam suatu kode terdapat berbagai kemungkinan varian (baik varian regional,
varian kelas sosial, ragam, gaya, ataupun register) sehingga peristiwa alih kode
mungkin berwujud alih varian, alih ragam, dan alih gaya atau alih register. Peralihan
demikian dapat diamati baik lewat tingkat-tingkat tata bunyi, tata kata, tata kalimat,
maupun wacananya.
Crystal (dalam Skiba, 1997) berpendapat suggests that code, or language,
switching occurs when an individual who is bilingual alternates between two
languages during his/her speech with another bilingual person. A person who is
bilingual may be said to be one who is able to communicate, to varying extents, in a
second language.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengalihan kode atau bahasa, sering terjadi
ketika seseorang yang memiliki kemampuan menguasai lebih dari satu bahasa
mengganti bahasanya pada saat berbicara dengan orang lain yang memiliki
dua bahasa bisa dikatakan menjadi salah satu yang bisa berkomunikasi, pada
tingkat yang bervariasi dalam bahasa kedua.
Poedjosoedarmo (1976: 20) mengemukakan bahwa peristiwa alih kode
melibatkan peralihan kalimat. Dari berbagai pendapat di atas alih kode dapat
didefinisikan sebagai peristiwa peralihan pemakaian bahasa dari satu bahasa ke
bahasa lain atau dari satu ragam bahasa ke ragam bahasa lain. Dalam gejala
kebahasaan (campur kode) ini faktor paling menetukan adalah penutur, saat
seorang
penurut
sedang
melakukan
campur
kode,
maka
harus
diketahui
identitasnya, seperti tingkat pendidikannya, agama, ras, latar belakang sosial, dan
lainnya. Setelah itu baru unsur kebahasaan yang menetukan terjadinya alih
kode. dengan makin banyak bahasa yang dikausai oleh seorang penutur dari
latar belakang pendidikannya, makin luas kemungkinan untuk bercampur kode. dari
penjabaran tersebut, ada dua tipe yang menjadi latar belakang terjadinya alih
kode, yaitu; latar belakang sikap dan latar belakang kebahasaan.
b. Ciri- ciri Alih Kode
Ciri-ciri alih kode menurut Suwito (1985: 69) adalah sebagai berikut.
a. Masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan
konteksnya.
b. Fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan
perubahan konteks.
c. Macam-macam Alih Kode
Suwito (1985: 69) membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu
sebagai berikut.
a. Alih kode intern
Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian bahasa yang
terjadi antardialek, antarragam, atau antargaya dalam lingkup satu bahasa.
b. Alih kode ekstern
Alih kode ekstern adalah perpindahan pemakaian bahasa dari satu bahasa ke
bahasa lain yang berbeda. Perpindahan tersebut dapat berupa perpindahan
dari satu bahasa daerah ke bahasa daerah lain, perpindahan dari bahasa
daerah ke bahasa nasional, perpindahan dari bahasa daerah ke bahasa asing,
dan perpindahan dari bahasa nasional ke bahasa asing.
Alih kode intern yang biasanya terjadi dalam pembelajaran di sekolah
yaitu alih kode ragam resmi dan ragam santai, alih kode ragam resmi dan ragam
usaha, alih kode ragam resmi dan ragam beku, serta alih kode ragam santai dan
ragam usaha. Sedangkan alih kode ekstern yang sering terjadi yaitu alih kode bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa, serta alih kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Poedjosoedarmo (1976: 14-20) membagi alih kode menjadi dua macam yaitu sebagai
berikut.
a)
b)
a) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud tertentu.
Seorang penutur atau pembicara terkadang melakukan alih kode terhadap mitra
tuturnya karena ada maksud dan tujuan tertentu.Misalnya, seorang mahasiswa
setelah
beberapa
saat
berbicara
dengan dosennya
mengenai
nilai
mata
kuliahnya yang belum tuntas dan dia baru tahu bahwa dosennya itu berasal dari
daerah yang sama dan juga mempunyai bahasa ibu yang sama pula. Agar
urusannya cepat selesai, maka mahasiswa tersebut melakukan alih kode dari
bahasa indonesia ke bahasa daerahnya agar semuanya bisa berjalan lancar
dalam mengurus nilainya.
b) Lawan tutur. Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih
kode karena sipenutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan bicaranya.
Misalnya,
penutur
bugis
berusaha
mengimbangi
lawan bicaranya
yang
c)
Hadirnya
penutur
ketiga,
misalnya
alih
kode
tersebut
dilakukan
Perubahan
situasi
untuk
karena
hadirnya orang ketiga Kehadiran orang ketiga yang tidak berlatar belakang
bahasa yang sama dengan yang di gunakan oleh penutur dan lawan bicara
yang sedang berbicara. Misalnya, si A dan si B sementara bercakap bugis,
kemudian si C tiba-tiba datang dan tidak menguasai bahasa bugis. Dengan
demikian si A dan si B beralih kode dari bahasa bugis ke bahasa indonesia.
d) Pokok pembicaraan (topik). Topik pembicaraan merupakan hal dominan yang
menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal
biasanya diungkapakan dengan ragam baku dengan gaya netral dan serius.
Sedangkan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan
bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
e) Untuk membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana. Dalam sebuah
pembicaraan biasanya orang akan melakukan alih kode guna membangkitkan
rasa humor dalam pembicaraan, agar suasana yang taginya serius dan tegang
dapat mencair dan lebih santai.
f) Untuk sekedar bergengsi. Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan
faktor situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadinya alih kode,
sehingga tampak adanya pemaksaan dan cenderung tidak komunikatif.
Beberapa alasan beralih kode yang dikemukakan oleh Kammarudin (1989:
60-62) seperti berikut.
1) Karena sulit membicarakan topik tertentu pada bahasa tertentu.
2) Guna dasar pengalihan bahasa ke bahasa lain.
3) Untuk menegaskan sesuatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang sedang
terjadi di kalangan pembicara.
4) Untuk mengeksklusifkan seseorang dari suatu situasi percakapan.
5) Mengutip ucapan orang lain.
6) Menekankan solidaritas kelompok.
7) Mengistimewakan yang disapa.
8) Menjelaskan hal yang telah disebutkan.
9) Membicarakan peristiwa yang telah lalu.
10) Untuk
meningkatkan
seseorang.
status
atau
gengsi
atau
kekuasaan
atau
keahlian
Dari ketiga pendapat tentang faktor penyebab alih kode yang telah
dikemukakan di atas, dapat disimpulkan faktor-faktor penyebab alih kode adalah
sebagai berikut.
1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud tertentu.
2) Lawan tutur, alasan lawan tutur seperti untuk mengimbangi bahasa yang digunakan
oleh lawan tuturnya.
3) Perubahan situasi hadirnya orang ketiga.
4) Perubahan topik pembicaraan.
5) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya.
6) Untuk membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana.
7) Untuk sekedar bergengsi.
8) Untuk menegaskan sesuatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang
sedang terjadi di kalangan pembicara.
9) Mengutip ucapan orang lain.
10) Menekankan solidaritas kelompok.
11) Membicarakan peristiwa yang telah lalu.
12) Guna dasar pengalihan bahasa ke bahasa lain.
e. Fungsi Alih Kode
Fungsi alih kode merujuk pada apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan
peralihan kode tersebut. Fungsi alih kode dan fungsi campur kode hampir
sama.
Di
bawah
ini
adalah
fungsi
alih
kode
yang
dikemukakan
oleh
Untuk menegaskan suatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang sedang
terjadi antara penuturnya.
2)
3)
4)
5)
Untuk mengutip ucapan orang lain, misalnya ingin mengutip ucapan orang lain
dengan bahasa lain.
Jadi, alih kode yang dilakukan oleh seorang penutur pasti mempunyai
fungsi tertentu sesuai dengan alasan penutur tersebut beralih kode. Dari faktor
penyebab atau alasan penutur beralih kode, dapat disimpulkan bahwa fungsi
antara
sesama
sebagai
penutur
suatu
yang
kekacauan
bilingual
atau
atau
interferensi
multi
lingual,
bahasa
sering
(performance
campur kode (code mixing) (Paul Ohoiwutun, 2002: 69). Menurut Nababan (1993:
32) campur kode adalah suatu tindak bahasa bilamana orang yang mencampur
dua (lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act
atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut
pencampuran
bahasa.
Nababan
(dalam
Paul Ohoiwutun,
2002:
69)
juga
menyatakan bahwa campur kode adalah penggunaan lebih dari satu bahasa
atau kode dalam satu wacana menurut pola-pola yang masih belum jelas. Di
Indonesia gejala campur kode tersebut sering disebut dengan gado-gadoyang
diibaratkan dengan sajian gado-gado,
bahasa dari bahasa satu ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam
bahasa termasuk di dalamnya pemakaian kata atau sapaan.
b. Ciri-ciri Campur Kode
Suwito (1985: 75-76) mengemukakan dalam campur kode terdapat ciri-ciri
khusus antara lain sebagai berikut.
1) Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak
lagi mempunyai fungsi tersendiri, unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa
yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi.
2)
Dalam
kondisi
kebahasaan,
masing
yang
maksimal,
unsur-unsurnya
telah
meninggalkan
campur
kode
merupakan
dari
beberapa
bahasa
berasal
fungsi-fungsi
dan
mendukung
konvergensi
yang
masing-
bahasa
yang
disisipinya
3) Unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam campur kode terbatas pada tingkat frase
saja.
Selain itu, juga masih ada ciri lain campur kode yaitu hubungan timbal balik
antar peran dengan fungsi kebahasaan. Peran adalah siapa yang bercampur
kode, fungsi kebahasaan adalah apa yang hendak dicapai oleh penutur dalam
tuturannya.
c. Macam-macam Campur Kode
Suwito (1985: 78-79) menyebutkan beberapa macam campur kode yang
berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya yaitu sebagai
berikut.
1) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata.
Kata-kata sebagai sebuah kode yang disisipkan di dalam kode utama atau kode
dasar dari bahasa lain merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya campur
kode dalam peristiwa berbahasa. Menurut Oka dan Suparno (1994: 25), kata
adalah serapan satuan bahasa yang terbentuk dari satu morfem atau lebih. Contoh :
seorang pemimpin harus mengayomi rakyat lahir dan batin
seorang pemimpin
campur
kode
dalam
(1998:
301)
berpendapat bahwa frasa merupakan gabungan dua buah kata atau lebih yang
merupakan satu kesatuan, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat
(subjek, predikat, objek, keterangan). Contoh : anak korban tabrak lari itu sudah
dibawa ke rumah sakit. anak korban tabrak lari itu sudah dibawa ke balai
pengobatan.
3) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster.
Bentuk baster yaitu suatu bentuk bahasa akibat adanya penggabungan kata
dasar (asal bahasa Indonesia) dengan kata tambahan (asal bahasa Inggris)
misalnya kata dasar hutan + imbuhan isasi menjadi hutanisasi. Bentuk ini juga
mengakibatkan
sosial.
Pengulangan
dasar,
tersebut
dapat
berupa
pengulangan
seluruh
kata
dijelaskan
sebagai
satuan
gramatikal
yang
terdiri
predikat, baik disertai objek, pelengkap, keterangan atau tidak. Klausa dari bahasa
lain yang dimasukkan ke dalam kode dasar akan menyebabakan campur kode
dalam peristiwa tutur. Oka dan Suparno, (1994:
Suwito (1985: 77) mengemukakan latar belakang terjadinya campur kode pada
dasarnya
dapat
dikategorikan
menjadi
dua
tipe
yaitu
tipe
yang
berlatar
belakang pada sikap dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan. Alasan atau
penyebab lain yang mendorong terjadinya campur kode adalah sebagai berikut.
1). Identifikasi peranan.
Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional.
2). Identifikasi ragam.
Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa di mana seorang penutur melakukan
campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarkhi status sosialnya.
3) Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak karena ca mpur kode
juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan
hubungan orang lain terhadapnya.
Suwito (1985: 78) juga menyatakan campur kode terjadi karena ada
timbal balik antara peranan atau siapa yang memakai bahasa itu dan fungsi
kebahasaan atau apa yang ingin dicapai penutur dalam tuturannya. Artinya,
penutur mempunyai latar belakang sosial tertentu cenderung memilih bentuk
campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu.
Campur kode dilakukan oleh penutur baik secara sadar maupun tidak
sadar. Campur kode yang dilakukan secara sadar apabila penutur mempunyai
tujuan tertentu, menunjuk ke suatu hal yang tidak dapat diungkapkan dengan
bahasa utama yang digunakannya.
Nababan (1993: 32) menyatakan campur kode terjadi karena tidak adanya
ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai penutur. Faktor-faktor yang
mempengaruhi campur kode adalah penutur, petutur, dan topik pembicaraan.
Penutur yang multibahasawan mempunyai banyak kesempatan untuk melaku
campur kode. Keheterogenan latar belakang petutur seperti usia, status sosial,
dan tingkat pendidikan menuntut kepandaian penutur dalam memilih bahasa
yang tepat. Namun demikian, dalam hal ini yang paling penting adalah penutur
harus mengetahui bahwa petuturnya juga merupakan multibahasawan. Topik
pembicaraan memungkinkan terjadinya campur kode, karena ada beberapa topik
yang cenderung menuntut pemakaian kode bahasa tersendiri.
tuturannya
sangat
menentukan
pilihan
bahasanya.
Suwito
juga
mengemukakan tujuan pemakaian campur kode ada beberapa macam, antara lain
penutur ingin menunjukkan keterpelajarannya, ketaatan dalam beribadah, dan
kekhasan daerahnya.
Menurut Nababan
(1993:
32)
campur
kode
dipakai
penutur
untuk
Di dalam alih kode, terjadi peralihan dari klausa bahasa yang satu ke klausa
bahasa yang lain dalam suatu tuturan dan masing-masing klausa masih
mendukung fungsi tersendiri.
2) Di dalam campur kode, klausa maupun frasa-frasanya terdiri dari klausa dan frasa
baster dan masing-masing klausa maupun frasanya tidak lagi mendukung fungsi
tersendiri.
9. Diskusi Sebagai Ragam Tuturan dalam Proses Belajar Mengajar
Interaksi
belajar
mengajar
merupakan
peristiwa
komunikasi
yang
berlangsung dalam situasi formal (Zamzani, 2007: 1). Peristiwa tutur di dalam proses
belajar mengajar seperti proses belajar mengajar Bahasa Indonesia merupakan
peristiwa tutur formal, sehingga ragam bahasa yang digunakan adalah ragam formal.
Selain ragam bahasa formal, dalam proses belajar mengajar Bahasa
Indonesia
juga menggunakan
ragam
bahasa
usaha
(consultative).
Tempat
mempunyai
a. Tujuan umum
1) Melatih siswa atau peserta diskusi untuk berpikir secara praktis
2) Melatih mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain.
3) Menumbuhkan dan mengembangkan sifat senang bekerja sama dengan orang
lain.
4) Melatih siswa atau mahasiswa untuk berperan serta secara akatif dan berperan
kostruktif terhadap suatu masalah.
5) Untuk mengembangkan ide siswa/mahasiswa dalam memecahkan masalah yang
memerlukan musyawarah.
b. Tujuan khusus
1) Untuk mengatasi masalah yang dihadapi individu atau kelompok yang berhubungan
dengan mata pelajaran atau kurikulum.
2) Untuk menyeesaikan masalah yang bersifat sosial dan yang ada hubungannya
dengan tingkah laku baik dari diri siswa/mahasiswa atau masyarakat.
3)
memecahkan
mempertimbangkan
baik
suatu
dan
masalah
buruk,
secara
dan
bersama-sama dengan
sekaligus
menetapkan
cara
Wanger
dan
Arnold
(dalam
Wiranso
dan
Arief,
200:
70)
menggolongkan diskusi kelompok yang tidak resmi adalah sebagai (1) kelompok
studi, (2) kelompok pembentuk kebijakasaan, dan (3) Komite
Menurut Vygotsky (dalam Huda, 2011: 24) salah satu landasan teoritis ertama
tentang
belajar
kelompok
Menurut Vygotsky
mental
ini
berasal
siswa
dari
pertama
pandangan
kali
konstruktivis sosial.
berkembang
pada
level
hasil interaksi ini. Dengan demikian sangat baik bagi siswa sejak dini diajarkan
untuk belajar berinteraksi
belum
mereka
ketahui
atau
bertukar
pikiran
bertukar
pendapat
3) Memperoleh umpan balik dari para siswa tentang tujuan yang telah dirumuskan
telah tercapai.
4) Membantu para siswa menyadari dan mampu merumuskan berbagai masalah yang
dilihat baik dari pengalaman sendiri maupun dari pelajaran sekolah.
5) Mengembangkan motivasi untuk belajar lebih lanjut.
Untuk dapat mengoperasikan metode diskusi kelompok ini ada beberapa
langkah yang perlu diperhatikan bagi guru antar lain.
1)
Guru
menggunakan
pengarahan
seperlunya
masalah
mengenai
yang
ada
cara-cara
didiskusikan
dan
pemecahannya,
memberikan
hal terpenting
adalah permasalahan yang dirumuskan sejelas-jelasnya agar dapat dipahami baikbaik oleh setiap siswa.
2) Para siswa berdiskusi di dalam kelompok dan setiap anggota kelompok ikut
berpartisipasi secara aktif.
3) Setiap kelompok melaporkan hasil diskusinya, hasil-hasil yang dilaporkan itu
ditanggapi oleh semua siswa (kelompok lain).
4)
Akhir
diskusi
para
siswa
mencatat
hasil-hasil
diskusinya
dan
guru
belajar
yang
kelompok
merupakan
salah
satu
pengalaman
(3)
dapat
berkomunikasi, (4)
mengembangkan
dapat
meningkatkan
kemampuan
ketertiban
untuk
dalam
berfikir
perencanaan
dan
dan
kelompok
memiliki
kelemahan-kelemahan
yang
dapat
masalah yang diteliti adalah masalah campur kode, sedangkan masalah yang
diteliti dalam penelitian ini adalah masalah alih kode dan campur kode. Selain
itu, ada hal yang juga membedakan antara penelitian ini dan penelitian Dian
Astutik Wulandari yaitu subjek dan objek penelitian. Dalam penelitian ini yang
menjadi
subjek penelitian
adalah
siswa,
objek
penelitian
adalah
semua
pembicaraan yang terjadi dalam proses diskusi siswa, pendapat duru hanya
digunakan untuk mendapatkan jawaban tentang persepsi guru mengenai peristiwa
alih kode dan campur kode dahasa dalam diskusi siswa. Sedangkan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Dian Astutik Wulandari subjek penelitiannya
adalah pembina dan peserta pramuka, objek penelitiannya adalah semua
pembicaraan yang terjadi dalam proses latihan kepramukaan
Hasil penelitian Dian Astutik Wulandari yang berjudul Campur Kode dalam
Tuturan Latihan Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo sebagai berikut: (1) adanya
variasi campur kode dalam penelitian tersebut yaitu campur kode bahasa
(bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan bahasa
Inggris), campur kode ragam (ragam beku dengan ragam resmi, ragam beku dengan
ragam santai, dan ragam resmi dengan ragam santai), (2) campur kode wujud unsur
kebahasaan dalam latihan kepramukaan yaitu campur kode wujud kata dan
campur kode wujud frase, dan (3) fungsi pemakaian campur kode adalah
untuk mempertegas, meminta ketegasan, memberi semangat, dan menunjukkan
makna yang tepat.
Penelitian yang relevan kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Lina
Puspita Sari dengan judul penelitian
kode kata, campur kode frasa, campur kode klausa , dan campur kode
pengulangan kata.
b. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode yang terjadi yaitu untuk
mengimbangi
kemampuan
berbahasa
siswa,
kebiasaan
guru
dengan
penelitian
adalah
guru
dan
siswa
sedangkan
objek
tersebut
telah
memberikan
hasil
yang
signifikan
untuk
bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 kepil, guru menganggap peristiwa alih kode
yang dilakukan siswa adalah sikap yang salah dan harus dibenahi.
Peneitian
yang
relevan
kelima
adalah
tesis
yang
ditulis
oleh
Yulia
pembicaraan,
bahasa terjadi
sedangkan
karena
penutur
pada metaphorical
ingin
menekankan
codeswitching
apa
yang
berubah
menjadi
belajar
mengajar
bahasa bahasa
berlangsung,
Indonesia
secara
kalau
siswa
keseluruhan
dipaksa
maka
akan
menyulitkan siswa terlebih saat diskusi kelompok. Siswa akan terhambat dalam
menyampaikan ide yang mereka punya, maka dari itu guru memperbolehkan
siswa menggunakan alih kode dan campur kode dalam kegiatan diskusi
tersebut. Dengan penggunaan alih kode dan campur kode bahasa Indonesia
dengan bahasa Sunda maka siswa akan lebih mudah mengungkapkan ide yang
mereka miliki, juga lebih mudah menerima ilmu dari guru maupun siswa yang lain.
Untuk mengatahui persepsi guru, wujud dan macam, faktor penyebab
terjadinya
campur
pelajaran bahasa
kode
dan
Indonesia
alih
di
kode
SMP
Negeri
CIBALIUNG
kelompok
kabupaten
menurut Moleong (2001: 3) yang mengutip pendapat Bogdan dan Taylor adalah
sebagai berikut:Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku
yang diamati. Lebih lanjut Sutopo (1991:35) menjelaskan data yang dikumpulkan
berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar
angka atau frekuensi. Penelitian menekankan catatan yang menggambarkan
situasi yang sebenarnya guna mendukung penyajian data.
Jenis penelitian yang digunakan
dengan
tujuan
penelitian,
penelitian
ini
berusaha
mendiskripsikan terjadinya alih kode dan campur kode dalam diskusi siswa
SMP
kesulitan
menggunakan
Dimana
siswa
masih
data
dan
dalam
penelitian
ini
adalah
peristiwa penggunaan
Negeri
Bahasa
2 CIBALIUNG Kabupaten
Pandeglang dalam proses diskusi kelompok. Objek penelitian ini adalah campur
kode dan alih kode dalam proses diskusi kelompok siswa di SMP Negeri 2
CIBALIUNG. Selain itu sumber data juga diperoleh dari informan, yaitu guru
mata pelajaran Bahasa Indonesia dan siswa.
D. Sampel dan Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling
dimana pengambilan sampel dari peristiwa kegiatan pembelajaran di kelas,
wawancara dengan informan, yaitu guru bahasa Indonesia kelas VII, VIII dan,
IX dan siswa yang melakukan alih kode dan campur kode dalam diskusi,
bertujuan agar peneliti dapat mengetahui seberapa sering penggunaan alih kode
yang digunakan saat pembelajaran Bahasa Indonesia.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
a) Observasi
Teknik observasi atau pengamatan dilakukan dengan penelti sebagai observator
partisipan
pasif
terhadap
peristiwa
atau
kegiatan diskusi
kelompok
mata
pelajaran Bahasa Indonesia untuk memperoleh data tentang pemakaian alih kode
dan campur kode yang dilakukan siswa saat berdiskusi.
b) Wawancara
Teknik wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan guru mata pelajaran
bahasa Indonesia kelas VII, VIII dan, IX serta beberapa siswa dari kelas VII,VIII
dan, IX. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi lebih dari pengamatan atau
observasi yang dilakukan, setelah melakukan observasi langsung diskusi siswa
saat
melakukan
wawancara
untuk
mengetahui persepsi guru terhadap penggunaan alih kode dan campur kode
bahasa yang dilakukan siswa saat berdiskusi
dan
mengetahui
faktor-faktor
untuk mengecek alasan terjadinya alih kode dan campur kode yang dikalukan
siswa saat berdiskusi kelompok.
2. Triangulsi sumber data
Triangulasi sumber data, yakni dengan membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat
yang berbeda. Dalam hal ini membandingkan data tentang alih kode dan
campur kode bahasa yang dilakukan siswa melalui data yang diperoleh dari guru
dicek pada siswa atau siswa satu dicek pada siswa yang lain.
3. Review informan
Review informan dilakukan untuk mengecek kembali data dan informasi. Data
diperoleh dari guru dan siswa.
Analisis
yaitu:
model
interaktif
pengumpulan
data,
ini
merupakan
reduksi
data,
interaksi
penyajian
dari
data,
empat
dan
penelitian
berlangsung.
Pada
penelitian
ini
data
yang diverifikasi
meliputi: (1) persepsi guru, (2) bentuk-bentuk alih, dan (3)faktor-faktor penyebab
terjadinya alih kode dan campur kode dalam diskusi siswa.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model
interaktif Milles dan Huberman (Sutopo, 2002: 187). Analisis interaktif adalah
analisis yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
penarikan simpulan/verifikasi.
H. Prosedur Penelitian
a. Tahap persiapan
a) Pengajuan judul proposal
b) Pembuatan proposal
c) Sidang proposal
b. Tahap pelaksanaan
a) Perizinan penelitian
b) Pengumpulan data
c) Analisis data. Tahap ini meliputi pengkajian yang mendalam serta mengarah
pada tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, pengumpulan data, dan analisis data.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pengumpulan data dari hasil
wawancara mendalam dan observasi kegiatan belajar siswa yang diubah dari
data lisan menjadi data tulis.
c. Tahap akhir
Penyusunan
laporan. Tahap
ini
meliputi
konsultasi
dengan pembimbing,
DAFTAR PUSTAKA
Bagong Suyanto, et.al., (Eds.), 2007. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among. Five
Tradition. London: SAGE Publications
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika.
Nana Sudjana, et.al., 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan, Bandung: Sinar Baru dan
Pusat Pengajaran-Pembidangan Ilmu Lembaga Penelitian IKIP Bandung.
Noeng Muhajir. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta
Yin, Robert K. 2012. Studi Kasus Desai dan Metode.. Jakarta : PT Raja Grafndo Persada