Você está na página 1de 23

REFERAT

UNDESCENDSUS TESTIKULORUM

Oleh:
Karina Astari Yulianto
107103001529
Pembimbing:
Dr. Asrorudin, SpU

MODUL KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012

LEMBAR PERSETUJUAN

Referat dengan judul


Undescendsus testikulorum
Telah diterima dan disetujui sebagai syarat untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu bedah RSUP Fatmawati
Periode 14 Mei 20 Juli 2012

Jakarta, Juni 2012

Dr. Asrorudin, SpU

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah referat ini
dengan baik.
Adapun judul untuk penulisan makalah referat kali ini mengenai undescendsus
testikulorum . Dalam penunyusunan makalah ini , penulis telah mencurahkan pikiran
dan tenaga semaksimal mungkin. Namun penulis masih menyadari terdapat
kekurangan pada makalah ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangatlah
berarti bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Asrorudin, SpU selaku
pembimbing pada makalah ini dan seluruh pihak yang membantu penyusunan makalah
ini.

Jakarta, Juni 2012

Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN

Undescendcus testikulorum (UDT) atau biasa disebut Kriptorkismus merupakan


kelainan bawaan genitalia yang paling sering ditemukan pada anak laki-laki. 1,2 Sepertiga
kasus anak-anak dengan UDT adalah bilateral sedangkan dua-pertiganya adalah
unilateral. Insiden UDT terkait erat dengan umur kehamilan,dan maturasi bayi. Insiden
meningkat pada bayi yang lahir prematur dan menurunpada bayi-bayi yang dilahirkan
cukup bulan. Peningkatan umur bayi akan diikutidengan penurunan insiden UDT.
Prevalensinya menjadi sekitar 0,8 % pada umur 1 tahun dan bertahan pada kisaran angka
tersebut pada usia dewasa. 2
Meskipun telah diteliti lebih dari 100 tahun, namun masih banyak aspek UDT
yang belum dapat dijelaskan dengan baik dan masih menjadi kontroversi. 1 Termasuk
diantaranya mengenai fisiologi penurunan testis, etiologi dan petanda molekuler tentang
fertilitas dan potensi keganasannya, hingga terapi UDT.

UDT yang tidak diterapi jelas

menimbulkan kerusakan bagi testis tersebut.Pemahaman tentang morfogenesis


kelainan akibat UDT, faktor hormonal dan molekuler yang mempengaruhi, merupakan
hal yang harus diketahui dalam melakukan diagnosis maupun terapi kasus-kasus
dengan UDT. 1
Diagnosis dan terapi dini diperlukan pada kasus-kasus UDT mengingat
terjadinya peningkatan

risiko infertilitas, keganasan, torsi testis, jejas testis pada

trauma pubis, dan stigma psikologis akibat skrotum yang kosong. 3 Esensi terapi rasional
yang dianut hingga saat ini adalah memperkecil terjadinya risiko komplikasi tersebut
dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi
hormonal ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Undescendcus testikulorum (UDT) atau Kriptorkismus adalah gangguan
perkembangan yang di tandai dengan gagalnya penurunan salah satu atau kedua testis secara
komplit ke dalam skrotum. 6
Kriptorkismus berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan
orchis (latin) yang berarti testis. Nama lain dari kriptorkismus adalah undescended
testis , tetapi harus dijelaskan lanjut apakah yang di maksud kriptorkismus murni, testis
ektopik, atau pseudokriptorkismus. Kriptorkismus murni adalah suatu keadaan dimana
setelah usia satu tahun, satu atau dua testis tidak berada didalam kantong skrotum,
tetapi berada di salah satu tempat sepanjang jalur penurunan testis yang normal.
Sedang bila diluar jalur normal disebut testis ektopik , dan yang terletak di jalur normal
tetapi tidak didalam skrotum dan dapat didorong masuk ke skrotum serta naik lagi bila
dilepaskan disebut pseudokritorkismus atau testis retraktil.

2.2. Epidemiologi
Insidensi UDT pada bayi sangat dipengaruhi oleh umur kehamilan bayi dan
tingkat kematangan atau umur bayi. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar 3,4%
pada bayi cukup bulan. Bayi dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya mengalami
UDT, sedangkan dengan berat lahir < 1800 gram sekitar68,5 % UDT. Dengan
bertambahnya umur menjadi 1 tahun, insidennya menurun menjadi 0,8 %, angka ini
hampir sama dengan populasi dewasa (tabel 1).

Laporan serupa yang lain menyebutkan dari 7500 bayi baru lahir diInggris,
terdapat 5,0 % kasus UDT pada saat lahir, dan menurun menjadi 1,7%pada umur 3
bulan. 8 Setelah umur 3 bulan, bayi-bayi yang lahir dengan berat <2000 gram, 2000 2499 gram, dan > 2500 gram, insiden UDT berturut-turutmenjadi 7,7%, 2,5%, and
1,41%.
2.3. Embriologi
Ketika

mesonepros

mengalami

degenerasi,

suatu

ligamen

yang

disebutgubernakulum akan turun pada masing-masing sisi abdomen dari pole bawah
gonal melintas oblik pada dinding abdomen (yang kelak menjadi kanalis inguinalis) dan
melekat pada labioscrotal swelling (yang kelak menjadi skrotum atau labia majora).
Kemudian kantong peritoneum yang disebut processus vaginalis berkembang pada
masing-masing sisi ventral gubernakulum dan mengalami herniasi melalui dinding
abdomen bawah sepanjang jalur yang dibentuk oleh gubernakulum. Masing-masing
processus vaginalis membawa perluasan dari lapisan pembentuk dinding abdomen,
bersama-sama membentuk funikulus spermatikus. Lubang yang ditembus oleh
processus vaginalis pada fascia transversalis menjadi anulus inguinalis internus,

sedang lubang pada aponeurosis m. obliquus abdominis externus membentuk anulus


inguinalis eksternus.4
Minggu ke- 7-8 dari perkembangan gonad, posisi gonad pada kedua jenis
kelamin sama. Dengan mulainya diferensi seksual. Testis janin membentuk Mllerian
inhibiting substance (MIS) (atau anti-Mllerian hormone, AMH) yang dihasilkan oleh selsel Sertoli, zat tersebut sebagai androgen, dan sel leydig menghasilkan insulin-like
hormone 3 (INSL3). Hormon-hormon ini bekerja mengontrol penurunan gonal laki-laki.
Penurunan terjadi diantara dua ligamen yaitu ligamen suspensory pada daerah superior
dan ligamen genito-inguinal (gubernakulum) pada daerah inferior. Pada saat fase inisial
penurunan testis, terjadi regresi ligamen suspensorium dan penebalan gubernakulum,
sehingga testis dapat turun ke area inguinal. Beda halnya denga pada wanita, yang
kedua ligamennya tidak terdapat penebalan, sehingga ovarium tetap pada posisi
abdominal. Pada usia gestasi 20-25 minggu, prosessus vaginalis, sebuah divertikel
pada peritoneum, memanjang ke arah skrotum diikuti oleh gubernakulum. Pada saat
usis 25-30 minggu. Testis menurun ke kanalis inguinalis diikuti dengan obliterasi
processus vaginalis proksimal. Penurunan ini akan berakhir pada usia 35 minggu.
Gubernakulum akan menempel pada skrotum setelah penurunan sempurna. 5
Sekitar minggu ke-28 intrauterine, testis turun dari dinding posterior abdomen
menuju anulus inguinalis internus. Perubahan ini terjadi akibat pembesaran ukuran
pelvis dan pemanjangan ukuran tubuh, karena gubernakulum tumbuh tidak sesuai
proporsinya, mengakibatkan testis berubah posisi, jadi penurunannya adalah proporsi
relatif terhadap pertumbuhan dinding abdomen. Peranan gubernakulum pada awalnya
adalah membentuk jalan untuk processus vaginalis selama pembentukan kanalis
inguinalis, kemudian gubernakulum juga sebagai jangkar/ pengikat testis ke
skrotum. Massa gubernakulum yang besar akan mendilatasi jalan testis, kontraksi,
involusi, dan traksi serta fiksasi pada skrotum akan menempatkan testis dalam kantong
skrotum. Ketika tesis telah berada di kantong skrotum gubernakulum akan diresorbsi
(Backhouse, 1966) Umumnya dipercaya bahwa gubenakulum tidak menarik testis ke
skrotum. Perjalanan testis melalui kanalis inguinalis dibantu oleh peningkatan tekanan
intra abdomen akibat dari pertumbuhan viscera abdomen. 4

Mekanisme yang berperan dalam proses turunnya testis belum sepenuhnya


dimengerti, dibuktikan untuk turunnya testis ke skrotum memerlukan aksi androgen
yang memerlukan aksis hipotolamus-hipofise-testis yang normal. Mekanisme aksi
androgen untuk merangsang turunnya testis tidak diketahui, tetapi diduga organ
sasaran androgen kemungkinan gubernakulum, suatu pita fibromuskuler yang
membentang dari pole bawah testis ke bagian bawah dinding skrotum yang pada
minggu-minggu terakhir intrauterin akan berkontraksi dan menarik testis ke skrotum.
Posisi testis saat turun berada di posterior processus vaginalis (retroperitoneal) sekitar
4 minggu kemudian (umur 32 minggu) testis masuk skrotum. Ketika turun, testis
membawa serta duktus deferens dan vasanya sehingga ketika testis turun, mereka
terbungkus

oleh

perluasan

dinding

abdomen.

Perluasan

fascia

transversalis

membentuk fascia spermatica interna, m. obliqus abdominal membentuk fascia


kremaster dan musculus kremaster dan apponeurosis m. obliqus abdomenus eksternal
membentuk fascia spermatica externus di dalam skrotum. Masuknya testis di skrotum di
ikuti dengan kontraksi kanalis inguinalis yang menyelubungi funikulus spermatikus.
Selama periode perinatal processus vaginalis mengalami obliterasi, mengisolasi suatu
tunica vaginalis yang membentuk suatu kantong yang menutupi testis. 4

Gbr.1 Penurunan testis. A. Saat janin usia 2 bulan. B. Pada saat pertengahan bulan
ketiga. Invaginasi peritoneum kedalam skrotum, membentuk tunika vaginalis. C. Bulan
ketujuh. D. beberapa saat sebelum lahir. E. Foto mikroskop elektron pada embrio tikus
menunjukkan gonad primitif
(G), duktus mesonefros (kepala panah), dan
gubernakulum (panah). 4

Gbr.2 Penurunan testis. 1. Posisi embrional. 2. Fase transabdominal (minggu ke-8-15)


anchoring. 3. Fase inguinoskrotalis (minggu ke-25-35) migration. 4. Elongasi cord (010thn)
Dua fase penurunan testis kemungkinan dikontrol oleh kerja beberapa hormon.
INSL3 merupakan faktor mayor yang menyebabkan penebalan gubernaculum dan studi
terbaru membuktikan beberapa zat androgen seperti DHT, MIS dan kemingkinan)
relaxin appear memiliki kerja minor untuk proses swelling reaction" pada gubernakulum.
Androgen juga berperan dalam regresi ligamentum suspensorium, tapi mereka sendiri
belum cukup untuk memulai proses penurunan. Fase migrasi gubernakulum dikkontrol
secara langsung dan tidak langsung oleh androgen dengan bantuan nervus
genitofemoral yang mengeluarkan calcitonin gene-related peptide (CGRP). Studi
terbaru membuktikan bahwa reseptor androgen tidak hanya mengontrol maskulinisasi
nervus genitofemoral tapi juga pada organ target gubernakulum. Jumlah neuron
sensorik dan jumlah CGRP pada tikus lebih rendah bila diberikan intervensi berupa
anti-androgen, flutamide. Pengeluaran CGRP dari nervus menstimulasi mitosis dan

perkembangan otot kremaster pada gubernakulum, sehingga terjadi elongasi ke dalam


skrotum. Estrogen memiliki peran inhibitor minor pada perkembangan normal
gubernakulum karena menghambat kerja INSLH3. 5

2.4. Etiologi
Segala bentuk gangguan pada proses penurunan tersebut di atas akan
berpotensi menimbulkan UDT (seperti terlihat pada tabel 2). Beberapa penelitian terakhir
mendapatkan bahwa mutasi pada gen INSL3 ( Leydig insulin-like hormone 3) dan gen
GREAT (G protein-coupled receptor affecting testis descent) dapat menyebabkan UDT.
INSL3 dan GREAT merupakan pasangan ligand dan reseptor yang mempengaruhi perkembangan
gubernaculum. Mutasi atau delesi pada gen-gen

tertentu yang lain juga terbukti

menyebabkan UDT, antara lain gen reseptor androgen yang akan menyebabkan AIS (androgenin
sensitivity syndrome) , serta beberapa gen yang bertanggung-jawab pada diferensiasi
testis semisal: PAX5, SRY, SOX9, DAX1, dan MIS.

UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri ( isolated anomaly ) ataupun bersamaan
dengan kelainan kromosom , endokrin, intersex, dan kelainan bawaan lainnya. Bila disertai kelainan
bawaan lainnya seperti hipospadi kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom ( sekitar
12- 15 % ). 3
2.5. Klasifikasi
UDT dikelompokkan menjadi 3 tipe :
1. UDT sesungguhnya (true undescended) : testis mengalami penurunan parsial melalui
jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba
(impalpable).
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunanyang normal.
3. Testis retractile : testis dapat diraba/dibawa ke-dasar skrotum tetapi akibat refleks
kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke-kanalis inguinalis, bukan termasuk
UDT yang sebenarnya.
Pembagian

lain

membedakan

true

UDT

menurut

lokasi

terhentinya

testis,menjadi: abdominal , inguinal , dan suprascrotal (gambar 2). 4 Gliding testis atau
sliding testis adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat
dimanipulasi hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kembali begitu tarikan
dilepaskan. 6

2.6. Patofisiologi dan pathogenesis


Proses penurunan testis diregulasi oleh interaksi antara hormon dan faktor
mekanik, termasuk testosterone, dihidrotestosteron, mullerian inhibiting factors, dan
gubernakulum testis. Tekanan intraabdominal, dan nervus genitofemoral. Testis
terbentuk pada usia 7-8 minggu gestasi. Pada usia 10-11 minggu, sel Leydig
memproduksi

testosterone,

yang

menstimulasi

diferensiasi

duktus

Wolffian

(mesonefros) menjadi epididimis, vas deferens, seminal vesicle, dan duktus


ejakulatorius.

Pada

usia

32-36

minggu,

testis

memulai

proses

penurunannya.gubernakulum testis menempel pada testis dan ujung lainnya menempel


pada skrotum untuk menuntunnya ke skrotum. Kelainan terhadap Gubernakulum testis,
hormon gonadotropin maternal, dll dapat menyebabkan tidak turunnya testis ke dalam
skrotum7.
Suhu di dalam rongga abdomen +10C derajat lebih tinggi daripada suhu di dalam
skrotum, sehinggga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih tinggi
dariipada testis normal; hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel epitel germinal testis.
Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah mengalami
kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal yang masih
normal. Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya testis menjadi
mengecil1.
Karena sel-sel leydig sebagai penghasil hormone androgen tidak ikut rusak,
maka potensi seksual tidak mengalami gangguan. Akibat lain yang ditimbulkan dari
letak testis yang tidak berada di srotum dalah mudah terpuntir (torsio), mudah terkena
trauma, dan lebih mudah mengalami degenerasi maligna 1.
2.7. Manifestasi klinik
Kriptorkhidismus dapat terbagi menjadi 5 klasifikasi yaitu abdominal (tidak dapat
dipalpasi, sekitar 10%), peeping (terdapat di abdominal tapi dapat didorong ke bagian
atas kanalis inguinalis), inguinalis, gliding(dapat didorong ke skrotum tapi dapat kembali
lagi seara spontan ke pubic tubercle), dan ektopik (letak superficial, atau dapat
perineal). Letak yang paling sering adalah letak distal terhadap kanalis inguinalis 2.

Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak menjumpai
testis di kantong skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh karena infertilitas yaitu
belum mempunyai anak setelah kawin beberapa tahun. Jika testis terletak pada bagian
yg menonjol seperti tulang pubis, maka pasien dapat mengeluh nyeri hebat akibat
trauma. Kadang-kadang merasa ada benjolan di bagina perut bawah yang disebabkan
testis maldesensus mengalami trauma, mengalami torsio, atau berubah menjadi tumor
testis1.
2.8. Diagnosis
2.8.1. Anamnesis
Pada anamnesis harus digali adalah tentang prematuritas penderita (30%bayi
prematur mengalami UDT), penggunaan obat-obatan saat ibu hamil (estrogen), riwayat
operasi inguinal. Harus dipastikan juga apakah sebelumnya testis pernah teraba di
skrotum pada saat lahir atau tahun pertama kehidupan (testis retractile akibat refleks
cremaster yang berlebihan sering terjadi pada umur 4-6 tahun). Perlu juga digali riwayat
perkembangan mental anak, dan pada anak yang lebih besar bisa ditanyakan ada
tidaknya gangguan penciuman (biasanya penderita tidak menyadari ). Riwayat keluarga
mengenai UDT, infertilitas, kelainan bawaan genitalia, dan kematian neonatal.

2.8.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat. Pemeriksaan secara
umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda sindrom tertentu ,
dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigua. 3,6,13
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan frog leg
position dan

jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan lebih baik bila

menggunakan jelly atau sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis kearah
medial dan skrotum (gambar 3). Bila teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke
skrotum, dengan kombinasi menyapu dan menarik terkadang testis dapat didorong
kedalam skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis didalam skrotum selama 1

menit, otot-otot cremaster diharapkan akan mengalami fatigue ; bila testis dapat
bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis yang
retractile sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas.Tentukan
lokasi, ukuran dan tekstur testis.

2.8.3. Pemeriksaan Laboratorium


Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium
lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan disertai
hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan hormonal
(yang terpenting adalah 17 hydroxyprogesterone) untuk menyingkirkan kemungkinan
intersex. 1,2,6
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral
dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan testosteron
akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila umur telah
mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan dengan
melakukan stimulasi test menggunakan hCG (human chorionic gonadotropin hormone).
Ketiadaan peningkatan kadar testosteron disertai peningkatan LH/FSH setelah
dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia. 1,2,6

Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar hormon
testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon testosteron
normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi, respon normal
setelah hCHG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa kanak-kanak,
peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas, dengan meningkatnya
kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi hCG hanya sekitar 2-3x.
1,2,6

2.8.4. Pemeriksaan Radiologi


USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah
inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan.3 Pada
penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG hanya dapat
mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan tidak dapat mendeteksi testis intraabdomen.17 Hal ini tentunya sangat tergantung dari pengalaman dan kwalitas alat yang
digunakan. 1,6,9
CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG
terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI mempunyai
sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih besar (belasan
tahun).3,4,5 MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan keganasan testis.5 Baik USG, CT
scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksi vanishing testis ataupun
anorchia. 1,6,9
Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka penggunaan
angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi semakin
berkurang. Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan vanishing testis
ataupun anorchia. Dengan metode ini akan dapat dievaluasi pleksus pampiniformis,
parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis (pada anorchia).5 Kelemahannya
selain infasif, juga terbatas pada umur anak-anak yang lebih besar mengingat kecilnya
ukuran vena-vena gonad. 1,6,9

2.9. Diagnosis Banding


Seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di kantung skrotum tiba-tiba
berada di daerah inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula. Keadaan
ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca dingin, atau
setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis retraktil atau
kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati 1.
Selain itu maldesensus testis perlu dibedakan dengan anokirmus yaitu testis
memang tidak ada. Hal ini bisa terjadi secara kongenital memang tidak terbentuk testis
atau testis yang mengalami atrofi akibat torsio in utero atau torsio pada saat neonatus 1.
2.10. Penatalaksanaan
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil
risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis kedalam
skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan
(orchiopexy). 1,6
Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada testis
di kemudian hari. Dengan asumsi bahwa jika dibiarkan testis tidak dapat turun sendiri
setelah usia 1 tahun, sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang
cukup bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1
tahun. Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum harus diturunkan ke
tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun pembedahan.

1,6

UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko tumor sel
germinal yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5-7 tahun, akan tetapi
perubahan morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko kerusakan histologi testis juga
berhubungan dengan letak abnormal testis. Pada awal pubertas, lebih dari 90% testis
kehilangan sel germinalnya pada kasus intraabdomen, sedangkan pada kasus testis
inguinal dan preskrotal, penurunan sel geminal mencapai 41% dan 20%. 1,2

Gambar 6. Penatalaksanaan kriptorkismus yang didapat.


http://www.rch.org/afp/20001101/2037.html

Gambar 7. Penatalaksanaan kriptorkismus Kongenital.


http://www.rch.org/afp/20001101/2037.html

2.10.1. Terapi Hormonal


Terapi hormonal primer lebih banyak digunakan di Eropa. Hormon yang diberikan
adalah hCG, gonadotropinreleasing hormone (GnRH) atau LH-releasing hormone
(LHRH). Terapi hormonal meningkatkan produksi testosteron dengan menstimulasi

berbagai tingkat jalur hipotalamus-pituitary-gonadal. Terapi ini berdasarkan observasi


bahwa proses turunnya testis berhubungan dengan androgen. Tingkat testosteron lebih
tinggi bila diberikan hCG dibandingkan GnRH. Semakin rendah letak testis, semakin
besar kemungkinan keberhasilan terapi hormonal. 10
International Health Foundation menyarankan dosis hCG sebanyak 250 IU/ kali
pada bayi, 500 IU pada anak sampai usia 6 tahun dan 1000 IU pada anak lebih dari 6
tahun. Terapi diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu. Angka keberhasilannya 6
55%. Secara keseluruhan, terapi hormon efektif pada beberapa kelompok kasus, yaitu
testis yang terletak di leher skrotum atau UDT bilateral. Efek samping adalah
peningkatan rugae skrotum, pigmentasi, rambut pubis dan pertumbuhan penis.
Pemberian dosis lebih dari 15000 IU dapat menginduksi fusi epiphyseal plate dan
mengurangi pertumbuhan somatik. 9
Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil terutama
pada kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya masih belum
memuaskan. Obat yang sering dipergunakan adalah hormone hCG yang disemprotkan
intranasal.9
2.10.2. Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT
adalah orchiopexy. Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus mempertimbangkan
berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis anak, dan risiko bila
operasi tersebut ditunda.
Operasi

pada

kriptorkismus

adalah

orchiopexy.

Tujuan

operasi

pada

kriptorkismus adalah: (1) mempertahankan fertilitas, (2) mencegah timbulnya


degenerasi maligna, (3) mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis, (4) melakukan
koreksi hernia, dan (5) secara psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena
tidak mempunyai testis. Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan
testis ke dalam skrotum dengan melakukan fiksasi pada kantung sub dartos. 1
Tabel. 2 Jenis Tindakan Pembedahan pada Kelaianan UDT dan Tingkat
Keberhasilannya

Gambar 8. Orchiopexy.
Sumber: http://content.answers.com/main/content/img/galeSurgery/
gesu_02_img0161.jpg
Keterangan gambar:
Orchiopexy digunakan untuk memperbaiki UDT pada anak-anak. Satu insisi dibuat
pada abdomen yang merupakan lokasi UDT, dan insisi lain dibuat pada skrotum (A).
Testis dipisahkan dari jaringan sekitarnya (B) dan dikeluarkan dari insisi abdomen

menempel pada spermatic cord (C). Testis kemudian dimasukkan turun ke dalam
skrotum (D) dan dijahit (E).

Komplikasi Orchiopexy
Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan pembedahan
Orchiopexy antara lain 10 :
1. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak komplit
(10% kasus)
2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus (5% kasus)
3. Trauma pada vas deferens ( 12% kasus)
4. Pasca-operasi torsio
5. Epididimoorkhitis
6. Pembengkakan skrotum
2.11. Komplikasi UDT
Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada UDT
adalah keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis Di samping itu disebut
juga terjadinya torsi testis, dan hernia inguinalis. 1,6
A. Risiko Keganasan
Teradapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden
keganasan testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko
terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan UDT dilaporkan
berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan testis normal. Makin tinggi lokasi
UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis abdominal mempunyai risiko menjadi
ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal. 1,6,9
Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan, tetapi
akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita yang telah
dilakukan orchiopexy. 1,6,9

B. Infertilitas
Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat
dibandingkan penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan populasi
normal. Penderita UDT bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x lebih besar
dibandingkan populasi normal (38% infertil pada UDT bilateral dibandingkan 6% infertil
pada populasi normal), sedangkan pada UDT unilateral berisiko hanya 2x lebih besar.
1,6,9

Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada UDT.


Biopsi pada anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya penurunan
volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkan dengan testis yang
normal. Biopsi testis pada anak dengan UDT unilateral yang dilakukan sebelum umur 1
tahun menunjukkan gambaran yang tidak berbeda bermakna dengan testis yang
normal. 1,6,9
Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelah umur 1
tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Tidak seperti risiko keganasan,
penurunan testis lebih dini akan mencegah proses degenerasi lebih lanjut. 1,6,9

BAB 3
KESIMPULAN

Undescended testikulorum (UDT) adalah suatu kelainan bawaan dimana testis


tidak dijumpai pada tempat yang semestinya yaitu di dalam skrotum.
UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1) gubernakulum testis, (2)
kelainan intrinsik testis, atau (3) defisiensi hormon gonadotropin yang memacu proses
desensus testis.
Adapun klasifikasi UDT terdapat 3, yaitu : UDT sesungguhnya, UDT retractil,
UDT ektopik.
Penegakkan diagnosis UDT harus dapat dilakukan sejak awal sehingga
penatalaksanaan hormonal atau pembedahan dapat dilakukan lebih awal.
Terapi UDT adalah bertujuan untuk memperkecil terjadinya risiko komplikasi
dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi
hormonal ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy).

DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto; 2003. h.13740.
2. Kolon

TF.

Cryptorchidism.

2002.

Diunduh

dari

http://www.emedicine.com/med/topic2707.html. ( diakses tanggal 30 Mei 2012)


3. Gaudio E, Paggiarino D, Carpino F. Structural and ultrastructural modifications
of cryptorchid human testes. J Urol. 1984;131:2926.
4. Sadler. Embriologi Kedokteran LANGMAN. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2000. h.280-310.
5. http://humupd.oxfordjournals.org/content/14/1/49.full.pdf diunduh tanggal 30 Mei
2012
6. Schneck FX, Bellinger MF. Abnormalities of the testes and scrotum and their
surgical management. Dalam: Walsh PC. Campbells Urology Vol 1. 8th edition.
Philadelphia: WB Saunders Company. 2000
7. Elder JS. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, eds. Nelson
Textbook of Pediatrics: Disorders and anomalies of the scrotal contents:
undescended testes. 18th ed.2007 Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier.p:2260-1
8. Dogra

VS,

Mojibian

H.

Cryptorchidism.

In:

http://www.emedicine.com/radio/topic201.htm ( diakses tanggal 10 Februari


2010)
9. Batubara JRL. Terapi hormonal pada kriptorkismus. Disampaikan pada
Simposium Sehari Tatalaksana Optimal Kriptorkismus, Jakarta, 13 Agustus,
1994.
10. Acosta J, Adam C, et al. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed.
Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007.

Você também pode gostar