Você está na página 1de 14

PENENTUAN KADAR ASAM 2-(4-ISOBUTIL-FENIL)-PROPIONAT

(IBUPROFEN) DALAM OBAT OSKADON SP


DENGAN MENGGUNAKAN METODE TITRASI ASAM BASA

I.

TUJUAN
Menentukan kadar asam-2-(4-isobutil-fenil)-propionat (Ibuprofen) dalam

obat oskadon SP dengan menggunakan titrasi asam basa (titrasi kembali).


II.

PRINSIP
Berdasarkan reaksi netralisasi antara asam 2-(4-isobutil-fenil)-propionat

(Ibuprofen) dengan larutan natrium hidroksida membentuk natrium 2-(4-isobutilfenil)-propionat.

III.
III.1

REAKSI
Standarisasi Larutan Natrium Hidroksida dengan Larutan Asam Oksalat
(Asam Oksalat) (Natrium Hidroksida)

3.2

Reaksi antara asam-2-(4-isobutil-fenil)-propionat (Ibuprofen) dengan


Larutan Natrium Hidroksida

IV.
IV.1

(Natrium Oksalat) (Air)

TEORI
Teori Umum

Obat adalah semua bahan tunggal atau campuran yang dipergunakan oleh
semua makhluk untuk bagian dalam dan luar tubuh guna mencegah, meringankan,
dan menyembuhkan penyakit. Menurut undang-undang yang dimaksud obat
adalah suatu bahan atau campuran bahan untuk dipergunakan dalam menentukan
diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau
gejala penyakit, luka, atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau
hewan termasuk untuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Syamsuni,
2006).
Menurut pengertian umum, obat dapat didefinisikan sebagai bahan yang
menyebabkan perubahan dalam fungsi biologis melalu proses kimia. Pada
kebanyakan kasus, molekul obat berinteraksi dengan molekul khusus dalam
sistem biologis yang berperan sebagi regulator, yaitu molekul reseptor. Pada
sebagaian kecil kasus, obat yang dikenal sebagai antagonis kimia memilki
kemungkinan berinteraksi langsung dengan obat lain, sementara sebagian kecil
obat (misalnya agen osmotik) berinteraksi hampir secara menyeluruh dengan
molekul air. Obat dapat merupakan bahan yang disintesis di dalam tubuh
(misalnya: hormon) atau merupakan bahan-bahan kimia yang tidak disintesis di
dalam tubuh yaitu xerobiotik (Katzung, 2001).
Pengertian obat secara khusus:
1. Obat jadi, adalah obat dalam keadaan murni atau campuran dalam bentuk
serbuk, tablet, pil, kapsul, supositoria, cairan, salep, atau bentuk lainnya yang
secara teknis sesuai dengan FI atau buku resmi lain yang ditetapkan
pemerintah.
2. Obat paten, yaitu obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama
pembuat yang diberi kuasa dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik yang
memproduksinya.
3. Obat baru, yaitu obat-obat yang berisi zat, baik yang berkhasiat maupun tidak
berkhasiat seperti lapisan, pengisi, pelarut, pembantu, atau komponen lain
yang belum dikenal sehingga tidak diketahui khasiat dan kegunaannya.
4. Obat asli, yaitu obat yang didapat langsung dari bahan-bahan alamiah
Indonesia,

diolah

secara

sederhana

dipergunakan dalam pengobatan tradisional.

berdasarkan

pengalaman

dan

5. Obat tradisional, yaitu obat yang didapat dari bahan alam (mineral, tumbuhan,
atau hewan), diolah secara sederhana berdasarkan pengalaman dan digunakan
dalam pengobatan tradisional.
6. Obat generik, yaitu obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam FI untuk
zat berkhasiat yang dikandungnya
(Syamsuni, 2006).
Bahan obat adalah zat aktif yang dapat berfungsi untuk mencegah,
meningkatkan, menyembuhkan atau mengenali penyakit. Dengan demikian bahan
obat mempunyai arti yang lebih bernilai daripada zat aktif. Obat adalah bentukbentuk sediaan tertentu dari bahan obat yang digunakan pada hewan dan manusia.
Ilmu tentang kerja obat pada organisme sehat atau sakit atau lebih luas lagi
sebagai ilmu tentang interaksi antara senyawa kimia dan sistem biologi
merupakan penafsiran pengerjaan atau pengertian secara sempit dari farmakope
atau farmakologi.
Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses sangat rumit.
Umumnya didasarkan pada suatu rangkaian reaksi yang dibagi dalam 3 fase,
yaitu:
1. Fase Farmaseutik
2. Fase Farmakokinetika
3. Fase Farmakodinamika
(Oslon, 1995)
Fase farmaseutik meliputi hancurnya bentuk sediaan obat dan melarutnya
bahan obat dimana kebanyakan bentuk sediaan obat padat yang digunakan.
Karena itu, fase ini terutama ditentukan oleh sifat-sifat obat. Dalam fase
farmakokinetika termasuk proses invasi dan proses eliminasi (elevasi). Proses
invasi adalah proses-proses yang berlangsung pada pengambilan suatu obat bahan
ke dalam organisme (absorbsi, distribusi). Sedangkan proses eliminasi merupakan
proses-proses

yang

menyebabkan

penurunan

konsentrasi

obat.

Fase

farmakodinamika merupakan interaksi obat reseptor dan juga proses-proses yang


terlibat dimana akhir dari efek farmakologi terjadi (Mutschler, 1991).
Interaksi obat adalah peristiwa dimana kinerja obat dipengaruhi oleh obat
lain yang diberikan bersamaan atau sequensial. Efek obat dapat bertambah atau
berkurang dan bahkan tidak ada akibat interaksi ini. Ada dua kemungkinan dari

interaksi ini, efek obat dapat bertambah/berkurang bahkan, muncul efek baru yang
merugikan. Mekanisme interaksi dibagi menjadi tiga yaitu :

1. Interaksi Farmasetik
Reaksi ini terjadi jika antara dua obat yang diberikan bersamaan terjadi
reaksi langsung umumnya di luar tubuh dan berakibat berubahnya atau
hilangnya efek farmakologis yang diberikan. Interaksi ini meliputi
hancurnya bentuk sediaan obat dan melarutnya bahan obat dimana
kebanyakan bentuk sediaan obat padat yang digunakan.
2. Interaksi Farmakokinetik
Pengaruh tubuh terhadap obat sama dengan nasib obat dalam tubuh. Hal ini
terjadi dalam proses :
- Absorbsi : Proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam

darah. Misal di gastrointestinal, bukal, rectal, pulmonal.


Distribusi : Penyebaran obat keseluruh tubuh mengikuti sistem

peredaran darah.
Metabolisme : Transformasi struktur obat dengan jalan oksidasi,
reduksi, hidrolisis, atau konjugasi. Misal di hepar terjadi detoksifikasi

yang mengubah obat non polar menjadi polar.


Ekskresi : Pengeluaran obat dari dalam tubuh. Dapat melalui ginjal,
hepar dan kelenjar lainnya.

Interaksi farmakokinetik ini digunakan sebagai pedoman memakai obat.


3. Interaksi Farmakodinamik Interaksi ini bertujuan untuk mengetahui efek
utama obat, efek samping obat, interaksi obat dengan sel, dasar terapi
tentang rasionalitas, dan digunakan sebagai pedoman untuk memilih obat
dan monitoring efek terapi
IV.2

(Husada dkk.,1998).
Teori Khusus
Ibuprofen merupakan salah satu Non Steroid Anti Inflammation Drug

(NSAID) yang digunakan secara luas sebagai analgesik dan antipiretik. Kecepatan
absorbsi ibuprofen merupakan faktor yang berpengaruh agar dapat memberikan
efek terapi dalam waktu yang cepat. Karena kelarutan ibuprofen yang sangat kecil
46,9 g/mL pada 37C dan 29,1g/mL pada 25C (Xu, 2007), peningkatan laju
disolusi sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan bioavailabilitas obat dalam
darah. Pada bahan obat dengan kelarutan kecil, diketahui bahwa kelarutan dan laju

disolusi merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses absorpsi,
terutama untuk sediaansediaan oral. Oleh karena itu banyak dikembangkan upaya
untuk meningkatkan kelarutan dan laju disolusi bahan obat ini, baik dengan
modifikasi sifat-sifat fisika bahan obat maupun dengan menambahkan bahan
peningkat kelarutan, membentuk senyawa baru dan sistem dispersi padat
(Retnowati & Setyawan, 2010).
Ibuprofen menimbulkan efek analgesik dengan menghambat secara
langsung dan selektif enzim-enzim pada system saraf pusat yang mengkatalis
biosintesis prostaglandin seperti siklooksigenase sehingga mencegah sensitasi
reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator rasa sakit seperti bradikinin, histamin,
serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion hidrogen dan kalium yang dapat
merangsang rasa sakit secara mekanis atau kimiawi (Siswandono & Bambang,
2000).
Ibuprofen atau asam 2-(-4-Isobutilfenil) propionat dengan rumus molekul
C13H18O2 dan bobot molekul 206.28. Struktur kimia ibuprofen berupa serbuk
hablur putih hingga hampir putih, berbau khas lemah dan tidak berasa dengan titik
lebur 75.0 77.5 C. Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut
dalam etanol, dalam metanol, dalam aseton dan dalam chloroform serta sukar larut
dalam etil asetat. Larutan ibuprofen dalam NaOH 0.1N dengan (A1 1=18.5a),
memperlihatkan serapan maksimum pada panjang gelombang 265 dan 273 nm.
Ibuprofen merupakan obat anti radang non steroid, turunan asam arilasetat yang
mempunyai aktivitas antiradang (Katzung, 2001).
V.
V.1

ALAT DAN BAHAN


Alat yang digunakan
- Batang pengaduk
- Botol semprot
- Bulb pipet
- Buret
- Corong gelas
- Gelas kimia
- Gelas ukur
- Kaca arloji
- Kertas timbang

V.2

VI.
6.1

Klem
Labu erlenmeyer
Labu ukur
Mortir
Neraca analitis
Pipet tetes
Pipet volume
Spatula
Statif
Stemper
Statif
Tisu

Bahan yang digunakan


- Akuades
- Indikator fenolftalein
- Larutan etanol 95%
- Larutan natrium hidroksida
- Padatan asam oksalat
- Sampel obat Oskadon SP
PROSEDUR

(H2O)
(C2H5OH)
(NaOH)
(H2C2O4)

Preparasi Sampel Obat Oskadon SP


Tablet Oskadon SP digerus dengan menggunakan mortir dan stamper hingga

halus.

6.2

Pembuatan Larutan Asam Oksalat 0,1000 N dalam 100 mL


Padatan asam oksalat ditimbang sebanyak 0,6303 g dengan menggunakan

neraca analitis pada kaca arloji. Setelah itu, padatan yang telah ditimbang
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dengan bantuan corong gelas, lalu
ditambahkan akuades hingga setengah bagian dan dikocok hingga larut.
Kemudian ditambahkan kembali akuades ke dalam labu ukur hingga tanda batas
dan dihomogenkan.

6.3

Pembuatan Larutan Natrium Hidroksida 0,1000 N dalam 500 mL

Padatan

natrium

hidroksida

ditimbang

sebanyak

2,00

dengan

menggunakan neraca teknis pada kaca arloji. Setelah itu, padatan yang telah
ditimbang dimasukkan ke dalam gelas kimia yang telah berisi sedikit akuades,
lalu diaduk hingga larut. Kemudian ditambahkan kembali akuades ke dalam gelas
kimia hingga volume larutan 200 mL, dihomogenkan dan ditutup dengan plastik
wrap.

6.4

Standarisasi Larutan Natrium Hidroksida oleh Larutan Asam

Oksalat

0,1000 N
Larutan asam oksalat 0,1000 N dipipet sebanyak 25 mL dengan
menggunakan pipet volume, lalu dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer.
Kemudian ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalein ke dalam labu erlenmeyer.
Setelah itu, larutan dititrasi dengan larutan natrium hidroksida hingga terjadi
perubahan warna dari tidak berwarna menjadi merah muda.

6.5 Titrasi Blanko


Larutan etanol 95% dipipet sebanyak 50 mL dan dimasukkan ke dalam labu
erlenmeyer. Setelah itu, ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalein ke dalam labu
erlenmeyer tersebut dan dititrasi dengan larutan natrium hidroksida 0,1000 N
hingga terjadi perubahan warna dari tidak berwarna menjadi merah muda.

6.6

Penetapan Kadar Ibuprofen oleh Larutan Natrium Hidroksida


Padatan Oskadon SP yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 0,5000 g

dengan menggunakan neraca analitis pada kaca arloji dan dimasukkan ke dalam
labu erlenmeyer. Kemudian ditambahkan dengan 50 mL etanol 95% dan dikocok
hingga larut. Setelah itu, ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalein ke dalam labu

erlenmeyer tersebut dan dititrasi dengan larutan natrium hidroksida 0,1000 N


hingga terjadi perubahan warna dari tidak berwarna menjadi merah muda.

VII.
7.1

DATA PENGAMATAN
Standarisasi Larutan Natrium Hidroksida oleh Larutan Asam Oksalat
0,1000N
NaOH
V (mL)

7.2

H2C2O4
N (N)

V (mL)

N (N)

V (mL)

N (N)

Titrasi Blanko
Blanko
V (mL)

NaOH
N (N)

7.3

Penentuan Kadar Ibuprofen oleh Larutan Natrium Hidroksida


Ibuprofen
V (mL)

NaOH
N (N)

V (mL)

N (N)

VIII. PERHITUNGAN
8.1
Pembuatan Larutan Asam Oksalat 0,1000 N dalam 100 mL

N=

massa 1000
x
xeq
Mr
V

massa =
massa =

8.2

Pembuatan Larutan Natrium Hidroksida 0,1000 N dalam 500 mL

N=

massa =

massa 1000
x
xeq
Mr
V

massa =

8.3

Standarisasi Larutan Natrium Hidroksida oleh Larutan Asam Oksalat


0,1000 N

V1

N1

1.

V2

=
=

2.

=
=

N2

8.4

Titrasi Blanko

V1

N1

1.

V2

N2

=
=

2.

=
=

8.5

Penetapan Kadar Ibuprofen oleh Larutan Natrium Hidroksida


V1

N1

V2

N2

1.

=
=

2.

=
=

3.

=
=

DAFTAR PUSTAKA
Husada, G., Illhude H. D & Pribadi W. 1998. Parsitologi Kedokteran. Edisi III.
FK UI. Jakarta.
Katzung, B.G. 2001. Farmakologi: Dasar dan Klinik. Diterjemahkan oleh Dr.
Dripa, S. Salemba Medika. Jakarta.
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi V. Diterjemahkan oleh Widianto, M. B
& Ranti, A.S. ITB. Bandung.
Oslon, J. 1995. Farmakologi. Diterjemahkan oleh Linda, C. EGC. Jakarta.
Retnowati, D & Setyawan, D. 2010. Peningkatan Disolusi Ibuprofen dengan
Sistem Dispersi Padat Ibuprofen. http://ff.unair.ac.id/entryfile/mfajournal/
mfa_Vol08_no1_artikel05.pdf. Diakses pada tanggal 15 November 2016.
Siswandono & Bambang Soekardjo. 2000. Kimia Medisinal II. Airlangga
University Press. Surabaya.
Syamsuni, H. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. EGC. Jakarta.

LAMPIRAN

Você também pode gostar