Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Nona Cantik dating sambil membawa hasil aspirasi jarum halus dengan kesan radang
kronik granulomatous spesifik kemungkinan akibat infeksi tuberkulosa disertai catatan
untuk control ulang aspirasi jarum halus 1 bln setelah terapi.(vvvv)
A. Bagaimana PA mikroskopik dari radang kronik granulomatosa spesifik?
Radang Granulomatous
Radang granulomatous adalah bentuk khas dari radang kronis, terjadi bila neutrofil tidak
mampu mempagosit dan menetralkan agen penyebabnya.Berbeda dengan radang akut, karena
morfologi bentuk ini, tersifat oleh pengumpulan makrofag teraktivasi, yaitu berbentuk seperti
squamous sel (disebut epithelioid cell), limfosit, dan fibrosit dalam jumlah banyak. Bentuk
radang dengan kumpulan makrofag ini disebutgranulomatous inflamation, contoh pada
proses tuberkulosis disebut tuberkel.
Bentuk klasik dari radang granulomatous adalah adanya pusat pengkejuan atau nekrosis
caseasi, dengan dikelilingi cell ephitheloid, giant cell, dikelilingi kumpulan limfosit dan
fibroblast. Secara makroskopis dari granulom adalah bentukan granular (nodular), seperti
keju, disebut caseous necrosis.
Histologi Normal
Terdapat tiga daerah pada KGB yang berbeda: korteks, medula, parakorteks, ketiganya
berlokasinya antara kapsul dan hilus. Korteks dan medula merupakan daerah yang
mengandung sel B, sedangkan daerah parakorteks mengandung sel T. Dalam korteks banyak
mengandung nodul limfatik (folikel), pada masa postnatal, biasanya berisi germinal center.
Akibatnya terjadi stimulasi antigen, sel B didalam germinal centers berubah menjadi sel yang
besar, inti bulat dan anak inti menonjol. Yang sebelumnya dikenal sebagai sel retikulum, selselnya besar yang ditunjukan oleh Lukes dan Collins (1974) sebagai sel noncleaved besar,
dan sel noncleaved kecil. Sel noncleaved yang besar berperan pada limphopoiesis atau
berubah menjadi immunoblas, diluar germinal center, dan berkembang didalam sel plasma.
Jaringan ikat trabekula terentang melalui sinus-sinus yang menghubungkan simpai dengan
kerangka retikuler dari bagian dalam kelenjar dan merupakan alur untuk pembuluh darah dan
syaraf. Dari bagian pinggir cairan getah bening menyusup kedalam sinus penetrating yang
juga dilapisi sel endotel. Pada waktu cairan getah bening didalam sinus penetrating melalui
hilus, sinus ini menempati ruangan yang lebih luas dan disebut sinus meduleri. Dari hilus
cairan ini selanjutnya menuju aliran getah bening eferen.
Tuberkel-tuberkel di dalam kelenjar getah bening dikelilingi sel radang limfosit (tanda
panah)
Nekrosis kaseosa di bagian sentral tuberkel (tanda panah)
Secara Mikroskopis sediaan dari KGB, dijumpai tuberkel (granuloma) terdiri dari
nekrosis kaseosa di bagian sentral yang dikelilingi oleh sel-sel epithelioid dengan
infiltrasi sel radang limfosit, sel plasma, fibroblast dan giant cell Langhans serta
PMN.Cairan eksudat sedikit ditemukan, tetapi mungkin ditemukan produksi jaringan ikat
baru yang berasal dari jaringan granulasi. Mungkin juga ditemukan kejadian perusakan
jaringan yang berkelanjutan, yang bersamaan dengan proses regenerasi dan perbaikan
jaringan. Nekrosis jaringan mungkin merupakan gambaran yang mencolok.
(tanda panah)
D. Bagaimana predileksi dari radang kronik granulomatosa spesifik?
- Paru-paru
- Melalui penyebaran limfogen : Kelenjar limfe regional terdekat
- Melalui penyebaran hematogen : Otak,tulang,dll.
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai
TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering
diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih,
tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.
E. Bagaimana penegakkan diagnosis dari radang kronik granulomatosa spesifik?
1. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen
untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan
ini kita dapat memastikan adanya basil mikobakterium pada spesimen, diperlukan
minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif (Mohapatra, 2009; Bayazit,
2004). Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mmcukup untuk membuat hasil kultur positif.
Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus (Mohapatra, 2009). Berbagai media
dapat digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB.
Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis
tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis (Bayazit,
2004).
2. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan adanya
reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada seseorang.
Reagen yang digunakan adalah protein purified derivative (PPD). Pengukuran
indurasi dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila terbentuk
indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila
indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra, 2009).
3. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi aspirasi
kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi
untuk menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99% (Kocjan, 2001) .
CT scan dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe
intratoraks dan intraabdominal (Sharma, 2004) . Pada pemeriksaan sitologi akan
terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa. Muncul kesulitan
dalam pendiagnosaan apabila gambaran konvensional seperti sel epiteloid atau
Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik dapat
digunakan sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan
Langhans giant cell. Didapati bahwa aspirat dengan gambaran sitologi bercak gelap
dengan materi eusinofilik, dapat memberikan hasil positif tuberkulosis apabila
dikultur.
4. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu diagnosis
limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB
paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus (Bayazit, 2004). USG kelenjar dapat
menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau multipel hipoekhoik yang
dikelilingi oleh kapsul tebal (Bayazit, 2004). Pemeriksaan dengan USG juga dapat
dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik,
lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh
infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal
echoes (Khanna,2011). Pada CT scan, adanya massa nodus kongl umerasi dengan
lusensi sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas
didalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada
lapisan dermal dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis TB (Bayazit,2004). Pada
MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens. Fokus
nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan
hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar
metastatik (Bayazit, 2004).
F. Bagaimana pathogenesis dari tuberculosis?
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi
droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan
mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag.
Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag
sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum,
bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara
limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana penyebaran basil TB
tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis)
dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik,
3 4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan
membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam
makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon
bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks
Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus
Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik
terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang
didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam
beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki
imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas seluler akan
membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan
pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil TB pada TB
post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu
ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal
merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru
(Mohapatra, 2009).
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi
paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui
inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan
dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher (Datta, 2004).
Rangkaian kejadian pada tuberkulosis paru primer, yang dimulai dari inhalasi strain
virulen
Mycobacterium
dan
memuncak
pada
terbentuknya
imunitas
dan
Daerah peradangan terasa nyeri akibat iritasi saraf tapi oleh mediator kimia dan penekanan
nerve ending oleh cairan ekstraseluler yang berlebihan.Perubahan pH lokal atau konsentrasi
lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf.Pengeluaran zat seperti histamin
atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf.Rasa sakit disebabkan oleh tekanan yang
meninggi akibat pembengkakanjaringan yang meradang.
Functiolesia :
Berkurangnya fungsi dari organ yang mengalami peradangan, akibat terbentuknya metabolitmetabolit yang merugikan sel-sel yang mengalami trauma dan peningkatan temperatur di
daerah peradangan untuk reaksi biokimia sehingga fungsi organ menurun.
2. Limfadenitis Kronis
Disebabkan oleh infeksi kronis. Infeksi kronis nonspesifik misalnya pada keadaan seseorang
dengan faringitis kronis akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher
(limfadenitis). Pembesaran di sini ditandai oleh tanda radang yang sangat minimal dan tidak
nyeri.
Makrofag pada radang kronik
Makrofag merupakan sel yang relatif besar dengan diameter sekitar 30m, bergerak dengan
cara ameboid, memberikan respons terhadap rangsangan kemotaksis tertentu (sitokin dan
kompleks antigen-antibodi) dan mempunyai kemampuan fagositik untuk mencerna
mikroorganisme dan sel debris. Bila dibandingkan dengan neutrofil, makrofag memiliki
jangka waktu hidup yang lebih lama dan kemampuan mencerna material yang lebih banyak
jenisnya.Selain itu, makrofag dapat membatasi organisme (agen asing) yang hidup andaikata
tidak mampu membunuhnya dengan enzim lisosom, contohnya adalah pada Mikobakterum
tuberkulosis dan Mikobakterium lepra.Apabila makrofag kemudian ikut serta dalam reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap organisme tersebut, makrofag sering mengalami
kematian dan melepaskan enzim lisosomnya sehingga menyebabkan nekrosis yang meluas.
Makrofag pada jaringan yang mengalami radang berasal dari monosit darah yang telah
bermigrasi keluar dari pembuluh darah dan mengalami perubahan (aktivasi) di dalam
jaringan.Karena itu makrofag merupakan bagian dari sistem fagosit mononuklear.Pada
jaringan ikat makrofag tersebar secara difus, sedangkan di organ dijumpai makrofag yang
khas seperti sel Kupffer (hati), sel mikroglia (otak) atau makrofag alveolus (paru).
Aktivasi makrofag saat bermigrasi ke daerah yang mengalami peradangan diperlihatkan
dalam bentuk ukurannya yang bertambah besar, sintesis protein, mobilitas, aktivitas fagositik
dan kandungan enzim lisosom yang dimilikinya.Aktivasi ini diinduksi oleh sinyal-sinyal,
mencakup sitokin yang diproduksi oleh limfosit-T yang tersensitisasi (IFN ), endotoksin
bakteri, berbagai mediator selama radang akut dan protein matriks ekstrasel seperti
fibronektin.
Makrofag yang sudah teraktivasi (siap untuk menjalankan proses fagositosis) akan
menghasilkan produk sebagai berikut:
1. Protease asam dan protease netral
Protase asam dan protease netral merupakan mediator kerusakan jaringan pada peradangan.
2. Komponen komplemen dan faktor koagulasi
Makrofag teraktivasi dapat mengeluarkan komponen komplemen dan faktor koagulasi,
meliputi protein komplemen C1-C5, properdin, faktor koagulasi V dan VIII dan faktor
jaringan.
3. Spesies oksigen reaktif dan NO
Spesies oksigen reaktif berfungsi dalam proses fagositosis dan degradasi mikroba.
4. Metabolit asam arakhidonat
Metabolit asam arakhidonat seperti prostaglandin dan leukotrien merupakan mediator dalam
proses peradangan.
5. Sitokin
Sitokin seperti IFN dan , IL 1, 6 dan 8, faktor nekrosis tumor (TNF ) serta berbagai
faktor pertumbuhan yang mempengaruhi proliferasi sel otot polos, fibroblas dan matriks
ekstraselular.
Pada radang kronik, makrofag dapat berakumulasi dan berproliferasi di tempat peradangan.
Limfosit teraktivasi akan mengeluarkan IFN- yang akan mengaktivasi makrofag. Makrofag
teraktivasi, selain bekerja memfagositosis penyebab radang dan mengeluarkan mediatormediator lain, juga akan mengeluarkan IL-1 dan TNF yang akan mengaktivasi limfosit,
sehingga dengan demikian akan membentuk suatu timbal balik antara makrofag dan limfosit,
yang menyebabkan makrofag akan bertambah banyak di jaringan dan menyebabkan
terbentuknya fokus radang. Selain itu makrofag juga dapat berfusi menjadi sel besar berinti
banyak disebut sel Datia.
Selain makrofag, pada peradangan kronik juga ditemukan limfosit, sel plasma, eosinofil dan
sel mast.Limfosit-T dan limfosit-B bermigrasi ke tempat radang dengan menggunakan
beberapa pasangan molekul adhesi dan kemokin yang serupa dengan molekul yang merekrut
monosit.Limfosit dimobilisasi pada keadaan setiap ada rangsang imun spesifik (infeksi) dan
peradangan yang diperantarai nonimun (infark atau trauma jaringan).Telah disebutkan di atas
bahwa aktivasi limfosit memiliki hubungan dengan aktivasi makrofag, menyebabkan
terjadinya fokus radang akibat proliferasi dan akumulasi makrofag di tempat cedera.
Sel plasma merupakan produk akhir dari aktivasi sel limfosit-B yang mengalami diferensiasi
akhir.Sel plasma dapat menghasilkan antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen di
tempat radang atau melawan komponen jaringan yang berubah.
Eosinofil secara khusus dapat ditemukan di tempat radang sekitar terjadinya infeksi parasit
atau bagian reaksi imun yang diperantarai oleh IgE yang berkaitan khusus dengan alergi.
Kedatangan eosinofi dikendalikan oleh molekul adhesi yang sama seperti yang digunakan
oleh neutrofil dan juga kemokin eotaksin yang dihasilkan oleh sel leukosit atau sel epitel.
Granula eosinofil mengandung suatu protein disebut MBP (major basic protein), yaitu suatu
protein kationik bermuatan besar dan bersifat toksik terhadap bakteri.
Adapun sel mast merupakan sel yang tersebar luas dalam jaringan ikat dan dilengkapi oleh
IgE terhadap antigen tertentu. Apabila terpajan dengan antigen tersebut, maka sel mast akan
mengeluarkan histamin dan produk asam arakhidonat yang menyebabkan perubahan vaskular
pada radang akut. Sel mast juga dapat mengelaborasi sitokin seperti TNF yang berperan pada
respons kronik yang lebih besar.