Você está na página 1de 444

COLOPHON

Editor / Editor

Manshur Zikri & Ugeng T. Moetidjo


Penulis / Writer

Afrian Purnama, Akbar Yumni, Amy Fung, Andrie Sasono, Benjamin Cook, Budi Irawanto,
Bunga Siagian, David Teh, Gelar A. Soemantri, Hafiz Rancajale, Hikmat Budiman,

Jangwook Lee, Jonathan Manullang, Koyo Yamashita, Mahardika Yudha, Manshur Zikri,

Mary Pansanga, May Adadol Ingawanij, Merv Espina, Otty Widasari, Philip Widmann,
Ronny Agustinus, Shai Heredia, Shireen Seno, Siew-Wai Kok, Syaiful Anwar,
Ugeng T. Moetidjo, Umi Lestari.

Penerjemah / Translator

Ninus D. Andarnuswari, Devy Larasati, Efiya Nur Fadila

Perancang Grafis / Graphic Designer


Andang Kelana, Zulfikar Arief
Latar Sampul / Cover Image
Hafiz Rancajale

Tipografi Grand Illusion / Grand Illusion Typography


Andang Kelana

Arkipel Tree of Knowledge Drawing


Hafiz Rancajale

Arkipel Logotype Drawing


Ugeng T. Moetidjo

Percetakan / Printing
Gajah Hidup

Diterbitkan oleh / Published by


Forum Lenteng

Cetakan pertama, Jakarta, Agustus 2015.


1000 eksemplar

Forum Lenteng

Jl. H. Saidi No. 69 RT.007/RW.05, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta 12530.


www.forumlenteng.org / info@forumlenteng.org / @forumlenteng

Arkipel Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival


www.arkipel.org / info@arkipel.org / @arkipel
Manshur Zikri, Ugeng T. Moetidjo (ed).

Arkipel Grand Illusion 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival

(Jakarta: Forum Lenteng, 2015).

xxiv + 416 halaman isi, 14.8 x 21 cm


ISBN: 978-602-71309-2-0
ii | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

COMMITTEE

Arkipel Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival

ORGANIZING COMMITTEE
Board of Artistic

Asian Young Film Curators

Ugeng T. Moetidjo,

Merv Espina & Shireen Seno,

Hafiz Rancajale,

Siew-Wai Kok,

Otty Widasari,

Jonathan Manullang.

Mahardika Yudha,
Yuki Aditya.

Special Presentation Curators

EXECUTIVE COMMITTEE

Mary Pansanga (Bangkok Experimental Film

Chairperson - Artistic Director


Hafiz Rancajale.

Shai Heredia (Experimenta),


Festival),

Jangwook Lee (Space Cell),

Festival Director

Koyo Yamashita (Image Forum),

Yuki Aditya.

Amy Fung (Images Festival),

Festival Manager

Benjamin Cook (LUX Moving Image),

Andang Kelana.

Iqbal Barkat (Macquarie University)

SELECTION COMMITEE

Philip Widmann.

Coordinator

Cinema Culture in Exhibition Curator

Selection Team

Curator Assistant

Ugeng T. Moetidjo.
Afrian Purnama,
Akbar Yumni,

Mahardika Yudha.
Abi Rama.

Andrie Sasono,

JUROR

Syaiful Anwar,

Hafiz Rancajale,

Bunga Siagian,
Umi Lestari.

CURATORS
Film Curators

David Teh,

Ronny Agustinus,

May Adadol Ingawanij,


Jon Jost.

Ronny Agustinus,

FESTIVAL OFFICE

Otty Widasari,

Ajeng Nurul Aini.

Afrian Purnama,
Akbar Yumni,
David Teh,

Bunga Siagian,
Budi Irawanto,

Manshur Zikri.

General Manager
Finance

Jayu Juli Astuti.


Database

Gelar A. Soemantri (Coordinator),


Ahmad Fuadillah.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |iii

Program

Technical Operational Film Screening

Andreas Meiki Sulistiyanto,

Bobby Putra Santosa (Coordinator Assistant),

Bunga Siagian (Public Program Coordinator) ,


Rayhan Pratama,

Syaiful Anwar (Coordinator),

Klub Karya Bulu Tangkis (Film Traffic),

Gelar Agryano Soemantri (Opening &

Otty Widasari (Film Subtitling Translator).

Abi Rama (Lounge Event),

Cinema Culture in Exhibition Production Team

Awarding Event),

Muchammad Syahputra (Stage).


Communication & Publication

Andang Kelana (Coordinator),

Manshur Zikri & Ugeng T. Moetidjo (Book


Editor),

Zulfikar Arief (Book Layout),

Otty Widasari (Festival Bumper),

Dalu Kusma (Website Administrator).


Media Relations

Titaz Permatasari (Coordinator),

Maulana Ilham,
Okky Destryan,
Naya Salsabila,

Fauziah Sabtuanisa.
Documentation Team

Nissal Nur Afryansah,

Agung Natanael P. Samosir,


Mohammad Fauzi.
Hospitality Team

Prashasti Wilujeng Putri ( Coordinator),


Debora Agustina Nainggolan,
Gesyada Namora Siregar,
Luna Hapsari.

Volunteer Coordinator
Yose Rizal.

iv | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Serrum.

DAFTAR ISI / CONTENTS


Catatan Direktur Festival / Notes From Festival Director
Sambutan Dewan Kesenian Jakarta / Foreword of the Jakarta Arts Council

Artistic: Membuka Selubung Ilusi / Uncovering Illusion 
Kilas-balik ARKIPEL 2015 ke 2014 / Flashback on ARKIPEL 2014
Malam Pembukaan / Opening Night
Filem Pembuka / Opening Films
Malam Penghargaan / Awarding Night
Awards
Kompetisi Internasional / International Competition
Sinema, Medium, dan Pembuatnya / Cinema, Medium, And The Creators
Afrian Purnama: Kesepakatan Lain / Another Consensus
Umi Lestari: Keterbelahan Ingatan / Meiotic Reminder
Bunga Siagian: Perpindahan / Traveling
Syaiful Anwar: Kuasa dan Narasi Kecil / Power And Small Narratives
Andrie Sasono: Kilas Balik Kesadaran / Flashback of Senses 
Ugeng T. Moetidjo: Kamera Tubuh Relasional / Camera Body Relational
Akbar Yumni: Kedekatan Medium sebagai Kedekatan Realitas /
Medium Intimacy As Reality Intimacy
Program Kuratorial / Curatorial Program
Budi Irawanto: Terjaga dari Ilusi Harmoni / Disillusioned With Harmony
Manshur Zikri: Kamera yang Empati, Mengirama Teritori /
Camera Empathy, Rhythm Of Territory
David Teh: Interdependensi / On Interdependence
Ronny Agustinus: Menyusun/Membongkar Ilusi/Realitas /
Constructing/Deconstructing Illusion/Reality
Afrian Purnama: Sinema Kepatuhan / Cinema Of Submissiveness
Bunga Siagian: Bachtiar Siagian dan Violetta: Ideologi dan Seni Hiburan /
Bachtiar Siagian and Violetta: Ideology and Entertainment
Akbar Yumni: Sinema antara Kesadaran dan Ketaksadaran /
The Cinema Between Consciousness And Unconsciousness
Otty Widasari: Pergunjingan Menanding Arus / Counter The Stream-Rumors

viii
xii
xiv
2
12
34
35
36
37
38
46
53
62
69
77
83
92
102
114
129
144
154
169
183
198

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |v

Kurator Muda Asia / Asian Young Curator


Siew-Wai Kok: Tentang Ketidakabadian dan Perubahan /
On Impermanence and Change
Jonathan Manullang: Kreativitas Bercerita Mengenai Represi Hak Asasi /
Human Rights Repression, Retold through Creativity
Merv Espina & Shireen Seno: Agen Pelacak Kalampag /
The Kalampag Tracking Agency

241

Peradaban Sinema Dalam Pameran #2 / Cinema Culture in Exhibition #2


Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi /
Moving Image Colony: Between Fact And Fiction

262

Presentasi Khusus / Special Presentation


Images Festival
Bangkok Experimental Film Festival
Image Forum
Space Cell
Experimenta India
LUX Moving Image
Philip Widmann

212
231

278
290
298
312
322
343

World Premiere
Harimau Minahasa / Tiger of Minahasa

362

Penayangan Khusus / Special Screening


Poster Hidup
Gerimis Sepanjang Tahun / The Years of Drizzling Land

377

Program Publik / Public Program


Kuliah Umum / Publc Lecture
Bincang Kurator / Curators' Talk
Master Class: Jon Jost
Diskusi Publik / Public Discussion
ARKIPEL Festival Forum

380
382
384
386
388

Directors Index
Film Index
Acknowledgement

390
392
395

Anggota Forum Lenteng / Forum Lenteng Members

398

vi | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |vii

PENGANTAR

CATATAN
DIREKTUR FESTIVAL
Yuki Aditya

Selamat datang di perhelatan ketiga ARKIPEL Jakarta International


Documentary & Experimental Film Festival!
Kami sangat senang bisa berbagi pengetahuan dan kegembiraan akan
program-program yang telah kami susun satu tahun belakangan ini.
Sebagai sebuah festival filem, kami bahagia ARKIPEL semakin banyak
dikenal dan semakin banyak jaringannya baik di tingkat nasional, regional,
maupun internasional. Selama tiga bulan membuka pendaftaran melalui situs
web kami, 1.200 lebih judul filem yang didaftarkan dari sekitar 80 negara untuk
sesi kompetisi internasional. Tak kurang dari 130 filem akan diputar selama
penyelenggaraan ARKIPEL 2015 ini, yang terbagi ke dalam beberapa sesi,
seperti Kompetisi Internasional, Program Kuratorial Grand Illusion, Presentasi
Khusus, Penayangan Khusus, Kurator Muda Asia, Penayangan Perdana,
serta Peradaban Sinema Dalam Pameran. Tahun ini, kami juga meluaskan
spektrum program publik dengan menghadirkan dialog antarkurator, kuliah
umum tentang distribusi filem dokumenter dan eksperimental, Master Class,
diskusi terkait tema Grand Illusion, dan yang tak kalah pentingnya, yaitu
Forum Festival. Rangkaian program tersebut akan digelar dari tanggal 19
sampai 29 Agustus 2015.
Sejak awal, ARKIPEL diniatkan sebagai forum untuk produksi dan
distribusi pengetahuan tentang sinema. Oleh karena itu, Forum Festival
mengundang komunitas atau institusi lokal dan internasional untuk berbagi
pengalaman, pengetahuan, dan jaringan, karena kita terus butuh aktivismeaktivisme yang lebih massif untuk mengamplifikasi persoalan sosial dan
budaya lewat sinema. Kepada partisipan yang akan hadir di Forum Festival
ARKIPEL Grand Illusion, kami ucapkan banyak terima kasih.
Tahun ini kami juga membuka kesempatan bagi kurator-kurator muda
Asia untuk mempresentasikan programnya di ARKIPEL. Tiga kurator
tersebutJonathan Manullang (Indonesia), Siew-wai Kok (Malaysia), Merv
Espina dan Shireen Seno (Filipina)akan mengungkap perspektif mereka
mengenai sinema Asia Tenggara.
viii | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Program publik Master Class untuk pertama kalinya akan hadir di


ARKIPEL, dengan Jon Jost sebagai narasumber. Jon Jost adalah sutradara filem
asal Amerika Serikat yang telah membuat filem eksperimental sejak dekade
60-an, yang mendedikasikan hidup dan karir berkaryanya di jalur independen.
Peradaban Sinema dalam Pameran, Episode 2, mempunyai tajuk Jajahan
Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi, yang akan menyoroti wacana
produksi sinema di kawasan Hindia-Belanda dan akan dihelatkan di Galeri
Cipta III - Kompleks Taman Ismail Marzuki selama ARKIPEL berlangsung.
Ada peribahasa terkenal yang berbunyi third time is a charm. Pada
penyelenggaraan kali ketiga ini, kami senang ARKIPEL bisa menjalin kerja
sama dengan lebih banyak pihak dari penyelenggaraan-penyelenggaraan
sebelumnya. Kurator-kurator tamu dan rekanan festival dan institusi yang terlibat,
antara lain David Teh (Singapura), Budi Irawanto (Indonesia), Benjamin Cook
(LUX Moving Image, Inggris), May Adadol Ingawanij dan Mary Pansanga
(Bangkok Experimental Film Festival, Thailand), Koyo Yamashita (Image
Forum, Jepang), Jangwook Lee dan Rena Kim (Space Cell, Korea Selatan),
Shai Heredia (Experimenta, India), Amy Fung (Images Festival, Kanada),
Philip Widmann (Jerman), dan Iqbal Barkat (Macquarie University, Australia).
Kolaborasi dengan rekanan-rekanan kami di atas adalah salah satu langkah
penting dalam membangun dan mempertahankan jaringan antarfestival filem,
kurator, penonton dan pembuat filem yang otomatis juga membuka akses dalam
hal produksi dan distribusi pengetahuan yang lebih luas, baik bagi masyarakat
Indonesia maupun dunia dalam ranah sinema dokumenter dan eksperimental.
Kami ucapkan banyak terima kasih kepada mitra-mitra festival, komunitas
rekanan, seniman, para penonton, dan tak lupa kepada semua anggota Forum
Lenteng yang telah bekerja keras untuk mewujudkan ARKIPEL Grand
Illusion, dan juga pada para relawan yang siap bekerja selama Bulan Agustus
ini. Kami akan selalu menyambut masukan, gagasan, dan saran dari Anda
semua. Selamat berfestival!
Jakarta, 4 Agustus 2015
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |ix

PREFACE

NOTES FROM
FESTIVAL DIRECTOR
Welcome to ARKIPEL 3rd Jakarta International Documentary and
Experimental Film Festival!
We are very excited to be able to share knowledge and happiness about
the programs we have compiled this year.
As a film festival we are happy that ARKIPEL is more widely known and
has more networks at national, regional, and international levels. During the
three-month open submission through our website, over 1,200 titles of film
were submitted from 80 countries for the international competition session.
No less than 130 films will be screened during ARKIPEL 2015 which will
be divided into several sessions such as International Competition Program,
Grand Illusion Curatorial Program, Special Presentation Program, Special
Screenings Program, Asian Young Curator Program, World Premiere Program,
and Cinema Culture In Exhibition. This year we also expand the spectrum of
the public program that would bring Curators Talk, a Public Lecture about
distribution of documentary and experimental films, Master Class, 1965 Talk,
and equally important is the Festival Forum. Those programs will be held from
August 19 until August 29, 2015.
ARKIPEL has been intended as a forum for producing and distributing
knowledge about cinema since the first time. Therefore, the Festival Forum
invites local and international communities/institutions to share experiences,
knowledge, and networks, as we continue to need more massive activisms to
amplify socio-cultural issues through cinema. For participants who will be
present at the Festival Forum, we thank you very much!
This year we opened an opportunity to Asian young curators to showcase
their programs at ARKIPEL. Those three curatorsJonathan Manullang
(Indonesia), Siew-wai Kok (Malaysia), Merv Espina and Shireen Seno
(Filipina)are going to unveil their perspectives on South East Asian cinema.
The public program: Master Class which for the first time will be held at
ARKIPEL, invites Jon Jost to share his experience and thoughts. Jon Jost is
one of Americas maverick filmmaker who has been directing experimental
film since 1960s, who dedicates his life and career on independent works.
The headline of Cinema Culture In Exhibition #2 will be Moving Image
Colonies: Between Fact and Fiction which will highlight cinema production
x | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

in the Dutch East Indies and will be held at Galeri Cipta III - Taman Ismail
Marzuki during ARKIPEL 2015.
There is a famous proverb, third time is a charm. In organizing the third
time of ARKIPEL, we are pleased collaborate with more communities, partners,
and institutions, more than previous editions of ARKIPEL. Guest curators
and festival partners and institutions involved among others are David Teh
(Singapore), Budi Irawanto (Indonesia), Benjamin Cook (LUX Moving Image,
UK), May Adadol Ingawanij and Mary Pansanga (Bangkok Experimental Film
Festival, Thailand), Koyo Yamashita (Image Forum, Japan), Jangwook Lee
and Rena Kim (Space Cell, South Korea), Shai Heredia (Experimenta, India),
Amy Fung (Images Festival, Canada), Philip Widmann (Germany), and Iqbal
Barkat (Macquarie University, Australia). Collaboration with our associates
above is an important step in building and maintaining the network among
film festivals, curators, audiences and filmmakers, which automatically will
also open access in terms of production and distribution of knowledge more
extensively, for Indonesian society and the world in the realm of documentary
and experimental cinema.
We would say many thank yous to our festival partners, community
partners, artists, audiences, and also to all members of Forum Lenteng who
have worked hard to make this ARKIPEL Grand Illusion happen, and last
but not least, to all volunteers. We will always welcome feedback, ideas and
suggestions. See you at the festival!
Jakarta, 4 August 2015

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xi

PENGANTAR

SAMBUTAN DEWAN
KESENIAN JAKARTA
Irawan Karseno
Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta 2013-15

Dunia yang kita tempati sekarang bukanlah dunia yang sama dengan saat
kita lahir dulu.
Pada tanggal 9 November, 1989, ketika Pemerintah Jerman Timur akhirnya
membebaskan rakyatnya melintas ke Jerman Barat, dan sebaliknya, yang
runtuh bukan hanya tembok yang membelah Berlin, Jerman, sejak tahun 1961.
Bersama dengannya, juga ikut luruh sekat-sekat di dalam otak kita sehingga
memungkinkan kita berpikir mengenai dunia dengan cara yang berbeda.
Sebelum dan sesudah peristiwa yang sangat bagus nilai simbolisnya itu,
dunia tengah bergejolak. Rakyat bersatu dalam gelombang besar perlawanan
terhadap otorianisme negara seraya menggagas isu-isu tentang dunia baru yang
demokratis dan berorientas pasar bebas. Meskipun sampai sekarang kita masih
sulit membayangkan tatanan politik dan konsep perekonomian global yang
benar-benar adilnamun, sebuah revolusi lain, sebutlah revolusi individual,
diam-diam mulai berlangsung sejak pertengahan tahun 1995.
Teknologi web ditemukan dan segera mendunia sebagai bagian penting
jaringan internet untuk publik, yang telah hadir sejak tahun 1989. Seluruh
umat manusia pun praktis terhubungkan dalam sebuah dunia baru yang datar
dan tanpa sekat.
Tidak cukup hanya untuk berkomunikasi, jaringan internet dengan cepat
berevolusi menjadi ruang yang memungkinkan kita secara mudah berkolaborasi
bersama orang lain dari pelbagai penjuru dunia. Dari sana, kemudian, muncul
gerakan urun daya (crowdsourcing), di mana setiap orang bisa berbagi konten
dengan mengunggah hampir segala hal.
Fenomena tersebut menandai era bangkitnya kekuatan masyarakat. Apalagi
setelah teknologi internet bergerak (mobile) kian canggih dan terjangkau.
Bahkan, sekat antara dunia nyata dan dunia virtual ikut luruh. Komunikasi,
kolaborasi, dan urun daya, semakin intens berlangsung dalam kenyataan atau
praktik sehari-hari.
Suka atau tidak, setuju atau menolak, sebuah budaya global telah lahir.
Menariknya, budaya baru ini memberi ruang yang besar bagi identitas lokal
dan keunikan individu, alih-alih membuat dunia menjadi homogen.
xii | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Kita saat ini sedang menapaki perubahan besar dunia, namun sejarah
di belakang terus membebani. Selama ratusan tahun, dunia, berikut segala
persoalan di dalamnya, tersekat-sekat oleh kepentingan politik dan ambisi
penguasa atau rezim. Hak individu dan persoalan kemanusiaan digeneralisasi.
Segala usaha itu, sebagiannya, dilakukan melalui penciptaan dan pendistribusian
ilusi-ilusi dalam sinema, yang merupakan salah satu kekuatan penting budaya
dunia modern.
Begitulah, politik telah memecah belah dunia dan seluruh umat manusia.
Akan tetapi kesenian, termasuk filem, mesti bisa merajut kembali nilai-nilai
kemanusiaan yang selama ini dipinggirkan. Sebab, seni adalah energi yang
senantiasa sanggup meneropong dan menanggapi rupa-rupa situasi dan masalah
kemanusiaan dengan jernih dan jujur. Melalui sinema pula, misalnya, kita bisa
melawan wacana dominan yang menguasai dunia dengan ilusi-ilusi baru yang
lebih faktual dan akurat.
Mengangkat tema Grand Illusion, gelaran ketiga ARKIPEL Jakarta
International Documentary & Experimental Film Festival tahun ini, diniatkan
sebagai pembacaan atas bagaimana ilusi-ilusi sosial-politik dan kebudayaan di
pelbagai negara diproduksi, direproduksi, dan didistribusikan, sebagai proses
saling berbagi dan belajar. Lebih dari itu, festival ini niscaya akan membuat
kita memandang dunia secara baru, dan menyikapi persoalan-persoalan baru
dengan lebih manusiawi.
Apabila selama ini narasi sejarah dibangun oleh negara, kini masyarakat
sendiri, termasuk seniman dan pembuat filem, yang sedang menuliskannya.
Selamat menonton dan berpartisipasi!
Jakarta, Juli 2015

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xiii

PREFACE

FOREWORD OF THE
JAKARTA ARTS COUNCIL
Irawan Karseno
Chairperson of Jakarta Arts Council 2013-15

The world we live in today is one thats different from that of we were born.
On November 9, 1989, as the government of East Germany finally freed
its people to go across the city to West Berlin, and vice versa, what was
demolished was not only the wall that had divided Berlin, Germany, since
1961. Caved in together with it were the partitions in our minds, allowing us
to think of the world in a different way.
Before and after the said event of a noble symbol, the world was in turmoil.
Peoples united in an immense wave of resistance against state authoritarianism
all the while setting forth issues about a new democratic and market-oriented
world. Although until recently its difficult for us to imagine a truly just global
political and economic order, another revolution, lets call it the individual
revolution, has quietly started since mid 1995.
The web technology was discovered and went international as an important
part of the internet for the public, which has been present since 1989. Practically
the entire mankind is connected in a new, flat, borderless world.
Not only enough for communication, the internet quickly evolved to become
a space that allows us to easily collaborate with other people from all over the
world. From there, then a movement of crowdsourcing emerged; everyone can
share contents by uploading almost everything.
The phenomenon above marked the emergence of people power, especially
since mobile internet technology became more sophisticated and affordable. Even
the line separating the real world and the virtual one collapsed. Communication,
collaboration and crowdsourcing then became intense in daily practices or
realities.
Whether you like it or not, whether you agree or not, a global culture
has been born. Interestingly, this new culture provides a bigger space for
local identities and individual uniqueness instead of making the world more
homogeneous.
xiv | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Right now we are stepping into a big global change but the history at the
background keeps haunting us. For hundreds of years, the world, and all its
problems, are segregated based on political interests and ambitions of rulers or
regimes. Individual rights and humanity issues are generalized. The attempts
to do so, in part, are done through the creation and distribution of illusions in
cinema, one of the most powerful forces in our modern world culture.
As such, politics have divided the world and all mankind. But art, including
film, must be able to weave again the threads of humanity depreciated all this
time. Art is the energy that is continually able to scrutinize and respond to the
diverse human problems and situations in all clarity and honesty. It is through
cinema too, through its new, more accurate and factual illusions, for instance,
that we can resist the dominant discourses that rule the world.
With Grand Illusion as its theme, this year the third ARKIPEL is intended
as a reading, a process of sharing and learning, over how social-political and
cultural illusions in various countries are produced, reproduced and distributed.
Beyond that, this festival will inevitably make us see the world in a new way
and respond to new problems in a more human way.
The narration of history has been written by the state, but now its the
people, including artists and filmmakers, who are writing it.
Have a great festival and please enjoy!
Jakarta, July 2015

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xv

KOMITE EKSEKUTIF / EXECUTIVE COMMITTEE

Hafiz Rancajale (lahir di Pekanbaru, 4


Juni, 1971), menyelesaikan studi Seni
Murni di Institut Kesenian Jakarta
(IKJ) tahun 1994. Seniman, kurator,
pendiri Forum Lenteng dan Ruangrupa
Jakarta. Pemimpin redaksi www.
jurnalfootage.net. Dia juga Direktur
Artistik pada OK. Video Jakarta
International Video Festival (20032011). Saat ini, Hafiz menjabat sebagai
Ketua Komite Seni Rupa, Dewan
Kesenian Jakarta.

Hafiz Rancajale (b. June 4th, 1971,


in Pekanbaru) graduated Fine Arts at
Jakarta Institute of Arts (IKJ) in 1994.
He is an artist, curator, founder of
Forum Lenteng and Ruangrupa. Editor
in Chiet at www.jurnalfootage.net.
He is also the Artistic Director of OK.
Video Jakarta International Video
Festival (2003-2011). Since 2013,
Hafiz is The Head Commissioner of
Visual Arts at Jakarta Arts Council.

Yuki Aditya (lahir di Jakarta) adalah


lulusan Jurusan Adminstrasi Fiskal,
Universitas Indonesia dan sempat
bekerja sebagai Auditor Perpajakan
di sebuah Kantor Akuntan Publik di
Jakarta. Sekarang ia menjadi Direktur
Festival ARKIPEL dan Manajer
Program Media Untuk Papua Sehat di
Forum Lenteng.

Yudi Aditya (born in Jakarta )


graduated from University of Indonesia
majoring Fiscal Administration.
He once worked as a Tax Auditor
at a Public Accountant in Jakarta.
He is now the Festival Director of
ARKIPEL and Program Manager
of Media Untuk Papua Sehat Forum
Lenteng.

Andang Kelana (lahir di Jakarta, 1983)


seniman, desainer grafis dan web, dan
salah satu pendiri Forum Lenteng.
Saat ini ia adalah Koordinator Jakarta
32C, salah satu divisi ruangrupa
untuk forum dan pameran karya visual
mahasiswa Jakarta, serta Manajer
Festival ARKIPEL. Ia juga giat
mengelola dan mengembangkan karya
dan proyek seni media berbasis web,
salah satunya adalah Visual Jalanan
(http://visualjalanan.org/).

Andang Kelana (b. May 7th, 1983


in Jakarta) is an artist, graphic and
web designer, as well as one of the
founders of Forum Lenteng. He is
the Coordinator of Jakarta 32C,
one of ruangrupa division for forum
and college students biennale in
Jakarta, and the Festival Manager at
ARKIPEL. He is also active to manage
and develops web-based works and
projects, include Visual Jalanan (http://
visualjalanan.org/).

Hafiz Rancajale
Artistic Director

Yuki Aditya
Festival Director

Andang Kelana
Festival Manager

xvi | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

KURATOR / CURATORS

Afrian Purnama (lahir di Jakarta,


1989) adalah lulusan Universitas Bina
Nusantara, jurusan Ilmu Komputer.
Anggota Forum Lenteng, penulis di
www.jurnalfootage.net, peneliti untuk
Program Media Untuk Papua Sehat,
serta kurator di ARKIPEL.

Afrian Purnama (b. In Jakarta, 1989)


graduated from Bina Nusantara
University majoring Computer. He is
a member of Forum Lenteng, a writer
at www.jurnalfootage.net, a researcher
at Media Untuk Papua Sehat Program,
and a curator at ARKIPEL.

Akbar Yumni (lahir di Jakarta,


1975) adalah seorang penulis, aktivis
kebudayaan, peneliti dan dan pendiri
www.jurnalfootage.net. Salah satu
anggota Forum Lenteng. Menempuh
pendidikan Ilmu Komunikasi di
Universitas Muhammadiyah Malang,
dan kini kuliah di Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara, Jakarta. Ia juga
bekerja sebagai peneliti lepas di Dewan
Kesenian Jakarta.

Akbar Yumni (b. 1975 in Jakarta) is


a writer, cultural activist, researcher
and founder of www.jurnalfootage.
net. He is a member of Forum Lenteng.
He studied Communication at
Muhammadiyah University, Malang,
and now he studies Philosophy at
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta. He is also a part-time
researcher at Jakarta Arts Council.

Budi Irawanto adalah direktur JogjaNETPAC Asian Film Festival (JAFF).


Pernah menjadi juri di pelbagai festival
filem, seperti Berlin International Film
Festival (2006), Cinemalaya (Festival
Filem Independen Filipina, 2009),
Festival Film Dokumenter (2005-14)
dan ChopShots Documentary Film
Festival Southeast Asia (2014).
Tulisannya pernah terbit di Asian
Cinema dan bunga rampai Asian
Documentary Today (2012). Meraih
gelar Doktor dari Department of
Southeast Asian Studies, National
University of Singapore.

Budi Irawanto, director of JogjaNETPAC Asian Film Festival


(JAFF), has experiences as jury
members in many film festivals,
such as Berlin International Film
Festival (2006), Cinemalaya (2009),
Yogyakarta Documentary Film
Festival (2005-14) and ChopShots
Documentary Film Festival Southeast
Asia (2014). His articles was published
inAsian Cinemajournal and in Asian
Documentary Today (2012). He received
his PhD from the Department of
Southeast Asian Studies at the
National University of Singapore.

Bunga Siagian (lahir di Jakarta, 1988)


merupakan pegiat filem dan anggota
Forum Lenteng. Saat ini ia menempuh
pendidikan di bidang Filsafat di
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta. Penulis di www.jurnalfootage.
net dan salah satu kurator di
ARKIPEL.

Bunga Siagian (b. 1988 in Jakarta) is a


film activist, and a member of Forum
Lenteng. She studies philosophy at
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta. She is a writer at www.
jurnalfootage.net and a curator at
ARKIPEL.

Afrian Purnama

Akbar Yumni

Budi Irawanto

Bunga Siagian

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xvii

KURATOR / CURATORS

David Teh

David Teh adalah seorang penulis,


kurator, dan peneliti seni di National
University of Singapore. Mendapat
gelar PhD dari University of Sydney.
Menjadi kurator dan kritikus
independen di Bangkok (2005-09).
Ko-kurator untuk Unreal Asia
(55. Internationale Kurzfilmtage
Oberhausen, 2009), konvenor pada
Video Vortex #7 (Yogyakarta, 2011),
dan kurator TRANSMISSION (Jim
Thompson Art Center, Bangkok, 2014).
David juga merupakan Direktur Future
Perfect, sebuah galeri di Singapura.

David Teh is a writer, curator, and


researcher at the National University of
Singapore. Receiving his PhD from the
University of Sydney. An independent
curator and critic in Bangkok
(2005-09). Co-curator of Unreal
Asia (55. Internationale Kurzfilmtage
Oberhausen, 2009), a convenor of
Video Vortex #7 (Yogyakarta, 2011),
and curator of TRANSMISSION
(Jim Thompson Art Center, Bangkok,
2014). David is also a director of Future
Perfect, a gallery and project platform
in Singapore.

Manshur Zikri (lahir di Pekanbaru,


23 Januari, 1991) merupakan lulusan
Kriminologi di Universitas Indonesia.
Anggota Forum Lenteng, pengurus
Program akumassa, penulis di www.
jurnalfootage.net, peneliti Program
Media Untuk Papua Sehat, dan
menjadi editor katalog serta kurator di
ARKIPEL.

Manshur Zikri (b. January 23rd,


1991, in Pekanbaru) graduated
from Department of Criminology,
University of Indonesia. He is a
member of Forum Lenteng, Program
of akumassa. He is also a wrtier at
www.jurnalfootage.net, a researcher at
Media Untuk Papua Sehat Program,
and catalogue editor as well as a curator
at ARKIPEL.

Otty Widasari (lahir di Balikpapan,


1973) merupakan lulusan Seni Murni
di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia
pernah kuliah di jurusan Jurnalistik,
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(IISIP) Jakarta. Ia adalah seniman,
penulis, sutradara filem, dan salah
satu pendiri Forum Lenteng. Direktur
Program Pendidikan Media Berbasis
Komunitas, akumassa, dan Pemimpin
Redaksi www.akumassa.org.

Otty Widasari (b. 1973 in Balikpapan)


graduated Fine Arts at Jakarta Institute
of Arts (IKJ). She once studied
Jurnalistic at Institute of Social and
Political Science Jakarta (IISIP). She is
an artist, writer, filmmaker, and one of
the founders of Forum Lenteng. She is
also Program Director of akumassa and
Editor in Chief at www.akumassa.org.

Ronny Agustinus, adalah pemimpin


redaksi penerbit Marjin Kiri. Ia
menekuni soal-soal Amerika Latin
dan membuat blog tentang itu di
www.sastraalibi.blogspot.com. Para
penulis Amerika Latin yang telah ia
terjemahkan antara lain Isabel Allende,
Mario Vargas Llosa, Subcomandante
Marcos, El Fisgn, dan Luis
Seplveda.

Ronny Agustinus, is the chief editor


of the leftist publisher, Marjin Kiri.
He also translates, writes and blogs
about Latin America (www.sastraalibi.
blogspot.com). Some of the Latin
American authors that he translated
include Isabel Allende, Mario Vargas
Llosa, Subcomandante Marcos, El
Fisgn and Luis Seplveda.

Manshur Zikri

Otty Widasari

Ronny Agustinus

xviii | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

KURATOR / CURATORS

Mahardika Yudha (lahir di Jakarta,


1981) pernah menempuh pendidikan
Jurnalistik di Institut Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Dia
adalah seorang seniman, kurator,
peneliti seni, sutradara filem. Salah
satu pendiri Forum Lenteng, dan
merupakan Koordinator Penelitian dan
Pengembangan Forum Lenteng. Sejak
2013, dia merupakan Direktur OK.
Video Indonesia Media Arts Festival.

Mahardika Yudha (b. 1981 in Jakarta)


had once studied Journalism at
Institute of Social and Poltical Science
(IISIP) Jakarta. He is an artist, curator,
researcher, filmmaker, as well as one
of founders of Forum Lenteng. He
is also Coordinator of Research and
Development at Forum Lenteng. Since
2013, Yudha is Director of OK. Video
Indonesia Media Arts Festival.

Ugeng T. Moetidjo adalah seorang


seniman, penulis dan peneliti senior di
Forum Lenteng. Sempat menempuh
pendidikan di bidang seni murni di
Institut Kesenian Jakarta, dan belajar
sejarah dan teori sinematografi di
institut yang sama.

Ugeng T. Moetidjo is an artist,


writer and senior researcher at Forum
Lenteng. He had once studied fine arts,
history and theory of film at Jakarta
Institute of Arts.

Mahardika Yudha

Ugeng T. Moetidjo
Film Selection Coordinator

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xix

JURI / JUROR

Biografi di halaman xvi

Biography on page xvi

Biografi di halaman xviii

Biography on page xviii

Biografi di halaman xviii

Biography on page xviii

May Adadol Ingawanij, merupakan


direktur peneliti di International
Centre for Documentary and
Experimental Film, Universitas
Westminster, Inggris Raya. Ia menulis
dan mengajar tentang sinema dan
sejarah Asia Tenggara, esttika filem
eksperimental dan independen, dan
praktik-praktik umum mengenai
pameran gambar bergerak. Sebagai
kurator, pada tahun 2012, May
menjadi direktur pada 6th Bangkok
Experimental Film Festival: Raiding
the Archives.

May Adadol Ingawanij, is a Reader


and Director of Research at the
International Centre for Documentary
and Experimental Film, University
of Westminster, UK. She writes
and teaches on cinema and history
in Southeast Asia, independent and
experimental moving image aesthetics,
and radical practices of moving
image exhibition. As a curator, in
2012 May directed the 6th Bangkok
Experimental Film Festival: Raiding
the Archives.

Jon Jost, merupakan seorang pembuat


filem yang telah berkarya sejak tahun
1963, dan karya pertamanya dibuat di
Cassina Amata, Paderno Dugnano,
Italia. Sejak itu, dia telah membuat
sekitar 38 karya filem berdurasi
panjang, lebih dari 50 karya filem
berdurasi pendek, karya-karya instalasi,
serta karya seni rupa, tulisan dan
musik. Karya-karyanya telah sering
dipresentasikan di berbagai festival
internasional, baik yang berskala besar
maupun kecil, selalu berada di luar jalur
komersil. Ia dianggap sebagai salah
satu seniman independen berpengaruh
dan paling berdedikasi di Amerika. Ia
juga mengelola blog, beralamat https://
jonjost.wordpress.com/.

Jon Jost, is a veteran film and videomaker, having made his first work
in 1963 in Cassina Amata, Paderno
Dugnano (Milano), Italy. Since then
hes worked continuously, making some
38 feature length works, more than
thirty short films, several installations,
along with painting, writing, and
playing-composing music (C&W).
While his films were screened regularly
in major festivals and small ones too,
they fail almost all criteria for the
present day market economy value
system, and are more or less not shown
outside the festival circuit. In the
last few years they seem also to not
suit festivals, as the rejection list gets
longer. He is regarded as one of the
influential independent artists and the
most dedicated in the United States.
He also develop a web blog at https://
jonjost.wordpress.com/.

Hafiz Rancajale

Ronny Agustinus

David Teh

May Adadol Ingawanij

Jon Jost

xx | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xxi

PENYELENGGARA / ORGANIZER

Forum Lenteng adalah organisasi


non-profit berbentuk perhimpunan
yang didirikan oleh pekerja seni,
peneliti budaya, dan mahasiswa
komunikasi/jurnalistik pada
tahun 2003, yang bekerja
mengembangkan pengetahuan
media dan kebudayaan melalui
pendidikan alternatif berbasis
komunitas. Forum ini bertujuan
menjadikan pengetahuan media
dan kebudayaan bagi masyarakat
itu untuk hidup yang lebih
baik, terbangunnya kesadaran
bermedia, munculnya inisiatif,
produksi pengetahuan, dan
terdistribusikannya pengetahuan
tersebut secara luas.

www.forumlenteng.org
info@forumlenteng.org
@forumlenteng
xxii | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Forum Lenteng is a non-profit


collective based organization
which was founded by artists,
students, researchers, and cultural
activists in 2003. The Forum has
been working to develop media
knowledge and cultural studies
as a community based alternative
education. The Forum is aiming
to enact media and cultural
knowledge for the society to lead
a better life, building awareness
of media literacy, initiating
and producing knowledge and
distributing the knowledge
universally.

Ketua / Chairperson
Hafiz Rancajale
Sekretaris Jenderal / Secretary-General
Andang Kelana
Keuangan / Finance
Yuki Aditya
Penelitian & Pengembangan / Research & Development
Mahardika Yudha & Ugeng T. Moetidjo
Produksi / Production
Syaiful Anwar
Direktur Program Pendidikan Media Berbasis Komunitas /
Director of Community Based Media Education
Otty Widasari
akumassa (www.akumassa.org)
Manshur Zikri
Jurnal Footage (www.jurnalfootage.net)
Akbar Yumni, Afrian Purnama, & Bunga Siagian
Halaman Papua (www.halamanpapua.org)
Gelar Agryano Soemantri
Arkipel (www.arkipel.org)
Yuki Aditya
Visual Jalanan / Toko Store (www.visualjalanan.org)
Umi Lestari, Dalu Kusma, Abi Rama, Rachmmadi, Hanif Alghifary, Ario Fazrien
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |xxiii

PENGANTARARTISTIK

MEMBUKA
SELUBUNG ILUSI
Hafiz Rancajale
Direktur Artistik

Aku pikir dunia, dan terutama sinema, penuh dengan dewa-dewa


kepalsuan. Tugasku adalah meruntuhkannya. Dengan pedang di tangan,
aku sudah siap mengabdikan hidupku untuk tugas ini. Tapi, para dewa
kepalsuan itu tetap ada. Ketekunanku selama setengah abad sinema mungkin
telah membantu untuk meruntuhkan beberapa dari mereka. Ini pula yang
membantuku menemukan bahwa beberapa dari mereka memang nyata, dan
tak perlu diruntuhkan.
Jean Renoir, My Life and My Films, 1974.

Pada tahun 1937, mungkin tidak pernah dibayangkan oleh Jean Renoir, filem
La Grande Illusion bisa menjadi salah satu mahakarya dalam sejarah sinema
dunia, yang merekam salah satu kepingan pahit getir peradaban manusia:
Perang Dunia I. Filem yang berangkat dari buku The Great Illusion, A Study
of the Relation of Military Power to National Advantage (1910) karya Norman
Angell ini berhasil mencabik-cabik imajinasi penonton dengan pertanyaanpertanyaan tentang kebenaran kemanusian dalam peradaban modern. Apa
yang dibayangkan sebagai sebuah tujuan yang paling hakiki, yaitu sebagai
manusia, masyarakat, anak bangsa, dan kebanggaan terhadap kebangsaan atau
pun negara, hanyalah ilusi yang dibangun kekuatan besar, tanpa bisa disentuh
oleh manusia itu sendiri.
Berangkat dari Renoir dan Angell, ARKIPEL tahun ini mengangkat
tema dengan judul yang sama, Grand Illusion. Tema ini menurut saya sangat
relevan dan penting untuk dihadirkan pada perhelatan ARKIPEL 2015. Ada
banyak pergeseran dan perubahan dalam kacamata sosial, politik, ekonomi
dan kebudayaan di dunia. Pergeseran dan perubahan itu sepertinya mengantar
2 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

kita untuk melihat kembali posisi kita dalam hubungan sosial di mana kita
hidup. Apakah ia kenyataan atau ilusi?
Sekarang, kita membaca dan melihat berbagai peristiwa yang dipapar media
massa: sungguh di luar nalar kemanusiaan yang selama ini saya percaya. Tibatiba saja rekaman video pemenggalan kepala manusia oleh kelompok Negara
Islam di Irak dan Suriah (ISIS) hadir di hadapan kita melalui media sosial.
Berbagai artefak kebudayaan peradaban dunia dihancurkan dalam sekejap.
Kepercayaan atas kebenaran yang ilusif itu telah menghancurkan apa-apa yang
dibangun oleh manusia itu sediri. Sementara di Afrika, di malam gelap gulita,
rumah-rumah digeledah oleh kelompok Boko Haram, menculik dan membunuh
siapa saja yang mereka anggap berbeda, lalu menculik anak-anak perempuan
tak berdosa. Ini merupakan tantangan terbesar dari situasi kontemporer saat
ini. Motif ekonomi, sosial, maupun politik serta infrastruktur yang tersedia,
tampaknya menempatkan kita tidak siap untuk hidup berdampingan dengan
manusia lain. Contoh yang paling mutakhir adalah peristiwa berdarah Charlie
Hebdo, yang merupakan benturan antara kepercayaan satu kelompok dengan
apa yang dipercaya dan diproduksi oleh media massa. Struktur ekonomi Barat
juga sedang diuji, bahwa kapitalisme itu juga bisa jadi salah saat ia berhadapan
dengan perubahan masyarakatnya. Yunani dengan garang melawan dikte Uni
Eropa atas penyelamatan ekonominya dari kebangkrutan. Krisis ini telah
membawa negara ini menjadi potret kegagalan dari ilusi kawasan kesatuan
Eropa yang disiapkan lebih dari 40 tahun lalu. Keterhubungan dan kesatuan
yang ilusif itu telah menggiring perbedaan menjadi diabaikan sehingga
penghancuran struktur negara pun secara perlahan-lahan terjadi.
Tahun lalu, Indonesia berhasil menghadirkan demokrasi partisipatif yang
mengantarkan seorang mantan walikota sebuah kota kecil di Jawa, menjadi
seorang presiden. Joko Widodo bukanlah seorang yang berasal dari lingkaran
elite politik Indonesia. Ia adalah seorang pengusaha mebel, yang terjun ke
politik tidak lebih dari 10 tahun lalu, menjadi Walikota Solo di Jawa Tengah
dan Gubernur Jakarta. Pesta demokrasi di Indonesia tahun lalu, memberikan
harapan kepada orang biasa, bahwa menjadi seorang presiden bukanlah citacita yang tak mungkin bagi seorang anak kampung. Namun, cita-cita itu pun
dapat saja menjadi hal ilusif, jika penguasa baru ini tidak mampu memberikan
harapan pada cita-cita partisipatif yang digalang sebagian besar masyarakat
Indonesia tahun lalu. Pada pemimpin baru ini, kalangan pegiat isu sosial dan
hak asasi manusia meletakkan harapan untuk membuka dan meluruskan
sejarah gelap yang dilakukan oleh rezim sebelumnya. Indonesia adalah salah
satu bangsa dengan sejarah sosial-politiknya yang penuh dengan ilusi. Ada
banyak luka politik yang berimbas pada korban-korban tidak berdosa. Rezim
Orde Baru yang dipimpin Soeharto telah mengambil peran yang sangat besar
dalam membelokkan fakta-fakta sejarah tentang apa-apa yang terjadi ketika
mereka mulai berkuasa (1965-1966). Dan sesudahnya, hampir lebih dari 30
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |3

tahun, rezim Orde Baru secara canggih memanfaatkan peran media (filem)
dalam membangun stigma terhadap kelompok tertentu. Media digunakan
sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dengan jargon demi stabilatas
nasional.

ARKIPEL: Ilusi

Bagaimana sinema melihat pergeseran dan perubahan itu sekarang? Kita tahu
bahwa produksi ilusi sosial-politik, ekonomi dan kebudayaan itu telah hadir
sejak sinema muncul di dunia. Sejak kelahirannya, ilusi adalah kata kunci
dalam filem. Pertama kali pada Desember, 1895, satu adegan dipublikasikan
dan dipamerkan di Paris oleh Lumire Bersaudara, memunculkan pikiran
pada manusia bahwa ada penyeimbang dalam melihat kehidupan saat ini, yaitu
ilusi yang nyata dari gambar bergerak. Gambar-gambar yang tersusun dari
sejumlah gambar diam itu, setelah digerakan, menjadi letupan yang sangat
besar bagi peradaban manusia dalam melihat dirinya sendiri.
Dalam perkembangannya, letupan besar menjadi formula dalam menarik
simpati publik dalam tradisi sinema dunia. Ilusi tentang realitas baru itu
dikelola sedemikian rupa menjadi tujuan pembuatnya; ekonomi, sosial politik
dan budaya. Selain itu, berbagai bentuk baru muncul dalam strategi menarik
simpati publik. Hal inilah yang digunakan oleh sebagian besar kekuatankekuatan besar, seperti negara dan korporasi multinasional. Pertanyaannya,
apakah ada kebenaran mutlak di dalam sinema? Karena manusia secara tak
sadar membangun imajinasi dalam membangun hidupnya dari dulu hingga
sekarang. Dalam sinema, rekaman-rekaman kenyataan atau rekayasa disusun
sedemikian rupa untuk memukau dan memperdaya penonton agar percaya
bahwa ia adalah sebuah kenyataan.
Tentu jualan ilusi tidak selalu bermuara kepada hal yang negatif. Bagi
sinema, temuan-temuan bentuk baru memperkaya pengalaman menonton
dan interpretasi baru terhadap sejarah dan isu sosial-politik, yang sering
didominasi oleh negara. Pemilihan tema Grand Illusion menjadi salah satu
strategi bagi ARKIPEL untuk membaca bagaimana ilusi-ilusi itu diproduksi,
didistribusikan, hingga berdampak bagi perjalanan sebuah bangsa di berbagai
belahan dunia yang lain.
Pada tahun ini, melalui tema Grand Illusion, festival menghadirkan
pembacaan dari beberapa kuratorial yang menghadirkan bagaimana sinema
merekam persoalan yang dimaksud. Seperti sebelumnya, ARKIPEL akan
selalu membaca perkembangan kawasan. Untuk kawasan Asia Tengara, Budi
Irawanto dan Manshur Zikri membuka pandangan kita tentang bagaimana
sinema mampu merekam persoalan sosial-politik itu dan membingkainya menjadi
bahasa yang puitik, dan melepaskan kebiasaan kaku yang dihadirkan sinema
dokumenter selama ini. Irawanto membingkai persoalan estetika dokumenter
dengan membangunkannya dari ilusi harmoni (Irawanto, 2015). Zikri membaca
4 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

peran bingkai kamera dalam memproduksi bentuk yang menghadirkan empati


(Zikri, 2015). David Teh menghadirkan persoalan saling ketergantungan
antarkawasan dalam persoalan sosial-politik dan budaya (Teh, 2015). Seperti
tahun lalu, Ronny Agustinus kembali menghadirkan kuratorial kawasan
Amerika Latin. Melalui kuratorialnya, Agustinus mencoba membongkar
tegangan antara ilusi dan realitas dalam sinema (Agustinus, 2015).
Dalam membaca peran negara dalam sinema, kuratorial Afrian Purnama
menghadirkan persoalan sinema yang digunakan oleh negara dalam memberikan
pelayanan publik. Ia merangkai dan membandingkan filem-filem layanan
masyarakat yang diproduksi oleh Denmark dan disutradarai Carl Theodor
Dreyer dengan filem newsreel Gelora Indonesia yang diproduksi negara pada
tahun 1950-an (Purnama, 2015). Dalam rangka memperingati 50 tahun tragedi
1965, masa ketika terjadi penghilangan paksa kelompok masyarakat yang
berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), secara khusus ARKIPEL
tahun ini menghadirkan kuratorial Bunga Siagian yang membaca salah satu
karya sinema Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) karya Bachtiar Siagian,
filem Violetta. Bagi Indonesia, sinema Lekra adalah sebuah misteri sendiri.
Violetta adalah satu-satunya filem yang dapat diakses di Sinematek Indonesia
dari dua filem yang tersisa dari sutradara yang tergabung dalam organisasi
yang berafiliasi dengan PKI ini, yaitu Violleta (1962) karya Bachtiar Siagian
dan Si Pintjang (1951) karya Kotot Sukardi (Siagian, 2015).
Kuratorial Mahardika Yudha, pameran Peradaban Sinema Dalam Pameran
#2, Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi, merupakan lanjutan dari
seri pameran ARKIPEL tahun lalu. Tahun ini, Yudha mencoba merentangkan
bagaimana situasi migrasi pengetahuan, sudut pandang, dan ilusi melalui
teknologi sinema dari negeri-negeri Eropa ke Hindia-Belanda yang terjadi
di masa-masa awal kehadiran teknologi sinema. Filem-filem tentang HindiaBelanda yang diproduksi oleh korporasi maupun pemerintah Kolonial Belanda,
baik fiksi maupun dokumenter, telah merepresentasikan bagaimana kehidupan
masyarakat Hindia-Belanda kepada masyarakat global. Pada titik inilah sinema
memiliki peran membentuk sudut pandang Eropa dalam melihat bangsa
Hindia-Belanda. Sudut pandang yang tidak hanya berlaku bagi masyarakat
Eropa saja, tetapi juga bagi masyarakat Hindia-Belanda dalam memandang
dirinya hingga hari ini (Yudha, 2015).
Terakhir, kuratorial Akbar Yumni dan Otty Widasari mencoba membaca
bagaimana filem (dokumenter) dapat mengkonstruksi kebenarannya sendiri
melalui kejelian pembuatnya dalam menyusun apa yang didengar dan dilihat,
sebagai dokumen tidak biasa. Yumni menghadirkan dua karya sutradara
terkemuka Jean-Luc Godard dan Chantal Akerman, di mana ia melihat
bagaimana sinema antara kesadaran dan ketaksadaran (Yumni, 2015).
Widasari melalui kuratorialnya yang berjudul Pergunjingan Menanding
Arus menghadirkan dua karya dari sutradara eksperimental terkemuka Jon
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |5

Jost, di mana eksperimentasi dalam dokumenter dapat saja sebagai tandingan


terhadap rekaman atau dokumen yang bersifat resmi dengan menggunakan
dokumen sehari-hari seperti pergunjingan atau gosip (Widasari, 2015).
Demikianlah, seperti yang dituliskan Renoir dalam biografinya, sinema
dipenuhi oleh dewa-dewa kepalsuan, maka tugas sinemalah untuk menghancurkan
kepalsuan itu sendiri. Karena meskipun sinema adalah ilusi, ia punya muatan
kebenaran kemanusiaan yang seharusnya diperjuangkan oleh para pegiatnya.
Semoga saja ARKIPEL Grand Illusion dapat memberikan pencerahan pada
kita tentang bagaimana membaca persoalan kemanusiaan dalam masyarakat
kontemporer ini.
Selamat menonton!
Bacaan:

Agustinus, R. (2015). Menyusun/Membongkar Ilusi/Realitas. Dalam M. Zikri, & U. T.


Moetidjo (Penyunt.), ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary
& Experimental Film Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Irawanto, B. (2015). Terjaga dari Ilusi Harmoni. Dalam M. Zikri, & U. T. Moetidjo
(Penyunt.), ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary &
Experimental Film Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Purnama, A. (2015). Sinema Kepatuhan. Dalam M. Zikri, & U. T. Moetidjo (Penyunt.),
ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film
Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Siagian, B. (2015). Bachtiar Siagian dan Violetta: Ideologi dan Seni Hiburan. Dalam M.
Zikri, & U. T. Moetidjo (Penyunt.), ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International
Documentary & Experimental Film Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Teh, D. (2015). On Interdependence. Dalam M. Zikri, & U. T. Moetidjo (Penyunt.),
ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film
Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Widasari, O. (2015). Pergunjingan Menanding Arus. Dalam M. Zikri, & U. T. Moetidjo
(Penyunt.), ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary &
Experimental Film Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Yudha, M. (2015). Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi. Dalam M. Zikri,
& U. T. Moetidjo (Penyunt.), ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International
Documnetary & Experimental Film Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Yumni, A. (2015). Sinema Antara Kesadaran dan Ketaksadaran. Dalam M. Zikri, & U. T.
Moetidjo (Penyunt.), ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documnetary
& Experimental Film Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Zikri, M. (2015). Kamera yang Empati, Mengirama Teritori. Dalam M. Zikri, & U. T.
Moetidjo (Penyunt.), ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary
& Experimental Film Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.

6 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

ARTISTIC STATEMENT

UNCOVERING ILLUSION
Hafiz Rancajale
Artistic Director

I considered that the world, and especially the cinema, was burdened with
false gods. My task was to overthrow them. Sword in hand, I was ready
to consecrate my life to the task. But the false gods are still there. My
perseverance during a half-century of cinema has perhaps helped to topple
a few of them. It has likewise helped me to discover that some of the gods
were real, and had no need to be toppled.
Jean Renoir, My Life and My Films, 1974.

In 1937, Jean Renoir probably never imagined his film La Grande Illusion can
be one of the masterpieces in world cinema history, which recorded one of
the most bitter pieces of human civilization: World War I. The film departed
from the book The Great Illusion, A Study of the Relation of Military Power to
National Advantage (1910) by Norman Angell, it managed to dismember the
viewers imagination with questions about the truth of humanity in modern
civilization. What is imagined as the most essential goal, that as human beings,
society, nation, and pride towards nationalism or state, are only illusion built
by great power, not being able to be touched by human themselves.
Departing from Renoir and Angell, ARKIPEL is adopting theme
taken from the title, Grand Illusion. I think this theme is very relevant and
important to be presented at ARKIPEL 2015. There were many shifts and
changes in the spectacle of social, political, economic and cultural in the
world. Those shifts and changes seem to lead us to look back at our position
amid social relations in where we live. Is it reality or illusion?
Now, we read and see how some events are exposed by mass media:
indeed, beyond humanity logic I believe all this time. All of sudden a video
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |7

recording of a man beheaded by Islamic State in Iraq and Syria (ISIS)


group came up through social media. Various cultural artifacts of world
civilization were destroyed in a blink. Belief in illusive truth has destroyed
anything built by human themselves. While in Africa, in the pitch black
night, houses were ransacked by Boko Haram, kidnapped and killed anyone
they consider to be different, and abducted innocent young girls. This is the
biggest challenge of todays contemporary situation. Economic, social, and
political motives also infrastructure available made us not able to coexist
with another humans. The most recent example is the bloody tragedy of
Charlie Hebdo, which was a clash between the belief of certain group with
what is believed and produced by mass media.
The Western economic structure is also being tested, that capitalism
can be wrong when confronted with changes in society. Greece is fighting
fiercely against the EU over its economic rescue from bankruptcy. This crisis
has brought this country into a portrait of failure of a unity illusion prepared
for more than 40 years ago in the European region. Connectedness and
illusive unity have led the difference of being ignored so that the destruction
of any state structure is slowly happening.
Last year, Indonesia managed to bring participatory democracy which
brought a former mayor of a small town in Java, became a president. Joko
Widodo is not someone coming from Indonesian political elite circles.
He was a furniture entrepreneur, who went into politics not more than 10
years ago, became the Mayor of Solo in Central Java and the Governor
of Jakarta. The democracy feast in Indonesia last year was giving hope to
ordinary people, that becoming a president is not impossible for a village
boy. However, that aspiration may become illusory, if this new ruler is
not able to give hope onto the participative aspiration supported by most
Indonesian people last year. To this new leader, circles of social and
human rights activists lay hopes to open and straighten the dark history
committed by the previous regime. Indonesia is one of the nations whose
socio-political history is full of illusion. There are many political wounds
impacting on innocent victims. The New Order regime led by Soeharto
had taken a very major role in deflecting historical facts about what were
happening when they came to power (1965-1966). And afterward, almost
more than 30 years, the regime sophisticatedly utilized the role of media
(film) in building the stigma against certain groups. Media was used as a
tool to preserve power with jargon like for the sake of national stability.

ARKIPEL: Illusion

How cinema saw the shift and change nowadays? We know that the production
of illusion of socio-political, economic and cultural have been present since
the first time cinema appeared in the world. Since its birth, illusion is the key
8 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

word. The first time in December 1895, a footage was published and exhibited
in Paris by Lumiere Brothers, brought up human mind that there is balance
in looking at life today, which is a real illusion of moving images. The images
are composed of several still images that once set in motion becomes a very
large outbreak of human civilization in looking down themselves.
In the process, large burst becomes a formula in attracting public
sympathy in the tradition of world cinema. Illusion about that new reality
is managed in such way to be the authors goal; economic, socio-political
and cultural. Besides, new forms emerge as strategy to lure public sympathy.
This is used mostly by most of the major powers, such as the state and
multinational corporations. The question is, whether there is an absolute
truth in cinema? Because human beings unconsciously build imagination
in their life from the past until now. In cinema, recordings of reality or
manipulation have been designed to amaze and deceive the audience into
believing that it is a reality.
Certainly selling the illusion is not always geared towards negativity.
For cinema, inventions of new form enrich the watching experience and
new interpretation of history and socio-political issues, which are often
dominated by the state. Selection of the theme Grand Illusion became one of
the strategies for ARKIPEL to read how illusions are produced, distributed,
to affect a nations journey in various parts of the world.
This year, through the theme Grand Illusion, the festival presents readings
of some curatorial issues presenting how cinema recording such question.
As before, ARKIPEL will always read the development of region. For
Southeast Asia region, Budi Irawanto and Manshur Zikri open our view
of how cinema is capable of recording socio-political issues and framed into
a poetic language, and goes through the rigid habit presented usually by
documentary cinema. Irawanto frames the matter of documentary aesthetic
by waking it up from the illusion of harmony (Irawanto, 2015). Zikri reads
the role of camera frame in producing form which brings empathy (Zikri,
2015). David Teh brings up the issue of interdependence in different regions
in socio-political and cultural context (Teh, 2015). Like last year, Ronny
Agustinus again presents a curatorial about the Latin American region.
Through his curatorial, Agustinus tries to unload tension between illusion
and reality in cinema (Agustinus, 2015).
In reading the states role in cinema, Afrian Purnamas curatorial showcases
cinematic issue that are used by the state to provide public services. He
assembles and compares the public service announcement films produced
by the government of Denmark and directed by Carl Theodor Dreyer with
Indonesian newsreel documentaries produced by the government in 1950s
(Purnama, 2015). In order to commemorate 50 years of 1965 tragedy, where
enforced disappearances towards several society groups affiliated with the
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |9

Communist Party of Indonesia (PKI), specifically ARKIPEL this year


presents a curatorial by Bunga Siagian reading one of the films produced
by Peoples Cultural Institute (LEKRA) directed by Bachtiar Siagian,
Violetta. For Indonesia, LEKRA cinema is a mystery. Violetta (1962) is
the only film that can be accessed in Sinematek Indonesia of the remaining
two films from directors of LEKRA, the other one is Si Pintjang (1951)
a work by Kotot Sukardi (Siagian, 2015 ).
Mahardika Yudhas curatorial, Cinema Culture in Exhibition #2,
Moving Image Colonies: Between Fact and Fiction, is a continuation of
last years exhibition series at ARKIPEL. This year, Yudha tries to stretch
what is the situation about migration of knowledge, perspective, and illusion
through cinema technology from European countries to the Dutch East
Indies occurred in the early days of cinema technology presence. Films
about the Dutch East Indies produced either by corporation or the Dutch
colonial government, both fiction and documentary, has been representing
the peoples life of the Dutch East Indies to global society. At this point, the
cinema has a role to shape the European perspective in seeing the nation
of Dutch East Indies. This perspective are not only valid for the European
community, but also for the Dutch East Indies society to look at themselves
until today (Yudha, 2015).
Curatorials of Akbar Yumni and Otty Widasari are trying to read how
the film (documentary) can construct their own truth through the foresight
of the authors in compiling what is heard and seen, as unusual documents.
Yumni is presenting two works by leading directors Jean-luc Godard and
Chantal Akerman, where he saw between consciousness and unconsciousness
in cinema (Yumni, 2015). Widasari through her curatorial entitled Counter
the Stream-Rumors showcases two works of the leading experimental
filmmaker Jon Jost, where experimentation in the documentary can be a
challenge to official record or document by using everyday documents
such as gossip or rumors (Widasari , 2015).
Thus, as outlined by Renoir in his biography, cinema is filled with
false gods, then the task of cinema to destroy the falsehood itself. Because
although cinema is illusion, it has charge of humanity credential that should
be strivened for by its actuator. Hopefully ARKIPEL Grand Illusion can
enlighten us on how to read the humanitarian issues in this contemporary
society.
Enjoy!

10 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Works Cited:

Agustinus, R. (2015). Constructing/Deconstructing Illusion/Reality. M. Zikri, & U. T.


Moetidjo (Editor), ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary
& Experimental Film Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Irawanto, B. (2015). Disillusioned with Harmony. M. Zikri, & U. T. Moetidjo (Editor),
ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film
Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Purnama, A. (2015). Cinema of Submissiveness. M. Zikri, & U. T. Moetidjo (Editor),
ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film
Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Siagian, B. (2015). Bachtiar Siagian and Violetta : Ideology and Entertainment. M. Zikri,
& U. T. Moetidjo (Editor), ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International
Documentary & Experimental Film Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Teh, D. (2015). On Interdependence. M. Zikri, & U. T. Moetidjo (Editor), ARKIPEL
Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.
Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Widasari, O. (2015). Counter the Stream-Rumors. M. Zikri, & U. T. Moetidjo (Editor),
ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film
Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Yudha, M. (2015). Moving Image Colonies: Between Fact and Fiction. M. Zikri, & U. T.
Moetidjo (Editor), ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documnetary
& Experimental Film Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Yumni, A. (2015). The Cinema Between Consciousness and Unsconciousness. M. Zikri, & U.
T. Moetidjo (Editor), ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documnetary
& Experimental Film Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.
Zikri, M. (2015). Camera Empathy, Rythim of Territory. M. Zikri, & U. T. Moetidjo (Editor),
ARKIPEL Grand Illusion - 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film
Festival. Jakarta: Forum Lenteng - ARKIPEL.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |11

REFLEKSI

KILAS-BALIK ARKIPEL
2015 KE 2014
Ugeng T. Moetidjo

Sejarah, jelas milik Lady Macbeth, dengan tangan-tangan Macbeth sendiri


yang berulang-ulang digosokkan. Sejarah lazim dipakai oleh bangsa-bangsa
atau, tepatnya, seringkali oleh kekuasaan, untuk membersihkan, menyucikan,
sejarah itu sendiri. Maka, sejarah (atau sejarah-sejarah) mungkin digunakan
untuk menghakimi, menghukum, atau memenggal sejarah-sejarah yang lain.
Bagaimanapun, menonton filem, sekarang adalah jenis tindakan yang
tak pernah terbayangkan ketika, di masa yang sudah jauh lalu, saya pergi
dari rumah untuk berkelana memasuki sebuah dunia yang muncul dari
layar pantul cahaya. Betapa imaginable-nya! Dunia dengan sehampar
kenyataan yang berbeda, itu menyergap dari belakang kita untuk dikenali
oleh tatapan kita. Lewat seberkas cahaya kasat mata yang jatuh dengan
kemiringan tertentusekira empat puluh lima derajat (?)sang dunia
menyusun dirinya dari serangkaian gambar-gambar, seiring resepsi tumbuh
di benak kita. Bayangan besar itulah yang pada prinsipnya menciptakan
segenap kesan atas ingatan kita.
Pengalaman pertama saya menonton di bioskop ialah di tahun 1973
untuk menemani kakak perempuan dan pacarnya mencari hiburan dengan
menonton filem. Bioskop itu tak jauh dari rumah. Saya masih tahu nama
bioskop itu, berikut sedikit detail dari eksterior dan interiornya. Tampak
luar, loket diarahkan dengan pagar-pagar besi buat mengantre. Di bagianbagian di kiri, tengah, dan kanan atas gedung, terpampang baliho-baliho
beragam filem. Dalam tata gambar nan warna-warni yang menyolok,
baliho-baliho itu sering sudahlama baru saya sadaritampak usang,
dengan sepapan kecil informasi bertera Hari Ini, Segera, Midnight
dan Matine [memang cuma satu e] Show. Suasana di muka gedung
adalah ramai dengan para pedagang asong, orang berlalu-lalang, berkumpul
12 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

sebagai sekelompok massa dari calon penonton atau sekadar iseng. Dalaman
bioskop terdiri dari deretan berundak kursi-kursi kayu yang keras saat
diduduki. Layar proyeksi terhampar tanpa tirai penutup, dan di sebelah
bawahnya sebuah pintu bertulisan Exit neon sign di atasnya.
Nama bioskopyang langsung menunjuk daerah dari lokasi berdirinya,
di sebuah pasar untuk rakyat bawahitu, dalam inisialnya, JB Theatre
(kata akhir untuk semua nama bioskop di Indonesia selalu ditulis dengan
bahasa Inggris. Di cakapan sehari-hari, kata bioskop lebih umum diucapkan,
berseling kata theatrekami mengucapkannya teaterkala sinepleks
mengetren di tengah 80-an).
Pengalaman pertama menonton itu sama-sekali tidak spesifik milik
saya sendiri. Ada jutaan orang lain di saat dan usia yang sama, di tahun itu,
di tempat-tempat lain, di negeri-negeri yang lain, juga tengah mengalami
sebuah dunia bukan riil, namun berpengaruh emosional pada biografi
masing-masing mereka. Pada titik ini, pengalaman saya dan mereka
melebur menjadi biografi penonton sinema, baik di negara saya maupun
di negara-negara lain di dunia.
Filem yang saya tonton kali pertamasaya beri tahuialah Takdir.
Sebuah cerita tentang kemalangan nasib perempuan bersuamikan lelaki
yang sangat dikendalikan oleh ibunya yang berlaku kejam terhadap sang
menantu. Keadaan ini membuat si perempuan lari dari perkawinannya
dan mencoba bunuh diritapi urungdengan meloncat dari kereta yang
membawanya menuju Jakarta. Gagasan tentang fiksi ini jelas tidak teresepsi
dari kesan pertama usai saya melihat filem itu. Meskipun demikian,
ingatan dalam benak kanak-kanak saya akan Takdir, agaknya, tak pudarpudar. Mungkin, untuk selamanya. Memori sinematik tersebut laten dan
jadi penyokong gambaran atau narasi-narasi tentang dunia yang distimuli
oleh ruang gelap, cahaya, dan gambar-gambar yang mengilusikan hidup.
Kesan demikian muncul belakangan waktu, dipicu filem yang sama, namun
sudah di tahun 1980 kala saya menontonnya di televisi hitam-putih 14 inci
yang belum lama saja kami miliki. Dan gagasan tentang aspek-aspek yang
mengilusikan kehidupan saat saya menjadi penonton di bioskop melekat
bak rekaman tak berkesudahan dari suatu bayangan yang rapi tersimpan
dalam sebuah laci dari arsip mental subjek pertama terlibat, melalui dunia
lain dari monitor elektronis.
Kedua perempuan peran si jahat-si baik lantas menempel di kepala saya,
bagai katup pembuka dalam mengenali relasi antara sinema dan kenyataan,
meski sampai saat ini saya tak tahu akhir dari Takdir. Saya tidak ingat nama
dari peran-peran perempuan itu, dan tampaknyadalam tradisi sinema fiksi
populer di mana punnama tokoh peran tidak terlalu penting. Penonton
hanya mengidentifikasi peran-peran itu ke dalam para bintang pemerannya.
Saya ingat kemudian, perempuan putus asa itu Rima Melati, dan ibu mertua
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |13

yang kejam ialah Wolly Sutinah (Mak Wok). Sedangkan perempuan lainnya,
teman si putus asa di Jakarta, ialah Ruth Pelupessy yang bekerja sebagai
hostess di sebuah klub malam. Ia menerima Rima Melati di ruang tamu
rumahnya pada tengah malam dengan televisi hitam-putih [?] yang menyala
tanpa gambar selain rubungan semut. Dalam fiksi, persepsi kita begitu
mudah mencampurbaurkan antara yang rekaan (cerita, tokoh) dengan yang
nyata (para pemain). Tak mungkin itu dilakukan dengan anggapan yang
sama untuk dokumenter. Pada dokumenter, perasaan-perasaan kita tidak
terlibat karena persepsi kita dihentikan oleh tampilan segala sesuatu yang
nyata, yang mengandalkan kemampuan intelek atau pengetahuan tentang
hal-hal yang diperlihatkan, dan (oleh kita) dapat ditunjuk rujukannya
dengan kenyataan yang (mungkin) pernah kita lihat, atau kita bayangkan
memang ada. Fiksi dalam sinema tidak bekerja dengan cara yang berjarak
seperti itu, melainkan langsung ke jantung ketakkesadaran kita, dan oleh
karenanya, apa yang sesungguhnya tampil sebagai impian/mimpi itu
malahan terkesan diterima sebagai bagian dari kehidupan kita, penonton.
Jadi, tidak mengherankan, bahwa publik penonton lebih menganggap
nyata fiksi ketimbang dokumenter. Sebab, ia memang punya sifat mimpi,
impian, atau pelena, dan karenanya terasa lebih terhubung dengan perasaan
atau sesuatu yang bersifat psikis atau termentalkan. Masalahnya juga terletak
jauh di dasar kesadaran yang terepresi oleh sistem yang mengatur cara kita
menjalani kehidupan sehari-hari. Karena itu, filem cerita tak perlu paksaan
kekerasantapi persuasi purna-advertaising hiburan popularsebagaimana
dokumenter propaganda. Sepanjang periode sinema di negeri kami, publik
umumnya menggerutu tak sabar bila filem cerita didahului dengan tayangan
singkat penerangan. Karenanya, selama periode sinema propaganda 19421945, dengan aturan, paksaan, dan ancaman senjata atau kerja paksa, publik
digiring untuk menonton filem-filem pengobar semangat perang. Di era
tengah 1980-an dan 1990-an kasus yang serupa berlaku untuk filem-filem
ideologis yang dibiayai atau diproduksi oleh negara.
Sinema Hollywood memberi pengaruh sangat besar lewat aneka jenis
filem cerita, yang tampaknya, selalu memperlihatkan kedekatannya dengan
upaya negara untuk menegakkan sistem dengan melakukan penaklukan
atas warganya. Produksi Hollywood adalah produksi penaklukan terhadap
warga. Sejak filem-filem awal ditahbiskan sebagai sinema Amerika, hampir
boleh dipastikan tak satu pun filem dari negeri itu yang tidak menampilkan
bendera kebangsaan mereka dalam berbagai bentuknya. Kehadiran peran
publik, sebagai massa mengambang yang menanggap adegan-adegan
tertentu di dalam sebuah filem, niscaya selalu merupakan model mimikri
mengenai rakyat Amerika untuk menggiring perilaku histeria yang sama
pada publik sebagaimana yang ditampilkan di dalam filem. Terlebih, dalam
14 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

jenis superhero. Itu semacam shock teraphy terselubung dari cuci otak yang
terus-menerus sepanjang sejarah sinema arus utama Amerika.
Lebih dua puluh tahun lalu1992dalam sambutannya untuk
merayakan 100 tahun sinema di ruang bioskop Pusat Kebudayaan Prancis di
Jakarta, sebelum memutarkan filem Empire of Passion (1978) karya Nagisa
shima, Anatole Daumankira-kira, dalam bahasa saya seingat ucapan
ituberkata bahwa, apapun kisah yang akan tampil dalam filem itu, hanya
satu yang patut kita ingat sekarang, yaitu bahwa kita sedang merayakan
100 tahun sinema dengan suka cita. Inilah sinema!
Terbayang kembali kini oleh saya bahwa menonton filem, ternyata, tidak
selalu di gedung yang dinamakan bioskop. Dua atau tiga tahun sebelum
mengenal bioskop, seingat saya, suatu pertunjukan filem di satu lapangan
terbuka di kampung kami juga telah membuat saya menjadi penontonnya.
Bersama anggota keluarga, yakni kakak perempuan, pamansaya tak yakin,
seperti halnya pada bapak, ibu ikut ke acara keramaian itu. Mereka bukan
sinemanista. Keduanya memilih wayang kulit dan kethoprak, yang jika bukan
di pertunjukan langsung, pasti melalui radiodan anak-anak tetangga
yang pergi bersama kami atau dengan keluarga mereka sendiri. Jadi, para
penonton sinema terbuka itu adalah para keluarga dari anggota-anggota
warga kampung kami dan sekitarnya, yang beberapa darinya kami saling
kenal. Sebagian penonton, termasuk kami, duduk di sehampar tikar sendirisendiri yang dibawa dari rumah masing-masing. Sebagian lainnya, hanya
berdiri atau berjongkok, atau kedua-duanya. Sementara beberapa penjual
kudapan dan minuman dan rokok terkadang berlalu-lalang menawarkan
dagangan mereka. Suasananya betul-betul ramai di tengah remang malam,
karena daerah kami waktu itu belum terkena aliran listrik. Pada malam
itu, cahaya listrik hanya berada di titik tempat pemutaran yang dihidupkan
dengan sebuah generator di dekat sebuah mobil besar, mungkin pick-up.
Saya ingat, kami membawa sebuah senter sebagai penerang jalan saat kami
pergi dan pulang. Sejumlah orang, saya lihat, juga demikian.
Apa yang kami tonton, saya tidak tahu, sebab saya sendiri begitu tak
ingat pada apa yang hadir di layar sangat besar yang ditegakkan entah
dengan pancang dari bahan apa di tengah lapangan. Saya tidak terlalu hirau
dengan gambaran yang dipantulkan di atas layar entah dari alat dan arah
mana. Saya tidak terlalu menonton. Saya malahan bermain-main dengan
anak-anak tetangga yang sebaya atau terpana oleh pemandangan keramaian
yang baru kali itu saya alami. Yang samar-samar masih saya ingat ialah
warna abu-abu keburaman yang muncul di layar, sertasaya masih selalu
terbayang inigambar ayah-ibu menuntun dua anak(nya) dalam hiasan
padi dan kapas yang melingkup mereka. Ya, itu gambar Keluarga Berencana.
Dari sini, saya ingat, cukup sering layar cahaya menampilkan filem-filem
yang kira-kira seperti itu meskipun cerita atau gambar-gambarnya tidak saya
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |15

pahami dan tak teringatkan. Juga warna. Rasa saya, semua yang tersorot
di layar, berwarna hitam-putih keabu-abuan. Yang saya ingat dengan jelas
ialah sekelompok cebol, beberapa lelaki dan satu perempuan, yang dengan
berpakaian aneh dan sambil mengacung-acungkan batu batere, senter,
dan radio, menari-nari di atas kap mobil van yang bercap perusahaan batu
batere terkenal.
Itu adalah situasi Indonesia di sudut pinggiran Jakarta awal 1970-an.
Pemerintahan yang baru belum penuh setengah dekade berjalan. Filem
di lapangan terbuka itu sepertinya menjelang atau sekitar masa pemilihan
umum pertamanya. Dan sebentar lagi, saya akan tahu bahwa kata tjatjing
yang saya tuliskan di papan tulis di muka kelas sudah berganti; begitu pun
dengan kata dj tidak lagi dipakai untuk menuliskan kata djenderal.
Kemudian saya akan membaca buku-buku tipis untuk anak-anak dengan
sampul berwarna kuning dan tiap judulnya bergambarkan foto hitam-putih
kelabu dari masing-masing tujuh perwira dan seorang anak perempuan yang
gugur secara memilukan sebagai bunga-bunga bangsa. Dan bersama anakanak lain sekelas, saya akan mengunjungi tempat-tempat suci pengorbanan
mereka, juga diorama-diorama yang indah yang memuja sang pahlawan.
Lalu, bersama guru-guru dan kawan-kawan sekolah, saya akan pergi ke
bioskop-bioskop terdekat di pagi hari pukul 10.00, untuk menonton filemfilem Bandung Lautan Api, Mereka Kembali, Janur Kuning.
Filem-filem lain semacam yang berikutnya, saya tahu, kemudian
disaksikan oleh murid-murid sekolah dasar dan menengah dari angkatan
sesudah saya. Ketika masa ini, saya sudah berpaling ke filem-filem pilihan
saya sendiri. Serangan Fajar, Pengkhianatan G-30 S/PKI, Jakarta 66
adalah filem-filem semifiksi yang pada prinsipnya digarap melalui plot
yang diidealisasi atau, tepatnya, diideologisasikan. Filem-filem tersebut
jelas bukan jenis karya sinema dokumenter. Mereka dirancang setengahnya
sebagai fiksi dengan maksudjika bukan tujuan mendasarnyaselain
untuk menjangkau penonton yang luas, juga untuk memberi pengetahuan
kepada publik soal satu-satunya pilihan, yaitu kesetiaan kepada negara.
Penggunaan fiksi ke dalam konteks naratif publik merupakan siasat pokok
pada filem-filem semacam itu agar lebih dapat merasuki alam pikiran publik
dan dengan mudah diterima sebagai bagian dari wacana mereka untuk
selamanya. Naratologi mental atas publik yang terus-menerus dibangkitkan
emosi-emosinya lewat narasi-narasi historisis seperti itu dapat segera menjadi
keyakinan kolekif lantaran ditopang dengan sendirinya oleh berkembangnya
mitos-mitos di masyarakat. Meramu konsep tentang negara dan bangsa sebagai
suatu khayalan serupa mimpi, naratologi tersebut akan menjelma menjadi
narasi milik publik sendiri, di luar apakah kisah-kisah itu memerlukan atau
tidak fakta-fakta historis, kecuali elemen-elemen yang digambarkan sebagai
kenyataan. Yang lebih diutamakan dalam produksi filem-filem demikian
16 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

bukanlah struktur dalamannya sebagai bentuk, melainkan suatu struktur


luaran yang selama ini sudah dianggap sebagai kenyataan dalam kehidupan
publik melalui bentuk-bentuk propaganda lainnya sebelumnya. Filem-filem
tersebut, jika bukan didanai atau diproduksi sendiri oleh negara, setidaknya
merupakan filem-filem yang direstui penguasa saat itu.
Layak menjadi pertanyaanmungk in, k ini sudah tak layak
dipertanyakanmengapa negara merasa sangat berkepentingan untuk
menciptakan suatu konsep tentang bangsa, malahan melalui sinema fiksi?
Tidakkah itu secara terbalik akan berarti negara sedang mengkhayalkan
suatu narasi menurut idealisasinya? Dan karena itu, sejarahatau kisahkisah sejarahitu sesungguhnya suatu cerita belaka? Apakah pendekatan
tersebut dapat langsung dikatakan sebagai satu upaya rekonstruksi, atau
justru dekonstruki atas sejarah dalam versi-versi ideologisnya? Lebih lanjut,
juga tak lagi layak dipertanyakan, apakah dalam kontennya, tersembunyi
narasi-narasi tertentu lain yang justru dirahasiakan, atau narasi-narasi
tersebut memang dibuat untuk merahasiakan suatu kebenaran? Akan
tetapi, jelas, bahwa naratologi historisis tersebut memang diproduksi guna
mengekalkan ingatan yang secara massif dieksploitasi melalui terminologi
mental dengan sebutan laten. Jadi, cukup jelas bahwa, pertanyaannya bukan
adakah ingatan laten yang hendak disingkirkan, melainkan justru sebaliknya,
bagaimana ingatan itu teroperasikan melalui ide tentang suatu rasa sakit
akut yang mengendap sepanjang hidup warganegara. Terhadap hal-hal di
atas, karenanya mengapa, negara tak memiliki keberanian atau merasa perlu
untuk membuat dokumenter politik ketimbang filem-filem penerangan
yang lebih berurusan dengan masalah-masalah sosial. Sebab, politik dengan
cara seperti itu akan mungkin memberi jalan bagi kesadaran atau aspirasi
publik, kecuali melalui politik yang diproduksi sendiri oleh negara. Dan
itu artinya, tidak membuat dokumenter politis. Memberi kesempatan pada
ide-ide politik untuk berada di luar negara, cepat atau lambat, politik dapat
menginspirasi kesadaran publik dan menciptakan tuntutan terhadap peran
dan kekuasaan negara itu sendiri, betapapun dokumenter itu sangat keras
pendekatan manipulatifnya dalam menciptakan versi kebenarannya sendiri.
Sebuah dokumenter pembenaran atau propaganda sekalipun, sekurangkurangnya memerlukan fakta-fakta yang dapat diverifikasikan. Ambiguitas
kebenarannya terlalu kentara daripada gaya-gaya rekaan fiksinya.
Kini, mungkin sudah tak layak dipertanyakan manakala jawaban
terhadap serangkai pertanyaan di atas dapat dengan lugas dijawab bahwa,
pada prinsipnya, filem-filem tersebut bukan diproduksi untuk menguraikan
suatu konsepsi tentang bangsa, sejarah atau ideologi, melainkan versi tentang
ketiganya menurut perspektif kekuasaan.
Dalam hal tersebut di atas, media pembuatan dan penyebaran dokumenter
oleh negara adalah melalui televisi sebagai stasiun penyiaran satu-satunya.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |17

Dari situ, proyek-proyek ideologisasi negara dicitrakan sebagai wacana


tunggal tanpa tandingan. Tentu, dalam dokumenter-dokumenter televisional
itu, publik diberi tempat dan kesempatan untuk tampil, lebih sebagai tamu
kekuasaan lewat perannya sebagai hamba sahaya, dan tak lebih dari itu.
Saat sebuah proyek propaganda dibuat maka kita harus berpikir bahwa
semua sudut angle gagasan, konsep, dan penerapannya mengikuti suatu skrip
yang sudah diarahkan dan dikendalikan oleh negara agar sesuai dengan
dan tidak menyimpang dari tujuan ideologis negara sendiri. Karena itu
pula, konten propaganda yang disamarkan melalui fiksi dengan stereotipe
reka-reka adegannya menjadi sajian penyiaran sehari-hari.
Dalam dokumenter ideologis, terutama melalui televisi sebagai sarana
informasi satu-satunya, kita tidak perlu membuang waktu dengan bersikap
kritis mempertanyakan adakah representasi kamera, adakah suatu lokasi
itu asli atau hanya buatan? Kehadiran kamera dalam produksi-produksi
propaganda jelas merupakan faktor yang tidak mungkin. Mata negara
takkan sudi digantikan dengan alatapalagi, kenyataan adanya sikap
menolak sesuatu yang datang dari budaya lain yang lebih maju, katakanlah,
(Barat)melalui teknologi; dan kiranya, lebih masuk akal bagi negaranegara produksi propaganda untuk bersikap techno-xenophobia ketimbang
mengambil risiko menyingkirkan tatapan negara. Dalam hal ini, kamera
televisional mewakili tatapan paling represif oleh dan dari negara terhadap
warganya. Akan tetapi, pada kasus sinema di luar kontrol negara, apakah
ketakterlihatan kamera saat merekam publik dengan diam-diam didorong
oleh kesadaran akan sifat intimidatif media sebagai bentuk sinonim dari
kekerasan terhadap subjek yang terperangkap dalam frame? Tampak
bahwa, situasi demikian hanya berlaku dalam masyarakat di negara-negara
demokratis dan tidak di negeri-negeri yang mengendalikan semua jenis
media di mana intimidasi merupakan bentuk represi sehari-hari, terlihat
maupun nirtampak.
Dalam kaitan di atas, saya mengingat satu karya dokumenter dari seorang
sineas terkemuka Indonesia, D.A. Peransi. Lewat filemnya, Kemarin, Hari
Ini, dan Esok, ia membuat proyeksi tandingan terhadap produksi representasi
oleh negara melalui saluran informasi monolit audio-visualnya tentang
kebijakan transmigrasi di satu desa di Lampung, daerah terselatan pulau
Sumatera. Dalam filem itu, ketakhadiran kamerayang ditempatkan di
ketinggian sebuah pohonmenjadi satu-satunya tindakan yang diperlukan
untuk memperoleh dari para subjeknya, informasi, ungkapan, dan keotentikan
situasi yang tidak dimungkinkan dalam proyeksi pemerintah yang berkuasa.
Narasi dokumenter dibentuk oleh warga transmigran sendiri dalam Bahasa
Jawa ketika Bahasa Indonesia sebagai bukan bahasa asal mereka merupakan
prosedur baku dokumenter resmi. Hasilnya, karya itu lebih terbuka dalam
penyajian informasi dan merefleksikan kenyataan alternatif.
18 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Kini, selama berhari-hari dalam bulan-bulan MeiJuni, saya duduk


di depan layar komputer iMac 27 inci, di sebuah ruangan yang tak cukup
untuk menjadi garasi. Selama menonton, ruangan selalu diusahakan
dalam keadaan gelap. Di siang hari, upaya begini tak cukup membawa
hasil. Dinding-dinding kamar akan selalu menyusupkan berbagai suara
dan bunyian ke dalam aktivitas saya menonton: orang-orang yang saling
berbicara, mungkin teman di bawah, mungkin tamu, mungkin para tetangga,
orang lalu-lalang, pedagang keliling entah apa, deraman motor dan mobil,
ketukan benda dari tukang panganan, angin, kegerahan, air pada kolam
dan dari kran-kran, pintu yang dihempaskan, seuatu yang jatuh, sesuatu
yang diteriakkan, dan mungkin lain-lainnya.
Di dalam ruangan, selain sekotak meja dan sepotong kursi, ada lemari
tempat buku-buku dan barang-barang dan perkakas untuk kegiatan seni.
Tentu, ini bukan ruangan sebagai gua Platon(ik) selayak kita menonton
di dalam ruangan yang masif dan dalam gelap total. Enam orang lain
rekan saya pun kiranya begitu. Saya terusik akan dugaansebagaimana
Flirt-nya Hartley dengan cantik-jitu sudah memprediksinyabahwa
kegiatan saya selama berhari-hari tersebut juga dilakukan tidak oleh diri
saya seorang belaka. Di berbagai tempat di bagian-bagian lain di dunia,
aktivitas yang sama seperti itu kini lebih mungkin dibayangkan bisa terjadi
dengan serempak-rentak. (Mungkinkah, dengan materi yang persis juga?)
Kemungkinan yang sama saat kita mengandaikan beroperasinya alat
komunikasi di tangan semua orang tanpa batas tempat dan waktu. Saat ini,
cahaya dari dunia lain kenyataan itu tidak terpancar dari belakang saya,
melainkan langsung dari depan, dalam wujud yang kurang kasat mata lagi.
Saya sempat berpikir, bahwa saat turut dalam keramaian tontonan di
lapangan terbuka itu, sebagai kanak-kanak, saya terbebas dari pengaruh
kuasa ideologi yang diproduksi oleh penguasa. Saya keliru, sebab mengapa
ternyata saya mengingat lambang Keluarga Berencana yang waktu itu
bahkan belum saya pahami artinya?
Filem-filem dalam ARKIPEL Jakarta International Documentary &
Experimental Film Festival, hingga perhelatannya yang ketiga sekarang,
cukup menyoal batas antara fiksi dan dokumenter, baik di dalam representasi
maupun pesan-pesannya. Tahun lalu, pada keempat filem berpenghargaan
terbaik, terdapat satu filem, berjudul Gundah Gundala (2013, Indonesia) karya
Wimar Herdanto, yang memenangi Forum Lenteng Award. Filem ini ternarasi
dalam satu latar dan situasi yang betul-betul saat ini. Memori, atau ingatan,
tidak muncul sebagai representasi filemis, melainkan hidup di dalam benak
sinema dan komikkendati tetap diperantarai elemen-elemen naratifnya.
Teks di situ merupakan memori laten yang meref leksikan pentingnya
kehadiran para pahlawan digdaya di kebudayaan manapun sepanjang
zamannya. Di balik humornya, filem ini tak sekadar mempertanyakan
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |19

tentang nasib para superhero lokal dari komik era 70-an dan wiracarita
tradisi, tetapi pada konteks lebih besar, juga tentang nasionalisme dari satu
ekspresi sub-budaya dalam hegemoni para superhero global (Amerika).
Naratif satire filem ini sekaligus menyentil idealisasi pencitraan dari
produksi budaya arus utama atas sosok dan moral pahlawan mitos. Posisi
kritis ini jelas telah menjungkirbalikkan nilai-nilai sinema mapan, selain
ingatan kolektif kita tentang para superhero itu, lewat realisme-sosial ala
sinema marginal dalam konteks yang sangat Indonesia atau ranah-ranah
lokal lain dari sinema pascajajahan.
ARKIPEL Award diberikan kepada filem terbaik utama secara umum
yang, dalam penilaian dewan juri, memiliki pencapaian artistik yang
tinggi disertai kekuatan potensialnya dalam memaknai pilihan perpektif
kontekstualnya. Melalui kontennya, segenap aspek tersebut dalam bahasa
ungkap visualnya berhasil mengajukan suatu pemerian terbaru akan
pandangan dunia kontemporer kita sebagai diskursus yang menantang cara
pandang umum atas situasi tertentu yang diungkapkan subject matter-nya.
Filem terbaik dalam kategori ini, secara khusus, dapat dipandang mewakili
pernyataan ARKIPEL akan nilai-nilai yang ditawarkan oleh gairah dan
nalar dari semangat zaman yang menginspirasi penciptaan estetik terhadap
gambaran dunia yang di satu sisi telah sama-sama disepakati, namun di
sisi lain menuntut untuk selalu didefinisikan dan didefinisikan kembali.
Tahun lalu, ARKIPEL Electoral Risk 2nd Jakarta International
Documentary & Experimental Film Festival 2014 memberikan penghargaan
terbaik pada kategori ARKIPEL Award untuk Asier ETA Biok ( atau Asier
and I, 2013, Spanyol) karya Amaia & Aitor Merino. Sebuah filem yang
ekspresif, yang mampu menginspirasi tindakan melalui energi keterlibatan
politis dan kelugasan naratifnya, yang secara luar-biasa mengeksplorasi
gagasan dan argumentasi seputar politik identitas dan kemerdekaan satu
komunitas bangsa yang terdiskriminasi dan mengalami pengucilan. Humor
sarkas bagi bahasa tutur dokumenter ini telah menegaskan sebentuk kesaksian
politik yang berani, yang di bagian-bagian tertentu secara emosional begitu
menggugah dan berpotensi menarik pikiran publik ke dalam kenyataan
penuh risiko dari pilihan politik sang protagonis. Dimensi-dimensi
interpretatif dalam filem ini amat berkemungkinan untuk menjadi fokus
perdebatan perihal tantangan-tantangan artistik pada politik dokumenter
di tataran artistik.
Jury Award diberikan kepada filem terbaik versi pilihan dewan juri,
dengan pertimbangan, bahwa terdapat kesegaran dan keunikan bahasa
ungkap yang mencapai kematangan personal dalam menyingkapkan dan
mengkomunikasikan pengalaman estetis, pergulatan atas konten, serta
penjelajahan subjektif akan teks/konteks ke dalam representasi terkininya.
Sangat mungkin, tawaran nilai-nilai dalam filem terbaik untuk kategori
20 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

ini semata-mata bersifat individual oleh karena isu dan pendekatannya


tidak selalu berlaku secara umum di beragam konteks budaya dan sosial.
Filem terbaik di kategori Jury Award pada ARKIPEL Electoral Risk
diberikan kepada Genre Sub-Genre (2014, Indonesia) karya Yosep Anggi
Noen. Imajinasi visual dan naratif filem ini unik sekaligus pelik dengan
mengontraskan elemen-elemen realitas dan imajinari sebagai tanda-tanda
metaforikal tentang ingatan kolektif atas lokus-lokus budaya, sosial, dan
sejarah kecil dari identitas-identitas yang terjauhkan. Dalam bentuknya,
filem ini mengeksperimentasikan sifat-sifat medium dan representasi visual.
Beberapa visualisasinya tidak terduga, dan dalam momen-momen sinematik
demikian, berkembang kesan-kesan kemuraman tak terkatakan pada
tempat-tempat dan waktu-waktu yang seolah dikenali, kejadian-kejadian
yang seolah begitu sehari-hari, namun semua itu ternyata tak terjangkau
oleh gagasan dan konsep kita tentang waktu, tempat dan kejadian.
Peransi Award diberikan kepada karya sinematik yang secara istimewa
dan segar mengeksperimentasikan berbagai kemungkinan pendekatan pada
aspek-aspek kemediuman dan sosial. Secara khusus, kategori ini difokuskan
kepada pembuat filem berusia muda. Penghargaan terbaik dalam kategori
ini terilham dari nama David Albert Peransi (19391993), seniman, kritisi,
guru, dan tokoh penganjur modernitas dalam dunia senirupa dan sinema
dokumenter dan eksperimental di Indonesia.
Filem Av Cortio (atau Grandfather Cortio, 2014, Protugal) karya
Ricardo Batalheiro meraih penghargaan terbaik untuk kategori Peransi
Award dalam ARKIEL 2014 oleh karena representasinya, yang begitu
berjiwa mengenai narasi sosial-politik dari sisi sejarah kecil (subaltern),
berhasil mengemukakan suatu pandangankendati pesismistis namun
gentingtentang eksistensi dari budaya-budaya dan identitas-identitas yang
tak terperhatikan, berikut relasi polemisnya dengan kelas serta asal-usul
keberadaan mereka. Visualisasi sinematiknya sangat mengesankan, dengan
perhatiannya pada detail ornamen benda-benda remeh berupa ubin-ubin
sebagai penghantar mengenai ambang kepunahan secuil peradaban manusia
oleh intoleransi dan pragmatisme. Sebuah pengungkapan problematis yang
penuh perasaan atas ingatan-ingatan kolektif maupun aspirasi-aspirasi
komunal.
Forum Lenteng Award sebagai kategori penghargaan untuk filem terbaik
pilihan Forum Lenteng, mulai kini tidak lagi menyertakan karya-karya
dari program kuratorial di luar sesi Kompetisi Internasional sebagaimana
pada dua penyelenggaraan sebelumnya, melainkan hanya untuk seluruh
filem yang masuk dalam seleksi. Preseden untuk perubahan ini beroleh
pembenaran pada perhelatan ARKIPEL pertama dan kedua, ketika filem
terbaik peraih penghargaan ini berasal dari sesi Kompetisi Internasional,
yaitu filem Les Fantmes de Lescarlate (atau The Ghosts and The Escarlate, 2012,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |21

Prancis) karya Julie Nguyen van Qui pada 2013, dan Gundah Gundala
pada 2014. Pendekatan baru ini dilakukan karena kami berpandangan,
bahwa kategori ini juga harus merefleksikan posisi pembacaan dan sikap
kritis kami atas perkembangan karya-karya visual sinematik pada tataran
estetika dan konteks melalui filem-filem yang lolos seleksi ARKIPEL.
Sejumlah juri (tiga orang) dari pengurus Forum Lenteng menilai filem-filem
seleksi dan mengajukan unggulan terbaik kategori ini untuk diperdebatkan
dengan Dewan Juri ARKIPEL. Penghargaan untuk kategori ini diberikan
kepada filem yang dianggap paling terbuka dalam menawarkan nilai-nilai
komunikatif, baik dari segi artistik maupun konten, yang memberikan
peluang bagi pendekatan sosial seni secara berbeda dan lebih leluasa bagi
kemungkinan ekperimentasi.

22 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

REFLECTION

FLASHBACK ON
ARKIPEL 2014

Ugeng T. Moetidjo

History clearly belongs to Lady Macbeth as Macbeth repeatedly washes his


hands off. Nations, or more exactly, powers, often use history to cleanse, or
purge, history itself. Thus, history (or histories) may serve to judge, punish or
decapitate other histories.
However, watching film today is something unthinkable in the past, so
long ago, when I went out from home to travel to a world bursting out of the
light projected onto a screen. How unimaginable! This world with a different
reality landscape would ambush us from behind for us to recognize it. Through
shafts of invisible light in a certain inclination degreearound forty five
(?)this world composes itself out of images as some perception grows in our
minds. It is this great projection that in principle creates an entire impression
of our memory.
My first experience of watching a movie in a theater was in 1973 to
accompany my sister and her boyfriend for some entertainment. The theater
wasnt far from home. I still remember its name, along with a few details of
exterior and interior. From outside, the ticket booth was fenced with iron railings
for queuing. At the left, middle and right of the building, movie billboards
were set up. In garish colorful layout, those billboardsI realized this long
afterwardlooked worn out already, with small information boards that read
Today, Coming Soon, Midnight and Matine Show (Matine with
one e). At the front, hawkers and passers-by would hover as a group of mass
of future audience, or just hang around. Inside the theater was a terrace with
rows of wood benches so hard to sit on. The projection screen was stretched
without curtain and beneath it was a door with Exit neon sign.
The theaters namerefers to the area where its located, near a market for
low economic classwas, in short, JB Theater (Indonesian theaters include the
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |23

English word theater in their name). In daily conversation, the Indonesian


word bioskop is more common, unlike theater (pronounced tay-AH-tur)
that was only popular when cineplex was a hype in mid-80s.
This first experience of movie-watching is not specifically mine. There
were millions of other people of the same age and the same moment, that year,
in other places, other countries, experiencing a world unreal yet emotionally
affected their biography. At this point, their experience and mine merged to
become cinema audience profiles biography in my country and in theirs.
The first movie I watchedlet me tell youwas Takdir. It was a story of
a womans misery, having a husband highly controlled by his mother who was
so ruthless toward her in-law. The protagonist was then driven to run away
from her marriage and try to kill herself by jumping from a train what would
take her to Jakartabut failed. This fictional idea clearly wasnt received in
my first impression after the film. However, this memory of my child mind
hasnt seemed to fade away. Maybe never. It is a latent cinematic memory,
being a fulcrum of images or narrations of a world elicited by the dark room,
light and pictures that are living illusions. Such impression appeared later on,
triggered by the same film, as I watched it in a 14 black-and-white television
that we just bought at that time in 1980. The idea of aspects creating these
living illusions when I was a theater audience attached itself like an endless
record of a neatly kept shadow in a drawer of the first subjects mental archive
through another world of electronic monitor.
The two womens roles of protagonist and antagonist stuck in my head
like a device to recognize the relation between cinema and reality although I
never knew Takdirs end until today. I didnt remember those womens names
and it looks likein fictional cinema tradition anywhereit doesnt really
matter. The audience can only attribute the roles to the actors starring them.
Then I remember that the desperate women was Rima Melati and the ruthless
mother-in-law was Wolly Sutinah (also known as Mak Wok). Another woman,
the desperate womans friend in Jakarta, was Ruth Pelupessy who worked
as a hostess in a night club. She received Rima Melati in her living room at
midnight where there was a black-and-white television [?] flashing up with
no images, but only crowd of ants (blurred with bad receptionEd.). In
fiction, our perception easily mixes whats fabricated (story, character) and
whats real (actors). In documentary, our feelings are not involved because
our perception is halted by the appearance of whats real, what relies on our
intellect or knowledge of the things shown, or we imagine as real. Fiction in
cinema doesnt work in such a distanced way but rather goes straight to the
heart of our subconsciousness, and, thus, what appears as a dream is accepted
as part of our life, the audience.
It is no wonder then that public audience considers fiction as more real
than documentary. Fiction has the nature of a dream, something that lulls,
24 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

and thus connects more with feelings or something psychological, mental. The
issue at hand lies far at the bottom of consciousness, repressed by the system
that rules the way we do our daily life. Thats why a film doesnt need a forced
violenceinstead, a post-advertising persuasion of popular entertainment
just like documentary propaganda. All of our history of cinema, audience
in general grumbles restlessly as film is preceded by a short presentation by
the Department of Information. Therefore, during the period of propaganda
cinema in 1942-1945, with authority, forces and weapon or corve threats,
the public was herded to watch films that inflamed war spirit. In mid-80s
and 1990s, similar case happened regarding ideological films sponsored or
produced by the state.
Hollywood cinema has a huge influence through its various kinds of feature
films that seem to always reveal its connection with states effort to uphold a
system that subdues its citizens. Hollywood production equals to production
of citizens subjugation. Since early films were ordained as American cinema,
there have been almost none of their films that didnt display the American
banner in its various forms. The publics presence, a floating mass responding
to scenes of films, is inevitably the mimicry of American people to elicit the
same hysterical behavior as shown in the films; especially in superhero films.
Its a sort of disguised shock therapy of perpetual brainwash along the history
of mainstream American cinema.
More than twenty years ago, 1992, in his speech to celebrate 100 years of
cinema in Centre Culturel Franaiss auditorium (at that timenow Institut
Franais dIndonsie), before the screening of Empire of Passion (1978) by Nagisa
shima, Anatole Dauman said thatmore or less, as far as I remember
whatever story was told in the film, only one thing we all must remember,
that is we were all celebrating the 100 years of cinema in joy. This is cinema!
It comes back again to me now that watching film was not necessarily
in a building called theater. Two or three years before I knew a theater, I
remember a film show in an open field in our kampong of which I was one of
the audience members. With my family, that is my sister, uncle, and perhaps
my father and mother, Im not sure, I went to the amusementmy parents
were not cinemagoers; both preferred shadow puppets and kethoprak, if not
live shows then radio shows. The children in my neighborhood went with us
or their own family. So the open cinema audience was families in my kampong
and around it whom we acquainted with. Some of the audience, including us,
sat on a mat we brought ourselves from home. Some others stood or squatted,
or both. Hawkers, selling drinks and cigarettes, passed by and offered sale. It
was a fun and merry night in the dark as our region had yet to install electricity.
That night, the electricity light only came from the screening spot thanks to
a power generator near a big car, maybe a pickup. I remember we brought a
torch to light our way there and home. A number of other people did too.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |25

I didnt know what we watched, I dont remember what was presented


on the big screen planted with god knows what material in the middle of
the field. I didnt really pay attention to the images projected onto the screen
god knows with what, from where. I didnt really watch. Instead, I played
with other children of my age and was awed by the merriment that I saw for
the first time. What I vaguely remember is the opaque grey on the screen
andthis image still comes oftena picture of father-mother holding their
two kids with a rice and cotton wreath around them. Yes, it was the picture
of Family Planning (Keluarga Berencana). From there, I can recall that the
light presented films not unlike that picture, although I cant remember nor
understand the images. And the colors. Ive thought that whats exposed on
the screen is all in greyish black-and-white. What I remember clearly was a
group of small people, men and women, wearing odd cloths and brandishing
batteries, torches and radio, dancing on a van roof branded with the logo of
a famous battery company.
It was Indonesia, at an edge of Jakarta, in early 1970s. It hadnt been half
a decade that the new government was in operation. That film in the open
field was likely nearing the first election of the new era. In the upcoming
time, I would soon learn that the word tjatjing (worm) that I wrote on
the blackboard would change; so would the letter dj, it wasnt used to write
djenderal anymore (general). Then I would read thin books for kids with
yellow cover, each of its title was accompanied by a greyish black-and-white
photo of seven officials and a girl who died in a tragedy as the nations heroes.
Together with my classmates, I would visit the sacred places of their sacrifice
and beautiful dioramas worshipping those heroes. And together with teachers
and the entire school, I would go to nearest theaters in the morning at 10 to
watch Bandung Lautan Api, Mereka Kembali and Janur Kuning.
The next other similar films were watched by students of elementary
schools and high schools of the generation after mine, I know. At the time
I had already turned to my own selection. Serangan Fajar, Pengkhianatan
G-30 s/PKI and Jakarta 66 are semifiction films that were basically made
on idealized plots, more appropriately ideologized. These films are definitely
not documentaries. They were designed as half fiction toif not specifically
soreach a vast audience and tell the public of the only option, being loyal
to the state. The use of fiction in such public narrative is a main tactic of these
kinds of films so as to permeate easily into the public mind, making them
easy to be accepted as public discourse forever. Such narratology, imposed
on publics mind whose emotions are aroused perpetually through historical
stories, can become the collective conviction because it is sustained by myths
that thrive among the people. Concocting a concept of state and nation as an
imagination thats like a dream, such narratology will manifest as the publics
26 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

own narrative, despite the stories need for historical facts for everything other
than elements depicted as reality. What is prioritized in these films production
is not an inner structure but an outer one that has been considered as truth
in public life through other previous forms of propaganda. These films, if not
sponsored or produced by the state, were those that were approved of by it.
It is worth askingalthough now Im not surewhy does the state have
such a deep interest to create a concept of nation through fictional cinema?
Doesnt it mean, instead, that the state dreams of a narrative according to its
idealization? Doesnt it mean then that historyor historical storiesis mere
stories? Can such approach be said as a reconstruction attempt or deconstruction
of history in its ideological versions? Furthermore, also not worth asking
anymore, does the content hide other narratives, or are those narratives made
to keep something true as a secret? However, its clear that such historicist
narratology is produced as to eternalize memory thats massively exploited
through a mental internalization of the term latent. Thus, its clear enough
that the question is not whether there is any latent memory to be erased or not,
but rather how such memory functions through an idea of acute pain that lurks
throughout the citizens life. It is because all of those things above that the
state doesnt need, or doesnt have the bravery, to make political documentary
and instead sponsors information films that deal with social issues. Political
documentaries may give way to public awareness, except those produced by
the state itself. And it means not making political documentaries. Giving a
chance to political ideas to exist outside the states control, sooner or later,
will inspire the public and spur demands over the states role and power. A
documentary has a rigid approach in truth-making. Even a justification or
propaganda documentary requires verified facts. Its truth-related ambiguity
is stronger than its fabricated style.
All those questions above may not be asked anymore since the answers
can be summed up firmly that in principle those films arent produced to break
down a conception over nation, history or ideology but a version of the three
according to rulers perspective.
In such instance, the medium of documentary making and distribution by
the state is television, the only broadcasting system. In it, states ideologized
projects can be represented as the only existing discourse. In its documentaries,
there may be place for the public to appear but only as guests of power with
the role of slave, no more than that. When a propaganda project is being
made, we must predict that all the angle of ideas, concept and its application
follow a script directed and controlled by the state according to its ideological
goals. Thats why, a propaganda disguised through fiction with its fabricated
stereotypes become daily broadcast presentation.
In ideological documentary, especially shown on television as the only
information channel, theres no need to be critical and to ask whether there
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |27

is camera representation or whether a location is real. Cameras presence in


propaganda production is an improbable factor. The states eyes cant be replaced
by technological devicesespecially since theres rejection of something that
comes from a more advanced culture, say the Westand it makes more sense for
the states of propaganda producer to be techno-xenophobic rather than taking
a risk to remove observational gaze. In this case, television camera represents
the most repressive gaze by and from the state to its people. However, in the
case of cinema outside the states control, is cameras invisibility as it records
the public secretly driven by an awareness of medias intimidating nature as
a homologous form of violence toward subjects captured in frame? It looks
like such circumstance only occurs in democratic societies, not in those that
control all kinds of media, in which intimidation is daily repression, both
seen and unseen.
I remember then a documentary work of an Indonesian prominent
filmmaker, D.A. Peransi. Through his film, Kemarin, Hari Ini, Esok, he made a
counter-projection of representation production by the state with its monolithic
audio-visual information channel about transmigration policy in a Lampung
village, the southern tip of Sumatra island. In his film, the cameras absence
placed high on a treebecomes the only act needed to obtain information,
expression and authentic situation inaccessible in the authoritys projection.
The documentarys narration is shaped by the transmigrants themselves in
Javanese as Indonesian becomes a standard in official documentary. As the
result, Peransis work is more open in presenting information and reflecting
an alternative reality.
Now, for days in May to June, I sat in front of a 27 iMac in a room that
can barely become a garage. While watching the screen, I tried to always let
the room be dark. At daytime, such effort was quite pointless. The walls would
always let sounds seep through into the room: people talking, maybe a friend
downstairs, maybe a guest, maybe neighbors; people passing by, vendors of
something, cars and motorcycles rumbling; food hawkers knocking something
to attract customers; the wind; heat; water in the pool and off the tap, the doors
closed; something falling; something shouted; and maybe others.
In the room, apart from a table and a piece of chair, there was a cupboard
where I put books, devices and stuff for artistic works. Of course, this was not
a Platon(ic) cave, pitch dark and impenetrable. My six colleagues thought the
same. I was fazed by a presumptionjust like predicted by Hartleys beautiful
and accurate Flirtthat this activity that I had for days was not uniquely
done by me. In various places all over the world, the same activity now can be
thought of as happening simultaneously (perhaps, with similar material too?).
It is probably the same if we suppose that everyones communication gadgets
work simultaneously unbounded by time and place. This moment, the light of
28 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

the other reality world doesnt shine from behind anymore; its straight from
the front in a less tangible form.
I have thought of the moment when I was in the middle of the merriment
at the open field, as a child, free from ideological power produced by rulers.
I was wrong; why have I remembered the Family Planning logo that I didnt
understand anything of anyway?
The films in ARKIPEL Jakarta International Documentary & Experimental
Film Festival, in its third year now, raise the questions of boundaries between
fiction and documentary, whether concerning representation or message. Last
year, of four best nominees, Gundah Gundala (2013, Indonesia) by Wimar
Herdanto won Forum Lenteng Award. This film is narrated in a true setting
and situation of today. Memory doesnt come through as a filmic representation
but rather lives in the mindcinema and comicwhile still being mediated
by its narratives elements. Text in this case is a latent memory that reflects the
importance of powerful heroes presence in any cultures of their time. Behind the
humor, this film doesnt only question the fates of local superheroes from the 70s
comic books and epic tradition, but also, of a bigger context, the nationalism of
a sub-cultural expression within the (American) global superheroes hegemony.
The films satire narrative also pecks at the image idealization of mainstream
cultural production over prominent figures and mythical heroes moral. This
critical position has obviously overturned the established values of cinema, not
only our collective memory of those superheroes, through a social-realism
of marginal cinema in a very Indonesian context or any other local realms of
postcolonial cinema.
ARKIPEL Award is given to the best film in general that, based on
jurys view, has the highest artistic achievement and a potential power to give
meanings to its contextual perspective choice. By the content, all those aspects
through the films visual expression should be successful in offering a newest
representation of our contemporary world view as a challenging discourse
for the general view over a certain situation revealed by the subject matter.
The best film in this category particularly can be considered as representing
ARKIPELs statement concerning the values offered by the passion and reason
of a spirit of the time, becoming an inspiration for aesthetic creations about
the world that on the one hand is approved of and on the other hand demands
definition and re-definition.
Last year, ARKIPEL Electoral Risk 2nd Jakarta International Documentary
& Experimental Film Festival 2014 bestowed the ARKIPEL Award on
Asier ETA Biok (or Asier and I, 2013, Spain) by Amaia and Aitor Merino.
Its an expressive film that can inspire actions through its energy of political
involvement and straightforward narrative that amazingly explores the ideas
and arguments concerning the identity politics and the independence of a
discriminated and exiled nation community. Sarcasm to this documentarys
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |29

speech attests to a form of brave political testimony that in certain parts is


emotionally evocative and potentially drives the public mind to the risky reality
of the protagonists political choice. The interpretative dimensions of this film
have a great probability to be the focus of a debate regarding artistic challenges
of documentary politics at artistic level.
The Jury Award is given to the best film of jurys choice based on the
consideration in terms of unique and fresh visual expression, personal maturity
in revealing and communicating aesthetic experience, struggle over content and
subjective exploration over text/context to its contemporary representation. It is
highly likely that the best film in this category offers values of individual nature
because the issue and its approach do not fit in many socio-cultural contexts.
The best film in Jury Award category of ARKIPEL Electoral Risk was given
to Genre Sub Genre (2014, Indonesia) by Yosep Anggi Noen. This films visual
imagination and narrative are so unique as well as complex with its contrast of
reality and imaginary elements as metaphorical signs of collective memory over
cultural, social and small-historical loci of exiled identities. In its form, this
film experiments on the visual representation and mediums characters. Some
of its visualizations are just unpredictable, and in such cinematic moments an
unspeakable impression of despair appears from places and times that seem
to be recognized, events that seem to be so ordinary; yet all of these cannot
be reached by our ideas and concepts of time, space and event.
Peransi Award was given to a cinematic work that in a special and fresh
way experiments on various possible approaches of the medium and social
aspects. Specifically, this category focuses on young filmmakers. The award
itself is inspired by David Albert Peransi (1939-1993), an artist, critic, teacher
and exponent of modernity in art world and documentary and experimental
cinema in Indonesia.
Av Cortio (or Grandfather Cortio, 2014, Portugal) by Ricardo Batalheiro
achieved the best film in Peransi Award category of ARKIPEL 2014 with its
soulful representation of socio-political subaltern narrative that speaks of a
viewcrucial albeit pessimisticconcerning marginal cultures and identities
along with their polemical relation with class and its origin. Its a truly impressive
cinematic visualization with attention to details of trivial objects ornaments
such as tiles that serve as an introduction to the verge of a piece of civilizations
extinction due to intolerance and pragmatism. It is a very emotional problematic
revelation of collective memories and communal aspirations.
Forum Lenteng Award, as a category for the best film selected by Forum
Lenteng, from now on will not include works of the curatorial program outside
the International Competition section as it did in two previous events. It will
only address films in the selection. The precedence for this change was the
first and second ARKIPEL, where the best film in this category comes from
the International Competition Section, namely Les Fantmes de Lescarlate (or
30 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

The Ghosts and The Escarlate, 2012, France) by Julie Nguyen van Qui in 2013,
dan Gundah Gundala in 2014. We have taken this approach in view of the fact
that this category must reflect our reading position or critical attitude toward
the development of cinematic visual works at an aesthetic and contextual level
through the films selected by ARKIPEL. A number of jury (three) from Forum
Lenteng organizational structure judge the films selected and submit the best
nominee for this category for the ARKIPEL Jury to argue. The award for this
category is given to the film deemed the most open in offering communicative
values, whether based on the artistry and content, providing a chance for a
different social approach on art and wider experimental possibilities.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |31

32 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

OPENING NIGHT & AWARDING NIGHT


INTERNATIONAL COMPETITION IC
CURATORIAL PROGRAM CP
ASIAN YOUNG CURATOR AC
CINEMA CULTURE IN EXHIBITION E
WORLD PREMIERE WP
SPECIAL SCREENING SS
SPECIAL PRESENTATION SP
PUBLIC PROGRAM

SAT. 22 SEP, 19.00 - 22.00/GOETHEHAUS/FREE

MALAM
PEMBUKAAN

OPENING
NIGHT

Setelah sukses menghadirkan penampilan


dua pemain musik cilik dalam perhelatan
yang per ta ma dan kedua, ma k a pada
perhelatan ketiga tahun ini, ARKIPEL
Jakarta International Documentary &
Experimental Film Festival dengan bangga
akan menghadirkan Aish Pletscher Sudiarso
(4 4 ta hu n) pad a Ma l a m Pembu k a a n
ARKIPEL 2015 Grand Illusion.
Program:
1. Tweede Afrikaanse Etude (Ton de
Leeuw)
2. Pa goda s z da r i Estampes (Claude
Debussy)
3. Etude Op.2 No.2 (Sergei Prokofiev)
4. Sriwijaya Variations (Amir Pasaribu)

After successfully presenting the performances


of two young musicians at the first and second
event, in its third event of this year, ARKIPEL
- Jakarta International DocumenWtary &
Experimental Film Festival is proud to be
presenting Aisha Pletscher Sudiarso (44
years) at the Opening Night ARKIPEL
2015 Grand Illusion.
Program:
1. Tweede Afrikaanse Etude (Ton de
Leeuw)
2. Pa g o d a s f rom Estampes (C l au d e
Debussy)
3. Etude Op.2 No.4 (Sergei Prokofiev)
4. Sriwijaya Variatons (Amir Pasaribu)

34 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Aisha Pletscher Sudiarso lahir di


Bandung, 1971, peraih YPM Artist
Award (1987). Pernah mendapat
beasiswa The Bigelow Ingram Piano
Scholarship, di St. Timothys School,
USA, di bawah bimbingan Mary
Stanton. Memperoleh gelar Master
of Music dari Manhattan School
of Music, New York, di bawah
bimbingan Solomon Mikowsky dan
Donn-Alexander Feder. Salah satu
pendiri Sudiarso Duo. Selain sebagai
Direktur Bidang Akademis di Sekolah
Musik Yayasan Pendidikan Musik, ia
juga anggota Komite Musik Dewan
Kesenian Jakarta sejak 2009.

Aisha Pletscher Sudiarso was born


in Bandung, 1971, is a recipient of
YPM Artist Award (1987) and had
received The Bigelow Ingram Piano
Scholarship at St. Timothys School,
Maryland, USA, under Mary Stantons
guidance. She held Master of Music at
the Manhattan School of Music, New
York, under the direction of Solomon
Mikowsky and Donn-Alexander
Feder. She is co-founder Sudiarso Duo.
She currently sits as the Director of
Academic Affairs at the Musical School
of Yayasan Pendidikan Musik, and also
a member of Music Committee of the
Jakarta Arts Council since 2009.

KASETAN
Duo perupa lintas medium yang gemar
mengumpulkan barang antah-berantah
mengeksplorasi temuan mereka di
pinggir jalan Jendral Urip Sumoharjo,
Jatinegara. Tumpukan kaset bekas
berserakan dengan sampul menguning
dimakan usia, beberapa diantaranya
dalam kondisi sangat baik. Dengan
dua buah walkman dan audio mixer,
kasetan memutar tembang-tembang
terbaik di masanya.

K ASETAN
The cross-media artist duo Abi Rama and
Rambo, who like to collect stuff nowhere,
explore their findings on the roadside of
Jalan Jendral Urip Sumoharjo, Jatinegara.
Strewn with piles of used cassettes with
old yellowed cover, some of which are in
excellent condition. With two walkmans
and an audio mixer, Kasetan will play
some best songs of its time.

SAT. 22 SEP, 19.00 - 22.00/GOETHEHAUS/FREE

FILEM PEMBUKA /
OPENING FILMS

BEEP
Kyung-Man Kim
(Republic of Korea, 2014, 10 mins)

WHAT DAY IS TODAY?


Colectivo Fotograma 24
(Portugal, 2015, 12 mins)

CINZA / ASHES
Micael Espinha
(Portugal, 2014, 10 mins)

A.D.A.M.
Vladislav Knezevic
(Croatia, 2014, 13 mins)

KILLING TIME
Rahi Shor
(Israel, 2015, 22 mins)
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |35

SAT, 29 SEP, 19.00 - 22.00/GOETHEHAUS/FREE

MALAM PENGHARGAAN
AWARDING NIGHT

matajiwa secara anggun menyelami kedalaman rasa dengan sisi kesetimbangan hidup. Kekayaan
spiritualitas. Mereka mencipta musik seolah-olah memanjatkan doa nan suci, memicu kita
untuk menerimanya dengan kesungguhan atas mata dan jiwa yang terbuka. Musik mereka
bersahaja dan terpencar menerobos pengertian nan populer belaka; menggali ke dalam akar
tanah Indonesia, meleburnya dengan nuansa karakter blus dan rock kontemporer yang mereka
miliki, dipadu dengan kettledrum, tarian dan nyanyian penuh kasihmenggoncang alam mimpi
kosmos dengan lanskap musik dunia. Kita akan dibuatnya bergetar, sunyi, tetapi pada saat
yang sama merayakan kegembiraan pada keindahan rohani, refleksi dan kontemplasi pikiran.
matajiwa would gracefully dives into it with the equilibrium sides of life. Spirituality wealth.
They write songs as their sacredly benediction, and were going to religiously embrace it upon
widely open eyes and soul. The music are primitive and sprawled, pass through the definition
of just merely popular; dug into their fatherland roots, Indonesia, fuse it contemporarily with
a blues mentality and native rock that they have, which scattered by kettledrums, dances and
compassionate chants joggle with realm cosmos dream named world music landscape. We
will be made to tremble, solitude, but at the same time celebrating mirth on the beauty of irony,
reflection and mind contemplation.

36 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

SAT. 29 SEP, 19.00 - 22.00/GOETHEHAUS/FREE

AWARDS
ARKIPEL Award is given to the best film in general that, based on jurys view,
has the highest artistic achievement and a potential power to give meanings to
its contextual perspective choice. By the content, all those aspects through the
films visual expression should be successful in offering a newest representation
of our contemporary world view as a challenging discourse for the general
view over a certain situation revealed by the subject matter. The best film
in this category particularly can be considered as representing ARKIPELs
statement concerning the values offered by the passion and reason of a spirit
of the time, becoming an inspiration for aesthetic creations about the world
that on the one hand is approved of and on the other hand demands definition
and re-definition.
The Jury Award is given to the best film of jurys choice based on the consideration
in terms of unique and fresh visual expression, personal maturity in revealing
and communicating aesthetic experience, struggle over content and subjective
exploration over text/context to its contemporary representation. It is highly
likely that the best film in this category offers values of individual nature
because the issue and its approach do not fit in many socio-cultural contexts.
Peransi Award is given to a cinematic work that in a special and fresh way
experiments on various possible approaches of the medium and social aspects.
Specifically, this category focuses on young filmmakers. The award itself is
inspired by David Albert Peransi (1939-1993), an artist, critic, teacher and
exponent of modernity in art world and documentary and experimental cinema
in Indonesia.

Forum Lenteng Award, as a category for the best film selected by Forum
Lenteng, ref lect our reading position or critical attitude toward the
development of cinematic visual works at an aesthetic and contextual
level. The award for this category is given to the film deemed the most
open in offering communicative values, whether based on the artistry
and content, providing a chance for a different social approach on art and
wider experimental possibilities. A number of jury (three) from Forum
Lenteng organizational structure judge the films selected and submit the
best nominee for this category for the ARKIPEL Jury to argue.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |37

INTERNATIONAL COMPETITION

CATATAN SELEKTOR KOMPETISI INTERNASIONAL

SINEMA, MEDIUM,
DAN PEMBUATNYA
Ugeng T. Moetidjo
Beberapa catatan seputar seleksi ARKIPEL Grand Illusion 3rd Jakarta
International Documentary & Experimental Film Festival 2015, dapat
diuraikan sebagai berikut:
Filem-filem yang kami seleksinaratif dan nonnaratifmemiliki
keindahan bahasa visual atau sinematik, terkait dengan intepretasi akan suatu
kebaruan di tingkat teks maupun konteks. Bahwa visualisasi akan subject
matter mampu mengingatkan kembali soal pentingnya gagasan-gagasan
tertentu ketimbang lainnya meskipun sekadar lewat materi-materi faktual
berupa kliping, fotografis, footage-footage, reka bentuk maupun peristiwa.
Filem-filem dalam seleksi ARKIPEL tahun ini boleh terkelompok
ke dalam beberapa fokus tematik. Salah satunya, mengungkit kembali
masalah identitas komunal atau bangsa, klan, ras, atau komunitas. Dalam
fokus tersebut terbaca keresahan akan pengucilan, diskriminasi dan
pengabaian terhadap kelompok-kelompok identitas. Konten-konten yang
mempermasalahkan berbagai perilaku di atas maupun dampak-dampaknya
kerap mempertanyakan ilusi-ilusi agung melalui narasi-narasi kecil, lokal,
atau sektarian.
Sejumlah filem seperti meyakini bahwa sinema punya kepentingan
untuk mengenali kembali masa lalu suatu negara-bangsa, signifikan terkait
perkembangan kontemporer. Di dalamnya, terdapat keberanian untuk
mengetengahkan ironi dan fatalitas dari historisisme versi resmi. Gagasan,
konsepsi, ingatan, dan fakta-fakta tentang pembayangan bangsa dinarasikan
lewat identitas personal atau komunitas yang dikodifikasi dengan hal-hal
remeh sehari-hari.
Yang juga jelas di situ, media turut berperan penting, baik dalam premis
maupun pretensinya untuk menegaskan eksistensi suatu negara-bangsa.
Rekonstruksi atau pencarian akan bangsa dalam beragam elaborasi visual
dan naratif atas segi-seginya memberi kesempatan leluasa kepada media
untuk menjadi sarana pembentuk maupun bahasa ungkap itu sendiri.
Benar bahwa, dokumenter kini cenderung makin tidak pasti dalam
menangkap realitas karena kesadaran bahwa fakta-fakta atau hal-hal aktual
38 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

dari suatu peristiwa adalah sesuatu yang bisa disimulasikan. Di situ, gagasan
untuk mempertanyakan hal-ikhwal realitas menjadi suatu permainan
ganda atau mendua dari media pada subject matter, entah secara optimistik
maupun pesimistik, untuk menemukan kembali kenyataan kendati tak
ideal, melainkan dengan sejumlah cacat atau kritik.
Adalah pendekatan yang umum bahwa sebagian filem dalam seleksi
kali ini tetap bertahan pada penggunaan footage, wawancara-wawancara
dengan publik dan narasumber dari dan tentang masa lalu maupun sekarang.
Sudah tentu, kamera adalah alat yang didekatkan kepada subjek pertama
terlibat. Sejumlah naratif berkembang serentak digunakannya kamera video
di lokasi, entah di tangan kameraman atau di tangan subjek lokal. Di sini,
perekaman secara spesifik disadari dampaknya bagi subjek-subjek setempat,
yakni kemungkinan terungkapnya identitas para pelaku di lapangan yang
menjadi latar pokok subject matter. Situasi ini terpaut masalah etika dan
tanggung jawab pembuat filem yang melibatkan diri di wilayah itu.
Di beberapa segi, konsekuensi yang demikian justru menunjukkan
kemenangan realitas atas media ketika realitas itu sendiri dapat berkelit
dan berdiam di relung suara hati yang penuh simpati. Menyisihkan
potensi politisnya dari sekadar menjadi reduktif dan melampaui euforia
demokratisasinya, kamera, yang kehadirannya tidak ditutup-tutupi, telah
menjelma subjek yang tulus bersama narasumber atau warga. Sinema media
empatik manakala kamera dikeluarkan dari ketakterlihatannya yang bergaya
alamiah kepada subjek-subjek setempat sehingga keterlibatan mereka
dalam relasi sosial dan psikologis dengan masalah-masalah yang hendak
diungkapkannya mendapat pertimbangan. Gentingnya, di titik ini narasi
dalam bingkai-bingkai bidikan tidak lagi berkukuh pada realitas sebagai
peristiwa yang melulu hanya actual, melainkan seringkali sepenuhnya
merupakan suatu kias realisme.
Elaborasi di atas telah memudarkan beragam stereotipe akan naratologi
masa lalu-masa kini, serta relasi antar keduanya dengan tradisi sinema
dokumenter. Kamera yang terlalu terikat masa lalu membuat sejarah itu
sendiri tinggal mitos-mitos yang tak lagi mengusik kehidupan kita hari ini.
Lebih jauh, sinema media samar-samar mengilaskan kembali ingataningatan yang dihancurkan oleh sejarah pada wajah, atribut, suara-suara,
atau kepasrahan dari mereka yang terkucilkan, tersingkirkan, bahkan
terpunahkan di tanah-tanah asal mereka. Simpati kepada ketragisan mereka
dapat kita berikan ketika di dalamnya kita menemui berbagai kemungkinan
dialektis dari konflik dan tantangan yang ditawarkan oleh sinema itu sendiri
terhadap subject matter-nya.
YouTube adalah fenomena mutakhir bagi sinema kontemporer. Namun,
kanal global ini berpotensi sebagai musuh sinema karena peluang besarnya
dalam menampung unggahan berbagai kemiripan tipologis segala citra
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |39

yang mungkin digunakan dalam kreativitas sinema, hanya dengan sebuah


klik. Di sisi lain, kehadirannya juga mengalternasi produksi bentuk-bentuk
sinematik lewat rekaman-rekaman visual dari lingkup global. Sejumlah
filem tergarap dengan bantuan footage-footage (cuplikan-cuplikan rekaman
unggahan) di kanal ini, baik demi kegunaan pragmatis maupun estetis.
Di tingkat lebih lanjut, beberapa kemungkinan pendekatan terhadapnya
menjanjikan suatu gaya berbeda, jika bukannya konteks baru, bagi modus
dokumenter melalui pencanggihan bahasa visual.
Filem-filem di kelompok berikutnya, menengok kembali ideologi sebagai
prinsip umum. Utamanya, mempertanyakan ulang sistem nilai di tingkat
regional dan global dengan menghadapkan sosialisme versus kapitalisme.
Beberapa gagasan dari tema ini juga bertemu dengan pencarian identitas
kebangsaan. Secara naratif, filem-filem jenis ini melantunkan ratapan atau
pesan protes mengenai eksploitasi atas manusia dari kelas, peradaban, atau
budaya lain yang sekadar terserak menjadi kenangan yang tua dan rapuh
namun ingin ditegakkan kembali. Teknik ungkap naratifnya biasa melalui
kesaksian biografis atas sepenggal pengalaman historis narasumber pertama.
Di sini, visualisasi menjadi penting manakala naratif tidak mendesakkan
ingatan oral maupun dokumen fotografis sebagai fakta historis. Yang
terpenting di situ, betapa materi sejarah dan tuturan biografis dapat terbebas
dari beban psikis narasumber untuk menjadi protagonis heroik. Pada
titik itu, representasi naratif memperbarui atau memperingatkan kembali
pandangan kita akan realitas dokumenter, tanpa nada tragis atau melankolis,
fanatik atau mendakwa. Melainkan, begitulah sudah peristiwanya terjadi.
Penelusuran identitas personal melalui narasi geneologis subjek kedua
(sang pembuat filem) menyertakan kecanggihan software untuk mereka
ulang sejarah ruang-ruang arketipal penghuninya dari orang terdekat. Subject
matter ini termasuk ke dalam kelompok filem seleksi yang berfokus pada
asal-usul biologis dari orang pertama yang menggali biografinya sendiri
dari balik kamera, dokumen-dokumen, dan rekaman-rekaman domestik.
Naratologi sinematik pada benda-benda dan memori genetik dari pelakupelaku biografis ini telah berbagi wacana sejarah domestik dengan orangorang lain yang menontonnya.
Dalam beberapa hal, sinema atau dokumenter dari peristiwa sehari-hari
yang mengelaborasi model pendekatan melalui kehadiran/ketakhadiran
kamera telah membelokkan konsepsi normatif kita terhadap karakteristik
atau ciri-ciri kenyataan bukan sebagaimana yang dibingkai, melainkan
yang berada di luar bingkaian. Bias representasi di situ malahan makin
memperkuat kesadaran kita akan pentingnya hal-hal kecil, namun sensitif
sebagai pengetahuan bersama milik peradaban terakhir kita.
Menjelajahi arsip adalah cara untuk menciptakan suatu masa tertentu
dalam sejarah menjadi nyata kembali. Di sisi lain, sinema dokumenter yang
40 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

dihasilkan melalui konsep merekonstruksi peristiwa, telah memperlihatkan


suatu visualisasi subject matter yang menukik akar permasalahan kendati
tanpa rekaman dari para subjek terlibat, dokumen-dokumen faktual, dan
materi-materi visualbaik gambar, fotografi, atau cuplikan filemdari
periode-periode kejadian yang dinarasikan, tetap mungkin diproyeksikan
sebagai ingatan yang hadir di masa kita kini.
Kelompok filem seleksi selebihnya ialah sinema sebagai seni. Cukup
riskan membuat pernyataan seperti itu sekarang, lantaran tiada mungkin
lagi batas-batas pasti dan kokoh yang dianut sebagai prinsip tunggal
khusus untuk setiap bidang kreativitas artistik. Namun, sinema adalah
sebentuk ungkapan yang boleh juga mandiri, terbebas dari beban-beban
tendensi di luar konstruksi bahasanya sendiri, dan bersifat personal.
Tentu, pernyataan demikian masih sangat terdebatkan, akan tetapi di sini
ia diartikan sebagai media ekspresi yang mampu melampaui aspek-aspek
keteknikan untuk mencerminkan karakteristik pembuatnya. Beberapa karya
dengan kecenderungan ini menyajikan representasi visual dari semacam
solituda perjalanan sebuah kamera tatkala manusia hadir hanya secara in
absentia dalam kelengangan peradaban yang dibuat dan diperuntukkan
bagi dirinya sendiri.
Kesan lain mengenai kelompok seleksi ini, yaitu pendekatan visual
yang secara ketat mengobjektivasi subjek-subjeknya melalui tarikan dekat
(zoom in), dan dengan demikian bersikap membuat jarak dengan fenomen
realitas di depan kamera. Prinsipnya, frame bisa memproduksi kode-kode
bahasa visualnya sendiri, dan menawarkan serangkaian kesan tertentu
atas realitas. Perlakuan tersebut sekaligus telah mengubah sudut pandang
terhadap berbagai segi informatifwarna, suara, bayangan, lokasidari
representasi bidikan. Oleh intensitas pemuaian angle, bingkaian-bingkaian
gambar menjadi sebuah cara menatap yang berbeda, lebih kepada bentuk
dan komposisi yang tampil secara tak terduga pada rangkaian naratif.
Eksperimentasi, di dalam reduksinya akan realitas terekamsebagaimana
sejumlah filem mencoba berdialektika secara polemis dengan medianya,
atau dengan sengaja menunjuk kehadiran kameraakan selalu tampak
menyimpang dari pengandaian normatif ketika yang terlihat tidak merupakan
represen dari keutuhan sesuatu. Kreativitas, dalam posisi ini, juga sekaligus
menghargai upaya seorang penonton untuk membongkar sistem resepsi atas
segala bentuk gambaran tertata. Di sisi lain, eksperimentasi yang bertahan
pada abstraksi dan sensibilitas dari medium berhasil mengekspresikan model
naratif ke dalam semacam puisi prosaik lewat jukstaposisi gambar-gambar
fragmentis yang bukan merupakan elemen fungsional dari hubungan kausal
pada visualisasi sinematik. Sebab, mereka tidak mengabdi pada kepentingan
informasi naratif, melainkan sebagai serangkai tanda visual dari kode-kode
personal antara sinema, medium, dan pembuatnya.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |41

NOTES FROM INTERNATIONAL COMPETITION SELECTOR

CINEMA, MEDIUM,
AND THE CREATORS
Ugeng T. Moetidjo
Several notes on the selection of ARKIPEL Grand Illusion 3rd International
Documentary & Experimental Film Festival 2015 can be described as follows:
The films we selectnarratives and non-narrativeshave certain visual
language or cinematic beauty in regard to interpretations of novelty on both
textual and contextual levels. It is about visualisation of subject matter that can
remind us about the importance of certain ideas over the others, even though
only through factual materials such as clippings, photography, footages, and
reenactments.
The films selected in ARKIPEL this year may be grouped in several
thematic focuses. One of them brings up again the problem of communal
identity, or nation, race, clan, or community. In such focus we can read some
anxiety over exclusion, discrimination and disregard toward identity groups.
The contents that raise the behaviors above, and their impacts, often question
grand illusions through small, local, or sectarian narratives.
A number of films seem to believe that cinema has an interest to re-identify
the past of a nation-state, which is significant in terms of contemporary
development. In them, theres a courage to offer an irony and fatality of official
historicism. Ideas, conceptions, memory, and facts about a nation-imagining is
narrated through personal or communal identity codified with daily, trivial stuff.
Whats also clear there is that the media has an important role, both in its
premise and pretention to affirm a nation-states existence. A reconstruction
or search of a nation in various visual and narrative elaborations provides a
vast opportunity for the media to become a means that shapes or becomes the
language of expression itself.
It is true that today documentary tends to be more uncertain in capturing
reality due to the realization that facts or actual objects of an event are things
that can be simulated. Thus, the idea to re-question reality becomes medias
double game or double stance toward a subject matter, be it optimistically or
pessimistically, to rediscover reality albeit less ideal and flawed.
It is a general approach that some of these films of selection maintain the
use of footage, interviews with the publis and sources of and about the past
42 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

and the present. Of course, camera as a tool brought near to the subjects is
involved. A number of narratives prosper at the same time with the use of
camera video on location, whether in the hands of a cameraman or local subject.
The specific recordings impact here is realized by local subjects, namely the
revelation possibility of local perpetrators identity that became the backgroud
to subject matter at hand. This situation concerns the ethics and responsibility
of the filmmaker who involves him/herself in the area.
In some ways, such consequence in fact shows the victory of reality over
media as the said reality may dodge and inhabit the depths of conscience full
of sympathy. Putting aside its political potential from mere reduction and going
beyond its democratization euphoria, camera in uncovered presence becomes a
sincere subject together with sources and citizens. Media cinema is empathic
when the camera is brought out from its natural-styled invisibility to the local
subjects so that their involvement in social and psychological relations to the
problems to be presented can gain consideration. The urgency is, at this point,
narratives in the aimed shots do not insist anymore on reality as an event thats
necessarily actual but often entirely a realism metaphore.
The elaboration above has tarnished an assorted stereotypes of past-present
narratology and the interrelation of both of them with the documentary cinema
tradition. Camera thats tied too hard to the past turns history into myths that
do not intrigue us anymore today.
Furthermore, media cinema vaguely evokes memories, crushed by history,
of faces, attributes, voices, or resignation of those who are excluded, banished,
and even extinguished in their lands. We can give sympathy to their tragedy
when we find in it various dialectical possibilities of conflict and challenge
offered by the cinema itself to its subject matter.
YouTube is the latest phenomenon of contemporary cinema. But this global
channel has the potential to become a cinemas enemy due to its huge capacity
to accommodate uploads of various image typological similarities that might
be used in cinema, only with a click. On the other side, its presence alters
as well the production of cinematic forms through visual records of a global
scale. Some films draw upon footages on this channel, whether for the sake of
pragmaticism or aesthetics. On another level, some possible approaches to it
give promise of a new style, if not new context, to documentary mode through
visual language sophistication.
The films in the next group look back at ideology as a general principle.
They primarily re-question the value system on regional and global levels by
contradicting socialism and capitalism. Some ideas of this theme are also
confronted with the search of national identity. In terms of narrative, these
kinds of films recite lamentation and protests over human exploitations based on
class, civilization, or culture that are simply scattered as old, fragile memories
that had to be raised up again. Their narrative technique of expression use
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |43

biographical testimony over a piece of the main subjects historical experience.


Visualisation here is important as the narrative does not impose oral memory
or photographic document as a historical fact. The most important thing
there is how historical material and biographical speeches can be free from
the informants psychological burden to become a heroic protagonist. At that
point, the narrative representation renews or reminds us again of documentary
reality without tragic, melancholic tone or fanaticism and preaching. Its just
the way it goes.
Personal identity tracking through a second subjects geneological narrative
(the filmmaker) includes software sophistication to reenact the history of
archetypal spaces of the inhabitants from dearest ones. This subject matter
belongs to the group of films selected that focus on biological origins of the first
person who explores his/her own biography behind the camera, documents,
and domestic records. Cinematic narratology on the objects and genetical
memory of these biographical perpetrators has shared a historical discourse
with other people who watch it.
In some ways, cinema or documentary of daily life that elaborates an
approach model through the presence/absence of camera have deflected our
normative conception toward realitys characteristic not as its framed but outside
the frame. The representational bias there in fact strengthens our realization
over the importance of small yet sensitive things as a common knowledge of
our last civilization.
Exploring archives is a way to make a certain period of history come
true. On the other side, documentary cinema resulted from a reconstruction
concept has shown a subject matter visualisation that digs to the root cause of
the problem despite the lack of records of subjects involved, factual documents,
and visual materialswhether pictures, photography, or film clipsfrom
the periods of events narrated. Although its still possible to be projected as a
memory present in our current times.
The rest of the selected films are cinema as art. It is quite a risk to make
such statement today since there are no more sure and solid boundaries believed
as a special single principle for every creative artistic field. However, cinema is a
form of expression that may be independent, free from the burdens of tendency
outside its own language construction, and personal. Of course, such statement
too is open to debate, but here it is interpreted as a medium of expression that
gos beyond its technicalities to reflect the makers characteristics. Some works
with such disposition bring forth visual representations of a sort of solitude of
the cameras journey as human being is present in absentia in the civilization
desolateness that is made by and addressed to himself.
Another impression from this selection group comes from a visual approach
that rigidly objectifies the subjects through zoom-ins and thus creates a distance
to the reality phenomenon in the face of the camera. Principally, a frame can
44 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

produce its visual codes and offers a series of impressions over reality. This
treatment has altered the point of view toward various informative aspects
color, sound, shadow, locationof shot representations. By the angle expansion
intensity, the picture frames become a different way of viewing through the
forms and compositions appearing unexpectedly on the narrative chain.
Experimentation, in its reduction of recorded realityas some films
try to have dialectics polemically with their mediums, or purposefully point
to the cameras presencewill always seem to deviate from the normative
presupposition as what is seen does not make up a representation of something
whole. Creativity in this position means also paying respect to a viewers attempt
to deconstruct his/her receptive system over any order of image. On the other
hand, experimentation that sticks to medium sensibility and abstraction is
successful in pouring a narrative model into a sort of lyrical prose through
juxtaposition of fragmentary images that arent just functional elements of causal
relations in cinematic visualisation; because they do not devote themselves
to the interests of the narrative information but constitute instead a series
of visual signs of personal codes among the cinema, medium, and its maker.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |45

PROGRAM KOMPETISI INTERNASIONAL 1 & 2: NEGASI

KESEPAKATAN LAIN
Afrian Purnama

Lukisan Bonaparte Crossing the Alps adalah penggambaran sebuah kejadian


bersejarah saat Napoleon Bonaparte, pemimpin pasukan saat itu, menyerang
pasukan Austria di Italia. Walaupun berdasar dari sebuah kejadian bersejarah,
lukisan tersebut memiliki dua versi penggambaran dengan nama yang sama.
Pertama adalah karya Jacques-Louis David: Napoleon ditampilkan sebagai figur
pemimpin tentara sempurna yang mengepalai Prancis dalam kebisingan perang
eropa saat itu. Yang kedua adalah karya Hippolyte Delaroche: Napoleon yang
bejubah layu dan berwajah kuyu, pemimpin negara yang keledainya dipapah
oleh seorang jelata. Kedua seniman tersebut melukiskan impresinya terhadap
sebuah peristiwa bersejarah, tetapi memiliki penggambaran yang sangat
berbeda. Publik yang menyaksikan kedua lukisan dan membandingkannya
akan memiliki pandangan baru yang berbeda pula.
Penggambaran Napoleon tersebut adalah analogi singkat sebelum kita masuk
ke dalam lima filem yang sudah lolos seleksi dan berada di dalam bingkaian
program ini, yaitu Negasi. Kontradiksi dua atau lebih penggambaran terhadap
suatu peristiwa dan tokoh membuat kita, para penonton, mempertanyakan
kembali keabsahan informasi yang ditayangkan dan sudah diketahui sebelumnya.
Kedua informasi yang saling bertentangan diperlukan untuk mendapatkan
sebuah pandangan yang seimbang dan mendekati kebenaran. Tentu saja,
dokumenter tidak melulu tentang penyampaian kebenaran mutlak, tetapi
bagaimana kebenaran tersebut bisa disampaikan dan apa cara-cara yang
seorang seniman akan lakukan untuk meyakinkan dan mengkonfrontasi
perbedaan informasi atas suatu peristiwa dan tokoh. Sering kali, kita melihat
sebuah peristiwa sejarah yang telah terjadi direduksi atau dibesar-besarkan
sedemikian rupa dengan berbagai cara, bahkan juga menggunakan medium
seni, seperti yang dapat kita lihat pada Bonaparte Crossing the Alps kreasi
Jacques-Louis David.
Ide dari kelima filem ini sama dengan apa yang dilakukan Hippolyte
Delaroche, yaitu menanggapi peritiwa bersejarah dan menantang kebenaran
sebuah informasi yang sudah mapan disepakati oleh berbagai pihak, dengan
menawarkan sebuah kesepakatan lain, juga menerjemahkan sebuah peristiwa
dan tokoh dengan cara-cara yang berbeda pula. Perbedaan terjemahan tersebut
dipengaruhi oleh pilihan politik, pandangan terhadap kemanusiaan dan dorongan
untuk mengungkap selubung kabut yang selama ini berusaha ditutup-tutupi.
46 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

INTERNATIONAL COMPETITION PROGRAM 1 & 2: NEGATION

ANOTHER CONSENSUS
Afrian Purnama

Bonaparte Crossing the Alps is a depiction of a historical event when Napoleon


Bonaparte, a leader then, attacked the Austrian army in Italy. Although
originating from one historical event, there are two versions of painting with
the same name. First, Jacques-Louis Davids work: Napoleon is represented
as a perfect military leader heading up the French during the noisy European
war then. Second, Hippolyte Delaroches work: Napoleon with a shriveled
robe and a haggard face, a leader whose mule is led by a layman. Both artists
paint their impression over a historical event but with very different results. The
public that see and compare those works will have new different perception too.
Napoleons depiction above is a short analogy before we talk about five
films that have passed the selection for this programs framework, Negation.
Two or more contradicting depictions of an event or a figure make us, viewers,
question again the validity of previously known/published information. The
contradicting information is required for people to gain a balanced view and
take a closer step to truth. Of course, documentary is not always about the
representation of absolute truth but also about how an artist can deliver such
truth using ways to confirm and confront information differences over an
event and a figure. Often we see a historical event understated or exaggerated
in many ways, even through arts, as we can see from Bonaparte Crossing the
Alps by Jacques-Louis David.
The ideas of these five films are similar to Hippolyte Delaroches, that
is responding to a historical event by challenging established informations
validity approved by various parties and offering another consensus, while
interpreting an event and a figure in a different way. The difference in such
interpretation is influenced by political choice, views on humanity, and a drive
to reveal the fogs that cover up truths.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |47

IC
1 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 & 27 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 13+

CINZA / ASHES
Micael Espinha (Portugal)
Country of Production Portugal
Language Portuguese
Subtitle English
10 minutes, B/W, 2014
www.roughcut.pt
micael.espina@gmail.com

Kumpulan foto-foto hitam-putih yang


terangkai dalam satu pigura sejarah kelam
Bangsa Portugal. Yang kita lihat adalah
berbagai gambar bangunan yang saling
terkait: pembangkit listrik, gedung, sekolah,
stadion sepak bola dan kereta api. Kesemuanya
adalah gedung pelayanan publik hasil dari
pembangunan pemerintah Antnio de
Oliveira Salazar. Ada juga objek komersial,
seperti kios dan kendaran, sebagai penanda
kemakmuran masyarakat. Hanya saja, kita
tidak melihat adanya manusia di situ, bahkan
satu wajah pun tidak. Kecuali, suara pidato
pemimpin pemerintahan dan wajah-wajah
beku yang terukir dalam patung diorama.

This is a collection of black-and-white


photographs which are arranged in one
frame of the dark history of the Portuguese
Nation. What we see is interconnected various
pictures of building: power plant, buildings,
schools, football stadium and train. All of
them are public service buildings which are
the result of the development of Antnio
de Oliveira Salazar administration. There
are also commercial objects, such as kiosks
and vehicles, as a marker of the prosperity of
society. It is just, we do not see any human
being there, not even one face, except the
voice of speech of the government leader and
the frozen faces that were carved in diorama.

Afrian Purnama

Micael Espinha lahir tahun 1973 dan


lulus jurusan Penyutradaraan dari
Sekolah Teater dan Film Lisabon tahun
2003, dimana ia telah mendapat gelar
sarjananya di bidang Penyuntingan
tahun 1999. Ia adalah rekanan di usaha
produksi Roughcut, yang fokusnya
mengembangkan proyek-proyek
dokumenter, serial TV, fiksi dan film
pendek animasi. Ia juga bertanggungjawab dalam proses paska-produksi
beberapa proyek dan karya dari
Roughcut.

48 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Micael Espinha was born in 1974


and graduated in Directing at the
Lisbon Theatre and Film School, in
2003, where he had already obtained
his bachelor degree in Editing, in
1999. He is a partner at the production
company Roughcut, where hes been
developing documental projects,
television series, fiction and animation
short films, being also responsible
for the companys post-production of
several projects and works.

IC
2 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 13.00/ 13+

BEEP
Kyung-Man Kim (Republic of Korea)
Country of Production Republic of Korea
Language Korean
Subtitle English
10 minutes, Color & B/W, 2014
zadoz@hanmail.net

Lee Seung-bok adalah bocah dari Korea Utara


yang dibunuh karena meneriakkan kebencian
terhadap komunis. Kondisi ini dimanfaatkan
oleh Korea Selatan dan menjadikan Lee Seungbok sebagai monumen anti komunisme.
Tidak cukup dengan peringatan simbolis,
Lee Seung-bok juga dibuatkan diorama,
reka ulang, bahkan dimasukan ke dalam
kurikulum pendidikan tingkat Sekolah
Dasar. Dia dijadikan martir anti komunis.
Cara filem ini bereaksi terhadap kenyataan
tersebut adalah menggabungkan footage dan
newsreel dengan fiksi propaganda yang sudah
dimodifikasi, seperti yang Korea Selatan juga
lakukan terhadap Lee Seung-bok.

Lee Seung-bok was a kid from North Korea


who was killed for shouting hatred against
communists. This condition was used by South
Korea and they made Lee Seung-bok as a
monument for anti-communism. Not enough
with a symbolic memorial, Lee Seung-bok
was also made diorama, reconstruction, was
even inserted into the education curriculum
of elementary school. He became an anticommunist martyr. The way this film reacts
to that reality is by merging the footage and
newsreel with propaganda fiction that has
been modified, just like what South Korea
also did to Lee Seung-bok.

Afrian Purnama

Kyungman Kim mendedikasikan


hidupnya untuk menyunting ulang
footage arsip, newsreel, dan filem-filem
propaganda sejak 2001.

Kyungman Kim He has been devoting


himself at reediting archive footages,
newsreels, and propaganda films since
2001.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |49

IC
2 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 13+

WHAT DAY IS TODAY


Colectivo Fotograma 24 Group of young people (Portugal)
Country of Production Portugal
Language Portuguese
Subtitle English
12 minutes, Color, 2015
info.fotograma24@gmail.com

Sejarah banyak mencatat tentang revolusi di


berbagai negara, termasuk di Portugal, seperti
yang ditampilkan di filem ini. Menggunakan
cara aksi henti (stop motion) dalam merangkai
sejarah, dan beragam simbol seperti roti, buah,
dan kertas. Sutradara menantang cara-cara
konvensional dalam membuat dokumenter
dan memilih untuk berkreasi bebas dengan
bentuk dari objek-objek sehari-hari. What
day is today? berisikan pergolakan antarkelas
yang sudah terjadi lampau hari, dan masih
tetap aktual hingga hari ini.

History records many revolutions in various


countries, including Portugal, as shown
in this f ilm. Using stop motion way in
combining the history and various symbols
such as bread, fruit and paper, the director
challenges the conventional ways in making
documentary and chooses to create freely
with the shape of daily objects. What day is
today? contains the upheaval between classes
that has happened in the past and has still
been happening today.

Afrian Purnama

Sejak tahun 2000, Colectivo


Fotograma 24 mengembangkan
lokakarya sinema animasi, melalui
filem-filem eksperimental. Proyek ini
dikoordinasi oleh Rodolfo Pimenta dan
Joana Torgal dan sutradaranya adalah
anak-anak dan kaum muda.

50 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Since 2000, Colectivo Fotograma 24


develops animation cinema workshops,
through the direction of experimental
animated short films. This project is
coordinated by Rodolfo Pimenta and
Joana Torgal and the directors are the
children & youngs that participate.

IC
1 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 & 27 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 13+

KRIEG DER LGEN /


WAR OF LIES
Matthias Bittner (Germany)
Country of Production Germany
Language Arabic, German, English
Subtitle English
89 minutes, Color, 2014
mail@maffo.de

Kita melihat seorang pria yang ditanya


dan menjawab pertanyaan dengan bahasa
yang berbeda, perkataannya dulu adalah
alasan mengapa salah satu perang terbesar di
dekade sebelumnya bisa terjadi. Rekonstruksi
terhadap masa lalu dilakukan bedasarkan
pengakuannya dan beberapa tayangan footage.
Sangat penting untuk melihat, bahwa filem
ini adalah murni berdasarkan pengakuannya,
karena kita tidak melihat satu wajah pun
kecuali wajah si penjawab. Sinema lalu
memberikan tempat baginya untuk mengakui
dosa dan kesempatan untuk meluruskan
kebohongan yang pernah dia ciptakan.

We see a man who is asked and answers


questions in different languages. His words are
the reason why one of the biggest wars in the
past decade could happen. The reconstruction
of the past is done based on his confession and
some footage. Its important to notice that
this film is purely based on his confession,
because we do not see a single face except the
face of the answerer. Cinema then provides a
place for him to confess his sin and a chance
to straighten out the lie he has ever created.

Afrian Purnama

Matthias BITTNER(lahir tahun


1982), setelah lulus, ia menyelesaikan
beberapa magang di perusahaan
produksi filem dan bekerja sebagai
asisten sutradara. Sejak 2007, ia
belajar membuat filem di Film
Academy Baden-Wrttemberg. Selain
filem durasi pendek, dia membuat
dokumenter durasi panjang, Not In
My Backyard yang memenangkan
penghargaan Dokumenter Terbaik
dari Baden-Wrttemberg Film Award
tahun 2012. Dia lulus tahun 2014
dengan karya, berjudul War of Lies.

Matthias Bittner (b. 1982). After


graduation, he completed several
internships at film production
companies and worked as an assistant
director. Since 2007 he studied
film directing at the Film Academy
Baden-Wrttemberg. In addition
to various short films, he completed
the full-length documentaryNot In
My Backyardthat won the BadenWrttemberg Film Award for Best
Documentary in 2012. With his second
feature documentaryWar of Lies, he
graduated in 2014.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |51

IC
2 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 13+

LES TOURMENTES /FOR THE LOST


Pierre-Yves Vandeweerd (Belgium)
Country of Production Belgium, France
Language French, Occitan
Subtitle English
77 minutes, Color, 2014
promo@cbadoc.be

Awalan filem adalah sebuah wajah yang


matanya menatap langsung ke arah penonton.
Lalu, dilanjutkan dengan beberapa wajah dan
penjelasan tentang badai yang menyebabkan
kebingungan arah. Mereka yang beruntung
akan mengikuti arah bunyi lonceng sehingga
terhindar dari ganasnya badai salju, sedangkan
yang tidak beruntung bertransformasi
menjadi nama yang disebutkan satu per
satu. Kombinasi dari cerita dan gambar
tersebut adalah sebuah situasi mencekam
dan gelap. Sutradara memastikan penonton
juga merasakan alienasi mereka yang terjebak
dalam badai dengan menghadirkan gambar
dan suara-suara yang kelam dan mencekam.

The beginning of the film shows a face whose


eyes are looking directly at the audience.
Then, it is continued with some faces and an
explanation about the storm that causes the
confusion of direction. Those who are lucky
will follow the direction of the sound of a
bell, so they are avoided from the fierceness
of the snowstorm, while those who are not
lucky transform into names mentioned one
by one. The combination of the story and
the picture is a gripping and dark situation.
The director ensures that the audience also
feels the alienation of those who are stuck in
the storm by presenting dark and gripping
images and sounds.

Afrian Purnama

Pierre-Yves Vandeweerd (lahir di


Lige, Belgia, 1969), setelah menempuh
pendidikan di bidang komunikasi,
antropologi dan kebudayaan Afrika,
bekerja sebagai seorang akademisi di
Fakultas Filsafat dan Sastra, Universitas
Brussels. Dia memimpin sebuah program
untuk para pembuat filem muda Senegal.
Sejak 2008, dia menjadi guru di Institut
des Hautes Etudes de Communication
Sociale (IHECS). Mayoritas karyanya
menaruh perhatian pada persoalan
Afrika.
52 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Pierre-Yves Vandeweerd (b. 1969


in Lige, Belgium). After studying
communication studies, anthropology
and African culture, Pierre-Yves
Vandeweerd worked as an academic at
Brussels University in the philosophy
and literature faculty. He led a
programme for young Senegalese
filmmakers. Since 2008 he has been a
professor at Institut des Hautes Etudes
de Communication Sociale (IHECS).
The majority of his films are concerned
with Africa.

PROGRAM KOMPETISI INTERNASIONAL 3: YANG MEMBEKAS

KETERBELAHAN INGATAN
Umi Lestari

Pada mulanya adalah objek yang merujuk pada objek lain.


Tubuh merupakan bank arsip. Ia menyimpan peristiwa, gagasan, serta hal
yang pernah kita lihat sebelumnya. Resapan ingatan tersebut menunggu untuk
dipanggil kembali pada momen tertentu, tak terkecuali saat kita menonton filem.
Sebagai gabungan dari pelbagai jenis seni, filem memiliki keistimewaan
karena ia mampu memunculkan objek dengan sendirinya, baik berdasarkan
kesadaran subjek pengambil gambar maupun dari pemungkinan tangkapan
kamera atas realitas. Lacakannya bisa terlihat dari citraan dalam filem yang
berfungsi sebagai pernyataan (statement). Citraan tersebut bisa membawa kita
pada hal-hal yang pernah terabaikan dalam sejarahtermasuk Sinema, atau
bisa pula mengerucut pada penekanan kembali atas bentuk sebagai pendorong
pengalaman indrawi kita, tempat pemaknaan menemukan muaranya.
Permainan pada irama, teks, dan citra, tak luput sebagai pemantik untuk
membangkitkan kembali ingatan. Kepercayaan pada representasi, layaknya pada
filem-filem setelah Perang Dunia Pertama, saat teknologi suara hadir dalam
sinema, masih mendapatkan tempatnya hingga saat ini. Eksperimentasinya
dalam membingkai objek representasional bisa dilacak melaui pilihan warna
dan gaya, ataupun irama dan garis. Sedangkan kepercayaan pada citra juga
mendapatkan tempatnya pada mereka yang membebaskan citra agar dapat
berbicara dengan sendirinya. Lacakannya bisa dilihat dari upaya untuk
mengembalikan fitrah suara ataupun teks sebagai bagian dari citra, dan
bersama-sama membuat narasi.
Kehadiran teknologi digital juga memberikan pengaruh pada Sinema. Proses
pinjam-meminjam semakin kompleks dan pengaruhnya terlihat dari gambar
yang dihadirkan. Yang digital mampu membawa sinema untuk beranjak tidak
melulu menitikberatkan pada sudut pandang kamera. Tawaran tatapan (the gaze),
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |53

atau objek yang memantik penonton untuk melihat, bisa dihadirkan melalui
permainan digital semisal dengan teknologi scanning atau stereoscopic 3D. Di
sisi lain, penggunaan logika filemis justru mampu untuk menunjukkan objek
paling subtil, yakni unsur terkecil dalam dunia digital seperti pixel maupun
titik (dot) yang memungkinkan sebuah citra hadir.
Syahdan, adakah yang disebut kebaruan jika sekarang yang ada adalah
fotokopi atas fotokopi? Keenam filem yang dihadirkan dalam program ini pada
dasarnya tidak menawarkan kebaruan baik dari segi estetis maupun tematis.
Kekuatannya sendiri terletak pada dua hal. Pertama, pada gagasannya untuk
mencomot tawaran bahasa filemis, mengolahnya menjadi pernyataan cadas:
ujaran yang mampu membawa pada aspek joy dan agoni yang sempat hilang.
Kedua, karena kemampuannya untuk menghadirkan unsur subtil pembentuk
citra, garis dan titik, sesuatu yang kadang terlewatkan saat membicarakan
Sinema. Tak lain tak bukan, keenam filem ini berusaha untuk mengembalikan
filem pada fitrahnya. Ingatan yang telah tersimpan, akan berkembang dengan
sendirinya. Walaupun dengan bentuk dan wujud yang berbeda, namun tetap
mengandung untaian DNA-nya: Sinema adalah bahasa.

54 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

INTERNATIONAL COMPETITION PROGRAM 3: REMAINS

MEIOTIC REMINDER
Umi Lestari
At the beginning was an object that refers to another object.
The body is a bank of archives. It saves events, ideas, and things weve seen.
The saturated memory then waits to be recalled at a certain moment, including
when we watch a film.
As a combination of various kinds of art, film has its own specialty since it
can elicit an object by itself, whether based on the cameraman-subjects awareness
or the possibilities of cameras capture over reality. The traces of it can be seen
from film images that function as statement. Those images can take us to things
ignored in historyincluding Cinemaor focus on emphasis over form as a drive
to our sensory experience, where meanings find their estuary.
The interplay of rhythm, texts and images is inevitably a trigger to evoke
memory. The belief in representation, such as in films after the First World
War, when sound-on-film technology emerged, is still on its place today. The
experimentation to frame representational object can be traced through the
selection of colors and style, rhythm and lines. As for the belief in image, it has
its place too in them who liberate images to speak for themselves. The traces can
be seen from the effort to return the nature of sound and text as part of images
that together create a narrative.
The presence of digital technology also impacts on Cinema. The process of
borrowing from each other becomes more complex with influences visible in the
images presented. The digital can move cinema away from the focus on cameras
viewpoint. The offer of the gaze, or the object, that prompts viewers to see can be
presented through a digital interplay such as through scanning or 3D stereoscopic.
On the other side, the film logic can show the most subtle object, that is the
digital worlds smallest element such as pixel or dot allowing images to be present.
As it happens then, is there anything to call new if whats present now is a
photocopy of a photocopy? The six films presented in this program basically
do not offer any novelty, be it the aesthetics or the theme. Their strength lies in
two things. First, in their idea to pick up the filmic languages offer, processing
it into a badass statement: an utterance that brings us to the joy and agony once
lost. Second, in their capability to evoke the subtle elements that make up images,
lines, dots; the things overlooked when we talk about Cinema. These six films
by and large try to return film to its nature. The memory kept will grow on its
own. Despite the different forms and shapes, they still contain the DNA that
Cinema is a language.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |55

IC
3 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

SARAH (K.)
Christophe Bisson (France)
Country of production France
Language French
Subtitle English
15 minutes, Color, 2014
triptyque.diffusion@gmail.com

Apakah ini karya tanpa warna, atau berwarna


putih dengan banyak warna? ujar Phillipe
Boutibonnes, menuturkan sosok Sarah melalui
sketsa yang dikirimkan padanya, sembari
jarinya menelusuri garis-garis itu. Figur
perempuan hadir, tetapi yang membekas
bagi Phillipe hanyalah karya terakhir Sarah.
Gambar di layar mengindikasikan kedekatan si
perekam pada si penutur, baik posisi kameranya
yang tepat di samping penutur, maupun dari
usaha pewujudan sosok Phillipe ke dalam
frame. Proses ini mengartikulasikan ingatan
Phillipe ke dalam gambar kabur, didominasi
warna putih, seolah ingatan memanglah
sebentuk rabaan, bersifat tak tetap. Foto Sarah
yang menunjuk Derrida menjadi kunci: tentang
filsuf di Paris, kolega Jacques Derrida.

Is this a work without color, or white with lots


of colors? says Phillipe Boutibonnes, telling
about the figure of Sarah through a sketch
sent to him, while his fingers are tracing those
lines. A female figure is present, but the one
that makes an impression for Phillipe is only
Sarahs last work. The picture on the screen
indicates the closeness of the cameraman to the
speaker, either from the position of the camera
which is right next to the speaker or from the
attempt to enter the figure of Phillipe into
the frame. This process articulates Phillipes
memory into the blurred picture, dominated
by white, as if the memory is indeed a form
of a guess, impermanent. Sarahs picture in
which she points at Derrida is the key: about
a philosopher in Paris, Jacques Derrida.

Umi Lestari

Christophe Bisson adalah mantan


pelukis dan seniman visual. Filem
pertamanya, White Horse, disutradarai
bersama Maryann de Leo yang pernah
menang penghargaan New York Oscar.
White Horse dinominasikan untuk
Piala Beruang Emas di festival filem
Berlin. Filem-filemnya berbasis teks
literatur, atau berupa pertanyaan
terhadap norma dan patologi. Filemfilemnya pernah ditayangkan di stasiun
televisi seperti HBO dan Canal+,
serta terpilih di festival filem seperti
Viennale, Cinema du Rel, FID
Marseille, dan lain-lain.
56 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

A former painter and visual artist,


Christophe Bisson co-directs his first
film, White Horse, with New York
Oscar winning Maryann De Leo, and
is nominated for a Golden Bear at the
Berlinale. Christophe Bissons films,
documentaries or art vidos, are often
based on literary texts or on the question
of norms and pathologies. His films are
broadcasted on tlvision (HBO, Canal+)
and selected in prestigious French and
international film festivals such as the
Viennale, Cinema du Rel in Paris, FID
Marseille, etc.

IC
3 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

ALL THAT IS SOLID


Eva Kolcze (Canada)
Country of Production Canada
Language No Dialogue
Subtitle No Dialogue
16 minutes, BW, 2014
evakolcze@hotmail.com

Filem ini bermain dengan posisi kamera,


warna, komposisi, tekstur, dan irama untuk
menerjemahkan karakter kokoh dari tiga
bangunan Arsitektur Brutalist, yang dibangun
kisaran 1965-1974Perpustakaan Robarts;
Kampus Scarborough, Universitas Toronto;
dan The Ross Building, Universitas York
dengan warna hitam-putih menggunakan
seluloid. Menciptakan irama garis horizontal
dan vertikal, menghadirkan sisi nan solid,
stabil, serta anggun. Kamera bergerak perlahan
dan ajek menangkap lorong, oranamen,
sudut, dan detail gedung; footage didegradasi
menggunakan proses kimia dan fisika. Tak
sekadar menerjemahkan gedung ke dalam
bahasa filemis, karya ini juga mengandung
pernyataan kritis yang hadir melalui distorsi
antara fragmen gedung satu ke gedung yang lain.

This f ilm plays with the position of the


camera, color, composition, texture and
rhythm to translate the sturdy character of
three buildings of Brutalist Architecture,
which were built between 1965-1974-Robarts
Library; Scarborough Campus, University
of Toronto; and The Ross Building, York
University-in black-and-white using celluloid.
It creates horizontal and vertical lines rhythm,
presents a solid, stable and elegant side. The
camera moves slowly and steady capturing the
hallways, ornaments, corners and details of
the buildings; the footage is degraded using
chemical and physical processes. Not just
translating the buildings into filmic language,
this work also contains critical statement that
is presented through the distortion between
fragments of one building to another.

Umi Lestari

Eva Kolcze adalah seniman dan


pembuat filem, berbasis di Toronto,
yang karya-karyanya mengeksplorasi
tema lanskap, arsitektur dan tubuh.
Karyanya telah ditayangkan di berbagai
festival, termasuk Anthology Film
Archives, International Rotterdam
Film Festival, International Film
Festival Oberhausen, dan Images
Festival.

Eva Kolcze is a Toronto-based artist


and filmmaker whose work explores
themes of landscape, architecture
and the body. Her work has screened
at venues and festivals including
Anthology Film Archives, The
International Rotterdam Film Festival,
International Short Film Festival
Oberhausen andThe Images Festival.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |57

IC
3 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

LANDSCAPE WITH BROKEN DOG /


PAISAJE CON PERRO ROTO
Orazio Leogrande (Italy)
Country of Production Italy/Argentina
Language No Dialogue
Subtitle No Dialogue
14 minutes, BW, 2014
kinoignis@gmail.com

Filem ini mulanya terkesan menjalin gambargamba r acak , menyajik an footage da ri


beberapafilem lawas berbeda genre: fiksi-sejarah,
penjelahan, dan scientific. Latar musik menjadi
kunci dalam memahami struktur naratifnya.
Footage yang dipilih memiliki roh yang sama,
hubungan manusia dengan yang mistis dan
ilmu pengetahuan, serta manifestasinya
dalam sejarah sinema. Alih-alih mengkritisi
semangat pengetahuan sebagai kuasa, susunan
gambar malah memberi makna baru dengan
membuat dua jarak: (1) mendudukkan arsip
sebagai yang magis karena kekuatannya untuk
dimaknai kembali; (2) membebaskan gambar
dan bunyi untuk menjadikannya sebagai teks,
seolah ingin menunjukkan kemampuan filem
dalam menciptakan realitas, sebagaimana era
sinema saat teknologi perekaman suara belum
ditemukan.

The film initially seems to weave random


images, presenting footage of some old films
of different genres: fiction-history, exploration
and scientific. The musical background is
the key to understand the structure of its
narrative. The footages chosen have the
same spirit, the human relationship with
the mystical thing and science, as well as
its manifestation in the history of cinema.
Instead of criticizing the spirit of knowledge
as power, the composition of the pictures
gives a new meaning by making two range:
(1) making the archive as a magical thing
because of its power to be re-interpreted;
(2) freeing the image and sound to become
a text, as if they want to demonstrate the
ability of film to create a reality, like the era
of cinema when sound recording technology
has not been found.

Umi Lestari

Orazio Leogrande adalah seorang


sutradara Italia yang tinggal di Buenos
Aires, Argentina. Filem terakhirnya
adalah Paisaje con Perro Roto.

58 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Orazio Leogrande is an italian


filmmaker based en Buenos Aires. His
last film is Paisaje con perro roto.

IC
3 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

HALF-CUT / MEIO CORTE


Nikolai Nekh (Portugal)
Country of Production Portugal
Language English
Subtitle English
7 minutes, Color, 2013
nikolainekh@gmail.com

Upaya mengembalikan teks sebagai bagian


narasi menjadi pemantik filem ini. Kata-kata
tertulis selalu dibubuhkan sebagai pembuka,
sebagai suara mandiri yang mengindikasikan
perubahan sembilan peristiwa walaupun
gambar yang dihadirkan serupa. Narasinya
ditandai dengan teks berisi reaksi pekerja
transportasi publik dan pemangku kebijakan,
disokong bebunyian dari perseteruan itu.
Pengaruh suara atas realitas ialah konflik
filem ini. Perubahan peristiwa diwakili satu
gambar berupa padang ilalng, tiang listrik,
rel, kereta melintas (seolah membelah gambar
menjadi sisi atas dan bawah), dan sebuah
palang (yang seolah membagi gambar penjadi
potongan-potongan kecil). Kekuatan HalfCut terletak pada caranya menyajikan teks
sebagai bebunyian yang menyokong dunia
dalam filem ini.

The effort to restore the text as part of the


narrative becomes the theme of this film. The
written words are always put as the opening,
as independent voices that indicate changes of
nine events even though the pictures that are
presented are similar. The narrative is marked
by the text contains a reaction of public
transportation workers and stakeholders,
supported by the sounds of that feud. The
influence of the sound on the reality is this
films conflict. Change of event is represented
by one picture of grassland, power pole,
railroad, passing train (as if splitting the
image into the top and bottom sides) and a
bar (which seems to divide the image into
small pieces). The strength of Half-Cut lies
in the way it presents the text as sounds that
support the world in this film.

Umi Lestari

Nikolai Nekh tinggal dan bekerja di


Lisabon. Ia lulus dari jurusan Seni
Rupa di Universitas Lisabon tahun
2009, dan bagian dari program belajar
mandiri di Maumaus (2009/2010).
Praktek artistiknya melibatkan
produksi dan distribusi imaji.

Nikolai Nekh : Nikolai Nekh lives


and works in Lisbon. He graduated at
Fine Art University of Lisbon (2009)
and was part of Independent Study
Program at Maumaus (2009/2010). His
artistic practice consists in production
and distribution of images.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |59

IC
3 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

A.D.A.M.
Vladislav Knezevic (Croatia)
Country of Production Croatia
Language English
Subtitle No Subtitle
13 minutes, Color, 2014
vanja@bonobostudio.hr

Pengawasan (surveillance) perlu disinggung


ketika melihat f ilem ini. Kamera
diimajinasikan sebagai mata android bernama
a.d.a.m., dan setiap tuturannya adalah proses
perekaman sekaligus pelaporan dari data yang
ia temukan. Eksplorasi dalam memahami
aparatus bekerja, ternyata, tidak berhenti dari
sisi a.d.a.m., melainkan dari gambar-gambar
yang disajikan. Permainan stereocospic 3D
mampu menghidupkan gambar-gambar 2D
macam foto; mengeksplorasi suatu wilayah
dengan lanskap laut, gurun, penambangan,
lanskap yang sunyi, dan kota. Fungsi aparatus
cyborgian ini terhenti karena satu dan lain hal:
mengindikasikan bahwa ia memiliki batasan
sehingga tak semua data mampu dinarasikan.
Kegagalan a.d.a.m. dalam menarasikan data
berlanjut dengan kesimpulan pesimis: efficient
solution algorithm: non-existent.

The surveillance should be mentioned when


watching this film. The camera is imagined
as an androids eye named a.d.a.m and every
expression of it is a process of recording and
at the same time is also a reporting of data
that it finds. The exploration in understanding
how the apparatus works, turns out, does
not stop on a.d.a.ms side, but at the pictures
presented. The 3D stereoscopic game can
turn the 2D pictures on, such as photo;
exploring an area with the landscape of sea,
desert, mining, desolate landscape and city.
The function of this cyborgian apparatus is
stopped because of one reason or another:
indicating that it has a limitation that not
all the data can be narrated. The failure of
a.d.a.m. in narrating the data continues with
a pessimistic conclusion: efficient solution
algorithm: non-existent.

Umi Lestari

Vladislav Knezevic (1967) lulus


dari Akademi Seni Drama (Jurusan
Penyutradaraan TV dan Filem)
di Zagreb dan De Vrije Academie
(Jurusan Audio-visual) di Den Haag.
Ia adalah seorang sutradara TV dan
filem sejak 1993. Ia menekuni filem
eksperimental, video dan sound
processing sejak 1988. Ia menginisiasi
dan menyelenggarakan pemutaranpenutaran filem dan presentasi.

60 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Vladislav Knezevic (1967) graduated


from the Academy of Drama Arts (TV
and Film Direction Dept.) in Zagreb
and De Vrije Academie (Audio-visual
Dept.) in Den Haag. Professionally
works as a freelance director for TV
and various productions since 1993.
He is into experimental film, video and
sound processing since 1988. He has
also initiated and organized several film
programmes and presentations.

IC
3 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

THING
Anouk de Clercq (Belgium)
Country of Production Belgium
Language English
Subtitle No Subtitle
17 minutes, B/W, 2013
theuszwakhals@li-ma.nl

Thing menghadirkan ide dan ingatan seorang


arsitek (narator filem ini) ke dalam sebuah
dunia imajiner. Semesta ingatan virtual sang
arsitek memiliki latar hitam. Titik-titik putih
hasil reka scanning dan olahan teknologi 3D
mengisi dunia ini dengan lanskap kota serta
objek keseharian, memberikan kedalaman dan
pengalaman dalam melihat aspek keruangan.
Bukan menawarkan tangkapan realitas melalui
kamera, melainkan satu sudut pandang,
tatapan (gaze), dalam melihat reka-realitas
virtual. Tak hanya membicarakan gagasan
mengenai persepsi dan kaitannya dengan
aspek arsitektural, keutamaan filem ini adalah
unit terkecil yang membentuk persepsi dalam
gambar digital: titik-titik (dot) yang mendorong
sebuah penanda baru, dan bersama dengan
yang tekstual, membentuk bahasa baru.

Thing presents the idea and memory of an


architect (the narrator of this film) into an
imaginary world. The entire virtual memories
of the architect have a black background.
White dots as the result of scanning plan
and the result of 3D technology fill this world
with the landscape of the city as well as daily
objects, providing the depth and experience
in viewing the spatial aspect. It does not offer
the capture of reality through the camera,
but one point of view, gaze, in viewing the
virtual reality plan. Not only talk about the
idea of perception and its relation to the
architectural aspect, the virtue of this film is
the smallest unit that shapes perception in
the digital image: the dots which stimulate
a new marker and, along with the textual
one, form a new language.

Umi Lestari

Anouk De Clercq belajar piano di


Ghent dan filem di Sint Lukas Brussels
University College of Art and Design.
Karya-karya mengeksplorasi potensi
audiovisual bahasa komputer untuk
menciptakan dunia berbeda, yang
memiliki karakter arsitektonis kuat. Ia
telah menerima berbagai penghargaan
termasuk Illy Prize pada Art Brussels
tahun 2005 dan Prix Ars Electronica
Honorary Mention tahun 2014.

Anouk De Clercq studied film at


the Sint Lukas Brussels University
College of Art and Design. Her works
explore the audiovisual potential of
computer language to create possible
worlds, many of which have a strongly
architectonic character. She has
received several awards, including
the Illy Prize at Art Brussels in 2005
and a Prix Ars Electronica Honorary
Mention in 2014.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |61

PROGRAM KOMPETISI INTERNASIONAL 4: PETA

PERPINDAHAN
Bunga Siagian
Apa tantangan terbesar dari situasi kontemporer saat ini ketika demokrasi, liberalisme,
serta multikulturalisme menjadi satu poyek bersama yang kita agungkan? Di dalam
situasi global dan perkembangan ekonomi, mobilitas merupakan hal yang tidak bisa
dihindari. Motif ekonomi, sosial, maupun politik, serta infrastruktur yang tersedia,
memungkinkan kita berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun, siapkah
kita merespon segala bentuk perpindahan tersebut tanpa rasa curiga? Siapkah kita
hidup berdampingan dengan manusia lain yang memiliki identitas berbeda dan
terasa asing itu? Pertanyaan ini muncul atas respon saya terhadap, misalnya peristiwa
Charlie Hebdo atau juga sikap diskriminatif terhadap imigran, baik secara langsung
maupun oleh media massa.
Perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya mengandaikan
sebuah sikap toleransi yang tinggi untuk menghuni sebuah ruang baru secara
bersama-sama dengan kompleksitas identitasnya, yang kemudian kita sebut sebagai
multikulturalisme. Stanley Fish, dalam Critical Inquiry (Vol.23, No.2, hal.378,
1997) pernah mengemukakan sebuah jenis multikulturalisme yang dia sebut sebagai
Boutique Multiculturalism. Para penganut multikulturalisme jenis ini bersimpati,
mengakui, dan menikmati budaya yang lain, tetapi mereka akan sangat keras dan
intoleran terhadap nilai-nilai yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai inti identitas
mereka. Bahwa setiap identitas cepat atau lambat akan menampakkan core value
di ruang publik, merupakan tantangan sebenarnya. Sikap intoleran ini juga akan
ditunjukkan oleh kedua belah pihak, baik penghuni ruang yang asal maupun yang
baru datang. Perbedaan nilai itu akan tenyatakan terus-menerus dan mengambil
skala yang lebih besar dan berhadapan dengan praktik sentimen yang jauh lebih
purba, seperti gender, ras, agama, kelas, dll.
Filem-filem di dalam program ini tidak secara langsung menyatakan gagasan
multikulturalisme tersebut, kecuali filem Killing Time. Program ini justru ingin
mendedah apa yang kita sebut dengan perpindahan, yang pada konteks hari
ini, memiliki berbagai elemen di dalamnya. Ia melibatkan gerak, ruang, benda,
infrastruktur, perangkat digital, situasi politik, ekonomi, budaya, dll. Elemenelemen itu yang ternyatakan di dalam lima filem ini. Sebetulnya, program ini tidak
menawarkan suatu koherensi yang dapat terbaca begitu saja di dalam susunan filemnya.
Itu menjadi tantangan untuk menyatukan beberapa filem yang, ketika disatukan,
tampak tidak koheren. Akan tetapi, lebih karena tujuannya kemudian, yakni membaca
bagaimana filem-filem yang diputar di dalam program ini dapat saling berelaborasi
untuk menggambarkan gagasan yang tertuang di dalam pengantar program ini.
62 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

INTERNATIONAL COMPETITION PROGRAM 4: ATLAS

TRAVELING
Bunga Siagian
What is the biggest challenge today when democracy, liberalism and
multiculturalism all merged into one common project that we all worship? In
such global economic development, mobility is something unavoidable. Political,
social and economic motives, and the available infrastructure, allow us to move
from one place to next. However, are we ready to respond to all those kinds of
traveling without any suspicion? Are we ready to live side by side with other
human beings of different identities and alienation? These questions arise
together with my response to, for example, the Charlie Hebdo shooting and
discrimination toward immigrants, directly or indirectly by the mass media.
The human traveling from one place to another presupposes a strong
tolerance in order to inhabit a new space together with identity complexity that
we later call multiculturalism. Stanley Fish, in Critical Inquiry (Vol.23, No.2,
p. 378, 1997), once posited a kind of multiculturalism he called boutique
multiculturalism. This multiculturalisms followers sympathize, recognize
and enjoy other cultures but are completely hard and and intolerant toward
opposing values of their core identity values. That every identity sooner or
later can show its core values in the public is the real challenge. This kind of
intolerance can be displayed by opposing parties, both original inhabitants
and newcomers. These value differences will be continuously asserted and take
up a larger scale in the face of much more primal sentiments such as gender,
race, religion, class, etc.
The films in this program does not explicitly assert such multiculturalism
ideas, except Killing Time. This program in fact wants to explore what we
call traveling in the context of today with all its diverse elements. It involves
movement, space, object, infrastructure, digital gadget, cultural-politicaleconomic situation, etc. These elements are pronounced in these five films. This
program does not essentially offer a readable coherence in its film selection,
which is the challenge to combine the films as they seem to be incoherent.
However, the aim is to read how the films played in this program can elaborate
each other to describe the ideas poured into the programs introduction, and
so it goes.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |63

IC
4 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 26 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+

INFRASTRUCTURES
Aurle Ferrier (Switzerland)
Country of Production Switzerland
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
23 minutes, Color, 2014
bonjour@aureleferrier.ch

Apa yang tidak mungkin dalam kenyataan


sehari-hari? Salah satunya melihat ruangruang umum menjadi kosong tak berpenghuni.
Sinema menawarkan kesempatan untuk
mengalami yang tampaknya tak mungkin
tersebut dalam representasi-representasinya.
Infrastructures menghadirkan kecakapan
buah tangan manusia di dalam peradaban
paling kontemporer. Tampak bangunanba ng una n ya ng menjad i r ua ng unt u k
berbagi dari manusia terkini, namun minus
kehadiran mereka. Ketidaktampakan manusia
di dalamnya seolah adalah bentuk kesengajaan
bagi kemungkinan untuk mengasingkan
manusia sebagai objek representasi sosial di
samping menegaskan bahwa ruang-ruang di
dalam kondisi kontemporer saat ini adalah
ruang instrumental yang siap dihuni oleh
siapapun dan dari mana pun.

What is impossible in everyday reality? One


of them is seeing public spaces become empty,
uninhabited. Cinema offers the chance to
experience what seems impossible in their
representations. Infrastructures presents
the skill of humans creation in the most
contemporary civilization. There are buildings
that become spaces for sharing for the current
humans but minus their presence. As if the
human invisibility in it is an intentional
expression for the possibility to alienate human
as an object of social representation besides
confirming that the spaces in contemporary
condition today are instrumental spaces ready
to be inhabited by anyone and from anywhere.

Bunga Siagian

Aurle Ferrier Mendapat gelar


Master of Arts, jurusan Seni Rupa di
Universitas Seni Zurich tahun 2014.
Mendapat penghargaan dtahun 2015 di
Exp. Film, IndieFEST Film Awards,
La Jolla, Amerika Serikat.

64 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Aurle Ferrier Got his MA in 2014


from Fine Arts, Zurich Univ. of the
Arts Awards
2015 Winner Award of Merit: Exp.
Film, IndieFEST Film Awards, La
Jolla, USA

IC
4 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 26 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+

CONTINUOUS LINES
Diana Pacheco (Ecuador)
Country of Production Hungary / Ecuador
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
23 minutes, Color, 2014
dilu.181@gmail.com

Peradaban manusia, antara lain, ditandai


oleh perjalanan dari satu lokasi menuju lokasi
lainnya. Melalui kereta yang menjadi alat
transportasi kita diajak menelusuri garis
panjang aktivitas berpindah beragam kelompok
populasi di sebuah negeri yang tampak asing
dari komunikasi global. Di dalam kereta dan
keheningan, kita menyaksikan masing-masing
mereka membawa identitas dan harapan untuk
nanti berhadapan dengan kelompok yang
memiliki identitas lain. Filem ini tidak hanya
menghadirkan kereta sebagai sebuah moda
mobilitas lokal, tetapi jauh di dalamnya juga
terdapat sebuah kehidupan sementara, penuh
harmoni, yang hadir sebagai puisi tentang
negeri melalui sekat-sekat ruang, penumpang
yang terdiam atau saling menatap, rutinitas
pegawai yang mengulang, serta lanskaplanskap di jendela-jendela gerbong.

Human civilization is marked by, among


others, the trip from one location to another.
By the train as a means of transportation we
are invited to trace the long line of moving
activity of various population groups in a
country that seems alienated from global
communication. In the train and silence,
we watch each of them carries identity and
hope to deal with a group that has another
identity later. This film does not only present
the train as a mode of local mobility, but deep
inside it there is also a temporary life, full of
harmony, which is present as a poem about
the country through the room partitions,
the passengers who fall silent or look at each
other, the repeating personnels routine, as
well as landscapes outside the windows of
the carriage.

Bunga Siagian

Diana Pacheco, sutradara filem asal


Ekuador, mendapat gelar master
dari DocNomads. Filem pendeknya,
PATH (9, Hungaria) tayang perdana
di festival filem Visions du Reel, Swiss.
Ia sempat bekerja di Departemen Riset
Budaya Universitas Casa Grande,
mengembangkan OCU (Observatorio
Cultural Urbano), sebuah platform riset
antropologis di Ekuador.

Diana Pacheco is an Ecuadorian


filmmaker who graduated from
DocNomads. Her film, PATH (9',
Hungary), premiered in the Swiss
festival Visions du reel. She once
worked in the Cultural Research
Dept. of the Casa Grande University,
developing the OCU (Observatorio
Cultural Urbano), a platform for
anthropological research in Ecuador

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |65

IC
4 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 26 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+

BINARIO / BINARY
Giuseppe Riccardi (Italy)
Country of Production Spain
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
20 minutes, B/W, 2014
giuseppericcardi.06@gmail.com

Ada ruang yang tidak bisa diakses oleh manusia


kebanyakan sehingga menciptakan jarak yang
lebar di antara keduanya, misalnya di wilayah
pertambangan atau pelabuhan tempat lalu
lintas benda di antara mesin-mesin raksasa
seperti yang menjadi latar filem ini. Dengan
meletakkan kamera di berbagai sisi pada mesinmesin bergerak yang seringkali menghasilkan
sudut pengambilan gambar yang terasa tidak
mungkin, Binario menghancurkan jarak tersebut
dan menghadirkan situasi tak terjamah itu di
depan mata kamera. Sinema membiarkan kita
untuk terlibat dengan cukup dekat di dalam
setiap detail aktivitas sebuah ruang tak terjamah
yang berisi mobilitas tinggi benda-benda, yang
terus berpindah untuk keperluan hidup manusia.

There is a space that cannot be accessed


by most people that it creates a wide gap
between them, for example in the mining
area or harbor, a place for the traffic of objects
between the huge machines like the setting
of this film. By putting cameras on various
sides of the moving machines which often
produces shooting angle that feels impossible,
Binario destroys that gap and presents that
untouched situation in front of the eye of
the camera. Cinema lets us to get involved
close enough in every detail of the activity
of an untouched space which contains high
mobility of objects, which continues to move
for the needs of life of human.

Bunga Siagian

Giuseppe Riccardi adalah lulusan dari


Universitas Suor Orsola Benincasa
jurusan Komunikasi. Ia mempelajari
praktek dan teori program Master
Dokumenter Kreatif di Universitas
Autnoma, Barcelona dimana ia
menyutradarai Binario. Proyek ini
adalah buah pikir observasi di daerah
pelabuhan di Barcelona, sebuah
petualangan melihat dekat sistem
transportasi angkut barang. Ia sekarang
tinggal dan bekerja di Napoli sebagai
fotografer lepas dan pembuat filem
independen.

66 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Giuseppe Riccardi graduated in


Communication Studies from
University Suor Orsola Benincasa. He
is now studying theory and practice
of Creative Documentary Master at
University Autnoma of Barcelona and
made the short film Binario. This
project is the brainchild of its own:
an immersion in the harbor area of
Barcelona, a journey into the freight
transport system. He currently lives
and works in Naple as a freelance
photographer and filmmaker for
independent projects.

IC
4 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 26 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+

A PLACE IVE NEVER BEEN


Adrian Flury (Switzerland)
Country of Production Switzerland
Language No dialogue
Subtitle No Subtitle
4 minutes, Color, 2014
a.flury@gmx.net

Betapa miliyunan foto digital setiap harinya


diunggah manusia di internet. Menggunakan
berlapis-lapis foto digital dari berbagai sumber
dan unggahan orang-orang tak dikenal,
karya ini mengeksplorasi arsip visual tentang
sebuah lokasi di Yunani (Acropolis) yang
terpecah-pecah menjadi satu keutuhan
bentuk lewat frame-frame yang diurutkan per
detik. Dari cara kerja seperti itu, tersusunlah
serangkaian ilusi gerak yang memusat dari
beragam sudut pengambilan fotografis atas
lokasi. Seperti judul filemnya, eksperimen ini
memungkinkan kita untuk hadir di sebuah
tempat yang belum pernah kita kunjungi
melalui peranti digital. Namun, nilai penting
dari representasi teknologis seperti itu ialah
analoginya tentang awal peradaban techne
Eropa dengan teknologi rintisan filem yang
menciptakan kebudayaan sinema.

How millions of digital photos are uploaded


every day by people on the internet. Using
many layers of digital photos from various
sources and the ones that were uploaded
by unknown people, this work explores
the visual archive of a location in Greece
(Acropolis) which is fragmented into a whole
shape through frames which are sorted per
second. From such a way of working, a series
of the illusions of motion which converge
from various angles of photo shoot of the
location is arranged. Like the title of the film,
this experiment allows us to be present in a
place we have never visited through digital
device. However, the important value of such
technological representation is its analogy
about the beginning of techne civilization
of Europe with film pioneering technology
that creates a culture of cinema.

Bunga Siagian

Adrian Flury: Lahir tahun 1978 di


Zug, Swiss. Magang sebagai juru
listrik. Mempelajari animasi di
Universitas Seni Lucerne (HSLU).
Telah mengakrabi gambar bergerak
sejak 2005.

Born 1978 in Zug, Switzerland


. Apprenticeship as electrician
. Study in animation at lucerne
university of arts (HSLU). Working in
the field of moving images since 2005.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |67

IC
4 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 26 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+

KILLING TIME
Rafi Shor (Israel)
Country of Production Israel
Language Hebrew
Subtitle English
22 minutes, Color, 2015
rafishorz@gmail.com

Sebuah filem bergaya fiksi komedi hitam


yang dikemas dengan jenaka dan aktual.
Hubungan sepasang kekasih yang berbeda
bangsa, memunculkan konflik interpersonal
di antara mereka. Pada mulanya, perbedaan
identitas tersebut menjadi menarik, hingga
pada suatu titik, core value dari identitas
masing-masing muncul dan mengharuskan
sebuah sikap toleransi. Filem ini tidak hanya
dapat dibaca mengenai konflik politik antara
Israel dan Arab yang masih menjadi isu
dinamis dan menjadi tema utama filem, tetapi
ia dapat juga digunakan untuk membaca
isu multikulturalisme di dalam fenomena
diaspora bangsa-bangsa. Sebuah pertanyaan
penting saat ini, apakah kita dapat menerima
yang lain sebagai yang lain secara an sich?

This is a film in black comedy fiction style


that is packed humorously and actually. The
love relationship of a couple of different
nations gives rise to the interpersonal conflict
between them. At first, the identity difference
is interesting, until at some point, the core
value of each others identity emerges and
requires an attitude of tolerance. This film is
not only about the political conflict between
Israel and Arab which is still a dynamic issue
and the main theme of the film, but it can also
be used to read the issue of multiculturalism
in the diaspora phenomenon of nations. An
important question at this time is, can we
accept the other as the other in an sich way?

Bunga Siagian

Rafi Shor adalah seorang sutradara dan


penulis naskah filem yang tinggal di TelAviv. Ia lulus terpuji dari jurusan Kajian
Filem di Minshar for Art. Semenjak
kuliah ia telah menulis, menyutradarai,
menyunting, dan memproduksi beberapa
filem pendek. Killing Time adalah
filem kelulusannya, dan telah diputar
di beberapa festival filem internasional.
Sehari-harinya Rafi menulis naskah
untuk filem panjang pertamanya.

68 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Rafi Shor: Biography (32) is a director


and screenwriter living in Tel-Aviv. In
2014 He graduated film studies with
honors at Minshar for Art, during
that time he had written, directed,
edited and produced several short films.
Killing Time, his diploma film, was
screened in film festivals around the
world. These days Rafi is writing the
script for his debut feature film.

PROGRAM KOMPETISI INTERNASIONAL 5 & 6: TANAH TERBAYANG

KUASA DAN NARASI KECIL


Syaiful Anwar

Kini keterbukaan informasi menawarkan kebebasan yang luar biasa dalam


memandang realitas-realitas yang demikian beragam dan dapat ditinjau dari
berbagai perspektif. Jadi, membaca ulang makna suatu peristiwa sungguh
penting dilakukan.
Bila dalam beberapa hal, produksi informasi melalui ranah global digital
begitu banyak bermunculan dari dan oleh warga, adalah hal yang sangat perlu
untuk kian mendorong kebebasan informasi, yang akan menjadi kekuatan besar
dalam demokratisasi. Tak dimungkiri, modal, kekuasaan dan politik seringkali
mencederai makna realitas. Misalnya, memengaruhi informasi yang acap kali
menguntungkan beberapa pihak dengan menyengsarakan lebih banyak orang.
Keterkaitan inilah yang harus diminimalisir, dan tentu dibutuhkan pemikiran
dari semua elemen masyarakat. Bukan hanya terpusat, peran-peran dari sektor
kecil pun mesti turut membantu merealisasikannya. Itu sebabnya, studi-studi
di berbagai bidang untuk memproduksi informasi mutlak diperlukan guna
mengimbangi atau mereduksi berbagai kepentingan mereka. Demokratisasi
kita belum sempurna, sistem kita masih cacat. Namun, dengan perlawanan
macam ini, kita semua bisa mengemban tugas menyempurnakan sistem itu
dengan turut berpartisipasi dalam masalah yang luas dan mendalam tentang
sistem sosial macam apa yang ingin kita bentuk.
Dalam sejarahnya, sinema seringkali mengangkat ihwal di atas, yakni satu
dekonstruksi dari penguasa tertentu, khususnya, dalam memandang realitas.
Bukan lagi sekedar sebagai muatan informatif, medium ini mampu
mengeksplorasi estetiknya untuk memunculkan kemungkinan makna dari
representasi suatu peristiwa. Formatnya yang elastis memungkinkannya untuk
mengubah narasi sesuai dari sang penguasa sehingga dapat dibaca kembali
sebagai sebuah narasi baru. Kemungkinan inilah yang akan timbul melalui
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |69

medium paling canggih ini. Jadi, dengan siasat macam ini, diharapkan skandal,
manipulasi, intrik, dan ilusi yang dipraktikkan oleh penguasa, dapat terbaca
oleh publik. Memang bukan cara mudah, bagaimanapun, permasalahan macam
ini sudah mengakar sedemikian rupa, kecerdikan cara mereka memainkan
skema dan menutupi borok, terjalin rapi dan sistematis. Jadi, yang dinanti
adalah cara dan usaha kita dalam menyikapi makna dari realitas tersebut demi
menunjukkan bahwa kita perlu yang berbeda bila tidak ingin terus disetir
oleh penguasa.
Empat filem dalam program ini bisa merepresentasikan narasi di atas.
Dengan kemampuan estetisnya, filem-filem ini melampaui batasan naratif untuk
memunculkan kemungkinan baru yang dapat dibaca ulang: tentang gambargambar yang menjadi puitik, dan dengan siasat estetik, sekuen-sekuennya
dapat dibahasakan untuk melihat bagaimana struktur atau sistem membentuk
masyarakat, tidak dengan cara lain; juga tentang cerita-cerita aktual yang
hadir melalui ruang-ruang personal, sebagai upaya kembali mempertanyakan
identitas, nan berpeluang untuk dibaca lebih jauh ketimbang hanya masalah
naratifnya sendiri. Hubungan antara teks dan adegan menunjukkan adanya
semacam perlawanan dan eksistensi dari protagonisnya di lingkup sosial
sehingga dapat menegaskan keabsahan posisinya sendiri terhadap sebuah
sistem; dan yang terkahir, tentang usaha mencoba kembali kemungkinan
untuk mengetengahkan bagaimana praktik-praktik para penguasa, dekontruksi
politik, dan semacamnya dapat ditelaah melalui sinema. Ilusi tentang realitas
dan peristiwa revolusi di tataran politik maupun representasi media, sering
kali menyesatkan orang banyak.
Persoalannya, sekarang adalah bukan mencipta atau dicipta. Akan tetapi,
pandangan satu arahlah yang harus dihilangkan. Dalam pandangan satu arah,
kita semua harus mendukung, menerima. Bukan itu! Kita seharusnya bisa juga
menjadi bagian untuk sebuah kebijakan yang dapat membuat kita menjadi
lebih baik. Seperti dilantunkan dalam A Barca:
Oh bumiku, rumahku!
Oh tanahairku, tanah tumpah darahku!
Oh tanahairku, tanah tumpah darahku!
Bagimu kan kuserahkan mataku.
Kan kusembahkan jiwaku padamu.
Kan kusembahkan jiwaku padamu.
Demi hari penentuan, hari saat mu milikku.

70 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

INTERNATIONAL COMPETITION PROGRAM 5 & 6: IMAGINED LAND

POWER AND SMALL


NARRATIVES
Syaiful Anwar

Today, information openness offers an incredible freedom to view diverse


realities and look through various perspectives. To re-read an events meanings
is then an important thing to do.
Information production from and by the people in the global digital
realm in some ways flourish. It is necessary then to push further the freedom
of information that will become an immense force in democratization. It is
not to be denied that capital, power and politics often harm the meanings of
reality. They, for instance, influence information to benefit certain parties and
distress many more people. It is a linkage that must be lessened, which requires
all societal elements contribution in ideas. Even small sectors have a role to
help realize it too. Thats why studies in various areas to produce information
is necessary to counter or reduce those harmful interests. Our democratization
is not yet perfect, our system is flawed. But in a resistance, we all carry a task
to perfect that system by participating to figure out together what kind of
social system we aspire to.
In its history, cinema raises the subject above, in a deconstruction of a
certain domination, especially in viewing reality.
The medium then becomes not only an informative content but also
an aesthetical exploration to allow possibilities of meaning of an events
representation. The elastic format allows it to alter a narrative from its origin
to new interpretations. It is this possibility that will emerge through this most
sophisticated medium. With such strategy then, it is hoped that scandals,
manipulations, intrigues, and illusions imposed by those in power can be read
by the public. It is far from easy since such problems take root deeply in the
society, aggravated through cunning ways in schemes and defects cover-up.
What to expect then is our ways and attempts to treat meanings of reality to
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |71

show that we need something different and that those in power should not
dictate us.
Four films in this program can represent the narrative above. With their
aesthetic capabilities, these films go beyond the narrative boundaries to launch
new possibilities for a re-reading: about images that become poetic, of which,
with aesthetic strategy, the sequences can be expressed to see how a structure
or system shapes a society in a certain way; and also about actual stories coming
through personal spaces, as an effort to question identity, which is possible
to be read further than its own narrativity. The relationship between the text
and the scene shows a sort of resistance and the protagonists existence in a
social sphere so as to affirm their position toward a system; and, lastly, about
how another possibility to represent the practices of political rulers, political
deconstruction, etc can be conducted in cinema. Illusions of reality and events
on political levels and media representation indeed have misled many people.
The question now is not to create or to be created. It is the one way view
that must be eliminated. In one way view, we all must support, receive. No!
We must be able to be a part of policy to better ourselves, just like chanted
in A Barca:
O my earth, my home!
O my land, my native land!
O my land, my native land!
To you I give my eyes
I will dedicate my soul to you
I will dedicate my soul to you
For the day of reckoning, the day youre mine.

72 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

IC
6 / 25 AUGUST, IFI, 15.00 & 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

A BARCA
Pablo Briones (Switzerland)
Country of Production Switzerland
Language Portuguese
Subtitle English
21 minutes, Color, 2014
brionespablo@gmail.com

R itme keseharian dari sebuah kota, di


mana sekuen antargambar, alih-alih untuk
terlihat informatif, sekuen dari potonganpotongan ini lebih memperlihatkan narasi
sebuah puisi. Gerak mesin, gerak tubuh
yang mendinamis, membentuk satu rutinitas
kehidupan kota saat gerak-gerak tersebut
bermigrasi dari satu wilayah ke wilayah
lainnya. Namun, apa yang ditinggalkannya?
Wilayah kota yang sunyi senyap dan lesu
aktivitas. Bangunan-bangunan itu kini
tanpa keriuhan untuk sementara waktu,
sambil menunggu para penghuninya kembali.
Nyanyian mendengungkan sisi lainnya dari
kota itu. Gerak burung dan rutinitas pekerja
menjadi lanskap monoton yang sudah terpola
dan terbentuk dengan konstan secara terus
menerus dan berulang-ulang.

The daily rhythm of a city, where the sequence


of inter-picture is not seen informative, but
shows the narrative of a poem more instead.
The motion of the machine and the dynamic
gesture form a routine of city life when the
motion migrates from one area to another.
However, what does it leave behind? The area
of town that is silent and less activity. Those
buildings are now without the noise for the
time being, while waiting for their occupants
to come back. The singing voices its other side
of that town. The bird movement and workers
routine become monotonous landscape that
has been patterned and formed constantly,
continuously and repeatedly.

Syaiful Anwar

Pablo Briones adalah sutradara,


penyunting, dan juru kamera yang tinggal
di Jenewa. Lahir tahun 1983 di Argentina.
Ia sarjana Produksi Filem dari Universitas
Nasional Cordoba tahun 2005, dan
gelar master Penyutradaraan Filem dari
ECAL / HEAD (2014). Sekarang sedang
berkolaborasi menyutradarai sebuah filem
workshop dari mahasiswa-mahasiswa S2
di EPFL, HEAD (Haute cole dArt et
Design de Genve).

Pablo Briones: is a film director, film


editor and cinematographer based in
Geneva, Switzerland. Born in 1983 in
Tucumn, Argentina. Bachelors degree
in Film Production at Universidad
Nacional de Crdoba (2005). Masters
degree in Film Direction at ECAL
/ HEAD (2014). He is currently codirecting a film workshop for master
students of EPFL at HEAD, Haute
cole dArt et Design de Genve.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |73

IC
5 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 & 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 15.00 / 18+

I AM THE PEOPLE/
JE SUIS LE PEUPLE
Anna Roussillon (France)
Country of Production France
Language Arabic
Subtitle English
111 minutes, Color, 2014
karim@hautlesmainsproductions.fr

Memanfaatkan media televisi dan suratkabar,


narasi filem ini membangun saat-saat yang
menggentingkan melalui apa yang ditampilkan
media. Semua media saat itu terfokus untuk
membingkai peristiwa demonstrasi revolusi
di Mesir. Tayangan-tayangan berita pun
menyeruak hingga pelosok kampung nun
jauh dari peristiwa demonstrasi. Filem ini
menawarkan pembacaan kembali makna
politik. Sepanjang narasinya, kita tergugah
oleh keakraban hubungan antara sutradara
dan keluarga petani, serta masyarakat
setempat yang difilemkan, selama detik-detik
menyaksikan peristiwa penggulingan dan
pemilihan pemimpin baru negeri itu. Diskusi
politik antarwarga acap kali merupakan
kejadian mengharukan seiring tayangan berita
revolusi di televisi. Harapan dan kekecewaan
warga, inilah tegangan naratif dari filem ini.

Using the medium of television and newspaper,


this film narrative builds the critical moments
through what the media display. All media at
that time focused on framing the demonstration
event of the revolution in Egypt. The news
shows penetrated even the remote villages far
away from the demonstration event. This film
offers a re-reading of the political meaning.
Throughout the narrative, we are moved by
the close relationship between the director,
a farmer family and local community who
were filmed during watching the moment of
the event of the overthrow and the election
of a new leader of that country. The political
discussions between residents often become a
touching event along with the news programs
about revolution on television. Hope and
disappointment of citizens are the emphases
of the film.

Syaiful Anwar

Anna Roussillon (1980, Beirut) besar


di Kairo lalu pindah ke Paris. Ia belajar
filem di Lussas (Prancis). Lulusan
Sastra Arab ini mengajar di Lyon,
menerjemahkan teks-teks literatur,
berpartisipasi dalam siaran radio, dan
juga mengerjakan bermacam proyek
filem yang berhubungan dengan Mesir.
I am the People adalah dokumenter
panjang pertamanya.
74 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Anna Roussillon (1980, Beyrouth)


grew up in Cairo, then moved to Paris.
She studied filmmaking in Lussas
(France). Graduated from Arabic, she
teaches in Lyon, translates literary
texts, participates in radio programs,
while working on various film projects
in relation with Egypt. I am the people is
her first feature documentary.

IC
6 / 25 AUGUST, IFI, 15.00 & 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

I DANCE WITH GOD


Hooshang Mirzaee (Iran)
Country of Production Iran
Language Kurdish
Subtitle English
40 minutes, Color, 2013
hooshangmirzaee@gmail.com

Mungk in, inila h ca ra getir mengena i


perjuangan bertahan hidup dari seorang
yang memiliki kekurangan fisik serta berasal
dari minoritas budaya dan asal-usul. I Dance
With God mengisahkan upaya tokoh utama
melampaui norma umum tentang kelebihan
dan kemampuan manusia lewat kekurangan
dan keterbatasan raganya. Melalui rangkaian
gambar-gambar naratif, filem memperlihatkan
sikap riang dan optimis si tokoh dalam
menolak inferioritas, berkukuh meyakini
pandangan moralnya yang khas terhadap
lingkungannya. Bingkai-bingkai bidikan tak
luput memotret secara cukup detil sekuensekuen yang memperlihatkan keteguhan hati
tokoh utama. Narasi sekuensial tersusun sebagai
gambaran humanis dari sejarah personalnya,
menghantarkan irama baru tentang semangat
dan harapan akan masyarakat tempatnya hidup.

Perhaps, this is the bitter way of the struggle


for survival of a person who has a physical
deficiency and comes from minority culture
and origin. I Dance with God tells the story
about the main characters effort which
exceeds the general norm about the humans
advantage and capability through his physical
deficiency and limitation. Through a series of
narrative images, the film shows the cheerful
and optimistic attitude of the character in
rejecting inferiority, insisting on believing
his typical moral view on his surroundings.
The frames of the shot do not miss capturing
in quite detail the sequences that show the
courage of the main character. Sequential
narrative is composed as a humanist depiction
of his personal history, delivering a new
rhythm about the spirit and hope of the
community where he lives.

Syaiful Anwar

Hooshang Mirzaee lahir di Iran tahun


1961. Ia belajar di IRIB Film Center
jurusan melukis. Filem pertamanya,
Requiem for Soil, adalah yang
membuatnya dikenal sebagai salah
satu sutradara muda penting di Iran,
sedangkan Mine memenangkan banyak
penghargaan internasional termasuk
Gold Remi di Amerika Serikat.

Hooshang Mirzaee was born in Iran


in 1961. He studied at the IRIB Film
Center and then took up painting.
With his first film Requiem for soil he
became recognized as one of the most
important young directors in Iran while
with Mine he won many international
awards including the Gold Remi in
the USA.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |75

IC
6 / 25 AUGUST, IFI, 15.00 & 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

THE CORRAL AND THE WIND /


EL CORRAL Y EL VIENTO
Miguel Hilari (Bolivia)
Country of Production Bolivia
Language Spanish, Aymara, German
Subtitle English
55 minutes, Color, 2014
miguelhilari@gmail.com

Sutradara mengeksplorasi ruang-ruang


personal untuk merefleksi pencariannya akan
masa lalu asalnya. Ruang-ruang tersebut kini
berubah jadi simbolik belaka dari ingatannya,
dan menjadi sesuatu yang semu tatkala ia tidak
bisa menempatkan dirinya secara alamiah di
situ. Mengelaborasi tempat dan waktu dari
generasi muda dan tua, narasi penutur seakan
membaca ulang sejarah personal yang telah
diciptakannya sendiri. Tiap bidikan kamera
terasa asing ketika mendekat dan menyua
kerabat-kerabatnya. Perekaman itu bukan
lagi cara berkomunikasi dengan mereka
semata-mata, melainkan tentang bagaimana
upaya pembuat filem ini dalam menemukan
kembali identitasnya.

The director explores personal spaces to reflect


his search for his past origin. Those spaces
now change into just symbolic of his memory
and become something false when he cannot
put himself naturally there. Elaborating
the place and time of the younger and older
generations, the speakers narration seems
like rereading the personal history that he
has created himself. Each camera shot feels
strange when it approaches and greets his
relatives. That recording is no longer a way
to communicate with them only, but about
the filmmakers attempt in rediscovering
his identity.

Syaiful Anwar

Miguel Hilari lahir tahun 1985 dan


tinggal di kota La Paz. Ia bekerja
dalam bermacam moda produksi filem
dokumenter panjang dan berkolaborasi
sebagai produser, fotografer, dan
penyunting dalam banyak filem pendek
Bolivia, termasuk Juku (Sundance
2011) dan Primavera (Berlin 2015).
Ia percaya pada sinema berbiaya rendah
dan kebebasan yang raya. El Corral y el
Viento adalah filem pertamanya.

76 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Miguel Hilari (1985) is a La Paz based


filmmaker. He works in different
production areas in feature films and
collaborates as producer, photographer
and editor on Bolivian independent
short films, including Juku (Sundance
2012) and Primavera (Berlin 2015).
He believes in cinema made with low
budget and great freedom. El Corral y
el Viento is his first film.

PROGRAM KOMPETISI INTERNASIONAL 7 & 8: JEJAK

KILAS BALIK KESADARAN


Andrie Sasono
Sinema memungkinkan manusia untuk melakukan penyeberanganpenyeberangan, baik itu lintas disiplin maupun seperti yang hendak diulik
dalam program ini. Program ini mengulik kemungkinan sinema yang dapat
membawa kita menembus ruang dan waktu, demi melakukan misi pelacakan
atau, lebih jauh lagi, menjadi medium jejak-jejak sebuah peristiwa, atau
seseorang, atau sekelompok orang, untuk tersimpan menjadi arsip yang dapat
dilihat lagi di masa yang akan datang.
Misi ini mendorong sinema sebagai medium untuk menangkap yang sudah
hilang atau sesuatu yang sudah terkubur lama dan kemungkinannya untuk
menjadi arsip baru yang isinya merupakan usaha-usaha untuk meramal masa
depan. Disinilah sinema, sebagai medium, menemukan fungsinya yang tidak
sekadar membingkai sebuah aksi atau peristiwa, tetapi juga menguak waktu dan
efeknya terhadap peristiwa yang menyelimutinya. Usaha ini dimungkinkan,
karena sinema adalah medium yang bisa mengolah, berkelindan, dan saling
menyusupi dengan arsip.
Arsiplah yang memungkinkan sinema melakukan pelacakan atas jejak-jejak
yang lalu itu. Arsip menjadi bahan bagi sinema untuk bekerja membingkai
peristiwa yang oleh waktu mengalami missing link. Sangat mungkin bagi manusia,
melalui sinema, mengisi missing link itu dengan satu makna baru, atau justru
bermain-main guna memicu perspektif kita dalam proses memaknai, termasuk
juga pengalaman sensori kita saat mata menangkap visual-viusal yang muncul
bergantian di layar. Selain itu, narasi kecil dan personal yang disikapi dengan
cara yang sama, didayakan sebagai cara untuk menarik memori, untuk dapat
direkonstruksi, baik secara inventif atau bahkan melankolis.
Filem-filem dalam program ini mengemas dramatiknya dengan latar yang
berkisar tema jejak melalui elaborasi arsip dan konsep narsi yang dimaksud
di atas. Tentang perjuangan seorang tua melawan rezim fasis di Italia,
tentang penelusuran arsip milik seorang ayah, tentang kisah pilu seorang ibu
bersuamikan seniman dan beranak empat, serta tentang narasi lirih seorang
pelacur yang mengalami tekanan, baik oleh masyarakat maupun kekuatan kapital.
Masing-masing filem akan membawa kita melihat bagaimana narasi-narasi
kecil dan personal, ataupun yang kolektif, mampu menjadi bahan bagi kita
untuk berbicara tentang sebuah zaman (masa lalu, dan bahkan masa depan),
untuk memahami sebuah rezim, sebuah konstruksi sosial, atau sekadar untuk
mendekatkan diri dengan orang tua kita di rumah.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |77

INTERNATIONAL COMPETITION PROGRAM 7 & 8: TRACES

FLASHBACK OF SENSES
Andrie Sasono
Cinema allows humans to do crossings, whether its disciplinary crossing
or something about to be reviewed in this program. This program explores
cinematic possibilities to take us away across time and space in an investigative
mission or, even further, to create a medium of traces of event, or someone,
or a group of people, so as to compose an archive that can be looked at again
in the future.
The said mission drives cinema as a medium to capture whats lost or long
buried and its possibility to become a new archive which contains attempts to
predict the future. It is here that cinema, as a medium, discovers its function
to not only frame an action or event but also reveal time and its effect toward
the event enveloping it. This enterprise is possible because cinema is a medium
that can process, interweave, and infiltrate archives.
It is archive that allows cinema to follow traces of the past. Archive becomes
a material for cinema to work and frame an event that experiences missing
links thanks to time. It is very possible for human beings, through cinema,
to fill up those missing links with new meanings, or even to play with our
perspectives in the process of creating new meanings, and with our sensory
experience as our eyes capture visuals appearing alternately on the screen.
Also, little, personal narratives treated similarly are empowered as another way
to recollect memory, to be reconstructed, both inventively and melancholic.
The films in this program represent a dramaturgy with a setting that
surrounds traces as the theme, through archival elaboration and narrative
concept mentioned above. These are about an old mans struggle against an
Italian fascist regime, an investigation over a fathers archives, a sad story of
a mother with an artist husband and four children, and a quiet narrative of
a prostitute who is repressed by the society and capital forces. Each film will
take us to see how little, personal narratives, or collective ones, can become
materials for us to speak of an era (in the past or even the future), to understand
a regime, a social construct, or just to be closer with our parents at home.

78 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

IC
7 / 23 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 / 18+

LITTLE GIRL WITH IRON FIST /


BIMBA COL PUGNO CHIUSO
Luca mandrile, Claudio di Mambro &
Umberto Migliaccio (Italia)
Country of Production Italia
Language Italian
Subtitle English
59 minutes, Color, 2014
luca.mandrile@katamail.com

Filem ini seolah mengisahkan seorang


gadis mungil yang mengangkat kepalan
tangannya yang besar setinggi-tingginya
untuk menghadapi rezim fasis yang berkuasa
di negaranya kala itu. Sejarah dalam kisah itu
tidak tampil melalui serangkai gambar faktual
bergaya kearsip-arsipan yang klise. Digubah
ke dalam bentuk animasi petualangan
sang gadis mungil, narasi di sini bukanlah
dongeng, melainkan sejarah tentang satu masa
kelam Italia yang direpresentasikan ulang
dari kisah hidup seorang peremuan penuh
semangat dan optimis, bernama Giovanna
Marturano, seorang aktivis anti fasis, pejuang
gerilya, dan feminis.

This film tells the story about a little girl


who raised her big fist as high as possible as
if she faced the fascist regime that ruled her
country at that time. The history in that story
does not appear through a series of factual
images in clichd, archival style. Composed
in the form of adventurous animation of
the little girl, the narrative here is not a
tale, but the history of a dark period of Italy
that is represented from the life story of an
impassioned and optimistic woman, Giovanna
Marturano, an anti-fascist activist, guerrilla
fighter and feminist.

Andrie Sasono

TODOMODO adalah sebuah


grup sutradara filem independen
Italia yang terdiri dari Claudio
Di Mambro, Luca Mandrile dan
Umberto Migliaccio.

TODOMODO is a group of Italian


independent filmmakers, composed by
Claudio Di Mambro, Luca Mandrile
and Umberto Migliaccio.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |79

IC
8 / 23 AUGUST, GOETHEHAUS, 15.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+

GRACE PERIOD
Caroline Key, KIM Kyung-Mook
(USA/Republic of Korea)
Country of Production Republic of Korea
Language Korean
Subtitle English
62 minutes, Color, 2014
carolinejinkey@gmail.com

Satu komunitas perempuan sedang di ambang


penggusuran. Area tempat mereka tinggal
sekaligus aktivitas melayani pelanggan akan
segera dihancurkan untuk pembangunan pusat
perbelanjaan. Kamera membingkai area prostitusi
dan merekam suara-suara tentang harapan dan
keluh kesah mereka. Sementara area tersebut
tampil sebagai satu tempat khusus dalam balutan
warna pink bernuansa sensual, pembingkaian
secara kontras juga memperlihatkan aktivitas
siang hari yang berbeda dalam demonstrasidemontrasi mereka menuntut persamaan
hak. Filem ini adalah sebuah potret tentang
sekelompok perempuan terpinggirkan, sebuah
tempat hidup yang tersingkirkan, dan harapanharapan akan keadilan untuk dapat tinggal dan
tetap bekerja yang terabaikan.

A female community is on the verge of


eviction. The area where they live and at
the same time serve the customers will
soon be demolished for the construction of
a shopping center. The camera frames the
prostitution area and records the sounds of
their hope and complaint. While that area
appears as a special place in sensual shades
of pink, the framing in contrasting way also
shows the different daytime activity in these
womens demonstrations demanding the equal
rights. This film is a portrait of a group of
marginalized women, a place to live that is
excluded and neglected hopes for justice to
be able to stay and keep working.

Andrie Sasono

Caroline Key adalah seniman Amerika


keturunan Korea tinggal di New
York. Ia menerima gelar MFA dari
Californian Institute of the Arts dan
partisipan di Whitney Independen
Study Program. Kim KyungMook
lahir di Busan, Korea Selatan tahun
1985. Kim adalah sutradara filem Korea
termuda yang karyanya menembus
Festival Filem Venezia dengan filem
ketiganya, Stateless Things.

80 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Caroline Key is a Korean-American


artist based in Brooklyn, NY. She
received her MFA in Film/Video from
the California Institute of the Arts
and was a participant in the Whitney
Independent Study Program. KIM
KyungMook was born in Busan, South
Korea, in 1985. He was the youngest
Korean filmmaker ever to be accepted
into the Venice Film Fesival with his
third feature film, Stateless Things.

IC
8 / 23 AUGUST, GOETHEHAUS, 15.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+

DARK MATTER
Karel Doing (The Netherlands)
Country of Production The Netherlands
Language English
Subtitle 20 minutes, Color, 2014
karel@doingfilm.nl

Sutradara di filem ini adalah pengarang kedua


dari genus subjek pertama, yaitu ayahnya
sendiri. Ia ingin mencari tahu sekaligus
menyigi kehidupan sang ayah yang enggan
terbuka mengenai biografi masa lalunya.
Berdasarkan sekumpulan materi fotografi
alam dan berbagai lanskap yang acak dan tak
tertandai dari arsip pribadi sang ayah, sang
putera menyusun versinya sendiri mengenai
salah satu faset dari kehidupan penurunnya.
Di sini, sutradara bermain-main dengan
teknik prosesi f ilem yang menghasilkan
bentuk, warna dan ritme yang berkelindan
dengan arsip-arsip foto yang ia gunakan.
Hasilnya, sebuah eksperimen visual tentang
masa lalu dan negeri-negeri jauh yang
merekatkan kembali memori tentang ayahnya
yang sudah dikubur dalam-dalam.

The director of this film is the second author


of the genus of the first subject, namely his
own father. He wants to find out and at the
same time investigate the life of his father
who is reluctant to open the biography of his
past. Based on a set of natural photographic
material and various random and unmarked
landscapes from his fathers personal archives,
the son compiles his own version of one of the
facets of his fathers life. Here, the director
plays with the film procession technique that
produces the shape, color and rhythm that are
intertwined with the photo archives that he
uses. As a result, there is a visual experiment
of the past and the distant lands that glues
back the memory about his father which has
been deeply buried.

Andrie Sasono

Karel Doing (1965, Australia) berkarya


dengan lintas media melalui proses
partisipatif. Ketertarikannya berfokus
dengan mencari kemungkinan yang
ada untuk menghubungkan urban dan
alam, musik dan angka, passion dan
rasio, analog dan digital. Dia tinggal
dan berkarya di London. Tahun 1989,
dia membangun Lab, Studio n yang
juga merupakan perusahaan produksi
filem independen.

Karel Doing (1965, Australia) uses


cross-media and participatory on his
works. His main interest is to reconnect
seemingly implausible links: urban/
nature, music/maths, passion/ratio,
analogue/digital. He lives and works in
London. In 1989 he started Studio n,
an artist run lab for Super8 and 16mm
filmmaking, now operating as an
independent film-production company
specialised in artist films.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |81

IC
7 / 23 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 / 18+

TIME AND PLACE,


A TALK WITH MY MOM
Martijn Veldhoen (The Netherlands)
Country of Production The Netherlands
Language Dutch
Subtitle English
34 min, Color, 2014
theuszwakhals@li-ma.nl

Martijn Veldhoen mewawancarai ibunya


untuk mengingat kisah hidupnya dari pertama
kali menjalin hubungan dengan suaminya
(seorang pelukis), perpisahan mereka, serta
dedikasinya dalam merawat anak-anaknya
sendirian. Time and Place, A Talk with My
Mom adalah sebuah upaya rekonstruksi
dari relasi geneologis antara sutradara dan
narasumber, sekaligus merupakan ungkapan
cinta sang putra untuk ibunya. Dokumenter
biografis ini dirancang dan dibentuk kembali
melalui teknologi representasi visual sebagai
kenyataan baru terhadap sepenggal kisah
mengenai tempat dan waktu dari narasi
kecil orang biasa.

Martijn Veldhoen interviews his mother


to remember the story of her life from the
first time she had a relationship with her
husband (a painter), their separation and
her dedication in taking care of her children
alone. Time and Place, A Talk with My
Mom is a reconstruction attempt of the
genealogical relation between the director
and the interviewee, as well as an expression
of love from a son to his mother. This
biographical documentary is designed and
reshaped through the visual representation
technology as a new reality of a piece of
story about the time and place of the small
narrative of ordinary people.

Andrie Sasono

Martijn Veldhoen (lahir di


Amsterdam, 1962) menempuh
pendidikannya di Rietveld Academie
di Amsterdam. Semenjak pertengahan
1980an, dia aktif dalam banyak proyek
multidisiplin, mulai berkarya degan
video tahun 1993 dan memamerkannya
di Montevideo Gallery. Antara tahun
2000-2003, dia berkarya seni media, di
antaranya Ministry of Transport, Public
Works and Water Management. Karya
video dan filemnya mendapat nominasi
Golden Calf di Netherlands Film
Festival, Utrecht.

82 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Martijn Veldhoen (b.1962 in


Amsterdam) studied painting at the
Rietveld Academy, Amsterdam. From
1986 onwards, he was involved in
many interdisciplinary projects. He
started working with video in 1993 and
exhibited his first video installations at
the Montevideo Gallery (now LIMA).
In 2000-03, he worked on several
monumental media-art commissions,
amongst others for the Ministry of
Transport, Public Works and Water
Management. His video installations/
films were nominated twice for a
Golden Calf at the The Netherlands
Film Festival in Utrecht.

PROGRAM KOMPETISI INTERNASIONAL 9 & 10: BATAS

KAMERA TUBUH
RELASIONAL
Ugeng T. Moetidjo

Kini, dunia, sebagaimana yang kita bayangkan dan pahami, sudah tak punya
ketinggiansebuah puncak yang lazim kita dakimeniru para perintis
pendahuludengan susah payah. Para seniman tahu itu, dan mungkin juga
khalayak awam. Dunia telah menjadi menara Babel yang runtuh. Maka,
relasi kita dengan pelbagai sesuatu yang kita anggap suatu nilai, sudah tidak
berlangsung secara vertikal melainkan hanya horisontal. Di situ, di keruntuhan
itu, dalam mekanisme produksi gambar-gambar atau jepretan-jepretan kamera,
waktu dan tempat pun punah karena semua itu dapat terjadi tanpa terikat lagi
pada saat-saat dan ruang-ruang tertentu.
Dengan kenyataan seperti itu, saat ini kamera telah menjadi bahasa. Ia
menjadi bahasa melalui organ-organ tubuhnya sendiri yang berhubungan
dengan tubuh-tubuh lain yang mendekat atau didekatinya. Hanya melalui
dan bersama dengan kelengkapan aparatusnyalah tubuh-tubuh yang lain itu
terbahasakan dan terungkapkan sebagai suatu fenomen identifikasi yang bisa
kita tanggapi. Dalam posisi kamera yang menjadi bahasa, ia mentransformasikan
seluruh relasinya dengan tubuh-tubuh yang lain demi dapat menarasikan
dirinya sendiri. Bertolak dari titik ini, selanjutnya kamera adalah narasi itu
sendiri, seiring dengan mata mekanisnya yang terfungsi sebagai reseptor, kini
lewat hukum digital.
Tetapi Kuleshov telah mengajarkan bahwa dengan kamera yang tiada pun,
pengenalan akanbaginya, sejarah-sejarah, dan bagi kita cukupnarasinarasi saja, juga bisa dibentuk selama terdapat relasi dengan materi-materi di
depannya yang menyerahkan fungsi-fungsi mereka. Dengan demikian, kamera
bukan sesuatu yang dibayangkan melainkan sesuatu yang niscaya fungsional
sekalipun wujud fisiknya tidak ada. Efek Kuleshov adalah penolakan atas
tubuh/identitas yang terproduksikan oleh kamera reduktif, yang sementara
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |83

itu, ia merupakan tanggapan balik terhadap bentuk-bentuk kamera sosial


yang menjadi bagian dari politik representasi. Namun, Vertov mengembalikan
metode bagaimana sejarah/narasi yang mengidentifikasi itu dapat ditempatkan
kembali secara cukup mutlak. Merekam adalah putusan tentang siapa dan apa
yang direkam, yang menentukan hakikat representasi. Jarak antara metode
kedua praksis di atas, dalam sinema dokumenter, adalah apa yang bisa kita
namakan sebagai kenyataan.
Ternyata, sampai waktu ini, kita masih tidak terbebaskan untuk mengenali
identifikasi-identifikasi lain, kecuali melalui apa yang ditangkap oleh kamera.
Unsur terbarukan untuk mengatasi kerumitan relasi reduksionis itu adalah
dengan menjadikan kamera/aparat itu sendiri berkata-kata seperti seseorang
yang mengucapkan sesuatu. Bahasa atau kata-kata yang diperkenalkan
kamera adalah kata-kata/bahasa yang terus berupaya melenyapkan batas antar
identifikasi raga aparat dan raga yang dihadapinya.
Keenam filem di program ini menyajikan suatu prinsip-prinsip mengenai
pandangan kita akan kenyataan yang lebih baru sejauh representasi kamera
memberikan fungsi kepada dirinya sendiri sebagai bahasa.

84 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

INTERNATIONAL COMPETITION 9 & 10: BOUNDARY

CAMERA BODY
RELATIONAL
Ugeng T. Moetidjo
Now, the world, as we imagine and understand, has not the altitudea peak which
customarily we climbfollowing the predecessorswith difficulty. The artists know
it, and also may the audiences. The world has become the collapsed tower of Babel.
Thus, our relationships with lots of things we consider as a value is not taking place
vertically, but only horizontally. There, in those downfall, in the images production
mechanism or camera shots, time and place are extinct because it can occur without
being bound again at times and certain spaces.
By that fact, this time camera has become a language. It became a language
through its own organs associated with other bodies approaching or approached. Only
through and together with its apparatus completeness, voices are given to other bodies
and expressed as a phenomena of identification that we can respond. In the position
where camera becomes language, it transforms the entire relation with other bodies in
order to narrate its own sake. Starting from this point, next the camera is the narrative
itself, along with its mechanical eye functioned as receptors, now via the law of digital.
But Kuleshov has taught that comprehension onfor Kuleshov, histories, but for
usnarratives even could also be formed in the absence of camera as long as there is
a relation with materials in front of us giving over their functions. Thus, the camera is
not something imagined but something that is necessarily functional though without
physical manifestation. The Kuleshov effect is a rejection of the body/identity which
are produced by reductive camera, in the meantime, it is a feedback to the forms of
social camera that are part of politics of representation. However, Vertov restored the
method of how that identifying history/narrative can be placed back in quite absolute.
Recording is the decision about who and what is recorded, which determines the nature
of representation. The distance between methods of both praxis mentioned above, in
documentary cinema, is what we might call a reality.
Apparently, until this time, we are still not liberated to recognize other identifications,
except through what is captured by the camera. Renewable element to overcome the
complexity of that reductionist relation is by making the camera/apparatus itself speaks
like someone who says something. Language or words which are introduced by camera
are the words/language that continues to obliterate boundaries between identification
of the apparatus body and the body it faced.
Six films in this program deliver some principles concerning our view of newer
reality as far as camera representation provides a function to itself as language.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |85

IC
9 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 & 27 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+

state-theatre #5 BEIRUT
Daniel Ktter & Constanze Fischbeck (Germany)
Country of Production Germany
Language English, Arabic, French
Subtitle English
65 minutes, Color, 2014
dankoet@gmail.com

Menyusuri ruang-ruang sebuah kota yang


memulihkan diri dari luka-luka perang di
masa lalu, kamera menghantarkan senandung
one take shoot yang singkat namun mengesan
dari seorang tamu pejalan. Sebuah ode kecil
tentang Libanon dari batu-batu bangunan,
serpihan, reruntuk, dan belukaran Beirut hari
ini. Juga citra-citra hagiografis dari penguasa,
dan sepotong keluh tentang sinema. Kamera
dan kota saling menyapa dalam upaya keduanya
untuk secara toleran memahami keterbatasan
masing-masing. Kamera mengelak hasrat untuk
sembarang menyergap karena komunikasi
antarkeduanya sama-sama dibangun atas dasar
simpati antara sang pejalan dan tempat-tempat
yang disambanginya. Maka, sang toleran di
situ tak merasa perlu menghenti langkah
sekadar untuk menarik subjek-subjek demi
menawarkan sejenis aksentuasi.

Walking along the spaces of a city which


recovers from the wounds of war in the past,
the camera delivers the hum of short but
impressive one take shoot of a pedestrian
guest. It is a small ode about Lebanon from the
building stones, debris, ruins and shrubbery
of Beirut today, also the hagiographic images
of the ruler and a piece of complaint about
cinema. The camera and the city greet each
other in their effort to understand their
limitations tolerantly. The camera avoids
any desire to attack carelessly because the
communication between both of them is
equally built on the basis of sympathy between
the pedestrian and the places he visits. Thus,
the tolerance there does not feel the need to
stop the steps just to attract the subjects in
order to offer a kind of accentuation.

Ugeng T. Moetidjo

Constanze Fischbeck belajar desain


di Art Academy Berlin-Weissensee.
Ia adalah manajer di Thalia Theater
Hale periode 2000-02. Sedangkan
Daniel Ktter adalah seniman yang
mengembangkan pertunjukan-video
trilogi Arbeit und Freizeit di periode
2008-11. Karya-karya mereka telah
dipamerkan di berbagai festival dan
galeri seni.
86 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Constanze Fischbeck studied state


design at the Art Academy BerlinWeissensee, and she was the facilities
manager at Thalia Theater Halle from
2000-02. Daniel Ktter is an artist
who developed the video-performance
trilogy Arbeit und Freizeit between
2008-11. Their works have been
exhibited at various festival events and
art galleries.

IC
9 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 & 27 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+

EL JUEGO DEL ESCONDITE / HIDE AND SEEK


David Muoz (Spain)
Country of Production Spain
Language Arabic, Spanish
Subtitle English
23 minutes, Color, 2015
hibrida@hibrida.es

Kamera mengejar dan mencoba menangkap


realitas yang menahan diri dan sembunyi.
Lewat permainan dekonstruksi atas realitas
dan realitas, filem ini merekonstruk konsepsi
tentang makna representasi. Rekonstruksi
di sini menjadi cara termungkin untuk
menggugah klaim kebenaran dan sangkalan
di balik realitas sejati yang tak terlihat, kecuali
di kedalaman relung dari hubungan saling
tarik-ulur itu. Jalan pembongkarannya adalah
memerangkap frame agar tidak berpura-pura
menyajikan dan melegitimasi kenyataan, dan
membiarkan realitas representasional dikejar
peluang kebenarannya. Konsekuensinya,
realitas di situ sangat mungkin menyangkal
pembingkaian dan menciptakan motif bagi
naratifnya sendiri sehingga membuat kamera
harus menyerah. Satu pertanyaan tajam
tentang hak ikat dokumenter dan ironi
tentang realitas dari kamp pengungsian
perang saudara Suriah.

The camera chases and tries to capture reality,


but the reality refrains and hides. Through
the game of deconstruction of reality and
reality, this film reconstructs the conception
about the definition and the meaning of
representation. Reconstruction here becomes
the most possible way to arouse the claim of
truth and denial behind the invisible true
reality, except in the depths of that push-andpull relationship. The way to dismantle it is
by trapping the frame so as not to pretend
to present and legitimize the reality, and
let the representational reality pursued by
its chance of truth. As a consequence, the
reality there is very likely to deny the framing
and creates the motives for its own narrative
that makes the camera has to give up. It is
one sharp question about the nature of the
documentary and the irony of the reality of
the refugee camp of Syrian civil war.

Ugeng T. Moetidjo

David Muoz adalah sutradara


yang telah mendapat lebih dari
100 penghargaan, diantaranya dari
DOK Leipzig dan Festival Filem
Internasional Guanajuato, untuk
filemnya, Another Night On Earth.

David Muoz is a filmmaker with more


than 100 awards, including from DOK
Leipzig and Best Feature Documentary
Award at Guanajuato International
Film Festival for his film Another
Night On Earth.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |87

IC
9 / 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 & 27 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+

THE PRIVATE LIFE OF FENFEN


Leslie Tai (USA)
Country of Production China/USA
Language Mandarin
Subtitle English
28 minutes, Color, 2013
leslie.tai@gmail.com

Video mengingatkan eksistensi seorang tak


dikenal kepada sesamanya meski tidak semua
orang berminat merekam diri atau terekam
untuk diperlihatkan kepada umum. Tapi
tidak Fenfen. Ia membuat rekaman video
harian tentang pandangan pribadinya untuk
dikomunikasikan dengan orang-orang di
lingkungannya. Fenfen lantas mengenali
kamera video sebagai jurnalisme personal yang
menghubungkan performativitas eksistensinya
ke pikiran orang banyak di ruang-ruang
publik mereka. Fenfen menyusun narasinarasi versinya sendiri dan menawarkan
sik ap terbuk a dirinya dengan sengaja
melemparkan katastrop dari kehidupan
pribadinya. Biografinya lalu tidak hanya
menjadi miliknya sendiri, tapi juga milik
bersama orang lain yang telah menontonnya
dan mengundang sentimen mereka.

Video becomes a medium that reminds the


existence of unknown person to others.
But not everyone is interested in recording
themselves or to be recorded to be shown to
the public. That does not happen to Fenfen,
though. He made daily video recordings of
himself to express his entire personal views
and complaints to be communicated with
people in his surroundings. Fenfen learns and
then recognizes the video camera as a personal
journalism that connects the performativity of
his existence into the minds of many people
in their public spaces. Fenfen arranges his
own version of narratives and offers his
open attitude by deliberately throwing the
catastrophe of his personal life. His biography
is not only his then, but it also belongs to
others who have watched it and it invites
their sentiments.

Ugeng T. Moetidjo

Leslie Tai adalah sutradara Amerika


turunan Cina yang bertempat tinggal
di San Francisco, California. Setelah
menamatkan kuliahnya di UCLA,
Leslie pindah ke Cina tahun 2006.
Di sana, ia terlibat dengan dunia
dokumenter bawah tanah Cina sebagai
murid dari Wu Wenguang, sosok
pendiri gerakan Dokumenter Baru
Cina.
88 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Leslie Tai is a Chinese-American


filmmaker hailing from San Francisco,
California. After graduating from
UCLA with a B.A. in Design|Media
Arts, Leslie moved to China in 2006.
There, she earned her filmmaking
chops in the underground Chinese
documentary world as a student of Wu
Wenguang, a founding figure of the
New Chinese Documentary Movement.

IC
10 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 & 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.30 / 18+

MUTASALILUN / INFILTRATORS
Khaled Jarrar (Palestine)
Country of Production Palestine/United Arab Emirates/Lebanon
Language Arabic
Subtitle English
69 minutes, Color, 2015
sami@idiomsfilm.com

Momen kamera adalah keterlibatan aktualnya


dengan peristiwa-peristiwa genting hari ini.
Filem ini hendak mengesankan dampak dari
kekerasan politik pemisahan dan pembedaan
warga negara lewat kamera sebagai saksi
mata yang mengikuti detik-detik upaya para
pelintas blokade. Inilah rekaman mutakhir
yang memasuki beragam sisi dari upaya-upaya
mengatasi politik teritori yang menghasilkan
tembok pemisah dan para penyeberang di Tepi
Barat. Suatu sinema protes dari perspektif
pertama yang menunjukkan bahwa kamera
tak sekadar memotret momen, melainkan
kamera itu sendiri adalah momen yang
menyatakan salut penghormatan bagi mereka
yang terdera, namun tetap memiliki berbagai
cara untuk menghadapinya. Naratif menuntun
pernyataan metaforikal di akhir penutup.

The camera moment is its actual engagement


with critical events today. This film wants
to give the impression of the impact of
the political violence of separation and
differentiation of citizens through the camera
as a witness which follows the seconds of
the attempt of the people who cross the
blockade. This is the sophisticated recording
which enters the various sides of the efforts to
overcome the territorial politics that generates
the separation wall and the crossers in the
West Bank. It is a cinema of protest from
the first perspective which shows that the
camera does not just take pictures of the
moment, but the camera itself is a moment
that states salute of respect for those who are
punished, but still have various ways to deal
with it. The narrative leads the metaphorical
statement at the end of the film.

Ugeng T. Moetidjo

Lahir di Jenin tahun 1976. Khaled


Jarrar tinggal dan berkarya di
Ramallah, Palestina. Menyelesaikan
pendidikan Desain Interior di
Universitas Politeknik Palestina (1996)
dan mendapat gelar sarjana Seni Visual
dari International Academy of Art
Palestine (2011). Dokumenternya,
Infiltrators memenangkan penghargaan
pada perhelatan Dubai International
Film Festival ke-9.

Born in Jenin in 1976, Khaled Jarrar


lives and works in Ramallah, Palestine.
Completed his education in Interior
Design at the Palestine Polytechnic
University (1996) and later graduated
from the International Academy of Art
Palestine (2011). His The Infiltrators,
received awards at the 9th Annual
Dubai International Film Festival,
confirming his importance as a
filmmaker in the international scene.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |89

IC
10 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 & 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.30 / 18+

TOM AND JERRY


Ekkaphob Sumsiripong
(Thailand)
Country of Production Thailand
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
5 minutes, Color, 2014
kenghappyjoyjoy@gmail.com

Suatu humor aneh tentang reproduksi mekanis


atas waktu yang terselubung dalam bayangbayang representasional, di mana citra-citra
saling mengejar dirinya sendiri dan alat
mengejar alat yang lain. Siklus reproduksi di
situ teroperasi melalui dialektika tiga media
yang mendurasikan tiga lapis perekaman
sebagai representasi di dalam frame di dalam
frame dan di dalam frame. Kejar-mengejar
melibatkan mekanisme perangkat analog
dan digital, yang dibatasi oleh pembingkaian
itu, telah menciptakan korosif waktu dari
masing-masing sifat ringkih media, jarak,
dan fenomen yang dihasilkannya. Sebuah
upaya yang mengingatkan lorong waktu dari
tradisi percobaan modern dan kontemporer
atas cahaya, mesin perangkat, dan efek-efek
tangibelitas-nya.

This is a strange humor about mechanical


reproduction of time which is shrouded in
representational shadows, where images
chase each other and a tool chases another
tool. The reproductive cycle there is operated
through the dialectic of three media which
give duration to the three layers of recording
as representation in the frame, in the frame
and in the frame. Those chases which involve
the mechanism of analog and digital devices,
which are limited by the framing, have created
a time corrosive of each of the fragile nature
of the media, distance and the phenomenon
it produces. It is an effort that reminds the
time tunnel of the tradition of modern and
contemporary experiments of light, device
machine and its tangibility effects.

Ugeng T. Moetidjo

Ekkaphob Sumsiripong (Bangkok,


1980) membuat seri karya video
pendek. Ia meraih gelar M.F.A
jurusan filem dan video dari California
Institute of the Arts, Valencia, dan juga
gelar B.F.A jurusan desain produk dari
Universitas Rangsit, Thailand.

90 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Ekkaphob Sumsiripong (Bangkok,


1980) makes series of short video
works. He received an M.F.A. in film
and video from California Institute
of the Arts, Valencia, and a B.F.A.
in product design from Rangsit
University, Thailand.

IC
10 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 & 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.30 / 18+

BETWEEN HERE AND THERE / ENTRE ICI ET L-BAS


Alexia Bonta (Belgium)
Country of Production Belgium
Language French
Subtitle English
48 minutes, Color, 2014
CBA (Centre de lAudiovisuel Bruxelles)
promo@cbadoc.be

Perempuan tak pernah menjadi renta atau lupa


saat berurusan dengan rambut mereka. Rambut
menderaikan kembali serpih-serpih ingatan
dari setiap perempuan bersama karakter dan
ekspresi wajah mereka saat gunting memangkas.
Sebagian naratif personal mereka keluar seperti
igauan biografis di siang hari, dan sebagian
bermotif optimis. Kata-kata dikenang dari masa
lalu maupun ditempatkan kembali saat ini, dari
sejarah domestik perempuan-perempuan ini
selain kegusaran atas jender dan dominasi. Filem
yang coba bertema menggapai waktuyaitu, di
sini dan di sanayang melenyap dan mungkin
terungkap dari para protagonisnya, ini sangat
terandal pada kamera. Sebuah medium yang
mengundang masalah etika merekam secara
diam-diam di ruang publik sebagai pertanyaan
tentang intimidasi terhadap identitas-identitas
subjek yang terperangkap dalam frame.

Women never become old or forget when


dealing with their hair. The hair sheds back
the pieces of memory from every woman
along with their characters and their facial
expression when the scissor cuts. Parts of
their personal narratives come out like
biographical delirium in the daytime and
some of them have optimistic motives. The
words are remembered from the past and
placed back today, of the domestic history
of these women besides rage of gender and
domination. This film that tries to have a
theme of time reaching-that is, here and therewhich vanishes and may be revealed from
the protagonists, relies heavily on camera. A
medium that invites ethical problem secretly
records it in public spaces as a question about
intimidation of the identities of the subjects
who are trapped in the frame.

Ugeng T. Moetidjo

Alexia Bonta lahir di Brussels tahun


1982. Ia lulus dari Institut Seni Media
dan Antropologi, keinginannya
menjadi pembuat filem berawal saat ia
merekam gambar-gambar pertamanya
bersama kakeknya. Karya kelulusannya
meraih Jury Award di festival filem
Oberhausen tahun 2008.

Alexia Bonta was born in Brussels in


1982. Graduated from the Institute of
Media Arts, and in Anthropology, her
desire to become a filmmaker began
when she shot her first images with her
grandfather. Her end-of studies film
received the Jury Award in Oberhausen
2008.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |91

PROGRAM KOMPETISI INTERNASIONAL 11 & 12: INTIMITAS

KEDEKATAN MEDIUM
SEBAGAI KEDEKATAN
REALITAS
Akbar Yumni

Menurut Jacques Rancire, seni memiliki kemampuan menerobos segala


bentuk norma dan tatanan untuk menciptakan dunia baru. Baginya, Sinema
adalah kemampuan untuk mengangkat hal-hal yang tampak tak bermakna
(the splendor of insignificant) dalam keseharian menjadi realitas yang penting.
Kamera mampu merekam objek dan detail keseharian sekaligus menyingkap
realitas itu sendiri pada saat yang bersamaan. Di sinilah dimensi politis dan
revolusioner seni, khususnya sinema, yakni kemampuannya untuk menghadirkan
cara pandang baru atas objek-objek keseharian.
Ada dua modus yang bisa disandarkan pada karya-karya kompetisi dalam
tema Intimitas ini. Pertama, bagaimana sinema sebagai keintiman bersama
realitas manusia. Kedua, sinema sebagai keintiman pada medium itu sendiri.
Keduanya bisa serentak saling menegaskan satu sama lain. Keintiman tersebut,
pada dasarnya, adalah untuk mengangkat satu realitas baru atau dunia
baru sebagai bagian yang menerobos pengalaman paling intim manusia yang
selama ini keterjangkauannya belum dirayakan, atau sebagai kemungkinankemungkinan baru dalam memandang realitas manusia dan medium.
Beberapa karya, dalam program ini, yang memiliki modus keintiman
pada realitas manusia, ialah yang menerapkan semacam praktik perekaman
yang menghasilkan ketersingkapan akan sebuah realitas di mana identitas
manusia yang tak diakui dan terlupakan tersembunyi. Sinema menjadi semacam
kesetiaan terhadap realitas, untuk menyibak realitas itu sendiri dan dengan
caranya sendiri, sehingga di balik realitas itu tersibak satu kehidupan identitas
manusia yang tersembunyi dan terlupakan. Kesetiaan sinema terhadap realitas
manusia juga sanggup menjangkau wilayah-wilayah traumatis. Ketika tidak
ada sumber daya dokumentatif sebagai kesaksian, sinema masih sanggup
menggunakan sumber daya memori di masa lalu. Fungsi perekaman oleh
92 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

sinema, dalam konteks ini, bukan lagi menyibak realitas untuk menyatakan
dirinya sendiri, tetapi lebih merupakan kepanjangan dari persepsi terhadap
realitas yang dihasilkan dari bayangan-bayangan ilusi memori yang traumatis
manusia di masa lalu.
Menurut Walter Benjamin, sesuatu yang tak terlihatterutama, oleh mata
yang kurang berpengalamanoleh kamera dihadirkan melalui penguraian dan
pemisahan segmen-segmen tertentu, lantas menyambungkannya kembali secara
baru. Dengan demikian, jarak kamera (atau, pengguna kamera) dan realitas
adalah jarak yang tidak alamiah, tetapi merupakan jarak yang sanggup meresapi
jaringan situasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini, mata kamera merupakan
penyingkapan baru dari mata alamiah yang terdapat dalam keseharian kita.
Sinema membuat hubungan antara kita dan realitas menjadi berpotensi lebih
intim daripada kesadaran sehari-hari kita.
Dalam sinema, medium kamera sangat dimungkinkan penggunaannya
pada situasi yang paling intim. Kamera seakan jadi perayaan dari pengalaman
personal, sebagai pernyataan diri dari pembuatnya. Keintiman kamera dan
realitas bisa tak terduga sebelumnya pada objek-objek yang dipilih beserta
penyingkapannya. Akan tetapi, hal itu diurai menjadi pengalaman yang
berbeda di dalam sinema. Pada penggunaan lainnya, kamera bisa jadi adalah
medium yang tidak ajek terhadap realitas, tetapi tak lantas mengurangi nilai
informasi yang ingin disampaikannya sembari memberikan penegasan bahwa
perekaman adalah pengalaman personal dalam memandang realitas. Kedua
model penggunaan ini adalah ihwal keniscayaan jarak antara (pemegang) kamera
dan realitas yang bisa menjadi cair, bukan sesuatu yang bersifat representasional
semata. Sementara di sisi yang lain, keintiman terhadap penggunaan medium
itu sendiri, yang dimaksud program ini, adalah ihwal pengolahan visual
melalui penggunaan warna monokromatik untuk menghadirkan image untuk
menyatakan dirinya secara mandiri.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |93

INTERNATIONAL COMPETITION PROGRAM 11 & 12: INTIMACY

MEDIUM INTIMACY AS
REALITY INTIMACY
Akbar Yumni

According to Jacques Rancire, art has the capacity to break through all norms
and orders to create a new world. To him, cinema is an ability to highlight
the splendor of insignificant of the daily life to make it a significant reality.
Camera is able to record daily objects and details while revealing a reality
simultaneously. Here are arts revolutionary and political dimensions, especially
that of cinema, namely its capacity to present new perspectives on daily objects.
Two modes can be attached to these works of competition with Intimacy
as the theme. First, cinema as a common intimacy of human reality. Second,
cinema as intimacy to the medium itself. Both can affirm each other at the
same time. These intimacies basically aim to raise a new reality or new world
as a part that barges into the most intimate human experiences, of which the
reachability has yet to be celebrated; or as new possibilities in viewing the
reality of humans and medium.
Several works in this program, having an intimacy mode to humans
reality, apply a sort of recording practice that results in the revealed reality
where unacknowledged and forgotten human identities are hidden. Cinema
becomes a kind of fidelity to reality that reveals the reality on its own way,
making visible a human identitys life that has been hidden and forgotten.
The cinemas fidelity to human reality can also reach the realms of trauma.
When documentary resources as a testimony is absent, the cinema can still
use the memory resources of the past. The cinemas recording function in this
case is not to disclose reality to assert itself anymore but to be an extension
of a perception toward reality resulted from the illusive shadows of traumatic
human memory of the past.
According to Walter Benjamin, something unseenespecially by untrained
eyesby the camera is presented through a breakdown and separation of
94 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

certain segments which then are put together again in a new way. Therefore,
the distance between the camera (or the camera user) and reality is an unnatural
one but one that is able to penetrate into a network of situation as deep as
can be. In this case, the cameras eye is a new revelation of the natural eye in
our daily life. Cinema provides a potential of intimacy for our relations with
reality, more so than our own daily realization.
In cinema, it is very possible to use the camera medium in a most intimate
situation. Camera then becomes a celebration of personal experience, as the
filmmakers self assertion. The intimacy between camera and reality can be
unexpected based on the selected objects and their revelation. However, it is
unfolded to a different experience in cinema. In another use, camera may be a
medium which is not unfaltering toward reality. But this does not necessarily
reduce the informative value to be delivered all the while confirming that
recording is a personal experience in viewing reality. Both these models of use
are a matter of distance necessity between the camera (holder) and a reality
that can be fluid, not just something representational. Meanwhile, on the other
side, the intimacy toward the medium use itself, intended by this program,
is a matter of visual processing through the use of monochromatic colors to
present an image that asserts itself independently.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |95

IC
11 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 25 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 18+

ONE BLUE BIRD


Hasumi Shiraki (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
15 minutes, Color, 2015
whitewood_chan@yahoo.co.jp

F i lem in i mer upa k a n ek sper imentasi


bentuk yang menjukstaposisi perlakuan
spontan dan metaforik atas elemen-elemen
repre senta siona l ny a . L ay a k ny a mata
burung yang sedang memandang segala
peristiwa, kamera tak sekadar menghasilkan
gambar-gambar yang logika maknanya
bersinambungan, akan tetapi substansial
meskipun tampak berdiri sendiri. Dalam
satu bidikan (shot) gambarnya, kamera
diperlakukan tanpa disiplin apa pun, termasuk
membalikkan posisi tangkapan visualnya
menjadi 45 derajat. Filem ini memang bukan
berangkat dari abstraksi konsepsi tertentu,
tetapi lebih bertolak dari personalitas
penggunaan medium yang bisa melahirkan
banyak kemungkinan perlakuan terhadap
realitas atau representasi dan bentuk itu sendiri.

This film is an experimental form which


juxtaposes the spontaneous and metaphoric
treatment of its representational elements.
Like the birds eye that was looking at all
events, a camera does not only produce
images of which the logic of the meaning
is sustainable, but also substantial even
though it seems to stand alone. In one shot
of image, the camera is treated without any
discipline, including reversing the position
of the visual capture to 45 degrees. This
film indeed does not set out from a specific
conception abstraction, but is rather based
on the personality of the use of a medium
that can produce a lot of possibilities of the
treatment of reality or representation and
the form itself.

Akbar Yumni

Seniman dan pembuat filem. Karyakaryanya bersifat abstrak dan pribadi.


Berpusat pada pengalaman jiwa yang
kuat dan lingkungan sosial serta
individu. Kini sedang mengerjakan
karya-karya ekspresif dari sudut
pandang sutradara sendiri. - Shiraki
Hasumi

96 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

A film maker and also an artist. Make


film works for show of myself, and the
works are abstracts. Therefore it have
strong mind and telling to the social
from individual situation. Recently
started other expression works from
film makers view. - Shiraki Hasumi

IC
11 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 25 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 18+

FRACTIONS
Guillaume Mazloum
(France)
Country of Production France
Language French
Subtitle English
45 minutes, B/W, 2014
mazloum.guillaume@gmail.com

The Fractions adalah sebuah karya tentang


pecahan-pecahan pernyataan diri dan ekspresi
sang pembuat sebagai modus eksperimental
dalam sinema. Terdiri dari tujuh pecahan,
masing-masingnya diawali pernyataan tekstual
yang lalu diartikulasikan secara visual, seraya
dengan itu setiap sekuen membentuk otonomi
naratifnya sendiri kendati mereka dapat
berakhir sebagai satu kesatuan menyeluruh.
Mengekspektasi visualisasi monokromatik,
narasi filemis karya ini seakan mengalihkan
r e a l it a s p a d a m at r a y a n g l a i n , y a n g
mengindikasikan pengalaman-pengalaman
personal sang pembuat ke dalam mediumnya
laksana sang Autor. Ketujuh sekuen dengan
beragam bingkaian representasi yang sekadar
sehari-hari ternyata telah menemui sejumlah
unsurnya yang unik, ganjil, dan tak terduga
yang dapat terbawakan sebagai metafora yang
saling berasosiasi dengan teks-teks tentang
absurditas dan eksistensialisme.

Fractions is a work about fractions of statement


and expression of the filmmaker himself as an
experimental modus in cinema. Consisting of
seven fractions, each is preceded by a textual
statement which is then articulated visually,
while at the same time, every sequence
forms its own autonomy of the narrative
although they may end up as a one whole unit.
Expecting the monochromatic visualization,
this works filmic narrative seems to divert the
reality to another dimension, which indicates
the personal experiences of the filmmaker
into his medium just like the Author. The
seven fractions, with various representation
frames of daily life, apparently have met a
number of their unique, odd and unexpected
elements that can be brought as a metaphor
which associates reciprocally with texts about
the absurdity and existentialism.

Akbar Yumni

Guillaume Mazloum lahir 31 Juli


1981 adalah pembuat filem asal
Prancis. Ia mengelola situs web, www.
guillaumemazloum.net

Guillaume Mazloum was born on July


31, 1981, is the French film maker. He
manages the web site, located www.
guillaumemazloum.net

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |97

IC
11 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 25 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 18+

ENDLESS, NAMELESS
Mont Tesprateep (Thailand)
Country of Production Thailand
Language No dialogue
Subtitle No Subtitle
23 minutes, B/W, 2014
ptesprateep@gmail.com

Filem ini bersandar pada bayang-bayang


ingatan sebagai dekonstruksi pengalaman
pribadi lewat efek-efek kemediuman dan
pengadeganan. Empat lelaki berseragam
mi l iter sa l ing meng ungk apk a n relasi
antarmereka di taman tropis nan mitis sebagai
dunia terintim mereka yang diselubungi
stereotipe kode-kode militer dunia ketiga.
Sinema, pada karya ini, dibayangkan berasal
dari sepasang mata tertutup, yang tersisa ialah
pelbagai bentuk memori. Bersama sifat-sifat
medium, reka naratif memberi peluang akan
artifisialitas dari ketidakmungkinan konsepsi
dan proyeksi dokumenter. Yang membekas
dari situ ialah memori, sumber daya terakhir
sinema yang bernaung di kemungkinan
medium, yang serentak itu juga merupakan
kemungkinan akan manusia.

This film is based on the shadows of memories


as deconstruction of personal experience
through the effects of medium and miseen-scene. Four men in military uniform are
revealing the relations between in a mythical
tropical garden as their most intimate world
veiled by stereotype of military codes of
the third world. Cinema, in this work, is
imagined comes from a pair of closed eyes, the
things remains are various forms of memorys.
Tied with the character of the medium, the
narrative conjecture provides opportunity for
artificiality of the impossibility of a conception
and projection of documentary. The thing that
imprints is the memory, the last resource of
cinema, which takes shelter in the possibility
of the medium, which at the same time is
also a possibility of human.

Akbar Yumni

Mont Tesprateep (6 November,


1978) adalah seniman dan pembuat
filem yang tinggal di Bangkok. Dia
mendapat gelar MA di bidang seni
dari Chelsea College of Arts, London.
Tahun 2004, filmnya, Endless, Nameless
memenangkan penghargaan Thai Short
Film Festival di Bangkok, dan telah
dipamerkan di festival-festival filem
internasional.

98 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Mont Tesprateep (6 November, 1978)


is an artist and a filmmaker based in
Bangkok. He holds an MA in Fine Art
from Chelsea College of Arts, London.
In 2014, his film Endless, Nameless
won the top prize at the Thai Short
Film Festival in Bangkok and the film
has also been exhibited at international
film festivals.

IC
12 / 24 AUGUST, IFI, 19.00 & 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 / 18+

FLOR AZUL
Raul Domingues (Portugal)
Country of Production Portugal
Language Portuguese
Subtitle English
70 minutes, Color, 2014
rauldsousa@gmail.com

Bertolak dari perekaman sehari-hari sebuah


desa yang dikunjungi semasa panen jagung
dan zaitun, bingkai naratif dikonsistensikan
dalam bidikan zoom in atas atas subjeksubjeknya. Cara mendef inisikan realitas
yang memuaikan detil ini mengesankan
penarikan diri pemandang terhadap pelbagai
perjumpaan dengan kenyataan setempat.
Menghindari realitas sebagai keseluruhan,
objektifikasi tersebut tak menghilangkan
hal definitif dari pengamatan sosial yang
hendak disampaikannya. Perlakuan khusus
atas medium ini menunjukkan keintiman
pembingkaian yang aspek spontanitasnya
justru menandai intensitas dari ekspresi
pribadi yang membentuk konstruksi baru.
Keintiman medium menjadi keintiman
realitas itu sendiri yang menandai sinema
sebagai relasi medium dan ketaksaan akan
manusia.

Originating from day-to-day recording on


a village visited during the corn and olive
harvests, the narrative frame is adjusted in
the zoom-in shot on the subjects. The way
to define this reality of which the detail is
expanded suggests the withdrawal of the
spectator from various encounters with
the local reality to just project its aspects.
Avoiding reality as a whole, the objectification
in that distance still does not eliminate the
definitive thing of social observation that
wants to be delivered. The approach of this
medium shows the effort of the framing
intimacy of which the spontaneity aspect
marks the intensity of personal expression
that forms the new construction instead.
The intimacy of the medium becomes the
intimacy of reality itself which then marks the
cinema as a medium certainty and ambiguity
of human.

Akbar Yumni

Raul Domingues
(Leiria - Portugal, 1991). Lulusan
Escola Superior de Artes e Design
di Caldas da Rainha jurusan gambar
dan suara.

Raul Domingues
(Leiria - Portugal, 1991)
Degree in Sound and Image at Escola
Superior de Artes e Design in Caldas
da Rainha

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |99

IC
12 / 24 AUGUST, IFI, 19.00 & 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 / 18+

THE NATION
Pieter Geenen (Belgium)
Country of Production Belgium
Language English, Armenian, Russian
Subtitle English
50 minutes, Color, 2014
distribution@argosarts.org

Semacam modus Homi K . Bhabha


tentang identitas manusia yang bersifat
liminalitas, melalui bidikan jauhnya, filem
ini meniscayakan lanskap alam yang hening
sebagai ruang antara di balik ketersembunyian
dan keterisolasian sejarah, politik, dan
budaya yang diidentif ikasikan sebagai
bangsa. Representasi visual dalam warna
kelam filem ini seperti menempatkan diri ke
dalam sebuah dunia yang mengimajinasikan
kembali suatu temaram eksistensi geopolitik
dari suara-suara manusia dan sedikit aktivitas
untuk menghidupkan kembali memori dari
reruntuhan identitas itu. Kilas-balik ini
seakan nyanyian yang ingin menegaskan dan
menegosiasikan pertanyaan: adakah ingatan
tentang bangsa bisa dilupakan begitu saja?

A kind of Homi K. Bhabha modus of human


identity that has the quality of liminality,
through its long shot, this film ensures the
mountainous landscapes and silent nature
as the interspace behind the hiddenness and
isolation of the history, politics and culture at
a time and place which is identified as a nation.
Almost without the presence of human in it,
the visual representation in the dark color of
this film seems to put itself into a world that
reimagines a vagueness of geopolitical existence
of human voices and a little activity to revive
the memory of the remains of that identity. As
if this serene flashback becomes a song about
the ambiguity of images that wants to confirm
and negotiate itself with the recognition beyond
its own reality. Is there a memory of the nation
that could be forgotten so easily?

Akbar Yumni

Pieter Geenen tinggal dan berkarya di


Brussels. Karyanya telah ditayangkan
di Festival Filem Internasional
Rotterdam, Festival Filem New York,
Festival Filem Internasional Hong
Kong, Images Festival Toronto,
docLisboa, EXiS Festival Seoul,
FID Marseille, dan lain-lain. Tahun
2011, ia dianugerahi penghargaan
utama Fondation Henri Servais dari
ArtContest Art Prize di Belgia.

100 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Pieter Geenen lives and works in


Brussels. His work has been presented
o.a. at the International Film Festival
Rotterdam, New York Film Festival,
Hong Kong International Film
Festival, Images Festival Toronto,
docLisboa, EXiS Festival Seoul, etc.
In 2011 he was rewarded the first prize
Fondation Henri Servais from the
ArtContest Art Prize in Belgium.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |101

CURATORIAL PROGRAM

TERJAGA
DARI ILUSI HARMONI
Budi Irawanto
Kendati Asia Tenggara banyak dipuji sebagai kawasan yang relatif stabil,
sesungguhnya tidak pernah kebal dari ketegangan dan konf lik. Konf lik
bisa meruyak dari mana pun dan dipicu oleh beragam musabab. Mulai dari
pergesekan antaretnis atau antaragama dalam tataran lokal hingga klaim
teritorial dalam skala regional, hanyalah sekadar contoh bentangan konflik yang
terjadi di kawasan Asia Tenggara. Dampak konflik malahan telah melampaui
batas-batas negara sebagaimana bisa disimak dalam kasus pengungsi, pekerja
ilegal, penyelundupan obat terlarang dan senjata. Konflik memang sesuatu yang
endemik dalam masyarakat apa pun. Apalagi, dalam masyarakat multikultur,
konflik justru sebuah keniscayaan yang musykil ditampik. Tentu saja, di sini
konflik tak harus semata-mata dipahami secara stereotipikal sebagai kekerasan
yang berdarah-darah, sebagaimana imaji yang kerap didedahkan oleh media
massa. Konflik juga bisa dimaknai sebagai manifestasi dari tegangan yang
lahir dari relasi kuasa yang tak setara dan bersemayam dalam masyarakat.
Selama ini, konflik di kawasan Asia Tenggara kerap disembunyikan di
bawah pengagungan nilai harmoni. Para elite politik di kawasan ini, kita
tahu, senantiasa mengkhotbahkan pentingnya menjunjung harmoni yang
didaku sebagai karakter masyarakat Timur (Asia) sembari mengingkari
terjadinya ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat. Dalam tataran relasi
antarnegara di kawasan ini, keharusan menjaga harmoni itu dikukuhkan
dalam prinsip non-intervensi yang sesungguhnya melanggengkan kondisi
tak adil yang justru menopang bekerjanya kekuasaan yang timpang.
Akibatnya, harmoni berubah menjadi ilusi yang disebarluaskan ke massa
dan menjadi topeng bagi beraneka bentuk diskriminasi, eksploitasi, serta
marginalisasi kelompok rentan (minoritas) dalam masyarakat.
Sementara itu, media massa arus utama cenderung mengemas konflik
sebagai berita yang dilambari keyakinan, bahwa bad news is a good news
(berita buruk itu berita baik) atau if it bleeds, it leads (jika berdarah-darah, ia
jadi terdepan). Akibatnya, konflik hanya dilihat dari sisinya yang spektakular
dan memiliki nilai jual. Nyaris tak ada niatan dari media untuk menggali
lebih dalam akar konflik dan dampak yang ditimbulkannya. Malahan, media
massa justru ikut mengobarkan konflik dan meluaskan eskalasinya agar
terus-menerus bisa menambang berita darinya. Kendatipun media massa
102 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

seakan menguak konflik yang bersemayam dalam masyarakat, ia tetap


terperangkap dalam nilai harmoni karena kerap menempuh jalan pintas
dalam menggambarkan penyelesaian konflik yang berliku. Gagasan tentang
jurnalisme damai (peace journalism) kerap kali berubah sekadar menjadi
prosedur teknis dalam peliputan yang terkesan menghindari pihak-pihak
yang terlibat konflik dan medi sekadar berdiri sebagai penonton di luar
gelanggang konflik.
Filem Marah di Bumi Lambu (The Raging Soil, 2014), karya Hafiz
Rancajale, dan War Is a Tender Thing (2013), karya Adjani Arumpac,
merupakan eksemplar menarik sebagai bentuk tanggapan puitik sekaligus
politik terhadap konf lik yang terjadi di dua negara di Asia Tenggara
(Indonesia dan Filipina). Alih-alih sekadar merekam konf lik secara
telanjang di Bima, Indonesia, dan Mindanao, Filipina, Hafiz dan Adjani
justru mencari kemungkinan bahasa visual yang lebih kontemplatif untuk
mencerap kompleksitas konflik secara subtil, seraya memasuki dimensi
spasial dan lanskap emosional mereka yang berada di pusaran konflik.
***
Marah di Bumi Lambu memilih warna hitam-putih yang menyugesti penonton
pada nilai dokumentasi, sekaligus menjadikannya sebentuk memori mengenai
konflik yang barangkali pelan-pelan mulai memudar dalam ingatan banyak
orang. Di samping itu, dengan warna hitam-putih, dokumenter ini tidak
berpretensi untuk membuat konflik tampak spektakular serta sensasional. Yang
mencuat justru kekelaman konflik dan buramnya nasib masyarakat kecil yang
senantiasa berposisi sebagai korban. Pilihan warna hitam-putih juga memberi
aksentuasi bahwa konflik itu melibatkan orang-orang yang sederhana seraya
mengguratkan garis tegas siapa sesungguhnya pihak yang benar dan bersalah.
Harus diakui, Hafiz tak merekam langsung pembubaran paksa yang
dilakukan aparat keamanan terhadap aksi penolakan pembebasan tanah yang
berakhir dengan jatuhnya tiga korban jiwa, kecuali potongan gambar (footage)
kabur yang sepertinya berasal dari dokumentasi seorang amatir. Karenanya,
selain mengandalkan memori keluarga korban yang diwawancarainya,
Hafiz menggunakan benda-benda yang memiliki jejak konflik yang telah
lewat. Umpamanya, melalui sepotong baju dengan lubang tertembus peluru,
seorang ibu mengenang anaknya yang meninggal dalam aksi menentang
pembebasan tanah oleh perusahaan tambang. Begitu pula, ada adegan yang
cukup panjang pada salah satu reruntuhan bangunan dari tiga bangunan
dengan dinding yang terbakar. Benda-benda mati itu seakan menjadi saksi
yang tak kalah lantangnya menyuarakan kekerasan konflik yang telah terjadi.
Dalam Marah di Bumi Lambu, penonton menemukan relasi antara
pembuat filem dan subjeknya jauh dari kesan hirarkis. Alih-alih menginterogasi
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |103

subjeknya (seperti yang banyak dilakukan reporter TV swasta di Indonesia),


pembuat filem justru membangun relasi yang hangat. Bahkan, ketika
wawancara berlangsung dan tiba-tiba hujan turun, pembuat filem dan
subjeknya berlarian bersama mencari tempat berteduh. Momen itu
sengaja ditangkap oleh kamera. Relasi yang cair dan hangat itu menjadikan
dokumenter ini tidak hanya terhindar dari tendensi eksplanatoris, tetapi juga
mampu memberi ruang yang leluasa bagi subjek untuk mengungkapkan
pikiran maupun emosinya. Dengan kata lain, subjek bukan sekadar menjadi
instrumen bagi pembuat filem untuk menyatakan gagasannya.
Ketimbang memilih alur kronologis dan gaya investigatif dalam mendekati
persoalan yang diangkat, pembuat filem Marah di Bumi Lambu justru
bertolak dari serpihan ingatan keluarga korban. Tentu saja, ingatan bisa
sangat selektif dan kadangkala kurang bisa diandalkan akurasinya. Akan
tetapi, sebuah insiden yang memakan korban, apalagi jika korban adalah
bagian dari anggota keluarga, musykil lenyap dari ingatan. Yang tertangkap
oleh kamera lantas ialah ketegaran keluarga korban meski mereka tidak
pernah melupakan insiden yang telah merenggut nyawa anggota keluarganya.
Penonton juga menyaksikan kondisi kampung yang tak banyak berubah
setelah konflik yang memakan korban itu berlalu. Di atas permukaan,
semua seakan berjalan normal, namun luka yang ditinggalkan konflik itu
sesungguhnya tak sepenuhnya pulih.
Sementara itu, War Is a Tender Thing, dengan struktur yang terkesan
fragmentaris, justru menegaskan watak konflik yang telah mengoyak tanah
dan keluarga sang pembuat filem. Dokumenter yang merupakan bagian
kedua dari trilogi tentang Mindanao yang diniatkan oleh pembuat filemnya
ini, merekam dari dekat keluarga Adjani Arumpac, yang terbelah akibat
konflik yang tak berkesudahan di Mindanao. Filem pertama Adjani, Walai
(2006), mengisahkan hidup perempuan Muslim di Mindanao, sedangkan
dokumenter keduanya ihwal Mindanao, War Is a Tender Thing, mengajak
penonton untuk melihat lebih intim lagi dampak konflik di Mindanao
pada keluarganya. Agaknya, ada keprihatinan yang tak terputus dari
Adjani terhadap persoalan di Mindanao semenjak filem pertamanya yang
diproduksi lebih dari delapan tahun silam.
Mesti dicatat, Adjani bukan sutradara Filipina pertama yang mengangkat
persoalan Mindanao. Akan tetapi, keberaniannya mengangkat kepedihan
keluarganya yang kini tercerai, dan kemudian membaginya lewat filem, secara
emosional bukan perkara yang gampang. Apalagi, menghadapi kenyataan
bahwa kedua orang tuanya kini tinggal di tempat terpisah. Dalam salah satu
adegan, penonton bisa menyaksikan keran yang bocor di rumah yang kini
ditinggali ibu Adjani. Ini seakan menegaskan kesendirian ibu Adjani; tanpa
seorang pun yang mengulurkan bantuan untuk memperbaikinya. Tentu
saja, tinggal terpisah dengan anggota keluarga yang disayangi amatlah berat
104 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

secara emosional. Relasi keluarga yang terkoyak akibat konflik politik di


tanah Mindanao, apa boleh buat, sesungguhnya juga bagian dari tragedi
kemanusiaan. Ini tampak dalam adegan ketika salah satu subjek, Abdul
Arumpac, meminta Adjani mematikan kameranya karena ia tak kuasa
mengontrol perasaannya tatkala berbicara tentang sisi kemanusiaan yang
telah terkubur karena konflik bersenjata yang terjadi di Mindanao.
Sementara itu, beberapa kali penonton juga akan menyaksikan adegan
tanah dan langit, yang dimasukkan sang sutradara lebih dari sekadar sebagai
penanda transisi dari satu lokasi ke lokasi lainnya di Mindanao, tapi juga
hendak menegaskan bahwa, kendati berbeda keyakinan, masyarakat di
Mindanao sesungguhnya tinggal di atas tanah dan dinaungi langit yang
sama. Akan tetapi, konflik politik rupanya menjadikan orang melupakan
kenyataan paling sederhana ini: mereka berpijak di bumi yang sama.
Adjani juga merekam rumah yang tak lagi berpenghuni dengan dinding
penuh lubang tertembus peluru dan di sekitarnya ditumbuhi oleh tanaman
liar dan beberapa pohon kelapa. Rumah yang terpacak bisu di ladang
dan tampak tak terurus itu, menjadi saksi abadi bagaimana konflik yang
disertai kekerasan senjata di Mindanao itu telah meninggalkan luka dan
mencerai-berai warganya.
Dokumenter yang dibesut Adjani, tentu saja, bukanlah penjelasan yang
tuntas ihwal konflik yang terjadi di Mindanao, sebagaimana lazimnya bisa
disimak dalam laporan jurnalisme investigatif. Sebaliknya, Adjani justru
bak mengajukan sejumlah pertanyaan (jika bukan malah gugatan): mengapa
dalam masyarakat yang diwarnai keberbedaan konflik harus berujung
dengan kekerasan bersenjata? Di mana sesungguhnya batas berakhirnya
trauma yang kerap melahirkan kesumat dan perpecahan? Mengapa ikatan
kekeluargaan tak cukup kukuh menjaga keutuhan anggota keluarga tatkala
disapu oleh konflik besar yang melanda masyarakat? Hingga filem usai,
sesungguhnya penonton tetap digelayuti pertanyaan-pertanyaan itu, yang
sejak awal menggelisahkan sang pembuat filem. Karena itu, penonton
mesti menyusun sendiri mozaik ingatan para subjekyang sekaligus
kerabat pembuat filemagar mampu merangkai jawaban bagi sebagian
pertanyaan itu.
***
Kendati kedua dokumenter itu memotret konf lik yang dipicu oleh
persoalan yang berbeda, keduanya menangkap problem nyata hari ini yang
terjadi di dua negara. Sementara di Bima, Nusa Tenggara Barat, Indonesia,
konflik dipicu oleh pengalihan lahan untuk kepentingan pertambangan
yang banyak terjadi di tempat lain di Indonesia, konflik di Mindanao,
Filipina, justru berawal dari program pemukiman kembali yang diprakarsai
oleh pemerintah Filipina sehingga mengungsikan kelompok Muslim dan
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |105

masyarakat adat serta merampas hak atas rumah mereka yang sah. Kita tahu,
senantiasa ada elite yang menangguk keuntungan politis maupun ekonomis
dari kemelut konflik yang berlangsung, sedangkan orang kebanyakan kerap
menanggung akibatnya yang pedih. Menariknya, kedua filem itu memilih
memberi lebih banyak suara pada orang kebanyakan yang jauh dari pamrih
politik ataupun niatan memoles citra di hadapan kamera. Penonton tak
hanya menemukan ekspresi yang tulus, tetapi juga gema nurani jujur yang
berangkat dari pengalaman nyata hidup di wilayah konflik. Sebagaimana
pernah dinyatakan Bill Nichols, filem dokumenter memang bergantung
sepenuhnya pada kata-kata yang diucapkan karena ujaran meluaskan
pemahaman kita tentang dunia.
Persamaan antara karya dokumenter yang dibesut oleh Hafiz dan
Adjani adalah tidak adanya pretensi menjadi dokumenter investigatif yang
mendedahkan banyak informasi demi menjelas-jelaskan konflik. Bersama
sang pembuat filem, penonton sejatinya diajak untuk menganyam kisah
konflik yang terekam dalam ingatan subjek yang diajak berbincang di filem.
Kita tahu, setiap ingatan senantiasa berwatak fragmentaris. Barangkali,
bagi penonton yang menghendaki penjelasan yang utuh, bulat dan
lengkap ihwal konflik di Bima dan Mindanao, sulit menemukan di kedua
karya itu. Laporan media massa barangkali telah banyak mendedahkan
informasi ihwal konflik tersebut. Akan tetapi, bagi penonton yang memiliki
kesabaran dan ketelatenan mendengarkan kisah dari orang-orang biasa,
serta kepekaan mencerap jejak konflik di beragam benda yang direkam
dalam kedua dokumenter ini, bakal menyadari dimensi yang subtil dari
konflik (terutama yang bermuatan kekerasan) beserta implikasi terjauhnya.
Pada akhirnya, kedua dokumenter itu bukan sebentuk selebrasi atau
estetisasi konflik, melainkan gesture tentang pentingnya mendekati konflik
secara etis dan politis di tengah masyarakat yang dirajam oleh pertarungan
kuasa. Sebagaimana dinyatakan oleh filsuf Italia, Giorgio Agamben, lebih
dari representasi image, filem mampu mengembalikan gesture yang menghilang
dalam masyarakat modern. Dengan kata lain, filem mengembalikan kita
pada perkara etik dan politik, lebih dari sekadar perkara estetik semata.
Maka, dokumenter Hafiz dan Adjani itu membuat kita terjaga dari
ilusi harmoni yang terus-menerus didengungkan para elite politik serta
dikomodifikasi oleh media massa. Ini karena konflik tidak ditampik dan
dijadikan komoditas dalam kedua dokumenter itu, tetapi justru dilihat
sebagai kenyataan yang menuntut ikhtiar kita untuk memahami akarnya,
sekaligus mengimajinasikan jalan bagi rekonsiliasi yang otentik. Dan, kita
tahu, filem dokumenter senantiasa mendekatkan kita pada kenyataan, jika
bukan kebenaran.

106 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

SUPPORTED BY ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

DISILLUSIONED WITH
HARMONY
Budi Irawanto
Although Southeast Asia has been praised as a relatively stable region, it has
never been truly free from conflicts and tensions. Conflicts can occur in any
place and can be triggered by many factors. From interethnic or interreligious
clashes at the local level to territorial claims at the regional level are examples
of disorder conditions in Southeast Asian region. The impacts of conflicts
have stretched beyond state borders as we can see from the cases of refugees,
illegal migrants, and drug and arms smuggling. Indeed, conflict is endemic in
any society. Furthermore, in a multicultural society conflict is inevitable. Of
course, conflict is not limited to the form of bloody violence as stereotypically
portrayed by the mainstream mass media. Conflict can be understood as a
manifestation of tension rooted in the unequal power relations in society.
Conflicts in Southeast Asia have usually been concealed in the ideology of
harmony. As is well known, the political elites of this region enthusiastically
preach the importance of harmony, which is claimed as a true character of the
East or Asian while denying the inequality of power in society. At the level of
Southeast Asian region, the importance to keep a harmony is sanctioned in
the principle of non-intervention that in fact perpetuates unjust and unequal
powers. As a result, harmony turns into an illusion that is propagated by elites
to the people and it becomes a mask of various forms of marginalization and
discrimination against minority groups in society.
Meanwhile, the mainstream mass media tend to depict conflict as news
based on a conviction that bad news is good news or if it bleeds, it leads.
Consequently, conflict is only viewed based on its spectacularity and news
value. The blatant economic motive of the mass media to expose the spectacular
dimension of conflict has led the impacts of conflict are untouched. In fact,
mass media often join the wagon to seed the conflict and escalate it, so they
can keep on mining news items. Mass media often manage to reveal a conflict
in society but they are entrapped into the harmony ideology since they prefer
to shortcuts in reporting the long and complex process of conflict resolution.
The idea of peace journalism often turns into a mere technical procedure in
reportage that seems to keep away from the parties involved, stand outside
the conflict zone and simply become an innocent bystander.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |107

Two documentaries, Hafiz Rancajales Marah di Bumi Lambu (Raging


Soil, 2014) and Adjani Arumpacs War Is a Tender Thing (2013), are interesting
examples of poetic as well as political response to conflicts occurring in two
Southeast Asian countries (Indonesia and the Philippines). Instead of simply
documenting meticulously conflicts in Bima (Indonesia) and Mindanao (the
Philippines) outright, Rancajale and Arumpac seek the possibilities of a more
contemplative visual language to subtly make sense of the complexity of conflict
while capturing the physical and emotional landscape of those who are in the
midst of conflict.
***
The documentary Marah di Bumi Lambu opts for black-and-white images,
which suggests the documentation value and recollection of conf lict that
gradually fades away in the popular memory. Also, with black-and-white
images, this documentary does not pretend to be spectacular or sensational.
Rather it shows the conflicts dismalness and the ordinary peoples dreary fate
of being the victims all the time. Furthermore, the black-and-white choice
accentuates the fact that there are ordinary people in the violent conflict and
draws the sharp line between the powerful and powerless actors.
It should be noted that Rancajale did not directly record the crash between
authority and the mass in peaceful protest, which ended up with three deaths.
Instead he only used blurred footages which are probably obtained from an
amateur. Hence, despite of relying on the recollection of the interviewees
(victims and their families), Rancajale used material objects that indicated
traces of the past conflict. For instance, from a piece of cloth with a bullet
hole, a mother remembers her son who has died in the demonstration against
the land takeover by the mining company. Similarly, the ruins of three burned
buildings as can seen in a quite long scene seem to be a witness who speaks
loudly about the conflict that has happened in Bima.
In Marah di Bumi Lambu, we can find less hierarchical relations between
the filmmaker and his subjects. Instead of interrogating his subjects (as most
Indonesian TV reporters usually do), the filmmaker establishes a warm
relationship. When it rained in the middle of interview both filmmaker and
his subjects together ran for shelter. And the camera intentionally captures this
moment. The informal and warm relations not only prevent this documentary
from an explanatory tendency, but also provide a spacious room for the subjects
to express their thoughts and feelings. In other words, the subjects are not
mere an instrument for the filmmaker to convey his ideas.
Rather than obediently following a chronological plot and using investigative
approach to deal with the conflict, Rancajale embarked from the fragmented
memory of the victims families. Indeed, memory is always selective and its
108 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

accuracy is sometimes questionable. However, the deadly incident, especially


for victims family, is a memory that never fades. What the camera captures is
families resilience despite their inability to forget the event that took the lives
of their loved ones. We see that the kampong has not much changed after the
conflict with death tolls. On the surface, everything seems normal, but the
wounds inflicted have never truly been healed.
Meanwhile, with its fragmentary structure War Is a Tender Thing underscores
the nature of a conflict that has tore apart the filmmakers land and family.
As second part of a Mindanao documentary trilogy, War Is a Tender Thing
intimately records the life of Adjani Arumpacs family in disarray due to the
endless conflict in Mindanao. While her first documentary Walai (2006) tells
the story of the Muslim womens life in Mindanao, her second documentary
War Is a Tender Thing persuades the viewers to closely look at the impact of
conflict to her family. It is clear that Arumpacs persistent concern of Mindanao
problems has encouraged her to make his second film War Is a Tender Thing
eight years since her first documentary.
Of course, Arumpac is not the first Filipino filmmaker who tackles
Mindanao problems. However, her courage to express her familys sorrows and
share through through film in an emotional way should not be dismissed. In
particular, the fact her parents now live separately. In one scene, we can see a
leaking tap in the house where her mother now stays. This seems highlights
her mothers loneliness; no one is there to lend his hand to fix it. Indeed, living
separately from a dear family member is emotionally challenging. A political
conflict in Mindanao has ripped apart familial ties, making it a part of human
tragedy as well. This is evident in a scene when one of the subjects, Abdul
Arumpac, asks the filmmaker to turn off the camera because he is unable
control his emotion as he talks about the loss of humanity that is buried deep
in the armed conflict in Mindanao.
In War Is a Tender Thing viewers frequently watch several shot of land and
sky inserted by the filmmaker not only to mark transitions from one location
to next in Mindanao, but also to highlight that people in Mindanao live in
the same land beneath the same sky regardless their different religious faiths.
Political conflict apparently has made people forget this simple fact: they stand
on the same ground. Arumpac also shot an uninhabited house with walls
full of bullet holes, surrounded by wild plants and coconut trees. This silent
and ruined house standing alone in a field turns into a perennial witness of
how the armed conflict in Mindanao has inflicted wounds on its people and
divided them.
It should be admitted that Arumpacs documentary does not provide a
conclusive explanation on the origins of Mindanao conflict as usually can be
obtained from an investigative report. On the contrary, in her film Arumpac
seems to ask some questions (if not castigations): Why does a society dealing
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |109

with conflict have to end up in armed violence? Where does the end of a trauma
that often instigates revenge and disputes? Why is familial ties not strong
enough to keep the family remains united when a huge social or political conflict
sweep it? Although the film has finished, those questions, which have long
haunted the filmmaker, are lingering in our mind. Therefore, we must wave
by ourselves the fragmentary of subjects memory (the filmmakers relatives)
in order to find out the answers of those questions.
***
Although both documentaries portray conflicts incited by different causes,
they capture contemporary problems in Indonesia and the Philippines. While
in Bima (Indonesia) land takeover for mining industry (as happened in other
places in Indonesia) has triggered the conflict, in Mindanao (the Philippines)
conflict is originally caused by the government resettlement policy which has
displaced Muslim as well as indigenous from their own land. As is well known,
elites always politically and/or economically reap profits from boiling conflicts
while common people must face the painful consequences. It is interesting
that these documentaries channel the voices of the common people who have
no political vested interests or any intention to polish their image in front of
the camera. We have a chance to watch honest expressions of common people
who have had painful experiences in a conflict area. As a documentary theorist
Bills Nichols stated, documentary films depend entirely on the spoken words
since speech expands our horizon of understanding about the world.
The similarity between Rancajales and Arumpacs documentaries is the
absence of pretension to be investigative that provides a lot of information
about the conflicts. Together with the filmmakers, we are invited to weave the
threads of the conflicts as documented in the subjects memories interviewed.
As we know, every piece of memory if always fragmentary. Perhaps those who
sought a whole, complete, and definitive explanation over Bima and Mindanao
conflicts would never find it. Media reports have provided much information
about those conflicts. But for those who have patience and persistence to listen
to ordinary peoples stories, and a sensibility to perceive the traces of conflicts
in various material objects recorded in the documentaries, they will realize
the subtle dimensions of the conflicts, particularly violent conflict, and their
furthest implications.
Finally, these two documentaries are not a celebration or aestheticization
of conflict but gestures of the importance to approach conflicts ethically and
politically within a society pierced by power struggle. As Italian philosopher
Giorgio Agamben suggested, since cinema has its centre in the gesture and not
in image, it belongs essentially to the realm of ethics and politics rather than
aesthetics. Thus, Rancajales and Arumpacs documentaries awaken us from
110 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

the illusion of harmony that is perpetually propagated by the political elites


and commoditized by the mass media. In these two films, instead of being
denied and commoditized, conflict is seen as a true reality that compels us to
comprehend its root and imagine an authentic reconciliation. And documentary
films always bring us closer to reality, if not truth.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |111

CP / 26 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 / 18+

MARAH DI BUMI LAMBU / THE RAGING SOIL


Hafiz Rancajale (Indonesia)
Country of Production Indonesia
Language Indonesian
Subtitle English
92 minutes, Color, 2014
info@forumlenteng.org

Filem ini mengkonstruksi ingatan kolektif


masyarakat Lambu mengenai Tragedi
Sape dan Lambu pada periode 2011-2012.
Tragedi ini bermula ketika pemerintah
daerah Kabupaten Bima menerbitkan izin
eksplorasi tambang kepada pemilik modal,
yang akhirnya menyulut kemarahan warga.
Mobilisasi untuk memperjuangkan hak
atas tanah ini diorganisir oleh mahasiswa,
melakukan serangkaian demonstrasi yang
berujung jatuhnya korban di pihak warga
sipil. Filem ini mencoba merekam kenangan
masyarakat tentang rangkaian peristiwa
tragedi itu sendiri, rangkaian cerita-cerita
kemanusiaan dan mimpi-mimpi mereka
tentang tanah leluhurnya.

This film reconstruct the collective memory of


Lambu inhabitants concerning the tragedy of
Sape and Lambu in 2011-2012. The tragedy
began when the government in Bima Regency
issued the permit for mining exploration
to investor, which eventually drove the
people angry. The mobilization to fight for
the rights of this land was organized by a
group of students who conducted a series of
demonstrations which led to casualties on
the civilian part. This film tries to record
the memory of a society about a series of
tragic events, a set of human stories and their
dreams for their ancestral land.

Budi Irawanto

112 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Hafiz Rancajale (lahir di Pekanbaru, 4


Juni, 1971), menyelesaikan studi Seni
Murni di Institut Kesenian Jakarta
(IKJ) tahun 1994. Seniman, kurator,
pendiri Forum Lenteng dan Ruangrupa
Jakarta. Pemimpin redaksi www.
jurnalfootage.net. Dia juga Direktur
Artistik pada OK. Video Jakarta
International Video Festival (20032011). Saat ini, Hafiz menjabat sebagai
Ketua Komite Seni Rupa, Dewan
Kesenian Jakarta.

Hafiz Rancajale (b. June 4th, 1971,


in Pekanbaru) graduated Fine Arts at
Jakarta Institute of Arts (IKJ) in 1994.
He is an artist, curator, founder of
Forum Lenteng and Ruangrupa. Editor
in Chiet at www.jurnalfootage.net.
He is also the Artistic Director of OK.
Video Jakarta International Video
Festival (2003-2011). Since 2013,
Hafiz is The Head Commissioner of
Visual Arts at Jakarta Arts Council.

CP / 26 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 / 18+

WAR IS A TENDER THING


Adjani Arumpac (The Philippines)
Country of Production The Philippines
Language Filipino/English
Subtitle English
71 minutes,Color, 2013
a_arumpac@yahoo.com

Filem dokumenter ini mengulik sekelumit


kisah ihwal konflik panjang nan pahit antara
kelompok Muslim dan Kristiani di Mindanao,
Filipina, melalui rangkaian image bergaya
visual diary. Tanpa visualisasi kekerasan fisik
sedikit pun, filem ini justru mampu menyorot
praktik kekerasan paling pedih sebagai dampak
dari distorsi sosial yang disebabkan oleh
pertarungan politis berkedok agama. Adjani
membongkar konflik yang berbalut kekerasan
itu dengan berangkat dari sisi yang paling
intim: keluarga. Menggunakan objek riil di
dua lokasi berbeda sebagai permainan tanda
disertai suara Adjani sebagai narator, kamera
menangkap kunci-kunci atas dilema mengenai
penerimaan-penolakan dari sebuah perbedaan
lewat refleksi memori atas konflik yang turut
menyebabkan perceraian kedua orang tuanya.

This documentary probes into the story


of a long, bitter conflict between Muslim
and Christian groups of Mindanao, the
Philippines, through a series of images in
visual diary style. Without any physical
violence visualization, this film is in fact
able to highlight the most painful violence
practices as the impact of social distortion
caused by political feuds masked by religion.
Arumpac takes apart the conflict brimming
with violence by starting from a most intimate
side: family. Using real objects in two different
locations as sign interplay and Arumpacs
voice as the narrator, the camera catches
the keys out of the dilemma concerning
acceptation-rejection of differences through
a reflection over the conflict that caused her
parents separation.

Budi Irawanto

Adjani Arumpac adalah seorang


penulis dan pembuat filem dari
Mindanao, Filipina. Saat ini ia tinggal
di Quezon City, Metro Manila.
Ia lulusan Universitas Filipina,
jurusan Film dan Audio Visual
Communication. Filem-filemnya,
antara lain Walai (2006), Nanay
Mameng (2012), dan War Is a Tender
Thing (2013).

Adjani Arumpac is a writer


and filmmaker from Mindanao,
Philippines. She is now based in
Quezon City, Metro Manila. She
graduated with a BA in Film and
Audio Visual Communication in the
University of the Philipines. Her films
include: Walai (2006), Nanay Mameng
(2012), and War Is a Tender Thing
(2013).

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |113

KAMERA YANG EMPATI,


MENGIRAMA TERITORI
Manshur Zikri

The beauty of documentary...is discovery. If you do documentary, you cant


plan it. Youre working on moments, youre working on...something that
you dont know. You follow your gut, you follow the visceral thing. Its very
primal.

Lav Diaz, at Culture in Action: Prince Claus Awards Week,


2014

Sebagaimana yang ARKIPEL sadari, karena kini polemik antara media


dan publik telah menunjukkan bahwa kedua entitas itu tak bisa lagi sertamerta dicerai-beraikan sehingga sinema menghadapi tantangan untuk harus
merengkuh kepentingan kedua belah pihak, kita perlu menyelisik kemungkinan
sinema dalam menemukan lokus bahasa termutakhirnya (ARKIPEL, 2015).
Menanggapi itu, kuratorial ini mencoba membayangkan satu gagasan tentang
media dan publik yang saling berkontribusi memproduksi bahasa dalam konteks
estetika dokumenter.
Sinema yang melestarikan tradisi dokumenter, pada dasarnya, selalu
mengacu pada aksi atau proses yang mengutamakan kemampuan manusia
untuk memahami dan berbagi perasaan satu sama lain dengan mendalam. Pada
dokumenter, kepekaan terhadap peristiwa yang terjadi di kehidupan riil, dalam
cara tertentu, hampir selalu mencapai tingkat kemampuan intuitif si perekam
untuk melepaskan diri dari beban-beban skenario yang biasanya ditetapkan
sebelum kamera menapaki subjek dan objek yang menjadi fokus dokumenternya.
Pengakuan dan penerimaan si pendokumenter atas kemungkinan-kemungkinan
tak tertebak dari yang riil itudan semata-mata tak menyalahkannya sebagai

114 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

suatu gangguantermanifestasi melalui kelenturan kamera dalam menyesuaikan


bidikan-bidikannya tanpa memberi campur tangan.
Di saat kamera, dengan kelenturannya, berhasil menjadi bagian dari (atau
melebur dengan) lingkungan yang ia bidiktentunya, keadaan itu menunjukkan
betapa si pembawa kamera juga berhasil menjadi bagian (atau paling tidak,
setara) dengan orang-orang dan benda-benda di tempat dia meletakkan
atau mengarahkan kameramaka yang muncul kemudian adalah empati.
Kuratorial ini lantas mencoba menggunakan diksi empati sebagai rumusan
atas aksi taktis (dan hasil) dari penciptaan bahasa (visual) untuk memenuhi
lokus-lokus kebahasaan sinema itu. Gagasan tersebut, setidaknya, berusaha
dicapai dalam eksperiman Lav Diaz pada satu karya dokumenternya, berjudul
Storm Children, Book One (2014). Filem ini merekam Tacloban, Filipina, yang
diterpa Badai Yolanda dua tahun lalu, saat situasi pasca tragedi di kota tersebut
tampaknya belum ditangani oleh pemerintah/negara.
Storm Children, Book One tetap menunjukkan unsur visi sutradara yang
kuat di dalam bidikan-bidikannya. Misalnya, terlihat pada cara Lav Diaz
menentukan durasi setiap shot yang otoritasnya berada di tangannya sendiri
sebagai pengontrol tombol rekam, tanpa terbebani oleh risiko ketidaksiapan
penonton. Dalam hal ini, sebagaimana karya sinema umumnya, bukan hanya
terhadap visual pada bingkai kamera, sutradara juga melakukan pengarahan
(directing) atas penonton. Yang khas dari Lav Diaz, ialah keyakinannya mengenai
kecukupan durasi yang tidak bergantung pada kecukupan informasi belaka,
melainkan juga pada kebutuhan kepengarangannya dalam memaknai peristiwa.
Hal itu pun sering kali tertegas dalam pernyataan yang disampaikan oleh Lav
Diaz sendiri saat menjadi pembicara dalam beberapa diskusi tentang karyanya,
bahwa durasi bukanlah beban sinema, sementara sutradara memang telah
ditahbiskan sejak awal kemunculannya sebagai pihak yang berkuasa atas durasi
itu sendiri. Contoh lainnya, ialah kepekaan Lav Diaz dalam membidik objekobjek sentral (misalnya, bangkai kapal besar atau aktivitas yang mengundang
rasa penasaran dirinya sendiri sebagai seseorang yang hadir di lokasi) yang
ia temui, dan menjadikannya sebagai tanda-tanda untuk memancing terbuka
lebarnya lerung interpretasi alternatif di kepala penonton.
Namun demikian, jika kita perhatikan lebih seksama, gerak-gerik (gesture)
atau sikap (attitude) kamera Lav Diaz tampak sangat dipengaruhi oleh situasi dan
keadaan yang terjadi di lokasi. Untuk merekam bangkai kapal, misalnya, Lav Diaz
tidak menggunakan posisi matanya secara pribadi, tetapi menggunakan posisi
mata orang-orang yang (seharusnya hanya) menjadi pihak yang ia sorot. Kamera
Lav Diaz bermain dengan alur logika mobilitas dari orang-orang di area bencana
Tacloban, lantas dengan harmonis membangun montase untuk mengungkap
perasaan-perasaan manusiawi yang dihimpit bangkai kapal dan tertimbun di
bawah puing-puing bangunan. Pada titik ini, dominasi individual Lav Diaz
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |115

atas kamera mengalami semacam konflik dialektis terhadap kebutuhannya


untuk sebisa mungkin mengikuti alur sirkulasi dan arah sudut pandang subjeksubjek yang ia jadikan patokan untuk menangkap gambar. Dengan kata lain,
sembari memenuhi hasrat kepengaranganya sendiri sebagai sutradara, Lav
Diaz seakan juga menjadi fasilitator, baik bagi subjek yang ia rekam maupun
penonton yang akan menyaksikan karyanya. Didominasi oleh ambilan gambar
yang statis, serta banyak shot berdurasi cukup panjangyang mana paduan
dari gaya ini telah menjadi ciri khas sutradara yang dijuluki Bapak Ideologis
dari Sinema Filipina Baru itukesolidan kamera dengan subjek dan objek
tangkapannya demikian terasa sebagai cara untuk menghidupkan daya empati;
penonton akan diajak untuk melihat pemandangan melalui mata subjek yang
ada di dalam frame, sementara subjek di lokasi berkesempatan menawarkan
visual yang ia lihat kepada penoton. Egoisme sutradara untuk membangun
kerangka narasinya sendiri diredam oleh kesetiaannya mengutamakan sudut
pandang subjek sorotan kamera.
Apa yang dilakukan Lav Diaz dalam Storm Children, Book One mengingatkan
saya pada metode teknis yang digunakan akumassaprogram literasi media yang
digagas oleh Forum Lenteng secara kolaboratif untuk studi dan eksperimen
bahasa visualsaat proses produksi karya video dokumenter mereka. Program
yang mengandalkan kolaborasi antara pendokumenter (Forum Lenteng) dan
warga/penduduk asli (anggota komunitas lokal) di lokasi riset ini, berusaha
mengedepankan subjektivitas warga (orang-orang yang biasanya menjadi
subjek sorotan kamera), melalui cara yang mengacu pada dua hal: (1) jalur
sirkulasi gerak dan aktivitas orang-orang yang hadir di satu lokasi/teritori, dan
(2) sudut penglihatan orang-orang tersebut terhadap peristiwa yang terjadi di
daerah itu. Cara inisebagaimana yang juga tampak dalam susunan gambar
di Storm Children, Book Onemelantunkan semacam irama yang dengan sadar
memaparkan detail-detail teritori yang dibingkai sebagai latar dokumenter.
Sebelum membahas itu lebih jauh, kita perlu berspekulasi terhadap
warna hitam-putih yang dipilih secara subjektif oleh Lav Diaz untuk filem
ini. Menurut saya, kita tak dapat serta-merta menganggap warna itu sebagai
bentuk romantisasi belaka si sutradara atas peristiwa duka, karena kita tak
akan menemukan niat yang mencoba menempatkan peristiwa yang direkam
filemnya ke dalam kerangka nostalgik, apalagi ratap sedih tak berkesudahan.
Bukan pula sesederhana romantisasinya terhadap kejayaan sinema pada era
penemuan teknologi itu di masa lampau, karena warna hitam-putih itu justru
dengan sadar dipilih sebagai fungsi penegas, bahwa dasar eksperimen dari
bahasa visual oleh kamera terletak pada bentuk (form), gerak (movement) dan
susunan (montage) gambar dari subjek/objek yang direkam. Agaknya, pilihan
ini juga menjadi strategi untuk meredam kearogansian kamera yang, sadar
tak sadar, akan mengglorifikasi pemandangan visual dari sebuah teritori yang
hancur porak poranda. Namun, daya empati kamera Lav Diaz justru dapat
116 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

disadari dari kesetiaannya dalam menjajaki momen-momen di depan lensa


dengan penuh penasaran, bukan semata-mata dengan warna hitam-putih.
Hal itu, salah satunya, dapat dilihat dalam adegan dua orang anak yang
tampak serius menggali tumpukan puing-puing bangunan di pinggir pantai,
dekat dengan lokasi terdamparnya salah satu kapal besardalam satu adegan
wawancara, kita akan mengetahui, bahwa pasca tragedi topan, banyak penduduk
lokal di Tacloban mencari logam di bawah puing bangunan untuk ditukarkan
dengan uang. Namun, ketika adegan menggali tumpukan itu berlangsung, Lav
Diaz tidak memberikan petunjuk apa pun mengenai apa yang hendak digali
oleh dua anak tersebut. Adegan yang cukup panjang itu seakan menjadi terapi
durasi dari si sutradara terhadap psikologi penonton, tetapi juga untuk dirinya
sendiri. Dalam kehidupan riil, aktivitas semacam itu mungkin hanya dilihat
sepintas oleh orang yang berlalu lalang di sana, tetapi kamera Lav Diaz seakan
memaksa penonton untuk mau menyimakhingga akhirnya merasakan
sensasi atas pengalaman yang tampak tak berarti tersebut. Alih-alih memotong
adegan dan langsung menunjukkan hasil galian, Lav Diaz justru merekam
seluruh proses penggalian itu; kamera (dan Lav Diaz sebagai perekam) turut
larut dalam rasa penasaran tentang kejutan-kejutan yang mungkin akan
ditemukan dari bawah puing. Meskipun akhirnya, yang ditemukan bukanlah
apa-apa. Sebagaimana dua bocah yang tampaknya tak begitu peduli dengan
kehadiran sebuah teknologi rekam di dekat mereka, Lav Diaz dan kameranya
juga berada dalam suatu nuansa kerianggembiraan ( joyful) terhadap apa yang
dilakukan kedua anak tersebut. Pada titik ini, kepentingan kamera untuk
bernarasi dan memaparkan semacam informasi kepada penonton tentang apa
yang sedang terjadi (yang artinya, akan menegaskan bahwa sutradara dengan
kameranya tahu segala hal yang akan terjadi dalam bingkai dokumenternya),
telah berubah menjadi kegairahan manusiawi paling dasar: rasa ingin tahu yang
dalam. Keadaan itu menunjukkan sikap kamera yang berusaha menyamakan
frekuensinya, atau menyetarakan kebutuhannya, dengan kebutuhan si subjek
yang ia sorot; kamera berempati.
Empati yang dimiliki kamera tersebut, pada akhirnya, menentukan bentuk
rekaman visual yang dihasilkan, terutama hubungannya dengan efek imaji yang
akan menyasar kesadaran visual penonton. Efek imaji yang saya maksud, tentu
saja, ialah kekuatan visual yang ketika ditampilkan ke hadapan penontonjika
lebih dari satu macam sudut ambilan, maka bingkai visual itu disusun dengan
runutan tertentu (degan kata lain, montase)akan menghadirkan suatu sistem
makna di kepala penonton (prinsip dasar dari kerja representasi yang digagas
oleh Stuart Hall tahun 1997). Sudut ambilan gambar (angle) ke arah tertentu,
memiliki makna yang unik; bidikan ke sudut arah tertentu akan menghasilkan
makna yang berbeda jika disusul atau didahului oleh bidikan ke sudut arah yang
berlainan. Dan dalam kasus Storm Children, Book One ini, meskipun terdapat
sudut ambilan gambar dari atas dan menyorot ke bawah ke arah kedua anak
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |117

yang sedang berjongkok, kamera Lav Diaz tidak memiliki pretensi untuk
menginferiorkan mereka, tidak pula untuk mengesankan nuansa kesedihan
dan kesengsaraan, yang biasanya kita temui pada karya dokumenter advokatif.
Sebab, shot dari kamera yang menyorot ke bawah itu menyesuaikan logikanya
pada posisi subjek-subjek lainnya yang berlalu-lalang di sekitaran titik aktivitas
yang sedang ia rekam. Kalau kita jeli, dalam adegan tersebut kita akan melihat
adanya subjek lain yang melintas di dekat kedua anak. Karena sedari awal kita
telah merasakan konsistensi kamera yang membidik dari posisi-posisi orangorang yang hadir di lokasi (bukan sekadar dari posisi yang dikehendaki oleh
sutradara tanpa menghiraukan subjek selain dirinya), maka posisi bidikan dari
lintasan atau jalur sirkulasi si subjek yang berjalan itu, secara filemis, dapat
dimaklumi kemunculannya. Kamera yang merekam gambar dari posisi atas
dan membidik ke bawah itu justru semakin tegas menunjukkan tujuannya:
dengan setia menyimak peristiwa dan melanjutkan tatapan rasa penasarannya
terhadap proses menggali yang sedang berlangsung; kamera memanfaatkan
mata si orang yang melintas. Dalam skena ini, sensasi yang kita rasakan justru
ketertarikan Lav Diaz terhadap proses penggalian, bukan kepada dua orang
anak yang sedang melakukan penggalian tersebut. Itulah mengapa, pretensi
untuk merendahkan subjek tidak tercetus dalam sistem makna yang ditangkap
oleh penonton ketika menyaksikan filem ini.
Pola yang memanfaatkan jalur sirkulasi subjek-subjek yang terekam
ke dalam frame kamera ini, juga terlihat dalam adegan seorang anak yang
bolak-balik mengambil air dari sebuah sumur ke rumahnya. Dengan ambilan
gambar yang statis, dan beberapa shot yang arah bidikannya saling berbalas,
kamera menelusuri area gerak dari orang-orang yang melintasi jalur sirkulasi
si anak sehingga kita dapat melihat tata ruang dari lokasi tersebut. Daya
empati yang diciptakan oleh visual dari shot tersebut juga semakin kuat terasa
tatkala kita menyadari kamera dengan intim merekam dari jarak dekat dan
eye-level, saat si anak duduk kelelahan di atas jeriken yang dibawanya. Shot ini
bukan semata-mata ingin memberitahukan bahwa si pembawa kamera sedang
mengasihani kesusahpayahan si anak, melainkan lebih merupakan caranya
untuk menyelami karakter si anak dalam menjalankan aktivitas sehari-hari;
kamera seakan sedang turut merasakan suasana emosional seorang subjek di
tengah semua ketidakpastian atas wilayah yang mereka diami pascabencana.
***
Sebuah lokasi, demi memastikan keterjaminan atas kepentingan-kepentingannya,
dalam beberapa cara, menjadi bagian wilayah yang berada di bawah yurisdiksi
penguasa (misalnya, daerah-daerah dalam sebuah negara). Ia tidak lagi hanya
semata ruang antah berantah, tetapi lebih sebagai teritori, karena bernaung di
bawah hubungan kekuasaan yang memiliki arti penting bagi kesejahteraan para
118 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

penghuninya. Kepentingan milik satu lingkup teritori tertentu akan semakin


membuncah dan jelas terasa ketika negara abai terhadapnya, terutama jika
kita mengulik perasaan warganya. Kebuntuan dari aksi mengulik itu sangat
mungkin dipecahkan oleh daya mekanik sinema.
Namun, saat kameraalat rekam visual (dan audio) yang, secara dasariah,
selalu cenderung menggugah (bahkan, berjarak dengan) lokasi/teritorimerekam
kehidupan di dalam satu teritori, proses mengulik itu sering kali gagal karena
kamera hanya hadir sebagai outsider yang memiliki jarak tak terlihat dengan
subjek/objek tangkapannya, bahkan dari jauh justru menghakimi atau bahkan
mendikte status dan nasib warga penghuni teritori tersebut. Perasaan warga
yang sesungguhnya pun tenggelam, sedangkan yang terbingkai kemudian
hanyalah kerangka citra yang ilusif. Situasi ini membuat kepentingan antara
kamera dan warga menjadi timpang.
Menanggapi permasalahan itu, empati akhirnya dapat dimengerti sebagai
suatu proses yang berusaha melenyapkan ketimpangan kepentingan antara
kamera (teknologi/filem/media) dan warga (publik). Itu berkaitan dengan cara
kamera saat mendatangi satu teritori dan bernegosiasi dengan kepentingan
lokal milik warga yang mendiaminya. Berdasarkan pemaparan sebelumnya,
genggaman atas peluang untuk menapak dan mengintip kedalaman nurani
warga, secara estetik, bergantung pada kepiawaian kamera yang dengan solider
menelusuri sirkulasi aktivitas orang-orang di dalam satu lingkup teritori. Daya
empati yang mengurai detail-detail persoalan lokal ke dalam bentuk visual
hanya dapat diraih saat kamera berhasil melenyapkan jarak terhadap pola
keseharian warga. Di saat yang bersamaan, ketika warga tak lagi terganggu
oleh kehadiran kamera, pola kehidupan sehari-hari yang mereka lakukan akan
berkontribusi dalam menentukan gaya dan hasil produksi audiovisual yang
ingin dituju oleh kamera itu sendiri. Cara ini digagas untuk mencapai suatu
keadaan di mana kepentingan media (filem) dan publik (warga yang direkam
kamera) menjadi seimbang.
Filem Storm Children, Book One merupakan satu karya yang mencontohkan
bagaimana kesabaran si perekam didorong untuk mengarahkan kepentingan
personalnya menuju titik kesetimbangan dalam tatanan pemahaman terhadap
kepentingan warga. Kamera Lav Diaz ulet mengamati peristiwa yang ada di
depannya, lantas memanfaatkan setiap momen sebagai kunci untuk memeriksa
celah-celah yang sebelumnya tak disadari sebagai pintu ajaib menuju ruang
di mana tersimpan watak dari subjek-subjek yang ditangkap ke dalam frame.
Bukan lagi dalam rangka hanya untuk menunjukkan bagaimana peristiwa itu
terjadi, tetapi kamera hadir untuk turut merasakan sensasi pengalaman riil
yang dimiliki oleh orang-orang yang dibidiknya. Penonton didorong untuk
menyadari kekhusyukan kamera dalam menyelami peristiwa yang direkamnya
menyelam bersama-sama dengan pelaku-pelaku peristiwanyaseolah-olah
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |119

layar yang kita tonton adalah mata dari pelaku-pelaku yang terekam di dalam
frame itu sendiri.
Menyinggung isu yang dibingkai oleh karya ini, kita dapat menakar
hubungan antara warga negara (penghuni teritori) dan negara (pemilik
yurisdiksi), terutama dalam hal pemenuhan kepentingan lokal. Storm Children,
Book One berulang-ulang merekam bangkai kapal raksasa di Tacloban, dan
menghadirkannya sebagai visual yang kuat, untuk menandai konflik antara
kekuatan kapital, negara, dan warga. Beberapa kapal, sebagai simbol dari
kekuatan kapital, yang telah menjadi bangkai itu, mendatangi sekaligus menerpa
satu teritori kecil dan memusnahkan sebagian besar nyawa dan segi kehidupan
di dalamnya. Kehadiran bangkai kapal raksasa yang tak diinginkan itu, kini,
telah menjadi sesuatu yang mau tak mau harus diterima; ini menjadi tegangan
yang menghidupkan konflik itu, dan oleh kamera Lav Diaz, dibingkai dan
dibenturkan pada kenyataan, bahwasebagaimana yang dapat kita lihat di
dalam filemkita tak menemukan satu pun unsur negara (yang seharusnya
berperan mengimbangi kekuatan kapital yang cenderung menindas itu)
menangani permasalahan korban. Alih-alih, kita justru melihat bagaimana
warga melanjutkan aktivitasnya sehari-hari seperti biasa, bertahan dengan
keputusan alam, atau bagaimana anak-anak di pinggiran pantai tersebut dengan
riang gembiranya mengakrabi diri dengan si kapaldi skena penghujung
filem, anak-anak bermain, memanjat kapal dan melompat menceburkan diri
ke lauttanpa beban traumatik yang banal. Pada adegan bermain di kapal
itu, khususnya, kamera Lav Diaz dengan khidmat merekam peristiwa itu,
seakan sedang menyelami spirit kelahiran kembali (rebirth; reborn) dari
sebuah lokasi yang diperhatikan oleh alam. Keceriaan anak-anak, adalah
metafor dari spirit itu.
Visi Lav Diaz ini seakan hendak menegaskan, bahwa sinema, pada
dasarnya adalah bahasa dan cara untuk berpihak. Beberapa karya Lav Diaz
yang lain juga menunjukkan bagaimana keberpihakannya terhadap sebuah
daerah dan orang-orang yang ada di dalamnya. Sebutlah di antaranya, Death
in the Land of Encantos (2007)yang mengangkat latar lokasi dan masyarakat
di sekitaran Gunung Mayon, Provinsi Albay, Filipinaatau Butterflies Have
No Memories (2009)yang mengangkat latar persoalan sosial terkait efek
aktivitas pertambangan di Marinduque, Filipina, yang menyebabkan kematian
biologis pada masyarakat di sekitar Sungai Boac. Meskipun kedua filem ini
dikemas dengan balutan fiksi, Lav Diaz tetap secara dominan menyematkan
visinya untuk menjadikan filem sebagai wadah dan alat untuk membangkitkan
perhatian penguasa terhadap kepentingan publik. Dan jelas, karya-karya
ini memiliki perhatian yang mendalam terhadap perasaan dan pengalaman
penduduk dan lokasi yang spesifik. Oleh karena itu, karya-karya Lav Diaz
menjadi penting untuk dilihat terkait ihwal bagaimana memahami satu pilihan
kerangka estetika yang ditujukan untuk melontarkan kritisisme terhadap
120 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

negara secara puitik dengan menekankan perspektif publik lokal, terutama


dalam konteks sinema Asia dan kultur masyarakat Timur. Konsistensi dari
Lav Diaz ini layak kita garisbawahi sebagai usaha untuk mencapai kebaruan
bahasa sinema dalam pergulatannya untuk mempertanyakan ulang konsep
kamera sosial yang gagal mengakomodir kepentingan warga secara adil.
Tiadanya signifikansi peran negara yang dibingkai oleh filem ini, secara
bersamaan juga menguatkan keberartian sistem warga dalam melanjutkan
hidup. Berkenaan dengan ihwal teritori, montase Storm Children, Book One
milik Lav Diaz menyelaraskan potongan-potongan rekaman mengenai lokasi
yang menjadi fokus karyanya ke dalam irama visual, yang memungkinkan
penonton merasakan suatu nuansa mekanisme warga yang dapat tetap lestari
dalam satu teritori di tengah-tengah kealpaan negara. Letak kamera yang
ditentukan oleh posisi tubuh dan jalur gerak warga, serta arah bidikannya yang
mengikuti pandangan mata warga itu, menjadi pola aturan yang menentukan
peristiwa-peristiwa apa yang akan di/ter-tangkap.
Cara ini, nyatanya, membedah sedikit demi sedikit ruang teritorial dari
lokasi yang didatangi oleh kamera. Citraan yang dihasilkannya menjadi kode
visual untuk menilai apa yang sesungguhnya terjadi, tanpa perlu ada narasi dan
penjelasan, karena visual lebih tajam mengungkap kenyataan. Sebagaimana
prinsip empati, kita tak perlu mendengar ucapan-ucapan mengenai isi hati
satu sama lain untuk merasakan hal yang sama, sejauh sikap solider dalam
menyimak setiap tingkah laku dan guratan ekspresi itu terjalin dalam hubungan
yang setara dan tanpa jarak.
Bacaan:

ARKIPEL. (24 Juni, 2015). ARKIPEL: Grand Illusion, International Competition. Dipetik
pada 7 Juli, 2015, dari situs web ARKIPEL International Documentary & Experimental
Film Festival: http://arkipel.org/arkipel-grand-illusion-international-competition/
Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London:
Sage Publication Ltd.
Prince Claus Fund. (8 Desember, 2014). Lav Diaz Q&A: Culture in Action. Dipetik pada
5 Juli, 2015, dari kanal YouTube Prince Claus Fund: https://www.youtube.com/
watch?v=ZFCC2ra1qkg

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |121

CURATORIAL PROGRAM: LAV DIAZ

CAMERA EMPATHY,
RHYTHM OF TERRITORY
Manshur Zikri

The beauty of documentary... is discovery. If you do documentary, you cant


plan it. Youre working on moments, youre working on... something that
you dont know. You follow your gut, you follow the visceral thing. Its very
primal.

Lav Diaz, at Culture in Action: Prince Claus Awards Week,


2014

It has been realized in ARKIPEL that the polemics between media and the
public now has demonstrated that the two entities can no longer be disintegrated.
Thus, cinema deals with the challenge to embrace both parties interests and we
must probe into the cinematic possibility of finding its most recent language
locus (ARKIPEL, 2015). In response to that, this curatorial tries to imagine
an idea about media and the public that contribute to each other to produce a
language in the context of documentary aesthetics.
Cinema that preserves the documentary tradition basically always refers to
an action or a process that emphasizes humans skill to understand and share
feelings to each other deeply. In documentary, the sensitivity to events that happen
in this world, in a way, almost always reaches the cameramans intuitive ability
level to escape from scenario burdens usually established before the camera
tracks down the subject and object of its documentary focus. The documenters
recognition and acceptation of the unpredictable possibilities of the realand
his/her understanding of it not as mere disturbanceare manifested through
the cameras flexibility in adjusting shots without intervening.
When camera, with its flexibility, is succesful in becoming a part of (or
merging with) the neighborhood it shootsof course it means that the camera
bearer is succesful to become a part of it (or is equal to it)then what emerges
is empathy. This curatorial tries to use the diction empathy as a formula of
tactical action (and result) of the (visual) language creation to fill the cinematic
linguistic loci. It is this idea that is about to be achieved, at least, by one of Lav
Diazs experiments in documentary called Storm Children, Book One (2014).
122 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

SUPPORTED BY ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

This film records Tacloban, the Philippines, ravaged by Yolanda Storm two
years ago when the government/state hadnt dealt with the situation.
Storm Children, Book One demonstrates the directors strong vision in each
of its shot. It can be seen, for example, from Lav Diazs way to decide each
shots duration which depends on his own authority as the controller of record
button unburdened by the risk of the audiences unpreparedness. In this case,
as in cinema generally, the director directs the audience as wellnot only the
camera frame. Whats distinctive about Diaz is his conviction about duration
suffiency that depends not only to the information adequacy but also to his
authorships need to give meanings to the event. This is affirmed many times
through Diazs statements as he talks about his work in some discussions, that
duration is not a cinematic burden while director is ordained since the beginning
as someone who rules over duration. Another example is his sensitivity to shoot
central objects (such as a big shipwreck or an activity that intrigues him as
someone present at a location) he meets and to make these the signs that open
vast alternative interpretations in peoples minds.
However, as we look closer, Lav Diazs cameras gesture and attitude seem to
be highly influenced by conditions and circumstances at the location. To record
the shipwreck, for example, he doesnt employ his eyes position personally
but rather the peoples eyes position that (supposedly) he shoots. His camera
plays with the mobility logic flow of the people in Tacloban disaster area and
then harmoniously builds montage to reveal human emotions of being pinned
in a shipwreck and under the ruins. At this point, Diazs individual domination
upon the camera experiences a sort of dialectical conflict in terms of his need
to follow as far as he can the circulation flow and the subjects point of view
that he treats as the footing to take pictures. In other words, while satisfying
his authorship desire as the filmmaker, Diaz becomes a facilitator too, both
for his subjects and his audience. With mostly static and long shotsthis
combination style has earned him the title ideological father of the New
Philippine Cinemacameras soundness in regard to its subjects and objects
captured feels like a way to awaken empathic force; audience is invited to
view the scenery through the subjects eyes in frame while these subjects are
allowed to offer visuals to the audience. The filmmakers egotism to build
his own narrative is curbed by his emphasis on the subjects point of view.
What Lav Diaz does in Storm Children, Book One reminds me of akumassas
technical methodakumassa, a media literacy program initiated by Forum
Lenteng in visual language studies and experimentsin their documentary
production processes. This collaboration between documenters (Forum Lenteng)
and ordinary people (local communities) in a research location tries to put
forward the peoples subjectivity (the films subjects) through two things: (1)
the course of motion circulation and peoples activities in a location/territory,
(2) those peoples viewing angle to events happening there. This methodas
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |123

can be seen in Storm Children, Book Ones moving images composition


intones a sort of rhythm that consciously exposes territorys details framed as
the documentarys setting.
Before going further, we need to speculate over the black-and-white that
Diaz picks subjectively for his film. I think we cant necessarily see it as a mere
filmmakers romanticization over sad event since theres no visible intend to
position the film in a nostalgic framework, let alone endless doleful whine.
Its neither his romanticization over the cinemas glory during the era of its
invention in the past since the black-and-white is picked consicously to function
as a confirmation that experiments base of visual language by the camera lies
in form, movement and montage of the picture recorded. Apparently this
option is also a strategy to suppress the cameras arrogance that, whether with
the filmmakers awareness or not, will glorify the visual scenery of a heavily
devastated territory. Diazs cameras empathic force in fact can be realized
from its allegiance to explore moments in front of the lens in full curiosity,
not only in black-and-white.
Among others, it can be seen in a scene of two children determinedly digs
the rubble of ruins by the beach, near the site of a stranded big shipfrom an
interview we will find out that after the typhoon many local citizens search for
coins under the ruins to exchange them with money. But when the digging
happens Diaz doesnt give any clue of what the two children are after. This
quite long scene seems to become a filmmakers durational therapy for the
audiences psychology and himself. In real life, such activity can only be seen
by people passing by there but Diazs camera forces viewers to lookand
finally feelthe sensation of such ostensibly meaningless event. In spite of
cutting off the scene and showing the result, Diaz records the entire digging;
the camera (and Diaz as the cameraman) is absorbed in the curiosity of what
surprises may lie beneath. What is found is nothing. And as the two boys seem
to be oblivious to the recording technology in their surrounding, Diaz and his
camera in fact appear to bask in the joy of the two boys activity. At this point,
the cameras interest to present a narrative and describe information of whats
happening to viewers (meaning to confirm that the filmmaker and his camera
knows everything happening in his frames) changes into a basic human desire:
a deep curiosity. This shows that the camera adjusts its wavelength, its needs,
to the subjects need: the camera is empathic.
The cameras empathy then eventually determines the visual recording
form resulted, especially regarding the imagery effect that goes to the viewers
consciousness. The imagery effect that I mean is, of course, the visual power
presented in the face of the audienceif more than one angle the frames must
be composed in a certain order (montage, in other words)will present a system
of meanings in the viewers minds (the basic principle of representational work
initiated by Stuart Hall in 1997). Certain angles have unique meanings; a shot
124 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

to a certain direction will create a different meaning if followed or preceded


by a shot to a certain other direction. In the case of Storm Children, Book One,
although theres an angle from above, exposing the two squatting boys, Diazs
camera does not pretend to put them in an inferior position, neither does it
to evoke gloom and misery that we usually find in advocacy documentary.
The camera shooting downward in fact adjusts its logic to the other subjects
positions who pass by around the spot it records. If were attentive, we will see
in the scene other subjects presence near the boys. Because since the beginning
weve sensed the cameras consistence, aiming from peoples positions from the
location (not just the positions wanted by the filmmaker while disregarding
other subjects), the shot from the subjects walking trajectory or circulatory
course can be filmically understood. The camera that records from an upper
position and aiming downward then affirms its goal: faithfully following
the event and complying to curiosity toward the digging thats happening;
the camera takes advantage of the passer-bys viewpoint. In this scene, the
sensation we experience is Diazs curiosity toward the digging instead of the
two boys doing it. Thats why no pretension of condescending appears in the
system of meanings captured by the audience when watching this film.
This pattern that uses subjects circulatory courses recorded in the frame
is also seen in a scene of a children going back and forth to carry water from
a well to his house. With static shot, and several others that reciprocate, the
camera traces the movement area of people passing by the childs circulatory
course so that we can see the spatial layout. The empathic force created by its
visuality feels even stronger as we realize that the camera records the child from
up-close and and eye-level as he sits tiredly on his jerrycan. This shot doesnt
merely tell that the filmmaker pities the childs ordeal but actually serves to
delve into the childs character as he does his daily chore; the camera seems
to feel, too, the subjects emotions in the midst of uncertaity in his ravaged
region in the disasters aftermath.
***
To ensure that its interests are met, in some ways a region becomes a part of a
rulers jurisdiction (for instance, a region in a country). Its not just a nowhere
land but a territory, under the aegis of political relations that are significant to
its inhabitants prosperity. All interests belongs to the scope of certain territories
will be boiled over and clearly felt when the state ignore to them, especially
if we probe the feelings of its citizens. But the dead-end of this probe can be
solved through the mechanical force of cinema.
However, as cameraa tool of audio and visual recording that fundamentally
is predisposed to expose and annoy (even, distance) a location/territoryrecords
the life in a territory, the process of finding out what people feel often fails
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |125

as the camera is present as an outsider with an invisible distance toward its


subjects/objects captured and prone to judgement, prescribing local peoples
fate and status. The original peoples feelings are concealed and what appears
in frames are illusory images. This situation creates a gap between the camera
and the peoples interests.
In response to the problem above, empathy is finally understood as a process
that tries to omit the gap between the camera (technology/film/media) and
the peoples (public) interests. This has to do with the way camera comes to a
territory and negotiates with the local peoples interests. As we can see then, the
grip of the chance to trace and peek into the depth of the peoples conscience,
aesthetically, depends on the cameras expertise to track down in solidarity
with the peoples circulation in a territory. The empathic force that breaks
down local problems in details into a visuality can only be achieved when the
camera successfully takes out the distance to the peoples daily patterns. At the
same time, as the people are not perturbed by the cameras presence anymore,
their daily pattern of activity will contribute to decide the audiovisual style
and result that the camera wants to achieve. This method is indeed initiated
to achieve an evenhanded situation of the camera and the peoples interests.
Storm Children, Book One is a work that describes how the filmmakers
patience is pushed to drive his personal interest toward an equilibrium in the
understanding order of the peoples interests. Diazs camera resiliently follows
event in front of it and uses every moment as a key to scrutinize each crevice
previously unrealized, the magical door to the room where the subjects characters
captured in frames are saved. Not only to show how it happens, the camera is
present to experience the real sensation possessed only by the people it shoots.
The viewers are encouraged to appreciate the event recordedtogether with
the subjectsas if the screen we watch is the eyes of the subjects themselves.
Concerning the issue raised in this film, we can measure the relation
between the citizens (territory inhabitants) and the state (jurisdiction command),
especially in regard to local interests fulfillment. Storm Children, Book One
repeatedly records the huge shipwreck in Tacloban, presenting it as a strong
visual to signify the conflict between the state, capital and peoples powers.
Ships, a symbol of capital power, now wreckage, have come and overwhelmed
a small territory and destroyed much lives in it. This presence of unwanted big
ship is now something to be accepted, willingly or not; this becomes the tension
that flares the conflict, and by Diazs camera, is framed and clashed to reality
thatas we can see in the filmwe cant find any state elements (supposedly
capable to stave off the capital power that tends to repress) that deal with the
victims. Instead, we see how citizens continue their daily activities, surviving
with the natures decision, or how children by the beach joyfully play with the
shipwreckin the final scene, the children play, climb up the ship and jump to
the seawithout banal traumatic burden. In this scene Diazs camera especially
126 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

records the event earnestly, as if digging into the spirit of rebirth of a location
noticed by the nature. The childrens joy is the metaphore of this spirit.
This vision of Diaz seems to assert that cinema is basically a language
and a way to be involved. Some of his other works also show his involvement
in other regions and the people there, such as Death in the Land of Encantos
(2007)exposing the people and region of Mayon Mountain, Albay Province,
the Philippinesand Butterflies Have No Memories (2009)that raises
societal problems relating to mining activities in Marinduque, the Philippines,
that cause deaths near Boac River. Despite the fictional style of these films,
Diaz essentially proclaims his vision to make film as a tool and vehicle to
direct rulers attention to public interests. And its obvious that these works
have a deep concern over peoples feelings and experiences of certain regions.
Thats why Diazs works are important to watch in terms of how an aesthetic
framework is selected to poetically offer criticism to the state while giving
emphasis to local perspectives, especially in the context of Asian cinema and
cultures of the East. Diazs consistence should be highlighted as an effort to
achieve cinematic language novelties in his struggle to re-question the social
camera concept that falls short to justly accommodate peoples interests.
The absence of any significant state role framed in this film simultaneously
strengthens the significance of people system in survival. Regarding territory,
Storm Children, Book Ones montage harmonizes footages of the location he
focuses on to a visual rhythm, allowing the audience to sense a sort of people
mechanism that sustains lives despite the absence of the state. The cameras
position, determined by the peoples bodies and circulatory courses, following
where people see, becomes a rule that defines what events will be captured.
This method as a matter of fact dissects little by little the territorial location
visited by the camera. The images resulted become visual codes to consider
what really happens without narration or explanation since the visual reveals
reality more accurately. With an empathic principle, we need not listen to
words from one another to feel the same, as long as solidarity in tuning to
each others behavior and expression is built on an equal and up-close relation.
Works Cited:

ARKIPEL. (June 24, 2015). ARKIPEL: Grand Illusion, International Competition. Retrieved
July 7, 2015, from ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival:
http://arkipel.org/arkipel-grand-illusion-international-competition/
Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London:
Sage Publication Ltd.
Prince Claus Fund. (December 8, 2014). Lav Diaz Q&A: Culture in Action. Retrieved July
5, 2015, from YouTube channel of Prince Claus Fund: https://www.youtube.com/
watch?v=ZFCC2ra1qkg
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |127

CP / 26 AUGUST, CGV BLITZ, 17.00 / 18+

MGA ANAK NG UNOS, UNANG AKLAT


/ STORM CHILDREN, BOOK ONE
Lav Diaz (Philippines)
Country of Production Philippines
Language Filipino
Subtitle English
143 min, Black & White, 2014
sineoliviapilipinas@gmail.com

Renungan Lav Diaz akan majas badai yang


kerap melanda Filipina: tingkah penguasa
yang mengekang jiwa masyarakat dengan
menjajah; korupsi melembaga dan melukai
perasaan warga. Itulah badai paling tak
berbelaskasihan, melatarbelakangi bingkaian
Tacloban yang dilanda Badai Yolanda (2013).
Mengurai detail-detail teritori lokasi bencana
demi menemukan benang merah antara
kengerian dan kemegahan, kemuraman dan
harapan, teror dan kemurnian. Mengirama
alur sirkulasi gerak dan sudut pandang
penduduk, kamera Diaz menangkap spirit
anak-anak korban bencana di balik visual
kerusakan tersebut, sebagai tanda kekuatan
melawan badai di dalam jiwa manusia.

It is Lav Diazs contemplation on the


figurative side of the storms often wreaking
the Philippines: the authorities behavior
have put peoples souls in shackles through
colonialization, institutional corruption, and
pain infliction to common people. It is the
most merciless storm underlying this frame
of Tacloban attacked by Yolanda in 2013.
Breaking down the territorial details of the
disaster location to find the thread between
horror and awe, sorrow and hope, terror and
innocence, making a rhythm to the local
peoples viewpoint and flow circulation, Diazs
camera captures the spirit of children victims
in the midst of destruction visuals, a sign of
strength to fight against the storm within us.

Manshur Zikri

Lav Diaz adalah sutradara independen


kelahiran Mindanao, Filipina. Telah
membuat filem dalam dua puluh tahun
terakhir dan memenangkan beberapa
penghargaan, seperti dari Venice Film
Festival dan Toronto Film Festival.
Filmnya terkenal berdurasi panjang,
seperti Evolution of a Filipino Family
(2004), Heremias (2006), Death in the
Land of Encantos (2007), Melancholia
(2008), Norte, the End of History (2013),
dan From What Is Before (2014). Storm
Children, Book One (2014) merupakan
salah satu filem pendek-nya.

128 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Lav Diaz is a Filipino independent


filmmaker, born in Mindanao. He
has been making films the last twenty
years and has won several international
awards; such as the Venice Film
Festival and Toronto International
Film Festival. His films are known
with a long duration, such as Evolution
of a Filipino Family (2004), Heremias
(2006), Death in the Land of Encantos
(2007), Melancholia (2008), Norte, the
End of History (2013), and From What Is
Before (2014). Storm Children, Book One
(2014) is one of his short films.

DIDUKUNG OLEH ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

INTERDEPENDENSI
David Teh
The true war is the celebration of markets.

Thomas Pynchon, Gravitys Rainbow, 1973

Jelaslah bahwa program kuratorial ini merupakan sebuah penjelajahan, bukanlah


argumentasi. Betapapun senangnya kita pada seni dari film programming,
festival mau tidak mau bergantung pada perputaran cepat ekonomi dan logika
kebudayaan yang lebih luas terkait aktivitas pemrograman, sebagaimana yang
dialami hal-hal lainnya kini. Simpulan akhir yang menentramkan dari budaya
tontonan pun seakan memberi ruang bagi sederet pilihan yang spontan. Walau
kita bertahan dengan ritual-ritual budaya menonton, yang biasanya dilakukan
berjamaah, sulit bagi kita untuk mengabaikan sarana-sarana dan jenis ritualritual barumenonton secara online, seringkali dilakukan sendirian; menonton
di sela aktivitas lain; menonton begitu saja dengan cara-cara yang terlepas dari
protokoler bioskopdan itu semua adalah kondisi di mana sebagian besar
gambar bergerak (moving image) bersirkulasi, dan beragam pilihan sering
kali muncul.
Kehendak bebas manusia tak akan tergantikan oleh algoritma. Namun, di
tengah gelombang pasang konten digital, kebanyakan rumusan program yang
kita lakukan tak ubahnya dengan hasil pencarian di fitur digital itu sendiri.
Keadaan ini membuat kegiatan pengkurasian sebuah program menjadi lebih
menantang, dan lebih penting. Tim ruangrupa, Forum Lenteng dan ARKIPEL
tak pernah segan menegakkan payung-payung tematik bagi program-program
mereka. Apa pun persyaratan yang kita punya terkait organisasi tematik, itu
menandakan kepercayaan diri dan arah intelektual, nilai-nilai bonus di tengah
kekurangan keahlian dan inisiatif yang dialami banyak lembaga. Sebuah tema
tak perlu menyiratkan fokus yang sempit, apalagi keangkuhan. Agaknya,
kekuatan tema, dalam berbagai program sebesar apa pun, seharusnya dinilai
dari materi apa saja yang diikutsertakan dibandingkan dari apa yang tidak
diikutsertakan. Saya mengagumi pendekatan yang digunakan kelompokkelompok ini selama bertahun-tahun, baik dari segi fleksibilitasnya maupun
dari segi arah tujuannya.
Tapi harus saya akui bahwa saya pun mengalami pergumulan tersendiri
dengan tema ini! Kendati kelihatannya, penjelajahan mengenai interdependensi
ini diawali dengan The Great Illusion (1909/1910). Satu di antara implikasiimplikasi utama dari argumen Angell ialah ide bahwa kekuatan militer tak
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |129

lagi memiliki hubungan langsung pada kemampuan orang-orang yang


menjalankannya. Seabad setelah bukunya terbit, hal itu sulit untuk diyakini
tentu saja tidak jika mengacu pada anggaran militer Indonesia. Angell menulis
dalam konteks mobilisasi naas menuju perang dunia pertama, tetapi dia tak
bisa mengantisipasi munculnya panggung yang lebih mendunia di perang
dunia kedua, ataupun belenggu keji kolonialisme yang mengikuti setelahnya.
Namun, jika kita melihat lebih jauh perubahan-perubahan historik ini, kita
mendapati satu poin yang lebih umum tentang dematerialisasi dan deteritorialisasi
kesejahteraan, proses yang mengalami percepatan oleh teknologi transportasi
dan komunikasi dalam beberapa dekade terakhir.
Oleh sebab itu, tema yang diusung ARKIPEL kali ini bisa kita pandang
sebagai pancingan untuk meninjau ulang pra-sejarah globalisasi. Karena
kekuatan kapital selalu memandang ke cakrawala yang lebih jauh, sebagaimana
yang dijelaskan Ter Haar kepada Minke di atas dek kapal Oosthoek. Barangkali,
satu-satunya perbedaan dengan masa kita sekarang ini, yaitu semua inisiatifinisiatif kita, besar maupun kecildan festival filem juga termasukdiwajibkan
untuk terlibat pada lanskap global. Tapi kondisi terbaru dari arus pertukaran itu
membawa potensi yang tidak hanya untuk tingkat kontrol yang belum pernah
terjadi sebelumnya, tetapi juga untuk kebebasan, satu janji yang ambivalen yang
menyatukan banyak teoritikus pascaperang tentang kekuasaan (Foucault), tentang
modal (Castells; Hardt dan Negri), dan tentang kehendak dan kelembagaan
(Latour, Deleuz dan Guattari). Dematerialisasi dan deteritorialisasi dari
gambar bergerak tak terkecuali.
Implikasi lain dari pandangan Angell adalah usangnya konsep teritorial
dalam ambisi-ambisi politis. Waktu saya pindah ke Asia Tenggara sepuluh
tahun lalu, rumusan ini terdengar masuk akal. Dalam kampanye war on terror,
xenofobia agaknya sudah menjadi tren di arena politik Australia. Pada tahun
2001, parlemen Australia bahkan telah mengundang-undangkan penerapan
cukai dan visa di Christmas Island sebagai bagian dari badan geografis
nasional (Zona Migrasi Australia). Setelah ekspansi yang berabad lamanya,
paradigma positif terkait teritori kebangsaan tampaknya malah berbalik arah.
Pemotongan ini dijual kepada kelas menengah kaya sebagai respon rasional
terhadap ancaman asing yang membayangi pantai Australia, sedangkan risiko
berat yang diambil para pencari suakadi antara jiwa-jiwa dunia yang paling
rentan dan malangdisamaratakan dengan semangat para pelaku bom bunuh
diri. Betapapun konyolnya, ini terbukti sebagai cara yang manjur agar negara
dapat menerapkan reklasifikasi dan militerisasi dalam proses imigrasi, dibungkus
dalam manuver kehumasan dan program acara TV sebagai Border Protection.
Mungkin terlalu jauh untuk mengatakan bahwa sebuah teritori adalah sebuah
tanggung jawab, tapi xenofobia jelas telah menjadi aset politik. Masyarakat
yang hampir keseluruhan warganya adalah imigran beserta keturunannya
menyelesaikan isu teritorial ini dengan mengapalkan semua tanggung jawab
130 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

ke bumi manusiamengirim semua pendatang gelap yang masuk dari laut ke


Nauru, Papua Nugini, dan, kini, juga ke Kamboja. Setelah manuver legislatif
akrobatik di tahun 2013, kini seluruh kawasan Australia berada dalam Zona
Migrasi dan pemerintahnya justru membayar pelaku human-trafficking untuk
mendaratkan kargo mereka di pantai lain.
Tapi ternyata globalisasi tidak berarti akhir dari negara bangsa, tapi bukan
juga akhir dari penjajahan. Konflik teritorial tetaplah tinggi: Ukraina dicaplok
oleh Putin yang angkuh; beberapa bagian dari Suriah dan Irak dikuasai oleh
ISIS; purwanegara Kurd semakin mengemuka di tengah ketegangan sekterian
di kawasan tersebut; landasan udara milik Tiongkok menyeruak dari daratan
dangkal di Laut Tiongkok Selatan, sementara banyak daratan negara-negara
lain justru terabrasi oleh naiknya garis pantai. Mungkin hanya sebagian kecil
dari kita yang dapat menjelaskan klaim historis 238 prajurit Kesultanan Sulu
yang menyerang Lahad Datu di Sabah, negara bagian Malaysia, di tahun 2013,
tapi kita menyadari bentuk manifestasinya. Dan klaim itu tidak sepenuhnya
unilateral. Itu bertumpu pada pernyataan yang dibuat oleh pemerintahan
Spanyol, Brunei, Malaysia dan Filipina (termasuk perjanjian gencatan
senjatanya dengan kelompok separatis), serta kontrak dengan sebuah perusahaan
Inggris di abad 19. Belum lagi menyoal konflik teritorial yang juga terjadi di
kawasan yang masih berdekatan, yaitu di Spratly Islandsyang juga sedang
dipeributkanmenyeret Tiongkok, Taiwan, Vietnam, dan tak pelak juga,
Amerika ke dalam pusaran ketegangan. Dengan kata lain, konflik teritorial,
tak jauh berbeda dengan perdagangan bebas, menyingkap sejarah kompleks
terkait interdependensi. (Oleh karena itulah aktualitas dari paviliun Patrick
Flores di Venice tahun ini, memilih sebuah filem berbahasa Filipina tentang
Genghis Khan sebagai titik tolaknya.)
Bebas dari pancaroba industrial Eropa di era sebelum peperangan, dalil
Angell, bahwa penaklukan tidak lagi meningkatkan kedudukan nasional,
tampak goyah. Tapi nalarnya patut mendapat perhatian kita. Semakin kita
meninjau interdependensi ekonomi kita, semakin terungkap bahwa ini adalah
lagu lama. Ekonomi kapitalis menandakan interdependensi, dan nyaris
tidak ada pedesaan yang imun terhadap kondisi ini bahkan sejak seabad
yang lalu, sebagaimana pernah Ter Haar ilustrasikan kepada Minke. Dalam
pengamatannya atas sebuah komunitas di utara Thailand tentang lingkaran
pinggir perekonomian abad 19, Katherine Bowie telah menghancurkan citra naif
dari ekonomi penghidupan (dan dengan itu, mitos bodoh tentang sufficiency
masih dijajakan oleh elite royalis Thailand) (Bowie, 1992). Angell menghadirkan
tantangan untuk kita, untuk menilik dan memperbarui pemahaman kita
mengenai interdependensi. Yang terakhir ini bukanlah komplikasi terbaru dari
kebebasan (independence)sebaliknya, gambaran kita mengenai kebebasan
telah bercampur aduk, terjahit bersama-sama dengan ketergantunganketergantungan (dependences) kita (spiritual, linguistik, kolonial, perdagangan,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |131

fiskal)agaknya tak jauh berbeda dengan mandala yang digambarkan oleh


O.W. Wolters: tautan antara Asia Tenggara pra-modern dan globalisasi tidak
lenyap di perintis regionalisme (Wolters, 1982). Jangan lupakan juga bahwa
sebagai alat globalisasi, AEC bermaksud meningkatkan level kompetisi antara
negara anggotanya, setara dengan level kolaborasinya.
Adalah mungkin untuk menghimpun karya-karya yang secara langsung
membicarakan isu geopolitik dan ekonomi iniA Dashed State (2015) karya
Mariano Motelibano yang dipertunjukkan di paviliun Flores di Venice, atau
karya seminal Allan Sekula, Fish Story (1995), yang sekarang sedang ditampilkan
di Centre of Contemporary Art, Singapura. Kita juga bisa berangkat dari karya
lokal melalui Sunrise Jive (2005) dari Mahardika Yudha, dan My Sneakers
(2001) dari Michael Blum. Pendekatan ilustratif seperti dalam karya-karya
tersebut tentu membutuhkan survei yang menyeluruh di bidang terkait, dan kita
pastinya akan menemukan tanda-tanda interdependensi pada banyak lapisan:
tidak hanya bersifat geo-strategis dan ekonomi, tetapi juga berkenaan dengan
kelas sosial, budaya, semiotika, biopolitik, dan sebagainya. Saya sendiri lalu
memutuskan untuk membidik isu interdependensi pada sebuah latar mengenai
bentuk (formal) dan estetik, daripada yang bersifat politik-naratif. Apa makna
interdependensi bagi gambar bergerak? Bagaimanakah artikulasinya dalam
kerangka bentuk?
Dalam karya terbarunya, The Nameless (2015), Ho Tzu Nyen menyingkap
interdependensi nan rumit antara sejarah dan fiksi dengan meleburkan dua arketip
dalam sinema: sang bintang dan si mata-mata. Keduanya adalah pengelana
yang dihantui oleh peran di masa lalu mereka. Montase yang dibuat oleh Ho
dengan cerdas mengupas kebungkaman identitas, mempertanyakan peran
sinema dalam membentuk imajinari dari Perang Dunia. Dalam Suprematist
Kapital (2006), James T. Hong menggabungkan semiotika dari modal global
dan turunan-turunannya, sebuah lalu lintas yang saling sengkarut di mana
nilai-nilai surplus yang tak terduga dibebaskan, termasuk juga surplus dari
sejarah seni. Hong terkenal akan karya-karya investigatifnya, salah satunya
studi atas penggunaan senjata biologis oleh tentara Jepang dalam pendudukan
Zhejiang, Tiongkok. Cutaways of Jiang Chun Gen Forward and Back Again
(2012) bisa dilihat sebagai efek samping, atau juga pemaparan ontologis, dari
sebuah proses dokumenter. Dari guncangan ritmis antara objektif dan footage
yang kontekstual, muncul ketegangan yang sulit dipecahkan, antara kehidupan
sehari-hari yang berulang dan ketakberulangan sebuah Peristiwa.
Strategi dari seniman-seniman tersebut membuka perspektif baru mengenai
sejarah kita akan interdependensi, mengungkap lapisan-lapisan dependensi
dan pertukaran yang sebelumnya tak tampak. Western Digital (2013) karya
Emile Zile menunjukkan bagaimana suara dapat lebih menentukan gambar.
Dokumentasi beraninya terhadap ritual banal dari dokumentasi, budaya sedekah
keliling di Luang Prabang, dibenturkan dengan soundtrack sinematik nan
132 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

megah. Sedekah diberikan; gambar dibawa sebagai bukti sebuah pertunjukan


keimanan yang lebih otentik . Tapi apakah pemberian turis itu kurang
nyatanya? Sebagaimana citra-citra religius, seperti Luang Prabang sendiri,
pernah menjadi indikator utama kesejahteraan sebuah kota. Kini, di Laos era
pos-sosialis, citra yang berkelebihan mengukuhkan kontinuitas kehidupan.
Karya awal Apichatpong Weerasethakul, thirdworld (1998), mengingatkan
kita bahwa dalam seni, kontinuitas selalu diproduksi. Terlepas dari sifat jujur
dari apa yang direkam, konstruksi sebuah video tak pelak menghasilkan
kelebihan makna, berpotensi menghasilkan pembacaan yang tidak tepat dan
juga sisipan yang dapat membuka dependensi dari satu saluran atau satu sinyal
atas saluran atau sinyal lainnya (Langenbach, 2010). Bagi beberapa orang ini
bukanlah hambatan tapi justru kesempatan. Menurut Ray Langenbach, dunia
ketiga dalam filem Apichatpong tidak akan bisa ditemui di peta apa pun,
karena ia adalah ruang yang mewujud dalam filem itu sendiri. Dalam Blue
and Red (2014), Zhou Tao dengan cekatan memaksimalkan potensi luar biasa
dari gambar bergerak. Melalui penyusunan ekstra sabar terhadap footage dari
dua lokasi berbeda, melebur sebuah suasana yang perlahan berpadu. Dalam
prosesnya, asosiasi yang tak kentara muncul dari dua komunitas dan sejarahnya;
di antara aktivitas dan jeda, di antara aksi politik dan waktu santai, kumpulan
energi yang kontras saling larut dalam dimensi ruang-waktu karya tersebut.
Singapura, Juli 2015

Bacaan:

Bowie, K. A. (1992, November). Unraveling the Myth of the Subsistence Economy. Journal
of Asian Studies, 51(4), 797-823.
Langenbach, R. (2010). subtitling apichatpong weerasthakuls thirdworld. Contemporary
Art + Culture Boradsheet, 39(4).
Wolters, O. (1982). History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives. Itacha, NY:
Cornell Southeast Asia Program Publications.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |133

CURATORIAL PROGRAM: INTERDEPENDENCE

ON INTERDEPENDENCE
David Teh

The true war is a celebration of markets.

Thomas Pynchon, Gravitys Rainbow, 1973

It will be clear that this programme is an exploration, not a developed argument.


As much as we may cherish the art of film programming, festivals are, like
everything else these days, subject to a fast-changing attention economy and a
much wider cultural logic of programming. The reassuring closure of the session
(sance) may be giving way to the more spontaneous sequencing of the playlist.
Though we cling to our rituals of viewing, of viewing together, we can hardly
ignore the new rituals and platformsviewing online, often alone; viewing
interrupted; viewing set loose from the protocols of the cinemaand these
are conditions in which most moving images are circulated and selections are
often made.
Human volition may never be replaced by an algorithm. Yet in a rising tide
of digital content, our programmes become more like search results.This makes
the programming of programmes more challenging, and more important. The
ruangrupa, Forum Lenteng andARKIPELteams have never been shy about
erecting thematic umbrellas for their programmes. Whatever reservations we
might have about thematic organization, its often a sign of confidence and
intellectual direction, values at a premium where institutions still lack expertise
and initiative. A theme neednt imply a narrowing of focus, nor curatorial
vanity.And perhaps its strength, in any large programme, should be judged
more by what it includes than by what it excludes. I have admired these groups
approach over the years as much for its looseness as for its direction.
Nevertheless, I admit that I struggled with this theme!Despite appearances,
this exploration of interdependence did begin withThe Great Illusion (1909/1910).
Amongst the chief implications of Angells argument is the idea that military
power no longer has any direct relation to the prosperity of the people exercising
it. A century after his book was published, its hard to be convincedcertainly
not if Indonesian military spending is any guide. Angell was writing in the
context of the fateful mobilization towards a first world war, but he could
not have anticipated the unfolding of a more worldly theatre in the second,
nor the violent unshackling of the colonial world that followed. Yet if we look
beyond these historical vicissitudes, we find a more general point about the
134 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

SUPPORTED BY ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

dematerialization and deterritorialisation of wealth, processes accelerated by


transport and communication technologies in the last few decades.
ARKIPELs theme might therefore be an invitation to rethink the prehistories of globalization.For big capital has always looked to further horizons,
as Ter Haar explains to Minke on the decks of the Oosthoek. Perhaps the only
difference now is that all our initiatives, big and smalland this includes film
festivalsare obliged to engage on a global landscape. Yet the new conditions
of exchange carry the potential not only for an unprecedented level of control,
but also for liberation, an ambivalent promise that unites many postwar theorists
of power (Foucault), of capital (Castells; Hardt and Negri), of desire and agency
(Latour, Deleuze and Guattari). The dematerialized and deterritorialised moving
image is no exception.
Another implication of Angells thesis is the obsolescence, for political
purposes, of territory. When I moved to Southeast Asia ten years ago, this idea
made sense. In the war on terror, xenophobia was becoming trendy in Australian
politics. The parliament had even legislated in 2001 to excise Christmas Island
from the national geo-body (the Australian Migration Zone). After centuries
of expansion, the innate positivity of national territory seemed to have been
reversed. This amputation was sold to a rich middle class as a rational response
to the threat of otherness washing up on its shores, while the grave risks taken by
refugeesamongst the worlds most vulnerable and pitiable soulswere aligned
with the passion of the suicide bomber. As ludicrous as this sounds, it was a
successful ploy that allowed the state to reclassify and militarize immigration,
rebranded in PR campaigns and TV shows as Border Protection.It may be
too much to say that territory had become a liability, but xenophobia certainly
became a political asset. A society almost entirely composed of immigrants and
their descendants solved its territorial problems by offshoring all responsibility
to this earth of mankind sending its sea-borne arrivals to Nauru, Papua New
Guinea, and now Cambodia. After an impressive feat of legislative gymnastics
in 2013, now the whole of Australia sits outside the Australian Migration Zone,
and the government apparently even pays people-smugglers to take their cargo
elsewhere.
But it turns out globalization doesnt spell the end of the nation state, nor
of conquest. Territorial conflict is rife: Ukraine is annexed by a chest-thumping
Putin; swathes of Syria and Iraq are run by a would-be Islamic State; a Kurdish
proto-state becomes visible amidst that regions new sectarian balance of power;
and Chinese airstrips emerge from the shallows of the South China Sea, while
other nations sink below rising oceans. Perhaps few of us could explain the
historical claim of the 238 crusaders of the Sulu Sultanate who stormed Lahad
Datu in the Malaysian state of Sabah in 2013, but we recognize its manifest
form. And that claim is not exactly unilateral. It rests on representations made
by governments of Spain, Brunei, Malaysia, the Philippines (and its ceasefire
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |135

agreement with a separatist group), as well as a nineteenth century contract


with a British company, to say nothing of rising tensions over the nearby Spratly
Islandswhich they also claimbringing China, Taiwan, Vietnam and inevitably
the U.S. into the fray. In other words territorial conflict, no less than free trade,
reveals our complex histories of interdependence. (Hence, the timeliness of Patrick
Flores pavilion in Venice this year, taking as its point of departure a 1950 Filipino
film about Genghis Khan.)
Freed from the industrial crucible of pre-war Europe, Angells proposition,
that conquest no longer improves national standing, is looking shaky. Yet
his reasoning deserves our attention.For the more we look at our economic
interdependence,the more it reveals itself as an old story rather than a new one.
Capitalist economy means interdependence, and scarcely any village was immune
even a century ago, as Ter Haar tried to convince Minke. Studying a northern
Thai community on the fringes of the money economy in the nineteenth century,
Katherine Bowie has shattered the nave image of a subsistence economy (and
with it, the fatuous myth of sufficiency still peddled by Thailands royalist elite)
(Bowie, 1992). What Angell gives us is a challenge, to scrutinize and renew
the terms of our interdependence. The latter is not some recent complication
of independencerather, our image of independence was already a patchwork,
stitched together out of our dependences (spiritual, linguistic, colonial, mercantile,
fiscal)perhaps not so different to the mandala described by O.W. Wolters:
the connections between pre-modern Southeast Asia and globalisation were not
lost on the pioneer of regionalism (Wolters, 1982). And lets not forget that as an
instrument of globalisation, the AEC is about increasing competition amongst
member states, as much as collaboration.
It would be possible to assemble works that address these geopolitical and
economic considerations directlyMariano Montelibanos A Dashed State (2015)
in Flores pavilion, or Allan Sekulas seminal Fish Story (1995), currently on show
at Singapores Centre for Contemporary Art. Or one could begin locally, with
Mahardika Yudhas Sunrise Jive (2005), and Michael Blums My Sneakers (2001).
Any such illustrative approach would demand a thorough survey of the field, and
we would surely find signs of interdependence on many strata: not just geo-strategic
and economic, but also on the level of class, culture, semiotics, biopolitics, and
so on. But I have decided to pursue interdependence on a formal and aesthetic
plane, rather than a narrative-political one. What does interdependence mean
for moving images? How is it articulated in formal terms?
In his new video, The Nameless (2015), Ho Tzu Nyen unfurls the complex
interdependence between history and fiction by conflating two archetypes of the
cinema: the star and the spy. Both are hosts to vagrant personae, both haunted,
contaminated, by roles gone by. Hos canny montage plays on the mutability of
identity, interrogating the cinemas role in structuring the Cold War imaginary.
In Suprematist Kapital (2006), James T. Hong jumbles the semiotic fronts of
136 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

global capital and its various others, a promiscuous traffic in which unforeseen
surplus values are liberatedincluding those of art history. Hong is known for
investigative work, like his study of the Japanese Armys use of biological weapons
during its occupation of Zhejiang Province in China. Cutaways of Jiang Chun Gen
Forward and Back Again (2012) could be seen as a side-effect, or ontological
debrief, from the documentary process. From the rhythmic oscillation between
objective and contextual footage emerges an insoluble tension, between the looped
familiarity of daily life and the stubborn irreversibility of the Event.
These artists formal strategies open another perspective on our histories of
interdependence, revealing unseen layers of dependence and exchange. Emile Ziles
Western Digital (2013) shows how readily sound can over-determine an image.
His poised documentation of a banal ritual of documentation, the morning alms
round in Luang Prabang, is embarrassed by a lavish, cinematic soundtrack. Alms
are given; images are taken away as tokens of a more authentic performance of
faith. But is the tourists investment any less real? Just as religious images, like
the famed luang prabang itself, were once the chief index of a towns prosperity,
in post-socialist Laos another image-surplus now secures lifes continuities.
An early work by Apichatpong Weerasethakul, thirdworld (1998), reminds
us that in art, continuity is always produced. Despite the candid nature of what
is recorded, the construction of a video inevitably yields an excess of meaning,
ripe for mistranslation and slippages that can expose the dependence of one
channel or one signal on another (Langenbach, 2010). For some this is not a
quandary but an opportunity. As Ray Langenbach suggests, the third world
of Apichatpongs title will not be found on any map it is the space opened by
film itself.In Blue and Red (2014), Zhou Taodeftly exploits this very potential
of the moving image. Through the patient layering of footage from two distinct
locations, a single, shared atmosphere gradually coheres. In the process, subtle
associations emerge between two communities and their histories; between
activity and repose, between political action and leisure, disparate energies are
dissolved into the discrete time-space of the work.
Singapore, July 2015
Works Cited:

Bowie, K. A. (1992, November). Unraveling the Myth of the Subsistence Economy. Journal of
Asian Studies, 51(4), 797-823.
Langenbach, R. (2010). subtitling apichatpong weerasthakuls thirdworld. Contemporary Art +
Culture Boradsheet, 39(4).
Wolters, O. (1982). History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives. Itacha, NY:
Cornell Southeast Asia Program Publications.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |137

CP / 24 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 / 18+

SUPREMATIST KAPITAL
Yin-Ju Chen & James T. Hong
(Taiwan & USA)
Country of Production USA
Language English
Subtitle English
5 minutes, Color, 2006

Satu sejarah simbolik Kapitalsebuah sejarah


simbolik Barat. Terinspirasi dari karya seni
minimalis Kasimir Malevich dan perjuangan
demi sumber daya di era kejayaan minya,
Suprematist Kapital lahir dari keinginan
untuk mencipta sebuah karya visual yang
dapat diletakkan pada beragam medium yang
berbeda ukuran terlepas resolusi, misalnya
layar bioskop, peranti mobile, ipod, dll. Ketika
teknologi sebagai sebuah kemajuan telah
menjadi akhir dengan sendirinya, ia menjadi
hamba akumulasi kapitalis dan perang, dan
sekarang sebuah bentuk kapital itu sendiri di
era kejayaan minyak dan interpretasinya dalam
budaya dan politik Tiongkok kontemprer.

A symbolic history of Kapital a symbolic


history of the West. Inspired by Kasimir
Malevichs minimalist artworks and the
struggles for resources in the age of peak oil,
Suprematist Kapital was born of the want to
create a visual artwork that could be displayed
on many different-sized mediums regardless
of resolution, e.g., theater screens, mobile
devices, ipods, etc. When once technology
as progress was an end in itself, it became
the handmaiden of capitalist accumulation
and war, and is now a form of capital itself in
the age of peak oil and its interpretation in
contemporary Chinese culture and politics.

Medium utama Yin-Ju Chen


adalah video, tapi karya-karyanya
juga termasuk foto, instalasi dan
drawing. Beberapa tahun terakhir, ia
fokus terhadap isu mengenai fungsi
kekuasaan dalam masyarakat,
nasionalisme, rasisme, totalitarianisme,
kesadaran kolektif. Ia tinggal dan
berkarya di Taipei. James T. Hong
seorang sineas Asia-Amerika dan
seniman yang karyanya cenderung
fokus pada topik dan tokoh filsafat, isu
kelas dan ras yang kontroversial, dan
konflik sejarah di Asia.

138 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Yin-Ju Chens primary medium is


video, but her works also includes
photos, installations and drawings.
In the past few years she has focused
on the function of power in
human society, nationalism, racism,
totalitarianism, collective thinking or
collective (un)conscious. She currently
lives and works in Taipei, Taiwan.
James T. Hong is an Asian American
filmmaker and artist whose works tend
to focus on philosophical topics and
figures, controversial race and class
issues, and historical conflicts in Asia.

CP / 24 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 / 18+

THE NAMELESS
Ho Tzu Nyen (Singapore)
Country of Production Singapore
Language Mandarin / Cantonese
Subtitle English /Indonesia
20 minutes, Color,2014

Filem ini mengisahkan seseorang yang dikenal


sebagai Lai Teck, satu dari 50 alias milik
Sekretaris-Jenderal Partai Komunis Malaya
(1939-1947), yang dibunuh di Thailand setelah
ketahuan menjadi triple agentsebagai agen
rahasia Prancis dan Inggris, dan sebagai agen
Kempetai Jepang selama pendudukan wilayah
yang kini masuk bagian dari Malaysia. Tapi
filem ini juga tentang sinema dan keactoran
(acting). Dari semua budaya sinematik dunia,
agaknya sinema Hong Kong telah menunjukkan
daya tarik paling kuat terhadap karakter individu
kompromis, seperti terlihat pada arus perfileman
Hong Kong tentang stool pigeons, doubleagents, informan, and pengkhianat. Sebuah
filem tentang seorang ahli penyamar, melalui
rangkaian kumpulan footages dari filem-filem
yang dibintangi Tony Leung Chiu-Wai, seroang
aktor terkenal Hong Kong.

It is about a person known as Lai Teck,


which was one of the 50 known aliases of the
Secretary General of the Malayan Communist
Party from 1939 to 1947, when he was killed in
Thailand after being exposed as a triple agent,
working first for the French and British secret
forces, then with the Japanese Kempeitai
during the years of the Malayan Occupation.
But it is also about cinema, and acting. Of
all the great cinematic cultures of the world,
it is perhaps Hong Kong cinema that has
shown the most intense fascination with
compromised individuals, as evident from
the constant stream of Hong Kong films about
stool pigeons, double-agents, informers,
and traitors. A film about a shapeshifter, told
through a series of pilfered images, featuring
film footages of Tony Leung Chiu-Wai, a
famous Hong Kong actor.

Ho Tzu Nyen (Singapura, 1976)


mendapat gelar BA dari Victorian
College of the Arts, University of
Melbourne (2001) dan MA untuk
kajian Asia Tenggara dari National
University of Singapore (2007).
Membuat filem, instalasi video
dan pertunjukan teatrikal yang
berhubungan dengan filsafat dan
sejarah. Sejumlah festival filem
internasional telah mempresentasikan
karyanya, termasuk Cannes, Venice,
Locarno, Sundance, dan Rotterdam.

Ho Tzu Nyen (b. 1976 in Singapore)


earned a BA in Creative Arts from
Victorian College of the Arts,
University of Melbourne (2001), and
an MA in Southeast Asian Studies
from the National University of
Singapore (2007). He makes films,
video installations, and theatrical
performances that are related to his
interests in philosophy and history.
Numerous film festivals have presented
his work, including Cannes, Venice,
Locarno, Sundance, and Rotterdam.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |139

CP / 24 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 / 18+

WESTERN DIGITAL
Emile Zile (The Netherlands)
Country of Production The Netherlands
Language Laotian
Subtitle English
11min, Color, 2013

Aku seorang biksu. Aku seorang wisatawan.


Di jalan kulihat panggung bagi setiap
negosiasi dan konf lik manusia. Khusus
bagi video ini, aku tertarik membandingkan
prinsip-prinsip Budha mengenai kesadaran,
meditasi, dan melepaskan diri dari waktu,
dengan aksi fotograf i, penggenggaman
keabadian, pembekuan sebuah momen.
Bidikan terakhir dari filemku, Jack, tahun
2012, adalah tokoh soliter yang pingsan di
kuil Buddha di Footscray, Australia. Filem ini
adalah sebuah sekuel nan miring [atasnya].
Emile Zile

I am a monk. I am a tourist. Within the


street I see the stage for every human conflict
and negotiation. Specifically for this video
I was interested in contrasting the buddhist
principles of mindfullness, meditation,
removing yourself from time to the act of
photography, grasping for permanence,
embalming a moment. The last shot of my
2012 film Jack is a solitary figure passed
out in a half-finished Buddhist temple in
Footscray, Australia. This film is an oblique
sequel. Emile Zile

Emile Zile adalah seorang seniman,


sineas dan performer. Dia menerima
gelar BFA dari RMIT Media Arts
Melbourne sebelum pindah ke
Amsterdam tahun 2007 untuk meraih
MFA di Sandberg Institute. Tahun
2002 Emile mengikuti residensi di
Rjksakademie van beldeende kunsten,
Amsterdam. Eksibisi, penayangan dan
pertunjukan terbarunya, antara lain di
National Gallery of Victoria Australia,
Fargfabriken Stockholm, MCA
Sydney, Rojo Nova Sao Paulo Brazil,
dan Film Festival Rotterdam.

140 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Emile Zile is an artist, filmmaker


and performer. Emile received a
BFA degree from RMIT Media
Arts Melbourne before relocating to
Amsterdam in 2007 to commence a
MFA degree at Sandberg Institute.
In 2012 Emile began a two year
studio residency at the Rjksakademie
van beldeende kunsten, Amsterdam.
Recent exhibitions, screenings and
performances include National
Gallery of Victoria Australia, ICA,
Fargfabriken, MCA Sydney, Rojo Nova
Sao Paulo, Film Festival Rotterdam.

CP / 24 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 / 18+

CUTAWAYS OF JIANG CHUN GEN /


FORWARD AND BACK AGAIN
James T. Hong (USA)
Country of Production USA/Taiwan
Language English/Mandarin
Subtitle English
10min, Color, 2012

Sebuah potret kehidupan seorang petani tua


Tiongkok yang mengalami infeksi akibat
perang biologis dengan Jepang di tahun 1942,
saat usianya masih dua tahun. Sisa anggota
keluarganya telah meninggal akibat infeksi
tersebut, tetapi dia tetap bertahan dan hidup
selama 70 tahun dengan luka terbuka.

A portrait of an elderly Chinese farmer who


was infected by Japanese biological warfare
in 1942, when he was two years old. The rest
of his immediate family members perished
from their infections, but he has lived and
persevered for 70 years with open wounds.

James T. Hong adalah seorang sineas


Asia-Amerika dan seniman yang
karya-karyanya cenderung fokus
pada topik dan tokoh filsafat, isu
kelas dan ras yang kontroversial, dan
konflik sejarah di Asia. Karya filem
dan videonya antara lain Behold the
Asian: How One Becomes What One Is
(2000), Condor: A Film from California
(1998-1999), The Form of the Good
(2005-2006), Taipei 101: A Travelogue
of Symptoms (2004), Suprematist Kapital
(2006), dan The Denazification of MH
(2006).

James T. Hong is an Asian American


filmmaker and artist whose works tend
to focus on philosophical topics and
figures, controversial race and class
issues, and historical conflicts in Asia.
His films and videos include Behold the
Asian: How One Becomes What One Is
(2000), Condor: A Film from California
(1998-1999), The Form of the Good
(2005-2006), Taipei 101: A Travelogue
of Symptoms (2004), Suprematist Kapital
(2006), and The Denazification of MH
(2006).

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |141

CP / 24 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 / 18+

thirdworld
Apichatpong Weerasethakul (Thailand)
Country of Production Thailand
Language Thai
Subtitle English
17min, B/W , 1998

Filem ini menggambarkan lanskap, secara


metaforis dan aktual, dari pulau bernama Panyi.
Mencerminkan impresi waktu pengambilan
gambar pulau untuk beberapa hari. Bebunyian
diambil dari sumber-sumber berbeda, tetapi
semuanya direkam saat subjek-subjeknya tak
sadar sedang direkam. Jadi, dapat disebut
sebagai dokumenter ter-re-konstruksi. Judulnya
diniatkan sebagai sebuah parodi dunia yang
digunakan Barat dalam menggambarkan Thailan
atau lanskap eksotis lainnya. Filem ini adalah
suara individual yang tinggal di lingkungan
semacam itu. Filem ini disajian dalam kualitas
sederhana dan kasar, karena ia adalah produk
dari selamba. Apichatpong Weerasethakul

This film depicts landscapes, metaphorically


and actuality, of the southern island called
Panyi. It reflects the impression of the shooting
time at the island for several days. The sounds
are taken from different sources, but all were
recorded while the subjects were not aware of
the recording apparatus. Thus, this piece may
be called a re-constructed documentary. The
title is intended as a parody of the word that is
being used by the West to describe Thailand
or other exotic landscapes. This film is the
voice from individuals who reside in such
environment. The film is presented in crude
and rugged quality, as it is a product from the
uncivilized. Apichatpong Weerasethakul

Apichatpong Weerasethakul (lahir


16 Juli 1970) adalah seorang pembuat
film, penulis skenario, dan produser film
Thailand independen. Filemnya, antara
lain Uncle Boonmee Who Can Recall His
Past Lives, pemenang Palme dOr prize di
festival bergengsi Cannes Film Festival
2010; Tropcal Malady, yang memenangkan
Jury Prize di Cannes Film Festival 2004;
Blissfully Yours, yang memenangkan
hadiah tertinggi dalam program Un
Certain Regard di Cannes Film Festival
2002; dan Syndromes and a Century, yang
tampil perdana di 63rd Venice Film
Festival dan filem Thailand pertama yang
masuk dalam kompetisi di festival itu.

142 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Apichatpong Weerasethakul (born


July 16, 1970) is a Thai independent
filmmaker, screenwriter, and film
producer. His feature films include
Uncle Boonmee Who Can Recall His Past
Lives, winner of the prestigious 2010
Cannes Film Festival Palme dOr
prize; Tropical Malady, which won a
jury prize at the 2004 Cannes Film
Festival; Blissfully Yours, which won
the top prize in the Un Certain Regard
program at the 2002 Cannes Film
Festival; and Syndromes and a Century,
which premiered at the 63rd Venice
Film Festival and was the first Thai
film to be entered in competition there.

CP / 24 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 & 28 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 / 18+

BLUE AND RED


Zhou Tao (People's Republic of China)
Country of Production Thailand
Language Thai
Subtitle English
24min, Color, 2014

Direkam di Guangzhou dan Bangkok tahun


2014, filem ini menginvestigasi ruang publik,
menangkap orang-orang bermandikan
warna yang dibiaskan cahaya lampu jalan
dan layar LED, menyoroti kontur tindakan
dan perilaku mereka dengan cara yang baru.
Teatrikalitas subtil yang menunda realitas
itu diganggu oleh image-image barikade,
gas air mata, kerusuhan, dan ribuan tenda
demostran yang menempati alun-alun kota,
tetapi juga terbatas untuk itu, memunculkan
pertanyaan tentang hubungan antara di sini
dan di sana (tempat lainnya).

Shot in Guangzhou and Bangkok in 2014,


it investigates the space of public squares,
captures people in the squares bathed in
colors refracted from streetlights and LED
screens, highlighting the contours of their
actions and behaviors in new ways. This
subtle theatricality that suspends reality is
interrupted by the images of barricades, tear
gas, riots, and thousands of protesters tents,
that occupy the square but are also confined
to it, raising questions about the connection
between here and elsewhere.

Zhou Tao (Changsha, Tiongkok,


1976) belajar senirupa di Guangzhou
Academy of Fine Arts. Berkarya
dengan video dan instalasi sejak
2003. Telah terlibat dalam berbagai
perhelatan seni, antara lain Minisheng
Art Museum (Shanghai), International
Kurzfilmtage Oberhausen, MoMA
New Directors / New Films di
Lincoln Center, New York, dll.
Kemunculan pertamanya di Media
City. Tinggal di Guangzhou, Cina.

Zhou Tao (Changsha, China 1976).


Studies at the Guangzhou Academy
of Fine Arts. Works in video and
installation since 2003; exhibitions and
screenings at Minsheng Art Museum
(Shanghai), International Kurzfilmtage
Oberhausen, MoMA New Directors
/ New Films at Lincoln Center (New
York), etc. First appearance at Media
City. Lives in Guangzhou, China.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |143

MENYUSUN/MEMBONGKAR
ILUSI/REALITAS
Ronny Agustinus
Dalam khazanah filem cerita populer, ketika kita berbicara tentang tema
ilusi dalam filem, kebanyakan penikmat filem yang saya tanyai akan
langsung merujuk pada dua filem terkenal, yakni The Matrix (1999) karya
Andy dan Lana Wachowski, dan The Truman Show (1998) karya Peter Weir.
Bisa dipahami, kedua filem sains-fiksi dari kisaran tahun yang berdekatan
tersebutyang satu laga dan satunya lagi komedimenghunjam langsung ke
topik filosofis posmodernisme yang sedang tren di penjelang pergantian abad
waktu itu, ketika dunia nyata dianggap terselubungi oleh tabir kenyataan
yang lain, yakni kenyataan layar yang sesungguhnya ilusif (dalam The Matrix
adalah realitas virtual komputer, dalam The Truman Show adalah reality show
televisi). Maka dalam keduanya, yang dianggap sebagai ilusi sesungguhnya
adalah dunia itu sendiri secara keseluruhan, ibarat tokoh dalam cerpen Jorge
Luis Borges, Las ruinas circulares (1940), yang di akhir cerita menyadari
bahwa dirinya cuma hidup dalam impian orang lain. Karena realitas secara
keseluruhan adalah ilusi, maka medium filem itu sendiri tidak digambarkan
berperan secara politis dalam membangun maupun membongkar ilusi itu.
Dengan demikian, bukan ilusi macam itu, saya kira, yang hendak diangkat
oleh perhelatan ARKIPEL tahun ini (setidaknya, dalam sesi Amerika Latin
yang saya kurasi). Ilusi yang dimaksud di sini lebih dekat dengan tema sebuah
filem cerita lain dari kisaran waktu yang sama dengan dua filem di atasyang
di Indonesia, seingat saya tidak seterkenal dua filem tadiyakni Wag The
Dog (1997) karya Barry Levinson. Wag The Dog bercerita bagaimana seorang
produser filem Hollywood disewa oleh juru kampanye presiden petahanan AS
untuk pencitraan pemilu, bagaimana sebuah perang dan krisis kemanusiaan
direkayasa dalam kamera dan mesin editing dengan maksud-maksud politis
mengalihkan perhatian publik dari skandal seks sang presiden. Bahwa filem
ini dibuat dan beredar sebelum terkuaknya skandal seks Bill Clinton dengan
Monica Lewinsky, dan dirudalnya sebuah pabrik farmasi di Sudan oleh
pemerintahan Clinton dengan alasan yang mengada-ada (kemungkinan besar
untuk mengalihkan perhatian dari skandal tadi), hanya membuktikan kebenaran
diktum Oscar Wilde, bahwa Lifeimitates art far more thanart imitateslife (dan
buat saya, menunjukkan lebih dekatnya filem ini dengan filsafat Baudrillard
ketimbang The Matrix yang dengan pretensius memampang Simulacra and
144 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH KEDUTAAN BESAR BRAZIL

Simulation). Ringkas kata, ilusi yang hendak diangkat di sini adalah ilusiilusi rekaan sosial-politik yang diserbarluaskan dengan satu dan lain cara,
yang lantas akan memengaruhi cara pandang banyak orang terhadap realitas
sosial-politik tersebut.
Di satu sisi, ilusi untuk membelokkan realitas macam ini lebih berpeluang
dicapai melalui filem dokumenter (di mana genre dokumenter itu sendiri
memberi semacam basis pengertian terlebih dahulu kepada penonton, bahwa
apa yang mereka saksikan itu bukan rekaan, cerita, atau fiksi, sehingga tayangan
itu menjadi kredibel dan terpercaya). Kredibilitas tersebut akan semakin
menguat apabila ditambah dengan embel-embel akademis atau ilmiah. Namun
di sisi lain, medium filem juga berpotensi untuk membongkar dan merubuhkan
ilusi yang telah terbentuk mapan dalam benak masyarakat umum.
Kedua jenis filem itu terwakili dalam kurasi Sinema Amerika Latin
ARKIPEL tahun ini, dan keduanya berasal dari (sutradara) Brasil. Kedua
filem ini mungkin tidak seberapa stilistik-artistik ataupun memukau secara
sinematik sebagaimana tradisi ARKIPEL selama inisalah satunya bahkan
terbilang sangat konvensional sebagaimana dokumenter yang lazim tayang di
televisitapi buat saya, kedua filem ini penting dalam kaitannya menelanjangi
ilusi-ilusi yang dihadirkan dalam wacana sosial-politik-kebudayaan dominan,
yang bisa dipakai untuk memikirkan ilusi-ilusi kita sendiridi Indonesia ini.
Filem Secret of the Tribe (atau Segredos da Tribo, 2010)karya Jos Padilha
membahas kontroversi seputar penelitian antropologis di kalangan suku
Yanomami di Amazon yang dipicu pertama kali oleh antropolog Napoleon
Chagnon. Nama Chagnon melejit pada sekitar 1960-an sebagai semacam
superstar intelektual akibat penelitian etnografisnya atas suku Yanomami.
Bukunya,Yanomam: The Fierce People(1968), menjadi bacaan wajib setiap
mahasiswa antropologi dan naik cetak berulang kali. Filem-filem yang dibuat
selama risetnya,yakni Yanomami: A Multidisciplinary Study(1968) karya
Timothy Asch, danThe Feast(1970) karya Timothy Asch dan Napoleon
Chagnon, meraih beberapa penghargaan pada zamannya. Chagnonlah yang
mengekalkan gambaran tentang Yanomami sebagai suku paling buas di Amazon
yang amat gemar berperang dan berkelahi, bahkan di internal mereka sendiri.
Hingga tiga dasawarsa kemudian, jurnalis investigatif Patrick Tierney
menerbitkan buku, berjudulDarkness in El Dorado(2000), sebuah gugatan
keras atas kerja Chagnon dan para peneliti lain di tengah suku Yanomami.
Tierney menuding Chagnon memberikan gambaran palsu tentang suku ini.
Yanomami sesungguhnya tidak lebih buas dibanding suku-suku lain di Amazon,
bahwa sesungguhnya perang di kalangan mereka diperparah oleh kebiasaan
Chagnon sendiri yang suka membagi-bagikan hadiah yang membangkitkan
kecemburuan antarpihak di sana. Tierney juga menuduh filem-filem yang dibuat
selama riset itu bukanlah murni dokumenter, melainkan diambil berdasarkan
skrip. Tudingan juga dialamatkan kepada rekan Chagnon, ahli genetika James
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |145

Neel, yang dibilang telah memperparah penyebaran cacar air di Amazon, serta
kepada peneliti Perancis Jacques Lizot, yang dituding telah memperkenalkan
konsep pelacuran di sana dengan memberikan hadiah untuk ditukar, yakni
hubungan seks untuk anak-anak laki-laki suku Yanomami.
Kontroversi Yanomami telah membelah dunia antropologi dan ilmu
pengetahuan. Meski pada akhirnya terbukti juga, bahwa tidak semua tudingan
Tierney sahih, filem Secret of the Tribemengulas balik seluruh kontroversi
ini dengan mewawancarai seluruh pelaku yang terlibat di dalamnya dan
menghadirkan temuan-temuannya sendiri tentang etis dan tidak etisnya riset
antropologi. Filem ini penting untuk merefleksikanGrand Illusionkita sendiri
yang dibangun puluhan tahun melalui wacana antropologis, yakni penamaan
dan pendefinisian tentang masyarakat terasing atau masyarakat tertinggal
untuk menyebut, misalnya, orang Papua, orang Dayak, dll (lihat buku-buku
Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan dan antropolog-antropolog lainnya
semasa Orde Baru). Pandangan modernis-teknokratis khas rezim-rezim
pembangunan di Indonesia ini membawa dampak lain yang berkepanjangan
sesudahnya. Karena modernisasi berjalan paling pesat di Jawa, maka dalam
pandangan tersebut tercermin pula rasa superioritas orang pusat (Jawa)
terhadap pinggiran (Papua) yang terbawa terus sampai sekarang dalam
wujud stereotyping dan rasisme terhadap orang Indonesia Timur di kota-kota
di Jawa. Contohnya, seperti yang terjadi di Yogyakarta saat ini pasca kasus
Cebongan (lihat Wardhani, 2015) atau cueknya penyikapan banyak orang
terhadap permasalahan Papua secara umum (yang didasari persetujuan diamdiam, bahwa militer Indonesia, bahkan perusahaan multinasional Freeport,
hadir di sana untuk membawa kemajuan bagi masyarakat yang memang
perlu dimajukan).
Sementara itu, filem kedua dalam sesi Amerika Latin ini, Prisoners of
theIronBar (atau O Prisioneiro da Grade de Ferro, 2003) karya Paulo Sacramento,
merekam kehidupan tahanan dalam kompleks penjara terbesar di Amerika
Latin, Carandiru, yang terletak di Sao Paulo. Terdiri dari sembilan paviliun
yang masing-masingnya setinggi lima tingkat, penjara ini dirancang untuk
menampung empat ribu narapidana, tetapi sempat berisikan sembilan ribu
narapidana (dengan jumlah sipir hanya kurang dari seratus orang). Kerusuhan
pecah di penjara ini pada tahun 1992, ketika jumlah narapidana di dalamnya
dijejalkan dua kali lipat melebihi kapasitas seharusnya. Meski kerusuhan tidak
merembet keluar dan para narapidana di dalamnya tidak bersenjata, polisi
memberondongkan tembakan acak ke arah dalam dan membunuh 111 orang
napi. Polisi dikecam karena telah memakai kekerasan semena-mena. Pada
tahun 2013, atau berarti dua puluh tahun setelah insiden, 23 polisi dijatuhi
hukuman atas penembakan lima belas tahanan dalam kerusuhan itu (yang
berarti, pembunuh hampir seratus korban tewas lainnya belum tersentuh hukum).
146 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Pada tahun 2002, kompleks Carandiru ditutup. Tujuh bulan sebelum


itu, sutradara Paulo Sacramento membuat lokakarya filem dalam penjara dan
mengajari para narapidana di sana cara mengoperasikan kamera. Sebanyak
dua puluh kamera DV dibagikan kepada para narapidana untuk merekam
kehidupan sehari-hari mereka serta sistem sosial yang terbangun dalam
penjara. Hasilnya adalah 170 jam footage yang tak mungkin bisa didapatkan
oleh pengamat dari luar penjara. Otentisitas rekaman kehidupan dalam penjara
inilah yang menarik dari filem ini, meskipun tetap bisa diperdebatkan makna
dari otentisitas itu sendiri ketika kamera filem secara sadar dihadirkan dalam
kehidupan sosial. Bagaimanapun, rekaman yang didapat tetap berbeda dengan
gambaran dalam karya-karya paling realis tentang penjara, termasuk filem
Carandiru (2003) karya Hector Babenco, yang diangkat dari buku non-fiksi
karya seorang dokter yang bekerja di kompleks penjara itu dan merupakan yang
paling realistis dari seluruh ouevre Babenco. Filem Prisoners of theIronBar
bisa berguna untuk memikirkan kembali ilusi-ilusi yang kita punya tentang
hukum dan hukuman, terutama dalam konteks negara, seperti Brasil dan
Indonesia, di mana penegak hukum lebih sering menjadi pelanggar hukum
dan hukuman lebih sering menimpa atau dijatuhkan kepada orang-orang
yang telah terhukum sedari lahir oleh sistem sosial yang tidak berkeadilan.

Bacaan:

Wardhani, P. S. (10 Januari, 2015). Bagaimana Rasanya Takut. Dipetik pada Juli, 2015,
dari situs web Etnohistori: http://etnohistori.org/bagaimana-rasanya-takut.html

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |147

CONSTRUCTING/
DECONSTRUCTING
ILLUSION/REALITY
Ronny Agustinus

In the popular film vocabulary, when we talk about a film themed illusion,
most viewers I ask will immediately refer to two famous films, The Matrix
(1999) by Andy and Lana Wachowski, and The Truman Show (1998) by Peter
Weir. Its understandable since those science fiction flicks of a contemporary
periodone is action, another is comedypierce through the philosophical
subject of postmodernism that was the trend before the turn of the century,
when the real world was seemingly cloaked by another layer of reality, the
screen reality that was actually illusive (in The Matrix it was computerized
virtual reality while in The Truman Show it was television reality show). Thus,
in both films, what is considered as illusion is actually the real world itself as
a whole, just like the character in Jorge Luis Borges short story, Las ruinas
circulares (1940) who at the end of the story realized that he only lives in
anothers dream. Since the entire reality is illusion, the film medium then is
not ascribed to a political role in constructing or deconstructing the illusion.
Therefore its not such an illusion, I suppose, that ARKIPEL this year
is going to address (at least not in the Latin America session that I curate).
The illusion in this case is closer to the theme of another film still from the
contemporary period of the two abovewhich is not as celebrated in Indonesia
as those twoWag the Dog (1997) by Barry Levinson. Wag the Dog tells about
how a Hollywood film producer is hired by a campaign manager of the US
president for the sake of electoral imaging, how a war and humanity crisis
are fabricated in front of the camera and in editing machine with the political
purpose of distracting the public attention from the presidents sex scandal. That
this film is made and distributed before Bill Clintons sex scandal with Monica
Lewinsky is revealed and a pharmacy factory in Sudan is fired with a missile on
a baseless ground (more likely to distract attention from the said scandal) only
proves Oscar Wildes dictum: Lifeimitates artfar more thanart imitateslife
(and, to me, showes this films proximity to Baudrillards philosophy rather
than The Matrix that simply parades Simulacra and Simulation). Shortly,
the illusion that is addressed here is the illusions of social-political fabrication
148 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

SUPPORTED BY EMBASSY OF BRAZIL

thats widely transmitted in one way or another, that will influence the way
many people think toward certain social-political reality.
On one side, the illusion to refract such reality is more likely achieved
by documentary (whereas the label documentary provides a sort of basic
understanding to viewers that what they see is not a fabrication, fiction, or
tale so as to create a credible and reliable presentation). The said credibility
grows stronger as academic or scientific labels are attached as well. But on the
other side, the film medium has the potential to deconstruct and demolish the
illusion that has been established in the public mind.
The two kinds of films are represented within the Latin America curation
of ARKIPEL this year and both come from Brazil (directors). These films may
not be as stylistically-artistic or cinematically astounding as ARKIPELs
tradition of choiceone of them is even as conventional as documentary common
on televisionbut, to me, these films are important in terms of exposing the
illusions presented in the dominant social-political-cultural discourses and are
relevant to our own illusions in Indonesia.
Secret of the Tribe or Segredos da Tribo (2010) by Jos Padilha discusses the
controversy surrounding an anthropological research on Yanomami tribe in
Amazon that is first triggered by the anthropologist Napoleon Chagnon. The
name Chagnon soared in the 1960s as a sort of intellectual superstar thanks
to his etnographical research on Yanomami tribe. His book, Yanomam: The
Fierce People(1968) has become a compulsory reading for anthropology students
and reprinted for many times. The films made during his research, Yanomami:
A Multidisciplinary Study(1968) by Timothy Asch and The Feast by and
Napoleon Chagnon, achieved several awards during its time. It was Chagnon
who immortalized the image of Yanomami as the most savage tribe in Amazon
so fond of waging wars and fighting even among themselves.
Three decades later an investigative journalist Patrick Tierney published
his book, Darkness in Eldorado (2000), a harsh castigation over Chagnons and
other researchers work among the Yanomami. Tierney accused Chagnon of
giving a false image about this tribe. Yanomami is actually no more savage
than any other Amazon tribes and the wars among them are actually worsened
by Chagnons own habit to present them with gifts that trigger jealousy
among them. Tierney also accused that the films made during the research is
not purely documentary but script-based. Another allegation is addressed to
Chagnons partner, the geneticist James Neel who allegedly aggravated the
spread of chicken pox in Amazon, and the French researcher Jacques Lizot
who is accused of introducing the concept of prostitution by providing gifts
for trade that is sexual intercourse for Yanomami boys.
The Yanomami controversy divides the world of science and anthropology
into two. Although eventually not all Tierneys accusations were validated,
the film Secret of the Tribe reviews the entire controversy by interviewing
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |149

everyone involved and presents its own findings about the question of ethics
in an anthropological research. This film is important to ref lect on our
Grand Illusion built decades ago through an anthropological discourse,
namely the name and definition of alienated society (masyarakat terasing)
or underdeveloped society (masyarakat tertinggal) to refer to, for example,
the Papuans, the Dayak peoples, etc (see books by Koentjaraningrat, Parsudi
Suparlan and other anthropologists during the New Order). This typical
technocratic-modernist view of the development regimes in Indonesia has
brought an everlasting impact long after. Since modernisation advanced most
rapidly in Java, the said view reflected as well the superiority of central (Java)
people over the marginals (Papua) that lives on until today and is manifested
in stereotyping and racism toward the Eastern Indonesians in Java cities. For
example, what happened in Yogyakarta today after the case of Cebongan
(see Wardhani, 2015) or many peoples ignorance toward Papuan problems
in general (that goes with silent consent that Indonesian military, even the
multinational company Freeport, are present there to bring progress for the
people who need to be advanced).
Meanwhile, the second film of this Latin America session, Prisoners of
the Iron Bar or O Prisioneiro da Grade de Ferro (2003) by Paulo Sacramento,
records the prisoners life in the biggest prison compound of Latin America,
Carandiru, located in Sao Paulo. Comprising nine pavilions each five-story
high, this prison is designed to accommodate four thousand prisoners but
once it took in nine thousand prisoners (with wardens less than a hundred).
A riot broke in this prison in 1992 when the number of prisoners inside was
doubled more than its purported capacity. Although the riot didnt break away
and the prisoners inside werent armed, the police fired random shots inside
and killed 111 inmates. The police were criticized for their sheer brutality. In
2013, or twenty years after the incident, 23 police officers were sentenced for
the shootings of 15 inmates during the riot (which means that the murderers
of almost a hundred other victims were untouchable by law).
In 2002, the Carandiru complex was closed. Seven months previously, the
filmmaker Paulo Sacramento held a film workshop in the prison and taught
the inmates there how to operate a camera. As many as twenty DV cameras
were distributed to the inmates to record their daily lives and the social system
formed in there. The result is 170 hours of footage unmatched by any observer
outside the jail. It is the authenticity of recordings of the life within the jail
thats interesting about this film, although the meaning of authenticity is
open to debate as camera is consciously presented in social life. The recordings
obtained are nevertheless different from the the most realistic works about
the prison, including Carandiru (2003) by Hector Babenco that is based on a
non-fiction book by a doctor who worked within the prison compound and
is the most realistic of all Babencos oeuvres. The Prisoners of Iron Bar can be
150 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

useful to re-think of the illusions we have about law and punishment, especially
in the context of the State of Brazil and Indonesia, where law enforcers often
become law breakers and punishments are imposed on those who are punished
already since birth by unjust social system.

Works Cited:

Wardhani, P. S. (2015, Januari 10). "Bagaimana Rasanya Takut". Retrieved July 2015, from
http://etnohistori.org/bagaimana-rasanya-takut.html

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |151

CP / 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.30 / 18+

SEGREDOS DA TRIBO / SECRETS OF THE TRIBE


Jos Padilha (Brazil)
Country of Production United Kingdom
Language Yanomamo, English, Portuguese
Subtitle English
110 minutes, Color, 2010

Suku Indian Yanomami sering disebut-sebut


sebagai suku paling tertutup dan paling buas di
wilayah Amazon, dan selama dasawarsa 1960an dan 1970-an sempat menjadi primadona riset
antropologis karena keasliannya yang belum
terjamah dunia luar. Tapi benarkah demikian?
Tiga puluh tahun sesudah itu, gugatan
dilancarkan kepada para peneliti era 1960an tersebut, terutama antropolog Napoleon
Chagnon atas ketidaketisan risetnya serta
ketidakakuratan gambaran yang ditampilkannya
atas suku Yanomami. Filem ininominasi
Grand Jury Prize dalam Sundance Film Festival
2010menelusuri balik skandal besar yang
mengguncang dunia akademis khususnya
bidang antropologi tersebut, serta seluruh
perdebatan dan pertengkaran mengenainya.

The Yanomami Indian tribe has been referred


to as the most savage and the most secluded in
the Amazon, being a star of anthropological
researches during the 1960s and 1970s for
its authenticity, unsullied from the world
outside. But is it true? Thirty years after
that, a rebuke was launched to those 1960s
researchers, especially the anthropologist
Napoleon Chagnon for his unethical research
and inaccuracy of the Yanomami portrayals.
This filmnominated for the Grand Jury
Prize in Sundance Film Festival 2010traces
back the huge scandal that once shook the
academic world particularly anthropology,
and all the debates and feuds about it.

Ronny Agustinus

Jos Padilha (1967). Filem dokumenter


panjang pertamanya, nibus 174
(2002) yang menelusuri balik secara
mendetail peristiwa pembajakan bis
di Rio, meraih 23 penghargaan dari
pelbagai festival seluruh dunia dan
disebut oleh The New York Times sebagai
salah satu filem terbaik tahun itu. Tropa
de Elite (2007), filem fiksi pertamanya,
meraih Golden Bear dalam Festival
Filem Berlin. Tema sosial-politik
dan keberpihakan selalu kental
mewarnai garapan Padilha, kecuali
mungkin dalam filem terbarunya yang
merupakan hasil remake produksi
Hollywood, yakni RoboCop (2014).

152 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Jos Padilha (1967). His first featurelength documentary, nibus 174


(2002) which traces in detail the events
behind the bus hijacking in Rio, won
23 awards from various festivals around
the world and was called by The New
York Times as one of the best films of
the year. Tropa de Elite (2007), his first
fiction film, won the Golden Bear in
the Berlin Film Festival. Sociopolitical themes and social engagement
always strongly influence Padilhas
works, except perhaps in his new
film which is a remake of Hollywood
production, the RoboCop (2014).

CP / 27 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.30 / 18+

O PRISIONEIRO DA GRADE DE FERRO /


THEPRISONER OF THE IRON BARS
Paulo Sacramento (Brazil)
Country of Production Brazil
Language Portuguese
Subtitle English
124 minutes, Color, 2003

Kompleks Carandiru adalah kompleks


penjara terbesar di Amerika Latin, dan
karenanya pula: paling berbahaya. Pada
tahun 1992, 111 orang narapidana terbunuh
di sini oleh tembakan polisi dalam insiden
pembantaian yang sangat mencoreng muka
kepolisian Brasil. Akhirnya diputuskan bahwa
Carandiru akan dirobohkan pada tahun 2002.
Dua bulan sebelum dirobohkan, sutradara
Paulo Sacramento membuat lokakarya filem
dalam penjara dan melatih para tahanan
memakai kamera video untuk merekam
kehidupan mereka sehari-hari. Hasilnya:
sebuah dokumenter yang tiada duanya tentang
kehidupan riil dalam penjara.

The Carandiru complex is the biggest prison


complex in Latin America and, as such, the
most dangerous too. In 1992, 111 inmates
were murdered here by police shootings during
an incidental slaughter that put the Brazilian
police to deep shame. It was finally decided
that the state would demolish Carandiru in
2002. Two months before the demolition,
the filmmaker Paulo Sacramento held a film
workshop in the prison and trained inmates
to use video camera to record their daily life.
The result: an unprecedented documentary
of real life within the prison.

Ronny Agustinus

Paulo Sacramento (1971). Menempuh


studi komunikasi sosial dan sinema
di Universitas So Paulo. Ia seorang
sutradara, editor, dan produser.
Ketua asosiasi sutradara dokumenter
Brasil (Associao Brasileira de
Documentaristas) untuk periode 19971998 dan anggota dewan Cinemateca
Brasileira. Pada 2010 meraih Grande
Prmio do Cinema Brasileiro untuk
editing terbaik. Sesudah dua filem
pendek Ave (1992) dan Juvenlia
(1994), serta dokumenter O prisioneiro
da grade de ferro (2003), Riocorrente
(2013) menjadi filem fiksi panjang
pertamanya.

Paulo Sacramento (1971) studied


social communication and cinema
at the University of So Paulo. He
is a director, editor, and producer.
Chairman of the Brazilian documentary
directors association (Associao
Brasileira de Documentaristas) for the
period 1997-1998 and a member of
the board of Cinemateca Brasileira. In
2010, he won the Grande Prmio do
Cinema Brasileiro for the best editing.
After two short films Ave (1992) and
Juvenlia (1994), as well as documenter
O prisioneiro da grade de ferro (2003),
Riocorrente (2013) becomes his first fulllength fiction film.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |153

SINEMA KEPATUHAN
Afrian Purnama
Revolusi Industri yang terjadi pada abad 18 hingga 19 mengubah arah
peradaban manusia. Banyak penemuan penting yang terjadi pada masa tersebut,
salah satunya adalah fotografi. Nama-nama seperti Nicphore Nipce, Louis
Daguerre dan William Henry Fox Talbot tercatat sebagai pioner dalam bidang
fotografi. Dan seperti penemuan-penemuan lainnya, penciptaan fotografi adalah
salah satu tahap bagi penemuan selanjutnya. Gambar diam dalam fotografi
berevolusi membentuk pergerakan hingga menciptakan penemuan baru yang
disebut sinematografi, atau singkatnya disebut sinema. Nama-nama yang
bertanggung-jawab atas hadirnya sinema adalah Louis Le Prince, Eadweard
Muybridge, George Eastman, Thomas Alva Edison dan Lumire Bersaudara.
Mereka pula yang menciptakan standardisasi, mulai dari teknis ukuran filem
hingga banyaknya frame yang bergerak selama satu detik.
Penting bagi saya untuk menyebutkan nama-nama tersebut di awal kuratorial
ini. Mereka adalah para industrialis yang sebenarnya tidak begitu peduli pada
aspek ideal dari seni. Aksi yang mereka lakukan lebih didorong oleh hasrat
menemukan bentuk teknis dan teknologi baru untuk kemudian dipatenkan
dan memperoleh royalti dari penemuannya. Namun, apa yang telah mereka
ciptakan berdampak besar bagi perkembangan seni, hingga sinema ditahbiskan
sebagai seni ketujuh oleh Ricciotto Canudo dalam esainya yang terkenal,
Reflections on the Seventh Art (Canudo, 1927). Tidak hanya demi kesenian,
tetapi sinema kemudian juga dipakai untuk kepentingan negara sebagai sarana
penginformasian publik. Sifat sinema yang mampu membaurkan fiksi dan
realita menjadi medium yang ideal untuk tugas ini.
Kesadaran terhadap informasi layanan publik sudah lama ada dengan
penggunaan medium visual, seperti poster juga teks-teks yang ditampilkan
di ruang publik. Saat filem mulai luas digunakan untuk tujuan komersial,
negara mulai melirik efektivitasnya dan digunakanlah filem sebagai saranan
penginformasian, baik itu tentang berita, tata cara berkehidupan yang sesuai
dengan nilai negara setempat, atau apapun konten yang negara ingin informasikan
ke publik. Kehadiran filem tidak serta-merta mengambil alih fungsi poster
dan teks yang disebar di ruang publik, melainkan keduanya saling mengisi
untuk tujuan dan pesan yang sama. Contohnya adalah poster Uncle Sam
yang digunakan Amerika untuk mendapatkan dukungan publik saat Perang
Dunia Kedua, namun Amerika juga membuat beberapa News Reel yang
ditayangkan rutin ke masyarakat. Di Indonesia, salah satu contoh yang paling
154 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

awal adalah poster Boeng Ajo Boeng! yang diciptakan oleh Chairil Anwar
dan Afandi. Di waktu yang berdekatan, pemerintah juga menggunakan filem
untuk mendapatkan dukungan kemerdekaan dari publik dan dunia, yaitu
dengan Berita Filem Indonesia (BFI), yang merupakan filem produksi negara
pertama di Indonesia.
Kuratorial ini menayangkan sepuluh filem produksi negara yang diciptakan
oleh Indonesia melalui Pusat Film Negara (PFN), dan Denmark melalui
Dansk Kulturfilm (DK). Masing-masing berisi lima filem dengan durasi
sama, yaitu sepuluh menit. Salah satu alasan dipilihnya filem-filem tersebut
adalah karena mereka sama-sama dibuat pada masa setelah perang, saat negara
mulai menciptakan tatanan sosial baru. Indonesia yang baru saja berdamai dan
mendapatkan pengakuan dengan Belanda melalui Perjanjian Meja Bundar, dan
Denmark yang merebut kembali negaranya setelah okupasi tentara Jerman.
Melalui filem-filem ini, kita akan melihat bagaimana struktur dan bahasa sinema
yang digunakan oleh kedua produksi filem tersebut, serta perkembangannya
terhadap keadaan politik yang terjadi pada saat itu. Kesemua unsur tersebut
adalah hal yang menarik untuk diselisik.
***
Latar belakang penggunaan sinema oleh negara di Indonesia bisa ditarik
hingga perkembangan awal sinema pada saat zaman Hindia Belanda. Beberapa
nama seperti Tan bersaudara, Wong Bersaudara, L. Heuveldorp, G. Kruger
dan Albert Balink adalah tokoh-tokoh penting dalam pembuatan filem pada
zaman tersebut. Mereka menciptakan rumah produksi yang kemudian membuat
beberapa filem panjang, antara lain Perusahaan Filem Tan, Java Pacific Film,
dan Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat (ANIF). Nama terakhir
mengalami pergantian nama menjadi Nippon Eigasha saat Hindia Belanda
diokupasi oleh Jepang. Gejolak politik saat itu berpengaruh penting dalam
pengambilalihan sistem produksi yang sudah dibangun oleh pihak swasta
ke pihak negara. Jepang, melalui Nippon Eigasha, membuat beberapa filem
yang produksinya dikontrol total oleh negara, seperti Gelombang (1944),
Berdjoang (1943) dan Djatoeh Berkait (1944). Sejarah kemudian berulang.
Setelah Indonesia merdeka, Nippon Eigasha diambil alih dan berubah nama
menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN) yang berada langsung di bawah
Kementrian Penerangan.
Di bawah PPN inilah Berita Filem Indonesia dibuat. Nama PPN diubah lagi
menjadi Perusahaan Filem Negara (PFN). Gelora Indonesia lahir dari PFN dan
mulai merekam sejak 5 Januari, 1951 (Yudha, 2013). Gelora Indonesia adalah
sebuah serial newsreel berdurasi 10 menit yang mengabarkan perkembangan
politik dan pembangunan era 50-an dan 60-an.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |155

Berbeda dengan Indonesia, di Denmark, masuknya sinema ke dalam


pemerintahan terjadi tak hanya melalui invasi dan peperangan, tetapi juga
dipengaruhi oleh kondisi politik global saat itu. Denmark membentuk Dansk
Kulturfilm (DK) pada tahun 1932 sebagai reaksi terhadap kesuksesan Jerman
dan Italia yang menyebarkan agenda politik fasisme dengan menggunakan
medium filem. Sejak awal berdirinya, DK memproduksi filem-filem layanan
masyarakat dan sempat terhenti saat Perang Dunia II berkecamuk dan Denmark
diokupasi oleh Jerman.
Filem Gelora Indonesia yang ditampilkan hampir semua tentang kebijakan
politik Indonesia pada periode 60-an. Saat awal filem dimulai, kita bisa
melihat nomor identifikasi di tiap seri. Filem ini menyajikan program-program
pemerintah dari segala sektor, seperti pendidikan, pertanian dan pertahanan
negara. Di satu seri, ada ragam liputan, bernama Aneka Warta, yang berisi
berbagai berita terkait politik Indonesia dari dalam dan luar negeri. Gelora
Indonesia juga menampilkan Indonesia yang majemuk dan akur, seperti
pemberitaan berbagai acara keagamaan yang diselenggarakan secara aman
dan akbar. Hanya saja, semua liputan tersebut ditunggangi kepentingan dan
agenda politik dengan menghadirkan panggung bagi pejabat dan pemimpin
negara. Permasalahan yang paling sering diangkat adalah upaya pembebasan
Papua (dalam filem, disebutkan sebagai Irian Jaya) yang saat itu masih dikuasai
Belanda. Cara penyampaian informasi dilakukan dengan menarasikan peristiwa
yang sedang terjadi dan memberikan penjelasan kepada penonton apa yang
berlaku saat itu. Suara tidak menggunakan suara asli di kejadian setempat,
melainkan menyisipkan musik-musik bernuansa heroik sebagai pengiring narator.
Dansk Kulturfilm mengkomisi Carl Theodor Dreyer, singkatnya disebut
Dreyer, untuk membuat seri filem pendek layanan masyarakat. Seri layanan
masyarakat yang ditampilkan, antara lain berjudul They Caught The Ferry
(atau De nede frgen, 1948), A Castle Within A Castle (atau Et slot i et slot
Krogen og Kronborg, 1954), The Fight Againts Cancer (atau Kampen mod krften,
1947), The Village Church (atau Landsbykirken, 1947) dan Storstrms Bridge
(atau Storstrmsbroen, 1950). Dreyer pada saat itu sudah dianggap sebagai
seorang sineas besar Eropa yang berhasil membuat beberapa karya fenomenal
dan diakui oleh publik dan kritikus, seperti The Passion of Joan of Arc (atau
La Passion de Jeanne dArc, 1928), Vampyr (1932), dan Day of Wrath (atau
Vredens dag, 1943).
Filem pendek pertama, They Caught The Ferry, mengisahkan dua orang
yang mengejar kapal feri menuju Nyborg menggunakan motor Nimbus 750.
Dreyer menggunakan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi bila
mengabaikan keselamatan berkendara. A Castle Within A Castle adalah filem
yang memperkenalkan kastil tua dengan pendekatan fakta sejarah dan lokasi.
Beberapa bidikan kosong dan ornamen-ornamen bangunan menghiasi filem.
Filem ini juga mempromosikan apa yang sudah pemerintah lakukan untuk
156 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

merawat dan menyegarkan kastil tua tersebut. The Fight Againts Cancer diawali
dengan bidikan sebuah obituari seseorang yang meninggal akibat kanker.
Promosi tentang kesehatan khususnya penyakit kangker, sedari awal harus
dirawat sebelum terlambat, begitulah pesan yang disampaikan. The Village
Church adalah filem yang mempelajari arsitektur gereja di pedesaan. Di sini,
kita bisa melihat kemajemukan sejarah Denmark dan bagaimana sebuah
konstruksi bangunan berkembang dan menghindari kematian dengan caranya
beradaptasi. Sementara itu, Storstrms Bridge adalah upaya Dreyer memfilemkan
kehebatan pencapaian teknik sipil Denmark yang mampu membuat jembatan
panjang penghubung pulau Falster dan Masned. Berbeda dengan empat filem
lainnya, Storstrms Bridge tidak menggunakan narator untuk menghubungkan
informasi ke penonton. Visual sepenuhnya dipercayakan untuk memberikan
impresi kemegahan karya manusia sementara musik disisipkan sebagai latar
belakang.
***
Baik Gelora Indonesia maupun filem produksi DK ditujukan oleh negara
untuk dikonsumsi masyarakat setempat, yaitu seluruh warga yang tinggal
di negara tersebut. Dalam sejarahnya, kelahiran sinema memang tidak lepas
dari penanyangan dan pengaruhnya kepada publik (Von Karasek, 1994);
sinema tidak bersifat esoteris seperti medium seni lainnya. Sifat inilah yang
mendorong negara untuk memproduksi sendiri filemnya dengan mengadopsi
sistem atau cara-cara yang sudah dikembangkan oleh pihak swasta, yang
perlahan-lahan menciptakan estetikanya sendiri. Kedua produksi filem
juga bekerja pada panjang durasi yang sama, yaitu sepuluh menit. Sepuluh
menit bukanlah waktu yang lama untuk memengaruhi pola pikir publik dan
menyusupkan pesan-pesan yang negara ingin publik percayai. Durasi yang
terlalu panjang juga tidak efektif, karena selain akan membengkakkan biaya
produksi, publik juga akan merasa jenuh saat menonton dan pesan yang ingin
disampaikan oleh negara menjadi terreduksi dan terurai. Namun, durasi filem
yang pendek ini sangat efektif bila digunakan dengan benar, yaitu dilakukan
dengan berulang-ulang, konsisten dan berkelanjutan kepada publik (Bernays,
1928, hal. 25). Itu sebabnya, PFN dan DK membuat filem-filem ini dalam
format serial, dengan banyak mengangkat tema yang bisa saja sudah diulang
di seri sebelumnya. Cara-cara ini juga dilakukan oleh padiwara komersial di
televisi dan di ruang-ruang publik pada masa sekarang.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, filem-filem Gelora Indonesia
dimulai dengan logo PFN dan latar belakang Negara Indonesia, diikuti dengan
angka-angka identifikasi pada tiap filem, yang dalam kuratorial ini, disajikan
filem bernomor 444, 445, 468, 551 dan 555. Sementara itu, filem layanan
DK menampilkan dengan lengkap nama-nama operator yang terlibat dalam
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |157

produksi filemnya. Relasi antara filem dan orang-orang yang terlibat di balik
pembuatannya adalah relasi humanis, sama seperti relasi pemahat dengan
pahatan kreasinya, atau pelukis dengan lukisannya. Kita bisa merasakan hal
ini di filem DK. Penonton yang akrab dengan karya Dreyer akan mengenali
beberapa strategi filemis dan sidik jarinya, baik dalam bentuk teknik maupun
estetik.
Ambilan awal They Caught The Ferry, contohnya, secara samar sudah
memberi tahu penonton bahwa akan ada musibah untuk pemeran utama
filem. Mereka bediri di samping mobil yang nantinya akan menjadi eksekutor
dan di belakangnya terlukis samar tulang selangka dan rusuk, sebagai simbol
kematian yang akan dekat dengan mereka. Filem ini terasa seperti sebuah
pembunuhan berencana ketimbang sebuah filem layanan cara berkendara aman.
Cara-cara serupa juga tampak di filem berdurasi panjang yang dibuat Dreyer
lebih dulu, yaitu Day of Wrath. Lisbeth Movin yang berperan sebagai Anne
Pedersdotter di dalam filem, diperlihatkan secara samar sebagai antagonis
dengan menggunakan teknik pencahayaan chiaroscuro saat bidikan di wajah.
Efek ini menimbulkan impresi ambigu, bahkan saat karakter ini tersenyum
dalam frame. Begitu pula di filem-filemnya yang berisi dokumentasi arsitektur
seperti A Castle Within A Castle, The Village Church dan Storstrms Bridge.
Dreyer melakukan banyak kombinasi bidikan partial, jarak dekat dan sedang,
pada ruang kosong, sama seperti yang dilakukannya di The Passion of Joan of
Arc dan Vampyr.
Kita tidak bisa melakukan pembacaan yang sama dengan Gelora Indonesia
karena ketiadaan figur di balik produksi. Namun, walaupun figur-figur di
balik layar tidak terlacak, agenda politik dan keberpihakan pada saat itu
bisa kita baca. Filemnya hanya dikenali dengan nomor urut, seperti cara
peternak mengindentifikasikan sapi peliharaannya. Cara ini kurang manusiawi
dibandingkan filem produksi DK. Relasi antara pencipta dan karyanya
sama-sekali direduksi oleh sistem yang blueprint-nya diturunkan langsung
oleh pemerintah. Blueprint yang turun langsung dari pemerintah bisa dibaca
langsung melalui cara filem ini mengangkat sebuah isu atau pun tokoh,
misalnya bagaimana figur Soekarno yang selalu dikultuskan oleh kamera,
montase visual, dan suara. Soekarno sering dibidik dengan cara low angle
untuk memberi kesan pemimpin kuat, tinggi dan agung ketimbang rakyat
yang terlihat hanya sebagai atribut dari keagungannya. Kehebatan Soekarno
bahkan mampu menginterupsi estetika filem dengan memotong narator yang
selalu setia menjelaskan tiap-tiap subjek dalam filem. Saat Soekarno berpidato,
narator mempersilakan microphone-nya diambil alih sehingga Soekarno tidak
membutuhkan suara narator untuk berbicara atas namanya sendiri. Pasukanpasukan saat pawai militer yang difilemkan, di dalam frame, datang dari arah
kiri ke kanan, menjadi penanda keberpihakan politik saat itu, termasuk pula
pesan-pesan Trikora dalam agenda penyatuan nusantara. Relasi montase antara
158 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

rakyat dan pemimpin negara mencerminkan apa yang pemerintah ingin rakyat
lakukan sebagai warga negara. Selain sebagai hanya sebagai atribut negara
dan pejabatnya, pemerintah menginginkan rakyat yang mendukung total
segala kebijakan negara. Rakyat menengadah ke atas dengan sikap berdiri,
mendukung dan melambai ke arah pemimpinnya.
Semua filem-filem layanan masyarakat tersebut menggunakan kata kunci
kepatuhan bagi masyarakat sehingga pemerintah menjadi mudah mengatur
negara. Sementara Dreyer menggunakan beberapa contoh dan efek bila publik
tidak patuh terhadap aturan pemerintah, Gelora Indonesia adalah contoh bila
negara menggunakan kontrol total-nya untuk menguasai informasi yang beredar
di masyarakat dan masyarakat harus patuh mendengar dan menerima. Negara,
sebagai entitas yang memproduksi, memiliki dominasi terhadap informasi apa
saja yang pantas dihidangkan ke publik. Atas dasar inilah filem-filem layanan
masyarakat sangat rentan dimanipulasi.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |159

CINEMA OF
SUBMISSIVENESS
Afrian Purnama
The Industrial Revolution from the 18th to 19th century changed the course
of mankind civilization. Many crucial inventions happened, and one of them
is photography. Names like Nicphore Nipce, Louis Daguerre and William
Henry Fox Talbot are documented as photography pioneers. And just like the
others, the invention of photography was an initial phase of the next ones.
Silent picture in photography evolved and formed a movement that created a
new invention called cinematography, or cinema in short. Names responsible
for the presence of cinema are Louis Le Prince, Eadweard Muybridge, George
Eastman, Thomas Alva Edison and Lumire Brothers. They also set up a
standard, from film size to the number of frames that move in a single second.
It is important for me to mention those names in the beginning of this
writing. They were industrialists who did not pay much attention to ideal
aspects of art. Their actions were primarily driven by the desire to find a new
technology and technique to be patented and gain royalty. However, what they
initiated created a huge impact on arts development so that cinema was ordained
as the seventh art by Ricciotto Canudo in his illustrious essay, Reflections
on the Seventh Art (Canudo, 1927). Not only for arts, cinema has been used
then in the name of state as a means of public information. The nature of it
that can blend fiction and reality makes it ideal for such task.
The awareness about public service information has long existed with
the use of visual medium, like posters and texts displayed in public spaces.
When film started to be widely used for commercial ends, state began to eye
its effectivity and used it as a means of information, be it news, way of life
according to state-approved values, or any other content to be informed to the
public. Film did not necessarily take over poster and texts function in public
space, rather the three backs each other for the same goals and messages. For
example is Uncle Sam poster that was used the America to garner public
support during the World War II. At the same time it created news reels too
that were regularly aired. In Indonesia, one of the earliest example is Boeng
Ajo Boeng! poster created by Chairil Anwar and Affandi. In an approximate
time, the government also used film to gain support for independence from
the public and the world through Berita Film Indonesia (BFI), the first state
production film in Indonesia.
160 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

This curatorial presents ten state production films by Indonesia through


Pusat Film Negara or PFN (State Film Center) and Denmark through Dansk
Kulturfilm (DK). Each country presents five films with one same running time,
ten minutes. One of the reasons behind the selection of these films is because
all of them were made after wars, as the country was initiating a new social
order. Indonesia just made peace with the Dutch and received a recognition
through the Round Table Conference while Denmark seized back its territory
after German occupation. Through these films, we will see the cinema language
and structure used by both these countries and the development in regard to
the political situations. These are elements interesting to scrutinize.
***
The background to the use of cinema by the state in Indonesia can be traced
back to the early development of cinema in the Dutch Indies era. Names like
Tan Brothers, Wong Brothers, L. Heuveldorp, G. Kruger and Albert Balink
were prominent figures in filmmaking at that time. They founded production
houses, such as Tan Film Company, Java Pacific Film, Algemeen Nederlandsch
Indisch Filmsyndicaat (ANIF), and produced several feature films. ANIF
was changed into Nippon Eigasha when the Japanese occupied Dutch Indies.
The political turbulence then greatly influenced the takeover of production
system built by the private sector to the state. Japan, through Nippon Eigasha,
produced several films under the total control of the state, such as Gelombang
(1944), Berdjoeang (1943) and Djatoeh Berkait (1944). History repeats itself
then. After Indonesias independence, Nippon Eigasha was taken over and
changed to Perusahaan Pilem Negara (PPN) under the direct supervision of
the Ministry for Information.
It is under PPN that Berita Film Indonesia was produced. The name PPN
was later changed to Perusahaan Film Negara (PFN). Gelora Indonesia was
produced by PFN and started to shoot on January 5, 1951 (Yudha, 2013). It
is a news reel with 10 minutes of running time that publicized the 1950s and
1960s politics and development.
Unlike in Indonesia, in Denmark, cinema took up the government not only
through invasion and war but also the influence of global political condition.
Denmark formed Dansk Kulturfilm (DK) in 1932 as a reaction over Germanys
and Italys success to propagate fascism political agenda by using film. Since
its birth, DK produced public service films and only stopped operating during
the height of World War II and the German occupation.
Almost all Gelora Indonesia presented here tell of Indonesian policies in
the 1960s. As the film starts we can see identification number in each series.
This film introduces governments program in all kinds of sectors, such as
education, agriculture and state defense. In one series, theres a reportage called
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |161

Aneka Warta containing various news about Indonesian politics at home and
abroad. Gelora Indonesia also displays the plural and harmonious Indonesia,
such as news about religious events held among peaceful mass. However, all
those reportages are full of vested interests and political agenda, making up a
stage for officials and state leaders. The problem often raised is Papua liberation
effort (called Irian Jaya in the film) that was controlled by the Dutch back then.
The information is delivered through a narrative about events happening and
explanation about them to audience. The sounds were not the original sounds
of the events but rather heroic music inserted to go with the narrators voice.
DK commissioned Carl Theodor Dreyer to create a series of short public
service films. The series presented here are They Caught The Ferry (or De nede
frgen, 1948), A Castle Within A Castle (or Et slot i et slot Krogen og Kronborg,
1954), The Fight Againts Cancer (or Kampen mod krften, 1947), The Village
Church (or Landsbykirken, 1947) dan Storstrms Bridge (or Storstrmsbroen,
1950). Dreyer at that time was considered as a great European cineast that
had created phenomenal works recognized by the public and critics alike, such
as The Passion of Joan of Arc (or La Passion de Jeanne dArc, 1928), Vampyr
(1932) and Day of Wrath (or Vredens Dag, 1943).
The first short film, They Caught the Ferry, tells about two persons who chase
a ferry to Nyborg using a Nimbus 750 motorcycle. Dreyer explores a worst
possibility if one ignores riding safety. A Castle Within A Castle is a film that
introduces an old castle using geographical and historical approaches. Some
empty shots and architectural ornaments adorned this film that promotes what
the government has done to preserve and rejuvenate the castle. The Fight Against
Cancer begins with a shot of someones obituary who dies of cancer. Health
promotion especially concerning cancer before its too late is the message to be
delivered. The Village Church is a film that studies pastoral church architectures.
We can see here the rich history of Denmark and how a building construction
evolves and adapts to prevent death. Meanwhile, Storstrms Bridge is Dreyers
effort to film the technical achievements of Danish engineering that has built
a long bridge connecting Falster and Masned Islands. Unlike the other four,
this film does not use a narrator to deliver the information to audience. The
visuals is completely trusted to display the impressive majesty of human work
while music is inserted at the background.
***
Both Gelora Indonesia and DKs films were targeted by the state as peoples
consumption, namely all citizens living in each country. In all its history,
cinema has been inextricable from screening and its influence to the public
(Von Karasek, 1994); cinema is not esoteric as other mediums. It is this nature
of cinema that drives the state to produce its own films by adopting ways or
162 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

systems developed by private sector that gradually creates its own aesthetics.
Both these state productions also run in the same duration, ten minutes. It is
indeed not enough to affect the public mind and insert messages the public must
believe; while a duration too long is ineffective either because it would raise up
the cost and make the public bored while the message delivered be reduced and
unraveled. However, short duration will be effective in the appropriate way,
that is in repetition, consistence and continuousness (Bernays, 1928, p. 25).
Thats why PFN and DK made these films in serial with repeated themes. Its
similar to what television commercial and commercial in public do nowadays.
As been discussed before, Gelora Indonesias films begin with PFN logo and
that of the Republic of Indonesia at the background, followed by identification
numbers which, in this curatorial, are 444, 445, 468, 551 and 555. Meanwhile,
DKs films present the operators names involved in the production. The relation
between the films and the people behind the making of them is a human one,
just like that of between a sculpture and its artist, or of a painting and a painter.
We can sense in in DKs films. The audience familiar to Dreyers works will
recognize his filmic strategy and signature, be it in technicality or aesthetics.
They Caught the Ferrys beginning, for example, is a shot thats vaguely tells
viewers about an upcoming disaster. The protagonists stand beside a car that
will later become the executor and at the back a clavicle and ribs are pictured
in a blur, as a symbol of death about to happen. It feels like a planned murder
rather than a public service film about driving safety. Similar ways appear as well
in a Dreyers previous feature film, Day of Wrath. Lisbeth Movin plays Anne
Pedersdotter in the film, pictured in blur as an antagonist using the chiaroscuro
lighting technic when being shot at the face. This effect elicits ambiguousness
even as the character smiles on a frame. So do in his documentary films about
architecture A Castle Within A Castle, The Village Church dan Storstrms Bridge.
Dreyer does a lot of partial combination shots, close and medium ones, of blank
spaces, just like in The Passion of Joan of Arc dan Vampyr.
We cant apply such reading to Gelora Indonesia because of the absence of
figures behind the production. However, despite the untraceable figures, the
political agenda and alignments at the time can be seen. The films can only
be recognized by its number, just like a farmer identifies his cattles. It is a less
human way than DKs films. The relation between the creators and their works
are starkly reduced to a system of which the blueprint comes directly from the
government. This can be seen from the way this film raises an issue or figure,
such as how Soekarnos cult is done by the camera, visual montage and sound.
Soekarno is frequently shot through low angle to evoke an impression of a
great, strong, elevated leader unlike his people who look like mere attributes of
his grandeur. Soekarnos greatness even interrupts the films aesthetics as the
devoted narrator, always explaining each subject, is cut. When Soekarno gives
speech, the narrator yields his microphone so that Soekarno can speak on his
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |163

own behalf. Soldiers in the military parades filmed on the frame march from
left to right, becoming a sign of the political favor of the time. This is including
Trikora messages for the agenda of archipelago unification. The montaging
relation between people and their leader reflects what the government wants
the people to do as citizens. As the subjects of the state and its officials, the
people must support all state policies too. The people stand erect, looking up,
waving and supporting their leader. All these public service films keyword
is submissiveness as governments must rule the countries. While Dreyer
uses examples and effect of unsubmissiveness to state rule, Gelora Indonesia
is an example of a state that uses its total control to dominate the circulating
information among the people as they listen and accept. State, as a producer
entity, rules over what information must be presented to the public. It is this
factor that makes public service films highly predisposed to manipulation.

164 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

CP / 25 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 15.30 / 13+

GELORA INDONESIA
Negara Indonesia
Country of Production Indonesia
Language Indonesian
Subtitle No Subtitle
10 minutes, Series of 5 films

Serial newsreel berisi berita tentang Indonesia


untuk masyarakat, yang dibuat pada era
50-an dan 60-an oleh PFN. konten-konten
yang ada di dalamnya sebagian besar berisi
perkembangan politik saat itu, baik di dalam
maupun luar negeri.

Newsreel series contains news for society


about Indonesia, which was made in the
era of the 50s and 60s by PFN. It largely
contains the current political developments,
both at local and abroad.

Afrian Purnama

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |165

CP/ 25 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 & 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 15.30 / 13+

THEY CAUGHT THE FERRY /


DE NEDE FRGEN
Carl Theodor Dreyer (Denmark)
Country of Production Denmark
Language Danish
Subtitle English
11 minutes, B/W, 1948

Dua orang yang menggunakan kendaraan


bermotor mencoba mengejar feri ke Pulau
Nyborg. Pada akhirnya, mereka berhasil menuju
ke pelabuhan untuk mengejar feri itu, tetapi
tidak menggunakan kendaraan bermotor.

Two people used motor vehicles try to catch


the ferry to the island of Nyborg. In the end,
they managed to get to the port to catch the
ferry, but not using a motor vehicle.

Afrian Purnama

A CASTLE WITHIN A CASTLE /


ET SLOT I ET SLOT KROGEN OG KRONBORG
Carl Theodor Dreyer (Denmark)
Country of Production Denmark
Language Danish
Subtitle English
9 minutes, B/W ,1954

Pe n g g u n a a n k a s t i l s e b a g a i b e nt e n g
pertahanan sudah lewat masanya. Kastil besar
yang megah ini ternyata menyimpan rahasia
yang tidak banyak diketahui orang. Dengan
masuk ke dalam bilik-bilik dalamnya, kita
mempelajari rahasia di balik bangunan ini

The use of castle as a stronghold already passed


its time. This magnificent large castle turns
to keep a secret that is not widely known. By
entering into the chambers of it, we learn the
secret behind this building.

Afrian Purnama
166 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

THE FIGHT AGAINTS CANCER /


KAMPEN MOD KRFTEN
Carl Theodor Dreyer (Denmark)
Country of Production Denmark
Language Danish
Subtitle English
11 minutes, B/W, 1947

Seorang perempuan meninggal karena


keterlambatan penanganan penyakit kanker
yang dideritanya. Dokter lalu memberikan
sebuah contoh dan alasan mengapa penting
bagi pasien untuk melakukan pengobatan
berkala bila sudah didiaknosa kanker.

A woman died because of delays in the


handling of his cancer illness. Doctors then
provide an example and the reason why it is
important for patients to take medication
regularly when they are diagnosed cancer.

Afrian Purnama

THE VILLAGE CHURCH / LANDSBYKIRKEN


Carl Theodor Dreyer (Denmark)
Country of Production Denmark
Language Danish
Subtitle English
14 minutes, B/W ,1947

Gereja-gereja tua di desa memiliki banyak


cerita sejarah. Kita bisa melihatnya dari gaya
arsitektur, benda-benda yang digunakan di
dalam, dan bentuk bilik dalamnya. Gereja ini
adalah cerminan kayanya sejarah Denmark,
terhitung sejak Kristen masuk ke sana.

Old churches in the villages have many


historical stories. We can see from its
architectural style, the objects that are used
in, and the form of booths inside. This church
is a reflection of the rich history of Denmark,
starting from the Christian go in there.

Afrian Purnama
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |167

STORSTRMS BRIDGE /
STORSTRMSBROEN
Carl Theodor Dreyer (Denmark)
Country of Production Denmark
Language Danish
Subtitle English
7 minutes, B/W, 1950

Di tiap negara, penciptaan jembatan selalu


menjadi sebuah aksi besar karena, selain menjadi
penghubung ikatan dua daratan, juga menjadi
simbol kemegahan dan majunya teknologi yang
dimiliki sebuah negara, terlebih bila jembatan
itu sebesar Storstrms.

In each country, the creation of the bridge


has always been a big action because, besides
being a bond connecting two mainland, also
become a symbol of the grandeur and the
rapid advancement of technology owned by
a country, especially when the bridge was
of Storstrms.

Afrian Purnama

Carl Theodor Dreyer lahir tanggal


3 Februari, 1889. Sebelum menjadi
sutradara, dia bekerja sebagai jurnalis dan
penulis. Tahun 1920-an mulai membuat
filem-filem pendek. Salah satu karyanya,
The Passion of Joan of Arc (1928) menjadi
salah satu kanon sinema dunia. Dia
meninggal tahun 1968 pada tanggal 20
maret. Sekarang, dia diakui sebagai salah
satu sutradara terbaik yang pernah ada.
168 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Carl Theodor Dreyer was born on


February 3, 1889. He worked as a
journalist and writer before becoming
a filmmaker. He began to make short
films in 1920s. One of his works,
The Passion of Joan of Arc (1928) is
considered as one of the canons of
cinema. He died in 1968 on 20 March.
Now, he is recognized as one of the best
filmmaker ever.

BACHTIAR SIAGIAN DAN


VIOLETTA: IDEOLOGI DAN
SENI HIBURAN
Bunga Siagian
Peristiwa 1 Oktober, 1965, memicu rangkaian kejadian yang juga berimbas
ke dunia filem. Sasaran transformasi politik peristiwa tersebut adalah semua
individu dan organisasi yang, meskipun jauh, terkait dengan PKI atau Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) atau praktik gerakan melawan filem-filem
Amerika Serikat di bawah pimpinan PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan
Film Imperialis Amerika Serikat). Imbas dari peristiwa tersebut tidak hanya
menghilangkan peran para seniman Lekra dari dunia filem, tetapi juga
berupa penghilangan karya. Sejarah filem Indonesia, sejauh ini, merupakan
sejarah minus Sinema Lekra.
Apa yang begitu menakutkan dari Sinema Lekra di luar afililiasi politiknya
terhadap PKI? Estetika apa yang ditawarkan filem-filem yang disutradarai
oleh pembuat filem yang tergabung di dalam Lekra? Seperti tertera pada
mukadimahnya, tersebut bahwa rakyat adalah inspirasi kebudayaan. Oleh karena
itu, dengan dasar Nasionalisme, Agama, dan Komunis (NASAKOM) dan
Politik adalah Panglima, filem ditetapkan sebagai alat revolusi sehingga harus
berpihak kepada rakyat (Achmadi, 1964). Sementara itu, organisasi Lekra di
bidang filem, yaitu Lembaga Film Indonesia (LFI), tidak secara tegas membuat
sebuah rumusan mengenai satu estetika tertentu (misalnya, estetika realisme
sosialis) sebagai dasar di dalam penciptaan karya filem. Konsep seperti Politik
adalah Panglima, estetika revolusioner, Seni untuk Rakyat, dan sebagainya,
diterima sebagai ide untuk melawan imperialisme. Bagaimana manifestasinya
di dalam filem? Itulah yang kemudian menjadi pertanyaan.
Mendefinisikan dan mencari tahu estetika dari Sinema Lekra merupakan
kesulitan tersendiri, karena sebagian besar fisik filem karya seniman Lekra
tidak dapat ditemukan. Di Sinematek tercatat hanya dua filem yang tersisa dari
seluruh karya-karya sutradara yang tergabung di dalam Lekra, yaitu Violetta
(1962) karya Bachtiar Siagian dan Si Pintjang (1951) karya Kotot Sukardi.
Kuratorial ini mencoba mendedah salah satu kemungkinan mengenai apa
dan bagaimana Sinema Lekra melalui pembacaan atas filem Violetta. Selain
karena fisik filem Si Pintjang mengalami kerusakan yang cukup parahyang
menyebabkan 15 menit terakhir dari total durasinya harus dipotongkeputusan
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |169

untuk mengkurasi Violetta dilatarbelakangi oleh tahun pembuatan filem


tersebut. Berdasarkan definisi Salim Said atas istilah Sinema Lekra, Violetta
masuk dalam periode tahun 1957-1965, periode di saat Lekra berpolitik taktis
dan memulai perselisian dengan American Picture Association of Indonesia
(AMPAI). Salim Said, dalam Politik Adalah Panglima Film: Perfilman
Indonesia 1957-1965 (Said, 1978), menyatakan bahwa perselisian Lekra dan
AMPAI berawal dari penutupan studio-studio filem oleh PPFI (Persatuan
Perusahaan Film Indonesia) karena kucuran dana dari pemerintah dihentikan,
sedangkan impor flem saat itu semakin besar-besaran. Kebijakan itu praktis
mendapat tentangan dari Lekra.
Violetta bukanlah karya utama Bachtiar Siagian, juga tidak cukup kuat
sebagai patokan untuk merumuskan Sinema Lekra secara menyeluruh.
Filem ini berlatar drama percintaan tragis. Berkisah mengenai seorang ibu
yang seorang diri harus merawat anak gadisnya, Violetta, karena ditinggal
pergi sang suami yang tidak bertangung jawab. Oleh pengalaman masa lalunya
yang buruk di dalam menjalin hubungan dengan laki-laki, si ibu menjadi
begitu protektif terhadap Violetta. Nyaris seluruh aktivitas Violetta harus
sepengetahuan ibunya. Situasi ini menyebabkan Violetta mengalami tekanan
batin sehingga, atas saran dokter yang merawatnya, ia pergi beristirahat di
sebuah tempat yang tenang. Di sana, Violetta bertemu seorang kopral, dan
keduanya saling jatuh cinta. Sang ibu yang masih begitu trauma dengan lakilaki, tak menyetujui hubungan itu dan melarang Violetta menjalin kedekatan
yang lebih jauh dengan si kopral. Dengan premis yang sederhana itu, kita perlu
mencatat bahwa filem ini lahir di suatu zaman di kala ide-ide yang begitu
progresifkhususnya Marxisme di dalam konteks Lekramenguasai narasi
kebudayaan. Terkait permasalahan Marxis yang biasa dilihat penonton di
dalam filem-filem yang bernafaskan realisme sosialis, seperti pertentangan
kelas, dominasi kaum borjuis, atau revolusi itu, dalam konteks pembacaan
terhadap Violetta, menimbulkan pertanyaan apakah filem ini mewakili salah
satu politik estetika yang dilahirkan Lekra yang mendasarkan pernyataannya
bahwa filem sebagai alat revolusi?
Berbicara filem sebagai sebuah alat, jauh sebelumnya, pada era 1920-an
setelah Revolusi Bolshevik, teori montase lahir di Rusia. Dua dari sutradara
yang melahirkan teori itu adalah Vsevolod Pudovkin dan Sergei Eisenstein.
Montase (atau montage) merupakan manifestasi dari kemampuan sinema dalam
melahirkan bahasa intelektual yang dapat digunakan untuk kepentingan sebuah
ideologi. Cita-cita atas montase, tentunya, melahirkan sebuah karakter seni
yang cocok bagi bangsa Rusia.
Perlu dicatat bahwa pengertian montase antara Eisenstein dan Pudovkin
berbeda kala itu, yang masing-masing kemudian dikenal dengan istilah
Linkage-P (Pudovkin) dan Collision-E (Eisenstein), yang mana Eisenstein
percaya bahwa montase adalah prinsip konflik (Eisenstein, 1977, hal. 37). Sebuah
170 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

makna adalah sintesis yang lahir dari susunan gambar (dengan kata lain, A + B =
C, bukan A + B = AB). Maka, jika meninjau montase yang dilakukan Eisenstein
pada filem-filemnya, pencapaiannya terletak pada gambar-gambar yang saling
bertentangan satu sama lain sehingga menciptakan makna yang menggugah
kesadaran dan memengaruhi perilaku, aspirasi, pandangan, kesadaran dan sikap
massa. Pengejawantahan pemikiran Marxis secara teoretis, selain dialektika
atas editing yang menerapkan mekanisme tesis-antitesis-sintesis, juga ada pada
penekanan kekuatan massa di dalam filemnya. Sebagaimana menurut David
Botsford: Eisenstein berusaha menciptakan bentuk baru sinema yang, baik
dalam tema maupun metode-metode montasenya, akan selaras dengan nilainilai kolektif. (Botsford, 1991, hal. 6). Sementara itu, bagi Pudovkin, montase
lebih bersifat konstruktif, yakni merupakan aksi yang menghubungkan (atau
keadaan yang saling terkait dari) potongan-potongan yang disusun dalam
sebuah rangkaian tertentu. Ia menganalogikannya seperti batu bata, yang
ketika disusun akan menghasilkan sebuah dinding. Dinding itu adalah sebuah
ide besarnya (Eisenstein, 1977). Pudovkin mengkritik Eisenstein yang kurang
menekankan keindividuan. Menurutnya, gagasan Eisenstein berkonsekuensi
bahwa aktor tidak memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi karakternya;
aktor hanya menjadi seorang pekerja yang mekanistis, bukan subjek sinema.
Penekanan Pudovkin ada pada mise-en-scene, yakni pada keberanian dan
keuletan seorang individu, terlihat melalui tindakan (acting) dan plotnya yang
akan membangkitkan tanggapan emosional dari penonton untuk menangkap
ide yang ingin disampaikan.
Dengan pendekatan naratif yang konstruktif, filem Violetta yang bertema
romansa ini terasa sekali memakai pendekatan yang dipengaruhi teori montase
Pudovkin. Tidak ada penerapan dialektika Marxis pada susunan gambar di
dalam editingnya. Selain dari pengakuannya sendiri bahwa dia pernah membaca
naskah Film Art (Pudovkin) berbahasa Tiongkok (tercantum dalam catatan
pribadi Bachtiar Siagian, Bab VII, Dari Panggung Ke Film, dan telah
dimuat oleh IndoPROGRESS, 5 November, 2013), pengaruh Pudovkin pada
Bachtiar, tentunya, juga tampak melalui unsur naratif dan kontinuitas yang
linear, unsur dramatik, dan pola editing yang membangun narasi Violetta.
Perjuangan seorang ibu untuk mendidik anaknya, serta pergulatan seorang
perempuan seperti Violetta untuk menjadi otonom, merupakan bagian yang
ditekankan oleh Bachtiar. Kualitas keaktoran seseorang menjadi bagian yang
begitu penting di dalam konstruksi filem, sejalan dengan Pudovkin yang
menganggap bahwa aksi seorang aktor di dalam setiap adegan menjadi salah
satu elemen yang mampu mengarahkan respon penonton (Kepley, 1996, hal. 6).
Pemilihan tema cerita Violetta sendiri memang terkesan kurang revolusioner,
karena berkutat dengan narasi percintaan girls-meets-tractor ala Hollywood
yang klise, antara seorang tentara dan anak gadis. Namun, keputusan atas
bentuk filem seperti ini bukan hanya untuk kepentingan pasar dan tidak politis,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |171

karena pendasarannya ternyata ada di dalam ide Politik sebagai Panglima.


Bachtiar sempat menuangkan teori filemnya yang dia sebut sebagai rumusan
Pil Kina Bandung. Sebagaimana yang tertulis di dalam salah satu suratnya
teruntuk Salim Said:
Pendapat saya secara pribadi, sejak dulu sampai sekarang, tentang
Politik sebagai Panglima di dalam film. Film harus diabdikan bagi
kepentingan perjuangan dan pembangunan bangsa. Artinya ada dua
segi: 1. Segi Industri (materiil), agar modal industri film nasional
tumbuh dan berkembang, dengan perkembangan modal itu, ia akan
mampu mendorong kehidupan perfilman ke tingkat yang lebih baik. Tugas
mempertahankan, memelihara, mengembangkan modal nasional itu bukan
hanya tugas pengusaha film, industrialis, tetapi juga seniman-seniman
film. Dengan karya yang baik, yang disenangi publik, ia bisa membantu,
mengembangkan modal nasional itu; 2. Segi Idiil (isi dan bentuk film).
Isi dan bentuk film haruslah seimbang. Landasan pikiran keseimbangan
ini ialah keseimbangan antara kesenangan publik yang umumnya hanya
mengutamakan entertaintment, dengan aspek edukatif, kulturil yang sejalan
dengan tuntutan dan kepentingan bangsa. Dulu saya mengemukakan satu
rumusan tentang itu, yang saya sebut rumusan pil kina Bandung. Isi yang
mengandung pendidikan yang bertolak dari perjuangan dan kepentingan
bangsa dengan bentuk yang diberi gula-gula entertaintment, sebagaimana
kina dibungkus oleh gula yang putih
(Surat Bachtiar Siagian kepada Salim Said, tanggal 9
Februari, 1977. Diakses dari koleksi arsip pribadi Bachtiar
Siagian. Ejaan disesuaikan oleh penulis).

Bachtiar Siagian jelas membaca spektrum penonton dan situasi politik budaya
saat itu. Masuknya filem Amerika dan India secara besar-besaran di periode
itu telah membentuk selera penonton yang mengharuskan pembuat filem
bersiasat di dalam melakukan penetrasi ideologi tertentu kepada masyarakat.
Situasi seperti ini juga terjadi di Russia dan dihadapi Pudovkin pada era
kekuasaan Stalin di dalam Realisme Sosialis. Popularitas filem Hollywood
periode 30-an yang begitu besar memengaruhi selera penonton. Walaupun
masuknya filem Amerika dibatasi, masyarakat sudah terlanjur fasih akan gaya
filem model Hollywood. Di masa Realisme Sosialis, kemudian, dikembangkan
estetika filem yang berbasis narasi-narasi sederhana di bawah slogan Cinema of
Millions. Pilihan membuat filem saat itu pun mengadaptasi cara pembuatan
filem Hollywood, yang gayanya telah dikenal oleh penonton, ke dalam konteks
Rusia (Kepley, 1996, hal. 4-5). Bagi rezim Stalin, filem-filem yang berangkat
dari teori montase periode 20-an, seperti October: Ten Days that Shook the
World (1928) karya Sergei Eisenstein, dan A Man With A Movie Camera
172 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

(1929) karya Dziga Vertov, hanya dapat diapresiasi oleh kaum intelektual.
Oleh karenanya, bagi mereka, masyarakat membutuhkan bentuk filem yang
lebih konvensional (Kepley, 1996).
Miripnya situasl sosial yang dialami Bachtiar, mendorongnya merumuskan
teori Pil Kina Bandung, yang dapat terlihat dalam karyanya, Violetta. Bentuk
filem yang menekankan struktur naratif linear, presisi kontinuitas, mise-enscene, penokohan yang kuat, narasi sederhana yang kala itu populer, editing ala
Pudovkin, musik yang memengaruhi modus dan suasana adegan, merupakan
apa yang Bachtiar sebut sebagai gula-gula entertaintment, sebagaimana kina
dibungkus oleh gula yang putih.
Apakah politik estetika yang mengikuti selera pasar dengan mengadaptasi
bentuk filem Hollywood dan kemudian mengkontekskannya ke dalam
kepentingan ideologi tersebut berhasil atau tidak, itu yang menarik untuk
ditinjau melalui Violetta. Di dalam filem Violetta, ada ide emansipatoris, edukasi
dan anti imperialisme yang bisa terbaca. Sederhananya, tampak pada salah
satu adegan ibunya Violetta yang memecat seorang anak gadis dari asrama
putri karena dikunjungi oleh seorang teman laki-laki. Adegan itu merupakan
salah satu kode penolakan terhadap konten filem Hollywood kala itu yang
mempromosikan budaya Amerika, seperti kebebasan hubungan antar lawan
jenis yang masa itu dilawan oleh Lekra. Tampak di dalam visual, ketika tidak
ada satupun adegan di mana ada sepasang laki-laki dan perempuan bermesraan
baik di dalam adegan maupun kalimat-kalimat percakapan. Hal tersebut
konsisten ditunjukkan bahkan di dalam relasi antara Violetta dan Kopral.
Selalu ada gangguan di dalam adegan yang menunjukkan kehadiran Violetta
dan Kopral dalam perkara roman. Entah kehadiran orang lain atau adegan
yang tidak diniatkan untuk berkasih-kasihan. Beberapa bidikan romantis yang
tampak antara mereka hanya sampai di dunia mimpi Violetta tanpa pernah
hadir di dalam realitas relasi antara mereka berdua.
Filem bertema narasi percintaan berpotensi jatuh ke dalam sebuah klise
drama ringan berujung akhir yang bahagia. Menyisipkan sebuah konten
besar di balik sebuah drama percintaan yang sederhana membutuhkan sebuah
strategi naratif yang baik. Pada Violetta, peran penyusunan plot di dalam logika
naratif sangat besar. Mise-en-scene yang menaikkan derajat dramatik konflik
dihadirkan oleh Bachtiar melalui adegan yang menampakkan relasi antara
tokoh Violetta dan ibunya. Sementara itu, hubungan antara Violetta dan sang
kopral tidak melulu mengenai emosi percintaan, tetapi juga hadir sebagai kode
visual untuk menyampaikan suatu narasi ideologi tertentu. Misalnya, adegan
ketika Violetta memandangi sang kopral yang bersama anak buahnya sedang
bahu-membahu membantu petani, menunjukkan sebuah kondisi Turun ke
bawah (Turba). Atau di adegan lain, Violetta menggambar sosok sang kopral
yang memakai topi berbintang satu.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |173

Penokohan karakter yang kuat juga merupakan satu unsur penting di dalam
Violetta. Tokoh ibu yang memiliki peran besar di dalam mendidik anaknya,
serta murid-muridnya di asrama putri, menunjukkan peran fundamental
seorang ibu, baik di dalam keluarga maupun di dalam konteks yang lebih
luas, yaitu sekolah yang melibatkan massa. Dengan semangat emansipatoris,
perempuan ditahbiskan memiliki peran di dalam revolusi. Karakter Violetta
pun bergulat dengan perjuangan otonomi diri. Meskipun keputusannya untuk
melawan sang ibu justru berujung dengan kematiannya di tangan sang kopral,
setidaknya Violetta memperjuangkan kebebasan dirinya dari kuasa tertentu.
Sosok kopral digambarkan sebagai seorang tentara ideal yang merakyat dan
setia pada ide revolusi. Alih-alih terjebak pada romansa cintanya yang dilarang
ibu sang gadis, ia justru pergi untuk berjuang dan meninggalkan kisahnya
dengan Violetta.
Penokohan karakter tidak semata-mata terletak di dalam plot, relasi, atau
dialog di antara ketiga tokoh. Untuk menekankan penokohannya Bachtiar
menggunakan teknik pencahayaan ruang chiaroscuro untuk membuat ruang
baru di dalam visualnya. Keterkaitan antara ruang dan narasi yang dibangun
menjadi penting untuk mengontrol persepsi penonton agar fokus terhadap
tokoh atau kode visual yang ingin disampaikan. Teknik chiaroscuro yang
mengkontraskan antara terang dan gelap, untuk menyoroti objek di dalam
frame, tampak misalnya pada adegan-adegan di dalam ruangan saat Violetta
bercakap dengan ibunya. Perbincangan dan hubungan ibu-anak antara keduanya
menjadi lebih dramatis melalui pencahayaan yang dijatuhkan ke wajah kedua
tokoh, sementara sisa ruang menjadi samar-samar. Ruang baru di dalam ruang
ini yang digunakan sebagai satu metode untuk menggarisbawahi penokohan,
baik di dalam narasi maupun bingkai kamera itu sendiri.
Hal lain di dalam Violetta yang digunakan untuk mempertegas penokohan
adalah simbol. Bahwasanya, di dalam filem itu berhamburan kode-kode visual.
Dari lukisan sebagai pembuka filem, patung salib, hingga sangkar burung
hadiah dari sang kopral untuk Violetta yang menganalogikan kondisi Violetta
di dalam kuasa sang ibu. Pada adegan lain, misalnya, bidikan khusus terhadap
buku Thus Spoke Zarathustra karya Nietzsche yang hadir persis bersamaan
dengan pengenalan karakter ibu di awal filem. Jika ibu adalah simbol revolusi,
maka sesuai dengan konsep filosofi Nietzche melalui kisah Zarathustra di buku
tersebut, revolusi haruslah memiliki tujuan kepada sebuah transformasi dari
kondisi yang buruk di masa lalu menuju sebuah keadaan ideal yang ingin dicapai.
Violetta pada akhirnya adalah sebuah drama percintaan yang tidak sederhana.
Narasi yang ingin disampaikan tersusun melalui plot yang mengalir melalui
ekspresi, perbincangan dan relasi di antara tiga tokoh tersebut, juga dikonstruk
melalui pencahayaan dan kode visual. Ia tersusun dengan kesadaran, bahwa
filem ini untuk dinikmati sebagai hiburan, meskipun di baliknya tersimpan
agenda yang besar. Jika ia adalah sebuah alat revolusi, tentu ia bukanlah filem
174 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

yang mempropagandakan ideologi komunis secara revolusioner. Tidak ada


doktrin mengenai permasalahan-permasalahan Marxis yang disampaikan
secara terbuka di dalamnya. Violetta mengalir dari narasi sederhana seharihari dan jauh dari bayangan akan sebuah filem propaganda.
Sampai di sini, saya ingin menyimpulkan, bahwa Sinema Lekra definisi
Salim Said, yang menurutnya dimulai pada tahun 1957, merupakan sebuah
gerakan politik, bukan gerakan estetik. Jika seluruh Sinema Lekra yang telah
dimusnahkan memiliki napas yang sama seperti Violetta, tentu kita melewati
satu periode di mana konteks industri seni hiburan dan ideologi politik bisa
hadir dan terepresentasikan secara bersama-bersama melalui apa yang kita
sebut sebagai sinema.
Bacaan:

Achmadi, M. P. (28 Oktober, 1964). Film adalah alat Revolusi guna membentuk masjarakat
Sosialis Indonesia berdasarkan Pantjasila. Pelita.
Botsford, D. (1991). Collectivism Versus Romanticism In The Early Cinema: Sergei Eisenstein
And The Mass-Hero. Cultural Notes (25), hal. 1-14.
Eisenstein, S. (1977). Film Form: Essays in Film Theory. (J. Leyda, Ed.) New York & London:
Harcourt, Brace & World, Inc.
Kepley, J. V. (1996). Pudovkin, Socialist Realism, and The Classical Hollywood Style.
Journal of Film and Video, 47(4), hal. 3-16.
Said, S. (November, 1978). Politik Adalah Panglima Film: Perfilman Indonesia 1957-1965.
Prisma, VII(10), hal. 80-89.
Siagian, B. (5 November, 2013). Bachtiar Siagian Dan Misteri Realisme Sosialis Dalam
Film Indonesia. Dipetik Juli 14, 2015, dari IndiPROGRESS: http://indoprogress.
com/2013/11/bachtiar-siagian-dan-misteri-realisme-sosialis-dalam-film-indonesia/
Surat pribadi Bachtiar Siagian untuk Salim Said (9 Februari, 1977), diakses dari koleksi
arsip pribadi Bachtiar Siagian.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |175

BACHTIAR SIAGIAN AND


VIOLETTA: IDEOLOGY AND
ENTERTAINMENT
Bunga Siagian
The 1965 Coupe triggered a series of events which affected Indonesian cinema.
The coupe practically crossed-out individuals and organizations related to,
however indirectly, the Indonesian Communist Party (PKI) or Peoples Cultural
Organization (Lekra) or practices against American films under PAPFIAS
(Committee against American Imperialist Films). Not only that the coupe
obliterated Lekra artists existence in the film industry, it had also destroyed
a number of works. The history of Indonesian cinema is thus, by far, a history
minus Lekra Cinema.
What was so alarming about Lekra Cinema other than its political
affiliation with PKI? What aesthetics did the films by Lekra directors offer?
To Lekra, people is the ultimate cultural inspiration and thereforebased on
Nationalism, Religion, and Communist (NASAKOM) paradigm and Politics
is the Commanderfilm was regarded as a tool of revolution and needed to
be people-oriented (Achmadi, 1964). Meanwhile, Lekras subsidiary in film,
Indonesian Film Organization (LFI) did not devise a specific formulation on
certain aesthetics (for instance, socialist realism) as their creative foundation.
Jargons such as Politics is the Commander revolutionary aesthetics, Art for
the People, etc were simply accepted as ideas to fight against imperialism. But
then a question arises: how were they manifested in the films?
An attempt to define and discover the aesthetics of Lekra Cinema is, of
course, a major challenge in itself. Most works of Lekra filmmakers cannot be
found in physical form. Based on Sinematek records, there are only two films
remained from the entire long list of Lekra works, i.e. Violetta (1962) by Bachtiar
Siagian and Si Pintjang (1951) by Kotot Sukardi. What this writing hopes to
bring, is to deliver a possible explanation on what is Lekra Cinema through a
curatorial examination of Violetta. The decision to dissect Violetta was indeed
inevitable. The only other available film, Si Pintjang, is so heavily damaged
that the last 15 minutes was cut off from the total duration. Coincidentally,
Violetta is quite a perfect material for this curatorial writing owing to its year
of making. Based on Salim Saids definition of Lekra Cinema, Violetta is
categorized to the 1957-1965 period, when Lekra adopted tactical politics and
176 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

was in conflict with American Picture Association of Indonesia (AMPAI).


Salim Said, in his book Politik adalah Panglima Film: Perfilman Indonesia
1957-1965, described the tension between Lekra and AMPAI which began
when PPFI (Association of Indonesian Film Companies) closed down film
studios due to budget elimination from the government while at the same time
film imports were rapidly increasing. Lekra was openly opposed to this policy.
While Violetta was not Bachtiar Siagians best work, it is at the same time
inadequate to produce a proper expos on Lekra Cinema from one film. The
film is essentially a tragic love story. It tells of a story of a single mother who
had to raise her daughter, Violetta, all by herself because the father thoughtlessly
left. Because of her own grave experience with men, the mother turned overly
protective to Violetta. Almost Violettas every activity needed to be made
within her mothers consent. This put a great strain over Violetta. With her
doctors advice, she managed to retreat to a quiet place away from her mother.
It was during this retreat that Violetta met a corporal whom she fell in love
with. Their feelings were mutual. The mother, trapped in her own trauma,
could not approve of Violettas romantic feelings and restricted her from going
deeper into the relationship. With such a simple premise, we need to take
note that this film was made in a time when progressive ideasparticularly
Marxism, in Lekras casedominated the cultural narrative. With regard to
Marxist ideas such as class action, bourgeois domination, or revolution that
often appear in many films of socialist realism, it is natural for one to ask if
Violetta truly represents the political aesthetics that Lekra carried, especially
concerning their belief that film is a tool for revolution.
On the subject of film as a tool, long before the revolution actually took
place in our country, in post-Bolshevik Revolution 1920s Russia, montage
theory was born. The birth of this theory came from two filmmakers, Vsevolod
Pudovkin and Sergei Eisenstein. Montage is a manifestation of cinematic
capability to create an intellectual language to the benefit a certain ideology.
The ultimate objective of montage theories was, of course, to give birth to an
artistic character befitting to Russian ways.
It is important to note that Eisensteins and Pudovkins understanding
on montage were quite different then, which led to the terms Linkage-P for
Pudovkins theory and Collision-E for Eisensteins. Eisenstein believed that
montage is a principal of conflict (Eisenstein, 1977, p. 37). Meaning is the
synthesis derived from image sequence (in other words, A+B=C, not A+B=AB).
If we look at Eisensteins montages in his films, he achieved what he intended
to achieve through conflicting images to create meaning to stir the audiences
consciousness, influence their behavior, aspirations, views, awareness and
collective attitude. Theoretical manifestation of Marxist creeds, besides through
dialectic editing that incorporates thesis-antithesis-synthesis mechanism, is
also in his emphasis on peoples power to revolt. According to David Botsford,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |177

Eisenstein tried to create a new form of cinema that both the theme as well
as its montage methods would correspond with collective values. (Botsford,
1991, p. 6). On the other hand, according to Pudovkin, montage is something
more constructive, it is a connective action (or an interrelated condition) of parts
strung together in a certain fashion. He adopts an analogy of bricks that, when
arranged according to a certain pattern, eventually form a wall. The wall is the
grand idea (Eisenstein, 1977). Pudovkin criticized Eisenstein for his lack of
emphasis in individuality. To Pudovkin, Eisensteins ideas consequently implied
that there isnt any opportunity for actors to explore their characters; actors
are merely mechanistic workers, not the subject of cinema itself. Pudovkins
emphasis on mise-en-scene, which is the prowess and vigor of an individual, may
be seen through the action and plotting of film that will provoke emotional
response from the audience so that the intended message may be absorbed.
With a constructive approach to narrative, the influence of Pudovkins
montage theory in Violetta is discernible. It did not adopt Marxist dialectics
in the way its images are arranged in editing. Aside than his Bachtiar own
remark that he read Pudovkins Film Art screenplay in Chinese translation
(as mentioned in his personal journals, chapter VII, From Stage to Film,
and was put in print by IndoPROGRESS, November 5, 2013), Pudovkins
influence on Bachtiar is also shown from his narrative and linear continuity,
dramatic elements, and editing pattern that shaped Violettas narrative. The
struggle of a mother to educate her daughter and a young womans pursuit to
achieve autonomy were Bachtiars emphases in the film. The casts quality of
acting became paramount in the film construction, in accordance to Pudovkins
belief that the actors acting in each scene is a crucial element to elicit audience
response (Kepley, 1996, p. 6).
Violettas theme may not seem revolutionary at all. In fact, it was quite
similar to girl-meets-traitor cliches a la Hollywood, a romance between a
soldier and a young woman. However, Bachtiars decision on the theme was not
entirely market-oriented and apolitical. He explained his standpoint regarding
Politics is the Commander which he put into a metaphorical term Pil Kina
Bandung. As written in his letter to Salim Said:
In my personal opinion, which I believed and will always do, this is how
we need to interpret Politics is the Commander in film. Films need to be
dedicated to this nations struggle and development. Its elaboration lies in two
aspects: 1. Industrial aspect (material), in order to increase our national film
industrys capital. With such increment, it will have enough power to escalate
our film industry to a better standard. The duty to maintain, foster and
grow this national capital lies not only within the roles of film entrepreneurs,
industrialists, but also film artists. Good works, praised by the public, will
help to increase this national capital; 2. Ideal aspect (the films content and
178 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

form). A films content and form need to be balanced. By balance I refer to the
equation between public interestwhich mainly concerns entertainment
and educative, cultural elements in accord to the nations demands and
aspiration. Once I termed this notion Pil Kina Bandung: an educative
content that departs from our nations struggle and aspiration, sugar-coated
with entertainment, as a quinine pill is coated with a white, sweet layer of
sugar.
(Bachtiar Siagians letter to Salim Said, dated February 9,
1977. Excerpted from the personal archives of Bachtiar Siagian.)

Bachtiar Siagian clearly observed the market spectrum and cultural-political


situation at the time. The invasion of American and Indian movies during the
period had successfully shaped the markets taste. Filmmakers needed to be
more strategic in order to penetrate. Similar situation had happened in Russian
and was faced by Pudovkin during Stalins power in socialist realism. The
popularity of Hollywood films of the 1930s had shifted the audience appetite
for entertainment. Eventhough film import level was barred to certain limit,
people were already hooked with Hollywood. During the socialist realism
era, then, film aesthetics was developed based on simple narratives under the
Cinema of Millions slogan. Filmmaking was adjusted to Hollywood style,
applied to Russian context (Kepley, 1996, p. 4-5). To Stalins regime, 1920s
films that departed from montage theory such as October: Ten Days that Shook
the World (1928) by Sergei Eisenstein and A Man with a Movie Camera
(1929) by Dziga Vertov, could only be enjoyed by few intellectuals, which was
why the public wante a more conventional type of film (Kepley, 1996).
Bachtiar found the situation similar with what he encountered and encouraged
him to postulate Pil Kina Bandung, which was well reflected through Violetta.
It highlights a structured, linear narrative, precise continuity, mise-en-scene,
strong characterization, the widely popular simple narrative, editing a ala
Pudovkin, music that gave flavor and shape to the scenes mode and ambience.
Those are what Bachtiar termed as sugar-coated with entertainment as a quinine
pill is coated with a white, sweet layer of sugar.
It is thus interesting to try to see, through Violetta, whether or not this
adoption of Hollywood aesthetics and its usage within ideological context
was successful. One can observe emancipative idea, educational concern, and
anti-imperialist messages that the film carries. In a brief example, Violettas
mother dismissed a girl from her dorm because a man visited her there. The
scene may be interpreted as a code of refusal against Hollywood films and their
American culture, namely a liberal relationship between man and woman,
something Lekra was up against. Throughout the film, there isnt any scene
where man and woman are seen affectionately cuddly, nor is it existent in the
dialogues. This was consistently reflected in the film in the way Violetta and
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |179

the corporal, during their time together, somehow were always interrupted by
other peoples presence or simply by inopportune chances. Several romantic
shots are presented merely through Violettas dreams that were, unfortunately,
never become real.
Romantic narrative is often prone to dramatic clichs that end happily.
Embedding grand ideas in a simple romantic drama requires a clever narrative
strategy. In Violetta, plot work took a great role in the logic of the narrative.
Bachtiar presented a mise-en-scene to amplify the dramatic tension through
scenes where Violettas relationship with her mother is exposed. On the other
hand, Violettas relationship with the corporal is not always about romance.
In several shots, one can perceive the films visual codes in order to deliver a
certain ideological narrative. For example when Violetta gazed at the corporal
while he and his team were helping local farmers during a session of Turun ke
Bawah (Turba, a top-down movement with a general objective to penetrate
into the lives of common people). Also described in another scene, Violetta
drawing the corporals figure donning a one-starred beret.
Character development is also a crucial element in Violetta. The mother
had major contribution in educating her daughter and other female pupils in
her dorm, signifying the fundamental role of a mother in a family as well as
in larger scope such as mass-inclusive school. With emancipative zest, the
film put forth the female role in a revolution. On an individual scope, Violetta
herself was struggling to achieve self-autonomy. Eventhough her decision to
go against her mothers advice brought her to a tragic end in the hands of her
beloved corporal, at least she really did free herself from external authority.
The corporal himself was depicted as an ideal soldier, humble and faithful to
the revolution. Instead of getting trapped in an ill-fated romance, he chose
to flee away from the situation and to fight for his country, leaving his story
with Violetta behind.
Characterization in Violetta is richly described in so much more than just
the plot, relationships, or dialogues among the three characters. To emphasize
his characters, Bachtiar brilliantly adopted chiaroscuro lighting technique
to create a new space within the visuals. Interconnectedness between visual
space and ongoing narrative is crucial to direct audiences perception to focus
on certain characters or on the works visual codes. Dark versus light contrast
in chiaroscuro is used to feature the object in frame, for example in scenes
where Violetta conversed with her mother. Their mother-daughter relationship
became more dramatic with lighting on their faces while the rest of the room
was made dim. This new space within a space can be utilized to underline
certain characterization, both in narrative as well as in camera frame.
Violetta also incorporated many symbols to emphasize characterization.
The work is full of visual codes, such as the painting in the opening shot, a
crucifix, and a birdcage gifted by the corporal as an analogy of Violettas state
180 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

of being under her mothers watchful eyes. In another scene, the camera took
a shot of a copy of Nietzsches Thus Spoke Zarathustra simultaneously with the
mothers first appearance in the film. If a mother is a symbol of revolution, it
follows Nietzsches philosophy that revolutions ultimate goal is a transformation
from a grave past to an ideal future.
Violetta, by all means, is so much more than a simple romance. Its narrative
is constructed from a plot that flowed through the three characters expressions,
conversations and relations, as well as through lighting technique and visual
codes. It was constructed with an awareness that, eventually, film will be
enjoyed as a form of entertainment, however grand its hidden agenda is. As a
tool of revolution, Violetta was not the type of film that propagated communist
ideologies through revolutionary ways. Violetta was set off from a mundane,
everyday reality, far from the presumption of how a propaganda film should
be, free from Marxist indoctrinations.
Based on this analysis, I would like to conclude that Lekra Cinema,
initiated in 1957 as defined by Salim Said, was a political movement instead
of an aesthetic one. If all obliterated films of Lekra Cinema carried a similar
tone to Violetta, we are indeed at loss for erasing an incomparable period from
our national history, a period where entertainment and political ideology
coexisted in cinema.
Works Cited:

Achmadi, M. P. (October 28, 1964). Film adalah alat Revolusi guna membentuk masjarakat
Sosialis Indonesia berdasarkan Pantjasila. Pelita.
Botsford, D. (1991). Collectivism Versus Romaticism in the Early Cinema: Sergei Eisenstein
and the Mass-Hero. Cultural Notes (25), pp. 1-14.
Eisenstein, S. (1997). Film Form: Essays in Film Theory. (J. Leyda, Ed.) New York & London:
Harcourt, Brace & World, Inc.
Kepley, J. V. (1996). Pudovkin, Socialist Realism, and the Classical Hollywood Style. Journal
of Film and Video, 47(4), pp. 3-16.
Said, S. (November, 1978). Politik adalah Panglimsa Film: Perfilman Indonesia 1957-1965.
Prisma, VII(10), pp. 80-89.
Siagian, B. (November 5, 2013). Bachtiar Siagian dan Misteri Realisme Sosialis dalam Film
Indonesia. Retrieved July 14, 2015, from IndoPROGRESS: http://indoprogress.
com/2013/11/bachtiar-siagian-dan-misteri-realisme-sosialis-dalam-film-indonesia/
Personal letters of Bachtiar Siagian to Salim Said (February 9, 1977), excerpted from
Bachtiar Siagians personal archives.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |181

CP/ 25 AUGUST, KINEFORUM, 19.00 / 18+

VIOLETTA
Bachtiar Siagian (Indonesia)
Country of Production Indonesia
Language Indonesia
Subtitle English
95 minutes, B/W, 1962

Sebuah filem drama percintaan berkisah


me n g e n a i s e or a n g g a d i s y a n g h a r u s
memperjuangkan kebebasan diri dari kuasa
ibunya, juga cintanya terhadap seorang kopral
yang baru dikenalnya. Konflik interpersonal
antara ketiga tokoh yang disusun melalui
struktur naratif, teknik pencahayaan ruang
chiarosquro, dan simbol visual yang saling
berelaborasi menghantarkan ide-ide penting
pada konteks zamannya di balik premisnya
yang sederhana.

A film about the romance drama revolves


around a girl who struggle for freedom herself
away from the power of her mother, also
for her love to a corporal she met. Behind
this simple premise, interpersonal conflicts
between them compiled through narrative
structure, room lighting techniques of
chiaroscuro, and visual symbols elaborated
mutually deliver important ideas in the
context of its time.

Bunga Siagian

Bachtiar Siagian (lahir di Binjai,


23 Agustus 1923) adalah salah satu
sutradara yang tergabung di dalam
sebuah gerakan politik Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra). Semasa
karir penyutradaraannya, Bachtiar
yang berangkat dari dunia teater ini
telah menyutradarai 13 filem panjang.
Violetta adalah satu-satunya filem
Bachtiar yang tersisa.
182 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Bachtiar Siagian (b. August 23, 1923


in Binjai) is one of the filmmakers
who were members of a political
movement Lembaga Kebudayaan
Lekra (LEKRA). During his career,
Bachtiar whose background is theater
had created 13 full-length fiction films
fiction films. Violetta is the only film
Bachtiar remaining.

SINEMA
ANTARA KESADARAN
DAN KETAKSADARAN
Akbar Yumni
Ketahuilah, filem bisa dibuat pada persimpangan antara realitas dan
metafor, atau antara dokumenter dan fiksi.
(Jean-Luc Godard, Scenario the Film Passion, 1982)

Ilusi bisa dimaknai sebagai hal yang positif, khususnya ilusi pada sinema, yang
justru bisa memberikan harapan pada kenyataan manusia. Dalam konteks
politik, manusia sering kali dibatasi pada kepalsuan hubungan vertikal
bangsa-bangsa sehingga bisa melupakan hubungan horizontal antarmanusia
itu sendiri. Grand Illusion (1937) karya Jean Renoir, misalnya, salah satu yang
mendekonstruk konsep ilusi sebagai hal yang positif itu. Realisme dalam Grand
Illusion terlihat dari usaha Renoir untuk mengembalikan situasi manusia itu
ke keadaan hubungan yang lebih horizontal ketimbang vertikal.
Sebagaimana kata Bazin, realisme Renoir dalam Grand Illusion bukanlah
hasil duplikat naif dari kehidupan; sebaliknya, ini adalah produk dari sebuah
penciptaan-ulang nan cermat dari karakter melalui penggunaan detail yang
tak hanya akurat, tetapi juga penuh arti, dan ini dicapai tanpa bantuan kaidah
dramatik (Bazin, 1974, hal. 63). Namun, realisme menurut pengertian ini,
sesungguhnya bukan ihwal keterampilan membuat rekaan, bukan pula sebuah
reproduksi dari sesuatu yang dokumenteris. Manifestasi realisme Grand
Illusion-nya Renoir adalah bidikan panjang (long take)-nya yang mampu
secara akurat mengurai detail-detail tanpa diskrimintatif. Uraian detaildetail tentang keberagaman karakter realitas manusia dalam filem tersebut
seakan menghadirkan ilusi yang bermanfaat ketimbang membahayakan: ia
menolong manusia untuk mengatasi ujian-ujian dan memberikan keberanian
untuk bertahan (Bazin, 1974, hal. 64).
Sementara itu, menurut Jacques Rancire, sinema adalah permainan imaji;
permainan oposisi antara bentuk dan materi, subjek dan objek, kesadaran dan
ketaksadaran; antara pasivitas mata kamera dan kemampuannya menangkap
aneka gerakan tanpa batas, yang membentuk drama dengan intensitas yang
tanpa tanding (Sugiharto, 2014, hal. 334). Dalam konteks ini, sinema menjadi
semacam era yang merusak tatanan yang telah mapan pada era seni mimesis,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |183

karena tidak ada lagi suatu hak istimewa artistik bagi seorang seniman; ia tidak
lagi memiliki dirinya sendiri untuk memaksakan sebuah visi yang dilekatkan
pada bentuk. Pasivitas mata kamera memiliki intensitas yang ganda, dari
sebuah cara pandangan yang intelektual hingga yang sentimental.
Dua karya yang disajikan dalam kuratorial ini, Scenario du Film Passion(1982)
karya Jean Luc Godard dan L-bas (2006) karya Chantal Akerman, adalah
karya yang merefleksikan makna ilusi dalam konteks sinema kekinian. Pada
karya Godard, tegangan terjadi saat penyingkapan selubung image berdasarkan
homologi dunia dan filemnya melalui modus penglihatan ketimbang penulisan.
Sementara itu, pada karya Akerman, tegangan terjadi antara mengalihkan
aktualitas peristiwa yang berlangsung pada ruang eksterior dan pergulatan
yang berlangsung di dalam diri sang pembuat sebagai ruang interior.

Penglihatan dalam Kerja Sinematis

Seakan melanjutkan tradisi authorship, dalam karya Scenario du film Passion,


Godard menolak menerapkan skenario, dan menggunakan penglihatan
sebagai kerja dokumenteris. Dalam tradisi authorship sebelumnya, yakni di
awal kemunculan istilah tersebut sekitar 1920-an, kerja sutradara tidak hanya
bersandar pada skenario seperti halnya yang terdapat pada filem-filem popular
kala itu, tetapi juga terkait dengan pengerjaan filem itu sendiri. Kemudian, pada
dekade berikutnya (awal 1950-an), authorship adalah ide tentang bagaimana
memandang kamera sebagai ekspresi pribadi sang pembuat. Dalam konteks
tersebut, Alexandre Astruc bahkan mengasosiasikan kerja kamera dengan
kerja sebuah pena (cinema-stylo, atau lebih tepatnya camera-stylo, jika mengacu
judul artikelnya di dalam LEcran, berjudul La camera-stylo, tahun 1948).
Pada periode selanjutnya, authorship lebih merupakan gaya di mana pengaruhpengaruh sastra, yang sedemikian kuat pada proses pengadaptasian karya
sinema, bisa dihapuskan semata-mata demi sinema itu sendiri, ketika Franois
Truffaut merujuk karya Robert Bresson, Journal dun cur de campagne (1951).
Dalam konteks filem Scenario du film Passion, semangat authorship Godard
bukanlah dalam kerangka menceritakan filem Passion, tetapi lebih memilih
menjelaskan gambaran latar pembuatan filem Passion sebagai pergulatan
image dan realitasnya. Godard, terlebih dalam Scenario du film Passion
dibandingkan dalam Passion, mengelaborasi dalam kisaran antara estetika
dan politik dengan menggunakan metafora-metafora kontradiktif untuk
menggambarkan homologi antara dunia dan metafora (filem)-nya (Loshitzky,
1995, hal. 91). Proses pembuatan telah menjadi karya itu sendiri, dan bukan
sebagai sesuatu yang terpisah dari karya, di mana selubung homologi antara
dunia dan filem direfleksikan.
Scenario du film Passion sendiri adalah sebuah dokumenter eksperimental
yang berisikan tentang proses pembuatan filem Passion. Godard, sebagai
184 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

sutradaranya, berdiri di hadapan sebuah layar putih, memadukan beberapa


image beserta latar dan gagasan-gagasan estetika sinemanya ketika menyusun
gambar untuk filem Passion. Apa yang dilakukan Godard ini adalah semacam
tindakan (performance) seorang author dalam sinema di hadapan sebuah layar
putih yang siap diisi dengan citra-citra (images) untuk membentuk sinema itu
sendiri. Atau, menurut Fredric Jameson, posisi Godard menjadi semacam
astronot dari satelit estetika yang otonom dari filem Passion itu sendiri (Jameson,
1995, hal. 161). Sebagaimana yang diutarakan oleh Godard di dalam flem
Scenario du film Passion, image adalah dunia, sedangkan layar putih adalah
langit dari dunia tersebut. Spektrum ini mengandaikan kebebasan image yang
dilingkupi cakrawala layar yang notabene adalah langit dunia itu sendiri,
di mana dalam konteks yang lebih luas, pengertian batas (langit) dalam seni
memang telah menjadi misteri.
Aksi Godard tersebut lebih merupakan refleksi filem Passion berdasarkan
penglihatan (seeing)-nya, yakni usaha dia sendiri untuk menolak skenario sebagai
prosedur yang acu dalam proses visualisasi untuk sebuah karya sinema. Bagi
Godard, penglihatan pada dasarnya adalah hal yang lebih dahulu ketimbang
penulisan. Bahkan, Godard merujuk tradisi Bible, di mana Musa melihat
dahulu sebelum menulis kitabnya. Penulisan itu sendiri menjadi semacam
representasi yang telah ditetapkan, seperti halnya sebuah penetapan hukum,
dan bisa menghambat kebebasan ketika menghadirkan images. Skenario, bagi
Godard, adalah semacam tradisi penulisan yang kerap memberikan banyak
batasan terhadap kemungkinan-kemungkinan imaginatif dari susunan gambargambar pada sebuah filem. Sebagaimana kepercayaan bahwa penglihatan adalah
awal dari semuanya, maka filem, yang merupakan duplikat kehidupan, juga
diawali oleh aksi itu. Penglihatan menguatkan keyakinan akan fakta, yang
kemudian baru dibubuhkan dalam tulisan.
Dalam Scenario du film Passion, Godard berkata, Skenario menciptakan
peluang; kamera membuatnya mungkin. Dalam konteks ini, Godard merefleksi
skenario dalam ranah industri filem, di mana pencatatan visual berkaitan
dengan konteks peluang tatkala sebuah image bisa dihasilkan dalam kalkulasi
industri. Dengan kata lain, homologi dunia dan filem semacam itulah yang
kemudian sering kali menghasilkan image yang, dalam konteks industri filem,
berdasarkan peluang-peluang menurut nalar ekonomi.
Sementara itu, penglihatan menjadi sinema di era video, karena medium
video memiliki konteks dengan ide tentang medium yang bisa mencairkan
perihal-perihal koersif dari penulisan. Bahwasanya, medium video bisa
dijadikan semacam praktik pe-skenario-an di dalam sebuah karya filem
melalui penglihatan. Seturut dalam kerangka pengelihatan tersebut, medium
video, selain bisa melepaskan diri dari konteks penulisan, juga merupakan
medium yang memungkinkan sebuah produksi image yang tidak didasari oleh
cakrawala kerja industri.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |185

Perlu ditegaskan lagi, bahwa Scenario du film Passion, pada dasarnya, adalah
sebuah karya tentang skenario ketimbang tentang filem Passion itu sendiri.
Pengertian skenario pada karya ini mengacu pada bagaimana penglihatan itu,
oleh Godard, dilihat sebagai tradisi yang sesungguhnya lebih dekat dengan
sinema. Melalui praktik video, semua aturan-aturan formal tentang sinema bisa
dihapuskan, karenanya sinema bisa disikapi sebagai refleksi atas dirinya sendiri,
sebagai bagian dari karya sinema seutuhnya. Artinya, penolakan terhadap
skenario merupakan usaha untuk membebaskan sinema dari pengaruh yang
berasal dari luar dirinya sehingga semakin tegaslah bahwa sinema semata-mata
merupakan perihal gambar.
Dalam sinema, penglihatan terjadi ketika image berada di hadapan sang
sutradara. Keadaan ini membuatnya menjadi berbeda dengan tradisi televisi
(yang juga menggunakan medium video), karenamenurut Godard dengan
merujuk sebuah tayangan berita di televisi dalam salah satu skena Scenaro du
Film Passionsi pembaca berita selalu berada di posisi yang membelakangi
image. Bagi Godard, image harus berada di depan sang sutradara agar dapat
ditelaah oleh sang sutradara. Godard membayangkan image layaknya tubuh,
yang karenanya kita bisa berhubungan intim dengan image. Sebuah karya,
bagi Godard, adalah penglihatan terhadap yang limun (invisible) agar menjadi
nyata (visible).
Keberadaan layar putih di hadapan Godard itu layaknya sebuah halaman
kosong (blank space) a la Mallarm (Stphane MallarmEd.) dalam Un
Coup de Ds Jamais NAbolira Le Hasard (A Throw of the Dice will Never
Abolish Chance, 1897). Halaman kosong-nya Mallarm ini menjadi penting,
khususnya terkait dengan penggunaan medium video yang bisa menciptakan
sebuah ruang antara mana yang diprioritaskan bagi para penonton dan mana
yang berupa kehampaan dari halaman itu sendiri. Adegan-adegan berupa layar
putih pada beberapa sekuen di filem Scenario du Film Passion menjadi semacam
jeda atau ruang antara yang berpeluang diisi oleh satu image dan disusul image
yang lain. Karya puisi Mallarm sendiri adalah karya yang kompleks, karena
memuat banyak lapisan (salah satu di antaranya, ialah pentingnya sebuah suara
dari kata-kata ketimbang maknanya). Puisi Mallarm itu adalah permainan
yang membentuk semacam hypertext, yang memungkinkan pembacaan puisi
sebagai sesuatu yang non-linier dari teks. Namun, yang terpenting adalah
bagaimana menerapkan konsepsi halaman kosong Mallarm tersebut, yang
terkandung di dalam praktik puisinya, sebagai perluasan medium video yang
memperlakukan image layaknya kata-kata dalam puisi. Filem Scenario du Film
Passion sendiri, banyak memperlihatkan satu image ke image yang lain, melalui
sebuah pemotongan, sebagai jeda berupa layar yang hampa.
Prinsip-prinsip puitis dari Mallarm yang diambil oleh Godard itu
membuat proses hal-hal yang invisible menjadi visible, karena, seperti yang
telah disinggung sebelumnya, kamera memungkinkan penyingkapan itu.
186 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Namun, konteks membuka selubung invisible menjadi visible tersebut bukanlah


proses yang bersifat mistis pada sinema, karena hal itu sendiri adalah hal
yang sudah tak terelakkan dalam proses pembuatan filem. Bahwasanya di
dalam sinema ada satu hubungan partikular yang saling memengaruhi antara
realitas dan fiksi, sinema seakan berada di antara yang terbatas (finite) dan
yang tak terbatas (infinite). Dengan kata lain, ini adalah konteks bagaimana
hal yang metafor dihadiri melalui realitas, serta konteks ketika fiksi dipandu
kembali ke dokumenter. Dalam mengurai tegangan dua kutub tersebut,
Godard melakukannya dengan modus penglihatan ketimbang penulisan yang
dianggapnya tak membebaskan.

L-bas; Representasi yang Tertunda

Menurut Andr Bazin, batas pinggir layar pada sinema bersifat sentrifugal
terhadap realitas. Hal yang berbeda berlaku pada lukisan: bingkai pada
lukisan bersifat sentripetal terhadap realitas, atau semacam menggarisbawahi
kenyataan yang dibingkai. Tepi-tepi luar layar bukanlah bingkai dari citra
filem sebagaimana yang tampaknya dibisikkan jargon teknis. Mereka itu
tepian-tepian sebuah alas yang menunjukkan hanya sebagian porsi kenyataan.
Bingkai gambar mempertegangkan ruang ke (arah) dalam. Sebaliknya, apa
yang layar perlihatkan pada kita rasanya adalah bagian dari sesuatu yang
bersambung tanpa batas ke alam semesta. Bingkai adalah sentripetal, layar
adalah sentrifugal. (Bazin, 1967, hal. 166). Dengan kata lain, apa yang
dihadirkan pada layar filem sebenarnya selalu dipersepsikan dengan realitas
di luarnya. Sifat sentrifugal pada batas layar terhadap realitas memungkinkan
adanya saling pengaruh, atau bahkan saling menyuburkan, antara realitas di
dalam layar dan realitas di luar layar itu sendiri.
L-bas adalah karya Chantal Akerman ketika ia berada di Tel Aviv, Israel.
Namun, Akerman tampaknya memiliki latar personal terhadap keberadaan
Tel Aviv. Ia sendiri menyatakan tidak memiliki hasrat untuk merekam Israel
(Tel Aviv). Sebagaimana pengakuannya dalam wawancara dengan Franck
Nouchi pada Januari, 2006: Saya tak pernah berhasrat untuk membuat
sebuah filem tentang Israel. [Ketika produserku] menyarankannya untukku,
perasaanku seketika adalah itu ide yang buruk, bahkan sebuah ide yang tidak
mungkin (dikutip dari Lajer-Burcharth, 2010, hal. 139). Latar personal
Akerman terhadap Israel tersebut berdampak pada caranya merekam dan
merepresentasikan Israel dalam karya dokumenternya itu: ia merekam Tel
Aviv dari dalam ruang apertemennya, dan dari situ, Akerman melakukan
semacam praktik representasi yang tertunda, atau semacam gambaran ruang
interior dari sang pembuat terhadap sebuah peristiwa atau wilayah.
Di dalam karya L-bas sendiri, Akerman sama sekali tidak menyentuh
stereotipe yang telah sering dilekatkan media massa selama ini pada Tel Aviv,
yakni sebagai wilayah rawan konflik. Ia justru hanya membidik Tel Aviv dari
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |187

ruang apartemennya, seolah-olah kamera sengaja mengintip di balik tirai


jendela apertemen; merekam suasana tenang di sudut kota dan ruang interior
apartemennya. Hanya melalui suara dari perbincangan Arkerman, kita dapat
petunjuk bahwa ia berada di Tel Aviv, selain sedikit gambaran ruang eksterior
Tel Aviv, yakni berupa seorang pria yang tampak berpakaian khas Yahudi sedang
bersama-sama keluarganya di suasana pantai yang tenang dan nyaman. Hal ini
menunjukkan, bahwa intesitas Akerman terhadap Tel Aviv hanyalah sebatas
spasial personal dirinya dengan ruang interior apartemen. Oleh gambaran
interior pada filem tersebut, kita malah seakan diajak membayangkan sebuah
representasi yang keluar dari stereotipe kota yang rawan konflik itu.
Akerman telah menemukan caranya sendiri untuk mendorong perbatasanperbatasan realisme dalam filem. Ia membuat sejumlah hal observasional filem
yang kreatif, atau dokumentaris dalam memandang sebuah peristiwa. Akerman
membuat semacam kegamangan batas antara realitas yang didasarkan atas
imajinasi dan realitas yang didasarkan atas fakta dari gambaran ruang
interior tersebut. Pilihan Akerman terhadap ruang interior sebagai cara
memandang Tel Aviv untuk karya L-bas, sebenarnya merupakan inisiatif untuk
mempertanyakan pengertian dokumenter itu sendiri ketika sinema dihadapkan
pada sebuah pretensi sang pembuat yang menolak untuk merepresentasikan
sebuah wilayah. Dalam konteks ini, dokumenter bisa jadi bukanlah perihal
aktualitas peristiwanya, melainkan gambaran interior dari seorang pembuat
terhadap wilayah atas peristiwa itu.
Menurut kerangka Deleuzian, pada masa pascasinema klasikera sinema
klasik sendiri mengandaikan ketundukan waktu pada gerak (movement)terjadi
pembalikan dari movement-image: pengertian waktu tidak tunduk pada gerak,
dan kemudian menjadi time-image. Pada konsepsi sinema klasik, menurut
Deleuzian, gerak imajilah yang menentukan ruang dan waktu secara geografis,
historis dan sosiologis; imaji tindakan mengkoordinasikan sensor motoris
kesadaran. Sedangkan skema time-image sendiri, menurut D. N. Rodowick,
menandakan bahwa jeda tak lagi menghilang ke dalam lipatan kecil antara
gerak-gerak dan tindakan-tindakan. Sebaliknya, ia menjadi sebuah pembuka
konstan dari waktusatu ruang kemenjadiandi mana peristiwa insidental
dan tak terduga dapat terjadi (Rodowick, 1997, hal. 17). Gambaran interior
Tel Aviv dalam L-bas-nya Akerman adalah contoh pengertian dari waktu
yang menentukan gerak image dalam sinemanya, karena Akerman sendiri,
sebenarnya, menunda atau menolak melakukan representasi terhadap realitas
Tel Avi (ruang eksterior). Sementara, ruang interior akan memengaruhi image
apa yang hendak diungkapkan, karena konteks waktu dalam situasi interior
sang pembuat terhadap suatu peristiwa atau tempat akan sangat menentukan
gerak untuk menangkap image tentang Tel Aviv. Pengertian waktu dalam
time-image Deleuze ini, sebenarnya, bukan pula waktu dalam pengertian
empiris dan metafisis, melainkan, jika kita merujuk pada Jean-Luc Nancy,
188 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

sesuatu yang transedentaldalam arti yang agak Kantian: dari sesuatu yang
membayang terus-menerus di balik bentuk-bentuk aktual yang kita persepsi
(Sugiharto, 2014).
Gambaran Tel Aviv melalui pergulatan interior tersebut, adalah semacam
memindahkan konflik dari ruang eksterior ke dalam ruang interior sang pembuat.
Menurut filsuf Friedrich Schiller, manusia memiliki dua hasrat dasar yang saling
berlawanan, yakni naluri akan materi dan naluri akan bentuk. Naluri materi
adalah naluri inderawi di mana manusia mengejar keanekaragaman situasi dan
pengalaman baru, sedangkan naluri bentuk adalah naluri yang mementingkan
kesatuan rupa, dan melalui hal itu, mempertahankan identitas personalnya.
Melalui naluri materil, dunia menjadi ada buatku karena ia selalu menyambut
kita; melalui naluri bentuk, dunia menjadi duniaku karena proses mencipta
(Hauskeller, 2015, hal. 41). Hubungan ideal antara dua hal tersebut memang
sulit terjadi, tetapi di dalam seni, hal itu dapat berlangsung. Pengalaman
Akerman merekam Tel Aviv merupakan tegangan dari dua naluri yang (bisa
jadi) saling bertolak belakang tersebut, karena bahasa filem memungkinkan
keduanya saling berkontradiksi sehingga menciptakan sebuah pengalaman
baru yang diwujudkan oleh kemungkinan sinematiknya.
Bacaan:

Bazin, A. (1967). What is Cinema?, Vol. I, California: University of California Press.


Bazin, A. (1974). Jean Renoir. (F. Truffaut, Ed.) London & New York: W.H. Allen.
Hauskeller, M. (2015). Seni - Apa Itu?: Posisi Estetika dari Platon sampai Danto. Yogyakarta:
Kanisius.
Jameson, F. (1995). The Geopolitical Aesthetic: Cinema and Space in the World System. Indianapolis:
Indiana University Press.
Lajer-Burcharth, E. (2010, Desember). Interior and Interiority: Chantal Akermans La
Bas. Das Magazin des Instituts fr Theorie, 31 The Figure of Two (14/15), hal. 139-146.
Loshitzky, Y. (1995). The Radical Faces of Godard and Bertolucci. Michigan: Wayne State
University Press.
Rodowick, D. N. (1997). Gilles Deleuzes Time Machine. Durham: Duke University Press.
Sugiharto, B. (2014). Film dan Hakikatnya. Dalam Untuk Apa Seni? (p. 334). Bandung:
Pustaka Matahari.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |189

THE CINEMA BETWEEN


CONSCIOUSNESS AND
UNCONSCIOUSNESS
Akbar Yumni
You know the film can be made. At the crossroads between reality and
metaphor. Or between documentary and fiction.
(Jean-Luc Godard, Scenario the Film Passion, 1982)

Illusion can be interpreted as something positive, especially that of in cinema,


that in fact bestows hope to human reality. In a political context, human is
often bounded by the artificiality of national vertical relations so as to forget
the individual horizontal relations. Grand Illusion (1937) by Jean Renoir, for
example, is one of those films that deconstruct the illusion concept as something
positive. The realism in Grand Illusion is seen from Renoirs attempt to return
human situation to a more horizontal state rather than vertical.
As Bazin has said, Renoirs realism in Grand Illusion ...is not the result of
simple copying from life; rather, it is the product of a careful re-creation of character
through the use of detail which is not only accurate but meaning ful as well and this
is accomplished without recourse to dramatic conventions (Bazin, 1974, p. 63). But
realism according to this definition is actually not about a craftsmanship to
create enactment nor a reproduction of something documentary. The realism
manifested in Renoirs Grand Illusion is his long takes that can accurately parse
details without being discriminative. This detail parsing of human realitys
diverse characters seems to present illusion that ...are more heneficial than
harmful: they help the men to overcome their trials and give them the courage to
persevere (Bazin, 1974, p. 64).
Meanwhile, according to Jacques Rancire, cinema is an image interplay; an
oppositional interplay of form and material, subject and object, consciousness
and unconsciousness; between the inertia of cameras eye and its capacity
to catch any moves without limit, shaping a drama of unmatched intensity
(Sugiharto, 2014, p. 334). In thix context, cinema has molded an era that ruined
the established order of mimesis era. Since then there has been no artistic
privilege for an artist; the artists do not have himself anymore to impose on a
vision attached to form. The cameras eyes inertia has double intensity, from
intellectual point of view to sentimental one.
190 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Two works presented in this curatorial, Scnario du Film Passion (1982)


by Jean-Luc Godard and L-bas (2006) by Chantal Akerman, reflect illusion
meanings in the current context of cinema. In Godards work, tension is built
up as shrouded images are unveiled based on the world and films homology
through seeing rather than reading. Meanwhile, in Akermans, tension is
built up from diverting the events actualities happening in the exterior to the
struggle boiling within the filmmaker as the interior.

Seeing in the Cinematic Work

As if continuing the authorship tradition, in Scnario du film Passion, Godard


refused to apply a script and used seeing as a documentary work. In the previous
authorship tradition, at the beginning of the terms appearance around 1920s,
a directors work did not only rely on scenario of the popular films back then
but is also related to the process of filming. In the next decades (early 1950s),
authorship was an idea of how to see a camera as the directors personal
expression. In such context, Alexandre Astruc associated cameras work with
the working of a pen (cinma-stylo or more appropriately camra-stylo, if
we refer to his article in LEcran, called La camra-stylo, 1948). In the next
period, authorship was more and more a style in which literary influences,
so strong in cinematic adaptations, could be erased for the sake of cinema
itself as Franois Truffaut referred to Robert Bressons Journal dun cur de
campagne (1951).
In the context of Scnario du film Passion, Godards authorships spirit
is not in terms of speaking about the film Passion but rather an overview of
the background behind Passions making as a tug of war between the image
and its reality. Godard, more so in Scenario than in Passion, elaborates on
his oscillation between the aesthetic and the political by using contradictory
metaphors to describe the homology between the world and its metaphor (film)
(Loshitzky, 1995, p. 91). The process of the making then becomes a work on
its own, not something separated from the referred work, where homologous
veil between the world and the film is reflected.
Scnario du film Passion itself is an experimental documentary containing
the process of Passion film-making. Godard, as the director, stands in front
of a white screen, combining some images with a background and his own
cinematic aesthetic ideas as he composes the images for Passion. What he does
is a sort of an authors performance in cinema in front of a white screen ready
to be filled with images to shape a cinema. Or, as Fredric Jameson suggests,
Godards position makes up an astronot of aesthetics satellite, independent
from Passion (Jameson, 1995, p. 161). As Godard himself says in Scnario
du film Passion, an image is a world while the white screen is the sky. This
spectrum presupposes an image freedom surrounded by a screen horizon
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |191

that is actually the sky of the world, while in a wider context the limit (sky)
definition in art is indeed a mystery.
Godards action is a reflection of Passion based on his seeing, that is his
own effort to refuse scenario as a new procedure in the visualization of a
cinematic work. To him, seeing veritably comes before writing. Godard even
refers to a biblical tradition in which Moses sees first before writing his bible.
Writing is in fact a kind of fixed representation, like a law stipulation, and it
can hamper the freedom to present images. Scenario, to Godard, is a writing
tradition that often limits the imaginative possibilities of image composition
in a film. Just as the belief that seeing comes before everything else, film as
a life duplication goes by the same principle. Seeing strengthens conviction
over a fact which then is written.
In Scnario du film Passion, Godard says, The script creates a probability:
the camera makes it possible. In this context, Godard reflects on scenario in
film industry where visual record is related to a probability context as image can
be generated in an industrial calculation. In other words, it is such homology of
the world and the film that subsequently produces images that, in film industry
context, are based on probabilities according to economic logics.
Meanwhile, seeing becomes cinema in the video era because the video
medium is all about an idea of a medium that can liquefy coercive things of a
writing. The video medium can turn into a sort of a scenariofying practice in
a film through seeing. According to that seeing framework, the video medium
is not only able to escape from writing but also allows image production not
to be based on the horizon of industrial works.
It should be stated again that Scnario du film Passion is basically a work
about scenario rather than about the film Passion. The scenario definition in
this work refers to how seeing, by Godard, is seen as a tradition thats essentially
closer to cinema. Through video practices, all formal rules about cinema can
be erased, and thus cinema can be treated as a reflection of itself as a part of
the entire cinema. It means that the rejection toward scenario is an effort to
free cinema from the influence coming from outside itself so as to become
clear that cinema is merely a matter of image.
In cinema, seeing happens as image lies in front of the director. This
makes it different from the television tradition (which also uses video) since
according to Godard by referring to a television news reportage in one of
Scnario du film Passions scenesthe anchorman always turns his back on
the image. To Godard, the image has to be in front of the director so that it
can be scrutinized. He imagines image as if its a body of which we can have
an intimate relationship with. A work, to him, is a seeing toward the invisible
so that it becomes visible.
The presence of the white screen in front of him is like a blank space by
Mallarm (Stphane MallarmEd) in Un Coup de Ds Jamais NAbolira le
192 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Hasard (or A Throw of the Dice Will Never Abolish Chance, 1897). Mallarms
blank space becomes important especially in terms of the use of video medium
that can create a space between which that is prioritized for the audience
and which that is the emptiness of the space. The scenes containing white
screen in several sequences of Scnario du film Passion become pauses or inbetween spaces that are likely to be filled with one image to another. As for
Mallarms poems, they are complex works with many layers (one of which
is the importance of word sound rather than meaning). They are a play that
forges a kind of hypertext that makes poetry reading a non-linear part of text.
However, most importantly is how to apply Mallarms blank space of his
poetry practices as a video medium expansion that treats images as if words
in poems. Scnario fu film Passion shows cuttings from one image to the next
as blank space pauses.
Mallarms poetical principles taken by Godard makes the invisible visible
because, as mentioned above, camera allows such revelation. But the context
of revealing the invisible to become visible is a mythical process in cinema
since its an inevitable thing in a filmmaking process. In cinema then theres
a particular interrelation that affects each other between fiction and reality
and cinema appears to be between the finite and infinite. In other words, it is
how a metaphore is looked at through reality and how fiction is guided back
to documentary. In breaking down such tension, Godard uses seeing mode
rather than writing that he deems not liberating.

L-bas, A Postponed Representation

Andr Bazin says that the limit of screen edge in cinema is centrifugal to
reality. A different case applies in painting: the frame in painting is centripetal
to reality, in a way outlining reality in frame. The outer edges of the screen
are not, as the technical jargon would seem to imply, the frame of the film
image. They are the edges of a piece of masking that shows only a portion of
reality. The picture frame polarizes space inwards. On the contrary, what the
screen shows us seems to be part of something prolonged indefinitely into the
universe. A frame is centripetal, the screen centrifugal (Bazin, 1967, p. 166).
In other words, whats presented on the film screen is actually always perceived
through the outer reality. The centrifugal nature of screen edge toward reality
allows mutual influence, or even mutual nourishment, between reality on the
screen and reality outside it.
L-bas is Chantal Akermans work when she was in Tel Aviv, Israel. She
seemed to have a certain personal frame of reference concerning Tel Aviv. She
actually said that she didnt want to film Israel (Tel Aviv) in her interview with
Frank Nouchi in January 2006: I have never desired to make a film about
Israel. [When my producer] suggested it to me, [] my immediate feeling was
that it was a bad idea, even an impossible idea... (quoted in Lajer-Burcharth,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |193

2010, p. 139). Akermans personal frame of reference influenced the way she
recorded and represented Israel in her documentary work: she recorded the city
from inside her apartment, and from there she conducted a kind of postponed
representation practice; a kind of interior depiction of a maker about an event
or region.
In this film, Akerman does not touch at all the stereotypes that media has
attached to Tel Aviv, which is a land of conflict. She only takes Tel Aviv from
her apartment, as if the camera purposefully peeks from behind the window
curtain, recording a quiet atmosphere of the city corners and her apartments
interior. Only from Akermans sound of talk that we have a clue that shes in
Tel Aviv, also from an exterior scene where a Jewish man with a traditional
outfit spends time with his family peacefully and comfortably. This shows that
Akermans intensity toward Tel Aviv is limited to her personal space in terms
of the apartment interior. By the portrayals of interior in this film, we are
invited to imagine another representation beside the conflicted citys stereotype.
Akerman has found her way to push realism boundaries in film. She makes
some creative observational, or documentary, films to view an event. She creates
a sort of oscillation between reality based on imagination and reality based
on fact from the interior representation. Her choice of the interior as a way to
view Tel-Aviv in L-bas is actually an initiative to question the documentarys
definition as cinema faces the makers pretention who refuses to represent a
region. In this context, documentary may not be about the events actuality
but a filmmakers interior representation of a region over the event.
According to Deleuzian framework, in classical cinema erathis era itself
presupposes times submissiveness to movementa reverse of movement-image
occured: time is defined by defying movement and then becomes timeimage. In the classical cinematic conception, according to Deleuzian view, it
is images movement that defines time and space geographically, historically
and sociologically; image of act coordinates consciousness motoric censor. As
for the scheme of time-image, as D.N. Rodowick has suggested, signifies
that The interval no longer disappears into the seam between movements and
actions. Rather, it becomes a ceaseless opening of timea space of becoming
where unforeseen and unpredictable events may occur (Rodowick, 1997, p.
17). The image of Tel-Aviv interior in Akermans L-bas is an example of
the definition of time that decides its image movement in cinema because
Akerman herself virtually postpones or refuses to create a representation of
(exterior) Tel Aviv reality. The interior will influence the image that is about
to be expressed because time context in the filmmakers interior situation in
terms of event or place will highly influence the movement to capture image
of Tel Aviv. Time definition in this Deleuzian time-image is actually not
the time definition empirically or metaphysically but, referring to Jean-Luc
194 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Nancy, something transcendentalin a rather Kantian way: from something


that eternally looms over behind the actual forms we perceive (Sugiharto, 2014).
Tel Avivs picture through such interior struggle is like moving a conflict
from an exterior to the filmmakers interior room. The philosopher Friedrich
Schiller has posited that humans have two opposing fundamental desires, that
is the desire for material and the desire for form. The desire for material is a
sensory instinct in which humans pursue the diverseness of situation and new
experiences while desire for form is an instinct that puts significance to a visual
unity and, through this, maintain their personal identity. Through the material
for desire, the world exists to me since it always welcomes us; through the
material for form, the world becomes my world because of creation process
(Hauskeller, 2015, p. 41). The ideal relationship between the two is difficult to
materialize but, in art, it does. Akermans experience in recording Tel Aviv is a
tension of the two desires that (may) oppose each other because film language
allows both of them to contradict each other so as to create a new experience
realized by its cinematic possibilities.
Works Cited:

Bazin, A. (1967). What is Cinema?, Vol. I, California: University of California Press.


Bazin, A. (1974). Jean Renoir. (F. Truffaut, Ed.) London & New York: W.H. Allen.
Hauskeller, M. (2015). Seni - Apa Itu?: Posisi Estetika dari Platon sampai Danto. Yogyakarta:
Kanisius.
Jameson, F. (1995). The Geopolitical Aesthetic: Cinema and Space in the World System. Indianapolis:
Indiana University Press.
Lajer-Burcharth, E. (2010, Desember). Interior and Interiority: Chantal Akermans La
Bas. Das Magazin des Instituts fr Theorie, 31 The Figure of Two (14/15), pp. 139-146.
Loshitzky, Y. (1995). The Radical Faces of Godard and Bertolucci. Michigan: Wayne State
University Press.
Rodowick, D. N. (1997). Gilles Deleuzes Time Machine. Durham: Duke University Press.
Sugiharto, B. (2014). Film dan Hakikatnya. In Untuk Apa Seni? (p. 334). Bandung: Pustaka
Matahari.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |195

CP / 25 AUGUST, IFI, 17.30 / 18+

SCNARIO DU FILM PASSION


Jean-Luc Godard (France / Switzerland)
Country of Production France
Language French
Subtitle English
53 minutes, Color, 1982

Sebuah karya eksperimental dari Jean-Luc


Godard tentang proses pembuatan filem Passion.
Dokumenter ini adalah refleksi sebuah proses
pembuatan filem yang menolak penggunaan
skenario dalam proses perwujudan visualnya,
yang kemudian metode proses pembuatan
filemnya lebih didasari oleh kaidah pengelihatan
(seeing) ketimbang penulisan (skenario). Dalam
karya ini, Godard sebagai seorang sutradara
duduk di hadapan sebuah layar putih, sambil
mengolah visual layaknya seorang pelukis yang
menempatkan sebuah image ke image lain pada
layar. Dalam proses pembuatan proses filem
Passion tersebut, image dihadapkan pada layar
putih sambil direfleksikan berdasarkan latarlatar filosofis gambar berdasarkan homologi
dunia dan filemnya.

An experimental work by Jean-Luc Godard


about the process of Passion filmmaking. This
documentary is a reflection of a process of
making a film that rejects the use of scenarios
in its visual embodiment process, while its
method then is more based on the rule of
seeing rather than writing (scenario). In
this work, Godard as a director were sitting
in front of a white screen and at the same
time he processed the visuals like a painter
who put an image into another image on
the screen. In the process of film making
for The Passion, images were exposed to a
white screen while theyre reflected based
on philosophical background of the images,
based on its homology cinematic world.

Akbar Yumni

Jean-Luc Godard (lahir 1930)


berangkat dari tradisi kritik Cahiers
du Cinema semenjak tahun 1952.
Sutradara berkebangsaaan PrancisSwiss ini merupakan salah seorang dari
New Wave Prancis yang berpengaruh.
Belajar etnologi dan antropologi di
Universitas Paris, Sorbonne, pada
tahun 1947-1949. Mengawali karyanya
dengan filem pendek Operation
Beton (1954). Filem panjangnya
Breathless (1960) memenangkan Best
Direction Award pada Berlin Festival.
Berkolaborasi dengan Jean-Pierre
Gorin, Godard membentuk Dziga
Vertov Group tahun 1969-1972.

196 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Jean-Luc Godard (born 1930) grew up


in the tradition of criticism in Cahiers
du Cinema since 1952. This FrenchSwiss filmmaker is often identified
with the 1960s French film movement
La Nouvelle Vague, or New Wave. He
studied ethnology and anthropology
at the University of Paris, Sorbonne,
in the year 1947-1949. He began his
work with a short film Opration bton
(1954). His full-length film Breathless
(1960) won the Best Direction Award
at the Berlin Festival. Collaborate with
Jean-Pierre Gorin, Godard formed
Dziga Vertov Group in 1969-1972.

CP / 25 AUGUST, IFI, 19.00 / 18+

L-BAS
Chantal Akerman (Belgium)
Contry of Production Belgium
Language French
Subtitle English
78 minutes, Color, 2006

Merupakan karya dokumenter Chantal


Akerman ketika ia berada di Tel Aviv.
Konteks pembuatan filem ini adalah bagian
dari sikap seorang Akerman ketika ia menolak
merepresentasikan Tel Aviv berdasarkan
pengalaman personalnya. Ia kemudian merekam
Tel Aviv dari ruang interior apertemannya
untuk melihat suasana sekitar di depan
jendela apartemennya tersebut. Siasat yang
dilakukan oleh Akermen ini adalah semacam
penundaan representasi tentang Tel Aviv,
sembari ia memberikan gambaran suasana
interior apartemennya sebagai suasana interior
personalitasnya. Tegangan antara penundaan
representasi dan hasil representasi dari
penundaan tersebut adalah sebuah gambaran
berbeda tentang Tel Aviv oleh Akerman akan
stereotipe tentang Israel yang ada selama ini.

It is a documentary work of Chantal Akerman


when she was in Tel Aviv. The context of this
film is part of Akerman attitude when she
refused to represent Tel Aviv based on personal
experience. She then recorded Tel Aviv from
her apartment interior to see the atmosphere
around and in front of the apartment window.
This strategy is a kind of representation delays
of Tel Aviv, while she gives the description
of her apartment interior as an interior
atmosphere of her own personality. Tension
between the representation delay and its
results is Akermans point of view of Tel Aviv
on stereotypical about Israel all this time.

Akbar Yumni

Chantal Akerman (lahir 1950) adalah


sutradara berkebangsaan Belgia yang
mengenyam pendidikan di sekolah
filem INSAS, Belgia (1967-1968), dan
di Universite Internationale du Theatre,
Paris (1968-1969). Mengawali karya
filemnya dengan 35mm berjudul Blow
up My Town (1968). Filemnya Jeanne
Dielman, 23 Commerce Quay, 1080
Brussels (1975) cukup sukses. Akerman
banyak mengeksplorasi waktu dan
ruang sebagai identitas para tokohnya,
seperti pada filelm News from Home
(1976), maupun L-bas (2006).

Chantal Akerman (born 1950) is a


Belgian filmmaker who studied at
film school INSAS, Belgium (19671968), and later at the Universite
Internationale du Theatre, Paris (19681969). She began her work with 35mm
entitled Blow up My Town (1968). Her
film Jeanne Dielman, 23 Commerce
Quay, 1080 Brussels (1975) becomes
fairly successful. Akerman is much
exploring time and space as the identity
of the characters, as in film News from
Home (1976), as well as L-bas (2006).

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |197

PERGUNJINGAN
MENANDING ARUS
Otty Widasari
Saat si pesulap masih tercengang menyaksikan betapa cahaya matahari dapat
mengubah peradaban, menggerakkan bingkai diam, gambar-gambar bisu itu
sudah menghitung recehan
Bergegas si pesirkus belia membekapnya, lalu melemparkannya tinggi ke
udara, gambar-gambar bisu membumbung tinggi dan meledak keras
Orang-orang menjerit karuan
(dari puisi The Unfinished Scene, Otty Widasari, 2011)

Jadi begini urut-urutannya: Gambar diam dijadikan bergerak. Lalu, satu


rekaman gambar bergerak tentang sebuah peristiwa sehari-hari dihadirkan di
ruang publik. Efek yang ditimbulkan menakjubkan. Mengubah dunia. Jadilah
sinema sebagai sebuah kultur tak lekang waktu hingga kini.
Di mana waktu nyata menjadi berbeda saat ada penyusunan gambar
bergerak.
Lalu, saat teknologi gambar bergerak itu terus berkembang, para kreator
mengadaptasi kisah kehidupan manusia di dunia menjadi kisah-kisah dalam
filem. Bahasa teater, yang selama ini sudah ada dan menjadi karya seni dan
hiburan untuk publik, dipindahkan ke dalam teknologi gambar bergerak. Ini
dahsyat. Sinema menemukan inovasi dalam mengembangkan bahasanya, yang
sebelumnya tidak dilakukan dalam seni teater atau medium lainnya. Sejak saat
itu, terjadi kolaborasi seni dan teknologi modern. Ada ruang gelap melalui cut
dalam seni mengolah gambar bergerak, yang mampu menggugah imajinasi
publik, di mana waktu nyata menjadi berbeda saat ada penyusunan gambar
bergerak. Pebisnis mengembangkan budaya hiburan ini dengan memasukkan
nilai ekonomi ke dalamnya. Publik mengonsumsinya untuk memuaskan
kebutuhan hidupnya akan hiburan dan tontonan.
Main Uji Coba
Coba kita urai kembali satu persatu! Kenapa kisah hidup manusia terus
diimitasi dan dibangun ulang ke dalam filem? Diambil fragmen-fragmennya,
lalu didramatisasikan dalam sebuah bingkai? Mungkin untuk mencari hakikat
atau menggali lebih dalam sisi gelap dan terang kehidupan manusia? Lagipula,
aksi menstimulasi pengalaman dunia ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi
198 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH KEDUTAAN BESAR AMERIKA SERIKAT

dan terus berlipat ganda. Mengapa publik terus mengonsumsinya? Mungkin


untuk mencari hakikat lain dalam hidup. Mungkin untuk mengungkap sisi
gelap dan terang dalam hidup, maka hidup jadi lebih berarti.
Bicara soal menyajikan ungkapan sisi gelap dan terang dalam hidup, para
kreator juga terus mengembangkan berbagai cara dan bahasa untuk melakukannya.
Selain mengimitasi kehidupan dengan semirip-miripnya, dan menjadikannya
dramatis untuk meyakinkan publik, fakta juga disajikan dengan mengetengahkan
arsip, dokumen-dokumen, atau rekaman peristiwa nyata dan juga mewawancara
saksi-saksi untuk memperkuat argumen tentang kenyataan pada publik.
Intinya, eksperimen adalah aksi dasar yang dilakukan manusia dalam
menjalani kehidupan. Dan saat manusia bersentuhan dengan rasa keindahan,
eksperimen menjadi sebuah metode untuk memproyeksikan identitas (individual)
ke dalam dunia objek. Intinya, sejak kelahirannya lebih dari seabad lalu, aksi
membuat filem adalah sebuah aksi eksperimental.
Secara universal, bagi manusia-manusia yang senang berkreasi, yang sepertinya
mengerjakan hal-hal nonfaedah, karena terlihat seperti hanya menyentuh sisi
dasar manusia yang menyukai keindahan, keahlian mengolah keindahan adalah
gumulan yang membuatnya suntuk melakukan hal tersebut sepanjang hidupnya.
Orang-orang itu disebut seniman, atau dalam ranah sinema disebut sutradara.
Jika kita kembali pada pembahasan bagaimana eksperimen adalah metode
dasar manusia (seniman) sejak dahulu, maka seni mengarahkan fokus pada
sebuah pengalaman dengan mengesampingkan bentuk hidup yang biasa dan
menjadikannya dramatis. Aturan keindahan, yang diletakkan dalam komposisi
dengan gaya yang dikenali, secara umum menjadi mapan. Kita biasa menyebutnya
estetika. Dan itu mapan, walau terus ber-evolusi, bahkan juga ber-revolusi.
Kalau bisa kita kelompokkan sebagai peristiwa revolusi, aksi pengolahan
keindahan dalam bingkai sinema masuk ke wilayah pergerakan, yang paling
marak adalah saat teknologi digital menjadi bagian dari keseharian masyarakat di
dunia. Di zaman digital belakangan ini, secara interaktif masyarakat dan teknologi
saling mengisi dan menambahkan eksperimen tersebut dalam menstimulasi
pengalaman di dunia, bahkan hingga melepaskan diri dari lingkaran kemapaman.
Walaupun, itu kemudian menjadi mapan juga.
Saat sinema tidak lagi hanya dilihat sebagai sebuah budaya hiburan, tetapi
juga kritik, maka sinema adalah sebuah aksi membuka lipatan dari interseksi
antara lokasi, kehadiran, dan fungsi dari materi-materi/tubuh/medium, dan
juga gesture sosial.
Dengan menggunakan kamera video, Images of a Lost City (2011) dan They
Had It Coming (2014), adalah dua filem karya sutradara asal Amerika, Jon Jost,
yang bereksperimen di wilayah kritik tentang kemapaman media tersebut di atas.
Kedua filem ini merupakan kumpulan kepingan fragmen tentang lokasi, yang
disusun dalam montase acak untuk membangun daya paham di kepala publik.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |199

Memberikan gambaran tentang alternatif estetika sebagai kritik terhadap kuasa


dominan medium filem, dan juga terhadap media.
Tiap fragmen merupakan catatan yang terpisah-pisah. Bagaimana sebuah
lokasi bisa dibaca oleh penonton melalui demografi masyarakatnya. Budaya
yang ada dalam masyarakat bisa memberikan petunjuk kepada publik untuk
membaca lokasi tersebut. Petunjuk tentang masyarakat di sebuah lokasi itu bisa
dilihat melalui pekerjaan, aktivitas, mobilisasi, lanskap lokasi, peristiwa massa,
bahkan rumor yang berkembang .

Daulat Penguasaan

Tatanan bentuk komunikasi sudah mapan. Dan estetika pun demikian. Setelah
dia dikenali secara universal maka dia akan jadi mapan. Dalam filem fiksi, aturan
montase dan editing juga sudah mapan. Dalam pembuatan dokumenter, jelas
persepsi publik akan fakta yang disajikan lewat arsip, dokumen dan peristiwa
nyata, juga sudah mapan.
Kesadaran akan kemapaman ini jelas masuk ke dalam konsep kekuasaan, di
mana pun itu. Sebuah rezim mencengkeramkan cakarnya dengan kokoh, tentu
saja, dengan mengelola kemapanan komunikasi dan penerimaan masyarakat akan
pola komunikasi tersebut. Media adalah wadah utamanya. Melalui medialah
kekuasaan memapankan dirinya dengan cara membuat bangunan sudut pandang
bagi masyarakatnya. Dalam membangun informasi, sebuah kerja arsip dijadikan
pegangan untuk memperkokoh konstruksi bangunan informasi. Namun,
budaya yang berkembang di ranah publik, tentunya, memiliki bentuk-bentuk
komunikasi alternatifnya sendiri, yang tidak terlembagakan. Contoh yang paling
jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari adalah rumor.
Rumor menjadi penting di sini, karena, walau kebenarannya yang tidak
pernah terkukuhkan dengan cepat, bisa dilihat sebagai pernyataan. Dia adalah
sebuah penjelasan, serupa dongeng yang panjang tentang sirkulasi sebuah
peristiwa dari orang ke orang dan berkaitan dengan objek, peristiwa, atau isu
yang ada dalam perhatian publik.
Kalau rumor merupakan bentuk komunikasi lain yang bisa menggambarkan
masyarakat di sebuah lokasi, maka pengelolaan atas rumor bisa dilihat sebagai
bentuk arsip yang lain.
Dalam They Had It Coming, Jon Jost mengangkat sebuah isu tentang peristiwa
pembunuhan yang terjadi di Gentri County, Missouri, pada tahun 2011, yang
korbannya tidak pernah ditemukan. Isu pembunuhan ini direkonstruksi oleh
sang sutradara sebagai pisau bedah untuk menelisik kehidupan sebuah kota
kecil yang membosankan. Ketika sebuah kasus terjadi maka isu merebak tidak
hanya di media massa, tetapi juga di lingkungan masyarakat di lokasi tersebut.
Masyarakat mempergunjingkannya. Tiadanya korban yang ditemukan, atau
bisa disimpulkan bahwa kasus ini tidak terungkap, sebenarnya adalah pukulan
keras bagi sebuah sistem yang melibatkan masyarakat.
200 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

They Had It Coming adalah sebuah filem eksperimental yang membiaskan


garis antara fiksi dan dokumenter secara gamblang. Para aktor diarahkan untuk
menciptakan kisah kota kecil, dengan narasi mereka sendiri sebagai masyarakat,
melalui dialog atau monolog yang lebih merupakan penceritaan ke arah kamera
yang berperan sebagai subjek kedua atau ketiga. Beberapa kasus penganiayaan
dan pembunuhan yang tidak pernah pasti kebenarannya karena dilontarkan
sebagai gunjingan, karena diceritakan oleh pencerita yang juga mendapat cerita
disandingkan dengan potret pernyataan penduduk asli Gentri County tentang
biografi singkat mereka. Ditambah pula tampilan sekumpulan lanskap lokasi
pertanian yang tidak dinamis untuk dijadikan tempat tinggal sebagai latarnya.
Melalui pernyataan biografi singkat penduduk lokal tersebut, disajikankanlah
gambaran statistik bahwa kebanyakan dari penduduk tidak mengenyam pendidikan
yang tinggi. Menikah di usia muda, bekerja di wilayah ekonomi yang sektoral,
menghabiskan waktu menongkrong di bar sepulang kerja, merupakan gambaran
demografi penduduk yang bosan. Selain itu, gambaran bahwa kedekatan warga
usia muda dengan tindak kriminal di daerah yang demikian, disajikan melalui
satu pernyataan yang lebih panjang dari warga lokal, seorang perempuan tua
yang pernah dikejar oleh mobil berisi pemuda-pemuda rusuh saat dia sedang
berkendara mengunjungi saudarinya.
Filem ini menjadi sebuah sirkulasi pergunjingan antara penduduk lokal,
kisah yang dibangun, lanskap, dan juga kita, penonton. Lokasi kota kecil menjadi
ruang sirkulasi tersebut. Sutradara tidak menempatkan perspektifnya untuk
melihat kasus pembunuhan yang sebenarnya, melainkan lebih memperlihatkan
kemungkinan-kemungkinan bagaimana sebuah kasus bisa terjadi di sebuah
lokasi. Gambaran tentang sebuah kasus pembunuhan diungkap dalam filem
tidak dengan cara yang biasa dilakukan oleh filem dokumenter konvensional,
yaitu dengan menyajikan dokumen-dokumen, arsip atau wawancara saksi. Kasus
pembunuhan ini coba diungkap melalui eksperimen penggabungan fiksi dan
dokumenter yang menggambarkan perilaku manusia, yaitu dengan merekonstruksi
rumor, karena rumor merupakan sebuah reaksi sosial masyarakat. Dan layaknya
arsip, rumor bisa menjadi acuan dalam menguak sebuah kasus, melalui pintu
lain yang tidak mapan.
Rumor juga bisa diartikan sebagai mis-informasi atau dis-informasi, dan
bisa dilihat sebagai bentuk komunikasi yang lain. Namun, rumor juga bisa
dijadikan sebagai strategi. They Had It Coming adalah sebuah strategi untuk
mengkritisi pola kerja sistem mapan, media, sekaligus kuasa dominan bahasa
dan estetika visual dalam sinema.

Filem Eksperimental Sebagai Kritik

Massifnya penguasaan akan media melahirkan banyak kritik melalui berbagai


aksi alternatif bermedia. Kritik harus dilakukan untuk jadi penyeimbang arus
informasi tersebut. Dan filem eksperimental sekarang ini seharusnya lahir sebagai
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |201

kritik tersebut. Bukan hanya mengkritisi teknik, budaya mediumnya, mengisi


kekurangan aksi (eksperimen) sebelumnya, tetapi juga mengkritisi rekonstruksi
bangunan informasi itu sendiri, bahkan mungkin kerja media itu sendiri dan
bagaimana persepsi masyarakat terhadap sebuah isu yang terrekayasa.
Jika arsip bisa direkayasa, maka rumor, yang bisa dilihat sebagai bentuk
komunikasi yang berkembang di masyarakat pun, bisa ditempatkan pada posisi
yang sama, yaitu sebagai arsip sosial.
Hal yang sama dilakukan dalam Images of a Lost City. Sebuah lokasi
dibangun melalui fragmen-fragmen peristiwa massa yang acak. Berangkat
dari kenangan tentang kota tua Lisabon yang pernah dikunjunginya di tahun
1964 dan pernah beberapa tahun tinggal di sana di akhir 90-an, sutradara
meletakkan sudut pandangnya tentang penelusuran sejarah kota tua yang
hilang. Seperti menilik ulang sebuah catatan arsip pribadi yang tidak lengkap,
sudut-sudut kota menceritakan fragmen dari kenyataan lokasi. Persepsi yang
dibangun ialah tentang sebuah lokasi melalui kumpulan gambar.
Konstruksi di kepala penonton dibangun dengan kemampuan otoritas
permainan susunan (montase) gambar beberapa sudut bagian kota Lisabon
tua, untuk merekam peristiwa-peristiwa masa yang terjadi di sana. Walaupun
kenyataan sinematik diserahkan sepenuhnya pada kenyataan lokasi, seleksi
peletakkan perspektif (kamera) sepenuhnya berada dalam sudut pandang subjektif
sutradara. Ketika lokasi disusun, posisi subjektif kamera justru mengarahkan
langkah penonton untuk mengungkap ilusi/kebenaran yang baku.
Menurut sang sutradara sendiri, filem ini adalah catatan pengalaman
yang mencerminkan secara penuh ekspresi saudade, yaitu perasaan merindu,
melankolik, atau nostalgia yang tampaknya merupakan karakteristik
temperamental masyarakat Portugis.
Catatatan kota tua yang terpisah-pisah dan tidak lengkap ini bisa dilihat
sebagai berkas-berkas tidak resmi, yang diikat dengan sebuah kesatuan, yaitu
lokasi.
Berkas tak resmi ini berlaku sama dengan rumor dalam They Had It
Coming, yang menguak sebuah ilusi melalui pintu lain yang tidak mapan. Pun
bekerja sebagai kritik terhadap sebuah kuasa dominan arus utama dengan pola
kerja yang sudah mengalami pengenalan estetika universal di mata publik.
Dan sekali lagi, sinema menjadi sebuah aksi membuka lipatan dari interseksi
antara lokasi, kehadiran, dan fungsi dari materi-materi/tubuh/medium, dan
juga gesture sosial.
Terdapat semacam tegangan yang saling tarik-menarik di antara kedua filem
untuk memicu penggalian terhadap ilusi: montase sutradara adalah kebenaran
subjektif yang membongkar apa yang mungkin tidak tampak dari lokasi,
sekaligus menjadi tolak ukur tentang kedekatannya dengan lokasi itu sendiri.

202 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

SUPPORTED BY EMBASSY OF THE UNITED STATES OF AMERICA

COUNTER
THE STREAM-RUMORS
Otty Widasari
As the magician was still amazed at how the sunlight could change
civilizations, moving freeze frames, those silent pictures had already count the
coins....
Hurriedly the young circusman covered it and threw it high in the air, silent
pictures soaring and exploding with a bang.
People screamed.
(of The Unfinished Scene, Otty Widasari, 2011)

So here it goes: Silent pictures are made into motion pictures. Then a record
of motion pictures about ordinary events are presented before the public. The
result is amazing. World-changing. Thus cinema becomes a culture that lives
on until today.
It is where real time becomes different as motion pictures are arranged.
Subsequently as the said motion pictures technology thrives, creators adapt
mens stories in the world into stories in film. The language of the theater, that
has been around as work of art and public entertainment, is transferred into the
technology of motion pictures. This is incredible. Cinema finds innovations as
its language thrives in a different trajectory from the art of theater and other
mediums. A collaboration between art and modern technology thus happens.
Theres a dark room through cuts in the art of processing motion pictures
that can awaken public imagination, where the real time becomes different
as motion pictures are arranged. Businessmen develop this entertainment
culture by adding economic value to it. The public consumes it to ease their
thirst of entertainment and spectacle.

Play Trial

Lets try and break it down one by one! Why are human stories imitated in and
reconstructed in films all the time? Their fragments taken and dramatized in
a frame? Is it to find essences or exploring deeper the bright and dark sides of
human life? Furthermore, this act of stimulating world experience has high,
ever-multiplying economic value. Why do the public keep on consuming it?
It is likely to find other true meanings in life. Or to reveal the dark and bright
sides of life, making it more meaningful.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |203

In terms of presenting the bright and dark sides of life, creators keep on
developing various ways and languages to do it. They imitate life as close as
they can and dramatize it to convince the public while presenting facts through
archives, documents or records of real historical events and interviews with
witnesses to support arguments about reality to the public.
The point is that experimentation is a basic action done by humans in
leading a life. As they are in touch with a sense of beauty, experimentation
becomes a method to project (individual) identity onto the world of objects. In
other words, since its birth more than a century ago, the act of film-making
is an experimental action.
To those who love to create, who seem to do pointless things since they
only work with human fundamental aspect that loves beauty, the expertise
to process beauty is universally a query that intrigues them for all their lives.
Those people are artists, or filmmakers in the field of cinema. Back to our earlier
discussion about how experimentation is a basic human method since long
ago, art focuses on experience by dismissing ordinary life forms and makes it
dramatic. The rules of beauty, being put within composition of a known style,
becomes established in general. We call it esthetics. Its established despite its
evolution and revolutions.
If we could classify it as a revolutionary event, if the act of processing
beauty in cinematic frame went into the realm of movement, the most popular
would be when digital technology became a part of everyday lives of people
of the world. In this recent digital era, interactively people and technology fill
in and add to the experimentation in stimulating experience in the world up
to the point where they escape from the established circles. Although it then
becomes established too.
When cinema is no longer only seen as entertainment culture but also a
criticism, then it becomes an act of unfolding the intersections of location,
presence and function of materials/bodies/mediums and also social gestures.
Using video camera, Images of A Lost City (2011) and They Had It Coming
(2014), two films by the American filmmaker, Jon Jost, experiment in such
area of criticism toward media establishment. These two films are collections
of fragments about location, arranged in random montages to construct a force
of comprehension in the public mind. They provide an illustration of esthetics
alternative as a criticism toward the dominant power of film medium and the
mass media.
Each fragment is a separated note. It tells of how a location can be read by
audience based on its societal demography. The societys culture can give clues
to the public to read the location. These clues about a society in a location can
be seen from jobs, activities, mobilisation, landscapes, mass events and even
rumors spreading.
204 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Sovereign Mastery

The order of communication forms is well established. So is the aesthetics. After


it is recognized universally then it becomes established. In fiction film, the
rule of montage and editing is established. In documentary, its clear that the
publics perception shaped by the facts presented through archives, documents
and real events is also established.
This realization about establishment definitely belongs to power concept,
wherever it is. A regime thrusts its claws forcefully, of course, by managing
communication establishments and the publics reception toward the
communication pattern resulted. Media is the main vehicle. It is through
the media that power establishes itself by constructing a point of view for its
society. In constructing information, an archiving work is treated as a guide to
strengthen the construction. But the culture that thrives in the public realm
has its own alternative, uninstitutionalized, communication forms. The clearest
example of these in daily life is rumor.
Rumor is important here because, eventhough its truth can never be
validated quickly, it can be seen as statement. It is an explanation, a long tale
of circulation of an event, from person to person, regarding an object, an event,
or an issue within the public attention.
If rumor is another communication form that can illustrate a society in
a certain location, then rumor management can be seen as another archiving.
In They Had It Coming, Jon Jost raised the event of murder that happened
in Gentri County, Missouri, in 2011, of which the victim was never found.
The murder issue is reconstructed by the filmmaker as a surgery knife to
scrutinize the life of a dull town. When a case happens, rumors erupt not only
in the mass media, but also in the neighborhoods. People gossip about it. The
absence of the victims body, or the failure of the case, is actually a huge blow
to a judiciary system of a society.
They Had It Coming is an experimental film that refracts starkly the
boundary between fiction and documentary. The actors are directed to create
a little town story with their own narration as a society through dialogues or
monologues as speech toward the camera that acts as a second or third subject.
Some cases of abuse and murder that were never validatedthrown in the
air as rumors, told by tellers who hear them somewhere elseare juxtaposed
to the portraits of original Gentri County inhabitants statements about
their biography. Those are added with a set of farm landscape images as the
background, undynamic as a residential area. Through the short biographical
statements of the local inhabitants, a statistical picture is presented, telling
viewers that most of them do not go to the higher education. Marrying young,
working at economic sector fields, and spending time at the bar after work
are some of the dull demographic picture. In addition, theres an illustration
about the youths proximity with crime in such area, represented in a longer
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |205

statement of a local inhabitant, an old woman who was once chased by a car
full of rowdy young men when she was driving to visit a relative.
This film becomes a circulation of rumors among the local inhabitants, the
story built, the landscapes, and us as the viewers. The small town location is the
circulation space. The filmmaker does not position his perspective to look at the
real murder case but as a matter of fact to see possibilities of how such a case can
happen in such a location. It is an illustration of how a murder case is brought
to light through a film, not in the usual way of a conventional documentary
which is by presenting documents, archives, or witness interviews. It is how a
case is revealed through an experimentation of the conflation between fiction
and documentary depicting human behavior, namely by reconstructing rumor
because rumor is a sort of societal reaction. And just like an archive, rumor
can be a reference in revealing a case; another door unestablished.
Rumor can also mean mis-information or dis-information and be seen
as an-other communication form. However, it can also become a strategy. They
Had It Coming is a strategy to criticize the established working system of media
as well as the dominant power of visual aesthetics and language in cinema.

Experimental Film As Criticism

The massive dominance over media results in many criticisms through various
alternative use of media. Criticism has to be done to become a counter of
information flow. Experimental film today should be born as such criticism.
It should criticize not only techniques, the medium culture, making up for the
weak points of previous (experimentation) actions, but also the reconstruction
of information itself, even perhaps the working of media and the societys
perception over a fabricated issue.
If archives can be fabricated, then rumor that can be seen as a thriving
form of communication in a society can be positioned at the same place, namely
as social archives.
The same thing is done in Images of a Lost City. A location is constructed
through random fragments of mass events. Departing from a memory of the
old city of Lisbon that he visited in 1964 and where he stayed for several years
at the end of 1990s, the filmmaker sets forth his point of view to trace a lost
history of an old city. Like a review of an incomplete personal archival note,
the citys corners tell of fragments of a location reality. The perception built is
about a location through a collection of images.
The construction in the viewers mind is built with an authoritative ability
of montages interplay of old Lisbon corners to record the events happen there.
Although the cinematic reality is ceded entirely to the location reality, the
selection of perspective (camera) placement is entirely within the filmmakers
subjective point of view. When the location is arranged, the cameras subjective
position directs the viewers step to reveal the illusion/validated truth.
206 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

According to the director himself, this film is a journal of experience that


reflects fully the expression saudade, i.e. the feeling of longing, melancholia
or nostalgia that makes up the characteristic temperament of the Portuguese.
This incomplete and fragmented journal can be seen then as unofficial
files bound by a unity, location.
These unofficial files work in a similar way with the rumors in They Had It
Coming, revealing an illusion through another unestablished door. These files
also serve as a criticism toward the dominant power of the mainstream with
an operating system of which the universal aesthetics has been introduced
to the public. And once again, cinema becomes an action of unfolding the
intersections of location, presence, and functions of materials/bodies/medium,
and also social gestures.
There is a certain tension between the two films, pulling each other to
trigger an exploration about illusion: the filmmakers montages are subjective
truth that deconstructs what may not be apparent in the location as well as a
benchmark for his proximity to the location itself.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |207

CP/ 24 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.30 / 18+

THEY HAD IT COMING


Jon Jost (USA)
Country of Production USA
Language English
Subtitle Indonesia
89 minutes, Color, 2015

Sebuah film eksperimental yang membiaskan


garis antara fiksi dan dokumenter secara
gamblang. Para aktor diarahkan untuk
menciptakan kisah kota kecil, dengan narasi
mereka sendiri sebagai masyarakat, melalui
dialog atau monolog yang lebih merupakan
penceritaan ke arah kamera yang berperan
sebagai subjek kedua atau ketiga. Beberapa
kasus penganiayaan dan pembunuhan yang
tidak pernah pasti kebenarannya karena
dilontarkan sebagai gunjingan, karena
diceritakan oleh pencerita yang juga mendapat
cerita disandingkan dengan potret pernyataan
penduduk asli Gentri County tentang biografi
singkat mereka. Ditambah pula tampilan
sekumpulan lanskap lokasi pertanian yang
tidak dinamis untuk dijadikan tempat tinggal
sebagai latarnya. Kasus pembunuhan ini coba
diungkap melalui eksperimen penggabungan
fiksi dan documenter, menggambarkan perilaku
manusia dengan merekonstrusi rumor.

It is an experimenta l f ilm that


straightforwardly def lects the boundary
of fiction and documentary. The actors are
directed to create a small town story, with
their own narrative as the people, through
dia log ues or monolog ues constit uting
speeches to the camera as a second or third
subject. Some cases of abuse and murder
never validatedcast off as rumors, told by
a teller that has heard it somewhere elseare
juxtaposed to the portraits of original Gentri
Countys inhabitantss statements about their
short biography. Those are added with a set
of farm landscape images as the background,
undynamic as a residential area. A murder
case is then about to be solved through
an experimental conf lation of fiction and
documentary that illustrates human behavior
through the reconstruction of rumors.

Otty Widasari

208 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Jon Jost on They Had It Coming

Saya menjadi familiar dengan Blake Eckard, secara personal, tahun 2007 saat
bertemu dan datang ke kota kecilnya untuk mengambil gambar buat filem
Parable. Selanjutnya saya mengunjunginya beberapa kali, membuat filem
untuknya (dan berperan di dalam filem itu) dan mendengar banyak cerita
tentang Stanberry. Agak dengan spontan saya bertanya apakah kami bisa
membuat filem dengan dia sebagai salah aktor, menceritakan kisah-kisah yang
sebenarnya. Saya menemukan beberapa hal yang saya tulis beberapa dekade lalu
yang tampaknya cocok, baik dia dan saya lantas memolesnya sedikit, dan lebih
kurang dalam seminggu filem itu selesai. Betapa menyenangkan membuatnya.
I became familiar with Blake Eckard, personally, in 2007 when I met him and
went to his small town to shoot part of a film of mine, Parable. Subsequently
I visited a few times, shot a film for him (and acted in it) and heard his many
stories about Stanberry. Rather off-the-cuff I asked him if we could make a
film with him in it, telling these true stories. I found a few things I written
decades ago that seemed to fit, both he and I wrote a little bit more, and in a
week or so we had the film. Pure fun to make.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |209

CP/ 23 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.30 / 18+

IMAGES OF A LOST CITY / IMAGENS DE UMA CIDADE PERDIDA


Jon Jost (USA)
Country of Production US/Portugal
Language Portuguese
Subtitle English
92 minutes, Color, 2011

Sebuah lokasi dibangun melalui fragmenfragmen peristiwa massa yang acak. Berangkat
dari kenangan tentang sudut-sudut kota Lisabon,
sutradara meletakkan perspektifnya tentang
penelusuran sejarah kota tua yang hilang. Seperti
menilik ulang sebuah catatan arsip pribadi yang
tidak lengkap, sudut-sudut kota menceritakan
fragmen dari kenyataan lokasi. Persepsi
dibangun melalui kumpulan gambar-gambar
yang lepas dan tidak naratif. Konstruksi di kepala
penonton diarahkan dengan kemampuan otoritas
permainan susunan (montase) gambar beberapa
sudut bagian kota Lisabon tua, untuk merekam
peristiwa-peristiwa masa yang terjadi di sana.
Menurut sang sutradara sendiri, filem ini adalah
catatan pengalaman yang mencerminkan secara
penuh ekspresi saudade, yaitu perasaan merindu,
melankolik, atau nostalgia yang tampaknya
merupakan karakteristik temperamental
masyarakat Portugis.

A location is built through fragments of


random mass events. Departing from a
memory of Lisbon corners, the director
sets up his perspective concerning the
search for the old citys lost history. Like
a review of an incomplete personal archive,
the citys corners tell of fragments of the
locations reality. Perception is built through
a collection of loose, non-narrative images.
The construction in the viewers minds is
directed by an authoritative skill of montage
of some Lisbons old parts records of events.
According to the filmmaker, this film is a
journal that entirely reflects the expression
saudade, a feeling of longing, melancholia, or
nostalgia that seems to be the Portugueses
characteristic temperament.

Otty Widasari

210 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Jon Jost on Imagens de uma cidade perdida


Imagens dibuat tahun 1996-7, setelah format DV dijual untuk konsumen. Saat
kehadirannya, cepat saya sadari potensi besarnya dan terus memikirkannya
lebih jauh dalam filem, dan mulai merekam dengan DV. Kebaikan biayanya
yang sangat murah memungkinkan perekaman dalam jumlah material yang
banyak serta dalam durasi yang panjang. Hal ini pada gilirannya, bersamaan
dengan aspek-aspek lain dari DV, menunjuk estetika lain dari yang dapat
ditentukan oleh pembuat filem seluloid, dan saya segera menjelajahi banyak hal,
seperti hal kualitas, sebagaimana ditunjukkan dalam London Brief (1997), Nas
correntes de luz da ria formosa (1997-1999), 6 Easy Pieces (1996-2000) dan OUI
NON (1998-2002). Imagens disaring dari material yang panjangnya sekitar
11 jam yang diambil dan disimpan pada periode tahun itu (sebenarnya saya
merekam lebih banyak tetapi materi-materi yang tidak menarik segera dihapus
saat syuting). Tanpa narasi, seperti Luz, filem ini berada dalam arti yang jauh
lebih sulit untuk disuntingmaka wajar jika periodenya menjadi panjang
antara proses syuting dan penyelesaiannya. Pekerjaan tersebut membutuhkan
rasa yang sama sekali berbeda dari irama, waktu, perhatian terhadap suara
ambient, dan pencaritahuan bagaimana cara mengaturnya melalui waktu tanpa
terikat dengan cerita atau topik. Imagens adalah tentang tempat, roh dan
hantu. Saya berharap filem ini telah benar-benar menangkap beberapa kualitas
tertentu dan spesifik, yang merupakan Lisbon. Jon Jost
Imagens was made in 1996-7, right after the DV (digital video) format was
marketed for consumers. On its arrival I quickly realized its large potential and
dropped all thought of working further in film, and began to shoot solely in DV.
Courtesy of its very low cost it was possible to shoot large amounts of material,
as well as to do very long shots. This in turn, along with other aspects of DV,
pointed to another aesthetic than that which dictated celluloid filmmaking,
and I promptly went into exploring this in many ways, as the diverse qualities
of London Brief (1997), Nas correntes de luz da ria formosa (1997-1999), 6 Easy
Pieces (1996-2000) and OUI NON (1998-2002) all demonstrate. Imagens was
culled from some 11 hours of material that was shot in that period and saved
(I shot much more but junked the uninteresting material same day as shooting
it). Having no narrative, it, like Luz, was in a sense much more difficult to
edit - hence the long period between the shooting and the completion of it.
Such work requires a completely different sense of rhythm, time, attentiveness
to ambient sound, and figuring out how to orchestrate it through time without
the easy hooks of a story or some topic. Imagens is about a place, and its
spirits and ghosts. I hope it has properly caught some of the particular and
specific qualities which are Lisboa.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |211

ASIAN YOUNG CURATOR

TENTANG
KETIDAKABADIAN
DAN PERUBAHAN
KOK Siew-Wai
Tidak ada orang yang pernah melangkah di sungai yang sama dua kali,
karena itu bukan sungai yang sama dan dia bukan orang yang sama.
(Heraclitus, 535-475 SM)

Ketidakabadian mengacu kepada keadaan yang fana, sesaat dan singkat. Realitas
kehidupan manusia dan dunia materi kita adalah perubahan yang konstan
secara terus-menerus. Sungai mengalir, waktu berlalu, dedaunan berubah
warna dan musim datang dan pergi. Kerinduan kita akan keamanan, stabilitas
dan tempat bermukim, adalah ilusi berat sebelah yang ditanamkan manusia.
Keberadaan kita sendiri adalah manifestasi perubahan. Dimulai dengan selsel kecil yang tumbuh menjadi embrio, janin kemudian meninggalkan rahim
ibu dan memasuki dunia luar melalui tahapan bayi, anak-anak, dewasa, usia
tua dan akhirnya meninggalkan wujud tubuh manusia dan berubah menjadi
fosil dan abu. Siklus hidup kemudian akan mulai kembali.
Butterfly (2004) karya CHAN Seauhuvi yang berdurasi selama 30 detik
terdiri dari gambar yang sangat sederhana namun jelas tentang mortalitas
sesaat sebagai sesuatu yang rentan sekaligus kuat. Merenungkan subjek yang
serupa tetapi dengan estetika yang berbeda, Morning (2011) karya KOK
Siew-Wai diciptakan dari momen kejutan ketika realitas alam dan mortalitas
yang blak-blakan muncul tepat di depan mata sang seniman. Ini hampir terlalu
kejam, tapi seseorang menyadari bahwa alam tidak bertindak atau menilai
berdasarkan moralitas manusia. Menyaksikan suatu kejadian dengan penuh
kesadaran menimbulkan pemahaman dan perasaan terharu. Gambar-gambar
indah yang sulit dilupakan dari pembakaran dan peleburan pita seluloid di
Beauty Evaporates (2011) karya June Kyu Park mengambil pendekatan yang
lebih romantis tentang mortalitas sebuah bentuk seni, dalam hal ini, filem. Ini
adalah ritual ucapan selamat tinggal visual kepada media analog yang telah
menyumbang sangat banyak bagi sejarah manusia modern dalam ekspresi yang
artistik. Namun, seni sinema belum mati, ia sekarang hanya menggunakan
bentuk-bentuk yang berbeda dengan adanya perkembangan teknologi dan
kemungkinan-kemungkinan baru.
212 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

Prinsip dasar mekanisme filem tampaknya paralel dengan persepsi kita tentang
kehidupan manusia. Kita melihat seseorang sebagai orang yang sama, meskipun
ia berubah dari bayi menjadi seorang perempuan tua seiring berjalannya waktu.
Jika kita melihat berbagai gambar diam dari perempuan ini pada waktu yang
berbeda dalam hidupnya, dia sekarang terlihat sangat berbeda dari 50 tahun
yang lalu. Manusia memiliki kemampuan untuk merangkai jadi satu dan secara
linear momen-momen yang berbeda waktu dalam ingatan kita dan menganggap
mereka sebagai satu realitas yang koheren. Hal ini sangat mirip dengan cara kita
menonton filem, yang berdasarkan pada mekanisme keteguhan visi (Bordwell
& Thompson, 2013). Kita menyadari bahwa filem fisik terdiri dari serangkaian
frames atau gambar diam, tapi kita melihat mereka sebagai sebuah aliran cahaya
dan gerak, karakter, drama dan cerita yang berkelanjutan. Penonton filem, seperti
halnya memori manusia, adalah pencipta sukarela dari ilusi.
Filmmaker Wuttin Chansataboot muncul dalam karyanya 16 x 9 Capsule
(2014) sebagai filmmaker itu sendiri, membuat penonton sadar bahwa kita akan
melihat apa yang ditangkapnya, dengan cara yang telah ia konstruksi. Dia
menggunakan kamera untuk mengamati dan menangkap semua yang datang
ke dalam mata kamera, termasuk momen-momen kecil kehidupan sehari-hari
di sekeliling Bangkok dan insiden penting dalam sejarah politik Thailand. Bagi
mata netral kamera, tidak ada hierarki antara insiden-insiden ini dalam hal tingkat
makna. Chansataboot mengeksplorasi konsep Buddha yang menyatakan segala
sesuatu terus meningkat, berdiri dan kemudian berhenti. Dan perubahan, sama
sekali tak terelakkan.
Manusia mungkin adalah spesies di alam yang paling tidak wajar dan penuh
dengan konflik internal. Secara intelektual, kita memahami bahwa keberadaan
kita adalah fana dan segala sesuatu di alam memang berubah secara konstan.
Tapi secara emosional, meskipun demikian, kita tidak ingin menerima bahwa
perubahan itu adalah fakta utama. Di dalam diri, kita memiliki terlalu banyak
ketakutan dan ketidakamanan, sehingga kita mendambakan rasa stabilitas dan
bahkan keabadian sampai ke titik naif, tempat apa yang sangat kita cintai dan
pertahankan tidak boleh berubah. Kita mencoba memenuhi keinginan untuk
rasa keabadian ini melalui hubungan antarpribadi, agama dan harta benda.
Karena keterikatan dan keinginan yang berlebihan akan orang-orang dan
benda-benda, perubahan, dalam banyak kasus, menjadi negatif dan sederajat
dengan kerugian. Sangat sulit bagi kita untuk berurusan dengan kerugian, saat
kita harus membiarkan benda-benda dan orang-orang pergi. Secara emosional,
beberapa orang tidak pernah benar-benar bisa mengatasi kerugian tertentu
dalam hidup mereka.
Alat perekam seperti kamera, dalam pengertian ini, menenangkan jiwa
manusia dengan menyediakan bagi kita sarana untuk mengusahakan beberapa
jenis kekekalan. Dengan menangkap momen-momen berharga, kita dapat
membangun kembali kenangan dan menghidupkan kembali emosi pada momen3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |213

momen yang diinginkan itu, menciptakan ilusi keabadian di dalam pikiran kita.
Meskipun kita harus melepaskan benda-benda dan orang-orang secara fisik,
tapi setidaknya mereka dapat hidup dalam pikiran kita sendiri, pada dasarnya
selamanya, selama kita mengingat mereka.
Omakage (2010) karya Maki Satake menggunakan foto-foto yang diambil
olehnya dan almarhum kakeknya untuk menciptakan video animasi tentang
tempat-tempat di masa kecilnya dan bagaimana hal tersebut berhubungan dengan
posisinya saat ini sebagai seorang seniman dan fotografer. Karya ini tampaknya
didedikasikan bagi keluarga Satake dan bagi seni merekam melalui foto. Karya
lain yang dibuat untuk mengenang orang tua dalam keluarga adalah Ruins I
(2010) dari AU Sow-Yee yang menggunakan foto-foto almarhumah neneknya.
Estetika tradisi filem eksperimental terlihat dalam cara Sow-Yee menggunakan
pengeditan foto-foto yang tidak jelas secara terpisah-pisah dengan irama yang
tidak menentu. Dalam hal abstraksi dan eksperimen dalam estetika filem,
Masahiro Tsutani mengambil langkah yang lebih jauh dalam Between Regularity
and Irregularity (2012). Karya ini benar-benar merangkul konsep perubahan
sesuai judulnya. Video ini menggunakan grafis yang bergerak ke sana kemari
dan suara yang berfluktuasi untuk menciptakan pengalaman menonton yang
sensasional yang kacau dan sekaligus indah dalam cara yang berbeda, seolaholah dalam mimpi.
Perubahan terjadi secara internal dalam setiap individu dan hal itu juga terjadi
dalam masyarakat yang lebih luas dan dalam kondisi politik. Waktu berubah,
kita berubah, tetapi beberapa rezim, yang konservatif dan keras, menolak untuk
berubah dan hal ini dapat menjadi masalah. Sama seperti batin yang tidak ingin
melepaskan segala hal yang dicintainya, rezim yang usang dan tidak relevan ini
tidak bisa menerima kenyataan bahwa waktunya telah berakhir dan bahwa ia
tidak bisa lagi menyanyikan lagu lama yang sama lagi dan lagi. Orang-orang
sangat menginginkan perubahan, transformasi dan mendambakan hari yang baru.
Lulai (2014) karya LIM Chee-Yong adalah potret simpatik dari sekelompok
orang Bajau dari Pulau Mabul di lepas pantai tenggara Sabah, Malaysia. Sebagian
dari isi videonya menyerupai pengamatan dokumenter tentang keseharian, dan
sebagian lainnya tampaknya merupakan kesan utopis dari masyarakat yang
dibiarkan tak terganggu dan bebas dari modernisasi. Fakta bahwa orangorang ini tidak memiliki negara dan tidak mendapat keuntungan sebagai
warga negara membuat kita bertanya-tanya apakah sebenarnya mereka puas
untuk tetap bebas? Mereka yang menghadiri demonstrasi Bersih dalam Mist
(2012) pastinya mendambakan satu perubahan situasi politik di negara tempat
aliansi penguasa yang sama memiliki kekuasaan sejak kemerdekaannya pada
tahun 1957. WONG Eng-Leong menggunakan gambar-gambar hitam putih
yang kabur yang saling menyatu sebagai peringatan visual bagi insiden yang
signifikan dalam politik Malaysia baru-baru ini. Kontras dengan pendekatan
serius Eng-Leong dengan gambar-gambar tak berwarna, WONG Ping dari
214 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Hong Kong mengadopsi estetika seni pop. Under The Lion Crotch (2011) adalah
video musik animasi berwarna-warni dengan lagu yang kotor dan gambar jelek
yang agak tidak senonoh yang mungkin dapat menyinggung beberapa orang.
Ini adalah sebuah karya ekspresif yang menggunakan humor gelap anak muda
untuk mengritik situasi sosial dan ketegangan politik di Hong Kong.
Apa jenis gambar yang akan ditangkap oleh seseorang dalam masyarakat
yang terus berubah dan berkembang, yang telah mengalami urbanisasi selama
bertahun-tahun dan masih dalam proses urbanisasi tersebut? Dengan visual
yang menakjubkan dan ritme yang bersifat meditasi, filmmaker asal Belgia
Jimmy Hendrickx memberikan potret sinematik yang sensitif dan simpatik
dari anak-anak perkotaan Cheras, daerah pinggiran kota di Kuala Lumpur,
Malaysia dalam filemnya Semalu (2013). Filem ini menggunakan jukstaposisi
dengan pintar. Keindahan filem ini terletak pada upayanya untuk menunjukkan
spiritualitas di tengah-tengah sampah, situs yang terbengkalai dan daerah
proyek pembangunan. Keseluruhan karakter Semalu adalah karakter positif.
Lingkungan tempat tinggal yang tampaknya tidak menyenangkan kontras
dengan kepolosan anak-anak yang menunjukkan kemurnian dan harapan, dan
perasaan selaras menghasilkan gambaran dari idiom Tiongkok yang berbunyi:
Lotus tumbuh keluar dari lumpur, tapi tidak tercemar dan keindahan dan
kemurniannya tetap ada.
Konsep ketidakkekalan dan pembentukan yang terus-menerus adalah hal pokok
bagi ajaran Buddha awal. Dengan menyadari hal itu, dengan mengamatinya
dan dengan memahaminya, barulah seseorang dapat menemukan obat yang cocok
bagi kesedihan hidup manusia dan mencapai pembebasan dari proses anicca atau
ketidakkekalan. (Konsep Ketidakkekalan Buddha)
Filmmaker, yang bekerja terutama dengan seni merekam, memiliki potensi
menjadi pengamat besar kehidupan. Mungkin, jika kita bisa menerima dan
memahami keadaan alam dengan sepenuh hati, kita akan menerima kebenaran
hakiki dari perubahan ini, menjalani hidup dengan sepenuhnya pada saat ini
dan merasakan kekekalan dan perdamaian di setiap momen kesadaran.
7 Juli 2015
Bacaan:

Classical Wisdom Weekly (17 Juli, 2013). Heraclitus (535-475 BCE). Online. Internet.
Tersedia di: http://classicalwisdom.com/heraclitus-535-475-bce/
Bordwell, David and Kristin Thompson (2013). Film Art An Introduction. New York:
McGraw-Hill
Krishnamurti, Jiddu (1987). The Awakening Of Intelligence. New York: Harper & Row.
The Buddhist Concept of Impermanence. UrbanDharma.org. Online. Internet. Tersedia
di: http://www.urbandharma.org/udharma8/imperm.html
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |215

ASIAN YOUNG CURATOR PROGRAM: KOK SIEW-WAI

ON IMPERMANENCE
AND CHANGE
KOK Siew-Wai
No man ever steps in the same river twice, for its not the same river and
hes not the same man.
(Heraclitus, 535-475 BCE)

Impermanence refers to a state that is transitory, momentary and ephemeral.


The reality of human lives and our material world is a constant flux of change.
River flows, time passes, leaves change their colors, and seasons come and go.
Our yearning for security, stability and settlement, is a one-sided, humanimposed illusion. Our very own existence is a manifestation of change. It
starts with tiny cells that grow to become an embryo, fetus, and then leaving
the mothers womb and entering the external world, going through stages of
infancy, childhood, adulthood, old age, and finally leaving the human body
entity and turns into fossils and ashes. The life cycle will then begin again.
CHAN Seauhuvis 30-second Butterfly (2004) consists of a very simple yet
stark image of momentary mortality as simultaneously vulnerable and strong.
Pondering over a similar subject but with a different aesthetics, Morning
(2011) by KOK Siew-Wai was created by a surprise moment when the blunt
reality of nature and mortality stood right before the artists eyes. It is almost
too cruel, but one realizes that nature does not act or judge based on human
morality. Witnessing the incident with mindfulness gives rise to understanding
and compassion. The hauntingly beautiful images of the burning and melting
of celluloid films in June Kyu Parks Beauty Evaporates (2011), takes on a more
romantic approach on the mortality of an art form, in this case film. It is a
visual ritual of farewell to the analogue medium that has contributed so much
to modern human history in artistic expression. However, the art of cinema
is not dead yet, it only takes different forms now with the progression of new
technology and possibilities.
The fundamental principle of the mechanism of film seems to be parallel
with our perception of human life. We see a person as the same person, even
though she changes from a baby to an old lady as time goes by. If we look
at the various still images of this lady at different times in her life, she looks
very different now from 50 years ago. Human beings have the ability to weave
different moments in time together, and in a linear fashion in our memory,
216 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

SUPPORTED BY ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

and perceive them as one coherent reality. This is very similar to the way we
watch film, which is based on the mechanism of the persistence of vision
(Bordwell & Thompson, 2013). We do realize that physical film is made up
by a series of frames or still images, but we perceive them as a continuous flow
of light and motion, of characters, of drama, of stories. The audience of film,
as human memory, is a voluntary creator of illusion.
Filmmaker Wuttin Chansataboot appears in his piece 16 x 9 Capsule (2014)
as the filmmaker himself, making the audience conscious that we are about to
see what he captures, in the way he has constructed it. He uses the camera to
observe and capture all that come into the camera-eye, including small moments
of daily life around Bangkok and a crucial incident in the political history of
Thailand. To the neutral eyes of the camera, there is no hierarchy between
these incidents in terms of the degree of significance. Chansataboot explores
the Buddhist concept where it states everything keeps rising, standing, and
then cessation. And change, is simply inevitable.
Human beings might be the one species in nature that is the most unnatural
and full of internal conflicts. Intellectually, we understand that our existence
is mortal and all things in nature are indeed in a constant mode of change.
But emotionally, however, we do not want to accept that change is an ultimate
fact. We have too much fear and insecurity internally, that we crave for a sense
of stability and even eternity, to a point of being nave, where what we love
and hold dearly must not change. We try to fulfill this craving for a sense
of permanence through interpersonal relationships, religions and possessions.
Because of our excessive attachment and desire to people and objects, change,
in many cases, becomes negative and equals to loss. It is very difficult for us to
deal with loss where we have to let things and people go. Emotionally, some
people never really overcome certain loss in their lives.
The recording device such as a camera, in this sense, soothes the human soul
by providing us a means to attempt some kind of permanence. By capturing the
precious moments, we are able to rebuild memories and reenact the emotions of
these desired moments, creating the illusion of eternity in our minds. Although
we must let go the physical objects and people, but at least they can live in our
own minds, basically forever, as long as we remember them.
Omakage (2010) by Maki Satake uses photographs taken by her and her
late grandfather to create an animated video of places in her childhood, and
how that is connected to her current position as an artist and a photographer.
This piece seems to be a dedication to the Satakes family, and to the art of
recording through imagery. Another piece made in memory of an elderly in the
family is Ruins I (2010) by AU Sow-Yee, using images of her late grandmother.
The aesthetics of the tradition of experimental film is noticeable in the way
Sow-Yee uses fragmented grainy images edit to an erratic rhythm. In terms of
abstraction and experimentation in film aesthetics, Masahiro Tsutanis Between
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |217

Regularity and Irregularity (2012) takes a step further. It actually embraces


the concept of change as its title suggests. The video uses oscillating graphics
and fluctuated sounds to create a sensational viewing experience that is both
chaotic and strangely beautiful at the same time, as if in a dream.
Change happens internally within an individual, and it also happens to the
larger society and political circumstances. Time change, we change, but some
conservative, rigid regimes refuse to change, and that can be a problem. Just
like the inner self that does not want to let go all that she loves, the outdated
and irrelevant regime cannot accept the fact that its time has come to an end,
and that it can no longer sing the same old song again and again. The people
are desperate for a change, a transformation, longing for a brand new day.
Lulai (2014) by LIM Chee-Yong is a sympathetic portrait of a group of Bajau
people from Mabul Island, off the southeastern coast of Sabah, Malaysia. Part
of the video resembles documentarys observation of everydayness, and part of
it seems to be a utopian impression of a society that is left undisturbed and
free from modernization. The fact that these people are stateless and without
the benefits of citizenship making us wonder if they are contented to stay free
after all? Those attended the Bersih demonstration in Mist (2012) definitely
longed for a change of political situation in the country where the same ruling
alliance has been in power since its independence in 1957. WONG Eng-Leong
uses obscure black & white images that merged into one another as a visual
memorial to the significant incident in recent Malaysian politics. Contrasting
to Eng-Leongs solemn approach with colorless imagery, WONG Ping from
Hong Kong adopts the aesthetics of pop art. Under The Lion Crotch (2011) is a
colorful animated music video with a sleazy song and somewhat outrageous
grotesque imagery that might be offensive to some. Its an expressive work
using youthful dark humor to criticize the social situation and political tension
in Hong Kong.
What kinds of images will one capture in an ever changing, developing
society that has been going through years of urbanization, and still in the
process of it? With stunning visuals and a meditative rhythm, Belgian filmmaker
Jimmy Hendrickx gives a sensitive and sympathetic cinematic portrait of the
urban children of Cheras, a suburb in Kuala Lumpur, Malaysia in his film
Semalu (2013). The film uses juxtapositions cleverly. The beauty of the film lies
in its attempt to suggest spirituality in the midst of waste, abandoned sites and
construction areas. The overall tone of Semalu is a positive one. The seemingly
displeasing living environment contrasts with the innocence of children that
signify purity and hope, and a sense of becoming, giving rise to an image of
a Chinese idiom that goes: Lotus is grown out from mud, but it is unpolluted
and remains its beauty and purity.

218 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

The concept of impermanence and continuous becoming is central to early Buddhist


teachings. It is by becoming aware of it, by observing it and by understanding it, that
one can find a suitable remedy for the sorrow of human life and achieve liberation
from the process of anicca or impermanence.
(The Buddhist Concept of Impermanence).

Filmmakers, working primarily with the art of recording, have the potential
of being a great observer of life. Perhaps, if we can accept and understand the
way of nature whole-heartedly, we will embrace this ultimate truth of change,
living to fullest at the present, and experience eternity and peace in every single
moment of mindfulness.
July 7th, 2015
Works Cited:

Classical Wisdom Weekly (2013, July 17th). Heraclitus (535-475 BCE). Online. Internet.
Retrieved from http://classicalwisdom.com/heraclitus-535-475-bce/
Bordwell, David and Kristin Thompson (2013). Film Art: An Introduction. New York:
McGraw-Hill.
Krishnamurti, Jiddu (1987). The Awakening Of Intelligence. New York: Harper & Row.
The Buddhist Concept of Impermanence. UrbanDharma.org. Online. Internet. Retrieved
from http://www.urbandharma.org/udharma8/imperm.html

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |219

AC 3 / 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.00 / 18+

OMAKAGE
Maki Satake ( Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
6 minutes, Color, 2010

Omakage berarti sisa-sisa. Keluarga


Satake mengambil banyak foto ketika ia
masih kecil. Dalam video ini, ia mengunjungi
kembali tempat-tempat dari masa kecilnya
menggunakan foto-foto yang diambil oleh
kakeknya sebagai panduan. Karya ini dibuat
dari foto-foto yang diambil oleh ia dan
kakeknya. Sebuah dedikasi bagi seni rekaman
dan keluarga sang seniman, terutama bagi
almarhum kakeknya.

Omakage means remains. The Satakes


family took a lot of photographs when she
was young. In this video, she revisited places
from her childhood, using photographs taken
by her grandfather as a guide. This piece
was made by photographs that she and her
grandfather took. A dedication to the art of
recording and to the artists family, especially
her late grandfather.

KOK Siew-Wai

Maki Satake (lahir di Hokkaido, 1980)


tinggal di Sapporo, Jepang. Lulusan
Hokkaido University of Education
Sapporo. Ia menerima penghargaan,
antara lain dari 25. Stuttgarter
Filmwinter; 12th Paris Festival of
Different and Experimental Cinemas;
Tokyo Video Festival 2009; NHK Digital
Stadium Award 2006; dan Image Forum
Festival 2004. Kunjungi situs webnya
di http://www.makisatake.com/

220 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Maki Satake (b. 1980 in Hokkaido)


lives in Sapporo, Japan. She graduated
from The Hokkaido University of
Education Sapporo. Maki is an awardwinning artist and has received 25.
Stuttgarter Filmwinter Norman 2012,
12th Paris Festival of Different and
Experimental Cinemas Grand Prix,
Tokyo Video Festival 2009 Fine Work,
NHK Digital Stadium Award 2006
Grand Prix of image section, Image
Forum Festival 2004 Encouragement
Prize, among others. Visit her website
at http://www.makisatake.com/

AC 3 / 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.00 / 18+

RUINS I
AU Sow-Yee ( Malaysia)
Country of Production Malaysia
Language English
Subtitle No Subtitle
5 minutes, Color, 2010

Gambar-gambar yang abstrak dan terbagibagi saling menjalin melalui cahaya dan suara,
dan membentuk kenangan akan almarhumah
nenek dari sang seniman.

Abstract and fragmented images weaved


through light and sound, and formed memories
of the artists deceased grandmother.

KOK Siew-Wai

Au Sow-Yee merupakan seniman


dari Malaysia. Ia bekarya antara
lain dengan pertunjukan proyeksi
filem dan video, karya eksperimental
berkanal tunggal dan jamak, hingga
ke pertunjukan teater kontemporer
dengan desain multimedia. Ia lulusan
San Francisco Art Institute dan kini
menempuh pendidikan di New Media
Arts, Taipei National University of the
Arts, Taiwan. Karya-karyanya telah
dipamerkan di berbagai festival dan
pameran di Asia, Eropa dan Amerika.

Au Sow-Yee is an artist from Malaysia.


Her works span from film and video
projection performances, single and
multiple channels experimental
film/video to multimedia design for
contemporary theatre performances.
Sow Yee graduated from the San
Francisco Art Institute and is
currently studying New Media Arts
in Taipei National University of the
Arts (Taiwan). Her works and film
performances had shown in film
festivals and exhibitions in Asia,
Europe and USA.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |221

AC 3 / 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.00 / 18+

BUTTERFLY
CHAN Seauhuvi ( Malaysia)
Country of Production Malaysia
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
30 sec, Color, 2004

Sebuah gambaran yang sangat sederhana yang


menampilkan mortalitas sebagai kerentanan
sekaligus juga sebagai kekuatan.

A very simple image showing mortality as


vulnerability and strength at the same time.

KOK Siew-Wai

Seauhuvi Chan, berasal dari Kuala


Lumpur, merupakan seorang seniman
video dan performan. Ia pernah tinggal
dan belajar di Lcole suprieure
dart dAix en Provence selama tujuh
tahun. Karya-karya pertunjukannya
menggunakan tubuh untuk
mengeksplorasi tema-tema, seperti
meditasi, femininitas dan eksistensi
manusia.
222 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Originally from Kuala Lumpur,


Seauhuvi CHAN is a performance
and video artist. She lived and studied
at Lcole suprieure dart dAix en
Provence for 7 years. Her works use
simple performances with the female
body to explore subjects such as
meditation, femininity and human
existence.

AC 3 / 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.00 / 18+

BEAUTY EVAPORATES
June Kyu Park ( Republic of Korea)
Country of Production Republic of Korea
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
4 minutes, Color, 2011

Gambar-gambar yang indah dan sulit


dilupakan dari pembakaran dan peleburan
f i l m-f i l m selu loid. F i l m da n seja ra h
mediumnya tampaknya perlahan-lahan
menghilang ke udara. Sebuah ritual visual
untuk menghormati medium analog yang
telah berkontribusi banyak bagi ekspresi
artistik dalam sejarah manusia modern.

Beautiful and haunting images of burning


and melting celluloid films. The films and the
history of its medium seem slowly vanishing
into the air. A visual ritual to pay respect to
the analogue medium that has contributed
a lot to artistic expression in modern human
history.

KOK Siew-Wai

June Kyu Park (Q ) merupakan


sutradara independen kelahuran Korea
yang berbasis di New York. Selama
sepuluh tahun berkarya membuat filem,
termasuk karya feature, video musik
dan lainnya. Filem-filem berdurasi
pendeknya telah diputar di festival,
seperti Syracuse International Film
Festival, Amerika, and Montecatini
Film & Video Festival, Italia. Ia
mengajar di Syracuse University, New
York, Amerika.

June Kyu Park (Q ) is a Koreanborn, New York based independent


filmmaker. For over ten years he has
worked on various types of films and
videos including feature films, short
films and music videos for different
credits. His short films have been
screened at film festivals such as
Syracuse International Film Festival,
USA, and Montecatini Film &
Video Festival, Italy. June Kyu Park
is currently teaching at Syracuse
University, New York, USA, working
on his next narrative project.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |223

AC 3 / 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.00 / 18+

LULAI
LIM Chee-Yong (Malaysia)
Country of Production Malaysia
Language English
Subtitle No Subtitle
6 minutes, Color, 2014

Video ini dapat dilihat sebagai potret simpatik


pengunjung orang-orang Bajau Laut dan
Bajau Darat dari Pulau Mabul, di lepas pantai
tenggara Sabah, Malaysia Timur. Kelompok
orang-orang Bajau ini tidak memiliki negara.
Mereka tidak memiliki kewarganegaraan dan
dengan demikian tidak menikmati manfaat
kewarganegaraan. Jika mereka diberi pilihan,
akankah mereka memilih untuk menjalani
hidup bebas seperti sekarang?

The video can be seen as a visitors sympathetic


portrait of the Bajau Laut and Bajau Darat
people from Mabul island, off the southeastern
coast of Sabah, East Malaysia. This group
of Bajau people is stateless. They have no
nationality and thus do not enjoy benefits
of citizenship. If they have been given a
choice, will they choose to lead a free life
as they are now?

KOK Siew-Wai

Lim Chee-Yong lulus dari New Era


College tahun 2008, jurusan Drama
dan Visual; dan dari Motion Picture
Departemen, National Taiwan
University of Art, tahun 2003. Selama
enam tahun terakhir, Lim terlibat
dalam berbagi kegiatan produksi,
penyutradaraan dan penulisan untuk
beberapa karya filem, baik yang
berdurasi pendek, panjang, tipe
eksperimental maupun dokumenter.

224 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Lim Chee-Yong graduated from


New Era College in 2008, majoring
in Drama and Visuals; and from
the National Taiwan University of
Art in 2013 in the Motion Picture
Department. With the guidance from
a few great teachers, Lim is introduced
to the wonderful world of film and
theater. For the past 6 years, Lim
has involved in producing, directing
and writing several short films,
feature films, experimental films and
documentary films.

AC 3 / 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.00 / 18+

16 X 9 CAPSULE
Wuttin Chansataboot (Thailand)
Country of Production Thailand
Language Thai
Subtitle English
6 minutes, Color, 2014

16x9 Capsule menunjukkan sketsa insiden


dan situasi yang terjadi di lokasi-lokasi yang
berbeda di sekeliling Bangkok. Sang seniman
menggunakan kamera untuk menangkap
momen-momen yang kurang berarti di
suatu hari yang normal dan kejadian penting
dalam sejarah politik Thailand. Chansataboot
bermaksud untuk mengekspresikan konsep
Buddha, mengatakan bahwa segala sesuatu
terus meningkat, berdiri dan kemudian
berhenti.

16x9 Capsule shows vignettes of incidents


and situations taking place at different
locations around Bangkok. The artist uses
the camera to capture trivial moments in an
ordinary day and crucial incident in political
history of Thailand. Chansataboot intends
to express a Buddhist concept, saying that
everything keeps rising, standing and then
cessation.

KOK Siew-Wai

Wuttin Chansataboot adalah lulusan


Slade School of Fine Art, London,
tahun 2012. Ia merupakan seniman
Thailand yang berkarya memadukan
video, instalasi dan filem. Bekerja juga
sebagai pengajar lepas, dengan fokus
animasi experimental, seni media
dan filem, di School of Digital Mdia,
Universitas Sripatum. Lihat situs
webnya di http://wuttinchansataboot.
com/

Wuttin Chansataboot graduated from


the Slade School of Fine Art, UCL,
London in 2011. He is a Thai artist
working across disciplines from video
installation to filmmaking. As a parttime lecturer, he is currently teaching
experimental animation, media art and
film production at School of Digital
Media, Sripatum University. http://
wuttinchansataboot.com/

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |225

AC 3 / 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.00 / 18+

MORNING
KOK Siew-Wai (Malaysia)
Country of Production Malaysia
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
3 minutes, Color, 2011

Mungkin bukan pilihan seseorang bahwa hal


pertama yang dilihatnya pada pagi hari adalah
adegan kekerasan. Tapi ini terjadi pada sang
seniman secara tak terduga. Ia terbangun
pagi-pagi sekali oleh salakan anjing yang
sangat keras dan melihat empat ekor anjing
sedang mempermainkan sesosok kucing
mati. Ia mengambil kameranya dan merekam
adegan itu, menyaksikan kenyataan alam
yang tanpa basa-basi, intens dan melampaui
moralitas manusia.

It was probably not to ones preference seeing


a violent scene the first thing in the morning.
But this happened to the artist unexpectedly.
She was awaken by very loud barkings of
dogs early in the morning, and saw four
dogs toying with a dead cat. She took out her
camera and recorded the scene, witnessing
a reality in nature that is blunt, intense and
beyond human morality.

KOK Siew-Wai

KOK Siew-Wai merupakan seniman


video, vokalis dan aktivis seni
independen dari Kuala Lumpur,
Malaysia. Ia lulusan University at
Buffalo dan Alfred University, dan
sempat tinggal di Amerika pada
1998-2006. Ia juga merupakan kurator
dan Direktur Festival KLEX (Kuala
Lumpur Experimental Film, Video
& Music Festival) sejak 2010. Saat ini
ia mengajar di Fakultas Multimedia
Kreatif, Multimedia University,
Malaysia.
226 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

KOK Siew-Wai is a video artist,


improvised vocalist and independent
artist-organizer from Kuala Lumpur,
Malaysia. She graduated from University
at Buffalo and Alfred University, and had
lived in USA from 1998-2006. Siew-Wai
is the festival director & curator of the
Kuala Lumpur Experimental Film, Video
& Music Festival(KLEX) since 2010.
Shes currently teaching at the Faculty
of Creative Multimedia, Multimedia
University, Malaysia.

AC 3 / 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.00 / 18+

UNDER THE LION CROTCH


WONG Ping (Hong Kong)
Country of Production Hong Kong
Language Cantonese
Subtitle English
4 minutes, Color, 2011

Menggunakan estetika seni pop dengan


musik yang kotor dan animasi yang jelek,
video musik yang gelap tapi lucu ini adalah
sebuah kritik bagi ketegangan sosial dan
politik saat ini di Hong Kong.

Using aesthetics of pop art with sleazy music


and grotesque animation, this dark yet playful
music video is a critique on the current social
and political tension in Hong Kong.

KOK Siew-Wai

Wong Ping (b. di Hong Kong,


1980) merupakan seorang animator,
ilustrator dan sutradara. Dia bekerja
di industri animasi dan video musik
tahun 2010, dan karya-karyanya telah
melanglang ke Eropa dan Amerika.
Dia memenangi 18th ifva gold award
(Kategori Animasi) untuk Under
the Lion Crotch. Festival musik BBC
berkomentar tentangnya, Dari
Tiongkok, satu keanehan lain yang
akan Anda lihat.

Born in the 80s Hong Kong, Wong


Ping is an award winning animator,
director and illustrator. Wong
established his name in the music video
and animated shorts industry in 2010,
while works of his were screened across
Europe and United States. He won
the 18th ifva gold award (Animation
Category) for his third music video
Under the Lion Crotch. BBC music video
festivals comment on it - From China,
its one of the odder things youll see.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |227

AC 3 / 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.00 / 18+

MIST
Wong Eng-Leong (Malaysia)
Country of Production Malaysia
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
3 minutes, Black/White, 2012

Mist is a music video with black and


white images merging into one another,
as a memorial to remember the important
political demonstration in the country, Bersih
3.0, where many were in hope for a change
in Malaysian politics.

Mist adalah video musik dengan gambargambar hitam dan putih yang bergabung
menjadi satu, sebagai peringatan untuk
mengenang demonstrasi politik penting
di negara, Bersih 3.0, saat banyak orang
mengharapkan perubahan dalam politik
Malaysia.

KOK Siew-Wai

Wong Eng-Leong adalah seorang


seniman. Bekarya dengan berbagai
medium, karyanya sering berfokus
pada isu sosial dan politik. Ia sudah
ikut beragam pameran di Malaysia dan
internasional. Mendirikan FINDARS,
perkumpulan artis berbasis di Kuala
Lumpur, yang mengorganisasi pameran
seni, pertunjukan audio-visual dan
penayangan filem.
228 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Wong Eng-Leong is an artist.


Workingacross media, his works often
deal with political and social issues.
He has been exhibited in Malaysia and
abroad. He is a founding member of
FINDARS, an artist collective based
in Kuala Lumpur, where they organize
alternative art exhibition,audio-visual
performance and film screenings.

AC 3 / 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.00 / 18+

BETWEEN REGULARITY
AND IRREGULARITY
Masahiro Tsutani (Japan)
Country of Production Japan
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
7 minutes, Black/White, 2012

Si filmmaker berimprovisasi dengan grafis


dan suara yang berfluktuasi yang memberi
kesan kekacauan dan gerakan yang hebat,
menciptakan sensasi yang sangat kuat antara
gerakan cahaya dan suara yang teratur dan
tidak teratur.

The filmmaker improvises with fluctuated


graphics and sounds that give an impression
of chaos a nd conv u lsion, c reat ing a n
overwhelming sensation between the regular
and irregular movements of light and sound.

KOK Siew-Wai

Masahiro Tsutani (lahir di Jepang,


1968) menjadi desainer sejak lulus
dari Nagoya Institute of Technology.
Setelah berkutat dengan beragam jenis
musik, ia menemukan ketertarikannya
dengan sesnasi penciptaan interspaces
antara bunyi dan bunyi. Ia pernah
berpartisipasi di 63rd Berlin
International Film Festival (Berlinale
Shorts Competition) 2013, 25FPS
Festival (Special Mention by Ciritics)
2013, dan Tokyo Experimental Festival
(2012).

Born in Aichi in Japan in 1968,


Masahiro Tsutani became a
mechanical designer after graduating
from Nagoya Institute of Technology.
After having devoted himself to
various kinds of music, he finds
interests in the sensation created by
interspaces between sound and sound.
He has participated in festivals such
as the 63rd Berlin International Film
Festival-Berlinale Shorts Competition
2013, and 25FPS Festival-Special
Mention by Critics 2013, and Tokyo
Experimental Festival with sound, art
& performance 2012, among others.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |229

AC 3 / 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 19.00 / 18+

SEMALU
Jimmy Hendrickx (Belgium)
Country of Production Malaysia
Language Malay
Subtitle English
19 minutes, Color, 2013

Semalu berarti tanaman yang sensitif


dalam bahasa Melay u. Film ini adalah
potret sinematik dari anak-anak Cheras,
daerah pinggiran kota di Kuala Lumpur yang
telah berada di periode transisi modernisasi
selama bertahun-tahun. Dengan visual
yang menakjubkan dan ritme yang bersifat
meditasi, sang filmmaker yang simpatik
mencoba untuk mencari keindahan dan
spiritualitas di daerah perkotaan yang
meragukan ini, yang diselimuti sampah
dan situs-situs konstruksi, berusaha untuk
mencari tempat bermain dan tempat yang
damai untuk anak-anak perkotaan ini.

Semalu means sensitive plant in Malay.


The f ilm is a cinematic portrait of the
children of Cheras, a suburb in Kuala
Lumpur, where it has been in a transitional
period of modernization for years. With its
stunning visuals and meditative rhythm, the
sympathetic filmmaker attempts to seek for
beauty and spirituality in this unlikely urban
area covered with waste and construction
sites, trying to seek for a playground and
a peaceful place for these urban children.

KOK Siew-Wai

Jimmy Hendrickx (Belgia, 1979)


adalah seniman video. Tahun 2007, dia
menjadi pengajar di KASK School of
Arts, bidang seni video, sejarah filem
dan mixed media. Ia juga aktif sebagai
pengajar di beberapa akademi seni
di Asia. Dia pendiri PORT ACTIF
(2011), institusi internasional berbasis
di Belgia yang fokus pada sinema dan
seni media.

230 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Jimmy Hendrickx (Antwerp 1979/


Belgium), focuses mainly on the
applied aspects of video art. In 2007
Jimmy became a lecturer at KASK
School of Arts, where he teaches
videoart, film history and mixed media
techniques. Further he was active as
guest lecturer on several art academies
around Asia. He is the founder of
PORT ACTIF (2011), a Belgian based
international institute focusing on
Cinema & Video Art.

DIDUKUNG OLEH ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

KREATIVITAS BERCERITA
MENGENAI REPRESI HAK
ASASI
Jonathan Manullang
Selama ini kita hampir selalu membicarakan definisi, redefinisi, kompromi,
benturan, hingga pelanggaran hak asasi, baik sebagai akibat dari aplikasi
prinsip otoriter secara pragmatis maupun tarik-ulur kepentingan kekuasaan
nan kompleks dalam suasana formal, serta pembawaan serius dengan akses
sangat terbatas. Sifat yang cenderung elitis ini membuat upaya meningkatkan
kesadaran berbagai kelas masyarakat terhadap hak asasi sering kali terhambat,
tak peduli seberapa sistematisnya upaya-upaya tersebut.
Menilik sejarah Negara Indonesia, yang telanjur diselewengkan selama
beberapa dekade oleh Rezim Orde Baru yang menjalankan kontrol penuh
atas medium film lewat praktik sensor baik sebelum maupun setelah proses
produksi (Paramaditha, 2012), pengalaman-pengalaman terkait penindasan hak
asasi sudah sepatutnya menjadi pelajaran krusial bagi generasi terkini, apalagi
generasi yang akan tiba. Pada tahap ini, sinema adalah salah satu wadah paling
efektif untuk memaparkan bermacam pengalaman pahit tersebut sekaligus
mengakomodasi rasa haus mereka terhadap bentuk-bentuk estetis baru serta
gaya bertutur yang segar. Kreativitas mendedah serta mengejawantahkan secara
kritis, namun tetap santai, melalui bingkai audio-visual, sontak memegang
peranan penting guna menggugah pembacaan-pembacaan terbaru. Kapan lagi
kita bisa belajar HAM dengan rileks lantas berdiskusi sembari ngopi sesudah
acara nonton bareng selesai?
Tiga filem pilihan saya dalam kurasi ini, pada hakikatnya, merepresentasikan
segala ciri abstrak di atas. Filem pertama, Kameng Gampong N yang Keunong
Geulawa (1999)diproduksi setahun setelah Reformasi 1998karya Aryo
Danusiri, memilih mengalir melalui idiom lokal berupa seekor kambing kampung
yang dituduh bersalah atas ulah kambing gunung demi menggambarkan situasi
selama status Daerah Operasi Militer berlaku di Aceh (1989-1998). Kambing
kampung menjadi analogi bagi warga Kampung Tiro yang ditangkap, disiksa,
hingga dibunuh secara brutal di ruang publik sementara kambing gunung
merujuk pada gerak lincah gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang
gemar bersembunyi di balik hutan belantara. Kebencian tak berdasar Soeharto
yang menganggap Kampung Tiro memiliki ikatan historis nan panjang dengan
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |231

pentolan GAM, Hasan Tiro, hanya karena kesamaan nama di antara mereka,
adalah bukti sahih absennya rasionalitas dalam pengambilan keputusan subjektif
Sang Jenderal. Di luar itu, gaya wawancara Aryo yang merekam pernyataan
para saksi satu per satu mengenai hampir setiap peristiwa pembantaian massal
maupun interogasi tertutup dan serba mencekam di sekitar area kampung
tersebut, alih-alih sekadar fokus menyusuri jalan karakter tertentu, mampu
menghadirkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap konteks
geopolitik serta sosial ekonomi penduduk Kampung Tiro, sampai menjelang
kejatuhan Orde Baru.
Filem berikutnya, Trip To The Wound (2008)diproduksi sepuluh tahun
setelah Reformasi 1998karya Edwin, berisi perjalanan malam hari yang
dihabiskan bersama gerak repetitif bis yang cenderung ugal-ugalan. Gaya
kinetik dan akselerasi bis tersebut, tempat kedua karakter bersua, seakan
menegaskan bahwa kondisi demikian yang paling ideal guna menciptakan
luka baru. Penumpang bis itu adalah seorang perempuan pengoleksi luka yang
gemar menceritakan (atau membual?) ihwal tabungan luka miliknya, namun
bungkam tatkala mendapat giliran berbagi lukanya sendiri. Penumpang lain
adalah seorang lelaki terdakwa luka yang tak kenal menyerah mengupas lapisan
demi lapisan kebungkaman tersebut. Koneksi fisik, pengolahan inderawi, serta
permainan asumsi, kemudian, mengambil alih pemahaman seputar luka.
Apakah ia nyata atau ilusi? Apakah ia berwujud solid atau metafisik? Apakah
ia sejarah faktual atau sekadar ramalan?
Pada konteks tertentu, gerak repetitif memegang posisi krusial. Bila ia
menyebarkan kesan mimpi buruk melalui adegan pesta dansa dalam Ritual
In Transfigured Time (1946) karya Maya Deren, di sini ia membawa aroma
keengganan nan kompleks. Filem Maya Deren dan Edwin juga mempunyai
similaritas terkait representasi figur perempuan. Dalam filem eksperimental
sineas perempuan legendaris Amerika tersebut, ia mewakili perihal hidup dan
mati (Mayer, 2013). Sementara itu, di filem pendek Edwin ini, ia menyatakan
pertentangan, tumpang-tindih, hingga transisi super cepat antara perilaku
bahagia dan rona kesedihan.
Lebih jauh lagi, bila kita perhatikan, tampilan fisik si perempuan, mau
tak mau, mengarahkan penonton pada perdebatan seputar etnis tertentu.
Hal luka dan etnis minoritas ini kemudian digumulkan Edwin via sebentuk
gerakan kinetik repetitif dalam usaha saling menetralkan dua faktor terpenting:
memori gelap yang hendak dikubur jauh-jauh, serta godaan resistensi jiwa
terhadap bekas represi privasi dari suatu masa yang mungkin belum terlampau
lama berlalu. Apakah ini cerita spesifik mengenai kekerasan seksual kepada
perempuan-perempuan Tionghoa selama periode tergelap kedatangan reformasi
yang katanya membawa cahaya terang-benderang itu? Atau semata perwujudan
simbol atas ketidakberdayaan perempuan menghadapi himpitan dan tekanan
232 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

kultur patriarki yang dianut oleh mayoritas struktur masyarakat modern di


Indonesia?
Jika Kameng Gampong N yang Keunang Geulawa menyuguhkan perumpamaan
tradisional guna menggambarkan penderitaan kolektif, dan Trip To The Wound
menyajikan pertanyaan metaforis berbau eksistensial, filem terakhir, berjudul
Tragedi Kali Abang (2015) karya Arifin, bersandar pada riset akademik dalam
kemasan nyaris telanjang. Kualitas pemeran di bawah rata-rata, pengadeganan
seadanya, kemampuan teknis filemis serba tanggung, tak pelak menjadi ciri
khas filem ini bila kita tinjau dari kacamata pakem arus utama. Namun, bisa saja
justru anomali-anomali tersebut yang menjadi pembeda posisi. Dibuat dalam
rangka tugas akhir pemaparan sejarah mengenai benturan dua kelompok tani
lokal di Jawa Tengah pra-Gerakan 1 Oktober 1965, perekaman yang sangat
polos justru mengundang pertanyaan menggelitik: apakah setiap reka ulang
sejarah wajib bertabur bumbu sinematografi dan artistik nan sensasional?
Penguasaan terhadap sumber daya lahan dan alat produksi serta alienasi
salah satu kelompok petani dari akses terhadap hasil produksi, yang menjadi
salah satu tema utama filem ini, dapat dilihat sebagai faktor yang sangat
menggelitik kita untuk mendiskusikannya dalam lingkup Marxisme. Apalagi
ketika invasi militer (tanda-tanda ketakutan?) (McVey, 1990) menampakkan
taring aslinya, represi itu tampil sedemikian nyata serta terasa sangat dekat
dengan realita.
Pada akhirnya, kedalaman riset tampil sebagai jarum kompas penentu
pembacaan ulang peristiwa pencabutan hak hidup secara brutal yang dilakukan
oleh wakil penguasa kala itu kepada mereka yang menerima label musuh
bersama. Di titik ini, mungkin terbentuk guyonan baru: sekumpulan manusia
kampung(an) yang dihabisi atas nama pemilik gunung nan elit.
Di lain pihak, terdapat kesamaan penting lain dari ketiga film dalam kurasi
ini: petunjuk samar akan jejak-jejak kecemburuan ekonomi serta penekanan
terstruktur demi memastikan kaum minoritas tetap merasa inferior tatkala
mereka mulai berpikir untuk mencoba mengubah tatanan sosial politik di
Indonesia. Keuntungan geografis Aceh dengan sumber daya gas alamnya,
serta bakat alamiah etnis minoritas Tionghoa untuk berbisnis, adalah sumber
kedengkian bagi sebagian orang, sementara perebutan kuasa lewat kendali
mutlak atas lumbung-lumbung padi, sesungguhnya, masih menjadi contoh
fakta ironis yang dengan gampang kita temukan di berbagai daerah menjelang
perayaan dua dekade era pascareformasi.
Kesimpulan terutama kuratorial ini adalah pemaparan potensi berkreasi
menggunakan medium filem yang nyaris tak berbatas, baik saat melakukan
rekonstruksi ulang, pembacaan, maupun pemaknaan dengan basis pendekatan
sosiologis, etnografis, serta politis terhadap berbagai catatan pelanggaran
hak asasi di Indonesia. Tiga filem yang diangkat kali ini merepresentasikan
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |233

sisi kreatif yang segar dalam estetika narasi dan bentuk, demi mendobrak
kebuntuan definitif, sembari tetap mempertahankan tendensi kritis guna
merangkum konten peristiwa represi yang terjadi, sesuai tema masing-masing,
dan menyajikannya dalam konteks yang komprehensif dan solid.
Bacaan:

Mayer, S. (2013, September). If I cant dance, its not my revolution!: Tracing the Revolutions
of Maya Derens Dance in Jane Campions In The Cut. The International Journal of
Screendance, 3.
McVey, R. T. (1990, Oktober). Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution.
Indonesia, 50.
Paramaditha, I. (2012). Cinema, Sexuality, and Censorship. Southeast Asian Independent
Cinema.

234 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

SUPPORTED BY ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

HUMAN RIGHTS
REPRESSION, RETOLD
THROUGH CREATIVITY
Jonathan Manullang
We always seem to talk about the definition, redefinition, compromise, friction,
and violation of human rightsboth as a result of pragmatic application
of authoritarian principles or a tug-of-war between conflicting interests in
powerin such a formal and serious setting, inaccessible to most public. This
elitist attitude hinders the collective effort to raise public awareness on human
rights issues, however systematic it is.
Historically, human rights in Indonesia have been deeply abused by several
decades of New Order regime who exerted absolute control over film industry
through pre- and post-production censorship (Paramadhita, 2012). Human
rights issues in Indonesia should serve as a worthy lesson for current and future
generations. Film is one of most effective medium to depict historical trauma
while at the same time quench the aesthetic thirst for fresh, unconventional
ways of telling. To stimulate innovative renditions, it is necessary to find ways
where creativity can unfold and be manifested through audio-visual frame,
critical and also enjoyable at the same time. When was the last time you casually
discuss human rights issues with friends over coffee, after watching a movie?
The three films I pick for this curatorial program are, in essence, represent
all the abstract characteristics mentioned above. First: Kameng Gampang
N yam Keunong Geulawa (1999). This film went into production a year after
the Reformation in 1998, directed by Aryo Danusiri, adopts a local idiom
and tells the story of a common goat who is accused of a mountain goats
wrongdoing as a metaphor to the situation in Aceh during Military Operation
period (1989-1998). The common goat in the film is an analogy to the people
of Kampung Tiro who were arrested, tortured, and brutally murdered in
public, while the mountain goat refers to the agility of GAM, Aceh separatist
movement, who took hiding in the jungles of Aceh. Soehartos hatred toward
Kampung Tiro seemed to have risen from an unrealistic assumption that the
village somehow has historical connection with Hasan Tiro, the man behind
GAM, simply out of a resemblance in the names. The General must have
been absent-minded, in the literal sense of the word. Moreover, Aryo has a
distinct style of interviewing each witness one-on-one about the massacres
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |235

and intimidating interrogations, instead of focusing on a certain characters


life. This way, he presented a more comprehensive understanding on Kampung
Tiros geopolitical and socio-economic situation up to the fall of New Order.
Second: Trip to the Wound (2008). Went into production a decade postReformation, directed by Edwin, it tells the story of a night journey on a bus
ride. The repetitive movement and acceleration of the bus, where the two
characters meet, implies the most ideal place for new infliction of wound.
Passenger #1 is a woman who collects stories behind scars, who enjoys telling
(or is it bluffing?) her long list of someone elses scars, but somehow chooses to
remain silent when she was asked about her own scar. Passenger #2 is a man
with a scar who relentlessly explores her layers of silence. Physical connection,
sensory processing and assumptive notions easily take over our understanding
of wounds. Is it real or illusory? Is it tangible or metaphysical? Is it factual
history of merely foretelling?
In a certain context, the rides repetitive movement holds key. In Maya
Derens Ritual in Transfigured Time (1946), repetitive movement creates
nightmarish impression of a dance, while in Edwins Trip to the Wound it brings
an air of complex hesitancy. Both Maya Derens and Edwins works are similar
in the way they represent female figure. To the legendary female American
filmmaker, female represents life and death (Mayer, 2013). To Edwin, she
denotes contradiction, an overlap, a swift transition from happiness to sadness.
On further observation, one may inevitably think of a certain ethnicity
upon watching the female character in Trip to the Wound. Edwin explored this
scar-related notions and minority issues through repetitive movement in order
to neutralize two key factors: repressed dark memories and the temptation
to resist a private wound from a time not so long ago. Is this a supposition
on sexual abuse toward Chinese women during one of Indonesias darkest
moments before Reformation rose in a blazing light? Or is it merely symbolic
manifestation of female powerlessness under torment and patriarchal culture?
While Kameng Gampong N yang Keunang Geulawa is a traditional parable
to depict collective wound, Trip to the Wound is an existential metaphor. The
last film: Tragedi Kali Abang (2015), directed by Arifin, began as an academic
research. The film is almost naked in its cinematic approach. Substandard
quality of act, unimpressive scenes, and inadequate cinematic technique
make this film distinct from what we usually see in mainstream films. It is an
anomaly, but it may just be the kind of anomaly that distinguishes it from the
rest of the lot. This film was made as a thesis on historical exposition about
two groups of local farmer in Central Java pre-1965 Coupe. Arifins naivety
tickles: does every historical reconstruction require cinematographic adornment
and sensational artistry?
Control over land resource and production tools and access restriction to
produce is the main theme of Arifins work. It is tempting to discuss it within
236 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Marxist concepts. When military invasion strikes blow (signs of fear?) (McVey,
1990), repression appears all too real in the film.
Eventually, depth of research determines how we should assess this
academic work on the brutal repression on those deemed as the public enemy.
It might take on as new joke: a group of retarded people, cut off in the name
of elitist power.
Another similarity of the three works is the subtle hint of economic jealousy
and deliberate emphasis to ensure the minority remains inferior however they
tried to shift the countrys socio-political structure. To some groups of people,
Acehs rich natural gas deposit and the Chineses tenacity in doing business are
secretly resented. Conflicts over paddy storehouses can still easily be found,
ironically, in many regions even today, two decades post-Reformation.
My main conclusion in this curatorial program is how creative potentials
are indeed limitless in film, whether they are reconstructions, observations, or
fresh interpretations with sociological, ethnographical, or political approach
on human rights issues in Indonesia. These selected films represent fresh,
creative force in both narrative and format aesthetics in order to break free from
semantic deadlock, while at the same time maintain their critical tendencies to
condense human rights issues into visuals according to their respective themes,
and present them in a solid, comprehensive context.

Works Cited:

Mayer, S. (September, 2013). If I cant dance, its not my revolution!: Tracing the Revolutions
of Maya Derens Dance in Jane Campions In The Cut. The International Journal of
Screendance, 3.
McVey, R. T. (October, 1990). Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution.
Indonesia, 50.
Paramadhita, I. (2012). Cinema, Sexuality, and Censorship. Southeast Asian Independent
Cinema.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |237

AC 2 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 / 18+

KAMENG GAMPONG NYANG


KEUNONG GEULAWA
Aryo Danusiri (Indonesia)
Country of Production Indonesia
Language Indonesian
Subtitle English
48 minutes, Color, 1999

Kameng Gampong N yang Keunong Geulawa


d apat d is ebut s eba g a i contoh pion i r
dokumenter yang mengangkat isu politik
kontemporer yang sangat kontroversial
t a k l a ma s etel a h O rde Ba r u r u nt u h.
Menggunakan gaya perumpamaan serta
dipresentasikan melalui tak kurang dari 3
puisi lokal demi menjelaskan bermacam
rupa perasaan warga Kampung Tiro selama
era DOM Aceh, rute alternatif yang Aryo
tempuh adalah permulaan jalan bagi generasi
selanjutnya tatkala mencoba merekonstruksi
peristiwa pelanggaran hak asasi secara kreatif
via medium sinema.

Kameng Gampong N yang Keunong Geulawa can


be called a pioneer example of documentaries
that elevate the contemporary political issues
which were controversial shortly after the
collapse of the New Order. Using the parable
style and presented through no fewer than
three local poetry in order to explain such a
variety feelings of Tiro Village residents during
the DOM era in Aceh, an alternative route
which Aryo did is a beginning of the road for
the next generation when trying to reconstruct
the events of human rights violations through
the medium of cinema.

Jonathan Manullang

Aryo Danusiri merupakan salah satu


pembuat filem dokumenter paling
produktif asal Indonesia. Kini, ia
tercatat sebagai anggota Sensory
Ethnography Lab, Harvard University.
Kameng Gampong Nyang Keunong
Geulawa adalah karya dokumenter
perdananya.

238 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Aryo Danusiri is one of the most


productive documentary filmmakers
from Indonesia. Now he is noted as a
member of Sensory Ethnography Lab,
Harvard University. Kameng Gampong
Nyang Keunong Geulawa is his first
documentary film.

AC 2 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 / 18+

TRIP TO THE WOUND


Edwin (Indonesia)
Country of Production Indonesia
Language Indonesian
Subtitle English
6 minutes, Color, 2008

Sebuah imaji yang terlontar secara spontan,


namun menyentuh ranah kekerasan barbar
nan spesifik yang bagi beberapa kalangan
masih tergolong tabu dan absurd hingga hari
ini. Dikonstruksi dalam perjalanan menuju
lokasi syuting Babi Buta Yang Ingin Terbang
(2008), filem pendek ini menunjukkan rasa
ingin tahu yang besar atas eksplorasi estetika
motoris, k inestetis, sampai permainan
repetisi. Tentunya, tanpa emblem-emblem
pesan moral.

The images that came out spontaneously,


but touching the realm of specific barbaric
violence which for some circles it still
considered as taboo and absurd until today.
Constructed on the way to the shooting
location of Babi Buta Yang Ingin Terbang
(2008), this short film shows a great curiosity
on the exploration of motoric and kinesthetic
aesthetics, as well as the game of repetition.
Obviously, without emblems of morals.

Jonathan Manullang

Edwin adalah salah satu sineas


Indonesia terpenting saat ini. Filem
pendeknya, Kara Anak Sebatang
Pohon, masuk seleksi resmi sesi
Directors Fortnight di Cannes Film
Festival tahun 2005. Filem panjang
teranyarnya, Postcard From The Zoo,
berhasil menembus sesi kompetisi
resmi Berlinale 2012.

Edwin is one of the most important


filmmakers from Indonesia. His
short film, Kara Anak Sebatang Pohon,
successfully followed the Directors
Fortnight official selection at Cannes
Film Festival in 2005. His full-lenght
film, Postcard From The Zoo, successfully
followed official competition program
at Berlinale in 2012.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |239

AC 2 / 24 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 / 18+

TRAGEDI KALI ABANG


Arifin (Indonesia)
Country of Production Indonesia
Language Javanese, Indonesian
Subtitle English
34 minutes, Color, 2015

Alih-alih merilis hasil penelitian tugas dalam


bentuk jurnal atau makalah, sekumpulan
ma hasis wa prod i pend id i k a n seja ra h
Universitas Negeri Yogyakarta memilih
filem sebagai media presentasi pemaparan
rekonstruksi mereka terhadap dinamika tarikulur penguasaan lahan di pedesaan Klaten
menjelang kulminasi politik tingkat tinggi
di Jakarta pada tahun 1965, serta bagaimana
dampak kulminasi tersebut merembes dengan
cepat lantas mempengaruhi konstelasi sosial
politik di seantero Jawa Tengah.

Instead of releasing the results of the research


task in the form of a journal or paper, a group of
students of the education department of history,
Universitas Negeri Yogyakarta, chose film as
a media presentation of the reconstruction of
their exposure to the push-pull dynamics of
land tenure in rural Klaten ahead of high-level
political culmination in Jakarta in 1965, and
how its impact seeped quickly and affected
the socio-political constellation throughout
Central Java.

Jonathan Manullang

Arifin adalah mahasiswa program


studi Pendidikan Sejarah, Universitas
Negeri Yogyakarta, angkatan 2011.
Bersama sekitar 40 teman sejurusan,
ia mengerjakan filem Tragedi Kali
Abang sebagai produk akhir tugas
pemaparan sejarah yang menyinggung
persoalan pembantaian terencana
terhadap kelompok terduga komunis
pasca Gerakan 1 Oktober di Klaten,
Jawa Tengah.

240 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Arifin is a student of Universitas


Negeri Yogyakarta majoring Education
of History. Together with his 40 friends
in that college, he made Tragedi Kali
Abang as their assignment, focusing
on the history about murder of a group
accused as communists after Gerakan 1
Oktober in Klaten, Jawa Tengah.

DIDUKUNG OLEH ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

AGEN PELACAK
KALAMPAG1
Shireen Seno & Merv Espina
Dalam catatan kami untuk program ini mengenai asal-usul penamaan, kami
menyamakan kata kalampag dalam bahasa Tagalog dengan suara ledakan atau
letupan, yang biasanya digunakan untuk merujuk mesin atau perangkat mekanik
lain seperti mobil atau kendaraan yang bergerak. Sebuah kalampag menyiratkan
mesin yang rusak. Atau mungkin sesungguhnya tak pernah beroperasi dengan
benar. Namun mesin apa ini yang sedang kita perbincangkan?
Pada 1975, hanya tiga tahun setelah deklarasi Hukum Militer di Filipina,
rezim Marcos menyelenggarakan Thrilla di Manila, pertandingan tinju legendaris
antara Muhammad Ali dan Joe Frazier. Ferdinand Marcos ingin mendapatkan
kejayaan dari penyelenggaraan itu dan memastikan dana yang dibutuhkan
tersedia. Tak semuanya berjalan lancar. Keamanan begitu ketat karena adanya
pembangkangan politik dan perbaikan jalan pagi hari bentrok dengan jam
malam yang ditetapkan militer.
Namun gerakan Marcos memang cemerlang. Masyarakat seluruh dunia
lengket dengan kursi mereka menyaksikan liputan langsung pertandingan itu,
yang dimungkinkan oleh siaran satelit.
Ali menang, dan untuk menghormatinya, bangsa Filipina membangun mal
perbelanjaan komersial pertama, Ali Mall, sebagai tribut untuk kemenangannya.
Tak lama setelah itu, ilusi besar-besaran lain di negara itu sedang dibuat:
proyek filem Francis Ford Coppola yang tak dapat selesai, Apocalypse Now
(1979). Dari 1975 hingga 1977, seluruh proses pengambilan gambar dilakukan
di Filipina yang upah buruhnya murah dan memiliki akses terhadap peralatan
militer Amerika. Dengan mudah, Filipina bisa dibuat terlihat seperti Vietnam.
Ada saat-saat ketika proses pengambilan gambar bisa ditunda atau dibatalkan
karena kru, helikopter, dan peralatan militer dikirim ke Selatan untuk menumpas
[1] The Kalampag Tracking Agency merupakan inisiatif dan program penayangan berkelanjutan yang
menjelajahi gagasan/visi alternatif dalam praktik-praktik gambar bergerak di Filipina. Banyak dari karyakarya yang ada hanya sebagai kenangan, rumor, dan teks pada katalog dan manuskrip yang terlupakan,
bahkan yang baru-baru dalam ini lima tahun terakhir. Barangkali, gambar bergerak, pada kenyataannya,
dapat menjadi saksi ketidakstabilan atau ketiadaan jaminan dari zaman kita, menantang mahastruktur
dan dinamika yang membenarkan karya-karya ini dengan penontonnya, yang mana berbagai tindakan
dari kesaksian, partisipasi dan ingatannya adalah kuncidan untuk beberapa karya, kini hanya bisa
menjadi bentuk keberadaan.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |241

dan mengakhiri pemberontakan yang sebenarnya. Memang di negeri kami


perang masih berkobar. Filem ini kemudian tayang perdana di Cannes sebagai
karya yang sedang dalam proses pengerjaan dan memenangkan Palme DOr.
Bisa dibilang ilusi terbesar Filipina saat itu datang dalam wujud Pusat Filem
Manila yang dibuka, di tengah banyak kontroversi, untuk menjadi lokasi utama
Festival Filem Internasional Manila yang pertama pada 18-29 Januari, 1982.
Tempat ini awalnya dirancang untuk menjadi gedung serbaguna untuk apa
pun yang berhubungan dengan filem, termasuk fasilitas pengarsipan, dengan
UNESCO sebagai konsultan desainnya. Namun, karena segala kontroversi
yang meliputinya, Pusat Filem Manila tidak pernah dimanfaatkan sebagaimana
mestinya. Filipina hanya mempunyai Arsip Filem Nasional, yang mulai berfungsi
secara efektif sejak Oktober, 2011.
Bagi generasi tertentu Filipina, gedung Pusat Filem Manila secara luas
dianggap angker. Menurut cerita, pembangunan gedung dimulai pada awal
1981 dan hanya diberi waktu setahun untuk diselesaikan tepat waktu: Januari,
1982, pembukaan acara Festival Filem Internasional Manila. Pekerjaan ini
membutuhkan sekitar 4000 orang untuk bekerja tiga sif selama 24 jam. Pada
November, 1981, hujan deras mengakibatkan perancah gedung runtuh dan
menewaskan 169 pekerja yang langsung terkubur dalam sejenis semen basah
yang dapat cepat keringsemen itu digunakan sebagai usaha Imelda Marcos
untuk menyelesaikan pembangunan gedung secepat kilat.
Upaya-upaya akbar ini merupakan kemahiran sulapan tangan, usaha untuk
menunjukkan kepada dunia bahwa republik pisang Filipina adalah Mekah-nya
kebudayaan. Ketika semua ini berlangsung, kekejaman tengah terjadi di manamana: perang besar-besaran terhadap pemberontak Muslim dan komunis;
dan beberapa seniman, mahasiswa, dan aktivis yang paling cerdas dan kritis
menghilang tanpa jejak.
Untuk program ini, kami menginginkan hasil karya yang mendetarkan
sistem, setidaknya, untuk sesaat. Banyak program penayangan filem dan proyek
kuratorial yang didasari oleh tema-tema ini. Agen Pelacak Kalampag bertujuan
untuk menjadi fungsional pula; memperlakukan penayangan filem sebagai
metode, proses investigasi yang sedang berlangsung, dan alat yang tak hanya
digunakan untuk mempromosikan karya-karya tersebut, tetapi lebih penting
lagi, juga untuk mempertahankannya.
Kami menggunakan kesempatan yang diberikan oleh festival, pengarsipan,
museum, ruang seni, dan platform lain, yang telah mengundang program kami,
untuk mengakses peralatan yang tak kami punya di Filipina. Dengan demikian,
kami dapat membuat beberapa transfer karya yang lebih baru dan lebih baik.
Terdapat sedikit perbedaan pada setiap program penayangan filem, karena selalu
ada perbaikan sedikit demi sedikit di sana-sini.
Awal-awal penayangan program kami, di Institut Film University of the
Philippines dan Green Papaya Art Projects, merupakan platform diskursif penting.
242 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Beberapa generasi dari seniman dan pembuat filem datang dan bertukar gagasan;
mendiskusikan sejarah, estetika, dan proses. Khususnya untuk karya-karya yang
berusia lebih tua, inilah kesempatan-kesempatan langka untuk membongkar
sejarah yang sesungguhnya. Hal sederhana yang sering disepelekan, seperti
tanggal atau media dan kesalahan pengetikan, dalam program ini disebutkan
dan didiskusikan. Detail-detail tersebut penting dan, kalau tidak begini, tidak
akan diperhatikan orang karena kesalahan demikian telah diterbitkan dan
diterbitkan kembali dalam sedikit dokumentasi yang menyebutkannya.
Pendirian Mowelfound (singkatan dari Movie Workers Welfare Foundation)
pada 1974 dan Pusat Filem Universitas Filipina pada 1976 membantu menyangga
dan membedakan perfileman independen dari industri filem arus utama, namun
kurangnya pengarsipan yang layak terus terjadi. Arsip Filem Nasional baru
didirikan pada 2011, terlambat beberapa dekade. Karya-karya luar biasa telah
benar-benar menjadi cuka dan debu. Hanya pecahan-pecahan kecil yang tersisa,
hampir tidak bisa diakses.
Lokakarya-lokakarya yang diselenggarakan secara gabungan antara
Mowelfund, Badan Informasi Filipina, dan Goethe Institut Manila pada 1980-an
membantu menetaskan orang-orang seperti Lav Diaz, Raymond Red, Roxlee,
dan banyak lainnya. Kami memiliki beberapa karya dari periode ini, khususnya
dari lokakarya pencetakan optik bersama sutradara Jerman, Christoph Janetzko,
yang dilakukan antara 1989 dan 1990: Kalawang (atau Rust, 1989), Bugtong:
Ang Sigaw N g Lalake (atau Riddle: The Shout of Man, 1989), dan Minsan Isang
Panahon (atau Once Upon a Time, 1990). Beberapa materi yang digunakan untuk
karya-karya ini konon berasal dari tempat sampah yang setengah mengapung
di sungai yang terletak di luar salah satu studio filem besar.
Menggunakan sampah industri komersial dan menjadikannya karya seni
adalah proses yang berulang dalam program ini. Class Picture (2012) karya Tito
& Tita dibidik pada rol filem yang telah kedaluwarsa dan ujung-ujung rol filem.
Pada Chop-chopped First Lady + Chop-Chopped First Daughter (2005), Yason Banal
memadukan YouTube dan potongan gambar-gambar brutal dengan teknik layar
terpisah (split screen), menggabungkan rekaman berita tentang usaha pembunuhan
Ibu Negara Imelda Marcos yang gagal, yang direkam dan disiarkan langsung
di televisi pada 1972, dan menjajarkannya dengan rekaman filem sadis tahun
1974 yang didanai sebagian besar oleh Kris Aquino, anak perempuan pertama
presiden pengganti Marcos, Cory Aquino.
Teknik Roxlee yang kasar namun memukauanimasi yang digambar tangan,
lukisan pada filem, found footage, dan kolase membuahkan pandangan baru yang
cerdas dan kuat tentang alfabet dalam ABCD (1985). Filem Raya Martin yang
berdurasi semenit, Ars Colonia (2011), direkam dalam Hi8, dibesarkan hingga
35mm, dan diwarnai dengan tangan kemudian dengan salinan penayangan baik
dalam 35mm dan video HD, memanfaatkan migrasi data dan berkurangnya
kualitas gambar sehingga menambahkan lapisan-lapisan tekstur dan makna baru
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |243

dari tiap konversi; sebuah parodi halus tentang keindahan tak putus-putus dari
majikan kolonial dan citranya.
Program ini juga mengunjukkan dokumenter sebagai esai, parodi, catatan
harian, eksperimen, dan kritik. Sebuah sosok putih bak hantu merayap melintasi
kota/layar dalam Juan Gapang karya Roxlee (1986). Inilah sebuah dokumentasi
performatif mengenai Manila yang berujung di Pusat Filem Manila dengan
matahari tenggelam di Teluk Manila yang tersohor. Anito (2012) karya Martha
Atienza adalah dokumenter yang sangat stilistik tentang festival rakyat yang
cukup eksotis di kampung halaman sang seniman di Pulau Bantayan, Cebu.
Filem ini memuaskan hasrat sekaligus mempertanyakan ekspektasi penonton.
DROGA! (2014) karya Miko Revereza mengangkat ujung lain dari sesuatu
yang eksotis, dengan mendokumentasikan bentang kota Los Angeles dan
kehidupan keluarga seniman serta imigran Filipina yang lain; menciptakan
persilangan baru antara budaya pop Amerika dan tradisi Filipina. Karya Tad
Ermitao, The Retrochronological Transfer of Information (1994), merupakan
sebuah eksperimen konseptual sekaligus lelucon pelik yang proses dan hasilnya
mempersoalkan kausalitas, fakta, dan objektivitas dalam gagasan-gagasan
tradisional ilmu pengetahuan dan sejarah. Lalu ada pula dokumentasi yang
mentah nan tampak sederhana, Very Specific Things at Night (2011) karya John
Torres, juga Hindi sa Atin ang Buwan (atau The Moon is Not Ours, 2011) oleh
John Lazam, di mana humor, emosi, dan ketakjuban diejawantahkan dalam
bentuk dan penyuntingan, yang juga sangat menyiratkan kekuatan judulnya
sebagai teks dan peta yang penting untuk menguak kartografi karya-karya
yang puitis dan abstrak ini.
Penting untuk dicatat bahwa karya-karya Tito & Tita, Yason Banal,
dan Martha Atienza juga telah muncul sebagai instalasi di galeri-galeri
seni komersial dan ruang-ruang yang terkait dengan itu. Hal ini sepertinya
menandakan cairnya bentuk dan pameran dalam praktik hari ini, tak seperti
karya-karya program ini yang lebih tua yang dimaksudkan dan ditujukan
hanya untuk sinema.
Sayangnya, masih ada praanggapan soal keiistimewaan durasi panjang,
ledakan yang lebih besar, dan pernyataan yang lebih hebat, serta perhatian pada
filem selayaknya novel atau epos alih-alih filem sebagai cerpen atau puisi. Inilah
sebabnya mengapa tidak ada yang tahu di mana filem-filem yang ditayangkan
dalam Festival Filem Pendek Nasional di Manila pada 1964 dapat ditemukan,
sementara filem-filem panjang dari periode ini masih kita miliki. Namun,
sebelum bertanya bagaimana ledakan-ledakan kecil eksentrik dari praktik
gambar bergerak ini dapat menantang dominasi sinema populer dan narasi
nasional, kita harus menyelidiki, melestarikan, dan mengedarkan ledakanledakan itu lebih dulu. Hanya dengan demikian kita dapat menggambar ulang
petanya dan melihat bagaimana karya-karya ini berkontribusi bagi wacana
kritis yang lebih besar.
244 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

SUPPORTED BY ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

THE KALAMPAG
TRACKING AGENCY1
Shireen Seno & Merv Espina
In our notes for the program regarding how the name came about, we likened
the Tagalog word kalampag to a rattling sound or a bang, usually used in
reference to machines and other mechanical devices such as a car or other
moving vehicle. A kalampag implies that the machinery is somehow damaged.
Or perhaps it never really ran smoothly. But what is this machinery we speak of?
In 1975, only three years after the declaration of Martial Law in the
Philippines, the Marcos regime orchestrated Thrilla in Manila, the legendary
boxing match between Muhammad Ali and Joe Frazier. Ferdinand Marcos
wanted the glory that would come from presiding over the bout and saw to it
that the necessary funds were made available. Not everything went smoothly.
Security was tight because of insurgent political activity and early-morning
roadwork conflicted with an overnight military curfew.
But Marcoss move was brilliant. People all over the world were glued
to their seats watching live televised coverage of the fight, made possible by
satellite broadcasting.
Ali won, and in his honor, the Philippines built the first multi-level
commercial shopping mall, Ali Mall, as a tribute to his victory.
Soon after, another grand illusion in the country was under way: Francis
Ford Coppolas Sisyphean film project, Apocalypse Now (1979). From 1975
to 1977, the film was shot entirely in the Philippines, with its cheap labor
and ready access to American military equipment, as an easy stand-in for
Vietnam. There were times when shoots would be delayed or cancelled because
crew, helicopters, and equipment were sent off to shoot and quell actual rebel
insurgents in the south. A war was still being waged in our archipelago after

[1] The Kalampag Tracking Agency is an ongoing initiative and screening program exploring alternative
notions/visions in moving image practice from the Philippines. Many of the works only exist as
memories, rumors, and text on forgotten catalogs and manuscripts, even those as recent as five years ago.
Perhaps the moving image can in fact bear witness to the instability/precarity of our times, challenging
the very structures and dynamics that constitute these works with its audience, whose various acts of
witnessing, participation and remembrance is keyand for some works, could now only be its only form
of existence.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |245

all. The film premiered two years later in Cannes as a work in progress and
won the Palme DOr.
Arguably the greatest illusion of the time came in the form of the Manila
Film Center, which opened, to much controversy, to serve as main venue of
the inaugural Manila International Film Festival on January 1829, 1982.
It was originally designed to be a one-stop shop for anything film-related,
including a film archiving facility, with UNESCO as consultant in its design.
But because of the controversies surrounding it, the Manila Film Center
was never fully utilized. The Philippines only had a National Film Archive,
effectively, by October 2011.
To certain generations of Filipinos, the Manila Film Center, widely claimed
to be haunted, is the stuff of legend. And as legend has it, construction of the
building started in early 1981 and had just a year to be finished to meet the
deadline: the January 1982 opening of the Manila International Film Festival.
This required around 4000 laborers to work three shifts across 24 hours. In
November 1981, heavy rains caused the scaffolding to collapse, killing 169
workers, who, in Imelda Marcos hurried attempt to finish the construction of
the building, were instantly buried under quick-drying wet cement.
These grand gestures were sleight of hand tactics, an attempt to show the
world that the banana republic of the Philippines was a cultural mecca. As all
this was happening, atrocities were happening left and right: an all-out war
on Muslim and communist insurgencies and some of the brightest and most
critical artists, students and activists disappeared without a trace.
For this program, we wanted a body of works that rattled the system at
least for a brief moment in time. Many screening programs and curatorial
projects are based on themes. The Kalampag Tracking Agency aims to be
functional as well; it treats the screening program as a method, an ongoing
process of investigation and a means to not just promote these works, but more
importantly, to preserve them as well.
We use the opportunities provided by festivals, archives, museums, art
spaces and other platforms that have invited the screening program to access
equipment that we dont have in the Philippines. In this way, we have been able
to make newer and better transfers of several works. Each screening is slightly
different, as there are always slight improvements here and there.
The first times we screened the program, at the University of the Philippines
Film Institute and Green Papaya Art Projects, were important discursive
platforms. Several generations of artists and filmmakers attended and exchanged
ideas, talking history, aesthetics and process. For the older works especially,
these were rare opportunities to illuminate actual histories. Simple things
people take for granted, such as date or medium and other such clerical errors,
were pointed out. These details are important and would have otherwise gone
246 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

unnoticed for such errors have been published and republished in what little
actual documentation they were mentioned in.
The founding of Mowelfund (short for Movie Workers Welfare Foundation)
in 1974 and the University of the Philippines Film Center in 1976 did help
sustain and distance independent cinema from the mainstream film industry,
but there has been a continued lack of a decent archive. The National Film
Archive was only established in 2011, several decades too late. Groundbreaking
works have literally turned into vinegar and dust. Only a small fraction remains
and is barely accessible.
Mowelfund, Philippine Information Agency, and Goethe Institut Manilas
highly inf luential jointly-organized film workshops in the 1980s helped
incubate the likes of Lav Diaz, Raymond Red, Roxlee, and many others. We
have several works from this period, particularly from German filmmaker
Christoph Janetzkos optical printing workshops conducted between 1989 and
1990: Kalawang (or Rust, 1989), Bugtong: Ang Sigaw N g Lalake (or Riddle:
The Shout of Man, 1989), and Minsan Isang Panahon (or Once Upon a Time,
1990). Some of the materials used for these works were reportedly sourced from
a trash dump half submerged in a creek outside one of the major film studios.
Using the debris of the commercial industry and turning it into art is a
recurring process in the program. Tito & Titas Class Picture (2012) was shot
on expired rolls and short ends that would have been otherwise been destined
for the trash bin. In Chop-chopped First Lady + Chop-Chopped First Daughter
(2005), Yason Banal melds Youtube and crass cinema through split screen,
combining newsreel film footage of the failed assassination attempt on the life
of the First Lady Imelda Marcos as captured and broadcast live on television
in 1972 and juxtaposing it with footage from a gory 1974 popular film topbilled by Kris Aquino, the First Daughter to Marcos successor, Cory Aquino.
Roxlees crude yet compelling techniqueshand-drawn animation, painting
on film, found footage, and collage, make for a witty, powerful new take on the
alphabet in ABCD (1985). Raya Martins minute-long Ars Colonia (2011), shot
on Hi8, blown up to 35mm and hand-colored, then with screening copies in
both 35mm and HD video, utilizes generation loss and data migration, adding
new layers of texture and meaning from each conversion, a subtle parody on
the unrelenting beauty of the colonial master and his image.
The program also showcases documentary as essay, parody, diary, experiment
and critique. A ghostly absurd white figure crawls across the city/screen in Roxlees
Juan Gapang (1986), a performative document of Manila, culminating at the
Manila Film Center itself and the famed Manila Bay sunset. Martha Atienzas
Anito (2012) is a highly stylized document of the already quite exotic folk festival
in the artists hometown in Bantayan Island, Cebu, indulging yet at the same
time questioning viewers expectations. Miko Reverezas DROGA! (2014)
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |247

takes the other end of the exotic, documenting the Los Angeles cityscape and
the lives of the artists family and other Filipino immigrants, and creating new
intersections of American pop culture and Filipino traditions. Tad Ermitaos
The Retrochronological Transfer of Information (1994) was simultaneously
a conceptual experiment and an elaborate joke whose process and output
questioned causality, fact, and objectivity in the traditional notions of science
and history. Then theres the crude and yet deceptively simple documentation
in John Torres Very Specific Things at Night (2011) and Jon Lazams hindi sa
atin nag buwan (or the moon is not ours, 2011), where humor, emotion and a
sense of wonder is exercised in form and editing, yet also strongly suggesting
the power of the title as essential text and map to chart the cartographies of
these abstract and poetic works.
Its important to note that the works of Tito & Tita, Yason Banal, and
Martha Atienza have also appeared as installations in commercial art galleries
and related spaces, perhaps indicating a fluidity of form and exhibition in current
practice, as opposed to the older works in the program that were intentionally
designed solely for the cinema.
Unfortunately, there is still a preferred bias for length, for bigger bangs
and grander statements, and more attention for the film as akin to the novel
or epic over the film as short story or poem. This is why no one knows where
films showcased in Manilas first National Festival of Short Films in 1964 can
be found, yet we still have feature films from this period. But before asking
how these small, eccentric bangs of moving image practice can challenge the
dominance of popular cinema and the national narrative, we have to investigate,
preserve and circulate them first. Only then can we re-draw the map and see
how these works contribute to a larger critical discourse.

248 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

AC 1 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 19.30 / 18+

DROGA!
Miko Revereza (USA)
Country of Production USA
Language Filipino
Subtitle English
7 minutes, B/W, 2014

Sebua h k a r ya dok umenter w isata,


menggunakan Super 8 film, tentang lanskap
Los Angeles melalui kacamata imigran
Filipina, memeriksa identitas budaya dengan
mendokumentasikan persimpangan budaya
pop Amerika dan tradisi Filipina.

A Super 8 tourist film about the Los Angeles


landscape through the lens of Filipino
immigrants, examining cultural identity by
documenting the intersections of American
pop culture and Filipino traditions.

Merv Espina & Shireen Seno

Miko Revereza lahir di Manila


dan besar di San Francisco. Sejak
perpindahannya ke Los Angeles tahun
2010, dia berkarya di bidang musik
dan instalasi seni video di medan
musik eksperimental L.A. Filmfilmnya mengeksplorasi identitas dan
Amerikanisasi atas imigran Filipina.

Miko Revereza was born in Manila


and grew up in the San Francisco bay
area. Since relocating to Los Angeles in
2010, hes worked primarily on music
videos and live video art installations
for L.A.s experimental music scene.
His personal films explore identity and
the Americanization of the Filipino
immigrant.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |249

AC 1 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 19.30 / 18+

MINSAN ISANG PANAHON


/ ONCE UPON A TIME
Melchor Bacani III (Philippines)
Country of Production Philippines
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
4 minutes, Color, 1990

Sebuah eksperimen pada cetak optikal


menggunakan Super 8 dan material temuan
dari filem diwarnai dengan tangan. Filem ini
dibuat selama lokakarya Christoph Janetzko
tahun 1989 dan 1990, dalam kolaborasi antara
Mowelfund Film Institute, Goethe Institut
dan Philippine Information Agency.

An experiment in optical printing using Super


8 home movies and hand-colored found film
material. The film was created during the
influential Christoph Janetzko workshops,
conducted in 1989 and 1990, in collaboration
with Mowelfund Film Institute, Goethe Institut
and the Philippine Information Agency.

Merv Espina & Shireen Seno

Melchor Bacani III was an active


staple of the Mowelfund Film Institute
(MFI) film workshops in the late 80s
and early 90s, creating several films in
the process.

250 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Melchor Bacan III merupakan


pengkarya aktif di lokakarya filem
oleh Mowelfund Film Institute (MFI)
di penghujung era 80-an dan 90-an,
membuat beberapa filem.

AC 1 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 19.30 / 18+

ABCD
Roxlee (Philippines)
Country of Production Philippines
Language Filipino
Subtitle English
5 minutes, Color, 1985

Sebuah animasi eksperimental, disengaja


terkesan mentah pendekatannya, menyibak
tafsiran sosio-politik dan imajinasi surealis,
menganjurkan penerimaan personal dan
baru atas alfabet.

An experimental animation, decidedly crude


in approach, part socio-political commentary
and surrealist whimsy, advocating for a new
and personal take on the alphabet.

Merv Espina & Shireen Seno

Roxlee merupakan ikon sinema


underground Filipina. Selain membuat
animasi dan kolase filem, ia juga
merupakan seorang seniman komik
yang dikenal atas karyanya Cesar
Asar dan Santingwar. Penghujung
era 80-an, diselenggarakan
restropektif tentangnya di Hamburg
dan Berlin. Tahun 2010, ia menerima
penghargaan Lifetime Achievement
Award dari Animation Council of the
Philipines.

Roxlee is an icon of underground


Philippine cinema. Apart from making
animated and collage films, he is also
a comic-strip artist known for Cesar
Asar and Santingwar. In the late
80s, he was featured in retrospectives
in Hamburg and Berlin. In 2010, he
received the Lifetime Achievement
Award from the Animation Council of
the Philippines.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |251

AC 1 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 19.30 / 18+

BUGTONG: ANG SIGAW NI LALAKE /


RIDDLE: SHOUT OF MAN
RJ Leyran (Philippines)
Country of Production Philippines
Language Filipino
Subtitle English
3 minutes, Color, 1989

Dikabarkan telah menggunakan rekaman


yang selamat dari tempat sampah, milik
sebuah studio komersial, filem ini menjadi
semacam komentar tentang Filipina di
layar budaya maskulin, dan salah satu karya
langka yang masih selamat di sepanjang karir
pembuatan filem oleh Ramon RJ Leyran.
Ini adalah produk dari lokakarya f ilem
Christoph Janetzko nan lalu, dengan fokus
pada percobaan dengan mesin cetak optikal,
yang diselenggarakan pada tahun 1990.

Rumoured to have used footage salvaged from


a commercial studio dumpster, the film is a
commentary on Filipino on-screen macho
culture and one of the rare surviving works in the
brief filmmaking career of Ramon RJ Leyran.
It was a product of the last Christoph Janetzko
film workshop, with a focus on experiments
with optical printers, held in 1990.

Merv Espina & Shireen Seno

RJ Leyran adalah anggota aktif


komunitas filem di era 80-an dan
90-an. Dia juga seorang aktor untuk
beberapa opera sabun televisi, iklan,
dan filem, di antaranya Radio (2001),
Ikaw Lamang Hanggang Ngayon (2002),
dan The Great Raid (2005).

252 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

RJ Leyran was active on and off


screen in the late 80s and early 90s
independent film communities. He
was also an actor in several television
soap operas, commercials, and movies,
including Radio (2001), Ikaw Lamang
Hanggang Ngayon (2002) and The Great
Raid (2005).

AC 1 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 19.30 / 18+

JUAN GAPANG / JOHNNY CRAWL


Roxlee (Philippines)
Country of Production Philippines
Language Filipino
Subtitle English
7 minutes, Color, 1986

Seorang pria mencari takdirnya sementara


merangkak di jalan-jalan metropolis pada
puncak kediktatoran Marcos, melintasi jalan
raya utama EDSA, dan menelusuri bayangbayang pilar Manila Film Center. Semua itu
terjadi sebelum Revolusi EDSA dan badai
massa yang menggulingkan rezim Marcos.

A man searches for his destiny while crawling


the streets of the metropolis at the height of
the Marcos dictatorship, traversing the main
EDSA thoroughfare, and tracing the shadows
of the pillars of the Manila Film Center,
all just before the People Power Revolution
and the storming of EDSA that toppled the
Marcos regime.

Merv Espina & Shireen Seno

Roxlee merupakan ikon sinema


underground Filipina. Selain membuat
animasi dan kolase filem, ia juga
merupakan seorang seniman komik
yang dikenal atas karyanya Cesar
Asar dan Santingwar. Penghujung
era 80-an, diselenggarakan
restropektif tentangnya di Hamburg
dan Berlin. Tahun 2010, ia menerima
penghargaan Lifetime Achievement
Award dari Animation Council of the
Philipines.

Roxlee is an icon of underground


Philippine cinema. Apart from making
animated and collage films, he is also
a comic-strip artist known for Cesar
Asar and Santingwar. In the late
80s, he was featured in retrospectives
in Hamburg and Berlin. In 2010, he
received the Lifetime Achievement
Award from the Animation Council of
the Philippines.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |253

AC 1 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 19.30 / 18+

VERY SPECIFIC THINGS AT NIGHT


John Torres (Philippines)
Country of Production Philippines
Language Filipino
Subtitle English
4 minutes, Color, 2011

Sebuah filem menggunakan ponsel yang


men a n gk ap k ete g a n g a n a neh a nt a r a
keindahan, kekerasan, dan kegembiraan
baku pada Malam Tahun Baru di Manila.
Bidikan terhadap Mahiyain Street (Shy
Street), Sikatuna, sepelemparan batu dari
rumah Chavit Singson, yang juga memimpin
massa untuk membawa paksa Presiden
Estrada kala itu dari istana kepresidenan.

A mobile phone film that captures the peculiar


tension between the beauty, violence, and raw
exuberance of New Years Eve in Manila. Shot
on Mahiyain Street (Shy Street), Sikatuna, a
stones throw away from the house of Chavit
Singson, who also led the masses to bring thenPresident Estrada out of the presidential palace.

Merv Espina & Shireen Seno

Seorang penyair di antara pembuat


filem Filipina yang bekerja di luar
industri filem komersial, John Torres
telah mengembangkan pengetahuan
sinematik istimewa, sering kali
menggunakan teks-teks on-screen
maupun off-screen, termasuk puisi dari
pengarang lokal. Citra dan struktur
filem-filemnya tidaklah prosaik, tetapi
terfragmentasi sekaligus bersifat
asosiatif.

254 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

A poet among Filipino filmmakers


who work outside the commercial film
industry, John Torres has developed an
idiosyncratic cinematic syntax, often
using on- or off-screen spoken texts,
including the poetry of local authors.
The imagery and structure of his films
are not prosaic, but associative and
fragmented.

AC 1 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 19.30 / 18+

CHOP-CHOPPED FIRST LADY +


CHOP-CHOPPED FIRST DAUGHTER
Yason Banal (Philippines)
Country of Production Philippines
Language Filipino
Subtitle English
1min, Color, 2005

Satu candaan menyodok budaya kita sendiri


dan sejarah yang baru saja terjadi. The First
Lady, ta k la in ada la h Imelda Ma rcos,
sedangkan The First Daughter, tak lain adalah
Kris Aquino. Kehidupan dan kelakar dari
kedua perempuan tersebut berjukstaposisi
deng a n pemba ngk ita n berda ra h da r i
pembunuh-pembunuh perempuan yang
dieksploitasi oleh filem-filem pengkritik
era 90-an yang mana Aquino sendiri
membintanginya.
*Ini adalah bagian dari karya instalasi video dua kanal
yang dipamerkan di Ateneo Art Gallery (AAG), dan
diformat ulang menjadi layar terpisah untuk tujuan
program tayangan, dengan izin seniman dan AAG.

A tongue-in-cheek poke at our own culture


and recent history. The First Lady is none
ot her t ha n Imelda Ma rcos, t he F i rst
Daughter none other than Kris Aquino.
Both womens lives and antics juxtaposed
with gory evocations of the highly-publicized
chop-chop lady murders that were exploited
by those 90s slasher films Aquino herself
starred in.
*This was piece was last shown as a 2-channel video
installation at the Ateneo Art Gallery (AAG), and
is reformatted as split screen for the purposes of this
screening program, with kind permission from the
artist and AAG.

Merv Espina & Shireen Seno

Yason Banal studied Film at the


University of the Philippines and Fine
Art at Goldsmiths College-University
of London. He has exhibited widely in
Manila and abroad at the Tate, Frieze
Art Fair, Guangzhou Triennale, Yerba
Buena Center for the Arts, AIT Tokyo,
Singapore Biennale, Oslo Kunsthall,
Christies, IFA Berlin, Shanghai
Biennale and Queens Museum of Art.

Yason Banal belajar filem di


Universitas Filipina, dan seni di
Goldsmiths College, University
London. Dia terlibat perhelatan
pameran di Manila, dan untuk skala
internasional, seperti di Tate, Fireze
Art Fair, Guangzhou Triennale, Yerba
Buena Center ofr the Arts, AIT Tokyo,
Singapore Biennale, Oslo Kunsthall,
Chirsties, IFA Berlin, Shanghai
Biennale, dan Queens Museum of Art.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |255

AC 1 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 19.30 / 18+

THE RETROCHRONOLOGICAL
TRANSFER OF INFORMATION
Tad Ermitao (Philippines)
Country of Production Philippines
Language Filipino
Subtitle English
9 minutes, Color, 1994

K u r a n g s e b a g a i s e bu a h dok u me nte r
ketimbang sebagai sebuah parodi kasar nan
menganggumkan dari filem sains-fiksi. Satu
meditasi humor atas waktu, politik, dan
sudut pandang dalam sinema. Berharap
mengirim sebuah pesan ke belakang dengan
memperalati kamera untuk membidik potret
Rizal pada uang Filipina, Ermitao bermain
pada batas-batas sudut pandang berbeda:
sudut pandang Rizal, kamera, pembuat filem,
dan kitaserta dengan hubungan temporal
di antaranya.

Less a documentary than a marvelous irreverent


parody of science fiction films. A humorous
meditation on time, politics, and point of view
in cinema. Hoping to send a message back in
time by equipping the camera to shoot through
Rizals portrait on Philippine money, Ermitao
plays with the boundaries of different points
of view: Rizals, that of Philippine politics, the
cameras, the filmmakers, and oursas well
as with the temporal relations between them.

Merv Espina & Shireen Seno

Tad Ermitao belajar biologi di


Universitas Hiroshima, filsafat di
Universitas Filipina, serta filem dan
video di MFI. Dia merupakan cofounder dari Children of Cathode Ray.

256 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Tad Ermitao studied biology at the


University of Hiroshima, philosophy
at the University of the Philippines,
trained in film and video at MFI,
and was co-founder of pioneering
multimedia collective Children of
Cathode Ray.

AC 1 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 19.30 / 18+

ARS COLONIA
Raya Martin (Philippines)
Country of Production Philippines
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
1 minute, Color, 2011

Seorang penakluk menghitung berkat-Nya di


patung tangan berwarna yang menimbulkan
kesan tua, ikonograf i perang nan diam.
Dikomisi oleh International Film Festival
Rotterdam pada 2011, filem ini tayang di
hadapan semua filem yang didukung oleh
Hubert Bals Fund IFFR.

A conquistador counts his blessings in this


hand-colored eff igy evoking old, silent
war iconography. Commissioned by the
International Film Festival Rotterdam in
2011, it screened before all films supported
by IFFRs Hubert Bals Fund.

Merv Espina & Shireen Seno

Raya Martin memiliki lebih dari


selusin filem untuk kreditnya: ambisius,
terus mengembangkan karyanya di
seputaran fitur fiksi, dokumenter,
dan instalasi. Martin mengacu pada
beragam sumbermenggabungkan
referensi budaya pop, bahan-bahan
arsip, dan ide strukturalisme avant
ke dalam karya radikal lirisnya.
Pembuat filem berani dan gelisah ini,
dengan sensibilitas yang ia punya,
menunjukkan cara yang sama sekali
baru dalam mendekati filem, personawi
dan sejarah nasional.

Raya Martin has more than a dozen films


to his credit: an ambitious, constantly
evolving body of work consisting of fiction
features, documentaries, shorts, and
installations. Martin draws on a wide
array of sourcescombining pop culture
references, archival material, and avantgarde structuralismin his radically
lyrical works. This daring, restless
filmmaker with a sensibility all his own
suggests entirely new ways of approaching
film, personal, and national history.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |257

AC 1 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 19.30 / 18+

CLASS PICTURE
Tito & Tita (Philippines)
Country of Production Philippines
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
4 minutes, Color, 2012

Bid i k a n pad a g u lu ng a n f i lem 16m m


kadaluarsa, f ilem fotograf i ini
membangk itk an kenangan puda r dan
menyuntikkan lirisisme dan humor ke dalam
gambar kelas arketip, di samping suara sekilas
dari ombak yang menerpa di pantai.

Shot on a single roll of expired 16mm film, this


photography film evokes faded memories and
injects lyricism and humor into the archetypal
class picture, alongside the fleeting sound of
waves crashing on a beach.

Merv Espina & Shireen Seno

Tito & Tita merupakan sekolompok


seniman muda yang berkarya dengan
filem dan fotografi menggunakan
beragam teknik eksperimental.
Sebagai pembuat filem individual,
karya-karya mereka telah ditampilkan
di beragam festival dan pameran seni.
Sebagai sebuah kolektif, mereka telah
berpameran di Manila, Singapura,
dan Tokyo.
258 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Tito & Tita (Manila, Philippines) is


a collective of young artists working
mainly with film and photography via
a variation of experimental techniques.
As individual filmmakers, their works
have been featured in various film
festivals and art fairs. As a collective,
they have exhibited in Manila,
Singapore, and Tokyo.

AC 1 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 19.30 / 18+

ANITO
Martha Atienza (The Netherlands/Philippines)
Country of Production Netherlands/Philippines
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
8 minutes, Color, 2012

Festival animisme yang dikristenisasi dan


dimasukkan ke dalam Folk Catholicism
perlahan berubah menjadi kegilaan modern.
Sebuah potret tragikomik dari kota pulau
kecil yang hidupnya berakar dalam dan
terikat ke laut.

An animistic festival Christianized and


incorporated into Folk Catholicism slowly
turns into modern day madness. A tragicomic
por trait of a sma l l island tow n whose
livelihood is deeply rooted in and bound
to the sea.

Merv Espina & Shireen Seno

Martha Atienza tinggal dan bekerja di


Belanda dan Filipina. Karya-karyanya
sangat sosiologis, merefleksikan
observasi tajam pada lingkungannya.
Atienza memahami sekitarnya sebagai
sebuah lanskap orang-orang, pertama
dan utama.

Martha Atienza lives and works in


the Netherlands and the Philippines.
Her works are sociological in nature,
reflecting a keen observation of
her direct environment. Atienza
understands her surroundings as a
landscape of people first and foremost.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |259

AC 1 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 19.30 / 18+

HINDI SA ATIN ANG BUWAN /


THE MOON IS NOT OURS
Jon Lazam (Philippines)
Country of Production Philippines
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
3 minutes, B/W, 2011

Cuplikan wisata dari liburan keluarga di


pulau Bohol, Filipina, ditangkap dalam
warna hitam dan putih, tanpa suara, pada
kamera video, di bagian kontemplatifnya
pada kehilangan cinta, jarak, pengunduran
diri dan kesedihan.

Travel footage from a family holiday on the


island of Bohol, Philippines, is captured in
black and white, without sound, on a basic
video camera, in this contemplative piece on
lost love, distance, resignation and sadness.

Merv Espina & Shireen Seno

Jon Lazam merupakan pembuat filem


eksperimental berbasis di Manila.
Karyanya telah ditayangkan, antara lain
di Chicago, Rio de Jenairo, Montreal,
Paris dan San Francisco. Karya
terbarunya, Pantomime For Figures
Shrouded By Waves, tayang premier
di Sharjah Biennial, dan memenangi
Best Short Film pada Cinemanila
International Film Festival.
260 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Jon Lazam is an experimental


filmmaker based in Manila. His works
have screened abroad in Chicago,
Rio de Janeiro, Montreal, Paris and
San Francisco. His most recent work,
Pantomime For Figures Shrouded
By Waves, premiered at the Sharjah
Biennial, and won Best Short Film at the
Cinemanila International Film Festival.

AC 1 / 23 AUGUST, KINEFORUM, 19.30 / 18+

KALAWANG / RUST
Cesar Hernando, Eli Guieb III
& Jimbo Albanoa (Philippines)
Country of Production Philippines
Language No Dialogue
Subtitle No Subtitle
6 minutes, Color, 1989

Sebagai salah satu filem yang paling menonjol


dan disusun dengan baik, hasil dari lokakarya
filem Christoph Janetzko, Kalawang adalah
bagian satir yang menggunakan found footage
dari perang, seks, dan budaya pop untuk
membongkar budaya dan libidinal kompleks
dari penjajahan.

One of the most prominent and well-crafted


f ilms that emerged from the Christoph
Janetzko experimental f ilm workshops,
Kalawang is a satirical piece that uses
found footage of war, sex, and pop culture
to unpick the cultural and libidinal complex
of colonization.

Merv Espina & Shireen Seno

Cesar Hernando adalah seorang


pembuat filem dan salah satu desainer
produksi sinema terbaik di Filipina,
telah berkontribusi dalam filem
Mike De Leon, Ishmael Bernal dan
Lav Diaz. Eli Guieb III merupakan
pembuat filem dan penulis fiksi. Jimbo
Albano adalah seorang seninam dan
ilustrator di BusinessMirror dan
Majalah Grafis Filipina.

Cesar Hernando is a filmmaker


and one of Philippine cinemas
best production designers, having
contributed to films of Mike De Leon,
Ishmael Bernal, and Lav Diaz. Eli
Guieb III is a filmmaker and awardwinning fiction writer. Jimbo Albano
is an artist and editorial illustrator
for BusinessMirror and Philippines
Graphic Magazine.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |261

CINEMA CULTURE IN EXHIBITION #2

JAJAHAN GAMBAR
BERGERAK: ANTARA
FAKTA DAN FIKSI
Mahardika Yudha

Pada tanggal 30 November, 1900, harian Bintang Betawi memuat


pengumuman dari perusahaan Nederlandsche Bioskop Maatschappij, bahwa
sedikit hari lagi perusahaan ini akan memperlihatkan tontonan amat bagus,
yaitu gambar-gambar idoep dari banyak hal yang belum lama terjadi di
Eropa dan Afrika Selatan. Juga disebutkan gambar Sri Baginda Maharatu
Belanda [Wilhelmina] bersama Yang Mulia Hertog Hendrik ketika
memasuki Kota Den Haag. Pertunjukan ini akan berlangsung di sebuah
rumah yang berada di sebelah toko mobil Maatschappij Fuchs di Tanah
Abang. Inilah iklan pertama tentang film di Indonesia.

Kutipan di atas diambil dari buku Film Indonesia Bagian I (1900-1950) yang
ditulis oleh Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, dan S.M. Ardan. Buku ini
diterbitkan tahun 1993 oleh Dewan Film Nasional dan disunting oleh Salim
Said. Sejak 1 Agustus, 1988, proyek penulisan buku sejarah filem Indonesia ini
dilakukan dengan dua penulis utama: Misbach Yusa Biran menulis sejarah filem
di masa kolonial Belanda hingga masuknya tentara Jepang, sedangkan S.M.
Ardan menulis untuk masa pendudukan Jepang dan tahun-tahun permulaan
Republik Indonesia (Sani, 1993). Kutipan paragraf di atas menjadi rujukan
masuknya teknologi sinema di Indonesia selama ini. Baik yang dipakai dalam
penelitianterutama penulisan ilmiahdan penulisan tentang perkembangan
sinema di Indonesia, baik oleh penulis dari Indonesia maupun luar negeri.
Iklan yang dimuat harian Bintang Betawi pada 30 November, 1900, itu
mengabarkan, bahwa pada tanggal 5 Desember, 1900, akan diselenggarakan
sebuah Pertoendjoekan Besar Jang Pertama. Pada iklan itu, terdapat informasi
yang menunjukkan bagaimana teknologi sinema hadir di Indonesia melalui
representasi negara (Pemerintah Kolonial Belanda) yang diwakili oleh Ratu
Wilhelmina dan Raja Hertog Hendrik. Tidak ada berita mengenai peristiwa
ini pada hari-hari selanjutnya yang menjelaskan lebih jauh tentang filem yang
ditayangkan itu. Dalam katalog online Eye (dahulu dikenal sebagai Filmmuseum
262 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH HIVOS

Amsterdam), sedikitnya terdapat 37 judul filem yang menghadirkan Ratu


Wilhelmina, yang diproduksi sejak 1898-1900 (EYE, n.d.).
Jika merujuk pada kota Den Haag dan keikutsertaan Raja Hertog Hendrik
bersama sang Ratu di dalam filem, kemungkinan hanya ada satu judul, Intocht van
H.M. de Koningin en Hertog Hendrik te Den Haag, yang diproduksi tahun 1900,
tanpa nama operator filem, atau nama perusahaan yang melakukan perekaman.
Jika mengacu pada berita tayangan representasi Ratu Wilhelmina dan Raja
Hertog Hendrik yang dijadikan rujukan sejak tahun 1993 ini, maka kehadiran
teknologi sinema dibawa oleh negara, Pemerintah Kolonial Belanda. Dengan
begitu, mau tidak mau, sinema Indonesia berhutang besar pada Pemerintah
Kolonial Belanda, dan sinema menjadi salah satu warisan kolonial. Apakah
benar tidak ada narasi perkembangan sinema di Indonesia dari sudut yang lain?
Sampai beberapa tahun yang lalu, ketika Dafna Ruppin, seorang peneliti
dari Universitas Utrecht, Belanda, memberi informasi yang berbeda tentang
kehadiran teknologi sinema di Indonesia. Dalam penelitiannya, ia menemukan
bahwa teknologi sinema masuk ke Hindia-Belanda tahun 1896. Empat tahun
lebih awal dari versi Misbach dan kawan-kawan. Dan yang membawa bukanlah
orang Belanda, tetapi beberapa pengusaha dan bahkan pesulap, seperti Louis
Talbot dari Perancis yang membawa scenimatograph, Harley yang membawa
kinetoscope Edison, Meranda yang membawa kinematograph, atau Carl Hertz dari
Amerika yang membawa cinematographe Lumire. Dengan begitu, teknologi
sinema dibawa oleh aparatus korporasi produsen teknologi sinema, bukan
negara. Perspektif ini tentu sangat penting dilihat hari ini. Ketika berakhirnya
Perang Dingin, peran kontrol dan kuasa negara terhadap teknologi (termasuk
audio-visual) mulai berkurang, bahkan di beberapa negara, peran itu sepenuhnya
dipegang oleh korporasi. Melihat pengalaman pada perkembangan teknologi
video di Indonesia, Televisi Republik Indonesia (TVRI) mulai kehilangan pasar
dan daya sakralnya ketika video, antena parabola, televisi swasta, dan teknologi
media digital masuk ke Indonesia di akhir 80-an dan awal 90-an. Kuasa dan
kontrol terhadap teknologi video, yang di masa analog sepenuhnya dikuasai
oleh negara, telah bergeser dan berada di tangan korporasi. Hal ini berdampak
pada runtuhnya rezim otoriter Orde Baru yang tidak memiliki kemampuan
untuk mengontrol dan menguasai teknologi media yang beredar di masyarakat
itu. Teknologi media digital yang membawa informasi di luar informasi resmi
versi pemerintah telah mendorong lahirnya kemungkinan-kemungkinan sudut
pandang dalam melihat persoalan, termasuk juga dalam menilai dan mengkritik
kerja pemerintah saat itu. Dan hari ini, penguasa teknologi media (termasuk
juga informasi) sepenuhnya berada di tangan korporasi.
Kembali pada perkembangan sinema di Indonesia di masa-masa awal
kedatangannya, dua sudut pandang, antara korporasi dan negara sebagai pihak
yang memperkenalkan teknologi sinema ke masyarakat Hindia-Belanda, rasanya
perlu dilihat kembali. Keduanya memiliki kepentingan politik (dan ekonomi)
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |263

masing-masing yang saling bersaing di masa itu, antara ilusi negara lewat
kehadiran Ratu Wilhelmina dan Raja Hertog Hendrik, masuk bersamaan
dengan ilusi pergi ke bulan La Voyage dans la Lune (1902) karya Georges
Mlis ataupun The Great Train Robbery (1903) karya Edwin S. Porter yang
dibawa oleh korporasi. Masa itu, sinema yang baru tiba di Hindia-Belanda dan
di perkembangan sinema dunia, gagasan pemilahan antara filem dokumenter
dan filem fiksi belumlah muncul, maka antara fakta yang dibawa oleh filem
dokumenter dan cerita fiktif yang dibawa oleh filem fiksi, hadir dalam periode
yang sama dan melebur menjadi satu.
Sejak penayangan filem yang merekam peristiwa kerajaan Belanda yang
menghadirkan sosok Ratu Wilhelmina di Batavia pada April, 1899 (Ruppin, 2015,
hal. 80), penayangan filem-filem tentang Ratu Wilhelmina sudah menjadi salah
satu progam utama bagi perusahaan-perusahaan Belanda yang ditayangkan di
beberapa ruang tontonan di Hindia Belanda, baik oleh Nederlandsche Biograafen Mutoscope Maatschappij, Herman Salzwedel Java Biorama, maupun Java
Cineograph Company (Ruppin, 2015, hal. 75-76). Masyarakat di Hindia-Belanda
yang tidak pernah bertemu langsung dengan Ratu Wilhelmina dan Raja Hertog
Hendrik atau bahkan mengunjungi negeri Belanda, yang selama ini hanya
mengetahuinya melalui buku, foto, ataupun kisah-kisah lisan, tiba-tiba melihat
secara hidup ratunya. Selain itu, dokumenter perang, tentara, dan keindahan
alam menjadi tema-tema favorit yang ditayangkan di Hindia-Belanda di masa
itu dan lambat laun menjadi budaya tontonan baru.

II

Pertama-tama, ada kemungkinan memperkenalkan kehidupan suatu


bangsa, yang bagi kebanyakan orang masih merupakan buku tertutup.
Memperkenalkan segi kekayaannya. Kedua, menghadapi mentalitas
kebanyakan film Eropa dan Amerika yang diimpor di Hindia-Belanda
dan menunjukkan kepada suku bangsa Melayu suatu pandangan hidup
lain, berbeda dengan kebanyakan film Eropa dan Amerika, yang sebagian
besar menonjolkan perceraian, ethik kehormatan para penjahat, pesta cocktail
dan kenikmatan berlebihan lainnya dari bangsa kulit putih. Bukanlah
maksudnya untuk membuat dokumenter tradisional disadur dalam cerita,
melainkan tugas, yang diberikan kepada saya adalah melihat dunia baru ini
dengan pandangan baru pula.

(Dikutip dari artikel yang dikoleksi oleh Sinematek Indonesia,


karya Mannus Franken, 31 Januari, 1935, Wy Filmen in Indie
dalam Filmliga, diterjemahkan oleh M.D. Aliff).

Pasca perkenalan teknologi sinema melalui teknologi proyeksi dan tayangan


representasi gambar bergerak dari negeri-negeri Eropa di Hindia-Belanda,
beberapa perusahaan baik dari Belanda, Inggris, maupun Perancis mulai
264 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

melakukan perekaman di Hindia-Belanda. Saat itu, masyarakat Hindia-Belanda


telah mendapatkan seutuhnya perangkat teknologi sinema, mulai dari kamera,
proyektor, hingga tayangan representasi.
Pada sebuah kompilasi filem dokumenter yang dikoleksi perpustakaan
Forum Lenteng, berjudul J.C. Lamster, een vroeger filmer in Nederlands-Indi
(Lamster, 2010), tercatat tahun produksi 1912 untuk filem berjudul Het Leven
van den Inlander in de Desa. Filem berdurasi empat menit itu dibuat oleh Johann
Christian Lamster (J.C. Lamster).1 Sementara itu, filem berjudul Onze Oost
(Timur Milik Kita), kolase footage-footage Hindia-Belanda yang diproduksi
oleh Koloniaal Instituut sebelum 1910, dibuat oleh Johan Gildemeijer.2 Sejak itu,
banyak bermunculan berita-berita yang mengisahkan petualangan para operator
filem memproduksi filem di Hindia-Belanda. Mulai dari eksplorasi keindahan
alam, kota, pertanian, perkebunan, pabrik-pabrik, transportasi, sekolah-sekolah
Belanda, hingga suku-suku di Papua.
Senasib dengan seni lukis di Indonesia, sasaran keindahan alam yang dikenal
sebagai mooi indie juga menjadi salah satu sasaran kamera, selain juga kekayaan
alam, seni dan budaya tradisional, dan juga kehidupan masyarakat HindiaBelanda sehari-hari. Terdapat beberapa hal yang bisa dilihat dari representasi
sudut pandang Kolonial Belanda dalam melihat Hindia-Belanda ketika itu.
Pertama, perekaman keindahan alam Hindia-Belanda menjadi salah satu cara
promosi perusahaan tour and travel untuk meningkatkan jumlah wisatawan Eropa
ke Hindia Belanda. Kedua, bagi perusahaan tambang, pengiriman operator
filem ke negeri jajahan menjadi salah satu cara untuk melihat potensi eksplorasi
kekayaan alam Hindia-Belanda. Ketiga, sebagai materi laporan bagaimana
keadaan sebenarnya di Hindia-Belanda. Keempat, sebagai upaya untuk membaca
karakter masyarakat kolonial Hindia-Belanda. Pertarungan sudut pandang
kepentingan ini sudah terjadi di masa-masa awal kedatangan teknologi sinema
[1] Johann Christian Lamster, sutradara kelahiran Belanda (2 Agustus, 1872) dan meninggal di Den
Haag, Belanda (26 Desember, 1954), pernah menjadi prajurit di Hindia Belanda sampai tahun 1911. Sejak
Maret, 1912, ia kembali ke Hindia Belanda untuk membuat filem di bawah perusahaan filem Path Frres
Prancis (Disarikan dari situs Wikipedia Bahasa Belanda, https://nl.wikipedia.org/wiki/J.C._Lamster,
diakses pada 8 Juli 2015). Sementara itu, dalam catatan Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, dan S.M.
Ardan, berdasarkan surat Geofrey N. Donaldson kepada B.J. Bertina (12 Januari, 1972), dikatakan bahwa
sampai kisaran tahun 1913, operator filem yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan Belanda untuk
membuat filem, merupakan tenaga ahli Prancis, yang dipinjam dari perusahaan Path (lihat dalam Taufik
Abdullah, Misbach Yusa Biran, S.M. Ardan, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), terbitan Dewan Film
Nasional, 1993, hlm. 97).

[2] Filem Onze Oost merupakan kolase footage-footage yang diproduksi sebelum 1910 oleh Koloniaal
Instituut. Filem ini direalisasikan oleh Johan Gildemeijer. Namun, pada pemutaran perdana, filem ini
mendapat tanggapan yang buruk dan hasilnya dianggap kurang baik. Beberapa tamu yang hadir merasa
kurang puas dari hasil yang diproduksi oleh lembaga pemerintah itu (lihat Taufik Abdullah, Misbach Yusa
Biran, S.M. Ardan, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), terbitan Dewan Film Nasional, 1993, hlm. 73;
dan juga di situs web EYE, https://www.eyefilm.nl/en/collection/film-history/person/johan-gildemeijer,
diakses pada 8 Juli 2015).
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |265

di Indonesia, antara korporasi dan negara (pemerintahan Kolonial Belanda).


Seperti misalnya, produksi-produksi filem di bawah Koloniaal Instituut yang
berada di bawah Kerajaan Belanda, yang khusus membuat laporan perkembangan
masyarakat jajahan Hindia-Belanda dan melihat potensi kekayaan alamnya,
juga sebagai upaya untuk membaca karakter masyarakat Hindia-Belanda,
seperti yang sudah dilakukan sebelum-sebelumnya melalui kultur tekstual.
Namun, tidak semua masyarakat Belanda yang menonton tayangan itu suka.
Bahkan, seorang penonton Belanda memprotes sebuah penayangan filem3 yang
menghadirkan upacara pemotongan hewan dengan cara tradisional di Toraja.
Hal itu sebagaimana yang tertertera dalam sebuah laporan tanggal 27 September,
1921, dalam Het Vaderland:
Semuanya itu telah menghilangkan nafsu kita untuk menantikan filemfilem selanjutnya, dan bahwa kita tidak sendirian saja dalam perasaan jijik itu.
maka kini kita bertanya: apakah pertunjukan yang demikian bermanfaat
bagi tujuan membangkitkan perhatian terhadap Hindia? Apakah pertunjukanpertunjukan itu bersifat baik untuk pendidikan (banyak juga hadir anak-anak
muda dalam ruangan itu), dan apakah itu bijaksana? Banyak sekali keluh-kesah
tentang amat kurangnya kemauan pemuda Belanda untuk menempuh hidup
berusaha bagi dirinya di negeri Insulinde [Hindia-Belanda] yang molek itu.
(Nieuwaal, 1921, hal. 1).
Di luar produksi filem-filem dokumenter, pada kompilasi Van de kolonie niets
dan goeds, Nederlands-Indie in beeld 1912-1942 yang diterbitkan Filmmuseum
Amsterdam (sekarang Eye), terdapat satu filem cerita pendek, berjudul Mina,
Het Dienstmeisje Gaat Inkoopen Doen. Schets uit het Indische Leven, yang berkisah
tentang pembantu perempuan pribumi yang bekerja kepada seorang keturunan
Belanda. Filem ini dibuat 12 tahun sebelum Loetoeng Kasaroeng (1926). Filem ini
menjadi sketsa kehidupan pribumi yang masuk lebih jauh pada kultur kehidupan
sehari-hari dari sudut pandang Kolonial Belanda melalui gambar bergerak.
Berbeda dengan filem-filem dokumenter yang cenderung memperlihatkan lanskaplanskap permukaan situasi fisik dan tradisi-kultur Hindia-Belanda, filem yang
diproduksi oleh Pathe ini lebih memperlihatkan konstruksi sikap masyarakat
kolonial dalam memandang masyarakat pribumi. Salah satunya, bagaimana
filem ini menggambarkan Mina, si pembantu yang meminta tambahan uang,
namun setelah dihitung, ternyata uang berlebih dan sisanya diambil olehnya.
Sedang dalam filem Het Nederlandsch-Indische Leger. De Infanterie, yang
dibuat oleh J.C. Lamster, mengisahkan tentara KNIL (Koninklijk NederlandsIndisch Leger) di Hindia-Belanda yang melakukan latihan dan strategi perang,
hingga di pertengahan filem terjadi pertempuran antara tentara muslim yang
[3] Ada kemungkinan, filem yang disaksikannya waktu itu berjudul De doodencultus bij de Sadang
Toradjas (1921) yang dibuat oleh L. van Vuuren.
266 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

membalas dendam dengan tentara KNIL. J.C. Lamster memang dikenal sebagai
operator filem yang sering mengadegankan beberapa peristiwa yang didasarkan
dari penelitian dan pandangan pemerintah Kolonial Belanda.
Produksi filem di Hindia Belanda terus berlanjut dengan menghadirkan
beberapa operator filem dari Belanda, seperti Willy Mullens, L.P. de Bussy,
Willy Rach, L. van Vuuren, Matthew W. Stirling, hingga Mannus Franken.
Sutradara terakhir ini merupakan tokoh sinema avant-garde Belanda yang
datang ke Hindia-Belanda tahun 1934 untuk membuat filem Pareh, het lied van
de rijst, berkolaborasi dengan Albert Balink. Sebuah seri filem pertama yang
dibuat khusus bagi masyarakat Jawa untuk mendorong lahirnya minat untuk
bermigrasi (transmigrasi) ke luar pulau Jawa (Sumatera). Filem yang didukung
oleh Centrale Commissie voor Emigratie en Kolonisatie van Inheemschen ini
meraih sukses di pasar komersil sehingga mendorong lembaga yang fokus pada
emigrasi dan kolonisasi penduduk asli Hindia-Belanda itu meminta sutradara
yang berkawan baik dengan tokoh-tokoh sinema dunia, seperti Joris Ivens dan
Sergei Eisenstein, itu untuk membuat seri kedua, Tanah Sabrang, het land aan
de overkant di tahun 1938. Setelah diputar perdana di Jakarta pada 31 Januari,
1939, filem ini lulus sensor pada 2 Agustus, 1940, dan ditayangkan perdana
di Koloniaal Instituut di Amsterdam pada 19 September, 1940 (Grasveld,
1988, hal. 29). Tanah Sabrang merupakan filem propaganda yang ditayangkan
berkeliling di Pulau Jawa untuk menjelaskan rencana program transmigrasi
sehingga masyarakat Jawa mau ikut program transmigrasi ke wilayah-wilayah
lain di luar Pulau Jawa. Percobaan perpindahan masyarakat dari Pulau Jawa ke
pulau-pulau lain, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua berjalan
sejak 1905-1931. Sedangkan, rencana pemindahan besar-besaran baru akan
dilakukan pada 1932-1941 (Grasveld, 1988, hal. 10). Tanah Sabrang, het land
aan de overkant menggunakan kaum bangsawan sebagai pemain, cerita wayang
dan menampilkan tokoh-tokoh pada wayang sebagai usaha untuk memutus
jarak representasi, serta menggunakan kuasa lokal dari tokoh-tokoh bangsawan
(dicurigai berasal dari Jawa Barat) untuk mendorong migrasi dari bagian-bagian
padat penduduk di Pulau Jawa ke Sumatera, salah satunya wilayah Sumatera
Selatan. Franken juga mengajak Raden Ngabethi Pringgahardana sebagai
asisten sutradara yang membantunya menyutradarai filem yang diproduksi di
wilayah Jawa Barat ini.

III

Tema Grand Illusion menjadi tema besar perhelatan ARKIPEL Jakarta


International Documentary & Experimental Film Festival tahun ini. Tema
yang mencoba melihat bagaimana kemampuan sinema yang telah diberkahi
daya kemampuan luar biasa dibandingkan seni-seni sebelumnya dalam merebut
dan memanipulasi kenyataan, hingga memengaruhi cara pandang penonton
terhadap kehidupannya sehari-hari. Dalam perkembangan sinema, kesadaran
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |267

tentang kemungkinan kemampuan sinema menciptakan ilusi telah muncul di


masa-masa awal kelahirannya. Keterbatasan dari bingkaian kamera, teknik
pemotongan-penyambungan seluloid, dan kemungkinan-kemungkinan teknik lain
yang dapat diciptakan dari perangkat keras teknologi media itu, telah membuka
ruang-ruang fantasi untuk bermain pada konstruksi representasi kenyataan.
Pada perhelatan festival tahun lalu, ARKIPEL Electoral Risk 2nd Jakarta
International Documentary & Experimental Film Festival, persebaran teknologi
sinema Lumire di Asia, Amerika Latin, dan Afrika menjadi fokus dalam
program pameran Peradaban Sinema dalam Pameran #1. Salah satunya, adalah
menghadirkan bagaimana fantasi orang-orang Eropa terhadap Hindia-Belanda
ketika itu melalui satu filem produksi Lumire yang dibuat oleh salah seorang
operator filemnya, Alexandre Promio. Melanjutkan tema "Jajahan Gambar
Bergerak", pameran Peradaban Sinema dalam Pameran #2 akan mencoba
merentangkan bagaimana situasi migrasi pengetahuan, sudut pandang, dan ilusi
melalui teknologi sinema dari negeri-negeri Eropa ke Hindia-Belanda yang terjadi
di masa-masa awal kehadiran teknologi sinema. Filem-filem yang diimpor dan
ditayangkan di Hindia Belanda di masa itu, baik filem-filem dokumenter yang
mengisahkan kehidupan masyarakat Eropa dan Amerika, maupun filem-filem
fantasi seperti yang dibuat oleh Georges Mlis atau pun Edwin S. Porter, telah
membentuk sudut pandang bagi masyarakat Hindia-Belanda dalam melihat
bangsa Eropa dan Amerika; dan sebaliknya, filem-filem tentang Hindia-Belanda
yang diproduksi oleh korporasi maupun Pemerintah Kolonial Belanda, baik fiksi
maupun dokumenter, telah merepresentasikan bagaimana kehidupan masyarakat
Hindia-Belanda kepada masyarakat global. Pada titik inilah sinema memiliki
peran membentuk sudut pandang Eropa melihat bangsa Hindia-Belanda.
Sudut pandang yang tidak hanya berlaku bagi masyarakat Eropa, tetapi juga
bagi masyarakat Hindia-Belanda dalam memandang dirinya hingga hari ini.
Bacaan:

EYE. (n.d.). Queen Wilhelmina of the Netherlands. Dipetik 26 Juli, 2015, dari situs EYE: https://
www.eyefilm.nl/en/collection/film-history/person/queen-wilhelmina-of-the-netherlands
Grasveld, F. (1988). Tanah Sabrang, land aan de overkant: landbouwkolonisatie en wayang
en een film van Mannus Franken. Amsterdam: Mannus Franken Stichting/Koninklijk
Instituut voor de Tropen/Filminstituut.
Lamster, J. (2010). Het Leven van den Inlander in de Desa. J.C. Lamster, een vroeger filmer in
Nederlands-Indi. Belanda: Koninklijk Instituut voor de Tropen.
Nieuwaal, M. v. (27 September, 1921). Indische Films. Het Vaderland, hal. 1
Ruppin, D. (2015). The Komedi Bioscoop: The Emergence of Movie-going in Colonial Indonesia,
1896-1914. Disertasi, Universitas Utrecht, Utrecht.
Sani, A. (1993). Sekedar Catatan. Dalam M. Y. Taufik Abdullah, Film Indonesia Bagian I
(1900-1950) (hal. vi vii). Dewan Film Nasional.

268 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

SUPPORTED BY HIVOS

MOVING IMAGE COLONY:


BETWEEN FACT
AND FICTION
Mahardika Yudha

On November 30, 1900, the daily Bintang Betawi published an


announcement from Nederlandsche Bioskop Maatschappij, stating that
in a few days this company will present a particularly good spectacle, namely
gambar-gambar idoep (motion pictures) of many things happened recently
in Europe and South Africa. The picture of Her Majesty the Queen of the
Dutch (Wilhelmina) and His Royal Highness Hertog Hendrik entering
Den Haag was mentioned too. This spectacle will occur in a house next
to the car shop Maatschappij Fuchs in Tanah Abang. This is the first
advertisment about film in Indonesia.

The quote above is taken from Film Indonesia Bagian I (1900-1950) written
by Taufik Abdullah, Misbach Yusra Biran and S.M. Ardan. This book was
published in 1993 by the National Film Council and edited by Salim Said.
Since August 1, 1988, this writing project about Indonesian film history
was carried out with two main writers: Misbach Yusra Biran, tackling the
period of Dutch colonial film history until the arrival of Japanese soldiers,
and S.M. Ardan, handling the period of Japanese occupation up to the first
years of the Republic of Indonesia (Sani, 1993). The paragraph quoted above
becomes a reference to the arrival of cinema technology in Indonesia, whether
in researchesespecially scientific articlesor writings on Indonesian cinema
development by both Indonesian and foreign writers.
The advertisement published in Bintang Betawi on November 30, 1900,
announced that on December 5, 1900, there would be Pertoenjoekan Besar
yang Pertama (the First Great Spectacle). In this advertisement, there was
the information revealing how cinema technology arrived through the states
representation (the Dutch colonial administration), Queen Wilhelmina and
King Hertog Hendrik. There was no news about the event in the next days
that might have explained the film further. On Eyes online catalog (used to be
known as Filmmuseum Amsterdam), at least there are 37 film titles presenting
Queen Wilhelmina produced from 1898-1900 (EYE, n.d.).
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |269

Referring to Den Haag and King Hertog Hendriks participation in the


Queens event in the film, there may be only one possible title, Intocht van
H.M. de Koningin en Hertog Hendrik te Den Haag, produced in 1900, without
the film operators name or the company doing the shooting. Referring, from
1993, to this broadcast news of Queen Wilhelmina and King Hertog Hendriks
representation, then cinema technology was brought in by the state, the Dutch
colonial administration. Thus, willingly or not, Indonesian cinema owes much
to the Dutch colonial administration and cinema is actually a colonial heritage.
Is there no narration of Indonesian cinema development from another angle?
The answer has just only recently yes. Several years ago, Dafna Ruppin,
a researcher of University of Utrecht, the Netherlands, provided different
information concerning the presence of cinema technology in Indonesia.
In his study, she found that cinema technology entered the Dutch Indies
in 1896, four years earlier than Misbach and friends source. It wasnt the
Dutch either who did it, but in fact entrepreneurs and even magician like
the French Louis Talbot who brought scenimatograph, Harley who brought
Edisons kinestoscope, Meranda who brought kinematograph and the American
Carl Hertz who brought Lumires cinmatographe. Thus, cinema technology
was actually brought here by apparatus of corporations that produced the said
technology, not the state. The perspective is crucial especially today. At the
end of the Cold War, the states power and control over technology (including
the audio-visual one) diminished, in some countries this role was even entirely
in the hands of corporations. Looking at the Indonesian experience of video
technology development, TVRI (Televisi Republik Indonesia), began to lost
its market and its sacred force as video, parabolic antenna, private television
stations and digital media technology started to penetrate Indonesia by the
end of 80s and the early 90s. The power and control over video technology,
which fully possessed by the state in the analog era, shifted to the hands of
corporations. This impacted on the collapse of the authoritarian regime of
the New Order, deprived of its capability to control and exert power over the
newly circulating media technology. Digital media technology that presented
information beyond the governments official versions propelled the birth of new
possible viewpoints on issues, including to judge and criticize the governments
performance at that time. Today, the domination of media (and information)
technology is completely in the hands of corporations.
Back to Indonesian cinema development at its early stages, two viewpoints,
corporations or the state as the responsible party for introducing cinema
technology to the Dutch Indies society, require a re-examination. Both had
their competing political (and economic) interests; between the states illusion
of Queen Wilhelmina and King Hertog Hendriks presence and concurrently
the illusion of going to the moon in La Voyage dans la Lune (1902) by Georges
270 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Mlis or The Great Train Robbery (1903) by Edwin S. Porter brought by


corporations. At that time, as cinema had just arrived in the Dutch Indies and
was still developing elsewhere, the idea of division between documentary film
and fictional film hasnt even emerged. The facts presented by documentary
film and the fictional stories offered by fictional films thus came together in
the same period and merged into one.
Since the screening that presented a Dutch royal event attended by Queen
Wilhelmina in Batavia in April 1899 (Ruppin, 2015, p. 80), other films featuring
the Queen have been one of the main programs of Dutch companies and
showed in viewing halls by the likes of Nederlandsche Biograaf-en Mutoscope
Maatschappij, Herman Salzwedel Java Biorama and Java Cineograph Company
(Ruppin, 2015, p. 75-76). The Dutch Indies society, having never met directly
Queen Wilhelmina and King Hertog Hendrik or visited the Netherlands,
all this time only knowing them from books, photographs, or oral stories,
suddenly saw the Queen alive. In addition, documentaries of war, soldiers
and beautiful sceneries became favorite themes screened in the Dutch Indies
at the time, slowly making up a new spectacle culture.
II

First of all, there was a possibility to introduce the life of a nation that to
many people is still a sealed book; to introduce its glory. Secondly, to deal with
the mentality of most European and American films imported in the Dutch
Indies and to show to the Malay people another worldview, unlike most
European and American films that mostly highlighted divorce, honor code of
criminals, cocktail parties and other excessive pleasure of the white... It is not
to transfer traditional documentary to the story; the task given to me is to see
this new world through a new view.
(Quoted from an article of Sinematek Indonesias collection
by Mannus Franken, January 31, 1935, Wy Filmen in Indie in
Filmliga, translated by M.D. Aliff.)

After the introduction of cinema technology through projection and the


screening of motion pictures from European countries in the Dutch Indies,
several companies, from the Netherlands, England and France, started to
shoot in the Dutch Indies. At the time, the Dutch Indies society had seen the
arrival of the whole cinematic devices, from camera, projector to representation
screening.
In a documentary compilation of Forum Lentengs library collection,
titled J.C. Lamster, een vroeger filmer in Nederlands-Indi (Lamster, 2010), there
listed a production year 1912 for a film called Het Leven van den Inlander in
de Desa. This four minutes film was made by Johann Christian Lamster (J.C.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |271

Lamster). 1 Meanwhile, a film called Onze Oost (Our East), a collage of Dutch
Indies footages produced by Koloniaal Instituut before 1910, was made by
Johan Gildemeijer.2 Since then there have been many news telling the stories
of film operators adventures in film productions at the Dutch Indies. These
films explored beautiful sceneries, cities, farmings, plantations, factories,
transportations, Dutch schools and many more including tribes in Papua.
In line with the fate of Indonesian painting, the stunning nature known as
mooi indie became the target of camera, along with natures wealth, traditional
art and culture and daily life of Dutch Indies. Some things can be seen from
the Dutch colonials point of view of representation in seeing the Dutch Indies
at the time. First, the records of the Dutch Indies beauty became one way
of promotion by tour and travel companies to increase their the number of
European tourists in this land. Second, to mining companies, the dispatch of
film operators to colonized lands became a way to check over the potential to
explore the Dutch Indies natural wealth. Third, as a report material regarding
the true circumstances in the Dutch Indies. Fourth, as an effort to read the
character of colonial people of the Dutch Indies. This contention of point of
view of interests has happened since the early times of cinema technologys
arrival in Indonesia, namely between corporation and the state (the Dutch
colonial administration). For example, film production by Koloniaal Instituut
that served the Dutch royal kingdom was in particular about reports on the
colonized peoples development and its potential natural wealth; also an effort
to read the character of the people just as done before through textual culture.
However, not everyone in the Netherlands enjoyed the shows. A Dutch viewer
raised a protest a film screening that showed a traditional ritual of animal
castration in Toraja. It can be seen from a report of September 27, 1921, in
Her Vaderland:
All of it has wiped off our desire to wait for the next films, and we are
not alone in this disgust... so lets ask now: is such spectacle useful for the
purpose of bringing attention to the Dutch Indies? Are those shows good for
[1] Johann Christian Lamster was a Dutch filmmaker (b. August 2, 1872) who died in Den Haag
(December 26, 1954) and was once a soldier in the Dutch Indies in 1911. Since March 1912, he was in
the Dutch Indies to make films under the French Path Frres (summarized from the Dutch Wikipedia
https://nl.wikipedia.org/wiki/J.C._Lamster, accessed on July 8, 2015). Meanwhile, in Taufik Abdullah,
Misbach Yusra Biran and S.M. Ardans record, based on Geofrey N. Donaldsons letter to B.J. Bertina
(January 12, 1972), it was said that until 1913 the film operator employed by Dutch companies to
make films were French, hired from Paths company (see Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, S.M.
Ardan, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), published by the National Film Council, 1993, p. 97).

[2] Onze Oost is a collage of footages produced before 1910 by Koloniaal Instituut. This film was
realized by Johan Gildemeijer. But on its premiere, the film had some negative reaction and the
result was considered less than well. Some of the guests were not satisfied with this production of a
governments institution (Ibid, p. 73 and also EYEs website, https://www.eyefilm.nl/en/collection/filmhistory/person/johan-gildemeijer, accessed on July 8, 2015).
272 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

education (as there were many young men in the room) and are they wise?
There have been many complaints about Dutch young mens lack of will to
make a living on their own in that exquisite Insulinde (the Dutch Indies).
(Nieuwaal, 1921, p. 1.)
Outside of the documentary films production, in the compilation of Van
de kolonie niets dan goeds, Nederlands-Indie in beeld 1912-1942 published by
Filmmuseum Amsterdam (now Eye), there was a short film called Mina,
Het Dienstmeisje Gaat Inkoopen Doen. Schets uit het Indische Leven that tells
a story of an indigenous maid girl who works for a Dutch descendant. It was
made 12 years before Loetoeng Kasaroeng (1926). This film becomes a sketch of
the indigenous daily life and culture, going deeper than the Dutch colonial
viewpoint through motion pictures. Unlike documentary films that tend to
show the landscape surfaces of physical circumstances and cultural tradition
of the Dutch Indies, this film produced by Path shows the colonial societys
constructed attitude in viewing the natives. For instance, the film shows how
Mina, the maid, asks for money and, after counting it and finding it in excess,
takes away the extra.
Het Nederlandsch-Indische Leger de Infanterie made by J.C. Lamster tells
about a KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) soldiers who were
doing a training and practicing a combat strategy. In the middle of the film,
a battle occurs between Muslim soldiers who retaliate on the KNIL troops.
J.C. Lamster indeed was known as a film operator who reenacted events based
on the Dutch colonial administrations research and views.
Film production in the Dutch Indies kept on going with the presence of
several film operators from the Netherlands such as Willy Mullens, L.P. de
Bussy, Willy Rach, L. van Vuuren, Matthew W. Stirling and Mannus Franken.
The latter operator was a Dutch cinematic avant-garde figure who came to
the Dutch Indies in 1934 to make the film Pareh, het lied van de rijst, in his
collaboration with Albert Balink. It was the first serial film made in particular
for Javanese people to elicit the migration interest out of Java (Sumatra). This
film supported by Centrale Commissie voor Emigratie en Kolonisatie van
Inheemschen was commercially successful. This in turn encouraged this
institution focusing on emigration and colonization of the indigenous Dutch
Indies to ask the filmmaker, who befriended world cinema figures such as Joris
Ivens and Sergei Eisenstain, to make the second installment, Tanah Sabrang, het
land aan de overkant in 1938. After premiered in Jakarta on January 31, 1939,
this latter film passed the censorship on August 2, 1940, and went to screen
in another premier in Koloniaal Instituut, Amsterdam, on September 19, 1940
(Grasveld, 1988, p. 29). Tanah Sabrang is a propaganda film that was screened
around Java Island to explain the governments transmigration program so that
Javanese people would be willing to participate and moved to other islands.
The migration trial from Java to other islands such as Sumatra, Kalimantan,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |273

Sulawesi and Papua ran from 1905-1931 while the larger scale of migration
would be conducted in 1932-1941 (Grasveld, 1988, p. 10). Tanah Sabrang,
het land aan de overkant features nobles as the actors, uses wayang (Javanese
shadow puppets) plot and shows wayang figures as an attempt to diminish
representational distance. Meanwhile, the government also employed local
powers of the noble class (presumably of West Java) to encourage migration
from dense regions in Java Island to Sumatra, for example South Sumatra.
Franken asked Raden Ngabethi Pringgahardana to sit as assistant to director
to help him with this film production in West Java.
III
Grand Illusion is ARKIPEL Jakarta International Documentary & Experimental
Film Festival this years theme. It tries to see the cinemas capability, granted
with an amazing force compared to previous arts, to seize and manipulate
reality, exerting inf luence over the audiences point of view toward daily
life. In cinemas development, the awareness of cinemas possible capability
to create illusions has emerged at its early period. The constraints of camera
frame, celluloid cutting and pasting technics and other technical possibilities
created from the media technology hardware have all opened fantastic spaces
to play with representational constructions of reality.
In last year event of ARKIPEL Electoral Risk 2nd Jakarta International
Documentary & Experimental Film Festival, the circulation of Lumires
cinematic technology in Asia, Latin America and Africa became the focus in
the Cinema Culture in Exhibition Program #1. Among others, it presented the
fantasy of Europeans of the colonial era in terms of the Dutch Indies through
a Lumires film production made by one of their film operators, Alexandre
Pomio. To proceed with the theme "Moving Image Colony" ( or "Jajahan
Gambar Bergerak"), the Cinema Culture in Exhibition Program #2 will try
to unfold the situation of knowledge migration, point of views and illusions by
cinema technology from European countries to the Dutch Indies at the early
stages of it. The films imported and screened in the Dutch Indies at the period,
whether documentary films that tell the lives of Europeans and Americans or
fantasy films of the kinds made by George Mlis and Edwin S. Porter, have
shaped the Dutch Indies perspective toward the Europeans and Americans;
and vice versa, the films about the Dutch Indies produced by corporations
or the Dutch colonial administration, both fiction and documentary, have
represented the lives of the Dutch Indies before the global society. It is at this
point that cinema played a role that shaped the European viewpoint toward
the Dutch Indies. It is a viewpoint that wasnt adopted only by Europeans,
but also by Dutch Indies in seeing themselves today.

274 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Works Cited:

EYE. (n.d.). Queen Wilhelmina of the Netherlands. Retrieved July 26, 2015, from EYEs
website: https://www.eyefilm.nl/en/collection/film-history/person/queen-wilhelminaof-the-netherlands
Grasveld, F. (1988). Tanah Sabrang, land aan de overkant: landbouwkolonisatie en wayang
en een film van Mannus Franken. Amsterdam: Mannus Franken Stichting/Koninklijk
Instituut voor de Tropen/Filminstituut.
Lamster, J. (2010). Het Leven van den Inlander in de Desa. J.C. Lamster, een vroeger filmer
in Nederlands-Indi. Netherlands: Koninklijk Instituut voor de Tropen.
Nieuwaal, M. v. (27 September, 1921). Indische Films. Het Vaderland, hal. 1
Ruppin, D. (2015). The Komedi Bioscoop: The Emergence of Movie-going in Colonial Indonesia,
1896-1914. Dissertation, Utrecht University, Utrecht.
Sani, A. (1993). Sekedar Catatan. In M. Y. Taufik Abdullah, Film Indonesia Bagian I
(1900-1950) (hal. vi vii). National Film Council.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |275

SPECIAL PRESENTATION

TORONTO, CANADA
Dikurasi oleh / Curated by
Amy Fung (Artistic Director)

Images Festival pertama kali diadakan pada tahun 1987 di Toronto, Kanada dan merupakan
festival eksperimental gambar bergerak terbesar di Amerika Utara. Images Festival tidak hanya
memutar filem dan seni video, tapi juga menampilkan pertunjukkan langsung dan instalasi
seni media oleh para seniman internasional dan dari Kanada sendiri. Images Festival telah
menampilkan ribuan proyek berbasis media sepanjang 28 tahun sejak pertama kali diadakan
dan terbuka untuk konsep filem dan video yang lebih luas. Selain penayangan filem dan video,
Images Festival juga mementaskan pertunjukan langsung dan instalasi seni media di galerigaleri lokal. Images Festival mempersembahkan keriaan spektakuler budaya gambar bergerak
kontemporer setiap tahunnya kepada masyarakat.
Established in 1987, the Images Festival is the largest festival in North America for experimental
and independent moving image culture, showcasing the innovative edge of international
contemporary media art both on and off the screen. Images has presented thousands of vanguard
media-based projects in its 28-year history and is committed to an expanded concept of film
and video practice: Alongside film and video screenings (ON SCREEN), the festival presents
groundbreaking live performances (LIVE IMAGES), media art installations (OFF SCREEN)
in local galleries and new media projects by many renowned Canadian and international artists.
Images provides audiences with an annual extravaganza of contemporary moving image culture.

Amy Fung adalah pengamat budaya,


kritikus seni dan penyelenggara acara
seni. Bidang penelitiannya biasanya
fokus pada isu politik identitas,
keberpihakan sosial dan sense of place.
Karya tulisnya antara lain tentang
pendekatan monograf dalam tulisan
sebagai kerangka kreatif dan kritis. Ia
pernah menjadi Contributing Editor di
FUSE Magazine dan sekarang menjadi
salah satu Dewan Direksi di Art
Metropole. Tulisan-tulisannya tentang
seni dan perhelatan seni telah banyak
diterbitkan di Eropa, Amerika Utara,
dan Inggris. Tahun 2014, dia menjadi
Direktur Artistik Images Festival.

278 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Amy Fung is a roaming cultural


commentator, arts writer, and events/
exhibition organizer. Her research
interests usually involve ongoing
considerations of identity politics,
social engagement, and a sense of
place. Her commissioned writings for
monographs approach arts writing as
a creative and critical platform. She
has been a past Contributing Editor
to FUSE Magazine and currently
sits on the Board of Directors for Art
Metropole. Her published writings and
exhibitions and events have taken place
throughout Europe, North America,
and the UK. As of Fall 2014, Fung has
been appointed Artistic Director of The
Images Festival.

Memori buk anlah masa la lu yang


dikenang.Dalam kehendaknya yang
mut la k unt u k jad i ada , ia ada la h
tindakan. Dari ranah yang diciptakan
dan dibayangkan, tindakan memori
melompat ke momen masa kini untuk
dihidupkan.
Beg it u pu l a si nema . D eng a n
sifatnya yang memungkinkan naikturunnya emosi dasar dan permainan
konseptual, membanjiri sinapsis kita
dengan pengalaman yang dibuat menjadi
nyata lewat kehadirannya dalam tubuh
dan pikiran kita. Sinema eksperimental
bukanlah genre yang didefinisikan oleh
estetika, melainkan hasratnya untuk
menantang pengalaman kita dalam
hidup, dalam sinema.
Images membawa tema Grand
Illusion ARKIPEL untuk mencakup
jangkauan imajinasi k ita yang tak
berbatas melampaui yang kanon dan
klasik. Dalam filem panjangnya, Li Wen
at East Lake, Luo Li menyajikan karya
secara inheren mengenai apa yang pernah
ada, dukungan atas Tiongkok modern
yang berubah cepat dari era Mao hingga
kni. Di sesi Only Believe in Things That
Are Easy to Understand, lapisan antara
masa lalu dan kini tumbang menjadi
sensasi yang hanya dapat disimpulkan
sebagai sesuatu yang menakjubkan.
Memori adalah untuk yang hidup,
dan daya hidup bukanlah mengenang,
mela ink an memperhatik an dan
mendengarkan. Sinema adalah memori
yang tengah dibuat.

Memory is never the past remembered.


Memory, in its sheer will to exist, is an
action. From the realm of the conjured
and imagined, the action of memory
leaps into the present moment to be lived.
Cinema is not all together different
from memory with its vicissitudes of
visceral emotions and conceptual play,
flooding our synapses with experiences
made real through their presence in our
minds and bodies. Experimental cinema
is not a genre defined by aesthetics, but
by its desire to challenge our experiences
in life, in cinema.
Presenting t wo programs, one
feature and one short, Images takes on
ARKIPELs theme of Grand Illusions
to encompass the breadth of our infinite
imaginations beyond the canon and
the classics. In his latest feature film,
Li Wen at East Lake, Canadian-Chinese
filmmaker Luo Li delivers a work that
is inherently about what was once there,
a nod to the rapidly changing face of
modern China from Mao into present
day. In the shorts program, Only Believe
in Things That Are Easy to Understand, the
layers between past and present collapse
into a sensation that can only be summed
up as bewildering.
Memory is for the living and the
force of living is not remembering,
but watching and listening. Cinema is
memory in the making.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |279

SP IMAGES FESTIVAL 2 / 26 AUGUST, IFI, 19.00/ 18+

LI WEN AT EAST LAKE


Luo Li (Canada)
Country of Production China / Canada
Language Mandarin
Subtitle English
117 minutes, Color, 2014

Fiksi dokumenter ini membawa kita menelusuri


suatu garis pantai di sekitar East Lake, Provinsi
Wuhan, Tiongkok. Terkenal sebagai lokasi
rumah musim panas Mao, danau dan area
sekitarnya dikembangkan menjadi ruang
bagi taman hiburan, kondominimum, dan
bandara. Li merancang adegan di awal filem
dengan menggabungkan informasi dan hasil
penelitiannya tentang daerah itu yang dilakukan
dengan mewawancarai penduduk. Kita pun
seakan mengikuti Li Wen, seorang seniman
yang ternyata detektif yang mencari pria gila
yang dilaporkan pernah terlhat di sekitar danau.
Pencariannya kemudian memberikan suatu
pandangan yang cerdas, halus dan sering kali
jenaka, dalam melihat Tiongkok kontemporer
dan hubungan kompleksnya dengan masa lalu.

This documentarry fiction takes us on a tour


of landscape around East Lake in Chinas
Wuhan province. Once famous for being the
location of Chairman Maos summer home,
the lake and its surrounding area are rapidly
being developed to make room for theme
parks, condominiums and, potentially, an
airport. Li sets the scene at the start of the
film combining information and research about
the area with interviews with its inhabitants.
Once the stage is set the narrative kicks in and
we find ourselves following Li Wen, an artist
turned detective on his search for a crazed man
reportedly seen around the lake. His journey
and the encounters that ensue provide a smart,
subtle and often comic look at contemporary
China and its complex relationship to the past.

Amy Fung

Luo Li adalah sineas independen.


Lahir dan besar di Tiongkok. Belajar
filem di Kanada. Karya-karya telah
ditampilkan di festival dan galeri
internasional, seperti Cinematheque
Ontario (Canada), Images Festival
(Canada), dan Reyes Hecoles Gallery
(Mexico).

280 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Luo Li is an independent filmmaker.


He was born and grew up in China.
He studied film and obtained his MFA
in Canada. These short works have
screened internationally in festivals/
galleries including Cinematheque
Ontario (Canada), Images Festival
(Canada), and Reyes Hecoles Gallery
(Mexico City, Mexico).

ONLY BELIEVE THINGS


THAT ARE EASY TO
UNDERSTAND
Antara negara kebingungan dan
struktur, karya-karya dalam program
ini berbicara dengan variasi dalam
h a l m e n g e t a hu i . D a r i w a k t u
geologis ke waktu manusiawi, ruang
lingkup pemahaman berkisar dari
struktur universal musik, warna dan
matematika hingga ke hubungan
berwujud hubungan interpersonal.

Between states of bewilderment and


structure, the works in this program
speak to variations in knowing.
From geological time to human
time, the scope of understanding
ranges from the universal structures
of music, color and mathematics to
the intangible connections of interpersonal relationships.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |281

SP IMAGES FESTIVAL 1 / 24 AUGUST, IFI, 17.00/ 18+

COLOR NEUTRAL
Jennifer Reeves (USA)
Country of Production USA
Languange No Dialogue
Subtitle No Subtitle
3 minutes, color, 2013

Tak ada apa pun selain warna abu-abu, ledakan


berkilau, dan gelembung-gelembung dalam film
16mm ini. Kontrol kemenangan atas gangguan.

Anything but gray, a color explosion sparkles,


bubbles, and fractures in this hand-crafted
16mm film. Control triumphs over disorder.

Amy Fung

Jennifer Reeves (lahir di Sri Lanka,


1971) adalah seorang sineas berbasis
di New York yang berkarya dengan
medium 16mm. Dia dikenal sebagai
satu dari 50 Sineas terbaik di bawah
50 tahun dalam jurnal Cinema Scope
tahun 2012. Filem-filemnya telah
dipertunjukkan, antara lain di Berlin,
New York, Vancouver, London,
Sundance, dan Hong Kong Film
Festivas, dan lainnya, termasuk Robert
Flaherty Seminar dan Museum of
Modern Art.
282 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Jennifer Reeves (b. 1971, Sri Lanka) is


a New York-based filmmaker working
primarily on 16mm film. Reeves was
named one of the Best 50 Filmmakers
Under 50 in the film journal Cinema
Scope in the spring of 2012. Her
films have shown extensively, from
the Berlin, New York, Vancouver,
London, Sundance, and Hong Kong
Film Festivals to many Microcinemas
in the US and Canada, the Robert
Flaherty Seminar, and the Museum of
Modern Art.

SP IMAGES FESTIVAL 1 / 24 AUGUST, IFI, 17.00/ 18+

ONLY BELIEVE THINGS


THAT ARE EASY TO UNDERSTAND
Gary Kibbins (Canada)
Country of Production Canada
Languange English
Subtitle No Subtitle
7 minutes, Color,2014

Berbicara dalam bahasa, baik yang akrab


maupun yang mengasingkan, kar ya ini
mengejar misteri keyakinan dan pengetahuan
dalam hiburan yang destruktif.

Speaking in a language both familiar and


alienating, the work pursues the mysteries
of belief and knowledge in destructive
entertainment.

Amy Fung

Gary Kibbins adalah seniman media


dan penulis. Hingga tahun 2000 ia
mengajar di California Institute of the
Arts. Bukunya tahun 2005 diterbitkan,
berjudul Grammar & Not-Grammar:
Selected Scripts and Essays by Gary
Kibbins (disunting oleh Andrew J.
Paterson)

Gary Kibbins is a media artist and


writer. Until 2000 he taught at the
California Institute of the Arts. A book
of essays and scripts was published in
2005: Grammar & Not-Grammar:
Selected Scripts and Essays by Gary
Kibbins (edited by Andrew J. Paterson).

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |283

SP IMAGES FESTIVAL 1 / 24 AUGUST, IFI, 17.00/ 18+

1221 AMOR
Julie Tremble (Canada)
Country of Production Canada
Languange English
Subtitle No Subtitle
13 minutes, Color, 2014

Cerita filem ini berpusat pada hubungan


antara hal-hal mineral yang berbeda, seperti
batu, tulang, dan fosil. Temporalitas yang
berbeda bergabung untuk kerangka waktu
tak terbatas yang ditekan, yang bertentangan
dengan representasi linear tradisional kita
mengenai waktu.

The story centers on the relationships between


different mineral states, such as rock, bone,
and fossil. Different temporalities merge to
create a compressed, indefinite time frame
that runs counter to our traditional linear
representation of time.

Amy Fung

Julie Tremble mendapat gelar master


di bidang kajian filem (Universit
de Montral). Karya-karyanya telah
dipamerkan di berbagai galeri serta
festival di Kanada. Tahun 2013, Julie
menerima penghargaan Conseil des
arts et des lettres du Qubec (CALQ )
untuk karya terbaik yang ditampilkan
sebagai bagian dari 31e Rendez-vous
du cinma qubcois. Julie diwakili
oleh Joyce Yahouda Gallery dan karya
videonya didistribusikan oleh Groupe
Intervention Video (GIV). Ia sekarang
tinggal Montreal.

284 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Julie Tremble hold a masters degree in


film studies (Universit de Montral).
Julies works has been exhibited in artistrun centres and galleries as well as at
various festivals across Canada. In 2013,
Julie received the Conseil des arts et des
lettres du Qubec (CALQ ) award for
best work in art and experimentation
presented as part of the 31e Rendezvous du cinma qubcois. Julie is
represented by Joyce Yahouda Gallery
and her video are distributed by Groupe
Intervention Video (GIV). She currently
resides in Montreal.

SP IMAGES FESTIVAL 1 / 24 AUGUST, IFI, 17.00/ 18+

F FOR FIBONACCI
Beatrice Gibson (England)
Country of Production UK
Languange English
Subtitle No Subtitle
16 minutes,Color,2014

Men g a mbi l nov e l s e or a n g mo der n i s


William Gaddis, JR (1975), sebagai titik
keberangkatannya, halusinasi naratif yang
terungkap dalam f ilem ini bergerak di
geometri teks buku, mimpi-mimpi kartun,
citra Wall Street, dan Minecraft.

Ta k i n g Wi l l i a m G a d d i s mo d e r n i s t
novel,JR(1975), as a departure point, the
unfolding hallucinatory narrative moves across
text book geometries, cartoon dreams, Wall
Street imagery, and Minecraft.

Amy Fung

Beatrice Gobson (lahir 1978) adalah


seniman dan sineas berbasis di London.
Menginvestigasi ungakapan yang
membentuk orang dan tempat, praktik
berkarya Gibson mengeksplorasi
suara, pidato, produksi kolektif dan
masalah mengenai representasinya. Ia
pernah mengikuti residensi di Whitney
Museum of American Arts ISP,
tahun 2007/8, and sejak 2006 menjadi
mahasiswa S3 di Departem Budaya
Visual, Goldsmiths. Dia kini sedang
menyelesaikan filem terbarunya, komisi
dari Showroom London, Pavilion
Leeds, dan CAC Bretigny. Karyakaryanya didistribusikan oleh LUX,
London, dan Argos, Belgia.

Beatrice Gibson (b.1978) is an artist


and filmmaker based in London.
Investigating the utterances that form
people and place, Gibsons practice
explores voice, speech, collective
production and the problems of their
representation. Gibson was a studio
artist in residence at the Whitney
Museum of American Arts ISP,
during 2007/8, and since 2006 has
been a PhD student in the department
of Visual Cultures, Goldsmiths. She
is currently working on a new film,
co-commissioned by The Showroom
London, Pavilion Leeds, and CAC
Bretigny. Gibsons films are distributed
by LUX, London and Argos, Belgium.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |285

SP IMAGES FESTIVAL 1 / 24 AUGUST, IFI, 17.00/ 18+

PAN
Anton Ginzburg (Russia)
Country of Production USA
Languange English
Subtitle No Subtitle
6 minutes,Color,2014

Melampaui representasi sejarah dan arsitektur,


variasi dari tatapan mekanik mengungkapkan
dirinya sendiri dalam satu suasana yang tidak
mungkin.

B e yond h i s tor ic a l a nd a rc h ite c t u r a l


representations, the va riations of the
mechanical gaze reveal themselves in an
unlikely setting.

Amy Fung

Anton Ginzburg (lahir di Russia,


1974) adalah seniman dan sineas
berbasis di New York. Mendapat gelar
BFA dari Parsons The New School for
Design tahun 1997, dan MFA dari
Bard College, Milton Avery Graduate
School of Arts, Annandale-onHudson, New York. Karyanya telah
ditampilkan di Venice Biennale, Blaffer
Art Museum (University of Houston),
Palais de Tokyo (Paris), San Fransisco
Museum of Modern Art, White
Columns di New York, Lille3000 di
Euralille (Prancis), Moscow Biennales,
dan Cooper-Hewitt, Smithsonian
Design Museum, New York.

286 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Anton Ginzburg (b. 1974 in Russia)


is a New Yorkbased artist and
filmmaker. He earned a BFA from
Parsons The New School for Design
in 1997 and MFA degree from Bard
College, Milton Avery Graduate
School of Arts, Annandale-onHudson, New York. His art has been
shown at the fifty-fourth Venice
Biennale, Blaffer Art Museum at the
University of Houston, Palais de Tokyo
in Paris, the San Francisco Museum of
Modern Art, White Columns in New
York, Lille3000 in Euralille, France,
the first and second Moscow Biennales,
and the Cooper-Hewitt, Smithsonian
Design Museum in New York.

SP IMAGES FESTIVAL 1 / 24 AUGUST, IFI, 17.00/ 18+

GERIATRICA
Peter Dudar (Canada)
Country of Production Canada
Languange English
Subtitle No Dialogue
14 minutes, Color, 2014

Disorientasi dari ruang temporal, emosional


dan f isis tercermin dalam proyek jangka
panjang Peter Dudar dengan ibunya.

T he d isorientation of both tempora l,


emotional and physical spaces is reflected
in Peter Dudars long term project with his
mother.

Amy Fung

Peter Dudar dikenal sebagai salah satu


anggota dari Toronto arts community.
Dia memulai praktik berkaryanya
dengan Lily Eng di bawan nama
Missing Associates tahun 1972. Di
tahun yang sama, ia berpartisipasi
dalam Canadian Performance Art Tour
of Europe yang pertama.

Peter Dudar is a longtime member


of the Toronto arts community. He
began his interdisciplinary work with
Lily Eng under the name Missing
Associates in 1972, participating
in the first Canadian Performance
Art Tour of Europe in the same
year and following it with numerous
performances around the world.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |287

SP IMAGES FESTIVAL 1 / 24 AUGUST, IFI, 17.00/ 18+

WINTER HOF
Dan Hudson (Canada/Germany)
Country of Production Canada/germany
Languange No Dialogue
Subtitle No Subtitle
3min, color, 2014

Lain hari, lain lintasan lagi. Jendela berselang


waktu ke dalam pola dan pengulangan.

Another day, another passing. Windows


timelapse into pattern and repetition.

Amy Fung

Dan Hudson adalah seniman yang


telah berkarir selama tiga puluh
tahun. Dia juga bekerja sebagai
wartawan foto, dan mengumpulkan
lebih dari 60 karya skala internasional
serta ribuan foto dalam publikasi
di seluruh dunia. Dia menerima
penghargaan, termasuk di Global Art
& Moving Images Award (Cologne,
Jerman, 2013), Choice Award Publik
dari NordArt Contemporary Art
Exhibition (Budelsdorf, Jerman,
2011), Honourable Mention dari
Art Film / Video Montecatini
(Milano, Italia, 2011 ) dan Asolo Seni
Internasional Film Festival (Venice,
Italia, 2011), Grand Jury Award dari
Edmonton International Film Festival
(Edmonton, Kanada, 2010), dll.

288 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Dan Hudson is a mid-career artist


that has maintained an active studio
practice for thirty years. He also
worked as a photo journalist, and
garnered more than 60 international
cover shots as well as thousands of
photos in publications around the
world. He received any awards,
include Global Art & Moving Images
Award (Cologne, Germany, 2013),
Public Choice Award from NordArt
Contemporary Art Exhibition
(Bdelsdorf, Germany, 2011),
Honourable Mention from Art
Film/Video Montecatini (Milano,
Italy, 2011) and Asolo International
Art Film Festival (Venice, Italy,
2011), Grand Jury Award from
Edmonton International Film Festival
(Edmonton, Canada, 2010), etc.

BANGKOK, THAILAND
Dikurasi oleh / Curated by
Mary Pansanga & May Adadol Ingawanij (Cloud Project)

SEBUAH ALEGORI
Apakah realitas? Apakah kebenaran mutlak? Inilah pertanyaan yang kita
jumpai sepanjang hidup. Telah diajukan pula bahwa seluruh kognisi manusia
dilandaskan pada imajinasi. Artinya, tidak ada yang dipersepsikan murni
berdasar pengamatan, semuanya bercampur dalam indra dan imajinasi. Realitas
membuat kita percaya dan membayangkan sekaligus bahwa segala sesuatu
pada akhirnya berhubungan baik melalui serangkaian aturan atau kebetulan.
Hakikat pengamatan, imajinasi, dan realitas hadir dalam pikiran dan
membuat saya bertanya-tanya tentang hubungannya. Apa yang membuat saya
tertarik sesungguhnya datang dari sebuah wawancara Sasithorn Ariyavicha,
sutradara Birth of the Seanma, di mana ia menjelaskan realitas dalam dan
realitas luar. Apakah artinya realitas dalam dan realitas luar? Bagaimana kita
mampu membedakannya? Dan pertanyaan tentang bagaimana menyajikannya
di dunia ilusidunia filem.
Kata ilusi berarti suatu contoh dari sebuah persepsi yang salah atau
kesalahan tafsir dari indra penglihatan dan persepsi manusia. Ilusi sesungguhnya
disebabkan oleh fakta bahwa apa yang ada, seperti abstraksi, pasti berasal dari
materialitas/kebendaan. Filem/sinema terdiri atas serangkaian gambar yang
dapat dikendalikan dan direkayasa oleh seniman seperlunya, dan menghasilkan
kembali momen yang hidup, yang memberikan kebebasan bagi sang seniman
untuk menyusun unsur-unsur dalam sebuah komposisi ruang dan waktu.
Filem/sinema memiliki kualitas menjadi luar biasa memukau, misterius, dan
menakjubkan serta bermaksud memperdaya penonton agar percaya bahwa
adegan-adegannya nyata. Gambar itu ada dan membiarkan kita membayangkan
gambar yang lain dengan menggunakan khayalan kita.
290 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH / SUPPORTED BY ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

Karya-karya dalam dua subprogram ini mengajukan beragam pengamatan


seniman/pembuat filem terhadap kesadaran dalam dan luar mereka. Filemfilem ini menyajikan pengamatan melalui imajinasi mereka demi menciptakan
wajah-wajah realitas yang lain.
Birth of the Seanma (2004) adalah sebuah karya di mana sang seniman
berusaha memahami dirinya sendiri dan realitas dalamnya. Sasithorn tidak
menginginkan apa pun dari identitas realitas itu; ia ingin melarikan diri ke
sebuah dunia lain di mana ia dapat melakukan apa yang ingin ia lakukan dan
mampu mengendalikan hal-hal tanpa kerangka budaya atau pola konvensional
yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa adalah salah satu unsur
terpenting, menciptakan dan menghubungan kita semua. Bahasa adalah apa
yang menciptakan tafsir bersama dalam tiap masyarakat secara global. Sasithorn
bermain dengan konvensi-konvensi bahasa dalam filem ini, memainkan makna
ganda kata-kata di sepanjang filem. Ia menciptakan huruf dan ungkapan, serta
mengembangkan makna-makna baru untuk kata-kata. Karya ini menyiratkan
bahwa baik sekelilingnya maupun bahasa yang ia gunakan untuk menggambarkan
hal itu mengembang melampaui harapan dan konvensi. Manipulasi Sasithorn
atas bahasa mencerminkan rasa kemungkinan yang tak terbatas tersebut. Birth
of the Seanma menguji pemahaman dasar mengenai bahasa tertulis, dan
ketidakpastian yang ada adalah bagian dari hakikat karya ini. Bahasa filem
tidak perlu menjadi bahasa yang kita gunakan sehari-hari, tetapi bahasa visual
dan struktur filem menciptakan makna melalui persepsi dan khayalan kita.
Natee Cheewit (2014), Vanishing Horizon of the Sea (2014), dan Night
Watch (2014) mengajak kita untuk mengalami realitas yang terlihat dalam
karya-karya tersebut. Filem-filem ini merupakan pengamatan atas apa yang
terjadi selama peristiwa tertentu, yang berujung pada ilusi yang diciptakan
oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Mengalami filem/sinema
memungkinkan kita menggambarkan sesuatu melampaui proses pemikiran kita
dan persepsi kita tentang dunia nyata; hal itu dapat membawa kita ke sebuah
dimensi pemahaman yang lain. Gambar-gambar yang terlihat di hadapan kita
membawa kita menuju apa yang digambarkan, dari yang abstrak menuju yang
nyata, atau sebaliknya, dari apa yang ada menuju yang khayali. Bagi seniman/
pembuat filem, pengamatan mereka telah ditransformasikan menjadi ilusi
melalui sudut pandang narator. Karya-karya ini istimewa karena meluaskan
kesadaran kita, baik secara budaya, sosial, maupun politik, dari apa yang kita
lihat, apa yang telah kita lihat, dan apa yang akan kita lihat. Ini adalah tentang
bagaimana kita melihat, menafsirkan, dan menciptakan makna. Saya percaya
bahwa apa yang kita lakukan adalah mengamati dan memahami situasi pada
tatarannya sendiri sebelum akhirnya memandang secara lebih luas.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |291

AN ALLEGORY
What is the reality? What is the absolute truth? This is the question we
encounter throughout our life. It has also been proposed that the whole of
human cognition is based upon imagination. That is, nothing that is perceived
is purely observation but all is a blend between sense and imagination. Reality
makes us believe and also make us imagine at the same time, everything is
eventually connected whether through a set of rules or coincidences.
The essence of observation, imagination and reality comes into my mind
and makes me question their relationship. What interested me actually came
from one of the interviews of Sasithorn Ariyavicha, the director of Birth of
the Seanma in which she explained about outer reality and inner reality. For
her, what she is interested in is inner reality and her work exposes that area.
What does it mean, the inner reality and the outer reality? How are we able
to differentiate between them? and the question of how to present it in the
world of illusionthe film world.
The word Illusion means an instance of a wrong or misinterpreted
perception of a sensory human eye and a humans perception. Illusion is indeed
caused by the fact that what exists, like abstraction must inevitably come from
materiality. Film/cinema consists of a set of images, which the artists can
control and manipulate as needed, reproducing a living moment giving the
artist freedom to arrange elements within a composition of space and time. It
has the quality of being powerfully and mysteriously attractive or fascinating
and intends to deceive the viewer into thinking the scene is real. The image
is there letting us think of another image, and for us to use our imagination.
The works in the two programmes are proposing various observations
of the artists/filmmakers toward their inner sense and outer awareness. To
present their observations through their imagination in order to create other
facets of their reality.
Birth of the Seanma (2004) is a work in which the artist tries to understand
herself and her inner reality. Sasithorn does not want anything with its own
identity, she wants to escape to another world where she is able to do what
she yearns for and to be able to control things without the cultural frame or
the conventional pattern of what exists in real life. Language is one of the
important elements, creating understanding and connecting us together.
Language is what creates a common interpretation in each society and even
globally. Sasithorn plays with linguistic conventions in Birth of the Seanma,
playing on multiple meanings of words throughout the film. Sasithorn invents
letters and expressions and develops new meanings for words. The work
suggests that both her surroundings and the language she uses to describe
292 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

them, expand beyond expectation and convention. Sasithorns manipulation


of language reflects this sense of unlimited possibility. Birth of the Seanma is
to test basic understanding of the written language, and the uncertainty is part
of the very essence of the work. Film language does not need to be language
that we use in everyday life but the visual language and structure of the film,
creating the meaning through our perception and imagination.
Natee Cheewit (2014), Vanishing Horizon of the Sea (2014) and Night Watch
(2014) invites us to experience the reality seen in the works. The observation of
what happens during a specific event which leads to illusions created by certain
groups of people in society. Experiencing film/cinema enables us to describe
beyond our process of thinking and our perception of the real world and can
take us to another dimension of understanding. The images seen before us
lead us to find images that are depicted, from abstract to tangible or the other
way around from the existing to the imaginary. For artists/ filmmakers, their
observations have been transformed into illusion through the narrators point of
view. The speciality of these works is that we can expand the awareness, whether
cultural, social or political, from what we see, what we have seen and what
are we about to see. The question of how we see things and how we interpret
and give them meaning. I believe that what we have been doing is to observe
and understand a situation on its own level before looking at the wider view.
May Adadol Ingawanij, merupakan
direktur peneliti di International
Centre for Documentary and
Experimental Film, Universitas
Westminster, Inggris Raya. Ia menulis
dan mengajar tentang sinema dan
sejarah Asia Tenggara, esttika filem
eksperimental dan independen, dan
praktik-praktik umum mengenai
pameran gambar bergerak. Sebagai
kurator, pada tahun 2012, May
menjadi direktur pada 6th Bangkok
Experimental Film Festival: Raiding
the Archives.

May Adadol Ingawanij, is a Reader


and Director of Research at the
International Centre for Documentary
and Experimental Film, University
of Westminster, UK. She writes
and teaches on cinema and history
in Southeast Asia, independent and
experimental moving image aesthetics,
and radical practices of moving
image exhibition. As a curator, in
2012 May directed the 6th Bangkok
Experimental Film Festival: Raiding
the Archives.

Mary Pansanga lahir di Bangkok,


1984, merupakan kurator independen
dan co-founder Messy Sky/Cloud.
Kurator dari Cinema and Space,
Extracting the Unrecognized
(2013), bagian dari Live at the Scala
Microfestival dan In Transit (2013),
Messy Project Space, di Art Center,
Universitas Chulalongkorn. Ia jga
berpartisipasi sebagai kurator pada 6th
Bangkok Experimental Film Festival
(2012) dan sebagai asisten kurator
pada 5h Bangkok Experimental Film
Festival (2008) dan program Unreal
Asia pada 55th International Short
Film Festival Oberhausen (2009).

Mary Pansanga (b. 1984, Bangokok) is


an independent curator & co-founder
of Messy Sky/Cloud. She curated
Cinema and Space, Extracting the
Unrecognized (2013), as part of Messy
Project Spaces Live at the Scala
Microfestival and In Transit (2013)
at the Art Center, Chulalangkorn
University. She participated as acurator
for the 6th Bangkok Experimental
Film Festival (2012) and was also an
assistant curator of the 5th Bangkok
Experimental Film Festival (2008),
assistan curator of a special program
Unreal Asia at the 55th International
Short Film Festival Oberhausen (2009)

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |293

SP BEFF 1 / 24 AUGUST, IFI, 15.00 / 18+

BIRTH OF THE SEANMA


Sasithorn Ariyavicha (Thailand)
Country of Production Thailand
Language Silent
Subtitle Silent
70 min, B/W, 2004

Laut ialah tempat yang jauh: tempat yang


menggenggam semua waktu, semua peristiwa,
semua ingatan, dari semua yang ada dan segala
hal di dunia; tempat yang menggenggam
masa lalu dari kehidupan, dari hidup yang
hidup, hidup yang tak hidup. Jika kata-kata
dapat dilihat sebagai citra lantas bagaimana
imaginasi kita membacanya.

The sea is the place beyond: the place that


holds all the times, all the moments, all the
memories, of every being and everything in
the world; the place that holds the pasts of
long gone lives, of lives being lived, of lives
yet unlived. If words could be seen as images
then how would our imagination read them.

May Adadol Ingawanij & Mary Pansanga

Sasithorn Ariyavicha (1963, Bangkok)


adalah sineas underground, satu dari
generasi awal yang mengeksplorasi
karya gambar bergerak eksperimental.
Ia memiliki sejumlah filem dan Birth
of the Seanma adalah debut utamanya.
Karyanya sering kali mengungkap
atmosfer misterius yang menipu
kita melalui waktu. Tahun 2001, ia
membentuk Found Footage, sebuah
kelompok produksi dan lokakarya
filem independen di Bangkok, di mana
ia bekerja sebag seorang instruktur di
Experimental Film and Video Art.

294 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Sasithorn Ariyavicha (1963, Bangkok)


is truly an underground filmmaker,
one of an earlier generation exploring
experimental moving image work. She
has made a select number of films and
Birth of the Seanma is her feature dbut.
Her work often reveals mysterious
atmospheres that intrigue us through
time. In 2001 Sasithorn founded
Found Footage, an independent
film workshop and production group
in Bangkok, where she works as an
instructor of Experimental Film and
Video Art.

SP BEFF 2 / 26 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 18+

NATEE CHEEWIT
Phaisit Punpruksachat (Thailand)
Country of Production Thailand
Language Thai
Subtitle English
21 min, Color, 2014

Natee Cheewit adalah dokumenter sinematik


yang mengajak kita mengalami momen
kehidupan ketika seseorang mencoba bertahan
hidup dengan kerja sama masyarakat. Natee
cheewit dalam Bahasa Thai berarti titik
waktu selama situasi hidup atau mati. Karya
berdurasi dua puluh menit yang membuat kita
bertanya-tanya tentang perjuangan hidup
kita sendiri.

Natee Cheewit is a cinematic documentary


that invites us to experience that moment in
life when one is trying to survive with the
cooperation of the community. Natee cheewit
in Thai means the point in time during a life or
death situation. A very intense twenty minutes
that makes us wonder at our own life struggles

May Adadol Ingawanij & Mary Pansanga

Phaisit Punpruksachat, seorang


sineas virtuoso dan seniman suara. Ia
mulai bereksperimen dengan medium
gambar bergerak pada awal 90-an
bersamaan dengan ketertarikannya
terhadap karya bunyi. Ia telah bekerja
umumnya sebagai seorang sound mand
dengan para seniman dan pembuat
filem.Phaisit mengombinasikan
kedua elemen tersebut dalam cara
yang menarik ia menangkap objek
dan momen ganjil dan secara berbeda
mengkonstruksi naratif melalui footagenya sendiri atau melalui found footage.

Phaisit Punpruksachat, a true


virtuoso filmmaker and sound artist.
He began to experiment with the
moving image medium in the early 90s
together with his interests in sound
work. He has worked mainly as a
sound man for artists and filmmakers.
Phaisit combines these two elements
in a fascinating way. Phaisit captured
peculiar objects and moments and
distinctively constructed the narrative
through his own footage and also found
footage.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |295

SP BEFF 2 / 26 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 18+

VANISHING HORIZON
OF THE SEA
Chulayarnnon Siriphol (Thailand)
Country of Production Thailand
Language Thai
Subtitle English
24min, B/W, 2014

Vanishing Horizon of the Sea adalah keinginan


masa lalu dalam dunia digital, melalui
eksperimentasi puitik, tentang penciptaan
gambar bergerak dengan medium usang,
video VHS. Filem ini menggambarkan tubuh
rusak dan ingatan masa lalu yang perlahan
lenyap di bawah laut.

Vanishing Horizon of the Sea is the desire


of the past in the digital world, through
poetic experimentation it is about moving
images created with an obsolete medium,
VHS-video. It describes broken bodies and
past memories that gradually fade away and
eventually disappear under the sea.

May Adadol Ingawanij & Mary Pansanga

Chulayarnnon Siriphol lahir di


Bangkok tahun 1986, di mana saat ini
ia tinggal dan bekerja. Karya-karyanya
berupa filem berdurasi pendek,
dokumenter dan seni video. Sebagian
besar karyanya terinspirasi dari ingatan
personal dan krisis politik Thailand.
Ia telah memenangkan banyak
penghargaan filem. Karya-karyanya
telah ditayangkan di banyak pameran
dan festival di Asia dan Eropa.

296 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Chulayarnnon Siriphol was born in


Bangkok in 1986 where he currently
lives and works. He works in short
film, documentary and video art. Most
of his works are inspired by personal
memory and the Thai political crises.
He has won many short film awards.
His works have been screened in many
film festivals and exhibitions in Asia
and Europe.

SP BEFF 2 / 26 AUGUST, KINEFORUM, 13.00 / 18+

NIGHT WATCH
Danaya Chulphuthiphong (Thailand)
Country of Production Thailand
Language Thai
Subtitle English
10 min, Color, 2014

Melihat mela lui sat u ma lam biasa, di


bawah situasi normal, selama kudeta. Apa
yang tertinggal di masyarakat setelah era
pemerintaha milter. Sebuah observasi dari
si seniman dan pengiringannya dari gerakan
yang cepat dan lambat, menyesali keengganan
Pemerintah untuk memberikan kebebasan
yang memadai.

Watching through an ordinary night, under


the situation normal, during the coup detat.
What remains in society after being under
military rule. An observation of the artist and
her following of quick and slow movement,
deploring the Governments unwillingness to
provide adequate freedoms.

May Adadol Ingawanij & Mary Pansanga

Danaya Chulphuthiphong mendapat


gelar BA di bidang arkeologi dan
MFA di bidan seni visual. Ia memulai
karir sebagai fotografer dokumenter
di sebuah majalah dan suratkabar.
Tahun 2004, Danaya membuat filem
pertamanya, Night Watch yang telah
terpilih berpartisipasi dalam Kompetisi
Internasional di International Short
Film Festival Oberhausen ke-61dan
ditayangkan di Images Festival ke-28
dan Pistes Tokyo 2015.

Danaya Chulphuthiphong holds


a BA in Archaeology and MFA in
Visual Arts. She started her career
as a documentary photographer for
a newspaper and magazine. In 2014,
Danaya made her first short film
Night Watch which has been selected
for participation in the International
Competition of the 61st International
Short Film Festival Oberhausen and
screened as part of the 28th Images
Festival and Hors Pistes Tokyo 2015.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |297

TOKYO, JAPAN
Dikurasi oleh / Curated by
Koyo Yamashita

DI BALIK DINDING DAN DI


LUAR DINDING
Tokyo telah dihancurkan beberapa kali sejak modernisasinya pada akhir
abad ke-19. Bangunan-bangunan beton modern awal rata dengan tanah
gara-gara gempa bumi pada 1923. Lalu kota itu terbakar menjadi abu karena
pengeboman besar-besaran oleh AS pada 1945. Pertumbuhan ekonomi yang
cepat selama periode pascaperang pada 1960-an melenyapkan lingkunganlingkungan tua dan menciptakan Tokyo metropolis yang modern. Kemudian
pada super inflasi perekonomian era 1980-an dan ledakannya yang mendadak
juga menciptakan efek mendalam atas bentang kota (cityscape). Selanjutnya
sebuah gempa bumi lain dan bencana nuklir yang menyertainya pada 2011
masih menyisakan permasalahan dan konsekuensi yang sukar dilihat. Kita tak
tahu bagaimana Tokyo terlihat lima puluh tahun yang lalu karena bentang
kota telah sepenuhnya berubah. Namun, apa gagasan yang mendasari bentang
kota yang selalu berubah, kontemporer, dan super modern ini? Apakah kini
kita betul-betul bebas dari hantu-hantu masa lalu? Atau, apakah kita berada
dalam mimpi yang tak berujung, mimpi yang sama selama 100 tahun?
Wavy (2014) karya Akira Miyanaga sungguh merupakan gelombang bentang
kota yang datang dan pergi bak gelombang laut, selalu mengubah bentuk dan
lebur dalam citra-citra yang berbeda. Jika Anda perhatikan, bahwa filem ini
dibuat setelah 2011, tahun berlangsungnya tsunami besar dan bencana nuklir di
Tohoku, Anda akan menemukan alasan mengapa kota-kota ini tampak rapuh
dan mengambang. Hal ini mengingatkan kita pada gelembung yang muncul
dan lenyap di sungai yang diacu oleh Kamo-no Chomei, seorang tokoh utama
sastra petapa (recluse literature) pada era pertengahan Jepang, yang menjadi
petapa setelah gempa bumi dan bencana di Kyoto.
298 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH / SUPPORTED BY ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

Berawal dari teks masyhur Di bawah pohon-pohon ceri mayat-mayat


dikuburkan oleh penyair terkenal dari periode 1920-an, Motojiro Kajii, Textism
(2003) karya Isamu Hirabayashi bermain dengan lapisan-lapisan naratif yang
terakumulasi dalam sejarah. Hirabayashi menyiratkan bagaimana kita terikat
pada dan tak dapat terbebas dari sejarah dan teks yang tertulis dengan humor
yang sinis. Bahkan, yang telah mati pun tak terbebaskan dari teks dalam
Textism. Metafora itu semakin tampak gelap jika Anda perhatikan bahwa
mekarnya bunga ceri kerap digunakan sebagai simbol spirit Jepang yang murni.
Pertambangan batubara di Pulau Hajima (kini disebut juga Gunkanjima,
pulau kapal perang, dari bentuknya) jelas memainkan peranan penting dalam
pertumbuhan ekonomi Jepang selama awal abad ke-20. Karya Mikio Okado,
hierophanie (2002), merayakan ritual misterius di pulau ini yang kini telah
menjadi reruntuhan puing setelah pulau tersebut ditinggalkan pada 1970-an.
Melalui ritual itu, pulau tersebut tampak seolah diusik hantu gentayangan yang
mengimpikan hari-hari kejayaan pulau pada masa puncak industrialisasinya.
Pulau itu didaftarkan sebagai Warisan Dunia UNESCO oleh Pemerintah
Jepang kendati ditentang keras oleh Pemerintah Korea yang mengklaim bahwa
tambang-tambang di pulau itu mempekerjakan tenaga paksa dari Korea dan
Tiongkok pada Perang Dunia II.
Filem-filem dalam program Behind the Walls ini diputar secara kronologis
berdasarkan tahun produksi, untuk menciptakan sorotan pada 2011, tahun
gemba bumi dan bencana nuklir.
Tomomi Ishiyama mencoba menarik sebuah gambaran besar tentang sejarah
pascaperang Jepang menggunakan suara-suara para arsitek dan kritikus paling
terkenal seperti Tadao Ando, Arata Isozaki, dan Toyo Ito dalam dokumenter
Inside Architecturea Challenge to Japanese Society (2015). Menggunakan
gambar-gambar kepala yang sedang berbicara dari dekat, filem ini secara unik
menciptakan momen-momen dramatis dengan membenturkan pendapatpendapat dan kisah-kisah yang berbeda dari para pembicara. Ledakan ekonomi
Jepang telah menciptakan peluang bagi para arsitek untuk bercermin pada
gagasan-gagasan asli mereka sendiri. Posmodernisme dalam arsitektur kini
dipandang sebagai kitsch dan simbol penyia-nyiaan uang di Jepang, walaupun
filem ini memberikan gambaran yang positif tentang itu dengan meletakkannya
dalam kontras dengan arsitektur homogen yang dibuat oleh tuntutan superkomersialisme. Filem ini dibuat berdasarkan komisi untuk Biennale Arsitektur
Venezia yang berfokus pada modernisme.
Apa yang kita saksikan di sini adalah sebuah dokumenter panjang dan
delapan filem eksperimental pendek yang berisi tentang bentang kota kontemporer
Jepang.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |299

BEHIND THE WALLS &


BEYOND THE WALLS
Tokyo has been destroyed several times since its modernization since the late
19th century. The early modern concrete buildings were flattened in the great
earthquake in 1923. Then it was burnt down to ashes by severe bombings
by the US in 1945. The rapid economic growth during the postwar period
in the 60s wiped out the old neighborhood and created modern metropolis
Tokyo. And the super-inflation of the economy in the 80s and its sudden burst
also made a deep effect on its cityscape. Then another earthquake and the
succeeding nuclear disaster in 2011 which is still being unsolved and difficult
to see the consequences. We do not know how Tokyo looked like 50 years ago
since the cityscape has changed completely. But what is the idea beneath this
contemporary, super-modern, ever-changing cityscape? Are we now totally
free from the ghosts of the past? Or are we in an endless dream, dreaming
the same dream for 100 years?
Akira MIYANAGAs WAVY, is indeed waves of cityscapes which come
and go like waves, always changing shapes and dissolves to different images. If
you notice that the film is made after 2011, the year of the great Tsunami and
the nuclear disaster in Tohoku, you might find a reason why these cities look
so fragile and drifty. It reminds us of the bubbles which emerge and vanish in
the river referred by Kamo-no Chomei, a main figure of recluse literature in
medieval Japan who became a hermit after earthquakes and disasters in Kyoto.
Starting from a famous text Beneath the cherry trees corpse are buried
by a famous poet from the 1920s, Motojiro KAJII, Isamu HIRABAYASHIs
TEXTISM plays with the layers of the narratives accumulated in the history.
HIRABAYASHI implies how we are bound to and cant be freed from written
text and history with dry humor. Even the dead cant be free from text in
TEXTISM. The metaphor becomes even darker if you notice that the cherry
blossom is often used as symbol of a pure Japanese spirit.
The coal mining of Hajima island (now it is nicked named as Gunkanjima,
battleship island from its look) surely played an important role in the growth of
Japanese economy during the early 20th century. Mikio OKADOs hierophanie
celebrates a mysterious ritual on this island which is now a complete ruin after
it was abandoned in the 1970s. Through its ritual, the island looks as if it is
haunted by ghosts wandering around dreaming in the islands glorious days of
its industrial peak. The island is submitted for the UNESCO World Heritage
by the Japanese government although it was strongly contested by the Korean
300 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

government claiming that the island mines employed the forced laborers of
Korea and China during WWII.
The films are shown chronologically by the year of production in the
program Behind the Walls trying to make a spot on the year 2011, year of the
earthquake and nuclear disaster.
Tomomi ISHIYAMA tries to draw a big picture of the history of postwar Japan, using the voices of the most famous architects and critics such as
Tadao ANDO, Arata ISOZAKI and Toyo ITO in the documentary Inside
Architecture a Challenge to Japanese Society. Using basically the talkingheads, it uniquely creates dramatic moments by clashing different opinions
and stories of the speakers. Japanese economy boom has made possible for the
architects to attempt to reflect their own original ideas. Post-modernism in
architecture is now regarded as kitsch and a symbol of money waste in Japan,
although the film gives a light to it, putting it in contrast to the homogeneous
architectures made by the demand of super-commercialism. The film was
made as a commission for the Venice Architecture Biennale which focused
on modernism.
What we see here is one feature documentary plus 8 short experimental
films which deal with contemporary cityscapes of Japan.

Koyo Yamashita adalah seorng kuator


filem, lahir di Tokyo, Jepang. Dia
menjadi Direktur Image Forum sejak
2001. Dia juga programmer di Theater
Image Forum di Shibuya, Tokyo, sejak
2005. Telah menjadi kurator tamu
di berbagai festival seni dan filem,
baik di dalam maupun di luar Jepang.
Juga menjadi kurator untuk proyek
eksibisi filem untuk seniman animasi
independen, Thinking and Drawing
(2001). Penasihan untuk koleksi
filem dan video pada Asian Culture
Center di Gwangju, Korea Selatan.
Dia juga pernah menjadi juri festival
internasional, seperti Hong Kong
International Fim Fstival, Cannes
Directors Fortnight, dan Rotterdam
International Film Festival, dll.

Koyo Yamashita is a film curator who


was born in Tokyo, Japan. He has
been festival director of Image Forum
Festival since 2001. Programmer of
Theater Image Forum in Shibuya,
Tokyo since 2005. Has been guest
programmer/curator for many film and
media art festivals and film events in and
outside Japan. Also curator for the film
exhibition/DVD project for Japanese
emerging independent animation artist,
Thinking And Drawing (2001). Advisor
for collection of film and videofor
Asian Culture Center in Gwangju,
Korea. He has served as jury for many
international film/art festivals such as
Hong Kong International Film Festival,
Cannes Directors Fortnight, Rotterdam
International Film Festival, etc.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |301

SP IMAGE FORUM 1 / 27 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 / 18+

HIEROPHANIE
Mikio Okado (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
9 minutes, Color, 2002

P u lau Gunk a njima tela h sa ma sek a l i


ditinggalkan. Sebuah bangunan pernah
terbakar dan cahaya kehidupan sehari-hari
telah berubah menjadi kuburan. Satu malam,
seberkas cahaya menyinari setiap ruang
satu demi satu. Si pembuat filem merekam
kejadian seremonial ini dengan kamera,
kemudian memanfaatk an efek digita l
untuk menyesuaikan aliran cahaya dalam
bangunan tersebut. Judul filem ini sendiri
berarti perayaan rahasia.

The island of Gunkanjima is completely


abandoned. Buildings once lit with fires
and lights of daily life have turned into
concrete gravestones. One night, a sudden
spark illuminates each room one by one. The
filmmaker records this almost ceremonial
happening with fixed camera, then uses digital
effects to match the luminous fluxes in this
requiem for the unknown building. The title
means secret ceremony.

Koyo Yamashita

Mikio Okado (lahir di Tokyo, 1979)


lulus dari Image Forum Institute of
Moving Image, Tokyo University of
the Arts. Dia memenangkan beberapa
penghargaan festival atas karyanya,
hierophanie.

302 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Mikio Okado (b. 1979 in Tokyo)


graduated from Image Forum Institute
of Moving Image, Tokyo University
of the Arts. He won several festival
awards with hierophanie.

SP IMAGE FORUM 1 / 27 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 / 18+

TEXTISM
Isamu Hirabayashi (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
11 minutes, Color, 2003

Di bawah pohon ceri, selalu ada sebuah


bangkai.... Setelah dibuka dengan kuotasi
dari baik puisi karya Motojiro Kaji di awal
Abad 20 itu, dan image pohon raksasa penuh
cabang, Textism tiba-tiba mengubah kunci
dan kar ya-kar ya penuh humor masam
pun muncul. Tiga cerita, masing-masing
berdiri sendiri, dikisahkan menggunakan
subtitle dan bunyi sintetis dari komputer.
Dengan presentasi citra yang efektif tersebut,
memento mori sang seniman mendorong
memento moji (teks dalam Bahasa Jepang)
ke hadapan kita.

Under a cherry tree, theres always a corpse


After a literary opening featuring this quote
from Motojiro KAJII, poet from the early 20th
century, and the image of a giant, bifurcated
tree, Textism suddenly changes key and a work
full of wry humor emerges. Three stories,
each somewhat aloof in tone, are told using
subtitles and computer generated synthetic
sounds. With its effective presentation of
images, this artists memento mori compels
us also memento moji (text-in Japanese).

Koyo Yamashita

Isamu Hirabayashi adalah salah


sineas Jepang yang lahir tahun 1972
di Shizuoka Preceture. Setelah lulus
dari Musashino Art University,
dia menjadi desainer grafis di
sebuah perusahaan periklanan. Dia
kemudian meninggalkan pekerjaan
itu dan menjadi sutradara filem. Dia
telah bekerja untuk sejumlah karya
komersial di Jepang. Dia juga berkarya
memproduksi karya eksperimental,
antara lain Babin (2006), Aramaki
(2009) dan Ninja and Soldier (2012).

Isamu Hirabayashi was born in


1972 in Shijuoka Prefecture, Japan.
After graduating from Musashino
Art University, he became a graphic
designer at an advertising production
company. He then left this job and
became a freelance film director.
He has worked on the production of
numerous commercials in Japan. While
working on these commercials he set
out to produce experimental films. His
works include: Babin (2006), Aramaki
(2009), and Ninja and Soldier (2012)

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |303

SP IMAGE FORUM 1 / 27 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 / 18+

Z REACTOR
Kazuhiro Goshima (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
11 minutes, Color, 2011

Sebuah eksplorasi fotografis metropolitan


Jepang dengan bidikan terhadap atmosfir
malam hari, jalanan sunyi dan stasiun nan
padat. Pergeseran minimal di dalam image
dan percepatan tiba-tiba, menciptakan sebuah
kenyataan paralel.

A photographic exploration of a Japanese


metropolis with atmosphericnight shots,
deserted streets and crowded subway stations.
Minimalshifts in the image and abrupt
accelerations create a parallel reality.

Koyo Yamashita

Kazuhiro Goshima lahir tahun 1969.


Berjibaku dengan kerja kreatif yang
berhubungan dengan tema-tema analog
dan digital. Dia telah memenangkan
banyak penghargaan internasional,
termasuk untuk karyanya Shadowland
(2013) yang memenangkan Award of
Distinction di Ars Electronica.

304 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Kazuhiro Goshima was born in 1969.


Engages in creative work on the themes
of taking apart sensation and border
between analog and digital. Has won
many international awards. Including
3D film Shadowland (2013) which
won the Award of Distinction in Ars
Electronica.

SP IMAGE FORUM 1 / 27 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 / 18+

663114
Isamu Hirabayashi (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
8 minutes, Color, 2011

Sebuah komentar lurus dan kuat penuh


kejenakaan tentang insiden nuklir yang
terjadi setelah tsunami pada Maret 2011.
Hirabayashi membuat animasi ini dalam satu
cara yang luput oleh sineas lainnya di Jepang.

A strong, straight comment with full of wit on


the nuclear incident which happened after the
tsunami in March 2011. Hirabayashi made this
animation film in a way no other filmmaker
in Japan dared or were able to make.

Koyo Yamashita

Isamu Hirabayashi adalah salah


sineas Jepang yang lahir tahun 1972
di Shizuoka Preceture. Setelah lulus
dari Musashino Art University,
dia menjadi desainer grafis di
sebuah perusahaan periklanan. Dia
kemudian meninggalkan pekerjaan
itu dan menjadi sutradara filem. Dia
telah bekerja untuk sejumlah karya
komersial di Jepang. Dia juga berkarya
memproduksi karya eksperimental,
antara lain Babin (2006), Aramaki
(2009) dan Ninja and Soldier (2012).

Isamu Hirabayashi was born in


1972 in Shijuoka Prefecture, Japan.
After graduating from Musashino
Art University, he became a graphic
designer at an advertising production
company. He then left this job and
became a freelance film director.
He has worked on the production of
numerous commercials in Japan. While
working on these commercials he set
out to produce experimental films. His
works include: Babin (2006), Aramaki
(2009), and Ninja and Soldier (2012)

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |305

SP IMAGE FORUM 1 / 27 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 / 18+

IT HAS ALREADY BEEN ENDED


BEFORE YOU SEE THE END
Shigeo Arikawa (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
11 minutes, Color, 2012

Sebuah jendela dalam jarak yang sangat


dekat, perlahan terbuka. Sudut pandang,
cahaya dan layar perlahan saling bertukar
sebagaimana mereka bergerak secara paralel.
Keheningan dalam pergerakan. Awal dalam
sebuah akhir. Getaran rasa yang amat kecil
itu membengkak dalam keheningan waktu.
Apakah akhir itu? Salahkah membaca pesan
apa pun darinya?

A window in close up, steadily slides open.


The viewpoint, light and screen gradually
alter as they go through parallel movements.
Stillness in movement. Beginnings in an
ending. The miniscule vibration of senses
swells in the stillness of time. What is the
end? Is it wrong to read any message here?

Koyo Yamashita

Shigeo Arikawa lahir tahun 1982


di Tokyo. Tinggal di Amsterdam.
Lulusan University of the Arts, Tokyo.
Dia telah memenangkan penghargaan
dari Image Forum Festival atas
karyanya Her Ironical Me (2008).

306 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Shigeo Arikawa was born in 1982 in


Tokyo. Lives in Amsterdam. Graduate of
University of the Arts in Tokyo. He has
won an Image Forum Festival award
with Her Ironical Me (2008).

SP IMAGE FORUM 1 / 27 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 / 18+

VANISHING CIRCUIT
Shunsuke Hasegawa (Japan)
-Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
13 minutes, B/W, 2014

Seorang laki-laki yang mencoba membaca


perilaku manusia dari luar tubuh, terhubung
dengan seorang perempuan melalui kesadaran
lain di dalam tubuh via sebuah sirkuit.
Monolog keduanya mend iami sebua h
keseharian monokrom, dan menjadi sudut
pandang impersonal dalam melihat dunia.
Setengah abad telah berlalu sejak La Jete-nya
Chris Marker dibuat dari still fotografi, dan
efek digital telah melahirkan sebuah dunia
aneh dari percampuran antara citra bergerak
dan citra diam.

A man who watches human behavior from


outside of a body is connected to a woman
with a different consciousness inside the body
via a circuit. Their monologue inhabits
a monochrome everyday, and becomes an
impersonal perspective looking out at the
world. Half a century has passed since Chris
Markers La Jete a film made from still
photographs, and digital masking effects have
given birth to a strange world of intermingled
moving and still images.

Koyo Yamashita

Shunsuke Hasegawa lahir di Tokyo,


tahun 1989. Melanjutkan pendidikan
ke Musashino Art University setelah
lulus dari Kawaguchi Art School,
Waseda University. Mempelajari
gambar bergerak dengan fokus pada
sinema. Karyanya, Vanishing Circuit
telah terpilih dalam Karlovy Vary Film
Festival 2015..

Shunsuke Hasegawa was born in


Tokyo in 1989. Entered Musashino
Art University after graduating from
Kawaguchi Art School of Waseda
University. Studies moving images with
a focus on cinema. Vanishing Circuit
has been officially selected in Karlovy
Vary Film Festival 2015.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |307

SP IMAGE FORUM 1 / 27 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 / 18+

REPLY; REPEAT REPEATED;


FAVORITE FAVORITED
Rieko Ouchi (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
5 minutes, Color, 2014

Gambar iklan kotor ditampilkan di ganggang belakang kota. Kita bahkan melupakan
kejijikan dan hanya merasakan iritasi yang
samar. Dengan cara yang sama, email-email
sampah dan banner membentang tanpa
akhir di seluruh situs online, seperti papan
iklan pinggiran jalan di dunia Internet. Ini
adalah sebuah karya animasi yang dibuat oleh
sutradara perempuan muda, yang terampil
menggambarkan iritasi semacam itu ini
dalam durasi 5 menit. Sebuah komentar pada
lanskap Internet dengan perspektif gender.

Squalid advertising images are displayed


in the back alleys of a city. We forget even
our disgust and feel only a vague irritation.
In the same way, junk emails and banners
stretched end-to-end across websites are like
the bill-boarded roadsides of the Internet.
This is an animated work done by a young
female director skillfully illustrates this
irritation over its 5 minute running time. A
comment on the Internet landscape with a
gender perspective.

Koyo Yamashita

Rieko Ouchi lahir di Hokkaid


Prefecture tahun 1990. Belajar
membuat filem di Hokkaido University
of Educations Graduate School
sembari melanjutkan aktivitas berkarya
animasi. Karyanya, antara lain Ed
Adam and Lewdness Eve (2012), Breath
of Sound (2013) dan Curtain Curtain
Curtain (2014)

308 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Rieko Ouchi was born in Hokkaid


Prefecture in 1990. Studies filmmaking
at Hokkaido University of Educations
Graduate School while continuing to
create mainly animated works. Major
works include Ed Adam and Lewdness
Eve (2012), Breath of Sound (2013) and
Curtain Curtain Curtain (2014).

SP IMAGE FORUM 1 / 27 AUGUST, KINEFORUM, 15.00 / 18+

WAVY
Akira Miyanaga (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
10 minutes, Color, 2014

Alasan menggunakan judul Bahasa Inggris,


karena kata Wavy dibutuhkan untuk
mengajukan tanda penyebaran modernisasi
dan universalisasi yang telah mengukir bagian
bawah lanskap Jepang lazimnya. Akira
Miyanaga.

The reason of an English title was used is that


this word WAVY was needed to suggest
the signs of the spread of modernization and
universalization that have become etched
on the underside of the familiar Japanese
landscape. Akira MIYANAGA.

Koyo Yamashita

Akira Miyanaga (lahir di Hokkaido


tahun 1985) saat ini tinggal di Kyoto.
Lulusan Kyoto City Universityof
the Arts Graduate School. Dia
penerima Kyoto City Art and Culture
Special Encouragement tahun 2011.
Membuat karya video dan instalasi
yang umumnya di ranah seni modern
menggunakan teknik superimposisi
pada footage pertunjukan live dengan
kamera video. Menyusu karya tugas
akhirnya, Wondjina (2009), dia telah
membuat beberapa karya video dan
instalasi, seperti About The Lights of
Land (2010) dan Kiwa (2013).

Akira Miyanaga (born in Hokkaido


in 1985) currently resides in Kyoto.
Graduate of Kyoto City University
of the Arts Graduate School. Was a
Kyoto City Art and Culture Special
Encouragement recipient in 2011.
Creates video and installation works
mainly in the field of modern art
using superimposition techniques on
live action footage shot with a video
camera. Following his graduation
work Wondjina (2009) he has created
numerous other video and installation
works including About The Lights of
Land (2010) and Kiwa (2013).

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |309

SP IMAGE FORUM 2 / 27 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 / 18+

INSIDE ARCHITECTURE
A CHALLENGE TO JAPANESE SOCIETY
Tomomi Ishiyawa (Japan)
Country of Production Japan
Language Japanese
Subtitle English
73min, 2015

Karya ini sebenarnya diproduksi untuk


ditampilkan pada Architecture Venice
Bie n n a le 2 014 . S e ja k it u , shot te r u s
ditambahkan saat editing. Orang yang
diwawancari di filen ini, antara lain Arata
Isozak i, Tadao Ando, Toyoo Ito, yang
memimpn masyarakat arsitektural Jepang
serta tokoh arsitek internasional, seperti
Rem Koolhaas dan Peter Eisenman. Filem
ini memamarpakan perkembangan arsitektur
Jepang modern selama 40 tahun dalam
hubungannya dengan perubahan politikekonomi dan dinamika sosial.

Inside Architecture A Challenge to Japanese


Society was produced to be shown at the
2 014 A rc h ite c t u re Ven ic e Bien n a le .
Since then, more shots were added, while
editing. Interviewees in this film include
Arata ISOZAKI, Tadao ANDO, Toyoo
ITO, who have been leading the Japanese
architectural society as well as international
star architects such as Rem KOOLHAAS
and Peter EISENMAN. The film reveals the
development of modern Japanese architecture
for 40 years in relation to the dynamic societal
and political-economic changes.

Koyo Yamashita

Tomomi Ishiyama dari Tokyo, belajar


Housing and Architecture di Faculty
of Human Sciences and Design, Japan
Womens University, serta Urban
Planning di City University of New
York. Ia menjadi tertarik dengan dunia
produksi filem setelah mengikuti
kuliah tentang kota dan filem oleh
Joan Copjec. Sekembalinya ke Jepang,
ia mulai membuat filem Last Days of
Summer (2012).

310 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Tomomi Ishiyama from Tokyo,


studied Housing and Architecture at
the Faculty of Human Sciences and
Design, Japan Womens University,
as well as Urban Planning at City
University of New York. She became
interested in film production after
attending a lecture about cities and
films by Joan Copjec. Upon returning
to Japan, she had started making films
Last days of Summer (2012).

SEOUL, REPUBLIC OF KOREA


Dikurasi oleh / Curated by
Jangwook LEE

MEMORI LANSKAP
Apakah sesungguhnya lanskap? Apakah artinya jejak-jejak? Atau apakah
serangkaian proses? Seiring aspek lanskap yang berubah, memori pun secara
alamiah bergerak. Lanskap yang termodifikasi ini terkadang membuat bingung
memori dalam arus waktu kronologis. Kemudian, memori dalam kekacauan
merakit kembali lanskap hingga menjadi lanskap yang lain. Lanskap yang
terlihat sangat keras lantas menjadi semakin lembut dan semakin lembut.
Di sini, mungkin inilah momen saat lanskap menyingkapkan dirinya sendiri
tanpa menyembunyikan tepiannya yang tajam.
Suatu hari saya kebetulan berjumpa teman saya. Kami mengobrol dan
sampai pada kisah tentang sekolah menengah kami. Bangunan sekolah itu sudah
tidak ada di lokasi di mana kami menghabiskan waktu bersama-sama. Alihalih, terdapat sebuah hotel besar di sana. Kami senang mengingat detail-detail
sekolah itu dan area di sekitarnya. Bahkan kami dapat memiliki keterikatan
emosional dengan mengetahui bahwa memori kami tentang detail ternyata
mirip. Saya berkesempatan mengunjungi lokasi sekolah tersebut setelah itu.
Dan tempat itu memaksa saya untuk berkontemplasi mengenainya selama
beberapa waktu. Setelah beberapa lama, saya mulai mencurigai perasaan yang
saya alami bersama-sama teman saya. Itulah permulaan retaknya detail-detail
yang begitu kokoh. Saya pun menjadi ingin tahu. Bagaimana detail memori
terbentuk dan begitu mirip (dapat dikatakan identik pada taraf tertentu).
Tempat-tempat itu mendekat pada saya dengan sebuah cara yang berbeda.
Belumlah seberapa lama bahwa masyarakat Korea mengalami perubahanperubahan dramatis. Lanskap yang kita ingat hampir tak ada lagi. Alih-alih,
memori tentang suatu tempat (lanskap) tertentu tampaknya tak mengalami
perubahan besar. Kita telah diedukasi mengenai bagaimana cara melakukan
tindak mengingat dengan menerapkan naratif-naratif yang tetap, dan selanjutnya
312 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH / SUPPORTED BY KOREAN CULTURAL CENTER INDONESIA

itu berakhir dengan tindak berbagi emosi yang sama sebagai hasil sampingnya.
Lanskap telah diubah dengan mudah tetapi tindakan memori yang dipandang
sebagai tindakan dalam ranah kebebasan, sebaliknya, semakin kaku sebagaimana
semen. Menurut saya, ini fenomena yang mengungkapkan gejala kurangnya
pengakuan kita terhadap dunia di sekeliling kita.
Program ini berawal dari pengalaman pribadi saya dan rasa penasaran akan
lanskap. Saya utamanya berfokus pada hubungan antara lanskap dan ingatan.
Khususnya, saya ingin berfokus pada pernyataan-pertanyaan oleh seniman yang
telah berbagi ruang dan waktu tertentu dalam konteks masyarakat Korea. Ada
lima filem dalam Program 1. Saya kira lima filem itu berhasil menunjukkan
sikap kontemplasi atas lanskap. Filem-filem ini menunjukkan cara-cara ingatan
yang berbeda. Menariknya, ruang yang dihadapi empat seniman ada di luar
Korea. Namun, memori mereka seakan tertancap pada masyarakat Korea. Di
sini saya mengasumsikan bahwa mereka tengah berhadapan dengan lanskap
yang tak hanya dalam aspek fisiknya, tetapi juga pada tataran spiritual.
Program 2 adalah pertunjukan filem dan bunyi yang menjelajahi lanskap yang
terekam, memori, dan hubungannya. Penonton akan mengalami tak hanya
hasil kontemplasi, tetapi juga prosesnya. Pertunjukan ini ditujukan sebagai
reaksi terhadap cara melihat secara terpelajar.
Program ini adalah sebuah praktik pribadi bagi saya, sekaligus sebuah cara
bercakap-cakap dengan para seniman lain. Namun, percakapan ini bukanlah
seperti berbagi detail yang sama dan mengkonsolidasikan ikatan emosional.
Lebih tepatnya, percakapan ini adalah tentang detail yang sedemikian beragam
yang dibentuk oleh para seniman yang tinggal di tengah masyarakat yang
sama. Kami dapat menjumpai kegelisahan dan kesendirian di tengah-tengah
percakapan. Jika itu aspek paling telanjang dari hidup, kami dengan siap dan
senang akan menghadapinya.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |313

MEMORY OF/ON
LANDSCAPE
What is the landscape? Does it mean traces? Or is it a series of process? As the
aspect of the landscape changes, memory also moves naturally. This modified
landscape sometimes confuses the memory in the chronological time flow. And
then, memory in the chaos reassembles the landscape to another kind. The
landscape which looks very hard becomes softer and softer. Here, maybe this
is the very moment the landscape reveals itself without hiding its sharp edge.
One day, I met my old friend by chance. We had a chat and reached to
the story of our middle school we went together. The school building does not
exist anymore at the place we spent time together. Instead, there is a huge
residential hotel in there. We were happy to recall the details of the school and
the area near it. Even we could have an emotional tie between us by knowing
that our memories of details were surprisingly similar. I had a chance to visit
the school site afterward. And the place forced me to contemplate it for some
time. After some moments, I started to suspect the feeling that I shared with
my friend. It was a beginning of cracks on the very firm details. And I became
curious. How the details of memory formed and were very similar (It can be said
identical at some point). The places were approaching to me in a different way.
Korean society has experienced the dramatic changes in the near past.
The landscape we remember almost does not exist anymore. But instead, the
memory on the specific place(landscape) seems not to experience big changes.
We have been educated how to perform an act of memorizing by applying
fixed narratives, and then it ended up with sharing similar emotions as a byproduct. The landscape has been changed easily, but the act of memory which
regarded as a action in the realm of freedom is getting stiffer like a plaster on
the contrary. I think it is a phenomenon which reveals the symptoms of our
lack of recognition on the world surrounding us.
This program started from my personal experience and curiosity on
landscape. I focused mainly on the relationship between landscape and memory.
Particularly I wanted to focus on the statements by the artists who had been
sharing the specific time and space in the context of Korean society. There are 5
films in the Program 1. I think 5 works show the attitude of contemplation on
landscape. They show very different ways of memory. Interestingly, the spaces
which 4 artists are dealing with are all out of Korea. But their memories seem
to stick to Korean society. Here I assume that they are dealing the landscape
not only in the physical aspect, but also in the spiritual level. Program2 is a film
314 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

and sound performance exploring the recorded landscape, memory and their
relationship. Audiences will experience not only the result of contemplation,
but also the process of it. This performance aims to react to the educated way
of seeing.
The program is a personal practice for me and a way of conversation with
other artists at the same time. But, the conversation is not a kind of sharing
the same details and consolidating the emotional ties. That is rather about the
very heterogeneous details which had been formed by artists who lived in the
same society. We may find anxiety, fear, and loneliness in the conversation. If
it is a most naked aspect of life, we are happily ready to confront it.

Jangwook Lee adalah direktur


SPACE CELL dan seorang sineas.
Ia tertarik bidang pembuatan filem
personal, pertunjukan filem, dan
dokumenter eksperimental. Dia juga
seorang anggota komite dari EXiS, dan
karyanya telah ditayangkan di berbagai
festival filem dan dipertunjukkan di
banyak bioskop.

Jangwook Lee is a Director of Handmade film lab SPACE CELL and


also a filmmaker. He is interested in
personal film, film performance, and
experimental documentary. He is also
a committee member of EXiS, and his
work have been screened in various film
festivals and performed at the many
theatres.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |315

SP SPACE CELL 1 / 26 AUGUST, CGV BLITZ, 19.30 / 18+

MASARAP NA KANTA / DELICIOUS SONGS


Inhan Cho (Republic of Korea)
Country of Production Republic of Korea
Languange Korean
Subtitle English
19 minutes, B/W,2013

Setiap Sabtu pagi di pelabuhan Brooklyn.


Sebuah potret melayang dari awak kapal
pesiar mewah.

Every Saturday morning at the Brooklyn


harbor. A drifting portrait of crew of a luxury
cruise.

Jangwook LEE

Inhan Cho belajar di New School,


dan sekarang membuat filem di Seoul.
Dia tertarik dalam memadukan karya
eksperimental dengan dokumenter.
Filem-filemnya telah ditayangkan
di Images Festival, Ann Arbor Film
Festival, ExiS, Media City Festival,
and New York Film Festival.

316 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Inhan Cho studied at the New


School graduate course, now making
films in Seoul. He is interested in
assemblage of experimental works with
documentaries. His films were screened
at Images Festival, Ann Arbor film
festival, EXiS, Media City Festival and
New York Film Festival.

SP SPACE CELL 1 / 26 AUGUST, CGV BLITZ, 19.30 / 18+

THE LAST POEM


Sung Kwon Jeon (Republic of Korea)
Country of Production Republic of Korea
Languange Korean
Subtitle English
15 minutes, B/W, 2000-2015

Filem ini berangkat dari puisi terakhir Robert


Desnos yang mati karena tipus kurang dari
seminggu setelah bebas dari kamp konsentrasi
Terezin, Cekoslowakia. Dalam kantong
bajurnya ditemukan sebuah puisi, dernier
pome, didedikasikan untuk sang istri. Tapi
sebenarnya itu sama dengan bait terakhir
dari puisi J'ai tant rv de toi dari Corps
et biens yang dipublikasikan tahun 1930.
Filem ini menelusuri suara Robert Desnos
dalam pusara modernitas.

This film taken from the last poem by Robert


Desnos, who died of typhus less than a week
after liberation from the concentration camp
Terezin, in the former Czechoslovakia. In
his pocket was found a poem, this dernier
pome, dedicated to his wife. But actually
it is largely the same as the last stanza of a
poem, J'ai tant rv de toi from Corps et
biens, published in 1930. The film had traced a
voice of Robert Desnos in modern cemeteries.

Jangwook LEE

Sung-Kwon Jeon bergabung dengan


DMZ Docs sebagai programer
tahun 2014. Karya filem kolaboratif
terbarunya dipertunjukkan di Rought
Cut Night 2014 dan di Exis dan
Collectif Jeune Cinema. Sekarang
ini ia sedang mengerjakan proyek
baru berkolaborasi dengan sineas dan
seniman lainnya.

Sung-Kwon Jeon joined the DMZ


Docs as a programmer in 2014. His
recent collaborative dance film <Still
Moving, Or> to be performed in
Rough Cut Night 2014 and showed
in EXiS and Collectif Jeune Cinema.
Currently working the new project in
collaboration with artist filmmakers.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |317

SP SPACE CELL 1 / 26 AUGUST, CGV BLITZ, 19.30 / 18+

BECAUSE THE OUTSIDE WORLD HAS CHANGED...


(EPISODE 1)
Go Eun Im (Republic of Korea)
Country of Production Republic of Korea
Languange No Dialogue
Subtitle No Subtitle
2 minutes, B/W, 2014

Footage 16mm dari lokakarya filem Bolex


direkam di no.w.here, London, 2013. Montase
filem ini terhubung dengan kutipan dari novel
Kurt Vonnegut Jr, Timequake. Pemilihan
kutipan merupakan bagian yang fokus tentang
pengalaman dari pribadi orang teralkulturasi:
...mereka yang menemukan dirinya tak lagi
diperlakukan sebagai semacam orang yang
mereka pikirkan, karena luar dunia telah
berubah. Ekonomi, atau teknologi baru,
atau pengalaman ditaklukan negara lain atau
faksi politik, bisa mendorong hal itu terjadi
pada orang-orang secara lebih cepat daripada
menyebut Jack Robinson...

16 mm footage of Bolex film workshop is


recorded in no.w.here, London, 2013. This
rapid film montage is reconnected with an
excerpt from Kurt Vonnegut Jr.s SF novel:
Timequake. The chosen excerpt is a
passage focusing on experience of so called
acculturated persons: ... those who find that
they are no longer treated as the sort of people
they thought they were, because the outside
world has changed. An economic misfortune
or a new technology, or being conquered by
another country or political faction, can do
that to people quicker than you can say Jack
Robinson...

Jangwook LEE

318 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

SP SPACE CELL 1 / 26 AUGUST, CGV BLITZ, 19.30 / 18+

BECAUSE THE OUTSIDE


WORLD HAS CHANGED...
(EPISODE 2)
Go Eun Im (Republic of Korea)
Country of Production Republic of Korea
Languange No Dialogue
Subtitle No Subtitle
7 minutes, B/W, 2014

Episode ini merupakan eksplorasi interior


dari bekas Filmmuseum Amsterdam, dalam
proses transisi menjadi TV media center.
Direkam dua kali, sebagai digital HD untuk
acara filem oleh Jaap Pieters dan temantemannya di 2012. Hasil footage dilapisi dan
dijukstaposisikan bersamaan dengan bunyi
bit dan secara subjektif pengisi suara dalam
bahasa asing.

This episode is an exploration of interiors


of Amsterdams former Filmmuseum in
process of transition to TV media center.
Recorded twice, as HD digital video and 8
mm film, the stripped interiors were serving
for a few days as the backdrop for the film
event organized by filmmaker Jaap Pieters
and his friends in 2012. The resulting footage
is layered and juxtaposed together with sound
bits and subjectively colored voice-over in a
foreign language.

Jangwook LEE

Go Eun Im (Sangchen, 1981)


mendapat gelar MFA di bidang Seni
Media dari Yonsei University, Graduate
School of Communication and Art,
Seoul. Dia pernah ikut residensi
seniman di Rijksakademie voor
Beeldende Kunsten, di Amsterdam,
2008/2009. Dia membuat karya filem
eksperimental, instalasi video, dan
telah memamerkannya di beragam
festival dan eksibisi.

Go Eun Im (Sangchen, 1981) studied


at the Yonsei University, Graduate
School of Communication and Art
[MFA in Media Art] in Seoul, and was
artist in residence at the Rijksakademie
voor Beeldende Kunsten in Amsterdam
in 2008/2009. She makes experimental
films, video installations and her
works have been screened in various
exhibitions and film festivals.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |319

SP SPACE CELL 1 / 26 AUGUST, CGV BLITZ, 19.30 / 18+

LAZIMPAT
Jangwook Lee (Republic of Korea)
Country of Production Republic of Korea
Languange No Dialogue
Subtitle No Subtitle
12 minutes, Color, 2015

Filem ini dibuat dari footage-footage hasil


rekaman atap rumah seorang kawan di
Kathmandu, Nepal. Lazimpat merupakan
sebuah nama jalan tempat rumah itu berada.
Sebuah potret tentang orang-orang, matahari,
bunga-bunga dan lain-lainya.

This film is made of footages shot on the


rooftop of my friends house at Kathmandu,
Nepal. Lazimpat is a name of the street where
the house locates. Its a portrait of people,
sunshine, flowers and etc.

Jangwook LEE

Jangwook Lee adalah direktur


SPACE CELL dan seorang sineas.
Ia tertarik bidang pembuatan filem
personal, pertunjukan filem, dan
dokumenter eksperimental. Dia juga
seorang anggota komite dari EXiS, dan
karyanya telah ditayangkan di berbagai
festival filem dan dipertunjukkan di
banyak bioskop.

320 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Jangwook Lee is a Director of Handmade film lab SPACE CELL and


also a filmmaker. He is interested in
personal film, film performance, and
experimental documentary. He is also
a committee member of EXiS, and his
work have been screened in various film
festivals and performed at the many
theatres.

SP SPACE CELL 2 / 27 AUGUST, CGV BLITZ, 19.00 / 18+

LANDSCAPE PROJECT
(sound performance by Jangwook Lee &
Rena Kim) (Korea)
Country of Production Republic of Korea
60 minutes, (multi-projection performance)

Filem pertunjukan langsung ini mengeksplorasi


memori-memori berlapis-lapis tentang
lanskap. Pendekatan institusional, historis
dan personal akan diaplikasikan pada waktu
yang bersamaan. Ingatan personal yang beradu
dengan konteks historis akan mengungkapkan
sebuah fragmen dari rahasia terdalam. Filem
ini akan dipertunjukkan dengan multiproyektor dan improvisasi musik.

This live film is an act for exploring multilayered memories on landscape. Institutional,
historical and personal approaches will be
applied at the same time. Personal memory
which collides with historical context may
reveal a fragment of innermost secret .
This live film is performed with multi film
projectors and improvised sound.

Jangwook LEE

Rena Kim adalah seorang sineas


dan juga fotografer. Ia sangat
tertarik dengan material filem. Ia
pernah menyelenggarakan pameran
tunggalnya dan filemnya ditampilkan
di EXiS Film Festival tahun lalu. Kini
ia sedang tertarik dengan aktivitas
mengumpulkan materi bebunyian dan
melakukan seni pertunjukan suara.

Rena Kim is a filmmaker and also a


photographer. She is very interested
in dealing with film materials. She
had her solo photo exhibition and her
film was shown at EXiS film festival
last year. Recently she is interested
in collecting sound and doing sound
performance.

Jangwook Lee adalah direktur


SPACE CELL dan seorang sineas.
Ia tertarik bidang pembuatan filem
personal, pertunjukan filem, dan
dokumenter eksperimental. Dia juga
seorang anggota komite dari EXiS, dan
karyanya telah ditayangkan di berbagai
festival filem dan dipertunjukkan di
banyak bioskop.

Jangwook Lee is a Director of Handmade film lab SPACE CELL and


also a filmmaker. He is interested in
personal film, film performance, and
experimental documentary. He is also
a committee member of EXiS, and his
work have been screened in various film
festivals and performed at the many
theatres.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |321

BANGALORE, INDIA
Dikurasi oleh / Curated by
Shai Heredia

EXPERIMENTA INDIA
@ARKIPEL1
Sejarah filem eksperimental di India berkelindan dengan sejarah pencarian
India atas modernitas. Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri pertama India,
mengabdikan dirinya untuk membangun kuil-kuil modern, yaitu industri
yang digerakkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang ia yakini akan
melejitkan India pada lintasan bergaya Soviet menuju utopia sosialis. Nehru
percaya diri bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi akan memecahkan banyak
masalah sosial dan menghidupkan kembali tradisi yang mengikat masyarakat
India. Di bawah kepemimpinannya, pemerintah mendirikan laboratoriumlaboratorium sains, institut-institut teknologi, universitas-universitas, pusat-pusat
penelitian, dan lembaga-lembaga kebudayaan. Semua lembaga ini diharapkan
mengambil risiko, eksperimental, edukasional, dan kritis.
Terkesan dengan percobaan Soviet dengan propaganda kapital dan
budaya, Pemerintah India mengenali nilai filem guna menyajikan informasi
dan edukasi pada warga negaranya yang berjumlah sangat besar dan sebagian
besar tak melek huruf. Pada 1948, Pemerintah India merdeka mendirikan
Filems Division (FD) di bawah Kementerian Penerangan dan Penyiaran,
demi produksi dan distribusi berita serta filem-filem penerangan. Dengan
memungut model pembuatan filem Russia dan terinspirasi oleh eksperimen
dalam institusi-institusi filem di Cekoslowakia (secara khusus), eksperimen
radikal dengan footage temuan, montase, selang-waktu (time-lapse), dan
animasi, menjadi makanan pokok para pembuat filem FD.
[1] Versi awal tulisan ini diterbitkan dengan judul Artist in Action dalam katalog dari program India:
Visions From The Outside di Cultuurcentrum Brugge (Maret/April 2012).
322 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH / SUPPORTED BY ASIA CENTER - THE JAPAN FOUNDATION

Eksperimen ala Nehru dan hubungan rumit antara negara India yang baru
dan modernitas menjadi sangat terlihat dalam filem-filem yang diproduksi FD
selama revolusi kebudayaan akhir 1960-an dan awal 1970-an. Pemerintah India
dengan aspirasi sosialisnya mengemban tanggung jawab pengambilan risiko
dalam ranah kebudayaan. Umumnya, medium yang sarat kapital dan berorientasi
pada pasar, seperti sinema, selalu merasa malu mengambil risiko. Tetapi di
India, ranah institusional masyarakat menantang retorika seni populer yang
monolitik dan menariknya menyediakan ruang yang riskan ini, Amrit Gangar,
kritikus dan pengarsip filem, menjelaskan (Excavating Indian experimental
filem, t.t.). Lembaga-lembaga seperti Filem Finance Corporation (FFC),
Filem and Television Institute of India (FTII), dan National Filem Archives of
India (NFAI) didirikan pada periode ini. Berada dalam kerangka sosialis dan
wacana partisipasi komunitas, lembaga-lembaga itu mulai menghasilkan para
sutradara muda yang, seiring waktu, menjadi kritis terhadap struktur negara
dan mulai menghasilkan sekumpulan besar karya yang politis dan subversif.
Eksperimen-eksperimen artistik ini selanjutnya menjadi representasi yang
penting menganai aspirasi, visi, dan kontradiksi negara India.
Setelah beberapa tahun membuat propaganda bagi negara, FD mengalami
periodenya yang paling kreatif dan menggairahkan dengan Jean Bhownagary
(Jehangir Shapurji Bhownagary), yang ditunjuk sebagai Deputy Chief Producer
untuk periode singkat 1953-1957, kemudian Chief Producer pada 1965 atas
permintaan Perdana Menteri Indira Gandhi. Bhownagary lahir di Bombay
pada 1921 dididik di Bombay serta Paris. Bakatnya bermacam-macam dan
ia dikenal atas keterlibatannya dalam seni dalam berbagai cara. Ia tidak
hanya memproduksi dan membuat filem, ia juga berpraktik sebagai pesulap,
aktor dan produser teater, penulis, juru cetak litografi, pelukis, pemahat, dan
pematung keramik. Kariernya panjang dan luas dalam ranah media, pernah
bekerja untuk Reuters, All India Radio, Information Filems of India and the
Cartoon Filem Unit, serta UNESCO di Paris.
Selama penunjukan pertamanya di FD, Bhownagary memfokuskan pada
pengasuhan para sutradara ketimbang menciptakan doktrin yang disponsori
negara. Saya menceburkan diri ke dalam tugas berupa percobaan untuk
memperbaiki kualitas produksi kita dengan mendorong bakat-bakat baru dan
yang sudah ada guna mengulik lebih dalam subjek mereka, membuat filem
yang terstruktur, alih-alih penyebutan harta karun dan pencapaian kita seperti
yang kerap diminta oleh orang nonsutradara di kementerian-kementerian. Saya
ingin tiap sutradara menemukan dan menciptakan gaya individualnya dan
menyetempel filemnya dengan kepribadiannya sendiri, Bhownagary menjelaskan
(Narwekar, 1992). Di bawah kepemimpinannya, FD membesarkan sebuah
komunitas sineas dan teknisi muda yang amat berbakat. Ini menciptakan latar
bagi gerakan eksperimentasi kedua yang akan berkembang saat Bhownagary
kembali ke FD sebagai Chief Producer pada 1965.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |323

Pramod Pati (1932-1975), SNS Sastry (1930-1978) Vijay B. Chandra (19352005), and S. Sukdev (1933-1979) muncul ke permukaan semasa tahun-tahun
Bhownagary sebagai Chief Producer FD. Pramod Pati dilatih dalam bidang
animasi oleh Jiri Trinka yang termasyhur, master filem boneka dari Czech.
SNS Sastry (yang belajar sinematografi di Bangalore Polytechnic) magang
untuk Paul Zils, sutradara dari Jerman era Hitler, yang ditunjuk sebagai
kepala British Indias Information Filems of India setelah menjadi tawanan
kamp perang di Bihar, India.
Untuk mengasuh para sutradara invidual ini, Bhownagary berkeras, gagasan
baru, pendekatan baru harus ditemukan, didorong, dan diberdayakan. Guna
memfasilitasi hal itu, ia menjamin agar tiap sutradara FD mendapatkan akses
pada stok mentah, ruangan laboratorium, dan perlengkapan agar mereka dapat
bereksperimen dengan gagasan politik dan estetika mereka sendiri yang subur.
Mereka bepergian ke seluruh negeri dengan kamera ringan dan perlengkapan
sinkronisasi suara, mengambil gambar dan mengumpulkan footage demi
menciptakan bank gambar untuk eksperimen mereka. Bhownagary mendesak
agar filem-filem mereka dipamerkan di bioskop-bioskop di seluruh negeri, juga
di festival-festival filem internasional (Melbourne, Berlin, Cork, dan Krakow,
misalnya) di mana filem-filem ini mendapatkan pujian kritikus. Pendekatan
mereka untuk menjelajahi kemungkinan materialitas dan proses filem sebagai
medium memiliki semangat yang sama dengan Dadasaheb Phalke, seniman
pendiri sinema India.
Pramod Pati dianggap sebagai sutradara pelopor nomor satu pada eranya.
Karya garda depannya mengguncang pengunjung bioskop India yang terbiasa
dengan voice over biasa dalam dokumenter. Gaya Pati kerap dibandingkan
dengan Norman McLaren, dan filem-filemnya, Explorer (1968), Trip (1970)
serta Abid (1972) signifikan sebagai pemicu pendefinisian ulang bentuk
dokumenter pendek dan filem etnografis di India. Saat Pati (Pramod Pati)
mulai mulai menjelajahi kemungkinan-kemungkinan naratif yang lebih
baru, sinema di seluruh dunia tengah menggelegak dalam dorongan kreatif
di mana ruang yang diperlukan untuk itu telah diberikan oleh waktu, atau
waktu untuk itu pun demikian, oleh ruang, Amrit Gangar menjelaskan. Abid
(1972) karya Pati menampilkan seni oleh pelukis Abid Surty yang pernah
bereksperimen dengan gagasan hidup dalam lukisan. Mengenang pengalaman
itu, Abid berkata: Saya tinggal di sebuah kamar waktu itu, jadi saya mulai
melukisi dinding, kipas angin, perabotan, lantai, langit-langit, lemari, bahkan
peralatan kecil-kecil, kursi, semua yang menjadi bagian dari sebuah lukisan.
Pramod Pati mengunjungi rumah saya dan berkata bahwa ia ingin membuat
filem dengan gagasan ruang yang diubah ini. Filem itu mengambil gambar
selama dua puluh hari di studio-studio FD dan produksinya menciptakan
riak di kalangan filem Bombay. Semua orang membicarakannya. Bahkan
Satyajit Ray mendengarnya! Jadi saat dia lewat di Bombay, dia datang ke set
324 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

filem cuma untuk melihat apa yang terjadi. Banyak sutradara dari kalangan
industri filem juga muncul, misalnya B.R. Chopra dan yang lain-lain, Surty
menambahkan (Surty, t.t.).
Bhownagary tidak hanya mendorong estetika kritis, ia juga menekankan
pentingnya perkembangan sintaks baru baik dalam pengambilan gambar
maupun rancang suara. Pandit Vijay Raghava Rao, penata suara di FD waktu
itu, adalah seorang pelopor lain. Soundtrack-nya yang abstrak, dengan campuran
antara kebisingan lingkungan sekitar, instrumen klasik India, dan nada yang
dihasilkan dengan peralatan elektronik analog, sepenuhnya sinkron dengan
gaya penyuntingan stakato dan montase asosiatif yang dramatis dari rekanrekan sutradaranya. Rancangan suara garda depan Pandit Vijay Raghava Rao
sangatlah penting bagi estetika yang dikembangkan oleh para sutradara FD.
Era 1960-an maka menjadi masa yang menggairahkan bagi dokumenter India,
dengan majalah-majalah seperti MARG (majalah seni India yang terkemuka),
dan Seminar (bulanan yang disegani secara politis) yang mendedikasikan
terbitan mereka bagi medium seni dan komunikasi intelektual yang baru ini.
Latar yang begitu hidup ini berubah secara dramatis pada 1975 saat Indira
Gandhi, Perdana Menteri saat itu (dan putri pendiri negara, PM Nehru),
menyatakan darurat negara di mana segala kebebasan sipil ditangguhkan dan
ia memiliki kewenangan untuk berkuasa lewat dekrit. Inilah bunyi lonceng
kematian bagi FD dan segala aktivitas kebudayaan di seluruh negeri hingga
1977. Dengan menanamkan kendali langsung atas semua lembaga, dan dengan
demikian atas kebebasan kolektif dan individual, ia bertanggung jawab atas
salah satu periode yang paling kontroversial dalam sejarah kemerdekaan India.
Walaupun darurat itu berakhir pada 1977, suasana sensor telah merasuki alam
pikir orang India.
Keterikatan FD dengan eksperimentasi filem mulai menghadapi kritik
kuat dari wilayah-wilayah konservatif, baik dalam pemerintahan maupun
komunitas filemkelayakan finansial dan dampak sosial eksperimentasi
gambar bergerak dipertanyakan. Akhirnya, politik dan rasa takut terhadap
kekuatan estetik para seniman ini memangkas gerakan radikal tersebut sebelum
ia dapat berdiri sendiri dengan kukuh sebagai sebuah bentuk atau genre baru
dalam pembuatan filem India. Banyak sutradara dari periode ini entah kembali
ke pekerjaan harian mereka sebagai staf administratif atau menyerah dan
membuat filem-filem konvensional, mati muda, atau sekadar lenyap di bumi
setelah upaya artistik radikal mereka dinafikan.
FD kemudian berfokus untuk menjadi corong pemerintah dengan membuat
filem-filem dokumenter yang lempang yang mengkampanyekan status
quo. Dokumenter-dokumenter yang tak menginspirasi dan menjauh dari
eksperimentasi artistik mulai memenuhi bioskop-bioskop kami. Di samping
sedikit intervensi para sutradara seni pada 1980-an, unit produksi FD berada
di ujung tanduk karena manajemen yang buruk dan abainya negara. Pada
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |325

1990-an, organisasi tersebut telah ompong sama sekali. Setelah hampir dua
dasawarsa menyalak tanpa taring sebagai lembaga negara satu lagi yang sekarat,
pada 2012 FD menyaksikan kebangkitan kembali yang luar biasa dengan
Chief Producer baru, V.S. Kundu, yang tampaknya mengejawantahkan energi
Bhownagary. Selama masa jabatannya yang berakhir pada 2015, ia mendanai
karya-karya baru, mendirikan klub filem, berkolaborasi dengan para sutradara
independen dalam Mumbai International Filem Festival (MIFF) untuk filem
pendek, animasi, dan dokumenter di India, serta, menariknya, mengumpulkan
sutradara seniman dan negara dalam satu platform yang sama.
Program Experimenta India @ARKIPEL berfokus pada konteks pembuatan
filem FD dari 1960-an dan 1970-an demi menyoroti bagaimana para sutradara
dokumenter India pada era tersebut berupaya merekonsiliasikan tradisi dan
modernitas di India yang baru saja merdeka. Dengan merepresentasikan
kebudayaan kaum muda yang tengah tumbuh dan menegosiasikan harihari suram pada era Darurat Negara (1975-1977), filem-filem ini akhirnya
mencerminkan perjuangan baru India untuk menyesuaikan diri dengan
kerangka budaya dunia yang lebih besar.
Bagian pertama program ini dibuka dengan Hamara Rashtragaan (atau Our
National Anthem, 1964), sebuah filem instruksional dalam bahasa Hindi yang
dibuat oleh Pramod Pati, filem propaganda yang memanfaatkan ruang sinema
untuk menciptakan pengalaman komunitas melalui keterlibatan kolektif. Ini
diikuti dengan karya eksperimental Pati yang psikedelik, Explorer (1968), dan I
Am 20 (1967) karya SNS Sastry, untuk menelusuri ideologi dan kegamangan
kaum muda India. Distrukturkan seputar wawancara dengan laki-laki dan
perempuan muda yang terlahir pada 1947 (tahun saat India memperoleh
kemerdekaannya), I Am 20 secara jujur mengkritik gagasan kebangsaan
dan mendekonstruksikan fantasi India yang termodernisasikan. Gagasangagasan ini lantas dijukstaposisikan dengan The New Wave (1976) karya
Chandrashekhar Nair, yang meninjau bagaimana negara India membayangkan
dan menggambarkan dirinya sendiri selama Darurat Negara. Akhirnya, visi
akan sebuah India baru tampak semakin rumit dengan medium filem yang
dimanfaatkan secara subversif untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kritis dari pemikiran sosialistik dalam Child on Chess Board (1979) karya
Vijay B. Chandrasebuah naratif yang gelap dan abstrak, yang menjelajahi
kebangsaan, kemajuan industri, dan perkembangan saintifik, sebagaimana
terlihat dari mata seorang anak.
And I Make Short Films (1968) karya SNS Sastry menentukan corak bagian
kedua program ini dengan refleksinya atas konteks keseluruhan pembuatan filem
pendek di FD dan, secara khusus, menjadi representasi pertikaian yang terus
terjadi pada waktu itu tentang apakah sutradara dokumenter haruslah seniman
atau sosiolog. Ini diikuti dengan This Bit of that India (1972), juga oleh SNS
Sastry, sebuah eksplorasi budaya kaum muda pada 1970-an yang ditingkahi
326 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

dengan penampilan The House of Bernarda Alba oleh Federico Garcia Lorca,
sebagai metafora tentang represi dan konformitas. Ini disandingkan dengan
Destination Bombay (1976) karya G.L. Bhardwaj, sebuah filem turis yang
dibuat selama Darurat Negara, yang memproyeksikan citra kaum urban dan
kosmopolitan baru India dalam upaya menempatkan modernitas India dalam
konteks global. Dan akhirnya, program ditutup dengan Transcendence (1972)
karya K. Vishwanath yang menyoroti dilema representasi dengan menawarkan
pandangan Barat mengenai penciptaan dan kebudayaan Auroville, sebuah kota
utopis beraspirasi spiritualisme yang ditetapkan UNESCO.
Meninjau sejarah sosio-politik India yang pelik sepanjang program filem
pendek yang dibuat oleh negara ini, adalah penting untuk mempertimbangkan
situasi yang kami hadapi di India hari ini. Masuknya PM sayap kanan dalam
pemilu akhir-akhir ini telah membawa India pada salah satu periode politiknya
yang terburuk seiring munculnya ancaman bagi sistem demokrasi dan kebebasan
budaya serta sosial kami. Kerap dipandang sebagai tukang gertak terbesar di Asia
Selatan, dampak pemilu ini telah mulai tumpah ke seluruh kawasan. Dengan
bercermin pada upaya India untuk mengejar modernitas, progam ini berusaha
memahami bagaimana kami bisa sampai di sini dan mengajukan pertanyaanpertanyaan penting demi mengembangkan bentuk-bentuk perlawanan baru
melalui sinema seiring langkah maju kami.
20 Juli, 2015
Bacaan:

Gangar, A. (t.t.). Wawancara untuk Excavating Indian experimental filem. Experimenta


India ongoing research project. Diakses dari http://experimenta.in.
Narwekar, S. (1992). Filems Division and the Indian Documentary. Ministry of Information
and Broadcasting, Publications Division.
Surty, A. (t.t.). Wawancara untuk Excavating Indian experimental filem. Experimenta
India ongoing research project. Diakses dari http://experimenta.in.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |327

EXPERIMENTA INDIA
@ARKIPEL1
The history of experimental film in India is tied to the history of Indias quest
for modernity. Jawaharlal Nehru, Indias first Prime Minister committed
himself to building modern temples i.e. industry powered by science &
technology, which he believed would propel Indians on a Soviet style trajectory
to socialist utopia. Nehru was confident that science and technology would
solve numerous social problems and regenerate a tradition bound Indian
society. Under his leadership, the government established science laboratories,
institutes of technology, universities, research centers and cultural institutions.
These institutions were expected to be risk taking, experimental, educational
and critical.
Impressed by the Soviet experiment with capital and cultural propaganda,
the government of India recognized the value of films in informing and
educating its vast number of mostly illiterate citizens. In 1948 the government
of free India set up Films Division (FD) under the Ministry of Information
and Broadcasting, for the production and distribution of information films
and newsreels. By adopting the Russian model of filmmaking and inspired by
the experiments in film institutions in Czechoslovakia (specifically), radical
experiments with found footage, montage, time lapse and animation became
the staple for FDs filmmakers.
The Nehruvian experiment and the new Indian states complex relationship
to modernity became particularly visible in the films produced by FD during
the cultural revolution of the late 60s and early 70s. The Indian government
with its socialist aspirations had taken the responsibility of risk taking in the
cultural domain. Generally a capital-intensive market-oriented medium such
as cinema always feels shy of taking risks. But in India, the public institutional
domain challenged the monolithic popular art rhetoric, and interestingly
provided this risqu-space explains Amrit Gangar, film critic and archivist
(Excavating Indian experimental film, n.d.). Institutions like the Film Finance
Corporation (FFC), the Film and Television Institute of India (FTII), and
the National Film Archives of India (NFAI) were founded during this
period. Keeping within the socialist framework and discourse of community
participation, these institutions began producing young film makers, who,
[1] An earlier version of this essay was published as Artists in Action in the catalogue of the India:
Visions From The Outside programme at Cultuurcentrum Brugge (March/April, 2012).
328 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

over a period of time, became critical of state structures and began to produce
a substantial body of subversive, political work. These artistic experiments
subsequently became important representations of the aspirations, visions and
contradictions of the Indian state.
After several years of making propaganda for the state, FD saw its most
creative and exciting periods with Jean Bhownagary ( Jehangir Shapurji
Bhownagary), who was appointed Deputy Chief Producer for a brief period
from 1953-57, and then Chief Producer in 1965 at the request of Prime Minister
Indira Gandhi. Bhownagary was born in Bombay in 1921 and educated in both
Bombay and Paris. He had multiple talents and was known to be involved in
the arts in many and varied ways. Not only did he produce and make films,
but he also practiced as a magician, a theatre actor and producer, a writer,
a lithographer, a painter, a ceramist and a sculptor. He had had a long and
extensive career in the media, having worked for Reuters, All India Radio, the
Information Films of India and the Cartoon Film Unit, and UNESCO in Paris.
During his first appointment at FD, Bhownagary focused on nurturing
filmmakers more than creating state sponsored doctrines. I plunged into the
task of trying to improve the quality of our productions by encouraging existing
and new talents to probe deeper into their subjects, to make structured films,
instead of enumerations of our treasures and achievements as is so often required
by non-filmmakers in the ministries. I wanted each director to find and create
his individual style and stamp the film with his own personality explained
Bhownagary (Narwekar, 1992). Under him, FD nurtured an extremely talented
community of young filmmakers and technicians. This set the stage for the
second movement of experimentation that was to develop when Bhownagary
returned to Films Division as Chief Producer in 1965.
Pramod Pati (1932-1975), SNS Sastry (1930-1978) Vijay B Chandra (19352005), and S.Sukdev (1933-1979) came into prominence during Bhownagarys
years as FD Chief Producer. Pramod Pati was trained in animation under the
celebrated Jiri Trinka, the Czech master of puppet films. SNS Sastry (who
studied cinematography at the Bangalore Polytechnic) apprenticed with Paul
Zils, a filmmaker from Hitlers Germany, who was appointed the head of
British Indias Information Films of India after being in a prisoner of war
camp in Bihar, India.
Towards nurturing individual filmmakers Bhownagary insisted, new ideas,
new approaches had to be found, encouraged and put to work. To facilitate
this he ensured that FD filmmakers had open access to raw stock, lab space
and equipment so as to experiment with their own burgeoning aesthetic and
political ideas. They traveled across the country with lightweight cameras and
sync sound equipment, shooting and collecting footage to create a bank of images
for their experiments. Bhownagary pushed for their films to be exhibited in
theatres across the country, and also at international film festivals (Melbourne,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |329

Berlin, Cork and Krakow to name a few) where they found critical acclaim.
Their approach to exploring the possibilities of materiality and processes of
film as a medium was in the same spirit as that of Dadasaheb Phalke, the
founding artist of Indian cinema.
Pramod Pati was considered the most pioneering filmmaker of his period.
His avant garde work shocked Indian cinema goers who were used to the
conventional voice over documentary. Patis style was often compared to
Norman Mclaren, and his films Explorer (1968), Trip (1970) and Abid (1972)
were significant in initiating a redefinition of the short documentary and
ethnographic film form in India. When Pati (Pramod Pati) began to explore
newer narrative possibilities, cinema the world over was bubbling with creative
urges that time had given the necessary space for, or space its time explains
Amrit Gangar. Patis film Abid (1972) featured the art of painter Abid Surty,
who once experimented with the idea of living in a painting. Recalling the
experience, Abid says: I was living in a single room at that time, so I started
painting the walls, the fan, furniture, floor, ceiling, cupboard, even small
utensils, chairs, everything became a part of one painting. Pramod Pati visited
my house and said that he wanted to make a film with this idea of altered
space. The film was shot over 20 days at the Films Division studios and the
production created waves among film circles in Bombay. It was the talk of
the town. Even Satyajit Ray heard about it! So, when he was passing through
Bombay, he dropped into the set just to see what was happening. Many film
industry directors like B.R. Chopra and others also popped by, adds Surty
(Surty, n.d.).
Bhownagary not only encouraged a critical aesthetic, but also laid emphasis
on nurturing a new syntax of both image making and sound design. Pandit
Vijay Raghava Rao, the sound director at FD at the time, was another pioneer.
His abstract soundtracks with mixtures of ambient noise, Indian classical
instruments and tones produced with analog electronics were in complete
sync with the staccato editing style and dramatic associative montage of his
filmmaker peers. Pandit Vijay Raghava Raos avant garde sound design was
crucial to the aesthetic that FD filmmakers had developed. The 1960s therefore
became an exciting time for the Indian documentary, with magazines like
MARG (Indias leading art magazine) and Seminar (the highly respected
political monthly) devoting issues to this new intellectual medium of art and
communication.
This vibrant context changed dramatically in 1975, when Indira Gandhi,
the then Prime Minister (and daughter of the founding Prime Minster Nehru)
declared a state of Emergency in India through which all civil liberties were
suspended and she had the authority to rule by decree. This rang the death
knell for FD and all cultural activity across the country until 1977. By staking
direct control on all institutions, and thus on individual and collective freedoms,
330 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Indira Gandhi was responsible for one of the most controversial periods in
the history of Independent India. Though the emergency ended in 1977, this
atmosphere of censorship permeated the Indian psyche.
FDs engagement with film experimentation began to face strong criticism
from conservative quarters, both in the government and amongst the filmmaking
community - the financial feasibility and social impact of moving image
experimentation was questioned. Eventually, politics and the fear of the aesthetic
power of these artists cut short this radical movement before it could establish
itself firmly as a new form or genre of Indian filmmaking. Many filmmakers
from this period either went back to their day jobs as administrative staff,
submitted to making conventional films, died young, or simply disappeared
into the world after being denied their radical artistic pursuits.
FD went on to focus on being the states mouthpiece by making straight-laced
documentary films that propagated the status quo. Uninspiring documentaries
that steered far away from artistic experimentation began to fill our cinemas.
Besides a few interventions by art filmmakers in the 80s, the FD production
unit was in dire straits due to bad management and state indifference. By the
90s, the organization had truly lost its teeth. After almost two decades of
chugging along as yet another moribund government institution, in 2012 FD
saw a remarkable revival with a new Chief Producer VS Kundu who seemed to
have channeled Bhownagarys energy. During his recently concluded (2015)
tenure he funded new work, set up a film club, collaborated with independent
filmmakers for the Mumbai International Film Festival (MIFF) for documentary,
short and animation film in India, and most interestingly brought the state
and the artist filmmaker together on the same platform.
The Experimenta India @ARKIPEL programme focuses on the FD
context of filmmaking from the 60s and 70s towards highlighting how Indian
documentary filmmakers of that period attempted to reconcile tradition
and modernity in newly independent India. By representing growing youth
culture, and negotiating the dark days of the Emergency (1975-77) these
films ultimately reflect on new Indias struggle to fit into the larger cultural
framework of the globe.
The first part of the programme opens with Hamara Rashtragaan / Our
National Anthem (1964) an instructional film in Hindi made by Pramod
Pati, a propaganda film which used the cinema space to create a community
experience through collective engagement. This is followed by Pramod Patis
psychedelic experimental piece Explorer (1968) and SNS Sastrys I Am 20
(1967) towards exploring the ideology and confusions of the youth in India.
Structured around interviews with young men and women who were born in
1947 (the year India gained its freedom), I Am 20 candidly critiques the idea
of nationhood and deconstructs the fantasies of a modernised India. These
ideas are then juxtaposed with Chandrashekhar Nairs The New Wave (1976),
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |331

which looks at how the Indian state imagined and depicted itself during the
Emergency. And finally the vision of a new India is further complicated as the
medium of film is used subversively to ask critical questions of socialist thought
in Vijay B. Chandras Child on Chess Board (1979)a dark and abstract narrative
that explores nationhood, industrial progress and scientific development, as
seen through the eyes of a child.
SNS Sastrys And I Make Short Films (1968) sets the tone for the second
part of this programme as it reflects upon the overall context of short filmmaking
at FD, and more specifically represents the ongoing dispute at the time over
whether documentary filmmakers should be artists or sociologists. This is followed
by This Bit of That India (1972) also by SNS Sastry - an exploration of youth
culture in the 1970s intercut with a performance of Federico Garcia Lorcas
The House of Bernarda Alba, as a metaphor for repression and conformity.
This is juxtaposed with Destination Bombay (1976) by G.L.Bhardwaj, a tourist
film made during the Emergency that projects an image of the new urban and
cosmopolitan India in an attempt at situating Indian modernity within the
global context. And finally the programme concludes with K.Vishwanaths
Transcendence (1972), which exposes the dilemma of representation by offering
an occidental view of the creation, and culture of Auroville, a UNESCO
sanctioned utopian town with spiritual aspirations.
On reviewing the complex socio-political history of India through this
programme of short films made by the state, it is critical to consider the situation
that we are faced with in India today. The entry of a right wing Prime Minister
in the recent General elections has brought India into one of its darkest political
periods yet, as our social and cultural freedoms and democratic systems have
come under threat. Often considered the biggest bully in South Asia, the impact
of this election has already begun to spill over into the region. By reflecting on
Indias pursuit of modernity, this programme looks to understand how we got
here, and raise critical questions towards developing new forms of resistance
through cinema as we go forward.
July 20, 2015
Works Cited:

Gangar, A. (n.d.). An interview for Excavating Indian experimental film. Experimenta


India ongoing research project. Retrieved from http://experimenta.in
Narwekar, S. (1992). Films Division and the Indian Documentary. Ministry of Information
and Broadcasting, Publications Division.
Surty, A. (n.d.). An interview for Excavating Indian experimental film. Experimenta India
ongoing research project. Retrieved from http://experimenta.in

332 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Shai Heredia merupakan seorang


pembuat filem dan kurator. Tahun
2003, ia mendirikan Experimenta,
festival internasional untuk sinema
experimental di India. Ia telah
berpengalaman menjadi kurator filem
pada berbagai program di festival
filem dan seni di berbagai belahan
dunia, termasuk Berlinale, Jerman,
dan The Tate Moder, London.
Karyanya, I am micro (2011), mendapat
pujian kritik dan memenangkan
penghargaan prestisius, termasuk
National Award dari Pemerintah India.
Heredia mendapat gelar MA-nya
dari Goldsmiths College, London.
Ia juga merupakan grantmaker India
Foundation for the Arts, serta mengajar
di Srishti College of Art, Design and
Technology. Heredia tinggal dan
berkarya di Bangalore, tempat dia
mengelola Experimenta India.

Shai Heredia is a filmmaker and


curator of film art. In 2003 she founded
Experimenta, the international
festival for experimental cinema in
India. She has curated experimental
film programs at film festivals and
art venues worldwide, including the
Berlinale, Germany and the Tate
Modern, London. Her latest film,
I am micro, has received critical
acclaim and won prestigious awards,
including a National Award from
the Government of India. Heredia
holds an MA in documentary film
from Goldsmiths College, London.
She has been a grantmaker with the
India Foundation for the Arts, and
also teaches at Srishti College of Art,
Design and Technology. Heredia lives
and works in Bangalore where she runs
Experimenta India.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |333

SP EXPERIMENTA 1 / 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

HAMARA RASHTRAGAAN /
OUR NATIONAL ANTHEM
Pramod Pati (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
10 minutes, B/W,1964

Sebuah filem animasi yang mengajari kita


bagaimana menyanyikan Lagu Kebangsaan
India.

An animated short film that teaches you


how to sing the Indian National Anthem.

Shai Heredia

Pramod Pati (1932-1975) adalah


sutradara filem eksperimental dan
animasi, lulusan Utkal University
(1950) dan mengambil diploma
sinematografi di S.J. Polytechnic,
Bangalore (1952), dan bekerja di
Odisha Govt. (1952-1956). Selama
periode itu, ia membuat empat belas
filem dalam tiga tahun. Dia mendapat
beasiswa dari Pemerintah India
untuk belajar di FAMU, Prague,
Cekoslowakia. Ia dikenal karena karyakarya eksperimentalnya, khususnya
animasi, dianggap sebagai Bapak Filem
India.
334 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Pramod Pati (1932-1975) was


an experimental filmmaker and
animator. He graduated from
Utkal University (1950) and took a
diploma in Cinematography from S.J.
Polytechnic, Bangalore (1952), and
then worked with the Odisha Govt.
(1952-1956). During that period, he
made fourteen films in three years.
He awarded a Government of India
fellowship to study at FAMU, Prague,
Czechoslovakia. He is best known
for his experimental works, especially
animation, and is regarded as the
Father of Indian films.

SP EXPERIMENTA 1 / 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

I AM 20
SNS Sastry (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
20 minutes, B/W, 1967

Mereka yang lahir pada Hari Kemerdekaan


di tahun 1947 dipilih dari berbagai belahan
India lantas diwawancarai untuk mengetahui
harapan, keinginan, ambisi, kesenangan,
ketakutan dan kekecewaan. Hasilnya adalah
filem unik ini.

Those born on Independence Day in 1947


were selected from different parts of India and
interviewed to know their hopes and desires,
ambitions, hobbies, fears and frustrations and
the result is this unique film.

Shai Heredia

S.N.S. Sastry (1930-1978) mendapat


diploma sinematografi dari Bangalore
Polytechnic. Ia bergabung dengan
Films Divisions sebagai kameraman
dan mulai membuat filem tahun
1956. Sastry banyak membuat filem,
tapi yang paling terkenal adaiah I am
Twenty (1967). Filem-filem lainnya
yang mendapat pujian kritik, antara
lain And I Make Short Films (1968), On
the Move (1970), Yes Its on (1972), dan
Burning Sun (1973).

S.N.S. Sastry (1930-1978) took a


diploma in cinematography from the
Bangalore Polytechnic. Sastry had
joined Films Division as a cameraman
and started directing films in 1956.
Sastry had made a large number of
films but it was with I am Twenty
(1967) that he made his mark. Sastry
later made several other notable films
like And I Make Short Films (1968),
On the Move (1970), Yes Its on (1972),
Burning Sun (1973).

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |335

SP EXPERIMENTA 1 / 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

EXPLORER
Pramod Pati (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
7 minutes, B/W, 1968

Pramod Pati berusaha memotret sebuah


negara yang terperangkap di antara sejumlah
perlawanan dan kecenderungan perbedaan
antara perang dan perayaan, rock-and-roll
dan Bhaian, sains dan agamakekayaan,
keterbelitan dan kegilaan.

Pramod Pati attempts to portray a country


caught between a number of opposing and
diverging tendencies between war and
celebration, rock-and-roll and Bhajan,
science and religion in all its richness,
convolutedness and madness.

Shai Heredia

Pramod Pati (1932-1975) adalah


sutradara filem eksperimental dan
animasi, lulusan Utkal University (1950)
dan mengambil diploma sinematografi
di S.J. Polytechnic, Bangalore (1952),
dan bekerja di Odisha Govt. (19521956). Selama periode itu, ia membuat
empat belas filem dalam tiga tahun. Dia
mendapat beasiswa dari Pemerintah
India untuk belajar di FAMU, Prague,
Cekoslowakia. Ia dikenal karena karyakarya eksperimentalnya, khususnya
animasi, dianggap sebagai Bapak Filem
India.

336 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Pramod Pati (1932-1975) was


an experimental filmmaker and
animator. He graduated from
Utkal University (1950) and took a
diploma in Cinematography from S.J.
Polytechnic, Bangalore (1952), and
then worked with the Odisha Govt.
(1952-1956). During that period, he
made fourteen films in three years.
He awarded a Government of India
fellowship to study at FAMU, Prague,
Czechoslovakia. He is best known
for his experimental works, especially
animation, and is regarded as the
Father of Indian films.

SP EXPERIMENTA 1 / 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

THE NEW WAVE


Chandrashekhar Nair (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
9 minutes,B/W, 1976

26 Januari, 1975, peristiwa Emergency


terjadi di India. Gelombang baru disiplin
dan ketertiban memasuki kehidupan nasional.
Program 20-poin bertujuan mengentaskan
korupsi, nepotisme dan kecacatan hukum di
lingkungan universitas dan sekolah tinggi
sehingga kedapan murid-murid menang
sentosa, dan ujian dapat dilaksanakan dalam
suasana bebas dan adil. Filem ini mengurai
faedah dari peristiwa Emergency yang
dibawakan untuk komunitas siswa/mahasiswa.

On Januar y 26, 1975, Emergency was


declared. A new wave of discipline and
order entered the nations life. The 20-point
Programme aimed at removing corruption,
nepotism and lawlessness on the university
and college campuses so that peace and
disciple may prevail, and examinations may
be conducted in a free and fair atmosphere.
The f ilm outlines the benef its that the
state of Emergency brought to the student
community.

Shai Heredia

Chandrashekhar Nair merupakan


angkata pertama lulusan dari Film &
Television Institute of India, tahun
1974. Ia telah membuat beberapa filem
dokumenter untuk Film Divisions
dan bahkan memenangkan National
Awards.

Chandrashekhar Nair was in the first


batch of students to graduate from the
the Film & Television Institute of India
in 1974. He went on to direct several
documentary films for Films Division
and even won National Awards for
his work.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |337

SP EXPERIMENTA 1 / 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 13.00 / 18+

CHILD ON A CHESS BOARD


Vijay B. Chandra (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
9 minutes, B/W, 1979

Naratif abstrak, berkenaan dengan tema


paralel dari Laki-laki berpengetahuan luas
dan Anak ayah dari laki-laki, ini adalah
sebuah eksplorasi psiko-sosial akan keudukan
sebagai negara merdeka, kemajuan industrial
dan pengembangan sains, sebagaimana dilihat
melalui mata seorang anak.

This abstract narrative, dealing with the


parallel themes of Man with all knowledge
and Child the father of man, is a psychosocial exploration of nationhood, industrial
progress and scientific development, as seen
through the eyes of a child.

Shai Heredia

Vijay B. Chandra adalah salah satu


pembuat filem eksperimental yang
hidup di era 50-an sampai 70-an.
Di era itu, dia bergabung ke dalam
Films Division. Child on Chess Board
(1979) adalah salah satu filemnya yang
terkenal.

338 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Vijay B. Chandra is one of the


experimental filmmakers who were
active in the period of the 50s until the
70s. In that era, Chandra joined the
Films Division. Child on Chess Board
(1979) is one of its famous film.

SP EXPERIMENTA 2 / 26 AUGUST, IFI, 17.00 / 18+

AND I MAKE SHORT FILMS


S.N.S. Sastryk (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
16 minutes, B/W, 1968

Sebuah potret impresionistik dari pembuatan


filem berdurasi pendek oleh seorang pembuat
filem. Filem ini mengeksplorasi proses, ide dan
konteks pembuatan dokumenter di India kala
ituseni atau dokumentasi dari kenyataan.
Pandangan yang diekspresikan di dalam filem
ini terkadang getir, sering kali humor, beberapa
kali satirkal tetapi jarang yang berisi pujian.

An impressionistic portrayal of short film


making by a short f ilm maker, the f ilm
explores the process, ideas and context of
documentary filmmaking in India at the
timeart or documentation of reality. The
views expressed in the film are sometimes
bitter, often humorous, at times satirical but
seldom complimentary.

Shai Heredia

S.N.S. Sastry (1930-1978) mendapat


diploma sinematografi dari Bangalore
Polytechnic. Ia bergabung dengan
Films Divisions sebagai kameraman
dan mulai membuat filem tahun
1956. Sastry banyak membuat filem,
tapi yang paling terkenal adaiah I am
Twenty (1967). Filem-filem lainnya
yang mendapat pujian kritik, antara
lain And I Make Short Films (1968), On
the Move (1970), Yes Its on (1972), dan
Burning Sun (1973).

S.N.S. Sastry (1930-1978) took a


diploma in cinematography from the
Bangalore Polytechnic. Sastry had
joined Films Division as a cameraman
and started directing films in 1956.
Sastry had made a large number of
films but it was with I am Twenty
(1967) that he made his mark. Sastry
later made several other notable films
like And I Make Short Films (1968),
On the Move (1970), Yes Its on (1972),
Burning Sun (1973).

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |339

SP EXPERIMENTA 2 / 26 AUGUST, IFI, 17.00 / 18+

THIS BIT OF THAT INDIA


S.N.S. Sastry (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
20 minutes, B/W, 1972

Sebuah perjalanan eksperimental melalui


pikiran, bunyi, dan citra dari orang-orang
India di tahun 1970-an, diselingi dengan
sebua h per t u nju k k a n T he House of
Bernarda Alba mlik Federico Garcia Lorca,
sebagai sebuah metafora untuk represi dan
konformitas.

An experimenta l journey through the


t hou ght s , s ou nd s a nd i m a g e s of t he
Indian youth of the 1970s, intercut with a
performance of Federico Garcia Lorcas The
House of Bernarda Alba, as a metaphor for
repression and conformity.

Shai Heredia

S.N.S. Sastry (1930-1978) mendapat


diploma sinematografi dari Bangalore
Polytechnic. Ia bergabung dengan
Films Divisions sebagai kameraman
dan mulai membuat filem tahun
1956. Sastry banyak membuat filem,
tapi yang paling terkenal adaiah I am
Twenty (1967). Filem-filem lainnya
yang mendapat pujian kritik, antara
lain And I Make Short Films (1968), On
the Move (1970), Yes Its on (1972), dan
Burning Sun (1973).
340 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

S.N.S. Sastry (1930-1978) took a


diploma in cinematography from the
Bangalore Polytechnic. Sastry had
joined Films Division as a cameraman
and started directing films in 1956.
Sastry had made a large number of
films but it was with I am Twenty
(1967) that he made his mark. Sastry
later made several other notable films
like And I Make Short Films (1968),
On the Move (1970), Yes Its on (1972),
Burning Sun (1973).

SP EXPERIMENTA 2 / 26 AUGUST, IFI, 17.00 / 18+

DESTINATION BOMBAY
G.L. Bhardwaj (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
16 minutes, Color, 1976

Sebuah filem promosi wisata tentang Kota


Bombay, Pintu Gerbang India. Filem ini
memperkenalkan penonton jenis-jenis fasilitas
di Bombay, yang ditawarkan oleh perhotelan,
pusat perbelanjaan, kehidupan malam, pantai,
dll., sembari mendeskripsikan sejarah panjang
Gua-gua Gajah.

A short tourism promotion film on the city


of Bombay, the Gateway of India. The film
introduces to the viewer the kind of facilities
Bombay offers at its hotels, its shopping
centers, its nightlife,beaches, etc., while
describing at length the histor y of the
Elephants caves.

Shai Heredia

Gurcharan Lal Bhardwaj, pembuat


film berusia delapan puluh tahun, yang
memulai karirnya sebagai asisten Raj
Kapoor dan melanjutkan membuat film
dokumenter yang diakui, mengaku
bukan penggemar Bollywood masa
kini. Bekerja dengan Raj Kapoor
dalam pembuatan filem, seperti 420
Shri dan Dilli Door Nahin, dia telah
memenangkan puluhan penghargaan
nasional dan internasional, termasuk
Penghargaan Presiden untuk film Land
of Krishna.

Gurcharan Lal Bhardwaj, the


octogenarian filmmaker, who began
his career as an assistant to Raj Kapoor
and went on to make acclaimed
documentaries says that he is not a fan
of today`s Bollywood masala movies.
The 83-year-old worked with Raj
Kapoor on films like Shri 420 and Dilli
Door Nahin and won dozens of national
and international awards including the
President`s Award for the movie Land
of Krishna.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |341

SP EXPERIMENTA 2 / 26 AUGUST, IFI, 17.00 / 18+

TRANSCENDENCE
K. Vishwanath (India)
Country of Production India
Language Hindi
Subtitle English
20 minutes, Color, 1972

Sebuah filem tentang Aurovillesebuah kota


internasional di pinggiran kota Pondicherry,
mengembangkan satu cara baru kehidupan
dalam menzikirkan masa lalu dan kini, dalam
pencarian jawaban hakiki atas pertanyaan
mendalam tentang manusia.

A film on Aurovillean international city


on the outskirts of Pondicherry, evolving a
new way of life transcending the past and
the present in search of true answers to the
inner questions of man.

Shai Heredia

Kasinathuni Viswanath (lahir 19


Februari, 1930) adalah seorang
perancang suara yang beralih menjadi
sutradara, dari India, dan karya-karya
diketahui bekerjasama dengan Telegu
Cinema dan Hindi Cinema. Dia
penerima penghargaan National
Film Award, Nandi Award, dan
Filmfare Award, serta Bollywood
Filmfare Award. Dia juga mendapat
pengakuan internasional, karena
kepiawaiannya mencampurkan elemen
sinema (eksperimental) dengan sinema
komersial.

342 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Kasinathuni Viswanath (b. 19


February 1930) is an Indian film, sound
designer turned director and actor
known for his works in Telugu Cinema
and Hindi Cinema. He is the recipient
of five National Film Awards, five
Nandi Awards, ten Filmfare Awards,
and a Bollywood Filmfare Award.
Viswanath has received international
recognition for his works, and is known
for blending parallel cinema elements
with mainstream commercial cinema.

DIDUKUNG OLEH / SUPPORTED BY BRITISH COUNCIL INDONESIA

LONDON, UK
Dikurasi oleh / Curated by
Benjamin Cook
LUX adalah agen seni internasional yang mendukung dan mempromosikan kerja seniman
berbasis gambar bergerak dan ide-ide seputar hal itu. Didirikan tahun 2002 sebagai dewan
derma dan lembaga non-profit, LUX berdiri di atas dasar organisasi pendahulunya (The London
Filmmakers Co-operative, London Video Arts, dan The Lux Centre) yang membentang hingga
ke era 1960-an. LUX adalah satu-satunya organisasi yang berjenis seperti ini di Inggris, mewakili
koleksi signifikan dari karya filem dan video seniman di negaranya, dan merupakan distributor
terbesar di Eropa (mewakili 4500 karya dari sekitar 1500 seniman dari tahun 1920-an hingga
sekarang). LUX bekerja dengan sejumlah lembaga-lembaga utama di Inggris, termasuk museum,
galeri, festival dan lembaga pendidikan, serta secara langsung dengan masyarakt dan seniman.
LUX menerima dana pendapatan tetap dari Dewan Kesenian Inggris.
LUX is an international arts agency for the support and promotion of artists moving image
practice and the ideas that surround it. Founded in 2002 as a charity and not-for-profit limited
company, it builds on a lineage of predecessor organisations (The London Filmmakers Cooperative, London Video Arts and The Lux Centre) which stretches back to the 1960s. LUX is
the only organisation of its kind in the UK, it represents the countrys only significant collection
of artists film and video and is the largest distributor of such work in Europe (representing
4500 works by approximately 1500 artists from 1920s to the present day). LUX works with
a large number of major institutions including museums, galleries, festivals and educational
establishments, as well as directly with the public and artists. LUX receives regular revenue
funding from Arts Council England.
Benjamin Cook adalah pendiri
dan direktur LUX, sebuah agen
berbasis di Inggris yang bekerja di
bidang promosi seniman dan gambar
bergerak. Sebelum mendirikan LUX
ia memegang beberapa posisi, antara
lain Direktur Lux Centre; Kepala
Distribusi di London Electronic Arts;
Direktur London Pan-Asian Film
Festival; Film Archivist di Anthology
Film Archives, New York. Mendapat
gelar MA di bidang Pengarsipan Filem
dari University of East Anglia dan
post-graduate Diploma di Boradcast
Journalism dari Sheffield Hallam
University.

Benjamin Cook is the Founder


Director of LUX, a UK based agency
for the support and promotion of artists
working with the moving image. Before
founding LUX he held a number of
positions including Director of the
Lux Centre; Head of Distribution of
London Electronic Arts; Director of
the London Pan-Asian Film Festival;
Film Archivist for Anthology Film
Archives, New York. He holds a MA
in Film Archiving from the University
of East Anglia and a Post-Graduate
Diploma in Broadcast Journalism from
Sheffield Hallam University.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |343

LIYAN
Seleksi atas filem-filem karya seniman Inggris kontemporer dari koleksi LUX
ini menyoroti subjektivitas dalam tradisi dokumenter melalui serangkaian potret
tindakan, orang, dan binatang yang menjelajahi dan menggali persoalan-persoalan
mendasar tentang batas bentuk dan permainan antara fiksi dan kenyataan.
Media kontemporer kini menawarkan tingkat akses informasi dan pengetahuan
tentang dunia yang tak terbayangkan sebelumnya. Dari reality tv hingga media
sosial, kemampuan mengetahui ini dipertajam lagi dengan proyeksi kenyataan
yang tanpa perantara (unmediated), keserentakan, dan akses pada orang-orang
serta situasi riil. Namun, seberapa jauh ini semua menjadi ilusi? Untuk segala
perasaan akan akses ini, tidakkah akhirnya kita masih terbatas pada pemahaman
akan orang dan benda melalui atribut eksternalnya? Bagaimana kita dapat berharap
untuk mengetahui yang liyan saat diri interiornya, perasaan dan pikiran pribadinya
tetap tertutup bagi kita? Tidakkah bentuk kenyataan yang dipertajam dalam media
populer ini melanggengkan bahkan mendalamkan ilusi kita akan pengetahuan
dan pemahaman? Apakah kita diperdaya? Sebaik apa kita sesungguhnya tahu
tentang yang liyan?
Program ini dimulai dengan dua filem yang dikomisikan oleh LUX sebagai
bagian dari residensi yang memberikan akses bagi seniman pada sumber dan
arsip lembaga penyiaran nasional Inggris, BBC, sebagai imbalan atas pembuatan
karya sesuai konteks editorial dan panduan lembaga tersebut. Proyek ini menarik
sekaligus menantang karena menyingkapkan perbedaan mendalam dalam praktik
kerja dan ideologi antara pekerja broadcast dan seniman independen (walaupun
masing-masing mengaku berkomitmen pada kreativitas). Mungkin, tak mengejutkan
bahwa kedua filem tersebut mengambil perspektif yang kritis terhadap bentuk
televisi dengan menggunakan materi lembaga tersebut untuk menggugat dan
mempersoalkan caranya menggambarkan subjeknya. Dalam Weight (2014),
Kate Davis mempertanyakan nilai dan representasi kreativitas perempuan serta
kerja domestik melalui jukstaposisi ironis arsip filem dengan dokumenter tentang
pemahat Inggris, Barbara Hepworth. Sementara itu, filem Luke Fowler, Depositions
(2014), menjelajahi representasi komunitas pengembara yang secara tradisional
terpinggirkan di Dataran Tinggi Skotlandia dengan memanfaatkan materi-materi
dari dokumenter yang menggurui dan potongan berita guna mengartikulasikan
narratif yang lebih kompleks tentang perbedaan dan komunitas.
Terinspirasi oleh tujuan sutradara etnografis Prancis, Jean Rouch, untuk
menjelajahi sukunya sendiri, yaitu orang-orang Paris dalam filemnya, Chronique
dun t (1960), seniman sutradara AS, Margaret Salmon, mengikhtiarkan
potret etnografi mengenai komunitas angkatnya di Inggris sebelah Tenggara.
344 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Mengeksplorasi ritme dan ritual kehidupan domestik dalam kerangka teori


psikolog Abraham Maslow tentang hierarki kebutuhan manusia, filem ini
mempersoalkan bentuk filem etnografis. Dengan menggunakan afeksi puitis, filem
ini menggulingkan subjek tradisional kajian etnografi Barat dengan menyorotkan
kamera pada kehidupan kelas menengah Inggris selatan.
Ben Rivers dikenal atas seri filem potret-nya yang kerap menyiratkan
ketidaktahuan dalam diri yang fundamental dari subjeknya melalui minimnya
komentar, unsur pemandu, atau perspektif jarak dekat. Things (2014) unik dalam
hal bahwa filem itu merupakan semacam potret diri, tetapi alih-alih memandang
dirinya secara langsung, Rivers mengkonstruksikan sejarah pribadi melalui
kepemilikannya atas barang-barang dalam apartemennya di London. Namun,
begitu kita mulai menjangkau sebentuk identitas di balik benda-benda itu, Rivers
langsung menggeser gambar dengan hasil citraan 3D digital dari tempat yang sama,
yang bersih dari banyak detail pribadi dalam paro pertama filem. Secara tajam,
hal itu menyiratkan sifat konstruksi dan rekayasa dari sebuah citra, sebagaimana
ia digeser hingga menjadi perspektif yang nonmanusiawi dan sepenuhnya buatan.
Filem terakhir dalam kuratorial ini, Taskafa (2013), berfokus pada makhluk
yang paling di-liyan-kan, yaitu hewan, dan khususnya hewan jalanan, yang hidup
bersama manusia di banyak kota besar. Hewan adalah fokus dari banyak proyeksi
kita yang paling antropomorfik. Dan dalam filem Andrea Luka Zimmerman
ini, hewan jalanan ini bertindak sebagai bilangan nol bagi tatanan terendah
penghuni kota modern, yang menghadapi dampak penuh dorongan kapitalistik
atas pembangunan dan gentrifikasi. Zimmerman secara aktif menantang naratif
tradisional tentang hewan jalanan sebagai hama dan gangguan bagi mengalirnya
kota, dengan memberikannya harga diri dan pandangan dalam diri (dengan
kutipan narator anjing dari buku John Berger, King). Filem ini pada akhirnya
menyorongkan proposisi utopis yang penuh semangat demi nilai komunitas,
hubungan timbal-balik, dan perhatian antarspesies sebagai perlawanan kuat
terhadap kemajuan yang rakus di dunia modern ini.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |345

THE OTHERS
This selection of contemporary British artists films from the LUX Collection
looks at subjectivity in the documentary tradition through a series of portraits of
actions, people and animals that explore and raise fundamental questions about
the limits of the form and the interplay between fiction and reality.
Contemporary media now offers us previously undreamt of levels of access
to information about and knowledge the World. From reality tv to social media
this sense of knowability is heightened by a projection of unmediated reality, of
immediacy and of access to real people and real situations. But how much is this
an illusion? For all of this sense of access are we still not ultimately limited to the
making sense of people and things through their external attributes? How can we
hope to know other others when their interior selves, their private thoughts and
feelings remain fundamentally shut off to us? Do these heightened verit forms
in popular media not only perpetuate but deepen an illusion of knowledge and
understanding? Are we being manipulated? how well do really we know the others?
The programme begins with two films commissioned by LUX as part of a
residency giving artists access to the resources and archives of the UK national
broadcaster, the BBC in return for making a work within the editorial context and
guidelines of the organization. The project was both interesting and challenging,
revealing the profound differences in ideology and working practices between
a broadcaster and an independent artist (even though each would profess a
commitment to creativity). It is perhaps unsurprisingly that both of the films take
a critical perspective on televisual form by using the broadcasters own material
to subvert and question the way it portrays its subjects. In Weight (2014), Kate
Davis questions value and representations of female creativity and domestic labour
though the ironic juxtaposition of archive film with a documentary on the British
sculptor Barbara Hepworth. While Luke Fowlers film Depositions (2014) explores
the representation of traditionally marginalized traveller communities in the
Highlands of Scotland, recouping material from patronizing documentaries and
news items to articulate a more complex narrative of difference and community.
Inspired by the French ethnographic filmmaker Jean Rouchs aim to explore
his own tribe, the Parisians in his film Chronique dun t (1960), US artist
filmmaker Margaret Salmon attempts an ethnographic portrait of her adopted
community in the South East of England. Exploring the rhythms and rituals
of domestic life in the framework of psychologist Abraham Maslows theory on
the hierarchy of human need the film problematizes the ethnographic film form.
Employing a poetic affection the film subverts the traditional subject of western
ethnographic studies by turning the camera on southern English middle class life.
346 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Ben Rivers is known for his series of portrait films that often suggest a
fundamental interior unknowability of his subjects through lack of commentary,
guiding elements or close up perspectives. Things (2014) is unique in that it is a
self-portrait of sorts, but rather than looking at himself directly, Rivers constructs
a personal history through the possessions in his London apartment. However
as we start to reach a sense of an identity behind the things he abruptly shifts to
a 3D digital rendering of the same space, now stripped of much of the personal
detail of the first half of the film, it forcefully suggesting the constructed and
manipulated nature of the image, shifted as it is to a now non-human and pure
artificial perspective.
The final film in the selection Taskafa (2013) focuses on the most other-ed of
beings, animals and specifically the street animals that live alongside humans in
many major cities. Animals are the focus for our most anthropomorphic projections
and in Andrea Luka Zimmermans film these street animals act as a cypher for the
lowest order of inhabitants within the modern city, those that face the full brunt
of the capitalist drive for development and gentrification. Zimmerman actively
challenges traditional narratives around street animals as pests and disruption to
the flow of the city, imbuing them with dignity and an interiority (with quotes
from canine narrator of John Bergers book King). The film ultimately makes a
passionate utopian proposition for the value of community, mutuality and interspecies care as powerful resistance to a voracious progress in the modern world.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |347

SP LUX 1 / 23 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 / 18+

WEIGHT
Kate Davis (UK)
Country of Production UK
Language English
Subtitle No Subtitle
12 minutes, B/W, 2014
distribution@lux.org.uk

Berangkat dari dokumenter BBC tahun


1961 tentang Barbara Hepworth, f ilem
ini mengeksplorasi bagaimana gambaran
kreativitas oleh televisi mengkonstruksi
pemahaman kita mengenai produksi artistik
dan bentuk-bentuk lainnya dari buruhpekerja. Weight mengimajinasikan kembali
sistem nilai yang diprediksi oleh dokumenter
tersebut, lantas mengajukan suatu pandangan
alternatif.

Taking a 1961 BBC documentary about


artist Barbara Hepworth as its starting point,
Weight explores how televised depictions of
creativity have constructed our understanding
of artistic production and other forms of
labour. Weight re-imagines the value systems
that this documentary is predicated upon and
proposes an alternative vision.

Benjamin Cook

Kate Davis (lahir di New Zealand,


1977) mendapat gelar Sarjana Seni
(19972000) dan Mphil (2000-1) di
The Glasgow School of Art. Sejumlah
pameran tunggalnya, antara lain
Temporary Gallery, Cologne (2013);
The Drawing Room, London (2012);
CCA, Glasgow (bersama Faith
Wilding) (2010); Tate Britain, London
(2007); Galerie Kamm, Berlin (2007
dan 2011); Kunsthalle Basel (2006);
dan Sorcha Dallas, Glasgow (2004 and
2008). Davis merupakan pengajar di
The Glasgow School of Art. Ia tinggal
dan berkarya di Glasgow.

348 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Kate Davis (born 1977 in New


Zealand) studied at The Glasgow
School of Art where she completed
a BA in Fine Art (19972000) and
an MPhil (20001). Selected solo
exhibitions include those at: Temporary
Gallery, Cologne (2013); The Drawing
Room, London (2012); CCA, Glasgow
(with Faith Wilding) (2010); Tate
Britain, London (2007); Galerie
Kamm, Berlin (2007 and 2011);
Kunsthalle Basel (2006); and Sorcha
Dallas, Glasgow (2004 and 2008).
Davis is a lecturer at The Glasgow
School of Art. She lives and works in
Glasgow.

SP LUX 1 / 23 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 / 18+

DEPOSITIONS
Luke Fowler (UK)
Country of Production UK
Language English
Subtitle No Subtitle
25 minutes, Color, 2014
distribution@lux.org.uk

Filem ini merenungkan potensialitas: apa yang


mungkin, akan, dan tetap jika dunia berubah ke
sebuah arah yang berbeda? Tapi waktu di dalam
filem bergerak dengan banyak arah, begitu pun
argumen. Filem yang dibuat belakangan ini dapat
dengan mudah dibingungkan dengan arsip-arsip
masa lalu yang telah rusak, bercorak jenuh
dan pinggiran yang kabur. Hanya pemisahan
antara bebunyian nan hidup dekat di dalam
telinga dan beraneka ragam suara dari satu masa
lalu yang mulai kabur-lah yang membedakan
arsip dengan kini. Secara bertahap, potonganpotongan itu bertemu: nostalgia kita atas kisah
kuno, lagu tradisional dan kebebasan romantis,
kesemuanya diterpa rasionalisme ilmiah dan
tekanan normativitas yang membawa hukum
untuk menanggung kebertahanan hidup dalam
konformitas. Apalah arsip jika bukan satu koleksi
narasi-narasi diri kita sendiri?

Luke Fowlers films dwell on potentiality:


what might be, what might have been, what
might still be if the world were to turn in a
different direction? But film time runs in
many directions, as do arguments. Film made
only recently can be easily confused with the
archival vintage of washed-out or saturated
tones and blurred edges. Only the disjunction
between sounds that live close within the ear
and rich voices from a fading past distinguish
archive from present. Gradually the pieces
converge: our nostalgia for ancient folkways,
traditional song and the romance of freedom,
all undercut by scientific rationalism and the
pressures of normativity bringing law to bear
on lives resistant to conformity. What is an
archive if not a collection of letters to ourselves?

Benjamin Cook

Luke Fowler (lahir di Glasgow, 1978)


mendapat gelar Sarjana di Duncan
of Jordanstone College of Art &
Design, Dundee tahun 2000. Pameran
tunggalnya, antara lain Common Sense,
La Casa Encendida, Madrid (2013);
The Poor Stockinger, the Luddite Cropper
and the Deluded Followers of Joanna
Southcott, Wolverhampton Art Gallery
(2012); dan Luke Fowler with Toshiya
Tsunoda and John Haynes, Inverleith
House, Edinburgh (2012).

Luke Fowler(b. 1978 in Glasgow)


obtained his BA (Hons) at the Duncan
of Jordanstone College of Art &
Design, Dundee in 2000. Recent solo
exhibitions include: Common Sense,
La Casa Encendida, Madrid (2013);
The Poor Stockinger, the Luddite
Cropper and the Deluded Followers of
Joanna Southcott, Wolverhampton Art
Gallery (2012); and Luke Fowler with
Toshiya Tsunoda and John Haynes,
Inverleith House, Edinburgh (2012).

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |349

SP LUX 1 / 23 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 / 18+

PYRAMID
Margaret Salmon (UK)
Country of Production UK
Language English
Subtitle No Subtitle
17 minutes, Color, 2014
Contact distribution@lux.org.uk

Filem ini berangkar dari teori Abraham


M a slow tent a n g h ier a rk i k ebut u h a n
manusia, melalui irama dan koreografi dari
kelas menengah Inggris Selatan. Dengan
film 16mm, warna & hitam-putih, filem
ini melanjutk an keter ta rik an Sa lmon
terhadap kinerja seniman/sutradara di dalam
situasi spontan maupun terkonstruksi, dan
memasukkan metode yang dikembangkan
oleh beragam gerakan dokumenter dan sejarah
avant-garde. Menggunakan susunan bunyi,
musik dan percakapan serta keheningan,
Salmon mengkonstruk sebuah dokumenter
abstrak yang mengembangkan dan menantang
topik yang dibahas oleh teori Maslow dan
perhatiannya terhadap ikonografi manusia,
stereotipe dan domestik. Citra piramida
Maslow dan pembedahan pragmatisnya
tentang kebutuhan dan motivasi-motivasi
manusia menyajikan satu sistem organisasi
untuk keluarga dan sebuah kerangka filosofis
bagi video.

Pyramid is a film work on Abraham Maslows


theory on the hierarchy of human needs
filmed through the rhythms and choreography
of middle class South England. Filmed in
color and b&w on 16mm film, it continues
Salmons interest in the performance of
the artist/cinematographer within both
spontaneous and constructed situations and
incorporates methods developed by various
movements within documentary and avantgarde history. Using an array of sounds,
music and conversation as well as silence,
Salmon constructs an abstract documentary
which both develops and challenges the
themes presented in Maslows theory as well
as her own interest in human iconography,
stereotype and domestic rhythm. The image
of Maslows pyramid and his pragmatic
dissection of human needs and possible
motivations provide a system of organization
for the family and a philosophical framework
for the video.

Benjamin Cook

Margaret Salmon (lahir di New York,


1975) tinggal dan berkarya di Glasgow,
Scotland. Ia pernah memenangkan
Max Mara Art Prize for Women tahun
2006. Karyanya telah dipamerkan di
Venice Biennale (2007), dan Berlin
Biennale tahun (2010).

350 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Margaret Salmon (1975, New York)


lives and works in Glasgow, Scotland.
Margaret Salmon had won the first
Max Mara Art Prize for Women
(2006). Her work was shown at the
Venice Biennale (2007) and the Berlin
Biennale (2010).

SP LUX 1 / 23 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 / 18+

THINGS
Ben Rivers (UK)
Country of Production UK
Language English
Subtitle No Subtitle
20 minutes, Color, 2014
distribution@lux.org.uk

Filem ini merupakan sebuah tantangan


seorang teman: membuat sesuatu di dalam
rumahku selama setahun. Berasal dari sebuah
negara bermusim, saya tertarik bagaimana hal
itu memengaruhi masyarakat tentang dunia,
suasana hati, pemahaman dan hubungan kita
dengan lingkungan. Perubahan mood ini
mengisi filempada musim dingin, filem
ini sangat internal dan ref lektif, melihat
detail-detail sekitar rumah, dan di belakan
hal yang aku kumpulkan. Di musim semi,
suasananya cerah, ada manusia, tangan
yang memegang buku atau menggambar,
manusia membaca. Musim panas adalah
campuran keduanya, menjawab dengan rasa
kegelisahan. Musim gugur lantas menjadi
sebuah penghilangan lanjut atas representasi
ruang tempat saya tinggal, dan dalam keadaan
yang tak pastiapakah dinding-dinding itu
runtuh di sekitarku? Apakah ini masa depan,
yang sebagian diramalkan dalam Fable, buku
yang dibaca di Musim dingin? Ben Rivers

This film was a challenge set by a friend, to


make something in my home over the course
of the year. Coming from a country where the
seasons are very evident, I am interested in how
they affect peoples sense of the world, moods,
and our understanding and relationship to our
environment. These mood changes feed into
the filmin the Winter section the film is very
internal and reflective, looking at the details
around the house, and back to the things Ive
collected. In Spring, the atmosphere brightens,
there are humans, hands holding a book or
drawing, an eye reading. Summer is a mix of
both the joy of these things, countered with
a sense of unease. Autumn then becomes a
further remove of representation of the space
I live in, and in an uncertain stateare the
walls crumbling around me? Is this the future,
partly foretold in Fable, the book read in
Spring. Ben Rivers

Benjamin Cook

Ben Rivers (lahir 1972) tinggal dan


berkarya di London. Belajar seni di
Falmouth School of Art, mulanya seni
patung sebelum mendalami fotografi
dan filem. Setelah kelulusannya, dia
belajar otodidak cara membuat dan
memproses film menggunakan 16mm.

Ben Rivers (Born 1972) lives and


works in London. He studied Fine Art
at Falmouth School of Art, initially
in sculpture before moving into
photography and super8 film. After
his degree he taught himself 16mm
filmmaking and hand-processing.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |351

SP LUX 2 / 25 AUGUST, KINEFORUM, 17.00 / 18+

TASKAFA, STORIES FROM THE STREET


Andrea Luka Zimmerman (UK)
Country of Production UK, Turkey
Language English, Turkish
Subtitle English
66min, Color, 2013
distribution@lux.org.uk

Ini adalah sebuah filem esai tentang memori


dan bentuk paling penting dari kepemilikan
tempat maupun sejarah, melalui pencarian
bagi peran yang dimainkan dalam kota oleh
anjing-anjing jalanan Istanbul dan hubungan
mereka dengan populasi manusia. Melalui
eksplorasi tersebut, filem ini membuka satu
jendela tentang hubungan yang diperebutan
antara kekuasaan dan publik, masyarakat
dan kategorisasi (lokasi dan identitas), dan
perlawanan terhadap cara tunggal dalam
melihat dan berada.

Taskafa is an artists essay film about memory


and the most necessary forms of belonging,
both to a place and to history, through a
search for the role played in the city by
Istanbuls street dogs and their relationship
to its human populations. Through this
exploration, the film opens a window on
the contested relationship between power
and the public, community and categorisation
(in location and identity), and the ongoing
struggle / resistance against a single way of
seeing and being.

Benjamin Cook

Andrea Luka Zimmerman merupakan


seorang seniman dan aktivis kebudayaan
berbasis di London. Ia telah membuat
filem sejak 1998, mulanya sebagai
bagian dari kelompok Vision Machine,
yang mengeksplorasi dampak globalisasi
dan berkolaborasi secara langsung
dengan buruh perkebunan. Periode
tersebut juga mendorong penelitian
untuk esai filemnya, Prisoner of
War (2014), yang menginvestigasi
militerisme Amerika dan kebijakan luar
negeri melalui satu kajian karakter salah
satu agennya. Zimmerman baru saja
menyelesaikan karya terbarunya, Estate,
a Reverie (2015).

352 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Andrea Luka Zimmerman is an artist


filmmaker and cultural activist based
in London. She has been making films
since 1998, originally as part of the film
collective Vision Machine, exploring
the impact of globalisation and
collaborating directly with plantation
workers. This period also prompted
early research for her film essay Prisoner
of War (2014), which investigates US
militarism and foreign policy through
a character study of one of its most
enduring rogue agents. She has recently
completed her latest work, Estate, a
Reverie (2015).

DIDUKUNG OLEH / SUPPORTED BY GOETHE -INSTITUT INDONESIEN

LUBANG HITAM SEJARAH


Dikurasi oleh / Curated by
Philip Widmann

Lubang hitam, biasanya dipahami sebagai bukaan metaforis dalam waktu dan ruang
bagi benda-benda hingga lenyap ke dalam ketiadaan. Tepian yang tergambar tajam
di sekeliling lingkaran bulat dari sesuatu yang jauh lebih baur dan samar daripada
yang dinyatakan istilah itu: benda-benda menghilang, benda-benda dilupakan,
benda-benda dianggap sebagai milik masa lalu yang telah ditutup. Tapi apakah
mereka sungguh-sungguh lenyap?
Semua filem dari program ini dengan caranya sendiri mengacu dan menghidupkan
sejarah, baik dalam bentuk materi fisik yang digunakannya, pilihan estetik yang
ditentukannya, atau wacana yang diajukannya. Dalam filem-filem ini, benda-benda
muncul kembalidan dengan adanya dua filem yang secara kiasan menampilkan
lubang hitam, filem-filem tersebut menawarkan sebuah definisi lain dari apa yang
mungkin direpresentasikan oleh lubang kiasan itu: suatu saluran terjauh antara
masa lalu dan masa kini yang memungkinkan komunikasi dan perjumpaan dengan
hal-hal di masa lalu.
Dalam A Proletarian Winters Tale karya Julian Radlmaier (2014), sebuah
lubang hitam dipasang sebagai karya seni di kastil di mana tiga protagonis asal
Georgia harus bekerja, hanya untuk menghabiskan malam mereka di sebuah
ruangan kecil di loteng, sementara di bawah tangga kaum borjuis yang kurang-lebih
sedikit membahas perjanjian jual-beli senjata, mendengarkan permainan piano,
dan menikmati hidangan prasmanan mewah.
Lubang hitam-lubang hitam dalam El Futuro (2013) karya Luis Lpez
Carrasco adalah lubang-lubang yang muncul pada awal dan akhir tiap gulungan
filem 16mm. Pada gambar beku (freeze frame), kita dapat mengamati dan melihat
tembus melaluinya, serta membayangkan lubang-lubang itu sebagai lubang hitam
kiasan yang melaluinyalah sejarah Spanyol tertumpah hingga kini di sini, hingga ke
krisis masa kini yang tak berkesudahan, yang mungkin berawal sekitar tahun 1982,
sebagaimana yang digambarkan filem ini. Sama juga, lubang hitam dalam filem
Radlmaier menjadi celah yang dilalui isu-isu yang tampaknya terbuang ke ranah
kejadian sejarah: dalam kasus ini, ialah sebuah kemunculan kembali yang abadi
dari perjuangan kelas dan kelelah-lunglaian yang ditimbulkannya. Dengan semakin
kaburnya batas-batas perbedaan kelas, upaya-upaya baik untuk mendefinisikan

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |353

maupun melampauinya berujung pada situasi paradoks yang, menurut Radlmaier


dan tiga protagonisnya, hanya dapat ditangani dengan kenaifan mutlak.
Juga mengangkat relasi antara majikan dan budaknamun, dengan kosakata
yang sepenuhnya berbedaAnja Dornieden dan Juan David Gonzalez Monroy
menyajikan paradoks yang lain kepada kita. Dalam The Masked Monkeys
(2015), sebuah penjelajahan bangsa kera dari Indonesia, Dornieden dan Monroy
memanfaatkan gestur formal sinema yang bersumber dari sejarah pembuatan filem
etnografis yang cukup autoritatif. Pengisi suara (voice over) yang maha tahu dan
tak terbantahkan mentransformasikan bukti visual monyet-monyet pertunjukan
menjadi sebuah kisah tentang liminalitas dan stratifikasi sosial yang agak menyerupai
kehidupan manusia.
Dinamai berdasarkan nama pendukung realisme sosialis dalam sastra, kapal
pelesir Maxim Gorky adalah kapal paling mewah yang berlayar di bawah panji
bendera Uni Soviet dari pertengahan 1970-an dan kerap digunakan untuk membawa
turis-turis Jerman ke negeri-negeri yang jauh. Dalam Travelling with Maxim Gorky
(2014), Kolja Kunt dan Bernd Ltzeler mengombinasikan footage yang ditemukan
dari seorang wisatawan di atas kapal dan dalam lingkungan sekeliling yang eksotis
beserta analisis lisan tentang sebelas lukisan yang diambil dari suatu seri televisi
Jerman, berjudul 1.000 Meisterwerke (1.000 Mahakarya). Gambar dan suara
menjadi sekutu dalam permainan yang seolah menyasar pada relativisasi upaya yang
mendasar guna memahami dunia dengan menciptakan dan memandang gambaran
tentang itu, sembari menanggalkan penilaian dan persepsi yang sudah pasti.
Biarkan dunia menjadi gambar adalah baris dari sebait puisi dalam Return
to Aeolus Street (2014) karya Maria Kourkouta, sebuah filem yang menata ulang
dan mengkoreografikan citra-citra dari sinema Yunani populer era 1950-an dan
1960-an. Apa yang tampaknya diwariskan dari beberapa generasi salinan filem telah
kehilangan banyak nuansa abu-abunya yang indah. Citra hitam-putih yang kontras
dan gerakan-gerakan berulang serta lambat menguarkan kualitas hipnotisseolah
datang dari mimpi ilusi tentang era yang dibekukan, yang berisikan masa lalu dan
identitas bersama, memancar keluar dari sebuah lubang hitam yang lain.

354 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

THE BLACK HOLES


OF HISTORY
The black hole, usually understood as a metaphorical opening in time and
space for things to disappear into nothingness. Sharply drawn edges around
a perfect circle of something that is much more diffuse and cloudy than the
term suggests: things get lost, things are forgotten, things are ascribed to a
closed-off past. But do they ever really disappear?
The films of this program all in their own way reference and reanimate
history, whether in the form of the physical material they use, the aesthetic
choices they make, or the discourses they propose. In them things reappear
and with two of the films figuratively featuring a black hole, they offer another
definition of what the metaphorical hole might represent: one extremity
of a channel between past and present that allows for communication and
communion with things past.
In Julian Radlmaiers A Proletarian Winters Tale (2014), a black hole
has been installed as a work of art in the castle where the three Georgian
protagonists have to toil, only to spend their night in a tiny room in the attic,
while downstairs the more or less petty bourgeoisie discusses arms deals, listens
to a piano concerto and enjoys a lavish buffet.
The black holes of El Futuro (2013) by Luis Lpez Carrasco are punch holes
that appear at the beginning and end of each roll of the 16mm film. In freeze
frames, one can look at and through them, and imagine them as metaphorical
wormholes through which Spanish history spills into the here-and-now, into
the present of a prolonged crisis that might have started right there in 1982, at
this very party that the film depicts. Likewise, the black hole in Radlmaiers
film becomes a loophole through which issues seemingly banished to the realm
of history occur: in this case, an eternal reappearance of class struggle and
the exhaustion and fatigue it involves. With the increasing blurriness of the
boundaries of class distinction, efforts both to define them and to transcend
them result in paradoxical situations that, according to Radlmaier and his
three protagonists, can only be handled with absolute navet.
Also addressing relations between master and slaveyet with an entirely
different vocabularyAnja Dornieden and Juan David Gonzalez Monroy present
us with another paradox. In The Masked Monkeys (2015), an exploration of the
trained simians of Indonesia, Dornieden and Monroy make use of cinematic
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |355

formal gestures that draw on a history of a somewhat authoritative ethnographic


filmmaking. The omniscient and unchallenged voiceover transforms the visual
evidence of the performing monkeys into a tale of rather human-like social
stratification and liminality.
Named after the proponent of literary socialist realism, the cruise ship
Maxim Gorky was the most luxurious ship sailing under the flag of the
USSR from the mid-1970s, and was often used to take West-German tourists
to faraway lands. In Travelling with Maxim Gorkiy (2014), Kolja Kunt and
Bernd Ltzeler combine found footage from a tourist onboard the ship and
in exotic surroundings with spoken analyses of eleven paintings taken from a
German TV series called 1000 Meisterwerke (1000 Masterpieces). Sound
and image become accomplices in a game that seems to aim at a fundamental
relativisation of efforts to apprehend the world by making and looking at
pictures of it, unhinging certainties of judgment and perception.
Let the world become a picture is a line from one of the poems in
Maria Kourkoutas Return to Aeolus Street (2014), a film that re-orders and
choreographs images from popular Greek cinema of the 1950s and 1960s. What
appears inherited from several generations of film copies has lost much of its
finer shades of grey. The contrasted black and white images and the slowed
down and repetitive movements have a hypnotic qualityas if belonging to an
illusory dream of encapsulated time containing a common past and identity,
emanating from another black hole.

Philip Widmann adalah seorang


sineas, produser, dan sesekali
programer. Lahir di Berlin Barat pada
1980, Widmann lulus dari jurusan
Komunikasi Visual di Hochschule
fr bildende Knste Hamburg dan
Antropologi Kultural dari Universitt
Hamburg. Sejak 2009 ia merupakan
anggota laboratorium filem yang
dikelola seniman, LaborBerlin. Karyakaryanya telah dipertunjukkan di
ruang-ruang seni dan festival-festival
filem, di antaranya Wexner Center for
the Arts, WRO Biennale Wroclaw,
Berlin Film Festival, Rotterdam
International Film Festival, New
York Film Festival, FID Marseille,
CPH:DOX, dan Visions du Rel.
Widmann adalah seniman residensi di
Akademie Schloss Solitude di Stuttgart
pada 2014. Pada 2015, ia menjadi
seniman residensi di Villa Kamogawa
di Kyoto.
356 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Philip Widmann is a filmmaker,


producer and occasional programmer.
Born in West-Berlin in 1980,
Widmann graduated in Visual
Communications from the University
of Fine Arts Hamburg and in Cultural
Anthropology from the University of
Hamburg. Since 2009 he is a member
of the artist-run film laboratory
LaborBerlin. His works have been
shown in art spaces and film festivals,
among them the Wexner Center for the
Arts, WRO Biennale Wroclaw, Berlin
Film Festival, Rotterdam International
Film Festival, New York Film Festival,
FID Marseille, CPH:DOX und
Visions du Rel. Widmann was artist in
residence at Akademie Schloss Solitude
in Stuttgart in 2014. In 2015, he is
artist in residence at Villa Kamogawa
in Kyoto.

SP BLACK HOLES OF HISTORY 1 / 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 15.00 / 18+

UNTERWEGS MIT MAXIM GORKIY /


TRAVELING WITH MAXIM GORKIY
Kolja Kunt & Bernd Ltzeler (Germany)
Country of Production Germany
Languange Getman
Subtitle English
11 minutes, color, 2014

Seperti dalam banyak hal lainnya, di sini pun


persoalannya lebih tentang alusi alih-alih
deskripsi. Ini pun berlaku pada orang-orang
yang direpresentasikan. Siluet-siluet datar
orang-orang. Kepala mereka tergambarkan
dalam sosok. Wajah-wajah tak berekspresi,
tak bergestur formal. Pada latar belakang,
sekeping kehidupan sehari-hari: arsitektur
batu bujursangkar yang keras bangkit dari
bubur kehitaman, kecokelatan, oker, atau
lumpur. Suatu demonstrasi akan fungsi
perspektif pusat. Sebuah representasi surga
tropis yang diidealisasikan. Anehnya, tidak
ada absurditas dalam hal ini.

As in many cases, also here its rather about


allusion than description. This also applies
to the persons represented. Flat silhouettes
of people. Their heads depicted inprofile.
Faces with no expression, formal gestures.
In the background, a little bit of everyday
life: The hard, square, stone architecture
arises from ocher-colored, brownish,blackish
mush of color or mud. A demonstration of
the function of the central perspective. An
idealized representation of a tropical paradise.
Strangely, theres no absurdity inthis.

Philip Widmann

Kolja Kunt lahir di Jena, 1972, tinggal


dan bekerja di Berlin. Bernd Ltzeler
lahir pada 1967 di Dsseldorf dan
menempuh studi di University of the
Arts, Berlin, di mana ia menuntaskan
kelas master Maria Vedder pada 2003.

Kolja Kunt was born in Jena 1972, lives


and works in Berlin. Bernd Ltzeler
was born in 1967 in Dsseldorf, Bernd
Ltzeler studied at University of the
Arts Berlin, where he completed Maria
Vedders master class in 2003.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |357

SP BLACK HOLES OF HISTORY 1 / 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 15.00 / 18+

RETURN TO AEOLUS STREET / APISTROFI STIN ODO ALOIOU


Maria Kourkouta (Greece)
Country of Production France/Greece
Languange Greek
Subtitle English
14 minutes, B/W, 2013

Fragmen-fragmen film Yunaniyang digarap


ulang, dilambatkan, diputar-putarera 1950an dan 1960-an, diiringi permainan piano
Manos Hadjidakis. Sebuah kolase audiovisual
dari footage temuan yang berkelana di Yunani
modern dan Athena pusat.

Fragmentsreworked, slowed down, put in


loopsof Greek popular movies of the 50s and
60s, accompanied by Manos Hadjidakis piano.
A found-footage audiovisual collage journeys
into modern Greece and central Athens.

Philip Widmann

Maria Kourkouta lahir pada 1982


di Yunani. Setelah mempelajari
antropologi selama empat tahun di
Yunani, ia melanjutkan di studinya
dalam kajian sinematografi di Paris.
Hari ini ia menempuh tahun kelima
studi PhD-nya, mempelajari ritme
dalam sinema. Seiring dengan studi
teoretisnya, ia juga membuat film
dan menjadi anggota asosiasi sinema
independen (LEtna, LAbominable).

358 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Maria Kourkouta was born in 1982, in


Greece. After four-year anthropology
studies in Greece, she attended postgraduate cinematography studies in
Paris. Today, she is in the fifth year
of PhD studies, working on rhythm
in the cinema. In parallel to her
theoretical studies, she is making films
and has been member of associations
of independent cinema (LEtna,
LAbominable).

SP BLACK HOLES OF HISTORY 1 / 26 AUGUST, GOETHEHAUS, 15.00 / 18+

EL FUTURO / THE FUTURE


Luis Lpez Carrasco (Spain)
Country of Production Spain
Languange Spanish
Subtitle English
67 minutes, Color, 2013

Sekelompok anak muda menari dan minumminum di sebuah rumah. Suasananya suasana
pesta dan ceria. Kemenangan sosialis pada
pemilu 1982 tampak baru-baru saja terjadi.
Malam itu penuh dengan perayaan dan
euforia. Upaya kudeta yang dilakukan pada
1981 seolah jauh sekali. Kita dapat berkata
bahwa di Spanyol, pada 1982, segalanya
adalah masa depan. Namun, masa depan
itu juga tampak lebih dekat dalam kecepatan
tinggi, seperti sebuah lubang hitam yang
memangsa segala sesuatu di hadapannya.

A group of young people dance and drink


at a house. The atmosphere is festive and
cheerful. Socialist victory in the general
elections of 1982 seems recent. The night is
full of euphoria and celebration. The attempt
of coup detat made in 1981 appears to be quite
far away. We could say that in Spain, in 1982,
everything was future. However, the future
also looks closer at enormous speed, like a
black hole that devours everything in its path.

Philip Widmann

Luis Lpez Carrasco adalah pembuat


filem, penulis, dan seniman visual.
Pada 2008 ia mendirikan Los Hijos,
sebuah kolektif dokumenter dan
sinema eksperimental. Karya mereka
telah dipertunjukkan di beberapa
festival filem internasional dan pusatpusat seni kontemporer. Mar del Plata
International Film Festival, Distrital
Film Festival, Lima Independiente
Film Festival, CGAI, dan Arteleku
telah mendedikasikan fokus
monografik pada karya mereka. Film
panjang mereka yang pertama, Los
Materiales, diganjar Jean Vigo Prize
for Best Direction (Punto de Vista
International Film Festival 2010) dan
International Jurys Special Mention
(FiD Marseille 2010).

Luis Lpez Carrasco is a filmmaker,


writer and visual artist. In 2008 he
co-founded Los Hijos, an experimental
cinema and documentary collective.
Their work has been shown in
numerous international film festivals
and contemporary art centres. Mar
del Plata International Film Festival,
Distrital Film Festival, Lima
Independiente Film Festival, CGAI
and Arteleku dedicated monographic
focus of their work. Their first
feature-length film, Los materiales
was awarded with the Jean Vigo Prize
for Best Direction (Punto de Vista
International Film Festival 2010) and
International Jurys Special Mention
(FiD Marseille 2010).

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |359

SP BLACK HOLES OF HISTORY 2 / 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 / 18+

THE MASKED MONKEYS


Anja Dornieden & Juan David Gonzlez Monroy
(Germany-Colombia)
Country of Production Indonesia/Germany
Language Indonesian
Subtitle English
30 minutes, B/W, 2015

Seni topeng Indonesia berusia ribuan tahun.


Seni tersebut umumnya disebut sebagai wayang
topeng. Masyarakat percaya bahwa wayang
topeng berasal dari ritus kematian suku-suku,
di mana para penari bertopeng dipandang
sebagai para penerjemah dewa-dewa. Di tingkat
terendah masyarakat Jawa, sebuah manifestasi
unik dari tradisi topeng ini dapat ditemukan.
Para praktisinya adalah seniman pertunjukan
dan bukan sekadar penghibur. Tujuan mereka
tidak sekadar untuk melipur lara. Ambisi
mereka adalah dihargai, dihormati, sukses.
Mereka menapak jejak pada jalur yang mereka
ketahui akan berujung pada tingkat yang lebih
tinggi, posisi yang terhormat dan mulia.

The masked arts of Indonesia are thousands


of years old. They are commonly referred to
as wayang topeng (wayang: shadow or puppet;
topeng: mask). It is believed that wayang
topeng originated from tribal death rites,
where masked dancers were considered the
interpreters of the gods. In the lowest rungs
of Javanese society a unique manifestation
of these masked traditions can be found. Its
practitioners are performers, but they are not
merely entertainers. Their aim is not simply
to amuse. Their ambition is to be respected,
to be honored, to be successful. They have
embarked on a path they know will lead to
a higher state, to an honorable and noble
position.

Philip Widmann

Anja Dornieden and Juan David


Gonzlez Monroy adalah pembuat
filem dari Berlin. Sejak 2010 mereka
bekerja bersama di bawah panji
OJOBOCA. Bersama, mereka
mempraktikkan Hororisme,
metode transformasi dalam dan luar
tersimulasi. Karya mereka mencakup
filem, pertunjukan, instalasi, dan
lokakarya. Mereka telah menyajikan
karya secara internasional di beragam
lokasi dan beragam penonton. Mereka
saat ini merupakan anggota lab filem
yang dikelola seniman LaborBerlin.

360 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Anja Dornieden and Juan David


Gonzlez Monroy are filmmakers
based in Berlin. Since 2010 they
have been working together
under the moniker OJOBOCA.
Together they practice Horrorism,
a simulated method of inner and
outer transformation. Their work
encompasses films, performances,
installations and workshops. They have
presented their work internationally
in a wide variety of venues. They are
currently members of the artist-run
film lab LaborBerlin.

SP BLACK HOLES OF HISTORY 2 / 28 AUGUST, GOETHEHAUS, 17.00 / 18+

A PROLETARIAN WINTERS TALE /


EIN PROLETARISCHES WINTERMRCHEN
Julian Radlmair (Germany)
Country of Production Germany
Language German/Georgian
Subtitle English
63 minutes, Color, 2014

Tiga anak muda Georgia harus membersihkan


k ast i l d i Berl in d i ma na kolek si sen i
kontemporer seorang pebisnis senjata sedang
disiapkan untuk sebuah pameran. Tentu,
kaum proletar tidak diterima dalam pesta
pembukaan dan ketiga protagonis itu dibuang
ke sebuah ruangan pelayan kecil di loteng.
Meski demikian, di lantai bawah prasmanan
yang megah memukau merekajadi mengapa
tidak abaikan saja larangan yang tak adil
itu dan seberangi garis demarkasi kelas
masyarakat? Bukankah Revolusi Prancis juga
berawal demi sepotong kue? Saling berkisah
tentang cerita-cerita luar biasa yang berkisar
dari petualangan Santo Francis hingga sebuah
perjumpaan spiritual di Uni Soviet, ketiga
protagonis itu berusaha menemukan jawaban
untuk pertanyaan ini: Dapatkah relasi kelas
ditaklukkan saat semua cerita yang turuntemurun berkata tidak?

Three young Georgians have to clean a


castle in Berlin, where a German armament
manufacturers collection of contemporary art
is being set-up for an exhibition. Of course, the
proletariat isnt welcome at the opening party
and the three protagonists are banished to a
small servants room in the attic. Downstairs,
however, a splendid buffet attracts them so
why not just ignore the unfair prohibition and
cross the demarcation line of class society?
Didnt the French Revolution start for a
piece of cake, anyway? Telling each other
unlikely stories ranging from an adventure
of Saint Francis to a spiritualistic seance in
the Soviet Union, the three protagonists try
to find an answer to this question: Can class
relations be overcome, when all bequeathed
stories say they cant?

Philip Widmann

Julian Radlmair lahir pada 1984


di Nrnberg. Ia mempelajari
penyutradaraan di German Film and
Television Academy Berlin (dff b) sejak
2009. Filem berdurasi sedangnya,
Ein Gespenst geht um in Eropa (WP
Oberhausen) mendapatkan penghargaan
kritikus filem Jerman (Preis der
deutschen Filmkritik) sebagai filem
eksperimental terbaik 2013. Filem
panjang pertamanya, Ein proletarisches
Wintermrchen secara premier
ditayangkan di IFF Rotterdam 2014.

Julian Radlmair was born 1984 in


Nrnberg to a French-German family.
Studied film directing at the German
Film and Television Academy Berlin
(dff b) since 2009. His middle-length
film Ein Gespenst geht um in Eropa (WP:
Oberhausen) received the German
film critics ward (Preis der deutschen
Filmkritik) as Best experimental film
2013. His first feature Ein proletarisches
Wintermrchen had its world premiere at
IFF Rotterdam 2014.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |361

WORLD PREMIERE

HARIMAU MINAHASA
TENTANG KEMBARA DAN
RASA AMAN WARGA
Hikmat Budiman
Direktur Yayasan Interseksi

Ad loca aromatum. November, 2013. Andang Kelana, salah satu pembuat video
Harimau Minahasa, datang memenuhi undangan saya untuk bergabung ke dalam
tim penelitian kota-kota di Sulawesi yang diorganisir Yayasan Interseksi. Ada tujuh
kota yang akan menjadi tujuan kami di enam provinsi di Sulawesi. November itu,
para peneliti sedang melakukan proses pendalaman bacaan tentang Sulawesi, dan
setiap minggu rutin bertemu di kantor kami untuk mendiskusikan hasil bacaan dan
cicilan rencana penelitian. Tema umum program Interseksi di Sulawesi (2013-2015)
adalah tentang demokrasi, politik lokal, dan kewargaan. Di samping tema umum
itu, saya juga memberi pilihan kepada para peneliti untuk mengerjakan topik yang
diminatinya sendiri di lokasinya masing-masing. Peneliti yang akan berangkat ke
Kota Baubau di pulau Buton, Sulawesi Tenggara, misalnya, berencana menulis
tentang konflik dalam lingkaran kaum bangsawan Keraton Buton. Sementara itu,
yang berangkat ke Minahasa Utara berencana meneliti rantai komoditi manusia
dalam industri kopra di sana, dan lain-lain.
Saya membebaskan Kelana memilih lokasi yang akan didatanginya, dan
ia memilih Minahasa Utara. Karena salah satu yang sering diobrolkan dalam
diskusi-diskusi para peneliti tadi adalah tentang rempah, meskipun tidak satu pun
yang menjadikannya fokus studi, Kelana berencana membuat video dokumenter
tentang salah satu rempah yang memang melimpah di kawasan Minahasa, selain
di kepulauan Maluku tentu saja, yakni pala (Myristica fragrans). Salah satu slide
presentasi Kelana, saya ingat, menampangkan ungkapan ad loca aromatum, di
mana rempah-rempah berada. Saya tidak tahu apakah ungkapan tersebut sengaja
dipotong dari navigatio ad loca aromatum atau bukan, yang pasti ia cukup kuat
memerangkap kami yang hadir ke dalam ribuan kisah masa silam; ketika rempahrempah seolah meruah para pengembara Eropa datang ke sini, mengarungi ribuan
kilometer, dan sesudahnya peta-peta ditulis, dan pahit luka bangsa-bangsa jajahan
dipahatkan. Saya baru tahu bahwa dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata jadian
merempah, antara lain, bisa juga berarti mengembara.
362 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH / SUPPORTED BY THE INTERSEKSI FOUNDATION

April, 2014. Tim penelitian Kota-kota di Sulawesi diberangkatkan. Andang


Kelana berangkat bersama Syaiful Anwar. Mencari kebun-kebun pala, mereka
kemudian menetap di Kecamatan Airmadidi, ibukota Kabupaten Minahasa Utara,
beberapa hari menjelang pemungutan suara pemilu DPR/DPRD tgl. 9 April 2014.
Oleh seorang pemilik kebun pala, mereka ditawari tinggal di sebuah rumah yang
dikelillingi kebun pala. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tapi dari sana ceritanya
kemudian berubah sepenuhnya ketika mereka terpikat oleh sesosok pemuda yang
baru dikenalnya. Pala kemudian hanya menjadi sebuah ajang dari cerita baru itu.
Judul filem ini bisa membingungkan, tapi bisa pula bersifat menjelaskan dirinya
sendiri (self-explanatory). Karena Minahasa tidak dikenal sebagai habitatnya kawanan
harimau, filem ini jadi sebuah displacement (atau mungkin lebih tepat misplacement)
yang disengaja. Ia bercerita tentang duka dan kegembiraan menjadi seorang warga
negara yang selalu bergerak, menjadi kembara kultural dan (terutama) ekonomi.
Singkatnya, ini adalah sebuah cerita tentang kehidupan yang biasa-biasa saja. Bukan
gambaran romantis tentang semangat muda bertualang seperti dalam lagu dan seri
film Berkelana-nya Rhoma Irama, dan bukan pula suspensi kisah pengembaraan
seperti ketika Odysseus mencari jalan pulang ke Ithaca selepas perang Troya.
Subjek filem ini adalah seorang pemuda Jawa, muslim, kelahiran Lampung,
Sumatra, yang kemudian berkelana ke beberapa tempat. Namanya Budiono, tapi
orang-orang yang mengenalnya lebih suka memanggilnya Ateng. Ia pernah bekerja
di perkebunan sawit di Pematang Siantar, Sumatra Utara sebelum disuruh pindah
ke Aceh. Setelah tsunami, ia berhenti dan kembali ke kampungnya di Lampung.
Kemudian, ia pergi melancong ke Jakarta, dan lantas menggelandang ke Bali sebelum
akhirnya menetap (mungkin untuk sementara saja) di desa Treman, Airmadidi,
Minahasa Utara, yang mayoritas warganya beragama Kristen.
Budi tinggal di kebun pala milik tuannya, rumah yang juga ditempati kru
pembuat filem ini selama mereka di Minahasa. Sehari-hari ia membantu kerja
tuannya, termasuk memandikan dan memberi makan angsa, dan babi-babi yang
ukurannya lebih besar dari tubuhnya sendiri. Budi adalah subjek yang ditemukan
secara tidak sengaja oleh pembuat filem. Apa yang mereka temukan pada sosok
Budi adalah apa yang pada dasarnya dapat mereka temukan setiap hari di Jakarta
atau di tempat-tempat lain. Yakni, sosok-sosok para kembara, migran-migran yang
kekayaan pengalaman hidupnya jauh melampaui kapasitas ekonomisnya. Mereka
adalah orang-orang yang, seperti sebagian dari kita, dipaksa bermigrasi untuk
kehidupan yang lebih baik.
Sebagian dari filem ini adalah rekaman tentang perjalanan ulang-alik antara
realitas sehari-hari dengan sekeping kehidupan dari masa lalu subjeknya. Dari
kegembiraan hidup di tempat yang cukup mudah untuk mendapatkan uang
dibandingkan di Jawa atau di Bali, dan sekian banyak bualan di siang hari, dengan
momen-momen tertentu ketika kampung halaman dan keluarga yang ditinggalkannya
begitu kuat mengundang rindu-dendam di malam hari. Sehari-hari, Budi berbahasa
Indonesia dengan dialek Minahasa. Tapi hitam sebuah malam di kebun pala itu
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |363

tiba-tiba memerih ketika ia nembang dalam langgam Jawa yang lirih, dan sedikit
sumbang. Diselingi tingkah polah seperti seekor harimau, malam itu, dalam bahasa
Jawa ngoko dan mengaku sebagai (almarhum) kakeknya, ia bercerita tentang asal-usul
si subjek (Budi). Pesannya berkali-kali tidak sampai karena kedua orang pembuat
filem ini sama sekali tidak paham Bahasa Jawa.
Di Indonesia, kita mengenal momen seperti itu dengan sebutan kesurupan
atau kemasukan arwah (leluhur atau siapa saja), sehingga apa yang dilakukan
dan diucapkan oleh orang yang mengalaminya dianggap berada di luar kontrol
kesadaran dirinya. Kesurupan sama sekali bukan perkara asing dalam kehidupan
kita. Fenomen yang sama juga dapat ditemukan pada beberapa masyarakat Asia
Tenggara. Dalam satu atau lain cara, sebagian dari kita adalah juga para kembara,
yang tidak pernah tinggal diam. Budiono adalah kita yang terus meronta dari
gravitasi kampung halaman, tanpa pernah benar-benar bisa melupakannya. Ekonomi
dan politik mendorong kita untuk selalu bergerak pindah. Demokrasi menjamin
hak-hak kita untuk bisa pindah dan menetap di mana pun. Tapi ia tidak pernah
bisa menjamin hasil dari perpindahan itu. Seperti pada kasus pemilu, demokrasi
hanya menjamin cara untuk melakukan suksesi, tetapi tidak pernah bisa menjamin
apakah hasilnya akan benar-benar sesuai harapan.
Merempah ke desa Treman, Minahasa Utara, yang permai itu, Budi masih
harus dijaga oleh seekor harimau dari Jawa. Di balik ceritanya ketika kesurupan
itu, saya menangkap hadirnya rasa tidak aman yang memang jamak terjadi pada
seorang migran di tempat barunya. Sebagian dari kita yang hidup sebagai migran
di Jakarta atau di kota-kota lain pasti membutuhkan lebih dari sekedar jaminan
penjagaan mitis seperti itu. Ada yang mencoba meraih rasa aman melalui konsumsi,
agar diperlakukan sepadan oleh orang-orang satu kalangan. Ada pula yang
menjaminkan keamanan pada agama, agar tidak dikafirkan atau bahkan diusir
oleh orang-orang sekaum. Budi tidak bisa mendapatkan itu, maka dia hanya bisa
mengandalkan harimaunya. Tapi semakin kita membutuhkan penjaga keamanan
dari hal-hal seperti itu, kita pantas bertanya di mana fungsi negara dalam menjamin
rasa aman kehidupan warganya.
Jakarta, 14 Juli 2014.

364 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

TIGER OF MINAHASA
OF WANDER AND PEACEFUL

Ad loca aromatum. November, 2013. Andang Kelana, one of the video-makers


of Harimau Minahasa, answered to my invitation to join a team researching
Sulawesi cities, organized by Interseksi Foundation. There are seven cities
comprising our destinations in six provinces of Sulawesi. That November, the
researchers were exploring literatures on Sulawesi and having regular meetings
in our office to discuss their readings and plans bit by bit. The general theme
of Interseksis program in Sulawesi (2013-2015) was about democracy, local
politics and citizenship. Apart from that, I also gave the opportunity for the
researchers to do their own favorite subjects in their chosen locations. The
one who was going to Baubau City in Buton Island in Southeast Sulawesi,
for example, was planning to write about a conflict within the nobles circle
of Buton Palace. Meanwhile, the one who was going to North Minahasa was
thinking to observe the supply chain of humans within the kopra industry.
And so on.
I freed Kelana to choose the location he wanted to go, and he chose North
Minahasa. Since one of the subjects discussed during the researchers meetings
was spice, although no one was focusing on spice, Kelana planned to make a
documentary video about one of the spices abundantly found in Minahasa,
and the Moloccon Islands of course, i.e. nutmeg (Myristica fragrans). One
of Kelanas presentation slide, I remember, displayed the expression ad loca
aromatum, where the spice is. I have no idea whether it was cut purposefully
from navigatio ad loca aromatum or not, but definitely it was strong enough
to enchant us who were there into thousands of stories of the past; when
spices seemed to charm European travelers to come here, crossing thousands
of kilometers, after which maps were drawn and bitter wounds of colonized
lands were carved. I knew then that in Kamus Besar Bahasa Indonesia, the
word merempah (to spice), among others, can mean to travel.
April, 2014. Sulawesi researchers departed. Andang Kelana went with
Paul Suwarso. Looking for nutmeg plantations, they stayed in Airmadidi
Subregency, the capital of North Minahasa Regency, several days before the
election of the House of Representatives (DPR and DPRD) on April 9, 2014.
They received an offer from a plantation owner to stay in a house surrounded
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |365

by nutmeg fields. Like grist to the mill. But from there the plot overturned
completely as they were charmed by a young man they just knew. Nutmeg
then became a setting for the new story.
The title of this film can be confusing, but it can also be self-explanatory.
Since Minahasa is not the place known as tigers habitat, this film comes through
as a displacement (or more appropriately misplacement) by design. It tells
about joy and sadness of being a citizen who is always on the move, becoming
cultural and (especially) economical traveler. Shortly, it is about an ordinary
life. It is not a romantic depiction of a young adventurous spirit according to
Rhoma Iramas song and film series, Berkelana, neither a suspensful voyage
like Odysseys wanderings to find his hometown Ithaca after the Trojan War.
The subject of this film is a Javanese muslim young man born in Lampung,
South Sumatra, who travels places. His name is Budiono but people who know
him call him Ateng. He has worked in an oil palm plantation in Pematang
Siantar, North Sumatra, before being told to move to Aceh. After the 2005
tsunami, he quits and returns to his hometown in Lampung. Then he travels
Jakarta and wanders to Bali before staying (perhaps momentarily) in Truman
village, Airmadidi, North Minahasa, where the majority is Christian.
Budi lives in his masters nutmeg field, at a house where this film crew also
stay during their visit to Minahasa. His job is to help his master, including
bathing and feeding geese and pigs bigger than his own body. Budi is actually
a subject found incidentally by the filmmakers. What they find in Budi is
basically what they can find everyday in Jakarta or other places, i.e. travelers,
migrants whose rich life experiences brim beyond their economic capacity.
They are people who, just like some of us, are forced to migrate for the sake
of a better life.
This film is partly a record of Budis back and forth trip from daily reality
to a piece of life in the past. It is from the joy of living in a place where money
is relatively easy to get, having gibberish at day time, to certain moments when
the hometown and family he leaves strongly grip him with longing at night.
Everyday Budi speaks in Indonesian with Minahasa dialect. But one night
at the nutmeg field the darkness feels suddenly bitter as he sings a Javanese
tembang gently, a little off-note. In between behavior like a tigers that night,
in ngoko Javanese, proclaiming himself as his (late) grandfather, he tells a story
about Budis origin. His message cant come through many times since the
two filmmakers dont understand Javanese at all.
In Indonesia, people know such phenomenon as kesurupan or kemasukan
(possessed) by spirit (of an ancestor or anyone else) in which the things the
person does or says are attributed to something beyond his consciousness.
Being possessed is not a foreign thing in our life. The same phenomenon can
actually be found in several peoples of Southeast Asia. One way or another
366 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

some of us are also travelers who never stay immobile. Budiono is us, who keep
on writhing from his hometowns gravity without being able to truly forget
it. The economy and politics drive us to alway move. Democracy ensures our
rights to be able to move and stay anywhere. But it can never ensure the result
of such migration. Just like in election, democracy only ensures the way for
succession but can never guarantee whether the result is just like expected.
Spicing to the idyllic Truman village, North Minahasa, Budi still has to be
guarded by a tiger of Java. Behind his possessed story, I captured the insecurity
common in migrants in their new place. Some of us who live as migrants in
Jakarta or other cities must need more than such mythical guards assurance.
Some obtain security through consumption so that people in their circle treat
them as equal. Some others reach out to religion so that their people dont call
them infidels or banish them. Budi cant obtain such things, so he can only
rely on his tiger. But the more we need such guard for our security, the more
we should ask where the state is in providing it for its citizens.
Jakarta, 14 July 2015

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |367

WP / 28 AUGUST, CGV BLITZ, 19.00 /18+

HARIMAU MINAHASA/ TIGER OF MINAHASA


Andang Kelana & Syaiful Anwar (Indonesia)
Country of Production Indonesia
Language Indonesian/Javanese
Subtitle English
63 minutes, color, 2015

Ateng, seorang pemuda rantau dari Jember,


bekerja di perkebunan Pala, Minahasa Utara.
Kultur Minahasa Utara sendiri mayoritas
berupa identitas homogen dalam sebuah
sistem keyakinan tertentu: tampak dari
simbol-simbol yang menghiasi sepanjang
jalan pada halaman rumah-rumah penduduk.
Namun, Budiono, nama asli pemuda itu, bisa
diterima oleh warga untuk bekerja, dan tinggal
di sebuah rumah perkebunan. Di perantauan,
ia tak bisa memungkiri keterikatan identitas
asal-muasal leluhurnya. Hal itu terungkap
dalam alam bawah sadarnya: ia dirasuki
leluhurnya sendiri. Dialog dalam peristiwa
kesurupan itu mempertegas identitas asal
tersebut: komunikasi yang tak terjembatani
akibat perbedaan bahasa. Identitas asal
mer upa k an ha l yang sela lu hadir dan
menyertai Ateng di mana pun ia berada.

Ateng, a young immigrants from Jember,


working on plantations of nutmeg, North
Minahasa. Majority culture of this region
itself is in the form of a homogeneous identity
within a particular belief system: its look of
symbols that adorn all the way in the yard of
peoples houses. However, Budiono, the real
name of the young man, is accepted by the
citizens for work, and lived in a plantation
home. Overseas, he could not deny an
identity engagement to his ancestral origins.
It was revealed in his subconscious: he was
possessed by his own ancestors. Dialogue
in the trance event reinforce the identity of
origin: communication was unbridgeable
due to language differences. The identity of
the origin always is present and accompanies
Ateng wherever he is.

Akbar Yumni

Andang Kelana dan Syaiful Anwar


adalah seniman, pembuat filem dan
pengurus Forum Lenteng. Karya
mereka telah dipresentasikan di
beberapa festival nasional maupun luar
negeri. Salah satu karya kolaborasi
mereka, Dongeng Rangkas (2011),
memenangkan penghargaan terbaik
Festival Film Dokumenter 2011.

368 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

Andang Kelana dan Syaiful Anwar is


video artists, filmmakers and Forum
Lenteng members. Their works has
been exhibited in some national and
international festivals. One of their
collaborations, Dongeng Rangkas
(2011), won the Best Documentary in
Festival Film Dokumenter in 2011.

SPECIAL SCREENING

PAPUA DAN ILUSI MEDIA


Gelar Agryano Soemantri
Pemimpin Redaksi www.halamanpapua.org
Setahun sudah, salah satu program masyarakat berdaya dari Forum Lenteng,
Halaman Papua yang fokus terkait isu kesehatan masyarakat di Papua, dijalankan.
Halaman Papua adalah sebuah program kerja bermedia yang merupakan
kolaborasi antara Forum Lenteng dan komunitas atau masyarakat lokal di
Papua, yang wujud dari hasilnya berupa teks, foto dan video documenter.
Cakupan isu program ini adalah pelayanan kesehatan di Papua, dan output-nya
disebarkan melalui situs web beralamat www.halamanpapua.org.
Program ini berangkat dari peliknya masalah kesehatan yang ada di Papua.
Setelah tujuh belas tahun Peristiwa Reformasi 1998 berlalu, masalah kesehatan
di Papua tidak menunjukkan arah perbaikan yang berarti, bahkan pada aspek
tertentu menjadi lebih parah dari yang sebelumnya. Forum Lenteng, melalui
Program Media Untuk Papua Sehat ini, berpandangan, bahwa masalah
kesehatan, dari tataran akar rumput sampai tataran kebijakan, merupakan
akibat dari rendahnya wawasan bermedia yang dimiliki oleh warga masyarakat,
para petugas kesehatan, dan juga para pemangku kebijakan.

Apa kabar Papua?

Mungkin, saat ini ada satu hal yang membuat saya penasaran, setelah kurang
lebih 175 hari menginjakkan kaki di Papua. Penasaran tersebut seolah terputar
kembali saat saya sedang makan di sebuah warung Soto khas Lamongan
di depan taman Lenteng Agung, persis di seberang kampus IISIP Jakarta.
Menjadi salah satu tempat kuliner favorit saya dari sekitar tahun 2006-an
silam, keadaan warung ini hampir tidak ada yang berubah, masih dengan
warung tenda semi permanen dengan spanduk khas bergambar ayam dan lele
pada umumnya. Yang berganti hanyalah pelanggannya, di mana akhir-akhir
ini saya sering sekali melihat mahasiswa asal Papua yang tinggal di Asrama
yang dulunya kos-kosan di Kawasan Gang Lurah, yang tidak jauh dari Taman
Lenteng Agung.
Saya pun memesan makanan, dan tidak lama setelah hidangan saya
disajikan, datang dua orang mahasiswa asal Papua yang juga hendak makan
malam. Tempat duduk warung ini seperti pola huruf L. Saya duduk dekat
letak sambal, kecap dan merica, persis di ujung simpangan huruf L tersebut,
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |369

sedangkan mahasiswa Papua tersebut duduk di ujung bidang panjang dari huruf
L yang berjarak kurang lebih satu meter dari saya. Yang seorang memesan
ayam goreng dan nasi uduk dan es jeruk, seorang lagi sama, namun ia memesan
es teh manis sebagai minumannya.
Teman, sa mau beli hp macam ko punya lagi, ni! (Teman, aku ingin
belih ponsel seperti punyamu)
Ko punya kemarin, kemana? (Punyamu yang kemarin, mana?)
Sa jual, to! (Aku jual)
Baru, kenapa ko jual? Rusak? (Lalu, mengapa kau jual? Rusak?)
Ah, tidak! Sa jual karena sa kembali ke kampung, di sana hp macam begini
(smartphone) tra bisa dapat sinyal baik. (Tidak. Aku jual karena aku pulang
ke kampung. Di sana, ponsel seperti ini tidak bida dapat sinyal)
Di sana memang hp kayu paling andalan, e...?! (Di sana memang ponsel
kayu paling andalan, ya...?!)
Itu sudah! (Ya, begitulah!)
Kawan, coba sa liat ko pu hp sebentar, sa mau cek-cek dulu. (Kawanku,
coba aku lihat sebenar ponselmu, aku ingin lihat-lihat)
Si orang yang diminta pun memberikan ponselnya.
Mendengar percakapan itu, saya kembali teringat saat saya berada di Papua
untuk melangsungkan kegiatan Program Media untuk Papua Sehat. Di sana,
memang jaringan 3G yang terkoneksi pada smartphone masih jarang dapat
ditemui sehingga tindak komunikasi menggunakan teknologi dan aplikasi
kekinian pun tidak terlalu efektif. Oleh karenanya, telepon genggam dual band
(GSM) masih menjadi alat paling favorit, selain karena baterai tahan lama,
alat tersebut juga handal dalam menangkap sinyal.
Di beberapa wilayah saya menemukan lokasi-lokasi yang umumnya dipakai
warga lokal untuk melakukan komunikasi melalui telepon genggamnya. Yang
saya ingat, ada bukit sinyal di daerah Arso. Warga di sana harus menaiki
bukit jika hendak melakukan komunikasi menggunakan koneksi melalui
ponselnya. Saat pertama kali saya melihat adegan ini, saya langsung teringat
salah satu filem Iran karya Abbas Kiarostami, yang berjudul The Wind Will
Carry Us (1999). Lalu, di daerah Depapre, saya melihat sebuah instalasi kursi
plastik berwarna hijau yang diletakan di atas pohon. Pada awalnya, itu cukup
membuat saya heran, namun salah seorang teman menjelaskan, Jika di sini ada
yang aneh-aneh macam begini, pasti ada tujuannya. Dan benar saja, ketika
teman saya menaiki kursi tersebut, sinyal dalam ponselnya muncul. Daerah
Depapre ini memang terkenal sebagai salah satu kawasan miskin sinyal di
Kabupaten Sentani.
Selain membuat tempat, banyak aksi warga Papua dalam mensiasati
keterbatasan sinyal, salah satunya Puskesmas Depapre. Banyak suster yang
menaruh telepon genggam mereka di jendela Puskesmas, dan cara itu memang
sesekali efektif untuk menerima dan mengirim pesan singkat menggunakan
370 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

teknologi. Tak heran, jika staf medis (Puskesmas) di Papua, khusunya di daerah
yang sulit sinyal telekomunikasi, masih menggunakan jadwal manual yang
pastinya untuk menginformasikan sekaligus mengobati pasien ke berbagai
wilayah pelayanannya. Jadwal tersebut biasanya disampaikan melalui mulut
ke mulut oleh kader Puskesmas kepada warga.
Jelang beberapa waktu, makanan saya pun habis dan saya masih duduk
untuk menghisap rokok. Saat saya membayar makanan, kedua mahasiawa itu
pun berbicara lagi:
Kawan, ko lihat ini? (Kawan, kau lihat ini?)
Apa? (Apa?)
Di berita ini, Papua kacau!
Ah, yang betul...?!
Iya toh?! Coba ko lihat dulu!
Bah! Betul ko? Ko baca baik itu berita di mana kacau? Jangan ko sebut
Papua, Papua itu luas, ko lupa ka? (Bah! Yang benar! Kau baca baik-baik di
berita itu, di mana yang kacau? Jangan kau sebut Papua. Papua itu luas, kan?)
Koran bodoh itu tulis Papua terus, tra bisa tulis baik tempat yang betul
ka? (Koran bodoh itu selalu tulis Papa, tapi tidak bisa menulis nama tempat
yang benar, ya?)
Oh, iya sudah! (Ya..)
Percakapan terakhir dua mahasiswa Papua yang saya dengar itu, sebelum
terlanjur meninggalkan warung soto, cukup membuat saya berpikir lagi
tentang Papua.
Saya dapat menyebut pandangan-pandangan terkait Papua, baik itu orang
Papua melihat luar maupun orang luar melihat Papua, karena adanya dosa
dari informasi yang diproduksi oleh orang asing yang membicarakan Papua
yang disebarkan melalui media, seperti filem, buku dan yang paling dahsyat
adalah media massa arus utama, sehingga menciptakan mitos-mitos yang sangat
identik terhadap Papua. Sebagaimana kata Roland Barthes: The Bastard form
of mass culture is humiliated repetition ... always new books, new programs,
new films, new items, but always same meaning.
Semua kebudayaan pun tercipta dari hasil perang, tidak terkecuali Papua
yang sangat kental dengan perang. Namun, perang tersebut bukanlah sekedar
perang yang sebagaimana di citrakan oleh media massa, yang seolah membingkai
standar terkait perilaku kemanusian, yang secara halus mengaburkan nilai
luhur perang di Papua yang menyeretnya ke wilayah istilah asing, seperti
istilah HAM. Dengan pengandaian posisi seterdidik apa pun, orang Papua
selalu dihadirkan secara rendah oleh media massa dan dengan pengandaian
yang menciptakan mitos-mitos massa sebagai efek media tadi, entah dalam
menawarkan solusi kemerdekaan atau tawaran-tawaran yang utopis bagi
masyarakat Papua itu sendiri.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |371

Jika berbicara kemerdekaan, saya jadi sedikit teringat dialog dalam filem
Jean Renoir, yang kalau saya tidak lupa: kemerdekaan pasca perang adalah
ilusi, yang muncul justru kekuasaan baru yang dibalut oleh rakyat.

Poster Hidup

Poster hidup (2015) merupakan salah satu dari tiga filem produksi Forum
Lenteng melalui Program Media Untuk Papua Sehat (Halaman Papua) pada
tahap keduatahap pertama dilaksanakan pada tahun 2014yang masih
bekerja sama dengan jaringan komunitas Halaman Papua. Pada pelaksanaan
tahap kedua tersebut, Forum Lenteng berkolaborasi dengan tiga komunitas
lokal, yaitu Komunitas Hiloi di Sentani, Komunitas Riyana Waena di Jayapura,
dan Komunitas Yoikatra di Timika. Filem Poster Hidup yang akan diputar
perdana dalam ARKIPEL Grand Illusion Jakarta International Documentary
& Experimental Film Festival 2015, diproduksi atas kerja sama Forum Lenteng
dengan Komunitas Hiloi. Poster Hidup sendiri berkisah tentang usaha yang
dibentuk pihak puskesmas dalam menemukan model komunikasi yang efektif
untuk promosi kesehatan. Selain itu, Poster Hidup merekam kehidupan
masyarakat lokal setempat dan menyusunnya secara sinematik sebagai usaha
untuk menemukan kemungkinan dalam memecah mitos-mitos (khususnya,
terkait masalah kesehatan) yang telah diciptakan, baik oleh masyarakat Papua
sendiri, pemerintah, maupunbahkan yang utama sekali olehmedia.

372 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

PAPUA AND
MEDIA ILLUSION
It has been one year of Halaman Papua operation, a people empowerment
program of Forum Lenteng with a focus on Papuan public health. It is a
media work program, a collaboration of Forum Lenteng and Papuan local
communities, which results in texts, photographs and documentaries. The scope
of this program is public health service in Papua and its output, distributed
through the web at www.halamanpapua.org.
This program emerged from the complexity of Papuan health issues.
Seventeen years after Reformation 1998, health problems in Papua show no
improvement, and even degenerate in some regions. Forum Lenteng, through
Media Program for Healthy Papua, believes that health problems, from
grassroot to policy-making level, is a result of poor media knowledge of the
people, health officials and stake-holders.

Whats up, Papua?

There has been one thing that makes me curious after more or less 175 days
stepping onto Papua. This curiosity came back to me when I had my meal at a
Lamongan soto food stall in front of Lenteng Agung park, right at the opposite
of IISIP campus, Jakarta. One of my favorite culinary spots since 2006, this
food stall hasnt changed since then, still with a semi-permanent tent with a
banner featuring chicken and catfish. The customers are new, though, lately
including a Papuan student that Ive often seen, who lives in a dormitory that
used to be a boarding house on Lurah Street, not far from Lenteng Agung park.
At that time, after I ordered food and had it in front of me, two Papuan
students came for dinner too. The seating at this place is similar to letter L.
I sat near sambal, soy sauce and pepper bottles, right at the short parts tip of
the L while they sat at the longer part of it, less than a meter from me. One
ordered fried chicken, uduk rice and iced orange, the other the same dishes
but with iced tea.
Teman, sa mau beli hp macam ko punya lagi, ni! (Mate, I want to buy a
cellphone like yours!)
Ko punya kemarin, ke mana? (Where is yours, the one you had yesterday?)
Sa jual, to! (I sold it)
Baru, kenapa ko jual? Rusak? (Why did you sell it? Was it damaged?)
Ah, tidak! Sa jual karena sa kembali ke kampung, di sana hp macam begini
tra bisa dapat sinyal baik. (Oh, no. I sold it because I returned to kampong,
this kind of phone [smartphone] cant get signal coverage.)
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |373

Di sana memang hp kayu paling andalan, e?! (Wood phone is the one
there, right?)
Itu sudah! (There it is)
Kawan, coba sa liat ko pu hp sebentar, sa mau cek-cek dulu. (Mate, let me
see your phone, Ill check it over.)
The person asked showed his phone to his friend.
Listening to that conversation, I was reminded to the time when I was
in Papua to run the Media Program for Healthy Papua. The 3G connection
for smartphone there was rare to find so that communication using the latest
applications and technology was unnecessary. The GSM dual band cellphone
was a favorite choice because of its long endurance battery and reliability to
be in connection.
In some regions, I found certain sites where the people communicate through
cellphone. I remember, for instance, signal hill in Arso region. The people
there must climb up the hill to communicate with their cellphone. The first
time I saw it, I recalled immediately an Iranian film by Abbas Kiarostami, The
Wind Will Carry Us (1999). In Depapre, I saw a green plastic chair installed
up on a tree. At first I was puzzled but then a friend explained, There are
such weird things here, but there must be something behind them. It was
right. When he climbed up the chair, his cellphone received signal coverage.
This region in fact is known as one with poor signal in Sentany Regency.
Papuans go to some lengths to strategize their lack of signal coverage, like
they do in Depapre public health service center. Many nurses would put their
cellphones at the office window and it would work indeed to send and receive
short text messages. It is no wonder that medic staff in Papua, especially those
in area of poor signal coverage, still use manual schedule to inform and treat
their patients. This manual schedule means that the schedule is spread from
mouth to mouth by the service centers cadres to citizens.
After some time, I finished my meal and had some cigarette. When I was
paying for it, the two students talked again.
Kawan, ko lihat ini? (Mate, do you see this?)
Apa? (What?)
Di berita ini, Papua kacau! (Papua is chaotic in this news)
Ah, yang betul?! (Really?!)
Iya toh?! Coba ko lihat dulu! (See? Read it first)
Bah! Betul ko? Ko baca baik itu berita di mana kacau? Jangan ko sebut
Papua, Papua itu luas, ko lupa ka? (Pooh! Is that right? Where do you read
the chaos in there? Dont say Papua, Papua is vast, you forgot it?)
Koran bodoh itu tulis Papua terus, tra bisa tulis baik tempat yang betul
ka? (This stupid newspaper keeps on mentioning Papua, cant it write a region
name properly?)
Oh, iya sudah! (Right...)
374 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

This conversation I heard before leaving the food stall made me to rethink
about Papua.
I can mention views related with Papua, whether its about the Papuans
looking outside or other people looking into Papua, because of the sins
committed from the information produced by foreigners who talk about Papua
through the media, such as films, books and mass media, the most powerful
of all, creating myths identical to Papua. As Roland Barthes has said: The
bastard form of mass culture is humiliated repetition (...) always new books,
new programs, new films, news items, but always the same meaning.
All cultures are made of war, including Papua that is wrecked by war.
But this war is not just the one presented by the mass media that seems to set
a standard upon human behavior, smoothly disguising honorable values of
Papuan war and dragging it to a foreign territory of concept such as Human
Rights. From any educated presuppositions, the Papuans are always presented
as inferior by the mass media with myths sprouting as the effects around this
presupposition, as freedom solutions or utopian proposals are handed to the
Papuans.
Speaking of freedom, I remember a piece of dialogue in Jean Renoirs
film, saying, if Im not mistaken: Freedom after war is an illusion, what will
emerge is a new power shrouded by the people.

Poster Hidup

Poster Hidup (2015) is one of the three productions by Forum Lenteng through
the Media Program for Healthy Papua (Halaman Papua) phase twothe first
one was done in 2014)still in collaboration with the community network
of Halaman Papua. In this second phase, Forum Lenteng collaborated with
three local communities, namely Hiloi in Sentani, Riyana Waena in Jayapura
and Yoikatra in Timika. Poster Hidup will be premiered in ARKIPEL Grand
IllusionJakarta International Documentary & Experimental Film Festival
2015produced together by Forum Lenteng and Hiloi community. It is about
an exertion by the public health service center to discover the most effective
communication model for health promotion. Its also a cinematic record of the
local peoples life while finding a way to break down the myths (of health, in
particular) created by Papuans themselves, government and, above all, media.

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |375

SS HALAMAN PAPUA / 28 AUGUST, CGV BLITZ, 17.00 /13+

POSTER HIDUP
Forum Lenteng-Komunitas Hiloi (Indonesia)
Country of Production Indonesia
Language Indonesian
Subtitle English
65 minutes, Color, 2015

D a l a m p e l a k s a n a a n ny a , p eny e ba r a n
informasi kesehatan di masyarakat sering
mengalami kendala. Dari persoalan minimnya
ragam media yang digunakan hingga cara
memastikan pemahaman masyarakat atas
informasi yang disampaikan. Tahun 2013,
Multi Stakeholder Forum dibentuk di tiga
distrik di Papua; Sentani, Sentani Barat, dan
Depapre. Forum ini beranggotakan tokoh
masyarakat, seperti; kepala adat, kepala
kampung, pemuka agama, kepala puskesmas,
kepala distrik, dan tokoh pemerintahan.
Forum ini mencoba menjembatani komunikasi
antara masyarakat dengan pemerintah,
terutama kebutuhan pelayanan kesehatan
yang baik, termasuk penyuluhan kesehatan.
Poster Hidup merekam situasi yang terjadi
terkait permasalahan kesehatan dan upayaupaya anggota MSF sebagai media hidup,
memberikan pemahaman mengenai kesehatan
kepada masyarakat melalui peran mereka
masing-masing dalam masyarakat.

I n pr ac t ice , d is sem i nat ion of hea lt h


information in the community often have
constraints. From the issue of the lack of
diversity of media used to how to ensure the
publics understanding of the information
submitted. In 2013, the Multi Stakeholder
Forum was set up in three districts in Papua;
Sentani, West Sentani, and Depapre. The
Forum is composed of community leaders,
such as customary chief, village heads,
religious leaders, heads of public health
centers, district heads and government
leaders. The Forum was trying to bridge
the communication between the community
and the government, particularly the needs of
good health care, including health education.
Poster Hidup record of the situation related
public healthcare problems and the efforts
of members of MSF as a medium of live,
provides insight into the health of the
community through their respective roles
in society.

Gelar Agryano Soemantri

376 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

GERIMIS SEPANJANG
TAHUN
Otty Widasari

Director of Community Based Media Education Forum Lenteng


Sebuah filem tentang satu dusun di Jatiwangi, Jawa Barat, yang kehidupan masyarakatnya
berputar seperti mesin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari secara tradisional, namun
berdampingan dan harus berhadapan dengan pembangunan wilayah secara modern.
Filem yang merupakan karya hasil lokakarya literasi media yang diselenggarakan oleh
Forum Lenteng melalui Program akumassabekerja sama dengan Jatiwangi Art Factory
(JaF)ini diproduksi oleh masyarakat Dusun Wates, Desa Jatisura, Kabupaten Jatiwangi
sendiri, dengan memberdayakan perkembangan teknologi digital (video) yang juga sudah
menjadi keseharian masyarakat sekarang ini. Aksi yang dilakukan dalam lokakarya tersebut
adalah pembacaan terhadap fenomena lokal yang selama ini terlewat dari amatan media
arus utama. Gerakan ini dilakukan sebagai sebentuk perspektif tandingan. Bersama-sama
dengan masyarakat, beraksi mendidik diri sendiri, serta memproduksi informasi melalui
perspektif warga dan mendistribusikannya melalui berbagai media termasuk video.
Program akumassa telah menghasilkan puluhan karya video diproduksi secara
kolaboratif dan partisipatif, mengusung ide kontra media massa arus utama sebagai
metode eksperimen alternatif bahasa visual, di mana kamera bertindak sebagai mata
warga. Kerja ini juga menjadi bagian dari proses mengumpulkan narasi-narasi lokal
sebagai arsip ilmu pengetahuan.
Narasi lokal dalam filem Gerimis Sepanjang Tahun ini memberikan gambaran bagaimana
geliat pabrik genteng tradisional serta pola kerja kehidupan agraris bersanding dengan
pembangunan jalan tol yang akan mengubah banyak pola kehidupan sosial, ekonomi,
serta budaya masyarakat di masa mendatang.
Walaupun pola kerja milik masyarakat tradisional sudah merupakan bagian dari
struktur kerja modern, namun ada pola kearifan lokal yang melekat dalam hibridisasi ini.
Begitu pula sebaliknya, sebuah struktur kerja modern tak akan mampu menghilangkan
lokalitas yang menjadi wadah kerjanya. Filem ini menggambarkan persilangan dua pola
yang berbeda tersebut melalui sudut pandang warga yang memegang sendiri teknis
pembuatan filemnya. Bagaimana kerja mesin press di pabrik genteng digerakkan oleh
warga lokal dari kawasan penghasil genteng terbesar di Indonesia ini, menurut amatan
kamera yang dipegang oleh warga setempat, berbanding lurus dengan keteraturan kerja
tani di sawah pada masa panen, juga kerja sama tanpa prosedur operasional standar
buruh lepas di pabrik penggilingan beras. Sementara itu, pendirian jalan tol penunjang
pembangunan kawasan industri modern yang tengah berlangsung, tetap diselingi oleh
siasat ekonomis warga yang bertahan hidup secara tradisional.
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |377

SPECIAL PRESENTATION PROGRAM: AKUMASSA WATES

THE YEARS OF
DRIZZLING LAND
Its a film of a village in Jatiwangi, West Java, where the peoples life rotates like a
machine to fulfill their needs in traditional ways while they face and live with regional
modern development.
This film is the output of a media literacy workshop held by Forum Lenteng
through akumassain collaboration with Jatiwangi Art Factory (JAF)and produced
by the people of Wates hamlet of Jatisura village, Jatiwangi Regency, through the
empowerment of their use of (video) digital technology that becomes a part of their
daily life nowadays. What is conducted during the workshop is a reading of local
phenomena missed by the mainstream mass media. akumassas movement is organized
to create a counter perspective. Educating oneself together with the people, it produces
information through their perspective and distributes it through various mediums,
including video.
Akumassa program has produced dozens of video works produced collaboratively
and participatory, promote the idea of counter mainstream media as a method of
alternative experimentation on visual language, where the camera acts as the eyes of
citizens. This work is also part of the process of collecting local narratives as archival
science.A process defines the aesthetics. People are organically capable to pave their
own way in distributing archives and knowledge through their participation in the
process, that is by putting forward the local narratives and using citizen circulatory
course in the filmmaking method.
The narrative in Gerimis Sepanjang Tahun (The Years of Drizzling Land) gives an
illustration of how a traditional roof tile factory and agricultural life struggle side by
side with a highway development that will fundamentally change the peoples future
life in social, economic and cultural terms.
Although traditional labor pattern of the people has become a part of modern work
structures, there is a local wisdom attached to this hybrid. Conversely, a modern work
structure cannot erase locality that becomes its vehicle. This film depicts a crossing of
two different patterns through the peoples point of view who control the filmmaking
technic themselves. The working of a pressing machine at the roof tile factory moved
by local people of this biggest roof tile producing region of Indonesia, according to the
camera held by these locals, is directly proportional to the regularity of agricultural
work at the rice fields during harvesting, and also to the freelance workers cooperation
that lacks a standard operating procedure at the rice mill. Meanwhile, these people,
while still surviving in traditional ways, grapple with the highway development project
that sustains the modern industrialization in progress, by strategizing economically.
378 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

SS / 27 AUGUST, CGV BLITZ, 17.00 / 18+

GERIMIS SEPANJANG TAHUN /


THE YEARS OF DRIZZLING LAND
akumassa & Komunitas Ciranggon
Country of Production Indonesia
Language Indonesian/Sundanese
Subtitle English
51 minutes, Color, 2015

Tentang sebuah dusun di Jatiwangi, Jawa


Barat, yang kehidupan masyarakatnya
berputar seperti mesin untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari secara tradisional,
namun berdampingan dan harus berhadapan
dengan pembangunan wilayah secara modern.
Narasi lokal yang disajikan melalui perspektif
warga dalam filem Gerimis Sepanjang Tahun
ini memberikan gambaran bagaimana geliat
pabrik genteng tradisional serta pola kerja
kehidupan agraris bersanding dengan
pembangunan jalan tol yang akan mengubah
banyak pola kehidupan sosial, ekonomi, serta
budaya masyarakat di masa mendatang.
Filem ini diproduksi pada awal tahun 2015
secara partisipatoris oleh warga Dusun Wates
sendiri, yang tergabung dalam Komunitas
Ciranggon, yang juga merupakan komunitas
dampingan Forum Lenteng dalam Program
akumassa.

About a hamlet in Jatiwangi, West Java, which


its community life revolves such as an engine
to meet the daily needs traditionally, yet
adjacent to and have to deal with the modern
development of the region. Local narratives is
presented through the residents perspective in
it provides an overview of how the twisted of
traditional tile factory and agrarian life work
patterns coupled with the construction of the
toll road that will change a lot of patterns of
social, economic, and cultural communities
in the future. This film was produced in early
2015 by participatory of Wates citizens,
which is incorporated in the Community of
Ciranggon, which is also assisted by Forum
Lenteng in akumassa Program.

Otty Widasari

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |379

PUBLIC PROGRAM

CITRA BERGERAK
DAN PENYEBARAN
PENGETAHUAN
Salah satu terpenting soal media ialah penyebaran (diseminasi) dan penyaluran
(distribusi) baik ide, alat, isi, bentuk, maupun gaya dari media itu terhadap rupa
kehidupan masyarakat kontemporer. Sinema adalah jenis media yangbahkan
pada konteks Indonesia sendirimerupakan medium penyebar-penyalur sudut
pandang dan ideologi yang memengaruhi cara pandang dan perilaku manusia
sejak seabad lalu.
Namun, sebagaimana media lainnya, sinema terus berkembang dalam
beragam eksperimentasi kepada khalayak serta kesaling-hubungan antar mereka.
Dalam hal ini, aktivisme penyebaran dan penyaluran ilmu pengetahuan secara
bebas, aksesibilitas dan egaliterianitas di antara mereka adalah persoalan amat
penting. Di Indonesia, belum banyak lembaga bagi terwujudnya keseimbangan
arus pengetahuan di ranah publik. Kita kini masih di tengah saling-sengkarut
media arus utama yang membawa kepentingan mereka sendiri. Keterbukaan
informasi dan akses bebas terhadap [alat] media, belum membuat kehidupan
kita benar-benar leluasa terhadap pengetahuan.
Di Indonesia, sulitnya para pegiat filem untuk menyentuh publik masih
menjadi beban di kalangan sineas dan bukan perbincangan yang basi. Apalagi
jika kita menyoroti bagaimana materi-materi baku pengetahuan dipilih-pilah
sesuai kebutuhan-kebutuhan yang relevan bagi masyarakat sasaran, bukannya
kedewasaan dalam aktivitas mencipta dan berwacana, gerakan-gerakan temporer
itu seringkali berlangsung membabi buta dan justru kian memerosokkan kita
ke kubang konflik horisontal: sinisme, kebencian, dan praktik kekerasan hanya
dengan satu-dua kalimat di media sosial.
Kuliah Umum oleh Benjamin Cook penting kita simak mengingat peran
guru ini dalam menggiatkan aktivitas independen untuk mempertemukan
seniman dan publiknya. LUX, tempat Cook menjalankan aktivismenya, adalah
satu lembaga internasional yang memfasilitasi penyebaran dan penyaluran
materi-materi gambar bergerak (termasuk karya-karya eksperimental) sebagai
bagian dari inisiatif untuk membuat pengetahuan sinema aksesibel bagi
masyarakat dunia.

380 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH / SUPPORTED BY THE FORD FOUNDATION

MOVING IMAGE
AND KNOWLEDGE
DISSEMINATION
One of the most important things in media discussion concerns dissemination
and distribution; how we view the dissemination and distribution of ideas,
tools, contents, forms, and styles of media directly contributes in shaping
contemporary society. Cinema is one of many media forms thateven in
Indonesiaestablishes its stance as disseminator-distributor of perspectives and
ideology; it influences mans point of view and behavior since the past century.
However, as also other media, cinema continues to grow in diverse
experimentations towards public as well as the interconnection between them.
In this case, activism of free dissemination and distribution of knowledge,
accessibility and egalitarianism among them are the very important issues.
There isnt many institutions in Indonesia quite willfully and ably to take this
role of balancing knowledge flow in public domain. We still find ourselves
amidst conflicting interests of mainstream media. Information transparency
and open access towards media (devices) have not made us absolutely free on
knowledge.
In Indonesia, the difficulty of the film activists to touch the public is still
a burden on the filmmaker and its not a stale conversation. Moreover, if we
highlight how knowledge of raw materials have been sorted out according the
needs that are relevant for the targeted communities, rather than maturity in
creative activities and discourse, such temporary movements are often lasted
blindly and actually make us fall into a wallow of horizontal conflict: cynicism,
hatred and violent practices with only one or two sentences in social media.
Public Lecture by Benjamin Cook is thus a noteworthy address, considering
his vigorous role in promoting independent activity toward a more egalitarian
artist-audience relationship. LUX, where Cook runs his cultural endeavors,
is an international institution that facilitates dissemination and distribution
of moving images (including experimental works) as part of the initiative to
make cinematic knowledge accessible globally.
KULIAH UMUM / PUBLIC LECTURE
speakers: Benjamin Cook (LUX - Moving Image, UK)
Auditorium - Institut Kesenian Jakarta / 25 August
14.00 - 16.00 WIB / Free, Open for Public / Limited Seats

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |381

KURATOR, SINEMA,
DAN PUBLIK
Penggunaan kata kurator di medan perfileman Indonesia, belum umum.
ARKIPEL Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival
adalah salah satu lembaga yang giat mengenalkan kata iniuntuk konteks
filemsejak perhelatannya yang pertama di tahun 2013. Bagaimana kita
sekarang dapat mengandaikan praktik kurasi yang mampu mengaitjalinkan
relevansi topik-topik terkini dengan alur sejarah dan kesezamanan sinema
(termasuk ide, alat, medium, dan sistemnya) dalam budaya kontemporer
seni-seni visual?
Layak didiskusikan relevansi (serta signifikansi) istilah kurator dan
kuratorial dalam konteks sinema Indonesia, serta apa yang menjadikannya
khas. Misalnya, posisi strategis kurator (filem) di hadapan publik perfileman
Indonesia, peran khususnya dalam menggarap fokus kuratorialnya, dan
mengelaborasikan tawaran-tawaran oleh ranah visual yang lain? Berbeda
daripada sekadar kritikus, esais, konvenor, atau penyelenggara acara, kurator
f ilem memainkan perannya sebagai seorang arkitek yang mengajukan
pemahaman antara karya, pengkarya, lembaga penyelenggara, pemangku
kepentingan dan kebijakan, serta publik, untuk sama-sama menyetarakan
bukan menyamakanperspektif dalam melihat persoalan paling polemis dari
sinema, seni, media dan sosialita. Di situ, kurator adalah pelaku visioner yang
mempertautkan teori, sejarah, dan kenyataan-kenyataan yang ada sekarang;
menentukan nilai, menimbang gelagat dan kecenderungan terkini di beragam
lintas keranahan dalam upayanya mendefinisikan peta sinema dalam konteks
festival-festival di berbagai wilayah global.
Menghadirkan para pembicara kunciMay Adadol (Thailand), Jonathan
Manullang (Indonesia), dan Shireen/Merv (Filipina)yang berpengalaman
dalam topik ini, khususnya pada bidang gambar bergerak dan seni visual,
diskusi ini bertujuan untuk menemukan celah-celah taktis dalam rangka
merumuskan gagasan kurator filem bagi progresivitas wacana perfileman
di Indonesia.

382 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH / SUPPORTED BY THE FORD FOUNDATION

CURATOR, CINEMA,
AND PUBLIC
Curator is not a word commonly used in Indonesian cinema sphere. ARKIPEL
Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival is one of
few vigorous institutions who introduced this word within cinematic context
since the festivals first run in 2013. How do we now speculate on curatorial
practices which are able to link the relevance of recent topics with history flow
and cinema contemporaneity?
Its befitting to discuss what and how relevance (and significance) the term of
curator and curatorial in the context Indonesian cinema, as well as what makes
it unique, e.g., strategic position of (film) curator in public of Indonesian cinema,
his/her special role working on curatorial focus, and elaborating suggestions
of other visual realm. Unlike critics, essayist, convenor, or programmer, film
curator seems to take a role of architect who bridge the comprehension and
understanding between the works, artists, organizers, stakeholders, policy
makers and the public, so they can equalize and synchronizeinstead of to be
conformabletheir perspectives in viewing the most polemic issue of cinema,
art, media, as well as socialite. In that respect, curators are visionary actors who
are able to correlate theories, histories, and the realities that exist right now;
who determine the values, cogitate the signs and latest trends in a variety of
cross-disciplines, in an attempt to define and specify a map of cinema in the
context of festivals in various global regions.
Presenting keynote speakersMay Adadol (Thailand), Jonathan Manullang
(Indonesia), and Shireen/Merv (Philippines)with expertise in the field
especially in moving image and visual art, this discussion aims to discover
tactical loopholes to formulate film curatorship for the progressiveness of
Indonesian cinema sphere.
BINCANG KURATOR / CURATORS' TALK

Speakers: May Adadol Ingawanij (University of Westminster, Thailand / UK),


Merv Espina & Shireen Seno (The Philippines),
Jonathan Manullang (Indonesia)
Auditorium - Institut Kesenian Jakarta / 24 August
14.00 - 16.00 WIB / Free, Open for Public / Limited Seats
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |383

MASTER CLASS: JON JOST

Menjadi pembuat filem dan video independen sejak tahun 1963telah membuat 38
karya filem berdurasi panjang (feature), lebih dari tiga puluh filem berdurasi pendek,
di samping karya-karya lainnya, termasuk instalasi, fotografi, dan tulisanJon
Jost dikenal sebagai seniman yang karyanya sering kali turut berpartisipasi dalam
perhelatan festival-festival berskala besar maupun kecil yang berada di luar kriteria
nilai ekonomi pasar. Bahkan, tampaknya dalam beberapa tahun terakhir ini,
filem-filemnya juga tidak sesuai dengan kriteria festival. Namun, situasi itu tidak
menghentikan daya kreatifnya, justru tampak semakin menegaskan posisinya
sebagai salah satu filmmaker independen yang cukup berpengaruh di Amerika.
Menarik kiranya untuk mengetahui pemikiran dan pengalaman yang dimiliki
Jon Jost sebagai pembuat filem yang memilih berdiri di luar lingkaran industri
perfileman Amerika. Di samping memahami politik estetika yang ia bangun menjadi
landasan dalam praktik berkaryanya, perlu pula kita ketahui bagaimana metodemetode produksi serta politik estetika filem yang ia bawa itu dapat bertahanatau,
bernegosiasidengan ranah arus utama yang mendominasi praktik-praktik sinematik
di lingkup global. Pendekatan yang diterapkan Jon Jost, tentunya, menentukan gaya
bahasa visual maupun gagasan tentang eksperimentasi di dalam sinema.
Dalam sesi Master Class bersama Jon Jost ini, sang sutradara akan memaparkan
pandangannya mengenai wacana sinema, baik konteks kesejaharan maupun
perkembangan kontemporer, melalui pendekatan-pendekatan dan eksperimentasieksperimentasi yang telah ia lakukan dalam memproduksi filem sepanjang karirnya.
Bagaimana aktivitasnya tersebut, oleh kita, dapat dilihat sebagai salah satu cara
untuk mendalami geliat perfileman independen yang dengan signifikan juga turut
menentukan budaya sinema dunia sekarang ini.

384 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH / SUPPORTED BY EMBASSY OF THE UNITED STATES OF AMERICA

Being an independent filmmaker and video since 1963has made 38 featurelength films, more than thirty short films, in addition to other works, including
installations, photographs, and writingsJon Jost known as an artists whose
works often participate in both large and small festivals which are outside the
criteria of the commercial value. Even it seems that in recent years, his works
are also not in accordance with the criteria of some festivals. However, this
circumstance does not stop his creative power, that looks increasingly asserted
his position as one of the influential independent filmmaker in America.
Perhaps it would be interesting to know his thinking and experiences as
a filmmaker who chose to stand outside the circle of American film industry.
In addition to understanding the politics of aesthetics which he built into
a foundation in his art practices, we also need to know how the methods
of production and political aesthetics of film which he did to surviveor,
negotiateagainst toward the realm of the mainstream that dominates cinematic
practices in a global scope. Jons approaches, of course, determines both the
visual form/language and ideas of experimentation in cinema.
In this Jon Josts Master Class session, the filmmaker will present his
standpoint on cinema discourses, both in historic context and contemporary
times, through the approaches and experimentations he has done in producing
films throughout his career. How these activities, by us, may be seen as a way
to deeply explore dynamics of independent cinema that also significantly
determine todays world cinema culture.

MASTER CLASS

Jon Jost (USA)


@America - Pacific Place / SCBD - Jakarta Selatan / 26 August
14.00 - 16.00 WIB / Free, Open for Public / Limited Seats
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |385

SEJARAH 1965
DALAM MEDIA
Menurut Andr Bazin, batas layar sinema bersifat sentrifugal terhadap realitas.
Dengan kata lain, gambar pada layar sinema seakan mengarah ke luar, ke
dunia riil kita. Pengertian dari representasi sinema, dengan demikian, adalah
sifat yang saling memengaruhi antara realitas sinematik dan realitas seharihari. Semasa Orde Baru, dua rujukan visual yang bisa dijadikan ilustrasi akan
representasi peristiwa 65, yaitu filem Penumpasan Pengkhianatan G 30 S
PKI (1985) karya Arifin C. Noer dan diorama peristiwa G 30 S di Museum
Pengkhianatan PKI di Lubang Buaya, adalah cara pandang kekuasaan terhadap
sejarah. Selain karena daya formalisme estetisnya yang memberi pengaruh besar
terhadap psikologis dan imajinasi penonton, kedua produk historis tersebut
sepenuhnya berdampak bagi lestarinya persepsi tunggal akan peristiwa 65
dalam pola kehidupan masyarakat Indonesia, hingga sekarang. Baru di era
pasca-Reformasi kita bisa melihat dengan bebas sudut pandang yang lain,
misalnya, dari kesaksian atau testimoni korban peristiwa 65.
Masa Orde Baru merupakan masa analog saat negara menjadi satu-satunya
yang memproduksi wacana politik lewat narasi-narasi epik visual (filem).
Dalam konteks medium, era analog Orde Baru adalah sebuah praktik visual
yang mempraktikkan sistem pengetahuan terpusat yang didasari politico-phobia
terkait medium itu sendiri yang dikuasai oleh segelintir pihak. Dalam konteks
sosio-politik keberadaan medium, masa analog bisa disebut masa otoritarianisme
karena pemaknaan medium terpusat pada kepemilikian sekelompok elite.
Sedangkan masa digital, persebaran medium di kalangan warga mencerminkan
situasi sosio-politik yang lebih bersifat demokratis. Asumsi ini diperkuat dari
praktik-praktik penciptaan representasi yang dihasilkan keduanya. Representasi
hasil medium analog lebih naratif, memandang visual sebagai konstruksi dari
realitas; representasi hasil medium digital bergeser pada kepercayaan akan
gambar yang tak melulu harus menjadi presisi atau mimesis artistik terhadap
realitas. Melainkan, dapat lebih berupa ekspresi personal yang lepas dari
pandangan representasionalisme di masa sebelumnya.

386 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

1965 COUPE
IN MEDIA
For Andr Bazin, the boundaries of the screen are centrifugal to reality. In other
words, images projected on cinema screen are moving outwards into our real
world. The definition of cinematic representation, therefore, is the influential
natures between cinematic reality and everyday reality. During the New Order
era, there were only two visual references that illustrated the 1965 Coupe in
Indonesia. The first is Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI (1985), directed
by Arifin C. Noer. Second, the dioramas of Communist Coupe Museum in
Lubang Buaya. They reflect the historical viewpoint of Indonesian authority
then. In addition to its aesthetic formalism force which has a strong impact
on audiences psyche and imaginations, both of them produced the-only-one
perception on interpretation of 1965 Coupe that remains within Indonesian
collective memory up until today. Only in post-Reformation era, do we see
other visual references from other point of views over victims testimonies.
New Order era may be regarded as an analog era where the State became the
only one who produce political discourse through visual epic narrations (film).
In the context of the medium, analog era New Order is a visual practice that
implement centralized system of knowledge based on politico-phobia regarding
to the medium itself which can be controlled by a handful of parties. In the
context of socio-political of its existence, analog era can be called a period of
authoritarianism due to the meaning of its medium was centered on ownership
of elite groups. Meanwhile, in the digital era, distribution of medium amongst
citizens reflects a more democratic of socio-political situation. This speculation
is reinforced by the production practices of representations produced by both
mediums. Representations derived from analog medium results more narrative,
addressing the visual as a construction of reality; representations derived from
digital one are shifted towards belief in the images that are no longer merely
have to be precise or be artistic mimesis to reality. Rather, it can be as a form of
personal expression separated from the representationalism views in the past.
DISKUSI PUBLIK / PUBLIC DISCUSSION

Speakers: Budi Irawanto (Indonesia),


Hilmar Farid (Indonesia),
Hafiz Rancajale (Indonesia)
Auditorium - Institut Kesenian Jakarta / 27 August
14.00 - 16.00 WIB / Free, Open for Public / Limited Seats
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |387

ARKIPEL FESTIVAL FORUM


Ketinampilan (performativity) merupakan kecenderungan kontemporer yang
tak terelakkan. Bagi sinema, perayaan terhadap estetika maupun wacana
terwujud dalam bentuk penyelenggaraan festival filem.
Kita menyadari, pusat narasi telah menjadi pecahan-pecahan narasi baru,
dan kita wajib merumuskan ketinampilan sebagai moda produksi budaya yang
menentukan leitmotiv festival. Di situ, festival menampung persinggahan
beragam pengalaman spasial dan jeda reflektif untuk berkilasbalik menelaah
dan mengkontekstualisasikan realitas-realitas historisis sebagai kehadiran masa
kini, demi menetapkan suatu spekulasi mengenai masa depan.
Forum Festival oleh ARKIPEL mengundang rekanan-rekanan festival
menghadirkan pembicara kunci: Shai Heredia (Experimenta India), Amy Fung
(Images Festival), Dhany Yunar Paratama (FFD), Bowo Leksono (Festival Film
Purbalingga)dari dalam maupun luar negeri, untuk bersama-sama duduk
di satu meja guna menggagas beberapa tujuan. Pertama, menjadi ruang bagi
produksi perdebatan dalam mengurai kepentingan, relevansi, dan implementasi
mengenai konsep-konsep eksperimental dan dokumenter. Kedua, menjadi arena
diskusi yang mengembangkan pendefinisian aktivitas-aktivitas ARKIPEL
di lingkup nasional, regional, dan juga internasional, dengan mengelaborasi
beragam sudut pandang festival-festival lain yang dipartisipasikan di forum
ini. Ketiga, menjadi lokus bagi jaringan festival untuk membangun kesetaraan
bentuk-bentuk ketinampilan kontemporer lainnya, dan sekaligus melapangkan
saling pertukaran pengalaman akan perayaan-perayaan budaya di zaman kita.
Tak kalah pentingnya, forum ini dimaksudkan sebagai ruang transformatif
bagi masyarakat umum melalui dialog-dialog dan kritik antara pegiat festival
dan publiknya tentang semesta sinema dan masalah produksi budayanya.
Penting bagi ARKIPEL untuk merumuskan pandangan spesifiknya
atas peta mutakhir dari perkembangan sinema pada berbagai tingkatan dan
persebaran. Bagi ARKIPEL, agenda festival mesti diorientasikan sebagai
semacam kesadaran baru untuk membaca dan menafsir peta dari berbagai
perayaan sinema yang pada dasarnya teranalogi secara langsung dengan
peristiwa-peristiwa geopolitis di lingkup global.

388 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

DIDUKUNG OLEH / SUPPORTED BY THE FORD FOUNDATION

Performativity is an inevitably contemporary tendency. For cinema, the celebration


of aesthetics as well as discourse are manifested in the form of film festival.
We realize that now the center of narrative has turned into new narrative
fragments, and we are obliged to formulate the performativity as a mode of
cultural production which determine the leitmotiv of festival. There, festival
accommodates various layovers of spatial experiences and reflective interlude to
examine in flashback and to contextualize historic realities as todays presence,
to establish a speculation about the future.
Festival Forum is presented by ARKIPEL inviting festival partners
brings together some keynote speakers: Shai Heredia (Experimenta India),
Amy Fung (Images Festival), Dhany Yunar Paratama (FFD), Bowo Leksono
(Festival Film Purbalingga)from Indonesia and abroad to sit together at
one table. The forum is held with some purposes. First, becoming a space
for producing debate in analyzing the importance and relevance of ideas and
implementation of experimental and documentary concepts in the realm of
cinema. Second, the forum is also triggered to be a discussion arena which
could expand definition of ARKIPEL activities in national, regional, and
international scope, by elaborating a variety of viewpoints of other festivals in
various region which are participated in this forum. Third, becomes the locus
for establishing festival networka way to create equality with other forms
of contemporary performativity and simultaneously open up more spacious
situation of mutual exchange of experience about cultural celebrations of our
time. No less important as the three objectives mentioned above, is to be a
transformative space for public in general through dialogues and criticism
among festival activists and their public towards the universe of cinema and
the problems underlying the various production of its culture.
It is important for ARKIPEL to formulate a specific view on current map
of cinema development at various levels and its spread. For ARKIPEL, the
festival agenda must be oriented as a new stream of consciousness to read and
interpret the maps of other celebrations of cinema, which is directly analogized
with geopolitical events in global scope.
ARKIPEL FESTIVAL FORUM

Auditorium - Institut Kesenian Jakarta / 28 August


14.00 - 16.00 WIB / Free, Open for Public / Limited Seats
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |389

DIRECTORS INDEX
Adjani Arumpac (The The Philippines)
Adrian Flury (Switzerland)
Akira Miyanaga (Japan)
akumassa & Komunitas Ciranggon (Indonesia)
Alexia Bonta (Belgium)
Andang Kelana & Syaiful Anwar (Indonesia)
Andrea Luka Zimmerman (UK)
Anja Dornieden & Juan David Gonzlez Monroy (Germany-Colombia)
Anna Roussillon (France)
Anouk de Clercq (Belgium)
Anton Ginzburg (Russia)
Apichatpong Weerasethakul (Thailand)
Arifin (Indonesia)
Aryo Danusiri (Indonesia)
Aurle Ferrier (Switzerland)
AU Sow-Yee ( Malaysia)
Bachtiar Siagian (Indonesia)
Beatrice Gibson (England)
Ben Rivers (UK)
Carl Theodor Dreyer (Denmark)
Caroline Key, KIM Kyung-Mook (USA/Republic of Korea)
Cesar Hernando, Eli Guieb III & Jimbo Albanoa (The Philippines)
Chandrashekhar Nair (India)
CHAN Seauhuvi ( Malaysia)
Chantal Akerman (Belgium)
Christophe Bisson (France)
Chulayarnnon Siriphol (Thailand)
Colectivo Fotograma 24 (Portugal)
Danaya Chulphuthiphong (Thailand)
Dan Hudson (Canada/Germany)
Daniel Ktter & Constanze Fischbeck (Germany)
David Muoz (Spain)
Diana Pacheco (Ecuador)
Edwin (Indonesia)
Ekkaphob Sumsiripong (Thailand)
Emile Zile (The Netherlands)
Eva Kolcze (Canada)
Forum Lenteng-Komunitas Hiloi (Indonesia)
Gary Kibbins (Canada)
Giuseppe Riccardi (Italy)
G.L. Bhardwaj (India)
Go Eun Im (Republic of Korea)
Go Eun Im (Republic of Korea)
Guillaume Mazloum (France)
Hafiz Rancajale (Indonesia)
Hasumi Shiraki (Japan)
Hooshang Mirzaee (Iran)
Ho Tzu Nyen (Singapore)
Inhan Cho (Republic of Korea)
Isamu Hirabayashi (Japan)
Isamu Hirabayashi (Japan)
James T. Hong (USA)
Jangwook Lee (Republic of Korea)
Jean-Luc Godard (France/Switzerland)
Jennifer Reeves (USA)
390 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

113
35/67
309
379
91
368
352
360
74
61
286
142
240
238
64
221
182
285
351
166-168
80
261
337
222
197
56
296
35/50
297
288
86
87
65
239
90
140
57
376
283
66
341
318
319
97
112
96
75
139
316
303
305
141
320
196
282

Jimmy Hendrickx (Belgium)


John Torres (The Philippines)
Jon Jost (USA)
Jon Lazam (The Philippines)
Jos Padilha (Brazil)
Julian Radlmair (Germany)
Julie Tremble (Canada)
June Kyu Park (Republic of Korea)
Karel Doing (The Netherlands)
Kate Davis (UK)
Kazuhiro Goshima (Japan)
Khaled Jarrar (Palestine)
KOK Siew-Wai (Malaysia)
Kolja Kunt & Bernd Ltzeler (Germany)
K. Vishwanath (India)
Kyung-Man Kim (South Korea)
Lav Diaz (The Philippines)
Leslie Tai (USA)
LIM Chee-Yong (Malaysia)
Luca mandrile, Claudio di Mambro & Umberto Migliaccio (Italia)
Luis Lpez Carrasco (Spain)
Luke Fowler (UK)
Luo Li (Canada)
Maki Satake ( Japan)
Margaret Salmon (UK)
Maria Kourkouta (Greece)
Martha Atienza (The Netherlands/The Philippines)
Martijn Veldhoen (The Netherlands)
Masahiro Tsutani (Japan)
Matthias Bittner (Germany)
Melchor Bacani III (The Philippines)
Micael Espinha (Portugal)
Miguel Hilari (Bolivia)
Mikio Okado (Japan)
Miko Revereza (USA)
Mont Tesprateep (Thailand)
Nikolai Nekh (Portugal)
Orazio Leogrande (Italy)
Paulo Sacramento (Brazil)
Peter Dudar (Canada)
Phaisit Punpruksachat (Thailand)
Pierre-Yves Vandeweerd (Belgium)
Pieter Geenen (Belgium)
Pramod Pati (India)
Rafi Shor (Israel)
Raul Domingues (Portugal)
Raya Martin (The Philippines)
Rena Kim (Korea)
Rieko Ouchi (Japan)
RJ Leyran (The Philippines)
Roxlee (The Philippines)
Sasithorn Ariyavicha (Thailand)
Shigeo Arikawa (Japan)
Shunsuke Hasegawa (Japan)
S.N.S. Sastryk (India)
Tad Ermitao (The Philippines)
Tito & Tita (The Philippines)
Tomomi Ishiyawa (Japan)
Vijay B. Chandra (India)

230
254
208/210
260
152
361
284
223
81
348
304
89
226
357
342
35/49
128
88
224
79
359
349
280
220
350
358
259
82
229
51
250
35/48
76
302
249
98
59
58
153
287
295
52
100
334/336
68
99
257
321
308
252
251/253
294
306
307
340/335/339
256
258
310
338

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |391

Vladislav Knezevic (Croatia)


Wong Eng-Leong (Malaysia)
WONG Ping (Hong Kong)
Wuttin Chansataboot (Thailand)
Yason Banal (The Philippines)
Yin-Ju Chen & James T. Hong (Taiwan & USA)
Zhou Tao (People's Republic of China)

35/60
228
227
225
255
138
143

FILMS INDEX
16 x 9 Capsule
1221 AMOR
663114
A Barca
ABCD
De Nede Frgen / A Castle Within A Castle
A.D.A.M.
All That is Solid 
And I Make Short Films
Anito
A Place Ive Never Been
Ein Proletarisches Wintermrchen / A Proletarian Winters Tale
Ars Colonia
A Talk with My Mom
Beauty Evaporates
Because the Outside World Has Changed... (Episode 1)
Because the Outside World Has Changed... (Episode 2)
Beep 
Entre Ici Et L-Bas / Between Here And There
Between Regularity And Irregularity
Binario / Binary
Birth of the Seanma
Blue and Red
Bugtong: Ang Sigaw Ni Lalake / Riddle: Shout of Man
Butterfly
Child on a Chess Board
Chop-Chopped First Lady + Chop-Chopped First Daughter
Cinza / Ashes
Class Picture 
Color Neutral
Continuous Lines
Cutaways of Jiang Chun Gen / Forward and Back Again
Dark Matter
Depositions
Destination Bombay
DROGA!
El Corral y el Viento / The Corral and The Wind /
El futuro / The Future
El Juego del Escondite / Hide and Seek
Endless, Nameless
Et slot i et slot Krogen og Kronborg / They Caught The Ferry
Explorer
392 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

225
284
305
73
251
166
35/60
57
339
259
35/67
361
257
82
223
318
319
35/49
91
229
66
294
143
252
222
338
255
35/48
258
282
65
141
81
349
341
249
76
359
87
98
166
336

F For Fibonacci
Flor Azul
Fractions
Gelora Indonesia
Geriatrica
Gerimis Sepanjang Tahun / The Years of Drizzling Land
Grace Period
Half-cut / Meio Corte
Hamara Rashtragaan / Our National Anthem
Harimau Minahasa/ Tiger of Minahasa
Hierophanie
Hindi sa Atin Ang Buwan / The Moon is Not Ours
I Am 20
Je Suis le Peuple / I Am the People
I Dance With God
Images Of a Lost City / Imagens de uma Cidade Perdida
InfrastRuctures
Inside Architecture A Challenge to Japanese Society
It Has Already Been Ended Before You See The End
Juan Gapang / Johnny Crawl
Kalawang / Rust
Kameng Gampong Nyang Keunong Geulawa
Killing Time
Krieg der Lgen / War of Lies
L-bas
Landscape Project
Landscape with Broken Dog / Paisaje con perro roto
Lazimpat
Les Tourmentes /For the Lost
Little Girl with Iron Fist / Bimba Col Pugno Chiuso
Li Wen at East Lake
Lulai
Marah Di Bumi Lambu / The Raging Soil
Masarap Na Kanta / Delicious Songs
Mga Anak ng Unos, Unang Aklat / Storm Children, Book One
Minsan Isang Panahon / Once Upon a Time
Mist 
Morning 
Mutasalilun / Infiltrators
Natee Cheewit
Night Watch
Omakage
One Blue Bird
Only Believe Thins
O Prisioneiro da Grade de Ferro / ThePrisoner of the Iron Bars
Pan
Poster Hidup
Pyramid
Reply; Repeat Repeated; Favorite Favorited 
Return to Aeolus Street / Apistrofi Stin Odo Aloiou
Ruins I
Sarah(k.)
Scnario du Film Passion
Segredos da Tribo / Secrets of the Tribe
Semalu 
state-theatre #5 BEIRUT
Storstrms Bridge / Storstrmsbroen
Suprematist Kapital
Taskafa, Stories from the Street

285
99
97
165
287
379
80
59
334
368
302
260
335
74
75
210
64
310
306
253
261
238
68
51
197
321
58
320
52
79
280
224
112
316
128
250
228
226
89
295
297
220
96
283
153
286
376
350
308
358
221
56
196
152
230
86
168
138
352

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |393

Textism
That Are Easy to Understand
The Fight Againts Cancer / Kampen mod krften
The Last Poem
The Masked Monkeys
The Nameless
The Nation
The New Wave
The Private Life of Fenfen 
The Retrochronological Transfer of Information
The Village Church / Landsbykirken
They Had It Coming
Thing
Things
thirdworld
This Bit of That India
Time and Place,
Tom and Jerry
Tragedi Kali Abang
Transcendence
Trip To The Wound
Under The Lion Crotch
Unterwegs mit Maxim Gorkiy / Traveling with Maxim Gorkiy
Vanishing Circuit
Vanishing Horizon of the Sea
Very Specific Things at Night
Violetta
War is a Tender Thing
Wavy
Weight
Western Digital
What Day Is Today?
Winter Hof
Z Reactor

394 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

303
283
167
317
360
139
100
337
88
256
167
208
61
351
142
340
82
90
240
342
239
227
357
307
296
254
182
113
309
348
140
35/50
288
304

ACKNOWLEDGEMENT
Dewan Kesenian Jakarta: Irawan Karseno, Alex Sihar, Totot Indrarto, Winda Anggriani
(Program Officer)
The Ford Foundation Jakarta: Heidi Arbuckle, Adyani Widowati
Asia Center - The Japan Foundation Jakarta: Tadashi Ogawa, Yasuhiro Takehara,
Ibu Diana, Ibu Nurul, Ishariyadi
Hivos Jakarta: Tunggal Pawestri, Irene Ratih Ertiningtyas
Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta: Vindiartha Pirina, Harya Bimo Bhimasena
Pusat Kebudayaan Korea di Indonesia (KCCI) Jakarta: Rezky Seokgi Kim,
Kimberly Febrianti
The British Council Jakarta: Sally Goggin, Levina Wirawan
Goethe-Institut Indonesien Jakarta: Katrin Sohns, Rizky Lazuardi
Institut Franais dIndonsie Jakarta: Bertrand de Hartingh, Didier Vuillecot,
Arnaud Miquel
Kedutaan Besar Brazil Jakarta: Rodrigo Andrade Cardoso, Leonardo Monteiro
CGV Blitz, Jakarta: Kim So-eun, Rivky Mogi
LUX Moving Image London, Inggris: Benjamin Cook
University of Macquarie Sidney, Australia: DR. Iqbal Barkat
Kineforum - Jakarta: Alexander Matius
@America Jakarta: Bruce Groening, Adeline Chitranegara
Sinematek Indonesia: Adisurya Abdy, Rusmiati
Institut Kesenian Jakarta: DR. Iwan Gunawan
Images Festival Toronto, Kanada: Amy Fung, Scott Miller Berry (Former Director)
Bangkok Experimental Film Festival Bangkok, Thailand: May Adadol, Mary Pansanga
Image Forum Jepang: Koyo Yamashita
Space Cell Seoul, Republik Korea: Jangwook Lee
Experimenta India: Shai Heredia
Camden Bar Cikini, Jakarta: Ando
Jon Jost, David Teh, Ronny Agustinus (Marjin Kiri), Budi Irawanto, Philip Widmann,
Shireen Seno, Merv Espina, Hilmar Farid, Shiraki Hasumi, Lav Diaz, Aisha Pletscher
Sudiarso, matajiwa, Indra Ameng, Meiske Taurisia, Edwin, Dimas Jayasrana,
Dag Yngvesson, Aryo Danusiri, Ade Darmawan, Vicky Rosalina, M. Sigit Budi S., DJ
Kasetan, Lilia Nursita (Gajah Hidup)
Jatiwangi Art Factory & Komunitas Ciranggon Jatiwangi, Jawa Barat
Komunitas Hiloi (Sentani)
The Interseksi Foundation Jakarta: Hikmat Budiman, Riefky Bagas Prastowo
Kinerja - USAID - Jakarta: Elke Rapp, Marcia Soumokil, Firqie Firmansyah
3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |395

Keluarga Besar Serrum, ruangrupa, Yayasan Jakarta Biennale & Forum Lenteng
Cinemags Mahendradhata Aditya
Provoke Magazine Joko Suryono Nusantara & Andriansyah
Majalah Cobra Anggun Priambodo
Rolling Stone Indonesia Riandika
Majalah Gatra Bambang Sulistyo & Stefanus Septamada
Woman Radio Wiwie Hoedy
Nirwana TV Bali Komang Ramantya
JakartaBeat.net Prys
GoHitzz.com Widi Andini Shufi & Andes
Ruru Radio Hauritsa
Cinema Poetica Adrian Pasaribu
MetroNews.com Fitra Iskandar & Herfindo Satria Gading
Whiteboard Journal Muhamad Hilmi
Koran Sindo & SindoNews.com Firman Aulia & Setya Hartade
CreativeDisc.com Welly Wilianto
Kompas Abrianny Sinaga
IRockumentary Agung Hartamurti

396 | ARKIPEL: GRAND ILLUSION

3rd JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY & EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL 2015 |397

FORUM LENTENG
MEMBERS

Abi Rama
Artist

Ajeng Nurul Aini


Art Manager

Andrie Sasono
Publishist

Agung "Abe" Natanael


Photographer

Akbar Yumni

Writer/Reseacher

Andi Rahmatullah
Journalist

Afrian Purnama
Writer

Albert Rahman Putra


Writer/Musician

Andang Kelana

Andi K. Yuwono

Graphic/Web Designer

Cultural Activist

Ardy Widi Yansah

Ari Dina Krestiawan

Photographer

Artist/Lecturer

Arissa "Icha" Ritonga


Journalist

Bunga Siagian
Writer

Defina Martalisa
Employee

Andreas Meiki S.

Criminology Student

Dian Komala
Labour

Eko Yulianto
TV Producer

Bagasworo "Chomenk"

Bobby Putra S.

Dalu Kusma

Debora A. Nainggolan

Artist/Researcher

Cyclist

Faita Novti Krishna


Wardrobe

Communication Student

Communication Student

Firman "Kaspo" S.
Banker

Fuad Fauji

Frans Sahala P.

Gelar A. Soemantri

Gesyada Namora S.

Gunawan Wibisono

Hafiz Rancajale

Hanif Alghifary

Herman Syahrul

Intan Pertiwi

Imam Rahmadi

Jayu Juli Astuti

Jean Marais

Writer

Employee

Media Practicioner

Media Practicion

Artist/Curator

Journalist

Media Activist

Artist

Artist

Arts Student

Cameraman

Actor

Klara Pokeratu
Fashion Stylist

Manshur Zikri

Writer/Reseacher

Mohamad Fauzi
Video Artist

Lulus Gita Samudera

M. Hafiz Pasha

Journalist

Employee

Maulana "Adel" Pasha

Mira Febri Mellya

Videographer/Artist

Journalist

Muhamad Sibawaihi

Nurhasan

Media Activist

Employee

Mahardika Yudha
Artist/Curator

Mirza Jaka Suryana


Writer

Otty Widasari

Artist/Media Activist

Prashasti W. Putri

Putera Rizkyawan

Rachmadi "Rambo"

Ray Sangga Kusuma

Renal Rinoza

Riezky "Pea" Pratama

Rio

Riyan Riyadi "Popo"

Sherly Triana H.

Syaiful Anwar

Sysca Flaviana Devita

Titaz Permatasari

Researcher

Writer

Entrepreneur

Graphic Designer

Journalist/Musician

Director/Cameraman

Student/Musician

Graphic Designer

Entrepreneur

Entrepreneur

Artist/Lecturer

Media Practicioner

Titin Natalia Sitorus

Ugeng T. Moetidjo

Umi Lestari

Wachyu "Acong" P.

Wahyu "Tooxskull" C.

Yose Rizal

Yuki Aditya

Ario Fazrien

Adawiyah Nasution

Yoyo Wardoyo

Fauzan "Padang" C.

Rayhan Pratama

Cultural Employee

Graphic Designer

Banker

Senior Researcher

Event Organizer

Graphic Designer

Writer/Reseacher

Finance /Tax Auditor

Communication Student

Photographer

Politic Student

Criminology Student

www.britishcouncil.or.id

CREATING
OPPORTUNITY
WORLDWIDE

The British Council is the UKs international organisation


for educational opportunities and cultural relations. We
create international opportunities for the people of the UK
and other countries and build trust between them
worldwide. We work in more than 100 countries and our
7000 staff including 2000 teachers work with thousands
of professionals and policy makers and millions of young
people every year by teaching English, sharing the Arts
and delivering education and society programmes.

The British Councils Arts and Creative

We enable UK-Indonesian collaborations

Indonesia Fashion Forward; Film

Economy programme strives to grow

by creating mutual understanding -

Microschool; and we support the

the creative relationship between the

bringing world-class art to Indonesian

development

UK and Indonesia, with a focus on new

audiences through screenings, gigs and

economy and arts sector leadership,

innovative work; collaboration with

performances;

the

entrepreneurship and policy through

partners and new ways of experiencing

development of creative talent and

programmes such as Young Creative

and learning in the arts.

professional skills through training and

Entrepreneur Award (YCE) and

mentoring

Elevate.

@idBritishArts

we

support

programmes

British Council Indonesia

such

as

of

the

British Council Indonesia

creative

r
ak Sekada
T

kan
api gera
T

menuju

jadi
ak hanya
T
api
T

#Kompas50th

Angan

perubaha

SAKSI

AKSI

KOMPAS/ IWAN SETIYAWAN

Inspirasi

Free Download
Mobile

Life&heaLth

Politik

iltek

NusaNtara

OLahraga

NasioNal

iNterNasiONaL

eNtertaiNmeNt

Gedung GATRA Jl. Kalibata Timur IV No. 15 Jakarta 12740


: (021) 797 3535 Fax : (021) 791 969 41/ 42
e-mail: redaksi@gatra.com web: www.gatra.com
GatraNews ID

@Gatra_News

Gatramediagroup

SEE YOU AT
ARKIPEL - 4TH JAKARTA INTERNATIONAL DOCUMENTARY &
EXPERIMENTAL FILM FESTIVAL
2016

MITRA RESMI / OFFICIAL PARTNERS

MITRA BUDAYA / CULTURAL PARTNERS

MITRA FESTIVAL / FESTIVAL PARTNERS

MITRA PENDUKUNG / SUPPORTING PARTNERS

MITRA MEDIA / MEDIA PARTNERS

Você também pode gostar