Você está na página 1de 94

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Audit expectation gap pertama kali diungkapkan oleh Liggio
(1974) yang menyatakan bahwa expectation gap muncul karena adanya
perbedaan persepsi antara akuntan independen dengan pemakai laporan
keuangan mengenai tingkat kinerja yang diharapkan dari profesi akuntan.
Pemahaman tentang audit expectation gap dikemukakan oleh Bailey et al.
(1983), Epstein dan Geiger (1994), Nair dan Rittenberg (1987), Kelly dan
Mohrweis (1989); dan Miller et al. (1990). Mereka menyatakan bahwa
pengetahuan dari pengguna dan faktor komunikasi informasi yang
diberikan auditor terhadap pengguna dalam bentuk laporan audit
berpengaruh terhadap besarnya ukuran expectation gap.
Monroe dan Woodliff (1994) mendefinisikan

expectation gap

sebagai perbedaan antara keyakinan auditor dan masyarakat tentang


tugas dan tanggung jawab yang ditanggung oleh auditor, dan pesan yang
disampaikan oleh laporan audit. Salah satu tujuan utama dari laporan
keuangan adalah mendorong alokasi optimal dari investasi modal dengan
menyediakan semua bahan, informasi yang relevan kepada masyarakat
pengguna. Tujuan dari laporan audit adalah untuk mengungkapkan
keberhasilan auditor dalam memverifikasi asersi laporan keuangan. Oleh

karena itu, mengkhawatirkan jika terdapat perbedaan antara auditor dan


pengguna. Dengan demikian, expectation gap telah mendorong banyak
pertanyaan tentang kualitas audit pada umumnya dan khususnya,
kemampuan auditor untuk membuat penilaian dalam ketidakpastian going
concern (Aljaadi, 2009). Audit expectation gap juga telah diteliti di negaranegara seperti Nigeria, Bangladesh, Malaysia, Thailand, Iran, Irak, Egypth,
dan India.
Di Nigeria, Ebimobowei dan Kereotu (2011) melakukan penelitian
expectation gap untuk mengkaji role theory dan audit expectation gap
serta kinerja auditor internal dalam mencegah penyalahgunaan dana
pemerintahan. Hasilnya menunjukkan hubungan yang signifikan antara
audit

expectation

gap

dan

auditor

internal

dalam

mencegah

penyalahgunaan keuangan di masyarakat. Oleh karena itu, auditor


internal

dianjurkan

meningkatkan

pengetahuan

dan

keterampilan

profesional mereka dengan menjadi anggota Institut Akuntan Chartered


Nigeria (ICAN).
Lee et al. (2007) melakukan penelitian di Malaysia. Tujuan
penelitiannya adalah untuk meneliti apakah terdapat audit expectation gap
antara

auditor,

auditee

dan

penerima

manfaat

audit.

Hasilnya

menunjukkan bahwa auditee dan penerima manfaat audit memiliki


harapan yang jauh lebih tinggi dibanding auditor itu sendiri.
Di Indonesia, pemakai laporan keuangan menuntut laporan
keuangan auditan yang dapat dipercaya dan menyediakan informasi yang

lebih lengkap dan benar sehingga dapat dijadikan dasar untuk mengambil
keputusan. Harapan para pemakai laporan keuangan terhadap laporan
keuangan auditan terkadang melebihi apa yang menjadi peran dan
tanggung jawab auditor. Semakin banyaknya tuntutan masyarakat
mengenai profesionalisme auditor menunjukkan besarnya expectation gap
(Yeni, 2000). Expectation gap terjadi ketika ada perbedaan antara apa
yang masyarakat atau pemakai laporan keuangan harapkan dari auditor
dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh auditor (Yuliati et al., 2007).
Expectation gap terjadi dalam lingkungan audit sektor privat
maupun sektor publik. Hal ini disebabkan karena baik sektor privat
maupun sektor publik sama-sama menyusun laporan keuangan sebagai
wujud

pertanggungjawaban

keuangan

kepada

pihak-pihak

yang

membutuhkan. Audit sektor privat bertanggung jawab hanya kepada


pemilik perusahaan (pemegang saham) dan kreditur atas dana yang
diberikan.
masyarakat

Sedangkan,
karena

sektor

sumber

publik
dana

bertanggung

yang

jawab

digunakan

kepada

berasal

dari

masyarakat. Serikat dagang sektor publik GASB (1999:184) dalam


Mardiasmo (2009:171) mengidentifikasikan pemakai laporan keuangan
pemerintah menjadi tiga kelompok besar, yaitu: masyarakat yang
kepadanya

pemerintah

bertanggung

jawab,

legislatif

dan

badan

pengawasan yang secara langsung mewakili rakyat, serta investor dan


kreditor yang memberi pinjaman dan/atau berpartisipasi dalam proses
pemberian pinjaman.

Setiap pemakai laporan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang


berbeda-beda terhadap informasi keuangan yang diberikan pemerintah.
Bahkan diantara kelompok pemakai laporan keuangan tersebut dapat
timbul konflik kepentingan. Laporan keuangan pemerintah disediakan
untuk memberikan informasi kepada berbagai kelompok pemakai,
meskipun setiap kelompok pemakai memiliki kebutuhan akan informasi
yang berbeda-beda (Mardiasmo, 2009:171).
Untuk menjamin bahwa pertanggungjawaban publik telah dilakukan
oleh lembaga-lembaga pemerintah, maka diperlukan fungsi pemeriksaan
yang hanya dilakukan oleh lembaga pemeriksa yang memiliki otoritas dan
keahlian profesional, misalnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), atau akuntan publik
yang independen. Jika DPR/DPRD menghendaki, dewan dapat meminta
BPK atau auditor independen lainnya untuk melakukan pemeriksaan
terhadap kinerja keuangan eksekutif. BPK merupakan lembaga pemeriksa
yang independen. Auditor eksternal sendiri merupakan unit pemeriksa
yang berada di luar organisasi yang diperiksa (Mardiasmo, 2009:190).
Pemberian kepercayaan kepada auditor dengan memberi peran
yang lebih besar untuk memeriksa lembaga-lembaga pemerintahan, telah
menjadi bagian penting dalam proses terciptanya akuntabilitas publik.
Sebagai upaya untuk meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan dalam
rangka memberantas praktik kecurangan, kolusi dan nepotisme, maka
masyarakat

diharapkan

juga

berperan

aktif

dalam

proses

penyelenggaraan negara dengan cara memberikan informasi, dan


menyampaikan saran serta pendapatnya secara bertanggung jawab.
Hasil pemeriksaan auditor atas laporan keuangan pemerintah
daerah dijabarkan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I
dan II. IHPS semester II (2012), menjelaskan bahwa tujuan pemeriksaan
atas laporan keuangan pemerintah daerah adalah untuk memberikan
pendapat/opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam
laporan keuangan. Adapun kriteria pemberian opini menurut UU No. 15
tahun 2004 penjelasan pasal 16 ayat 1, opini merupakan pernyataan
profesional pemeriksaan mengenai kewajaran informasi keuangan yang
disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria (i)
kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan; (ii) kecukupan
pengungkapan; (iii) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan;
dan (iv) efektifitas sistem pengendalian internal.
Opini LKPD tahun 2011 atas 540 pemerintah daerah di Indonesia,
dapat dilihat pada tabel 1.1 sedangkan opini LKPD khusus wilayah
Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada tabel 1.2, berikut:
Tabel 1.1
Opini LKPD tahun2011

Tabel 1.2
Opini atas LKPD Provinsi Sulawesi Selatan

Sumber : IHPS II tahun 2012 Badan Pemeriksa Keuangan

Tabel 1.2 di atas menggambarkan bahwa 3 LKPD memeroleh opini


wajar tanpa pengecualian (WTP), 16 LKPD memeroleh opini wajar
dengan pengecualian (WDP), dan 6 LKPD memeroleh opini tidak
memberikan pendapat (TMP). Hal ini menunjukkan bahwa LKPD yang
memeroleh opini WDP pada umumnya telah memiliki sistem pengendalian

internal (SPI) yang memadai meskipun masih memerlukan peningkatan


dalam hal kualitas laporan keuangan. Adapun LKPD yang memeroleh
opini TMP belum melaksanakan SPI secara maksimal terutama penilaian
risiko baik dari segi identifikasi maupun analisis resiko.
Lemahnya SPI menimbulkan berbagai macam kasus dalam hal
anggaran, pelaporan dan akuntansi. IHPS II (2012) menjabarkan berbagai
macam bentuk penyelewengan atau kecurangan disebabkan lemahnya
SPI pada berbagai daerah di Indonesia.
Berdasarkan data IHPS sebelumnya, pemerintah Indonesia
mencoba

memerangi

kecurangan

yang

tampaknya

tak

banyak

memberikan perubahan berarti. Terbukti Indonesia hanya menunjukkan


sedikit perbaikan dibandingkan tahun lalu. Menurut survei terbaru badan
Transparency International (TI), tahun 2012 Indonesia menempati
peringkat 118 dengan skor 32 dari 174 negara yang disurvei. Peringkat
Indonesia mengalami peningkatan, mengingat pada tahun 2011 berada di
peringkat 105 dengan skor 2,8. Skor 0 merupakan yang paling korup dan
skor 10 merupakan yang paling tidak korup (www.ti.or.id). Membiarkan
kecurangan akuntansi berlanjut itu tak bisa diterima, terlalu banyak orang
miskin dan lemah yang terus menderita konsekuensi kecurangan
akuntansi di seluruh dunia, kata presiden TI, Huguette Labelle seperti
dilansir kantor berita AFP, Selasa (26/10/2010). Ada tiga negara yang
sama-sama meraih skor 9,3 yang artinya merupakan negara-negara yang
paling rendah tingkat kecurangan akuntansinya, yakni Denmark, Finland

dan New Zealand. Diikuti kemudian oleh Sweden, Singapore dan


Switzerland.
Indeks persepsi kecurangan akuntansi mencerminkan persepsi
masyarakat, khususnya pebisnis tentang tingkat kecurangan akuntansi
suatu negara yang dilihat dari bagaimana layanan publik yang mereka
rasakan. Survei ini mencerminkan persepsi masyarakat (mayoritas
pebisnis) suatu negara atau orang asing yang melakukan bisnis di negara
tersebut terhadap tingkat kecurangan akuntansi suatu negara. Indeks ini
bukanlah mencerminkan tingkat kecurangan akuntansi yang sebenarnya,
tetapi tingkat kecurangan akuntansi yang dipersepsikan oleh para pelaku
bisnis.
Indeks persepsi kecurangan akuntansi Indonesia adalah instrumen
pengukuran tingkat kecurangan akuntansi di kota-kota Indonesia. Indeks
persepsi kecurangan akuntansi Indonesia dibuat berdasarkan survei yang
metodenya dikembangkan oleh TI-Indonesia, dengan cara mengukur
tingkat kecurangan akuntansi di 50 kota di seluruh Indonesia, meliputi 33
ibukota provinsi ditambah 17 kota lain yang signifikan secara ekonomi.
Rentang indeks antara 0 sampai 10. 0 berarti dipersepsikan sangat korup,
10 sangat bersih.

Tabel 1.3
Indeks Persepsi Kecurangan Akuntansi
Di 50 Kabupaten / Kota
Diurutkan dari yang tertinggi

Sumber : International Transparancy (2010)

Salah satu cara untuk mencegah terjadinya praktek kecurangan


akuntansi adalah pengembangan sistem akuntansi yang baik oleh
pemerintah (Pope, 2003) dan pengawasan terhadap kualitas informasi
keuangan instansi pemerintah (SPKN, 2007). Sistem akuntansi yang
dirancang dan dijalankan dengan baik akan menjamin dilakukannya
prinsip

stewardship dan accountability dengan baik pula (Mardiasmo,

2009:143).
Laporan keuangan juga merupakan potret kinerja suatu entitas.
Esensinya menjadi landasan keputusan banyak pihak, investor, kreditur,
agen pemerintah, karyawan dan masyarakat umum secara luas, akibatnya
manajemen

mungkin

memiliki

keinginan

ekonomi

tertentu

untuk

melakukan tindakan rekayasa atau manipulasi laporan keuangan guna

10

mendapatkan

hasil

tertentu

yang

diinginkan.

Alasan

ini

yang

menyebabkan perlunya pemeriksaan auditor (Winarna dan Rahmawati,


2001).
Tindakan rekayasa atau memanipulasi laporan keuangan ini yang
dikenal dengan istilah creative accounting. Menurut Amat et al. (2004:4)
creative accounting is referred to also as income smoothing, earnings
management, earnings smoothing, financial engineering and cosmetic
accounting.

Creative accounting bukanlah hal baru, ini telah menjadi

godaan dan masalah sejak prinsip akuntansi pertama kali digunakan


untuk melaporkan kinerja perusahaan (Amor dan Warner, 2003:3). Lebih
lanjut, Amor dan Warner mendefinisikan,
creative accounting in a publicly quoted company is about manipulating the
financial numbers to arrive at an answer that meets the needs of the
company management, rather than providing objective information for the
external recipientsprimarily shareholders.

Definisi

ini

menjelaskan

bahwa

creative

accounting

dalam

perusahaan merupakan suatu upaya memanipulasi data keuangan untuk


memenuhi kebutuhan pihak manajemen, dibanding memberikan informasi
yang objektif kepada pihak eksternal - khususnya pemegang saham.
Amat et al. (2004) melihat penggunaan creative accounting
cenderung lebih banyak menyulitkan dibandingkan menguntungkan
penggunanya karena mengambil keuntungan pada suatu daerah yang
cenderung tingkat ambiguitas dan diskontinuitasnya tinggi. Selain itu
fleksibilitas regulasi juga mengizinkan berbagai pilihan kebijakan, misalnya

11

penilaian aset tetap, seperti dalam kasus International Accounting


Standard (IAS) yang memungkinkan jumlah aktiva tidak lancar direvaluasi
atau disusutkan berdasarkan biaya historis. Dapat dikatakan bahwa,
creative accounting merupakan transformasi informasi keuangan dengan
menggunakan pilihan metode, estimasi, dan praktik akuntansi yang
diperbolehkan oleh standar akuntansi
Penelitian creative accounting pada sektor privat telah banyak
dilakukan, antara lain: Grosanu et al. (2012); Amat dan Gowthorpe (2004);
Ghosh (2010); Vladu dan Matis (2010); Salome et al. (2012); Ali Shah et
al. (2011); Amat et al. (1999); dan Gherai dan Balaciu (2011) sedangkan di
sektor publik, antara lain penelitian Benito et al. (2007) serta penelitian
Vinnari dan Nasi (2008).
Benito et al. (2007:964) meneliti an example of creative
accounting in public sector: the private financing of infrastructures in
Spain, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa untuk memenuhi kriteria
konvergensi yang ditetapkan oleh Uni Eropa, maka untuk pembiayaan
pada pihak swasta, pemerintah melakukan pembayaran dengan cara
pengakuan

anggaran

dan

penangguhan

akuntansi

serta

mengungkapkannya sebagai utang atas laporan keuangan proyek. Ini


merupakan salah satu tindakan creative accounting.
Penelitian

Vinnari

dan

Nasi

(2008:113)

creative

accrual

accounting in public sector: Milking water utilities to balance municipal


budgets and accounts,

hasilnya menunjukkan bahwa

penerapan

12

akuntansi berbasis akrual di sektor publik tidak menjamin ekuitas


transparansi dan akuntabilitas, melainkan memberi peluang dilakukannya
creative accounting. Hal ini bertentangan dengan ide dasar akuntansi
sebagai sarana yang memberikan pengungkapan handal, benar dan adil
dari laporan keuangan entitas secara keseluruhan. Dengan demikian,
praktik akuntansi sektor publik harus ditinjau dan dikembangkan lebih
lanjut. Prinsip akuntansi yang berlaku umum diperlukan untuk mengatur
akuntansi akrual di sektor publik, khususnya valuasi nilai wajar aset tetap,
seperti aset infrastruktur.
Penyajian laporan keuangan merupakan salah satu bentuk
dilaksanakannya akuntabilitas dalam hal pengelolaan keuangan daerah.
Akuntabilitas suatu daerah akan dianggap lemah jika tidak mampu
menunjukkan laporan keuangannya. Hal ini perlu dilakukan karena terkait
dengan transparansi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik (Adam dan
Evans, 2004).
Untuk menjamin bahwa laporan keuangan pemerintah daerah
telah disajikan secara wajar, dibutuhkan keahlian seorang auditor. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan lembaga tinggi negara yang
memegang amanat konstitusi untuk melakukan pemeriksaan atas
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara. Sebagai auditor
pemerintah, BPK mendapat kepercayaan klien untuk memeriksa laporan
keuangan yang disajikan klien.

13

Saat ini, masyarakat memandang audit berdasarkan pendekatan


hasil (result). Mereka menuding aparat pengawasan dianggap tidak
mampu mengemban tugas dalam mengawasi pelaksanaan kegiatan
pemerintahan dan pembangunan. Tudingan tersebut ada benarnya,
karena pengawasan yang dilakukan oleh BPK, BPKP, dan Bawasda,
selama ini masih kurang efektif dan efisien (Soelendro, 2000).
Gap antara auditor dan masyarakat perlu dijembatani, jika tidak,
maka yang rugi adalah auditor itu sendiri. Porter et al. (2003;124)
menyatakan, auditor need to be better informed about their existing under
statute and case law, regulations and professional promulgations,
standard of work and improved quality control procedures.

Menurut

Porter, seorang auditor sebaiknya diingatkan bahwa mereka bertanggung


jawab secara hukum, peraturan dan regulasi profesi akan terus
mengawasi agar mereka meningkatkan kualitas kerjanya. Gap antara
auditor dan masyarakat terjadi akibat perbedaan persepsi antara
keduanya. Pesan yang ingin disampaikan auditor disalahartikan oleh
pengguna sehingga laporan hasil pemeriksaan menjadi tidak bermanfaat
dan menimbulkan kesalahan dalam pengambilan keputusan. Perbedaan
antara apa yang diharapkan oleh masyarakat (pengguna laporan
keuangan) dengan apa yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab
auditor diistilahkan dengan expectation gap (Halim, 2001)
Penelitian-penelitian mengenai audit expectation gap banyak
dilakukan di sektor privat, sehingga terkesan penelitian di sektor publik

14

kurang mendapat perhatian baik dari kalangan akademisi maupun dari


kalangan profesional. Kondisi tersebut tidak sebanding dengan tanggung
jawab yang diemban auditor dalam membantu legislatif untuk mengawasi
pengelolaan keuangan publik yang dilakukan oleh pemerintah atau
lembaga-lembaga sektor publik. Tanggung jawab auditor sektor publik
lebih kompleks dibanding sektor privat karena domain sektor publik
memiliki wilayah yang lebih luas dan kompleks dibandingkan dengan
sektor privat. Keluasan wilayah tidak hanya disebabkan luasnya jenis dan
bentuk organisasi yang berada di dalamnya, akan tetapi juga karena
kompleksnya lingkungan yang memengaruhi lembaga-lembaga publik
tersebut (Mardiasmo,2009:1).
Penelitian ini dikembangkan dari penelitian yang dilakukan oleh
Chowdhury dan Kouhi (2005) yang berjudul The Public Sector AEG in
Bangladesh dan disertasi Al-Qarni (2004) yang berjudul The Audit
Expectation Gap in Saudi Arabia: Perceptions of Auditors, Prepares and
Financial Statement Users. Responden penelitian Chowdhury dan Kouhi
(2005) adalah

kelompok Controller and Auditor General (CAG) dengan

2(dua) kelompok pengguna yaitu Public Account Committee (PAC) dan


International Finding Agencies (IFA). Auditor CAG memiliki kewajiban
konstitusi untuk melaporkan hasil auditnya kepada PAC, karena PAC
dianggap

sebagai

parlemen

yang

bertugas

untuk

mengamankan

akuntabilitas sektor publik melalui fungsi audit CAG sebagaimana yang


telah ditetapkan oleh konstitusi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

15

terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi auditor kelompok


CAG dengan kelompok pengguna PAC dan IFA. Chowdhury dan Kouhi
(2005) membenarkan adanya audit expectation gap di bidang pelaporan
CAG, akuntabilitas, auditor independensi, kompetensi auditor, audit bukti
dan audit kinerja, dengan menggunakan bukti statistik. Lebih lanjut,
Chowdhury dan Kouhi menjelaskan bahwa jika para anggota PAC tidak
memiliki program pelatihan wajib, maka mereka hanya akan menjalani
proses belajar sangat informal dan sukarela. Di lain pihak, para wakil IFA
memiliki lebih banyak pelatihan dibanding anggota PAC bahkan memiliki
jaringan pelatihan global. Meskipun auditor CAG menerima banyak
pelatihan teknis, namun yang lebih dibutuhkan adalah

pelatihan

bagaimana memenuhi harapan kebutuhan informasi pengguna laporan


mereka. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjembatani
kesenjangan antara harapan auditor CAG dan pengguna adalah melalui
pelatihan yang lebih baik untuk semua pihak yang terlibat dan lebih
membutuhkan pengertian dan kerjasama antara mitra strategis demi
akuntabilitas sektor publik dan tata pemerintahan yang demokratis.
Responden penelitian Al-Qarni (2004) adalah auditor, pembuat dan
pemakai laporan keuangan termasuk anggota

Saudi Organization for

Certified Public Accountant's (SOCPA), menunjukkan hasil bahwa terdapat


perbedaan persepsi antar 4 (empat) kelompok baik dalam hal fungsi audit
dan

kinerja

yang

dirasakan

auditor.

Penelitian

Al-Qarni

(2004)

menunjukkan bahwa kesenjangan mencakup sejumlah isu, khususnya

16

isu-isu yang telah diidentifikasi: (a) auditor independen, (b) peran auditor
sehubungan dengan penipuan, (c) menjamin laporan keuangan, (d)
memberikan sinyal peringatan dini tentang kemungkinan kegagalan bisnis,
dan (e) transaksi bisnis yang diperiksa oleh auditor. Lebih lanjut Al-Qarni
menjelaskan bahwa tujuan audit untuk kelompok pengguna tidak sejelas
kelompok auditor dan preparer. Selain itu, perbedaan persepsi juga
berkaitan dengan format laporan audit. Kelompok auditor, misalnya,
senang dengan format laporan audit yang telah ada dan tidak berpikir
untuk melakukan modifikasi. Namun, preparer dan dua kelompok
pengguna lainnya memerkenalkan beberapa pemikiran dan saran untuk
modifikasi. Peneliti ini mengembangkan kerangka kerja Burrel and Morgan
(1979) yang mengklasifikasikan berbagai pemikiran dalam ilmu sosial.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena terdapat
penambahan variabel creative accounting dan laporan hasil pemeriksaan
dalam kaitannya dengan audit expectation gap. Ini disebabkan karena
variabel creative accounting merupakan metode untuk memanfaatkan
teknik dan kebijakan guna mendapatkan hasil yang diinginkan, mengingat
hasil dari beberapa survei akuntansi menunjukkan adanya konflik
kepentingan dan tekanan pimpinan terhadap akuntan internal, auditor,
atau konsultan akuntansi (Sulistiawan et al., 2009). Selama ini creative
accounting telah banyak dilakukan pada sektor privat demikian pula pada
sektor publik. Salah satu penelitian creative accounting dalam bidang
anggaran dilakukan oleh Maiga dan Jacobs (2007), yang berjudul Budget

17

Participations Influence on Budget Slack: The Role of Fairness


Perceptions,

Trust

and

Goal

Commitment.

Hasil

penelitiannya

menunjukkan bahwa hubungan langsung antara partisipasi anggaran dan


kecenderungan manajer untuk menciptakan slack tidak signifikan, lebih
lanjut dijelaskan bahwa keadilan dan komitmen hanya bertujuan untuk
memediasi hubungan antara partisipasi anggaran dan kecenderungan
manajer untuk menciptakan slack. Penelitian-penelitian yang sama juga
telah dilakukan oleh Su dan Ni (2013), Hobson et al. (2011), Roge dan
Linn (1995), Elmassri dan Harris (2011), dan Rachman (2012).
Namun demikian, penelitian yang menghubungkan antara creative
accounting, konsep audit, opini laporan hasil pemeriksaan dengan audit
expectation gap masih kurang sehingga penelitian ini penting dilakukan.
Berdasarkan fenomena penelitian di atas, maka dirumuskan tema
sentral dari penelitian ini yaitu: Audit Expectation Gap pada Sektor Publik,
studi empiris di Provinsi Sulawesi Selatan .

A. Rumusan Masalah
Penelitian ini adalah untuk menguji apakah terdapat audit
expectation

gap

antara

pendekatan

akuntabilitas,

auditor
creative

dengan

pengguna,

accounting

dan

berdasarkan

konsep

audit.

Sehingga, rumusan masalah yang akan diteliti berdasarkan latar belakang


penelitian di atas adalah untuk mengetahui:
1. Apakah akuntabilitas berpengaruh positif terhadap opini laporan hasil
pemeriksaan?

18

2. Apakah creative accounting berpengaruh positif terhadap opini


laporan hasil pemeriksaan?
3. Apakah konsep audit berpengaruh positif terhadap opini laporan hasil
pemeriksaan?
4. Apakah akuntabilitas berpengaruh positif terhadap audit expectation
gap?
5. Apakah creative accounting berpengaruh

positif terhadap audit

expectation gap?
6. Apakah konsep audit berpengaruh positif terhadap audit expectation
gap?
7. Apakah opini laporan hasil pemeriksaan berpengaruh positif terhadap
audit expectation gap?
8. Apakah

akuntabilitas,

creative

accounting

dan

konsep

audit

berpengaruh positif secara tidak langsung terhadap audit expectation


gap melalui opini laporan hasil pemeriksaan?

B. Maksud dan Tujuan penelitian


Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini
dilakukan dengan maksud untuk memeroleh gambaran berupa fakta-fakta
empiris yang dapat dijadikan indikator terjadinya audit expectation gap
antara auditor dan pengguna laporan keuangan daerah.
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah
untuk mengetahui :

19

1. Pengaruh akuntabilitas terhadap opini laporan hasil pemeriksaan.


2. Pengaruh

creative

accounting

terhadap

opini

laporan

hasil

pemeriksaan.
3. Pengaruh konsep audit terhadap opini laporan hasil pemeriksaan.
4. Pengaruh akuntabilitas terhadap audit expectation gap.
5. Pengaruh creative accounting terhadap audit expectation gap.
6. Pengaruh konsep audit terhadap audit expectation gap.
7. Pengaruh opini laporan hasil pemeriksaan terhadap audit expectation
gap.
8. Pengaruh akuntabilitas, creative accounting dan konsep audit secara
tidak langsung terhadap audit expectation gap melalui opini laporan
hasil pemeriksaan.

D. Kegunaan Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian, maka hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:
1. Kegunaan Praktis
a.
Bagi profesi akuntan yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI),
hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi untuk
merumuskan standar pemeriksaan untuk memudahkan dalam
mendeteksi adanya tindakan creative accounting.
b. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan

pertimbangan

untuk

semakin

mengurangi

audit

expectation gap dengan menambah pengetahuan-pengetahuan


para pengguna mengenai ilmu auditing.
2. Kegunaan Teoretis

20

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi


yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu, sebagai berikut.
a.
Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh akuntabilitas,
creative accounting dan konsep audit terhadap laporan hasil
b.

pemeriksaan.
Memberikan bukti empiris mengenai keberadaan

audit

expectation gap antara auditor dan pengguna dilihat dari aspek


akuntabilitas, creative accounting dan konsep audit melalui opini
laporan hasil pemeriksaan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori dan Konsep


1. Teori Keagenan
Jensen dan Meckling (1976) mendefenisikan bahwa hubungan
keagenan sebagai sebuah kontrak di mana satu lebih (principal) menyewa
orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan
mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pengambilan
keputusan kepada agen.

Teori keagenan (agency theory) merupakan

21

basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama
ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan,
sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya
hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu
investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer,
dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut nexus of contract.
Perbedaan kepentingan ini menyebabkan masing-masing pihak
berusaha

memerbesar

keuntungan

bagi

diri

sendiri.

Principal

menginginkan pengembalian yang sebesar-besarnya dan secepatnya atas


investasi yang salah satunya dicerminkan dengan kenaikan porsi deviden
dari tiap saham yang dimiliki. Agen menginginkan kepentingannya
diakomodir

dengan

pemberian

kompensasi/bonus/insentif/remunerasi

yang memadai dan sebesar-besarnya atas kinerjanya. Principal menilai


prestasi agen berdasarkan kemampuannya
memerbesar laba untuk
21
dialokasikan pada pembagian deviden. Makin tinggi laba, harga saham
dan makin besar deviden, maka agen dianggap berhasil/berkinerja baik
sehingga layak mendapat insentif yang tinggi.
Konflik kepentingan akan muncul dari pendelegasian tugas yang
diberikan kepada agen yaitu agen tidak dalam kepentingan untuk
memaksimumkan kesejahteraan pemilik, tetapi mempunyai kecendrungan
untuk mengejar kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan
pemilik. Auditor adalah salah satu pihak yang terkait dengan hubungan
keagenan (antara agen dan prinsipal).

22

Menurut contracting theory (Watt dan Zimmerman, 1990) yang juga


dikenal dengan teori prinsipal dan agen (the principle-agent theory)
menyatakan bahwa hubungan antara pihak-pihak dalam perusahaan;
pengelola, pemegang saham, kreditur, pemerintah dan masyarakat akan
sulit tercipta karena kepentingan yang saling bertentangan. Konflik antara
manajemen dan pemilik terjadi karena pemilik di satu pihak menginginkan
agar manajemen memiliki peluang untuk memuaskan kepentingannya
tanpa diamati langsung oleh pemilik. Hubungan antara pihak yang
memiliki kepentingan tersebut berhasil diwujudkan dengan optimal melalui
penciptaan beberapa mekanisme yang mampu meredam

tindakan

manajemen untuk merugikan pemilik dan mendorong pemilik untuk


memercayakan pengelolaannya kepada manajemen. Mekanisme tersebut
dapat terwujud dalam akuntansi dan auditing. Baik akuntansi dan auditing
memiliki nilai pasar yang strategis

dalam membantu terciptanya

hubungan yang optimal dan ekonomis dengan cost yang didapat dan
dipertanggungjawabkan

dari

segi

nilai

pasar.

Pihak-pihak

yang

berkepentingan bersedia membayar harga bagi akuntansi maupun


auditing karena nilai manfaat yang ditimbulkannya (Manao,1996)
Teori keagenan yang telah dibahas di atas, merupakan konsep
keagenan konvensional. Damayanti (2010) menyatakan bahwa jika
berbicara mengenai konsep hubungan keagenan di pemerintahan,
persoalannya tidak sesederhana konsep keagenan konvensional.

23

Moe (1984) dalam Damayanti (2010), mengemukakan bahwa


hubungan

keagenan

sepenuhnya

dengan

sektor

pemerintahan

pendekatan

keagenan

tidak

dapat

didekati

konvensional,

karena

beberapa pertimbangan. Pertama, adanya perbedaan ideologi organisasi.


Ideologi dasar organisasi sektor publik (khususnya pemerintahan) adalah
memaksimalkan social welfare dengan mengutamakan kepentingan publik
(public interest) dan pelayanan kepada masyarakat (public service) di atas
kepentingan lainnya.

Sementara, ideologi yang terkandung dalam

hubungan keagenan, umumnya, dan menjadi paradigma yang populer


dalam penelitian akuntansi mainstream (aliran utama/positivis) selama
hampir

dua

dekade

individualisnya,

di

adalah

mana

ideologi

kedua

titik

kapitalisme

dengan

sikap

berangkat

tersebut

telah

menempatkan self-interest sebagai sesuatu yang lebih dominan.


Kedua, teori keagenan konvensional hasil karya Jensen dan
Meckling (1976) tidak dapat diaplikasikan dalam sektor pemerintahan,
karena salah satu alat yang digunakan prinsipal untuk mengontrol agen
adalah pemberian insentif.

Insentif ini, umumnya, diukur berdasarkan

pencapaian laba, sementara organisasi pemerintahan tidak memiliki laba


sebagai alat ukur kinerja. Bentuk lain insentif adalah kepemilikan saham
perusahaan oleh agen, sementara pemerintahan bukan terdiri dari saham
yang dapat diperjualbelikan, dan atau diserahkan kepemilikannya pada
segelintir orang.

24

Lebih lanjut, Damayanti (2010) menyatakan bahwa hubungan


keagenan pada organisasi pemerintahan menjadi suatu konsep yang
penting.

Hal ini disebabkan karena keseharian aktivitas organisasi

tersebut selalu berhubungan dengan pendelegasian wewenang, seperti


pada skala lokal, penyediaan pelayanan kesehatan, pendidikan dan
beragam pelayanan lainnya yang berhubungan dengan masyarakat,
semua didelegasikan kepada level bawah. Masalahnya, sejauh ini belum
tersedia sebuah konsep nyata (teori) yang mewadahi model hubungan
keagenan di sektor pemerintahan.
Pada organisasi pemerintahan, model prinsipal-agen sangat mudah
diamati, di mana keseluruhan hierarki dalam pemerintahan merupakan
hubungan keagenan, mulai dari rakyat kepada legislatif, dan legislative
kepada eksekutif yang memberikan pelayanan secara langsung kepada
masyarakat. Namun, menurut Damayanti (2010) interaksi antara prinsipal
dan agen membentuk suatu fenomena hubungan keagenan yang
mengarah pada kepentingan sama, yaitu penumpukkan kekayaan
(wealth) untuk diri pribadi.
Maraknya skandal keuangan yang terjadi

di lingkup

pemerintahan telah memberikan dampak besar kepercayaan


publik terhadap profesi auditor. Oleh karena itu, menjadi
pertanyaan besar dalam masyarakat adalah mengapa semua
kasus tersebut melibatkan profesi auditor, seharusnya mereka
sebagai pihak ketiga yang independen dapat memberikan

25

jaminan atas relevansi dan keandalan sebuah laporan keuangan.


Hal

inilah

yang

menimbulkan

terjadinya

expectation

gap

antara

masyarakat dengan auditor.

2. Teori Ekspektasi
Teori ekspektasi/teori harapan mengasumsikan bahwa individu
berniat

memilih

tindakan,

tingkat

usaha,

dan

pekerjaan

yang

memaksimalkan kesenangan yang mereka harapkan dan meminimalkan


harapan yang dapat menyakitkan mereka (Donovan, 2001; Kanfer, 1990);
Pinder, 1998) dalam Binberg et al., 2007:120). Model teori harapan
individu merupakan kekuatan motivasi sebagai fungsi dari harapan
mereka (probabilitas subjektif bahwa usaha mereka akan memberikan
hasil tingkat pertama seperti kinerja), perantaranya (subjektif probabilitas
bahwa kinerja akan menghasilkan tingkatan kedua hasil seperti uang),
dan valensi (yang afektif orientasi terhadap hasil tingkat kedua). Individu
diasumsikan menggabungkan harapan, sarana, dan konsisten dengan
yang diharapkan valensi perhitungan nilai untuk menentukan motivasi
mereka terhadap setiap alternatif dan kemudian memilih alternatif dengan
kekuatan motivasi tertinggi (Binberg et al., 2007:120).
Teori Vroom (1964) dalam Binberg et al. (2007) tentang cognitive
theory of motivation menjelaskan mengapa seseorang tidak akan
melakukan sesuatu yang ia yakini ia tidak dapat melakukannya, sekalipun

26

hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan. Menurut Vroom, tinggi
rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:

Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas

Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika


berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk
mendapatkan outcome tertentu).

Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan posistif,


netral, atau negatif. Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan sesuatu
yang melebihi harapan. Motivasi rendah jika usahanya menghasilkan
kurang dari yang diharapkan

Berdasarkan pendapat Vrom di atas, dapat disimpulkan jika seorang


auditor dalam melaksanakan tugasnya memiliki harapan bahwa tugas
telah dilaksanakan sesuai standar pemeriksaan, dengan mempertahankan
sikap independen. Oleh karena itu, auditor mengharapkan respon yang
positif dari pengguna/pembaca laporan.
Menurut Christiawan (2002), seorang akuntan publik yang
independen adalah akuntan publik yang tidak mudah dipengaruhi, tidak
memihak siapapun, dan berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada
manajemen/pemerintah, tetapi juga pihak lain pemakai laporan keuangan
yang mempercayai hasil pekerjaannya. Guy dan Sullivan (1988)
menyebutkan adanya perbedaan harapan publik dengan auditor dalam
hal:
1. deteksi kecurangan dan tindakan ilegal,

27

2. perbaikan keefektifan audit, dan


3. komunikasi yang lebih intensif dengan publik dan komite audit.
Dalam hal ini, publik beranggapan bahwa auditor harus dapat memberikan
jaminan (absolut assurance) terhadap laporan keuangan yang diaudit dan
kemungkinan adanya kecurangan dan tindakan illegal harus dapat
ditangkis dengan jaminan tersebut. Di lain pihak, secara logika auditor
tidak dapat memberikan absolut assurance tersebut, auditor hanya dapat
memberikan reasonable assurance saja, dan hal ini belum dimengerti oleh
publik, apalagi mengenai kecurangan dan tindakan ilegal, karena laporan
keuangan dibuat oleh manajemen maka jaminan bahwa laporan
keuangan bersih dari fraud belum dapat diberikan oleh auditor
sepenuhnya. Hal inilah yang menimbulkan terjadinya expectation gap
antara auditor dan pengguna.

3. Akuntabilitas
Di Indonesia, undang-undang (UU) No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah, telah memberikan kewenangan lebih
luas kepada pemerintah daerah dalam menata sistem pengelolaan
keuangan daerah. Kewenangan yang dimaksud diantaranya adalah
keleluasaan dalam memobilisasi sumber dana, menentukan arah, tujuan
dan target penggunaan anggaran, serta pengelolaan keuangan. Namun

28

dalam melaksanakan kewenangan tersebut, pemerintah daerah harus


patuh pada sistem pengelolaan keuangan negara.
Peraturan tentang pengelolaan keuangan daerah disusun dalam
peraturan pemerintah (PP) No. 58 tahun 2005 yang mengatur tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Peraturan
pemerintah ini menegaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah perlu
dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, transparan dan bertanggung jawab dengan memerhatikan asas
keadilan dan kepatutan sehingga dapat mewujudkan efisiensi dan
efektivitas sumber daya keuangan daerah dalam rangka peningkatan
kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat.
Guna memenuhi harapan yang diamanatkan dalam PP No. 58
tahun 2005, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Menteri dalam
Negeri (Permendagri) No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah serta Tata cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata
Usaha Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD. Bahkan
saat ini pengelolaan keuangan negara baik di pusat maupun di daerah
harus mengikuti UU RI No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang
menganjurkan bahwa setiap pemerintah daerah wajib menyusun laporan
keuangan sebagai wujud tanggung jawab penggunaan anggaran yang
dipercayakan rakyat kepadanya.
Pemerintah

daerah

memunyai

kewajiban

untuk

mempertanggungjawabkan keuangan daerahnya dengan menyusun

29

laporan keuangan sesuai dengan pernyataan dalam UU No.17 tahun 2003


tentang Keuangan Negara dan Pasal 23 UUD 1945. Laporan keuangan
merupakan komponen penting untuk menciptakan akuntabilitas sektor
publik. Adanya tuntutan yang semakin besar terhadap pelaksanaan
akuntabilitas menimbulkan implikasi bagi pihak manajemen sektor publik
untuk memberikan informasi akuntansi kepada masyarakat berupa
laporan keuangan. Laporan keuangan pemerintah merupakan hak
masyarakat yang harus diberikan oleh pemerintah, baik pusat maupun
daerah. Hak atas informasi keuangan muncul sebagai konsekuensi
konsep pertanggungjawaban publik. Berdasarkan paragraph 28 Kerangka
Konseptual Akuntansi Pemerintahan SAP Berbasis Akrual dalam PP No.
71 tahun 2010, laporan keuangan yang wajib disusun oleh pemerintah
daerah antara lain: laporan realisasi anggaran (LRA), laporan perubahan
saldo anggaran lebih, neraca, laporan operasional, laporan perubahan
ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan.
Menurut

Standar

Pemeriksaan

Keuangan

Negara

(2007),

Pengertian pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara


mencakup akuntabilitas yang harus diterapkan semua entitas oleh pihak
yang melakukan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.
Akuntabilitas diperlukan untuk dapat mengetahui pelaksanaan program
yang dibiayai dengan keuangan negara, tingkat kepatuhannya terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta untuk
mengetahui tingkat kehematan, efisiensi, dan efektivitas dari program

30

tersebut. Dengan semakin kompleks dan pentingnya program pemerintah


dalam rangka pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK
dapat diminta oleh lembaga perwakilan dan penyelenggara negara untuk
memerluas pemeriksaan kinerja.
Perluasan tersebut dapat berbentuk penilaian terhadap berbagai
alternatif kebijakan, identifikasi dan usaha-usaha untuk mengurangi risiko,
serta analisis terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Akuntabilitas adalah
evaluasi terhadap proses pelaksanaan kegiatan/kinerja organisasi untuk
dapat dipertanggungjawabkan serta sebagai umpan balik bagi pimpinan
organisasi untuk dapat lebih meningkatkan kinerja organisasi pada masa
yang akan datang.
Akuntabilitas

merupakan

konsep

yang

komplek,

mewujudkannya dari pada memberantas korupsi.

lebih

sulit

Akuntabilitas adalah

keharusan lembaga-lembaga sektor publik untuk lebih menekan pada


pertanggungjawaban

horizontal

(masyarakat)

bukan

hanya

pertanggungjawaban vertikal (otoritas yang lebih tinggi) (Turner dan


Hulme, 1997 dalam UNDP, 2004).
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban dari seseorang atau
sekelompok orang yang diberi amanat untuk menjalankan tugas tertentu
kepada pihak pemberi amanat baik secara vertikal maupun secara
horizontal.

Akuntabilitas

bermakna

pertanggungjawaban

dengan

menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai

31

lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan


sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances
sistem). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah eksekutif
(presiden, wakil presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem
peradilan) serta legislatif (MPR dan DPR). Akuntabilitas publik adalah
prinsip

yang

menjamin

bahwa

setiap

kegiatan

penyelenggaraan

pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku


kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan.
Akuntabilitas dan transparansi keuangan negara merupakan tujuan
penting dari reformasi sektor publik mengingat secara definitif kualitas
kepemerintahan yang baik (good governance) ditentukan oleh kedua hal
tersebut ditambah dengan peran serta masyarakat dan reformasi hukum.
Yang dimaksud dengan akuntabilitas publik keuangan negara adalah
pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan
kinerja keuangan negara kepada semua pihak yang berkepentingan
(stakeholder). Dengan demikian hak-hak publik, yaitu hak untuk tahu (right
to know), hak untuk diberi informasi (right to be kept informed), dan hak
untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to), dapat
dipenuhi (Artjana dipaparkan dalam FGD SSR Propatria, tanggal 27
Februari 2004).
Oleh karena itu, transparansi atas aktivitas pengelolaan keuangan
negara

kepada pihak-pihak yang

membutuhkan

informasi

sangat

diperlukan. Untuk itu, dalam rangka mewujudkan akuntabilitas dan

32

transparansi, kegiatan audit sangat esensial.

Hasil audit akan

memberikan umpan balik bagi semua pihak yang terkait dengan


organisasi. Untuk itulah keseluruhan proses audit harus dilakukan secara
berhati-hati dan konsisten dengan kaidah-kaidah profesi. Proses audit
melalui prosedur yang berjenjang, dan setiap tahapan akan melibatkan
judgment auditor atas suatu kejadian atau fakta.

4. Creative Accounting
Menurut Balaciu et.al (2009:170), sebenarnya istilah creative
accounting telah ada sejak akuntansi pertama kali ditemukan oleh Luca
Pasiolo dalam bukunya De Arithmetica, yang berambisi untuk membuat
suatu angka menjadi menarik atau dapat digunakan untuk menghasilkan
informasi. Dengan demikian, Luca Paciolo telah membentuk akuntansi
manual terlebih dahulu yaitu praktik akuntansi kreatif. Hubungan antara
pedagang pada perdagangan luar negeri Venetian dicatat dalam
pembukuan double-entry dengan tinta dan pena ke dalam buku utama
dan buku anak perusahaan. Ketika terjadi perbedaan, maka kadangkadang secara tidak sengaja tempat tinta akan mengenai buku-buku ini
sehingga entri tidak terbaca. Inilah asal mula munculnya istilah menutupnutupi.
Saat ini, seorang akuntan dalam menyusun laporan keuangan
perusahaan, harus mengikuti aturan yang ada dalam pembuatan laporan
keuangan, yaitu sesuai dengan aturan PSAK. Akan tetapi kenyataan di

33

lapangan, banyak perusahaan yang secara kreatif melakukan manipulasi


data keuangan untuk mendapatkan respon yang baik dari beberapa
kalangan. Hal ini disebut dengan istilah akuntansi kreatif (creative
accounting). Akuntansi kreatif bukanlah hal yang baru dalam dunia
akuntansi, karena banyak perusahaan yang telah melakukan hal tersebut.
Istilah creative accounting jika diterjemahkan secara harfiah ke
dalam bahasa Indonesia, berarti akuntansi kreatif. Kalimat creative
accounting yang terdiri dari 2 kata yaitu creative artinya kebolehan
seseorang menciptakan ide baru yang efektif, dan kata akuntansi itu
artinya pembukuan tentang financial events yang senantiasa berusaha
untuk setia kepada kondisi keuangan yang

sebenarnya

(faithful

representation of financial events). Kreatif merupakan ide atau pemikiran


yang berbeda atau tidak terpikirkan oleh orang lain. Dengan kata lain,
kreatif adalah berpikir di luar otak. Atau praktik akuntansi yang berbeda
dengan yang biasa digunakan (Sulistiawan et al., 2011:18).
Istilah creative accounting sendiri bukan merupakan istilah tunggal
yang

menggambarkan

kemungkinan

alternatif

penyajian

laporan

keuangan yang berbeda jika dikerjakan dengan cara yang berbeda.


Creative accounting biasa juga dikenal dengan earnings management.
Bahkan referensi lain memberikan istilah dalam konteks yang negatif,
seperti magic accounting, cosmetic accounting dan financial shenanigan.
Tetapi pada dasarnya memiliki maksud yang sama yaitu kreatifitas dalam
akuntansi. Oleh karena itu, istilah yang umum digunakan adalah creative
accounting.

34

Akuntansi kreatif oleh beberapa kalangan dianggap hal yang tidak


etis karena memanipulasi data. Akan tetapi, akuntansi kreatif dalam
pandangan teori akuntansi positif, sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum, tidak ada masalah yang
harus dipersoalkan. Tujuan

seorang

akuntan

melakukan

creative

accounting bermacam-macam, di antaranya adalah untuk pelarian pajak,


menipu bank demi mendapatkan pinjaman baru, atau memertahankan
pinjaman yang sudah diberikan oleh bank dengan syarat-syarat tertentu,
mencapai target yang ditentukan oleh analis pasar, atau mengecoh
pemegang saham untuk menciptakan kesan bahwa manajemen berhasil
mencapai hasil yang cemerlang.
Banyak faktor yang menyebabkan perusahaan menggunakan
akuntansi kreatif untuk memertahankan eksistensi perusahaan di tengah
persaingan yang sangat ketat sekarang ini. Motivasi materialisme
merupakan suatu dorongan besar manajemen dan akuntan-akuntan
melakukan creative accounting. Banyak perusahaan yang terjebak
masalah creative accounting mempunyai sistem executive stock option
plan bagi eksekutif-eksekutif yang mencapai target yang ditetapkan.
Secara umum, para eksekutif biasanya lebih mengenal perusahaan
tempat mereka bekerja dibandingkan karyawan-karyawan di bawah
mereka, sehingga para eksekutif ini dapat dengan mudah memanipulasi
data-data dalam laporan keuangan (financial statement) dengan motivasi
memerkaya diri mereka sendiri. Oleh karena itu diperlukan cara-cara yang

35

kreatif dalam penghitungan keuangan dalam dunia bisnis, walaupun itu


sering dianggap hal yang kurang etis.
Creative accounting menurut Amat, Blake dan Dowd (1999) adalah
sebuah proses dimana beberapa pihak menggunakan kemampuan
pemahaman pengetahuan akuntansi (termasuk didalamnya standar,
teknik dan sebagainya) dan menggunakannya untuk memanipulasi
pelaporan keuangan. Creative accounting merupakan bagian dari
accounting manipulation yang terdiri dari earning management, income
smoothing dan creative accounting itu sendiri.
Asumsinya adalah bagaimana manusia mengimplementasikan
creative accounting sebagai bagian dari perilaku manusia untuk mencapai
tujuannya. Myddelton (2009) dalam Sulistiawan (2011:18) menyatakan,
akuntan yang dianggap kreatif adalah akuntan yang menginterpretasikan
area abu-abu untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan dari hasil
interpretasi tersebut. Jadi dengan harapan mendapatkan tujuan tertentu,
mereka menginterpretasikan kebijakan akuntansi dengan cara yang
tertentu juga.

Kalimat ini menunjukkan bahwa seorang akuntan akan menggunakan


pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya guna mendapatkan tujuannya
masing-masing. Teknik dan kebijakan akuntansi hanyalah alat untuk
mencapai tujuan tersebut.
Menurut Wolk et al. (2006) dalam Sulistiawan et al. (2011:43),
secara umum, teknik yang biasa dijumpai dalam praktik akuntansi kreatif
dapat dikelompokkan ke dalam lima teknik, yaitu mengubah metode
akuntansi, membuat estimasi akuntansi, mengubah periode pengakuan
pendapatan dan biaya, mereklasifikasi akun current dan noncurrent, serta
mereklasifikasi akrual diskresioner dan akrual nondiskresioner.

36

Creative accounting bukanlah pengetahuan baru, melainkan


hanyalah kumpulan teknik dan kebijakan akuntansi yang telah ada, baik
teknik akuntansi yang sederhana maupun teknik akuntansi yang
kompleks. Namun, creative accounting lebih banyak dikendalikan oleh
keinginan manusia untuk mencapai tujuannya.
5. Audit Sektor Publik
The American Accountant Association Committe on Basic Auditing
Concepts (Louwers, 2005:07) mendefenisikan auditing yaitu:
auditing as a systematic process of objectively obtaining and evaluating
evidence regarding assertions about economic actions and events to
ascertain the degree of correspondence between those assertions and
established criteria and communicating the results to interested users

Defenisi auditing, menurut Mautz dan Sharaf dalam Boynton et al.


(2006:9) dikatakan bahwa:
The origin of auditing goes back to times scarcely less remote than of
accounting...Whenever the advance of civilization brought about the
necessity of one man being entrusted to some extent with the properlty of
another the advisability of some kind of check upon the fidelity of the
former would become apparent

Pernyataan tentang asal usul auditing di atas, menyebutkan bahwa


auditing lebih dahulu dari akuntansi, auditing dibutuhkan karena perlunya
orang yang dapat membantu mengelola harta milik orang lain, sehingga
pemilik patut meminta pihak tertentu (auditor) untuk pengecekan atas
kesetiaan orang yang mengelola tersebut, sehingga semuanya akan lebih
transparan (jelas).
Menurut Arens et al. (2008:04) auditing adalah:

37

auditing is accumulation and evaluation of evidence about information to


determine and report on the degree of correspondence between the
information and established criteria. Auditing should be done by a
competent, independent person

Pengertian ini dapat diartikan bahwa auditing adalah suatu proses


pengumpulan dan pengevaluasian bukti-bukti tentang informasi yang
dapat diukur, mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan oleh
seseorang yang kompeten dan independen untuk menentukan dan
melaporkan kesesuaian informasi, dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan.
Pelaksanaan audit dalam bidang pemerintahan dikenal dengan
sebutan audit sektor publik. Tujuan pelaksanaan audit sektor publik adalah
untuk

menjamin

dilakukannya

pertanggungjawaban

publik

oleh

pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Audit


terhadap sektor publik menjadi fokus perhatian, karena dinilai instansi
pemerintah
keuangan

tidak terbuka
sebenarnya

terhadap

dan

instansi

masyarakat
sektor

mengenai

publik

rawan

kondisi
akan

penyalahgunaan dana, sehingga dibutuhkan aturan yang ketat dan audit


yang independen terhadap pemeriksaan laporan keuangan instansi
pemerintahan.
Audit terhadap sektor publik sangat penting dilakukan. Hal ini
merupakan bentuk tanggung jawab sektor publik (pemerintah pusat dan
daerah) untuk mempertanggungjawabkan dana yang telah digunakan oleh
instansi, sehingga pemanfaatan dana tersebut dapat diketahui apakah
telah dilaksanakan sesuai prosedur dan standar atau tidak.

38

Secara teknis, audit pada sektor publik sama dengan audit pada
sektor privat. Menurut Jones dan Bates (1990) yang membedakan
pelaksanaan audit dua sektor tersebut adalah pada kebutuhan yang
mendasari untuk melaporkan pengaruh politik negara yang bersangkutan
dan kebijaksanaan pemerintahan. Audit sektor publik memiliki cakupan
tugas dan tanggung jawab yang lebih luas dari pada audit pada sektor
privat. Selain itu perbedaan yang paling mendasar antara audit sektor
publik dan privat adalah pertimbangan kebijakan politik. Dalam akhir
proses

audit,

khususnya

menggunakan

objektivitas

menyeluruh.

Pengertian

dalam

audit

terbaiknya
audit

sektor

keuangan,
dan

auditor

rekomendasi

publik

menurut

akan
secara
Indra

Bastian (2007:255) adalah sebagai berikut: audit sektor publik adalah


jasa penyelidikan bagi masyarakat atas organisasi publik dan politikus
yang sudah mereka danai.
Sedangkan, pengertian audit sektor publik menurut I Gusti Agung Rai
(2008:29) adalah sebagai berikut:
Audit sektor publik adalah kegiatan yang ditujukan terhadap entitas yang
menyediakan pelayanan dan penyediaan barang yang pembiayaannya
berasal dari penerimaan pajak dan penerimaan negara lainnya dengan
tujuan untuk membandingkan antara kondisi yang ditemukan dengan
kriteria yang ditetapkan.

Audit sektor publik di Indonesia dikenal sebagai audit keuangan


negara. Audit keuangan negara ini diatur dalam UU No. 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan
Negara. Undang-undang ini merupakan pengganti ketentuan warisan

39

Belanda, yaitu Indische Comptabiliteitswet

(ICW) dan Instructie en

verdere bepalingen voor de Algemene Rekenkamer (IAR), yang mengatur


prosedur audit atas akuntabilitas pengelolaan keuangan oleh pemerintah.
Audit sektor publik dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang
memadai bahwa laporan keuangan yang diperiksa telah mematuhi prinsip
akuntansi

berterima

pengendalian

intern

umum,
serta

peraturan

kegiatan

perundang-undangan

operasi

dan

entitas sektor publik

dilaksanakan secara efisien, ekonomis, dan efektif. Dalam keterbatasan


yang ada, audit tetap perlu dilakukan agar tercipta akuntabilitas publik
yang lebih transparan dan akuntabel.
Murwanto et al. (2012:12) menyatakan, auditor yang kurang
berpengalaman dalam sektor publik biasanya memberikan rekomendasi
yang kontroversial seperti meningkatkan harga untuk mengimbangi
kenaikan beban. Hal penting untuk membedakan audit sektor publik dan
privat adalah perbedaan kepentingan antara kebijakan politik dan rasional
ekonomi, kebijakan politik biasanya diprioritaskan dalam sektor publik
setidaknya dalam jangka pendek.
Audit sektor publik juga sangat dipengaruhi oleh peraturan
perundang-undangan. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut
terutama mengatur hal-hal yang harus diaudit dan yang harus dilaporkan
dalam laporan audit. Oleh karena itu, audit sektor publik sangat
menekankan aspek ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Laporan audit sektor publik juga menyediakan informasi

40

lebih banyak daripada laporan audit pada sektor privat. Hal ini pada
gilirannya akan menyebabkan lebih luasnya tanggung jawab auditor
sektor publik dibandingkan dengan rekan mereka pada sektor privat.

6. Konsep-konsep Audit
Auditing perlu memiliki konsep-konsep tersendiri apabila ingin
memeroleh suatu pengakuan sebagai disiplin ilmu yang mandiri.
Defenisi konsep menurut Mautz dan Sharaf (1980:53) sebagai berikut:
Concept ... in phylosofy, a term applied to a general idea derived from and
considered a part from the particulars observed by the sense...
Selanjutnya, dalam phylosofi auditing disebutkan bahwa pada
mulanya konsep-konsep utama auditing terdiri dari bukti, due audit care
(kehati-hatian), penyajian yang wajar, independensi dan kode etik.
Konsep-konsep ini dapat dikembangkan dan ditambah untuk melengkapi
konsep utama di atas apabila ada konsep lain yang signifikan.(Mautz dan
Sharaf,1980:67).
Penelitian ini merupakan penerapan rerangka akuntabilitas di
sektor publik. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diawasi atau
dikendalikan dengan mengunakan enam konsep audit, yaitu independensi
auditor, kompetensi auditor, materialitas audit, bukti audit, pendapat wajar
dan audit kinerja seperti pada penelitian yang dilakukan Chowdhury dan
Kouhi (2005) di Bangladesh. Konsep audit ini diadaptasi dari audit
Comptroller Auditor Generals (CAG) pada sektor publik. Namun, pada

41

kenyataannya lima konsep audit telah diterapkan di sektor privat,


terkecuali audit kinerja.
Independensi auditor dalam sektor publik berhubungan dengan
luasnya area sektor publik. Integritas auditor harus dilindungi dari
pengaruh kelompok pemerintah pusat/daerah, status sebagai pegawai
negeri sipil dan politisi. Sedangkan, kompetensi auditor baik di sektor
publik maupun di sektor privat adalah sama, yang berbeda hanya pada
audit kinerja (performance audit).
Menurut Jones dan Bates (1990), materialitas audit berhubungan
dengan kebutuhan audit untuk memertimbangkan tingkat jaminan yang
disyaratkan oleh kelompok pengguna yang diaudit dan reaksi yang
diharapkan dari pembaca laporan audit. Sedangkan, bukti audit
berhubungan dengan waktu dan biaya dalam proses audit, lingkup audit
dan kebutuhan informasi yang dirasakan pengguna memengaruhi proses
pengumpulan bukti.
Pendapat wajar dalam audit sektor publik memunyai makna yang
sama dalam audit sektor privat (Chowdhury et al., 2005). Pendapat wajar
dalam laporan audit di Indonesia mengimplikasi bahwa laporan keuangan
yang disajikan telah sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum
(PABU). Sedangkan audit kinerja, hanya berlaku pada sektor publik
dimana menekankan pada efisiensi dan efektivitas dari operasi dan
keefektifan hasil yang dicapai.
7. Opini Laporan Hasil Pemeriksaan

42

Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang


relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan
oleh suatu entitas pelaporan selama satu periode pelaporan. Laporan
keuangan

terutama

digunakan

untuk

membandingkan

realisasi

pendapatan, belanja, transfer dan pembiayaan dengan anggaran yang


telah ditetapkan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi efektivitas dan
efisiensi suatu entitas pelaporan, dan membantu menentukan ketaatannya
terhadap peraturan perundang-undangan.
Laporan keuangan setiap pemerintah daerah harus diaudit oleh
BPK dengan dikeluarkannya undang-undang No 15 tahun 2006 mengenai
BPK maka semua pihak dapat mengetahui fungsi dan tugas auditor BPK.
Menurut UU No 15 tahun 2006 salah satu tugas BPK adalah memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lembaga negara lainnya yang
dilakukan berdasarkan undang-undang.

Pemeriksaan ini mencakup

pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan


tujuan tertentu.
Laporan hasil pemeriksaan auditor BPK juga diberikan kepada
eksekutif, yaitu Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan tindak pidana
maka hal tersebut dapat dilaporkan ke instansi yang berwenang.
Laporan keuangan dapat dikatakan wajar, jika telah diperiksa oleh
auditor (BPK). BPK akan melakukan pemeriksaan berdasarkan Standar

43

Pemeriksaan

Keuangan

Negara

(SPKN).

BPK

melaksanakan

pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.


Menurut Murwanto et al. (2012: 24-25) pemeriksaan tersebut meliputi
seluruh unsur keuangan negara yaitu:
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
c.
d.
e.
f.
g.

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;


penerimaan negara;
pengeluaran negara;
penerimaan daerah;
pengeluaran daerah;
kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hakhak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang

dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.


h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum;
9. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
yang diberikan pemerintah.
Auditor menuangkan hasil pemeriksaan dalam bentuk laporan hasil
pemeriksaan. Laporan hasil pemeriksaan merupakan salah satu tahap
paling penting dan akhir dari suatu pekerjaan audit. Dalam setiap tahap
audit akan selalu terdapat dampak psikologis bagi auditor maupun
auditee. Dampak psikologis dalam tahapan persiapan audit dan
pelaksanaan audit dapat ditanggulangi pada waktu berlangsungnya audit.

44

Tetapi dampak psikologis dari laporan hasil audit, penanggulangannya


akan lebih sulit karena:
a. Waktu audit sudah selesai
b. Laporan merupakan salah satu bentuk komunikasi tertulis, formal,
sehingga auditor tidak dapat mengetahui reaksi auditee secara
langsung,
c. Laporan telah didistribusikan kepada berbagai pihak sehingga
semakin banyak pihak yang terlibat.
Karena laporan hasil pemeriksaan akan mempunyai dampak luas,
maka diperlukan pengetahuan khusus tentang penyusunan laporan hasil
pemeriksaan. Pelaporan hasil pemeriksaan merupakan tahap akhir
kegiatan audit. Selain harus sesuai dengan norma pemeriksaan,
penyusunan laporan hasil pemeriksaan juga harus mempertimbangkan
dampak psikologis, terutama yang bersifat dampak negatif bagi auditee,
pihak ketiga dan pihak lain yang menerima laporan tersebut.
SPKN
keuangan,

(2007:45)

Standar

menetapkan

Pemeriksaan

bahwa

untuk

memberlakukan

pemeriksaan

empat

standar

pelaporan SPAP yang ditetapkan IAI berikut ini:


a. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan disajikan
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau
prinsip akuntansi yang lain yang berlaku secara komprehensif.
b. Laporan auditor harus menunjukkan, jika ada, ketidakkonsistenan
penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan
periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi
tersebut dalam periode sebelumnya.
c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang
memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.
d. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai
laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa
pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara

45

keseluruhan tidak dapat diberikan maka alasannya harus dinyatakan.


Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan
auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan
audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang
dipikul auditor.
SPKN (2007:46) juga telah menetapkan standar pelaporan
tambahan, yaitu :
a. Laporan hasil pemeriksaan harus menyatakan bahwa pemeriksaan
dilakukan sesuai dengan Standar Pemeriksaan,
b. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan harus
mengungkapkan bahwa pemeriksa telah melakukan pengujian atas
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berpengaruh langsung dan material terhadap penyajian laporan
keuangan,
c. Laporan atas pengendalian intern harus mengungkapkan kelemahan
dalam pengendalian intern atas pelaporan keuangan yang dianggap
sebagai kondisi yang dapat dilaporkan,
d. Laporan hasil pemeriksaan yang memuat adanya kelemahan dalam
pengendalian intern, kecurangan, penyimpangan dari ketentuan
peraturan perundang-undangan, dan ketidakpatutan, harus dilengkapi
tanggapan dari pimpinan atau pejabat yang bertanggung jawab pada
entitas yang diperiksa mengenai temuan dan rekomendasi serta
tindakan koreksi yang direncanakan,
e. Informasi rahasia yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundangundangan untuk diungkapkan kepada umum tidak diungkapkan dalam
laporan hasil pemeriksaan. Namun laporan hasil pemeriksaan harus
mengungkapkan sifat informasi yang tidak dilaporkan tersebut dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan tidak
dilaporkannya informasi tersebut,
f. Laporan hasil pemeriksaan diserahkan kepada lembaga perwakilan,
entitas yang diperiksa, pihak yang mempunyai kewenangan untuk
mengatur entitas yang diperiksa, pihak yang bertanggung jawab untuk
melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan, dan kepada pihak lain
yang diberi wewenang untuk menerima laporan hasil pemeriksaan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Keempat standar pelaporan beserta standar tambahan harus
dipenuhi dengan menerbitkan laporan hasil pemeriksaan dalam bentuk
yang sesuai. Laporan hasil pemeriksaan yang standar mempunyai judul

46

yang mencakup kata-kata independen dan berisi suatu pendapat wajar


tanpa pengecualian (unqualified opinion). Terjadinya penyimpangan dari
laporan hasil pemeriksaan yang standar mengakibatkan munculnya opini
auditor yang lain, yaitu: pendapat wajar dengan pengecualian (qualified
opinion), pendapat tidak wajar (adverse opinion) dan penolakan
memberikan pendapat (disclaimer opinion) Boynton et al. (2003:362-363).
Apabila suatu pemeriksaan dihentikan sebelum berakhir, namun
pemeriksa

tidak

mengeluarkan

pemeriksa

harus

membuat

laporan

catatan

hasil

yang

pemeriksaan,

maka

mengikhtisarkan

hasil

pekerjaannya sampai tanggal penghentian dan menjelaskan alasan


penghentian pemeriksaan. Pemeriksa juga harus mengkomunikasikan
secara

tertulis

alasan

penghentian

pemeriksaan

tersebut

kepada

manajemen entitas yang diperiksa, entitas yang meminta pemeriksaan


tersebut, atau pejabat lain yang berwenang.
8. Audit Expectation Gap
Beberapa definisi audit expectation gap dari para ahli yang paling
relevan (Salehi, 2011:8380) antara lain :
a. Liggio (1974a) defines it as the difference between the levels of
expected performance as envisioned by the independent accountant
and by the user of financial statements. The Cohen Commission
(1978) on auditors responsibility extended this definition by
considering whether a gap may exist between what the public expects
or needs and what auditors can and should reasonably expect to
accomplish.
b. According to Guy and Sullivan (1988), there is a difference between
what the public and financial statement users believe accountants and
auditors are responsible for and what the accountants and auditors
themselves believe they are responsible for.

47

c. Godsell (1992) described the expectation gap as which is said to


exist, when auditors and the public hold different beliefs about the
auditors duties and responsibilities and the messages conveyed by
audit reports.
d. Jennings et al. (1993), in their study on the use of audit decision aids
to improve auditor adherence to a standard, are of the opinion that
the audit expectations gap is the difference between what the public
expects from the auditing profession and what the profession actually
provides. Monroe and Woodliff (1993) defined audit expectation gap
as the difference in beliefs between auditors and public about the
duties and responsibilities assumed by auditors and the messages
conveyed by audit reports.
e. According to AICPA (1993), the audit expectation gap refers to the
difference between what the public and financial statement users
believe the responsibilities of auditors to be; and what auditors believe
their responsibilities are.
f. Epstein and Geiger (1994) defined audit expectation gap as:
differences in perceptions especially regarding assurances provided
between users, preparers and auditors.
g. The ASCPA and ICAA (1994) observe that the term expectation gap
should be used to describe the difference between expectations of
the users of financial reports and the perceived quality of reporting and
auditing services delivered by the accounting profession.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa audit
expectation gap adalah ;(1) perbedaan persepsi antara kinerja aktual
dengan kinerja yang diharapkan dari auditor; (2) adanya perbedaanperbedaan persepsi antara auditor, akuntan dan pengguna laporan
keuangan.
Porter (1993) mengklaim bahwa definisi audit expectation gap yang
disediakan oleh Liggio (1974) dan Cohen Commission (1978) terlalu
sempit karena mereka gagal untuk mengenali bahwa auditor tidak dapat
mencapai kinerja yang diharapkan (Liggio 1974) atau apa yang mereka
harus dapat dan cukup (Cohen Commission 1978). Definisi ini tidak
memungkinkan untuk sub-standar kinerja.

48

Kesenjangan antara apa yang publik harapkan atau inginkan


dengan apa yang auditor dapat dan harapkan layak diperoleh. Pendapat
Cohen Commission tidak berbeda dengan pendapat Porter (1993) yang
menyatakan

bahwa audit expectation gap adalah kesenjangan antara

harapan masyarakat pada auditor dan kinerja auditor yang dirasakan oleh
masyarakat. Sedangkan Monroe dan Woodliff (1993) menyatakan bahwa
pengertian audit expectation gap adalah : perbedaan tingkat keyakinan
antara auditor dan masyarakat tentang tugas dan tanggung jawab auditor
dan

gambaran

yang

disampaikan

dalam

bentuk

laporan

hasil

pemeriksaan.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan tentang pengertian audit
expectation gap tetapi banyak peneliti telah mengadopsi gagasan bahwa
kesenjangan harapan mengacu pada perbedaan antara apa yang
masyarakat dan auditor pandang sebagai sesuatu hal yang berkaitan
dengan tanggung jawab audit (Gramling et al., 1996; McEnroe dan
Martens, 2001; Sikka et al., 1998;. Monroe dan Woodliff, 1994; Koh dan
Woo, 1998; Dixon et al., 2006; Chowdhury et al., 2005; Epstein dan
Geiger, 1994; Gloeck dan De Jager, 1993; Humphrey et al., 1993; Leung
dan Chau, 2001; Lin Chin dan 2004).
Saha dan Baruah (2008:67) menyatakan bahwa kepercayaan
pengguna biasanya tergantung pada dua faktor yaitu, pemahaman yang
tepat tentang kebutuhan pengguna dan yang paling penting

adalah

kemampuan profesi akuntansi untuk mengadopsi teknik audit yang

49

memuaskan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam lingkungan


yang berubah, bagaimanapun, harapan para pengguna tidak bisa menjadi
statis. Mereka sangat dinamis dan terus berubah. Dengan perubahan
ekspektasi, respon dari profesi akuntansi juga berubah tetapi tidak pada
kecepatan yang sama. Jadi, selalu ada kesenjangan antara harapan
perubahan dari pengguna dan respon oleh profesi dan dinyatakan sebagai
kesenjangan harapan atau audit expectation gap. Konsep audit
expectation gap ini menunjukkan bahwa non-auditor akan mengharapkan
auditor bertindak dengan cara yang berbeda dari apa yang auditor sendiri
lakukan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pengertian audit expectation gap adalah perbedaan persepsi
antara auditor dan pemakai laporan keuangan.

B. Tinjauan Empiris
Penelitian-penelitian sebelumnya telah menyelidiki adanya audit
expectation gap dalam berbagai konteks di Inggris, Amerika Serikat,
Australia, Selandia Baru, Singapura dan negara lainnya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bukti keberadaan audit expectation gap sangat
substansial. Baron et al. (1977), misalnya, menemukan perbedaan yang
signifikan di Amerika Serikat antara auditor dan pengguna laporan
keuangan

yang

berkaitan

dengan

tanggung

jawab

auditor

untuk mengungkap tindakan ilegal. Lowe (1994) membandingkan antara

50

auditor dan sikap terhadap profesi audit di Amerika Serikat. Ditemukan


bahwa terdapat expectation gap antara auditor dan hakim. Epstein dan
Geiger (1994) melakukan penelitian pada para investor Amerika Serikat
dan menemukan bahwa mereka percaya auditor pada tingkat keyakinan
yang lebih tinggi (mutlak), dan menganggap, bahwa salah saji material
merupakan jaminan tidak masuk akal. Mereka menunjukkan bahwa
sebagian gap dapat dipersempit dengan mendidik masyarakat tentang
peran dan keterbatasan dari audit. Frank et al. (2001) menemukan besar
perbedaan dalam persepsi auditor AS dan juri yang berkaitan dengan
harapan mereka terhadap profesi akuntansi. Koh dan Woo (1998)
menyarankan

bahwa

penelitian

sebelumnya

kesenjangan harapan substansial dalam audit.

didukung

adanya

Penelitian mereka

ini menarik, mengingat fakta jika mereka mengakui bahwa kesenjangan


harus ditangani melalui penurunan harapan publik dengan meningkatkan
kinerja

auditor.

McEnroe

dan

Martens

(2001)

juga

menemukan

kesenjangan harapan antara auditor dan investor pada item seperti


tanggung jawab untuk deteksi penipuan dan

pelaporan. Mereka

berpendapat bahwa pendidikan adalah kunci untuk mempersempit


kesenjangan. Humphrey et al. (1993) menetapkan adanya kesenjangan
harapan di Inggris. Kesenjangan ada di beberapa daerah termasuk peran
auditor dalam kaitannya dengan penipuan deteksi dan sejauh mana
tanggung jawab auditor kepada pihak ketiga. Lowest (1980) juga
mengungkapkan adanya kesenjangan harapan di Australia. Ditemukan

51

bahwa auditor dan non-auditor berbeda secara signifikan dalam persepsi


mereka mengenai hal-hal seperti deteksi penipuan. Penelitian Chowdhury
et al. (2005) mencoba untuk menemukan bukti adanya audit expectation
gap di Bangladesh. Responden yang dituju adalah auditor yang disebut
Comptroller Auditor Generals (CAG) dan anggota parlemen yang disebut
Comptroll Public Account Committee (PAC) dan lembaga internal yang
mengelola uang publik yang disebut International Funding Agencies
(IFAs). Penelitian ini menemukan bahwa ada expectation gap antara CAG
dan PAC serta CAG dan IFAs.
Di Indonesia, penelitian mengenai expectation gap di sektor publik
masih sangat kurang. Nugroho (2004) menemukan bukti terdapat
perbedaan persepsi antara auditor pemerintah dengan pemakai laporan
keuangan auditan pemerintah, antara pemakai laporan keuangan auditan
sektor privat dengan pemakai laporan keuangan pemerintah, tetapi tidak
ada perbedaan persepsi antara pemakai laporan keuangan pemerintah di
sektor pemerintahan daerah satu dengan pemakai laporan keuangan
pemerintah daerah lain, hal ini di karenakan tingkat pendidikan anggota
DPRD satu daerah dengan daerah lain relatif sama. Penelitian yang sama
juga dilakukan oleh Yuliati et al. (2007) dengan menggunakan responden
auditor pemerintah dan pengguna laporan keuangan daerah yaitu
pemerintah daerah dan anggota dewan.
Beberapa penelitian sebelumnya mengenai audit expectation gap
dapat disimpulkan di bawah ini:

52

Tabel 2.1
Penelitian-penelitian terdahulu mengenai audit expectation gap
Peneliti

Hasil

Bailey et al., 1983;


Epstein&Geiger,1994;
Nair & Rittenberg,
1987;Kelly&
Mohrweis,1989; Miller
et al., 1990)

pengetahuan dari pengguna berpengaruh


terhadap besarnya ukuran expectation gap &
faktor komunikasi informasi yang diberikan oleh
auditor dalam bentuk laporan audit terhadap
pengguna juga mempunyai pengaruh terhadap
expectation gap

Humprey et al., (1993)

Survei mengungkapkan suatu perbedaan yang


signifikan antara auditor dan responden dalam
persepsi mereka atas sifat alami auditing

Gramling, Schatberg &


Wallace (1996)

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa


persepsi sehubungan dengan pernyatan
tentang proses audit serta peran dan
tanggungjawab auditor berubah setelah
mahasiswa menyelesaikan studi auditingnya,
tetapi persepsi yang berbeda masih tetap ada
antara auditor dengan mahasiswa yang telah
menyelesaikan studi auditing tersebut.

Koh & Woo (1998) &


Best et al., (2001)

menemukan adanya audit expectation gap di


Singapura.

Leif Hojskov (1998)

dengan menggunakan responden antara


auditor dan pengguna laporan keuangan
menemukan adanya expectation gap di
Denmark

Best et al., (2001)

terdapat audit expectation gap di Singapura

Winarna dan
Rahmawati (2003)

terdapat expectation gap di Indonesia, hal ini


dapat dikurangi melalui pengajaran mata kuliah
auditing secara efektif

Fadzly & Ahmad (2004) mengembangkan literatur yang berkaitan


dengan permasalahan luasnya expectation gap
melalui pemberian bukti atas expectation gap di
Malaysia. Penelitian dilakukan terhadap para

53

auditor dan pengguna utama laporan keuangan


Lin & Chen (2004)

menemukan bukti empiris adanya audit


expectation gap di China. Mereka
menggunakan sektor bisnis dan lingkungan
audit

Krisnanto Adi Nugroho


(2004)

menemukan bahwa ada expectation gap


diprofesi pengauditan pemerintahan yang
memiliki karakteristik yang berbeda dengan
expectation gap sektor privat

Chowdhury et al.,
(2005)

bahwa ada expectation gap antara CAG dan


PAC serta CAG dan IFAs.

Al-Tawaijri (2006)

menemukan audit expectation gap di negara


berkembang yaitu Saudi Arabia. Dengan
menggunakan wawancara terhadap beberapa
perusahaan

Dixon et al., (2006)

Penelitian ini mengungkap bahwa di Mesir juga


ditemukan expectation gap antara auditor dan
investor. Antara auditor dan pengguna laporan
keuangan mempunyai pandangan yang
berbeda mengenai tanggungjawab dari
perusahaan akuntansi yang independen dalam
menyajikan laporan keuangan

Yusuf Munir Sidani


(2007)

menemukan adanya expectation gap di


Lebanon

Yuliati et al., (2007)

terdapat expectation gap antara pemakai


laporan keuangan pemerintah dan auditor
pemerintah mengenai peran dan tanggung
jawab auditor pemerintah
ada expectation gap antara auditor BPK
dengan pengguna laporan keuangan daerah
dari sisi pelaporan, akuntabilitas dan konsep
audit di Kalimantan Barat.

Rusliyawati dan Abdul


Halim (2007)

Lee, Gloeck dan


Palaniappan (2007);
Fadzly dan Ahmad

terdapat expectation gap di Malaysia

54

(2004)
Mahadevaswamy dan
Salehi (2008)

terdapat audit expectation gap di India dan Iran

Saha dan Debananda


(2008)

menunjukkan bahwa audit expectation gap di


India bukan merupakan hasil dari aspek
tunggal, melainkan dari berbagai aspek

Salehi, Mansoury dan


Azary (2009)

ada expectation gap antara auditor dan


investor mengenai status independensi di Iran

Siddiqui, Nasreen dan


Choudhury (2009)

pengajaran auditing dapat mengurangi


expectation gap di Bangladesh

Salehi dan Rostami


(2009)

audit expectation gap timbul karena adanya


harapan pengguna yang terlalu tinggi mengenai
fungsi auditor dan kurangnya pengetahuan
tentang peran dan tanggung jawab auditor

Ebimobowei dan
Oyadonghan (2011)

terdapat hubungan yang signifikan antara audit


expectation gap dan auditor internal dalam
pencegahan penyalahgunaan keuangan di
Nigeria

Salehi (2011)

terdapat expectation gap antara auditor dan


berbagai kelompok pengguna mengenai profesi
audit secara keseluruhan

Penelitian mengenai

laporan keuangan daerah yang mungkin

menimbulkan expectation gap antara lain dilakukan oleh Indriani (2002)


yang membuktikan bahwa pengetahuan anggaran berpengaruh secara
signifikan terhadap pengawasan keuangan daerah yang dilakukan oleh
dewan. Sementara Pramono (2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor
yang menghambat fungsi pengawasan adalah minimnya kualitas sumber
daya manusia dan kurangnya sarana dan prasarana. Rusliyawati dan
Halim (2007) juga membuktikan bahwa ada expectation gap antara

55

auditor BPK dengan pengguna laporan keuangan daerah dari sisi


pelaporan, akuntabilitas dan konsep audit di Kalimantan Barat.
Penelitian yang menguji apakah partisipasi masyarakat dan
transparansi kebijakan publik akan meningkatkan fungsi pengawasan
yang dilakukan oleh dewan pernah dilakukan oleh Sopanah (2002),
Coryanata (2007), Simson et al. (2007) serta Jaka dan Winarni (2007).
Penyusunan laporan keuangan daerah oleh pemerintah daerah juga
menjadi salah satu hal yang penting dalam terciptanya pemerintah yang
akuntabel dan transparan. Pemda memegang peranan penting dalam
penyusunan laporan keuangan daerah. Kesiapan sumber daya untuk
penyusunan laporan keuangan sangat dibutuhkan. Penelitian hal ini
dilakukan oleh Ria dan Fidelis (2004) yang menemukan bahwa sumber
daya sub bagian akuntansi masih kurang, pelatihan-pelatihan konsep
akuntansi juga masih sangat kurang sehingga mengakibatkan lack of
knowledge semakin besar.

56

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

A.

Kerangka Konseptual

Berdasarkan uraian sebelumnya, landasan teori yang digunakan


untuk menyusun kerangka pemikiran didasarkan pada grand theory yaitu
theory agency yang mengkaji perilaku-perilaku dari principal dan agen
yang menyelenggarakan aktivitas instansi pemerintah.
Sedangkan teori-teori pendukung yang digunakan dalam penelitian
ini adalah expectancy theory, auditing, dan creative accounting. Teori
ekspektasi yang dikemukakan oleh Binberg et al. (2007) menyatakan
bahwa seorang auditor berusaha untuk memenuhi harapan pengguna
laporan keuangan dengan memaksimalkan kinerjanya.
Mautz dan Sharaf dalam Tuanakota (2011:52) menjelaskan bahwa
auditing berhubungan dengan verification (memeriksa keakuratan atau
ketelitian), pemeriksaan data keuangan untuk menilai kejujurannya dalam
mencerminkan peristiwa dan kondisi. Lebih lanjut dikatakan bahwa
verification harus menerapkan teknik dan metode pembuktian.

57

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka untuk

menguji

pengaruh dari masing-masing variabel, maka dikembangkan kerangka


konseptual yang terdiri dari tiga tahap, sebagai berikut.

57

Gambar 1
Kerangka Konseptual
1. Menguji

pengaruh

langsung

variabel

akuntabilitas,

creative

accounting, dan konsep audit terhadap laporan hasil pemeriksaan.


2. Menguji pengaruh langsung variabel
akuntabilitas, creative
accounting, dan konsep audit terhadap audit expectation gap.
3. Menguji pengaruh tidak langsung, yaitu pengaruh akuntabilitas,
creative accounting, dan konsep audit terhadap audit expectation gap
melalui laporan hasil pemeriksaan.
B. Hipotesis
Hipotesis adalah hubungan yang diduga secara logis antara dua
variabel atau lebih dalam rumusan proposisi yang dapat diuji secara
empiris (Indiriantoro dan Supomo, 1999). Sebagai titik tolak dalam

58

pengembangan hipotesis, perlu dikemukakan penelitian-penelitian yang


mendukung dan mendasari dibentuknya hipotesis.
1. Pengaruh langsung akuntabilitas, creative accounting
konsep audit, terhadap laporan hasil pemeriksaan.

dan

Menurut Waterman dan Meier (1998) dalam Damayanti (2010),


teori agency dari perspektif politik ekonomi mengkritisi asumsi yang
menjadi permasalahan model hubungan keagenan konvensional, yaitu
konflik kepentingan dan asimetri informasi.

Mereka mengembangkan

asumsi permasalahan dalam kerangka kerja teoritis yang lebih luas, yaitu
dari sudut pandang politik, birokrasi dan anggaran. Untuk itu, tujuan dari
pelaporan keuangan sektor publik seharusnya adalah untuk menyediakan
informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan dan untuk
menunjukkan akuntabilitas suatu entitas dalam menangani sumber daya
yang dibebankan kepadanya (IFAC, 2000; Henley et al., 1990; Freeman,
2004). Akuntabilitas
prinsip-prinsip

adalah

pemerintahan,

instrumen
hukum,

yang

menunjukkan apakah

keterbukaan,

transparansi,

keberpihakkan dan kesamaan di hadapan hukum telah dihargai atau


tidak. Suatu akuntabilitas tidak abstrak tapi kongkret dan harus ditentukan
oleh hukum melalui seperangkat prosedur yang sangat spesifik mengenai
masalah apa saja yang harus dipertanggungjawabkan (Wulandari, 2010).
Terwujudnya akuntabilitas merupakan tujuan utama dari reformasi
sektor publik. Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembagalembaga sektor publik untuk lebih menekankan pada pertanggungjawaban

59

horizontal maupun vertikal (Mardiasmo, 2009:21). Penelitian yang menguji


hubungan antara akuntabilitas dengan laporan hasil pemeriksaan
dilakukan oleh: Adam dan Evans (2004), Gold (2009), Chowdhury et al.
(2005), CUI-ITB (2005), Rusliyawati dan Halim (2007), Fadzly dan Ahmad
(2004), Coryanata (2007), dan Al-Qarni (2004).
Penelitian Adam dan Evans (2004) berfokus pada standar
akuntabilitas (AA1000) dan standar jaminan (AA1000S), mereka menguji
akuntabilitas, kelengkapan dan kredibilitas laporan. Hasilnya menunjukkan
bahwa dalam menjamin akuntabilitas laporan keuangan, sebaiknya
laporan keuangan memenuhi prinsip-prinsip penjaminan kualitas, antara
lain: harus lengkap, ruang lingkupnya menggambarkan semua kegiatan,
inklusif, responsif, serta keandalan bukti dan informasi. Penelitian
Chowdhury et al. (2005) menunjukkan bahwa laporan CAG merupakan
mekanisme yang efektif untuk menjamin akuntabilitas sektor publik.
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
H1: Akuntabilitas berpengaruh positif terhadap opini laporan hasil
pemeriksaan.
Tahun 2014 standar akuntansi pemerintahan mulai mengacu pada
SAP berbasis akrual dalam PP Nomor 71 tahun 2010. Laporan keuangan
pemerintah (termasuk pemerintah daerah) terdiri atas :
1.
2.
3.
4.
5.

Laporan Realisasi Anggaran,


Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih,
Neraca,
Laporan Operasional,
Laporan Perubahan Ekuitas,

60

6. Laporan Arus Kas dan,


7. Catatan Atas Laporan Keuangan
Adapun karakteristik kualitatif laporan keuangan merupakan atribut
yang menjadikan informasi dalam laporan keuangan bermanfaat bagi para
penggunanya. Empat karakteristik utama adalah relevan, dapat dipahami,
keterandalan dan dapat diperbandingkan (IAI, 2004; IFAC, 2000; Komite
Standar Akuntansi Pemerintahan, 2005).
Penyusunan

laporan

keuangan

pemerintah

daerah

yang

berdasarkan pada SAP berbasis akrual membutuhkan kemampuan untuk


mengimplementasikan berbagai teknik dan kebijakan akuntansi untuk
kepentingan penyajian laporan keuangan. Kemampuan inilah yang biasa
disebut

creative

Sulistiawan

accounting

menyatakan

(Sulistiawan,

bahwa,

2011:23).

creative

Lebih

accounting

lanjut

bukanlah

pengetahuan baru, melainkan hanyalah kumpulan teknik dan kebijakan


akuntansi yang telah ada.
Penelitian-penelitian

tentang

creative

accounting

dalam

hubungannya dengan opini laporan hasil pemeriksaan telah banyak


dilakukan, khususnya pada sektor privat, yaitu penelitian yang dilakukan
oleh Amat dan Gowthorpe (2004), Ghost (2010), Vladu dan Matis (2010),
Okoye dan Alao (2008), Hagen dan Wolff (2004), dan Ali Shah et al.
(2011), sedangkan penelitian pada sektor publik yaitu penelitian Benito et
al. (2011)

61

Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan dan dukungan


dari peneliti-peneliti sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis dalam
penelitian ini, yaitu :
H2:

Creative accounting berpengaruh positif terhadap opini laporan


hasil pemeriksaan
Mautz dan Sharaf dalam Tuanakota (2011:54) menyatakan bahwa

konsep-konsep utama dalam auditing, yakni evidence, due audit care, fair
presentation, independence dan ethical conduct. Lebih lanjut, Mautz dan
Sharaf menjelaskan bahwa secara umum ada 3 (tiga) jenis bukti, yakni:
natural evidence (bukti alamiah), created evidence (bukti yang diciptakan),
dan rational argumentation (gagasan/ide yang logis). Ketiga kelompok
bukti tidak memiliki kekuatan yang sama dalam alam pikiran manusia.
Due audit care atau kehati-hatian dalam melaksanakan audit diukur
dengan menggunakan kode etik dan standar audit.
Penelitian Chowdhury et al. (2005) di Bangladesh menggunakan 6
(enam) konsep audit, yaitu: independensi, kompetensi, materialitas, bukti
audit, pendapat wajar dan audit kinerja. Konsep ini diadopsi dari
Comptroller Auditor Generals (CAG) pada sektor publik di Bangladesh.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan dalam persepsi antara auditor CAG dengan masing-masing dari
dua kelompok pengguna, yaitu anggota PAC dan perwakilan IFA.
Penelitian yang sama dilakukan oleh

Rusliyawati dan Halim (2007),

62

Coryanata (2007), Dixon dan Woodhead (2006), Fadzly dan Ahmad


(2005), Mahadevaswamy dan Salehi (2008) dan Al-Qarni (2004).
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskanlah hipotesis dalam
penelitian ini, yaitu:
H3: Konsep audit berpengaruh positif terhadap opini laporan hasil
pemeriksaan
2. Pengaruh langsung akuntabilitas, creative accounting
konsep audit, terhadap audit expectation gap.
Menurut

Adam

dan

Evans

(2004),

akuntabilitas

dan

bertujuan

menetapkan standar hanya untuk pelaporan kinerja. Niatnya yang lebih


luas adalah membantu perusahaan dan stakeholder yang terkait,
memberikan lebih besar tanggung jawab sosial, ekonomi dan lingkungan
dalam melakukan bisnis. Harapan para penyusun laporan akan berbeda
dengan para pengguna laporan sehingga menimbulkan audit expectation
gap.
Chowdhury et al. (2005), menyatakan bahwa terdapat audit
expectation gap, antara auditor CAG dengan kelompok pengguna IFA
dengan PAC dalam hal akuntabilitas pelaporan keuangan. Hal ini
disebabkan karena auditor CAG setuju bahwa laporan mereka menjamin
akuntabilitas sektor publik dibandingkan anggota PAC. Perbedaan
persepsi yang signifikan antara kedua kelompok ditemukan dalam
kaitannya

dengan

apakah

kebutuhan

informasi

pengguna

turut

diperhitungkan. Auditor CAG sepakat jika mereka merespon kebutuhan

63

informasi dari anggota PAC. Sebaliknya anggota PAC tidak yakin hal ini
terjadi. Mengingat fakta, adanya tatap muka langsung antara auditor CAG
dan

anggota

PAC

pada

rapat

PAC,

hal

ini

dapat

dipandang sebagai temuan yang mengejutkan. Ini yang diharapkan


anggota PAC dan memastikan bahwa auditor CAG sepenuhnya
menyadari kebutuhan informasi mereka.
Penelitian yang menguji hubungan antara akuntabilitas dengan
audit expectation gap juga dilakukan oleh Rusliyawati dan Halim (2007),
Fadzly dan Ahmad (2004), Coryanata (2007), dan Al-Qarni (2004).
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskanlah hipotesis dalam
penelitian ini, yaitu:
H4:

Akuntabilitas berpengaruh positif terhadap audit expectation gap


Di Indonesia, Menteri Keuangan membentuk Komite Standar

Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah yang bertugas menyusun


konsep standar akuntansi pemerintah pusat dan daerah yang tertuang
dalam KMK No.308/KMK.012/2002. Undang-Undang Nomor 17 tahun
2003

tentang

Keuangan

Negara

mengamanatkan

agar

laporan

pertanggungjawaban APBN/APBD harus disusun dan disajikan sesuai


dengan standar akuntansi pemerintahan, dan standar tersebut disusun
oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara kembali mengamanatkan penyusunan laporan

64

pertanggungjawaban pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan


standar akuntansi pemerintahan, bahkan mengamanatkan pembentukan
komite yang bertugas menyusun standar akuntansi pemerintahan dengan
keputusan presiden. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sebagai
salah satu elemen penting reformasi akuntansi pemerintahan di Indonesia
akhirnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005
pada tanggal 13 Juni 2005, yang kemudian direvisi kembali hingga
diterbitkannya Standar Akuntansi Berbasis Akrual dalam Peraturan
Pemerintah No 71 tahun 2010. Standar akuntansi pemerintahan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 yang telah
disusun merupakan pedoman bagi pemerintah untuk penyusunan laporan
keuangannya. Namun setelah beberapa tahun ditetapkan, masih ada
pemerintah daerah yang belum mampu menerapkannya dengan baik. Hal
ini dapat diketahui dari masih adanya pemerintahan daerah yang belum
mampu menyusun laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi
berterima umum (PABU) dan diberikan opini audit wajar dengan
pengecualian atau tidak wajar, maupun tidak memberikan opini oleh BPK
(Fitriani dan Yuliana, 2010).
Akibatnya, terdapat audit expectation gap antara auditor dan
pengguna laporan keuangan (Koh dan Woo,1998; Best et al., 2001; Leif
Hojskov 1998; Lin dan Chen, 2004; Al-Tawaijri, 2006, Dixon et al., 2006;
Sidani, 2007; Chowdhury et al., 2005). Hal ini disebabkan karena antara
auditor dan pengguna laporan keuangan memunyai pandangan yang

65

berbeda mengenai tanggung jawab dari akuntan yang independen dalam


menyajikan laporan keuangan (Dixon et al., 2006; Chowdhury et al.,
2005).
Pengetahuan dari pengguna berpengaruh terhadap besarnya
ukuran expectation gap dan faktor komunikasi informasi yang diberikan
oleh auditor dalam bentuk laporan hasil pemeriksaan (Bailey et al., 1983;
Epstein dan Geiger,1994; Nair dan Rittenberg, 1987; Kelly dan Mohrweis,
1989; Miller et al., 1990). Perbedaan pengetahuan dan pendidikan yang
dimiliki

pengguna

laporan

keuangan

akan

menyebabkan

adanya

perbedaan yang signifikan antara auditor dan responden dalam persepsi


mereka atas sifat alami auditing (Humprey et al., 1993; Chowdhury et al.,
2005; Koh dan Woo,1998; Best et al., 2001; Leif Hojskov 1998; Lin dan
Chen, 2004; Al-Tawaijri, 2006, Dixon et al., 2006; Sidani, 2007;
Chowdhury et al., 2005).
Hal ini juga diperkuat oleh penelitian (Nugroho, 2004; Chowdhury et
al., 2005) bahwa expectation gap diprofesi pengauditan pemerintahan
memiliki karakteristik yang berbeda dengan expectation gap sektor privat.
Hal ini disebabkan karena antara auditor dan pengguna laporan keuangan
memunyai pandangan yang berbeda mengenai tanggung jawab dari
perusahaan akuntansi yang independen dalam menyajikan laporan
keuangan (Dixon et al., 2006; Chowdhury et al., 2005)
Kekurangpahaman dan keengganan masyarakat untuk mengetahui
pentingnya fungsi dari laporan keuangan daerah juga akan menimbulkan

66

perbedaan persepsi antara masyarakat dengan auditor BPK. Hasil audit


terhadap laporan keuangan daerah oleh auditor BPK tidak akan bisa
dimengerti oleh masyarakat, selama masyarakat masih beranggapan
bahwa laporan keuangan daerah hanya diperuntukkan bagi orang
akuntansi dan keuangan saja. Hal seperti inilah yang bisa menimbulkan
perbedaan persepsi, sehingga menimbulkan expectation gap antara
auditor dan pengguna laporan keuangan daerah (Rusliyawati dan Halim,
2007).
Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan dan dukungan
dari peneliti-peneliti sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis dalam
penelitian ini, yaitu :
H5: Konsep audit berpengaruh positif terhadap audit expectation gap.
H6: Creative accounting berpengaruh positif terhadap audit expectation
gap.
H7: Opini laporan hasil pemeriksaan berpengaruh positif terhadap audit
expectation gap
3. Pengaruh tidak langsung variable akuntabilitas, creative
accounting dan konsep audit terhadap audit expectation gap
melalui opini laporan hasil pemeriksaan.
Penyampaian pesan oleh auditor melalui laporan hasil pemeriksaan
kepada pengguna laporan keuangan auditan sangat memungkinkan
terjadinya persepsi antara keduanya. Hal ini menunjukkan jika pesan yang
disampaikan oleh auditor telah disalah artikan oleh pengguna, sehingga
laporan hasil pemeriksaan dapat menimbulkan kesalahan pada saat
digunakan sebagai alat dalam pengambilan keputusan.

67

Menurut

Gramling,

Schatzberg,

dan

Wallace

(1996)

audit

expectation gap adalah perbedaan harapan antara publik atau pengguna


laporan keuangan dan auditor mengenai peran dan tanggung jawab
auditor. Expectation gap adalah isu yang akan selalu ada sampai
kapanpun praktek auditing berlangsung.
Kesadaran akan expectation gap bukanlah sesuatu tanpa alasan
dan hanya sekedar kesadaran tanpa tindak lanjut, karena expectation gap
tidak membawa kerugian yang sedikit bagi banyak pihak. Alternatif
pengurangan expectation gap telah banyak dirumuskan, akan tetapi
efektivitas aplikasinya masih dipertanyakan. Berbagai alternatifnya antara
lain dengan pembenahan standar yang lebih akomodif terhadap harapan
publik,

IAI

pun

telah

melaksanakannya

dengan

perubahan

dan

penyempurnaan standar (Yeni, 2000 dalam Winarna et al. 2003)


Expectation gap tentang peran dan tanggung jawab auditor dapat
dilihat dari berbagai sudut atau permasalahan khusus. Guy and Sullivan
(1988) menyebutkan adanya perbedaan harapan masyarakat dengan
auditor dalam hal :
1. Deteksi kecurangan dan tindakan illegal
2. Perbaikan keefektifan audit, dan
3. Komunikasi yang lebih intensif dengan masyarakat dan komite audit.
Humphrey et al. (1993) menyatakan bahwa audit expectation gap
konsisten berpusat pada sejumlah isu abadi dalam auditing, yakni: peran
dan tanggung jawab auditor, sifat dan arti pesan dari laporan hasil

68

pemeriksaan, kualitas fungsi audit dan struktur dan regulasi profesi.


Monroe dan Woodliff (1993) memisahkan masalah yang terkait dengan
audit expectation gap menjadi 3 (tiga) hal, yaitu: tanggung jawab auditor,
keandalan laporan keuangan yang diaudit, dan prospek dari entitas yang
diaudit. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Best
et

al.

(2001)

dan

Schelluch

(1996),

hanya

saja

mereka

mengelompokkannya menjadi tanggung jawab, kehandalan dan kegunaan


laporan hasil pemeriksaan.
Penelitian terdahulu menyangkut audit expectation gap di
Indonesia pada sektor privat sudah banyak dilakukan (Yuliati et al., 2007)
Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Yeni (2000) dalam
Yuliati et al., (2007) yang mengembangkan isu yang dikembangkan oleh
Guy dan Sullivan (1998), menyimpulkan jika terdapat perbedaan persepsi
antara pemakai laporan keuangan, auditor dan mahasiswa akuntansi
mengenai peran dan tanggung jawab auditor dalam isu tanggung jawab
auditor terhadap fraud, independensi tanggung jawab illegal act klien, dan
perbaikan keefektifan audit. Sedangkan untuk komunikasi hasil audit tidak
terjadi perbedaan yang cukup signifikan.
Sedangkan penelitian mengenai audit expectation gap pada
sektor publik, dapat dikatakan masih sedikit. Nugroho (2004) dalam Yuliati
et al., (2007) melakukan penelitian tentang keberadaan expectation gap
antara auditor pemerintah dengan pemakai laporan keuangan auditan
pemerintah, antara pemakai laporan keuangan auditan pemerintah di

69

daerah satu dengan daerah lainnya. Hasil penelitiannya menunjukkan


bahwa terdapat perbedaan persepsi antara auditor pemerintah dengan
pemakai laporan keuangan auditan pemerintah, dan tidak terdapat
perbedaan

persepsi

antara

pemakai

laporan

keuangan

auditan

pemerintah di daerah satu dengan daerah lainnya.


Penelitian Yuliati et al., (2007) menyangkut expectation gap antara
pemakai laporan keuangan pemerintah dan auditor pemerintah dalam hal
peran

dan

tanggung

jawab

auditor mendeteksi dan

melaporkan

kecurangan, memertahankan sikap independensi, mengkomunikasikan


hasil audit dan memerbaiki keefektifan audit. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa tidak terdapat expectation gap antara pemakai dan
auditor mengenai peran dan tanggung jawab auditor mendeteksi dan
melaporkan kecurangan, serat memertahankan sikap independensi. Tetapi
terdapat expectation gap dalam mengkomunikasikan hasil audit dan
memerbaiki keefektifan audit.
Rusliyawati

dan

Halim

(2007),

penelitiannya

menyangkut

expectation gap antara BPK dan pengguna laporan keuangan daerah


dilihat dari sudut pandang laporan audit dan proses pelaksanaan audit.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi
antara BPK dan pengguna laporan keuangan daerah dilihat dari sisi
pelaporan, akuntabilitas dan konsep-konsep audit.
Berdasarkan kerangka pemikiran dan peneliti-peneliti sebelumnya,
maka dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini, yaitu :

70

H8: Akuntabilitas, creative accounting dan konsep audit berpengaruh


secara tidak langsung terhadap audit expectation gap melalui opini
laporan hasil pemeriksaan.

BAB IV
METODE PENELITIAN

a.

Rancangan Penelitian

71

Rancangan penelitian adalah semua proses yang dilakukan dalam


perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Menurut Sekaran dan Bowgie
(2009:102) bahwa rancangan penelitian terdiri dari tujuan penelitian, jenis
investigasi, intervensi peneliti, study setting, unit analisis, dan time
horizon. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kuantitatif, yang
menggunakan metode analisis jalur (path analysis), untuk menganalisis
pengaruh langsung, tidak langsung dan simultan antar variabel awal,
variabel mediasi, dan variabel outcome.
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode survey dan bersifat non eksperimental. Sedangkan
jenis penelitian yang dilakukan adalah explanatory research, yang
menjelaskan hubungan kausal dan korelasional antar variabel melalui
pengujian hipotesis. Pada metode survei, data dikumpulkan dari para
responden dengan menggunakan kuesioner. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer, yaitu data diperoleh melalui kuesioner
yang langsung disebarkan kepada auditor BPK, anggota DPRD, pegawai
pemerintah daerah dan masyarakat.

b.

Objek Penelitian
72

Menurut Arikunto (1998:15), variabel adalah objek penelitian atau


apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian, sedangkan tempat
dimana variabel melekat merupakan subjek penelitian. Merujuk pada
pendapat tersebut maka yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah

72

terdapat audit expectation gap antara auditor dan pengguna laporan


keuangan daerah dilihat dari penerapan akuntabilitas, creative accounting
dan konsep audit atas opini laporan hasil pemeriksaan. Penelitian
dilakukan terhadap para responden yang ada di Provinsi Sulawesi
Selatan, meliputi auditor BPK, anggota DPRD, pegawai pemerintah
daerah dan masyarakat.

C. Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas:
objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan

oleh

kesimpulannya

peneliti

untuk

(Sugiyono,

dipelajari

2010:389).

dan

kemudian

Populasi

ditarik

penelitian

ini

dikelompokkan sebagai berikut :


1.

Auditor yaitu para auditor yang bekerja pada kantor perwakilan BPKRI di Provinsi Sulawesi Selatan

2.

Pengguna laporan hasil pemeriksaan meliputi:

a.

Para anggota DPRD di Provinsi Sulawesi Selatan

yang masuk

dalam komisi C dan Panitia Anggaran. Anggota dewan komisi C dan


panitia anggaran adalah anggota-anggota DPRD yang terlibat
langsung dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
b.

Para pegawai Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan


Aset Daerah (DPPKAD) Provinsi Sulawesi Selatan.

73

c.

Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan, yang diwakili oleh para


akademisi (IAPd) dan auditor Kantor Akuntan Publik (KAP).

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki


oleh populasi. Metode penarikan sampel yang digunakan adalah
purposive sampling method, yaitu teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010:122).
1.

Auditor yang bertugas pada kantor perwakilan BPK-RI di Provinsi


Sulawesi Selatan, minimal telah bertugas selama 1 (dua) tahun.

2.

Anggota DPRD di Provinsi Sulawesi Selatan yang diwakili oleh


komisi C bidang keuangan sebanyak 13 orang dan panitia anggaran
sebanyak 27 orang.

3.

Pegawai Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset


Daerah (DPPKAD) Provinsi Sulawesi Selatan khususnya bagian
keuangan.

4.

Para akademisi Ikatan Akuntan Pendidik (IAPd), dan auditor Kantor


Akuntan Publik (KAP) meliputi manager dan auditor senior.

D. Definisi Operasionalisasi dan Pengukuran Variabel


Operasionalisasi variabel mencakup tahapan-tahapan sebagai
berikut :
1.

Pengidentifikasian variabel eksogen dan variabel endogen.

2.

Penjabaran variabel independen dan variabel dependen ke dalam

74

masing-masing sub variabelnya.


3.

Penjabaran masing-masing sub variabel ke dalam indikatorindikatornya.


Setelah dijabarkan menjadi indikator-indikatornya, maka kemudian

indikator-indikator tersebut digunakan sebagai pedoman untuk membuat


pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner.

Setiap indikator dari variabel

penelitian ini dijabarkan ke dalam sebuah pertanyaan tertutup dan


menuangkannya dalam daftar pertanyaan. Teknik pengukuran yang
digunakan untuk mengubah data kualitatif dari kuesioner menjadi suatu
data kuantitatif adalah Summated Rating Method: The Likert Scale, yang
merupakan suatu pengukuran skala ordinal. Sebagian instrumen yang
digunakan adalah instrumen yang telah dipakai Chowdhury et.al., (2005)
dengan

skala

Likert

tujuh

poin

dengan

menunjukkan

"sangat setuju" dan 7 menunjukkan "sangat tidak setuju", namun peneliti


hanya menggunakan skala Likert lima poin dengan 1 menunjukkan tidak
setuju dan angka 5 menunjukkan sangat setuju.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Akuntabilitas (X1), creative accounting (X2) dan konsep audit (X3)


yang merupakan variabel eksogen.

2.

Opini laporan hasil pemeriksaan (Y1) merupakan variable endogen


intervening dan audit expectation gap (Y2) sebagai variabel endogen
dependen.

75

Berikut ini akan dijelaskan batasan variabel penelitian dan


indikatornya beserta skala pengukuran yang digunakan, seperti dalam
tabel 4.1 berikut :
Tabel 4.1
Operasionalisasi Variabel
VARIABEL

KONSEP VARIABEL

Akuntabilitas

Akuntabilitas publik adalah

(X1)

kewajiban pihak pemegang

SUB
VARIABEL

INDIKATOR

1.

Tepat

SKALA

waktu

dan 1.Ordinal

jelas

amanah (agent) untuk

2.

memberikan pertanggungjawaban,

2.Ordinal
Format

mudah

3.Ordinal

dipahami

menyajikan, melaporkan dan


3.

mengungkapkan segala aktivitas

Menjamin
akuntabilitas publik

dan kegiatan yang menjadi


tanggung jawabnya kepada pihak
pemberi amanah (principal) yang
memiliki hak dan kewenangan
untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut
(Mardiasmo, 2009)
Creative
Accounting
(X2)

Creative accounting menurut Amat,

1.

Mengubah metode

1.Ordinal

2.

akuntansi
Membuat estimasi

2.Ordinal

3.

Akuntansi
Mengubah periode

4.
5.

pengakuan
Mereklasifikasi akun
Mereklasifikasi akrual

Blake dan Dowd (1999) adalah


sebuah proses dimana beberapa
pihak menggunakan kemampuan
pemahaman pengetahuan
akuntansi (termasuk didalamnya
standar, teknik dan sebagainya) dan

3.Ordinal
4.Ordinal
5.Ordinal

menggunakannya untuk
memanipulasi pelaporan keuangan
Konsep Audit

Konsep audit merupakan suatu

Independensi

1. Tidak memihak

1. Ordinal

(X3)

istilah yang digunakan untuk ide

(X3a)

2. Sikap mental yang

2. Ordinal

bidang audit yang berasal dari


dan

dipertimbangkan

objektive

sebagai

3. Menghindari pertentangan

bagian dari beberapa hal yang


diobservasi
pemikiran
1980)

dengan
(Mautz

3. Ordinal

kepentingan

pemikiran-

and

Sharaf,

Kompetensi
(X3b)

1. Sertifikat/Ijazah
2. Keikutsertaan dalam
3.
4.
5.
6.

pelatihan
Simposium dalam negeri
Simposium luar negeri
Pelatihan dalam negeri
Pelatihan luar negeri

1. Ordinal
2. Ordinal
3.Ordinal
4.Ordinal
5.Ordinal

76

1.
Materialitas
(X3c)

Kekeliruan karena

mengunakan estimasi
2.
Pengukuran lingkup

6.Ordinal
1.Ordinal

audit
3.

Jumlah maksimun
kemungkinan terdapat

2.Ordinal
3.Ordinal

kekeliruan
1. Waktu dan biaya dalam
Bukti audit

1.Ordinal

proses audit
2. Lingkup audit yang

(X3d)

memengaruhi proses

2.Ordinal

pengumpulan bukti.
3. Kebutuhan informasi yang
dirasakan pengguna

3.Ordinal

memengaruhi proses
pengumpulan bukti.
1. Laporan keuangan yang
disajikan telah sesuai
Berterima Umum (PABU).

wajar (X3e)

Audit kinerja

1.Ordinal

dengan Prinsip Akuntansi

Pendapat
1.

Efisiensi dan efektivitas dari

2.

operasi
Keefektifan

hasil

yang

1. Ordinal

dicapai.
2. Ordinal

(X3f)
Opini

Laporan hasil pemeriksaan harus

Wajar Tanpa

1. Bukti pemeriksaan cukup

Laporan

menyatakan bahwa pemeriksaan

Pengecualian

Hasil

dilakukan sesuai dengan Standar

(Y1a)

memadai
2. Seluruh laporan keuangan

Pemeriksaan

Pemeriksaan dan berisikan opini

2. Ordinal

disajikan dengan lengkap


sesuai PABU
1. Salah saji yang terjadi

auditor (SPKN, 2007)


(Y1)

1. Ordinal

Wajar Dengan
Pengecualian
(Y1b)

adalah material tetapi tidak

1. Ordinal

perpasive terhadap laporan


keuangan
2. Adanya pembatasan
lingkup (ketidakcukupan

2. Ordinal

bukti)
1. Salah saji yang terjadi
adalah material tetapi
Tidak Wajar
(Y1c)

perpasive terhadap laporan

1. Ordinal

keuangan
1. Tidak memeroleh bukti yang
cukupmemadai sebagai

Menolak
memberikan

dasar opini
2. Dampak salah saji tidak

1. Ordinal

77

pendapat (Y1d)

dapat dideteksi dalam


laporan keuangan
3. Melibatkan banyak

2. Ordinal

ketidakpastian dalam
kondisi ekstrim

Audit

Perbedaan persepsi antara

Persepsi auditor (BPK) dan

akuntan independen dengan

penguna laporan keuangan

Gap

pemakai laporan keuangan

pemerintah, dalam hal

(Y2)

auditan mengenai tingkat kinerja

tanggung jawab auditor :

yang diharapkan (expected

1. Mendeteksi dan melaporkan

performance) dari profesi akuntan

kecurangan
2. Memertahankan sikap

Expectation

(Liggio, 1974)

independensi
3. Mengkomunikasikan hasil

3. Ordinal

1. Ordinal
2. Ordinal
3. Ordinal
4. Ordinal

audit
4. Memerbaiki keefektifan
audit

E. Metode Pengumpulan Data


Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini akan diperoleh
melalui :
1)

Kuesioner
Diharapkan dapat diperoleh data primer dengan data diperoleh
melalui kuesioner yang langsung disebarkan kepada auditor BPK,
anggota DPRD, pegawai pemerintah daerah dan masyarakat.

2)

Wawancara

3)

Observasi

4)

Kepustakaan
Untuk melengkapi data primer, diperlukan pula data sekunder yang
diperoleh

melalui

penelitian

kepustakaan.

Pengumpulan

data

sekunder dilakukan dengan memelajari jurnal-jurnal, buku teks,

78

majalah-majalah

yang

menunjang

pembahasan

dan

analisis

penelitian lapangan.

F. Metode Pengujian Data


Instrumen yang digunakan di dalam penelitian ini adalah daftar
pertanyaan (kuisioner). Butir-butir pertanyaan dikembangkan berdasarkan
defenisi operasional seperti pada uraian sub-sub sebelumnya. Skala yang
digunakan adalah Skala Likert dengan 5 skor, yaitu sangat tidak setuju
diberi skor 1, tidak setuju diberi skor 2, netral diberi 3, setuju diberi skor 4
dan sangat setuju diberi skor 5. Setelah instrumen dibuat dan validitas isi
(content validity) terjamin berdasarkan defenisi operasional yang merujuk
pada konsep dan teori, maka instrumen dilakukan uji coba untuk menguji
validitas dan realibilitas.
Uji-coba instrumen dilakukan dengan menggunakan mahasiswa
akuntansi sebanyak 50 sampel sebagai responden. Uji-coba instrument ini
dimaksudkan untuk mengetahui tingkat validitas masing-masing item
pernyataan/pertanyaan,

serta

untuk

mengetahui

tingkat

instrumen

dilakukan

reliabilitas

instrument pengumpul data tersebut.


Pengukuran

tingkat

validitas

menggunakan rumus korelasi product moment, sebagai berikut :


NXY - (X) (Y)
rXY =

{NX2 - (X)2} {NY2 - (Y)2}

dengan

79

dimana:
rXY =

korelasi product moment antara X dan Y

skor butir pernyataan

skor total butir pernyataan (Arikunto, 1996).

Kriteria penilaian, jika rXY > rtabel, maka butir pernyataan yang bersangkutan
valid untuk digunakan dalam pengumpulan data; jika r XY rtabel, maka butir
pernyataan yang bersangkutan tidak valid digunakan sebagai alat
pengumpul data dan harus dikeluarkan dari instrumen.

Pengukuran

tingkat reliabilitas instrumen menggunakan Koefisien Alfa Cronbach


dengan rumus, sebagai berikut (Sugiyono, 2010) :
K
si2
ri = [---------] [1 - ---------]
(k - 1)
st2
dimana:
ri

= reliabilitas instrumen

= banyaknya butir pernyataan

si2

= jumlah varians butir

st2

= varians total

Uji validitas dan reliabilitas yang dilakukan adalah sebagai berikut :


1. Uji Validitas (Test of Validity)
Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan analisa faktor. Alat
uji yang digunakan untuk mengukur tingkat interkorelasi antar variabel

80

dan dapat tidaknya dilakukan analisis faktor adalah Kaiser Meyer


Olkin-Measure of Sampling Adequacy (KMO-MSA). Nilai KMO-MSA
bervariasi dari nol (0) sampai dengan satu (1). Nilai yang dikehendaki
harus > 0,50 untuk dapat dilakukan analisis faktor (Hair et al., 2006).

2. Uji Reliabilitas (Test of Reliability)


Kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban responden
terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu.
Peneliti

menggunakan

metoda

menggunakan cronbachs

internal

consistency

dengan

alpha. Suatu konstruk atau variabel

dikatakan reliabel jika memberikan nilai cronbachs alpha lebih besar


dari 0,60 (Nunnaly, 1967).
G.

Teknik Analisis Data

Metode analisis data di dalam penelitian ini menggunakan teknik


analisis SEM (Struktural Equation Modeling) dengan program bantu
AMOS (Analisis Of Moment Struktural). Ferdinand (2002:33) menyatakan
beberapa langkah pemodelan SEM adalah sebagai berikut:
1. Pengembangan Model Teoritis.
Langkah ini bertujuan untuk melakukan pengembangan suatu model
teoritis dengan jalan eksplorasi ilmiah melalui telaah pustaka, dalam
usaha memeroleh justifikasi atas model teoritis yang dikembangkan.
Teknik ini digunakan untuk menguji teori, atau suatu teori yang baru
dikembangkan peneliti melalui pembuktian empiris.

81

2. Pengembangan Diagram Alur.


Model teoritis yang telah dikembangkan atau dibangun pada langkah
pertama dilakukan dengan cara menggambarkan diagram alur.
Konstruk-konstruk yang dibangun pada diagram alur dibedakan dalam
dua kelompok yaitu:
a. Konstruk eksogen (Independen variabel) yaitu konstruk yang tidak
diprediksi oleh variabel lain dalam model. Pada penelitian ini yang
menjadi konstruk eksogen adalah akuntabilitas, creative accounting
dan konsep audit
b. Konstruk endogen yaitu konstruk yang diprediksi oleh satu atau
beberapa konstruk yang ada dalam model. Pada penelitian ini
konstruk endogen adalah laporan hasil pemeriksaan dan audit
expectation gap.
3. Konversi Diagram Alur Dalam Persamaan
Pada langkah ini persamaan struktural dan model pengukuran
diterjemahkan dalam persamaan. Berdasarkan kerangka konseptual
yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka structural equation
modeling yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Y1= (X1, X2, X3) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . .

(1)

Y2 = (X1, X2, X3, Y1) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

(2)

Sehingga dari persamaan (2) fungsi audit expetation gap (Y2) dapat
ditulis ulang menjadi:
Y2 = {X1, X2, X3, Y1 (X1, X2, X3)} . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

(2a)

82

dimana:
X1 = Akuntabilitas
X2 = Creative Accounting
X3= Konsep Audit
Y1= Laporan Hasil Pemeriksaan
Y2= Audit Expectation Gap
Lebih jelasnya dapat dilihat pada struktur di bawah ini :
1.

Struktur Pertama
Struktur pertama adalah untuk menggambarkan jalur pengaruh

langsung variabel akuntabilitas (X1), creative accounting (X2), dan konsep


audit (X3), terhadap laporan hasil pemeriksaan (Y1), dapat dilihat pada
gambar berikut.

Y1

rX1Y1

X1

rX2Y1 rX1x2
rX3Y1

1Y1

2X1
X2

rX1x3

3X2

Y2

4X3

rX2x3
X3

Gambar 4.1 Struktur Pertama


Pengaruh Variabel X1, X2, X3, Y1, terhadap Variabel Y2.

83

Persamaan struktural pertama adalah:


Y2 = 0 + 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4 Y1 + 1 . . . . . . . . . . . . . . . (3)
Dimana 0, 1, 2, 3, dan 4 adalah parameter
Struktur ini menunjukkan adanya hubungan pengaruh variabel X 1,
X2, X3, dan Y1, terhadap variabel Y2. Nilai koefisien jalur 1Y1 menunjukkan
adanya pengaruh langsung variabel Y1 terhadap variabel Y2, Nilai
koefisien jalur 2X1 menunjukkan adanya pengaruh langsung variabel X1
terhadap variabel Y2, nilai koefisien jalur 3X2 menunjukkan adanya
pengaruh langsung variabel X 2 terhadap variabel Y2, nilai koefisien jalur
4X3 menunjukkan adanya pengaruh langsung variabel X 3

terhadap

variabel Y2, sedangkan nilai koefisien 1 menunjukkan adanya pengaruh


langsung variabel lain selain X1, X2, X3, Y1 terhadap variabel Y2.
2.

Struktur Kedua
Struktur kedua ini adalah untuk menggambarkan jalur pengaruh

langsung variabel awal (Akuntabilitas = X1, Creative Accounting = X2,


Konsep Audit = X3)

terhadap variabel intervening (Laporan Hasil

Pemeriksaan = Y1), yang ditunjukkan pada gambar 3.

X
rX1X2 1
rX1X3
rX2X3
X2

X3

2
1X1
2X2
3X 3
Y1

84

Gambar 4.2 Struktur Kedua


Pengaruh Variabel X1, X2, X3 terhadap Variabel Y1.
Persamaan struktural kedua adalah:
Y1 = 0 + 1X1 + 2X2 + 3X3 + 2 . . . . . . . . . . . . . . . . . .

(4)

Dimana 0, 1, 2, dan 3, adalah parameter

3.

Struktur ketiga
Struktur ketiga menggambarkan pengaruh langsung dan pengaruh

tidak langsung variabel awal (Akuntabilitas (X1), Creative Accounting (X2),


Konsep Audit (X3))

terhadap Audit Expectation Gap melalui variabel

Laporan Hasil Pemeriksaan (Y1) yang ditunjukkan pada gambar kerangka


penelitian.

X1

1
1

Y1
2

X2

4
2

Y2
3

X3
3
Gambar 4.3 Struktur Ketiga
Pengaruh Variabel X1, X2, X3 terhadap Variabel Y2 melalui Y1

85

Persamaan 3 dapat ditulis ulang menjadi :


Y2 = 0 + 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4 Y1 + 1
= 0 + 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4 (0 + 1X1 + 2X2 + 3X3 + 2) + 1 = 0 +
1X1 + 2X2 + 3X3 + 04 + 14X1 + 24X2 + 34X3 + 24 + 1
= (0 + 04) + (1 + 14)X1 + (2 + 24) X2 + (3 + 34) X3 + ( 24 + 1)
= 0 + 1X1 + 2 X2 + 3 X3 + (4a)
Dimana:
a. Intercept
0

= intercept laporan hasil pemeriksaan (Y1)

= (0 + 04)=Intercept audit expectation gap (Y2)

b. Pengaruh langsung
1

= Pengaruh langsung akuntabilitas (X1) terhadap laporan hasil


pemeriksaan (Y1).

= Pengaruh langsung creative accounting (X2) terhadap


laporan hasil pemeriksaan (Y1).

= Pengaruh langsung konsep audit (X3) terhadap laporan hasil


pemeriksaan (Y1).

= Pengaruh langsung akuntabilitas (X1) terhadap audit expectation

86

gap (Y2).
2

= Pengaruh langsung Creative Accounting (X2) terhadap Audit


Expectation Gap (Y2).

= Pengaruh langsung konsep audit (X3) terhadap audit


expectation gap (Y2).

= Pengaruh langsung laporan hasil pemeriksaan (Y1) terhadap


audit expectation gap (Y2).

c. Pengaruh tak langsung


(14) = Pengaruh tak langsung akuntabilitas(X1) terhadap audit
expectation gap (Y2) melalui laporan hasil pemeriksaan (Y1).
(24) = Pengaruh tak langsung creative accounting (X2) terhadap audit
expectation gap (Y2) melalui laporan hasil pemeriksaan (Y1)
(34) = Pengaruh tak langsung konsep audit (X3) terhadap audit
expectation gap (Y2) melalui laporan hasil pemeriksaan (Y1)

d. Pengaruh total
1 = (1+14) =

Pengaruh total akuntabilitas (X1) terhadap audit


expectation gap (Y2).

2 = (2+24) =

Pengaruh total creative accounting (X2) terhadap audit


expectation gap (Y2).

3 = (3+34) =

Pengaruh total konsep audit (X3) terhadap audit


expectation gap (Y2).

87

e. Standard error
1

= Standard error laporan hasil pemeriksaaan (Y1)

= (24 + 1) =Standard error audit expectation gap (Y2)

88

4. Pemilihan Matriks Input


Melakukan pemilihan jenis input yaitu kovarians atau korelasi. Apabila
yang diuji adalah hubungan kualitas, maka matrik yang digunakan
adalah matriks kovarians.
5. Menilai Masalah Identifikasi
Masalah identifikasi adalah masalah mengenai ketidakmampuan
model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik.
6. Evaluasi Model
Dalam analisis SEM tidak ada alat uji statistik tunggal untuk mengukur
atau memenuhi hipotesis mengenai model. Untuk mengukur derajat
kesesuaian antara model yang dihipotesiskan dengan data yang
disajikan, umumnya digunakan beberapa jenis fit-index (Hair et al.,
1998:112).

Peneliti

diharapkan

melakukan

pengujian

dengan

menggunakan beberapa fit index untuk mengukur ketepatan model


yang dirancang. Evaluasi terhadap ketepatan model pada dasarnya
telah dilakukan pada saat model diestimasi oleh program AMOS.
Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam proses ini, secara umum
adalah sebagai berikut: 1. Ukuran sampel minimum jumlahnya 100, 2.
Memenuhi asumsi normalitas dan linearitas; 3. Tidak ada outlier; 4.
Tidak ada multikolinearitas; dan 5. Fit model terpenuhi. Untuk jelasnya
dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut:

Tabel 4.2
Syarat Fit Model

89

No.

Indeks

Syarat

Chi Square

Kecil

Probabilitas Chi Square

5%

RMSEA

0.08

GFI

0.90

AGFI

0.90

CMIN/DF

2.00

TLI

0.95

CFI

0.95

90

Sumber. Ferdinand (2002); Hair et al., (1998).

Pada tabel ini menunjukkan keseluruhan asumsi-asumsi fit


model yang harus terpenuhi, diantaranya: Chi Square Statistik (X)
dan Probabilitas Chi Square sebagai alat ukur paling fundamental
untuk mengukur overal fit adalah Likelihood Ratio Chi Square, yang
bersifat sangat sensitif terhadap besarnya sampel yang digunakan.
Model yang diuji dipandang baik atau memuaskan bila Chi Square
(X) rendah. Semakin rendah X menunjukkan model semakin baik
pula (X=0), berarti tidak ada perbedaan Ho diterima dan diterima
berdasarkan probabilitas dengan cut-off value sebesar p>0,05 atau
p>0,10.
The Root Mean Square Error Approximation (RMSEA) adalah
indeks yang dapat digunakan untuk mengkompensasi Chi Square
Statistic dalam sampel yang besar. Nilai RMSEA menunjukkan
goodness-of-fit yang dapat diharapkan bila model diestimasi dalam
populasi. Nilai RMSEA 0,08 merupakan indeks untuk diterimanya
model yang menunjukkan close fit model berdasarkan degrees of
freedom.

91

Goodness of Fit-Index (GFI) adalah indeks kesesuaian (fit


index) akan menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam
matriks kovarians sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarians
populasi yang terestimasi. GFI merupakan sebuah ukuran nonstatistik yang mempunyai rentang nilai antara 0 (poor fit) sampai
dengan 1,0 (perfect fit). Nilai yang tinggi dalam indeks ini
menunjukkan better fit. GFI yang diharapkan adalah sebesar 0,90.
Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) Tanaka and Huba
yang dikutip Ferdinand (2002:42) menyatakan bahwa GFI analog dari
R dalam analisis regresi berganda. Fit index ini dapat disesuaikan
terhadap degree of freedom yang tersedia untuk menguji diterima
tidaknya model (Arbuckle dan Wotheke, 1999:34) Tingkat penerimaan
yang direkomendasikan adalah sebesar 0,90. AGFI maupun CFI
adalah kriteria yang memerhitungkan proporsi tertimbang dari varians
dalam sebuah kovarians sampel. Nilai 0,95 diinterpretasikan sebagai
tingkatan yang baik (good overal model fit), sedangkan nilai antara
0,90-0,95 menunjukkan adequate fit.
The Minimum Sample Discrepancy Function (CMIN) dibagi
Degree of Freedom (DF) sebagai salah satu indikator untuk mengukur
tingkat fit sebuah model. Dalam hal ini CMIN/DF tidak lain adalah Chi
Square Statistic (X) dibagi DF sehingga disebut X relatif. X

relatif

> 2,0

atau bahkan 3,0 merupakan indikasi dari acceptable fit antara model
dengan data (Arbuckle dan Wotheke, 1999:42).

92

Tucker Lewis Index (TLI) adalah sebuah alternatif incremental


fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap
sebuah

baseline

model

(Ferdinand,

2002:125).

Nilai

yang

direkomendasikan sebagai acuan untuk diterimanya sebuah model


adalah penerimaan 0,95 dan nilai yang sangat mendekati 1
menunjukkan a very good fit (Arbuckle dan Wotheke, 1999:42).
Comparative fit index (CFI) seperti halnya AGFI merupakan kriteria
yang memperhitungkan proporsi tertimbang dari varians sebuah
kovarians sampel. Besaran CFI pada rentang nilai 0-1. Semakin
mendekati nilai 1 mengindikasikan tingkat kesesuaian paling tinggi (a
very good fit). Nilai yang direkomendasikan CFI 0,95.
7. Interpretasi dan Modifikasi Model.
Interpretasi dan modifikasi
dilakukan terhadap

model

yang

dikembangkan, bila ternyata estimasi tersebut memiliki tingkat prediksi


tidak seperti yang diharapkan yaitu apabila terdapat resudual yang
besar. Namun demikian, modifikasi hanya dapat dilakukan bila
terdapat justifikasi teoritis yang cukup kuat.
Alasan penggunaan SEM pada penelitian ini adalah:
1. SEM memiliki kemampuan untuk menguji indikator dari suatu konstruk
(measurement model) dalam sekali pengujian (running) yang tidak
dapat dilakukan oleh analisis lain.
2. Untuk serangkaian hubungan yang rumit (banyak konsep) yang diuji
secara simultan maka SEM akan memberikan efisiensi secara
statistik, yaitu penggabungan teknik analisis faktor konfirmatori dan
teknik analisis jalur (Hair et al., 1998:65).

93

3. Bisa menguji hubungan tidak langsung antara konstruk (unobserved


variabel)
Beberapa uji analisis yang digunakan dalam memeroleh data yang valid
dan reliabel antara lain:
1. Uji validitas yaitu suatu alat ukur yang valid tidak sekedar mampu
mengungkapkan data dengan tepat, tapi harus memberikan gambaran
yang cermat mengenai data tersebut atau validitas secara singkat
merujuk pada kemampuan suatu instrumen pengukur untuk mengukur
apa yang seharusnya diukur. Menurut pendapat Singarimbun
(1995:124) bahwa validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur
itu mengukur apa yang diukur. Menurut Azwar (1997:5), bahwa suatu
tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas
tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau
memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya
pengukuran tersebut.
2. Uji reliabilitas yaitu

pada

dasarnya

reliabilitas merujuk pada

kemampuan suatu instrumen untuk diuji kembali dengan memberikan


hasil yang relatif konstan. Artinya bahwa jika suatu instrumen
dikatakan reliabel jika instrumen itu memberikan hasil yang relatif
sama jika diuji secara berulang-ulang. Pada penelitian ini, pengujian
akan menggunakan koefisien alpha cronbath. Jika nilainya di atas 0,6
maka dikatakan realibel.

94

3. Uji normalitas yaitu sebaran dilakukan dengan kurtosis value dari data
yang digunakan biasanya disajikan dalam statistik deskriptif. Nilai
statistik untuk menguji normalitas itu disebut Z-Value. Bila nilai Z lebih
besar dari nilai kritis maka dapat diduga bahwa distribusi data adalah
normal. Nilai kritis dapat ditentukan berdasarkan tingkat signifikan
0,01 (1%).

Você também pode gostar