Você está na página 1de 5

Agama Uang (?

) | @ray_asmoro
OPINI | 20 April 2012 | 14:58 Dibaca: 40

Komentar: 4

Nihil

| Agama Uang (?) |

Siapa orangnya yang tidak ingin kaya, memiliki banyak uang? Kalau kita ke toko buku, disana
banyak buku-buku tentang bagaimana menjadi kaya raya, menjadi milyader. Judul-judul buku
seperti Jalan Pintas Menjadi Kaya, Menjadi Kaya Itu Mudah, Jurus Sakti Mencapai Kebebasan
Finansial, Muda Kaya Raya, Tua Foya-foya, Mati Masuk Surga, dan sejenisnya, bertebaran, baik
yang ditulis oleh penulis lokal maupun asing. Dan banyak sekali buku-buku jenis itu yang menjadi
best seller. Kalau di lihat isinya sih mirip-mirip bahkan nyaris sama, hanya gaya penulisan, tata
bahasa, istilah-istilah yang digunakan, segmentasi dan jam terbang penulisnya saja yang berbeda.
Kemudian, kekayaan dan kesejahteraan menjadi identik dengan uang. Kata Sariman, saya
menduga ada pergeseran nilai dan makna tentang kekayaan dari jaman pra-modern ke modern. Di
jaman pra-modern orang mengartikan kekayaan lebih sebagai kepuasan, ketenangan bathin, hidup
tentram, tidak harus menumpuk banyak uang. Yang penting kebutuhan sandang-pangan-papan
terpenuhi secara layak, itu sudah sejahtera. Sikap nrimo masyarakat pra-modern itu di perkuat
dengan kesadaran tentang hakikat hidup (spiritual).

Petani-petani tradisional di jawa dahulu misalnya, sudah cukup dengan hasil panen yang
(menurut kita saat ini) tidak seberapa. Tapi menurut mereka itu berkah dan disyukuri,
membelanjakan hasil panennya dengan sangat bijak, lalu mempertebal hubungannya dengan sang
pencipta. Walupun dalam kesederhanaan tapi masjid dan surau-surau di kampung tidak pernah
kehilangan jamaahnya. Guyub rukun perikehidupan masyarakat terus dijaga. Banyak hal dalam
kehidupan masyarakat pra-modern yang di dasarkan pada petunjuk alam (metafisik), mereka
meyakininya tanpa perlu sebuah alasan logis.
Di era modern, kekayaan dan kesejahteraan diartikan dengan uang atau materi. Orang yang kaya
dan sejahtera adalah orang yang punya banyak uang, punya deposito milyaran, punya rumah
magrong-magrong dan beberapa mobil mewah. Manusia-manusia modern bergerak dengan
pemikiran rasionalnya. Sesuatu yang tidak tampak dan tidak bisa di nalar dengan rasio, diabaikan.
Rasionalisasi pemikiran ini membawa dampak perubahan nilai dan makna tentang kekayaan itu tadi
dan manusia-manusia modern menjadi sangat skeptis, percaya hanya bila ada data dan bukti-bukti
empirik. Dan masyarakat modern cenderung individualistik, elu-elu gue-gue.
Tidak ada yang salah tentang kekayaan dan kesejateraan. Semua orang berhak untuk menjadi
kaya dan sejahtera dalam hidupnya. Kekayaan dan kesejahteraan hanya istilah, ia adalah sebuah ide
dan kita boleh menafsirkannya sesuai ilmu dan pengetahuan yang kita miliki.
Kekayaan menjadi arah hidup manusia modern lebih karena berpikir bahwa dengan kekayaan
apa saja bisa diperbuat. Mau membantu yang kurang berada, oke. Mau bikin sekolahan gratis, ayo.
Mau bikin panti asuhan, kenapa tidak. Cuma ketika sudah sampai, banyak yang lupa diri. Distulah
mulai terasa aroma pilon-nya.
Di jaman kini, masyarakat di cekokin oleh propaganda-propaganda tentang nikmat dunia. Uang
adalah segalanya. Maka segala cara dilakukan untuk bisa mengeruk kekayaan. Apalagi di koran dan
TV-TV, berita tentang dunia glamour begitu masifnya. Ada berita tentang orang kaya yang punya
koleksi mobil-mobil mewah. Ada selebriti yang hobinya jalan-jalan dan makan-makan. Ada dai dan
ustadz yang terbungkus surban kemewahan. Nikmat dunia begitu menyilaukan mata dan
membutakan mata hati kita. Banyak hal yang disajikan menciptakan sebuah paradigma di

masyarakat awam bahwa uang adalah tujuan akhir. Andaikata hidup ini ibarat perjalanan mengitari
dunia, maka ujung dunia ini adalah uang!
Pada era tertentu dimasa lalu ada paradigma, siapa yang menguasai lahan pertanian, dialah yang
menguasai dunia. Kemudian ketika terjadi revolusi industri paradigma itu tidak berlaku lagi, siapa
yang menguasai pabrik dan mesin-mesin produksi dialah yang menguasai dunia. Lalu paradigma itu
bergeser lagi, siapa yang menguasai teknologi dan informasi, dialah yang menguasai dunia.
Akhirnya paradigma itu terbantahkan, siapa yang menguasai uang, ditangannyalah dunia
digenggam.
George Soros telah membuktikan itu dengan melakukan spekulasi, dan akibatnya banyak negara
terguncang kondisi ekonomi-moneter sekaligus sosio-politiknya. Ada perdebatan seru antara yang
berpendapat Ekonomi adalah Panglima dan Politik adalah Panglima, maka (tanpa bermaksud untuk
ambil bagian dalam perdebatan konyol itu) mungkin yang paling benar Uang adalah Panglima,
uniknya uang itu ada di dua sisi sekaligus; ekonomi dan politik. Kenyataannya roda ekonomi dan
politik sama-sama digerakkan oleh uang. Bahkan bisa dikatakan bahwa uang telah menjelma
sebagai agama baru dalam peradaban manusia.
Lantaran uang menjadi tujuan akhir maka apa atau siapa saja yang menawarkan jalan pintas
untuk menuai kekayaan dan harapan-harapan akan laris manis. Buku-buku dan seminar-seminar
yang menyuguhkan tentang begitu mudahnya menjadi kaya banyak kita jumpai dengan memberikan
tip-tip dan langkah-langkah praktis, ditambah dengan jargon money back guarantee membuat
banyak orang terkesima. Saya ingin sukses seperti Bill Gates, saya ingin kaya seperti Jobs atau
Bakrie, saya ingin menjadi selebriti terkenal dan banyak uang, dan seterusnya.
Ada petuah bijak berbunyi, jangan ukur sepatumu dengan kaki orang lain. Pernyataan jika dia
bisa kenapa saya tidak? adalah sebuah kecenderungan untuk menyamakan ukuran sepatu kita.
Gates memiliki formula sendiri untuk sampai pada puncak kejayaannya, demikian juga Jobs,
Ciputra, Lim Sioe Liong, Bakrie dan lainya. Memang jika di gali ada beberapa benang merahnya di
permukaan. Yang bisa kita gali dan kita ikuti hanyalah cara atau how to-nya tapi seberapa besar
spirit, intuisi, keyakinan, keihklasan, ketulusan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan psikologi,
emosi dan spiritual, kita sulit menggalinya, padahal itu satu kesatuan. Kita bisa ikuti formulasi

suksesnya Bill Gates tapi hasilnya mungkin berbeda. Sepatu Gates yang katakanlah berukuran 46
terlalu besar bagi kaki kita yang berukuran 41. Namun demikian bukan berarti kita tidak bisa lebih
sukses dibanding Gates.
Ini sama dengan semisal kita sakit demam dan berobat ke dokter, kita diberi dua macam obat
yang harus diminum tiga kali sehari, pagi siang dan sore, masing-masing satu setelah makan.
Sementara teman kita yang sama demamnya, oleh dokter lain diberi tiga macam obat yang harus
diminum dua kali sehari, pagi dan sore, masing-masing satu setelah makan. Apakah kita akan protes,
teman saya obatnya tiga macam, kok saya hanya dua macam? tentu tidak bukan? Toh hasilnya
sama, sama-sama sembuhnya. Bahkan ada yang berobat di dokter yang sama, diberi resep obat yang
sama, tapi yang satu sembuh dan satunya tidak sembuh.
Kita ingin sesukses Gates, tapi kita tidak tahu seberapa berat siksa bathinnya untuk memikul
kesuksesannya itu. Kita ingin sekaya Jobs, tapi kita tidak tahu sebera besar harga yang harus ia
bayar tunai untuk itu. Kita ingin disanjung seperti Lady Di, tapi kita tidak tahu bagaimana pahitnya
derita bathin yang dijalani dalam kehidupannya yang serba wah itu. Kita ingin sehebat Gandhi, tapi
kita tidak memahami seberapa pilu dan sunyi penderitaan yang dihadapi dalam perjuangannya. Kita
ingin berhasil seperti Pak Djoenaedi Joesoef (pendiri PT. Konimex Pharmaceutical Laboratories)
tapi apakah kita kuat jika harus menjalani setiap peristiwa dalam setiap fase kehidupannya, yang
memulai bisnisnya dengan jualan obat keliling dalam kurun waktu tahun 1950 hingga 1970?
Banyak formula untuk bisa sukses, seperti yang ditawarkan buku-buku dan seminar-seminar
tentang menjadi sukses luar biasa itu. Dan semuanya benar. Semuanya bisa dijadikan referensi, tapi
hasil akhirnya mungkin berbeda. Dan pilon-nya kita memaknai kesuksesan hanya dengan satu kata,
uang. Jika kita tanyakan kepada Gates, Jobs, Ciputra, Lim, tentang arti kesuksesan mungkin saja
mereka punya pandangan yang berbeda dan sama sekali tidak menyebut kata uang. Namun
kenyataannya langkah kita di gerakkan oleh uang, pikiran kita dipenuhi oleh uang, kesadaran kita
penuh sesak tentang uang.
Money oriented tentu boleh-boleh saja. Hanya saja kalimat itu cukup membahayakan jika tidak
peduli tentang benar atau salah dalam prosesnya. Akhirnya apapun dilakukan untuk mendapatkan

uang. Batasan-batasan tentang baik-buruk, halal-haram-subhat, benar-salah, seolah sudah tidak ada
lagi. Sebenarnya kita tahu batasan itu ada, tetapi kita sering belagak pilon.
Bukankah memprihatinkan jika kita manusia yang diciptakan paling mulia dari makhluk ciptaan
Tuhan lainnya, rela menyerahkan dirinya untuk dikendalikan oleh uang?
Hidup uang! Viva uang!
FOLLOW TWITTER : @ray_asmoro

Você também pode gostar