Você está na página 1de 11

ADAB BERHUTANG

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc

Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ? ucap salah
seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka beliau
menjawab : Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?
Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah persepsi
dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang muslim
memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya kepada
Allah Subhanahu wa Taala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid, melakukan halhal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia
terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak
dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Taala telah mengingatkan, agar sebagai
muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam muamalahnya dengan
Allah Subhanahu wa Taala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam
muamalahnya dengan manusia. Allah berfirman.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah
(menyeluruh) [Al-Baqarah : 208]
Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak dicerna dan
dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian lusuh, makanan
sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam mata tertunduk, supaya
terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau sudah berhubungan dengan urusan
manusia, maka dia tidak menghiraukan yang terlarang dan yang tercela.
Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan
kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang merupakan persoalan
fikih yang membahas permasalahan muamalat. Di dalam Al-Quran, ayat yang
menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian
terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah
hutang-pihutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan
bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan seseorang
yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.
HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Taala berfirman.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah

seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah


penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah
ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika
tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah
dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi
kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ;
dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang
demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu [Al-Baqarah : 282]
Mengenai ayat ini, Ibnul Arabi rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya
menyatakan : Ayat ini adalah ayat yang agung dalam muamalah yang
menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini menjadi dasar
dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut cabang (fikih) [1]
Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya
yang mukmin. Jika mereka bermuamalah dengan transaksi non tunai, hendaklah
ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi.
Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Taala telah mengingatkan salah satu ayat :
Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak
mendatangkan keraguan [2]
Firman Allah Subhanahu wa Taala : Maka tulislah maksudnya adalah tanda
pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu pembayarannya,
karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara transaksi, tenggang waktu
pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi kebiasaan manusia, sedangkan setan
kadang-kadang mendorongnya untuk ingkar dan beberapa penghalang lainnya,
seperti kematian dan yang lainnya. Oleh karena itu, disyariatkan untuk melakukan
pembukuan hutang dan mendatangkan saksi" [3]
Maka tulislah, secara zhahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya dengan
semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila suatu saat

perkara hutang-pihutang ini diangkat kepadanya. [4]


BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain merupakan
perbuatan terpuji yang dianjurkan syariat,dan merupakan salah satu bentuk
realisasi dari hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : Baragsiapa yang
melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan dunia, maka Allah Subhanahu wa
Taala akan melapangkan untuknya kedukaan akhirat
Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan keutamaan
antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama?
Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syariat, akan tetapi dalam sudut
kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang selalu berada pada
posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia berhutang. Sehingga menghutangkan
disebutkan lebih utama dari sedekah, karena seseorang yang diberikan pinjaman
hutang, orang tersebut pasti membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang
menerimanya pada saat itu membutuhkannya.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau
berkata kepada Jibril : Kenapa hutang lebih utama dari sedekah? Jibril menjawab,
Karena peminta, ketika dia meminta dia masih punya. Sedangkan orang yang
berhutang, tidaklah mau berhutang, kecuali karena suatu kebutuhan. Akan tetapi
hadits ini dhaif, karena adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]
Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika
dilakukan sesuai tuntunan syariat. Yang pantas disesalkan, saat sekarang ini orangorang tidak lagi wara terhadap yang halal dan yang haram. Di antaranya, banyak
yang mencari pinjaman bukan karena terdesak oleh kebutuhan, akan tetapi untuk
memenuhi usaha dan bisnis yang menjajikan.
Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang baik. Yaitu
hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang. Hutang baik inilah yang
dilakukan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ; ketika wafat, beliau Shallallahu alaihi
wa sallam masih berhutang kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang.
Kedua, hutang buruk. Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat
dan tujuan yang tidak baik.
ETIKA BERHUTANG
1. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang.
Kaidah fikih berbunyi : Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka
hukumnya riba. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan
penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan tabiat orang
yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang yang mengerti membalas

budi.
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah- berkata : Hendaklah diketahui, tambahan
yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang
disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan saya beri anda hutang
dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan
syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu.
Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau
mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang
menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat
dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil
tambahan. [6]
2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Taala yang tertera dalam surat ArRahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah
memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia
membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan
saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi
kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya,
dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman
serupa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata.





Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia
tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, Berikan
kepadanya kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi
mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun)
berkata : Berikan kepadanya, Dia pun menjawab, Engkau telah menunaikannya
dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Taala membalas dengan setimpal.
Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sebaik-baik kalian adalah orang
yang paling baik dalam pengembalian [7]
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhu ia berkata.



Aku mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau
mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya
[8]

3. Berhutang dengan niat baik


Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan
melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a. Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b. Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi,
maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam telah bersabda :

"Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk
membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Taala akan
tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka
Allah Subhanahu wa Taala akan membinasakannya [9]
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena
kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa banyak orang yang
berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya, sehingga Allah pun
memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang berazam
pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan
niat yang baik, maka Allah Subhanahu wa Taala membinasakan hidupnya dengan
hutang tersebut. Allah Subhanahu wa Taala melelahkan badannya dalam mencari,
tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang
tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang
baqa (kekal)?
4. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena ditakutkan
dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang meminjam pinjaman
karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke dalam riba dengan melakuan
transaksi jual beli kepada yang meminjamkan dengan harga lebih mahal dari
biasanya.
5. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan
kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Taala memerintahkan agar kita
menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru
tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Taala
berfirman.


" Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat". [An-Nisa : 58]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :
Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika
tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang
[HR Bukhari no. 2390]
Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang
tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.
a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata. :






"Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sampai
dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka
Nabi Shallallahu alaihi wa salam berkata, Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya
hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya.
Mereka (para sahabat) berkata : Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih
bagus dari untanya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Belikan
untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah
yang paling baik dalam pembayaran [11]
Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang
mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20
b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:

Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman
[12]
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda. :


"Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan
(juga) keehormatannya.
Sufyan Ats-Tsauri berkata, Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan engkau
telah menunda pebayaran dan menghukum dengan memenjarakannya [13]
c.. Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam.

Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka
dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya [14]
d. Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh hartanya,
maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi apapun, kecuali
dalam hal yang ringan (sepele) saja.
Hasan berkata, Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh
memerdekakan, menjual atau membeli [15]
Bahkan Dawud berkata, Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak
diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan, maka
dikembalikan [16]
Kemungkinan wallahu alam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi
melunasinya.
6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang
berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, karena hal
ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan
memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih
sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
7. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan
solusi terakhir setelah semuanya terbentur.
8. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman

merupakan amanah yang harus dia kembalikan.


Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

"Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia
menunaikannya [17]
9. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan kepada
seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus
menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :

Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman.
Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka hendaklah dia
menurutinya. [18]
10. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas
hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafaat) untuk
memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah meninggal
dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada
pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi
mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meminta
syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam berkata, Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya.
Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu
kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka
sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]
BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG
BERHUTANG
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan dari yang
menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian pinjamannya
tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Oleh
karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan

mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang berhutang.


Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang
ialah.
1. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut, dia dapat
beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan pembayaran si
penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah di bawah satu juta
rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya dilakukan dengan cara
mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih ringan bebannya.
2. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran waktu
pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi hutangnya.
Dari Hudzaifah Radhyallahu anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda : Suatu hari ada seseorang meninggal. Dikatakan
kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang engkau perbuat? Dia menjawab. :

"Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang mampu
membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam kesulitan. Maka dia
diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Taala)". [20]
3. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara membebaskan
hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi pinjamannya.
Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih. Jika mereka
ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi jual beli terlebih
dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya atau dia pinjamkan, kemudian
dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua kebahagian dan akan menambah
pahala bagi yang memberi.
Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam membeli onta dari Jabir bin
Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di Madinah, Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran dan menghadiahakn onta yang
telah dibeli tersebut kepada Jabir.
Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu dirham.
Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman. Thalhah berkata,
Uangmu telah cukup, maka ambillah!. Namun Utsman menjawab : Dia untukmu,
wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga muruah (martabat)mu.

Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu anhu merasa bahwa saudarasaudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya : Mereka malu
dengan hutangnya kepadamu, dia (Qais) pun menjawab, Celakalah harta, dapat
menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!, Kemudian dia
memerintahkan agar mengumumkan : Barangsiapa yang mempunyai hutang
kepada Qais, maka dia telah lunas. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena
banyaknya orang yang menjenguk. [21]
Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan kaum
Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan
mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam
permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan menginfakkan
harta Allah Subhanahu wa Taala yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan
kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qanaah dan
ridha dengan apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Taala untuknya.
Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang, dianugerahkanNya ilmu
yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang halal dan baik.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnotes.
[1]. Ahkamul Quran, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Marifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Quran, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami Ulum wal Hikam, 1993,
1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 14161995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab AlAqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)

[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain


[18]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[19]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405
[20]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2391
[21].Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Tahqiq Ali Hasan bin Abdul
Hamid, Oman, Dar Ammar, cet II, 1415-1994 hal. 262-263

Você também pode gostar