Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc
Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ? ucap salah
seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka beliau
menjawab : Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?
Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah persepsi
dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang muslim
memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya kepada
Allah Subhanahu wa Taala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid, melakukan halhal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia
terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak
dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Taala telah mengingatkan, agar sebagai
muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam muamalahnya dengan
Allah Subhanahu wa Taala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam
muamalahnya dengan manusia. Allah berfirman.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah
(menyeluruh) [Al-Baqarah : 208]
Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak dicerna dan
dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian lusuh, makanan
sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam mata tertunduk, supaya
terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau sudah berhubungan dengan urusan
manusia, maka dia tidak menghiraukan yang terlarang dan yang tercela.
Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan
kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang merupakan persoalan
fikih yang membahas permasalahan muamalat. Di dalam Al-Quran, ayat yang
menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian
terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah
hutang-pihutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan
bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan seseorang
yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.
HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Taala berfirman.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
budi.
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah- berkata : Hendaklah diketahui, tambahan
yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang
disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan saya beri anda hutang
dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan
syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu.
Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau
mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang
menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat
dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil
tambahan. [6]
2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Taala yang tertera dalam surat ArRahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah
memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia
membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan
saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi
kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya,
dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman
serupa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata.
Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia
tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, Berikan
kepadanya kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi
mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun)
berkata : Berikan kepadanya, Dia pun menjawab, Engkau telah menunaikannya
dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Taala membalas dengan setimpal.
Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sebaik-baik kalian adalah orang
yang paling baik dalam pengembalian [7]
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhu ia berkata.
Aku mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau
mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya
[8]
" Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat". [An-Nisa : 58]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :
Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika
tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang
[HR Bukhari no. 2390]
Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang
tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.
a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata. :
"Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sampai
dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka
Nabi Shallallahu alaihi wa salam berkata, Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya
hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya.
Mereka (para sahabat) berkata : Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih
bagus dari untanya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Belikan
untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah
yang paling baik dalam pembayaran [11]
Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang
mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20
b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:
Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman
[12]
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda. :
"Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan
(juga) keehormatannya.
Sufyan Ats-Tsauri berkata, Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan engkau
telah menunda pebayaran dan menghukum dengan memenjarakannya [13]
c.. Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam.
Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka
dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya [14]
d. Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh hartanya,
maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi apapun, kecuali
dalam hal yang ringan (sepele) saja.
Hasan berkata, Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh
memerdekakan, menjual atau membeli [15]
Bahkan Dawud berkata, Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak
diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan, maka
dikembalikan [16]
Kemungkinan wallahu alam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi
melunasinya.
6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang
berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, karena hal
ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan
memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih
sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
7. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan
solusi terakhir setelah semuanya terbentur.
8. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman
Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu anhu merasa bahwa saudarasaudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya : Mereka malu
dengan hutangnya kepadamu, dia (Qais) pun menjawab, Celakalah harta, dapat
menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!, Kemudian dia
memerintahkan agar mengumumkan : Barangsiapa yang mempunyai hutang
kepada Qais, maka dia telah lunas. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena
banyaknya orang yang menjenguk. [21]
Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan kaum
Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan
mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam
permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan menginfakkan
harta Allah Subhanahu wa Taala yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan
kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qanaah dan
ridha dengan apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Taala untuknya.
Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang, dianugerahkanNya ilmu
yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang halal dan baik.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnotes.
[1]. Ahkamul Quran, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Marifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Quran, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami Ulum wal Hikam, 1993,
1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 14161995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab AlAqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)