Você está na página 1de 14

3.1.

Bagaimana penyebab dan mekanisme mati rasa pada kasus? 3 4


Infeksi M.leprae menyerang sel saraf peradangan sel saraf (neuritis perifer)
kerusakan sel saraf gangguan fungsi sensori mati rasa

3.2

Riwayat perjalan penyakit :


3.2.2

Mengapa bercak bertambah merah pada kasus? 5 3

Bercak bertambah merah disebabkan oleh perkembangan klinis pada penyakit. Pada gejala
bertambah merahnya bercak disebabkan oleh Reaksi Reversal (Tipe 1). Reaksi ini terjadi karena
adanya peningkatan hebat dan tiba-tiba dari respons imun seluler, yang menyebabkan respons
inflamasi atau peradangan kulit atau saraf pada pasien tipe borderline (BT, BB, dan BL).
Walaupun pencetus utama belum diketahui, tetapi diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan peningkatan sel tumor
necrosis factor (TNF) di kulit dan saraf selama reaksi tipe 1 dibandingkan dengan kontrol.
Gejala klinis reaksi reversal yaitu sebagian atau seluruh lesi yang telah ada menjadi lebih
banyak dan aktif dalam waktu singkat. Lesi hipopigmentasi menjadi lebih eritema, lesi eritema
menjadi semakin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, dan lesi lama bertambah luas.
Umumnya gejala konstitusi lebih ringan daripada ENL.
3.6

Pemeriksaan saraf tepi :


3.6.3 Bagaimana cara tes fungsi saraf sensorik n. ulnaris dan n. medianus dextra dan sinistra?
Pemeriksaan fungsi sensoris sama dengan pemeriksaan pada umumnya :
1. Fungsi sensorik raba
-

Pasien diminta untuk duduk pada saat dilakukan pemeriksaan.

Terlebih dahulu dijelaskan kepada pasien, bahwa jika ia merasakan sentuhan kapas, ia
harus menunjuk daerah kulit yang disentuh tersebut dengan jari telunjuknya.

Pemeriksaan menggunakan kapas yang telah dilancipkan ujungnya.

Awalnya pasien diperiksa dengan mata terbuka, setelah pasien jelas memahami
prosedurnya, pasien diminta menutup mata.

Pemeriksaan sensibilitas dilakukan terhadap bercak yang diduga sebagai lesi/ruam kusta,
juga pada kulit yang normal (tanpa ruam).

2. Fungsi sensorik nyeri


-

Diperiksa menggunakan jarum

Kulit pasien ditusuk dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal jarum yang
tumpul.

Pasien harus membedakan rasa tajam dan rasa tumpul.

3. Fungsi sensorik suhu


-

Digunakan dua tabung reaksi, satu berisi air panas (kisaran 40oC) yang lainnya berisi air
dingin (kisaran 20oC).

Pemeriksaan pertama dilakukan pada kulit normal, untuk memastikan bahwa pasien
mampu membedakan sensasi panas dan sensasi dingin.

Pemeriksaan selanjutnya mata pasien ditutup, kedua tabung ditempelkan pada kulit yang
dicurigai merupakan ruam kusta.

Jika pasien beberapa kali salah menyebutkan rasa dari tabung yang ditempel pada daerah
yang dicurigai, berarti sensasi suhu telah terganggu.

Pemeriksaan tersebut diatas harus diperiksa pada bagian tengah lesi, bukan dipinggir lesi

3.6.5 Bagaimana cara tes fungsi saraf motorik n. ulnaris dan n. medianus dextra? 5 3
Tes fungsi saraf motorik dapat dilakukan dengan Voluntary muscle test (VMT).
1. Nervus ulnaris
N.ulnaris dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis minimi. Cara pemeriksaan:
- Pemeriksa memegang ketiga jari penderita (jari ke II sampai ke IV) dalam posisi supinasi
dengan lurus
- Penderita diminta untuk merapatkan jari kelingking.
- Jika penderita dapat merapatkan kelingking, taruhlah kertas diantara kelingking dan jari
manis. Penderita diminta menahan kertas.
- Kemudian kertas ditarik perlahan untuk mengetahui ketahanan otot.
Interpretasi

: jika kertas tidak mudah ditarik berarti nervus ulnaris baik.

Gambar 1. Pemeriksaan N.Ulnaris

2. Nervus medianus
N.medianus, dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis brevis.
- Pemeriksa memegang tangan penderita dalam posisi keempat jari (jari II sampai jari V)

rapat.
- Penderita diminta mengangkat ibu jari ke atas.
- Perhatikan pangkal ibu jari, apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya lurus.
- Jika penderita melakukannya, kemudian dorong ibu jari pada bagian pangkal, bukan pada

kukunya.
Interpretasi

: jika penderita mampu mengangkat ibu jari ke atas dan ada tahanan
sewaktu didorong berarti nervus medianus baik (belum ada kelemahan).

Gambar 2 : Pemeriksaan Motorik N.Medianus


4.3 Apa WD pada kasus? 3 4
Morbus Hansen (Lepra) tipe Borderline Lepromatosa (BL) reaksi tipe 1
4.4 Bagaimana epidemiologi dari penyakit pada kasus? 4 3
Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2013. Prevalensi tertinggi
penyakit kusta terdapat di India, dengan jumlah penderita 91.743 jiwa pada tahun 2012. Peringkat kedua
terdapat di Brazil dengan jumlah penderita 29.311 jiwa pada tahun 2012. Indonesia sendiri berada di
peringkat ketiga, dengan jumlah penderita 22.390 jiwa pada tahun 2012 (WHO,2013). Morbus Hensen ini
dapat terjadi pada semua usia, tapi kebanyakan kasus di daerah endemic terjadi pada usia di bawah 35
tahun. Ratio kejadian pada laki-laki dan wanita adalah 1,5 : 1. Periode laten antara waktu terinfeksi dan

munculnya gejala klinis biasanya 5 tahun untuk kasus paucibacillary, dan 10 tahun pada kasus
multibacillary. Wanita yang terinfeksi biasanya terjadi selama atau pun sesaat setelah kehamilan.
4.14 Apa SKDI dari penyakit pada kasus? 3 4
4A untuk Lepra
3A untuk reaksi Lepra

Febby Astria
04011181419041
Alpha 2014
MORBUS HANSEN
Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae
(M.leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas
bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali susunan saraf pusat. Penyakit
kusta disebut juga lepra dan Morbus Hansen. Morbus Hansen sesuai dengan nama yang menemukan
kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 di Norwegia sehingga penyakit ini disebut
Morbus Hansen.
Epidemiologi
Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2013. Prevalensi tertinggi
penyakit kusta terdapat di India, dengan jumlah penderita 91.743 jiwa pada tahun 2012. Peringkat kedua
terdapat di Brazil dengan jumlah penderita 29.311 jiwa pada tahun 2012. Indonesia sendiri berada di
peringkat ketiga, dengan jumlah penderita 22.390 jiwa pada tahun 2012. Selama tahun 2012 terdapat
18.994 kasus baru di Indonesia, dengan 15.703 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler
(MB) yang merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta baru tahun 2012 tersebut, 6.667 kasus
diantaranya oleh diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.191 kasus diderita oleh anak-anak
(WHO,2013).
Morbus Hensen ini dapat terjadi pada semua usia, tapi kebanyakan kasus di daerah endemic
terjadi pada usia di bawah 35 tahun. Ratio kejadian pada laki-laki dan wanita adalah 1,5 : 1. Periode laten
antara waktu terinfeksi dan munculnya gejala klinis biasanya 5 tahun untuk kasus paucibacillary, dan 10
tahun pada kasus multibacillary. Wanita yang terinfeksi biasanya terjadi selama atau pun sesaat setelah
masa kehamilan.
Klasifikasi
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian diantaranya :
A. Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis.
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula
atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central
healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat meninggi
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal.

2. Bordeline Tuberculoid (BT)


Lesi pada tipe ini menyerupai tipe tuberculoid (TT), yakni berupa makula atau plak yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan
saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak
dekat saraf perifer yang menebal.
3. Mid Bordeline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut
juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula
infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi
tipe borderline tuberculoid (BT) dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam
ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas
tipe ini.
4. Bordeline Lepromatous (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih
kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus
tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir
dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti
punced-out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya
keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe lepramatosa (LL).
Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.
5. Tipe Lepramatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas tidak
tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di
wajah mengenai dahi pelipis, dagu, cuping telinga: sedang dibadan dan diwajah mengenai bagian
badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada
stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka
menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis, dan
keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran
kelenjar limfe orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan gejala stocking & glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progressif, muncul
makula dan papula baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut

serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

B. Klasifikasi WHO (1981)


1) Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe tuberculoid(TT) dan sebagian besar tipe borderline tuberculoid (BT) dengan
bakteri tahan asam (BTA) negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe indeterminate
(I) dan tuberkuloid (T) menurut klasifikasi Madrid.
2) Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe lepramatosa (LL), tipe borderline lepramatosa (BL), tipe mid borderline
(BB) dan sebagian tipe borderline tuberculoid (BT) menurut kriteria Ridley dan Jopling atau
tipe borderline dimorphus (B) dan tipe lepromatosa (L) menurut Madrid dan semua tipe
kusta dengan BTA positif
Penegakkan Diagnosis
Diagnosis penyakit lepra didasarkan oleh gambaran klinis, bakterioskopis, histopatologis dan
serologis. Diantara pemeriksaan tersebut, diagnosis secara klinis adalah yang terpenting dan paling
sederhana dilakukan. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit (15-30 menit), sedangkan
pemeriksaan histopatologi memerlukan waktu 10-14 hari. Tes lepromin (Mitsuda) juga dapat dilakukan
untuk membantu penentuan tipe yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu
Diagnosis pasien kusta berdasarkan tiga penemuan tanda kardinal (tanda utama) yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau erimatosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa
pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri.

2. Penebalan saraf tepi


Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena,
yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema dan pertumbuhan rambut yang
terganggu
3. Ditemukan BTA
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif.
Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau syaraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda cardinal

Penunjang Diagnosis Lepra


1.

Pemeriksaan bakterioskopik
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan dan
kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberi pewarnaan tahan asam untuk melihat M.
leprae. Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan
pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA) yaitu dengan
menggunakan Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti
orang tersebut tidak mengandung kuman M. leprae.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6
tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif yaitu yang
paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa
melihat ada tidaknya lesi di tempat tersebut, karena pada tempat tersebut mengandung kuman
paling banyak.

Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada sediaan. Dibedakan atas batang
utuh (solid), batang terputus http://digilib.unimus.ac.id Page 23 (fragmented) dan butiran
(granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan pada bentuk fragmented dan
granular adalah kuman mati. Kuman dalam bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat
berkembang biak dandapat menularkan ke orang lain.
2.

Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk memastikan gambaran
klinik, misalnya lepra Indeterminate atau penentuan klasifikasi lepra. Granuloma adalah
akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologi tipe tuberculoid
adalah tuberkel dengan kerusakan saraf lebih nyata, tidak terdapat kuman atau hanya sedikit
dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear
zone) yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut pada
tipe Borderline.

3.

Pemeriksaan serologis
Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi tubuh seseorang
yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik dan tidak
spesifik. Antibodi yang spesifik terhadap M. lepraeyaitu antibodi antiphenolic glycolipid1(PGL 1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik
antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.
tuberculosis.
Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang meragukan karena tanda
klinis dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu dapat juga membantu menentukan lepra
subklinis, karena tidak terdapat lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam
pemeriksaan serologik lepra adalahuji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination),
uji ELISA (Enzym Linked Immuno-sorbent Assay), ML dipstick test (Mycobacterium leprae
dipstick), dan ML flow test (Mycobacterium leprae flow test).

Gejala Klinis
Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta yang bersifat
intraselular obligat. Saraf tepi/perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagian
atas. Maka untuk mendiagnosis kusta dicari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan
kelainan yang tampak pada kulit.

Untuk menciptakan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda kardinal
(cardinal signs), yaitu:
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema) yang
mati rasa (anestesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini
merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis perifer) kronis. Gangguan fungsi saraf ini
bisa berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paralisis) otot.
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
Gejala-gejala umum pada reaksi kusta:
a. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil
b. Anoreksia
c. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus
d. Nyeri kepala
e. Kadang-kadang disertai Neuritis dan Orchitis
Imunologi
Respon imun terhadap kuman M.leprae terjadi pada dua kutub, dimana pada satu sisi akan terlihat
aktifitas Th-1 yang menghasilkan imunitas seluler dan sisi yang lain terlihat aktifitas Th-2 yang
menghasilkan imunitas humoral.
Pada kusta tipe tuberkuloid, ditandai dengan cell-mediated immunity yang tinggi dengan tipe
respon imunitas seluler yaitu Th-1. Kusta tipe tuberkuloid menghasilkan IFN-, IL-2, lymphotoxin- pada
lesi dan selanjutnya akan menimbulkan aktivitas fagositik. Makrofag yang mempengaruhi sitokin
terutama TNF bersama dengan limfosit akan membentuk granuloma. Sel CD4+ ( T helper cell) dominan
ditemukan terutama di dalam granuloma dan sel CD8+ (cytotoxic T cell) dijumpai di daerah sekitarnya.
Sel T pada granuloma tuberkuloid menghasilkan protein antimikroba yaitu granulysin.
Pada kusta tipe lepromatous, ditandai dengan cell-mediated immunity yang rendah dengan tipe
respon imunitas humoral yaitu Th-2. Kusta tipe lepromatous mempunyai karakteristik pembentukan
granuloma yang sedikit. mRNA memproduksi terutama sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10. IL-4 menyebabkan
penurunan peranan TLR2 pada monosit sedangkan IL-10 akan menekan produksi dari IL-12. Dijumpai
sel CD4+ berkurang, sel CD8+ yang banyak dan dijumpai foamy makrofag. Spektrum imunologi kusta
tipe tuberkuloid dan lepromatous tetap berada pada kedua kutub masing-masing, namun pada kusta tipe

borderline (BT, BB, BL) spektrum imunologi kusta bersifat dinamik (unstable) yang bergerak diantara ke
dua kutub.
Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit kusta yang ditandai
dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadang-kadang disertai dengan gejala sistemik.
Reaksi kusta dapat merugikan pasien kusta, oleh karena dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi
terutama gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada pasien kusta.
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat pengobatan, maupun sesudah
pengobatan, namun reakis kusta paling sering terjadi pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya
pengobatan. Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari Coomb & Gel
(Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1 terutama terjadi pada kusta tipe
borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat
pengobatan. Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap
kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae
yang mati akibat pengobatan yang diberikan. Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan
bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat.
Dasar reaksi kusta tipe 1 adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular
dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat langsung dari reaksi hipersensitivitas seluler
terhadap antigen basil. Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan adanya
peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-, IL-1b, IL-6, IFN- dan IL- 12 dan
sitokin immunoregulatory seperti TGF- dan IL-10 selama terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi
CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan produksi IL-2 dan IFN- meningkat sehingga dapat terjadi
lymphocytic infiltration pada kulit dan syaraf. IFN dan TNF- bertanggung jawab terhadap
terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan yang cepat.
2. Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)
Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL). Diperkirakan
50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami episode ENL. Umumnya
terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul pada pasien kusta yang belum
mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT).
ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada
pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coomb & Gel. Pada

pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga banyak antigen yang dilepaskan
dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan komplemen C3 membentuk kompleks imun yang
terus beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya akan di endapkan dalam berbagai organ sehingga
mengaktifkan sistem komplemen. Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang menimbulkan
destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi komplemen.
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan IL-10 (respon
tipeTh-2) serta peningkatan, IFN- danTNF-. IL-4, IL-5, IFN-,TNF- bertanggung jawab
terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama terjadi reaksi ENL. Reaksi ENL cenderung
berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas dan rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan
tergantung kepada pemberian steroid jangka panjang.
Pengobatan Penyakit Kusta
Pengobatan Obat antikusta diberikan secara kombinasi 2 atau 3 obat yang terdiri dari Diaminodifenil-sulfon (Dapson), Pada tahun 1988 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan
alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritomisin.
A. Program Multi Drug Therapy (MDT)
1. DDS (Diamino-difenil-sulfon)
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Resistensi
terhadap dapson timbul sebagai akibat kandungan enzim sintase yang terlalu tinggi pada kuman
kusta, Dapson biasanya diberikan dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa, atau 2 mg/kg
berat badan untuk anak-anak. Efek samping yang mungkin timbul antara lain: erupsi obat, anemia
hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan
methemoglobinemia. Namun efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.
2. Rifampisin
Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat
bakterisidal kuat pada dosis yang lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerasi RNA
yang berikatan secara ireversibel. Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kg berat badan).
Pemberian seminggu sekali dalam dosis tinggi dapat menimbulkan gejala yang disebut flu like
syndrome. Efek samping yang harus diperhatikan adalah: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal dan erupsi kulit.
Obat ini adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10
mg/kg berat badan diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan
sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada
pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu
mengingat efek sampingnya.

3. Klofazimin (Lamprene)
Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek bakteriostatik
setara dengan dapson. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga
berguna untuk pengobatan reaksi kusta. Dosis untuk kusta adalah 50mg/hari atau 100 mg tiga kali
seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kg berat badan/hari. Efek sampingnya hanya terjadi pada
dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia, dan vomittus).
4. Etionamid dan protionamid
Kedua obat ini merupakan obat tuberkolosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan
kusta. Dahulu dipakai sebagai pengganti klofazimin, pada kasuskasus yang berat karena
perubahan pigmentasinya. Obat ini bekerja bakteriostatik, tetapi cepat menimbulkan resistensi,
lebih toksik, harganya mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi
pada rejimen pengobatan kusta

B.

Obat Alternatif Kusta


1. Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycrobacterium leprae in
vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 hari akan
membunuh kuman Mycrobacterium leprae hidup sebesar 99,99%.
2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada rifampisin. Dosis
standar harian 100 mg.
Prognosis
Prognosis penyakit kusta bergantung pada deteksi dini apa yang dialami pasien, akses ke
pelayanan kesehatan dan penanganan awal yang diterima oleh pasien. Relaps pada penderita kusta terjadi
sebesar 0,01 0,14 % per tahun dalam 10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson
atau rifampisin. Secara keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih baik karena pada anak jarang terjadi
reaksi kusta
Sumber :
James W.D., Elston D.M., 2016. Andrews' Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 12th ed.
Saunders/Elsevier; London, UK.
Ramaswari, Ni Putu Ayuni Yayas . 2015. Masalah Reaksi Reversal dan Eritema Nodosum Leprosum pada Penyakit
Kusta.

Continuing

Professional

Development

CDK-232.

http://www.kalbemed.com/. Diakses pada 26 September 2016

Dll.

vol.

42

no.

9,

th.654-657.

Você também pode gostar