Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
atau
pertolongan segera dalam arti pertolongan secara cermat, tepat dan cepat. Apabila
tidak mendapatkan pertolongan semacam itu maka korban akan mati atau cacat
atau kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup.
Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama,
yaitu:
1. Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
2. Perubahan klinis yang mendadak
3. Diperlukannya mobilitas petugas yang tinggi
Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat
memiliki risiko tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian.
Diagnosis
Manifestasi klinis
1. Awalnya mungkin tidak terlihat, karena splinting (terbelat) dengan dinding
dada.
2. Gerakan paradoksal segmen yang mengambang saat inspirasi ke dalam,
ekspirasi ke luar. Gerakan ini tidak terlihat pada pasien dengan ventilator
3. Sesak nafas
4. Krepitasi iga, fraktur tulang rawan
5. Takikardi
6. Sianosis
7. Pasien menunjukkan trauma hebat
8. Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen,
ekstremitas).
Pemeriksaan Penunjang
a. Rontgen standar
-
Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat menentukan jumlah dan tipe
costae yang fraktur.
Pada pemeriksaan foto thoraks pasien dewasa dengan trauma tumpul toraks,
adanya gambaran hematotoraks, pneumothoraks atau kontusio pulmo
menunjukkan hubungan yang kuat dengan gambaran fraktur costa.
Setelah dibuktikan dengan foto rontgen bahwa terjadi fraktur pada costa, maka
pada daerah cedera harus dipasang strapping/ balut tekan yang kuat selama 2-3
minggu.
b. EKG
c. Monitor laju nafas, analisis gas darah
Dapat ditemukan pada pemeriksaan lab yang berupa analisa gas darah dengan
penurunan PO2.
d. Pulse oksimetri
Penatalaksanaan
1. Primary Survey
a. Airway dengan control servikal
Penilaian
1) Perhatikan
patensi
Manajemen
airway 1) Lakukan chin lift dan atau jaw
terlentang
atau
kontrol
sehingga
segmen
servikal
in-line
immobilisasi
mengambang
untuk
terletak
ventilasi
adekuat,
oksigen dilembabkan.
yang
tadi
dekubitus
ekspansi
pengembangan dada:
thoraks Pemberian
analgesia
seperti
thoraks
redup
hipersonor
5) Auskultasi thoraks bilateral
mendasarinya.
ventilasi
diperlukan
untuk
dan
memungkinkan
penilaian
lebih
lanjut
dan
yang
melingkari
sumber
perdarahan
pada
eksternal
nadi:
kecepatan,
besar
sekaligus
mengambil
10
kualitas,
keteraturan,
pulsus
Tidak
paradoksus.
diketemukannya
pulsasi dari
darah
dan
cross-match
serta
kulit,
kenali
tanda-tanda sianosis.
berhati-hati.
4) Pemasangan kateter urin untuk
monitoring
indeks
perfusi
jaringan.
d. Disability
-
Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi
tanda-tanda lateralisasi.
e. Exposure/environment
-
11
b. Nilai perfusi organ (nadi, warna kulit, kesadaran, dan produksi urin) serta
awasi tanda-tanda syok.
4. Secondary Survey
a. Anamnesis AMPLE dan mekanisme trauma
b. Pemeriksaan fisik
-
Thorax
Abdomen
Perineum
Musculoskeletal
Neurologis
Reevaluasi penderita
5. Terapi Definitif
a. Fiksasi internal dengan menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah
dengan operatif
b. Indikasi Operasi (stabilisasi) pada flail chest:
-
12
dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena
adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di
dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan
ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami
ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas
menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipersonor. Fototoraks pada
saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis.
Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube
pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks
adalah dengan dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung
resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungan dengan WSD dengan atau
tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan
kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak
boleh diberikan pada penderita dengan peneumotoraks traumatic atau pada
penderita yang mempunyai resiko terjadinya
tension pneumotorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan
tekanan positif diberikan. Toraks penderita harus dikompresi sebelum penderita
ditransportasi atau rujuk.
13
dengan
trakea. Akibatnya
ventilasi
terganggu
sehingga
14
Petrolatum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan
dilanjutkan dengan penjahitan luka.
15
komplikasi
16
Tension
pneumothorax
membutuhkan
dekompresi
segera
dan
penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar
pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan.
Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothorax
sederhana (catatan ; kemungkinan terjadi pneumotraks yang bertambah akibat
tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitive selalu
dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (Chest tube) pada sela iga ke 5 (garis
putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.
17
2.2.5 HEMOTHORAX
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari
pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh
trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga
dapat menyebabkan terjadinya hemothorax. Biasanya perdarahan berhenti spontan
dan tidak memerlukan intervensi operasi.
18
19
I
II
III
IV
dalam tubuh
15
30
40
>40
< 750
75-1500
2000
> 2000
20
setinggi putting susu, anterior dari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga
pleura selengkapnya. Ketika kita mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan
untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml,
kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera.
Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1.500 ml,
tetapi pendarahan tetap berlangsung. Ini juga membutuhkan torakotomi.
Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus
menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi
penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi
untuk torakotomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang
dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya
harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah
(arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai
dasar dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari
garis putting susu dan luka di daerah posterior, medial dari scapula harus disadari
oleh
dokter
bahwa
kemungkinan
dibutuhkan
torakotomi,
oleh
karena
kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang
potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oleh ahli
bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah mendapat latihan.
21
penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan
tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya
tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi
pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat
tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan
tamponade jantung.
inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan
menunjukkan adanya temponande jantung.
PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus
dicurigai adanya temponande jantung.
diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pada berbagai keadaan lain.
Pemeriksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat
membantu penilaian pericardium, tetapi banyak penelitan yang melaporkan angka
negative yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 % (medlinux). Pada penderita trauma
tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG
abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan
syarat tidak menghambat resusitasi. Evakuasi cepat darah dari perikard
22
23
1. Tentukan tempat insersi, biasanya setinggi putting (sela iga V) anterior linea
midaksilaris pada area yang terkena
2. Siapkan pembedahan dan tempat insersi ditutup dengan kain
3. Anestesi lokal kulit dan periosteum iga
4. Insisi transversal (horizontal) 2-3 cm pada tempat yang telah ditentukan dan
diseksi tumpul melalui jaringan subkutan, tepat di atas iga
5. Tusuk pleura parietal dengan ujung klem dan masukkan jari ke dalam tempat
insisi untuk mencegah melukai organ yang lain dan melepaskan perlekatan,
bekuan darah, dll
6. Klem ujung proksimal tube torakostomi dan dorong tube ke dalam rongga
pleura sesuai panjang yang diinginkan hingga lubang terakhir berada di
rongga pleura
7. Cari adanya fogging pada chest tube pada saat ekspirasi atau dengar aliran
udara
24
Perikardiosintesis
Monitor tanda vital, CVP, dan EKG sebelum, selama dan sesudah prosedur
Persiapan bedah pada area xiphid dan sub xiphid juika waktu memungkinkan
Anestesi lokal ditempat pungsi jika perlu
Gunakan kateter jarum 16-18 G, 6 inch (15 cm), atau lebih panjang, terpasang pada
5.
6.
7.
8.
25
26
G
3. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan
lesiintrakranial.
a. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar
tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik
bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital
(raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS
(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis.
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan
antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput
duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur
tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga
mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak
bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada
populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang
27
sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.
b. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien
pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal
namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan
klinis.
Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek
atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau
temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media.
Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural
akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa
posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat
saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera,
prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak
berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural
berkaitan langsung dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan.
Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya lucid
interval yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tibatiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memang
tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
28
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu
homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula
interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying
lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila
meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga
tampak lebih jelas.
Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling
sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus
draining.
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta
biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan
operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom
terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan
sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural
hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di
daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya
hematom.
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi,
kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh
karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area
hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas
tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom
29
subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin
menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens.
30
Cedera difus
Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada
cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana
kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun
karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari
komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia.
Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali. Cedera komosio
yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde
dan amnesia antegrad.
Komosio cerebri
klasik
adalah
cedera
yang
mengakibatkan
31
dan cedera otak kerena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang dua
keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.
Penatalaksanaan
Prinsip penanganan awal pada pasien trauma meliputi survei primer dan
survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan
antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan
cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak
sekunder dan mencegah gangguan homeostasis otak. Survei sekunder dan tersier
yang lebih komprehensif akan mengikuti pemeriksaan primer
Bila penderita mengalami penurunan kesadaran maka pangkal lidah
kemungkinan akan jatuh kebelakang dan menyumbat hipofaring. Sumbatan
seperti ini dapat segera diatasi dengan melakukan hiperekstensi (ditengadahkan),
tetapi tindakan ini tidak diperbolehkan pada penderita trauma yang dicurigai
mengalami fraktur servikal (patah tulang leher). pada penderita trauma dengan
kecurigaan patah tulang leher maka dapat diatasi dengan melakukan pengangkatan
dagu (Chin lift manuver) atau dengan mendorong rahang bawah kearah depan
(jaw thrust manuver). Airway (jalan napas selanjutnya dapat dipertahankan
dengan oropharyngeal airway (atau di rumah sakit terkenal dengan gudel) atau
dengan menggunakan nasopharyngeal airway.
Data klinis menunjukkan bahwa cedera otak sangat rentan terhadap keadaan
hipoksia dan adanya korelasi yang kuat antara defisit neurologis awal dengan
hipotensi dan hipoksia. Bila memungkinakan penderita dapat diberikan jalan nafas
definitif dengan pemasangan endotracheal tube dengan tujuan mengamankan
jalan nafas, menjamin pertukaran gas, menstabilkan sirkulasi dan mengelola
tekanan intrakranial dengan semestinya.
Kita perlu segera melakukan intubasi bila :
a. GCS kurang dari 8,
b. pasien butuh ventilasi mekanik / kontrol pernafasan,
32
c. pasien dengan tiba-tiba memburuk akibat trauma brain injury, kerusakan ini
perlu pengamatan selama 72 jam setelah cedera awal, tetapi biasanya cukup
dalam 24 jam pertama.
Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan
Penderita sadar dan berorientasi-(GCS 14-15) Riwayat :
Mekanisme cedera
Waktu cedera
Tingkat kewaspadaan
Kejang
Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik.
Pemeriksaan neurologis terbatas.
Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi.
Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine.
Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pads setiap penderita cedera kepala
ringan,
kecuali
bila
memang
sama
sekali
asimtomatik
dan
CT scan abnormal
Kesadaran menurun
Intoksikasi alkohol/obat-obatan
33
Fraktur tengkorak
Rhinorea-otorea
Amnesia
Dipulangkan dari RS
Tidak memenuhi kriteria rawat.
Diskusikan kemungkinan kembali bila memburuk dan berikan lembar observasi.
Jadwalkan untuk kontrol ulang di poliklinik biasanya setelah 1 minggu
Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang
Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih
mampu menuruti perintah-perintah sederhana (GCS : 9-13).
Pemeriksaan awal :
Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan
darah sederhana
Pemeriksaan CT scan kepala
Dirawat untuk observasi
Setelah dirawat
Pemeriksaan neurologis periodik,
Pemmksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau
bila penderita akan dipulangkan.
Bila kondisi membaik (90%)
Pulang
Kontrol di poliklinik.
Bila kondisi memburuk (10%)
Bila penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah lagi, segera lakukan
34
ABCDE
Primary Sunny dan resusitasi
Secondary Survey dan riwayat AMPLE
Re-evaluasi neurologic
Respon motorik
Respon verbal
5. Obat-obatan
Manitol
Antikonvulsan
Hiperventilasi sedang
Tes Diagnostik (sesuai urutan)
CT Scan (semua penderita)
Ventrikulografi udara
Angiogram
Konservatif
1) Manitol 20%
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal
melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak
terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus
35
cairan
yang
mengandung
glukosa
dapat
menyebabkan
hipoglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang
dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat.
Kadar natrium serum juga harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya
edema otak (De Jong, 2004). Strategi terbaik adalah mempertahankan volume
intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik.
Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa
menyebabkan edema otak .
5) Antikonvulsan
36
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala
tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma bukan prediksi
epilepsi tetapi kejang dini bisa memperburuk secondary brain injury dengan
menyebabkan
hipoksia,
hiperkarbia,
pelepasan
neurotransmitter,
dan
peningkatan ICP.
Pengobatan :
a. Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
b. Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila
cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40
mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila
setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara
pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50
mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
c. Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang
tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita
dengan amnesia post traumatik panjang.
Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial
atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
b. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta
c.
d.
e.
f.
g.
h.
umumnya dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan salah satu
38
penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri koroner yang
menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan menyempit akibat
sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat
ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung
tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan
fungsinya, sehingga dapat terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan
jantung mati dan menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat
sistem konduksi langsung dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan
cardiac arrest.
2.
Stess fisik.
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal
berfungsi, diantaranya:
Perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
Sengatan listrik
Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang
memiliki gangguan jantung.
Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal refleks
Kelainan Bawaan
39
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat
menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya dapat
mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran
jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung kronik. Infeksi dari
jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur dari jantung.
5.
Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker,
Tamponade jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung
Tension pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura.
Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan
dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan
ini terjadi, jantung akan terdesak dan pembuluh darah besar (terutama vena cava
superior) tertekan, sehingga membatasi aliran balik ke jantung.
Proses terjadinya cardiac arrest
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia:
fibrilasi ventrikel (VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi
(PEA), dan asistol.
a) Fibrilasi ventrikel
40
42
Gambar. CPR
DEFIBRILASI
Mayoritas henti jantung melibatkan fibrilasi ventrikel yang dapat
dikembalikan dengan defibrilasi listrik.
menurun seiring dengan durasi henti jantung ( kira-kira 2-7 % per menit dari henti
jantung), Meskipun dengan tindakan BLS dapat meperlambat kerusakan tersebut.
43
Gambar . Defibrilator
Hanya relatif kecil proporsi energi dikirimkan ke jantung dan variasi
impedansi transthoracic (perlawanan terhadap aliran arus yang disebabkan oleh
jaringan dada) akan terjadi. Kebutuhan energi untuk defibrilasi (ambang
defibrilasi) akan cenderung meningkat dengan durasi penangkapan. tingkat energi
empiris dari 200 Joule (J) untuk guncangan pertama dua dan selanjutnya 360J
telah diputuskan untuk resusitasi dewasa. guncangan DC harus disampaikan
dengan posisi yang benar dan kontak yang baik dengan menggunakan bantalan
konduktif atau media penghubung.
Meskipun polaritasnya tidak begitu penting namun penempatan DC shock
harus benar diletakkan yaitu pada sternum dan apex. DCshock yang diletakkan
44
pada sterna pada sebelah kanan dinding anterior dibawah clavikula dan yang yang
satunya lagi persis terletak pada posisi apex jantung. (lihat gambar 6 ) hati-hati
pada wanita, karena mempunyai jaringan payudara.
Dalam beberapa tahun terakhir, semi dan sepenuhnya defibrillator
otomatis telah dikembangkan. Bila tersambung ke pasien ini mampu menafsirkan
irama jantung dan memberikan kejutan bila diperlukan. Beberapa juga mampu
mengukur impedansi transthoracic pasien dan berusaha untuk menyesuaikan
pengiriman energi untuk aliran arus yang dibutuhkan. Generasi terbaru sangat
mesin menggunakan tri-phasic energi gelombang bentuk-dan bi untuk mencapai
defibrilasi sukses pada tingkat energi yang lebih rendah.
Terlepas dari jenis defibrillator yang tersedia, adalah penting bahwa staf
menggunakannya akrab dengan operasinya, dan dilatih secara teratur dalam
penggunaannya.
45
46
dicadangkan
untuk
pengobatan
lini
kedua
dari
peri-arrest
tachyarrhythmias. Amiodarone sebaiknya dikelola secara terpusat dan perlahanlahan. Biasanya dosis muatan 300mg diberikan lebih dari satu jam diikuti dengan
infus 900mg dalam 1000ml glukosa 5% selama 24 jam berikut. Dalam situasi
mendesak, dosis 300mg pertama dapat diberikan selama 5-15 menit secara perifer
dan diikuti dengan 300mg lebih dari satu jam.
Atropin
Suntikan atropin digunakan dalam pengobatan bradycardia (tingkat rendah
hati yang sangat), ada detak jantung dan aktivitas listrik pulseless (PEA) dalam
serangan jantung . Ini bekerja karena aksi utama dari saraf vagus sistem
parasimpatis pada jantung adalah dengan menurunkan detak jantung. Namun,
dalam panduan terbaru yang dirilis oleh asosiasi American Heart, atropin tidak
lagi secara rutin diindikasikan sebagai modalitas pengobatan primer di ada detak
jantung dan PEA. Atropin blok tindakan dan, karenanya, dapat mempercepat
denyut jantung. Dosis yang biasa atropin dalam penangkapan bradyasystolic
adalah 0,5 hingga 1 mg IV push setiap tiga sampai lima menit, sampai dosis
maksimum 0,04 mg / kg. Untuk bradikardi gejala, dosis biasa adalah 0,5-1,0 mg
47
IV push, dapat mengulang setiap 3 sampai 5 menit sampai dosis maksimum 3,0
mg.
Epinefrin
Adrenalin digunakan sebagai obat untuk mengobati serangan jantung dan
disritmia jantung mengakibatkan berkurang atau tidak ada curah jantung tindakan
adalah untuk meningkatkan daya tahan perifer melalui - reseptor tergantung
vasokonstriksi dan meningkatkan cardiac output melalui mengikat untuk reseptor
48
49
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Gawat darurat
atau
pertolongan segera dalam arti pertolongan secara cermat, tepat dan cepat. Apabila
tidak mendapatkan pertolongan semacam itu maka korban akan mati atau cacat
atau kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup.
keadaan pasien gawat darurat disebabkan oleh suatu penyebab yang
menyangkut terganggunya jalan nafas, terganggunya fungsi pernafasan, fungsi
otak,fungsi jantung dan sirkulasi. Dengan adanya kondisi gawat darurat oleh
penderita untuk itu memerlukan tindakan segera untuk menyelamatkan jiwa
pasien.
49
50
DAFTAR PUSTAKA
2015 American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care
1.
https://circ.ahajournals.org/content/132/18_suppl_2/S315.full
care
for
healthcare
R.
provider.
Petunjuk
Chicago:
praktis
50
51
51