Você está na página 1de 14

Alel Gen Reseptor Dopamin D2 (DRD2) dan Frekuensi Haplotip pada Subjek Ketergantungan

Alkohol dan Subjek Kontrol: Tidak Ada Hubungan dengan Fenotip atau Keparahan Fenotip
Kemungkinan hubungan antara polimorfisme pada gen reseptor dopamin D2 (DRD2) dengan
ketergantungan alkohol telah menjadi hal yang kontroversial sejak pertama diusulkan pada tahun
1990. Polimorfisme yang paling banyak dikaji hingga saat ini adalah sistem TaqI A dan B.
Polimorfisme tersebut hampir tidak mungkin membawa efek fisiologis secara langsung serta
belum pernah ditunjukkan berada dalam linkage disequilibrium dengan polimorfisme umum apa
pun yang lebih mungkin untuk membawa efek dalam populasi keturunan Eropa. Polimorfisme
yang baru saja dipaparkan pada regio promoter gen DRD2 dengan kemungkinan efek pada
regulasi gen adalah polimorfisme fungsional pertama yang dipaparkan pada lokus ini yang cukup
sering muncul pada keturunan Eropa-Amerika (EA) yang mampu menjelaskan temuan-temuan
positif. Tujuan dari kajian ini adalah untuk menentukan apakah kita dapat mereplikasi hubunganhubungan yang telah dilaporkan sebelumnya, khususnya mengenai sistem A dan B dengan
ketergantungan alkohol atau keparahan ketergantungan alkohol, menggunakan rancangan
kelompok kontrol terskrining. Kami juga mengkaji sistem promoternya, sistem D, dan 3
haplotip lokus. Untuk menguji hipotesis suatu hubungan dengan ketat, kami mengkaji empat
sistem polimorfik DRD2 pada 160 subjek EA yang ketergantungan alkohol dan 136 subjek EA
kontrol terskrining. Untuk meningkatkan kemungkinan kami dalam mendeteksi hubungan
dengan polimorfisme lain pada lokus tersebut, kami juga menyusun 3 haplotip lokus, termasuk
DRD2 A, D, dan sistem promoter pada kedua sampel. Tidak terdapat perbedaan bermakna
pada frekuensi alel antara subjek ketergantungan alkohol dan subjek kontrol terskrining untuk
semua empat sistem yang dikaji. Tidak pula terdapat perbedaan frekuensi haplotip 3 lokus antara
kelompok-kelompok ini. Analisis berdasarkan keparahan ketergantungan alkohol juga tidak
memberikan hubungan yang bermakna. Frekuensi alel pada subjuk kontrol terskrining tidak
berbeda dari frekuensi alel yang telah kami laporkan sebelumnya pada kontrol yang tidak
terskrining. Oleh karena itu, kami mereplikasi temuan-temuan sebelumnya yang tidak
memberikan hubungan antara alel DRD2 dengan ketergantungan alkohol. Hasil ini sekarang
dapat diperluas untuk menginklusi haplotip yang mengandung polimorfisme sistem promoter
yang kemungkinan fungsional. Penjelasan yang ditawarkan sebelumnya untuk menjelaskan tidak
adanya hubungan (mengenai keparahan ketergantungan alkohol, serta digunakannya kontrol

terskrining vs. tidak terskrining) tidak tervalidasi. Hasil ini konsisten dengan tidak adanya efek
polimorfisme DRD2 pada fenotip perilaku yang berhubungan dengan ketergantungan alkohol.
Kata kunci: DRD2; sistem TaqI A; haplotip; promoter; gen kandidat; alkoholisme;
ketergantungan zat; hubungan genetik
Sejak tahun 1990, banyak kajian telah mempelajari perihal kemungkinan hubungan antara alel
gen reseptor dopamin D2 (DRD2) dengan alkoholisme (Blum et al. 1990) serta dengan
serangkaian fenotip perilaku lainnya. Pengartian temuan-temuan positif yang telah muncul tetap
menjadi kontroversi. Temuan-temuan tersebut telah dijelaskan dengan sindroma reward
deficiency yang dimediasi oleh DRD2 (Blum et al. 1997), tetapi temuan-temuan tersebut juga
dapat dijelaskan dengan stratifikasi populasi atau melalui mekanisme-mekanisme lain yang
dikenal dengan baik dalam genetika populasi (Gelernter et al. 1993a), di mana beberapa di
antaranya dapat berperan dalam temuan hubungan yang dapat direplikasi yang meskipun juga
tidak memiliki makna patofisiologis. Satu contoh hubungan tersebut, akibat stratifikasi populasi,
adalah observasi meningkatnya frekuensi sebuah varian gen yang mengontrol pigmentasi kulit
pada subjek dengan anemia sel sabit (yang sebagian besar adalah keturunan Afrika-Amerika),
dibandingkan dengan sampel acak dari subjek Amerika (yang sebagian besar adalah keturunan
Eropa-Amerika (EA)).
Kajian-kajian hubungan DRD2 yang terpublikasi dapat dikelompokkan menurut populasi yang
dikaji dan menurut polimorfisme yang dikaji. Hampir semua temuan-temuan positif muncul di
populasi Eropa ataupun EA (contoh: Blum et al. 1990; Parsian et al. 1991), sedangkan kajiankajian pada populasi lain secara umum adalah negatif (contoh: Chen et al. 1996). Kajian dengan
populasi spesifik yang dibatasi dengan jelas (yaitu dengan campuran lebih sedikit) telah
memberikan hasil negatif lebih sering daripada kajian dengan populasi yang campurannya lebih
banyak. Selain itu, banyak polimorfisme pada lokus DRD2 telah dipaparkan. Polimorfisme ini
dapat dikelompokkan sebagai berikut: polimorfisme nonfungsional dengan temuan positif
multipel (contoh: sistem TaqI A [DRD2*A] dan B [DRD2*B]); polimorfisme fungsional
(contoh: Ser311 Cys311 (Gejman et al. 1994; Cravchik et al. 1996); 141CIns/Del (Arinami et
al. 1997)); dan polimorfisme nonfungsional, baik dengan temuan positif tunggal atau temuan
negatif. Polimorfisme fungsional jelas lebih mungkin daripada yang nonfungsional untuk

berperan dalam hubungan dengan mekanisme fisiologis yang telah dipahami dengan baik. Akan
tetapi, polimorfisme yang mempengaruhi urutan protein dengan frekuensi tertinggi di populasi
Eropa, Ser311 Cys311 (atau Ser311Cys), hanya memiliki frekuensi sebesar 0,03 di populasi
tersebut (Gejman et al. 1994). 141CIns/Del, terletak di regio promoter DRD2, telah dipaparkan
baru saja (alel yang diacu di sini sebagai PDel, varian delesi; PIns, varian insersi). Polimorfisme
ini dilaporkan memiliki efek pada efisiensi dalam mengatur sintesis lusiferase pada reporter
constructs, dengan alel PDel memiliki efisiensi yang lebih rendah, dan juga dilaporkan
berhubungan dengan schizophrenia pada populasi Jepang (Arinami et al. 1997). (Pada penelitian
ini, subjek schizophrenia Jepang memiliki frekuensi alel PDel yang secara signifikan lebih
rendah daripada subjek kontrol Jepang). Sebelumnya kami menunjukkan bahwa sistem
polimorfisme ini paling tinggi berada dalam linkage disequilibrium (LD) yang lemah dengan
sistem DRD2*A yang paling banyak dikaji pada EA, sehingga tidak dapat berperan pada kajiankajian yang positif (Gelernter et al. 1998). (Akan tetapi, sistem DRD2*A dan 141CIns/Del
berada dalam LD yang bermakna pada Afrika-Amerika). Meski sistem DRD2*A itu sendiri
terletak pada sekitar 10 kb 3 dari regio koding gennya, sehingga sangat mungkin dia sendiri
nonfungsional, data yang mendukung hubungan ini dengan ukuran-ukuran fungsional seperti
jumlah reseptor D2 postmortem hanya terbatas (Noble et al. 1991); data yang mendukung tidak
adanya hubungan dengan potensi ikatan D2 juga ada (Laruelle et al. 1998).
Beberapa pendukung hubungan yang bermakna secara patofisiologis telah membahas perbedaan
antara hasil mereka dengan hasil negatif dari kelompok penelitian lain. Argumen yang paling
sering diulang-ulang berkaitan dengan (a) pengukuran keparahan pada kelompok yang sakit,
dan (b) permasalahan mengenai komposisi kelompok kontrol. Pada kategori pertama, beberapa
penulis telah berargumen bahwa hubungan antara alel DRD2*A1 dengan ketergantungan alkohol
meningkat tajam seiring dengan meningkatnya keparahan fenotip yang diukur. Telah
diargumenkan juga bahwa kajian-kajian dengan hasil negatif diturunkan dari perbandingan
menggunakan kelompok subjek ketergantungan alkohol yang kurang parah dibandingkan dengan
kajian dengan hasil positif (Noble, Syndulko et al. 1994). Pada kategori kedua, beberapa penulis
telah berargumen bahwa observasi fenotip perilaku pada kelompok kontrol penting secara kritis
dan bahwa apakah kelompok kontrol telah terskrining untuk mengeksklusi penyakit psikiatri atau
belum, khususnya ketergantungan alkohol, memiliki hubungan kuat dalam kemampuan
mendeteksi hubungan genetik. Kami telah menunjukkan sebelumnya bahwa penggunaan

kelompok kontrol acak, yang mana termasuk subjek ketergantungan alkohol yang prevalensinya
ada dalam populasi, sebenarnya tidak akan mempengaruhi prediksi perbedaan dalam frekuensi
alel pada sebagian besar kasus, dan secara spesifik pada kasus DRD2 dan alkoholisme, dalam
sebuah model yang menggunakan frekuensi alel yang teramati pada lokus DRD2 (Gelernter et al.
1991). Kami tidak mengetahui apakah argumen ini telah disangkal secara langsung, tetapi
banyak penulis telah menyatakan bahwa komposisi kelompok kontrol, khususnya statusnya
perihal skrining, merupakan hal yang sangat penting. Satu kelompok penelitan, dalam
melaporkan frekuensi alel sistem DRD2*A yang berbeda antara subjek ketergantungan alkohol
dengan kelompok terskrining pada sampel mereka, mengatakan bahwa perbedaan tersebut
meski tidak tampak seperti artefak, perbedaan itu tidak spesifik pada fenotip alkoholisme itu
sendiri (Neiswanger et al. 1995; hlm. 267), dan mereka menghubungkan pengamatan ini dengan
skrining kelompok kontrol mereka (dan bukan, sebagai contoh, stratifikasi populasi atau
sampling error). Temuan yang konsisten dilaporkan oleh Lawford et al. (1997). Kami telah
menunjukkan beberapa tahun sebelumnya bahwa perbedaan antara laporan positif dan negatif
pada titik tersebut pada pokoknya dapat disebabkan oleh pelaporan observasi frekuensi alel
DRD2*A1 yang lebih rendah pada kelompok kontrol terskrining daripada pada kelompok tidak
terskrining. Akan tetapi, kesimpulan kami adalah bahwa hal ini kemungkinan mewakili adanya
artefak dan bukan alternatif logis, seperti bahwa alel DRD2*A2 protektif terhadap penyakit
psikiatri secara umum (Gelernter et al. 1993b). Sulit untuk memaparkan penjelasan memuaskan
lain, karena pembuangan sejumlah besar alel DRD2*A1 dari kelompok kontrol melalui skrining
populasi akan membutuhkan (a) pembuangan dengan skrining subjek yang banyak, dan (b)
konsentrasi alel DRD2*A1 yang besar pada subjek-subjek yang dihilangkan. Mengingat
prevalensi populasi untuk ketergantungan alkohol (sekitar 14% prevalensi seumur hidup; DSMIV, American Psychiatric Association, 1987a; 1987b) dan frekuensi alel DRD2*A1 yang
dilaporkan untuk populasi pada kajian-kajian yang positif (contoh: 0,25; Blum et al. 1991),
dibandingkan dengan frekuensi alel kontrol terskrining yang teramati (contoh: 0,18 pada kajian
ini), perbedaan besar pada frekuensi alel antara populasi yang terskrining dan tidak terskrining
tidak dapat dipertimbangkan. Sebagai contoh, dengan frekuensi alel dan prevalensi populasi
yang dikutip di atas, prediksi frekuensi alel DRD2*A1 pada populasi tidak terskrining naik
hingga hanya 0,19. Hal ini merefleksikan penambahan 14% subjek (prevalensi populasi) dengan
frekuensi alel DRD2*A1 0,25, dan bukan 0,18, yang dipaparkan dengan persamaan (frekuensi

alel yang teramati pada subjek ketergantungan alkohol) x (prevalensi fenotip) + (frekuensi alel
yang teramati pada kontrol terskrining)*(1-prevalensi fenotip) = (frekuensi pada kontrol tidak
terskrining). Perlu dicatat bahwa perhitungan ini mengasumsikan sebuah hubungan yang
teramati dengan fenotip tersebut, yang mana tidak dapat ditegakkan. Bila frekuensi alel yang
lebih tinggi pada subjek yang terpengaruh diasumsikan akibat keparahan yang lebih berat (juga
tidak tegak), dampak skrining yang lebih besar tidak dapat diharapkan, karena adanya penurunan
sebanding pada prevalensi fenotip yang berat pada populasi. Selain itu, kami juga berargumen
lain bahwa bila sebuah polimorfisme benar-benar mempengaruhi fenotip psikiatri, proses
skrining itu sendiri dapat diperkirakan menyebabkan artefak yang dapat terukur (Gelernter et al.
in press (a)).
Mungkin kajian terkini yang paling mengesankan adalah oleh Goldman et al. (1997), termasuk
data genotip Ser311Cys. Varian Ser311Cys, alel langka (Cys311) yang memiliki frekuensi di EA
sekitar 0,03 (Gejman et al. 1994), jauh kurang efektif dalam menghambat sintesis cAMP
daripada alel umum (Cravchik et al. 1996). Akan tetapi, alel Cys311 memiliki frekuensi 0,16 di
suku Indian Amerika Barat Daya (Goldman et al. 1997), yang memberikan kesempatan untuk
mengkaji efeknya pada fenotip varian DRD2 dengan efek fungsional in vitro. Goldman et al.
(1997) mengamati lima belas homozigot Cys311 pada populasi kajian mereka dengan 459
subjek. Tidak terdapat kaitan maupun hubungan antara alel pada sistem polimorfisme ini (atau
sistem DRD*A) dengan ketergantungan alkohol pada sampel ini. Hal ini menunjukkan bahwa
variasi fungsinoal lokus DRD2 yang sebenarnya tidak mungkin untuk memodulasi risiko
ketergantungan alkohol, meski pada populasi berbeda dari yang ada pada hubungan yang
dilaporkan.
Dari sekian banyak sistem polimorfisme pada lokus DRD2, sistem DRD*A (Grandy et al. 1989),
merupakan yang paling banyak dikaji sejauh ini. Lokasi ini terletak pada sekitar 10 kb 3 dari
exon 8, exon DRD2 yang terakhir. Sistem DRD2*B (Hauge et al. 1991), yang memetakan 5 ke
exon 2, juga telah diperiksa pada banyak kajian hubungan, dan sistem ini memiliki LD yang kuat
dengan sistem A (Hauge et al. 1991). Sistem DRD2*D (Parsian et al. 1991; Kidd et al. 1996)
memetakan antara exon 2 dan 3 (Parsian et al. 1991; Suarez et al. 1994) (Gambar 1). Kami
melaporkan frekuensi haplotip termasuk ketiga sistem ini pada kontrol dan pada populasi
ketergantungan kokain (Gelernter et al. in press (b)). Tidak terdapat perbedaan signifikan antara
kelompok-kelompok ini, tidak pula terdapat perbedaan keparahan. Serupa dengan hal tersebut,

kami melaporkan tidak adanya frekuensi haplotip antara kelompok kontrol yang sama dengan
kelompok subjek dengan PTSD, yang banyak di antaranya memiliki ketergantungan alkohol
komorbid (Gelernter et al. in press (a)). Kelompok kontrol yang digunakan untuk kajian ini
sebagian tidak terskrining, yaitu pada beberapa subjek tidak diketahui apakah mereka memiliki
penyakit psikiatri.
Exon 1 DRD2 terletak kurang lebih 250 kb di atas exon 2 melalui exon 8 (Eubanks et al. 1992).
Kami sebelumnya telah mengkaji LD dan frekuensi haplotip yang mengandung sistem DRD2*A,
DRD2*D, dan 141CIns/Del pada subjek Eropa-Amerika, Afrika-Amerika, dan Jepang. Meski
kami menemukan bukti adanya LD pada 25 kb intron pertama pada kedua populasi Amerika,
kami tidak menemukan LD yang bermakna antara sistem DRD2*A dengan sistem 141CIns/Del
pada sampel 83 subjek EA (D = 0,0087; D = 0,482) (Gelernter et al. 1998).
Untuk kajian ini, kami mencari data untuk mendekati beberapa hipotesis yang relevan dengan
DRD2 dan ketergantungan alkohol yang sebelumnya belum pernah disinggung pada sampel EA
yang besar. Hal ini termasuk kemungkinan bahwa alel DRD2*A1 dapat menunjukkan hubungan
dengan ketergantungan alkohol pada beberapa sampel akibat LD dengan varian fungsional,
kemungkinan bahwa varian promoter yang baru dipaparkan dapat berhubungan dengan
ketergantungan alkohol, serta kemungkinan bahwa mengkaji haplotip serangkaian marker dapat
memberikan gambaran dalam mekanisme potensial untuk temuan hubungan yang positif. Kami
juga secara langsung melakukan pendekatan pada pertanyaan potensi perbedaan alel DRD2*A1
yang bermakna antara populasi kontrol terskrining dan tidak terskrining. Temuan kami tidak
mendukung hubungan yang signifikan secara fisiologis dan mengesankan bahwa, seperti hasil
sebelumnya oleh kelompok kami dan banyak kelompok lain, hasil positif dapat disebabkan oleh
efek stratifikasi populasi.
Gambar 1. Diagram skematik lokus DRD2
METODE DAN BAHAN
Metode Klinis
Subjek Ketergantungan Alkohol. Semua subjek yang dikaji adalah dari EA dan direkrut di
University of Connecticut (CT), School of Medicine (Farmington, CT). Sampel ini sama sekali
independen dari yang digunakan untuk laporan kami sebelumnya (Gelernter et al. 1991). Subjek
ketergantungan alkohol direkrut di antara individu yang mencari pengobatan penyalahgunaan
zat. Keparahan ketergantungan alkohol didefinisikan dengan dasar jumlah kriteria DSM-III-R

yang dipenuhi selama hidup (American Psychiatric Association, 1987a, 1987b). Subjek yang
memenuhi tiga (minimum diperlukan untuk penegakan diagnosis) hingga enam kriteria
dimasukkan ke dalam kelompok yang menderita tidak parah, dan yang memenuhi tujuh hingga
sembilan kriteria dianggap menderita parah.
Subjek Kontrol Terskrining. Semua subjek diskrining untuk mengeksklusi gangguan Axis I
mayor, termasuk penggunaan zat, psikotik, cemas, dan gangguan mood. Seratus tiga puluh enam
orang subjek kontrol EA terskrining dikumpulkan di VA CT Healthcare System, West Haven
Campus, dan di University of CT. Dari subjek ini, 69 diskrining dengan Structural Clinical
Interview untuk DSM-III-R (SCID; Spitzer et al. 1992), tujuh diskrining dengan Schedule for
Affective Disorders and Schizophrenia, Lifetime Version (SADS-L) (Spitzer dan Endicott 1975),
dan 12 diskrining dengan Diagnostic Interview Schedule untuk DSM-III-R terkomputerisasi (CDIS-R; Blouin et al. 1988). Sisanya diskrining dengan wawancara tidak terstruktur dengan
psikiater. Beberapa (kurang dari setengah) subjek tumpang tindih dengan kelompok kontrol yang
dilaporkan sebelumnya (Gelernter et al. 1998; in press (a), (b)). Hingga sejumlah 87 subjek EA
kontrol dipaparkan dalam kajian-kajian tersebut, tetapi 21 dari subjek tersebut tidak disrkining,
sehingga dieksklusi dari kajian ini.
Metode Laboratorium. DNA diekstrak dari whole blood dengan metode standar. Genotip didapat
untuk empat polimorfisme sistem DRD2 (DRD2*A, DRD2*B, DRD2*D, dan 141CIns/Del)
seperti yang dipaparkan di makalah lain (Gelernter et al. 1998).
Analisis Data. Untuk membandingkan frekuensi alel DRD2*A, DRD2*B, dan 141CIns/Del
antara populasi ketergantungan alkohol dengan kontrol, dan antara subjek ketergantungan
alkohol yang berat dan kurang berat, digunakan 2 2 2. Karena terdapat enam uji, tingkat
kemaknaan terkoreksi Bonferroni yang diperlukan untuk perbandingan-perbandingan ini sebesar
p < 0,08 (agar sesuai dengan p < 0,05 untuk observasi tunggal). Perbandingan untuk sistem
DRD2*D tidak dibuat karena tidak adanya hipotesis sebelumnya yang mendukung hubungan
dengan sistem ini (untuk meminimalisasi koreksi Bonferroni untuk jumlah perbandingan,
sehingga memaksimalisasi kemungkinan mendeteksi hubungan yang bermakna dengan suatu
sistem atau yang lain). Kesesuaian dengan perkiraan Hardy Weinberg equilibrium (HWE) untuk
distribusi genotip diuji menggunakan program HWsim (Cubells et al. 1997).

Kami juga membandingkan frekuensi alel DRD2*A antara kelompok kontrol EA sekarang
dengan kelompok kontrol EA tidak terskrining yang tidak tumpang tindih yang dilaporkan
sebelumnya (Gelernter et al. 1991).
Analisis haplotip diselesaikan menggunakan program 3LOCUS (Long et al. 1995), yang
mengkomputasi estimasi frekuensi haplotip hingga tiga lokus menggunakan algoritme
expectation maximization (E-M). Program ini juga mengkomputasi pairwise disequilibria (D).
Kemaknaan statistika G yang sesuai dengan disequilibria 2 lokus antara sistem 141CIns/Del
dengan DRD2*A dikomputasi menggunakan 10.000 replikasi distribusi relevan (untuk sampel
kontrol penuh dan ketergantungan alkohol diambil terpisah) (Long et al. 1995). Standardized
disequilibria (D) dikomputasi seperti yang dipaparkan oleh Lewontin (1988). Sementara D
merupakan ukuran divergensi dari gametic equilibrium (Spiess, 1989; hlm. 137) dan D proporsi
nilai maksimum D (Lewontin 1988). Statistik uji, G, proporsional dengan likelihood ratio log
negatif model terbatas dan model umum (Long et al. 1995), sehingga memberikan ukuran
kemaknaan statistik disequilibria.
Frekuensi haplotip digunakan untuk mengestimasi jumlah observasi untuk tiap haplotip. Ini
kemudian dibandingkan menggunakan program CLUMP (Sham dan Curtis 1995). 2 7 2
standar dikomputasi dan kemaknaan statistiknya ditentukan secara empiris menggunakan 1000
simulasi, untuk perbandingan antara kontrol terskrining dengan subjek ketergantungan alkohol,
serta antara subjek penderita ketergantungan alkohol berat dengan kurang berat. Untuk
subjek ketergantungan alkohol kurang berat saja, dua kelas haplotip dengan observasi paling
sedikit dikombinasi untuk analisis ini. Frekuensi haplotip kemudian dibandingkan antara kontrol
terskrining dengan subjek ketergantungan alkohol berat. 2 6 2 standar dikomputasi dan
kemaknaannya ditentukan seperti di atas. Karena dilakukan tiga perbandingan, tingkat
kemaknaan yang sesuai ditentukan menjadi p < 0,017.
Perbandingan di sini melibatkan 3 haplotip lokus, yaitu sistem DRD2*A, DRD2*D, dan
141CIns/Del. Sistem DRD2*B memiliki LD yang sangat kuat dengan sistem DRD2*A (contoh:
Hauge et al. 1991) dan, pada EA, menambah informasi relatif kecil untuk haplotip, kebalikan
dengan sistem DRD2*D.
HASIL
Perbandingan Frekuensi Alel

Frekuensi alel untuk keempat sistem diringkas pada Tabel 1. Untuk Sistem DRD2*A, kontrol vs.
semua subjek ketergantungan alkohol, 2 = 0,001 (p = 0,97); keparahan ketergantungan alkohol
tinggi vs. rendah, 2 = 0,06 (p = 0,80). Untuk sistem DRD2*B, berturut-turut nilainya 2 = 0,02
(p = 0,89) dan 2 = 0,02 (p = 0,90); dan untuk sistem 141CIns/Del, 2 / 4,87 (p = 0,027) dan 0,14
(p = 0,71). Perbandingan untuk frekuensi alel sistem 141CIns/Del antara kontrol dengan sampel
ketergantungan alkohol hanya mencapai kemaknaan nominal dan tidak bertahan untuk koreksi
Bonferroni.
Untuk kelompok kontrol EA tidak terskrining yang kami laporkan sebelumnya (n = 68), kami
mengamati 27 alel A1 dan 109 A2 (f(DRD2*A1) = 0,20) (Gelernter et al. 1991). Tidak terdapat
perbedaan frekuensi alel DRD2*A yang bermakna antara kelompok tersebut dengan kelompok
kontrol terskrining pada kajian ini (2 = 0,17; p = 0,68).
Tabel 1. Frekuensi Alel untuk Sampel Terskrining dan Ketergantungan Alkohol, dan untuk
Kelompok Ketergantungan Alkohol pada Subkelompok Berat dan Kurang Berat. (n untuk
ini dan semua tabel lain adalah jumlah individu).
Perbandingan Frekuensi Haplotip
Estimasi frekuensi haplotip (Tabel 2) dibandingkan antara kelompok ketergantungan alkohol
dengan kontrol terskrining (T1 2 = 9,06; p ~ 0,15), antara subjek ketergantungan alkohol berat
dan kurang berat (T1 2 = 12,84; p ~ 0,032), dan antara subjek kontrol terskrining dengan
subjek ketergantungan alkohol berat (T1 2 = 9,68; p ~ 0,09). Subjek kontrol dan subjek
ketergantungan alkohol berat dibandingkan pada kasus ini karena observasi nilai p yang
bermakna secara nominal untuk perbandingan dengan semua subjek ketergantungan alkohol.
Meski terdapat perbedaan kecil (meski tidak bermakna, mempertimbangkan perlunya koreksi
Bonferroni) pada frekuensi haplotip antara beberapa kelompok yang dibandingkan, hal ini paling
mudah dipahami pada konteks perbedaan yang lebih besar yang diobservasi antara populasipopulasi lain (Gambar 2). Perbedaan frekuensi alel yang besar untuk tiap sistem polimorfisme ini
diobservasi antara populasi yang berbeda, mengindikasikan bahwa stratifikasi populasi
merupakan kemungkinan serius dan relevan untuk kajian sistem-sistem ini. Dengan
perbandingan, perbedaan antara populasi kontrol Afrika-Amerika dan EA yang dilaporkan
sebelumnya (keduanya sebagian tidak terskrining) untuk rangkaian marker haplotip yang sama
menunjukkan 2 = 73,9; p < 0,0001 (Gelernter et al. 1998). Selain itu, perbedaan antara
ketergantungan berat dengan kurang berat tampak didorong oleh haplotip A2-D1-PDel

(dengan estimasi frekuensi sebesar 0,044 pada alkoholik berat dan 0 pada alkoholik kurang
berat) (Gambar 2). Oleh karena itu, perbedaan ini tidak memiliki hubungan langsung dengan
alel DRD2*A1.
Tabel 2. Estimasi Frekuensi Haplotip
Gambar 2. Estimasi frekuensi haplotip. Data untuk sampel kontrol Afrika-Amerika dan Jepang
didapat dari Gelernter et al. (1998).
Pengukuran Linkage Disequilibrium
Statistika G untuk disequilibrium sistem A dan 141CIns/Del sebesar 2,68 (untuk sampel
kontrol) (p ~ 0,110) dan 3,84 (untuk sampel ketergantungan alkohol) (p ~ 0,057). Hal ini berarti,
terdapat LD hampir bermakna antara sistem-sistem ini pada sampel ketergantungan alkohol saja.
Nilai D dan D disajikan di Tabel 3.
Tabel 3. Linkage disequilibrium Antara Sistem A, D, dan 141CIns/Del
Observasi Genotip
Jumlah observasi tiap genotip lokus tunggal diringkas di Tabel 4. Tidak terdapat deviasi dari
HWE di semua kelompok.
PEMBAHASAN
Kami mereplikasi temuan sebelumnya yang tidak memberikan adanya hubungan antara alel
DRD2 dengan ketergantungan alkohol (contoh: Bolos et al. 1990; Gelernter et al. 1991). Hasilhasil ini sekarang dapat diperluas sementara untuk menginklusi polimorfisme sistem promoter
yang kemungkinan fungsional, dan untuk haplotip tiga lokus yang tersusun dari sistem DRD2*A,
DRD2*D, dan 141CIns/Del. Selain itu, kami tidak dapat mereplikasi temuan-temuan
sebelumnya yang memberikan adanya hubungan dengan ketergantungan alkohol, keparahan
ketergantungan alkohol, atau perbedaan frekuensi alel antara kelompok kontrol terskrining dan
tidak terskrining. Meski hasil-hasil ini konsisten dengan tidak adanya efek polimorfisme DRD2
pada risiko ketergantungan alkohol atau keparahan ketergantungan alkohol, perbedaan yang
bermakna secara nominal pada frekuensi alel untuk sistem 141CIns/Del antara subjuk
ketergantungan alkohol dengan kontrol mengesankan bahwa marker ini perlu dikaji lebih lanjut.
Frekuensi alel yang terobservasi di sini untuk sistem DRD2*A sangat mirip dengan yang kami
laporkan pada kajian kami sebelumnya pada sampel yang tidak tumpang tindih (Gelernter et al.
1991). Setelah itu, kami mengamati f(A1) sebesar 0,20 pada 68 kontrol tidak terskrining dan 0,23
pada 44 subjek ketergantungan alkohol. Berturut-turut hasil pada kajian ini sebesar 0,18 (pada

136 kontrol terskrining) dan 0,17 (pada 160 subjek ketergantungan alkohol). Perlu dicatat bahwa
kami tidak menemukan perbedaan frekuensi alel DRD2*A1 antara kelompok kontrol tidak
terskrining dengan kelompok yang terskrining untuk mengeksklusi penyakit psikiatri mayor.
Hasil kami pada kajian ini juga konsisten dengan yang kami temukan dari mengulas semua
kajian yang dipublikasi hingga tahun 1993 (Gelernter et al. 1993a), dengan mengeksklusi kajian
Blum et al. (1990) yang menghasilkan hipotesis. Nilai-nilainya adalah f(A1) sebesar 0,20 pada
467 alkoholik dan 0,17 pada 458 kontrol. Pada ulasan tersebut, kami juga menentukan bahwa,
menimbang semua literatur setelah laporan pertama hingga 1993, tidak terdapat perbedaan
bermakna pada frekuensi alel antara subjek ketergantungan alkohol berat dengan tidak berat.
Tabel 4. Hitung Genotip untuk Masing-masing dari Empat Polimorfisme Sistem yang Dikaji
Di sisi lain, penulis-penulis lain telah mendapatkan hasil yang cukup berbeda pada ulasan
mereka mengenai literatur yang dipublikasi. Sebagai contoh, Noble baru saja menyimpulkan
bahwa sekarang ada bukti kuat dan sedang tumbuh yang melibatkan gen DRD2 pada
alkoholisme dan gangguan penggunaan zat lain (Noble 1997; hlm. 347). Data pada kajian ini
tidak mendukung kesimpulan tersebut. Stratifikasi populasi dan bias publikasi merupakan contoh
di antara banyak penjelasan yang mungkin untuk laporan positif dan meta-analisis positif. Bias
publikasi telah ditunjukkan menurunkan probabilitas hasil negatif akan dipublikasi dan
meningkatkan waktu publikasi (Stern dan Simes 1997). Efeknya lebih tajam untuk kajian
berbasis laboratorium daripada percobaan klinis (Easterbrook et al. 1991). Penjelasan lain adalah
bahwa hasil positif yang dilaporkan oleh kelompok lain adalah benar dan laporan ini mewakili
negatif palsu akibat, sebagai contoh, efek stratifikasi populasi atau variasi acak.
Baik untuk sampel ketergantungan alkohol maupun kontrol, D menunjukkan bahwa
disequilibrium antara sistem DRD2*A dengan 141CIns/Del mendekati nilai teoritis maksimum
dengan frekuensi alel yang teramati untuk sampel ini (meski masih pada magnitude rendah,
dicerminkan dengan nilai D). Sementara LD pada kelompok kontrol terskrining jelas tidak
bermakna, hasil pada sampel ketergantungan alkohol mendekati kemaknaan (p ~ 0,057).
Mungkin hasilnya lebih rendah pada kelompok kontrol karena frekuensi alel PDel lebih rendah
pada sampel tersebut, dengan penurunan sebanding pada kemampuan untuk mendeteksi LD
antara alel langka dengan alel umum sistem lainyaitu, disequilibrium negatif antara alel langka
masing-masing dari kedua sistem. Akan tetapi, observasi ini bercermin dengan yang kami buat
untuk LD pada lokus protein transporter serotonin (SLC6A4), di mana LD antara dua

polimorfisme bermakna pada sampel subjek ketergantungan alkohol, tetapi tidak pada sampel
subjek kontrol (Gelernter et al. 1997) (kedua sampel tumpang tindih dengan yang dipaparkan di
sini, jangkauan sampel ketergantungan alkohol lebih besar daripada sampel kontrol). Hal ini
dapat merefleksikan perbedaan campuran antara populasi.
LD DRD2*A/141CIns/Del yang teramati terjadi pada arah berlawanan dari apa yang diperlukan
untuk dengan mudah mencocokkan efek dari sistem 141CIns/Del, terdeteksi melalui LD dengan
sistem DRD2*A, pada ketergantungan alkohol. Alel DRD2*A1 cenderung memprediksi adanya
alel PIns. Hal itu berarti, alel PDel (langka) ditemukan pada kromosom DRD2*A2. Akibat
rendahnya frekuensi alel PDel yang teramati pada populasi EA, akan sulit untuk mengamati tidak
adanya kromosom A1-PDel pada populasi mana pun, serta bahkan bila tidak ada LD kromosom
ini akan diharapkan berperan sebesar (0,172) (0,119) = 2% dari semua kromosom (mengambil
nilai f(DRD2*A1) dan f (PDel) yang teramati dari sampel ketergantungan alkohol kami),
berbeda dengan <1% yang benar-benar teramati (lihat Tabel 2). Jelas efek ini tidak dapat
mempengaruhi observasi hubungan antara ketergantungan alkohol, atau fenotip lain mana pun,
dengan DRD2*A1 karena dapat secara maksimal berpengaruh untuk jumlah observasi
kromosom yang sangat kecil.
Laruelle et al. (1998) tidak melihat adanya hubungan antara frekuensi alel DRD2*A atau
DRD2*B dengan potensi ikat reseptor D2, seperti yang terukur oleh SPECT. Namun, penulis lain
telah mendeteksi hubungan antara sistem DRD2*A dengan pengukuran terkait potensi ikat atau
jumlah reseptor (Noble et al. 1991; Thompson et al. 1997; Pohjalainen et al. 1998) atau
amplitude atau latensi P300 (Noble, Berman et al. 1994; Hill et al. 1998). Laporan yang
menunjukkan hubungan DRD2*A1 dengan pengukuran fenotip masih kekurangan penjelasan
fisiologis yang masuk akal hingga titik ini. Pengukuran fenotip dapat akhirnya dijelaskan bila
polimorfisme lain yang memilii efek pada fungsinya telah diidentifikasi, bila polimorfisme
tersebut merupakan yang umum di populasi Eropa atau EA, dan bila polimorfisme tersebut
ditunjukkan memiliki LD dengan sistem DRD2*A. Hal ini jelas memungkinkan, khususnya poin
yang terakhir, apabila LD dapat terukur antara exon 2-8 dengan regio promoter pada subjek EA
dan AA (Gelernter et al. 1998), tetapi kemungkinan ini harus dilihat dalam konteks kajian
intensif selama bertahun-tahun tentang gen ini pada tingkatan molecular, khususnya karena
laporan pertama oleh Blum et al. (199)), dengan tidak adanya laporan polimorfisme dengan sifat-

sifat seperti ini. Namun, masih memungkinkan hal tersebut tidak dapat dieksklusi seluruhnya
menilik kondisi teknologi yang ada.
Kesesuaian dalam menggunakan jumlah kriteria diagnosis sebagai pengukur keparahan
ketergantungan telah ditunjukkan untuk bermacam-macam zat, termasuk alkohol (Feingold dan
Rounsaville 1995). Penyakit medis (digunakan pada beberapa kajian untuk mengkuantifikasi
keparahan) bukan merupakan cara pengukuran keparahan yang diterima secara umum. The
Diagnostic and Statistical Manual (dimulai dengan DSM-III-R; American Psychiatric
Association 1987a, 1987b) mendasarkan diagnosis ketergantungan alkohol pada konstruk
sindroma ketergantungan alkohol (Edwards dan Gross 1976). Konstruk ini secara eksplisit
melihat permasalahan medis dan kecacatan terkait alkohol lain sebagai ketergantungan yang
secara statistik independen. Feingold dan Rounsaville (1995) menemukan dukungan empiris
untuk pembeda antara ketergantungan berbagai macam zat (termasuk alkohol) dengan kecacatan
(termasuk permasalahan medis) terkait penggunaan zat.
Penggunaan pendekatan hubungan berbasis keluarga mewakili uji kuat lain untuk validitas
hubungan antara marker DRD2 dengan ketergantungan alkohol. Beberapa kajian terpublikasi
menginklusi uji berbasis keluarga dan hasilnya negatif (Parsian et al. 1991; Neiswanger et al.
1995). Kajian yang jauh paling besar adalah dari kelompok COGA (Edenberg et al. 1998), yang
menginklusi genotip dari 987 individu yang mewakili 105 keluarga. Hasil dari transmissiondisequilibrium test (TDT) (Spielman et al. 1993) (termasuk 127 transmisi DRD2*A1) konsisten
dengan tidak adanya kaitan maupun hubungan antara DRD2*A1 dengan ketergantungan alkohol.
TDT merupakan uji terkontrol keluarga tentang hubungan dan linkage disequilibrium yang tidak
suseptibel terhadap artefak stratifikasi populasi (Spielman et al. 1993).
Kami tidak menemukan hubungan antara alel DRD2 dengan ketergantungan alkohol, bahkan
ketika subtipe kurang parah dan lebih parah dari gangguan tersebut diperiksa. Tidak terdapat
hubungan antara alel DRD2 pada keempat polimorfisme sistem, atau haplotip DRD2 yang
diperluas, baik dengan ketergantungan alkohol maupun keparahan ketergantungan alkohol.
Dipertimbangkan bersama-sama dengan laporan-laporan terdahulu, tetapi terutama dengan
laporan oleh Goldman et al. (1997) (yang menunjukkan bahwa polimorfisme DRD2 dengan efek
fungsional jelas tidak mempengaruhi risiko ketergantungan alkohol pada populasi Indian Barat
Daya) dan Edenberg et al. (1998) (yang menunjukkan tidak adanya kaitan maupun hubungan
antara DRD2*A1 dengan ketergantungan alkohol dengan penggunaan rancangan kajian yang

mengeliminasi risiko stratifikasi populasi), hasil ini mengesankan bahwa gen DRD2 tampak
tidak mungkin mempengaruhi risiko ketergantungan alkohol. Dipertimbangkan dalam konteks
banyak laporan sebelumnya yang menunjukkan rentang luas alel DRD2 dan frekuensi haplotip
yang tergantung pada populasi yang dinilai, hasil ini mengesankan stratifikasi populasi sebagai
penjelasan yang mungkin untuk hasil positif dari kajian hubungan yang mempertimbangkan
marker-marker ini.

Você também pode gostar