Você está na página 1de 13

Kejang Demam Sederhana pada Anak

Abednego Tri Novrianto


102013320
A10
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara Nomor 6, Jakarta 11510
abednegonovrianto@yahoo.com

Pendahuluan
Kejang demam merupakan suatu kejang yang terjadi pada usia 3 bulan hingga 5 tahun
yang berkaitan dengan demam namun tanpa adanya tanda-tanda infeksi intracranial atau
penyebab lain.1
Empat persen anak-anak prasekolah pernah mengalami kejang; selama ini yang paling
sering ditemui adalah kejang demam. Sering terdapat riwayat serangan kejang demam pada
anggota keluarga lain.1
Kejang ini ditimbulkan oleh demam dahn cenderung muncul pada saat awal-awal
demam. Penyebab paling sering adalah infeksi saluran nafas atas. Kejang ini merupakan
kejang umum dengan pergerakan klonik selama kurang dahri 10 menit. SSP normal dan tidak
ada tanda-tanda deficit neurologis pada saat serangan telah menghilang. sekitar sepertiga
akan mnegalami kejang kembali jika terjadi demam, tetapi sangat jarang yang mengalami
kejang setelah usia 6 tahun.1

Pembahasan
Kasus
Seorang anak perempuan berusia 4 tahun dibawa ibunya ke UGD RS karena kejang
kejang di seluruh tubuhnya 30 menit yang lalu.

Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara terarah antara dokter dahn pasien. tujuan
anamnesis adalah dokter dapat memperoleh informasi mengenai keluhan dan gejala penyakit
yang di rasakan pasien, hal-hal yang diperkirakan sebagai penyebab penyakit, dan hal-hal lain
yang mempengaruhi perjalanan penyakit atau proses pengobatan.2
Dengan dilakukanya anamnesis maka 70% diagnosis dapat ditegakkan. Sedangkan
30% sisanya didapatkan dari pemeriksaan fisik dan penunjang. Hal yang perlu ditanyakan
dokter pada saat anamnesis antara lain :

Identitas pasien yakni data diri dari pasien tersebut seperti nama, alamat, pekerjaan,

umur, dan lain sebagainya.


Keluhan utama yakni gangguan atau keluhan yang terpenting yang dirasakan
penderita sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan pertolongan
serta menjelaskan tentang lamanya keluhan tersebut. Hal ini merupakan dasar untuk

memulai evaluasi pasien.


Pada riwayat penyakit sekarang dapat ditanyakan mengenai:
o Sejak kapan muncul gangguan atau gejala-gejala tersebut
o Frekuensi serangan atau kualitas penyakit
o Sifat serangan atau kuantitas penyakit
o Lamanya penyakit tersebut diderita
o Perjalanan penyakitnya, riwayat pengobatan sebelumnya
o Lokasi sakitnya
o Akibat yang timbul
o Gejala-gejala yang berhubungan
Riwayat penyakit dahulu merupakan riwayat penyakit yang pernah di derita pasien
pada masa lampau yang mungkin berhubungan dengan penyakit yang dialami

sekarang.
Riwayat keluarga meliputi segala hal yang berhubungan dengan peranan herediter

dan kontak antara anggota keluarga mengenai penyakit yang dialami.


Riwayat pribadi merupakan segala hal yang menyangkut pribadi pasien.

Riwayat sosial mencakup keterangan mengenai pekerjaan, aktivitas, perkawinan,


lingkungan tempat tinggal, dan lain-lain.
Anamnesis pasien anak dapat dilakukan secara auto-anamnesis kepada pasien atau

secara allo-anamnesis kepada orang terdekat dari pasien seperti orangtuanya.


Riwayat penyakit sebaiknya mencantumkan factor pencetus, dan deskripsi selama
kejang dan pasca kejang secara rinci, lama kejang serta tingkat kesadaran. Langkah pertama
dalam mengevaluasi kejang adalah menentukan apakah memiliki awitan yang fokal atau
umum. Dari anamnesa harus ditentukan apakah aura mendahului kejang dan bagaimana
perilaku anak sesaat sebelum kejang. postur penderita, adanya sianosis, vokalisasi, hilangnya
control sfingter (mengompol), dan status pasca kejang (termasuk tidur dan nyeri kepala) juga
harus diperhatikan.3
Dari hasil anamnesis pada orang tua anak tersebut, didapati informasi bahwa kejang
terjadi di seluruh tubuh anaknya, mata mendelik ke atas, kejang berlangsung selama 5 menit
dan hanya 1 kali. Kejangnya juga diawali demam tinggi 40 0C dan batuk pilek sejak 2 hari
yang lalu. Ayah pasien pernah kejang disertai demam saat usia 4 tahun. Terdapat riwayat
kejang serupa saat anak tersebut berusia 2 tahun. Imunisasi pada anak tersebut juga lengkap
sesuai usia.
Pemeriksaan yang menyokong kejang demam :

Pemeriksaan fisik dan neurologis (kesadaran, suhu tubuh tanda rangsang meningeal,

tanda peningkatan tekanan intracranial, dan tandah infeksi di luar SSP).


Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboraturium, pungsi lumbal, CT Scan
atau MRI kepala/otak.3

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang pertama kali dilakukan adalah penilaian kesadaran. Pada
kasus ini didapatkan kesadaran pasien compos mentis dan pasien tampak aktif. Pemeriksaan
berikutnya yaitu tanda-tanda vital terutama suhu karena pasien ini mengalami demam.

Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Tanda rangsang meningeal negatif dengan
pemeriksaan saraf cranial dalam batas normal.
Tanda rangsang meningeal yang merupakan suatu tanda adanya iritasi meningeal,
secara klasik terdiri dari kaku kuduk, tanda Brudzinski I & II, Babinsky, dan tanda Kernig.
Pada pasien dengan positifnya tanda rangsang meningeal, sugestif untuk adanya meningitis
terutama meningitis bakterialis. Jadi pemeriksaan tanda rangsang meningeal ini dapat
digunakan sebagai salah satu indikator untuk menyingkirkan diagnosis meningitis.
Tanda Ransang Meningeal :

Kaku kuduk (Nuchal rigidity)


Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menepel

pada dada.
Brudzinski I (Brudzinskis neck sign)
Letakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala pasien dan tangan lainnya di dada
pasien untuk mencegah agar badan tidak terangkat, kemudian kepala pasien
difleksikan ke dada secara pasif. Bila terdapat rangsang meningeal maka kedua
tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan lutut.
Brudzinski II (Brudzinskis contralateral leg sign)
Fleksi tungkai pasien pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai
lainnya ada sendi panggul dan sendi lutut.
Kernig
Penderita dalam posisi terlentang dilakukan fleksi tungkai atas tegak lurus, kemudian
dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut. Pada iritasi menigeal ekstensi
lutut secara pasif akan menyebabkan rasa sakit dan terdapat hambatan.

Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus diatas, beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan. Pemeriksaan
tersebut antara lain adalah pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan elektrolit, pemeriksaan
radiologis seperti CT-Scan, Electroencephalography, dan juga aspirasi Cerebrospinal Fluid.
Pada pemeriksaan darah rutin biasanya tidak menunjukkan adanya hasil yang
membantu untuk diagnosis kejang demam, dan bahkan jarang diindikasikan untuk kejang
demam. Apabila dilakukan biasanya sebagai bagian untuk melihat sumber demamnya.
Pemeriksaan elektrolit dapat dilakukan untuk melihat ketidakseimbangan elektrolit
yang dapat berujung pada kejang, dan juga tidak membantu dalam diagnosis kejang demam,

karena kejang demam menunjukkan hasil yang normal pada pemeriksaan elektrolit serum.
Dan pasien dengan kejang demam memiliki gejala bakteremia yang sama seperti dengan
pasien dengan demam saja.
Computed Tomography Scan tidak rutin dilakukan dan tidak dilakukan pada episode
pertama kasus kejang demam. Pemeriksaan radiologis ini dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan kejang demam kompleks. Akan tetapi, studi yang dilakukan oleh Teng et al
menganalisa 71 anak dengan kejang demam, tidak ada satupun dari pasien tersebut yang
memiliki kelainan patologis intrakranial yang membutuhkan terapi intervensi bedah saraf
maupun terapi medis. Pada kondisi tertentu, pemeriksaan radiologis ini dapat dilakukan
walaupun tidak dilakukan secara rutin, dan hanya digunakan untuk menyaring diagnosis
banding, ataupun sebaliknya, mendapatkan diagnosis selain kejang demam.
Electroencephalogram tidak dibutuhkan pada pemeriksaan penunjang rutin dalam
mengevaluasi anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan ini umumnya kurang
bermanfaat dalam evaluasi dan penatalaksaan pasien kejang demam. Kelainan ditemukan
pada lebih dari 80% rekaman EEG yang dibuat dalam satu hari kejang demam, tetapi hal ini
menurun sampai sekitar 30% dalam 3-5 hari. Kelainan berupa perlambatan yang mencolok,
terutama di posterior dan sering asimetris. Faktor yang cenderung berkaitan dengan kelainan
yang menetap adalah kejang yang parah, demam tinggi berkepanjangan, dan riwayat
disfungsi neurologik. Anak yang memeperlihatkan perlambatan yang ekstrim pada EEG
cenderung mengalami kejang afebris rekuren dibandingkan dengan anak yang rekamannya
normal. EEG tidak dapat digunakan untuk memprediksi anak mana yang akan mengalami
kejang demam berulang atau yang kemudian mengalami epilepsi. Pada anak dengan kejang
demam, temuan EEG cenderung menjadi abnormal seiring dengan pertambahan usia, tanpa
bergantung pada apakah mereka kemudian akan mengalami kejang-kejang dan insidensi
kelainanan EEG pada anggota keluarga lebih tinggi daripada pada populasi kontrol.
Lumbal Pungsi masih menjadi kontroversi atas dasar kebutuhan absolut atau relatif
dari pemeriksaan CSF dengan pungsi lumbal pada pasien dengan kejang demam sederhana.
Biasanya, meningitis dapat memperlihatkan manifestasi klinis kejang, walaupun tidak semua
kejang berarti meningitis, dan kejang bukanlah satu-satunya gejala dari meningitis.
Meningitis dapat dipertimbangkan pada kondisi akut, dimana adanya kunjungan ke rumah
sakit dalam 48 jam terakhir, kejang saat tiba di UGD, kejang fokal dengan adanya gejala
klinis aneh lain kemerahan, petechiae, sianosis, hipotensi pemeriksaan neurologis
abnormal dan adanya riwayat pengobatan antibiotic yang dapat memberikan masking effect
pada gejala dan tanda-tanda meningitis. Pungsi lumbal tidak boleh dilakukan pada pasien

berusia dibawah 12 bulan dan dapat dipertimbangkan kegunaannya pada pasien berusia 12-18
bulan terutama pada kejang demam kompleks. Pada pasien kejang demam sederhana, hasil
yang didapat pada pungsi lumbal adalah normal. Apabila hasil yang didapatkan abnormal,
maka petugas medis harus memikirkan kemungkinan lain penyebab kejang.

Diagnosis Banding
Kejang Demam Kompleks
Kejang demam kompleks pada umumnya tidak berbeda dari kejang demam sederhana
yang dialami oleh pasien diatas. Perbedaannya adalah pada kejang demam kompleks
memiliki durasi lebih lama dari 15 menit, memiliki gambaran fokal, dan terjadi dalam
rangkaian yang berkepanjangan. Sedangkan pada manifestasi klinis, pemeriksaan fisik dan
penunjang tidak memperlihatkan adanya perbedaan dari kejang demam sederhana.

Epilepsi
Epilepsi adalah diagnosis klinis. keadaan ini disebabkan oleh lepasnya listrik
paroksismal dalam neuron serebral yang menyebabkan berbagai pola klinis berbeda. Epilepsy
adalah ekspresi dari disfungsi otak dan ditegakkannya diagnosis ini mengharuskan dicarinya
penyebab, walaupun dua per tiga kasus idiopatik, jadi penyebabnya tidak diketahui.4
Serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah
manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh
hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut (unprovoked). Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara
klinis dapat dicirikan sebagai berikut, yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan
dan cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda tanda klinis tersebut sangat
bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik
(subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan
perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus
epileptogenesis atau sarang epileptogwn dan penjalarannya sehingga dikenal bermacam
macam jenis epilepsi.

Meningitis
Meningitis bakterialis adalah suatu infeksi purulen lapisan otak yang pada orang
dewasa biasanya hanya terbatas pada ruang subaraknoid, namun pada bayi cenderung meluas
sampai ke rongga subdural sebagai suatu efusi atau empyema subdural (leptomeningitis) atau
bahkan ke dalam otak (meningoensefalitis).5
Gejala klasik dari meningitis adalah demam, sakit kepala dan kaku kuduk. Gejala lain
meliputi mual, muntah, fotofobia, somnolen, bingung, iritabel, delirium dan koma. Pada
anak-anak dapat meliputi ubun-ubun menggembung, hipotonia dan menangis dengan nada
yang tinggi seperti pada dehidrasi. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan
leukositosis dominan PMN. Sedangkan MRI dapat menunjukkan ventrikulomegali pada
potongan T2. Peningkatan tekanan intra kranial juga didapatkan pada kasus meningitis
terutama bakterial akibat adanya edema. Pada pungsi lumbal dapat ditemukan peningkatan
leukosit ( 500 per mikroliter), peningkatan kadar laktat ( 31.53 mg/dL) dan penurunan
ratio glukosa CSF dibandingkan dengan plasma menjadi dibawah sama dengan 0.4. Pada
kasus meningitis bakterialis, predominansi selnya adalah PMN. Sedangkan pada meningitis
tuberculosis dan virus, predominan sel limfosit. Pada meningitis bakterialis ditemukan warna
cairan purulen, pada tuberkulosis serosa sedangkan pada virus cairan jernih.

Diagnosis Kerja
Pada kasus didapatkan seorang anak perempuan berusia 3 tahun datang dengan
keluhan kejang diseluruh tubuhnya 30 menit yang lalu. Pada anamnesis didapatkan kejang
berdurasi 5 menit diseluruh tubuh dengan mata yang mendelik ke atas. Sebelum demam,
pasien mengalami demam tinggi 400C dan merupakan episode berulang, sebelumnya pasien
pernah mengalami kejadian yang sama pada usia 2 tahun. Ayah dari pasien pernah mengalami
hal yang sama pada usia 4 tahun. Riwayat imunisasi lengkap sesuai usia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal ketika pasien tiba di
unit gawat darurat. Sedangkan pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. Tanda rangsang
meningeal negative dengan pemeriksaan saraf kranial, fungsi sensorik maupun motorik
dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang belum dilakukan. Dari riwayat pasien dan hasil

pemeriksaan fisik dapat disimpulkan bahwa diagnosis yang paling mungkin dari pasien
tersebut adalah Kejang Demam Sederhana.

Etiologi
Etiologi kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi umur anak,
tingginya dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor hereditas
juga mempunyai peranan yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang demam memiliki
orangtua yang memiliki riwayat kejang demam pada masa kecilnya.
Kejang demam biasanya diawali dengan infeksi virus atau bakteri. Penyakit yang
paling sering dijumpai menyertai kejang demam adalah penyakit infeksi saluran pernapasan,
otitis media, dan gastroenteritis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Lumantobing pada 297 anak
penderita kejang demam, infeksi yang paling sering menyebabkan demam yang akhirnya
memicu serangan kejang demam adalah tonsillitis/faringitis yaitu 34 %. Selanjutnya adalah
otitis media akut (31 %) dan gastroenteritis (27%).

Epidemiologi
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai
4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang
demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki.
Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang demam. Pada
tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak didapatkan angka
kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan pasien kejang demam 132 orang dan tidak
didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya peningkatan insiden
kejadian sebesar 37%.
Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2 4% dari jumlah penduduk
di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih

tinggi. Sekitar 20% di antara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang
harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit
lebih banyak menyerang anak laki-laki.

Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ diperlukan suatu energi
yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan
fungsi paru paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi
otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan
permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat
pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisilogi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 4
tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter

dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung
dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 0C
sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 400C
atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga penanggulangannya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama, (lebih dari 15 menit)
biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat
disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah
faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang
lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
kerusakan sel neuron otak.
Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang
yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan
epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.

Penatalaksanaan3

Prognosis
Angka rekurensi untuk kejang demam dilaporkan sebesar 25% - 50%. Faktor tunggal
terpenting dalam memperkirakan rekurensi adalah usia anak saat kejang pertama. Anak yang
mengalami kejang pertama pada usia 1 tahun atau kurang memiliki kemungkinan 65%
menderita kejang demam rekuren. Hal ini berbeda dengan kemungkinan 35% apabila awitan
kejang adalah pada usia antara 1 dan 2,5 tahun dan 20% setelah usia 2,5 tahun. Angka
rekurensi juga meningkat pada anak yang perkembangannya abnormal sebelum kejang
pertama dan pada mereka yang memiliki riwayat kejang febris pada keluarga. Anak yang

mengalami demam dengan durasi lebih singkat sebelum kejang demam dan yang mengalami
temperatur lebih rendah juga mempunyai resiko meningkat terkena kejang demam. Sekitar
dua-pertiga rekurensi berlangsung dalam 1 tahun setelah kejang demam pertama, dan lebih
dari 85% berlangsung dalam 2,5 tahun setelah awitan.
Anak yang menderita kejang demam beresiko lebih besar mengalami epilepsi di
bandingkan dengan yang tidak. derajat resiko dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi yang
terpenting adalah adanya kelainan status neurologik sebelum kejang, timbulnya kejang
demam kompleks, dan riwayat kejang afebris pada keluarga. Seorang anak yang normal dan
mengalami kejang demam jiank memiliki peningkatan resiko dua kali lipat mengalami
epilepsi, dibandingkan dengan insidensi 0,5% pada populasi kontrol. Apabila kejang
pertamanya kompleks, atau apabila sang anak abnormal, resiko meningkat tiga sampai lima
kali lipat. Apabila kedua faktor ada, terjadi peningkatan resiko 18 kali lipat, dan insidensi
epilepsi mendekati 10% dalam kelompok ini. Anak yang mengalami serangan kejang demam
fokal, berkepanjangan, dan berulang dengan penyakit yang sama memiliki 50% kemungkinan
menderita epilepsi pada usia 25 tahun.

Edukasi pada Orang Tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat
kejang, sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan
ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :7
1.
2.
3.
4.

Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.


Memberitahukan cara penanganan kejang.
Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping.

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang :


1. Tetap tenang dan tidak panik.
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher.
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
5. Tetap bersama pasien selama kejang.

Vaksinasi
Sejauh ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang
mengalami kejang demam. Kejang setalah demam vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian
pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi sedangkan setelah
vaksinasi MMR 25-34 per 100.000.
Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama
setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol
pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.

Penutup
Setelah pembahasan di atas tentang kasus seorang anak perempuan yang berusia 3
tahun yang dibawa ibunya dengan keluhan kejang kejang di seluruh tubuhnya 30 menit
yang lalu didiagnosis menderita Kejang Demam Sederhana setelah dilakukannya anamnesis,
pemeriksaan fisik keadaan umum, kesadaran, dan pemeriksaan neurologis serta pemeriksaan
penunjang dengan darah rutin, elektrolit dan radiologis. Dengan adanya gambaran klinis
kejang kelojotan seluruh tubuh dengan mata mendelik ke atas yang berlangsung selama 5
menit dan hanya 1 kali serta diawali demam tinggi 40 0C dan batuk pilek selama 2 hari. Juga
adanya riwayat penyakit dahulu dengan kejang yang sama pada usia 2 tahun dan riwayat
penyakit keluarga dimana ayahnya pernah mengalami kejang disertai demam saat usia 4
tahun.

Daftar Pustaka
1. Meadow R, Newell S. Lecture Note : Pedriatica. Ed. 7. Jakarta. Erlangga. 2003.
2.
Sari W, dkk. Care Yourself, Hepatitis. Jakarta. Penebar Plus. 2008.
3. Dewanto G, dkk. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009.
4. Rubenstein D, dkk. Lecture Notes : Kedokteran Klinis. Ed. 6. Jakarta. Erlangga. 2007.
5. Satyanegara, dkk. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Ed. 5. Jakarta. PT Gramedia
Pustaka Utama. 2010.

Você também pode gostar