Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalat berjamaah itu adalah wajib bagi tiap-tiap mukmin laki-laki, tidak ada
keringanan untuk meninggalkannya terkecuali ada udzur (yang dibenarkan dalam agama).
Hadits-hadits yang merupakan dalil tentang hukum ini sangat banyak, di antaranya:
Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, ia berkata, Telah datang kepada Nabi
shallallaahu alaihi wasallam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, Wahai Rasulullah, aku
tidak punya orang yang bisa menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada Rasulullah
shallallaahu alaihi wasallam agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya. Maka
Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia
berpaling untuk pulang, beliau memanggilnya, seraya berkata, Apakah engkau mendengar
suara adzan (panggilan) shalat?, ia menjawab, Ya. Beliau bersabda, Maka hendaklah kau
penuhi (panggilah itu). (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu ia berkata: Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam bersabda, Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan
shalat Subuh. Seandainya mereka itu mengetahui pahala kedua shalat tersebut, pasti mereka
akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Aku pernah berniat memerintahkan shalat
agar didirikan kemudian akan kuperintahkan salah seorang untuk mengimami shalat, lalu aku
bersama beberapa orang sambil membawa beberapa ikat kayu bakar mendatangi orang-orang
yang tidak hadir dalam shalat berjamaah, dan aku akan bakar rumah-rumah mereka itu.
(Muttafaq alaih)
B. Rumusan Masalah
Berdaasarkan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang di bahas dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud pengertian sholat berjamaah?
2. Apa keutamaan dan hukum sholat berjamaah?
3. Hal yang perlu diperhatikan dalam mengerjakan sholat berjamaah
4. Adab sholat berjamaah
5. Shaf sholat berjamaah
6. Hikmah sholat berjamaah
C. Tujuan
Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud pengertian sholat berjamaah?
2. Apa keutamaan dan hukum sholat berjamaah?
3. Hal yang perlu diperhatikan dalam mengerjakan sholat berjamaah
4. Adab sholat berjamaah
5. Shaf sholat berjamaah
6. Hikmah sholat berjamaah
1
BAB II
PEMBAHASAN
Dari Ibnu Umar ra bahwasanya rasulullah bersabda: shalat berjamah lebih utama
daripada shalat sendirian dengan tujuh puluh derajat. Dalam riwayat lain: dengan dua puluh
lima derajat. Muttafaq alaih ([1]).
Dari Abu Hurairah ra berkata: rasulullah saw bersabda: ((barangsiapa yang bersuci di
rumahnya, kemudian pergi ke salah satu rumah Allah, untuk melaksanakan salah satu
kewajiban terhadap Allah, maka kedua langkahnya yang satu menghapuskan kesalahan, dan
yang lain meninggikan derajat)) ([2]).
Dari Abu Hurairah bahwasanya nabi saw bersabda: (barangsiapa yang pergi ke masjid
di waktu pagi atau di waktu sore, maka Allah menyiapkan baginya makanan setiap kali pergi
pagi atau sore) muttafaq alaih ([3]).
Yang lebih utama bagi seorang muslim, shalat di masjid yang dekat dengan tempat ia
tinggal, kecuali masjidil haram, masjid nabawi, dan masjidil aqsha, karena shalat pada
masjid-masjid tersebut lebih utama secara mutlak.
Hukum wanita pergi ke masjid: Boleh wanita ikut shalat berjamaah di masjid terpisah
dari jamaah laki-laki dan ada penghalang antara mereka, dan disunnahkan mereka shalat
berjamaah sendiri terpisah dari jamaah laki-laki, baik yang menjadi imam dari mereka sendiri
maupun orang laki-laki.
Dari Ibnu Umra ra dari nabi saw bersabda: ((apabila isteri-isteri kalian minta izin
untuk pergi ke masjid di malam hari, maka izinkanlah)) muttafaq alaih ([4]).
Siapa yang masuk masjid ketika jamaah sedang ruku' maka ia boleh langsung ruku'
ketika masuk kemudian berjalan sambil ruku' hingga masuk ke shaf, dan boleh berjalan
kemudian ruku' apabila sudah sampai ke shaf.
Jamaah paling sedikit dua orang, dan semakin banyak jamaahnya, semakin baik
shalatnya, dan lebih dicintai oleh Allah azza wajalla.
Siapa yang sudah shalat fardhu di kendaraannya kemudia masuk masjid dan
mendapatkan orang-orang sedang shalat, maka sunnah ikut shalat bersama mereka, dan itu
baginya menjadi shalat sunnah, demikian pula apabila telah shalat berjamaah di suatu masjid
kemudian masuk masjid lain dan mendapatkan mereka sedang shalat.
Apabila sudah dikumandangkan iqomah untuk shalat fardhu, maka tidak boleh shalat
kecuali shalat fardhu, dan apabila dikumandangkan iqomah ketika ia sedang shalat sunnah,
maka diselesaikan dengan cepat, lalu masuk ke jamaah agar mendapatkan takbiratul ihram
bersama imam.
Siapa yang tidak shalat berjamaah di masjid, jika karena ada halangan sakit atau takut,
atau lainnya, maka ditulis baginya pahala orang yang shalat berjamaah, dan apabila
meninggalkan shalat berjamaah tanpa ada halangan dan shalat sendirian maka shalatnya sah,
namun ia rugi besar tidak mendapatkan pahala jamaah, dan berdosa besar.
3
Keutamaan shalat berjamaah dan takbiratul ihram: Dari Anas bin Malik ra berkata:
rasulullah saw bersabda: ((barangsiapa yang shalat berjamaah untuk Allah selama empat
puluh hari, dimana ia mendapatkan takbiratul ihram bersama imam, maka ditulis baginya dua
kebebasan: bebas dari neraka, dan terbebas dari sifat munafik)) (HR. Tirmidzi) ([5]).
3. Hukum Sholat Berjamaah
Di kalangan ulama memang berkembang banyak pendapat tentang hukum shalat
berjamaah. Ada yang mengatakan fardhu `ain, sehingga orang yang tidak ikut shalat
berjamaah berdosa. Ada yang mengatakan fardhu kifayah sehingga bila sudah ada shalat
jamaah, gugurlah kewajiban orang lain untuk harus shalat berjamaah. Ada yang mengatakan
bahwa shalat jamaah hukumnya fardhu kifayah. Dan ada juga yang mengatakan hukumnya
sunnah muakkadah.
Tentu masing-masing pendapat itu ada benarnya, sebab mereka telah berijtihad
dengan memenuhi kaidah istimbath hukum yang benar. Kalau pun hasilnya berbeda-beda,
tentu karena hal ini adalah ijtihad. Sebab tidak ada lafadz yang secara eksplisit di dalam Al
Quran atau hadits yang menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya begini dan
begini.
Yang ada hanya sekian banyak dalil yang masih mungkin menerima ragam
kesimpulan yang berbeda. Dan sebenarnya hal seperti ini sangat lumrah di dunia fiqih, kita
pun tidak perlu terlalu risau bila ada pendapat dari ulama yang ternyata tidak sejalan dengan
apa yang kita pahami selama ini. Atau berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru kita
selama ini.
Dan berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta dalil masingmasing, semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita dalam ilmu syariah.
1. Pendapat Kedua: Fardhu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al Imam Asy Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga
dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang
berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan
mazhab Al Hanafiyah dan Al Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang
menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila
tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada
di situ. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Di dalam kitab Raudhatuth Thalibin karya Imam An Nawawi disebutkan bahwa:
Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumat. Sedangkan untuk
shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling shahih hukumnya adalah fardhu
4
kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan
hukumnya fardhu `ain.
Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah:
Dari Abi Darda` Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak
melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian
berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya. (HR Abu Daud
547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
Dari Malik bin Al Huwairits bahwa Rasulullah SAW, Kembalilah kalian kepada
keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahkan
mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kalian
melantunkan azan dan yang paling tua menjadi imam. (HR.Muslim 292 674).
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27
derajat. (HR Muslim 650,249)
Al Khatthabi dalam kitab Ma`alimus Sunan jilid 1 halaman 160 berkata bahwa
kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu
kifayah bukan fardhu `ain dengan berdasarkan hadits ini.
2. Pendapat Pertama: Fardhu `Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu
Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atho`
berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika
seseorang mendengar azan, haruslah dia mendatanginya untuk shalat. (lihat Mukhtashar Al
Fatawa Al Mashriyah halaman 50).
Dalilnya adalah hadits berikut:
Dari Aisyah Radhiyallahu Anhu berkata, Siapa yang mendengar adzan tapi tidak
menjawabnya (dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak
menginginkannya. (Al-Muqni` 1/193)
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa
namun shalatnya tetap syah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu
aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan
beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut
5
menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api. (HR Bukhari
644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. (lihat Fathul Bari
jilid 2 halaman 278)
4. Pendapat Keempat: Syarat Sahnya Shalat
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat fardhu
berjamaah adalah syarat syahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat fardhu itu tidak syah
kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taimiyah dalam salah satu
pendapatnya (lihat Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333). Demikian juga dengan Ibnul
Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab Zhahiriyah (lihat Al
Muhalla jilid 4 halaman 265). Termasuk di antaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At
Tamimi, Abu Al Barakat dari kalangan Al Hanabilah serta Ibnu Khuzaimah.
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersaba, Siapa yang mendengar azan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada
lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur. (HR Ibnu Majah793, Ad-Daruquthuny 1/420,
Ibnu Hibban 2064 dan Al Hakim 1/245)
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat
Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat
itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya
keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang
untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu
bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah
mereka dengan api. (HR Bukhari 644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini
darinya).
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata, Ya Rasulullah,
tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam memanggilnya dan bertanya, Apakah kamu dengar azan
shalat? Ya, jawabnya. Datangilah, kata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam .
(HR Muslim 1/452)
4. Beberapa Hal Yang Harus Diperhatikan Didalam Mengerjakan Sholat
Berjamaah
Bagi Makmum
Dan apabila imam berkata Samiallahu liman hamidah, katakanlah: Rabbana lakal hamd
Juga berdasarkan ucapan Asy-Syabi: Janganlah mengucapkan Samiallahu liman
hamidah, akan tetapi hendaknya ia mengucapkan: Rabbana lakal hamd.
6. Kalau imam datang terlalu terlambat, para makmum bisa mengangkat salah satu yang
terbaik di antara mereka untuk menjadi imam pengganti. Dasarnya adalah hadits Sahl bin
Saad dalam kisah para shahabat yang mengajukan Abu Bakar sebagai imam penggati ketika
Nabi pergi untuk mendamaikan pertikaian di kalangan Bani Umar sehingga datang terlambat.
[8] Juga berdasarkan hadits Al-Mughirah bin Syubah dalam kisah para sahabat mengajukan
Abdurrahman bin Auf sebagai imam pengganti pada peperangan Tabuk. Akhirnya
Abdurrahman mengimami mereka shalat Shubuh. Maka Nabi shallallahu alaihi wassalam
bersabda: Sungguh kalian telah melakukan hal tepat dan baik.
7. Kalau iqamah telah dikumandangkan, maka xang ada hanyalah shalat wajib. Dasarnya
adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu
alaihi wassalam bersabda:
Apabila iqamah telah dikumandangkan, maka yang ada hanyalah shakat wajib.
8. Tidak melaksanakan shalat sunnah di tempat shalat wajib kecuali bila telah dipisahkan
dengan berbicara atau bergeser tempat. Dasarnya adalah hadits As-Saib bin Yazid, dari
Muawiyah diriwayatkan bahwa As-Saib pernah berkata kepadanya: Apabila engkau selesai
shalat Jumat, janganlah engkau shalat sunnah sebelum berbicara atau bergeser tempat.
9. Tidak bangkit dari tempat shalat sebelum imam, tetapi menunggu dahulu sampai imam
menghadap ke arah makmum. Dasarnya adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu,
bahwa Nabi pada suatu hari mengimami mereka. Usai shalat, beliau menghadap ke arah
makmum dan berkata:
Hai jamaah sekalian! Saya adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku ruku,
bersujud atau bangkit, dan juga jangan mendahuluiku bangkit dari tempat shalat
Maka disunnahkan bagi makmum untuk tidak bangkit dari tempat shalatnya sebelum imam
berpaling dari arah kiblat, agar tidak dikhawatirkan imam teringat akan hal yang dia lupa, lalu
melakukan sujud sahwi. Kecuali kalau imamnya melakukan hal yang bertentangan dengan
sunnah, seperti duduk terlalu lama dengan menghadap kiblat. Bila demikian, boleh saja
makmum bangkit dari duduk sebelum imamnya berpaling ke arah makmum.
10. Tidak menyusun shaf di antara tiang-tiang masjid, kecuali bila terdesak. Dasarnya adalah
hadits Anas radhiyallahu anhu bahwa ia menceritakan: Kami selalu menghindari itu di
zaman Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.
Demikian juga dengan hadits Qurrah radhiyallahu anhu yang menceritakan: Di masa hidup
Rasulullah, kami dilarang untuk shalat di antara pilar-pilar masjid, bahkan kami diusir dari
lokasi tersebut dengan keras.
11. Langsung mengikuti gerakan imam ketika terlambat masuk, apapun gerakan yang
dilakukan oleh imam. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu secara
marfu: Ikutilah jamaah shalat sebatas yang sempat kalian ikuti, dan lanjutkanlah bagian
yang belum kalian ikuti..
12. Tidak boleh menguasai tempat khusus di masjid yang hanya di tempat itu ia melakukan
shalat sunnah. Dasarnya adalah hadits Abdurrahman bin Syubal, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wassalam melarang tiga hal:
Mematuk seperti burung gagak, menghamparkan lengan tangan seperti binatang buas dan
menempatkan seseorang pada satu tempat khusus untuk shalat seperti menempatkan seekor
unta.
13. Mengingatkan imam bila imam kesulitan mengingat ayat yang akan dibacanya. Dasarnya
adalah hadits Al-Musawar bin Yazid Al-Maliki radhiyallahu anhu yang bercerita: Saya
pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam membaca surat dalam shalat,
tetapi beliau meninggalkan sebagian ayat dan lupa membacanya. Maka seorang makmum
bertanya seusai shalat: Rasulullah, bukankah engkau tadi lupa membaca ayat ini dan itu?
Beliau balik bertanya: Kenapa tidak engkau ingatkan tadi? Lelaki itu menjawab: Saya
kira, ayat-ayat itu memang sudah dimansukhkan.
Dari Abdullah bin Umar diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wassalam pernah
shalat dan membaca ayat, tiba-tiba beliau lupa. Usai shalat, beliau bertanya kepada Ubay:
Apakah engkau tadi shalat bersama kami? Ubay menjawab: Ya. Rasulullah bertanya lagi:
Kenapa engkau tidak mengingatkanku?
14. Tidak shalat di depan imam. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu
secara marfu, dan di situ disebutkan: Imam itu diangkat untuk dijadikan ikutan.
Sementara Al-Mardawi rahimahullahu menyatakan bahwa itu dilakukan bila bukan di dekat
Kabah. Karena kalau para makmum di sekeliling Kabah, sementara imam berada dua hasta
sebelum Kabah dan sebagian makmum satu hasta sebelum Kabah, shalatnya sah. Dia juga
menyatakan bahwa Al-Majda berkata dalam syarahnya terhadap hadits itu: Saya tidak
mengetahui adanya perbedaan soal ini. Abul Maali menandaskan: Secara ijma hukumnya
sah. Yakni apabila mereka semua berada di berbagai arah. Tetapi kalau imam dan makmum
berada dalam satu jalur, maka para makmum dilarang berada di depannya.
Bagi Imam
1. Melaksanakan shalat dengan ringkas tetapi tetap sempurna dan optimal.
Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wassalam bersabda:
Kalau salah seorang di antara kalian mengimami jamaah, hendaknya ia
melakukannya dengan ringkas, karena di antara jamaah itu ada anak kecil, orang tua, orang
lemah dan orang sakit (orang yang mempunyai kebutuhan). Tetapi kalau ia mau shalat sendiri
silakan ia shalat sekehendak hatinya.
10
Juga berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu yang menceritakan
bahwa Muadz bin Jabal pernah shalat Isya bersama Nabi, kemudian ia pulang dan
mengimami penduduk kampungnya. Beliau mengimami shalat Isya dan membaca surat AlBaqarah. Kejadian itu terdengar oleh Rasulullah, maka beliau berkata kepada Muadz:
Shalat ringkas itu sendiri bersifat relatif, dan itu dikembalikan praktek yang dilakukan
oleh Nabi shallallahu alaihi wassalam dan secara konsisten beliau laksanakan. Sementara
petunjuk yang secara konsisten beliau lakukan itu merupakan solusi dari perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Banyak hadits-hadits shahih yang menjelaskan bacaan Nabi
dalam shalat lima waktu. Hal itu telah dijelaskan dalam tata cara shalat. Yang biasa dilakukan
Nabi shallallahu alaihi wassalam adalah shalat ringkas yang beliau perintahkan. Oleh sebab
itu Ibnu Umar radhiyallahuma anhu menyatakan: Rasulullah shallallahu alaihi wassalam
memerintahkan kami untuk shalat dengan ringkas, tetapi beliau sendiri mengimami kami
dengan membaca Ash-Shaffat.
2. Melakukan rakaat pertama lebih panjang dari rakaat kedua.
Dalilnya adalah hadits Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu yang menceritakan:
Ketika iqamah untuk shalat Zhuhur telah dikumandangkan, salah seorang jamaah keluar ke
Baqi (sebuah tanah lapang) untuk buang air, kemudian ia sempat menemui istrinya dan
berwudhu baru kembali ke masjid. Ternyata Rasulullah masih dalam rakaat pertama, karena
saking panjangnya.
Para ulama mengecualikan dua permasalahan:
Pertama: Kalau perbedaan antara kedua rakaat itu tidak terlalu jauh, tidak menjadi masalah.
Seperti surat Sabbihis dan Al-Ghasyiah pada hari Ied dan hari Jumat. Al-Ghasyiah itu lebih
panjang dari Sabbihis akan tetapi perbedaannya sedikit saja.
Kedua: Cara kedua dalam shalat Al-Khauf. Karena di antara cara dan bentuk shalat khauf
yang diriwayatkan adalah bahwa imam membagi pasukan menjadi dua: satu bagian tetap
menghadapi musuh, dan satu bagian lain ikut shalat bersama imam. Ketika imam bangkit ke
rakaat kedua, para makmum memisahkan diri dari si imam dan melanjutkan satu rakaat
sendiri-sendiri, sementara imam tetap saja berdiri. Setelah itu semua jamaah kembali ke
lokasi jamaah kedua. Datanglah jamaah kedua tersebut dan ikut bersama imam melakukan
satu rakaat imam yang tersisa. Ketika imam duduk tasyahhud, mereka berdiri dan
melanjutkan shalat mereka sendiri, baru kemudian imam salam bersama mereka. Demikian
yang disebutkan dalam ajaran sunnah untuk memperhatikan jamaah shalat kedua.
3. Memperpanjang dua rakaat pertama dan memperpendek dua rakaat terakhir pada setiap
shalat.
Dasarnya adalah hadits Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu yang menceritakan bahwa
Saad radhiyallahu anhu pernah berkata kepada Umar bin Al-Khaththab: Saya biasa
melakukan shalat seperti shalat Rasulullah. Saya memperpanjang dua rakaat pertama dan
memperpendek dua rakaat terakhir. Saya tidak mengurangi sedikit pun dari cara yang saya
tiru dari shalat Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.
4. Memperhatikan kepentingan para makmum tapi tidak menyelisihi ajaran sunnah.
11
Kalau iqamah telah dikumandangkan, janganlah kalian datang ke masjid dengan setengah
berlari, tetapi datanglah dengan tenang. Ikutilah jamaah shalat sebatas yang sempat kalian
ikuti, dan lanjutkanlah bagian yang belum kalian ikuti
2. Tidak boleh ruku sebelum masuk ke shaf. Dasarnya adalah hadits Abu Bakrah
radhiyallahu anhu bahwa ia pernah bermakmum kepada Nabi ketika beliau sedang ruku.
Maka ia pun ruku sebelum sampai ke dalam shaf. Hal itu diceritakan kepada Nabi shallallahu
alaihi wassalam, maka beliau bersabda: Semoga Allah menambahkan semangatmu, namun
jangan ulangi lagi.
3. Makmum tidak bangkit untuk shalat meskipun iqamah telah dikumandangkan,
sebelum imam masuk masjid. Dasarnya adalah hadits Qatadah radhiyallahu anhu yang
menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wassalam: Apabila iqamah telah
dikumandangkan, janganlah kalian bangkit untuk shalat sebelum kalian melihatku (keluar
rumah menuju masjid). Dalam lafazh Al-Bukhari disebutkan: Hendaknya kalian berjalan
dengan tenang.
4. Bila perlu, suara imam disambungkan agar terdengar makmum bila diperlukan.
Dasarnya adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma bahwa ia menceritakan:
Rasulullah pernah mengimami kami shalat Zhuhur sementara Abu Bakar di belakang beliau.
Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bertakbir, Abu Bakar pun bertakbir agar
terdengar oleh kami.
Asal hadits itu diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu anha
yang menceritakan: Suatu hari Abu Bakar shalat sambil berdiri, sementara Rasulullah
mengimami shalat dalam keadaan duduk, dan Abu Bakar. Dalam lafazh Muslim ditegaskan:
Rasulullah mengimami jamaah, sementara Abu Bakar memperdengarkan takbir beliau
kepada jamaah.
5. Makmum mengucapkan: Rabbana lakal hamd, setelah imam mengucapkan:
Samiallahu liman hamidah. dasarnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu
secara marfu: Dan apabila imam berkata Samiallahu liman hamidah, katakanlah:
Rabbana lakal hamd
Juga berdasarkan ucapan Asy-Syabi: Janganlah mengucapkan Samiallahu liman
hamidah, akan tetapi hendaknya ia mengucapkan: Rabbana lakal hamd.
6. Kalau imam datang terlalu terlambat, para makmum bisa mengangkat salah satu
yang terbaik di antara mereka untuk menjadi imam pengganti. Dasarnya adalah hadits
Sahl bin Saad dalam kisah para shahabat yang mengajukan Abu Bakar sebagai imam
penggati ketika Nabi pergi untuk mendamaikan pertikaian di kalangan Bani Umar sehingga
datang terlambat. [8] Juga berdasarkan hadits Al-Mughirah bin Syubah dalam kisah para
sahabat mengajukan Abdurrahman bin Auf sebagai imam pengganti pada peperangan Tabuk.
15
Akhirnya Abdurrahman mengimami mereka shalat Shubuh. Maka Nabi shallallahu alaihi
wassalam bersabda: Sungguh kalian telah melakukan hal tepat dan baik.
7. Kalau iqamah telah dikumandangkan, maka xang ada hanyalah shalat wajib.
Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang menceritakan bahwa Nabi
shallallahu alaihi wassalam bersabda:
Apabila iqamah telah dikumandangkan, maka yang ada hanyalah shakat wajib.
8. Tidak melaksanakan shalat sunnah di tempat shalat wajib kecuali bila telah
dipisahkan dengan berbicara atau bergeser tempat. Dasarnya adalah hadits As-Saib bin
Yazid, dari Muawiyah diriwayatkan bahwa As-Saib pernah berkata kepadanya: Apabila
engkau selesai shalat Jumat, janganlah engkau shalat sunnah sebelum berbicara atau
bergeser tempat.
9. Tidak bangkit dari tempat shalat sebelum imam, tetapi menunggu dahulu sampai
imam menghadap ke arah makmum. Dasarnya adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu
anhu, bahwa Nabi pada suatu hari mengimami mereka. Usai shalat, beliau menghadap ke
arah makmum dan berkata:
Hai jamaah sekalian! Saya adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku ruku,
bersujud atau bangkit, dan juga jangan mendahuluiku bangkit dari tempat shalat .
Maka disunnahkan bagi makmum untuk tidak bangkit dari tempat shalatnya sebelum imam
berpaling dari arah kiblat, agar tidak dikhawatirkan imam teringat akan hal yang dia lupa, lalu
melakukan sujud sahwi. Kecuali kalau imamnya melakukan hal yang bertentangan dengan
sunnah, seperti duduk terlalu lama dengan menghadap kiblat. Bila demikian, boleh saja
makmum bangkit dari duduk sebelum imamnya berpaling ke arah makmum.
10. Tidak menyusun shaf di antara tiang-tiang masjid, kecuali bila terdesak. Dasarnya
adalah hadits Anas radhiyallahu anhu bahwa ia menceritakan: Kami selalu menghindari itu
di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.
Demikian juga dengan hadits Qurrah radhiyallahu anhu yang menceritakan: Di masa hidup
Rasulullah, kami dilarang untuk shalat di antara pilar-pilar masjid, bahkan kami diusir dari
lokasi tersebut dengan keras.
11. Langsung mengikuti gerakan imam ketika terlambat masuk, apapun gerakan yang
dilakukan oleh imam. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu secara
marfu: Ikutilah jamaah shalat sebatas yang sempat kalian ikuti, dan lanjutkanlah bagian
yang belum kalian ikuti..
12. Tidak boleh menguasai tempat khusus di masjid yang hanya di tempat itu ia
melakukan shalat sunnah. Dasarnya adalah hadits Abdurrahman bin Syubal, bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam melarang tiga hal:
16
Mematuk seperti burung gagak, menghamparkan lengan tangan seperti binatang buas dan
menempatkan seseorang pada satu tempat khusus untuk shalat seperti menempatkan seekor
unta.
13. Mengingatkan imam bila imam kesulitan mengingat ayat yang akan dibacanya.
Dasarnya adalah hadits Al-Musawar bin Yazid Al-Maliki radhiyallahu anhu yang bercerita:
Saya pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam membaca surat dalam
shalat, tetapi beliau meninggalkan sebagian ayat dan lupa membacanya. Maka seorang
makmum bertanya seusai shalat: Rasulullah, bukankah engkau tadi lupa membaca ayat ini
dan itu? Beliau balik bertanya: Kenapa tidak engkau ingatkan tadi? Lelaki itu menjawab:
Saya kira, ayat-ayat itu memang sudah dimansukhkan.
Dari Abdullah bin Umar diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wassalam pernah
shalat dan membaca ayat, tiba-tiba beliau lupa. Usai shalat, beliau bertanya kepada Ubay:
Apakah engkau tadi shalat bersama kami? Ubay menjawab: Ya. Rasulullah bertanya lagi:
Kenapa engkau tidak mengingatkanku?
14. Tidak shalat di depan imam. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu
secara marfu, dan di situ disebutkan: Imam itu diangkat untuk dijadikan ikutan.
Sementara Al-Mardawi rahimahullahu menyatakan bahwa itu dilakukan bila bukan di dekat
Kabah. Karena kalau para makmum di sekeliling Kabah, sementara imam berada dua hasta
sebelum Kabah dan sebagian makmum satu hasta sebelum Kabah, shalatnya sah. Dia juga
menyatakan bahwa Al-Majda berkata dalam syarahnya terhadap hadits itu: Saya tidak
mengetahui adanya perbedaan soal ini. Abul Maali menandaskan: Secara ijma hukumnya
sah. Yakni apabila mereka semua berada di berbagai arah. Tetapi kalau imam dan makmum
berada dalam satu jalur, maka para makmum dilarang berada di depannya
6. Shaf Sholat Berjamaah
1. Jika jamaah hanya terdiri dari seorang imam dan seorang makmum (laki), keduanya
berdiri sejajar, yang berada di posisi kiri sebagian imam.
2. Jika makmumnya perempuan sendirian, posisi makmum dibelakang agak ke kanan.
3. Secara umum shaf jamaah lurus dan rapat, bahu sejajar dengan bahu, kaki bertemu
kaki jamaah lain.
4. Kesempurnaan shaf merupakan bagian dari sempurnanya shalat jamaah.
5. Jika jamaah semua perempuan, yang bertindak sebagai imam yang berada ditengah
shaf terdepan.
17
6. Jika makmum lebih dari dua orang, posisiny dibelakang imam shaf dewasa (L)
didepan, shaf anak (L) dibelakangnya, shaf dewasa (P) dibelakang, shaf anak (P)
didepannya. Shaf disebelah kanan lebih utama daripada shaf disebelah kiri
Mendapatkan pahala/kebaikan dari Allah SWT 27 derajat lebih tinggi daripada shalat
sendiri (Satu derajat jaraknya antara langit dengan bumi).
2. Shalat malam berjamaah di masjid pahalanya sangat besar sekali sehingga apabila
manusia tahu maka mereka akan rela pergi ke masjid walaupun harus
merangkak/merayap.
3. Bisa berkomunikasi dan silaturahim dengan tetangga yang sesama muslim, bertanya
tentang keadaan, dsb. Memberi senyum, jabat tangan dan salam saja sudah besar
pahalanya.
4. Bisa shalat di awal waktu sehingga kita tidak akan takut lupa shalat atau kelewat,
karena kebiasaan kita yang suka menunda-nunda waktu mengerjakan shalat wajib
shubuh, dhuhur, ashar, maghrib dan isya. Hidup kita akan jauh lebih tenang karena
hidup lebih teratur/disiplin tidak perlu ingat-ingat sudah shalat atau belum.
5. Kita bisa melatih kedisiplinan dan ketaatan kita kepada Allah SWT dengan rutin
shalat wajib berjamaah di masjid/mushola. Dengan menjadi pribadi yang disiplin dan
takut atas azab Tuhannya maka hidup akan jauh menjadi berkualitas dan lebih baik
dari orang lain yang tidak melakukannya.
6. Bagi para pemimpin, ia akan semakin dekat dengan yang dipimpinnya, karena bisa
bertukar pikir (sharing) secara santai.
Berikut ini beberapa hikmah dan manfaat yang bisa diunduh umat Islam dari shalat
berjamaah.
18
1. Allah telah mensyariatkan pertemuan bagi umat ini pada waktu-waktu tertentu. Ada yang
dilaksanakan secara berulang kali dalam sehari semalam, yaitu shalat lima waktu dengan
berjamaah di masjid. Ada juga pertemuan yang dilaksanakan sekali dalam sepekan, yaitu
shalat Jum'at. Ada juga yang dilangsungkan setelah pelaksanaan ibadah yang agung, dan
terulang dua kali setiap tahunnya. Yaitu Iedul Fitri sesudah pelaksanaan ibadah puasa
Ramadlan dan Iedul Adha sesudah pelaksanaan ibadah Haji. Dan ada juga yang dilaksakan
setahun sekali yang dihadiri umat Islam dari seluruh penjuru negeri, yaitu wukuf di Arafah.
Semua ini untuk menjalin hubungan persaudaraan dan kasih sayang sesama umat Islam, juga
dalam rangka membersihkan hati sekaligus dakwah ke jalan Allah, baik dalam bentuk ucapan
maupun perbuatan.
2. Sebagai bentuk ibadah kepada Allah melalui pertemuan ini dalam rangka memperoleh
pahala dari-Nya dan takut akan adzab-Nya.
3. Menanamkan rasa saling mencintai. Melalui pelaksanaan shalat berjamaah, akan saling
mengetahui keadaan sesamanya. Jika ada yang sakit dijenguk, ada yang meninggal di
antarkan jenazahnya, dan jika ada yang kesusahan cepat dibantu. Karena seringnya bertemu,
maka akan tumbuh dalam diri umat Islam rasa cinta dan kasih sayang.
4. Ta'aruf (saling mengenal). Jika orang-orang mengerjakan shalat secara berjamaah akan
terwujud ta'aruf. Darinya akan diketahui beberapa kerabat sehingga akan tersambung kembali
tali silaturahim yang hampr putus dan terkuatkan kembali yang sebelumnya telah renggang.
Dari situ juga akan diketahui orang musafir dan ibnu sabil sehingga orang lain akan bisa
memberikan haknya.
5. Memperlihatkan salah satu syi'ar Islam terbesar. Jika seluruh umat Islam shalat di rumah
mereka masing-masing, maka tidak mungkin diketahui adanya ibadah shalat di sana.
6. Memperlihatkan kemuliaan kaum muslimin. Yaitu jika mereka masuk ke masjid-masjid
dan keluar secara bersamaan, maka orang kafir dan munafik akan menjadi ciut nyalinya.
7. Memberi tahu orang yang bodoh terhadap syariat agamanya. Melalui shalat berjamaah,
seorang muslim akan mengetahui beberapa persoalan dan hukum shalat yang sebelumnya
tidak diketahuinya. Dia bisa mendengarkan bacaan yang bisa dia petik manfaat sekaligus
dijadikan pelajaran. Dia juga bisa mendengarkan beberapa bacaan dzikir shalat sehinga lebih
mudah menghafalnya. Dari sini, orang yang belum mengetahui tentang syariat shalat,
khususnya, bisa mengetahuinya.
8. Memberikan motifasi bagi orang yang belum bisa rutin menjalankan shalat berjamaah,
sekaligus mengarahkan dan membimbingnya seraya saling mengingatkan untuk membela
kebenaran dan senantiasa bersabar dalam menjalankannya.
9. Membiasakan umat Islam untuk senantiasa bersatu dan tidak berpecah belah. Dalam
berjamaah terdapat kekuasaan kecil, karena terdapat imam yang diikuti dan ditaati secara
19
tepat. Hal ini akan membentuk pandangan berIslam secara benar dan tepat tentang
pentingnya kepemimpinan (imamah atau khilafah) dalam Islam.
10. Membiasakan seseorang untuk bisa menahan diri dari menuruti kemauan egonya. Ketika
dia mengikuti imam secara tepat, tidak bertakbir sebelum imam bertakbir, tidak mendahului
gerakan imam dan tidak pula terlambat jauh darinya serta tidak melakukan gerakan
bebarengan dengannya, maka dia akan terbiasa mengendalikan dirinya.
11. Membangkitkan perasaan orang muslim dalam barisan jihad, sebagaimana yang Allah
firmankan,
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan
yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (QS. Ash
Shaff: 4)
Orang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan berjamaah dan membiasakan diri untuk
berbaris rapi, lurus dan rapat, akan menumbuhkan dalam dirinya kesetiaan terhadap
komandan dalam barisan jihad sehingga dia tidak mendahului dan tidak menunda perintahperitnahnya.
12. Menumbuhkan perasaan sama dan sederajat dan menghilang status sosial yang terkadang
menjadi sekat pembatas di antara mereka. Di sana, tidak ada pengistimewaan tempat bagi
orang kaya, pemimpin, dan penguasa. Orang yang miskin bisa berdampingan dengan yang
kaya, rakyat jelata bisa berbaur dengan penguasa, dan orang kecil bisa duduk berdampingan
dengan orang besar. Karena itulah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk
menyamakan shaff (barisan) shalat. Beliau bersabda, "janganlah kalian berselisih yang akan
menyebabkan perselisihan hati-hati kalian." (HR. Muslim)
13. Dapat terlihat orang fakir miskin yang serba kekurangan, orang sakit, dan orang-orang
yang suka meremehkan shalat. Jika terlihat orang memakai pakaian lusuh dan tampak tanda
kelaparan dan kesusahan, maka jamaah yang lain akan mengasihi dan membantunya. Jika ada
yang tidak terlihat di masjid, akan segera diketahui keadaannya, apakah sakit atau
meremehkan kewajiban shalat berjamaah. Orang yang sakit akan dijenguk dan diringankan
rasa sakit dan kesusahannya, sedangkan orang yang meremehkan shalat akan cepat mendapat
nasihat sehingga akan tercipta suasana saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
14. Akan menggugah keinginan untuk mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam dan para shabatnya. Melalui shalat berjamaah, umat Islam bisa membayangkan apa
yang pernah dijalani oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersama para shabatnya.
Sang imam seolah menempati tempat Rasulullah yang para jamaah seolah menempati posisi
sahabat.
20
15. Berjamaah menjadi sarana turunnya rahmat dan keberkahan dari Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
16. Akan menumbuhkan semangat dalam diri seseorang untuk meningkatkan amal shalihnya
dikarenakan ia melihat semangat ibadah dan amal shalih saudaranya yang hadir berjamaah
bersamanya.
17. Akan mendapatkan pahala dan kebaikan yang berlipat ganda, sebagaimana yang
disabdakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "shalat berjamaah itu lebih utama 27 derajat
daripada shalat sendirian." (HR. Muslim)
18. Menjadi sarana untuk berdakwah, baik dengan lisan maupun perbuatan. Berkumpulnya
kaum muslimin pada waktu-waktu tertentu akan mendidik mereka untuk senantiasa mengatur
dan menjaga waktu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat berjamaah itu adalah wajib bagi tiap-tiap mukmin laki-laki, tidak ada keringanan
untuk meninggalkannya terkecuali ada udzur (yang dibenarkan dalam agama).
Hal yang diperhatikan oleh imam dan makmum ketika shalat berjamaah, sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
DAFTAR PUSTAKA
22