Você está na página 1de 8

D.

Jangka Waktu Analisis


Secara umum analisis dilakukan sealama periode yang terbatas ( mislanya satu minggu,
satu bulan atau satu tahun), namun demikian jika kondisi pasien bervariasi perode waktunya,
maka dilakukan pendekatan dengan menggunakan lama waktu terapi. Pada contoh kasus di atas ,
analisan keputusan dimulau pada saat memberikan antibiotika untuk mengatasi septicemia
bakteri gram negarif sampai infeksi dinyatakan sembuh.

E. Membuat Pohon keputusan


Membuat Struktur keputusan dan Konsekuensinya dari waktu ke waktu
Struktur dari pohon keputusan merupakan hal yang sangat penting dalam analisis
keputusan. Dalam membuat pohon keputusan pengambil keputusan mengidentifikasi hubungan
antara pilihan keputusan dan konsekuensi dari masing-masing pilihan. Pada conoh kauss di atas
pohon keputusan dari alphazorin ditunjukkan pada gambar 13 dan omegazorin pada gambar 14.
Struktur tersebut akan digunakan untuk memasukkan probabilitas yang dapat diperoleh dari hasil
uji klinik, menetapkan outcome terapi biaya pada masing-masing konsekuensi dan mnghitung
perkiraan biaya total.

Bagaimana jika pasien septicemia diberikan alphazorin? Pertama outcome pada cabang
ini tidak bisa dipastikan oleh pengambil keputusan, beberapa pasien memberikan respon dan
sebagian tidak. Pada cabang pasien yang memberikan respon terhadap alphazorin, jika panas
menurun dan hasil lab menunjukkan respon terhadap antibiotika, maka selama 10 hari terpai bisa
di lanjutkan atau pasien mengalami toksisitas ( node B). Tiga macam tipe reaksi toksisk (node C)
meliputi gangguan GI. Seperti mual, muntah,diare biasanya terjadi pada hari kedua terpi:
hepatotoksisitas, dengan peningkatan enzym hepar dan penurunan fungsi hepar. Namun tidak
semua gejala toksisitas disebabkan karena antibiotika bisa disebabkan oleh terapi yang lain atau
penyakit yang menyertai. Oleh akrena itu chance node dengan dua cabang berikutnya
menunjukkan apakah konsentrasi obat diatas atau dibawah dari toxic cutoff level, terlihat pada
node G dan G pada gambar 13 dan P dan S pada gambar 14.
Pada pasien ysng tidak respon dengan akdar obat di atas COLs, bisa disebabkan karena
pasien mengalami resistensi tetapi bebrapa pasien dengan kadar obat diatas COLs tidak
memberikan respon( node K dan W), sehingga perlu peneyesuaian dosis yang akan
menyebabkan peningkatan biaya dan mungkin hari rawatinap bertambah. Demikian juga pada
pasien yang kadar obatya dibawah COLs (L dan X) maka perlu ditingkatkan dosisnya.

f. Menilai Probabilitas
pada masing-masing chance node, nilai probabilitasnya sebesar 1. Data probabilitas dapat
diperoleh dari uji klinik fase III dari industri farmasi atau dari sumber yang lain. Pada contoh
kasus alphazorin dan megazorin, hasil outcome dari 2000 pasien ditunjukkan dalam tabel 8 dan
9.
Jumlah probabilitas semua konsekuensi dari chance node harus1 , sehingga konsekuensi
harus siidentifikasi untuk masing-masing chance node. Probabilitas untuk maisng-masing cabang
chance node disajikan pada gambar 15 dan gambar 16.
Dari 1000 pasien yang mndapatkan alphazorin, 850 memberikan respon yang
ditunjukkaan dengan penurunan parameter hematologi dan 150 tidak memberikan respon.
Probabilitas memberikan respon atau tidak dimasukkan dalam pohon keputusan pada 2 cabang
awal dari alphazorin, pada chance node yang pertama (node A). dari 850 pasien yang
memberikan respon 680(80%) tidak mengalami gejala toksisitas (node B). Dari 170 pasien

dengan gejala toksisk, 131 (77%) mengalami toksisitas gastrointestinal. 35 (20,6%) mengalami
peningkatan fungsi enzym hepar dan 4 (2,4%) mengalami penurunan fungsi hati (node C)

Kadar alphazorin serum diukur pada semua pasien yang mengalami gejala toksisitas.
Sebanyak 81 pasien (62%) dengan gejala gastrointestinal kosentrasi obat dalam serum diatas
COLt (node D). pada node G, 16 dari 35 paien (45,7%) dengan hepatotoksisitas kosentrasi
obatnya diatas COLt dan 4 dari 4 pasien dengan hematotoksisitas, konsentrasinya diatas COLt.
Demikian seterusnya dilakukan perhitungan probabilitas dengan cara yang sama pada pasien
yang tidak mengalami respon.

g. Menilai Outcome
selanjutnya dilakukan perhitungan outcome ekonomi, nilai moneter dari obat dan biaya yang
terkait dengan obat untuk tiap kasus ceptimia. Biaya obat termasuk harga obat dan biaya
penyimpanan untuk 10 hari pemberian sebesar Rp. 1.650.000 untuk alphazorin dan Rp.
1.050.000 untuk omegazorin. Biaya obat sebesar Rp. 18.000 untuk setiap kali pemberian.
Alphazorin diberikan setiap 8 jam selama 10 hari sehingga total biaya pemberian sebesar
Rp.540.000, dan omegazorin diberikan setiap 6 jam dengan durasi yang sama, sehingga biaya
total pemberian sebesar Rp.720.000. Jika dilakukan perubahan terapi karena kemungkinan
terjadi resistensi, maka diberikan betasporin secara intravena selama 10 hari, dengan biaya obat
sebesar Rp. 1.800.000 dan biaya terkait dengan pemberian obat Rp. 360.000.

Biaya yang disebabkan karena pengobatan merupakan baiaya karena respon yang tidak
optimal dari pemberian alphazorin dan omegazorin. Biaya tambahan tersebut sebesar Rp.
1.000.000 tiap tambahan hari rawat inap, baiaya tes lab ( Rp.75.000/ pemeriksaan kadar obat
dalam serum, Rp. 65.000/ test fungsi hepar, Rp. 60.000/jumlah platelet, terapi tambahan ( Rp.
360.000/ transfusi Red Blood Cell dan Platelet concentrate), Rp.115.000 tiap kali konsultasi
farmakokinetika dan Rp.400.000 per konsultasi infeksi dan hematologi. Biaya obat, biaya terkait
dengan pengobatan dan baiya yang disebabkan oleh pengobatan alphazorin disajikan pada tabel
10 dan omegazorin disajikan pada tabel 11

Você também pode gostar