Você está na página 1de 17

EMPAT PRINSIP ETOS KERJA ISLAMI

Bekerja merupakan keniscayaan dalam hidup. Dalam suasana zaman yang semakin sulit, kaum
beriman dituntut mampu survive dan bangkit membangun peradaban seperti sedia kala. Syarat
untuk itu tidak cukup lagi ditempuh dengan kerja keras, tetapi harus kerja cerdas.
Tidak ada lain bagi kaum beriman kecuali harus mengkaji pandangan Islam tentang etos kerja.
Meski makhluk hidup di bumi sudah mendapat jaminan rezeki dari Allah, namun kemalasan
tidak punya tempat dalam Islam. Fatalisme atau paham nasib tidak dikenal dalam Islam. Firman
Allah, "...maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah.
Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan (Qs Al-Ankabut: 17).
Menurut ayat itu, rezeki harus diusahakan. Dan seakan mengonfirmasi ayat di atas, firman Allah
di ayat lain tegas menyatakan, cara mendapat rezeki adalah dengan bekerja. Jika shalat telah
ditunaikan, maka menyebarlah kalian di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kalian beruntung (Qs Al-Jumuah: 10).
Ayat lain bahkan menyatakan, dijadikannya siang terang agar manusia mencari rezeki dari Allah
(Qs Al-Isra: 12), terlihatnya bahtera berlayar di lautan agar manusia mencari karunia Allah (Qs
An-Nahl: 14), adanya malam dan siang agar manusia beristirahat pada waktu malam dan bekerja
pada waktu siang (Qs Al-Qashash: 73).
Masih banyak ayat serupa. Intinya, rezeki Allah hanya akan diperoleh dengan etos kerja tinggi.
Bagaimana teknis pelaksanaan etos kerja sebagaimana perintah Allah di atas?
Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam Syubul Iman ada empat prinsip etos kerja yang diajarkan
Rasulullah. Keempat prinsip itu harus dimiliki kaum beriman jika ingin menghadap Allah
dengan wajah berseri bak bulan purnama.
Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis pekerjaan
sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang dalam terminologi fiqih
terbagi menjadi haram lighairihi dan haram lidzatihi.
Analoginya, menjadi anggota DPR adalah halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan mengkorupsi
uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula halal menjadi haram
karena ada faktor penyebabnya. Itulah haram lighairihi. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi
bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis
pekerjaan itu memang haram lidzatihi.
Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (taaffufan an
al-masalah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah pernah

menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian
bersabda, Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar
dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya,
diberi atau ditolak (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu jika
masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena dipandang remeh dan hina.
Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan terhormat di mata Allah ketimbang memintaminta.
Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sayan ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan
keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori
jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer, Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik
melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada
diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah (HR Ibnu Majah).
Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai
Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal
tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk
keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, Tangan seperti inilah yang dicintai
Allah dan Rasul-Nya.
Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (taaththufan ala jarihi). Penting
dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang
kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap
tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar. Hendaklah kamu beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa
atasnya. (Qs Al-Hadid: 7).
Lebih tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi mengabaikan nasib kaum
miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Qs Al-Maun: 1-3). Itu karena tidak dikenal
istilah kepemilikan harta secara mutlak dalam Islam. Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada
manusia, selalu menyisakan hak kaum lemah dan papa.
Demikianlah, dan sekali lagi, kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari jenisnya.
Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan diukur dari kualitas niat
(shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi at-tahshil). Itulah pekerjaan yang
bernilai ibadah dan kelak akan mengantarkan pelakunya ke pintu surga.

ETOS KERJA DALAM ISLAM


ETOS KERJA DALAM ISLAM
Oleh. Ahmad Abrar, S.Pd.I, M.Pd.I
A.

Pendahuluan

Agama Islam yang berdasarkan al-Quran dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi
kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga
mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda: bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan
beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok. Dalam ungkapan lain dikatakan
juga, Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari
pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai
mukmin yang kuat bekerja. Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru
berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak
hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang
tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Quran dan as-Sunnah. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
B. Hakekat Etos Kerja dalam Islam
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan
atas sesuatu.
Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos
dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya. Dari
kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian akhlak atau nilainilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah
atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan
berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.

Dalam al-Quran dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat
dan sempurna. (An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki
jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah
terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud
ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai
kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu
menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad
: 22)
Pengertian Kerja
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal
materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah
keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS Poerdarminta
mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu
yang dilakukan untuk mencari nafkah.
KH. Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya
sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan zikirnya untuk mengaktualisasikan
atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang menundukkan dunia dan
menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik atau dengan kata lain dapat
juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia memanusiakan dirinya.
Lebih lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi
kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya
dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian
dirinya kepada Allah SWT.
Di dalam kaitan ini, al-Quran banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti
oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan
masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan di
akhirat. Al-Quran juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja positif dan negatif. Di
dalam al-Quran banyak kita temui ayat tentang kerja seluruhnya berjumlah 602 kata,
bentuknya :
1) Kita temukan 22 kata amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl:
97, dan al-Mukmin: 40.
2) Kata amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir:
10.
3) Kata waamiluu (mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat alAhqaf: 19 dan an-Nur: 55.
4) Kata Tamalun dan Yamalun seperti dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.

5) Kita temukan sebanyak 330 kali kata amaaluhum, amaalun, amaluka, amaluhu,
amalikum, amalahum, aamul dan amullah. Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102,
Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan at-Tur: 21.
6) Terdapat 27 kata yamal, amiluun, amilahu, tamal, amalu seperti dalam surat al-Zalzalah:
7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
7) Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah seperti
shanaa, yasnaun, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya ayat-ayat tentang
perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, al-Quran juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman,
pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT
berfirman:
barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh (Al-Kahfi: 110)
Ada juga ayat al-Quran yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit misalnya firman
Allah SWT kepada Nabi Daud As.
Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu
dalam peperanganmu (al-Anbiya: 80)
Dalam surah al-Jumuah ayat 10 Allah SWT menyatakan :
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (al-Jumuah: 10)
Pengertian kerja dalam keterangan di atas, dalam Islam amatlah luas, mencakup seluruh
pengerahan potensi manusia. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi yang
dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan, pakaian, tempat
tinggal, dan peningkatan taraf hidup.
Inilah pengertian kerja yang bisa dipakai dalam dunia ketenaga-kerjaan dewasa ini, sedangkan
bekerja dalam lingkup pengertian ini adalah orang yang bekerja dengan menerima upah baik
bekerja harian, maupun bulanan dan sebagainya.
Pembatasan seperti ini didasarkan pada realitas yang ada di negara-negara komunis maupun
kapitalis yang mengklasifikasikan masyarakat menjadi kelompok buruh dan majikan, kondisi
semacam ini pada akhirnya melahirkan kelas buruh yang seringkali memunculkan konflik antara
kelompok buruh atau pun pergerakan yang menuntut adanya perbaikan situasi kerja, pekerja
termasuk hak mereka.
Konsep klasifikasi kerja yang sedemikian sempit ini sama sekali tidak dalam Islam, konsep kerja
yang diberikan Islam memiliki pengertian namun demikian jika menghendaki penyempitan

pengertian (dengan tidak memasukkan kategori pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan


ibadah dan aktivitas spiritual) maka pengertian kerja dapat ditarik pada garis tengah, sehingga
mencakup seluruh jenis pekerjaan yang memperoleh keuntungan (upah), dalam pengertian ini
tercakup pula para pegawai yang memperoleh gaji tetap dari pemerintah, perusahaan swasta, dan
lembaga lainnya.
Pada hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek muamalah
umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja :
1) al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan
para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja
dalam jasa angkutan dan kuli.
2) al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari
suatu perusahaan dan pegawai negeri.
3) al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli
seperti pedagang keliling.
4) al-Muzarriun: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW
dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum kering
keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan : Besar gaji disesuaikan dengan hasil kerja.
Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan
porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
C. Etika Kerja dalam Islam
Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang diantara kamu yang
melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan teliti). (HR. al-Baihaki)
Dalam memilih seseorang ketika akan diserahkan tugas, rasulullah melakukannya dengan
selektif. Diantaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya.
Beliau senantiasa mengajak mereka agar itqon dalam bekerja.
Sebagaimana dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat al-Quran menyatakan katakata iman yang diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan.
Penggunaan istilah perniagaan, pertanian, hutang untuk mengungkapkan secara ukhrawi
menunjukkan bagaimana kerja sebagai amal saleh diangkatkan oleh Islam pada kedudukan
terhormat.

Pandangan Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya.
Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung pada niat
pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda
bahwa sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan. (HR. Bukhari
dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat
juga merupakan dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
sesuatu.
Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT
agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga
mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian
(al-Baqarah : 264)
Keterkaitan ayat-ayat di atas memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja,
apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara
taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan kerja
berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam pembangunan
individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu diikut sertakan
didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi pahala dan
siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir berupa upah atau
imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT.
Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka
bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah serta tidak
diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan harus
mempunyai komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan seperti
bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping itu
mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja menjadi suatu
tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol
dalam kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di
akhirat. Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguhsungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai
hubungan baik dengan relasinya. Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, sebaik-

baiknya pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus. (HR
Hambali)
2. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT :
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan
kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (alBaqarah: 172)
1. Dilarang memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua
harus dipekerjakan secara professional dan wajar.
2. Islam tidak membolehkan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan
minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
3. Professionalisme yaitu kemampuan untuk memahami dan melakukan pekerjaan sesuai
dengan prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat
amanah, kuat dan kreatif serta bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar
menguasai pekerjaannya. Tanpa professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami
kerusakan dan kebangkrutan juga menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan
sampai kepada kesemrautan manajemen serta kerusakan alat-alat produksi
D. Kesimpulan
Ethos kerja seorang muslim ialah semangat menapaki jalan lurus, mengharapkan ridha Allah
SWT.
Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah (1) Adanya keterkaitan individu terhadap
Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam
bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan
relasinya. (2) Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. (3) tidak
memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus
dipekerjakan secara professional dan wajar. (4) tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai
Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
(5) Professionalisme dalam setiap pekerjaan

Ikhlas Dalam Beramal


Diriwayatkan dari Amir al-Mukminin (pemimpin kaum beriman) Abu Hafsh Umar bin alKhattab radhiyallahuanhu beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda,
.

Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan
mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa
yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya,
maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan. (HR. Bukhari [Kitab Bad'i alWahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab alImarah, hadits no. 1907])
Faedah Hadits
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal.
Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek
(Syarh Arbain li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 26).
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, Bukhari mengawali kitab Sahihnya [Sahih
Bukhari] dengan hadits ini dan dia menempatkannya laiknya sebuah khutbah [pembuka] untuk
kitab itu. Dengan hal itu seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa segala amal yang dilakukan
tidak ikhlas karena ingin mencari wajah Allah maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik
di dunia maupun di akhirat. (Jami al-Ulum, hal. 13)
Ibnu as-Samani rahimahullah mengatakan, Hadits tersebut memberikan faedah bahwa amalamal non ibadat tidak akan bisa membuahkan pahala kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu

dalam rangka mendekatkan diri [kepada Allah]. Seperti contohnya; makan -bisa mendatangkan
pahala- apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.
(Sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bari [1/17]. Lihat penjelasan
serupa dalam al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 129, ad-Durrah as-Salafiyah,
hal. 39-40)
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, hadits ini juga merupakan dalil yang menunjukkan tidak
bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya
ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat
[yang benar] untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya
(Fath al-Bari [1/22]).
Macam-Macam Niat
Istilah niat meliputi dua hal; menyengaja melakukan suatu amalan [niyat al-'amal] dan
memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu [niyat al-ma'mul lahu].
Yang dimaksud niyatu al-amal adalah hendaknya ketika melakukan suatu amal, seseorang
menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan
perbuatan yang lain. Misalnya mandi, harus dipertegas di dalam hatinya apakah niatnya untuk
mandi biasa ataukah mandi besar. Dengan niat semacam ini akan terbedakan antara perbuatan
ibadat dan non-ibadat/adat. Demikian juga, akan terbedakan antara jenis ibadah yang satu dengan
jenis ibadah lainnya. Misalnya, ketika mengerjakan shalat [2 raka'at] harus dibedakan di dalam
hati antara shalat wajib dengan yang sunnah. Inilah makna niat yang sering disebut dalam kitabkitab fikih.
Sedangkan niyat al-mamul lahu maksudnya adalah hendaknya ketika beramal tidak memiliki
tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh
kekhawatiran akan hukuman-Nya. Dengan kata lain, amal itu harus ikhlas. Inilah maksud kata
niat yang sering disebut dalam kitab aqidah atau penyucian jiwa yang ditulis oleh banyak ulama
salaf dan disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di dalam al-Quran, niat semacam
ini diungkapkan dengan kata-kata iradah (menghendaki) atau ibtigha (mencari). (Diringkas dari
keterangan Syaikh as-Sadi dalam Bahjat al-Qulub al-Abrar, sebagaimana tercantum dalam adDurrah as-Salafiyah, hal. 36-37 dengan sedikit penambahan dari Jami al-Ulum oleh Ibnu Rajab
hal. 16-17)
Pentingnya Ikhlas
Allah taala berfirman (yang artinya), Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam
rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya. (QS. al-Mulk:
2)
al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah menafsirkan makna yang terbaik amalnya yaitu yang
paling ikhlas dan paling benar. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan
diterima. Begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. Ikhlas yaitu
apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di atas sunnah/tuntunan (Diriwayatkan oleh

Abu Nuaim dalam Hilyat al-Auliya [8/95] sebagaimana dinukil dalam Tajrid al-Ittiba fi Bayan
Asbab Tafadhul al-Amal, hal. 50. Lihat pula Jami al-Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Pada suatu saat sampai berita kepada Abu Bakar tentang pujian orang-orang terhadap dirinya.
Maka beliau pun berdoa kepada Allah, Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku
daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah,
jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat
ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak
mereka ketahui. (Kitab Az Zuhd Nuaim bin Hamad, dinukil dari Maalim fi Thariq Thalabil
Ilmi, hal. 119)
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, Baiknya hati dengan baiknya amalan,
sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat. (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam
Jami al-Ulum wa al-Hikam, hal. 19). Ibnu al-Mubarak rahimahullah mengatakan, Betapa
banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil
gara-gara niat. (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami al-Ulum wa al-Hikam, hal.
19)
Seorang ulama yang mulia dan sangat wara (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullah
berkata, Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku. (Tadzkiratus
Sami wal Mutakallim, dinukil dari Maalim fii Thariq Thalabil Ilmi, hal. 19)
Pada suatu ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan
untuknya, maka beliau berkata, Semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku
lupa diri). (Siyar Alamin Nubala, dinukil dari Maalim fii Thariq Thalabil Ilmi, hal. 22)
Begitu pula ketika salah seorang muridnya mengabarkan pujian orang-orang kepada beliau,
maka Imam Ahmad mengatakan kepada si murid, Wahai Abu Bakar. Apabila seseorang telah
mengenali hakikat dirinya sendiri maka ucapan orang tidak akan berguna baginya. (Siyar
Alamin Nubala, dinukil dari Maalim fii Thariq Thalabil Ilmi, hal. 22)
Ad Daruquthni rahimahullah mengatakan, Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan sematamata karena Allah, akan tetapi ternyata ilmu enggan sehingga menyeret kami untuk ikhlas dalam
belajar karena Allah. (Tadzkiratus Sami wal Mutakallim, dinukil dari Maalim fii Thariq
Thalabil Ilmi, hal. 20)
Asy Syathibi rahimahullah mengatakan, Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati
orang-orang salih adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri. (Al Itisham,
dinukil dari Maalim fii Thariq Thalabil Ilmi, hal. 20)
Di dalam biografi Ayyub As Sikhtiyani disebutkan oleh Syubah bahwa Ayyub mengatakan,
Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut. (Siyar Alamin Nubala,
dinukil dari Maalim fii Thariq Thalabil Ilmi, hal. 22)

Seorang ulama mengatakan, Orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat
dirinya sendiri serta tidak terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat
dirinya (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Maalim fi Thariq Thalabil Ilmi, hal. 118)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan
adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buahbuahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang
dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa
untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Maaad (kari kiamat). Ketika
dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan
tauhid adalah sebatang pohon di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal
sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan
kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak
terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun
syirik, kedustaan, dan riya adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia
adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya
hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus.
Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim. (Al Fawaid, hal.
158).
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, Ikhlas dalam beramal karena
Allah taala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi
yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah taala, sebagaimana halnya
mutabaah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua
amal salih yang diterima di sisi Allah. (Tajrid al-Ittiba fi Bayan Asbab Tafadhul al-Amal, hal.
49)

Ikhlas Dalam Beramal


Para pembaca yang mulia semoga Allah Taala merahmati kita semua Allah Taala Yang
Maha Adil dan Maha Bijaksana telah menetapkan bahawa di antara hamba-hambaNya akan ada
yang mengalami kehidupan yang bahagia dan ada yang akan mengalami kehidupan yang
sengsara.
Namun Allah Taala adalah Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, melalui lisan
RasulNya salla Allah alaihi wa sallama, Dia Subhanahu wa Taala juga telah menunjukkan
kepada umat manusia ini jalan yang akan menghantarkan kepada kebahagiaan dan jalan yang
akan menjerumuskan kepada jurang kesengsaraan.
Oleh kerana itu, amat penting bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari serta mematuhi dan
mengamalkan tanda-tanda yang telah terpasang pada jalanan yang menuju kepada kebahagiaan
tersebut. Allah Taala sebagai pemilik kehidupan ini telah menegaskan dalam al-Quran,
Barangsiapa yang mengerjakan amal soleh baik lelaki mahupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
bahagia. (An-Nahl : 97)
Allah Taala mensyaratkan kepada seorang mukmin yang menginginkan kebahagiaan agar
mereka beramal soleh. Allah Taala berjanji, barangsiapa yang beramal soleh, nescaya akan
dimasukkan ke dalam SyurgaNya. Sebagaimana firmanNya,
Barangsiapa yang beramal soleh baik lelaki mahupun perempuan dan dia beriman, maka
mereka akan masuk ke dalam Al-Jannah dan mereka tidak akan dianiaya sedikitpun.
(An-Nisaa : 124)
Apakah itu Amal Soleh?

Tidaklah semua amal baik yang dilakukan oleh seseorang boleh dikatakan sebagai amalan soleh
yang diterima di sisi Allah Taala. Seperti yang dikhabarkan oleh Nabi salla Allah alaihi wa
sallama dalam sabdanya,
Betapa ramainya orang yang berpuasa, tidaklah dia mendapatkan pahala kecuali sekadar
rasa lapar, dan betapa ramainya orang yang menegakkan solat malam, tidaklah dia
mendapatkan pahala kecuali sekadar menahan diri daripada mengantuk. (HR Ibn Majah
dan An-Nasai)
Lihatlah wahai pembaca yang mulia, ternyata amalan puasa dan solat malam yang dilakukan,
tidak memberi manfaat bagi dirinya, Allah Taala tidak menerima amalan tersebut, tidak
memberi pahala kepadanya, dan yang ia peroleh hanya sebatas rasa lapar dan payah belaka.
Kerana Allah Taala dan RasulNya salla Allah alaihi wa sallama telah menetapkan dalam syariat
Islam ini, bahawa suatu amalan yang disebut sebagai amalan soleh yang diterima di sisi Allah
Taala jika terpenuhi padanya dua syarat:
Syarat pertama, adalah ikhlas yakni amalan yang dilakukan itu semata-mata hanya untuk
mengharapkan redha Allah Taala, bukan kerana terpaksa atau kerana mengharapkan pujian
orang lain, ataupun dalam rangka untuk mencari kedudukan, kekayaan, kemasyhuran dan
semisalnya dari perkara-perkara duniawi.
Syarat kedua, wajib bagi amalan itu sesuai dengan tuntunan dan ajaran Rasulullah salla Allah
alaihi wa sallama. Beliau salla Allah alaihi wa sallama bersabda,
Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunan (ajarannya) daripada
kami, maka amalan itu akan tertolak (di sisi Allah Taala). (HR Muslim)
Bagaimana boleh terjadi sebegitu? Kita ambil contoh amalan solat. Rasulullah salla Allah alaihi
wa sallama telah mengajarkan umatnya bahawa solat Maghrib itu tiga rakaat. Maka barangsiapa
yang mengerjakan solat Maghrib empat rakaat, tentu solatnya tidak sah dan secara langsungnya
akan tertolak di sisi Allah Taala.
Kedua-dua syarat itulah pada hakikatnya merupakan realisasi dari Asy-Syahadatain (dua kalimah
syahadah: Tiada Tuhan Melainkan Allah dan Muhammad itu Rasul Allah). Ketika seseorang
telah bersaksi bahawa Allah Taala satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah, maka sudah
wajib baginya untuk mempersembahkan seluruh ibadahnya ikhlas kerana Allah Taala. Dan
ketika dia telah bersaksi bahawa Muhammad salla Allah alaihi wa sallama adalah Rasul Allah,
maka hendaklah siap, tunduk dan patuh untuk menjalankan ibadah kepada Allah Taala sesuai
dengan ajaran Nabi Muhammad salla Allah alaihi wa sallama.
Allah Taala berfirman, Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka
hendaklah dia mengerjakan amal soleh dan janganlah dia mempersekutukan sesuatupun
dalam beribadah kepadaNya. (Al-Kahfi : 110)

Al-Imam Ibn Kathir mengatakan, Ini adalah dua rukun amalan agar diterima (di sisi Allah
Taala), iaitu ihklas kerana Allah dan sesuai dengan ajaran Rasulullah.
Jika hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amalan seseorang itu akan tertolak dan tiada
nilainya di sisi Allah Taala. Maka barangsiapa yang beramal dengan niat yang ikhlas kerana
Allah, namun tidak sesuai dengan ajaran Nabi, maka amalannya tertolak, dan sebaliknya
barangsiapa yang beramal dengan amalan yang sesuai dengan ajaran Nabi tetapi tidak ikhlas
kerana Allah, maka amalannya juga tertolak.
Peranan Niat dalam Amalan dan Kewajipan Ikhlas
Di dalam setiap amalan itu tergantung pada niatnya sebagaimana sabda Nabi salla Allah alaihi
wa sallama, Sesungguhnya setiap amalan itu berdasarkan pad niatnya, dan setiap orang
akan mendapatkan balasan (dari amalannya) sesuai dengan niatnya. (HR al-Bukhari dan
Muslim)
Seseorang yang beramal dengan niat ikhlas untuk mendapatkan redha dan ganjaran daripada
Allah Taala, maka dia akan mendapatkannya insya Allah. Dan barangsiapa yang beramal namun
dengan niat untuk mendapatkan perkara yang sifatnya materi (duniawi) dan tidak ikhlas kerana
Allah, maka amalan itu tiada nilainya di sisi Allah. Boleh terjadi dia akan mendapatkan apa yang
diinginkan tersebut, tetapi Allah tidak akan memberikan keredhaanNya kepadanya, bahkan Allah
mengancam orang yang seperti ini dengan firmanNya,
Barangsiapa yang menghendakkan kehidupan dunia dan perhiasannya, nescaya Kami
akan berikan kepada mereka balasan usaha mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di
akhirat kecuali An-Naar (neraka) dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka
usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (Hud: 15-16)
Betapa pentingnya permasalahan ikhlas ini, sehingga Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
menjadikan wajibnya ikhlas sebagai bab pertama dalam kitab beliau yang barakah RiyaadusSooliheen.
Adapun dalil yang menunjukkan wajibnya ikhlas dalam semua amal ibadah kepada Allah Taala
adalah firmanNya, Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan untuk beribadah
kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepadaNya. (Al-Bayyinah : 5)
Seseorang yang beramal bukan dalam rangka mengharap keredhaan Allah bererti dia telah
menjadikan sekutu dan tandingan bagi Allah dalam ibadah. Inilah kesyirikan yang dilarang
dalam agama ini. Allah berfirman dalam hadis qudsi,
Barangsiapa yang beramal dengan mempersekutukan Aku dengan selainKu, maka Aku
tinggalkan (tidak pedulikan) pelakunya dan perbuatannya. (HR Muslim)

Orang-orang yang berbuat syirik kepada Allah, maka amalannya akan terhapus dan tertolak di
sisi Allah. Allah Taala berfirman, Jika engkau berbuat syirik, maka sesungguhnya amalanamalanmu akan terhapus dan engkau termasuk orang-orang yang rugi. (Az-Zumar : 65)
Tipu Daya Iblis
Para pembaca, tentunya kita tidak akan lupa akan perbuatan Iblis yang membangkang ketika
Allah perintahkan kepadanya untuk sujud kepada Nabi Adam. Allah Taala mengusir Iblis dari
Jannah maka Iblis menyatakan sebagaimana dikisahkan Allah dalam al-Quran,
Iblis berkata, Wahai Rabbku, oleh kerana Engkau telah menyesatkanku, pasti aku kan
menjadikan mereka (anak cucu Adam) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka
bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau
yang ikhlas di antara mereka. (Al-Hijr : 39-40)
Iblis bertekad untuk menyesatkan umat manusia ini seluruhnya, kemudian Iblis mengecualikan
orang-orang yang ikhlas, kerana Iblis tidak akan mampu untuk menyesatkan mereka.
Ini menunjukkan bahawa misi utama Iblis adalah untuk menyesatkan umat manusia daripada
jalan Allah dengan memalingkan mereka dari keikhlasan kepadaNya. Rasulullah salla Allah
alaihi wa sallama bersabda, Sesungguhnya syaitan akan selalu hadir menggoda salah
seorang di antara kalian pada setiap keadaannya. (HR Muslim)
Hendaknya kita semua berhati-hati daripada rancangan syaitan ini, kerana syaitan senantiasa
akan menggoda, menyesatkan dan memalingkan kita daripada keikhlasan kepada Allah Taala.
Senantiasa kita perbetulkan niat-niat kita dalam beramal. Semoga Allah Taala menjadikan kita
termasuk dalam hamba-hambaNya yang ikhlas.
Akibat Tidak Ikhlas
Berikut ini kami sampaikan sebuah hadis Nabi salla Allah alaihi wa sallama yang menceritakan
keadaan orang-orang yang tidak ikhlas dalam amalannya, beliau bersabda,
Sesungguhnya manusia yang pertama dihisab pada Hari Kiamat nanti adalah seorang yang mati
Syahid, di mana dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya
serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya, Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat
itu? Ia menjawab, Aku berjuang di jalanMu sehingga aku mati syahid. Allah berfirman,
Kamu dusta, kamu berjuang (dengan niat) agar dikatakan sebagai pemberani, dan hal itu
sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeretnya lalu dia dilemparkan ke
dalam Neraka.
Kedua, seorang yang belajar dan mengajar serta suka membaca al-Quran, dia dihadapkan dan
diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian
ditanya, Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab, Aku telah belajar
dan mengajarkan al-Quran untukMu. Allah berfirman, Kamu dusta, kamu belajar al-Quran
(dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang alim, dan kamu membaca al-Quran agar

dikatakan sebagai seorang Qari (ahli membaca al-Quran), dan hal itu sudah terpenuhi.
Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeretnya lalu dia dilemparkan ke dalam Neraka.
Ketiga, seorang yang dilapangkan rezekinya dan dikurniakan pelbagai kekayaan, lalu dia
dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun
mengakuinya kemudian ditanya, Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia
menjawab, Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau sukai untuk bersedekah
padanya, kecuali pasti aku akan sedekahkan kerana Engkau. Allah berfirman, Kamu dusta,
kamu berbuat itu (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang dermawan, dan hal itu
sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeretnya lalu dia dilemparkan ke
dalam Neraka. (HR Muslim)
Demikianlah tiga orang yang beramal dengan amalan mulia tetapi tidak didasarkan keikhlasan
kepada Allah. Allah Taala lemparkan mereka ke dalam Neraka. Semoga kita termasuk orangorang yang beroleh pelajaran daripada kisah tersebut.
Nabi salla Allah alaihi wa sallama bersabda, Barangsiapa yang menuntut ilmu yang
semestinya dalam rangka untuk mengharapkan wajah Allah, tetapi ternyata tidaklah dia
menuntutkannya kecuali hanya untuk meraih sebahagian daripada perkara dunia, maka
dia tidak akan mendapatkan harumnya Syurga pada Hari Kiamat. (HR Ahmad, Abu
Dawud dan Ibn Majah). Akhir kata, semoga ulasan edisi kali ini mendorong kita untuk selalu
perbaiki ibadah yang telah kita lakukan baik kualiti mahupun kuantiti. Semoga Allah Taala
mengampuni kekurangan-kekurangan ibadah kita yang telah lalu dan menjadikan kita sebagai
hamba-hambaNya yang ikhlas. Ameen ya Rabbal Alamin.
Mutiara Faedah
Rasulullah salla Allah alaihi wa sallama bersabda, Barangsiapa yang berwuduk lalu berjalan
menuju Rumah Allah (masjid) untuk menunaikan kewajipan solat yang telah diwajibkan
Allah, maka selangkah kakinya menghapuskan dosa dan langkah yang lainnya dapat
mengangkat darjatnya. (HR Muslim)
Masjid merupakan syiar agama Islam yang perlu dijaga dan dilestarikan bukan hanya dari sisi
fisiknya sahaja, namun yang paling utama adalah meramaikan masjid itu dengan menghidupkan
solat jemaah lima waktu. Allah Taala Maha Pemurah lagi Maha Penyayang sehingga tidak akan
mensia-siakan amalan seseorang, bahkan Allah Taala membalasnya dengan jauh lebih baik
daripada apa yang dikerjakan sebagaimana hadis di atas

Você também pode gostar