Você está na página 1de 25

PENDAHULUAN

I.Latar Belakang

Sejak di turunkan Islam telah mengajarkan prinsip prinsip kesejahteraan bagi


pemeluknya.kesejahteraan tidak hanya di nilai dari segi ekonomi tapi dari segi jasmani dan
rohani.dalam rangka menciptakan kesejahteraan sosial islam telah memiliki acuan yaitu al quran
dan hadis sebagai pedoman umat nya.
Manusia diciptakan Allah SWT dalam kondisi merdeka. Manusia tidak tunduk kepada
siapapun kecuali kepada-Nya. Hal ini merupakan cermin kebebasan manusia dari ikatan-ikatan
perbudakan. Bahkan misi kenabian Muhammad SAW adalah melepaskan manusia dari beban
dan rantai yang membelenggunya (al-Arf: 157). Setiap manusia, baik sebagai individu maupun
anggota masyarakat, mempunyai kebebasan dalam berpikir, bertindak (berusaha), dan bersikap
dalam rangka menciptakan kehidupan yang sejahtera, baik spirituil maupun materiil.
Akan tetapi, kebebasan manusia sebagai individu atau kelompok, tidak bisa dilepaskan
dari individu atau kelompok lainnya. Kepentingan individu harus dikorbankan jika bertentangan
dengan kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

PEMBAHASAN
DEFINISI
1.

Kesejahteraan
Kesejahteraan berasal dari kata dasar sejahtera: aman sentosa dan makmur; selamat
(terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya). Kesejahteraan: hal atau
keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketenteraman, kesenangan hidup, dan
sebagainya;

kemakmuran.

Dalam

definisilaindijelaskan,kesejahteraan:

. :
Kesejahteraan (welfare) adalah kondisi yang menghendaki terpenuhimya kebutuhan dasar
bagi individu atau kelompok baik berupa kebutuhan makan, pendidikan, kesehatan,
sedangkan antitesa dari kesejahteraan adalah kesedihan (bencana) kehidupan.
2.

Kesejahteraansosial

Kesejahteraan sosial: keadaan sejahtera masyarakat. Sedangkan dalam Mujam


Musthalahtual-Ulmal-Ijtimiyyahdijelaskan:
:

.
Kesejahteraan sosial: sistem yang mengatur pelayanan sosial dan lembaga-lembaga untuk
membantu individu-individu dan kelompok-kelompok mencapai tingkat kehidupan, kesehatan
yang layak dengan tujuan menegakkan hubungan kemasayarakatan yang setara antar
individu sesuai dengan kemampuan pertumbuhan (development) mereka, memperbaiki
kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Hal ini sebagaimana doa Nabi Ibrahim dalam surat al-Baqarah: 126

Dan (ingatlah) tatkala berkata Ibrahim : Ya Tuhanku. Jadikanlah negeri ini negeri yang
aman, dan karuniakanlah kepada penduduknya dari berbagai buah-buahan,(yaitu) barangsiapa yang beriman di antara mereka kepada Allah dan Hari Kemudian. Berfirman Dia :
Dan orang-orang yang kafirpun, akan Aku beri kesenangan untuk dia sementara , kemudian
akan Kami helakan dia kepada siksaan neraka, yaitu seburuk buruk tujuan.
3. Konsepsi IslamTentang Kesejahteraan Sosial
Islam sebagai ajaran sangat peduli dengan kesejahteraan sosial. Kesejahteraan social dalam Islam
pada intinya mencakup dua hal pokok yaitu kesejahteraan social yang bersifat jasmani dan rohani.
Manifestasi dari kesejahteraan sosial dalam Islam adalah bahwa setiap individu dalam Islam harus
memperoleh perlindungan yang mencakup lima hal:
1. Pertama, agama (al-dn), merupakan kumpulan akidah, ibadah, ketentuan dan hukum yang telah
disyariatkan Allah SWT untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan
antara sebagian manusia dengan sebagian yang lainnya.
2. Kedua, jiwa/tubuh (al-nafs), Islam mengatur eksistensi jiwa dengan menciptakan lembaga
pernikahan untuk mendapatkan keturunan. Islam juga melindungi dan menjamin eksistensi
jiwa berupa kewajiban memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya, seperti makanan, minuman,
pakaian, tempat tinggal, qishash, diyat, dilarang melakukan hal yang bisa merusak dan
membahayakan jiwa/tubuh.

3. Ketiga, akal (al-aql), melindungi akal dengan larangan mengkonsumsi narkoba (khamr dan
segala hal yang memabukkan) sekaligus memberikan sanksi bagi yang mengkonsumsinya.

4. Keempat, kehormatan (al-irdhu), berupa sanksi bagi pelaku zina dan orang yang menuduh zina.

5. Kelima, kekayaan (al-ml), mengatur bagaimana memperoleh kekayaan dan mengusahakannya,


seperti kewajiban mendapatkan rizki dan anjuran bermuaamalat, berniaga. Islam juga memberi
perlindungan kekayaan dengan larangan mencuri, menipu, berkhianat, memakan harta orang lain
dengan cara tidak benar, merusak harta orang lain, dan menolak riba.
Kelima pilar asasi ini menjadi apresiasi, advokasi dan proteksi Islam dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan sosial. Berkenaan dengan perlindungan jiwa, harta dan kehormatan manusia

4. Hakikat Kesejahteraan Sosial


Kesejahteraan sosial di dunia bersifat sementara bahkan semu adanya. Pada kurun waktu tertentu
mungkin masyarakat hidup damai sejahtera. Namun dalam waktu seketika kesejahteraan itu punah
karena konflik massal yang dipicu oleh ketidakpuasan suatu kelompok. Ambisi manusia yang keluar
dari konteks kemanusiaan seperti ambisi politik, jabatan, kekuasaan, seringkali merupakan picu-picu
dalam sekam yang suatu saat bisa meledakkan konflik horizontal dan meluluhlantakkan bangunan
kesejahteraan sosial.

Pemerintah Republik Indonesia mendefinisikan Kesejahteraan Sosial adalah kondisi


terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan
mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya
Dari ragam definisi di atas, bagaimana Konsep Islam? Pada intinya, kesejahteraan sosial
menuntut terpenuhinya kebutuhan manusia yang meliputi kebutuhan primer (primary needs),
sekunder ( secondary needs) dan kebutuhan tersier. Kebutuhan primer meliputi: pangan
(makanan) sandang (pakaian), papan (tempat tinggal), kesehatan dan keamanan yang layak.
Kebutuhan sekunder seperti: pengadaan sarana transportasi (sepeda, sepeda motor, mobil, dsb.),
informasi dan telekomunikasi (radio, televisi, telepon, HP, internet, dan lain sebagainya).
Kebutuhan tersier seperti sarana rekereasi, hiburan.

Kategori kebutuhan di atas bersifat materil sehingga kesejahteraan yang tercipta pun bersifat
materil. Kesejahteraan sosial yang didambakan al-Quran menurut Qurasih Shihab, tercermin di
Surga yang dihuni oleh Adam dan isterinya sesaat sebelum mereka turun melaksanakan tugas
kekhalifahan di bumi. Seperti diketahui, sebelum Adam dan isterinya diperintahkan turun ke
bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di Surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian
Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu bisa diwujudkan di bumi dan kelak dihuni
secara hakiki di akhirat.
Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang
berkesejahteraan. Kesejahteraan surgawi ini dilukiskan antara lain dalam QS. Thh/20:117-119,
yang berbunyi : Hai adam, sesungguhnya ini (Iblis ) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu,
maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari Surga, yang akibatnya
engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga), tidak
pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasakan dahaga maupun
kepanasan.
Dari ayat menurut ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak
lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya
kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial.
Lebih lanjut dalam Undang-undang Kesejahteraan Sosial, kriteria masalah sosial yang perlu
diatasi meliputi: Kemiskinan, Ketelantaran, Kecacatan, Keterpencilan, Ketunaan sosial dan
penyimpangan perilaku, Korban bencana dan/atau, Korban tindak kekerasan, Eksploitasi dan
Diskriminasi.

Batasan Analisis Konsep Kesejahteraan Sosial


Kesejahteraan sosial dalam Islam pada intinya mencakup dua hal pokok yaitu
kesejahteraan sosial yang bersifat jasmani (lahir) dan rohani (batin). Sejahtera lahir dan batin
tersebut harus terwujud dalam setiap pribadi (individu) yang bekerja untuk kesejahteraan
hidupnya sendiri, sehingga akan terbentuk keluarga/masyarakat dan negeri yang sejahtera.
Mengingat luasnya definisi kesejahteraan dan banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan,
maka bahasan kesejahteraan akan dibatasi lebih kepada aspek ekonomi.
Demikian pula ayat-ayat Al-Quran yang terkait secara langsung dengan konsep kesejahteraan
dibatasi pada usaha/bekerja, sebagai titik tolak pemilihan ayat yang akan dibahas. Ayat yang
dipilih adalah QS. Al-Taubah/9:105. dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. Adapun ayat lainnya yang akan
dipergunakan untuk memperdalam pembahasan akan dipilih beberapa ayat yang berkaitan,
yakni:
1. Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan invidualistik/perorangan (perintah mencari sumber
penghidupan)
2. Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan komunal dalam keluarga/masyarakat (zakat dan
kepedulian terhadap dhuafa)
3. Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan masyarakat yang lebih luas/negara (keberkahan
ahlul quro dan negeri sejahtera atau baladan aminan)

Metode Penafsiran Metode tahlili atau yang dinamai Baqr Al-Shadr sebagai metode tajzii
adalah suatu metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat dari
berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat

Al-Quran sebagaimana yang

tercantum dalam mushaf. Langkah Penafsiran Analitis (Tahlily) yang ditempuh diupayakan
menerapkan metode sebagaimana dijelaskan oleh Shihab (2013)secara sistematis mencakup:
1. Bermula dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana
urutan dalam Al-quran
2. Menjelaskan asbabun nuzul ayat ini dengan menggunakan keterangan yang diberikan
oleh hadist (bir-riwayah),
3. Menjelaskan munasabah, atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelum atau
sesudahnya
4. Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan
keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan hadist Rasulullah SAW
ataudengan menggunakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah
pendekatan
5. Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu
masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut.

Ayat Utama
dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui
akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan. (QS. Al-Taubah/9:105) Pada ayat sebelumnya Allah SWT menganjurkan untuk
bertaubat dan melakukan kegiatan nyata antara lain membayar zakat dan bersedekah, kini pada

ayat 105 ini mereka diminta untuk bekerja melakukan aktivitas lain, baik yang nyata maupun
yang tersembunyi.
Demikian korelasi dengan ayat sebelumnya menurut Shihab (2009).Lebih lanjut dikatakan
bahwa ayat yang lalu bagaikan menyatakan Katakanlah wahai Muhammad SAW., bahwa Allah
menerima taubat, [dan katakan lah] juga: [Bekerja lah kamu], demi karena Allah semata
dengan aneka amal saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat
umum (maka Allah akan melihat), yakni menilai dan memberi ganjaran [amal kamu itu, dan
Rasulnya serta orang-orang mukmin] akan melihat dan menilainya juga, kemudian
menyesuaikan perlakuan mereka dengan amal-amal kamu itu dan selanjutnya kamu akan
dikembalikan dengan kematian kepada Allah SWT [Yang Maha Mengetahui yang gaib dan
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu] sanksi dan ganjaran atas [apa yang telah kamu
kerjakan], baik yang nampak ke permukaan maupun yang kamu sembunyikan dalam hati. Latar
belakang sebab turunnya kelompok ayat-ayat ini adalah sebagai teguran kepada Ab Lubbah
dan kedua kawannya yang tidak ikut dalam Perang Tabuk, namun akhirnya mereka sadar dan
bertaubat. Setelah pada ayat sebelumnya penyampaian harapan tentang bertaubat, ayat ini
melanjutkan tentang beramal saleh.
Hal ini perlu karena walaupun taubat telah diperoleh tetapi waktu yang telah berlalu yang
pernah diisi oleh kedurhakaan tidak mungkin kembali lagi, karena itu perlu giat melakukan
aneka kebajikan agar kerugian tidak terlalu besar. Bekerja adalah pijakan kebahagiaan,
demikian menurut Al-Maraghi manakala menafsirkan ayat ini. Posisi bekerja untuk dunia dan
akhirat akan dilihat oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Bersabda Nabi SAW
Apabila seseorang diantara kamu bekerja walaupun didalam batu karang yang keras tiada

berpintu

ataupun

berlobang,

niscaya

Allah

akan

mengeluarkannya

(agar

terlihat)

keberadaaanya oleh manusia (HR. Abu Daud). Kata (fa-sa-yaro) yang berarti maka akan
melihat atau menilai, bagi Allah berarti Allah akan menilai dan memberi ganjaran,
sedangkan bagi Rasul SAW dan orang beriman berarti maka Rasul SAW dan orang beriman
dan nyata (Allah SWT). Selanjutnya untuk menggali isyarat makna bekerja yang dilakukan
pada ranah individu, keluarga/masyarakt dan negara akan menggunakan keterangan yang ada
pada ayat lain (ayat pilihan), menggunakan hadist Rasulullah SAW, atau pun dengan
menggunakan penalaran analitis-rasional,
a. Ayat-ayat
Pilihan Tidak semua ayat-ayat Al-Quran yang terkait bekerja atau terkait dengan
kesejahteraan dibahas dalam makalah ini, namun dipilih enam ayat pada tiga tingkatan
yang
-

diharapkan

dapat

merepresentasikan

kesejahteraan

pada

ranah

pribadi,

keluarga/masyarakat dan negara. a) Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan pribadi:


Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami
adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu

bersyukur (QS. Al-Araf/7:10)


Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang

mereka

anak-anak

lemah,

yang

mereka

khawatir

terhadap

(kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (QS Al-Nisa/4: 9).
b. Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan keluarga dan masyarakat
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghamburhamburkan (hartamu) secara boros QS. Al-Isra/17:26

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1) Itulah orang yang menghardik
anak yatim (2) dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin (3) QS. Al-

Maun/107:1-3..
c. Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan pada suatu negara
- Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
-

perbuatannya (QS. Al-Arf/7: 96).


dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri
yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya
yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman:
Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku
paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali (QS.AlBaqarah/2:126)

Kesejahteraan dalam Islam


Kesejahteraan dalam pandangan Islam bukan hanya dinilai dengan ukuran material saja;
tetapi juga dinilai dengan ukuran non-material; seperti, terpenuhinya kebutuhan spiritual,
terpeliharanya nilai-nilai moral, dan terwujudnya keharmonisan sosial.
Dalam pandangan Islam, masyarakat dikatakan sejahtera bila terpenuhi dua kriteria:
Pertama, terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat; baik pangan, sandang, papan,
pendidikan, maupun kesehatannya. Kedua, terjaga dan terlidunginya agama, harta, jiwa, akal,
dan kehormatan manusia.Dengan demikian, kesejahteraan tidak hanya buah sistem ekonomi
semata; melainkan juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya, dan sistem sosial.

Dilihat dari pengertiannya, sejahtera yang berarti aman, sentosa, damai, makmur, dan
selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya, maka pengertian ini
sejalan dengan pengertian islam yang berarti selamat, sentosa, aman, dan damai. Dari
pengertiannya ini dapat dipahami bahwa masalah kesejahteraan sosial sejalan dengan misi Islam
itu sendiri. Misi inilah yang sekaligus menjadi misi kerasulan Nabi Muhammad Saw,
sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut : Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S. al-Anbiy/21:107).
Kehadiran Islam di semenajung Arab telah berhasil merubah status kesejahteraan
masyarakat arab pada waktu itu yang sebelumnya sangat timpang. Kekayaan sebagian besar
dimiliki segelintir bangsawan dari pemuka arab, namun setelah Islam kekayaan terdistibusi lebih
merata. Islam telah hadir dengan segenap konsep (sosialnya). Dengan Demikian dapat dikatakan
bahwa kesejahteraan sosial dimulai dengan islam, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada
Allah SWT. Agama Islam memberikan kemaslahatan yang besar, karena dipegang oleh orang
yang amanah. Selain itu Islam mengajarkan konsep untuk berbagi, membagi nikmat, membagi
kebahagian dan ketenangan tidak hanya untuk individu namun untuk seluruh umat muslim lintas
negara.
Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad Saw., melalui kepribadian beliau
yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga seimbang. Khadijah, Ali bin Abi
Thalib, Fathimah Az-Zahra, dan lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar AshShiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga
pada akhirnya terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan kesejahteraan
sosialnya

Allah Swt telah menjadikan agama ini sebagai dnul kmil, agama yang sempurna.
Syariahnya mengatur seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum, sosial, maupun
budaya. Bila syariah diterapkan secara kaffah oleh Daulah Khilafah, niscaya kesejahteraan
hakiki,akan terwujud dalam kehidupan ini.

Pandangan Normatif
Syariah Islam memberikan tugas yang berbeda kepada individu, negara dan jamaah agar
mereka berperan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan.
1. Tugas Individu.
Setiap Muslim didorong untuk mengoptimalkan sumberdaya yang ada pada dirinya
tubuh, akal, waktu dan usiayang merupakan anugerah Allah SWT. Setiap individu
didorong agar menggunakan kaidah kausalitas untuk mewujudkan kesejahteraannya. Agar
tercukupi kebutuhannya, setiap lelaki dewasa diwajibkan bekerja. Setiap orang wajib
memperhatikan siapa saja keluarga dan kerabatnya yang menjadi tanggungannya. Negara
dapat melakukan intervensi ketika ada seseorang yang terlantar, padahal ada anggota
keluarganya yang berada.
2. Tugas Negara.
Negara adalah pihak berperan besar dalam mewujudkan kesejahteraan; di samping
individu dan masyarakat. Dengan mengacu pada ketentuan syariah, Daulah Khilafah akan
menerapkan berbagai kebijakan politik, untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Di antaranya
adalah:

1. Politik kesehatan preventif. Negara akan memberikan fasilitas kesehatan gratis, yang dekat
dengan rakyat, dan mempopulerkan gaya hidup sehat. Maka, kesehatan tak lagi menjadi
barang langka, yang hanya dinikmati oleh mereka yang kaya.
2. Politik pendidikan terbuka. Pendidikan bebas biaya, disediakan bagi seluruh warga
nagara. Negara menerapkan sistem pendidikan islami, yang berkualitas tinggi. Mencetak
generasi berkepribadian Islami, yang menguasai staqafah, saint, dan teknologi. Dengan
demikian, negara akan memiliki banyak sumberdaya manusia handal, yang siap
membangun peradaban Islam nan gemilang.
3. Politik ketahanan pangan. Negara akan menerapkan kebijakan politik pertanian,
perkebunan, peternakan, dan perikanan; yang dapat mewujudkan ketahanan pangan. Para
petani pun didorong dan difasilitasi, agar dapat menjalankan usaha, secara aktif dan
produktif. Dengan demikian, kebutuhan pangan dalam negeri, dapat dipenuhi secara
mandiri, tanpa bergantung dengan luar negeri.
4. Politik akses pasar terbuka. Negara menciptakan iklim yang kondusif dan fair, untuk
menumbuhkan bakat-bakat bisnis di tengah masyarakat. Akses pasar akan dibuka seluasluasnya, tanpa distorsi dan barier, untuk semua warga negara sehingga kegiatan
perekonmian akan sangat dinamis.
5. Politik stabilitas alat tukar. Negara akan menerapkan mata uang berbasis emas dan perak,
yang tahan dari guncangan nilai tukar dan inflasi. Dengan standart mata uang ini, kondisi
ekonomi negara akan lebih stabil, kekayaan masyarakat dapat terlindungi, dan hegemoni
mata uang asing dapat dihindari.

6. Politik anti-distorsi-pasar. Negara menjaga agar tidak ada distorsi dalam pasar. Untuk itu,
negara akan membangun infrastruktur informasi yang memadai. Negara juga membuat
pasar, yang bebas monopoli, kecuali monopoli negara untuk barang milik publik; juga
bebas riba, bebas penipuan, dan perjudian.
7. Politik pembangunan industri berat. Negara akan membangun industri baja, industri
persenjataan canggih, dan industri mesin-mesin produksi, serta transportasi berteknologi
tinggi. Kebijakan ini tak lain, untuk menjadikan Daulah Khilafah, negara yang kuat, di
bidang industri dan militer; sehingga mampu mengungguli kekuatan lawan.
8. Politik infrastruktur distribusi. Negara menjaga agar seluruh distribusi hasil produksi
barang dan jasa berjalan lancar. Untuk itu, nagara akan membangun infrastruktur
transportasi yang memadai menjangkau seluruh wilayah.
9. Politik perdagangan luar negeri pro-rakyat. Negara menjaga agar barang yang
diproduksi di dalam negeri dan dibutuhkan masyarakat tidak diekspor, kecuali bila tersisa.
Adapun impor, dibatasi hanya untuk barang-barang, yang belum bisa diproduksi di dalam
negeri. Dengan demikian, nilai tambah setiap barang dan penciptaan lapangan kerja,
akan tetap berada di dalam negeri. Negara berupaya, agar produksi di dalam negeri tetap
efisien, sehingga barang-barang dapat tersedia dengan murah dan berkualitas.
10. Politik Sumberdaya Alam. Negara mengelola seluruh sumberdaya alam milik umum,
seperti tambang, hutan, dan lautan. Dengan kekayaan alam negeri-negeri Islam yang
melimpah, negara akan memperoleh banyak dana, untuk mewujudkan kemakmuran

rakyatnya. Negara juga akan mampu merealisasikan politik pemenuhan kebutuhan pokok,
bagi setiap individu rakyat, berupa pangan, sandang, dan papan.
11. Politik penegakkan hukum berkeadilan. Negara tidak membedakan-bedakan individu
rakyat, dalam aspek hukum, peradilah, maupun jaminan kebutuhan rakyat. Tujuan-tujuan
luhur syariah akan diwujudkan, sehingga seluruh warga negara, baik muslim maupun
non-muslim, akan terjaga kesucian agamanya. Akan terpelihara keluhuran akhlak dan
kehormatannya. Juga akan terjaga, keselamatan harta dan jiwanya.
3. Tugas Jamaah.
Masyarakat sebagai jamaah memiliki dua fungsi. Pertama: untuk terus menghidupkan kultur
bekerja keras di masyarakat. Kedua: untuk mengawasi agar pemerintahan tetap menerapkan
syariah Islam yang menjamin pemenuhan kesejahteraan di masyarakat.

KESIMPULAN
Kesejahteraan dalam perspektif ekonomi Islam adalah terpenuhinya kebutuhan materi
dan non materi, dunia dan diakhirat berdasarkan kesadaran pribadi dan masyarakat untuk patuh
dan taat (sadar) terhadap hokum yang dikehendaki oleh Allah Swt melalui petunjukNya dalam
Al-Quran, melalui contoh dalam keteladanan Rasulullah Saw,dan melalui ijtihat dan kebaikan
para ulama. Oleh karenanya kesejahteraan bukanlah sebuah cita-cita yang tanpa pengorbanan
tetapi membutuhkan perjuangan yang terus-menerus dan berkesinambungan.

Bekerja untuk meraih kesejahteraan adalah tugas setiap orang, karenanya ia milik setiap
orang dalam bingkai keluarga, masyarakat dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA
Abd Al-Rahman bin Abd Al-Khaliq, Al-Wishoya Al-Ashr lil Amilin bi Al-Dawah ilallah
Subhanahu wa Taala. Kuwait: Jamiyah Ihya Turats Al-Islami, Cet. I 1408H/1988H. Abdalati
Hammudah. Tarifun bi Al-Islam, diterjemahkan oleh Nasmay Lofita Anas, MTA., dengan judul

Islam Suatu Kepastian, Riyad: IIFSO, Cet. III, 1407H/1987M Al-Maraghi Ahmad Mustafa.
Tafsir Al-Maraghi. Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Edisi II, 2006 Al-Maudd Abu Ala.
Nazriyyah Al-Islam Al-Siyasiyyah; Shaut Al-Haq Katb Islm Syahr. Mesir: Al-Ittihad Al-m li
Thulb Jumhuriyyah Misr, 1876M _______. Islamic Way of Life, diterjemahkan oleh Osman
Raliby dengan judul Pokok-pokok pandangan Hidup Muslim. Bandung : PT. Al-Maarif, t.t. AlQaradlwi Syekh Muhammad Ysuf. Musykilatul Fakri Wa Kaifa lajahal Islm, diterjemahkan
oleh Umar Fanany, B.A, dengan judul Problema Kemiskinan Apa Konsep Islam. Surabaya: Bina
Ilmu, Cet. II, 1982 Al-Wakil Muhammad Al-Sayyid Ahmad. Hadza Al-Dn Baina Jahl Abnihi
Wa Kaida Adihi. Madinah:Tanpa Nama Penerbit, Cet. I, 1391H/1871M. Az-Zuhaili Wahbah.
Fiqih Islam Waadillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyi Al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema
Insani, 2011 Badawi Ahmad Zaki, Mujam Mushthalahtu al-Ulm al-Ijtimiyyah. Beirut:
Maktabah Lubnan, New Impression 1982 Djamaluddin Burhan. Konsep Berkah dalam Islam,
http://www.reocities.com/ HotSprings/6774/j-19.html (diakses 23 Oktober 2013) Hendrawan
Sanerya. Spiritual Management; From Personal Enlightment Towards God Corporate
Governance. Bandung: Mizan, Cet. 1, 2009 Mutahhari Murtadha. Insone Komil, diterjemahkan
oleh Abdillah Hamid Baabud, dengan judul Manusia Seutuhnya. Jakarta: Sadra Press, 2012
Rasil Al-Markaz Al-Islami. Al-Ruhniyyah Al-Ijtimiyyah fi Al-Islam. Suriah: Al-Markaz AlIslami, 1385H/1965M Shihab M. Quraish. Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhlui Atas Berbagai
Persoalan Umat. Edisi E-book _______. Membumikan Al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, Edisi II, 2013 Sugono Dendy, dkk. Kamus
Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa 2008 Taufiq Mohamad. Quran In Word. Aplikasi AlQuran dan Terjemahan

Bahasa Indonesia Add-Ins Version 1.3 Undang-Undang

Republik Indonesia, Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Kesejahteraan Sosial

[1] Depdiknas, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal 1284
[2] Dr. Ahmad Zaki Badawi, Mujam Mushthalahtu al-Ulm al-Ijtimiyyah, (Beirut,
Maktabah Lubnan: New Impression 1982), hal. 445
[3] Dr. Ahmad Zaki Badawi, Mujam Mushthalahtu al-Ulm al-Ijtimiyyah, (Beirut:
Maktabah Lubnan, New Impression 1982), hal. 399
[4] Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2011 Tentang Kesejahteraan Sosial
[5] Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhlui Atas Berbagai Persoalan Umat. Edisi
E-book, hal 126-127
[6] Selaras dengan UU No. 11 Tahun 2011 Tentang Kesejahteraan Sosial bahwa penyelenggaraan
kesejahteraan sosial ditujukan kepada a) perseorangan; b) keluarga; c) kelompok; dan/atau d)
Masyarakat. Sedangkan Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi: a. rehabilitasi sosial; b.
jaminan sosial; c. pemberdayaan sosial; dan d. perlindungan sosial
[7]Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2013), Edisi II, hal. 176
[8] Ayat sebelumnya: [103] ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu
itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. [104] tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari
hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang?
[9] [9] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati, Volume V, Cet. V, 2012, hal.
237-238

[10] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Jilid
3, Edisi II, 2006), hal 165
[11] Lihat penjelasan Quraish Shihab sebelumnya.
[12] Arti melihat menurut Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa 2008, hal. 836,
adalah mengetahui; membuktikan
[13] Berkata Ibnu Abbas Apa yang dinilai baik oleh muslimin baik, maka dia disisi Allah juga
baik. Lihat Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Lebanon: Dar Al-Kutub AlIlmiyyah, Jilid 3, Edisi II, 2006), hal 166
[14] Ayat ini dalam berbagai kitab tafsir berkenaan dengan pemilik harta, wali yatim, dan yang
sedang menderita sakit, namun Sayyid Thanthawi berpendapat ayat ini ditujukan kepada semua
pihak siapapun, karena semua diperintahkan untuk berlaku adil, berucap benar dan tepat, dan
semua khawatir akan mengalami apa yang digambarkan ayat ini. Lihat Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati, Volume II, Cet. V, 2012, hal. 425-426
[15] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati, Volume I, Cet. V, 2012, hal. 109110.
[16] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati, Volume IV, Cet. V, 2012, hal. 2325. Lebih lanjut beliau memaparkan pendapat Sayyid Qutub, bahwa manusia didorong untuk
secara bebas bergerak menghadapi alam, membuka diri, tidak kikir mengungkap rahasiarahasianya, dan tidak menghalangi manusia memperoleh bantuan dan pertolongan.
[17] Hammudah Abdalati. Tarifun bi Al-Islam, diterjemahkan oleh Nasmay Lofita Anas, MTA.,
dengan judul Islam Suatu Kepastian, Riyad: IIFSO, Cet. III, 1407H/1987M, Hal. 13
[18] Al-Wakil Muhammad Al-Sayyid Ahmad. Hadza Al-Dn Baina Jahl Abnihi Wa Kaida
Adihi. Madinah:Tanpa Nama Penerbit, Cet. I, 1391H/1871M, hal. 65-69

[19] Lihat Abd Al-Rahman bin Abd Al-Khaliq, Al-Wishoya Al-Ashr lil Amilin bi Al-Dawah
ilallah Subhanahu wa Taala. Kuwait: Jamiyah Ihya Turats Al-Islami, Cet. I 1408H/1988H. Hal
69-85
[20] Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhlui Atas Berbagai Persoalan Umat.
Edisi E-book, hal. 131
[21] Syekh Muhammad Ysuf Al-Qaradlwi. Musykilatul Fakri Wa Kaifa lajahal Islm,
diterjemahkan oleh Umar Fanany, B.A, dengan judul Problema Kemiskinan Apa Konsep Islam.
Surabaya: Bina Ilmu, Cet. II, 1982, hal. 62-66
[22] Tiada seorang muslim pun yang menaburkan benih atau menanam, lalu seekor burung
atau seseorang, atau seekor binatang makan sebagian dari padanya, melainkan dinilai sebagai
sedekah baginya. (HR. Bukhari). Selain itu, ajaran Islam menganjurkan agar tidak memanjakan
orang lain atau membatasi kreativitas orang lain, sehingga orang tersebut tidak dapat menolong
dirinya sendiri. Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang ternyata tidak dapat
memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang datang kepada Nabi Saw. mengadukan
kemiskinannya, Nabi Saw. tidak memberinya uang, tetapi kapak agar digunakan untuk
mengambil dan mengumpulkan kayu. Dengan demikian, ajaran Islam tentang kesejahteraan
sosial ini termasuk di dalamnya ajaran yang mendorong orang untuk kreatif dan bersikap
mandiri, tidak banyak bergantung pada orang lain. lihat Syekh Muhammad Ysuf Al-Qaradlwi.
Musykilatul Fakri Wa Kaifa lajahal Islm, diterjemahkan oleh Umar Fanany, B.A, dengan
judul Problema Kemiskinan Apa Konsep Islam. Surabaya: Bina Ilmu, Cet. II, 1982, hal, 72
[23] Ash-Shadr Muhammad Baqir, Iqtishaduna, diterjemahkan oleh Yudi dengan Judul Buku
Induk Ekonomi Islam. Jakarta: Zahra, Cet. I, 2008, Hal 420-430. Lebih lanjut menurut AshShadr, masalah ini dapat diatasi dengan mengakhiri kezaliman dan keingkaran manusia, yakni

dengan menciptakan hubungan yang baik antara distribusi dan mobilisasi segenap sumberdaya
material untuk kemakmuran.
[24] Hammudah Abdalati. Tarifun bi Al-Islam, diterjemahkan oleh Nasmay Lofita Anas, MTA.,
dengan judul Islam Suatu Kepastian, Riyad: IIFSO, Cet. III, 1407H/1987M, Hal. 280-284
[25]Sanerya Hendrawan, PhD., Spiritual Management; From Personal Enlightment Towards
God Corporate Governance, (Bandung: Mizan, Cet. 1, 2009), hal 215-221
[26] Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhlui Atas Berbagai Persoalan Umat.
Edisi E-book, hal. 131
[27] Dari Ibnu Abbas Rasulullah SAW telah menetapkan wajibnya zakat fitrah sebagai
pembersih bagi orang yang berpuasa, dari perbuatan dan omongan kotor, dan sebagai suatu
hidangan bagi orang miskin (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Imam Malik). Dalam hadis lain
Adapun orang kaya diantara kamu (apabila ia menunaikan zakat ftrah) maka Allah akan
membersihkan kepadanya, dan apabila ia orang miskin, maka Allah akan mengembalikan
kepadanya lebih banyak dari apa yang ia zakatkan.
[28] Abu Ala Al-Maudd, Nazriyyah Al-Islam Al-Siyasiyyah; Shaut Al-Haq Katb Islm Syahr,
(Mesir: Al-Ittihad Al-m li Thulb Jumhuriyyah Misr, 1876), hal 28
[29] Rasil Al-Markaz Al-Islami , Al-Ruhniyyah Al-Ijtimiyyah fi Al-Islam, (Suriah: Al-Markaz
Al-Islami, 1385H/1965M), hal. 50-51
[30] Murtadha Mutahhari, Insone Kamil, diterjemahkan oleh Abdillah Hamid Baabud, dengan
judul Manusia Seutuhnya. Jakarta: Sadra Press, 2012, hal. 72
[31] Termasuk kewajiban zakat fitrah ditetapkan tidak hanya kepada setiap individu, namun juga
anak dan siapapun yang menjadi tanggung jawab kewalian dan nafkahnya. Lihat Wahbah Az-

Zuhaili. Fiqih Islam Waadillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyi Al-Kattani, dkk. Jakarta:
Gema Insani, Jilid III, Cet. I, 2011, hal. 348
[32] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati, Volume VII, Cet. V, 2012, hal. 71
[33] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Jilid
5, Edisi II, 2006), hal 307. Lebih lanjut beliau mengisahkan riwayat dari Ahmad dari Anas bin
Malik RA, dimana seorang sahabat yang memiliki harta meminta petunjuk untuk
membelanjakannya, Rasul SAW bersabda keluarkan zakat karena ia mensucikan, sambungkan
kekerabatanmu, tunaikan hak peminta-minta, tetangga dan orang miskin (HR. Ibnu Majah).
[34] Usman bin al-Aswad mengatakan sekiranya manusia menginfakan sebesar uhud dalam
taat kepada Allah niscaya bukan pemborosan, namun apabila membelanjakan satu dirham
dalam maksiat kepada Allah SWT itu merupakan pemborosan. Dikisahkan oleh Ahmad Mustafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Jilid 5, Edisi II, 2006, hal
307.
[35] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati, Volume XV, Cet. V, 2012, hal. 646
[36] Pasal 34 Ayat (1) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
[37] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati, Volume IV, Cet. V, 2012, hal. 217
[38] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Edisi II, Jilid 3, 2006), hal 361
[39] Burhan Djamaluddin, Konsep Berkah dalam Islam, http://www.reocities.com/HotSprings/
6774/j-19.html (diakses 23 Oktober 2013)
[40] Bersandar pada QS. At-Taubah:60, Al-Baqoroh:103 dan hadis Ibnu Abbas manakala Bani
SAW mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman untuk mengambil zakat (HR. Bukhari-Muslim,
Jamaah). Lihat Syekh Muhammad Ysuf Al-Qaradlwi. Musykilatul Fakri Wa Kaifa lajahal

Islm, diterjemahkan oleh Umar Fanany, B.A, dengan judul Problema Kemiskinan Apa Konsep
Islam. Surabaya: Bina Ilmu, Cet. II, 1982, hal, 137-138 dan 236. Di Indonesia pengelolaan zakat
telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Abu Ala Al-Maudd, Islamic Way of Life, diterjemahkan oleh Osman Raliby dengan judul
Pokok-pokok pandangan Hidup Muslim, (Bandung : PT. Al-M

DaftarPustaka

Al-Quran al-Karim, Tafsir Ibn Katsir dan Tafsir al-Qurthubi, (Perusahaan Perangkat Lunak
Sakhr:

1997),

Keluaran

ke-V

versi

6.50.

Badawi, A. Zaki, Mujam Mushthalahtu al-Ulm al-Ijtimiyyah, (Beirut, Maktabah Lubnan:


1986),

New

Impression.

Khalaf, Abdul Wahab, Ilm Ushl al-Fiqh, (Jakarta, Al-Majlis al-Ala al-Indons li al-Dawah al-

Islmiyyah:

1972),

cet.

IX.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka: 1996), cet. VII, edisi II.

Você também pode gostar