Você está na página 1de 13

Nur Ilmi Sofiah

04011181419061
Alpha 2014
ANALISIS MASALAH
1. Nyeri Sendi
Modifikasi

epigenetik,

kerentanan

genetik,

merokok,

Porphyromonas

gingivalis (gingivitis), inflamasi pada sendi (synovial injury, hyperplasia,


infeksi) modifikasi dari antigen tubuh sendiri (autoantigen) sehingga
dikenali sebagai benda asing oleh tubuh autoantigen yang telah
mengalami modifikasi dikenali oleh APC dan berikatan dengan MHC kelas II
dari APC APC teraktivasi dan bermigrasi ke limfonodus autoantigen
dipresentasikan ke sel limfosit T CD4+ aktivasi sel T CD4+ lainnya untuk
berproliferasi dan sel B untuk berproliferasi menjadi sel plasma di GC
limfonodus produksi autoantibodi dari sel plasma, sel plasma, dan sel T
CD4+

yang

telah

berproliferasi

akan

bermigrasi

ke

sendi

melalui

neovaskularisasi yang terbentuk pada synovium yang mengalami inflamasi.


a. Peran makrofag pada synovium menghasilkan TNF-alpha, IL-1, dan IL-6
inflamasi
b.Peran sel T CD4+ mensekresikan IL-17 yang bekerja sinergis terhadap
makrofag dalam mengeluarkan sitokin proinflamasi dan menyebabkan
proliferasi FLS peningkatan sitokin & ekspresi RANKL/RANK inflamasi
(disertai

dengan

pembentukan

pannus

dan

osteoclastogenesis

yang

menyebabkan erosi tulang).


c. Peran sel plasma mensekresikan RF, sitokin, dan autoantibodi (yang
menyebabkan terbentuknya kompleks imun) inflamasi pada synovium

Akumulasi dari mediator inflamasi yang dihasilkan dari sel makrofag, limfosit
T CD4+, dan sel plasma pada synovium inilah yang menyebabkan nyeri
sendi sejak 3 bulan yang lalu.

2. ESR (60 mm/jam)


a. Interpretasi: Abnormal (meningkat)
ESR normal pria <15 mm/jam; wanita <20 mm/jam
b. Mekanisme
Peningkatan ESR terjadi akibat adanya reaksi inflamasi. Pada dasarnya terdapat gaya
tarik menarik antara bagian sentral eritrosit (muatan negatif) dengan bagian lateral eritrosit
(muatan positif), tetapi terdapat gaya tolakan antar eritrosit yang disebut Zeta potensial.
Secara fisiologis Zeta potensial lebih besar daripada gaya atraktif antar eritrosit. Pada kondisi
inflamasi, dilepaskan reaktan-reaktan pada fase akut dan protein (muatan negatif) sebagai
respon inflamasi ke dalam sirkulasi yang menurunkan Zeta potensial. Ini menyebabkan gaya
atraktif antar eritrosit meningkat sehingga ESR meningkat.

3. Ibuprofen
Ibuprofen

adalah

obat

yang

termasuk nonsteroidal

anti-inflammatory

drug (NSAID). Dibandingkan dengan NSAID lainnya, obat ini salah satu anti
inflamasi yang paling lemah sekaligus mengakibatkan efek samping yang
paling ringan. Sama seperti NSAID lainnya, ibuprofen bekerja dengan cara
menghambat kerja enzim siklooksigenase (COX). Enzim ini berfungsi untuk
membantu

pembentukan

prostaglandin

saat

terjadinya

luka

dan

menyebabkan rasa sakit dan peradangan. Dengan menghalangi kerja enzim


COX, prostaglandin lebih sedikit diproduksi, yang berarti rasa sakit dan
peradangan akan mereda.

Ibuprofen biasa dipasarkan dengan kadar 200 mg atau 400 mg/tablet, 100
mg/5 ml sirup atau 200 mg/5 ml sirup forte dan dalam bentuk suppositoria
125 mg.

Indikasi
Kegunaan ibuprofen adalah untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang
misalnya :

Sakit gigi dan setelah cabut gigi

Sakit kepala termasuk migrain

Sakit pada telinga

Nyeri otot dan sendi termasuk nyeri akibat penyakit asam urat
dan rematik

Nyeri akibat batu ginjal

Nyeri pasca operasi

Nyeri haid

Demam, termasuk demam setelah imunisasi

Di beberapa negara, diberikan juga dalam bentuk garam lisin (lysinate


ibuprofen)

yang

penutupan patent ductus arteriosus pada

digunakan
bayi

yang

untuk
lahir

prematur

dengan berat badan 500 1500 gram, yang lahir saat usia kehamilan
tidak lebih dari 32 minggu. Sediaan ini diberikan secara intravena saat
tindakan medis yang biasa tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Kontraindikasi

Jangan diberikan untuk pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap


ibuprofen, aspirin atau NSAID lainnya.

Pasien yang akan atau telah menjalani operasi by-pass jantung


sebaiknya jangan menggunakan ibuprofen.
3

Obat ini juga dikontraindikasikan untuk pasien yang memiliki masalah


ginjal, hati, pasien yang menderita asma, urtikaria, atau radang / tukak
pada lambung atau usus.

Farmakodinamik
Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesa prostaglandin dan
menghambat siklooksigenase-I (COX I) dan siklooksigenase-II (COX II).
Namun tidak seperti aspirin hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat
reversibel.

Dalam

pengobatan

dengan

ibuprofen,

terjadi

penurunan

pelepasan mediator dari granulosit, basofil dan sel mast, terjadi penurunan
kepekaan terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi limfokin
dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan menghambat agregasi platelet
(Stoelting, 2006).
Farmakokinetik
Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan
bioavailabilitas lebih besar dari 80%. Puncak konsentrasi plasma dapat
dicapai setelah 1-2 jam. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang
menyeluruh dengan protein plasma (Anderson, 2002). Pada manusia sehat
volume distribusi relatif rendah yaitu (0,15 0,02 L/kg). Waktu paruh plasma
berkisar antara 2 - 4 jam. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan
dieksresi melalui urin sebagai metabolit atau konyugatnya. Metabolit utama
merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi (Stoelting, 2006; Sinatra, et al.,
1992).
Efek samping
Dibandingkan NSAID lainnya, ibuprofen adalah obat pilihan pertama karena
memiliki efek samping yang lebih ringan. Berikut adalah efek samping obat
ini :

Efek samping ibuprofen yang relatif ringan seperti sakit kepala, gugup
dan muntah.

Efek samping yang lebih serius dapat berupa diare, hematemesis


(muntah darah), hematuria (darah dalam urin), penglihatan kabur, ruam
kulit, gatal dan bengkak.

seperti obat golongan NSAID lainnya, bisa meningkatkan resiko


hipertensi, infark miokardial (serangan jantung), dan stroke terutama jika
digunakan dalam jangka panjang dan dosis yang lebih tinggi.

Reaksi dermatologis diantaranya kulit lebih sensitif terhadap paparan


cahaya tetapi efeknya paling lemah diantara NSAID lainnya. Sindrom
Stevens-Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik, yang dapat berakibat
fatal, dapat terjadi selama pemakaian NSAID termasuk ibuprofen
meskipun kejadian ini sangat jarang. Pengobatan harus dihentikan jika
tanda tanda seperti ruam atau hipersensitivitas muncul.

NSAID termasuk ibuprofen menyebabkan gangguan pada saluran


gastrointestinal misalnya : perdarahan, ulserasi, dan perforasi lambung
atau usus yang bisa berakibat fatal. Efek samping ini akan meningkat
pada pemakaian dalam dosis tinggi dan waktu yang lama, dan pasien
merokok atau minum alkohol.

Gangguan berat pada organ hati seperti penyakit kuning dan hepatitis,
juga bisa terjadi terutama pada dosis tinggi dan durasi pemakaian yang
lama. Jika tes hati yang abnormal menetap atau memburuk, jika tandatanda dan gejala yang konsisten dengan penyakit hati klinis terjadi, atau
jika manifestasi sistemik terjadi (misalnya : eosinofilia, ruam, dan lainlain), pemakaian obat ini harus dihentikan

4. Pemeriksaan Penunjang Spesifik


Laboratorium
Berikut adalah pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosa RA.
5

1. Pemeriksaan cairan synovial


a. Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan
peningkatan jumlah sel darah putih.
b. Leukosit 5.000 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi yang
didominasi oleh sel neutrophil (65%).
c. Rheumatoid faktor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding
terbalik dengan cairan sinovium.
2. Pemeriksaan kadar sero-imunologi
a. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis rheumatoid
terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis
paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit
kolagen, dan sarkoidosis.
b. Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid dini.
3. Pemeriksaan darah tepi
a. Leukosit : normal atau meningkat sedikit
b. Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
c. Trombosit meningkat.
d. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
e. Protein C-reaktif biasanya positif.
f. LED meningkat.
Protein C-Reaktif (CRP)
Protein C-reactif (C-reactive protein, CRP) dibuat oleh hati dan dikeluarkan ke dalam
aliran darah. CRP beredar dalam darah selama 6-10 jam setelah proses inflamasi akut dan
destruksi jaringan. Kadarnya memuncak dalam 48-72 jam. Seperti halnya uji laju endap darah
(erithrocyte sedimentation rate, ESR), CRP merupakan uji non-spesifik tetapi keberadaan CRP
mendahului peningkatan LED selama inflamasi dan nekrosis lalu segera kembali ke kadar
normalnya.
CRP merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut sebagai protein fase
akut dan digunakan untuk memantau perubahan-perubahan dalam fase inflamasi akut yang
dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi dan penyakit autoimun. Beberapa keadaan dimana
CRP dapat dijumpai meningkat adalah radang sendi ( rheumatoid arthritis), demam rematik,
kanker payudara, radang usus, penyakit radang panggung ( pelvic inflammatory disease, PID),
penyakit Hodgkin, SLE, dan infeksi bakterial. CRP juga meningkat pada kehamilan trimester
terakhir, pemakaian alat kontrasepsi intrauterus dan pengaruh obat kontrasepsi oral.

Tes CRP seringkali dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi dan menentukan


apakah pengobatan yang dilakukan efektif. CRP juga digunakan untuk memantau penyembuhan
luka dan untuk memantau pasien paska bedah sebagai sistem deteksi dini kemungkinan infeksi.
Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi atau metode
lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri. Tes aglutinasi dilakukan dengan
menambahkan partikel latex yang dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau plasma penderita
sehingga akan terjadi aglutinasi. Untuk menentukan titer CRP, serum atau plasma penderita
diencerkan dengan buffer glisin dengan pengenceran bertingkat (1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan
seterusnya) lalu direaksikan dengan latex. Titer CRP adalah pengenceran tertinggi yang masih
terjadi aglutinasi.
Tes sandwich imunometri dilakukan dengan mengukur intensitas warna menggunakan
Nycocard Reader. Berturut-turut sampel (serum, plasma, whole blood) dan konjugat diteteskan
pada membran tes yang dilapisi antibodi mononklonal spesifik CRP. CRP dalam sampel tangkap
oleh antibodi yang terikat pada konjugat gold colloidal particle. Konjugat bebas dicuci dengan
larutan pencuci (washing solution). Jika terdapat CRP dalam sampel pada level patologis, maka
akan terbentuk warna merah-coklat pada area tes dengan intensitas warna yang proporsional
terhadap kadar. Intensitas warna diukur secara

Kuantitatif menggunakan

NycoCard

reader II.
Nilai rujukan normal CRP dengan metode sandwich imunometri adalah <5 mg/L. Nilai
rujukan ini tentu akan berbeda di setiap laboratorium tergantung reagen dan metode yang
digunakan ( Laboratorium Kesehatan , 2009).
Laju Endap Darah (LED)
Laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR) yang juga disebut laju
sedimentasi eritrosit adalah kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku,
dengan satuan mm/jam. LED merupakan uji yang tidak spesifik. LED dijumpai meningkat
selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit
kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan). Sebagian
ahli hematologi, LED tidak andal karena tidak spesifik, dan dipengaruhi oleh faktor fisiologis
yang menyebabkan temuan tidak akurat.
Pemeriksaan LED dipertimbangkan kurang spesifik daripada CRP karena kenaikan kadar
CRP terjadi lebih cepat selama proses inflamasi akut, dan lebih cepat juga kembali ke kadar
7

normal daripada LED. Namun, beberapa dokter masih mengharuskan uji LED bila ingin
membuat perhitungan kasar mengenai proses penyakit, dan bermanfaat untuk mengikuti
perjalanan penyakit. Jika nilai LED meningkat, maka uji laboratorium lain harus dilakukan untuk
mengidentifikasi masalah klinis yang muncul.
Metode yang digunakan untuk pemeriksaan LED ada dua, yaitu metode Wintrobe dan
Westergreen. Hasil pemeriksaan LED dengan menggunakan kedua metode tersebut sebenarnya
tidak seberapa selisihnya jika nilai LED masih dalam batas normal. Tetapi jika nilai LED
meningkat, maka hasil pemeriksaan dengan metode Wintrobe kurang menyakinkan. Dengan
metode Westergreen bisa didapat nilai yang lebih tinggi, hal itu disebabkan panjang pipet
Westergreen yang dua kali panjang pipet Wintrobe. Kenyataan inilah yang menyebabkan para
klinisi lebih menyukai metode Westergreen daripada metode Wintrobe. Selain itu, Internasional
Committee for Standardization in Hematology (ICSH) merekomendasikan untuk menggunakan
metode Westergreen.
Evaluasi Diagnostik
Beberapa faktor yang turut dalam memberikan kontribusi pada penegakan diagnosis
rheumatoid arthritis, yaitu nodul rheumatoid, inflamasi sendi yang ditemukan pada saat palpasi
dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan peninggian
laju endap darah dan factor rheumatoid yang positif sekitar 70%; pada awal penyakit faktor ini
negatif. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun. Pemeriksaan C-reaktifprotein
(CRP) dan antibody antinukleus (ANA) dapat menunjukan hasil yang positif. Artrosentesis akan
memperlihatkan cairan sinovial yang keruh, berwarna mirip susu atau kuning gelap dan
mengandung banyak sel inflamasi, seperti leukosit dan komplemen (Smeltzer & Bare, 2002).
Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dan memantau
perjalanan penyakitnya. Foto rontgen akan memperlihatkan erosi tulang yang khas dan
penyempitan rongga sendi yang terjadi dalam perjalanan penyakit tersebut (Smeltzer & Bare,
2002).
***
Diagnosis rheumatoid arthritis memerlukan sejumlah tes untuk meningkatkan kepastian
diagnosis, membedakannya dengan bentuk artritis yang lain, memprediksi perkembangan
penyakit pasien, serta melakukan monitoring untuk mengetahui perkembangan penyakit yaitu:

1. Laju endap darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) menunjukkan adanya proses
inflamasi, akan tetapi memiliki spesifisitas yang rendah untuk RA. Tes ini berguna untuk
memonitor aktivitas penyakit dan responnya terhadap pengobatan (NHMRC, 2009).
2. Tes RhF (rheumatoid factor). Tes ini tidak konklusif dan mungkin mengindikasikan
penyakit peradangan kronis yang lain (positif palsu). Pada beberapa kasus RA, tidak
terdeteksi adanya RhF (negatif palsu). RhF ini terdeteksi positif pada sekitar 60-70%
pasien RA. Level RhF jika dikombinasikan dengan level antibodi anti-CCP dapat
menunjukkan tingkat keparahan penyakit (NHMRC, 2009).
3. Tes antibodi anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptide) adalah tes untuk mendiagnosis
rheumatoid arthritis secara dini. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tes tersebut
memiliki sensitivitas yang mirip dengan tes RhF, akan tetapi spesifisitasnya jauh lebih
tinggi dan merupakan prediktor yang kuat terhadap perkembangan penyakit yang erosif
(NHMRC, 2009).
4. Tes hitung darah lengkap biasanya dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai
inflamasi dan anemia yang berguna sebagai indikator prognosis pasien (NHMRC, 2009).
5. Analisis cairan sinovial. Peradangan yang mengarah pada rheumatoid arthritis ditandai
dengan cairan sinovial abnormal dalam hal kualitas dan jumlahnya yang meningkat
drastis. Sampel cairan ini biasanya diambil dari sendi (lutut), untuk kemudian diperiksa
dan dianalisis tanda-tanda peradangannya (Shiel, 2011).
6. X-ray tangan dan kaki dapat menjadi kunci untuk mengidentifikasi adanya erosi dan
memprediksi perkembangan penyakit dan untuk membedakan dengan jenis artritis yang
lain, seperti osteoarthritis (Shiel, 2011).
7. MRI dapat mendeteksi adanya erosi lebih dini jika dibandingkan dengan X-Ray (Shiel,
2011).
8. USG dapat digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi adanya cairan abnormal di
jaringan lunak sekitar sendi (Shiel, 2011).
9. Scan tulang. Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya inflamasi pada tulang
(Shiel, 2011).
10. Densitometri

dapat

mendeteksi

adanya

perubahan

kepadatan

tulang

yang

mengindikasikan terjadinya osteoporosis (Shiel, 2011).


11.
Tes Antinuklear Antibodi (ANA) (Shiel, 2011).
5. Patogenesis

Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat membedakan komponen self dan
non-self. Kasus rheumatoid arthritis sistem imun tidak mampu lagi membedakan keduanya dan
menyerang jaringan sinovial serta jaringan penyokong lain. Inflamasi berlebihan merupakan
manifestasi utama yang tampak pada kasus rheumatoid arthritis. Inflamasi terjadi karena adanya
10

paparan antigen. Antigen dapat berupa antigen eksogen, seperti protein virus atau protein antigen
endogen (Schuna, 2005).
Paparan antigen akan memicu pembentukan antibodi oleh sel B. Pada pasien rheumatoid
arthritis ditemukan antibodi yang dikenal dengan Rheumatoid Factor (RF). Rheumatoid Factor
mengaktifkan komplemen kemudian memicu kemotaksis, fagositosis dan pelepasan sitokin oleh
sel mononuklear sehingga dapat mempresentasikan antigen kepada sel T CD4 +. Sitokin yang
dilepaskan merupakan sitokin proinflamasi dan kunci terjadinya inflamasi pada rheumatoid
arthritis seperti TNF-, IL-1 dan IL-6. Aktivasi sel T CD4+ akan memicu sel-sel inflamasi datang
ke area yang mengalami inflamasi. Makrofag akan melepaskan prostaglandin dan sitotoksin yang
akan memperparah inflamasi. Protein vasoaktif seperti histamin dan kinin juga dilepaskan yang
menyebabkan edema, eritema, nyeri dan terasa panas. Selain itu, aktivasi makrofag, limfosit dan
fibroblas juga dapat menstimulasi angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) sehingga
terjadi peningkatan vaskularisasi yang ditemukan pada sinovial penderita RA.
Inflamasi kronis yang dialami pasien rheumatoid arthritis menyebabkan membran sinovial
mengalami proliferasi berlebih yang dikenal dengan pannus. Pannus akan menginvasi kartilago
dan permukaan tulang yang menyebabkan erosi tulang dan akhirnya kerusakan sendi (Schuna,
2005).
Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus) menginfeksi sendi akibatnya terjadi
kerusakan lapisan sendi yaitu pada membran sinovial dan terjadi peradangan yang berlangsung
terusmenerus.Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan, kapsul fibroma sendi, ligament
dan tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan pembentukan pada jaringan parut
sehingga membran sinoviummenjadi hipertrofi dan menebal. Terjadinya hipertrofi dan penebalan
ini menyebabkan aliran darah yang masuk ke dalam sendi menjadi terhambat. Keadaan seperti
ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas
(Schuna, 2005).

11

6. Prognosis
Diagnosis dan pengobatan membahayakan pasien. Sekitar 40% pasien rheumatoid arthritis ini
menjadi cacat setelah 10 tahun. Akan tetapi, hasilnya sangatlah bervariasi. Beberapa pasien
menunjukkan progresi yang nampak seperti penyakit yang terlambat dapat yang akan sembuh
dengan sendirinya, sedangkan pasien lain mungkin menunjukkan progresi penyakit yang kronis
(Temprano, 2011).
Prognosis yang buruk dapat dilihat dari hasil tes yang menunjukkan adanya cedera tulang pada
tes radiologi awal, adanya anemia persisten yang kronis dan adanya antibodi anti-CCP
(Temprano, 2011).
Rheumatoid arthritis yang aktif terus-menerus selama lebih dari satu tahun cenderung
menyebabkan deformitas sendi serta kecacatan. Morbiditas dan mortalitas karena masalah
kardiovaskular meningkat pada penderita rheumatoid arthritis. Secara keseluruhan, tingkat
mortalitas pasien rheumatoid arthritis adalah 2,5 kali dari populasi umum (Temprano, 2011).

Quo ad vitam: Dubia


Morbiditas dan mortalitas karena masalah kardiovaskular meningkat pada penderita
rheumatoid arthritis. Secara keseluruhan, tingkat mortalitas pasien rheumatoid arthritis
adalah 2,5 kali dari populasi umum (Temprano, 2011).
Pada kasus skenario, bukti terkait hal diatas tidak ditemukan atau tanda-tanda gangguan
organ lainnya juga tidak disebutkan dubia
Quo ad functionam: dubia ad malam
Malam:
Sekitar 40% pasien rheumatoid arthritis ini menjadi cacat setelah 10 tahun.
Masalah yang disebabkan oleh penyakit rheumatoid arthritis tidak hanya berupa
keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas dan aktivitas hidup sehari-hari tetapi juga
efek sistemik yang tidak jelas yang dapat menimbulkan kegagalan organ. Rheumatoid
arthritis dapat mengakibatkan masalah seperti rasa nyeri, keadaan mudah lelah,
perubahan citra diri serta gangguan tidur. Dengan demikian hal yang paling buruk pada
12

penderita rheumatoid arthritis adalah pengaruh negatifnya terhadap kualitas hidup.


Bahkan kasus rheumatoid arthritis yang tidak begitu parah pun dapat mengurangi bahkan
menghilangkan kemampuan seseorang untuk produktif dan melakukan kegiatan
fungsional sepenuhnya. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan tidak mampu
melakukan aktivitas sehari-hari seutuhnya (Gordon et al., 2002).
Dubia: hasil pengobatan yang bervariasi, tidak ada bukti cedera tulang pada tes radiologi
awal, tidak ada anemia persisten yang kronis dan antibodi anti-CCP negatif
Quo ad sanationam: (tidak dibuat)
Secara umum rheumatoid arthritis bersifat progresif dan tidak dapat disembuhkan,
tetapi pada beberapa pasien penyakit ini secara bertahap menjadi kurang agresif dan
gejala bahkan dapat membaik.

13

Você também pode gostar