Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
04011181419061
Alpha 2014
ANALISIS MASALAH
1. Nyeri Sendi
Modifikasi
epigenetik,
kerentanan
genetik,
merokok,
Porphyromonas
yang
telah
berproliferasi
akan
bermigrasi
ke
sendi
melalui
dengan
pembentukan
pannus
dan
osteoclastogenesis
yang
Akumulasi dari mediator inflamasi yang dihasilkan dari sel makrofag, limfosit
T CD4+, dan sel plasma pada synovium inilah yang menyebabkan nyeri
sendi sejak 3 bulan yang lalu.
3. Ibuprofen
Ibuprofen
adalah
obat
yang
termasuk nonsteroidal
anti-inflammatory
drug (NSAID). Dibandingkan dengan NSAID lainnya, obat ini salah satu anti
inflamasi yang paling lemah sekaligus mengakibatkan efek samping yang
paling ringan. Sama seperti NSAID lainnya, ibuprofen bekerja dengan cara
menghambat kerja enzim siklooksigenase (COX). Enzim ini berfungsi untuk
membantu
pembentukan
prostaglandin
saat
terjadinya
luka
dan
Ibuprofen biasa dipasarkan dengan kadar 200 mg atau 400 mg/tablet, 100
mg/5 ml sirup atau 200 mg/5 ml sirup forte dan dalam bentuk suppositoria
125 mg.
Indikasi
Kegunaan ibuprofen adalah untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang
misalnya :
Nyeri otot dan sendi termasuk nyeri akibat penyakit asam urat
dan rematik
Nyeri haid
yang
digunakan
bayi
yang
untuk
lahir
prematur
dengan berat badan 500 1500 gram, yang lahir saat usia kehamilan
tidak lebih dari 32 minggu. Sediaan ini diberikan secara intravena saat
tindakan medis yang biasa tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Kontraindikasi
Farmakodinamik
Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesa prostaglandin dan
menghambat siklooksigenase-I (COX I) dan siklooksigenase-II (COX II).
Namun tidak seperti aspirin hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat
reversibel.
Dalam
pengobatan
dengan
ibuprofen,
terjadi
penurunan
pelepasan mediator dari granulosit, basofil dan sel mast, terjadi penurunan
kepekaan terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi limfokin
dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan menghambat agregasi platelet
(Stoelting, 2006).
Farmakokinetik
Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan
bioavailabilitas lebih besar dari 80%. Puncak konsentrasi plasma dapat
dicapai setelah 1-2 jam. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang
menyeluruh dengan protein plasma (Anderson, 2002). Pada manusia sehat
volume distribusi relatif rendah yaitu (0,15 0,02 L/kg). Waktu paruh plasma
berkisar antara 2 - 4 jam. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan
dieksresi melalui urin sebagai metabolit atau konyugatnya. Metabolit utama
merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi (Stoelting, 2006; Sinatra, et al.,
1992).
Efek samping
Dibandingkan NSAID lainnya, ibuprofen adalah obat pilihan pertama karena
memiliki efek samping yang lebih ringan. Berikut adalah efek samping obat
ini :
Efek samping ibuprofen yang relatif ringan seperti sakit kepala, gugup
dan muntah.
Gangguan berat pada organ hati seperti penyakit kuning dan hepatitis,
juga bisa terjadi terutama pada dosis tinggi dan durasi pemakaian yang
lama. Jika tes hati yang abnormal menetap atau memburuk, jika tandatanda dan gejala yang konsisten dengan penyakit hati klinis terjadi, atau
jika manifestasi sistemik terjadi (misalnya : eosinofilia, ruam, dan lainlain), pemakaian obat ini harus dihentikan
Kuantitatif menggunakan
NycoCard
reader II.
Nilai rujukan normal CRP dengan metode sandwich imunometri adalah <5 mg/L. Nilai
rujukan ini tentu akan berbeda di setiap laboratorium tergantung reagen dan metode yang
digunakan ( Laboratorium Kesehatan , 2009).
Laju Endap Darah (LED)
Laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR) yang juga disebut laju
sedimentasi eritrosit adalah kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku,
dengan satuan mm/jam. LED merupakan uji yang tidak spesifik. LED dijumpai meningkat
selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit
kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan). Sebagian
ahli hematologi, LED tidak andal karena tidak spesifik, dan dipengaruhi oleh faktor fisiologis
yang menyebabkan temuan tidak akurat.
Pemeriksaan LED dipertimbangkan kurang spesifik daripada CRP karena kenaikan kadar
CRP terjadi lebih cepat selama proses inflamasi akut, dan lebih cepat juga kembali ke kadar
7
normal daripada LED. Namun, beberapa dokter masih mengharuskan uji LED bila ingin
membuat perhitungan kasar mengenai proses penyakit, dan bermanfaat untuk mengikuti
perjalanan penyakit. Jika nilai LED meningkat, maka uji laboratorium lain harus dilakukan untuk
mengidentifikasi masalah klinis yang muncul.
Metode yang digunakan untuk pemeriksaan LED ada dua, yaitu metode Wintrobe dan
Westergreen. Hasil pemeriksaan LED dengan menggunakan kedua metode tersebut sebenarnya
tidak seberapa selisihnya jika nilai LED masih dalam batas normal. Tetapi jika nilai LED
meningkat, maka hasil pemeriksaan dengan metode Wintrobe kurang menyakinkan. Dengan
metode Westergreen bisa didapat nilai yang lebih tinggi, hal itu disebabkan panjang pipet
Westergreen yang dua kali panjang pipet Wintrobe. Kenyataan inilah yang menyebabkan para
klinisi lebih menyukai metode Westergreen daripada metode Wintrobe. Selain itu, Internasional
Committee for Standardization in Hematology (ICSH) merekomendasikan untuk menggunakan
metode Westergreen.
Evaluasi Diagnostik
Beberapa faktor yang turut dalam memberikan kontribusi pada penegakan diagnosis
rheumatoid arthritis, yaitu nodul rheumatoid, inflamasi sendi yang ditemukan pada saat palpasi
dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan peninggian
laju endap darah dan factor rheumatoid yang positif sekitar 70%; pada awal penyakit faktor ini
negatif. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun. Pemeriksaan C-reaktifprotein
(CRP) dan antibody antinukleus (ANA) dapat menunjukan hasil yang positif. Artrosentesis akan
memperlihatkan cairan sinovial yang keruh, berwarna mirip susu atau kuning gelap dan
mengandung banyak sel inflamasi, seperti leukosit dan komplemen (Smeltzer & Bare, 2002).
Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dan memantau
perjalanan penyakitnya. Foto rontgen akan memperlihatkan erosi tulang yang khas dan
penyempitan rongga sendi yang terjadi dalam perjalanan penyakit tersebut (Smeltzer & Bare,
2002).
***
Diagnosis rheumatoid arthritis memerlukan sejumlah tes untuk meningkatkan kepastian
diagnosis, membedakannya dengan bentuk artritis yang lain, memprediksi perkembangan
penyakit pasien, serta melakukan monitoring untuk mengetahui perkembangan penyakit yaitu:
1. Laju endap darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) menunjukkan adanya proses
inflamasi, akan tetapi memiliki spesifisitas yang rendah untuk RA. Tes ini berguna untuk
memonitor aktivitas penyakit dan responnya terhadap pengobatan (NHMRC, 2009).
2. Tes RhF (rheumatoid factor). Tes ini tidak konklusif dan mungkin mengindikasikan
penyakit peradangan kronis yang lain (positif palsu). Pada beberapa kasus RA, tidak
terdeteksi adanya RhF (negatif palsu). RhF ini terdeteksi positif pada sekitar 60-70%
pasien RA. Level RhF jika dikombinasikan dengan level antibodi anti-CCP dapat
menunjukkan tingkat keparahan penyakit (NHMRC, 2009).
3. Tes antibodi anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptide) adalah tes untuk mendiagnosis
rheumatoid arthritis secara dini. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tes tersebut
memiliki sensitivitas yang mirip dengan tes RhF, akan tetapi spesifisitasnya jauh lebih
tinggi dan merupakan prediktor yang kuat terhadap perkembangan penyakit yang erosif
(NHMRC, 2009).
4. Tes hitung darah lengkap biasanya dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai
inflamasi dan anemia yang berguna sebagai indikator prognosis pasien (NHMRC, 2009).
5. Analisis cairan sinovial. Peradangan yang mengarah pada rheumatoid arthritis ditandai
dengan cairan sinovial abnormal dalam hal kualitas dan jumlahnya yang meningkat
drastis. Sampel cairan ini biasanya diambil dari sendi (lutut), untuk kemudian diperiksa
dan dianalisis tanda-tanda peradangannya (Shiel, 2011).
6. X-ray tangan dan kaki dapat menjadi kunci untuk mengidentifikasi adanya erosi dan
memprediksi perkembangan penyakit dan untuk membedakan dengan jenis artritis yang
lain, seperti osteoarthritis (Shiel, 2011).
7. MRI dapat mendeteksi adanya erosi lebih dini jika dibandingkan dengan X-Ray (Shiel,
2011).
8. USG dapat digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi adanya cairan abnormal di
jaringan lunak sekitar sendi (Shiel, 2011).
9. Scan tulang. Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya inflamasi pada tulang
(Shiel, 2011).
10. Densitometri
dapat
mendeteksi
adanya
perubahan
kepadatan
tulang
yang
Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat membedakan komponen self dan
non-self. Kasus rheumatoid arthritis sistem imun tidak mampu lagi membedakan keduanya dan
menyerang jaringan sinovial serta jaringan penyokong lain. Inflamasi berlebihan merupakan
manifestasi utama yang tampak pada kasus rheumatoid arthritis. Inflamasi terjadi karena adanya
10
paparan antigen. Antigen dapat berupa antigen eksogen, seperti protein virus atau protein antigen
endogen (Schuna, 2005).
Paparan antigen akan memicu pembentukan antibodi oleh sel B. Pada pasien rheumatoid
arthritis ditemukan antibodi yang dikenal dengan Rheumatoid Factor (RF). Rheumatoid Factor
mengaktifkan komplemen kemudian memicu kemotaksis, fagositosis dan pelepasan sitokin oleh
sel mononuklear sehingga dapat mempresentasikan antigen kepada sel T CD4 +. Sitokin yang
dilepaskan merupakan sitokin proinflamasi dan kunci terjadinya inflamasi pada rheumatoid
arthritis seperti TNF-, IL-1 dan IL-6. Aktivasi sel T CD4+ akan memicu sel-sel inflamasi datang
ke area yang mengalami inflamasi. Makrofag akan melepaskan prostaglandin dan sitotoksin yang
akan memperparah inflamasi. Protein vasoaktif seperti histamin dan kinin juga dilepaskan yang
menyebabkan edema, eritema, nyeri dan terasa panas. Selain itu, aktivasi makrofag, limfosit dan
fibroblas juga dapat menstimulasi angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) sehingga
terjadi peningkatan vaskularisasi yang ditemukan pada sinovial penderita RA.
Inflamasi kronis yang dialami pasien rheumatoid arthritis menyebabkan membran sinovial
mengalami proliferasi berlebih yang dikenal dengan pannus. Pannus akan menginvasi kartilago
dan permukaan tulang yang menyebabkan erosi tulang dan akhirnya kerusakan sendi (Schuna,
2005).
Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus) menginfeksi sendi akibatnya terjadi
kerusakan lapisan sendi yaitu pada membran sinovial dan terjadi peradangan yang berlangsung
terusmenerus.Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan, kapsul fibroma sendi, ligament
dan tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan pembentukan pada jaringan parut
sehingga membran sinoviummenjadi hipertrofi dan menebal. Terjadinya hipertrofi dan penebalan
ini menyebabkan aliran darah yang masuk ke dalam sendi menjadi terhambat. Keadaan seperti
ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas
(Schuna, 2005).
11
6. Prognosis
Diagnosis dan pengobatan membahayakan pasien. Sekitar 40% pasien rheumatoid arthritis ini
menjadi cacat setelah 10 tahun. Akan tetapi, hasilnya sangatlah bervariasi. Beberapa pasien
menunjukkan progresi yang nampak seperti penyakit yang terlambat dapat yang akan sembuh
dengan sendirinya, sedangkan pasien lain mungkin menunjukkan progresi penyakit yang kronis
(Temprano, 2011).
Prognosis yang buruk dapat dilihat dari hasil tes yang menunjukkan adanya cedera tulang pada
tes radiologi awal, adanya anemia persisten yang kronis dan adanya antibodi anti-CCP
(Temprano, 2011).
Rheumatoid arthritis yang aktif terus-menerus selama lebih dari satu tahun cenderung
menyebabkan deformitas sendi serta kecacatan. Morbiditas dan mortalitas karena masalah
kardiovaskular meningkat pada penderita rheumatoid arthritis. Secara keseluruhan, tingkat
mortalitas pasien rheumatoid arthritis adalah 2,5 kali dari populasi umum (Temprano, 2011).
13