Você está na página 1de 22

Acute Kidney Injury(AKI)

Definisi
Penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48 jam) ditandai dengan peningkatan
serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 mol/L) atau meningkat sekitar 50% dan adanya
penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam (Molitoris et al, 2007).
Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan
ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan
(Eric Scott, 2008).
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit (Brady et al, 2005).
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsidasarnya normal (AKI
klasik) atau tidak normal (acute onchronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut
sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga
parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai
kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil
penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat
diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat
menggambarkan prognosis pasien (Mehta et al, 2003)
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan
para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF
menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu
pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury
dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi
definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup
semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata
mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan
penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului
peningkatan Cr serum; (4)penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan
LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang
mudah dan dapat dilakukan di mana saja (Rusli R, 2007).

2.1.2

Klasifikasi Etiologi

Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni
(1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan
obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat
tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Robert Sinto, 2010)
AKI Prarenal

I. Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular
- Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia,
obstruksi
- usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan ke luar tubuh
- Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui
saluran
- kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit
- (luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katup jantung
III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
- Penurunan resistensi vaskular perifer
- Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan
- (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
- Vasokonstriksi ginjal
- Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,
takrolimus,
- amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal lokal
- Stenosis a.renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
- Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi
- kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna),
- penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibi
- tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia,
- sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)
- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen

AKI Renal

AKI pascarenal

2.1.3

- Penggunaan penyekat ACE, ARB


- Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli,
- diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis,
- kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
- Glomerulonefritis, vaskulitis
III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
- Iskemia (serupa AKI prarenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
- pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis,
hemolisis,
- asam urat, oksalat, mieloma)
IV. Nefritis interstitial
- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi
(bakteri,
- viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),
- idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamida
VI. Rejeksi alograf ginjal
I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi
eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu,
keganasan, darah
III. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis

Klasifikasi AKI
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri

dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau
kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang
menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 2. (Rusli R,
2007).

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007


Kategori

Peningkatan kadar SCr

Penurunan LFG

Kriteria UO

Risk

>1,5 kali nilai dasar

Injury
Failure
Loss
End stage

2.1.4

>25% nilai dasar

<0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
>2,0 kali nilai dasar
>50% nilai dasar
<0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
>3,0 kali nilai dasar
>75% nilai dasar
<0,3 mL/kg/jam, >24
jam
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
minggu
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
Bulan
Patofisiologi
Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular
seperti yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini:

Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008)


Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan
tubular, bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen
pembuluh medulla ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan
penurunan vasodilatasi pada respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Dengan
peningkatan endhotelial dan kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan
adhesi leukosit endothelial yang menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi
pembuluh dengan aktivasi leukosit dan berpotensi terjadi inflamasi.
Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti
oleh apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dan kembali terjadi kebocoran filtrate
glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus
menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk

meningkatkan kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi sebagai


hasil kerjasama vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus, sehingga
menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi
endothelial-leukosit. Bonventre (2008)
2.1.5

Pendekatan Diagnosis

1. Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan
berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS,
penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi
ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor
kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal
jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan
status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan
dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya
mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan
dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis
akut, atau hipertensi maligna.
AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau
suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri
pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut.
Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat
pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat.
Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan
disfungsi saraf otonom (Robert Sinto, 2010).
2. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan
pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast
yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented muddy brown
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast

eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan
pigmented muddy brown granular cast pada nefritis interstitial (Schrier et al, 2004).
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin
(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan
tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Kelainan analisis urin (Robert Sinto, 2010)

Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah


pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung
dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil
kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto
polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi.
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang
belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan
tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana
spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Brady HR, 2005).
2.1.6 Penatalaksanaan
1. Terapi nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status
katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh Sutarjo seperti
pada tabel berikut:
Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008)

2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin


Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan
selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial.
Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja
menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel
thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien
AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar
hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi
non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan
dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas
dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan
tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai
bagian dari tata laksana AKI adalah: (Mohani, 2008)
a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam
keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes
cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila
jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.

b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal
(keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam
1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1
gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid
untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak
berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain.
Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas
(Robert, 2010).
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler
sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria.
Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan
ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan
menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian
manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat
meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien
(Sjabani, 2008).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam
tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal.
Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal,
menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG
dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan
vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu
terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak
terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma
dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum
yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti
hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat
sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis
pada literatur.

Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak


terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia
miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain.
Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan
respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar
menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat
digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi)
untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal (Robert Sinto, 2010).
2.1.7

Komplikasi dan Penatalaksanan


Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara

konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Penatalaksanaan Komplikasi AKI (Robert, 2010)

2.1.8 WOC (terlampir)


2.1 Gagal Ginjal Kronik
2.1.1

Definisi
Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the

National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2009, mendefenisikan gagal ginjal kronis
sebagai suatu kerusakan ginjal dimana nilai dari GFR nya kurang dari 60 mL/min/1.73 m 2
selama tiga bulan atau lebih. Dimana yang mendasari etiologi yaitu kerusakan massa
ginjal dengan sklerosa yang irreversibel dan hilangnya nephrons ke arah suatu
kemunduran nilai dari GFR.

2.1.2

Klasifikasi
Menurut KDOQI, ada 5 tingkatan atau stage dari CKD seperti yang ditunjukkan

oleh table 6 dibawah ini :


(The Renal Association, 2010)

Tabel 6 KDOQI stages of kidney diseases

Suffixes:
p suffix:tambahan p pada tiap tingkatan (misal 3Ap, 4p) menunjukkan adanya
proteinuria
T - : tambahan T pada tiap tingkatan (misalnya 3AT) mengindikasikan bahwa
pasien telah menjalani transplantasi ginjal.
D -: tambahan D pada tingkatan/stage ke 5 (misalnya. 5D) mengindikasikan
bahwa pasien sedang menjalani Dialisis.
2.2.3 Etiologi
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia.
Tabel 5. Penyebab gagal ginjal di Indonesia

2.1.3

Manifestasi Klinik

Ada beberapa manifestasi klinik gagal gagl ginjal kronik : ( Schrier RW, 2003)
1. Gangguan keseimbangan elektrolit : hipernatremia, huiperkalemia
2. Asidosis metabolic (ditemukan jika LFG<25%)
3. Gangguan metabolism karbohidrat dan lemak
4. Anemia normokrom mormositer
5. Hipertensi
6. Gangguan neurologi
7. Osteodistrofi ginjal
8. Gangguan pertumbuhan
9. Gangguan perdarahan
2.1.4

Patofisiologi
Perjalanan penyakit dari CKD akan digambarkan dalam bagan berikut ini: (J.M
Lopez Novoa et al, 2010)

Gambar 3. Hipertensif nefropathy

Gambar 4. Diabetic Nefropathy

Gambar 5. Nefropaty kronik akibat Renal Mass Reduction(RMR)

Gambar 6. Nefropaty akibat ureteral obstruction

Gambar 7. Mekanisme CKD


2.1.5
a.

Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium

1. LED: meninggi, yang diperberat oleh adanya anemia, dan hipoalbuminemia.


Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosi yang rendah.
2. Ureum dan kreatinin: meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan
obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang: ureum lebih kecil dari
kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
3. Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia: biasanya terjadi
pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya dieresis.
4. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin
D3 pada GGK.
5. Phosphat alkaline meninggi akibat gangguan metabolism tulang, terutama
isoenzim fosfatase lindi tulang
6. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan gangguan
metabolism dan diet rendah protein.
7. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal
ginjal (resitensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
8. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolism lemak, disebabkan peninggian
hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
9. Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, BE menurun, HCO3 menurun, PCO2 menurun, semuanya disebabkan
retensi asam-asam organic pada gagal ginjal.
b.

Pemeriksaan lain
1. Foto polos abdomen: untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau
adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal, oleh
sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
2. IVP (Intra Vena pielografi): untuk menilai system pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu,
misalnya usia lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati asam urat.
3. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginajl, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung
kemih, dan prostat.
4. Renogram, untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vascular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.

5. EKG, untuk melihat kemungkina hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda


perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
2.1.6

Penatalaksanaan

1. Stage 1 dan 2
Pada CKD stage 1 fungsi ginjal sebenarnya normal tapi terdapat beberapa tanda
adanya kelainan pada ginjal. CKD stage 2 ditandai dengan menurunnya sebagian
fungsi ginjal, GFR 60-89mls/min/1.73m2
Pengkajian Awal pada CKD stage 1+2:
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi resiko peningkatan kelainan
ginjal pada klien, dan untuk mengurangi resiko terkait. Yang perlu dikaji adalah
a. Hematuria
b. Proteinuria
Jika pengkajian pertama menemukan adanya peningkatan kreatinin maka
penting bagi kita untuk memastikan kestabilan nilainya. Ulangi test 14 hari
berikutnya.
Managemen CKD stage 1+2 :
Dalam 12 bulan pencapaian yang harus didapat adalah :
a. Kreatinin : perubahan signifikan pada eGFR telah ditentukan sebagai shortterm eGFR fall >15% atau [creatinine] meningkat >20%; atau yang terbaru
berdasar NICE guideline adnya kehilangan GFR 1y dari 5ml/min, atau
kehilangan dalam 5y dari 10ml/min.
b. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50
bagi klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
c. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
d. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok,
olahraga teratur dan gaya hidup.
2. Stage 3
Dalam CKD stage 3 ini nilai eGFR 30-60%: eGFR 45-59 (3A) atau 30-44 (3B).
Pengkajian awal CKD stage 3
a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi,
memeriksa adanya pembesaran kandung kemih

b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat


ketika GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.
c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan
ginjal yang progresif
d. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada
sistem ginjal
Manajemen CKD stage 3
Dalam 6 sampai 12 bulan targetnya adalah :
a. Creatinine and K :pertimbangkan turunnya nilai eGFR yang tib-tiba >25%
sebagai ARF. NICE menyarankan untuk meminta advis dari specialist ketika
GFR turun lebih 1y dari 5ml/min, atau 5y dari 10ml/min.
b. Hb bila di bawah 110 g/l, terapi spesifik perlu dilakukan. Hb turun secara
progresif mengindikasikan turunnya GFR.
c. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
d. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
e. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga
teratur dan gaya hidup.
f. Immunization - influenza dan pneumococcal
g. Medication review review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan
untuk mencegah nephrotoxic drugs
3. Stage 4+5
Tanda CKD stage4 adalah adanya penurunan fungsi ginjal yang parah, 15-30% (eGFR
15-29ml/min/1.73m2). Tanda CKD stage 5 adalah adanya penurunan fungsi ginjal
yang sangat parah (endstage atau ESRF/ESRD), <15% (eGFR kurang dari 15
ml/min).
Pengkajian awal CKD stage 4
a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi,
memeriksa adanya pembesaran kandung kemih
b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat
ketika GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.
c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan
ginjal yang progresif

d. Tes darah : Ca, PO4, Hb


e. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada
sistem ginjal
Manajemen CKD stage 4 dan 5
Dalam 3 bulan :
a. Kretainin dan K : waspadai hiperkalemia
b. Hb : Hb rendah, waspadai penyebab lain selain ginjal
c. Ca dan PO4 : obat oral phospat seringkali dibutuhkan
d. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekanan darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
e. Tekanan darah:

maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-

129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.


f. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga
teratur dan gaya hidup.
g. Immunization - influenza dan pneumococcal, dan imunisasi Hepatitis B jika
transplantasi ginjal akan dilakukan
h. Medication review review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan untuk
mencegah nephrotoxic drugs
i. Jika klien osteoporosis: jangan menggunakan bisphosphonates karena bisa
mengarah ke renal osteodystrophy.

Gambar 2. CKD stages


Penatalaksanaan Hemodialisa
Hemodialisa merupakan suatu membran atau selaput semi permiabel. Membran ini
dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialisis yaitu proses
berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permiabel. Terapi hemodialisa
merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium,
hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permiabel
sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi,
osmosis dan ultra filtrasi (Brunner & Suddarth, 2001).
Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal atau tahap
akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu penderita.

Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang
usia penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita
pasien tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal
ginjal (Wijayakusuma, 2008).
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat
adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan produk akhir
metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan
bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara
kolektif dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet
rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian
meminimalkan gejala (Brunner & Suddarth, 2001).
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung
kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari
resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan
pasien dapat diperbaiki meskipunbiasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan
pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan (Brunner & Suddarth, 2001).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan

obat-obatan

(preparat

glikosida

jantung,

antibiotik,

antiaritmia

dan

antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam
darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik (Brunner &
Suddarth, 2001).
Indikasi dan Komplikasi Terapi Hemodialisa
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis adalah laju
filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga dialisis dianggap baru
perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah :
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
b. K serum > 6 mEq/L
c. Ureum darah > 200 mg/Dl
d. pH darah < 7,1
e. Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )
f. Fluid overloaded (Shardjono dkk, 2001).
Menurut Al-hilali (2009), walaupun hemodialisa sangat penting untuk menggantikan
fungsi ginjal yang rusak tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum
berupa hipertensi (20-30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan muntah (5-

15% dari dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5% dialisis), sakit tulang
belakang(2-5% dialysis), 5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari dialisis) dan demam pada
anak-anak (<1% dari dialisis). Sedangkan komplikasi serius yang paling sering terjadi adalah
sindrom disequilibrium, arrhythmia, tamponade jantung, perdarahan intrakaranial, hemolisis
dan emboli paru.

Você também pode gostar

  • PX Psikiatri
    PX Psikiatri
    Documento24 páginas
    PX Psikiatri
    AggiFitiyaningsih
    Ainda não há avaliações
  • Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi VISKOSITAS DLL
    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi VISKOSITAS DLL
    Documento13 páginas
    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi VISKOSITAS DLL
    AggiFitiyaningsih
    Ainda não há avaliações
  • Dysbarism
    Dysbarism
    Documento13 páginas
    Dysbarism
    AggiFitiyaningsih
    Ainda não há avaliações
  • BHP NBS
    BHP NBS
    Documento4 páginas
    BHP NBS
    AggiFitiyaningsih
    Ainda não há avaliações
  • Tata Laksana Malaria
    Tata Laksana Malaria
    Documento18 páginas
    Tata Laksana Malaria
    AggiFitiyaningsih
    Ainda não há avaliações
  • DBD
    DBD
    Documento18 páginas
    DBD
    AggiFitiyaningsih
    100% (1)
  • Makalah Pjok
    Makalah Pjok
    Documento14 páginas
    Makalah Pjok
    AggiFitiyaningsih
    Ainda não há avaliações
  • Malformasi Kongenital
    Malformasi Kongenital
    Documento5 páginas
    Malformasi Kongenital
    AggiFitiyaningsih
    Ainda não há avaliações
  • Talak DBD Ipd
    Talak DBD Ipd
    Documento7 páginas
    Talak DBD Ipd
    AggiFitiyaningsih
    Ainda não há avaliações