Você está na página 1de 60

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit Stroke menyebabkan kecacatan dan kematian di dunia setiap
tahunnya. Stroke diprediksi pada tahun 2030 akan ada 52 juta jiwa kematian
per tahun (Bulletin Kesehatan, 2011). Setiap tahun lebih dari 15 juta jiwa
diseluruh dunia terdiagnosa stroke. Negara maju menyumbang 14,5% dari
total kematian didunia dan sekitar 85,5% kematian yang disebabkan stroke
disumbang oleh negara berkembang (Hoyert,2012). American Heart
Assoccation (2011) pasien stroke di Amerika sebanyak 795.000 jiwa setiap
tahunnya, dan kematian yang diakibatkan stroke adalah 41,4% dari 100.000
penderita storke, data yang diambil dari International Classificaton Of
Desease.
Prevelensi stroke di Indonesia mencapai 19,1 per 1000 penduduk. Daerah
yang memiliki prevelensi stroke tertinggi adalah Sulawesi Utara mencapai
10,8 per 1000 penduduk, terendah adalah papua 2,3 per 1000 penduduk, dan
Jawa Tengah berada pada urutan ke 7 yaitu mencapai 7,7 per 1000 pendudu
(Riskesdas,2013). Stroke bersama-sama dengan penyakit jantung koroner,
juga gagal jantung merupakan penyakit tidak menular utama penyebab
kematian di Indonesia. Stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab
kematian utama semua usia di Indonesia (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2013). Penderita stroke diperkirakan 500.000 jiwa, dari jumlah
tersebut sepertiganya bisa pulih kembali, dan sisanya mengalami gangguan
1

fungsional ringan sampai sedang, dan sepertiga sisanya mengalami gangguan


fungsional berat (Bustami, et al., 2007).
Stroke menyebabkan gangguan fungsional seperti kelumpuhan, perubahan
mental, gangguan daya pikir, konsentrasi, fungsi intelektual, gangguan
komunikasi, gangguan emosional, gangguan komunikasi, gangguan fungsi
luhur, gangguan berjalan, gangguan melakukan aktivitas sehari-hari dan
Inkontinensia

Urin

(Sutrisno,2010).

Pasien

stroke

yang

mengalami

inkontinensia urin akan mengalami perasaan tidak senang, perasaan sangat


malu, menunjukan rentang emosi mengcakup peningkatan depresi, iritabilitas,
cemas, dan tidak berdaya (Tarasavo M et al, 2007). Hasil penelitian Saxer et
al (2008) menunjukan bahwa stroke dapat menyebabkan inkontinensia urin
pada pasien. Penelitian Hermic (2007) menunujukan 92% responden
mengalami inkontinensia urin, terjadi paling banyak wanita pada kelompok
umur 50-54 tahun sekitar 57,3%.
Stroke memiliki konsekuensi yang besar terhadap kehidupan seseorang
secara pribadi,sosial, vokasional dan fisikal. Stroke membuat seseorang
ketergantungan dengan orang lain, setidaknya untuk sementara dan sangat
mempengaruhi kualitas hidup pasien. Peneliatian Fathin (2015) menunjukan
sebanyak 56 pasien stroke menunjukan perubahan kualitas hidup dengan
aspek kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Kualitas
hidup

bermanfaat

sebagai kriteria keberhasilan hidup seseorang

yang

cukup, sehingga menimbulkan perasaan puas dan bahagia dalam memaknai


peluang yang dipilih baik secara pribadi maupun sosial (Hasan, 2008).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Rumah Sakit


Pandan Arang Boyolali Provinsi Jawa Tengah yang menjalani rawat jalan
mendapatkan prevelensi stroke pada tahun 2015 sebesar 457 pasien, yang
dibagi menjadi stroke hemoragik sebanyak 138 pasien dan stroke non
hemoragik sebanyak 319 pasien. Peneliti melakukan wawancara kepada 5
pasien stroke yang menajalami rawat inap dan 3 pasien mengalami
inkontinensia urin. Wawancara kepada 3 pasien stroke mempunyai
kesamaaan jawaban mengenai masalah fisik, psikologis, hubungan sosial, dan
lingkungan. Masalah fisik seperti gangguan mobilitasi yang mempengaruhi
aktivitas sehari-hari. Masalah psikologis 3 pasien tersebut juga mengatakan
minder atau rendah diri dengan penyakit yang dideritanya apalagi ditambah
pasien sering mengompol, dan susah untuk berkonsentrasi. Masalah
lingkungan ketiga pasien stroke dengan inkontinensia urin megatakan mulai
menutup diri pada lingkungan sekitar terutama pada tetangga. Hal ini yang
menjadi dasar penelitik untuk melakukan penelitian apakah ada hubungan
antara inkontinensia urine dengan kualitas hidup pada pasien stroke.

1.2. Rumusan Masalah


Stroke adalah penyakit degeneratif yang setiap tahun menyebabkan
kematian dan kecacatan. Kecacatan stroke menyebabkan gangguan fungsional
seperti inkontinensia urin yang berdampak pada kualitas hidup pasien.
Berdasarkan latar belakang diatas masalah yang dapat dirumuskan adalah
bagaimana hubungan inkontinensia urin dengan kualitas hidup pada pasien
stroke?
1.3. Tujuan Pelitian
1.3.1.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara inkontinensia urin dan kualitas
hidup pada pasien stroke di RSUD Pandan Arang Boyolali
1.3.2.
Tujuan Khusus
1.
Mengidentifikasi karakteristik pasien stroke di RSUD Pandan Arang
2.

Boyolali
Mengidentifikasi kejadian inkontinensia pada pasien stroke di RSUD

3.

Pandan Arang Boyolali


Mengidentifikasi kualitas hidup pada pasien stroke di RSUD Panda

4.

Arang Boyolali
Menganalisis hubungan antara inkontinensia dan kualitas hidup pada
pasien stroke di RSUD Pandan Arang Boyolali.

1.4. Manfaaat Penelitian


1.4.1.
Manfaat bagi rumah sakit
Sebagai bahan masukan bagi Rumah Sakit dalam rangka meningkatkan
mutu pelayanan khususnya tentang inkontinensia dan kualitas hidup
pasien stroke sehingga mutu pelayanan mutu rumah sakit tercapai.
1.4.2.
Manfaaat bagi institusi pendidikan

Penelitian

ini

diharapkan

dapat

memperkaya

khasanah

ilmu

keperawatan dan menjadi suatu bahan masukan untuk penelitian


pennelitian lebih lanjut yang terkait dengan inkontinensia urin dan
kualitas hidup pada pasien stroke
1.4.3.
Manfaat bagi penelitian lain
Sebagai salah satu rujukan dan pembanding untuk penelitian
selanjutnya
1.4.4.
Manfaat bagi peneliti
Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
peneliti tentang inkontenensia urin dan kualitas hidup pada penderita
stroke, serta mengaplikasikan ilmu dan teori yang telah diperoleh
diperkulihan
1.4.5. Manfaat bagi responden

Sebagai penambah pengetahuan dan wawasan mengenai inkontinensia


urin , dan dapat menjadi acuan untuk malakukan penangan yang tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori


2.1.1. Stroke
2.1.1.1. Definisi
Stroke adalah penyakit atau ganggun fungsional otak akut
fokal maupun global akibat terhambatnya peredaran darah ke

otak. Gangguan peredaran darah otak di otak. Otak yang


seharusnya mendapat pasokan oksigen dan zat makanan
menjadi terganggu. Kekurangan pasokan oksigen ke otak akan
memunculkan kematian sel saraf (neuron). Gangguan fungsi
otak akan memunculkan gejala stroke (Junaidi, 2011).
Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika sebagian sel-sel
otak mengalami kematian akibat ganguan aliran darah karena
sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak. Aliran darah
yang terhenti membuat suplai oksigen dan zat makanan ke otak
juga terhen ti, sehingga senagian otak tidak dapat berfungi
sebagimana mestinya (Utami, 2009).
2.1.1.2. Klasifikasi stroke
Stroke dibagi menjadi dua kategori utama menurut
(Junaidi) 2011 yaitu, stroke iskemik dan stroke hemoragik.
Kedua kategori ini merupakan suatu kondisi yang berbeda,

pada

stroke

hemoragik

terdapat

timbunan

darah

di

subarahchnoid atau intraserebral, sedangkan stroke iskemik


terjadi karena kurangnya suplai darah ke otak sehingga
kebutuhan oksigen dan nutrisi kurang mencukupi. Klasifikasi
stroke menurut Wardhana (2011), antara lain sebagai berikut :
1. Stroke iskemik
Stroke iskemik terjadi pada otak yang mengalami
gangguan pasokan yang disebabkan karena penyumbatan
pada pembuluh darah ke otak. Penyumbatan adalah plak
atau timbunan lemak yang mengandung kolesterol yang ada
dalam darah.Penyumbatan bisa terjadi pada pembuluh darah
besar (arteri karotis), atau pembuluh darah sedang (arteri
serebri) atau pembuluh darah kecil(Mutttaqin,2008).
Pembuluh darah tersumbat bisa terjadi karena dinding
bagian dalam pembuluh darah (arteri) menebal dan kasar,
sehingga aliran darah tidak lancar dan tertahan. Oleh karena
darah berupa cairan kental, maka ada kemungkinan akan
terjadi gumpalan darah (trombosis), sehingga aliran darah
makin lambat dan lama-lama menajdi sumbatan pembuluh
darah. Akibatnya otak mengalami kekurangan pasokan
darah yang mebawa nutrisi dan oksigen yang diperlukan
oleh stroke iskemik atau infark, stroke infark pada dasarnya
terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Penurunan

aliran darah yang semakin parah dapat menyebabkan


kematian jaringan otak (Ginsbreg,2008). Penggolongan
stroke iskemik atau infark menurut Junaidi (2011)
dikelompokkan sebagai berikut
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
Suatu gangguan akut dari fungsi lokal serebral yang
gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam atau serangan
sementara dan disebabkan oleh thrombus atau emboli.
Satu sampai dua jam biasanya TIA dapat ditangani,
namun apabila sampai tiga jam juga belum bisa teratasi
sekitar

50%

pasien

sudah

terkena

infark

(Vitahealh,2006).
b. Reversible Ischemic Neurological Defisit (RIND)
Gejala neurologis dari RIND akan menghilang kurang
lebih 24 jam, biasanya RIND akan membaik dalam
waktu 24-48 jam(Wiwit, 2010).
c.

Stroke in Evolution (SIE)


Pada keadaan ini gejala atau tanda neurologis fokal terus
berkembang

dimana

terlihat

semakin

berat

dan

memburuk setelah 48 jam. Defisit neurologis yang


timbul berlangsung bertahap dari ringan sampai berat
(Sofwan,2010).

d. Complete Stroke Non Hemorage


Kelainan neurologis yang sudah lengkap menetap atau
permanen tidak berkembang lagi bergantung daerah
bagian otak mana yang mengalami infark (Gisberg,
2008).
2.

Stroke hemoragik
Menurut Bustan (2007) Stroke hemoragik terjadi pada
otak yang mengalami kebocoran atau pecahnya pembuluh
darah di dalam otak, sehingga darah menggenangi atau
menutupi ruang-ruang jaringan sel otak akan meyababkan
kerusakan jaringan sel otak dan menyebabkan kerusakan
fungsi kontrol otak.
Genangan darah bisa terjadi pada otak sekitar pembuluh
darah yang pecah (intracerebral hemorage) atau dapat juga
genangan darah masuk kedalam ruang sekitar otak
(subarachnoid hemorage) bila ini terjadi stroke bisa sangat
luas dan fatal bahkan samapai pada kematian. Stroke
hemoragik pada umunya terjadi pada lanjut usia, karena
penyumbatan terjadi pada dinding pembuluh darah yang
sudah rapuh (aneurima). Pembuluh darah yang sudah rapuh
ini, disebabkan karena faktor usia (degeneratif), akan tetapi
bisa juga disebabkan karena faktor keturunan (genetik).
Keadaan yang sering terjadi adalah kerapuham karena

10

mengerasnya dinding pembuluh darah akibat tertimbun plak


atau artriosklerosisakan lebih parah lagi apabila disetai
dengan gejala tekanan darah tinggi (Brunner & Suddart,
2008). Beberapa jenis stroke hemoragik menurut Feigin
(2007), yaitu :
a. Hemoragi ekstradural (hemoragi epidural)
Adalan perawatan

kedaruratan bedah neuro yang

memerlukan perawatan segera. Stroke ini biasanya


diikuti dengan fraktur tengkorak dengan robekan arteri
tengah atau arteri meningens lainnya. Pasien harus
diatasi beberapa jam setelah mengalami cedera untuk
dapat memepertahankann hidup (Pertiwi, 2010).
b. Hemoragi subdural (termasuk subdural akut)
Adalah hematoma subdural yang robek adalah bagian
vena sehingga pembentukan hematomanya lebih lama
dan menyebabkan tekanan pada otak (Levine, 2011).
c. Hemoragi subaraknoid
Hemoragi yang terjadi di ruang subaraknoid dapat terjadi
sebagai akibat dari trauma atau hipertensi tetapi
penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisma
(Wiwit, 2010).

11

d. Hemoragi intraserebral
Perdarahan di substannsi dalam otak yang paling
umum terjadi pada pasien dengan hipertensi dan
aterosklerosis serebral karena perubahan degeneratif
karena penyakit ini biasanya menyebabkaan ruptur
pembuluh darah (Junaidi, 2011).
2.1.1.3. Etiologi Stroke
Stroke menurut Smelzer & Bare (2006), biasanya diakibatkan
dari salah satu dari empat kejadian, yaitu :
1. Trombosit (bekuan darah didalam pembuluh darah otak atau
leher)
2. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang
dibawah ke otak dari bagiaan tubuh yang lain)
3. Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak)
4. Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral
dengan perdarahan kedalam jaringan otak atau ruang sekitar
otak). Akibatnya adalah penghentian suplai darah ke otak,
yang meyebabkan kehilangan sementara atau permanen
gerakan, berpikir memori, bicara, atau sensasi
Faktor resiko penyakit stroke menyerupai faktor resiko penyakit
jantung iskemik menurut Aru (2009) :

12

1. Usia
2. Jenis kelamin: pada wanita premonophous lebih rendah, tapi
pada wanita post monophous sama resiko dengan pria
3. Hipertensi
4. DM
5. Keadaan hiperviskositas berbagai kelainan jantung
6. Koagulopati karena berbagai komponen darah antara lain
7. Hiperfibrinogenia
8. Keturunan
9. Hipovolemia dan syok
2.1.1.4. Patofisiologi Stroke
Penyakit serebrovaskuler mengacu pada abnormal fungsi
susunan syaraf pusat yang terjadi ketika suplai darah nornal ke
otak terhenti. Patologi ini melibatkan arteri, vena, atau
keduanya. Sirkulasi serebral mengalami kerusakan sebagai
akibat sumbatan partial atau komplek pada pembuluh darah
atau hemoragi yang diakibatkan oleh robekan dinding
pembuluh (Bustan,2007).
Penyakit vaskuler susunan syaraf pusat dapat diakibatkan
oleh arteriosklerosis (paling umum) perubahan hipertensif,
malformasi, arterivena, vasospasme, inflamasi arteritis atau
embolisme. Sebagai akibat penyakit vaskuler pembuluh darah
kehilangan elastisitasnya menjadi keras mengalami deposit

13

ateroma, lumen pembuluh darah secara bertahap tertutup


menyebabkan kerusakan sirkulasi serebral dan iskemik otak.
Bila iskemik otak bersifat sementara seperti pada serangan
iskemik sementara, biasanya tidak terdapat defisit neurologi.
Sumbatan pembuluh darah besar menimbulkan infark serebral
pembuluh ini, suplai dan menimbulkan hemoragi (Brunner &
Suddarth, 2008).
Penurunan suplai darah ke otak dapat sering mengenai
arteria vertebro basilaris yang akan mempengaruhi N.XI
(assesoris)

sehingga

akan

berpengaruh

pada

sistem

mukuloskeletal (s.motorik) sehingga terjadi penurunan sistem


motorik yang akan menyebabkan ataksia dan akhirnya
menyebabkan kelemahan pada satu atau empat alat gerak,
selain itu juga pada 17 arteri vetebra basilaris akan
mempengaruhi fungsi dari otot facial (oral terutama ini
diakibatkan kerusakan diakibatkan oleh kerusakan N.VII
(fasialis), N.IX (glasferingeus) N.XII (hipoglakus), karena
fungsi otot fasial/oral tidak terkontrol maka akan terjadi
kehilangan dari fungsi tonus otot fasial/oral sehingga terjadi
kehilangan kemampuan untuk barbicara atau menyebut katakata dan berakhir dangan kerusakan artikulasi, tidak dapat
berbicara (disatria). Pada penurunan aliran darah ke arteri
vertebra basilaris akan mempengaruhi fuingsi N.X (vagus) dan

14

N.IX (glasovaringeus) akan mempengaruhi proses menelan


kurang ,sehingga akan mengalami refluk, disfagia dan pada
akhirnya akan menyebabkan anoreksia dan menyebabkan
gangguan nutrisi. Keadaan yang terkait pada arteri vertebralis
yaitu trauma neurologis atau tepatnya defisit neurologis. N.I
(olfaktorius), N.II (optikus), N.III (okulomotorik), N.IV
(troklearis),

N.VII

(hipoglasus)

hal

ini

menyebabkan

perubahan ketajaman peng, pengecapan, dan penglihatan,


penghidungan.Pada kerusakan N.XI (assesori) pada akhirnya
akan mengganggu kemampuan gerak tubuh (Corwin, 2008)
2.1.1.5. Manifestasi klinis
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik,
tergantung lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat),
ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran
darah kolateral (sekunder atau aksesori). Fungsi otak yang
rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Manifestasi klinis
stroke menurut Smelzer & Bare (2006), antara lain : defisit
lapang pandang, defisit motorik, defisit sensorik, defisit verbal,
defisit kognitif dan defisit emosional
1. Defisit lapang pandang
Menurut Feigin (2009) :
a. Tidak menyadari orang atau obyek di tempat kehilangan
penglihatan

15

b. Kesulitan menilai jarak yaitu tidak dapat membedakan


antara jarak dekat dengan jarak jauh
c. Diplopia yaitu gangguan penglihatan yang mana obyek
terlihat dobel
2. Defisit motorik
Menurut Goldsemidt, 2013:
a. Wajah, lengan, kaki pada sisi yang sama hemiparesis
(kelemahan)
b. Hemiplegi (paralisis wajah, lengan dan kaki pada sisi
yang sama)
c. Ataksia (berjalan tidak mantap, dan tidak mampu
menyatukan kaki)
d. Disartrua (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara
yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot
yang bertanggung jawab untuk menghasilkanbicara
e. Disfagia (kesulitan dalam menelan)
f. Defisitt sensorik : kesemutan pada bagian tubuh
3. Defisit verbal
Menurut Saputra (2010) :
a. Afasia ekspresif (tidak mampu memebentuk kata yang
dapat dipahami
b. Afasia reseptif (tidak mampu memahami kata yang
dibicarakan)

16

c. Afasia global (gabungan dari afasia ekspresif dan afasia


reseptif)
4. Defsisit kognitif
Menurut Sarwono (2006) :
a. Kehilangan memori jangka pendek dan panjang
b. Penurunan lapang pandnag
c. Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi
d. Perubahan penilaian
5. Defisit emosional
Menurut Soeharto (2008) :
a.

Kehilangan kontrol diri

b.

Labilitas emosional

c.

Penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stres

d.

Depresi

e.

Manarik diri

f.

Rasa takut, bermusuhan dan darah

g.

Isolasi

2.1.1.6. Komplikasi
Komplikasi stroke menurut Smeltzer & Bare (2006) meliputi :
1. Hipoksia

serebral

diminimalkan

dengan

memberi

oksugenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak tergantung


ketersedian

oksigen

yang

dikirimkan

Pemberian

oksigen

suplemen

dan

ke

jaringan.

mempertahankan

17

hemoglobin serta hematotrit pada tingkat dapat diterimakan


membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan
(Harsono, 2007).
2. Aliran darah serebral tergantung pada tekanan darah, curah
jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi
adekuat (cairan intravena) harus menjamin penurunan
vesikositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral.
Hipertensi atau hipotensin ekstrem perlu dihindari untuk
mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi
meluasnya area cedera (Hartomartono, 2007).
3. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard
atau fibrilasi atrium atau dari katup jantung prostetik.
Embolisme akan menurunkan aliran darah keotak dan
selanjutnya menurunkan aliran darah serebral (Wiwit,
2010).
2.1.1.7. Penatalaksanaan
Menurut (Brunner & Suddarth, 2008) bahwa penatalaksanaan
medis yang dilakukan pada pasien stroke adalah :
1. Diagnostik seperti ingiografi serebral, yang berguna
mencari lesi dan aneurisme.
2. Pengobatan, karena biasanya pasien dalam keadaan koma,
maka pengobatan yang diberikan yaitu : Kortikosteroid,

18

gliserol, valium manitol untuk mancegah terjadi edema


acak dan timbulnya kejang (Gofir, 2009).
3. Asam traneksamat 1gr/4 jam iv pelan-pelan selama tiga
minggu.

Serta

berangsur-angsur

diturunkan

untuk

mencegah terjadinya Lisis bekuan darah atau perdarahan


ulang (Rubenstein, 2007).
4. Deuretik: untuk menurunkan edema serebral
5. Antikoagulan:

untuk

mencegah

terjadinya

atau

memberatnya trombosis atau emboli dari tempat lain


dalam system kardiovaskuler (Tugasworo,2006).
6. Medikasi anti trombosit: dapat disebabkan karena
trombosit memainkan peran yang sangat penting dalam
pembentukan trombus dan embolisasi (Sofwan, 2010).
7. Operasi bedah syaraf (kraniotomi)
Adapun penatalaksaan keperawatan stroke menurut Brunner
& Suddarth (2008) adalah :
1. Menstabilkan tanda-tanda vital dengan mempertahankan
(airway, breathing, dan circulation)
2. Mempertahankan kepatenan saluran udara (pengisapan
yang dalam, oksigen, trakeostomi)
3. Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien
4. Merawat kandung kemih dengan memasang kateter in-out
setiap 4-6 jam

19

5. Menempatkan klien dalam posisi yang tepat harus


dilakukan secepat mungkin. Pasien harus dibalik setiap 2
jam sekali dan dilatih gerakan pasif (Rasyid & Lyna,
2007).
2.1.2. Inkontinensia Urin
2.1.2.1. Definisi
Menurut Pranaka (2009), inkontinensia urin adalah
pengeluaran

urin tanpa disadari serta dalam jumlah dan

frekuensi yang cukup sering sehingga

mengakibatkan

maslaah atau gangguan kesehatan atau sosial. Inkontinensia


urin merupakan eliminasi urin merupakan eliminasi urin dari
kandung kemih yang tidak terkendali di luar keinginan
(Lewis et al, 2011). Menurut Saxer et al (2008), inkontinensia
urin didefinisikan sebagai keluhan atas kebocoran urin yang
tidak disadari. Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin
yang tidak disengaja dan umumnya inkontinensia urin
umumnya terjadi pada lansia, namun bisa terjadi pada orang
dewasa dari segala usia (Melvile et at, 2006).
Dari beberapa pengertian diatas, penulis menyimpulakan
bahwa inkontinensia urin adalah suatu kondisi pengeluaran
atau kebocoran urin tanpa disadari, tidak terkendali, terjadi
diluar keinginan, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup
sering.

20

1. Pengelompokan Inkontinensia Urin


Menurut Sartono (2008) Inkontinensia urin dikelompokan
menjadi 2 yaitu:
a. Inkontinensia Urin Akut (Transient Incontinence)
Inkontinensia urin terjadi secara mendadak, terjadi
kurang dari 6 bulan dan biasanya berkaitan dengan
kondisi sakit akut atau problem iatrogenik yang
menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebabbnya
berupa delirium, infeksi, inflamasi, gangguan mobilitas,
konsisi-konsisi

yang

mengakibatkan

(hiperglikemia,

hiperkalsemia)

poliuria

ataupun

kondisi

kelebihan cairan seperti gagal jantung kongestif


(Junizaf, 2011)
b. Inkontinensia Urin Kronik (Persisten)
Inkontinensia urin tidak berkaitan dengan konsisi akut
dan berlangsung selama lebih dari 6 bulan. Ada dua
penyebab kelainan mendasar yang melatarbelakangi
inkontinesia urin kronik (persisten) yaitu : menurunya
kapasiatas kandung kemih akibat hiperaktif dan karena
kegagalan

pengosongan

kandung

kemih

akibat

lemahnya kontraksi otot detrusor. Inkontinesia urin


kronik ini dikelompokam menjadi empat tipe (stress,
1. kesehatan
urge,

overflow,

fungsional).

Berikut

ini

2. Hubungan

adalah psikologis

3. Hubungan
sosial
4. Hubungan
denggan
lingkungan

21

penjelasan ari masingmasing tipe inkontinensia urin


kronik atau persisten (Action, 2012).
1) Inkontinensia urin tipe stess : inkontinensia uriin
terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar
akibat

peningkatan

tekanan

di

dalam

perut,

melemahnya otot dasar panggul, operasi dan


penurunan estrogen. Gejalanya anatara lain kencing
sewaktu batuk, mengejan, bersin, tertawa, berlari
atau hal lainya yang meningkatkan tekanan pada
rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan tanpa
operasi mislanya dengan kegel exercises, dan
beberapa jenis obat-obatan maupun dengan operasi
(Stoddart, et al,2006).
2) Inkontinensia urin tipe urge : timbul pada keadaan
otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, yang
mana

otot

Inkontinensia

ini

bereaksi

urin

ini

secara
ditandai

berlebihan.
dengan

ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi


berkemih muncul. Manifestasinya dapat berupa
perasaan ingin kencing yang mendadak (urge),
kencing berulang kali (frekuensi) dan kencing
dimalam ini (nokturia) ( Action, 2012)

22

3) Inkontinensia urin tipe overflow : pada keadaan ini


urin mengalir keluar akibat isinya yang sudah terlalu
banyak didalam kandung kemih, umumnya akibat
otot detrusor kandung kemih yang lemah. Biasnaya
hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit
diabetes, cidera pada sumsum tulang belakang, atau
saluran kencing (merasa urin masih tersisa didalam
kandung kemih), urin yang keluar sedikit atau
pancarannya yang lemah (Teunissen, et al, 2006).
4) Inkontinensia urin tipe fungsional: terjadi akibat
penurunan yang berat dari fungsi fisik dan kognitif
sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada
saat yang tepat. Hal ini terjadi pada demensia berat,
gangguan mobilitas, gangguan neurologis dan
psikologik (Setiati et al, 2007)
2.1.2.3. Etiologi Inkontinensia Urin
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa
perubahan anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain
disebabkan melemahnya otot dasar panggul, kebiasaan
mengejan yang salah ataupun karena penurunan esteregon.
Kelemahan otot dasar panggul dapat terjadi karena kehamilan
setelah melahirkan, kegemukan, menoupouse, usia lanjut,
kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan

23

tekanan selama kehamilan menyebabkan melemahnya otot


dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak
akibat reganggan otot dan jaringan penunjang serta robekan
jalan

lahir,

sehingga

menimbulkan

resiko

terjadinya

inkontinensia urin (Bustan, 2007). Dengan menurunya kadar


hormon esterogen pada wanita diusia menopouse (50 tahun
keatas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot
pintu saluran kemih (uretra), sehungga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urin. Faktor resiko yang lain adalah
obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan
lainya juga beresiko mengakibatkan inkontinensia urin.
Semakin

tua

seseorang

semakin

besar

kemungkinan

mengalami inkontinensia urin, karena terjadi perubahan


struktur kandung kemih dan otot dasar panggul. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni.
Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari
dingding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih
baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih
(Setiati, et al, 2007). Resiko inkontinensia urin meningkat
pada wanita dengan nilai indeks massa tubuh yang lebih
besar, riwayat histerektomi, infeksi urin, dan trauma perineal.
Penyebab inkontinensia urin antara lain terkait dengan

24

gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan,


produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan
atau keinginan ke toilet (Martin dan Frey, 2005).
Menurut Setiati dan Pramantara (2007) Inkontinensia Urin
dikaitkan dengan depresi, transient ischaemic attacks dan
stroke, gagal jantung, konstipasi, inkontinensia feses,
obesitas, penyakit paru obstruktif kronik, dan gangguan
mobilitas. Empat penyebab pokok inkontinensia urin yang
perlu dibedakan yaitu : gangguan urologi, neurologis,
fungsional atau psikologis, dan iatrogenik atau lingkungan.
Mengetahu penyebab inkontinensia urin penting dalam
menentukan penalatalaksanaan yang tepat.
2.1.2.4. Perawatan Inkontinensia Urin
Salah satu faktor penting dalam pelaksanaan inkontinnesia
urin adalah pengkajian. Adapun pengkajian terhadap pasien
dengan inkontinensia urin

terdapat dalam Continence

Essential Guide (2009), diantaranya :


1. Pengkajian tentang riwayat inkontinensia
Dalam aspek ini, perawat harus mengkaji riwayat
berkemih dalam proses pengosongan kandung kemih
pasien. Berikut ini adalah aspek pengkajian riwayat
kontinensia beserta contoh pertanyaaan yang bisa diajukan
kepada pasien, diantanya:

25

a. Frekuensi berkemih
b. Frekuensi nokturia
c. Faktor yang memperberat
d. Nyeri
e. Kehilang urin yang terus menerus
f. Susah atau berusaha keras dalam mengosongkan
kandung kemih
g. Aliran kemih yang terhambat, indikasi obstruksi
kandung kemih
h. Kencing yang menetes, indikas obstruksi kandung
kemih
i. Pengosongan kandung kemih yang inkomplit
2. Pengkajian tentang fungsi kognitif
Pasien dengan gangguan kognitif biasanya kurang
kooperatif

ketika

dilakukan

intervensi

terhadap

inkontinensia mereka. Oleh karena itu, perawat diharapkan


mengkaji fungsi kognitif mereka.
3. Pengkajian tentang kebutuhan pasien dalam mengenakan
pampers
Dalam hal ini, hal-hal yang perlu diperhatikan perawat
meliputi:
a. Fungsi kognitif pasien, apakah dia mampu mengggantu
pempersnya sendiri atau tidak

26

b. Jadwal bladder training mungkin bisa membantu pasien


mengenakan pampers
c. Derajat mobilitas yang memungkinkan pasien bisa
mengambil/ meletakkan pempers kembali
d. Kemampuan untuk pergi ke toilet dan mengganti
pampers
e. Kuantitas pampers yang dibutuhkan pasien
f. Ukuran pampers yang dibutuhkan pasien
g. Terjadi dermatitis akibat pampers yang jarang diganti
Intervensi praktik perawatan yang efektif bisa membantu
menangani masalah inkontinneisa uin (Lewis et al, 2011)
mengeyebutkan

beberapa

intervensi

praktik

perwatan

(menolak/menghambat

desakan

inkontinensia urin, diantaranya :


1. Behavior Intervention, yang terdiri dari :
a. Bladder

training

berkemih, menunda berkemih, membatalkan sebelum


waktunya)
b. Habit training (berkemih sesuai dengan waktu yang
ditentukan penjadwalan berkemih)
c. Prompted voiding (mengajarkan cara meminta bantuan
ketika terjadi inikontinensia). Utuk pasien yang
mengalami gangguan kognitif, prompted voiding
dilakukan dengan cara:

27

1) Pemantauan reguler dengan dorongan agar pasien


melaporkan status inkontinensia mereka
2) Mendorong pasien untuk pergi ke toilet secara
terjadwal
3) Memberikan pujiadan umpan balik positif ketika
pasien berusaha untuk pergi ke toilet sendiri
d. latihan otot-otot panggul (kontraksi otot panggul dan
pulbocoxigeal)
e. corong vagina (kontraksi otot dengan corong yang
berguna

untuk

memperkuat

oto

panggul

dan

pulbocoxigeal)
f. biofeedback (metode untuk memberikan informasi
tentang tubuh pasien dengan menggunakan sadapan
elektromiogram (EMG) yang nantinya memberinya
umpan balik tentang kondisi normal dan abnormal
neuromuskular dan aktivitas otonom dalam bentuk
analog, binary, signal auditory, maupun visual
2. Terapi farmakologis dengan menggunakan propantelin,
oxybutinin, Ca

channel

blokers, terodilin,

tricylic

antideppressan, flafoxate dicyclomin, penilpropanolamin,


estrogen, kombinasi alfa agonis adrenergik.
3. Penatalaksanan lainnya seperti : kateter intermitter,
pengumpulan urin, klem penis dan perawatan kulit

28

2.1.2.5. Patofisiologis Berkemih


Proses berkemih normal dikendalikan oleh mekanisme
volunter dan involunter. Sfingter uretra eksternal dan otot
dasar panggul berada di bawah kotrol mekanisme volunter.
Sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra
internal berada dibawah kontrol sistem saraf otonom. Ketika
otot detrusor berelaksasi maka akan terjadi proses pengisian
kandung kemih sebaliknya jika otot ini berkontraksi maka
proses berkemih (pengosongan kandung kemih) akan
berlangsung. Kontraksi otot detrusor kandung kemih
disebabkan oleh aktivitas saraf parasimpatis, dimana aktivitas
ini dapat terjadi karena dipicu oleh asetikoline (Junizaf,
2011).
Jika terjadi perubahan peubahan pada mekanisme normal
ini makan akan menyebabkan proses berkemih terganggu.
Pada usia lanjut baik wanita maupun pria terjadi perubahan
anatomi dan fisiologis dari sistem urogenial bagian bawah.
Perubahan tersebut berkaitan dengan menurunya kadar
estrogen pada wanita dan hormon adrogen pada pria.
Perubahan yang terjadi ini dapat berupa peningkatan fibrosis
dan kandungan kolagen pada dinding kandung kemih yang
mengakibatkan fugsi kontraktil dari kandung kemih tidak
efektif lagi (Bustan, 2007).

29

Pada otot uretra terjadi perubahan vaskularisasi pada


lapisam submukosa, strofi mukosa, dan penipisan otot uretra.
Keadaan ini menyebabkan tekanan penutupan berupa
melemahnya fungsi dan kekuatan otot. Secara keseluruhan
perubahan yang terjadi pada sistem urogenital bagian bawah
akibat proses menua merupakan faktor kontributor terjadinya
inkontinensia urin (Setiati dan Pramantara, 2007).
2.1.3. Kualitas Hidup
2.1.3.1. Definisi Kualitas Hidup
Lase (2011) mengatakan kualitas hidup seseorang tidak
dapat didefinisikan dengan pasti, hanya orang tersebut yang
dapat mendifinisikannya, karena kualitas hidup merupakan
suatu yang bersifat subyektif. Kualitas hidup adalah peprsepsi
individu sebagai laki-laki atau perempuan dalam hidup ditinjau
dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal,
hubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan
perhatian mereka. Hal ini terangkum secara kompleks
mencakup

kesehatan

fisik,

status

psikologis,

tingkat

kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan karakteristik


lingkungan mereka (Fayers and Machin, 2007).
Kualitas hidup masih menjadi suatu permasalahan, belum
ada suatu pengertian tepat yang dpaat digunakan acuan untuk
mengukur kulitas hidup seseorang. Kualitas hidup merupakan

30

suatu ide yang abstrak yang tidak terkait oleh tempat dan
waktu, bersidat situasional dan meliputi berbagai konsep yang
saling tumpang tindih. Kualitas hidup merupakan suatu model
konseptual yang bertujuan untuk menggambarkan perspektif
klien dengan berbagai macam istilah. Dengan demikian
kualitas hidup akan berbeda bagi orang sakit dan orang sehat
(Farida, 2010). Terdapat dua komponen dari kualitas hidup
yaitu

subyektifitas

dan

multidimensi.

Subyektifitas

mengandung arti bahwa kualitas hidup hanya dapat ditentukan


dari suatu sudut pandang klien. Sedangakan multidimensi
bermakna bahwa kualitas hidup dipandang dari seluruh aspek
kehidupan seseorang secara holistik meliputi aspek biologi
atau fisik, psikologis, sosial, dam lingkungan (Harmaini,
2006).
2.1.3.2. Faktor- faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien
stroke
Lase (2011) mengatakan Kualitas hidup pasien stroke lebih
buruk dibandingkan populasi secara umum, hal tersebut
berhubungan dengan perubahan fisik,psikologis, dan sosial
yang terjadi pada pasien dan dipengaruhi oleh faktor-faktor
sebagai berikut :
1. Karakteristik pasien (umur, jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, status pernikahan)

31

2. Terapi yang dijalani


Kualitas hidup pasien dipengaruhi keadekuatan terapi yang
dijalani

dalam

rangka

mempertahankan

fungsi

kehidupannya
3.

Depresi
Pasien stroke mengakibatkan perubahan peran, kehilangan
pekerjaan, dan pendapatan yang menimbulkan depresi pada
pasien stroke. Depresi berpengaruh secara bermakna
terhadap kualitas hidup, dan semakin tinggi derajat depresi
maka semakin buruk kualitas hidup pasien stroke (Lubis,
2009).

4.

Dukungan keluarga
Dukungan keluarga mempengaruhi kesehatan secara fisik
dan psikologis. Dukungan keluarga pada pasien stroke
terdiri dari dukungan instrumental, dukungan informasional,
dukungan

emosional,

dukungan

pengharapan,

dan

dukungan harga diri. Dukungan keluarga mengurangi


tingkat depresi. Semakin tinggi dukungan sosial yang
diterima pasien akan semakin meningkatkan penerimaan
diri dan kualitas hidupnya.
5. Fungsi sosial
Pasien stroke mengalami perubahan peran dan gaya
hidup yang berhubungan dengan beban fisik dan psikologis.

32

Karena dianggap sakit, pasien tidak ikut dalam kegiatan


sosiaal dikeluarga dan masyarakat dan tidak boleh
mengurus pekerjaan. Pasien merasa bersalah karena
tidakmampuan dalam berperan, dan ini menjadi ancaman
harga diri, yang pada akhirnya akan dapat mempengaruhi
kualitas hidup pasien Kwon., et al, 2006)
2.1.3.3. Model konsep kualitas hidup
Kualitas hidup sangat berhubungan dengan aspek atau
dominan yang dinilai meliputi fisik, psikologis, hubungan
sosial dan lingkungan. Model konsep mulai berkembang
kualitas hidup dari WHOQoL-Bref (The World Health
Organizatin Quality of Life- Bref) mulai berkembang sejak
tahun 1997. WHO (2004) Instrumen ini terdiri dari 26
pertanyaan yang terdiri dari 4 domain yaitu :
a. Dimensi kesehatan fisik yang terdiri di rasa nyeri, energi,
istirahat, tidur, mobilitas, kativitas, pengobatan dan
pekerjaan
b. Dimensi psikologis yangterdiri dari perasaan positif dan
negatif secara berfikir, harga diri, body image, spiritual
c. Dimensi hubungan sosial terdiri dari hubungan individu,
dukungan sosial, aktivitas seksual
d. Dimensi lingkungan meliputi sumber keuangan, informasi,
ketrampilan, rekreasi, dan bersantai, lingkungan rumah,

33

akses ke perawatan kesehatan dan sosial, keamanan fisik,


lingkungan fisik, transportasi
2.2. Keasliaan Penelitian
Berdasarkan pengetahuan peneliti melalui penelusuran jurnal didapatkan
penelitian yang mendukung penelitian yang akan dilakukan penulis, sebagai
berikut :
Tabel 2.1 Keaslian Penelitian
No.
1.

Nama Penelitian
Devrisa (2010)

Judul penelitian
Hubungan antara
inkontinensia urin
dengan derajat
depresi pada pasien
stroke

Metode
Penelitian
berbentuk
observasional
analitik dengan
pendekatan
cross sectional.
Sampel 73
orang dengan
teknik purpose
sampling ,
pengumpulan
data dilakukan
dengan
menggunakan
kuisoner yang
berpedoman
alat ukur SSI
3IQ, LMMPI
dan HRDS

Hasil
Hasil penelitian
ada hubungan
yang signifikan
anatara tingkat
inkontinensia
urin dengan
derajat depresi

34

2.

Amra Zalihic
(2010)

Gender and quality


of after cerebral
stroke

Penelitian
menggunakan
study case
control. Sampel
berjumlah 222
responden.
Pengumpulan
data
menggunakan
kuisioner
HRDS and
WHO-Bref

Hasil penelitian
menunjukan
bahwa tidak ada
perbedaan yang
signifikan antara
kualitas hidup
pasien pasca
stroke laki-laki
dengan
perempuan

3.

Fitri Arde Yani


(2012)

Perbedaan skor
kualiatas hidup
terkait kesehatan
anatara pasien stroke
iskemik serangan
pertama dan berulang

Hasil pennelitian
menunjukan
adanya
perbedaan skor
kualitas hidup
terkait kesehatan
pasien stroke
iskemik
serangan
pertama degan
pasien stroke
iskemik
serangan
berulang

Desi ismayanti
2015

Hubungan kualitas
hidup pasien stroke
dengan perawatan
diri i poliklinik saraff
rumah sakit umum
daerah DR. Zainoel
A bidin Banda Aceh

Penelitian
menggunakan
metode
analytic dengan
pendekatan
cross sectional.
Sampel 30
responden .
pengumpulan
data
menggunakan
kuisoner
Medical
Outcame Study
SF-36 (SF-36)
Penelitain
menggunakan
deskriptif
korelatif
melalui
pendekatan
cross sectional
study dengan
teknik
pengambilan
sampel
consecutive
sampling
terhadap 63
responden. Alat
pengumpulan

Hasil penelitian
menunjukan
bahwa ada
hubungan
kualitas hidup
dengan
perawatan diri
pada pasien
stroke.

35

data berupa
kuesioner yang
terdiri dari dua
bagian, yaitu
kuesioner
kualitas hidup
yang diadaptasi
dari kuesioner
WHOQoL
BREF dan
kuesioner
perawatan diri
(self care).

2.3. Kerangka Teor


Faktor resiko medis

Faktor resiko

1.
2.

Faktor lainnya

STROKE
Stroke iskemik
Stroke hemoragik

Manifestasi klinis

Biologis

Psikologi

s
Inkontinensia Urin

Kualitas hidup

1. Masalah Kesehatan
Fisik
2. Masalah Psikologis
3. Masalah Hubungan sosila
4. Masalah Hubungan lingkungan

Gambar 2.1 Kerangka Teori

36

Sumber : Feigin, 2007), (Junaidi,2011), (Pranaka,2009, (Smelzer & Bare, 2006),


(Wardhana, 2011).
2.4. Kerangka Konsep
Variabel bebas

Variabel terikat

Inkontinensia Urin

Kualitas hidup

2.2. Kerangka Konsep Penelitian

2.5. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul.
Menurut Arikunto (2010) hipotesis nol (H0) sering disebut hipotesis statistik,
karena biasanya dipakai dalam penelitian yang bersifat statistic, yaitu diuji
dengan perhitungan statistic. Hipotesis nol menyatakan tidak adanya
perbedaan antara dua variabel atau tidak adanya hubungan variabel X dengan
Y.
Menurut Arikunto (2010) hipotesis kerja (H a) sering disebut sebagai
hipotesis alternatif yang menyatakan adanya hubungan antara variabel X
dengan variabel Y atau adanya perbedaan antara dua kelompok.
Ho : Tidak ada hubungan antara Inkontinensia Urin dengan Kualitas Hidup
pada pasien Stroke di RSUD Pandan Arang Boyolali

37

Ha : Ada hubungan antara Inkontinensia Urin dengan Kualitas Hidup pasien


stroke di RSUD Pandan Arang Boyolali

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dalam penelitian
kuantitatif lebih menekankan analisisnya pada data-data numerikal
(angka) yang diolah dengan metode statistika. Pendekatan korelasional
dilakukan bila variabel-variabel yang diteliti dapat diukur secara serentak
dari suatu kelompok subjek. Desain penelitian ini adalah case control
dengan pendekatan retrospektif. Penelitian case control atau kasus
kontrol merupakan suatu penelitian (survei) analitik yang menyangkut
bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan
retrospektis.
Pada studi kasus-kontrol, observasi atau pengukuran terhadap
variabel bebas dan tergantung tidak dilakukan dalam satu waktu,
melainkan variabel tergatung (efek) dilakukan pengukuran terlebih
dahulu, baru meruntut kebelakang untuk mengukur variabel bebas (faktor
risiko). Studi kasus-kontrol sering disebut studi retrospektif karena faktor
risiko diukur dengan melihat kejadian masa lampau untuk mengetahui
ada tidaknya faktor risiko yang dialami (Saryono,2010,p.85). Desain ini
digunakan karena peneliti ingin mengetahui sejauh mana inkontinensia

38

urin dan kualitas hidup pada pasien stroke di RSUD Pandan Arang
Boyolali. Dengan melakukan penilaian langsung terhadap objek yang
diteliti dengan menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner
3.2. Populasi dan Sample
3.2.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang
ingin meneliti semua elemen yang ada dalam penelitian, maka
penelitiannya

merupakan

penelitian

populasi

(Arikunto,2010).

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien stroke yang berada RSUD
Pandan Arang Boyolali berjumlah 44 responden.
3.2.2. Sample
Sample terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan
sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sedangkan sampling adalah
poses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi
yang ada (Nursalam, 2011). Ini adalah semua pasien stroke yang berada
di RS Pandan Arang Boyolali. Pengambilan Sampel dalam penelitiam
ini menggunakan teknik purpose sampling

yaitu suatu teknik

penetapan sampel dengan cara memilih sempel diantara populasi sesuai


kriteria yang dikendaki peneliti (tujuan atau masalah dalam penelitian)
sehingga sempel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang
telah dikenal sebelumnya.
Rumus pengambilan sampel dengan menggunakan rumus baku
Taro Yamane :

39

N
n = 1+ N ( d 2)

0,05
1+44 ( 2)
44

44
1,11

= 39,6

Keterangan
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
d2= presisi yang ditetapkan
sampel yang didapat sebanyak 40 responden. Agar karakteristik
sampel tidak menyimpang dari populasinya, maka sebelum
dilakukan pengambilan sampel perlu ditentukan kriteria inklusi,
maupun eksklusi. Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang
perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil
sebagai sample. Sedangkan kriteria eksklusi adalah ciri-ciri
anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sample
(Notoatmodjo, 2012).
1.

2.

Kriteria Inklusi dalam penelitian ini adalah :


a. Pasien stroke yang menjalani rawat jalan
b. Pasien stroke yang mengalami inkontinensia urin
c. Pasien yang kooperatif
Kriteria Ekslusi dalam penelitian ini adalah :
a. Pasien yang menderita tuna rungu dan tuna wicara
b. Pasien dengan penurunan kesadaran

40

3.3. Tempat dan Waktu Penelitian


3.3.1. Tempat
Penelitian dilakukan di RSUD Pandan Arang Boyolali
3.3.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama periode Juni - Juli 2016
3.4 Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel
Variabel
independen
Inkontinensia
Urin

Variabel
dependen
Kualitas Hidup

Definisi
Opersional
Suatu kondisi
pengeluaran
atau
kebocoran
urin tanpa
disadari, tidak
terkendali,
terjadi diluar
keinginan,
dalam jumlah
dan frekuensi
yang cukup
sering.

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

Kuisioner

1.

Ordinal

Kualitas hidup
adalah kondisi
fungsional
yang meliputi
kesehatan
fisik,
kesehatan
psikologis,
hubungan
sosial dan
kondisi
lingkungan

Kuisoner
1.
Pertanyaan sebanyak
26
item
dengan
pilihan
jawaban 2.
menggunakan skala
likert
3.

Incontinence
Severity Index (ISI)
Pertanyaan terdiri 2
item,
jawaban 2.
pertama
dikalikan
jawaban kedua
3.

4.

5.

Skor 0 : tidak
mengalami
inkontinensia
urin
Skor 1-2 :
inkontinensia
urin ringan
Skor 3-6 :
inkontinensia
urin sedang
Skor 8-9 :
inkontinensia
urin parah
Skor 12 :
inkontinensia
urin
sangat
parah
Skor < 56 % :
kualitas hidup
kurang
Skor 56 -75 % :
kualitas hidup
cukup
Skor
75100%
:
kua.itas hidup
baik

Ordinal

41

3.5 Alat Pennelitian dan Cara Pengumpulan Data


3.5.1. Alat Penelitian
Alat pennelitian ini adalah kuesinor. Kuesioner adalah teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat
pertanyaan dan pertanyaan tertulis kepada responden untuk diwajab
(Wiratna,2014). Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner tertutup
dimana sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal
memilih (Arikunto,2010).
1. Kuesioner A (Kuisoner Inkontinensia Urin)
Kuesioner berisikan penampis inkontinensia urin yang berdoman
pada alat ukur Incontinence Severity Index (ISI) merupakan alat
yang menggunakan skala ordinal dimana hasil pengukuran
inkontinensia urin didapatkan dengan mengalikan skor jawaban
pertanyaan pertama dengan skor pertanyaan kedua. Hasil
pengelompokan berdasarkan total adalah sebagai berikut :
a. Skor 0 : Tidak mengalami inkontinensia urin
b. Skor 1-2 : Inkontinensia urin ringan
c. Skor 3-6 : Inkontinensia urin sedang
d. Skor 8-9 : Inkontinensiurn parah
e. Skor 12 : Inkontinensia urin sangat parah
2. Kuesioner B (Kualitas Hidup)
Kuesioner WHOQOL- BREF yang berisikan 26 pertanyaan yang
dibagi menjadi 4 dimensi yaitu dimensi kesehatan fisik, dimensi
kesehatan psikologis, dimensi hubungan sosial dan dimensi
lingkungan. Domain fisik yaitu (Q3, Q4, Q10, Q15, Q17, dan
Q18), domain psikologi yaitu (Q5, Q6, Q7, Q11, Q19, dan Q26),

42

domain hubungan social yaitu (Q20, Q2, dan Q22), dan domain
lingkungan yaitu (Q8, Q9, Q12, Q13, Q14, Q23, Q24, dan Q25).
Adapun metode pengisian angket yang akan digunakan adalah
menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif
sampai sangat negative, yang dapat berupa kata-kata antara lain:
a. Sangat buruk/sangat tidak memuaskan/tidak sama
sekali/sangat buruk/selalu diberi skor
1
b. Buruk/tidak memuaskan/sangat sering/sedikit/jarang diberi
skor
2
c. Biasa-biasa saja/dalam jumlah sedang/sedang/cukup sering
diberi skor
3
d. Baik/memuaskan/sedikit/sering kali/baik/memuaskan/jarang
diberi skor
e. Sangat
baik/sangat

4
memuaskan/dalam

jumlah

berlebihan/sepenuhnya dialami/sangat baik/tidak pernah


diberi skor

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Kuesioner Favorable Unvorable


Domain
Favorable
Unvorable
Fisik
10,15,16,17,18
3,4
Psikologi
5,6,7,11,19
26
Sosial
20,22
21
Lingkungan
8,9,12,13,14,23,24,25
Untuk menjawab masing-masing pertanyaan, responden diminta
memiih satu angka dari skala 1 sampai 5. WHOQOL-BREFF hanya
memberikan satu macam skor yaitu dari tiap masing-masing individu di
tiap dimensi. Menurut Skevington (2008), alat ukur WHOQOL-BREF
tidak memberikan skor menyeluruh yang merupakan gabungan tiap
domensi. Skor tiap dimensi yang didapat dari alat ukur WHOQOL-

43

BREFF (raw score) harus ditransformasikan sehingga nilai skor dari


alat ukur ini dapat dibandingkan dengan nilai skor yang diguakan dalam
alat ukur WHOQOL- 100 (WHO,2008). Skor tiap dimensi (raw score)
ditransformasikan dalam skala 0-100 dengan menggunakan rumus baku
yang sudah ditetapkan WHO dibawah ini :
TRANSFORMED SCORE = (SCORE 4) x (100/16)
Data gambaran kualitas hidup dideskripsikan berdasarakan
akumulasi skor dari pengisina kuesioner WHOQOL-BREF. Untuk
dapat mencapai akumulasi skor tersebut, skor yang diperoleh harus
melewati beberapa tahap. Skor dari masing-masing domain kualitas
hidup telah ditransformasikan. Hasil pengelompokan berdasarkan total
adalah sebagai berikut :
1. Skor < 56 % : kualitas hidup kurang
2. Skor 56% - 75% : kualitas hidup cukup
3. Skor 76 -100% : kualitas hidup baik
3.5.2. Cara Pengumpulan Data
Langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.
Pengurusan surat izin studi pendahulan yang dikeluarkan oleh
Program Studi S-1 Keperawatan yang ditujukan ke bagian
2.

KESBANGPOL
Surat diberikan kepada Kepala RSUD Pandan Arang Kabupaten
Boyolali agar mendapatkan persetujuan untuk memperoleh data di

3.

Rekam Medis RSUD Pandan Arang Boyolali.


Menetapkan objek penelitian dengan pemilihan sampel yaitu semua
pasien stroke yang sedang mengalami rawat inap di RSUD Pandan
Arang Boyolali.

44

4.

Peneliti memberikan penjelasan kepada calon responden tentang


penelitian dan memberikan lembar inform consent untuk menjadi

5.

responden
Melakukan pengambilan data dengan penyebaran kuesioner kepada

6.
7.

responden.
Data dari pengisian kuesioner sudah terkumpul.
Tahap terakhir peneliti membuat laporan hasil penelitian dengan
melalui pengolahan data

3.5.3. Uji Validitas dan Reliabilitas


3.5.3.1. Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang dapat menunjukan
tingkat aau kesahihan suatu instrumen (Arikunto,2006).
Dalam pennelitian ini tidak dilakukan uji validitas
dikarenakan kuesioner tentang inkontinensia urin dan
kualitas hidup merupakan pertanyaan yang baku.
1. Incontinence Severity Index (ISI)
Alat ukur variabel inkontinensia urin menggunakan alat
ukur Incontinence Severity Index yang terdiri dari 2
pertanyaan. Incontinence severity index adalah alat ukur
yang valid (0,73-0,84) (Yunizad, 2009).
2. Kualitas hidup (World Health Organization Quality of
Life Bref)
Alat ukur variabel kualitas hidup menggunakan alat ukur
WHOQOL-BREF yang terdiri dari 26 pertanyaan dan

45

merupakan pengembangan dari alat ukur WHOQOL-100.


Kedua alat ukur ini dibuat oleh tim dari World Health
Organization (WHO). WHOQOL-BREF adalah alat ukur
yang valid (r-0,889-0,95) (Sekarwiri,2008).
3.5.3.2. Reliabilitas
Reliabilitas menunjukan pada suatu pengertian bahwa
instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai
alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik.
Instrumen yang baik tidak akan bersidat tendensius,
mengarahkan

responden

memilih

jawaban-jawaban

tertentu. Apabila datanya memang benar sesuai dengan


kenyataanya, maka berapa kalipun diambil tetap akan
1.

sama hasilnya (Arikunto,2010).


Incontinence Severity Index (ISI)
Dalam penelitiantidak dilakukan

uji

reliabilitas

dikarenakan instrumen penelitian sudah baku, yaitu


Incontinence Severity Index

(ISI). skala ISI telah

dibuktikan nilai reliabilitasnya sebesar R= 0,84


(Yunizad, 2009).
2. Kualitas Hidup
Dalam peelitian ini tidak dilakukan uji reliabilitas
dikarenakan instrumen pennelitian sudah baku, yaitu
World Health Organization Quality of Life Bref
(WHOQOL BREF). Skala WHOQOL BREF telah

46

dibuktikan memiliki nilai reliabilitas sebesar R = 0,66 0,87 (Sekarwiri,2008)


3.6. Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data
3.6.1. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan proses yang snagat penting dalam
pennelitian, oleh karena itu harus dilakukan dengan baik dan
benar. Kegiatan dalam proses pengolahan data menurut Hidayat
(2007) adalah sebagai berikut:
1. Memeriksa Data (Editing)
Berfungsi untuk melengkapi kelengkapan data diantaranya
kelengkapan identitas responden atau kelengkapan lembar
kuesioner, kelengkapan pengisian kuesioner sehingga apabila
terdapat ketidaksesuaian dapat dilengkapi segera
2. Memberi Kode (Coding)
Usaha mengklasifikasikan jawaban responden

menurut

macamnya. Dalam pengkodean, semua variabel diberi kode


kemudian ditentukan tempatnya dalam coding sheet (coding
form) atau matriks. Pada penelitian ini kuesioner menggunakan
pertanyaan. Misalnya jawaban Ya diberi kode 1 dan Tidak
diberi kode 2 (Hidayat, 2007).
3. Memasukan data (Entry Data)
Tahap pemprosesan data yang dilakukan oleh peneliti dengan
memasukan data kuesioner ke dalam program komputer,
kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa
juga dengan membuat tabel kontingensi (Setiadi, 2007).
4. Tabulasi (tabulating)
Tabulating meliputi memasukan data-data hasil penelitian ke
dalam tabel sesuai kriteria yang telah ditentukan berdasarkan
kuesioner yang telah ditentukan skornya

47

3.6.2. Analisa Data


1. Analisa Univariat
Analisa univariat adalah analisa yang menganalisa tiap
variabel dari hasil penelitian. Setelah dilakukan pengumpulan
data kemudian data dianalisa mengguakan statistik deskriptif
untuk disajikan dalam bentuk tabulasi, minimum, maksimum,
dan mean dengan cara memasukan seluruh data kemudian
diolah secara statistik deskriptif untuk melaporkan hasil dalam
bentuk

distribusi

dari

masing-masing

variabel

(Notoatmojo,2010)
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat adalah analisa yang dilakukan untuk
mnegtahui keterkaitan dua variable (Wiratna, 2014). Untuk
mengetahui hubungan inkontinensia dengan kualitas hidup
pada pasien stroke di RSUD Pandan Arang Boyolali uji
korelasi Kendall Tau. Uji korelasi Dalam penelitian ini
ditentukan tingkat kepercayaan 95% atau

= 5% dengan

ketentuan :

a. Jika hitung>

maka Ho diterima dan Ha ditolak yang

berarti 0 berarti tidak hubungan ada inkontinensia urin


dengan kualitas hidup pasien stroke di RSUD Pandan Arang
Boyolali.

b. Jika hitung< maka Ho ditolak dan Ha diterima berarti


ada hubungan antara inkontinensia urin dengan kualitas
hidup pasien stroke di RSUD Pandan Arang Boyolali.

48

3.7. Etika Penelitian


Menurut (Hidayat 2007) Etika penelitian ialah etika yang
mencakup norma untuk berperilaku, memisahkan apa yang seharusnya
dilakukan dan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan, etika
penelitian dapat dibedakan menjadi beriku:
3.7.1. Informed consent (Lembar Persetujuan)
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan informan
dengan memberi lembar persetujuan menjadi informan. Tujuannya
agar informan mengetahui maksud dan tujuan peneliti serta dampak
yang diteliti selama pengumpulan data. Jika informan setuju, maka
diminta untuk menandatangani lembar persetujuan
3.7.2. Anonimity (Tanpa Nama)
Merupakan masalah etika dengan tidak memberikan nama
informan pada alat bantu pennelitian, cukup dengan kode yang
hanya dimengerti oleh penneliti
3.7.3. Confidentially (Kerahasian)
Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasian
informan yang diberikan informan. Peneliti hanya melaporkan
kelompok data tertentu saja
3.7.4. Beneficience(bermanfaat)
Peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur
penelitian guna mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksiamal
mungkin bagi subyek penelitian dan dapat digeneralisasikan di
tingkat populasi
3.7.5 Non Maleficience( tidak membahayakan)

49

Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi


subyek.Apabila intervensi penelitian berpotensi mengakibatkan
cedera atau stress tambahan maka subyek dikeluarkan dari kegiatan
penelitian untuk mencegah terjadinya cedera, kesakitan, stress,
maupun kematian subyek penelitian.
3.7.6. Justice (keadilan)
Prinsip keadilan menekankan sejauh mana kebijakan penelitian
membagikan keuntungan dan beban secara merata atau menurut
kebutuhan, kemampuan, kontribusi, dan pilihan bebas masyarakat.
Sebagai

contoh

dalam

prosedur

penelitian,

peneliti

mempertimbangkan aspek keadilan gender dan hak subyek untuk


mendapatkan perlakuan yang sama baik sebelum, selama, maupun
sesudah berpartisipasi dalam penelitian.

BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1. Analisis Univariat


4.1.1. Karakteristik responden
a. Umur responden
Distribusi responden berdasarkan umur ditampilkan dalam tabel 4.1
Tabel 4.1

50

Distribusi Karakteristik responden berdasarkan umur pada


penelitian di RSUD Pandan Arang Boyolali periode Juni - Juli
2016 (n = 40)
Umur (tahun)

Min
46

Maks
70

Rata-rata
55,87

Median
54,50

Tabel 4.1 umur respondenn paling tinggi adalah 70 tahun, dan umur
paling rendah adalah 46 tahun.
b. Jenis kelamin
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin ditampilkan dalam
tabel 4.2
Tabel 4.2
Distribusi Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin pada
penelitian di RSUD Pandan Arang Boyolali periode Juni - Juli
2016 (n = 40)
Jenis kelamin
Laki -laki
Perempuan
Jumlah

Jumlah
23
17
40

%
57,5
42,5
100,0

Tabel 4.2 menunjukkan mayoritas responden penelitian


adalah laki-laki 57.5%.
c. Pendidikan
Distribusi responden berdasarkan pendidikan formal terakhir yang
disesaikan ditampilkan dalam tabel 4.3
Tabel 4.3
Distribusi Karakteristik responden berdasarkan pendidikan terakhir
pada penelitian di RSUD Pandan Arang Boyolali periode Juni - Juli
2016 (n = 40)
Pendidikan
Tidak tamat SD
Dasar
Menengah
Tinggi
Total

Jumlah
11
11
16
2
40

%
27,5
27,5
40,0
5,0
100,0

Tabel 4.3 diketahui sebagian besar responden berpendidikan


menengah sebesar 40.0%.
d. Inkontinensia Urin pasien stroke
Tabel 4.4

51

Penilaian Inkontinensia urin pasien stroke pada penelitian di


RSUD Pandan Arang Boyolali periode Juni - Juli 2016
(n = 40)
Inkontinensia urin pasien stroke
Tidak mengalami inkontinensia urin
Ringan
Sedang
Parah
Sangat parah
Total

Jumlah
0
13
26
1
0
40

%
0
32,5
65,0
2,5
0
100,0

Tabel 4.4 diketahui sebagian besar responden mengalami


Inkontinensia urin kategori

sedang sebesar 65,0 %, sedangkan

responden yang tidak mengalami mengalami inkontinensia urin dan


inkontinensia urin kategori sangat parah tidak ditemukan dalam
penelitian ini.
e. Kualitas hidup pasien stroke
Tabel 4.5
Kualitas hidup pasien stroke pada penelitian di RSUD Pandan
Arang Boyolali periode Juni - Juli 2016
(n = 40)
Kualitas hidup pasien stroke
Baik
Cukup
Kurang
Total

Jumlah
0
23
17
40

%
0
57,5
42,5
100,0

Tabel 4.5 diketahui sebagian besar responden mempunyai


kualitas hidup kategori cukup sebesar 57.5%, sedangkan responden
dengan kualitas hidup kategori kurang sebesar 42.5%. Responden
dengan kualitas hidup kategori baik tidak ditemukan dalam penelitin
ini.
4.2. Analisa Bivariat

52

Analisis hubungan antara inkontinensia urin dan kualitas hidup pada


pasien stroke menggunakan uji korelasi Kendall Tau. Hasil analisis hubungan
antara inkontinensia urin dan kualitas hidup pada pasien stroke ditampilkan
dalam table 4.6

Table 4.6
Hubungan Inkontinensia Urin dengan Kualitas Hidup pada Pasien
Stroke di RSUD Pandan Arang Boyolali Periode Juni Juli 2016
(n4=40)
Inkontensia
Urin

Sangat parah
Parah
Sedang
Ringan
Tidak
inkontensia
Total

Kualitas hidup
F
0
0
0
0
0
0

Baik
%
0
0
0
0
0
0

Total

Cukup
%
0
0
0
0
11
27,5
12
30
0
0

Kurang
%
0
0
1
2.5
15
37.5
1
2,5
0
0

F
0
1
26
13
0

%
0
2.5
65
32,5
0

23

17

40

100

57,5

42.5

P- Value
0,001

-0,411

Tabel 6 Hasil diketahui nilai korelasi -0,411 dengan nilai


probabilitas atau taraf kesalahan 0,001 lebih kecil dari (0,05), maka Ho
ditolak, sehingga ada hubungan antara inkontinensia urin dan kualitas
hidup pada pasien stroke di RSUD Pandan Arang Boyolali. Berdasarkan
nilai koefisien korelasi sebesar -0,411 termasuk dalam kategori hubungan
yang sedang.

53

BAB V
PEMBAHASAN
5. 1 Karakteristik Responden
5.1.1 Umur
Berdasarkan hasil penelitian umur responden diketahui, rata-rata
umur adalah 55,8 tahun menunjukkan bahwa responden yang
mengalami stroke sudah termasuk dalam kategori lansia awal,
sedangkan manula pada usia diatas 60 tahun dengan umur tengah dari
40 responden adalah 54.5 tahun. Penelitian Stoddart (2006) ditemukan
bahwa responden yang mengalami inkontinensia urin berumur sekitar
50-65 tahun, tetapi yang paling banyak adalah pada umur -54 tauhun.
Menurut Lase (2011) kualitas hidup dipengaruhi faktor umur, semakin
tua akan mengalami kelemahan dan ketidakmampuan sehingga
mempengaruhi kualitas hidup. Menurut Morton, (2011) umur
dikategorikan sebagai faktor risiko terjadinya stroke dan masuk dalam
kelompok faktor yang tidak dapat diubah. Semakin tua umur
seseorang akan semakin mudah terkena stroke. Insiden stroke
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penelitian Sofyan
(2012) yang meneliti mengenai hubungan umur, jenis kelamin, dan
hipertensi dengan kejadian stroke di rawat inap di Ruang Teratai RSU
Provinsi Sulawesi Tenggara diketahui dari 77 responden, 67,5%
5.1.2

berumur di atas 55 tahun.


Jenis Kelamin
Dari hasil penelitian 57,5% responden adalah laki-laki dan 42,5%
responden

perempuan yang mengalami inkontinensia urin. Pada

54

penelitian Bustan (2007) 75% perempuan megalami inkontinensia


urin hasilnya lebih besar dari pada laki-laki. Penelitian Santoso (2008)
mengatakan kualitas hidup seseorang perempuan lebih buruk dari
pada laki-laki. Dari hasil penelitian 57.5% responden adalah laki-laki.
Menurut Pinzon (2010) jenis kelamin merupakan salah satu faktor
resiko terjadinya stroke. Jenis kelamin laki-laki mudah terkena stroke,
hal ini dikarenakan lebih tingginya angka kejadian faktor resiko stroke
misalnya hipertensi dan merokok. Penelitian Ramadany (2013)
diketahui dari 66 responden penelitian 59,9% adalah pasien laki-laki
yang mengalami stroke iskemik dengan riwayat diabetes mellitus di
RSUD Dr. Moewardi.
Berdasarkan hasil peneltian diketahui bahwa banyak responden
laki-laki yang menjadi pasien stroke rawat jalan di RSUD Pandan
Arang Boyolali menunjukkan bahwa pasien laki-laki dengan stroke
masih dapat
5.1.3

melakukan aktivitas sehari-hari meskipun dengan

keterbatasan walaupun kualitas hidupnya menurun.


Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitain 40% responden berpendidikan
menengah. Menurut Notoadmojo (2007) tingkat pendidikan individu
sangat berperan dengan pengetahuan mereka tentang kesehatan,
dimana pendidikan dapat mempengaruhi perkerjaan dan pendapatan.
Rendahnya tingkatan pendidikan akan menyebabkan kurangnya
informasi kesehatan yang akan dia dapatkan, sehingga menyebabkan
pengetahuan tentang kesehatan juga kurang. Penelitian Kuper (2006)
ditemukan bahwa ada perbedaan yang bermakna terutama dalam

55

tingkat pendidikan untuk terjadinya risiko stroke iskemik di kota


Swedia. Menurut peneliti responden dengan tingakat pendidikan
menengah dapat mempengaruhi pengetahuan tentang inkontinensia
urin, kualitas hidup pada penyakit stroke
5.2. Inkontinensia Urin Pasien Stroke
Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar responden
mengalami inkontinensia urin kategori

sedang sebesar 52.5%.

Kategori sedang tersebut mencerminkan bahwa setidaknya responden


masih belum mampu menahan berkemih setidaknya sebulan sekali
ataupun mengalami beberapa kali dalam sebulan. Setiap kali
responden berkemih urin yang keluar dalam kondisi menetes ataupun
berupa percikan urin. Penelitian Puspitaningrum (2015) menjelaskan
dari 38 responden, 13 orang (32%)

Tidak tidak

mengalami

inkontensia urin dan lebih dari 60% belum dapat menahan berkemih
di Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta Unit Budi Luhur Kasongan
Bantul.
Berdasarkan penelitian ini bahwa masih banyak responden yang
masih mengalami inkontensia urin karena kelemahan, keterbatasan
fungsional, ketidakmampuan, keterhambatan yang dialami bersama
kemunduran akibat proses menua dan responden mengalami kelainan
neurologis

seperti

kerusakan

pada pusat

miksi sehingga akan

menimbulkan gangguan dari fungsi kandung kemih.


5.3 Kualitas hidup Pada Pasien Stroke
Berdasarkan hasil penelitan diketahui 42.5% responden mempunyai
kualitas hidup kategori kurang sedangkan 57.5% responden dengan kualitas
hidup kategori cukup. Kurang atau rendahnya kualitas hidup respoden ini

56

dapat digambarkan bahwa proses menurunnya kemampuan menahan


berkemih secara baik atau mengalami

inkontensia urin

mengakibatkan

terganggunya aktivitas sehari-hari yang dilakukannya. Hasil penelitian


Handayani (2009) menjelaskan adanya perubahan aktivitas sehari-hari, pola
komunikasi, aktivitas kerja, hubungan sosial, istirahat dan rekreasi serta
kondisi psikologis pada penderita dan keluarga pasca stroke. Aspek-aspek
tersebut merupakan indikator atau ukuran yang menunjukkan adanya
penurunan kualitas hidup pada penderita dan keluarga pasca stroke.
Hasil penelitian kepada responden yang berkunjung di RSUD pandan
Arang Boyolali diketahui cenderung tidak aktif berkomunikasi baik dengan
keluarga maupun tenaga kesehatan.

Hal ini dimungkinkan karena

keterbatasan kemampuan dalam beraktivitas termasuk berbicara karena


merasa sulit berbicara secara lancar.
5.4. Hubungan antara Inkontinensia Urin dan Kualitas Hidup Pada Pasien
Stroke di RSUD Pandan Aran Boyolali
Berdasarkan hasil analisis statistik disimpulkan ada hubungan antara
inkontinensia urin dan kualitas hidup pada pasien stroke di RSUD Pandan
Arang Boyolali dengan nilai

= -0,411 Hubungan antara variable

inkontinensia urin dengan variable kualitas hidup menunjukkan hubungan


yang berbanding terbalik, artinya responden yang mengalami inkontinensia
urin kategori ringan cenderung mempunyai kualitas hidup yang lebih baik
dibanding responden yang mengalami inkontinensia urin kategori kategori
sedang maupun berat mempunyai kualitas hidup yang kurang.

57

Inkontinensia urin salah satu dari beberapa komplikasi yang


disebabkan oleh penyakit stroke (Geri, 2009). Pranaka (2009) menyatakan
ketidakmampuan untuk menahan kencing baik saat beraktivitas maupun
pada saat tidur menjadikan rasa tidak nyaman pada diri

responden.

Tuenissen (2006) menyatakan bahwa salah satu dampak dari inkontinensia


urin adalah timbulnya masalah kesehatan fisik, kerusakan kulit, dan
menyebabkan masalah psikososial seperti rasa malu, isolasi, dan menarik
diri dari pergaulan. Dengan adanya ketidak mampuan menahan dalam
berkemih (kencing) dapat mengakibatkan

respon emosi seperti malu.

Timbulnya rasa malu mengakibatkan responden membatasi kontak sosial


dengan lingkungan sekitar. Ungkapan rasa emosi melalui rasa malu dan
memilih untuk diam. Perasaan malu pada responden lebih diakibatkan oleh
perubahan penampilan fisik dan keterbatasan fungsional.
Craven dan Hirnle (2007) menyatakan responden yang mengalami
inkontinensia urin merasa tidak nyaman apabila bertemu dengan orang lain.
Rasa malu dan tidak percaya diri menjadikan responden merasa tidak puas
atas kehidupan yang dijalaninya saat ini. Abu bakar (2012) mengatakan
pasien stroke banyak mengalami kemunduran dalam interaksi sosial, dan
mengalami depresi sebagai akibat ketidakmapuan dalam beraktivitas seperti
makan, mandi, berpakaian dan berpindah ke tempat tidur.
Sarafino (2006) menjelaskan bahwa keluarga merupakan

support

sistem utama bagi pasien dalam mempertahankan kesehatannya. Dukungan


yang berasal dari keluarga juga merupakan unsur terpenting dalam
membantu individu menyelesaikan masalah atau kegiatan sehari-hari,

58

seperti permasalahan lain yang mungkin muncul dapat berasal dari aspek
sosial dan aspek psikologis atau emosional.
mengganti

Bantuan keluarga dalam

popok (pampers) ataupun melakukan bantuan mandi

pada

pasien dapat membantu peningkatan kepercayaan diri selama menderita


stroke.
Knonc (2006) mengatakan menunjukkan 75% responden yang
memiliki dukungan keluarga kurang baik sehingga kualitas hidup pasien
stroke di instalasi rawat inap bedah RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang juga menjadi kurang baik. Penelitian Vigod (2006) mengatakan
inkontinensia urin yang berkepanjangan dengan dampak yang dibawanya
menyebabkan kualitas hidup menurun.

Berdasarkan hasil penelitian

inkontinensia urin pada pasien stroke di RSUD Pandan Arang Boyolali


menunjukkan bahwa responden merasa minder, dan malu bukan hanya
perubahan fisik yang terjadi namun adanya gangguan inkontensia urin yang
menjadikan responden merasa dapat mengganggu lingkungan sekitar
dengan kehadiran responden. Bau urin yang mungkin tercium oleh orang
lain menjadikan rasa sungkan atau tidak nyaman saat responden berinteraksi
seperti dengan tetangga.

BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
1. Sebagian besar pasien stroke di RSUD Pandan Arang Boyolali berumur
55.87 tahun, berjenis

kelamin

laki-laki. sebagian besar responden

berpendidikan menengah.
2. Sebagian besar responden mengalami Inkontinensia urin kategori sedang
sebesar 65%
3. Sebagian besar responden mempunyai kualitas hidup kategori cukup
4. Ada hubungan antara inkontinensia urin dan kualitas hidup pada pasien
stroke di RSUD Pandan Arang Boyolali dengan nilai p = 0,001
1.

6.2 Saran
Bagi Rumah Sakit
Diperlukan peningkatan pelayanan yang lebih baik lagi terutama
dalam hal pemberian informasi dan komunikasi, pendidikan kesehatan,
dengan pasien. Hal ini menjadi sangat penting mengingat dalam
penelitian ini terbukti bahwa penurunan kualitas hidup pasien lebih
terjadi sebagai akibat dari gangguan inkontensia urin. Untuk menjaga
kualitas hidup pasien peran pendidikan kesehatan menjadi sangat
penting. Pendidikan dan latihan bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman proses penyakit, penanganan dan perubahan-perubahan
pola hidup yang sesuai seperti memberikan paelatihan senam kegel
untuk mengurangi inkontensia urin.

59

60

2. Bagi Institusi Pendidikan


3.
Memberikan dan memperkaya ilmu keperawatan medikal
bedah dalam menggunakan skor inkontinensia urin dan kualitas hidup.
4. Bagi peneliti selanjutnya
5.
Perlu diadakannya penelitian lebih lanjut tentang
inkontinensia urin dan kualitas hidup pada pasien stroke seperti
memberikan pendidikan kesehatan dan pelatihan senam kegel.
6.

Você também pode gostar