Você está na página 1de 14

ARTIKEL

TENTANG
HUKUM MATI PANCUNG

DISUSUN OLEH:
1.SATRIA EDY WIBOWO (151020200009)

UNTUK MEMENUHI MAKUL AIK 2


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah
SWT. Karena rahmatnyalah kita masih diberi kehidupan yang sejahtera.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada jungjungan besar
kita Habibana Wanabiyana Muhammad SAW, karena binmbingannyalah
kita bisa berjalan pada jalan yang diridoi Allah SWT.Dan saya
mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang senantiasa
memberikan dukungan nya serta doanya.
Dan tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada Dosen AIK 2
TEKNIK MESIN IBU ANIS FARIHAH,yang telah memberikan arahannya
sehingga artikel ini bisa diselesaikan pada waktu yang telah
ditetukan.Mudah-mudahan dengan telah selesainya artikel ini dapat
bermanfaat kususnya bagi saya sendiri dan umunya bagi mahasiswa dan
mahasiswi yang sedang mencari pendidikan di perguruan tinggi
Indonesia.
Dan mudah-mudahan dapat memberikan pengaruh yang positif
sehingga generasi penerus bangsa ini menjadi ebih paham dan bermoral
dan juga menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negara.
Terima kasih

PENYUSUN
Sidoarjo,30 Mei
2016

BAB 1 PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sekarang ini banyak kita dengar berita tentang adanya kriminalitas
yang terjadi.Semakin lama pelaku kriminal ini semakin menjadi jadi.khusus nya di
daerah ibukota.Mereka seakan akan tidak jera akan ulah yang telah dilakukan bahkan
malah menjadi contoh dan panutan orang untuk melakukan hal yang sama.Untuk itu
perlu adanya tindakan yang keras dalam bentuk hukuman ataupun kurungan bahkan
hukuman mati/pancung sesuai syariat islam perlu untuk menghakimi dan membuat
jera akan tindakan yang di lakukan oknum oknum tidak bertanggung jawab seperti
itu.

TUJUAN
1. UNTUK MENGETAHUI SEJARAH HUKUMAN PANCUNG.
2. UNTUK MENGETAHUI HUKUM YANG DI AJARKAN OLEH
ISLAM.

Sejarah Hukum Pancung


Hukuman pancung memiliki sejarah yang sangat panjang dan sulit
diperkirakan asal usulnya, karena seperti hukuman gantung, hukuman pancung
merupakan metode hukuman mati yang murah dan praktis, dimana eksekusi hanya
membutuhkan sebilah pedang atau sebuah kapak saja.
Di Inggris ada anggapan, bahwa hukuman pancung merupakan hak istimewa
para pria terhormat. Hukuman pancung ini akan membedakan seseorang dari
terdakwa lainnya yang dihukum dengan cara yang tidak terhormat (keji), yaitu
dengan dibakar secara hidup-hidup di atas tumpukan kayu.
Hukuman pancung secara luas digunakan di Eropa dan Asia sampai abad ke20. Dan saat ini, hanya Arab Saudi dan Iran yang masih menggunakan metode
hukuman mati seperti ini. Qatar dan Yaman pun sebenarnya melegalkan hukuman
mati dengan metode seperti ini, namun sampai saat ini belum ada eksekusi dengan
metode ini yang dilaporkan.
Hukuman pancung berlaku di Inggris sampai dengan tahun 1747 dan
merupakan metode hukuman mati standar di Norwegia sampai saat dihapuskan pada
tahun 1905, Swedia (sampai tahun 1903), Denmark (sampai tahun 1892), dan
digunakan untuk beberapa kelas tahanan di Prancis (sampai penggunaan Guillotine di
tahun 1792), serta di Jerman sampai dengan tahun 1938. Semua negara-negara Eropa
yang sebelumnya menggunakan hukuman pancung, sekarang telah benar-benar
menghapuskan metode hukuman mati dengan cara ini.
Eksekusi Hukuman Pancung
Pada hukuman pancung, terdakwa yang akan dieksekusi biasanya ditutup matanya,
sehingga mereka tidak dapat melihat pedang atau kapak yang datang menebas leher
mereka, agar mereka tidak dapat menghindar atau mengelak.

Terkadang, dibutuhkan seorang asisten algojo untuk memegang rambut terdakwa


yang akan dieksekusi, guna mencegah mereka agar tidak bergerak. Hasil eksekusi
hukuman pancung adalah pendarahan ekstrim, seperti ledakan darah dari arteri dan
vena yang terputus dari leher.
Hukuman pancung dapat dikatakan sebagai metode eksekusi yang manusiawi, jika
dilakukan dengan benar, dimana hanya dibutuhkan cukup satu tebasan untuk
memenggal kepala. Namun, karena otot dan tulang leher yang alot dan sulit dipotong,
hukuman pancung biasanya memerlukan lebih dari satu tebasan pedang.
Kesadaran mungkin akan hilang dalam waktu 2-3 detik, karena suplai darah ke otak
hilang secara cepat. Orang yang dieksekusi akan meninggal, karena otak tidak
mendapat suplai darah dan oksigen, serta perdarahan dan kehilangan tekanan darah
dalam waktu kurang dari 60 detik. Kematian juga terjadi karena pemisahan otak dan
sumsum tulang belakang, selain karena perdarahan besar-besaran yang terjadi.
Sering terjadi dimana mata dan mulut orang yang di eksekusi menunjukkan tandatanda gerakan. Hal ini dapat terjadi, karena otak manusia memiliki cadangan oksigen
yang cukup untuk metabolisme cadangan dan dapat dipakai untuk bertahan selama
sekitar 7 detik setelah kepala terputus.
Kisah Para Algojo Pancung
Algojo pancung bertugas untuk mencabut nyawa terpidana mati. Di Arab Saudi,
terdapat sekitar enam algojo yang ditunjuk langsung oleh Pemerintah Arab Saudi,
untuk melakukan eksekusi pancung ini.
Abdallah bin Said al-Bishi adalah salah satu algojo pancung yang paling masyhur.
Abdallah memulai tugas pertamanya pada tahun 1991, sepekan setelah ayahnya, Said
al-Bishi wafat.

Umurnya waktu itu 32 tahun. Ia sempat terkejut setelah beberapa pejabat dari
Kementerian Dalam Negeri menunjukkan surat pengangkatannya sebagai algojo. Hari
pertama, ia langsung memancung tiga orang.
Dengan pedang bernama "Sultan" warisan ayahnya, ia mengaku gugup saat pertama
memenggal kepala orang. Pedang Sultan berbentuk melengkung seperti bulan sabit
dengan panjang setengah meter. Hingga kini, ia mengaku telah memancung lebih dari
100 kepala.
Untuk memuluskan tugasnya, Abdallah hanya memakai pedang produksi Jowhar,
karena terbuat dari besi keras yang tidak mudah patah dan memang khusus untuk
memancung kepala orang.
Jowhar adalah sebuah kota kecil di Somalia, sekitar 90 kilometer sebelah utara Ibu
Kota Mogadishu. Cara memenggal pun ada dua, yaitu dengan cara horizontal dan
vertikal. Masing-masing memerlukan pedang khusus. Ia menyebut "Qaridha" sebagai
pedang spesialis pancung dengan cara vertikal.
Abdallah mengatakan tidak merasa berbeda saat akan memancung lelaki atau
perempuan. Bahkan, ia mengaku pernah memenggal kepala teman-temannya yang
menjadi terpidana mati. "Perbedaannya, kadang pria (yang akan dipenggal) tidak bisa
mengendalikan kegelisahannya, sehingga bingung duduk atau berdiri. "
Selain memenggal kepala, Abdallah juga melaksanakan hukuman potong tangan atau
kaki. Bedanya, kalau pancung korban tidak dibius sama sekali, sedangkan potong
tangan atau kaki dibius lokal.

HUKUM PANCUNG DALAM FIQIH ISLAM


Syariat Islam mengatur hukuman atas kejahatan terhadap fisik yang disebut
dengan hukum Jinayat. Diantaranya ada kejahatan terhadap fisik yang dihukum
qishash (hukuman serupa dengan kejahatan yang dilakukan) seperti kejahatan
mematahkan gigi dan pembunuhan (jika keluarga korban tidak memaafkan), dan ada
pula yang tidak dihukum qishash melainkan dengan membayar diyat (tebusan sebesar
100 onta atau 1000 dinar) seperti kejahatan memotong anggota tubuh selain gigi
dengan ketentuan-ketentuan yang ada.

Hukum Qishash pada pembunuhan ditetapkan oleh Allah swt sebagai hifzh an-nafs
(menjaga jiwa), sebagaimana firman-Nya:

]
/

dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orangorang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. Al-Baqoroh [2]: 179)

Artinya, penerapan hukuman qishash bagi siapa-siapa yang melukai dan membunuh
orang lain akan berdampak menjaga keamanan setiap jiwa yang berada di bawah
naungan hukum Islam ini. Seseorang tidak bisa dengan sesuka-hatinya melukai atau
membunuh sesamanya karena berkonsekwensi akan dihukum qishash, sebab
hukuman tersebut memiliki aspek zawjir (menimbulkan aspek jera) dimana
pelaksanaannya dilakukan di hadapan umum, selain juga memiliki aspek jawbir
(mengampuni si pelaku dari hukuman di akhirat), aspek terakhir ini yang tidak
dimiliki oleh hukum manapun selain hukum Islam. Berdasarkan sabda Nabi saw :



( ) .
Dari Ubadah bin Shamit ra, beliau berkata: suatu ketika kami bersama Rasulullah saw
dalam sebuah majlis, kemudian Beliau bersabda: berbaiatlah kalian kepadaku untuk
tidak menyekutukan Allah SWT dengan suatu apa pun, tidak berzina, tidak mencuri,
tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan (jalan yang)
benar. Siapa diantara kalian yang memenuhinya maka pahalanya dari Allah swt, dan
siapa yang melanggarnya kemudian dihukum (di dunia) maka hukuman tersebut
sebagai tebusan baginya (untuk hukuman di akhirat). Dan siapa yang melanggarnya
kemudian Allah tutupi (dari hukuman di dunia), maka keputusannya di tangan Allah
swt, jika Dia menghendaki akan mengampuninya, dan jika menghendaki akan
menghukumnya. (HR. Al-Bukhori dan Muslim, dengan lafazh milik Muslim)

Hukuman qishash ini berperan sebagai pelengkap dari larangan Allah SWT untuk
membunuh sesama muslim, misalnya di dalam firman-Nya:
*


*
[ ]
*
dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan)
yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu,
niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (yakni) akan dilipat gandakan azab
untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan
terhina. kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh;
Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. dan orang-orang yang bertaubat dan
mengerjakan amal saleh, Maka Sesungguhnya Dia bertaubat kepada Allah dengan
taubat yang sebenar-benarnya. (QS. Al-Furqon [25]: 68-71)

Hanya saja hukuman qishash tersebut tidak bisa dilakukan secara sembarangan,
melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan berikut:

1. Kepastian pelaku pembunuhan


Hal ini bisa diperoleh dari persaksian dua orang laki-laki yang meyakinkan dan tidak
diingkari oleh terdakwa, atau dengan pengakuan oleh terdakwa sendiri yang tidak
dalam kondisi mabuk, gila, atau dibawah tekanan orang lain. Mengingat prinsip
penjatuhan sanksi dalam Islam adalah:


)
Dari Aisyah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: hindarkanlah oleh kalian hukuman
hudud dari kaum muslimin sebisa mungkin, jika ada suatu peluang baginya (untuk
bebas) maka bebaskanlah ia, (karena) sungguh seorang Imam/Khalifah salah dalam
memaafkan itu lebih baik daripada salah dalam menghukum. (HR. Turmudzi dan AlBaihaqi)

Adapun jika terdakwa mengingkari kesaksian dua saksi tersebut tadi, maka bagi
terdakwa untuk bersumpah atas pengingkarannya tersebut.

( ) .
Dari Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw pernah
berkata dalam sebuah khuthbahnya: atas pendakwa untuk mendatangkan bayyinah
(saksi), dan atas terdakwa untuk bersumpah (jika mengingkari dakwaan atas
dirinya). (HR. At-Turmudzi)

2. Keluarga yang tidak memaafkan


Jika keluarga memaafkan, maka hukuman qishash tidak boleh dilaksanakan,
melainkan diganti dengan pembayaran diyat yang dilakukan oleh pelaku kepada
keluarga korban. Namun jika keluarga korban tidak memaafkan, maka hukuman tidak
disegerakan akan tetapi diulur untuk beberapa waktu sesuai pendapat hakim/qadhi,

jika saja dengan penguluran tersebut keluarga korban berubah pikiran untuk
memaafkan, karena mereka memiliki hak untuk itu. Allah swt berfirman:





]
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. Al-Baqoroh [2]: 178)

Artinya, qishash tidak dilakukan bila yang membunuh mendapat maaf dari ahli waris
yang terbunuh. Yaitu dengan membayar diyat. Pembayaran diyat hendaknya diminta
dengan baik (misal tidak memaksa), dan pelaku hendaklah membayarnya juga dengan
baik (misal tidak menangguh-nangguhkannya). Bila ahli waris si korban sesudah
Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini tetap membunuh si pembunuh setelah
menerima diyat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia
mendapat siksa yang pedih.

3. Keputusan ditetapkan oleh hakim atau qadhi yang syari


Penerapan hukuman qishash sebagaimana hudud, harus berdasarkan keputusan
peradilan yang syari, tidak boleh dilakukan secara parsial atau sembarangan.

Peradilan yang syari adalah jika yang memutuskan hukuman adalah seorang
Khalifah atau Imam di mahkamah. Hal ini sudah maklum di kalangan ulama. Imam
Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) menyatakan dalam kitab beliau Mafth Al-Ghayb f
At-Tafsr:









Umat Islam telah bersepakat bahwa tidak ada seorang pun rakyat yang boleh
menerapkan Hudud terhadap para penjahat, bahkan mereka juga bersepakat bahwa
penerapan Hudud terhadap para penjahat merdeka tidak boleh dilakukan kecuali atas
wewenang Imam/Khalifah. Maka, ketika taklif ini (penerapan Hudud) bersifat
pasti/harus dan tiada jalan keluar dari taklif tersebut selain dengan keberadaan Imam,
mengingat sesuatu yang kewajiban tidak terlaksana tanpanya sedangkan ia dimampui
oleh mukallaf hukumnya adalah wajib, maka itu mengharuskan secara pasti wajibnya
mengangkat Imam/Khalifah. (Mafth Al-Ghayb f At-Tafsr, vol 11, hlm 181)
Atau boleh ditetapkan oleh qodhi (hakim) yang diangkat dan diberi kewenangan oleh
Khalifah, pengangkatan ini adalah syarat sah peradilannya. Artinya, tanpa
pengangkatan oleh Khalifah seseorang tidak bisa metahbiskan dirinya sebagai qodhi,
dan keputusannya tidak sah, tidak ada perbedaan ulama dalam hal ini. Dikatakan oleh
Ibn Rusyd dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid sebagai berikut.

dan tidak ada perbedaan ulama terkait bolehnya peradilan (secara langsung) oleh AlImam Al-Azham (sebutan lain Khalifah), dan pengangkatannya atas qodhi
merupakan syarat bagi sahnya peradilannya. Tidak ada perbedaan pendapat yang aku

ketahui di dalamnya. (Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, vol II, hlm 461)
Sampai di sini bisa dipahami bahwa penerapan hukuman qishash hanya bisa
dilaksanakan dalam sistem pemerintahan Islam atau Khilafah, karena satu-satunya
yang memiliki kewenangan adalah khalifah, baik dilakukan sendiri atau mengangkat
qadhi untuk membantunya. Oleh karenanya, qodhi yang diankat oleh selain khalifah
pada hakikatnya bukan qodhi yang syari, dan keputusan hukumnya tidak sah untuk
dijalankan.
Pada point inilah, terbukti bahwa peradilan yang berlangsung di Arab Saudi bukan
peradilan yang sah menurut syara. Karena qadhi yang ada bukan qadhi yang syarii
yang sah peradilannya, meskipun yang mereka gunakan adalah hukum Islam.
Sebagaimana rakyat biasa yang tidak sah hukumnya menerapkan hadud dan jinayat
pada sesamanya, meski mereka beralasan menggunakan hukum Islam. Ini sematamata karena mereka tidak memiliki wewenang untuk itu dan tidak diserahi wewenang
untuk itu oleh Khalifah. Jalan satu-satunya untuk menerapkan hukum tersebut sesuai
dengan tuntunan syara adalah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ar-Rozi diatas,
yaitu dengan mengangkat seorang Khalifah dan hukumnya wajib. Jadi dalam
pandangan Islam, hakim yang diangkat oleh rakyat melalui perwakilannya dalam
sistem demokrasi atau hakim yang diangkat oleh raja dalam sistem kerajaan adalah
tidak sah, untuk selanjutnya ketetapan hukuman yang dihasilkannya adalah bathil.

Hal lain yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam kasus Ruyati ini adalah,
menurut kronologi yang dihimpun oleh detik.com, Minggu (19/6/2011), diungkapkan
bahwa Ruyati membunuh majikannya lantaran majikannya telah menganiaya dirinya.
Penganiayaan ini seharusnya sudah masuk dalam peradilan jika memang peradilan
tersebut adalah peradilan Islam, tanpa mempedulikan apakah yang melakukan
majikan atau bukan. Jika hukum Islam yang ini dipenuhi maka tidak perlu lagi bagi

Ruyati untuk bertindak sendiri membalas kekejaman majikannya, ini membuktikan


bahwa penerapan hukum Islam di Arab Saudi adalah pincang selain sudah terbukti
bathil sebagaimana dijelaskan di atas. Semoga dosa yang dilakukan oleh almarhumah Ruyati diampuni oleh Allah SWT, dan hukuman tersebut menjadi penebus
bagi hukumannya di akhirat kelak, bukan karena kesyariiyannya tapi karena
kezaliman hukum kerajaan Arab Saudi. Jika ingin menambah fakta ketidak
syariyyan Negara Saudi Arabia, bisa merujuk pada kitab Al-Adillah Al-Qthiyyah
al Adami Syariyyati Ad-Duwailati As-Sudiyyah (bukti-bukti meyakinkan atas
ketidak syariyyan negara Arab Saudi), karya Muhammad bin Abdillah Al-Masariy.

Você também pode gostar