Você está na página 1de 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan
keterlibatan mekanisme sistem imun. (2)
Reaksi alergi yang terjadi ini diprovokasi oleh protein yang ada dalam susu sapi.
Susu merupakan protein yang spesifik untuk tiap spesiesnya, karenanya protein
dalam susu sapi memang sesuai untuk usus sapi, tetapi belum tentu sesuai
dengan usus manusia. Bagi kebanyakan bayi, protein susu sapi merupakan
protein asing yang pertama kali dikenalnya saat ia mendapat susu formula. (1)
2.2 Prevalensi Dan Insidensi
Dalam survei nasional ahli alergi anak, tingkat prevalensi alergi susu sapi
dilaporkan 3,4% di Amerika Serikat. Sedangkan di Denmark, pada studi kohort
dari 1.749 bayi baru lahir dari pusat Kota Odense yang dimonitor secara
prospektif untuk pengembangan intoleransi terhadap protein susu sapi selama
tahun pertama kehidupan, dilaporkan besarnya insidensi dalam 1 tahun adalah
2,2%. (6)
Sebuah penelitian prospektif menunjukkan bahwa 42% bayi yang mengalami
gejala akibat intoleransi protein susu sapi terjadi dalam waktu 7 hari (70% dalam
waktu 4 minggu) setelah pemberian susu sapi. Intoleransi protein susu sapi telah
didiagnosis pada 1,9-2,8% dari populasi umum bayi berumur 2 tahun atau lebih
muda di berbagai negara di Eropa bagian utara, namun kejadian turun menjadi
sekitar 0,3% pada anak-anak yang berusia lebih dari 3 tahun. (6)
2.3 Patofisiologi Dan Manifestasi Klinis
Protein susu sapi adalah salah satu dari alergen utama yang terlibat dalam
kedua jenis alergi, dan diagnosis yang tepat sangat penting untuk manajemen
yang tepat. (5) Susu sapi mengandung lebih dari 20 fraksi protein. Dalam dadih,
dapat diidentifikasi 4 kasein (yaitu, S1, S2, S3, S4) yang jumlahnya sekitar 80%
dari protein susu. 20% protein sisanya, pada dasarnya adalah protein glubular
(misalnya, laktoalbumin, lactoglobulin, bovine serum albumin), yang terkandung
dalam air dadih. Kasein sering dianggap kurang imunogenik karena strukturnya
yang fleksibel, tidak padat. Secara historis, lactoglobulin merupakan alergen
utama dalam intoleransi protein susu sapi. Namun, polisensitisasi beberapa
protein terjadi pada sekitar 75% dari pasien dengan alergi terhadap protein susu
sapi.(6)

PROTEIN COMPONENT
MOLECULAR WEIGHT (kD)
PERCENTAGE OF TOTAL PROTEIN
ALERGINISITAS
STABILITY IN THE TEMPERATURE 100 C
-lactoglobulin
18.3
10
+++
++
Casein
20-30
82
++
+++
-lactalbumin
14.2
4
++
+
Serum albumin
67
1
+
+
Immunoglobulins
160
2

+
Tabel 2.1 Karakteristik komponen protein pada susu sapi.(2)
Anak-anak adalah kelompok usia yang paling sering terkena penyakit ini dan
harus diikuti dengan hati-hati karena adanya komplikasi yang parah dari
pembatasan diet seperti keterlambatan pertumbuhan berat badan, kwashiorkor,
hipokalsemia dan rakitis. Istilah "intoleransi protein sapi" sering digunakan dalam
kasus-kasus gejala non spesifik yang dikaitkan dengan susu, apakah termasuk
jenis reaksi imun mediasi IgE atau non-IgE, mekanisme patologi ini disebabkan
oleh reaksi imun terhadap protein susu. (5)
Alergi terhadap makanan (atau dalam hal ini susu sapi) mengacu pada reaksi
imun terhadap protein dalam makanan dan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis
mekanisme yaitu reaksi mediasi IgE dan non-IgE (kebanyakan adalah selular)
(gambar 2.1). Reaksi mediasi IgE dapat diketahui melalui tes diagnostik yang
telah disahkan, sedangkan reaksi imun mediasi non IgE yang dapat timbul dalam
saluran gastrointestinal belum diketahui dan dijelaskan dengan baik dan lebih
sulit untuk dikenali. Beberapa reaksi dapat juga melibatkan kedua jenis
mekanisme tersebut atau berevolusi sekunder menuju alergi mediasi IgE. (5)

Gambar 2.1 Klasifikasi hipersensitivitas makanan (5)


2.3.1 Alergi Susu Mediasi IgE
A. Patofisiologi
Alergi susu mediasi IgE terjadi ketika organisme gagal untuk mendapatkan daya
tahan (toleransi) terhadap alergen makanan. Alergen makanan utama pada
anak-anak ialah panas, asam, dan protease yang stabil, glikoprotein yang water
soluble dengan ukuran 10-70 kd. Contohnya yaitu protein dalam susu (kasein),
kacang (vicilin), dan telur (ovumucoid) dan protein transfer lemak yang tidak
spesifik yang ditemukan pada buah apel (Mald 3). (5)
Ketika antigen makanan dicerna, makanan diproses dalam usus dimana terdapat
banyak mekanisme fisik yang kompleks (lendir, asam, sel epitel dan asam) dan
proteksi imunologis. Hilangnya pelindung seperti keadaan netralisasi pH
lambung dapat membuat alergi. Serupa seperti pada bayi dimana pelindungpelindung usus (aktivitas enzim dan produksi IgA) masih belum matang sehingga
meningkatkan prevalensi alergi makanan pada masa bayi. (5)
Antigen presenting cells (APC), khususnya sel epitel usus dan sel dendritik, dan
sel T memiliki peran utama pada daya tahan oral melalui ekspresi IL-10 dan IL-4.
Bakteri komensal usus juga mempengaruhi respon imun mukosa. Daya tahan
dibentuk dalam 24 jam pertama setelah lahir dan memproduksi molekul
imunomudulator yang memiliki efek bermanfaat dalam pembentukan imun
respon. Studi saat ini telah menunjukan bahwa ketidakseimbangan komposisi

dari bakteri mikrobiota menjadi faktor utama terjadinya alergi, asma atau
inflammatory bowel disease. (5)
Alergi yang dimediasi IgE dimulai dari sensitisasi. Alergen dicerna, diinternalisasi
dan diekspresikan pada permukaan APC. APC berinteraksi dengan limfosit T dan
menghasilkan transformasi dari limfosit B menjadi sel sekretori antibodi. Setelah
dibentuk dan dilepaskan ke sirkulasi, IgE mengikat, melalui bagian Fc, ke
reseptor sel mast yang memiliki afinitas yang tinggi, meninggalkan reseptor
spesifik alergen mereka yang ada untuk berinteraksi dengan alergen di masa
depan suatu saat nanti. (5)
Proses alergi yang dibentuk tanpa dimediasi oleh IgE kurang begitu dimengerti
namun fase pengenalan antigen awal kemungkinan adalah sama, dan
merangsang reaksi inflamasi utama melalui mediasi sel T dan eosinofil, meliputi
aktivasi sitokin-sitokin yang berbeda seperti IL-5.(5)
Hubungan yang terbentuk dari sejumlah sel mast/antibodi IgE yang berikatan
dengan basophil yang cukup oleh alergen merangsang proses intra-seluler, hal
ini menyebabkan degranulasi sel, dengan pelepasan histamin dan mediator
peradangan lainnya. (5)
B. Manifestasi klinis
Alergi susu sapi ditandai oleh berbagai variasi manifestasi klinis yang terjadi
setelah meminum susu. (11) Manifestasi paling berbahaya dari reaksi mediasi
IgE akibat alergi susu ialah anafilaksis. Setelah degranulasi sel mast, pelepasan
mediator inflamasi mempengaruhi berbagai sistem organ. (5) Gejala yang dapat
timbul ialah pruritus, urtikaria, angio-edema, muntah, diare, nyeri perut, sulit
bernapas, sesak, hipotensi, pingsan, dan syok. (11),(5) Gejala pada kulit
merupakan gejala paling sering, meskipun, sampai 20% reaksi anafilaksis dapat
muncul tanpa adanya manifestasi pada kulit khususnya pada anak-anak. Onset
munculnya gejala dari reaksi anafilaksis yang diinduksi makanan bervariasi
namun mayoritas reaksi muncul dalam hitungan detik sampai 1 jam pertama
setelah terpapar. (5)
Diantara gejala-gejala akibat alergi makanan, seringkali terdapat dermatitis
atopi. Memang, telah diketahui bahwa 30% anak-anak yang menderita dermatitis
atopi yang sedang sampai berat memiliki hubungan dengan alergi makanan
yang memperparah eksema. Makanan yang berpengaruh ialah susu sapi,
dengan ditemukannya IgE spesifik pada kebanyakan pasien. (5)
Reaksi cepat
Reaksi Lambat
Anafilaksis
Urtikaria akut
Akut angioedema

Sesak
Rhinitis
Batuk kering
Muntah
Edema laryngeal
Asma akut dengan stres pernapasan
Dermatitis atopi
Diare kronis, diare berdarah, anemia defisiensi besi, konstipasi, muntah kronis,
kolik
Terganggunya pertumbuhan
Enteropati dengan kehilangan protein dengan hipoalbuminemia
sindrom enterokolitis
Esofagogastroenteropati eosinofilik yang diketahui dari biopsi
Tabel 2.2 Onset reaksi cepat dan lambat alergi susu sapi pada anak-anak.(3)

Gambar 2.2 Dermatitis atopi pada bayi pada wajah akibat alergi protein. (6)
2.3.2 Alergi Susu Sapi Gastrointestinal
A. Patofisiologi
Mekanisme dasar yang mengarah pada alergi belum diketahui dengan baik.
Berbagai faktor, yag berhubungan dengan pasien (faktor genetik, flora usus) dan
yang tidak berhubungan (seperti waktu, dosis, frekuensi eksposure alergen) yang
saling berinteraksi dengan patogenesis penyakit. Alergi gastrointestinal,
kebanyakan pasien mengalami reaksi hipersensitivitas tipe IV dengan respon
yang abnormal dari limfosit TH2. Produk ini meningkatkan jumlah mediator
inflamasi, seperti IL-4 dan IL-5, seperti kemokin, yang menyebabkan aktivasi
eosinofil. Pada beberapa pasien, alergi campuran dari mediasi IgE dan non IgE
dapat terjadi dan tes diagnostik harus dilakukan untuk kedua jenis alergi
tersebut. (5)
B. Manifestasi Klinis
Pasien dengan alergi susu gastrointestinal dapat muncul dengan berbagai
macam gejala, berdasarkan lokalisasi dari inflamasi (Tabel 2.3). (5)
Alergi Pada Usus Mediasi Non IgE atau Campuran
Gejala-Gejala

Komplikasi
Tes Diagnostik
Evolusi
Penatalaksanaan
Kolitis Makanan Dan Susu
Perdarahan rectum dengan pengeluaran lendir pada bayi
Anemia
Eliminasi diet untuk ibu atau hydrolyzed milk (bayi yang tidak diberi ASI), biopsy
kolon jika resisten terhadap kultur feses
Resolusi dalam 6-12 bulan
Diet eliminasi diikuti tes pemberian ulang setelah 6 bulan
Esofagus Eosinofilik
Regurgitasi, refluks, anoreksia, disfagi atau menolak makanan, muntah, nyeri
lambung
Kegagalan pertumbuhan, kehilangan berat badan, striktur esofagus
Endoskopi, biopsy, tes kutaneus dan epikutaneus, diet asam amino dan tes
provokasi oral
Terus menerus ada
Diet eliminasi, steroid sistemik atau topical (ditelan)
Food Protein-Induced Enterocolitis Syndrome (FPIES)
Muntah terus-menerus dan/atau diare 2-4 jam setelah makan/minum
Leukositosis, syok hipovolemik, asidosis metabolic, hipotensi
Riwayat sugestif, tes epikutaneus dan/atau tes provokasi oral
Resolusi dalam 2-5 tahun
Diet eliminasi diikuti tes pemberian ulang
Food Protein Induced Enteropathy
Gejala insidious, abdominal discomfort, disfagia, kehilangan berat badan,
muntah, diare
Hipereosinofilia, hematemesis/rectal bleeding, anemia defisiensi besi,
hipoalbuminemia, kegagalan pertumbuhan

Endoskopi, biopsy, tes skin pricks dan epikutaneus, tes provokasi oral
Resolusi dalam 1-2 tahun
Diet eliminasi
Tabel 2.3 Alergi makanan mediasi non IgE
Gastroenteropathies Eosinofilik
Gastroenteropathies eosinofilik didefinisikan infiltrasi eosinofil pada dinding usus.
Terdapat 3 (tiga) bentuk keadaan klinis yang dijelaskan: kolitis yang diinduksi
susu, oesophagitis eosinofilik dan enterocolitis yang diinduksi protein makanan.
Prevalensi kelainan-kelainan tersebut semakin meningkat. Diagnosis banding
dari eosinofilia usus sangat luas dan meliputi inflamatory bowel disease, infeksi
parasit, sindrom hipereosinofilia dan hipersensitivitas obat. Tidak ada tes
diagnostik yang patognomonis dan diagnosis alergi eosinofilia gastroenterologi
harus berdasarkan keadaan klinis, tes kulit, biopsi dan/atau oral food challenges.
(5)
Colitis Akibat Makanan dan Susu Sapi (Food and cows milk colitis)
Alergi susu sapi merupakan salah satu penyebab yang umum dari terjadinya
kehilangan darah kronis dan anemia pada masa neonatal, dengan darah samar
atau perdarahan rectum pada feses dan diare, meskipun begitu diare berdarah
yang masif jarang terjadi. (8) Pendarahan rektal merupakan gejala yang
mengkhawatirkan tetapi pada umumnya jinak dan self limiting tetapi dapat
dikaitkan dengan alergi susu pada sekitar 20% kasus. Bayi yang terkena dapat
timbul dengan pendarahan anus yang terisolasi dengan mengeluarkan lendir
pada jam pertama kehidupan, dapat melalui dalam rahim, atau sebelum 3
sampai 6 bulan pertama kehidupan tetapi biasanya tetap dalam kondisi umum
yang sangat baik. Biopsi rektal menunjukkan peradangan eosinofilik yang khas
dengan erosi epitel, microabscess atau fibrosis. Gejala diakibatkan oleh protein
susu sapi yang terkandung dalam susu formula atau ASI, dan setengah dari
pasien ini didiagnosis ketika menggunakan ASI eksklusif. (5)
Kebanyakan dari bayi hanya alergi terhadap susu tapi sekitar 20% juga dapat
bereaksi terhadap telur, dan protein makanan lain walaupun jarang. Kemajuan
klinis biasanya sangat baik seiring dengan perbaikan gejala dalam waktu lima
hari setelah diet bebas susu sapi bagi ibu. Bila diet pada ibu mengalami
kegagalan, diet bebas telur juga dapat dilakukan. Alergi ini biasanya sembuh
dalam beberapa bulan, sehingga pemberian susu kembali dapat dilakukan
antara 6 dan 12 bulan. (5)
Oesofagitis Eosinofilik (Eosinophilic oesophagitis)
Penyakit ini baru diidentifikasi dalam 15 tahun terakhir dan studi menunjukkan
prevalensi yang semakin meningkat. Penyakit ini terutama mempengaruhi
orang-orang berusia dekade kedua atau ketiga, tetapi semakin banyak pula
dilaporkan dalam literatur-literatur pediatrik. Penyakit ini didefinisikan dengan

terjadinya suatu infiltrasi eosinofil pada esofagus, dan terkait dengan gejala
refluks yang resisten terhadap terapi proton pump inhibitor (PPI). (5)
Pasien biasanya mengeluhkan gejala sakit seperti ketidaknyamanan, disfagia
dan cenderung untuk menghindari makan makanan berserat atau kering. Gejala
pada anak-anak biasanya tidak khas, seperti sakit perut, muntah atau regurgitasi
dan anoreksia, atau kegagalan pertumbuhan. Endoskopi dapat menampilkan
berbagai gambaran dari area normal sampai putih atau merah merata dengan
beberapa striktur esofagus, dengan aspek tracheiformis yang khas. (5)
Biopsi menunjukkan infiltrasi padat dari dinding oleh eosinofil (> 15-20/ Lapang
pandang). Esofagitis ini dapat sipersulit oleh adanya stenosis esofagus dan
impaksi makanan. Eosinofilik esofagitis biasanya disebabkan oleh alergi
makanan dengan campuran mediasi IgE dan non IgE, khususnya pada anak-anak
dan remaja. (5)
Identifikasi alergen harus dikoordinasikan dengan spesialis karena dapat
melibatkan berbagai antigen. Diet bebas unsur asam amino atau formula semiunsurnya dapat menyebabkan perbaikan gejala sebanyak 30-70% pada pasien
ini. Namun demikian, penggunaan steroid topikal atau sistemik sering
dibutuhkan, terutama jika makanan penyebab tidak dapat diidentifikasi secara
jelas atau jika peradangan sudah berlangsung lama. (5)
Enterokolitis yang Diinduksi Protein Makanan (Food protein-induced enterocolitis)
Alergi ini dapat muncul dengan gejala yang luar biasa seperti muntah terus
menerus dan/atau diare lendir berdarah yang dapat membuat lemas dan syok
hipovolemik. Gejala dapat muncul seringkali 2 (dua) jam setelah makan atau
minum. Anak-anak dengan gejala-gejala ini seringkali menjadi suspek terjadinya
sepsis. Jumlah hitung darah selama fase akut adalah leukositosis yang dipenuhi
oleh sel-sel muda (neutrofil non segmen). Mekanismenya belum jelas namun
diketahui dipengaruhi oleh reaksi mediasi IgE dan non IgE. Biopsi kolon
memperlihatkan abses kripta dengan infiltrasi inflamasi yang difus. Alergi ini
dapat juga disebabkan oleh protein pada makanan daripada susu, seperti halnya
reaksi terhadap kedelai, ikan, nasi, kentang dan ayam. (5)
Riwayat dari eneterocolitis yang diinduksi susu biasanya membaik setelah usia
2-3 tahun, namun perubahan penyakitnya dapat lebih panjang pada pasien
dengan enterokolitis yang diinduksi protein padat. Pasien dengan manifestasi
klinis yang tidak jelas harus dilakukan tes diagnostik menggunakan endoskopi
dan biopsi yang bertujuan untuk menghilangkan diagnosis penyakit eosinofilik.
(5)
2.4 Diagnosis
Proses diagnosis alergi susu sapi pada dasarnya adalah sama dengan proses
diagnosa alergi makanan. Seperti penyakit pada umumnya, proses diagnosa
dimulai dari penelusuran dan evaluasi riwayat penyakit, dilanjutkan dengan
pemeriksaan klinis secara seksama. Hal yang khusus dilakukan dalam investigasi

alergi makanan adalah pembuatan catatan harian diet, uji eliminasi dan
provokasi, uji kulit, dan pemeriksaan kadar IgE. (1)
Dalam anamnesis, perhatian difokuskan pada reaksi alergi yang terjadi, dan
kaitannya dengan makanan yang dimakannya. Setelah berbagai bahan makanan
yang dicurigai menjadi penyebab alergi diperoleh, diagnosa dikonfirmasi dengan
pemeriksaan berupa uji eliminasi dan uji provokasi. (1)
Prinsip uji eliminasi adalah menghindarkan bahan makanan yang menjadi
tersangka, dalam hal ini adalah protein susu sapi, selama 2 minggu. Dalam
kurun waktu ini diobservasi apakah gejala alergi yang ada berkurang atau tidak.
Bila gejala berkurang, dapat dilanjutkan uji provokasi untuk mengkonfirmasinya
lagi, yaitu dengan pemberian kembali bahan makanan tersebut, dan dicatat
reaksi yang terjadi. Jika makanan tersangka memang penyebab alergi, maka
gejala akan berkurang saat makanan dieliminasi dan muncul kembali lagi saat
diprovokasi. (1)
Di samping penggunaan cara tersebut, cara pemeriksaan yang dapat dipakai
juga adalah dengan pemeriksaan kadar IgE dan uji kulit. Kadar IgE yang
meninggi dalam darah dapat dipergunakan sebagai petunjuk status alergi pada
pasien, dan memang kadar IgE ini seringkali didapatkan meninggi pada
penderita alergi susu sapi. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh Hidvegi
dkk, diduga kadar total IgE serum dan IgG anti-a-casein memiliki nilai prognostik;
yaitu bila didapatkan peningkatan pada awal penyakit, toleransi terhadap susu
sapi akan dicapai lebih lambat atau bahkan dapat pula sifat alergi yang terjadi
bersifat menetap. (1)
Uji kulit yang dilakukan, disebut skin prick tests. Namun demikian perlu diketahui
bahwa uji kulit ini memiliki nilai prediktif positif yang rendah, karena tingginya
hasil positif palsu. Interpretasi ini perlu diperhatikan, sebab bila tatalaksana
dilakukan berdasarkan hasil positif ini, maka dapat saja terjadi penghindaran
makanan yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Di sisi lain, tes ini juga
memiliki nilai prediktif negatif yang tinggi, dengan demikian bila didapatkan hasil
yang negatif maka diagnosa alergi makanan dapat dianggap kecil
kemungkinannya. (1)
Walau demikian dalam praktek klinisnya sehari-hari, diagnosa lebih sering
ditegakkan berdasarkan gejala dan respons klinis dari uji eliminasi dan provokasi.
Pemeriksaan secara laboratoris hanya bersifat pelengkap. Sedangkan
penggunaan uji kulit pada anak, selain karena masalah akurasinya yang kurang,
perlu juga dipertimbangkan faktor ketidaknyamanan yang akan timbul,
mengingat penderita umumnya berusia di bawah 2-3 tahun. (1)
Walaupun tampaknya mudah, pada beberapa keadaan diagnosis dapat menjadi
sulit dan membingungkan. Hal ini terjadi misalnya karena adanya reaktivasi dari
makanan lain. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah protein susu sapi dapat
menimbulkan alergi baik dalam bentuk murni, atau bisa juga dalam bentuk lain
seperti es krim, keju, dan kue yang menggunakan susu sapi sebagai bahan
dasarnya. (1)

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Selain dari manifestasi klinis yang ada, untuk mendiagnosis adanya alergi susu
sapi pada anak dapat dilakukan beberapa tes penunjang atau tes diagnostik.
Berikut ini adalah tes untuk menilai alergi terhadap susu sapi, yaitu:
2.5.1 Skin Prick Test (SPT)
SPT merupakan tes yang cepat dan tidak mahal untuk mendeteksi sensitisasi
mediasi kelainan IgE dan dapat dikerjakan pada bayi dengan baik. Nilai prediksi
negatif adalah baik (>95%) dan dipastikan dengan tidak adanya reaksi mediasi
IgE. Meskipun, hasil respon yang positif tidak pasti menunjukan bahwa makanan
merupakan penyebabnya (kurang spesifik), dan hanya menunjukan sensitivitas
terhadap makanan (atopi, pada keadaan tidak adanya gejala alergi). (5)
SPT kurang begitu berguna pada kelainan alergi usus yang sensitif terhadap
makanan daripada alergi yang dimediasi oleh IgE. Pada alergi mediasi non IgE,
seperti Food protein-induced enterocolitis atau colitis akibat susu menghasilkan
hasil tes yang negatif. Meskipun begitu, SPT bergunan dalam mengeluarkan
diagnosis banding alergi mediasi IgE atau dalam keadaan patologi yang
disebabkan mekanisme kombinasi, khususnya esofagitis eosinofilik dimana SPT
dapat membantu mengetahui penyebab dari alergennya. (5)

Gambar 2.3 Skin Pricks Test. (7)


2.5.2 Atopy Patch Test
Pada tes ini, makanan diberikan selama 48 jam pada kulit menggunakan patch
yang tertutup. Tes positif menunjukan terjadinya eritema, indurasi dan/atau lesi
vesikulus yang muncul 24 -48 jam kemudian pada lokasi patch. Secara teoritis
mekanismenya sama dengan mekanisme limfosit sel T yang serupa dengan
terjadinya mekanisme enteropati. Meskipun begitu, sel T dari lokasi yang
berbeda mengekspresikan marker awal yang berbeda, seperti CLA (Cutaneus
Lymphocyte Antigen) untuk kulit dan 47-integrin untuk usus, yang mana dapat
merubah sensitivitas dan spesifisitas dari tes. Tes ini telah diteliti pada kasus
dermatitis yang parah dimana sensitivitasnya sekitar 65%. Telah ditunjukkan
bahwa tes ini membantu untuk mengetahui penyebab makanan pada esofagitis
pada anak-anak tetapi seringkali hasilnya negatif pada pasien dewasa. (5)

GAMBAR 2.4 ATOPY PATCH TEST. (9)


2.5.3 Diet Eliminasi dan Tes Tantangan Pemberian Makanan (Oral Food
Challenge)

Bila diagnosis masih belum jelas, oral food challenge merupakan standar emas.
Sebuah protokol diterbitkan oleh Bock SA pada tahun 1988 dan protokol standar
telah diusulkan oleh European Academy of Allergy and Clinical Immunology pada
tahun 2004. Pasien mencerna, lebih dari 2 jam, secara progresif meningkatkan
jumlah dari makanan yang diduga membuat alergi. Prosedur dihentikan ketika
muncul gejala klinis (tes positif) atau setelah jumlah makanan yang dimakan
sudah mencapai batasnya dan reaksi alergi tidak muncul. Karena terdapat reaksi
anafilaksis, tes ini harus dipimpin secara ketat, oleh tenaga medis yang terlatih,
dan kesiapan peralatan resusitasi. Protokol ini lama, mahal, dan dapat
menyebabkan kecemasan atau ketidaknyamanan reaksi klinis, namun
pemeriksaan ini merupakan indikasi pasti pada pasien dengan diagnosis yang
tidak jelas. (5)
Dasar dari diagnosis food-induced gastrointestinal allergy ialah respon terhadap
diet eliminasi, dengan timbulnya gejala yang berulang ketika diberikan makanan
atau susu. Disebabkan reaksi alergi biasanya tertunda, diet eliminasi harus
dilakukan untuk setidak-tidaknya 1 (satu) bulan sebelum diberikan tantangan
makanan (food challenge). Namun, identifikasi penyebab makanan seringkali
berat dan dokter kadang-kadang harus meresepkan diet ketat yang "oligoantigen". (5)
Pada beberapa sindrom alergi seperti food protein-induced enterocolitis,
tantangan pemberian makanan dapat menyebabkan reaksi klinis berbahaya
yang mengarah kepada syok hipovolemik. Oleh karena itu, sangat dianjurkan
untuk memasang jalur intravena dan memiliki supervisi medis dengan fasilitas
resusitasi dan penatalaksanaan segera. (5)
2.5.4 Uji In Vitro
Dalam uji in vitro seperti ECP (Eosinophilic Cationic Protein), tes aktivasi basophil
atau tes proliferasi limfosit tidak menunjukkan sensitivitas atau spesifisitas
dalam mendiagnosis alergi makanan. (5)
Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan Edit Hidvgi dan rekan-rekan
(2001) yang menyimpulkan bahwa normalisasi kadar serum ECP dapat menjadi
indikasi berhentinya alergi susu sapi. Oleh karena itu, pengukuran serum ECP
mungkin dapat membantu dalam menentukan waktu yang optimal untuk
mengulang uji pemberian tantangan makanan, sehingga hasilnya akan
cenderung lebih negatif. Penurunan kadar yang signifikan dari serum ECP 2 jam
setelah uji awal pemberian tantangan makanan dapat dijelaskan oleh fakta
bahwa protein ini dikeluarkan ke dalam lumen usus.(11)
2.5.5 Dosis Antibodi Serum IgE
Pemeriksaan kuantitif dari antibodi IgE spesifik terhadap makanan sering
menjadi langkah yang berikutnya. Alergen yang diduga diikat ke matriks padat
dan dipaparkan ke serum pasien. Antibodi IgE spesifik untuk alergen mengikat ke
matriks protein dan dideteksi menggunakan antibodi spesifik sekunder pada
bagian Fc dari IgE manusia. Hampir sama dengan skin test, sensitisasi dapat

muncul tanpa reaksi klinis, dan tes tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
alergi makanan tanpa adanya riwayat klinis alergi makanan. Meskipun begitu,
meningkatnya konsentrasi dari spesifik IgE akibat makanan berhubungan dengan
meningkatnya kemungkinan reaksi klinis. (5)
Meskipun memiliki sensitivitas yang baik, pada sebagian kecil pasien dengan
reaksi gejala klinis alergi yang sesuai namun serum IgE spesifik akibat makanan
tidak dapat dideteksi.(5)
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Diet Eliminasi
Penatalaksanaan utama alergi makanan (dalam hal ini susu sapi) adalah diet
eliminasi. Pasien dan keluarganya harus diajarkan untuk selalu membaca label
makanan yang mengandung susu atau produknya (mentega, kasein,
lactalbumin, lactoglobulin atau laktosa). (5)
Pada anak kecil, diet eliminasi harus dipertimbangkan dengan hati-hati dan
memerlukan tindak lanjut medis yang terus-menerus, karena diet eliminasi
secara serius dapat mengganggu kualitas hidup dan membuat efek samping
yang parah. Ketika alergi susu sapi didiagnosis pada bayi, dokter harus
merekomendasikan kepada orangtua penggunaan makanan pengganti susu
berdasarkan extensively hydrolysed susu sapi dan harus mengobservasi pasien
untuk menentukan waktu yang paling tepat untuk diberikan kembali susu sapi
tersebut. (5)
Extensively hydrolysed formulas merupakan disusun oleh campuran peptida dan
asam amino yang diproduksi dari kasein susu sapi atau air dadih dan dapat
ditoleransi pada 95% anak yang alergi terhadap susu. Jika gejalanya tetap
persisten, maka dapat digunakan formula asam amino, khususnya pada anak
dengan alergi beberapa makanan dan gangguan pertumbuhan. (5) Dibandingkan
dengan eHF, Soy formula (SF) atau susu kedelai merangsang reaksi yang lebih
sering pada anak-anak yang mengalami alergi protein susu sapi berusia kurang
dari 6 bulan. Soy formula dapat menginduksi terjadinya gejela-gejala
gastrointestinal.(3) Susu kedelai, tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak-anak
secara sempurna. Selain itu, meskipun tidak adanya protein homolog dan reaksi
silang alergi, sekitar 10% dari reaksi mediasi IgE dan 60% dari anak-anak reaksi
mediasi non IgE juga alergi terhadap kedelai. (5)
Kebanyakan orang tua ingin mengganti susu sapi dengan susu binatang mamalia
lainnya atau susu kedelai. Meskipun begitu, sebenarnya setiap pasien alergi susu
sapi memiliki reaksi silang dengan susu biri-biri betina atau susu kambing, lagi
pula susu-susu tersebut tidak memiliki nutrisi yang adekuat untuk memenuhi
kebutuhan bayi dan dapat menyebabkan anemia megaloblastik disebabkan
kekurangan asam folat. Beberapa studi menyarankan bahwa susu unta dan
keledai memiliki imunitas yang lebih baik namun komposisi lainnya sangat
berbeda dari ASI sehingga tidak dapat digunakan. (5) Susu kambing sering
menyebabkan terjadinya reaksi alergi pula lebih dari 90% anak dengan alergi

protein susu sapi, dan 15% pada susu keledai, selain itu juga memiliki harga
yang mahal. Susu binatang mamalia lainnya bukanlah pilihan nutrisi yang
adekuat. (3)
Amino acid formula (AAF) tidak bersifat alergenik, namun kekurangannya ialah
mempunyai harga yang mahal dan rasa yang tidak enak. (3)
Nasi bersifat alergenik dan seringkali berpengaruh pada terjadinya sindrom
enterocolitis pada bayi-bayi di Australia. Namun data yang berbeda ditunjukan
oleh efek pada pertumbuhan dari protein yang terkandung di dalam nasi. Pada
anak-anak di Itali, rice formula dapat ditoleransi pada anak dengan alergi protein
susu sapi. (3)
Rice formula dapat digunakan sebagai pilihan pada kasus-kasus tertentu apalagi
dengan rasa yang lebih baik dan harga yang lebih murah. (3)
Dengan demikian, extensively hydrolysed formula adalah pengganti susu sapi
yang direkomendasikan pada kasus alergi susu bayi dan anak-anak kecil. (5)
2.6.2 Pengobatan Darurat
Dokter harus memberikan penjelasan fungsi dari pengobatan darurat pada
kasus-kasus paparan yang accidental (tidak disengaja). Pengobatan ini meliputi
antihistamin untuk reaksi-reaksi kulit ringan dan gastrointestinal, dan
penggunaan adrenalin yang dapat disuntik sendiri untuk reaksi sistemik atau
reaksi pada pernapasan. Kortikosteroid dapat juga diberikan untuk mencegah
gejala-gejala fase rebound dan fase lambat namun pasien harus diberikan inform
consent dengan jelas tentang fase lambat tersebut dan penggunaan adrenalin
yang tidak terlambat. (5)
2.6.3 Evolusi
Alergi susu mediasi IgE pada anak-anak telah ditunjukkan mencapai resolusi
pada kebanyakan pasien sebelum usia 3 (tiga) tahun. Oleh karena itu, bayi harus
dievaluasi secara teratur oleh seorang spesialis, yang akan menentukan waktu
yang paling tepat untuk pengenalan susu ulang. Namun, sekitar 20% dari pasien
akan tetap alergi untuk jangka waktu yang lebih lama. Faktor prognosis
bergantung pada kadar IgE spesifik terhadap susu dan kadarnya menurun dari
waktu ke waktu.(5)
2.6.4 Algoritma Penatalaksanaan Alergi Susu Sapi Di Bawah 1 tahun
Jika terjadi reaksi yang berhubungan dengan meminum susu sapi, maka terdapat
algoritme penatalaksanaan yang dapat dilakukan seperti pada gambar 2.5. (3)

Gambar 2.5 Algoritma penatalaksanaan alergi terhadap susu sapi pada anakanak kurang dari 1 tahun dengan gejala ringan-moderate

Ketika alergi pada susu sapi diketahui, bayi harus diberikan diet bebas protein
susu sapi selama 2-4 minggu. 4 minggu dimaksudkan untuk gejala
gastrointestinal kronis. Bayi sebaiknya diberi makan dengan eHF atau SF pada
anak-anak berusia lebih dari 6 bulan dan tanpa gejala gastrointestinal. (3)
Jika gejalanya membaik pada diet yang ketat, pemberian tantangan makanan
sasu sapi merupakan tindakan diagnostic wajib untuk menentukan diagnosis. Jika
tes pemberian tantangan makanan positif, anak harus mengikuti diet eliminasi
dan mengulangi tes pemberian tantangan makanan setelah 6 bulan dan pada
beberapa kasus dilulang 9-12 bulan kemudian. Jika tes pemberian tantangan
makanan negatif, diet yang bebas sudah dilakukan. (3)

Gambar 2.6 Algoritma penatalaksanaan anak dengan alergi protein susu sapi
berusia <>(3)
Susu sapi pengganti digunakan pada bayi kurang dari 12 bulan. Pada anak yang
alergi protein susu sapi yang lebih tua, eHF dan AAF kurang berguna karena diet
yang adekuat lainnya dapat didapatkan secara mudah. (3) Gejala akut yang
parah seperti edema laryngeal, asma akut dengan kesulitan respiratori,
anafilaksis. (3)
Jika terdapat salah satu dari gejala ini sebagai akibat dari alergi protein susu
sapi, bayi harus mengikuti diet bebas susu sapi. Sebagai penggantinya, eHF atau
SF atau AAF dapat digunakan. Penggunaan eHF dan SF harus dilakukan dibawah
supervisi medis karena kemungkinan terjadinya reaksi alergi. Jika diberikan AAF
maka AAF diberikan selama 2 (dua) minggu kemudian bayi dapat dirubah
kembali SF atau eHF. (3)
Pada anak dengan gejala alergi gastrointestinal parah yang lambat dengan
pertumbuhan yang buruk, anemia atau hipoalbuminemia atau esofagogastropati
eosinofilik, dianjurkan untuk memulai diet eliminasi menggunakan AAF kemudian
diganti eHF. Efek dari diet tersebut dicek kembali dalam 10 (sepluluh) hari untuk
sindrom enterocolitis, 1-3 minggu untuk enteropati dan 6 minggu untuk
esofagogastropati eosinofilik. (3)
Pada anak dengan anafilaksis dan tes IgE yang positif atau reaksi gastrointestinal
yang parah, tes pemberian tantangan makanan tidak boleh dilakukan sebelum 612 bulan setelah reaksi alergi terakhir. Anak tersebut dilarang minum susu sapi
sampai usia 12 bulan, tetapi pada anak dengan sindrom enterocolitis dilat=rang
diberikan susu sapi sampai usia 2-3 tahun. (3)
Anak dengan gejala reaksi alergi yang parah harus dirujuk ke pusat spesialistik.
eHF atau AAF digunakan pada anak kurang dari usia 12 bulan dan pada anak
lebih tua dengan gejala gastrointestinal yang parah. Pada anak dengan usia > 12
bulan dengan anafilaksis, penggantian susu sapi tidak diperlukan. (3)

Pada bayi yang diberikan ASI eksklusif, gejala yang diduga berhubungan dengan
alergi protein susu sapi ialah sampir selalu reaksi mediasi non IgE sebagai
dermatitis atopi, muntah, diare, kolik. (3)
Pada bayi dengan gejala mederat-parah, protein susu sapi, telur dan makanan
lain harus dipantang oleh ibu hanya jika terdapat riwayat yang jelas. Oleh karena
itu, bayi tersebut harus durujuk ke klinik spesialis. Diet eliminasi pada ibu
dilakukan selama 4 minggu. Jika tidak terdapat perbaikan maka diet harus di
stop. Jika gejalanya membaik, dianjurkan ibu meminum susu sapi dengan jumlah
yang banyak selama 1 minggu. Jika terjadi gejala alergi, ibu harus melanjutkan
dietnya dengan diberikan siet tambahan kalsium. Bayi dapat disapih serupa
dengan bayi yang sehat, namun susu sapi harus dihindari sampai usia 9-12
bulan, dan sekurang-kurangnya 6 bulan dari permulaan diet. Jika jumlah ASI
kurang, eHF dan SF (jika usia > 6 bulan) dapat juga diberikan. (3)

Gambar 2.7 Algoritma untuk bayi yang diberikan ASI yang memiliki suspek reaksi
alergi mediasi non IgE terhadap protein susu sapi. (3)
Jika setelah diberikan susu sapi kembali gejala tidak muncul, maka makanan
yang sebelumnya dilarang dapat diberikan kembali satu per satu pada ibu. (3)
Laktosa
Konsep alergi terhadap laktosa sudah sangat mendarah daging bahwa laktosa
dapat merangsang terjadinya alergi dikemukakan dalam diagnosis banding
terhadap efek samping dari makanan ketika penyebabnya tidak jelas. Reaksi
alergi terhadap laktosa telah ditunjukan oleh studi kasus yang melaporkan
terjadinya reaksi alergi yang cepat setelah pemberian royal jelly. Pabrik-pabrik
lebih senang penggunaan laktosa dari ekstraksi susu daripada yang disintesis
disebabkan alasan harga namun jarang disebutkan pada label dari produk
tersebut. Sehingga para ahli alergi menganjurkan untuk menghindari makanan
yang mengandung laktosa dikhawatirkan adanya paparan dari protein residu
kepada anak yang alergi terhadap susu sapi. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Alessandro dan rekan-rekannya (2003) menemukan bahwa pemberian diet bebas
laktosa atau laktosa residu pada makanan pada anak dengan alergi terhadap
susu sapi adalah tidak perlu. Malahan, dapat terjadi ketidakseimbangan nutrisi
atau defisiensi gizi yang dapat disebabkan oleh pembatasan diet produk susu,
khususnya laktosa. Penelitian tersebut memiliki kesimpulan bahwa pada anak
yang hipersensitif terhadap susu sapi, secara klinis masih memilki toleransi
terhadap laktosa dan aman dikonsumsi sebagai makanan atau sebagai obat
dengan komposisi laktosa di dalamnya.(10)
2.7 Pencegahan
Pencegahan alergi dilakukan sedini mungkin. Hal ini dapat dilakukan sebelum
anak tersensitisasi protein susu sapi, yaitu pada masa intrauterin. Pencegahan
dapat dilakukan dengan mengkonsumsi susu sapi yang hipoalergi yaitu susu sapi
partially hydrolyzed untuk merangsang pembentukan terjadinya toleransi di

masa yang akan datang. Ketika reaksi alergi tetap terjadi setelah pemberian
susu yang hipoalergi, maka pemberian susu harus digantikan oleh susu lain
seperti susu kedelai. (2)
Pada bayi, berdasarkan rekomendasi Eropa dan Amerika sebenarnya bergantung
pada pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan, diikuti dengan penundaan
pengenalan makanan padat pada anak dengan risiko atopik (seperti atopik orang
tua atau saudara kandung, atau anak-anak dengan dermatitis atopik). Namun,
studi terbaru menunjukkan bahwa bayi yang terkena alergi makanan (dalam hal
ini susu sapi) pada awal kehidupan bayi melalui rute oral cenderung kurang akan
memiliki alergi terhadap makanan dari bayi tanpa eksposur tersebut. Alergi susu
sapi seringkali terdapat pada anak yang memiliki alergi makanan lainhya pada
usia yang lebih tua. Pencegahan dan pengobatan yang baik adalah penting
dalam mencegah alergi terhadap makanan di masa yang akan datang. Secara
umum terdapat 3 (tiga) fase pencegahan terhadap alergi susu, yaitu: (2),(5)
Pencegahan Primer
Yang dilakukan sebelum tersensitisasi. Dilakukan sejak prenatal pada janin
dengan keluarga yang memiliki bakat dermatitis atopi. Menghindari dengan cara
memberikan susu sapi yang hipoalergi, seperti susu sapi partially hydrolyzed,
dengan tujuan untuk merangsang toleransi dari alergi susu sapi pada masa yang
akan datang, disebabkan masih mengandung sedikit partikel dari susu sapi,
sebagai contoh dengan merangsang IgG blocking agent. Tindakan pencegahan
ini juga dilakukan pada makanan alergi makanan lainnya, dan juga menghindari
merokok. (2)
Pencegahan Sekunder
Dilakukan setelah sensitisasi tetapi manifestasi penyakit alergi tidak muncul.
Kondisi sensitisasi ditentukan oleh pemeriksaan IgE spesifik dalam serum atau
darah tali pusat, atau dengan uji kulit. Saat tindakan yang optimal adalah usia 03 tahun. Penghindaran dilakukan dengan cara mengganti susu sapi menjadi susu
sapi non alergenik, seperti susu sapi yang dihidrolisis sempurna atau pengganti
susu sapi seperti susu kedelai yang tidak membuat terjadinya sensitisasi
terjadinya manifestasi penyakit alergi. ASI eksklusif tampaknya juga dapat
mengurangi risiko alergi. (2)
Pencegahan Tertier
Dilakukan pada anak-anak yang telah mengalami manifestasi sensitisasi dan
menunjukkan penyakit alergi awal seperti dermatitis atopik atau rinitis, tetapi
belum menunjukkan gejala alergi yang lebih berat seperti asma. Saat tindakan
yang optimal adalah pada usia 6 bulan sampai 4 tahun. (2)
Penghindaran juga dilakukan dengan memberikan susu sapi hidrolisat sempurna
atau pengganti susu sapi. Penyediaan obat preventif seperti setirizin,
imunoterapi, imunomodulator tidak direkomendasikan karena belum terbukti
secara klinis bermanfaat. (2)

2.8 Prognosis
Antigenitas dan alergenitas protein susu sapi ini diketahui berkaitan dengan
umur 8 dan alergi yang terjadi kebanyakan berkurang atau menghilang di usia 23 tahun. Bahkan ada pula yang menyatakan alergi susu sapi hanya terjadi pada
tahun pertama kehidupan. Berdasarkan inilah pada usia tersebut dapat dicoba
diberikan lagi susu sapi sedikit-sedikit dan dilihat apakah alergi susu sapi masih
ada atau tidak. (1),(5)
Bayi dengan alergi susu sapi memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami
alergi terhadap bahan makanan lain. Mereka juga memiliki risiko yang lebih
besar untuk mengalami asma atau bentuk alergi lainnya dalam usia selanjutnya.
Untuk itu, bagi anak yang mengalami alergi susu sapi, dianjurkan untuk
menghindari makanan yang juga memiliki sifat alergenitas tinggi, seperti
kacang, ikan, atau makanan laut, sampai usia 3 tahun.4 Walaupun demikian
anak yang memiliki alergi susu sapi tak selalu alergi terhadap daging sapi atau
bulu sapi, bahkan penelitian yang telah dilakukan hanya mendapatkan angka
kurang dari 10% dari penderita alergi susu sapi yang mengalami reaksi terhadap
daging sapi. Di samping itu, proses pemanasan maupun pengolahan juga akan
semakin menurunkan sifat alegenitas daging sapi ; karenanya daging sapi yang
dimasak secara baik sangat jarang menimbulkan masalah pada penderita
protein susu sapi. (1)
Dalam kaitannya dengan sifat alergi yang dimilikinya, berbagai penelitian telah
memperlihatkan pola hubungan berkesinambungan proses sensitisasi alergen
dengan perkembangan dan perjalanan alergi yang dikenal dengan nama allergic
march, yaitu perjalanan alamiah penyakit alergi. Secara klinis, allergic march
terlihat berawal sebagai alergi pada saluran cerna (umumnya berupa diare
karena alergi susu sapi) yang akan berkembang menjadi alergi pada lapisan kulit
(dermatitis atopi) dan kemudian alergi pada saluran napas (asma bronkial, rinitis
alergi). (1)
BAB III
KESIMPULAN
Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan
keterlibatan mekanisme sistem imun, yang disebabkan oleh kandungan protein
di dalam susu sapi. Alergi susu sapi seringkali diduga terjadi pada pasien,
disertai banyak gejala klnis. Sindrom klinis yang terjadi sebagai akibat alergi
pada susu dapat bermacam-macam, meskipun demikian dapat diketahui dengan
baik. Penatalaksanaan alergi dapat dilakukan kepada bayi maupun juga kepada
ibu yang memberikan ASI-nya. Dan pencegahan saat ini sudah dapat dilakukan
semenjak masih dalam kandungan.

Você também pode gostar