Você está na página 1de 23

D.

LEARNING OBJECTIVES
1. Mempelajari etiologi, epidemiologi, pathogenesis, gejala klinik, diagnosis
(pemeriksaan

fisik

dan

penunjang),

tatalaksana,

prognosis,

dan

pencegahan dari penyakit-penyakit:


a. Asma (intermiten, persisten)
b. Status Asmatikus
c. Pnemokoniosis
d. Bronkitis Kronis
e. Emfisema
f. Rhinitis Vasomotor
2. Mempelajari farmakologi obat anti sesak dan obat tetes hidung
E. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVES
1. Mempelajari etiologi, epidemiologi, pathogenesis, gejala klinik,
diagnosis

(pemeriksaan

fisik

dan

penunjang), tatalaksana,

prognosis, dan pencegahan dari penyakit-penyakit:


a. Asma (intermiten, persisten)
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan
mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran
napas.Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di
negara maju.Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti
Indonesia.Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak
masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika
Serikat dan Eropa.Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di
rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap
tahunnya.Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih
jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative forAsthma (GINA).
Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal

dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil.Bila seseorangmenghirup
alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat.Alergen
kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan

sel

ini

berdegranulasi

mengeluarkan

berbagai

macam

mediator.Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamine leukotrien, faktor


kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi
saluran napas.Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera
yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen.Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja
langsung pada otot polos bronkus.Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam
pajanan allergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai
beberapa minggu.Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen
Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akanmengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akanmembuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf.
Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan CalcitoninGene-Related
Peptide

(CGRP).

Neuropeptida

itulah

yang

menyebabkan

terjadinya

bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan


aktivasi sel-sel inflamasi.

Faktor risiko asma


Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu faktor
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetic meliputi: hipereaktivitas,
atopi/alergi bronkus, faktor yang memodifikasi penyakit genetic, jenis kelamin,
dan ras/etnik. Sedangkan faktor lingkungan meliputi: allergen dalam ruangan,
allergen luar ruangan, makanan/ingestan, obat-obatan tertentu, bahan yang
mengiritasi, ekspresi/emosi yang berlebih, asap rokok (perokok aktif dan pasif),
polusi udara, exercise induced asma, dan perubahan cuaca.
Diagnosis asma
Diagnosis asam sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani
dengan semestinya, mengi/wheezing dan/atau batuk kronik berulang merupakan
titik awal untuk menegakkan diagnosis.Secara umum dibutuhkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis
asma.

Anamnesis perlu ditanyakan karakteristik serangan (berulang, terjadi


kapan, intensitas serangan, apakah memberat saat beraktivitas), riwayat
penyakit alergi, paparan allergen/pencetus sebelumnya, riwayat penyakit

keluarga.
Pemeriksaan fisik inspeksi ditemukan keadaan pasien yang tampak
gelisah, sesak, pernapasan cuping hidung, retraksi sela iga, sianosis. Pada
palpasi dan perkusi tidak ditemukan kelainan nyata. Sedangkan pada

auskultasi dijumpai ekspirasi memanjang, ada mengi, dan suara lender.


Pemeriksaan penunjang tes faal paru, tes provokasi bronkus, tes alergi
(tes tusuk kulit), uji reversibilitas dengan bronkodilator.

Diagnosis banding dari asma pada orang dewasa meliputi : PPOK, bronkitis
kronik, gagal jantung kongestif, disfungsi laring, obstruksi mekanis jalan napas,
dan emboli paru. Sedangkan diagnosis banding pada anak meliputi: rinosinusitis,
refluks esophageal, ISPA, TB, aspirasi benda asing, penyakit jantung bawaan.
Klasifikasi asma

Tatalaksana Asma
Tatalaksana asma bertujuan untuk :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma


Mencegah eksaserbasi akut
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru
Mengupayakan aktivitas normal
Menghindari efek samping obat
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara
Mencegah kematian karena asma

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma dikelompokkan menjadi dua yaitu:

Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)


Pada serangan asma akut, obat-obatan yang dapat digunakan adalah:
- Bronkodilator
- Kortikosteroid sistemik
Penatalaksanaan asma jangka panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma
dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan
dengan klasifikasi beratnya asma
Obat-obatan asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain:
- Inhalasi kortikosteroid
- 2 agonis kerja panjang
- antileukotrien
- teofilin lepas lambat

b. Status Asmatikus
Status asmatikus adalah kegawatan medis dimana gejala asma tidak membaik
pada pemberian bronkodilator inisial di unit gawat darurat. Biasanya, gejala

muncul beberapa hari setelah infeksi virus di saluran napas, diikuti pajanan
terhadap alergen atau iritan, atau setelah beraktivitas saat udara dingin. Pasien
biasanya mengeluh rasa berat di dada, sesak napas yang semakin bertambah,
batuk kering dan mengi dan penggunaan beta-agonis yang meningkat (baik
inhalasi maupun nebulisasi) sampai hitungan menit. Prevalensi dan severity kasus
asma semakin meningkat, sejalan dengan peningkatan kasus asma yang
membutuhkan perawatan rumah sakit dan kematian akibat status asmatikus.
Pasien yang terlambat mendapatkan perawatan medis, khususnya perawatan
dengan steroid sistemik, memiliki resiko kematian yang besar. Pasien dengan
kondisi penyerta (misal: penyakit paru restriksi, CHF, deformitas dinding dada)
memiliki resiko kematian yang lebih besar karena status asmatikus, demikian juga
perokok yang biasanya terkena PPOK.
Diagnosis
Gambaran klinis Status Asmatikus :
Penderita tampak sakit berat dan sianosis.
Sesak nafas, bicara terputus-putus.
Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab

penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat.


Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi
lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah

kemudian jatuh ke dalam koma.


Derajat serangan dapat ringan sampai dengan berat yang mengancam

nyawa. Serangan bersifat akut.


Tujuan pengobatan asma untuk :
1. menghilangkan obstruksi dengan segera.
2. mengatasi hipoksia
3. mengembalikan fungsi paru ke normal secepat mungkin
4. mencegah serangan berikutnya
5. memberikan edukasi agar penderita dan keluarga dapat mengatasi pada awal
sebelum dibawa ke dokter.

Pasien asma harus dirujuk bila


Pasien dengan resiko tinggi untuk kematian karena asma
Serangan asma berat APE <60% nilai prediksi
Respon bronkodilator tidak segera
Tidak ada perubahan dalam 2-6 jam penggunaan kortikodteroid
Gejala asma semakin memburuk
Penatalaksanaan

1. Menetapkan beratnya penyakit dan beratnya terapi dengan menggunakan


predictor index scoring system

Catatan: bila score lebih dari 4 harus masuk rumah sakit


Bila ada silent chest merupakan tanda bahaya
Mengatasi Keadaan Gawat
a. Infus RL : D5 = 3: 1 dengan tetesan sesuai kebutuhan rehidrasi.
b. Oksigen 2 4 l/m melalui nasal prong.
c. Aminofilin bolus 5-6 mg / kgBB i.v pelan selama 20-30 menit dilanjutkan
maintenance 20 mg/kgBB/hari diberikan secara drip.
d. Terbutalin 0,25 mg / 6 jam subcutan atau I.V. atau orciprenalin 0,25 mg / 6 jam
subcutan atau I.V. pelan (penelitian terakhir tidak berbeda bermakna)
e. Hidrocortison sodium suksinat 4 mg / kgBB / 4 jam I.V ( 200 mg / 4 jam I.V. )
bisa juga memakai dexamethason 20 mg / 6 jam I.V. selain itu dapat digunakan
160 mg methilprednisolon dalam dosis terbagi 4 kali per hari, kortikosteroid
diberikan sampai membaik secara klinis dan laboratoris. Disamping parenteral
diberikan juga Prednison peroral 3 x 10 mg per hari sampai keadaan membaik
diberhentikan secara tappering off.
f. Antibiotik bila jelas ada infeksi

Oksitetrasiklin 2 x 100 mg I. M. atau Amoxillin / Ampicillin 2 x 1 g I.V. atau


golongan antibiotik yang sesuai dngan sumber infeksinya.
g. Menilai hasil tindakan dan terapi
c. Pnemokoniosis
Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu pneumo berarti
paru dan konis berarti debu. Terminologi pneumokoniosis pertama kali
digunakan untuk menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan
inhalasi debu mineral.3 Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai
keadaan berikut:

Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganikseperti silika

(silikosis), asbes (asbestosis) dan timah(stannosis)


Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumoconiosis batubara
Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik sepertikapas (bisinosis)

Istilah pneumokoniosis seringkali hanya dihubungkan dengan inhalasi debu


anorganik.Definisi pneumoconiosis adalah deposisi debu di dalam paru dan
terjadinya reaksi jaringan paru akibat deposisi debu tersebut.InternationalLabour
Organization (ILO) mendefinisikan pneumoconiosis sebagai suatu kelainan yang
terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan
terhadap debu tersebut.Reaksi utama akibat pajanan debu di paru adalah fibrosis.
Patogenesis
Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumoconiosis adalah
partikel debu dan respons tubuhkhususnya saluran napas terhadap partikel debu
tersebut.Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat
atau mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis.Sitotoksisitas partikel debu terhadap
makrofag

alveolar

memegang

peranan

penting

dalam

patogenesis

pneumokoniosis.Debu berbentuk quartz lebih sitotoksik dibandingkan yang sulit


larut. Sifat kimiawi permukaan partikel debu yaitu aktivitas radikal bebas dan
kandungan besi juga merupakan hal yang terpenting pada patogenesis
pneumokoniosis.
Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons makrofag alveolar
terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh

makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel
debu. Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi
debu.Jika pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi
inflamasi awal.Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran
napas bawah.Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar
karena dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis
tidak diketahui.Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inertdan
menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang
minimal. Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh
makrofag karenaumurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi
oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke
jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada
debu yang bersifat sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis makrofag akan
menyebabkan kehancuran makrofag tersebut yang diikuti dengan fibrositosis.
Diagnosis
Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala
klinis.Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis
pneumokoniosis. Pertama, pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang
dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten
yang mendukung. Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang teliti mengenai
kadar debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri
serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala
seringkali timbul sebelum kelainan radiologisseperti batuk produktif yang
menetap dan atau sesak napas saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun
setelah pajanan.Kedua, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan
radiologi dapat membantu menen-tukan jenis pneumokoniosis.Gejala dan tanda
gangguan respirasi serta abnormalitas faal paru sering ditemukan pada
pneumoconiosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis pneumokoniosis.Ketiga,
tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai pneumokoniosis.
Pneumokoniosis kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial paru difus

seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitiallung


disease (ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen vaskular.Beberapa
pemeriksaan

penunjang

diperlukan

untukmembantu

dalam

diagnosis

pneumokoniosis yaitupemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis


debu penyebab.
Tatalaksana
Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun
berkurang progresivitasnya hanyadengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis
umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik.Tidak ada pengobatan yang
efektif yang dapat menginduksi regresi kelainan ataupun menghentikan
progesivitas pneumokoniosis.Pencegahan merupakan tindakan yang paling
penting.Regulasi dalam pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak
lama terutama di negara industri dan terus dilakukan dengan perbaikanperbaikan.Pada

bentuk

pneumokoniosis

subakut

dengan

manfaat

yang

didapatuntuk efek jangka panjangnya terutama jika bahan penyebab masih ada di
paru.
d. Bronkitis Kronis
Bronkitis kronis di defnisikan sebagai adanya batuk produktif yang
berlangsung 3 bulan dalam setahun selama 2 tahun berturut-turut. Kondisi ini
terutama berkaitan dengan perokok sigaret atau pemajan terhadap polutan. Pasien
mengalami peningkatan kerentanan terhadap terjadinya infeksi saluran pernapasan
bawah (Brunner & Sudarth, 1996).
Patofisiologi
Bronkitis kronis terjadi ketika unsur-unsur iritan terhirup selama waktu yang
lama. Unsur-unsur iritan ini menimbulkan inflamasi pada percabangan
trakeobronkial, yang menyebabkan peningkatan produksi mukus dan penyempitan
atau penyumbatan jalan nafas. Seiring berlanjutnya proses inflamasi, pada sel-sel
yang membentuk dinding trakturs respiratorius akan menyebabkan resistensi jalan
nafas yang kecil dan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) yang berat

sehingga menimbulkan penurunan oksigenasi darah arteri.Bronkitis kronis


mengakibatkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, peningkatan jumlah selsel goblet, kerusakan silia, metaplasia, skuamosa pada epitel kolumner, dan
infiltrasi leukositik serta limfositik pada dinding bronkus.
Hipersekresi sel goblet akan menghalangi kebebasan gerak silia yang
dalam keadaan normal dapat menyapu debu, iritan serta mukus keluar dari jalan
nafas. Seiring penumpukan mukus dan debris dalam jalan nafas, mekanisme
pertahanan akan berubah dan orang yang mengalami perubahan mekanisme
pertahanan pada jalan nafas ini lebih mudah terkena infeksi saluran nafas. Efek
tambahan lainnya meliputi inflamasi yang menyebar luas, penyempitan jalan
nafas dan penyempitan mukus di dalam jalan nafas. Dinding bronkus mengalami
inflamasi dan penebalan akibat edema serta penumpukan sel-sel inflamasi.
Selanjutnya efek bronkospasme otot polos akan mempersempit lumen bronkus.
Pada awalnya hanya bronkus besar yang terlibat inflamasi ini, tetapi kemudian
semua saluran nafas turut terkena. Jalan nafas menjadi tersumbat dan terjadi
penutupan, khususnya pada saat ekspirasi dengan demikian, gejala nafas akan
terperangkap dibagian distal paru. Pada keadaan ini akan terjadi hipoventilasi
yang menyebabkan ketidakcocokan V/Q dan akibatnya timbul hipoksemia.
Hipoksemia dan hiperkapnia terjadi sekunder karena hipoventilasi.
Resistensi vaskuler paru meningkat ketika vasokonstriksi yang terjadi karena
inflamasi dan kompensasi pada daerah yang mengalami hipoventilasi membuat
arteri pulmonalis menyempit. Peningkatan resistensi vaskuler paru menimbulkan
afterload ventrikel kanan. Dengan terjadinya episode inflamasi berulang,
terjadilah pembentukan parut pada jalan nafas dan perubahan struktur yang
permanen. Infeksi respiratorius dapat memicu eksaserbasi akut dan dengan
demikian dapat menjadi gagal nafas. Pasien bronkitis kronis akan mengalami
penurunan dorongan untuk bernafas. Hipoksia kronis yang ditimbulkan
menyebabkan ginjal menghasilkan eritropoentin, yang akan menstimulasi
produksi sel darah merah dan menimbulkan polisitemia. Meskipun kadar
hemoglobin tinggi, namun jumlah hemoglobin tereduksi (yang tidak teroksigenasi

sepenuhnya) yang mengalami kontak dengan oksigen rendah sehingga terjadi


sianosis.
Tanda dan Gejala Bronkitis Kronis
1. Sputum yang banyak dan berwarna kelabu, putih, ataupun kuning
yang dihasilkan oleh paru-paru
2. Batuk produktif untuk mengeluakan mukus yang diproduksi oleh
paru-paru
3. Dispnea akibat

obstruksi

jalan

nafas

pada

percabangan

trakeaobronkial bagian bawah


4. Sianosis yang berhubungan dengan penurunan oksigenasi dan
hipoksia seluler, penurunan pasokan oksigen ke dalam jaringan
5. Penggunaan otot-otot bantu pernafasan akibat upaya yang bersifat
kompensasi untuk memasok lebih banyak oksigen ke dalam sel
6. Takipnea akibat hipoksia
7. Edema pedis akibat gagal jantung kanan
8. Penambahan berat badan akibat edema
9. Wheezing akibat aliran udara melewati saluran nafas yang sempit
10. Pemanjangan waktu ekspirasi akibat upaya tubuh mempertahankan
patensi jalan nafas
11. Ronkhi akibat aliran udara melewati saluran nafas yang sempit dan
berisi mukus
12. Hipertensi pulmoner yang disebabkan keterlibatan arteri pulmonalis
yang kecil, keadaan ini terjadi karena inflamasi pada dinding bronkial
dan spasme pembuluh darah pulmoner akibat hipoksia
Etiologi Bronkitis Kronis
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Panjanan unsur iritan


Kebiasaan merokok
Predisposisi genetik
Pajanan debu organik atau anorganik
Pajanan gas berbahaya
Infeksi saluran napas

Diagnosis Bronkitis Kronis

1) Foto

rontgen

toraks

dapat

memperlihatkan

hiperinflasi

dan

peningkatan corakan bronkovaskuler


2) Tes faal paru menunjukkan peningkatan volume residual, penurunan
kapasitas vital, serta forced expiratory flow dengan kelenturan statik
dan kapasitas difusi yang normal
3) Analis gas darah arteri mengungkapkan

penurunan

parsial

karbondioksida dalam darah arteri atau peningkatan tekanan parsial


karbondioksida dalam darah arteri
4) Analisis sputum dapat mengungkapkan banyak mikroorganisme dan
sel-sel neutrofil
5) Elektrokardiografi dapat memperlihatkan aritmia atrium, gelombang P
yang lancip pada lead II, III, serta aVF, dan kadang-kadang hipertrofi
ventrikel kanan
Penatalaksanaan Bronkitis Kronis
1) Pengobatan farmakologi
a) Anti-inflamasi (kortikosteroid, natrium kromolin, dan lain-lain)
b) Bronkodilator
Adrenergik : efedrin, epineprim, dan beta adrenergik agonis selektif
Non adrenergik : aminofilin, teofilin
c) Antihistamin
d) Steroid
e) Antibiotik
f) Ekspektoran
g) Oksigenasi digunakan 3 liter/ menit dengan nasal kanul
e. Emfisema
Emfisema adalah suatu keadaan dimana ada kelainan anatomic paru yang ditandai
dengan pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal yang disertaid dengan
kerusakan dinding alveolus. Berdasarkan struktur anatomisnya, emfisema
dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Emfisema Sentrilobular (CLE), secara selektif hanya menyerang bagian
bronkiolus respiratorius dan duktus alveolaris. Pada emfisema jenis ini,
dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan cenderung
menjadi satu ruang sewaktu dinding-dinding mengalami integrasi. CLE
seringkali lebih berat menyerang bagian atas paru. CLE lebih sering

ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan. Lebih sering ditemukan


pada perokok.
b. Emfisema Panlobular (panasinar), melibatkan kerusakan alveolus secara
merata dan mengenai bagian asinus yang sentral maupun perifer. Ketika
penyakit menjadi parah, semua komponen asinus sedikit demi sedikit
menghilang sehingga akhirnya hanya tersisa beberapa lembar jaringan, dan
biasanya berupa pembuluh-pembuluh darah. PLE mempunyai gambaran khas
yaitu tersebar merata di seluruh paru, dan mempunyai kecenderungan parah
pada bagian basal. Jenis emfisema ini ditandai dengan peningkatan resistensi
jalan napas yang berlangsung lambat tanpa adanya bronchitis kronik. Mula
timbul emfisema jenis ini lambat dan biasanya memperlihatkan gejala pada
usia antara 30 dan 40 tahun.
c. Emfisema asinar distal (paraseptal), emfisema jenis ini lebih banyak mengenai
saluran napas distal, duktus dan sakus alveolaris
Etiologi
1. Merokok
Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States
menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama mortalitas
bronkitis kronik dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
dalam waktu satu detik setelah forced expiratory maneuver (FEV 1), terjadi
penurunan mendadak dalam volume ekspirasi yang bergantung pada intensitas
merokok.
2. Terpapar polusi
Beberapa peneliti

melaporkan

peningkatan

gejala

gangguan

saluran

pernafasan pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang


berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun
demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya PPOK masih tidak bisa
dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil pembakaran biomass
dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya PPOK pada kaum
wanita di beberapa negara. Meskipun begitu, polusi udara adalah faktor risiko
yang kurang penting berbanding merokokGenetic
3. Infeksi

Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk


perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa
infeksi salur nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor
predisposisi perkembangan PPOK. Meskipun infeksi saluran nafas adalah
penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran
nafas dewasa dan anakanak dengan perkembangan PPOK masih belum bisa
dibuktikan
4. Faktor Genetik
Defisiensi 1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko
untuk terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi 1antitripsin di Amerika Serikat adalah kurang daripada satu peratus. 1antitripsin merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja
menginhibisi neutrophil elastase di paru. Defisiensi 1-antitripsin yang berat
menyebabkan emfisema pada umur rata-rata 53 tahun bagi bukan perokok dan
40 tahun bagi perokok
Diagnosis
1. Anamnesis, dari hasil anamnesis biasanya penderita emfisema mempunyai
riwayat merokok dan biasanya bekerja ditempat dengan paparan polutan
yang tinggi.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi, dari hasil inspeksi pada penderita emfisema bisa terlihat
barrel chest (rasio anatara diameter antero-posterior dan transversal
ialah 1:1 atau sebanding
b. Palpasi, pada palpasi ditemukan fremitus menurun dan sela iga
melebar
c. Perkusi, pada perkusi ditemukan suara hipersonor dan batas jantung
mengecil, letak diafragma rendah, serta hepar terdorong ke bawah
d. Auskultasi, pada auskultasi didapatkan suaran napas melemah, terdapat
ronkhi atau mengi saat bernapas biasan atau saat ekspirasi paksa,
ekspirasi memanjang, bunyi jantung melemah.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Uji faal jantung dengan menggunakan spirometri
b. Pemeriksaan darah

c. Foto Rontgen, dari hasil foto rontgen didapatkan gambaran


hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar dan diafragma akan
terlihat mendatar.
f. Rhinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya
infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan
pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin, dan
obat topikal hidung dekongestan).
Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen spesifik
tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes
cukit kulit, kadar antibodi, IgE spesifik serum).
Etiologi dan patofisiologi
Etiologi dan patofisiologi rinitis vasomotor yang pasti belum diketahui, namun
ada hipotesis telah dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi rinitis
vasomotor

Neurogenik (disfungsi sistem otonom)


Serabut saraf simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen
Th 1-2, menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian
kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-transmitter noradrenalin dan
neuropeptida Y yang menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi
hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan
adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4
jam. Keadaan ini disebut sebagai siklus nasi. Dengan adanya siklus ini,
seseorang akan mampu untuk dapat bernapas dengan tetap normal melalui
rongga hidung yang berubah-ubah luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal dari nukleus salivatori seuperior
menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk n. vidianus, kemudian
menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada
rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmitter asetilkolin dan vasoaktif

intestinal peptida yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan


vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung.
Bagaimana tepatnya saraf otonom ini berkerja belumlah diketahui
dengan pasti, tetapi mungkin hipotalamus bertindak sebagai pusat
penerima impuls eferen, termasuk rangsang emosional dari pusat yang
lebih tinggi.
Dalam keadaan hidung normal, persarafan simpatis bekerja leih
dominan. Rinitis vasomotor diduga sebagai akibat dari ketidakseimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung yang berupa
bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis.
Gejala
Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi, namun
gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan,
tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa.
Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata.
Gejala dapat memburuk pada pagi hari sewaktu bangun tidur dikarenakan adanya
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh asap rokok.
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
Golongan bersin (sneezers)
Gejala ini biasanya memberikan respon baik dengan terapi antihistamin
(AH) dan glukokortikosteroid topikal.
Golongan rinore (runners)
Gejala ini dapat diatasi dengan pemberian antikolinergik topikal.
Golongan tersumbat (blockers)
Kongesti umumnya memberikan respon yang baik dengan terapi
glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor oral.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada rinitis vasomotor bervariasi, tergantung pada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Secara besar dibagi dalam:
1. Menghindari faktor pencetus
Pengobatan simtomatis, dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci hidung dengan
garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan AgNO 3 25%, dan
dapat juga diberikan kortikosteroid topikal.
2. Mempelajari farmakologi obat anti sesak dan obat tetes hidung

Obat-obat pengontrol asma (Controller):


a. Glukokortikosteroid Inhalasi
Jenis obat ini digunakan selama satu bulan atau lebih untuk
mengurangi gejala inflamasi asma. Obat ini dapat meningkatkan fungsi
paru, mengurangi hiperresponsif dan mengurangi gejala asma dan
meningkatkan kualitas hidup. Namun, obat ini dapat menimbulkan
kandidiasis orofaringeal, menimbulkan iritasi pada bagian saluran
napas atas dan dapat memberikan efek sistemik, menekan kerja adrenal
atau mengurangi aktivitas osteoblast (GINA, 2005).
b. Glukokortikosteroid Oral
Mekanisme kerja obat dan fungsi obat ini sama dengan obat
kortikosteroid inhalasi. Obat ini dapat menimbulkan hipertensi,
diabetes,penekanan

kerja

hipothalamus-pituitary dan adrenal, katarak, glukoma, obesitas dan


kelemahan (GINA, 2005).
c. Kromones (Sodium Cromogycate dan Nedocromyl Sodium)
Obat ini dapat menurunkan jumlah eosin bronkial pada gejala
asma. Obat ini dapat menurunkan gejala dan menurunkan reaksi
hiperresponsitivitas pada sistem imun nonspesifik. Obat ini dapat
menimbulkan batuk-batuk pada saat pemakaian dengan bentuk
formulasi powder (GINA, 2005).
d. 2-Agonist Inhalasi
Obat ini berfungsi sebagai bronkodilator selama 12 jam setelah
pemakaian. Obat ini dapat mengurangi gejala asma pada waktu malam,
meningkatkan fungsi paru. Obat ini dapat menimbulkan tremor pada
bagian muskuloskeletal, menstimulasi kerja kardiovaskular dan
hipokalemia (GINA, 2005).
e. 2-Agonist Oral
Obat ini sebagai bronkodilator dan dapat mengontrol gejala asma
pada

waktu

malam.

Obat

ini

dapat

menimbulkan

ansietas,

meningkatkan kerja jantung, dan menimbulkan tremor pada bagian


muskuloskeletal (GINA, 2005).
f. Teofilin
Obat ini digunakan untuk menghilangkan gejala atau pencegahan
asma bronkial dengan merelaksasi secara langsung otot polos bronki

dan pembuluh darah pulmonal. Obat ini dapat menyebabkan efek


samping berupa mual, muntah, diare, sakit kepala, insomnia dan
iritabilitas. Pada level yang lebih dari 35 mcg/mL menyebabkan
hiperglikemia, hipotensi, aritmia jantung, takikardi, kerusakan otak dan
kematian (Depkes RI, 2007).
g. Leukotriens
Obat ini berfungsi sebagai anti inflamasi. Obat ini berfungsi untuk
mengurangi gejala termasuk batuk, meningkatkan fungsi paru dan
menurunkan gejala asma (GINA, 2005).
1. Obat-obat pelega gejala asma (Reliever):
a. 2-Agonist Inhalasi
Obat ini bekerja sebagai bronkodilator. Obat ini digunakan untuk
mengontrol gejala asma, variabilitas peak flow, hiperresponsif jalan napas.
Obat ini dapat menstimulasi kerja jantung, tremor otot skeletal dan
hipokalemia (GINA, 2005).
b. 2-Agonist Oral
Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat menstimulasi kerja
jantung, tremor otot skeletal dan hipokalemia (GINA, 2005).
c. Antikolinergik
Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat meningkatkan fungsi
paru. Obat ini dapat menyebabkan mulut kering dan pengeluaran mukus
(GINA, 2005).
Dekongestan Nasal
a. Mekanisme Kerja
agonis banyak digunakan sebagai dekongestan nasal pada penderita rhinitis
alergika atau rhinitis vasomotor dan pada penderita infeksi saluran napas atas
dengan rhinitis akut. Obat-obat ini menyebabkan venokontriksi dalam mukosa
hidung melalui reseptor 1 sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan
demikian mengurangi penyumbatan hidung. Reseptor 2 terdapat pada arteriol
yang membawa suplai makanan bagi mukosa hidung. Vasokontriksi arteriol ini
oleh 2 agonis dapat menyebabkan kerusakan struktural pada mukosa tersebut.
Pengobatan dengan dekongestan nasal sering kali menimbulkan hilangnya
efektivitas pada pemberian kronik,serta rebound hyperemia dan memburuknya
gejala bila obat dihentikan. Mekanismenya belum jelas,tetapi mungkin melibatkan

desensitisasi reseptor dan kerusakan mukosa.1 agonis yang selektif lebih kecil
kemungkinannya untuk menimbulkan kerusakan mukosa.
b. Penggolongan dan Penggunaan Dekongestan
1) Macam-macam dekongestan:
Dekongestan Sistemik, seperti pseudoefedrin, efedrin, dan fenilpropanolamin.
Dekongestan sistemik diberikan secara oral (melalui mulut). Meskipun efeknya
tidak secepat topikal tapi kelebihannya tidak mengiritasi hidung. Dekongestan
sistemik harus digunakan secara hati-hati pada penderita hipertensi, pria dengan
hipertrofi prostat dan lanjut usia. Hal ini
disebabkan dekongestan memiliki efek samping sentral sehingga menimbulkan
efek

samping

takikardia

(frekuesi

denyut

jantung

berlebihan),

aritmia

(penyimpangan irama jantung), peningkatan tekanan darah atau stimulasi susunan


saraf pusat.
Efedrin
Efedrin adalah alkaloid yang dikenal sebagai obat simpatomimetik aktif pertama
secara oral. Efedrin sebagai obat adrenergik dapat bekerja ganda dengan cara
melepaskan simpanan norepinefrin dari ujung saraf dan mampu bekerja memacu
secara langsung di reseptor dan . Pada sistem kardiovaskuler, efedrin
meninggikan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik melalui vasokonstriksi
dan terpacunya jantung. Efedrin berefek bronkodilatasi tetapi lebih lemah dan
lebih lambat dibandingkan epinefrin atau isoproteronol. Efedrin memacu ringan
SSP sehingga menjadi sigap, mengurangi kelelahan, tidak memberi efek tidur dan
dapat digunakan sebagai midriatik. Efedrin digunakan sebagai dekongestan
hidung, bekerja sebagai vasokonstriktor lokal bila diberikan secara topikal pada
permukaan mukosa hidung, karena itu bermanfaat dalam pengobatan kongesti
hidung pada Hay fever, rinitis alergi, influenza dan kelainan saluran napas atas
lainnya. Dosis : pada asma, oral 34 dd 25-50 mg (HCl), anak-anak 2-3 mg/kg
sehari dalam 4-6 dosis. Nama Paten : Asmasolon.

Pseudoefedrin
Isomer dekstro dari efedrin dengan mekanisme kerja yang sama, namun daya
bronkodilatasinya lebih lemah, tetapi efek sampingnya terhadap SSP dan jantung
lebih ringan. Obat ini, jika masuk ke dalam sistem saraf pusat, dapat
menyebabkan kecemasan, peka rangsangan, dan gelisah. Efek samping lainnya
berupa denyut jantung lebih cepat, insomnia, efek alergi pada kulit, kulit kering,
retensi urin, anoreksia, halusinasi, sakit kepala, mual, dan sakit perut.
Pseudoefredin juga dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke. Obat ini banyak
digunakan dalam sediaan kombinasi untuk flu. Dosis : oral 3-4 dd 60 mg (HCl,
sulfat) Nama Paten : Sinutab, Sudafed, Polaramin
Fenilpropanolamin
Derivat tanpa gugus C-H pada atom N dengan khasiat yang menyerupai efedrin.
Kerjanya lebih panjang, efek sentral dan efek jantungnya lebih ringan. Namun,
berdasarkan Food and Drug Administration Amerika (FDA) menganjurkan untuk
tidak menggunakan tiap produk yang mengandung fenilpropanolamin. Dosis : oral
3-4 dd 15-25 mg. Nama Paten : Triaminic, Sinutab, Rhinotusal Dekongestan
Topikal, digunakan untuk rinitis akut yang merupakan radang selaput lendir
hidung. Bentuk sediaan dekongestan topikal berupa balsam, inhaler, tetes hidung
atau semprot hidung. Dekongestan topikal (semprot hidung) yang biasa digunakan
yaitu oxymetazolin, xylometazolin, tetrahydrozolin, nafazolin yang merupakan
derivat imidazolin. Penggunaan dekongestan topikal dilakukan pada pagi dan
menjelang tidur malam, dan tidak boleh lebih dari 2 kali dalam 24 jam.
Dekongestan topikal terutama berguna untuk rhinitis akut karena tempat kerjanya
yang lebih selektif,tetapi obat-obat ini cenderung untuk digunakan secara
berlebihan

oleh

penderita,sehingga

berlebihan.Dekongestan

oral

jauh

menimbulkan
lebih

kecil

penyumbatan

yang

kemungkinannya

untuk

menimbulkan rebound congestion,tetapi lebih besar risikonya untuk menimbulkan


efek samping sistemik.
Derivat Imidazolin

Senyawa ini memiliki efek alfa adrenergik langsung dengan vasokonstriksi tanpa
stimulasi SSP. Khususnya digunakan sebagai dekongestan pada selaput lendir
yang bengkak di hidung dan mata, pilek, selesma (rhinitis, coryza), hay fever,
sinusitis, dsb. Bayi dan anak kecil sebaiknya jangan diberikan dalam jangka
waktu lama untuk obat ini karena dapat diabsorbsi dari mukosa dengan
menimbulkan depresi SSP. Gejalanya berupa rasa kantuk, pening, hipotermi,
bradikardi, bahkan juga koma pada kasus overdosis. Sifat ini bertentangan dengan
kebanyakan adrenergik yang justru menstimulasi SSP.
Yang paling banyak digunakan adalah :
Naphazolin
Xylometazolin
Oksimetazolin
Tetrahidrozolin
Oxymetazolin
Derivate imidazolin ini bekerja langsung terhadap reseptor alfa tanpa efek
reseptor beta. Setelah diteteskan di hidung, dalam waktu 5-10 menit terjadi
vasokonstriksi mukosa yang bengkak dan kemampatan hilang. Efeknya bertahan
hingga 5 jam. Efek sampingnya dapat berupa rasa terbakar dan teriritasi pada
selaput lender hidung dengan menimbulkan bersin.
Dosis : anak-anak di atas 12 tahun dan dewasa 1-3 dd 2-3 tetes larutan 0,05%
(HCl) di setiap lubang hidung; anak-anak 2-10 tahun larutan 0,025% (HCl)
Nama Paten : Afrin, Iliadin, Nasivin
Xylometazolin
Adalah derivate dengan daya kerja dan penggunaan yang sama. Dosis : nasal 1-3
dd 2-3 tetes larutan 0,1% (HCl), maksimum 6 kali sehari. Anak-anak 2-6 tahun
larutan 0,05%.
Nama Paten : Otrivin
Nafazolin

Adalah derivate yang paling tua dengan sifat yang sama, tetapi kerjanya lebih
singkat rata-rata 3 jam. Naphazolin adalah senyawa simpatomimetik yang ditandai
dengan aktivitas alfa adrenergiknya. Naphazoline adalah vasokontriktor dengan
kerja cepat dalam mengurangi pembengkakan pada pemakaian membran mukosa.
Naphazoline bekerja pada reseptor di arteri konjungtiva yang menjadi konstriksi
sehingga menghasilkan penurunan
penyumbatan/kongesti.
Dosis : okuler 1-4 dd 1-2 tetes larutan 0,05-0,1% (HCl).
Nama Paten : Albalon, Privin, Vasacon
Tetrahidrozolin
Merupakan derivate dari imidazolin yang bekerja dengan cara menyebabkan
vasokonstriksi pada saluran darah di mata. Efek samping : menyebabkan
kemerahan persisten dengan penggunaan berlebih, merusak pembuluh darah
dalam mata akibat penggunaan berlebih, dapat terjadi glaucoma secara tiba-tiba
(namun, jarang terjadi ).
Nama Paten : Visine, Murine Plus

Daftar Pustaka
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2015. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses
Prose Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Setiati dkk., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI, Percetakan Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta, 2014

Você também pode gostar