Você está na página 1de 24

PENDAHULUAN

Pemerintah Kota Tangerang Selatan pada saat ini tengah berupaya melestarikan kebudayaan
Betawi, yang lambat laun mulai pudar ditengah kemajuan jaman yang serba modern. Upaya
pelestarian yang dilakukan salah satunya adalah dengan membuat sebuah kawasan wisata budaya
Betawi di Lengkog Wetan Seong Tangerang Selatan Banten. Lengkng wetan adalah sebuah
tempat wisata atau hiburan yang terletak di Serpong Tangerang Selatan , lebih tepatnya berlokasi
di wilayah Kelurahan Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, kota Tangerang Selatan. Kawasan
Lengkog Wetan merupakan kawasan hunian yang memiliki nuansa kuat dan murni baik dari sisi
budaya, seni pertunjukan maupun bentuk arsitektur tradisional rumah Betawi. Dari
perkampungan yang luasnya 21 Hektar yang sebagian besar telah dimiliiki oleh Pengembang
BSD dan Bintaro Jaya.
Pada dasarnya kawasan ini sudah dikenal masyarakat luas sebagai daerah cagar budaya sejarah
perjuangan dimana didalamnya banyak sekali terdapat kebudayaan asli betawi, banyak sekali
kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan di perkampungan betawi ini. Mulai dari pertunjukan
budaya, keagamaan, hingga wisata agro. Akan tetapi hal tersebut tidak ditunjang oleh sarana dan
prasarana yang memadai, permasalahan yang paling menonjol adalah kurang optimalnya
pengelolaan di kawasan ini serta kurangnya penataan baik dari pengelolaan pengunjung,
penataan bangunan hingga infrastruktur di dalamnya.
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan upaya-upaya pelestarian apa saja serta konsepkonsep yang dapat dilakukan guna mempertahankan keberadaan Kawasan Lengkong Wetan
sebagai daerah wisata budaya. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menghasilkan suatu
rumusan ataupun rekomendasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk tetap menjaga
kelestarian budaya betawi melalui Kawasan Wisata Budaya Lengkong Wetan.
KAJIAN LITERATUR
a. Definisi dan Bentuk-Bentuk Pelestarian/Konservasi
Konservasi secara umum diartikan pelestarian namun demikian dalam khasanah para pakar
konservasi ternyata memiliki serangkaian pengertian yang berbeda-beda implikasinya. Istilah
konservasi yang biasa digunakan para arsitek mengacu pada Piagam dari International Council
of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1981 yang dikenal dengan Burra Charter.
Burra Charter menyebutkan "konservasi adalah konsep proses pengelolaan suatu tempat atau
ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan
baik."
Pengertian ini sebenarnya perlu diperluas lebih spesifik yaitu pemeliharaan morfologi (bentuk

fisik) dan fungsinya. Bila dikaitkan dengan kawasan maka konservasi kawasan atau sub bagian
kota mencakup suatu upaya pencegahan adanya aktivitas perubahan sosial atau pemanfaatan
yang tidak sesuai dan bukan secara fisik saja.
Suatu program konservasi sebisa mungkin tidak hanya dipertahankan keaslian dan
perawatannya, namun tidak mendatangkan nilai ekonomi atau manfaat lain bagi pemilik atau
masyarakat luas. Konsep pelestarian yang dinamik tidak hanya mendapatkan tujuan
pemeliharaan bangunan tercapai namun dapat menghasilkan pendapatan dan keuntungan lain
bagi pemakainya. Dalam hal ini peran arsitek sangat penting dalam menentukan fungsi yang
sesuai karena tidak semua fungsi dapat dimasukkan.
Salah satu bentuk kegiatan konservasi yang dapat dilakukan di Lengkong Wetan adalah

Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu
tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses
kerusakan, dan

Konservasi ( dalam konteks yang luas) ialah semua proses pengelolaan suatu tempat
hingga terjaga signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena
kondisinya)
termasuk
tindakan
preservasi, restorasi, rekonstruksi, konsolidasi serta
revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut.
b. Definisi Wisata Budaya
Istilah pariwisata budaya memiliki beberapa definisi (Sofield dan Birtles, 1996) dan hal tersebut
yang masih membingungkan (Hughes, 1996) dan istilah simtomatik Tribes (1997) serta
pariwisata indisiplin. Dalam sebuah buku yang dikarang oleh Valene Smith (1978: 4) berjudul
Hosts dan Guests membedakan antara pariwisata etnik dan pariwisata budaya: pariwisata etnik
dipasarkan untuk umum/wisatawan berdasarkan budaya yang mengalir/turun temurun dari
penduduk pribumi yang bersifat eksotis. Wood (1984: 361) lebih lanjut mendefinisikan
pariwisata etnik dengan memfokuskan pada orang-orang yang meninggalkan identitas budaya
yang keunikannya dipasarkan kepada wisatawan. Khususnya yang dikemas untuk wisatawan
seperti tari-tarian pertunjukan, rumah atau pemukiman asli penduduk lokal, upacara, dan hasilhasil kerajinan berupa ornament dengan segala pernak-perniknya (Smith, 1978:4).
Menurut Undang-Undang nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud
dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta
layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
Berdasarkan motivasi wisatawan serta atraksi yang terdapat di daerah tujuan wisata maka
kegiatan pariwisata dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu pariwisata yang bersifat massal
dan pariwisata minat khusus. Jika pada pariwisata jenis pertama lebih ditekankan aspek
kesenangan (leisure) maka pada tipe kedua penekanannya lebih kearah pengalaman dan

pengetahuan.

Pada pasal 1 UU RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya mendefinisikan Benda Cagar
Budaya sebagai :

Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang- kurangnya 50
tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50
tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan;

Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
dan kebudayaan.Jadi yang dimaksud dengan pusaka bisa berupa hasil kebudayaan manusia
maupun alam beserta isinya.
c. Pelestarian Kawasan
Pelestarian secara umum dapat didefinisikan bahwa pelestarian dalam hal ini konservarsi
merupakan suatu upaya atau kegiatan untuk merawat, melindungi, dan mengembangkan objek
pelestarian yang memiliki nilai atau makna kultural agar dapat dipelihara secara bijaksana sesuai
dengan identitasnya guna untuk dilestarikan. Menurut Eko budihardjo (1994), upaya preservasi
mengandung arti mempertahankan peninggalan arsitektur dan lingkungan tradisional/kuno persis
seperti keadaan asli semula. Karena sifat preservasi yang stastis, upaya pelestarian memerlukan
pula pendekatan konservasi yang dinamis, tidak hanya mencakup bangunannya saja tetapi juga
lingkungannya (conservation areasdan bahkan kota bersejarah (histories towns). Dengan
pendekatan konservasi, berbagai kegiatan dapat dilakukan, menilai dari inventarisasi bangunan
bersejarah kolonial maupun tradisional, upaya pemugaran (restorasi), rehabilitasi, rekonstruksi,
sampai dengan revitalisasi yaitu memberikan nafas kehidupan baru.
d. Defenisi Ekowisata
a. Secara konseptual:
Konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan mendukung upaya-upaya
pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan, sehinggga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah
setempat.
b. Dalam konteks pengelolaan:

Penyelenggaraaan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami, yang secara
ekonomi berkelanjutan dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat setempat dari
generasi serta mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya).
Karakteristik bisnis ekowisata:
1. Menggunakan
teknik-teknik
ramah
lingkungan
dan
berdampak
rendah.
(Misalnya:mengelola jumlah kunjungan).
2. Mendukung upaya-upaya konservasi.
3. Menyadari bahwa alam dan budaya, pengetahuan tradisional merupakan elemen utama
untuk pengalaman pengunjung.
4. Memberikan nilai edukasi pada pengunjung.
5. Mendukung peningkatan local ekonomi, melalui penggunaan masyarakat local, membeli
kebutuhan perjalanan dari local (jika memungkinkan).
6. Menggunakan pemandu/interpreter yang memahami pengetahuan alam dan budaya
masyarakat setempat.
7. Memastikan bahwa satwa target tidak terganggu. 8. Raspek pada budaya dan tradisi
masyarakat local. Komponen produk ekowisata:
a. Transportasi
b. Makanan dan minum
c. Atraksi
d. Prasarana (air bersih, listrik, telekomunikasi, pembuangan limbah)
e. Pemandu
f. Penyewaan peralatan Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam
pengemabngan produk ekowisata:
1. keamanan dan keselamatan pengunjung
2. tipe dan karakter wisatawan target
3. karakter dan kebutuhan segmen wisatawan (survey selera pasar)
4. infrastuktur, sarana dan prasaranan yang dibutuhkan utnuk kepuasan pengunjung
5. iklim
6. harga
7. karakterristik lingkungan (alam dan budaya)
8. pesaing/factor kompetitif.
Secara proses, pengembangan produk dapat digambarkan dalam diagram berikut:
Pengemasan produk ekowisata
Berisikan atraksi dengan keunikan dan pengalaman yang orisinil, seperti:
1. lingkungan yang alami (hutan, taman nasional, laut)
2. Satwa liar
3. Ekosistem asali dengan akses jalan setapak yang berisi informasi interprestasi
4. Bentang alam (pemandangan, air terjun, air panas, terumbu karang , dsbnya)
5. Pemanfaatan kebudayaan dari masyarakat tradisional dan eksplor peninggalan prasejarah.
6. Memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk mendapatkan pengalaman baru.
7. Menjamin kegiatan berdampak rendah dan akomodasi yang ramah lingkungan
8. Diskripsikan dengan jelas aksesbilitas menuju daerah tujuan.
9. Gunakan kata-kata yang mampu menunjukkan keaslian sebagai produk ekowisata.
10. Harga paket harus kompetitif

11. Perlu diperhitungkan pembatasan-pembatasan seperti: besaran wisatawan dalam kelompok,


volume dan ambang batas dari fasilitas dan sumber lokal. Profil dan pasar ekowisata
e. Konsep daur hidup produk
Produk secara umum memiliki daur hidup:
Dalam Tahap Pengenalan, sebuah produk mulai dilakukan tes pasar, tes pemasaran dan tes
terhadap berbagai variable penting lain, kegiatan evaluasi dan pemantauan terhadap produk akan
memiliki porsi yang besar.
Tahap Eksplorasi, produk mulai digencarkan kegiatan promosi serta berbagai upaya utnuk
merebut pasar. Pemantauan terhadap aktivitas pesaing mutlak dilakukan dan juga menggalli
berbagai respon dari konsumen.
Tahap Pengembangan, respon pasar dan aktivitas pesaing semakin meningkat, pembenahan
terhadap berbagai variable produk dilakukan sesuai dengan harapan dan keinginan konsumen,
serta utnuk tetap mempertahankan daya saingnya.
Tahap Konsolidasi dipicu dari terjadinya penurunan tingkat kunjungan wisatawan ke
obyek/atraksi wisata yang dipasarkan. Evaluasi terhadap produk dan aktivitas pemasaran perlu
dilakukan serta menggali berbagai ide pengembangan terhadap produk yang bersangkutan.
Tahap Stagnasi produk timbul ketika tingkat kunjungan wisatawan ke obyek/atraksi wisata tidak
pernah meningkat dari waktu ke waktu. Kecenderungan ini diakibatkan tidak adanya sesuatu
yang baru pada daerah/produk yang bersangkutan. Karena itu perlu segera digali berbagai ide-ide
pengembangan produk wisata baru
Tahap Penurunan Produk terjadi ketika tingkat kunjungan wisatawan ke obyek/atraksi wisata
semakin turun menunjukkan kecenderungan terus menurun dari waktu ke waktu. Kecenderungan
ini diakibatkan tidak adanya upaya pengembangan produk dan hanya bertahan dengan produk
yang ada.
1. Wisata Alam dan Kesadaran Lingkungan
Sementara mass tourism (wisata masal) berkembang, di Amerika muncul sebuah aktivitas wisata
yang dikenal sebagai wisata alam (nature tourism). Hal itu merupakan aktivitas wisata menuju
tempat-tempat alamiah, yang biasanya diikuti oleh aktivitas-aktivitas oleh fisik dari wisatawan.
Termasuk dalam kategori ini, antara lain biking, biking-sailing dan camping. Di sini, kita juga
mengenal adventure tourism, sebuah istilah yang menunjuk kepada kegiatan wisata alam, namun
lebih mempunyai nilai tantangan tersendiri, seperti panjat tebing, diving di laut dalam.
Tempattempat wisata favorit jenis ini kebanyakan merupakan kawasan lindung, seperti Taman
Nasional, Taman Laut, Cagar Alam, Taman Hutan Raya dan kawasan lindung lainnya.
Pertumbuhan wisata jenis ini didorong oleh semakin banyaknya pencinta alam (nature lovers).
Walaupun pada kenyataannya sangat sulit untuk mendefenisikan pencinta alam, kedaerahdaerah baru bagi tujuan wisata, terutama di ekosistem hutan tropis dengan kekayaan hayatinya

yang khas. Namun, sayang sekali bahwa beberapa pencinta alam menyumbang peran besar
bagi menurunnya nilai situs-situs atau monumen alam, dengan cara mencoret-coret dan
mengotori komponen para pencinta alam memanen kayu-kayu hutan untuk sekadar
menghangatkan diri dari sengatan hawa dingin pegunungan. kawasan-kawasan konservasi yang
dibuka untuk wisata di Pulau Jawa, mendapat tekanan dari para pencinta alam dengan cara
seperti di atas. Edelweis (Anaphalis), merupakan spesies tumbuhan yang sering menjadi korban
dari persepsi dan pandangan yang salah dari para pencinta alam, karena diyakini sebagai bunga
abadi yang bernilai keberanian dan romantisme.
Ancaman terhadap keberadaan keanekaragaman hayati dunia semakin lama semakin
memperihatinkan, hal ini juga diikuti oleh laju kepunahan spesies yang semakin meningkat. Saat
ini diyakini bahwa laju kepunahan tersebut sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia
(Anthropogenic Faktor). Dengan demikian, membangun sebuah kesadaran manusia terhadap
pentingnya konservasi lingkungan hidup, di mana keanekaragaman hayati menjadi isu penting di
dalamnya, sangat diperlukan. Banyak ahli berpendapat bahwa membangun kesadaran konservasi
lewat pendidikan informal dapat dilakukan dengan sektor wisata.
Berdasarkan pengetahuan dan motivasinya dalam kegiatan wisata, wisatawan dapat dibedakan
menjadi dua kategori, yakni wisatawan biasa dan wisatawan eco-tourist mempunyai motivasi
mengunjungi destinasi wisata dengan maksud khusus. Berdasarkan minatnya tersebut, ecotourist
dapat dibedakan sebagai berikut:
a) Hard core nature Tourist, merupakan peneliti atau anggota paket tur/perjalanan yang memang
didesain atau dirancang untuk pendidikan alam dan penelitian.
b) Dedicated Nature Touris, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan, terutama untuk
mengunjungi atau melihat kawasan-kawasan lindung. Selain itu, mereka ingin mengetahui
keindahan landscape dan kekayaan hayati serta budaya lokal.
c) Mainstream Nature Tourist, yaitu wisatwan yang ingin mendapatkan pengalaman yang lain
daripada yang telah didapatkan sebelumnya. Seperti, mengunjungi taman Gorilla di Rwanda,
Afrika atau mengunjungi hutan Amazonia di Amerika Selatan.
d) Cassual Nature Tourist, yaitu wisatawan yang menginginkan pengalaman menikamti alam
sebagai bagian dari perjalanan yang lebih besar.
2. Krisis Keanekaragaman Hayati di Indonesia

Krisis keanekaragaman hayati di Indonesia termasuk dalam kategori parah dan membutuhkan
perhatian dan tindakan lebih serius untuk mengatasinya. Bahkan, beberapa spesies telah punah
untuk selamanya, seperti Harimau Jawa dan Harimau Bali (Panthera Tigris). Survei terakhir yang
dilakukan oleh PHPA dan WWF menegaskan bahwa setidaknya pada tahun 1976 masih terdapat
tiga harimau Jawa di Taman Nasional Meru Betiri. Namun, semakin lama tidak ada buktibukti
yang meyakinkan tentang keberadaannya sehingga diyakini spesies ini telah punah.
Beberapa spesies masih bertahan dalam kelompok-klompok kecil, yang habitatnya telah
terfragmentasi. Monitoring terhadap kekayaan hayati saat ini, telah dilakukan secara intensif.

Data yang didapatkan sering menunjukkan bahwa kekayaan hayati semakin terancam, meskipun
terdapat pada daerah konservasi, seperti Taman Nasional. Banyak contoh menunjukkan bahwa
meskipun kawasan lindung dengan seperangkat undang-undang dan peraturan yang
menyertainya, tidak berarti bahwa diversitas spesies yang ada di dalamnya terlindungi dengan
baik.
Sebenarnya, usaha-usaha perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia
telah diperkirakan sejak lama. Tahun 1929, dalam suatu kongres Ilmu Pengetahuan wilayah
Pasifik yang diadakan di Jawa, menyatakan bahwa perlindungan alam di India-Belanda (sebutan
untuk wilayah Indonesia saat itu), harus segera dilakukan secara serius. Peraturan yang mengatur
perlindungan alam, pertama dibuat tahun 1909 dan mulai diimplementasikan 01 Januari 1910.
Namun, bisa jadi peraturan ini hanya terdengar di Jawa dan Madura, sementara perburuan
satwa saat itu juga terjadi di Borneo dan wilayah lainnya. Satwa itu, kegiatan berburu merupakan
kegiatan wisata yang sangat digemari dan mulai diatur dalam regulasi tahun1909. saat itu, Surat
Izin Berburu mulai diperkenalkan dan dikeluarkan Peraturan Tahun 1924 juga menyatakan
secara tegas mengenai hewan-hewan apa saja yang boleh diburu.
3. Wisata dan Konservasi

Konsep pemanfaatan sektor wisata untuk menunjang konservasi saat ini sedang ramai
didiskusikan. Sejauh mana wisata dapat mendorong tindakan-tindakan konservasi yang
dilakukan? Bagaimana strategi yang dapat diterapkan sehingga tujuan konservasi tetap tercapai
dalam industri wisata yang terus berkembang? Siapa dan di mana harus memulai dan dimulai?
Pertanyaan pertanyaan tersebut muncul sebagai respons dari dampak buruk wisata terhadap
keanekaragaman hayati.
Harus diakui bahwa pihak-pihak yang aktif berdebat dan berdiskusi adalah para akademis dan
peneliti melawan praktisi wisata. Ada kesenjangan dalam diskusi ini, yaitu tidak bertemunya
antara akademis-peneliti pada satu sisi dan praktisi wisata pada sisi yang lain. Para praktisi
wisata memandang bawa akademisi dan peneliti tidak mengetahui secara pasti dan memahami
seluk-beluk industri wisata yang kompleks tentang operasional wisata. Sementara di lain pihak,
para praktisi dan pelaku wisata dinilai terlalu sibuk sehingga mereka tidak mengetahui masa
depan wisata, pengembangan produknya dan dampak wisata terhadap lingkungan hidup.
Perdebatan ini merupakan salah satu dari berbagai kasus perdebatan yang seringkali melibatkan
para developer pembangunan, dimana para praktisi wisata ada di dalamnya.
Sementara perdebatan berlangsung, banyak kajian antara lain oleh Dixon dan Sherman (1990),
Gossling (1999), Honey (1999), Wunder (2000) (dalam buku Lukman Hakim), Dharmaratne et
al. (2000), mengatakan bahwa jika sektor wisata diatur secara khusus dapat membantu
pembiayaan
konservasi lingkungan hidup. Terutama koservasi keanekaragaman hayati yang keadaannya
semakin tertekan. Kajian yang dilakukan oleh Burger (2000) dan Waller (2001), menunjukkan
bahwa hubungan yang harmonis antara wisata, keanekaragaman, bentang alam dan
konservasinya dapat terjadi dalam kehidupan manusia. Lebih lanjut, dampaknya secara teoritis
dapat ditafsirkan mempunyai pengaruh positif bagi perekonomian lokal dan pendidikan
konservasi bagi pengunjung, yang datang dari daerah perkotaan yang miskin dengan kekayaan

hayati. Aktivitas wisata tersebut kemudian lebih dikenal sebagai ekowisata atau ekoturisme
(ecotourism).
Benyak defenisi yang menjelaskan arti ekowisata. Namun, semua sepakat bahwa ekowisata
berbeda dengan wisata lainnya, karena sifatnya yang dikondisikan untuk mendukung kegiatan
konservasi. Defenisinya selalu memfokuskan pada wisata yang bertangung jawab terhadap
lingkungan. Selanjutnya, banyak masukan para ahli untuk memperbaiki defenisi tersebut. Antara
lain memberikan dampak langsung terhadap konservasi kawasan, berperan dalam usaha-usaha
pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, mendorong konservasi dan pembangunan
berkelanjutan, seorang arsitek dan environmentalis, Meksiko, menjelaskan bahwa ekowisata
adalah perjalanan wisatawan menuju daerah alamiah yang relatif belum terganggu atau
terkontaminasi. Tujuan utamanya yakni mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan
alam (lanskap) dan kekayaan hayati yang dikandungnya, seperti hewan dan tumbuhan, serta
budaya lokal yang ada di sekitar kawasan.
Banyak tempat indah dengan kekayaan hayati yang tinggi berada dalam wilayah negara
berkembang di mana kebutuhan dan permintaan sumber daya alam meningkat dengan cepat.
Hubungan antara laju dijelaskan di berbagai naskah kerja. Degradasi ekosistem yang terjadi saat
ini telah menurunkan mutu lingkungan, lebih kurang lagi menurunkan mutu daerah tujuan
wisata. Tidak adli untuk menyalahkan dan mengalihkan tanggung jawab ini kepada negara
berkembang dan komunitas masyarakat lokal. Masyarakat di luar kawasan juga harus
diikutsertakan untuk memikirkan hal itu.
Banyak pihak yang mengatakan bahwa masyarakat lokal yang sekat sumber daya alam
merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi pemiskinan sumberdaya alam dan
kerusakan ekosistem. Dengan demikian, strategi yang dirancang dalam konservasi antara lain
adalah pemberdayaan masyarakat lokal.
4. Parameter Ekowisata

Defenisi dan operasional wisata alam (nature tourism) tidak dapat diartikan secara langsung
sebagai ekowisata, meskipun wisata alam mempunyai sisi strategis sebagai entry point untuk
memahami ekowisata. Wearning dan Neil menyatakan bahwa ide-ide ekowisata berkaitan
dengan wisata yang diharapkan dapat mendukung konservasi lingkungan hidup. Karena
tujuannya adalah menciptakan sebuah kegiatan industri wisata yang mampu memberikan peran
dalam konservasi lingkungan hidup, seringkali ekowisata dirancang sebagai wisata yang
berdampak rendah (Low Impact Tourism).
Untuk menjawab maksud tersebut, ekowisata dikarakterisasikan dengan adanya beberapa hal
berikut:
a. Adanya manajemen lokal dalam pengelolaan
b. Adanya produk perjalanan dan wisata yang berkualitas
c. Adanya penghargaan terhadap budaya
d. Pentingnya pelatihan-pelatihan
e. Bergantung dan berhubungan dengan Sumber Daya Alam dan Budaya
f. Adanya integrasi pembangunan dan konservasi

Dalam aktivitasnya, ekowisata harus menjawab dan menunjukkan parameter berikut.


1. Perjalanan ke Kawasan Alamiah Kawasan alamiah yang dimaksud adalah kawasan
dengan kekayaan hayati dan bentang alam yang indah, unik dan kaya. Kawasan itu
dapat berupa Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya,
Taman Laut, dan kawasan lindung lainnya.
2. Dampak yang Ditimbulkan terhadap Lingkungan Rendah Dampak yang diakibatkan
oleh wisata jenis ini, harus ditekan sekecil mungkin. Dampak dapat dihasilkan dari
pengelola wisata, wisatawan, pengelola hotel, penginapan, restoran, dan sebagainya.
Semua pihak dituntut untuk meminimalkan dampak yang mempunyai peluang,
menyebabkan pencemaran dan penurunan mutu habitat atau destinasi wisata.
3. Membangun Kepedulian terhadap Lingkungan Tujuan aktivitas ini pada dasarnya
untuk mempromosikan kekayaan hayati di habitat aslinya dan melakukan pendidikan
konservasi secara langsung. Seringkali kesadaran terhadap lingkungan hidup akan
mudah dimunculkan pada pelajaran-pelajaran di luar kelas, karena sentuhan-sentuhan
emosional yang langsung dapat diraskan. Dengan demikian, usaha ekowisata harus
mampu membawa seluruh pihak yang terlibat dalam ekowisata mempunyai
kepedulian terhadap konservasi lingkungan hidup.
4. Memberikan Dampak Keuntungan Ekonomi Secara Langsung bagi Konservasi Di
banyak kawasan negara berkembang, pembiayaan terhadap kawasan konservasi
seringkali rendah sehinga fungsi yang dijalankan tidak maksimal. Penelitian-penelitan
untuk menilai sumber daya Taman Nasional bagi kegiatan pariwisata dan penilaian
dampak pariwisata terhadap habitat, jarang dilakukan karena keterbatasan sumber
daya. Dalam hal ini, ekowisata dengan sebuah mekanisme tertentu, harus mampu
menyumbangkan aliran dana dari penyelenggaraannya untuk melakukan konservasi
habitat. Tujuan utamanya, yakni memelihara integritas fungsi-fungsi ekosistem dari
destinasi wisata. Tidak ada rumus baku atau mekanisme khusus untuk
mengembangkan pola ini. Namun banyak contoh dapat digunakan sebagai model,
bagaimana seharusnya wisata dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi
konservasi.
5. Memberikan Dampak Keuangan dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal Masyarakat
lokal harus mendapatkan manfaat dari aktivitas wisata yang dikembangkan, seperti
sanitasi, pendidikan, perbaikan ekonomi dan dampak-dampak lainnya. Unit-unit
bisnis pendukung wisata seperti pusat penjualan cinderamata, usaha penginapan,
restoran, dan lainnya harus dikendalikan oleh masyarakat lokal. Hal itu untuk
menjamin keikutsertaan masyarakat lokal dalam pertumbuhan ekonomi setempat
karena aktivitas wisata.
6. Adanya Penghargaan terhadap Budaya Setempat Budaya masyarakat lokal, biasanya
untuk bagi wisatawan dan menjadi bagian dari atraksi wisata. Budaya ini telah
berkembang dalam jangka waktu yang lama sebagai bagian dari strategi masyarakat

lokal untuk hidup dalam lingkungan sekitarnya. Budaya itu harus mendapatkan
penghargaan dan pelestariaan, agar kontribusinya bagi konservasi kawasan tetap
memainkan peran. Harus diakui bahwa masyarakat lokal dengan budayanya, lebih
mengetahui cara berinteraksi dan memafaatkan seumber daya sekitarnya secara
bijaksana dan lestari daripada mengambil keputusan yang tinggal jauh dari kawasan
hutan.
7. Mendukung Hak Asasi Manusia dan Gerakan Demokrasi Pada dasarnya, penduduk
setempat merupakan masyarakat yang selama bertahun-tahun telah berinteraksi
dengan lngkungan sekitar destinasi wisata. Beberapa kelompok masyarakat secara
tradisional masih tergantung kepada sumber daya hutan, pesisir dan laut. Oleh karena
itu, penetapan kawasan lindung tidak semata-mata memagari kawasan dari pengaruh
manusia. Karena secara de facto, masyarakat sekitar mempunyai kekuatan untuk
tetap memasuki kawasan dan menggunakan sumber daya alam. Oleh karena itu,
melakukan sebuah regulasi dan diskusidiskusi dengan masyarakat untuk menjamin
pemanfaatan secara adil menjadi parameter yang tepat dan berguna untuk menilai
keberhasilan ekowisata.
8. Banyak kawasan di belahan dunia menjalankan ekowisata. Kebanyakan dari mereka
memanfaatkan kawasan konservasi, seperti Taman Nasional sebagai destinasi atau
tujuan alamiah bagi penyelenggara ekowiata. Diskusi-diskusi seputar implementasi
dan keberhasilan ekowisata, terus bermunculan. Hal itu disebabkan oleh sulitnya
memenuhi seluruh kriteria ideal, untuk mencapai apa yang dimaksud dengan
ekowisata. Namun, kebanyakan sepakat bahwa kegiatan ini adalah wisata yang
bertanggung jawab, untuk melakukan konservasi dan pendidikan lingkungan hidup,
serta memperhatikan tingkat kesejahteraan masyarakat lokal.
Semakin populernya kegiatan ekowisata dan sumbangan-sumbangan penting yang diberikan bagi
aktivitas konservasi mendorong Persatuan Bangsa-Bangsa lewat badan lingkungan hidup dunia
United Nations Environment Programme (UNEP) Ecotourism 2002. tujuannya yakni
mempromosikan ekowisata pada skala internasional dan memberikan wahana dan kesempatan
belajar bagi negaranegara yang mempunyai potensi untuk mengembangkan ekowisata di
wilayahnya dari negara negara yang telah sukses menyelenggarakan ekowisata. Pemahaman
tersebut menghasilkan sebuah kespakatan untuk diadakannya pertemuan ekowisata dunia, pada
bulan Mei di Kanada. Pada tahun yang sama, Indonesia juga menetapkan tahun 2002 sebagai
tahun ekowisata Indonesia. Namun, karena keterbatasan-keterbatasan dan alasan sefesiensi,
pengembangan ekowisata di Indonesia untuk tahun 2002 memfokuskan diri pada ekowisata di
daerah pegunungan.
Usaha pengembangan ekowisata di Indonesia, dapat dikatakan masih dalam taraf wacana. Hal itu
diindikasikan bahwa sampai saat ini, belum diterbitkan secara tersendiri peraturan perundangan
yang mengatur pengembangan ekowisata. Perundang-undangan yang menyangkut
penyelenggaraan ekowisata, masih banyak merujuk pada peraturan dan perundangan yang
berkaitan dengan wisata alam dan konservasi. Sampai saat ini, kebanyakan ekowisata di
Indonesia diadakan di kawasan-kawasan konservasi. Sesuai dengan perundangan yang berlaku,
ekowisata yang diselenggarakan harus mengacu kepada kebijakan-kebijakan yang menyangkut

kawasan konservasi. Dalam hal ini, yakni UU no. 5 tahun 1990 tentang konservasi sember daya
alam hayati dan ekosistemnya.

Ada beberapa permasalahan yang timbul dalam pengembangan ekowisata di Indonesia, antara
lain sebagai berikut:
1. Belum adanya konsep dan pemahaman yang sama tentang ekowisata oleh para stakebolder
yang terlibat.
2. Ekowisata masih sering dijadikan slogan-slogan dan alat-alat promosi. Tetapi pada
implementasi sesungguhnya menjadi lemah atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
ekowisata yang diisyaratkan.
3. Meskipun kesadaran pemerintah akan pentingnya ekowisata telah ada, komitmen
pengembangannya masih sangat lemah. Hal itu sangat jelas pada implementasi di
lapangan.
4. Kebijakan yang mengatur dan mendukung saling tumpang tindih sehingga mempengaruhi
implementasi di lapangan.
5. Terbatasnya akses informasi, seperti jaringan pasar dan infra struktur yang diperlukan
dalam pengelolaan ekowisata.
6. Tebatasnya peran serta masyarakat local dan stakebolder dalam pengembangan ekowisata.
7. Meningkatnya degradasi sumber daya alam yang tidak terkendali
8. Pemandu memiliki keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang berkaitan dengan
pelestarian lingkungan dan aspek-aspek pendidikan lingkungan hidup dalam kegiatan
ekowisata.
9. Pembangunan yang tidak terkontrol pada destinasi wisata, karena pertumbbuhan jumlah
pengunjung membuat implementasi ekowisata menjadi sulit. Permasalahan-permasalahan
di atas, idealnya harus dapat diselesaikan untuk mewujudkan pembangunan ekowisata di
Indonesia.
Kelompok-kelompok pencinta dan pemerhati lingkungan, LSM, pemerhati ekowisata dan
stakebolder yang terlibat dalam ekowisata dapat menekan pemerintah karena lemahnya
dukungan pemerintah pada tahap implementasi kebijakan ekowisata pada tingkat lokal.
Selanjutnya, bantuan-bantuan pemikiran dan aksi nyata untuk mewujudkan komitmen bagai
inisiasi dan pembangunan ekowisata dapat dilaksanakan.
Perguruan tinggi atau lembaga-lembaga pemberdaya dapat berperan aktif dalam memberdayakan
potendsi masyarakat dan stakebolder yang belum optimal untuk mencapai implementasi
ekowisata dan melakukan evaluasi terhadap praktik ekowisata dengan sesungguhnya. Tujuannya
sangat jelas, yakni bersamasama mewujudkan pembangunan ekiowisata dengan benar,
sebagaimana konsep-konsep yang mendasarinya, yakni mewujudkan pembangunan lokal dengan

memperhatikan aspek konservasi sumber daya alam dan menjaga integritas budaya lokal menuju
masyarakat berkelanjutan.

Dari konsep tersebut dapat diterapkan secara optimal dengan melalui beberapa proses. Bukti
konkrit yang bisa dilakukan antara lain adalah :
Perlu dukungan dari semua pihak, baik itu Pemerintah maupun masyarakat umum untuk
menjadikan kawasan ini tetap bertahan. Dukungan itu bisa berupa perbaikan infrastruktur
jalan ataupun pengadaan fasilitas umum lainnya yang menunjang serta SDM yang terlibat
didalamnya harus memiliki kompetensi yang sesuai sehingga semua pihak dapat
berkolaborasi secara maksimal.
Perkampungan Betawi yang ada pada saat ini hendaknya tetap dipertahankan
keberadaannya, bahkan bangunan-bangunan baru yang ada perlu berkiblat dan mengikuti
pola-pola arsitektur Betawi.
Perlunya kordinasi dengan elemen-elemen masyarakat asli Betawi dalam mengadakan
acara ataupun kegiatan-kegiatan supaya dapat terkordinir dengan baik.
Organisasi kemasyarakatan tetap dipertahankan, hal ini dapat membantu dalam bidang
pengawasan apabila ada kegiatan yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di
Perkampungan Betawi.
Perdagangan dan jasa yang ada saat ini harus dikelola secara optimal, karena sumber
pendapatan terbesar berasal dari hal tersebut.

Asal Usul Betawi


Suku Betawi adalah salah satu suku bangsa Indonesia, penghuni awal Kota Jakarta dan
sekitarnya.
Sejarawan Sagiman MD, menyatakatan bahwa eksistensi suku Betawi telah ada, sejak Zaman
Batu Baru (Neoliticum), dimana penduduk asli Betawi berasal dari Nusa Jawa; orang Jawa,
Sunda,
dan
Madura.
Pendapat senada datang dari Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta
Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977),
mengungkapkan bahwa, Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3.500 3.000 SM
(Sebelum
Masehi).
Selain penelitian di atas, ada pula penelitian yang dilakukan Lance Castles, yang menitik
beratkan pada empat sketsa sejarah yakni:
1.

Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di
dalam kota benteng Batavia

2.

Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815

3.

Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893

4.

Sensus Penduduk yang dibuat penjajah Hindia Belanda pada tahun 1930
Dalam semua sketsa sejarah Lance Castles, yang dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke
17), sketsa inilah yang oleh banyak ahli sejarah lainnya dirasakan kurang lengkap, untuk sebuah
penjelasan asal mula Suku Betawi. Hal ini dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa pada abad ke
15 (tahun 1400-an Masehi), sudah ditemukan kata "Negeri Betawi"
Etimologi Betawi
Mengenai asal mula kata Betawi, menurut ahli sejarah ada beberapa acuan:

Pitawi (Bahasa Melayu Polynesia Purba) yang artinya Larangan. Kosa kata ini
mengacu pada komplek situs di daerah Batu Jaya, Karawang. Hal ini diperkuat oleh
sejarahwan Ridwan Saidi, dengan mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan tersebut merupakan
sebuah Kota Suci yang dahulunya tertutup.

Betawi (Bahasa Melayu Brunei) mempunyai makna giwang. Nama ini mengacu pada
ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi. Dimana di wilayah ini hingga tahun 1990-an masih
sempat ditemukan banyak giwang emas dari abad ke-11 M.

Flora Guling Betawi (Cassia Glauca), Famili Papilionaceae adalah sejenis tanaman
Perdu, yang kayunya bulat kokoh seperti guling, tetapi mudah diraut. Zaman dulu jenis kayu
ini banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata; keris atau gagang pisau. Tanaman ini
banyak tumbuh di Nusa Kelapa, beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sedangkan di
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Perbedaan pengucapan
pada penggunaan kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, ini biasa
terjadi, seperti kata tanya apakah atau apatah yang memiliki makna yang sama.
Kemungkinan nama Betawi berasal dari jenis tanaman bisa jadi benar. Sejarahwan Ridwan
Saidi; beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat,
atau daerah yang ada di Jakarta. Sebagai contoh; Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dlsb.
"Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar,
melainkan diambil dari jenis Rerumputan." Dengan demikian kosa kata "Betawi" bukanlah
berasal dari kata "Batavia".
Sedangkan Batavia merupakan nama Latin untuk Tanah Batavia, yang pada zaman Romawi,
diperkirakan terletak di sekitar kota Nijmegen, Belanda, dimana saat ini sisa-sisa lokasi tersebut
dikenal sebagai Betuwe.
Selama Renaisans, sejarawan Belanda mencoba untuk melegitimasi Batavia menjadi sebuah
status "Nenek Moyang" mereka, selanjutnya menyebut diri sebagai Orang-orang Batavia.
Hal ini yang membuat munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama "Batavia" untuk nama
koloni mereka.
Seperti yang terjadi di Indonesia, dimana mereka mengganti nama Kota Jayakarta menjadi
Batavia dari tahun 1619-1942.
Setelah 1942 nama Batavia diubah lagi menjadi Djakarta.
Nama Batavia juga digunakan di Suriname, dan di Amerika Serikat, karena mereka juga
mendirikan kota Batavia, Newyork, hingga ke barat Amerika Serikat, seperti; Batavia, Illinois,
dekat Chicago, dan Batavia, Ohio.
Sedangkan penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku, pada masa hindia belanda, diawali
dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Perkoempoelan Kaoem Betawi pada tahun
1923, yang diprakarsai oleh Husni Thamrin.
Sejarah
3500 3000 SM (Sebelum Masehi)

Menurut Sejarawan Sagiman MD, sejarah Betawi sudah ada sejak Zaman Batu
(Neolitikum).

Menurut Yahya Andi Saputra, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa, yang
merupakan Satu Kesatuan Budaya. Bahasa, Kesenian, dan Adat Kepercayaan, tetapi kemudian
menjadikan mereka sebagai suku sendiri. Yang kemungkinan disebabkan oleh, antara lain:

1.

Pertama, munculnya Kerajaan-kerajaan.

2.

Kedua, Kedatangan bangsa dan Pengaruh bangsa dari luar Nusa Jawa.

3.

Ketiga, adanya Perkembangan Kemajuan Ekonomi dari masing-masing daerah.


Abad ke-2
Menurtut Yahya Andi Saputra, Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara
yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor.

Abad ke 5
Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara, dimana perdagangan dengan Cina
telah maju, yang ditandai oleh adanya pengiriman Utusan Dagang ke Cina dari Salakanagara
pada tahun 432.
Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum, yang dianggap
oleh sebagian sejarawan, bahwa Tarumanagara merupakan kelanjutan dari Kerajaan
Salakanagara, yang memindahan ibukota kerajaannya dari kaki Gunung Salak ke Tepi Kali
Citarum.
Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara, dengan Ibukota Kerajaan yang
terletak di tepi Sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai
Bekasi.
Candra berarti bulan atau sasi, menjadi Bhagasasi / Bekasi, yang terletak di sebelah timur
pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan
Tarumanengara (Hindu).
Abad ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya (Budha).
Pada saat inilah berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera, kemudian mereka mendirikan
pemukiman di pesisir Jakarta, yang kemudian lambat laun (dengan pola asimilasi) bahasa
Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.
Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja, namun kemudian meluas hingga
ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede.
Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci.
Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga.

Abad ke-10
Sekitar abad ke-10, terjadi persaingan antara orang Melayu (Kerajaan Sriwijaya) dengan Wong
Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri.
Persaingan yang berujung dengan peperang, dimana orang-orang Cina demi kelangsungan
perniagaan mereka, mereka berdiri di dua kaki, atau sebagian berpihak ke Kerajaan Sriwijaya,
dan sebagian berpihak ke Kerajaan Kediri.

Usai perang, kendali lautan dibagi dua;

Sebelah Barat mulai dari Cimanuk, juga Pelabuhan Sunda dikendalikan Sriwijaya.

Sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri.


Sriwijaya meminta Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial
Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi Syailendara lambat-laun tidak sanggup, akhirnya
Sriwijaya terpaksa mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa.
Pada periode inilah terjadi penyebaran bahasa Melayu yang signifikan di Kerajaan Kalapa,
karena gelombang imigrasi yang lebih besar daripada penduduk asli yang menggunakan bahasa
Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa.
Periode Kolonial Eropa
Abad ke-16
Perjanjian antara Surawisesa (Raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512,
mengizinkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa, yang mengakibatkan
perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis, yang pada akhirnya
menurunkan darah campuran Portugis.
Dari komunitas campuran inilah lahir musik Keroncong, atau dikenal sebagai Keroncong Tugu.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, VOC memerlukan banyak
tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian, dan membangun roda perekonomian kota ini.
Saat itulah VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih
berlangsung praktik perbudakan.

Olehkarenanya masih ada tersisa kosa-kata dan tata-bahasa Bali dalam bahasa Betawi saat ini.
Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Dunia, juga seperti;
Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini.
Pengaruh suku bangsa asing yang datang inilah, terlihat dari busana pengantin Betawi yang
banyak unsur Arab dan Tiongkok.
Berbagai nama tempat di Jakarta menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai
suku bangsa lain ke Batavia, seperti; Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon,
Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis.
Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun
1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Abad ke-20
Menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum
masehi.
Antropolog lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada
awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari,
mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang
Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan
sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas (pada saat itu adalah Hindia Belanda), yakni
dengan munculnya Perkoempoelan Kaoem Betawi pada tahun 1923, yang digagas oleh Husni
Thamrin, sebagai tokoh masyarakat Betawi.
Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan,
yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran
dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda, tetapi juga mencakup penduduk di luar
benteng tersebut, yang disebut sebagai masyarakat proto Betawi.
Penduduk lokal di luar benteng Batavia, kala itu sudah menggunakan bahasa Melayu, yang
umum digunakan di Sumatera.
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri
pendatang dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi, menjadi warga tuan rumah yang
minoritas.

Pada tahun 1961, 'suku' Betawi bejumlah kurang lebih 22,9 persen dari + 2,9 juta penduduk
Jakarta pada saat itu, hal ini menunjukan orang-orang Betawi semakin terdesak ke pinggiran,
bahkan tergusur ke luar Jakarta.
Seni dan kebudayaan
Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal
giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal
dari abad ke 11 masehi.
Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan
beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo .
Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara, yang kemudian dikenal sebagai
"Kalapa" (Sekarang Jakarta), merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar
Nusantara.
Percampuran budaya, sudah ada sejak masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa,
dimana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal, dari hasil percampuran
budaya antara Penduduk asli, dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.
Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak,
dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap budaya
asing, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai warga asli Jakarta agak tersingkirkan oleh pendatang. Mereka keluar dari
Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten.
Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun Budaya Barat
dan Timur Tengah.
Bahasa
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno), dengan menggunakan huruf hanacaraka.
Penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta, dan sekitarnya sejak Zaman Batu.
Sifat campur-aduk dalam Bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu Batavia adalah
cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai
macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan
asing.
Hingga kini, masih banyak nama daerah, dan nama sungai yang masih tetap menggunakan
bahasa Sunda, seperti; Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari
Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung, dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain

yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik
yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Dialek Betawi terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir.
Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a".
Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal
dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota,
Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di
Meester (Jatinegara).
Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa
Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan dan pinggir Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi
tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang
berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong.
Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling
jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas
menyebutkan "", sedangkan Betawi pinggir bernada "a".
Musik
Dalam bidang kesenian, orang Betawi memiliki Gambang Kromong yang berasal dari seni musik
Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal
dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis, dan Tanjidor yang
berlatarbelakang
ke-Belanda-an.
Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor, dan
Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".
Tari
Seni tari Betawi merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di
dalamnya. Contoh: tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan
lain-lain.
Pada awalnya, seni tari Betawi dipengaruhi budaya Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong
dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing.
Drama
Drama tradisional Betawi, antara lain: Lenong, dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini
biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun,
lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan
penonton.
Cerita rakyat.

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si
Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial si jampang yang mengisahkan jawara-jawara
Betawi, baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras".
Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang
menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado
Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo, atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.
Rumah tradisional
Rumah tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya
Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen;
Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang
beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara
penduduk lokal dengan bangsa Portugis.
Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, Raja Pajajaran mengadakan perjanjian
dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan
Sunda Kalapa, sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa.
Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta
Utara.
Profesi
Di Jakarta, orang Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era
pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung)
mereka masing-masing.
Kampung Kemanggisan dan sekitar Rawabelong, banyak yang berprofesi petani kembang
(anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan
pendidik, antara lain K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, dan pembatik juga banyak
digelutinya.
Kampung Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah.
Kampung Kemandoran dimana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat
banyak di jumpai di wilayah ini, antara lain; Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong.
Kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu,

meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi
pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet adalah orang-orang Betawi gusuran dari Senayan, karena dicanangkannya program
Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno, guna pembuatan Kompleks Olah Raga / Gelora Bung
Karno yang kita kenal sekarang.
Perilaku dan sifat
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi
ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa
dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo Gubernur
DKI Jakarta (2007 - 2012) .
Ada beberapa hal yang positif dari orang Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi,
walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebihan, dan cenderung tendensius.

Bahasa
Bahasa Betawi adalah bahasa kreol (Siregar, 2005) yang didasarkan pada bahasa Melayu Pasar ditambah
dengan unsur-unsurbahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa dari Cina Selatan (terutama bahasa Hokkian), bahasa
Arab, serta bahasa dari Eropa, terutamabahasa Belanda dan bahasa Portugis. Bahasa ini pada awalnya dipakai
oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah pada masa-masa awal perkembangan Jakarta. Komunitas budak
serta pedagang yang paling sering menggunakannya. Karena berkembang secara alami, tidak ada struktur baku
yang jelas dari bahasa ini yang membedakannya dari bahasa Melayu, meskipun ada beberapa unsur linguistik
penciri yang dapat dipakai, misalnya dari peluruhan awalan me-, penggunaan akhiran -in (pengaruh bahasa
Bali), serta peralihan bunyi /a/ terbuka di akhir kata menjadi /e/ atau // pada beberapa dialek lokal.

Musik
Berikut seni musik masyarakat betawi :

1. Seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa


2. Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab
3. Orkes Samrah berasal dari Melayu

4. Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab


5. Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an
6. Seni Lenong
7. Gambang Kromong
8. Rebana Tanjidor
9. Keroncong
10. Lagu tradisional "Kicir-kicir".

Tari
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di
dalamnya. Seperti :

1. Tari Topeng Betawi


2. Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda
3. Cokek, tari silat dan lain-lain.

Drama
1. Lenong
2. Tonil

Cerita rakyat

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta adalah :

1. Si Pitung
2. Jagoan Tulen atau si jampang

3. Nyai Dasima
4. Mirah dari Marunda
5. Murtado Macan Kemayoran
6. Juragan Boing

Senjata tradisional

Senjata khas tradisional Jakarta adalah bendo atau golok.


Rumah tradisional

Rumah tradisional Betawi adalah rumah kebaya

Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen
Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali.
Makanan Khas Betawi

Masakan
Masakan khas masyarakat Betawi adalah gabus pucung, laksa betawi. sayur babanci, sayur godog,
soto betawi, ayam sampyok, asinan betawi, dan nasi uduk.

Kue-kue
Kue-kue khas masyarakat Betawi adalah kue cucur, kue rangi, kue talam, kue kelen, kue kembang
goyang, kerak telor, sengkulun, putu mayang, andepite, kue ape, kue cente manis, kue pepe, kue
dongkal, kue geplak, dodol betawi, dan roti buaya.

Minuman
Minuman Khas Betawi contohnya adalah es selendang mayang, es goyang, dan bir pletok.

Você também pode gostar